bab ii

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sirsak (Annona muricata Linn.) 2.1.1. Taksonomi Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta (tanaman berbiji tertutup) Sub Divisio : Angiospermae (tanaman berbunga) Class : Dicotyledonae Ordo : Polycarpiceae Famili : Annonaceae Genus : Annona Species : Annona muricata L Gambar 2.1. Buah Sirsak Nama lain : Sirsak (Indonesia) Asal-usul : Berasal dari Amerika Selatan (Zaif, 2009) Nama daerah : Sirsat, nangka londa (Jawa); nangka walanda (Sunda); nangka buris 5

Upload: dhiya-vina

Post on 27-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sirsak (Annona muricata Linn.)

2.1.1. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta (tanaman berbiji tertutup)

Sub Divisio : Angiospermae (tanaman berbunga)

Class : Dicotyledonae

Ordo : Polycarpiceae

Famili : Annonaceae

Genus : Annona

Species : Annona muricata L Gambar 2.1. Buah Sirsak

Nama lain : Sirsak (Indonesia)

Asal-usul : Berasal dari Amerika Selatan (Zaif, 2009)

Nama daerah : Sirsat, nangka londa (Jawa); nangka walanda (Sunda);

nangka buris (Madura); srikaya jawa (Bali); deureuyan

belanda (Aceh); durian betawi (Minangkabau); jambu

landa (Lampung); lange lo walanda (Gorontalo).

Tanaman sirsak memiliki batang keras dengan tinggi mencapai 10 meter.

Tanaman ini dapat tumbuh di sembarang tempat. Untuk memperoleh hasil buah

yang besar dan banyak, sirsak ideal ditanam di daerah yang tanahnya cukup

mengandung air dan di ketinggian kurang dari 1.000 m dpl. Pohon sirsak tumbuh

dengan cepat dan mulai berbuah pada umur 3-5 tahun sedangkan yang ditanam

5

Page 2: BAB II

6

dari okulasi mulai berbuah pada umur 2-3 tahun. Hasil buah sirsak rata-rata 20

buah/pohon per tahun dengan bobot berkisar 10-60 kg (Suranto, 2011).

Buah yang matang, berbentuk bulat telur melebar atau mendekati jorong,

berukuran (10-20) cm x (15-35) cm, berwarna hijau tua dan tertutup oleh duri-duri

lunak yang panjangnya sampai 6 mm, daging buah yang berwarna putih dan

penuh dengan sari buah. Bijinya banyak, berbentuk bulat telur sungsang,

berukuran 2 cm x 1 cm, berwarna coklat kehitaman, berkilap (Zaif, 2009). Berat

buah sirsak bermacam-macam, mulai dari 500-800 gram bahkan beratnya ada

yang mencapai 1.200 gram (Hasnawati, 2012).

2.1.2. Kandungan dan Manfaat Sirsak (Annona muricata L.)

Pada tanaman sirsak, mulai dari akar hingga bunga, buah, daun, maupun

kayunya memiliki khasiat yang bermanfaat baik untuk tubuh. Dalam beberapa

riset dinyatakan bahwa kandungan pada seluruh bagian tanaman sirsak hampir

memiliki khasiat dan kegunaan yang sama, dikarenakan kandungan vitamin,

mineral dan senyawa aktif yang terkandung pada akar juga terdapat pada daun

(Zaif, 2009). Kandungan Gizi per 100 gram buah sirsak dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 2. 1: Kandungan Gizi per 100 Gram Buah Sirsak

Kandungan Jumlah Kandungan JumlahEnergi 65,00 kal Besi 0,60 mg Protein 1,00 gr Vitamin A 1,00 RELemak 0,30 gr Vitamin B1 0,07 mg Karbohidrat 16,30 gr Vitamin B2 0,04 mg Kalsium 14,00 mg Vitamin C 20,00 mgFosfor 27,00 mg Niacin 0,70 mgSerat 2,00 gr

(Hasnawati, 2012)

Page 3: BAB II

7

Kandungan zat gizi terbanyak dalam buah sirsak adalah karbohirat, yaitu

sekitar 68% dari seluruh bagian padat daging buahnya. Sirsak juga mengandung

berbagai vitamin, antara lain vitamin A, B, dan C. Lemak yang terkandung dalam

buah sirsak sangat sedikit (0,3/100 g) sehingga baik untuk kesehatan (Suranto,

2011).

Buah sirsak kaya akan fitonutrien dan fitokimia. Berbagai riset

menunjukkan bahwa sirsak kaya antioksidan yang sangat bermanfaat untuk

menjaga kesehatan dan mengobati penyakit. Antioksidan yang terkandung dalam

buah sirsak antara lain adalah vitamin C. Pada penyarian buah sirsak, kandungan

vitamin C dalam setiap 100 g buah sirsak sebesar 20 mg. Dengan mengkonsumsi

300 g buah sirsak setiap harinya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin

C harian (Suranto, 2011). Untuk mendapatkan sarinya yang kaya akan vitamin C,

maka dilakukan pemerasan buah untuk memisahkan seratnya dan penyaringan

sehingga didapatkan cairan sari buah sirsak tanpa penambahan air. Sebagai hasil

penyarian, kandungan terbesar pada sari buah sirsak ialah vitamin C. Selain

vitamin C, terdapat vitamin A, B1, E, dan senyawa golongan phenol (Lim, 2012).

Mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan, yaitu menangkap dan meredam

zat-zat berbahaya yang dapat membahayakan dan merusak sel tubuh (Suranto,

2011).

2.1.3. Daun Sirsak

Daun sirsak berbentuk bulat telur agak tebal dan pada permukaan bagian

atas yang halus berwarna hijau tua sedang pada bagian bawahnya mempunyai

warna lebih muda. Daun berbentuk lonjong-bundar telur sungsang, berukuran (8-

Page 4: BAB II

8

16) cm x (3-7) cm, ujungnya lancip pendek, tangkai daun panjangnya 3-7 mm

(Zaif, 2009).

Sirsak memiliki daun yang cukup banyak dalam tiap pohonnya. Jumlahnya

bervariasi, bergantung besar kecilnya ranting. Daun sirsak umumnya memiliki

aroma yang kurang sedap (langu). Hal tersebut mengakibatkan kecil kemungkinan

tanaman ini diserang serangga maupun hama (Hasnawati, 2012).

Banyak komponen dan fitokimia yang terkandung dalam daun sirsak,

seperti penelitian-penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1940. Beberapa

penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berbeda menyatakan bahwa daun

sirsak bermanfaat untuk hipotensi, antispasmodik, antikonvulsan, vasodilator,

smooth-muscle relaxant, dan kardiodepressan pada hewan coba (Carbajal,1991).

Gambar 2.2. Daun Sirsak

Daun sirsak mengandung acetogenesis, annocatacin, annocatalin,

annohexocin, annonacin, annomuricin, anomurine, caclourine, gentisic acid,

gigantetronin, linoleic acid, muricapentocin. Daun sirsak digunakan untuk

mencegah dan mengobati arthritis, asthenia, bronchitis, kolik, batuk, diabetes,

diuretic, disentri, demam, influenza, hipertensi, gangguan pencernaan dan hati,

infeksi, malaria, reumatik, kejang, obat penenang, dan tumor (Zeng L, 1996).

Selain mengandung senyawa monotetrahidrofuran asetogenin, seperti anomurisin

A dan B, gigantetrosin A, annonasin-10-one, murikatosin A dan B, annonasin, dan

Page 5: BAB II

9

goniotalamisin, daun sirsak juga mengandung senyawa tanin, fitosterol, kalsium

oksalat, serta alkaloid murisin (Suranto, 2011).

Studi uji fitofarmaka terdahulu menggunakan metode perebusan daun

dimana zat aktif yang banyak keluar adalah flavonoid (Wiryowidagdo, 2005).

Senyawa flavonoida sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji (Markham, 1988). Akan

tetapi, metode perebusan yang tak lepas dari proses pemanasan dapat

menyebabkan kandungan vitamin menjadi rusak (Dalimartha, 2005). Kandungan

flavanoid dalam daun sirsak memiliki efek anti inflamasi (Kalsum, 2000).

Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti

fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar flavonoida

dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3. Struktur Senyawa Flavanoid (Sastrohamidjojo, 1996)

2.2. Hepar

2.2.1. Anatomi Hepar

Hepar merupakan organ terbesar pada tubuh, sekitar 2 persen berat tubuh

total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa (Guyton, 2007). Hepar

merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang terletak

di bagian teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma.

Hepar terbagi menjadi dua lobus, yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi

menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak

Page 6: BAB II

10

terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh

ligamentum falciformis yang terlihat dari luar (Lindseth, dalam Price, et al,

2006).

Gambar 2.4. Penampang Anterior dan Posterior Hepar(Encyclopedia Britannica, 2010)

2.2.2. Fisiologi Hepar

Fungsi dasar hepar dapat terbagi menjadi beberapa hal, antara lain fungsi

vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang

berhubungan dengan sebagian besar sistim metabolisme tubuh, dan fungsi sekresi

yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke

saluran pencernaan. Dalam fungsi vaskularnya, hepar berfungsi sebagai

penyimpanan darah. Hal ini dikarenakan hepar merupakan suatu organ yang dapat

diperluas, sejumlah darah dapat disimpan di dalam pembuluh darah hepar. Hepar

memiliki aliran limfe yang sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hepar sangat

permeabel dan memungkinkan terbentuknya limfe dalam jumlah besar. Selain itu

di hepar juga terdapat sel Kupffer (derivat sistim retikuloendotelial atau monosit-

makrofag) yang juga berfungsi menyaring darah dan mampu memfagositosis

bakteri serta benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton, 2007).

Fungsi metabolisme hepar dibagi menjadi metabolisme karbohidrat,

lemak, protein, lemak, hormon, dan zat kimia asing. Dalam metabolisme

Page 7: BAB II

11

karbohidrat, hepar berfungsi untuk menyimpan glikogen dalam jumlah besar,

mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan

membentuk senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat. Dalam

metabolisme lemak, hepar berfungsi mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai

energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian

besar lipoprotein, dan sintesis lemak dari protein dan karbohidrat. Dalam

metabolisme protein, hepar berfungsi dalam proses deaminasi asam amino,

pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan

protein plasma, dan interkonversi beragam diantara asam amino serta sintesis

senyawa lain dari asam amino (Guyton, 2007).

Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat

yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-

kehijauan. Bilirubin merupakan hasil akhir dari pemecahan hemoglobin. Bilirubin

juga merupakan suatu alat yang sangat bernilai dalam mendiagnosis penyakit

darah hemolitik dan berbagai tipe penyakit hati (Guyton, 2007).

2.3. Rifampisin Drug-induced Hepatotoxicity

2.3.1. Metabolisme Obat

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic

reticulum dan di sitosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah :

dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, dan lumen kolon. Tujuan

metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi

polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan

Page 8: BAB II

12

perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah

menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik

(Setiawati, 2008).

Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase

I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih

polar, sehingga menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Sedangkan reaksi

fase II merupakan rekasi konyugasi dengan substrat endogen: asam glukoronat,

asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar,

dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus

polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, agar dapat

bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II (Setiawati, 2008).

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim sitokrom

P450 (CYP), disebut juga enzim mono-oksigenase, dalam retikulum endoplasma

hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tapi hanya

beberapa yang penting untuk metabolisme obat. Enzim-enzim tersebut (~70% dari

total CYP dalam hati) adalah :

CYP3A4/5 (~30% dari total CYP dalam hati) : memetabolisme ~50% obat

untuk manusia, jadi merupakan enzim metabolisme yang terpenting.

CYP2C (~20%) : CYP2C8/9 dan CYP2C19 (CYP2C8/9 memetabolisme

~15% obat).

CYP1A1/2 (~12-13%) : disebut sitokrom P448, memetabolisme ~5% obat.

Selanjutnya, reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidase melalui

enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom

Page 9: BAB II

Obat-obatan

Sebagian besar bersifat lipofilik

Saat masuk ke dalam sal. pencernaan, dapat menembus membran sel intestinal

Masuk ke dalam hepar(proses metabolisme secara biokimiawi, sehingga obat menjadi lebih hidrofilik)

Di dalam hepatosit terjadi metabolisme obat melalui jalur oksidasi(melibatkan enzim sitokrom P-450)

Obat dikonjugasi menjadi glukoronida atau sulfat atau glutation

Masuk ke dalam plasma ataupun empedu melalui membran hepatosit secara protein transport

Disekresikan melalui ginjal atau saluran pencernaan

13

hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi

konyugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konyugasi dengan glutation) terjadi dalam

sitosol (Setiawati, 2008).

Pada reaksi fase I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen

dan sebagai kofaktor, NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya

hidroksil radikal. Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi

suatu molekul reaktif yang lebih toksik daripada molekul awal. Apabila molekul

reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu fase II (konjugasi),

dapat menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel (Liska,

1998). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini

dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada

substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hepar (Mehta, Nilesh, 2010).

Gambar 2.5. Metabolisme obat

Page 10: BAB II

14

Tabel 2.2: Obat-obat yang Menginduksi dan Menghambat Enzim Sitokrom P-450

Induksi Inhibisi

FenobarbitalFenitoinKarbamazepinPrimidoneEthanolRifampisinGlukokortikoidQuinin

AmiodaroneCimetidineErithromisinIsoniazidKetokonazole

(Mehta, Nilesh, 2010)

2.3.2. Hepatotoksin

Mekanisme jejas hepar imbas obat yang mempengaruhi protein transport

pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit

imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hepar karena

gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi fassitoplasmik

ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan

memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi

hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang menghasilkan reaksi-reaksi

energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga

menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini

bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai

imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik ke sel T, merangsang respon imun

multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Cedera pada

hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi

xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hepar atau ditimbulkan oleh mekanisme

imunologik, hal tersebut biasanya diakibatkan oleh obat atau metabolitnya berlaku

Page 11: BAB II

15

sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen (Bayupurnama,

2006).

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik)

dan tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang

yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik

tergantung pada pejamu terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap

antigen dan kecepatan memetabolisme penyebab (Bayupurnama, 2006).

1. Hepatotoksin Intrinsik

Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi,

tergantung dosis dan individu yang menggunakan obat atau senyawa tertentu

dalam jumlah tertentu. Rentang waktu mulainya dan timbulnya kerusakan hepar

sangat bervariasi dari beberapa jam sampai beberapa minggu (Aslam, dkk., 2003).

2. Hepatotoksin Idiosinkratik

Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat

diprediksi, terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon

dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis. Masa

inkubasi toksin ini bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-

bulan. Contoh obatnya seperti sulfonamid, isoniazid, rifampisin, halotan dan

klorpromazin (Aslam, dkk., 2003).

Kerusakan sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler

yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang

dipengaruhi melalui 6 cara: (Navarro, 2006)

Page 12: BAB II

16

a. Kerusakan hepatosit: ikatan kovalen obat ke protein intraseluler dapat

menyebabkan penurunan ATP dan gangguan aktin. Kegagalan perakitan

benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya

membran hepatosit.

b. Gangguan protein transport: obat yang mempengaruhi protein transport di

membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses

pembentukan vili dan gangguan pompa transport dapat menghambat ekskresi

bilirubin, sehingga menyebabkan kolestasis.

c. Aktivasi sel T sitolitik: ikatan kovalen obat pada enzim P-450 dianggap

imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun

multifaset.

d. Apoptosis hepatosit: aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-α

menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada

kematian sel terprogram (apoptosis).

e. Gangguan mitokondria: beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan

efek ganda pada α-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara

menghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide

adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim

rantai respirasi.

f. Kerusakan duktus biliaris: metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat

menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris.

Page 13: BAB II

17

Gambar 2.6. Mekanisme hepatotoksisitas (Lee,W. M., 2003)

2.3.3. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah spesies kimia yang dapat bereaksi dengan komponen

biomolekul di dalam tubuh. Reaktifitas radikal bebas disebabkan oleh hilangnya

satu elektron atau lebih pada orbital terluar suatu atom atau molekul (Suhartono,

dkk., 2007). Radikal bebas akan berinteraksi dengan bagian tubuh maupun sel–sel

tertentu yang tersusun atas lemak, protein, karbohidrat, DNA, dan RNA yang

bersifat destruktif dan memicu berbagai penyakit (Reynertson, 2007).

Radikal bebas secara alami diproduksi dalam tubuh kita melalui proses

metabolik oksidatif, aktivasi sistim imun (sebagai contoh makrofag menggunakan

hidrogen peroksida untuk membunuh bakteri dan benda asing), detoksifikasi obat

dan pembentukan oksida nitrit yang sangat penting dalam relaksasi pembuluh

darah (Moncada and Higgs, 2001). Selain itu, makhluk hidup selalu memproduksi

radikal bebas sebagai produk samping dari proses pembentukan energi. Energi

Page 14: BAB II

18

diperoleh dari metabolisme dengan mengoksidasi zat-zat makanan, seperti

karbohidrat, lemak, dan protein. Zat-zat itu dikonversi menjadi senyawa pengikat

energi atau Adenosin Triphospat (ATP) melalui proses metabolisme dengan

bantuan oksigen. Dalam proses oksidasi itulah radikal bebas (ROS), yaitu anion

superoksida dan radikal hidroksil ikut terproduksi (Arief, 2002).

Sumber radikal bebas dari dalam tubuh (endogen) terbentuk sebagai sisa

proses metabolisme protein, karbohidrat dan lemak yang kita konsumsi. Radikal

bebas dari luar tubuh (eksogen) berasal dari polusi udara, asap kendaraan

bermotor, asap rokok, berbagai bahan kimia termasuk obat, makanan terlalu

hangus (carbonated) dan sebagainya (Soegianto, 2008).

2.3.4. Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu

anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin (Gambar 2.7).

Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan

ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH nya asam. Derivat

rifamisin lainnya ialah rifabutin dan rifapentin (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Rifampisin dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan Mycobacteria

tuberculosis dan Mycobacteria leprae. Rifampin dapat menyebabkan kerusakan

hepar dan menginduksi enzim hepar yang tampak pada gambar 2.8 (Lüllmann, et.

Al. 2000). Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya

menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mitokondria dan

mikroorganisme lain dengan menekan terbentuknya rantai dalam sintesis RNA

(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Page 15: BAB II

19

Gambar 2.7. Struktur kimia rifampisin (Lüllmann, et. Al. 2000)

Gambar 2.8. Mekanisme kerja Rifampisin (Lüllmann, et. Al. 2000)

2.3.5. Farmakokinetik Rifampisin

Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma

setelah 2-4 jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat cepat dieksresikan

melalui empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi

rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada

kelainan fungsi hepar. Obat ini akan berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk

ke cairan otak. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh, luasnya distribusi

rifampisin tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah, sputum,

air mata dan keringat sehingga pasien harus diberi tahu akan hal tersebut

(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

2.3.6. Efek Samping Rifampisin

Rifampisin paling sering menimbulkan ruam kulit, demam, mual, dan

muntah. SGOT dan aktivitas fosfatase alkali yang meningkat akan menurun

Page 16: BAB II

20

kembali jika pengobatan dihentikan. Angka kejadian hepatotoksisitas rifampisin

berbeda di tiap negara (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Rifampisin 85% sampai 90% dimetabolisme di hepar dan sekitar 10%

penderita yang diberi rifampisin memperlihatkan peninggian faal hepar

(StritckerCH, 1985). Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hepar

yang umum pada tahap awal terapi (Kishore, dkk, 2010).

Kerusakan hepar oleh obat ini melalui 3 jalur:

1. Telah dikenal (predictable), tergantung besarnya dosis, dapat menyebabkan

gangguan Hepatic up take terhadap bilirubin, sulfobromoftalein dan asam

empedu. Efek ini reversibel.

2. Rifampisin dapat menjadi Microsomal enzym inducers sehingga dapat

meningkatkan efek hepatotoksik obat-obat yang tergolong metabolite related -

hepatotoxicity terutama isoniazid.

3. Rimfapisin dapat menimbulkan Viral like hepatitis (Suasono, B., 1985).

2.3.7. Hepatotoksik Karena Rifampisin

Obat anti tuberculosis yang bersifat hepatotoksik yaitu isoniazid,

rifampisin, dan pirazinamid. Faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah

dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, malnutrisi, konsumsi alkohol,

memiliki dasar penyakit hepar, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang

meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut,

serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya. Telah

dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan tuberkulosis

paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan

Page 17: BAB II

21

kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat

anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan

adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum < 3,5 gram/dl

dan tingkat penyakit sedang atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko

hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-

faktor klinis dan genetik. Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV

mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis empat sampai

lima kali lipat (Lee WM, 2003).

Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan fungsi hepar yang umum pada

tahap awal terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan

hepatotoksisitas berat, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan

memilih obat yang aman untuk hepar. Rifampisin menyebabkan peningkatan

transient dalam enzim hepar biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10-

15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin-induced

hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin

dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampisin (Kishore,

dkk, 2010).

2.4. Inflamasi

2.4.1. Mekanisme Inflamasi

Inflamasi atau peradangan merupakan salah satu mekanisme pertahanan

organisme dan jaringannya terhadap stimulus dari luar tubuh yang mengancam.

Stimulus dapat berupa bakteri ataupun benda asing lainnya (Silbernlagl dan Lang,

Page 18: BAB II

22

2000). Inflamasi adalah respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan yang terdiri

dari reaksi vascular, selular, dan sistemik. Respon terhadap kerusakan tersebut

berfungsi untuk mempertahankan homeostasis jaringan, maka proses kerusakan

dapat dilokalisasi dan dihambat penyebarannya (Abbas dan Litchman, 2004).

Proses inflamasi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu inflamasi akut dan

inflamasi kronik. Inflamasi akut ialah radang yang berlangsung relatif singkat,

dari beberapa menit sampai beberapa hari. Inflamasi akut ditandai oleh terjadinya

eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi sel leukosit neutrofilik yang

sangat prominen. Inflamasi kronik berlangsung lebih lama, berhari-hari sampai

bertahun-tahun. Inflamasi ini sangat khas ditandai oleh adanya influks limfosit

dan makrofag disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan

jaringan parut (Silbernagl dan Lang, 2000).

2.4.2. Mediator Inflamasi

Respon radang memiliki banyak komponen yang berperan. Komponen-

komponen tersebut meliputi sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding

pembuluh darah, dan sel serta matriks ekstraselular jaringan ikat. Sel-sel tersebut

saling bekerja sama dalam proses inflamasi (Kumar et al., 2005).

Mediator kimiawi pada inflamasi dihasilkan oleh sel yang mengalami jejas

atau dapat juga berupa faktor plasma. Peranan mediator kimia pada inflamasi akut

meliputi beberapa fungsi dalam dilatasi vaskular, peningkatan permeabilitas, dan

kemotaksis. Mediator kimia untuk peningkatan permeabilitas adalah histamin,

serotonin, bradikinin, prostaglandin, leukotrien, protease lisosomal dan oksigen

radikal. Sementara itu, mediator yang berperan dalam kemotaksis adalah

Page 19: BAB II

23

prostaglandin, leukotrien, komplemen 3b (opsonin), dan bradikinin (Riede dan

Werner, 2004).

2.5. Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α)

2.5.1. Definisi

Pada tahun 1985, Old et al., mengidentifikasi protein dari serum kelinci

yang dipapar dengan endotoxin dan diketahui bahwa protein tersebut bertanggung

jawab terhadap nekrosis hemoragik dari sel tumor. Protein tersebut kemudian

dinamai tumor necrosis factor (TNF-α). TNF-α disintesa dan disekresi sebagai

protein yang terikat membran dan setelah mengalami proses proteolitik dilepaskan

ke sirkulasi. Bentuk aktif TNF-α tersebut bertanggung jawab terhadap kematian

karena syok endotoksik (Qi and Pekala, 2000).

TNF-α merupakan sitokin multipotensial dengan bermacam-macam fungsi

biologis yaitu anti tumorgenesis, sitotoksik, inflamasi, dan imunologis (Schreyer,

1996; Diamond, 2002). TNF-α adalah salah satu sitokin proinflamasi yang

diproduksi oleh sel-sel imun dan sekarang diketahui juga diproduksi oleh jaringan

lemak (Lau et al., 2005). Sumber utama TNF-α adalah leukosit yang teraktivasi,

tetapi TNF-α juga disekresi oleh berbagai tipe sel imun termasuk makrofag, sel T,

B, NK, Kupffer maupun non imun seperti fibroblast, sel otot polos, astrosit, dan

neuron (Elkind et al., 2002). Pembentukan terjadi sebagai respons terhadap

rangsangan bakteri, virus, dan sitokin (GM-CSF, IL-1, IL-2, IFNƔ), kompleks

imun, komponen komplemen C5a dan reactive oxygen intermediates (ROI)

(Kresno, 2007). TNF mempunyai 2 reseptor yaitu TNFR1 dan TNFR2 (Qi and

Page 20: BAB II

24

Pekala, 2000). Peningkatan kadar TNF-α dan TNFR dapat terjadi pada berbagai

penyakit infeksi, inflamasi, autoimun, dan neoplasma (Elkind et al., 2002).

2.5.2. Peranan TNF-α dalam Mekanisme Inflamasi

TNF-α merupakan salah satu sitokin yang terdapat di dalam tubuh. Sitokin

adalah sejenis protein yang disekresikan oleh sel imun innate ataupun adaptive,

berfungsi dalam mediasi beberapa fungsi sel dan diproduksi sebagai respon sel

akibat dari respon imun terhadap adanya inflamasi (Kayser et al., 2005).

TNF-α berperan di dalam respon imun innate bersama dengan sitokin

lainnya yaitu IL-1, IL-12, dan IFNγ. TNF-α terutama dihasilkan oleh makrofag

dan sel NK (Natural Killer Cells) dan berperan terhadap agregasi makrofag di

pembuluh darah. TNF-α dapat memiliki efek lokal maupun sistemik dan berperan

dalam terjadinya penyakit sistemik, contohnya sepsis (Abbas dan Litchman,

2004). Selain itu, komponen bakteri, kompleks imun, toksin, kerusakan jaringan,

dan sitokin akan mengaktivasi makrofag dan menghasilkan sitokin TNF-α dan IL-

1 (Kumar et al., 2005). TNF-α memiliki beberapa sel target dan efek biologis

pada sel atau jaringan tersebut. Pada sel endotel TNF-α menyebabkan proses

inflamasi dan koagulasi. Akumulasi TNF-α di hipotalamus akan menyebabkan

demam sedangkan pada hepar akan meningkatkan sintesis protein fase akut

(Abbas dan Litchman, 2004).

Pada keadaan patologis, TNF-α dapat membahayakan tubuh karena

memiliki efek sistemik. Efek sistemik TNF-α dibedakan berdasarkan paparan

keadaan akut dan kronis. Efek tersebut dapat secara rinci dijelaskan pada tabel

2.3. berikut ini (Davidson, 2000).

Page 21: BAB II

25

Tabel 2.3 Perbedaan Efek Sistemik dari Paparan TNF-α

Akut Kronis

1. Shock dan kerusakan jaringan.

2. Pengeluaran hormon katabolik

3. Vascular leakage syndrome

4. Adult Respiratory Distress Disorder

5. Nekrosis organ gastrointestinal

6. Acute Renal Tubular Necrosis

7. Perdarahan adrenal

8. Potensial membran otot berkurang

9. DIC (Disseminated Intravascular

Coagulation)

10.Demam

1. Kehilangan berat badan

2. Anorexia

3. Katabolisme protein

4. Deplesi lemak

5. Hepatosplenomegali

6. Inflamasi subendocardial

7. Resistensi insulin

8. Metastase suatu tumor meningkat

9. Pengeluaran protein fase akut

10.Aktivasi endotel

(Davidson, 2000)

2.5.3. Peranan TNF-α dan Radikal Bebas dalam Inflamasi Hepar

Kematian sel hepar atau hepatosit terjadi karena adanya stressor seperti

iskemia, cholestasis, dan drug toxicity yang dapat menimbulkan respon inflamasi

oleh sel-sel imun innate melalui pelepasan damage-associated molecular patterns

(DAMPs). Respon inflamasi yang sama juga dapat disebabkan oleh pathogen-

associated molecular patterns (PAMPs) contohnya endotoxin. DAMPs dan

PAMPs mengaktivasi melalui toll-like receptors pada makrofag (sel Kupffer) dan

recruit activated neutrofil dan monosit ke hepar. Inti dari respon inflamasi ini

adalah peningkatan pembentukan ROS dari fagosit-fagosit. ROS ialah mediator

toxic utama yang digunakan sel-sel inflamasi membunuh targetnya, contohnya

bakteri selama dalam host defense tapi juga hepatosit dan sel-sel hepar lainnya

seperti pada gambar 2.9. (Jaeschke, 2011).

Page 22: BAB II

26

Gambar 2.9. Mekanisme Respon Inflamasi oleh Cellular Stress (Jaeschke, 2011).

Mekanisme ROS menginduksi kematian sel selama terjadinya inflamasi

melibatkan peningkatan dari disfungsi mitokondria oleh intracellular oxidant

stress pada hepatosit yang akan berujung pada oncotic necrosis dan sedikit

apoptosis. Dengan adanya pelepasan dari isi atau kandungan dari sel semakin

memperberat luka inflamasi (Jaeschke, 2011).