bab ii kajian pustaka 2.1 spermatozoa 2.1.1 organ ... 2.pdf · sistem reproduksi mencit jantan...

28
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatozoa 2.1.1 Organ Reproduksi Mencit Jantan Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan. Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki (4 m sampai 6 m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis. Bagian ini menerima sperma dari duktus eferen (Rugh, 1968). Spermatozoa bergerak dari tubulus seminiferus lewat duktus eferen menuju kepala epididimis. Epididimis merupakan pipa dan berkelok-kelok yang menghubungkan vas eferensia pada testis dengan duktus eferen (vas deferen). Kepala epididimis melekat pada bagian ujung dari testis dimana pembuluh-pembuluh darah dan saraf masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor epididimis selanjutnya menjadi duktus deferen yang rangkap dan kembali ke daerah kepala. Epididimis berperan sebagai tempat untuk pematangan spermatozoa sampai pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan cara ejakulasi. Spermatozoa sebelum

Upload: buihuong

Post on 03-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Spermatozoa

2.1.1 Organ Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum,

epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi

untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis,

semua struktur ini berpasangan. Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya

mencapai 20 kaki (4 m sampai 6 m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral

testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah

testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis. Bagian ini

menerima sperma dari duktus eferen (Rugh, 1968).

Spermatozoa bergerak dari tubulus seminiferus lewat duktus eferen menuju kepala

epididimis. Epididimis merupakan pipa dan berkelok-kelok yang menghubungkan

vas eferensia pada testis dengan duktus eferen (vas deferen). Kepala epididimis

melekat pada bagian ujung dari testis dimana pembuluh-pembuluh darah dan saraf

masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor

epididimis selanjutnya menjadi duktus deferen yang rangkap dan kembali ke daerah

kepala. Epididimis berperan sebagai tempat untuk pematangan spermatozoa sampai

pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan cara ejakulasi. Spermatozoa sebelum

8

matang ketika meninggalkan testikel dan harus mengalami periode pematangan di

dalam epididimis sebelum mampu membuahi ovum (Frandson, 1992).

Apabila spermatozoa terlalu banyak ditimbun, seperti oleh abstinensi (tak

ejakulasi) yang lama atau karena sumbatan pada saluran keluar, sel epididimis dapat

bertindak phagocytosis terhadap spermatozoa. Spermatozoa itu kemudian

berdegenerasi dalam dinding epididimis. Pada orang vasektomi, epididimis juga

berperan untuk memphagositosis spermatozoa yang tertimbun terus-menerus (di

samping makrofag). Terbukti spermatozoa yang diambil dari daerah kaput dan korpus

tak fertil, sedang yang diambil dari daerah kauda fertil; sama halnya dengan

spermatozoa yang terdapat dalam ejakulat (Yatim, 1994).

2.1.2 Spermatozoa Mencit

Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam

tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis, dan bersama-sama dengan

plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Menurut (Rugh, 1968).

Spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok

seperti kait, bagian tengah yang pendek (middle piece), dan bagian ekor yang sangat

panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm, sedangkan panjang

spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron). Kemampuan

bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma

yang dihasilkan. Produksi sperma yang tinggi dinyatakan dengan volume sperma

9

yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas

sperma yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan

motilitasnya (Hardjopranoto, 1995).

Proses spermatogenesis dalam tubuh pria dewasa diatur dan dikontrol oleh sel

sertoli. Dalam sel sertoli tikus dewasa, pembentukan spermatozoa terjadi selama 19-

20 hari. Dipengaruhi oleh FSH yang mengatur sel sertoli. Spermatogenesis adalah

proses pembentukan sel sperma yang terjadi di epitelium (tubul) seminiferi dibawah

kontrol hormon gonadotropin dari hipofisis (pituitari bagian depan). Tubuli seminiferi

terdiri atas sel sertoli dan sel germinalis. Spermatogenesis terjadi dalam tiga fase,

yaitu fase spermatogonial, fase meiosis, dan fase spermiogenesis yang membutuhkan

waktu 13-14 hari (Yuwanta, 2004).

Kesuburan seorang pria tidak hanya ditentukan oleh jumlah spermatozoa yang

mampu dikeluarkannya. Air mani yang diejakulasi akan terdapat 400 juta

spermatozoa. Walaupun jumlahnya besar, mengingat ukurannya yang begitu kecil,

spermatozoa hanya membentuk sebagian kecil dari volume air mani. Sisanya adalah

cairan yang disebut sperma, yang berasal dari berbagai kelenjar kelamin pria yaitu

vesikel seminalis, prostat, dan kelenjar Cowper (Hutapea, 2002).

Bentuk spermatozoa seperti cabang yang terdiri atas:

Kepala : lonjong sedikit gepeng yang mengandung inti.

Leher : penghubung kepala dan ekor.

10

Ekor : panjang sekitar 10 kali kepala, mengandung energi sehingga dapat bergerak.

2.1.3 Morfologi Spermatozoa

Morfologi spermatozoa merupakan salah satu faktor penentu fertilitas

spermatozoa. Bentuk-bentuk abnormalitas primer spermatozoa di dalam testis karena

kesalahan spermatogenesis atau kesalahan spermiogenesis yang disebabkan karena

keturunan, penyakit, defisiensi makanan, dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang

buruk. Spermatozoa yang memiliki abnormalitas morfologik kemungkinannya tidak

subur (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam

tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis dan bersama-sama dengan

plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Spermatozoa normal

pada mencit terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait dan

bagian tengah yang pendek . Kepala spermatozoa mencit mempunyai panjang +

0,008 mm, adapun panjang keseluruhannya adalah + 0,1226 mm (Rugh, 1968).

Kriteria spermatozoa yang baik antara lain sebagai berikut :

a. pH Sperma

Reactive Oxygen Species adalah radikal bebas yang berasal dari metabolisme

oksigen yang dapat mengakibatkan kerusakan membran sel spermatozoa. Proses

metabolisme secara terus-menerus akan menyebabkan penimbunan asam laktat

yang selanjutkan akan menurunkan pH dan sebagai akibatnya motilitas

spermatozoa akan menurun (Thuwanut et al., 2008). Daya tahan hidup

11

spermatozoa juga dipengaruhi oleh pH sperma. Perubahan pH kearah yang lebih

asam terjadi akibat tertimbunnya asam laktat yang merupakan hasil metabolisme

sel yakni pemecahan fruktosa (Sugiarti et al., 2004). Rata-rata pH sperma yang

normal adalah 6,4-7,8 (Garner dan Hafez, 2008).

b. Motilitas Spermatozoa

Motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : waktu

pemeriksaan setelah ejakulasi, waktu antara ejakulasi, temperatur, komposisi

ionik, radiasi elektromagnetik, reactive oxygen species (ROS), viskositas, pH,

tekanan osmotik, aspek imunologi, serta adanya faktor stimulasi dan inhibisi

motilitas. Kerusakan spermatozoa yang disebabkan oleh ROS dapat menghambat

reaksi akrosom dan kerusakan ekor yang sangat berpengaruh terhadap motilitas

spermatozoa (Sanocka dan Kurpiz, 2004). Kadar ROS yang tinggi akan dapat

merusak membran mitokondria sehingga menyebabkan hilangnya fungsi

potensial mitokondria yang akan mengganggu motilitas spermatozoa karena

energi motilitas sperma disuplai dalam bentuk ATP yang disintesis oleh

mitokondria pada badan ekor (Aryosetyo, 2009).

c. Morfologi Spermatozoa

Molekul glikoprotein yang berada dipermukaan spermatozoa akan dikenali

oleh sistem imun dan merupakan tanda bahwa sel tersebut (spermatozoa) harus

dilenyapkan oleh tubuh. Ketika spermatozoa meninggalkan testis, perlindungan

terhadap sistem imun menjadi berkurang sehingga banyak spermatozoa yang

rusak atau mati. Selain sumber ROS yang berasal dari faktor enzimatis (internal)

12

diantaranya adalah pada sel leukosit. Pada kadar yang tinggi ROS berpotensi

menimbulkan efek toksik, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas dan fungsi

spermatozoa (Hayati, 2011).

Abnormalisasi spermatozoa dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu

primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom),

sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan

pada ekor) (Ax et al., 2000).

2.1.4 Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa

Pemeriksaan morfologi spermatozoa ditujukan untuk melihat bentuk-bentuk

spermatozoa yang didasarkan atas bentuk kepala dari spermatozoa. Seperti diketahui

spermatozoa mempunyai beberapa macam bentuk. Dengan pemeriksaan ini diketahui

beberapa banyak bentuk spermatozoa normal dan abnormal. Bentuk yang normal

adalah spermatozoa yang kepalanya berbentuk oval dan mempunyai ekor yang

panjang. Pemeriksaan morfologi ini dimulai dengan pembuatan preparat smear di atas

objek glass, yang dibiarkan kering dalam temperatur kamar. Setelah preparat smear

tersebut kering, maka selanjutnya dilakukan prosedur pewarnaan (Aryosetyo, 2009).

2.1.5 Pewarnaan Eosin Nigrosin Sitrat Pada Spermatozoa

Pengamatan spermatozoa atau viabilitas dapat dilakukan dengan metode

pewarnaan diferensial menggunakan zat warna eosin saja atau dengan kombinasi

eosin-nigrosin-sitrat. Eosin adalah zat warna khusus untuk spermatozoa, sedangkan

13

nigrosin hanya dipakai untuk pewarnaan dasar untuk memudahkan melihat perbedaan

antara spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna. Prinsip metode pewarnaan

eosin-nigrosin-sitrat adalah terjadinya penyerapan 15 zat warna eosin pada

spermatozoa yang mati pada saat pewarnaan tersebut dilakukan. Hal ini terjadi karena

membran pada spermatozoa yang mati tidak permeabel terhadap zat warna atau

memiliki afinitas yang rendah sehingga menyebabkan spermatozoa yang mati

berwarna merah (Sugiarti et al., 2004).

Dalam percobaan dilakukan pengamatan pada sel sperma yang hidup dan mati

dengan indikasi Eosin nigrosin. Sel sperma yang hidup akan berwarna putih terang

(transparan) sedangkan yang mati berwarna merah. Sperma yang mati terjadi karena

sperma mengalami kontak langsung dengan udara sehingga stres akibat oksidasi

sperma. Penyimpanan dalam jangka waktu lama menyebabkan penurunan motilitas

sperma akibat adanya asam laktat sisa metabolisme sel yang menyebabkan kondisi

medium menjadi semakin asam karena penurunan pH dan kondisi ini dapat bersifat

racun terhadap sepermatozoa yang akhirnya menyebabkan kematian sperma (Sugiarti

et al., 2004).

Evaluasi terhadap kualitas sperma beku ini dilakukan setelah adanya pencairan

kembali (post thawing). Adapun yang sering dijadikan indikator fertilitas

spermatozoa adalah motilitasnya. Dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui

pergerakan ekor spermatozoa. Untuk penilaian viabilitas spermatozoa digunakan

teknik pewarnaan eosin nigrosin. Sesuai standar WHO, teknik pewarnaan ini

memberikan hasil yang valid dilakukan tinjauan ulang terhadap data motilitas yang

14

diperoleh. Teknik pewarnaan eosin nigrosin ini merupakan teknik yang sederhana.

Dimana dalam hal ini zat warna eosin akan diserap oleh spermatozoa yang mati

sehingga akan bewarna merah atau merah muda akibat permeabilitas dinding sel yang

meningkat ketika spermatozoa tersebut mati. Sedangkan nigrosin akan mewarnai latar

dari spermatozoa (Arifiantini et al., 2012).

Selain itu, perlu diketahui pula bahwa pewarnaan spermatozoa yang dilakukan

tersebut berfungsi untuk membantu pengamatan morfologis dan morfometri

spermatozoa. Pewarna eosin merupakan senyawa yang bersifat asam yang mampu

berpendar karena mengandung brom dan dapat mewarnai sitoplasma. Pewarnaan

eosin nigrosin tersebut merupakan pewarnaan double staining yang berfungsi

memberi efek kontras sehingga batas-batas antar sel dapat diamati dengan jelas

(Arifiantini et al., 2012).

2.1.6 Penilaian Morfologi Spermatozoa

pengamatan morfologi spermatozoa mencit dan kategorinya berdasarkan

(Fitirani, 2010) adalah sebagai berikut:

1. Spermatozoa normal

Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto

literatur . Spermatozoa termasuk normal karena memiliki kait yang tidak terlalu

panjang ataupun terlalu pendek, kepala memiliki bentuk dasar membulat dan

sedikit lonjong, ekor tidak mengalami patah ataupun terlipat.

15

2. Spermatozoa tanpa pengait dikepalanya

Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto

literatur . Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa tidak memiliki

pengait di kepalanya.

3. Spermatozoa dengan pengait yang sangat pendek

Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah

foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa memiliki

pengait yang sangat pendek hingga hampir tidak ada.

Gambar 2.1

Spermatozoa Normal

(Fitirani, 2010)

Gambar 2.2

Spermatozoa Tanpa Pengait Dikepalanya

(Fitirani, 2010)

16

4. Spermatozoa dengan leher patah

Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah

foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena mengalami pematahan

di bagian leher ataupun ekor.

5. Spermatozoa berekor ganda

Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah

foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena memiliki ekor yang

bercabang atau spermatozoa berekor ganda.

Gambar 2.3

Spermatozoa Dengan Pengait yang

Pendek (Fitirani, 2010)

Gambar 2.4

Spermatozoa Dengan Leher Patah

(Fitirani, 2010)

17

2.2 Radikal Bebas

2.2.1 Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang

tidak berpasangan pada orbital terluar sehingga berusaha menarik elektron dari

molekul lainnya. Sifat radikal bebas yaitu tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal

bebas yang mengambil elektron dari molekul yang stabil, menyebabkan molekul

tersebut kehilangan satu elektron sehingga menjadi radikal bebas yang baru (Pham-

Huy et al., 2008). Radikal bebas diproduksi secara endogen (oleh mitokondria,

membran plasma, retikulum endoplasma, inti sel) serta diperoleh secara eksogen (dari

asap rokok, radiasi sinar ultraviolet, pestisida) (Suryohudoyo, 2000). Oksidan adalah

senyawa yang dapat menarik elektron atau senyawa penerima elektron, serta bereaksi

dengan komponen yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan sel sehingga

dapat mengganggu integritas sel. Radikal bebas dan oksidan memiliki aktivitas yang

Gambar 2.5

Spermatozoa Berekor Ganda

(Fitirani, 2010)

18

sama dengan proses yang berbeda. Oksidan bersumber dari proses fisiologis dalam

tubuh, proses peradangan, obat-obatan, polutan (Winarsi, 2007).

2.2.2 Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh (radikal bebas endogen) ataupun dari

alam sekitar (radikal bebas eksogen), dengan reaktivitas yang berbeda tergantung dari

sifat reaktivitas molekul yang bereaksi dengan sel tubuh (Lingga, 2012).

Radikal bebas bersumber dari (Pham-Huy et al., 2008):

a. Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses enzimatik, yaitu dari proses

pembakaran sel pada proses respirasi sel, proses pencernaan dan proses

metabolisme.

b. Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses non enzimatik, yaitu dari reaksi

oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi.

c. Radikal bebas dari luar tubuh, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor,

radiasi sinar ultraviolet, aktivitas olahraga berlebih.

2.2.3 Sifat Radikal Bebas

Sifat radikal bebas yaitu reaktivitas tinggi karena cenderung menarik elektron

serta membentuk radikal bebas baru (chain reaction) mengubah suatu molekul

dengan mengambil elektron dari molekul lain di sekitarnya (Halliwell dan Gutteridge,

2007). Dampak terbentuknya senyawa radikal baru, yang mengubah suatu senyawa

menjadi radikal bebas baru sehingga terjadi reaksi rantai (Winarsi, 2010). Radikal

19

bebas sangat tidak stabil dan berumur singkat. Radikal bebas merusak sel dengan

membentuk ikatan kovalen dengan komponen membran yang merubah struktur

reseptor, oksidasi gugus tiol pada komponen membran yang mengganggu transport

lintas membran, reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung

Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Kondisi tersebut dapat menyebabkan

kerusakan membran sel yang mengubah fluiditas, struktur dan fungsi membran yang

menyebabkan kematian sel. Radikal hidroksil sangat berbahaya karena reaktivitas

yang sangat tinggi, merusak 3 jenis senyawa yang berfungsi untuk mempertahankan

integritas sel, yaitu: asam lemak tak jenuh, DNA, dan protein. Kerusakan asam lemak

tak jenuh ganda pada membran sel mengakibatkan rapuhnya dinding sel, serta

merusak dinding dalam pembuluh darah sehingga kolesterol mengendap dan

menimbulkan aterosklerosis (Halliwell dan Gutteridge, 2007).

2.2.4 Tahapan Pembentukan Radikal Bebas

Pembentukan radikal bebas melalui tiga tahap antara lain (Wickens, 2001) :

a. inisiasi (tahap awal terbentuknya radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal

menjadi radikal: RH + O2 Cu R’ + H2O),

b. tahap propagasi (tahap pemanjangan rantai radikal bebas, di mana terjadi reaksi

rantai dengan molekul lipid lain yang menyebabkan radikal bebas bertambah

banyak: R’ + O2 RO2’; RO2’ + RH R’ + ROOH),

20

c. tahap terminasi (radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas lain atau dengan

scavenger: R’1 + R’2 R1 : R2). Proses reduksi oksigen melalui 4 elektron

transfer dengan 4 tahapan di mana setiap tahapan melibatkan 1 elektron transfer.

2.2.5 Radikal Bebas dan Oksidan

Senyawa-senyawa maupun reaksi-reaksi kimia yang cenderung menghasilkan

spesies oksigen yang potensial toksik atau ROS disebut dengan prooksidan. Radikal

bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan

pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi dan molekul

oksigen sehingga berusaha menarik elektron dari molekul lainnya. Dengan adanya

“elektron tidak berpasangan” maka radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat

aktif. Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas seperti H2O2

(Hidrogen Peroksida), O (Single oksigen) dan lain-lain (Mose, 2001).

Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai

keadaan patologis. Senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan

senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai reaktivitas sangat tinggi.

Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk

mempertahankan integritas sel, yaitu :

1. Asam lemak terutama asam lemak tak jenuh ganda yang merupakan komponen

penting fosfolipid penyusun membran sel.

2. DNA yang merupakan piranti genetik dari sel.

21

3. Protein yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi,

dan pembentuk matriks serta sitoskeleton.

Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan

komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, baik

komponen struktural (misalnya molekul-molekul penyusun membran) maupun

komponen fungsional (misalnya enzim-enzim dan DNA). Oksidan dapat merusak sel

dari berbagai sumber, yaitu :

1. Berasal dari tubuh sendiri, senyawa-senyawa yang berasal dari proses biologik

normal (fisiologis)

2. Berasal dari proses peradangan

3. Berasal dari luar tubuh, misalnya obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan)

4. Radiasi (Suryohudoyo, 2000)

Shu (2007), menyatakan bahwa radikal bebas dari phyrethroid dapat

menyebabkan kerusakan pada membran sel Leydig, sehingga dapat mengganggu

biosintesis testosteron dengan cara mengurangi pengiriman kolesterol sel mitokondria

serta menurunkan konversi kolesterol menjadi pregnenolone. Pregnenolone

dikatalisis oleh cytochrome P450 side-chain cleavage (P450scc) yang menyebabkan

menurunnya produksi testosteron.

22

2.3 Pelatihan Fisik

2.3.1 Olahraga

Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, olahraga dapat meningkatkan

kebugaran fisik (Sharkey, 2003). Olahraga dengan intensitas rendah dapat

meminimalkan produksi radikal bebas berlebihan serta meningkatkan jumlah

antioksidan endogen (Cooper, 2001). Aktivitas fisik seperti olahraga meningkatkan

pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi (3-4x seminggu), intensitas 72-

87% dari denyut jantung maksimal, serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60

menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan). Tujuan dari prinsip

FITT (Frequency, Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan.

Frekuensi olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi

saat olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta

jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2010).

Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38 molekul

ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2 molekul ATP. Sumber

energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak dan

protein yang menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot,

tambahan ATP didapatkan dari pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin

fosfat ke ADP, fosfolirasi oksidatif dan proses glikolisis (Sherwood, 2001). Sumber

energi untuk aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine

dan glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa oksigen, serta menghasilkan asam laktat

yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009).

23

2.3.2 Pelatihan Fisik Berlebih

Penyebab terjadinya aktivitas berlebih karena terlalu banyaknya volume,

intensitas, durasi, serta frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001).

Aktivitas fisik berlebih meningkatkan konsumsi oksigen pada otot skeletal yang

mengakibatkan peningkatan stres oksidatif (Maffetone, 2007). Overtraining

disebabkan latihan atau olahraga yang melebihi kemampuan tubuh untuk melakukan

pemulihan, yang merupakan kumpulan dari gejala fisik, emosi, perilaku yang dapat

menetap (Howitt, 2008). Tingginya kadar oksigen memicu meningkatnya kadar

Reactive Oxygen Species (ROS).

Reperfusion Injury terjadi ketika kadar oksigen dan nutrisi tidak cukup, yang

menyebabkan kerusakan jaringan dan peningkatan kadar radikal bebas (Maffetone,

2007). Aktivitas fisik yang berlebih juga menyebabkan terbentuknya radikal bebas

(Adiputra, 2008). Kadar radikal bebas yang berlebih menyebabkan kerusakan DNA,

terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan sitosol yang merusak membran dan

organel, serta menyebabkan modifikasi protein teroksidasi (Kumar et al., 2005).

Aktivitas fisik berlebih menyebabkan peningkatan biomarker stres oksidatif, seperti

meningkatnya jumlah leukosit, isoprostan urin, glutation peroksidase, glutation

teroksidasi, serta juga menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen pada otot skeletal

(Murray et al., 2009).

Akibat dari aktivitas fisik berlebih yaitu penurunan kondisi fisik, penimbunan

lemak dan massa otot berkurang, kadar hormon kortisol lebih tinggi daripada

testosteron, sulit tidur, mudah merasa lemas dan cepat tersinggung, sakitnya sendi

24

dan tulang, penurunan imunitas tubuh. Tanda dan gejala aktivitas fisik berlebih yaitu

meningkatnya denyut jantung saat istirahat, menurunnya berat badan dan massa otot,

penurunan kapasitas maksimal kerja, berkurangnya nafsu makan, kelelahan yang

menetap, kaku dan nyeri pada otot dan sendi, konstipasi atau diare, gangguan haid,

makan dan tidur, emosi tidak stabil, mudah stres, depresi, konsentrasi menurun,

penurunan performance, meningkatnya kortisol dan SHBG, menurunnya testosteron,

glikogen otot, hemoglobin, besi dan ferritin. Overtraining diatasi dengan cara

pemijatan agar otot yang tegang menjadi relaks dan untuk mencegah cidera karena

overuse, dengan cara bergantian penggunaan air pancuran hangat dan dingin,

konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, omega 3, 6 dan 9 asam

lemak esensial, serta konsumsi suplemen (Maffetone, 2007).

2.3.3 Hubungan Aktivitas Berlebih dengan Radikal Bebas

Aktivitas berlebih memicu meningkatnya pembentukan radikal bebas yang

melebihi kemampuan pertahanan tubuh, sehingga terjadi kerusakan sel. Tandanya

terlihat ketika terjadi peradangan jaringan saat olahraga yang menghabiskan tenaga

(Cooper, 2001). Saat berolahraga, radikal bebas terbentuk melalui proses pelepasan

elektron di mana konsumsi oksigen meningkat (Sauza, 2005). Selain itu, radikal

bebas juga terbentuk melalui fenomena reperfusion injury, dimana ketika kita

berolahraga terjadi pengalihan aliran darah ke otot skeletal. Hal ini menyebabkan

organ yang tidak terlibat ketika berolahraga menjadi kekurangan oksigen, sehingga

terjadi perubahan irreversibel enzim xanthine dehidrogenase menjadi xanthine

25

oxidase. Setelah aktivitas, terjadi proses reperfusi yang menyebabkan darah mengalir

cepat sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi kembali. Reaksi ini menghasilkan

radikal bebas (Cooper, 2001).

Peningkatan radikal bebas akibat aktivitas berlebih disebabkan oleh

peningkatan konsumsi oksigen 100-200 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat;

keadaan hipoksia dan reperfusi jaringan otot; kerusakan jaringan yang mengaktifkan

sel inflamasi seperti neutrofil; meningkatnya konsentrasi katekolamin akibat auto-

oksidasi katekolamin; meningkatnya temperatur yang membentuk superoksida pada

mitokondria jaringan otot; autooksidasi oxyhemoglobin yang membentuk

methemoglobin yang menghasilkan superoksida; cidera otot menyebabkan terjadinya

proses inflamasi; peningkatan proteolisis dan gangguan kalsium yang menjadi

sumber terbentuknya ROS (Wellman dan Bloomer, 2009).

2.4 Antioksidan

2.4.1 Definisi Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron yang memperlambat proses

oksidasi di mana terjadi pengurangan elektron, serta mampu meredam dampak

negatif oksidan pada tubuh dan mencegah terjadinya stres oksidatif. Oksidasi adalah

reaksi pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen, pelepasan elektron (Halliwell dan

Gutteridge, 2007). Antioksidan dapat meredam dampak negatif oksidan, enzim dan

protein pengikat logam (Pangkahila, 2007). Antioksidan mencegah reaksi radikal

bebas dalam oksidasi lipid (Trilaksani, 2003). Bersifat antioksidatif berarti dapat

26

mendonasikan satu atau lebih elektron (electron donors), yang mengubah senyawa

oksidan menjadi stabil (Winarsi, 2007).

2.4.2 Jenis Antioksidan

Antioksidan dibagi menjadi 2 kategori:

a. Antioksidan enzimatis, merupakan antioksidan yang terdapat dalam tubuh

(antioksidan endogenous), contohnya seperti SOD (Superoksida Dismutase),

glutation peroksidase, katalase. Cara kerjanya dengan melindungi jaringan dari

kerusakan oksidatif oleh radikal bebas oksigen.

b. Antioksidan non enzimatis (antioksidan eksogenous) yang ditemukan pada

sayuran dan buah, yang terbagi menjadi antioksidan larut dalam lemak (seperti

flavonoid, karotenoid, bilirubin) dan antioksidan larut air (seperti asam askorbat,

asam urat). Melatonin merupakan antioksidan yang larut dalam lemak dan juga

larut dalam air.

Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan dalam mencegah dampak negatif oksidan

(Murray et al., 2009), yaitu :

a. Antioksidan pencegah

Antioksidan ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, di mana pembentukan

radikal hidroksil memerlukan logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan ion

superoksid. Penimbunan ion superoksid (O2-) dapat dicegah dengan enzim

superoksid dismutase (SOD), enzim katalase mengkatalisir H2O2 menjadi H2O

dan O2, enzim peroksidase meredam H2O2 menjadi H2O.

27

b. Antioksidan pemutus rantai

Merupakan golongan antioksidan eksogen (vitamin E, vitamin C, beta karoten)

dan antioksidan endogen (glutation, sistein). Sifat dari vitamin E dan beta karoten

adalah lipofilik yang berperan untuk mencegah peroksidasi lipid pada membran

sel. Vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik yang berperan di sitosol.

Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikategorikan menjadi antioksidan

sintetik yang berasal dari hasil sintesis pada industri (Butil Hidroksi Anisol, Butil

Hidroksi Toluen) dan antioksidan alami yang berasal dari senyawa fenolik atau

polifenolik (seperti flavonoid, vitamin C, vitamin E, karotenoid) (Trilaksani, 2003).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dikategorikan menjadi

antioksidan primer (yaitu SOD, katalase, glutation peroksidase, melatonin),

antioksidan sekunder (yaitu vitamin C, E, beta karoten, flavonoid; termasuk sebagai

antioksidan eksogenous atau non enzimatis), antioksidan tertier (yaitu enzim DNA

repair). Antioksidan primer atau antioksidan enzimatis mencegah terbentuknya

senyawa radikal bebas baru atau memutus reaksi polimerisasi dengan mengubah

radikal bebas yang telah terbentuk menjadi kurang reaktif. Antioksidan sekunder atau

antioksidan eksogenous atau non enzimatik bekerja dengan menangkap radikal bebas

kemudian mencegah reaktifitas amplifikasinya. Antioksidan tersier memperbaiki

biomolekuler yang rusak karena reaktifitas radikal bebas (Winarsi, 2007).

28

2.4.3 Efek Antioksidan

Antioksidan memperlambat oksidasi lipid melalui ikatan dengan oksigen,

mengikat radikal bebas, menghambat katalis, stabilisasi hidroperoksid. Antioksidan

bereaksi dengan fatty acid peroxy radicals untuk membentuk radikal antioksidan

yang stabil. Antioksidan juga dapat menjadi prooksidan yang menyebabkan oksidasi

dalam tubuh, seperti vitamin C, D, E, β karoten, teh hijau, ubiquinone, curcumin, zinc

(Mc. Nulty et al., 2006).

2.5 Kelenjar pineal

Kelenjar pineal (juga disebut badan pineal, epiphysis cerebri, epiphysis,

conarium atau "Mata ketiga") adalah sebuah kelenjar endokrin pada otak vertebrata.

Semua hewan vertebrata memiliki kelenjar endokrin yang sama dan melepaskan

hormon yang berfungsi untuk pertumbuhan, reproduksi, serta tanggapan lainnya.

Berikut adalah beberapa kelenjar utama kelenjar endokrin diantaranya hipotalamus,

kelenjar pineal, anterior kelenjar pituitar, posterior kelenjar hipofisis, kelenjar gondok

(tiroid), kelenjar paratiroid, timus, kelenjar adrenal, pankreas, ovarium. Kelenjar

pineal berukuran kecil memiliki warna kemerahan abu-abu dan seukuran kacang

polong. Ini dianggap sebagai organ yang agak misterius, karena fungsinya ditemukan

terakhir dari kelenjar endokrin (Sivan, 2005).

Kelenjar pineal memproduksi berbagai macam hormon, termasuk

memproduksi hormon melatonin. Produksi hormon melatonin ditentukan oleh jumlah

cahaya yang diterima. Kelenjar pineal memiliki kepekaan terhadap cahaya serta

29

mengatur siklus tidur dan bangun pada seseorang. Fungsi melatonin merupakan

kebalikan dari fungsi serotonin. Mayoritas manusia maupun hewan umumnya aktif

bergerak serta berpikir pada siang hari. Pikiran yang aktif pada siang hari akan

menyebabkan meningkatkan jumlah hormon serotonin yang diperlukan oleh tubuh.

Ketika malam hari, saat pikiran mulai kurang aktif, membuat kadar serotonin dalam

tubuh mulai berkurang dan tubuh terutama kelenjar pineal mulai memproduksi

melatonin (Sivan, 2005).

2.6 Melatonin

2.6.1 Sintesis Melatonin

Melatonin (N-asetil-5-metoksitriptamin) merupakan hormon indolamin yang

disintesis dari asam amino L-triptofan terutama di kelenjar pineal dan beberapa

jaringan ekstra pineal seperti gastrointestinal dan limfosit (Kaczor, 2010; Sancez-

Barzelo, et al., 2003 ; Carranza - Lira dan Lopes, 2000). Pada manusia, kelenjar

pineal terletak di sistem saraf pusat, tepatnya di belakang ventrikel III, dibentuk oleh

2 tipe sel utama yaitu pinealosit dan neuroglial. Pinealosit berperan dalam sekresi

indolamin (melatonin) dan peptida (seperti arginin vasotosin) (Brzezinski, 1997).

Melatonin pertama kali diidentifikasi dari ekstrak kelenjar pineal sapi pada

tahun 1959 (Carranza-Lira dan Lopes, 2000). Biosintesis melatonin dimulai dari

konversi triptofan menjadi 5-hidroksitriptofan dengan bantuan enzim triptofan

hidroksilase, selanjutnya 5-hidroksitriptofan akan di dekarboksilasi menjadi serotonin

oleh enzim 5-hidroksitriptofan dekarboksilase. Melatonin akan di sintesis dari

30

serotonin dengan bantuan 2 enzim yaitu arilalkilamin N-asetiltransferase yang akan

mengubah serotonin menjadi N-asetil serotonin dan hidroksiindol-O-metiltransferase

yang akan merubah N-asetil serotonin (AA-NAT) menjadi N-asetil-5-hidroksi

triptamin (melatonin). Kedua enzim ini banyak terdapat di kelenjar pineal

(Brzezinski, 1997).

2.6.2 Sekresi Melatonin

Kelenjar pineal mamalia memiliki reseptor neuroendokrin. Impuls cahaya dari

retina akan disampaikan ke kelenjar pineal melalui nukleus suprachiasmaticus di

hipotalamus melalui sistem saraf simpatis dengan norepinefrin sebagai

neurotransmiter. Efek pada kelenjar pineal adalah pada pengaturan sintesis dan

sekresi melatonin. Sintesis dan sekresi melatonin distimulasi oleh suasana gelap dan

diinhibisi oleh suasana terang. Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan

mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin. Sistem

retinohipotalamus-pineal akan dihambat sehingga melatonin disekresi dalam jumlah

yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada cahaya, fotoreseptor mensekresi norepinefrin

yang akan mengaktivasi sistem retino-hipotalamus-pineal. Reseptor alfa dan beta

adrenergik bertambah di glandula pinealis. Kontak antara norepinefrin dan

reseptornya akan mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase (AA-NAT).

Enzim inilah yang akan menginisiasi sintesis melatonin dan sekresinya (Kaczor,

2010).

31

Melatonin selanjutnya akan masuk ke aliran darah melalui difusi pasif. Pada

manusia, peningkatan sekresi melatonin segera terjadi pada saat onset gelap dan

mencapai puncaknya pada tengah malam (antara jam 2 sampai jam 4), kemudian

secara bertahap akan mengalami penurunan (Brzezinski, 1997). Konsentrasi terendah

melatonin didapatkan pada pukul 07.00 - 09.00 pagi. Konsentrasi melatonin serum

sangat dipengaruhi oleh usia. Bayi kurang dari tiga bulan mensekresi sedikit

melatonin, dan akan meningkat pada bayi yang lebih besar dan mencapai puncaknya

pada anak usia 1-3 tahun (325 pg/mL). Pada usia ini mulai terbentuk ritme sirkardian

dimana sekresi di siang hari lebih kecil dibanding malam hari. Setelah usia 3 tahun,

sekresi melatonin mulai menurun secara bertahap sehingga pada manusia dewasa

muda, rata-rata konsentrasi melatonin serum hanya 10-60 pg/mL saja (Brzezinski,

1997).

2.6.3 Reseptor Melatonin

Reseptor melatonin merupakan reseptor terikat membran plasma. Reseptor

yang sudah diketahui adalah ML1 dan ML2. ML1 merupakan reseptor dengan

afinitas tinggi di banding ML2. ML1 bisa mengikat melatonin dengan konsentrasi

beberapa pikomolar dan ML2 baru sensitif dengan konsentrasi melatonin beberapa

nanomolar (Brzezinski, 1997).

Reseptor ML1 dan ML2 termasuk superfamili guanosine triphospat binding

protein (G protein coupled receptor). Komplek melatonin-reseptor ML1 akan

menginhibisi aktivitas adenilat siklase pada sel target. Reseptor ini terlibat dalam

32

regulasi fungsi retina, ritme sirkadian, dan reproduksi. Dengan pemeriksaan PCR dari

klon mamalia dan juga manusia, ditemukan bahwa reseptor ML1 memiliki 2 sub tipe

yaitu Mel1a dan Mel1b. Reseptor Mel1a diekspresikan pada hipofisis pars tuberalis

dan nukleus suprachiasmaticus (tempat regulasi reproduksi dan ritme sirkadian).

Reseptor Mel1b diekspesikan terutama di retina. Kompleks melatonin dan reseptor

ML2 akan menstimulasi hidrolisis fosfoinositol. Tetapi distribusinya belum diketahui

(Brzezinski, 1997).

Efek intraseluler melatonin adalah melalui interaksi dengan

kalmodulin+kalsium yang akan mengaktivasi berbagai enzim seperti fosfodiester dan

adenilat siklase. Melatonin juga diketahui merupakan ligan bagi orphan reseptor (α

dan β) yang merupakan famili dari reseptor nuklear retinoid Z. Reseptor ini berperan

dalam transduksi sinyal dalam nukleus sel target (Brzezinski, 1997).

2.6.4 Aktivitas Melatonin Sebagai Antioksidan

Melatonin diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antimitotik,

antiestrogenik, pro diferensiasi dan anti metastatik, modulasi sistem imun, pengatur

ritme tidur dan ritme sirkardian, maturasi sistem reproduksi. Proses pembersihan

radikal bebas yang dilakukan oleh melatonin terjadi secara tidak langsung, melalui

peranannya dalam pengaturan fungsi antioksidan dan enzim prooksidan lainnya

(Hardeland, 2005). Kerusakan akibat radikal bebas dapat dikurangi dari aksi

antieksitasinya, kontribusinya terhadap pengaturan fase sirkadian internal dan

perannya dalam meningkatkan metabolisme mitokondrial. Dalam hal ini melatonin

33

mencegah kebocoran elektron dan menguatkan aktivitas kompleks I dan IV.

Melatonin juga menunjukkan efek potensial terhadap antioksidan lainnya seperti

askorbate dan trolox. Oksidasi melatonin menunjukkan arti penting pada proses

produksi metabolit biologis aktif lainnya seperti N1-acetyl-N2-formyl-5-

methoxykynuramine (ANFK) dan N1-acetyl-5-methoxykynuramine (AMK) yang juga

diketahui memiliki karakteristik proteksi. Dalam hal ini AMK bereaksi dengan

oksigen reaktif dan spesies nitrogen, melindungi mitokondria, menghambat serta

menurunkan aktifitas siklooksigenase 2. Maka melatonin terbukti memiliki sifat pro

obat juga.

Spermatozoa sangat rentan terhadap serangan Reactive Oxygen Species (ROS)

seperti anion superoksida dan hydrogen peroksida sebagai konsekuensi dari proses

lipid peroksidasi. Kerentanan spermatozoa dari stres oksidatif karena struktur dari

membran sel spermatozoa sangat tinggi jumlah asam lemak tak jenuh khususnya

docosahexaenoic (DHA), dimana penting dalam mempertahankan proses

spermatogenesis dan fluiditas membran spermatozoa matur (Sanocka dan Kurpisz,

2004).

Melatonin merupakan suatu neurohormon yang diproduksi kelenjar pineal,

ternyata memiliki efek sebagai antioksidan. Dalam suatu percobaan in vivo, efek

antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan antioksidan klasik seperti vitamin

C, E, dan beta karoten. Selain itu tidak seperti antioksidan lain, melatonin tidak

berubah menjadi pro-oksidan (Korkma et al., 2009). Melatonin merupakan

antioksidan yang paten karena sifatnya yang larut dalam lemak dan air sehingga dapat

34

berdistribusi luas dalam tubuh (Tomas-apiko dan Coto-Montes, 2006). Melatonin

dapat menurunkan terjadinya stres oksidatif melalui dua cara yaitu menetralisir

radikal bebas seperti O2-, OH, H2O2, ONOO-, 1O2, LOO, NO (Reiter et al., 2003)

dan dengan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, GPx, CAT

(Anisimov, 2006).