bab ii
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sirsak (Annona muricata Linn.)
2.1.1. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta (tanaman berbiji tertutup)
Sub Divisio : Angiospermae (tanaman berbunga)
Class : Dicotyledonae
Ordo : Polycarpiceae
Famili : Annonaceae
Genus : Annona
Species : Annona muricata L Gambar 2.1. Buah Sirsak
Nama lain : Sirsak (Indonesia)
Asal-usul : Berasal dari Amerika Selatan (Zaif, 2009)
Nama daerah : Sirsat, nangka londa (Jawa); nangka walanda (Sunda);
nangka buris (Madura); srikaya jawa (Bali); deureuyan
belanda (Aceh); durian betawi (Minangkabau); jambu
landa (Lampung); lange lo walanda (Gorontalo).
Tanaman sirsak memiliki batang keras dengan tinggi mencapai 10 meter.
Tanaman ini dapat tumbuh di sembarang tempat. Untuk memperoleh hasil buah
yang besar dan banyak, sirsak ideal ditanam di daerah yang tanahnya cukup
mengandung air dan di ketinggian kurang dari 1.000 m dpl. Pohon sirsak tumbuh
dengan cepat dan mulai berbuah pada umur 3-5 tahun sedangkan yang ditanam
5
![Page 2: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/2.jpg)
6
dari okulasi mulai berbuah pada umur 2-3 tahun. Hasil buah sirsak rata-rata 20
buah/pohon per tahun dengan bobot berkisar 10-60 kg (Suranto, 2011).
Buah yang matang, berbentuk bulat telur melebar atau mendekati jorong,
berukuran (10-20) cm x (15-35) cm, berwarna hijau tua dan tertutup oleh duri-duri
lunak yang panjangnya sampai 6 mm, daging buah yang berwarna putih dan
penuh dengan sari buah. Bijinya banyak, berbentuk bulat telur sungsang,
berukuran 2 cm x 1 cm, berwarna coklat kehitaman, berkilap (Zaif, 2009). Berat
buah sirsak bermacam-macam, mulai dari 500-800 gram bahkan beratnya ada
yang mencapai 1.200 gram (Hasnawati, 2012).
2.1.2. Kandungan dan Manfaat Sirsak (Annona muricata L.)
Pada tanaman sirsak, mulai dari akar hingga bunga, buah, daun, maupun
kayunya memiliki khasiat yang bermanfaat baik untuk tubuh. Dalam beberapa
riset dinyatakan bahwa kandungan pada seluruh bagian tanaman sirsak hampir
memiliki khasiat dan kegunaan yang sama, dikarenakan kandungan vitamin,
mineral dan senyawa aktif yang terkandung pada akar juga terdapat pada daun
(Zaif, 2009). Kandungan Gizi per 100 gram buah sirsak dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 2. 1: Kandungan Gizi per 100 Gram Buah Sirsak
Kandungan Jumlah Kandungan JumlahEnergi 65,00 kal Besi 0,60 mg Protein 1,00 gr Vitamin A 1,00 RELemak 0,30 gr Vitamin B1 0,07 mg Karbohidrat 16,30 gr Vitamin B2 0,04 mg Kalsium 14,00 mg Vitamin C 20,00 mgFosfor 27,00 mg Niacin 0,70 mgSerat 2,00 gr
(Hasnawati, 2012)
![Page 3: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/3.jpg)
7
Kandungan zat gizi terbanyak dalam buah sirsak adalah karbohirat, yaitu
sekitar 68% dari seluruh bagian padat daging buahnya. Sirsak juga mengandung
berbagai vitamin, antara lain vitamin A, B, dan C. Lemak yang terkandung dalam
buah sirsak sangat sedikit (0,3/100 g) sehingga baik untuk kesehatan (Suranto,
2011).
Buah sirsak kaya akan fitonutrien dan fitokimia. Berbagai riset
menunjukkan bahwa sirsak kaya antioksidan yang sangat bermanfaat untuk
menjaga kesehatan dan mengobati penyakit. Antioksidan yang terkandung dalam
buah sirsak antara lain adalah vitamin C. Pada penyarian buah sirsak, kandungan
vitamin C dalam setiap 100 g buah sirsak sebesar 20 mg. Dengan mengkonsumsi
300 g buah sirsak setiap harinya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin
C harian (Suranto, 2011). Untuk mendapatkan sarinya yang kaya akan vitamin C,
maka dilakukan pemerasan buah untuk memisahkan seratnya dan penyaringan
sehingga didapatkan cairan sari buah sirsak tanpa penambahan air. Sebagai hasil
penyarian, kandungan terbesar pada sari buah sirsak ialah vitamin C. Selain
vitamin C, terdapat vitamin A, B1, E, dan senyawa golongan phenol (Lim, 2012).
Mekanisme kerja vitamin C sebagai antioksidan, yaitu menangkap dan meredam
zat-zat berbahaya yang dapat membahayakan dan merusak sel tubuh (Suranto,
2011).
2.1.3. Daun Sirsak
Daun sirsak berbentuk bulat telur agak tebal dan pada permukaan bagian
atas yang halus berwarna hijau tua sedang pada bagian bawahnya mempunyai
warna lebih muda. Daun berbentuk lonjong-bundar telur sungsang, berukuran (8-
![Page 4: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/4.jpg)
8
16) cm x (3-7) cm, ujungnya lancip pendek, tangkai daun panjangnya 3-7 mm
(Zaif, 2009).
Sirsak memiliki daun yang cukup banyak dalam tiap pohonnya. Jumlahnya
bervariasi, bergantung besar kecilnya ranting. Daun sirsak umumnya memiliki
aroma yang kurang sedap (langu). Hal tersebut mengakibatkan kecil kemungkinan
tanaman ini diserang serangga maupun hama (Hasnawati, 2012).
Banyak komponen dan fitokimia yang terkandung dalam daun sirsak,
seperti penelitian-penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1940. Beberapa
penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berbeda menyatakan bahwa daun
sirsak bermanfaat untuk hipotensi, antispasmodik, antikonvulsan, vasodilator,
smooth-muscle relaxant, dan kardiodepressan pada hewan coba (Carbajal,1991).
Gambar 2.2. Daun Sirsak
Daun sirsak mengandung acetogenesis, annocatacin, annocatalin,
annohexocin, annonacin, annomuricin, anomurine, caclourine, gentisic acid,
gigantetronin, linoleic acid, muricapentocin. Daun sirsak digunakan untuk
mencegah dan mengobati arthritis, asthenia, bronchitis, kolik, batuk, diabetes,
diuretic, disentri, demam, influenza, hipertensi, gangguan pencernaan dan hati,
infeksi, malaria, reumatik, kejang, obat penenang, dan tumor (Zeng L, 1996).
Selain mengandung senyawa monotetrahidrofuran asetogenin, seperti anomurisin
A dan B, gigantetrosin A, annonasin-10-one, murikatosin A dan B, annonasin, dan
![Page 5: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/5.jpg)
9
goniotalamisin, daun sirsak juga mengandung senyawa tanin, fitosterol, kalsium
oksalat, serta alkaloid murisin (Suranto, 2011).
Studi uji fitofarmaka terdahulu menggunakan metode perebusan daun
dimana zat aktif yang banyak keluar adalah flavonoid (Wiryowidagdo, 2005).
Senyawa flavonoida sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk
daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji (Markham, 1988). Akan
tetapi, metode perebusan yang tak lepas dari proses pemanasan dapat
menyebabkan kandungan vitamin menjadi rusak (Dalimartha, 2005). Kandungan
flavanoid dalam daun sirsak memiliki efek anti inflamasi (Kalsum, 2000).
Senyawa flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti
fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar flavonoida
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.3. Struktur Senyawa Flavanoid (Sastrohamidjojo, 1996)
2.2. Hepar
2.2.1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar pada tubuh, sekitar 2 persen berat tubuh
total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa (Guyton, 2007). Hepar
merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang terletak
di bagian teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma.
Hepar terbagi menjadi dua lobus, yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak
![Page 6: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/6.jpg)
10
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falciformis yang terlihat dari luar (Lindseth, dalam Price, et al,
2006).
Gambar 2.4. Penampang Anterior dan Posterior Hepar(Encyclopedia Britannica, 2010)
2.2.2. Fisiologi Hepar
Fungsi dasar hepar dapat terbagi menjadi beberapa hal, antara lain fungsi
vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang
berhubungan dengan sebagian besar sistim metabolisme tubuh, dan fungsi sekresi
yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke
saluran pencernaan. Dalam fungsi vaskularnya, hepar berfungsi sebagai
penyimpanan darah. Hal ini dikarenakan hepar merupakan suatu organ yang dapat
diperluas, sejumlah darah dapat disimpan di dalam pembuluh darah hepar. Hepar
memiliki aliran limfe yang sangat tinggi karena pori dalam sinusoid hepar sangat
permeabel dan memungkinkan terbentuknya limfe dalam jumlah besar. Selain itu
di hepar juga terdapat sel Kupffer (derivat sistim retikuloendotelial atau monosit-
makrofag) yang juga berfungsi menyaring darah dan mampu memfagositosis
bakteri serta benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton, 2007).
Fungsi metabolisme hepar dibagi menjadi metabolisme karbohidrat,
lemak, protein, lemak, hormon, dan zat kimia asing. Dalam metabolisme
![Page 7: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/7.jpg)
11
karbohidrat, hepar berfungsi untuk menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan
membentuk senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat. Dalam
metabolisme lemak, hepar berfungsi mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai
energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian
besar lipoprotein, dan sintesis lemak dari protein dan karbohidrat. Dalam
metabolisme protein, hepar berfungsi dalam proses deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam diantara asam amino serta sintesis
senyawa lain dari asam amino (Guyton, 2007).
Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat
yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-
kehijauan. Bilirubin merupakan hasil akhir dari pemecahan hemoglobin. Bilirubin
juga merupakan suatu alat yang sangat bernilai dalam mendiagnosis penyakit
darah hemolitik dan berbagai tipe penyakit hati (Guyton, 2007).
2.3. Rifampisin Drug-induced Hepatotoxicity
2.3.1. Metabolisme Obat
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic
reticulum dan di sitosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah :
dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, dan lumen kolon. Tujuan
metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
![Page 8: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/8.jpg)
12
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah
menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik
(Setiawati, 2008).
Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase
I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih
polar, sehingga menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Sedangkan reaksi
fase II merupakan rekasi konyugasi dengan substrat endogen: asam glukoronat,
asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar,
dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus
polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, agar dapat
bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II (Setiawati, 2008).
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim sitokrom
P450 (CYP), disebut juga enzim mono-oksigenase, dalam retikulum endoplasma
hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tapi hanya
beberapa yang penting untuk metabolisme obat. Enzim-enzim tersebut (~70% dari
total CYP dalam hati) adalah :
CYP3A4/5 (~30% dari total CYP dalam hati) : memetabolisme ~50% obat
untuk manusia, jadi merupakan enzim metabolisme yang terpenting.
CYP2C (~20%) : CYP2C8/9 dan CYP2C19 (CYP2C8/9 memetabolisme
~15% obat).
CYP1A1/2 (~12-13%) : disebut sitokrom P448, memetabolisme ~5% obat.
Selanjutnya, reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidase melalui
enzim UDP-glukoronil-transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom
![Page 9: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/9.jpg)
Obat-obatan
Sebagian besar bersifat lipofilik
Saat masuk ke dalam sal. pencernaan, dapat menembus membran sel intestinal
Masuk ke dalam hepar(proses metabolisme secara biokimiawi, sehingga obat menjadi lebih hidrofilik)
Di dalam hepatosit terjadi metabolisme obat melalui jalur oksidasi(melibatkan enzim sitokrom P-450)
Obat dikonjugasi menjadi glukoronida atau sulfat atau glutation
Masuk ke dalam plasma ataupun empedu melalui membran hepatosit secara protein transport
Disekresikan melalui ginjal atau saluran pencernaan
13
hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi
konyugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konyugasi dengan glutation) terjadi dalam
sitosol (Setiawati, 2008).
Pada reaksi fase I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen
dan sebagai kofaktor, NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya
hidroksil radikal. Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi
suatu molekul reaktif yang lebih toksik daripada molekul awal. Apabila molekul
reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu fase II (konjugasi),
dapat menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel (Liska,
1998). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini
dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada
substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hepar (Mehta, Nilesh, 2010).
Gambar 2.5. Metabolisme obat
![Page 10: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/10.jpg)
14
Tabel 2.2: Obat-obat yang Menginduksi dan Menghambat Enzim Sitokrom P-450
Induksi Inhibisi
FenobarbitalFenitoinKarbamazepinPrimidoneEthanolRifampisinGlukokortikoidQuinin
AmiodaroneCimetidineErithromisinIsoniazidKetokonazole
(Mehta, Nilesh, 2010)
2.3.2. Hepatotoksin
Mekanisme jejas hepar imbas obat yang mempengaruhi protein transport
pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit
imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hepar karena
gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi fassitoplasmik
ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan
memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang menghasilkan reaksi-reaksi
energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga
menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini
bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai
imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik ke sel T, merangsang respon imun
multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Cedera pada
hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi
xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hepar atau ditimbulkan oleh mekanisme
imunologik, hal tersebut biasanya diakibatkan oleh obat atau metabolitnya berlaku
![Page 11: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/11.jpg)
15
sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen (Bayupurnama,
2006).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik)
dan tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik
tergantung pada pejamu terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap
antigen dan kecepatan memetabolisme penyebab (Bayupurnama, 2006).
1. Hepatotoksin Intrinsik
Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi,
tergantung dosis dan individu yang menggunakan obat atau senyawa tertentu
dalam jumlah tertentu. Rentang waktu mulainya dan timbulnya kerusakan hepar
sangat bervariasi dari beberapa jam sampai beberapa minggu (Aslam, dkk., 2003).
2. Hepatotoksin Idiosinkratik
Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat
diprediksi, terkait dengan hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon
dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis. Masa
inkubasi toksin ini bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Contoh obatnya seperti sulfonamid, isoniazid, rifampisin, halotan dan
klorpromazin (Aslam, dkk., 2003).
Kerusakan sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler
yang terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang
dipengaruhi melalui 6 cara: (Navarro, 2006)
![Page 12: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/12.jpg)
16
a. Kerusakan hepatosit: ikatan kovalen obat ke protein intraseluler dapat
menyebabkan penurunan ATP dan gangguan aktin. Kegagalan perakitan
benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya
membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport: obat yang mempengaruhi protein transport di
membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses
pembentukan vili dan gangguan pompa transport dapat menghambat ekskresi
bilirubin, sehingga menyebabkan kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik: ikatan kovalen obat pada enzim P-450 dianggap
imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun
multifaset.
d. Apoptosis hepatosit: aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-α
menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada
kematian sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria: beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan
efek ganda pada α-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara
menghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide
adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim
rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris: metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat
menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris.
![Page 13: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/13.jpg)
17
Gambar 2.6. Mekanisme hepatotoksisitas (Lee,W. M., 2003)
2.3.3. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah spesies kimia yang dapat bereaksi dengan komponen
biomolekul di dalam tubuh. Reaktifitas radikal bebas disebabkan oleh hilangnya
satu elektron atau lebih pada orbital terluar suatu atom atau molekul (Suhartono,
dkk., 2007). Radikal bebas akan berinteraksi dengan bagian tubuh maupun sel–sel
tertentu yang tersusun atas lemak, protein, karbohidrat, DNA, dan RNA yang
bersifat destruktif dan memicu berbagai penyakit (Reynertson, 2007).
Radikal bebas secara alami diproduksi dalam tubuh kita melalui proses
metabolik oksidatif, aktivasi sistim imun (sebagai contoh makrofag menggunakan
hidrogen peroksida untuk membunuh bakteri dan benda asing), detoksifikasi obat
dan pembentukan oksida nitrit yang sangat penting dalam relaksasi pembuluh
darah (Moncada and Higgs, 2001). Selain itu, makhluk hidup selalu memproduksi
radikal bebas sebagai produk samping dari proses pembentukan energi. Energi
![Page 14: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/14.jpg)
18
diperoleh dari metabolisme dengan mengoksidasi zat-zat makanan, seperti
karbohidrat, lemak, dan protein. Zat-zat itu dikonversi menjadi senyawa pengikat
energi atau Adenosin Triphospat (ATP) melalui proses metabolisme dengan
bantuan oksigen. Dalam proses oksidasi itulah radikal bebas (ROS), yaitu anion
superoksida dan radikal hidroksil ikut terproduksi (Arief, 2002).
Sumber radikal bebas dari dalam tubuh (endogen) terbentuk sebagai sisa
proses metabolisme protein, karbohidrat dan lemak yang kita konsumsi. Radikal
bebas dari luar tubuh (eksogen) berasal dari polusi udara, asap kendaraan
bermotor, asap rokok, berbagai bahan kimia termasuk obat, makanan terlalu
hangus (carbonated) dan sebagainya (Soegianto, 2008).
2.3.4. Rifampisin
Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu
anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin (Gambar 2.7).
Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan
ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH nya asam. Derivat
rifamisin lainnya ialah rifabutin dan rifapentin (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Rifampisin dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan Mycobacteria
tuberculosis dan Mycobacteria leprae. Rifampin dapat menyebabkan kerusakan
hepar dan menginduksi enzim hepar yang tampak pada gambar 2.8 (Lüllmann, et.
Al. 2000). Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya
menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mitokondria dan
mikroorganisme lain dengan menekan terbentuknya rantai dalam sintesis RNA
(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
![Page 15: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/15.jpg)
19
Gambar 2.7. Struktur kimia rifampisin (Lüllmann, et. Al. 2000)
Gambar 2.8. Mekanisme kerja Rifampisin (Lüllmann, et. Al. 2000)
2.3.5. Farmakokinetik Rifampisin
Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma
setelah 2-4 jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat cepat dieksresikan
melalui empedu dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi
rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada
kelainan fungsi hepar. Obat ini akan berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk
ke cairan otak. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh, luasnya distribusi
rifampisin tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah, sputum,
air mata dan keringat sehingga pasien harus diberi tahu akan hal tersebut
(Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
2.3.6. Efek Samping Rifampisin
Rifampisin paling sering menimbulkan ruam kulit, demam, mual, dan
muntah. SGOT dan aktivitas fosfatase alkali yang meningkat akan menurun
![Page 16: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/16.jpg)
20
kembali jika pengobatan dihentikan. Angka kejadian hepatotoksisitas rifampisin
berbeda di tiap negara (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Rifampisin 85% sampai 90% dimetabolisme di hepar dan sekitar 10%
penderita yang diberi rifampisin memperlihatkan peninggian faal hepar
(StritckerCH, 1985). Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hepar
yang umum pada tahap awal terapi (Kishore, dkk, 2010).
Kerusakan hepar oleh obat ini melalui 3 jalur:
1. Telah dikenal (predictable), tergantung besarnya dosis, dapat menyebabkan
gangguan Hepatic up take terhadap bilirubin, sulfobromoftalein dan asam
empedu. Efek ini reversibel.
2. Rifampisin dapat menjadi Microsomal enzym inducers sehingga dapat
meningkatkan efek hepatotoksik obat-obat yang tergolong metabolite related -
hepatotoxicity terutama isoniazid.
3. Rimfapisin dapat menimbulkan Viral like hepatitis (Suasono, B., 1985).
2.3.7. Hepatotoksik Karena Rifampisin
Obat anti tuberculosis yang bersifat hepatotoksik yaitu isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid. Faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah
dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, malnutrisi, konsumsi alkohol,
memiliki dasar penyakit hepar, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang
meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut,
serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya. Telah
dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan tuberkulosis
paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan
![Page 17: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/17.jpg)
21
kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko hepatotoksisitas karena obat
anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan
adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum < 3,5 gram/dl
dan tingkat penyakit sedang atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko
hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-
faktor klinis dan genetik. Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV
mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis empat sampai
lima kali lipat (Lee WM, 2003).
Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan fungsi hepar yang umum pada
tahap awal terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
hepatotoksisitas berat, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan
memilih obat yang aman untuk hepar. Rifampisin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hepar biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10-
15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin-induced
hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin
dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampisin (Kishore,
dkk, 2010).
2.4. Inflamasi
2.4.1. Mekanisme Inflamasi
Inflamasi atau peradangan merupakan salah satu mekanisme pertahanan
organisme dan jaringannya terhadap stimulus dari luar tubuh yang mengancam.
Stimulus dapat berupa bakteri ataupun benda asing lainnya (Silbernlagl dan Lang,
![Page 18: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/18.jpg)
22
2000). Inflamasi adalah respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan yang terdiri
dari reaksi vascular, selular, dan sistemik. Respon terhadap kerusakan tersebut
berfungsi untuk mempertahankan homeostasis jaringan, maka proses kerusakan
dapat dilokalisasi dan dihambat penyebarannya (Abbas dan Litchman, 2004).
Proses inflamasi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu inflamasi akut dan
inflamasi kronik. Inflamasi akut ialah radang yang berlangsung relatif singkat,
dari beberapa menit sampai beberapa hari. Inflamasi akut ditandai oleh terjadinya
eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi sel leukosit neutrofilik yang
sangat prominen. Inflamasi kronik berlangsung lebih lama, berhari-hari sampai
bertahun-tahun. Inflamasi ini sangat khas ditandai oleh adanya influks limfosit
dan makrofag disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan
jaringan parut (Silbernagl dan Lang, 2000).
2.4.2. Mediator Inflamasi
Respon radang memiliki banyak komponen yang berperan. Komponen-
komponen tersebut meliputi sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding
pembuluh darah, dan sel serta matriks ekstraselular jaringan ikat. Sel-sel tersebut
saling bekerja sama dalam proses inflamasi (Kumar et al., 2005).
Mediator kimiawi pada inflamasi dihasilkan oleh sel yang mengalami jejas
atau dapat juga berupa faktor plasma. Peranan mediator kimia pada inflamasi akut
meliputi beberapa fungsi dalam dilatasi vaskular, peningkatan permeabilitas, dan
kemotaksis. Mediator kimia untuk peningkatan permeabilitas adalah histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin, leukotrien, protease lisosomal dan oksigen
radikal. Sementara itu, mediator yang berperan dalam kemotaksis adalah
![Page 19: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/19.jpg)
23
prostaglandin, leukotrien, komplemen 3b (opsonin), dan bradikinin (Riede dan
Werner, 2004).
2.5. Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α)
2.5.1. Definisi
Pada tahun 1985, Old et al., mengidentifikasi protein dari serum kelinci
yang dipapar dengan endotoxin dan diketahui bahwa protein tersebut bertanggung
jawab terhadap nekrosis hemoragik dari sel tumor. Protein tersebut kemudian
dinamai tumor necrosis factor (TNF-α). TNF-α disintesa dan disekresi sebagai
protein yang terikat membran dan setelah mengalami proses proteolitik dilepaskan
ke sirkulasi. Bentuk aktif TNF-α tersebut bertanggung jawab terhadap kematian
karena syok endotoksik (Qi and Pekala, 2000).
TNF-α merupakan sitokin multipotensial dengan bermacam-macam fungsi
biologis yaitu anti tumorgenesis, sitotoksik, inflamasi, dan imunologis (Schreyer,
1996; Diamond, 2002). TNF-α adalah salah satu sitokin proinflamasi yang
diproduksi oleh sel-sel imun dan sekarang diketahui juga diproduksi oleh jaringan
lemak (Lau et al., 2005). Sumber utama TNF-α adalah leukosit yang teraktivasi,
tetapi TNF-α juga disekresi oleh berbagai tipe sel imun termasuk makrofag, sel T,
B, NK, Kupffer maupun non imun seperti fibroblast, sel otot polos, astrosit, dan
neuron (Elkind et al., 2002). Pembentukan terjadi sebagai respons terhadap
rangsangan bakteri, virus, dan sitokin (GM-CSF, IL-1, IL-2, IFNƔ), kompleks
imun, komponen komplemen C5a dan reactive oxygen intermediates (ROI)
(Kresno, 2007). TNF mempunyai 2 reseptor yaitu TNFR1 dan TNFR2 (Qi and
![Page 20: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/20.jpg)
24
Pekala, 2000). Peningkatan kadar TNF-α dan TNFR dapat terjadi pada berbagai
penyakit infeksi, inflamasi, autoimun, dan neoplasma (Elkind et al., 2002).
2.5.2. Peranan TNF-α dalam Mekanisme Inflamasi
TNF-α merupakan salah satu sitokin yang terdapat di dalam tubuh. Sitokin
adalah sejenis protein yang disekresikan oleh sel imun innate ataupun adaptive,
berfungsi dalam mediasi beberapa fungsi sel dan diproduksi sebagai respon sel
akibat dari respon imun terhadap adanya inflamasi (Kayser et al., 2005).
TNF-α berperan di dalam respon imun innate bersama dengan sitokin
lainnya yaitu IL-1, IL-12, dan IFNγ. TNF-α terutama dihasilkan oleh makrofag
dan sel NK (Natural Killer Cells) dan berperan terhadap agregasi makrofag di
pembuluh darah. TNF-α dapat memiliki efek lokal maupun sistemik dan berperan
dalam terjadinya penyakit sistemik, contohnya sepsis (Abbas dan Litchman,
2004). Selain itu, komponen bakteri, kompleks imun, toksin, kerusakan jaringan,
dan sitokin akan mengaktivasi makrofag dan menghasilkan sitokin TNF-α dan IL-
1 (Kumar et al., 2005). TNF-α memiliki beberapa sel target dan efek biologis
pada sel atau jaringan tersebut. Pada sel endotel TNF-α menyebabkan proses
inflamasi dan koagulasi. Akumulasi TNF-α di hipotalamus akan menyebabkan
demam sedangkan pada hepar akan meningkatkan sintesis protein fase akut
(Abbas dan Litchman, 2004).
Pada keadaan patologis, TNF-α dapat membahayakan tubuh karena
memiliki efek sistemik. Efek sistemik TNF-α dibedakan berdasarkan paparan
keadaan akut dan kronis. Efek tersebut dapat secara rinci dijelaskan pada tabel
2.3. berikut ini (Davidson, 2000).
![Page 21: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/21.jpg)
25
Tabel 2.3 Perbedaan Efek Sistemik dari Paparan TNF-α
Akut Kronis
1. Shock dan kerusakan jaringan.
2. Pengeluaran hormon katabolik
3. Vascular leakage syndrome
4. Adult Respiratory Distress Disorder
5. Nekrosis organ gastrointestinal
6. Acute Renal Tubular Necrosis
7. Perdarahan adrenal
8. Potensial membran otot berkurang
9. DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)
10.Demam
1. Kehilangan berat badan
2. Anorexia
3. Katabolisme protein
4. Deplesi lemak
5. Hepatosplenomegali
6. Inflamasi subendocardial
7. Resistensi insulin
8. Metastase suatu tumor meningkat
9. Pengeluaran protein fase akut
10.Aktivasi endotel
(Davidson, 2000)
2.5.3. Peranan TNF-α dan Radikal Bebas dalam Inflamasi Hepar
Kematian sel hepar atau hepatosit terjadi karena adanya stressor seperti
iskemia, cholestasis, dan drug toxicity yang dapat menimbulkan respon inflamasi
oleh sel-sel imun innate melalui pelepasan damage-associated molecular patterns
(DAMPs). Respon inflamasi yang sama juga dapat disebabkan oleh pathogen-
associated molecular patterns (PAMPs) contohnya endotoxin. DAMPs dan
PAMPs mengaktivasi melalui toll-like receptors pada makrofag (sel Kupffer) dan
recruit activated neutrofil dan monosit ke hepar. Inti dari respon inflamasi ini
adalah peningkatan pembentukan ROS dari fagosit-fagosit. ROS ialah mediator
toxic utama yang digunakan sel-sel inflamasi membunuh targetnya, contohnya
bakteri selama dalam host defense tapi juga hepatosit dan sel-sel hepar lainnya
seperti pada gambar 2.9. (Jaeschke, 2011).
![Page 22: BAB II](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062407/55cf9bce550346d033a77445/html5/thumbnails/22.jpg)
26
Gambar 2.9. Mekanisme Respon Inflamasi oleh Cellular Stress (Jaeschke, 2011).
Mekanisme ROS menginduksi kematian sel selama terjadinya inflamasi
melibatkan peningkatan dari disfungsi mitokondria oleh intracellular oxidant
stress pada hepatosit yang akan berujung pada oncotic necrosis dan sedikit
apoptosis. Dengan adanya pelepasan dari isi atau kandungan dari sel semakin
memperberat luka inflamasi (Jaeschke, 2011).