bab ii geomorfologii

35
BAB II GEOMORFOLOGI Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk- bentuk permukaan bumi (morfologi) beserta proses pembentukannya. Pembahasan geomorfologi dalam laporan ini terdiri atas geomorfologi secara regional dan geomorfologi daerah penelitian. II.1 Geomorfologi Regional Menurut Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, Pulau Jawa dibagi menjadi tujuh zona, yaitu: 1. Endapan Vulkanik Kuarter 2. Dataran Aluvial Jawa Utara 3. Antiklinorium Rembang-Madura 4. Antiklinorium Bogor, Serayu dan Kendeng 5. Zona Depresi dan Dome Jawa Tengah 6. Zona Randublatung 7. Pegunungan Selatan Daerah Lembar Surakarta – Giritontro termasuk dalam rangkaian Pegunungan Selatan yang membujur dari barat ke timur sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta -

Upload: erwin-hutapea-sinaga

Post on 26-Nov-2015

142 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II GEOMORFOLOGI

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk permukaan bumi (morfologi) beserta proses pembentukannya. Pembahasan geomorfologi dalam laporan ini terdiri atas geomorfologi secara regional dan geomorfologi daerah penelitian.

II.1 Geomorfologi RegionalMenurut Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta tektoniknya, Pulau Jawa dibagi menjadi tujuh zona, yaitu:1. Endapan Vulkanik Kuarter2. Dataran Aluvial Jawa Utara3. Antiklinorium Rembang-Madura4. Antiklinorium Bogor, Serayu dan Kendeng5. Zona Depresi dan Dome Jawa Tengah6. Zona Randublatung7. Pegunungan SelatanDaerah Lembar Surakarta Giritontro termasuk dalam rangkaian Pegunungan Selatan yang membujur dari barat ke timur sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta - Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Samudera Hindia. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Dari kenampakan morfologi, Zona Pegunungan Selatan dapat dipisahkan menjadi 3 (tiga) sub zona, yaitu:1. Sub Zona Baturagung, ditandai oleh perbukitan terjal di bagian utara, yang disusun oleh batuan vulkanik, baik intrusi, breksi, sedimen vulkanik klastik dan karbonat. Kemiringan lapisan pada umumnya ke arah selatan2. Sub Zona Wonosari, merupakan dataran tinggi (plateau) di daerah Wonosari dan sekitarnya,dan ke arah timur bersambung dengan daerah sekitar Baturetno. Dataran Tinggi ini merupakan cekungan sedimen kuarter yang terdiri dari lempung hitam endapan danau purba.3. Sub Zona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karst, dicirikan oleh adanya morfologi karst dengan bukit - bukit gamping berbentuk kerucut yang membentang dari Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di bagian Timur, dengan jumlah bukit ribuan (Pegunungan Seribu). Kenampakan bukit bukit kapur berbentuk kerucut di bagian timur tidak sebaik seperti di bagian barat. Dibagian timur, bukitbukit tersebut sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik di sekitar Ponorogo Pacitan.Daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan yaitu pada Subzona Baturagung. Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (G. Sudimoro, 507m, antara Imogiri - Patuk), utara (G. Baturagung, 828m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, 737m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (706m) dan G. Gajahmungkur (737m).Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 300 derajat dan beda tinggi 200-700m serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.

Gambar 2.1. Fisiografi Pulau Jawa (Van Bemmelen,1949)Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah, di selatan Yogyakarta dengan lebar kurang lebih 55 km hingga Jawa Timur, dengan lebar kurang lebih 25 km di selatan Blitar. Zona ini dibentuk oleh dua kelompok besar batuan yaitu batuan vulkanik dan batugamping. Geomorfologi Zona Pegunungan Selatan merupakan satuan perbukitan yang terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 150 dan beda tinggi 125 264 m. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta - Surakarta di sebelah barat dan utara,sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajah mungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Samudera Hindia. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung.

Bentang alam karst, tersebar luas dibagian selatan Lembar, mulai batas timur sampai batas barat Lembar. Satuan ini merupakan bagian dari Pegunungan Seribu (G. Sewu) yang berupa bukit - bukit kecil batugamping berbentuk kerucut.Dalam menganalisis kenampakan secara umum kondisi geomorfologi, Van Zuidam (1983), mengajukan 4 aspek utama, yaitu:1. Morfologi atau relief umum (morphology)Morfologi adalah konfigurasi roman muka bumi dan kenampakan-kenampakan ini ditunjukkan oleh pola kontur tertentu. Morfologi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:a.Morfografi, yaitu aspek deskriptif geomorfologi dari suatu daerah, sepertidataran, perbukitan, pegunungan dan plato.b.Morfometri, yaitu aspek kuantitatif dari suatu daerah yang merupakankenampakan beda tinggi satu tempat dengan tempat yang lainnya pada suatudaerah dan juga curam atau landainya lereng yang disebabkan oleh perbedaanproses geologi baik endogen maupun eksogen di daerah tersebut sertaperbedaan litologi dan tingkat resistensi batuan penyusun daerah tersebut.2.Morfogenesis (morphogenesis)Morfogenesis adalah asal dan perkembangan bentuk lahan, proses yang membentuknya dan yang bekerja padanya. Morfogenesis dibagi menjadi 3, yaitu:a.Morfostruktur pasif, yaitu litologi, baik tipe batuan maupun struktur batuanyang berhubungan dengan denudasi, seperti mesa, kuesta, hogbacks dankubah.b.Morfostruktur aktif, yaitu proses dinamika endogen yang meliputivolkanisme, tektonik lipatan dan sesar, seperti gunungapi, punggunganantiklin dan gawir sesar.c.Morfodinamik, yaitu dinamika eksogen yang berhubungan dengan angin, airdan gerak es dan gerakan massa. Seperti gumuk, punggungan pantai.3.Morfokronologi (morpho-chronology)Yaitu untuk mengetahui tingkat kedewasaan suatu bentang alam yang saling berhubungan. Contoh: teras sungai muda dan teras sungai tua, pematang pantai muda dan pematang pantai tua.4.Morpho-arrangementYaitu susunan keruangan dan jaringan hubungan berbagai bentuk lahan dan proses yang berhubungan. Contoh: point bar, kipas aluvial.Pengelompokan satuan geomorfologi di daerah penelitian menggunakan dua aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek morfometri, aspek morfostruktur dengan memperhatikan harga-harga sudut lereng dan karakteristik prosesnya (Tabel II.1),klasifikasi satuan unit geomorfologi berdasarkan bentukan asalnya (Tabel II.2, Tabel II.3), aspek morfogenesis, serta dengan pengamatan langsung di lapangan.

Tabel II.1. Klasifikasi kelas kemiringan lereng berdasarkan karakteristik proses (sumber: Zuidam, 1983)Kelas lereng0-2 (0-2%) Beda Tinggi< 5mTopografiRata atau hampir rataKeteranganDenudasi tidak terjadi, proses transportasi sulit pada daerah yang kering

2-4 (2-7%)5 - 50 mLandaiGerakan massa bergerak lambat dari jenis yang berbeda khususnya kondisi periglacial, solifluction dan fluvial

4-8 (7-15%)25 - 75 mMiringKondisi hampir mirip dengan landai tetapi sedikit lebih baik untuk bercocok tanam dan bahaya terhadap erosi tanah

816(15-30%)50 - 200 mCuram menengahDapat terjadi semua gerakan massa, khususnya periglacial-solifluction, rayapan dan lain-lain. Bahaya terhadap erosi tanah dan longsoran

16-35 (30-70%)200 - 500 mCuramProses denudasional intensif dari jenis yang berbeda (rayapan dan longsoran), erosi tanah sangat berbahaya

35-55 (70-140%)500 1000mSangat curamBatuan tersingkap, proses denudasional kuat, ketebalan dari endapan tidak beraturan

> 55 (>140%)>1000 mAmatsangat curamBatuan tersingkap, proses denudasional sangat kuat, bahaya dari runtuhan batu, tidak bisa untuk bercocok tanam, terbatas sebagai hutan

Tabel II.2. Klasifikasi subsatuan geomorfik asal fluvial (sumber: Zuidam, 1983)KodeUnitKarakteristik

FlTubuh sungaiHampir datar, tidak teratur, dengan batas permukaan air yang bervariasi mengalami erosi

F2DanauMerupakan tubuh air

F3Dataran limpah banjirHampir datar, topografi tak teratur lemah, banjir musiman, erat dengan akumulasi fluvial

F4Gosong sungai dan dataran fluvialLereng landai dan berhubungan erat dengan peninggian dasar oleh akumulasi fluvial

F5BackswampTopografi landai-hampir datar, jarang banjir, erat dengan peninggian akumulasi fluvial lakustrin

F6Teras sungaiTopografi dengan lereng hampir datar-landai, terajam lemah-menengah

F7Kipas aluvial aktifLereng landai-curam menengah, biasanya banjir dan berhubungan erat dengan peninggian oleh akumulasi fluvial

F8Kipas aluvial pasifLereng landai-curam menengah, jarang banjir, terajam lemah-menengah

F9Fluvial deltaic levees and ridgesTopografi hampir datar tak teratur lemah, oleh pengaruh peninggian oleh akumulasi fluvial lakustrin, dan pengaruh marine

F10Fluvio deltaic backswamp and basinTopografi datar-hampir datar, jarang banjir dan peninggian oleh akumulasi fluvial lakustrin, dan pengaruh marine

FllDelta shoreTopografi hampir datar, kadang menyerupai punggungan, sering atau j arang banjir

Tabel II.3. Klasifikasi unit geomorfologi asal denudasional (sumber: Zuidam, 1983)KodeUnitKarakteristik

DlDenudational Slope and HillsLereng landai-curam menengah (topografi bergelombang kuat), tersayat lemah-menengah.

D2Denudational Slope and HillsLereng curam menengah-curam (topografi bergelombang kuat-berbukit), tersayat menengah tajam.

D3Denudational Hills and MountainsLereng berbukit curam-sangat curam sampai tofografi pegunungan,tersayat menengah tajam.

D4PaneplainsHampir datar,topografi bergelombang kuat,tersayat lemah-menengah.

D5Upwarped Paneplains/PlateauHampir datar,topografi bergelombang kuat,tersayat lemah-menengah.

D6FootslopesLereng relatif pendek, mendekati horizontal sampai landai. Hampir datar,topografi bergelombang normal-tersayat lemah.

D7PiedmontsLereng landai menengah,topografi bergelombang kuat pada kaki atau pebukitan dan zona pegunungan yang terangkat,tersayat menengah.

D8ScarpsLereng curam-sangat curam,tersayat lemah-menengah

D9Scree Slopes and FansLandai-curam,tersayat lemah-menengah

D10Area With Several Mass MovementTidak teratur lereng menengah curam,topografi bergelombang-berbukit,tersayat menengah.

DllBadlandsTopografi dengan lereng curam-sangat curam,tersayat menengah.

Tabel II.4. Klasifikasi bentang alam berdasarkan genesa dan sistem pewarnaannya (sumber:Zuidam, 1983).NoGenesaPewarnaan

1DenudasionalCok lat

2StrukturalUngu

3VulkanikMerah

4FluvialBiru muda

5MarineBiru tua

6KarstOrange

7GlasialBiru muda

8AeolianKuning

Tabel II.5. Klasifikasi satuan topografi berdasarkan aspek morfometri (Van Zuidamdan Cancelado, 1979).No.Satuan TopografiKelerengan(%)Beda Tinggi (m)

1Topografi datar0-2140>1000

II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada topografi, litologi, dan fasies gunung api serta proses-proses lain yang berpengaruh membentuk geomorfologi pada daerah penelitian. Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari klasifikasi Zuidam (1983) dan Bogie & Mackenzie (1998), dengan modifikasi seperlunya sesuai dengan kondisi morfologi pada daerah penelitian. Berdasarkan klasifikasi Zuidam (1983), aspek-aspek geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor pemerian morfologi adalah:1. Morfologi, yaitu faktor relief secara umum yang meliputi aspek:a. Morfografi, yaitu aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, seperti bukit, punggungan, lembah dan dataran.b. Morfometri, yaitu aspek penggolongan kenampakan geomorfik yang didasarkan pada segi kuantitatif, dengan melihat ketinggian dan kemiringan lereng.Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983)No.ReliefKemiringan Lereng (%)Kemiringan Lereng ( )

1Datar atau hampi datar0 - 20 2

2Miring landai2 - 72 4

3Miring7 -154 - 8

4Curam menengah 15 - 308 16

5Curam30 - 7016 35

6Sangat curam70 - 14035 55

7Amat sangat curam> 140> 55

2. Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk lahan, meliputi aspek :a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses endogenik antara lain : pegunungan lipatan, pegunungan blok atau patahan dan gunungapi.b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan struktur geologinya.c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya eksogen; seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi, pantai, angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor topografi, batuan, iklim, vegetasi, organism, dan waktu, serta kaitannya dengan umur bentuk lahan secara relatif dan absolut (morfokronologi). Menurut Bogie dan Mackenzie (1998), pembagian geomorfologi khususnya gunung api dibagi ke dalam empat fasies gunung api atau disebut litofasies. Fasies ini di bagi menjadi empat berdasarkan litologi penyusunnya (Gambar 2.3), yaitu: 1. Vent facies/central facies, yang dicirikan oleh kubah lava, tubuh-tubuhintrusi dang-kal (radial dikes, dike swarms, sills, cryptodomes, volcanic necks), batuan/mineral alterasi epitermal dan hidrotermal, berbagai senolit batuan beku dan batuan metasedimen-malihan serta breksi autoklastika pada bagian atas atau luar tubuh intrusi dangkal; 2. Proximal facies dicirikan oleh aliran lava, breksi/aglomerat jatuhan piroklastika dan breksi/aglomerat aliran piroklastika.3. Medial facies dicirikan oleh tuf lapili, baik jatuhan maupun aliran piroklastika, tuf dan breksi lahar.4. Distal facies dicirikan oleh adanya batuan gunung api hasil pengerjaan ulang berupa: breksi lahar, konglomerat, batupasir, batulanau, dan batulempung

Gambar 2.2. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie,1998 dalam Bronto, 2006)

Atas dasar-dasar klasifikasi yang telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian dikelompokan berdasarkan aspek topografi, litologi, dan fasies, menjadi tiga bentuk asal yang terbagi ke dalam enam sub satuan geomorfologi yaitu :1. Bentuk asal fluvial yang terdiri dari: Sub satuan dataran aluvial (F1) Sub satuan tubuh sungai (F2)2. Bentuk asal Karst yang terdiri dari: Perbukitan karst (K2)3. Bentuk asal Vulkanik yang terdiri dari: Fasies proksimal (FP) Fasies medial (FM)II.2.1 Sub Satuan geomorfologi dataran aluvial (F1)Satuan geomorfologi dataran aluvial menempati 1% dari luas daerah penelitian, berada di sebelah utara daerah penelitian, meliputi desa Kalitekuk sampai desa Kemejing. Bentuk topografi relatif landai. Ketinggian minimum 163 m dari permukaan laut dan ketinggian maksimum 175 m dari permukaan laut, beda tinggi rata-rata 2 m, dan besar sudut kelerengan antara 0 - 5. Daerah ini tersusun oleh material lepas berukuran lempung-kerikil. Satuan ini melingkupi daerah tubuh sungai, dan termasuk daerah limpah banjir pada daerah penelitian. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman dan persawahan oleh masyarakat setempat. (Gambar 2.4).

Gambar 2.3. Morfologi dataran aluvial (bawah), morfologi fasies medial (kiri), proximal (tengah) dan mofologi perbukitan karst (kanan). Foto diambil pada dusun Pulutan dengan kondisi cuaca cerah dan lensa kamera menghadap ke timurlaut

II.2.2 Subsatuan geomorfologi tubuh sungai (F2)Satuan geomorfologi tubuh sungai adalah satuan jenis morfologi yang erat hubungannya dengan aliran sungai. Sedangkan pengertian sungai di sini tidak termasuk di dalamnya alur-alur yang mengalir di lereng bukit dan gunung (ephemeral stream). Morfologi tubuh sungai hanya mungkin dijumpai pada suatu daerah berstadia dewasa-tua atau telah mengalami peremajaan.Satuan geomorfologi tubuh sungai menempati 8% luas daerah penelitian, meliputi sepanjang aliran Kali Oyo di bagian utara daerah penelitian, mempunyai ketinggian antara 150 m 162 m diatas permukaan laut, dengan sudut lereng antara 10-20 dan beda tinggi rata-rata 1 m. Tubuh sungai disini termasuk di dalamnya chanel, point bar, dan dataran limpah banjir. Tubuh sungai ini berair sepanjang tahun dan sangat berperan dalam proses sedimentasi di daerah tersebut. Bentuk topografi relatif datar dan mempunyai bentuk lembah sungai U (dewasa).

Gambar 2.4. Subsatuan geomorfologi denudasional (atas), tubuh sungai (bawah) pada LP 33, Foto diambil di daerah Kalitekuk kerco dan arah kamera menghadap baratlaut.

II..2.3 Sub satuan perbukitan karst (K2)Satuan geomorfologi sangat di pengaruhi oleh litologi penyusunnya dan proses pelarutan oleh air sehingga menyebabkan terbentuknya suatu morfologi yang khas di antaranya sungai bawah tanah, staklakit dan staklamit, cuesta, tiang karst, menara karst dan lainnya. Batuan penyusun satuan geomorfologi ini adalah batugamping non klastik dan setempat terdapat dolomitan. Daerah ini mempunyai topografi bergelombang sedang-kuat dengan ketinggian 163-200 meter di atas permukaan laut, dengan beda tinggi rata-rata 20-35 meter dan kemiringan lereng landai-miring (40120). Satuan geomorfologi ini menempati 23 % dari total luas daerah penelitian dengan vegetasi setempat dominan pohon akasia dan pohon jati.Dasar penamaan satuan perbukitan karst ini disebabkan oleh adanya lubang-lubang pelarutan pada batugamping di daerah penelitian, staklakit dan staklamit pun di temukan pada daerah penelitian dengan penyebaran setempat dan belum terlalu intensif, selain itu pada daerah yang lain terdapat adanya lubang-lubang pelarutan pada bawah tanah yang terisi oleh air dimana lubang tersebut merupakan bagian morfologi yang terbentuk akibat larutnya batugamping yang dipengaruhi oleh air atau sering disebut proses karstifikasi.

Gambar 2.5. Morfologi perbukitan karst (atas), dataran alluvial (bawah) pada LP 139, Foto diambil arah kamera menghadap utara.

II.2.4 Sub satuan geomorfologi denudasional (D1)Sub satuan geomorfologi denudasional menempati 60% dari luas daerah penelitian, memanjang di sebelah barat laut sampai kesebelah barat daya hingga melingkupi sisi selatan daerah lokasi penelitian, meliputi desa Kalitekuk pada bagian utara lokasi penelitian sampai kesebelah barat laut yakni desa Watusigar sampai desa Kelor di bagian barat daya hingga desa Genjahan di bagian selatan. Merupakan perbukitan bergelombang lemah dengan litologi penyusun batugamping klastik perselingan dengan napal, tuff halus dan tuff kasar. Ketinggian minimum 150m dari permukaan laut dan ketinggian maksimum 200 m dari permukaan laut, besar sudut kelerengan antara 3 - 15. Satuan geomorfologi ini merupakan yang paling berdekatan dengan fasies medial disebelah timurnya dan pada bagian selatannya berdekatan dengan perbukitan karst.

Gambar 2.6. Morfologi perbukitan fasies proksimal (atas), fasies medial (tengah) dan subsatuan geomorfologi denudasional (bawah). Foto diambil di daerah Wonoroto dengan kondisi cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap tenggara.

II.2.5 Fasies Proksimal (FP)Geomorfologi fasies proksimal merupakan daerah yang paling berdekatan dengan fasies medial, topografi berupa perbukitan sedang dengan kemiringan lereng (150-250) dan ketinggian dari 337-425 meter di atas permukaan laut, tersusun oleh litologi lava andesit, aglomerat, tuf, breksi pumis dan breksi polimik. Fasies ini merupakan daerah lereng tengah-atas gunung api. Morfologi ini menempati 4 % dari luas daerah penelitian. Secara litofasies, fasies proksimal dan medial memiliki sedikit kesamaan, perbedaannya hanya terletak pada persentase litologi penyusunnya dimana pada fasies medial didominasi oleh piroklastik jatuhan seperti tuf dan pumis serta proses pelapukan lebih dominan di banding dengan fasies proksimal, hal ini dikarenakan resistensi batuan penyusun kedua fasies tersebut berbeda. Fasies proksimal biasanya merupakan daerah dengan sungai yang relatif kecil, arus yang deras dan erosi vertikal dominan karena kemiringan lereng yang cukup tinggi ditambah dengan batuan dinding sungai yang resisten sehingga proses sedimentasi sangat minim. Sedangkan fasies medial mempunyai tubuh sungai yang relatif lebih besar karena erosi horizontal mulai berkembang, batuan resisten seperti breksi sudah berkurang, dan proses sedimentasi sudah mulai ada walaupun masih kecil

Gambar 2.7. Morfologi perbukitan fasies proximal (FP), (kamera menghadap tenggara)

II.2.6 Fasies medial (FM)Merupakan perbukitan bergelombang sedangFasies medial mempunyai ketinggian antara 187337 meter diatas permukaan laut, tersusun oleh tuf kasar, tuf halus, breksi Pumis dan Breksi polimik, dengan sudut lereng landai miring (100-150), menempati 15 % dari total luas daerah penelitian. Morfologi ini merupakan lereng bawah gunung api.

Gambar 2.8. Morfologi perbukitan fasies medial (K2) pada LP 118, di daerah Umbulrejo (kamera menghadap baratdaya)

II.3 Pola AliranMenurut Howard (1967), pola Aliran adalah kumpulan dari jaringan aliran sungai pada suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan tetap mengalirkan air, biasanya pola aliran tersebut dinamakan Pola aliran Permanen. Menurut Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi oleh kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang bersangkutan. Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air memegang peranan yang sangat penting karena mempunyai kemampuan sebagai agen atau media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi. Dalam hal ini proses erosi oleh air tersebut yang pada umumnya dominan melalui tubuh sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga membentuk pola sungai (stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran dasar yang mempunyai karakteristik yang khas yang secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. 2. Pola ubahan (modified basic pattern): merupakan sebuah pola pengaliran yang berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar.

Gambar 2.9. Klasifikasi pola aliran dasar (kiri) dan pola aliran ubahan (kanan). (Howard, 1967)

II.3.1 Pola Aliran Daerah penelitianBerdasarkan sifat alirannya, aliran sungai didaerah penelitian terbagi atas sungai induk dan anak sungai. Sungai induk bersifat permanen yang mengaliri air sepanjang tahun, sedangkan sifat aliran pada anak-anak sungai ada yang bersifat permanen yang mengalir sepanjang tahun, dan bersifat periodik yaitu sungai yang mengalir pada musim hujan saja.

Gambar 2.10. Peta pola aliran pada daerah penelitian (penulis, 2013)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari Howard (1967), maka daerah penelitian (Gambar 2.11) termasuk dalam pola aliran sebagai berikut:a) Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang runcing, pola ini termasuk dalam fasies medial (FM). Pola ini terbentuk pada satuan batuan yang homogen dimana litologi sekitarnya adalah tuf, breksi pumis dan breksi polimik dengan kelerengan sedang-curam. Pada daerah penelitian bagian utara, pola aliran dendritik sangat dominan ditemukan, dimana anak sungai mengalirkan airnya ke sungai utama pada daerah penelitian, yaitu Kali oyo.b) Terillis, Baruan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan (dip) atau terlipat, batuan vulkanik atau batuan metasedimen derajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengaliran biasanya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.c) Sub-paraller, Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang sampai agak curam dan dapat ditemukan pula pada daerah bentuklahan perbukitan yang memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola dendritik dengan pola paralel atau tralis. Bentuklahan perbukitan yang memanjang dengan pola pengaliran paralel mencerminkan perbukitan tersebut dipengaruhi oleh perlipatan..Sungai di daerah penelitian digolongkan dalam sungai berstadia dewasa, hingga tua. Sungai stadia dewasa (Gambar 2.12) dicirikan dengan kemampuan mengikis alur secara vertikal dengan penampang sungai berbentuk U, dijumpai adanya dataran banjir yang lebar, tedapat endapan tengah sungai (point bar) dan tepi sungai (chanel bar). Sungai dengan stadia dewasa ini di daerah penelitian dijumpai pada sungai-sungai kecil maupun sungai-sungai besar di daerah penelitian.

Gambar 2.11. Sungai stadia dewasa pada LP 128 dengan pola lembah huruf U terlihat pada tepi sungai proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke tenggara.

Gambar 2.12. Sungai muda pada LP 130 dengan pola lembah huruf V tidak terlihat pada tepi sungai proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadapke barat.

Pada anak-anak sungai di lokasi penelitian aliran sungai agak berkelok-kelok atau meander, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk U di karenakan tingkat erosinya semakin tinggi.II.4 Stadia Geomorfologi Daerah PenelitianPada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan morfologi suatu daerah biasanya dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun eksogen.Proses erosi bekerja pada saat dan setelah terjadinya pengangkatan suatu daerah dan secara terus-menerus akan sampai pada proses pendataran. Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang berhubungan langsung dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan untuk mengetahui bentuk sungai dan tingkat erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai adalah tingkat resistensi batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama manusia), waktu (lamanya proses erosi yang bekerja), dan permebilitas batuan.Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi dan tingkat kedewasaan sungai di mana semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk lahan menuju stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan stadia daerah menjadi empat (Gambar2.14), yaitu : a. Stadia mudaStadia ini dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada umumnya sedikit sekali perajangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif teratur serta lembahnya sempit dan dangkal. b. Stadia dewasaStadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak berkelok-kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk U, lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak kacau serta proses erosi yang dominan.c. Stadia tuaStadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar, tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.d. Stadia rejuvinasi (muda kembali)Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar kembali dan terlihat adanya perajangan perajangan sungai kembali.

Gambar 2.13. Stadia daerah menurut Lobeck (1939), sebagai model pendekatan penentuan stadia sungai di daerah penelitian

Morfologi daerah penelitian sebagian besar berupa perbukitan sedang-kuat yang telah mengalami proses erosi, terdiri dari perbukitan yang rendah maupun yang cukup tinggi, dengan variasi relief dari datar, sedang sampai curam (Gambar 2.4). Lembah sungai utama berbentuk U dimana erosi horizontal sudah berimbang dengan erosi vertikal, aliran sungai utama berkelok-kelok membentuk sungai tapal kuda.Berdasarkan kondisi diatas dengan mengacu pada stadia daerah menurut Lobeck (1939), maka daerah penelitian dikategorikan berstadia dewasa.

8