bab i pendahuluan pembangunan dan pengembangan kota

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan kota seperti pembangunan jalan, permukiman, pertokoan, mal, hingga hotel tentunya sangat menguntungkan jika dilihat dari sisi perekonomian. Namun, pembangunan seringkali tidak memperhatikan dari aspek lingkungan. Perkembangan kota menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sehingga diperlukan penataan ruang agar tetap terjaga keseimbangan antara perekonomian dan lingkungan. Penataan ruang merupakan suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010). Salah satu hal yang penting dalam penataan ruang adalah penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 adalah area memanjang/jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Fungsi RTH selain untuk menambah keindahan kota juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. RTH dapat menciptakan suhu udara yang lebih sejuk, mengurangi polusi, menjaga ketersediaan air tanah, serta mengurangi resiko terjadinya banjir. Oksigen yang dihasilkan oleh tanaman dibutuhkan oleh manusia, hewan, dan kendaraan. Kendaraan membutuhkan oksigen dalam proses pembakaran untuk mengubah energi kimia dari bahan bakar fosil menjadi energi kinetik, sedangkan manusia dan hewan membutuhkan oksigen dalam proses metabolisme tubuh. Pembakaran dan metabolisme tubuh akan menghasilkan karbon yang kemudian diserap kembali oleh tanaman untuk proses fotosintesis sehingga tanaman berperan penting dalam menjaga keseimbangan kadar oksigen ( O ) dan karbondikosida ( CO ). Namun, kondisi jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya yang juga diiringi dengan pertambahan

Upload: others

Post on 06-Feb-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan dan pengembangan kota seperti pembangunan jalan,

permukiman, pertokoan, mal, hingga hotel tentunya sangat menguntungkan jika

dilihat dari sisi perekonomian. Namun, pembangunan seringkali tidak

memperhatikan dari aspek lingkungan. Perkembangan kota menyebabkan

terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan

penurunan kualitas lingkungan sehingga diperlukan penataan ruang agar tetap

terjaga keseimbangan antara perekonomian dan lingkungan. Penataan ruang

merupakan suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang (Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010).

Salah satu hal yang penting dalam penataan ruang adalah penyediaan dan

pemanfaatan ruang terbuka hijau.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No. 05/PRT/M/2008 adalah area memanjang/jalur atau mengelompok, yang

penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman secara alamiah

maupun yang sengaja ditanam. Fungsi RTH selain untuk menambah keindahan kota

juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. RTH dapat menciptakan

suhu udara yang lebih sejuk, mengurangi polusi, menjaga ketersediaan air tanah,

serta mengurangi resiko terjadinya banjir. Oksigen yang dihasilkan oleh tanaman

dibutuhkan oleh manusia, hewan, dan kendaraan. Kendaraan membutuhkan

oksigen dalam proses pembakaran untuk mengubah energi kimia dari bahan bakar

fosil menjadi energi kinetik, sedangkan manusia dan hewan membutuhkan oksigen

dalam proses metabolisme tubuh. Pembakaran dan metabolisme tubuh akan

menghasilkan karbon yang kemudian diserap kembali oleh tanaman untuk proses

fotosintesis sehingga tanaman berperan penting dalam menjaga keseimbangan

kadar oksigen (O�) dan karbondikosida (CO�). Namun, kondisi jumlah penduduk

yang terus meningkat setiap tahunnya yang juga diiringi dengan pertambahan

2

jumlah kendaraan bermotor yang melintas di jalan dapat mempengaruhi

berkurangnya suplai oksigen di perkotaan.

Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Provinsi

ini jika dilihat dari sisi luasannya memang tergolong sempit dibanding dengan

provinsi lain, yaitu 3.185,80 km� atau 0,17% dari luas Indonesia (BPS, 2020).

Namun, adanya berbagai macam wisata dan fasilitas pendidikan yang tersedia

membuat provinsi ini dikenal baik oleh masyarakat Indonesia. Jika dilihat dari sisi

wisata, setiap tahunnya kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara

mengalami kenaikan. Jumlah wisatawan mancanegara pada tahun 2018 mengalami

kenaikan sebesar 7,42% dan jumlah wisatawan nusantara mengalami kenaikan

41,6% dibanding pada tahun 2017 (Dinas Pariwisata Provinsi Yogyakarta, 2018).

Provinsi Yogyakarta terbagi menjadi 5 kabupaten/kota. Menurut Undang-

Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan perkotaan adalah

wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi

kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kota

Yogyakarta merupakan ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga

tidak mengherankan jika kegiatan penduduk terpusat pada kawasan ini. Kota

Yogyakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, yakni sebesar 12,74 jiwa/km� (BPS, 2020).

Provinsi Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar sejak berdirinya

UGM pada tahun 1949. Pada Kota Yogyakarta terdapat SD dengan jumlah 244

bangunan, SMP negeri 16 bangunan, SMP swasta 45 bangunan, SMA negeri 18

bangunan, SMA swasta 63 bangunan, universitas 27 bangunan. Jumlah yang paling

mendominasi dan berpengaruh terhadap pertumbuhan bangunan di Kota

Yogyakarta tentunya adalah mahasiwa. Terdapat peningkatan jumlah mahasiswa

setiap tahunnya. tahun 2017-2018 nengalami peningkatan sebesar 10.081 jiwa

dengan tahun 2017 sebanyak 139.455 jiwa dan tahun 2018 sebanyak 149.536 jiwa

(BPS, 2020).

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan angka wisatawan,

kebutuhan akan sarana dan prasarana kota juga semakin tinggi. Hal tersebut

3

mengakibatkan tingkat alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun semakin

tinggi. Pembangunan di wilayah perkotaan ini terus meningkat sebagai upaya untuk

menyokong berbagai kegiatan yang ada. Selama periode 2010 – 2019, terjadi

penambahan luasan lahan terbangun seluas 25 hektar atau rata-rata 2,5 hektar

pertahun (BPN, 2020 dalam BPS, 2020). Grafik luas lahan terbangun di Kota

Yogyakarta tahun 2010-2019 dapat dilihat pada gambar 1.1.

Gambar 1. 1 Grafik Luas Lahan Terbangun Kota Yogyakarta Tahun 2010-2019

Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta

Penelitian yang telah dilakukan Oleh Budiman, dkk (2014) menjelaskan

bahwa dalam kurun waktu 41 tahun RTH di Kota Yogyakarta mengalami

penurunan. Pada tahun 1972 seluas 14,30 km� menjadi 10,40 km� pada tahun 2013

atau mengalami penurunan sebesar 28% atau 1,5 % per tahun. Penelitian yang

dilakukan oleh Ika & M.Sani (2019) menjelaskan bahwa pada tahun 2017 Kota

Yogyakarta memiliki RTH seluas 3,57 km� atau 11% dari wilayah keseluruhan

Kota Yogyakarta. Jumlah ketersedian RTH tersebut tentu saja belum memenuhi

ketersediaan RTH berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang

penataan ruang bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH.

Informasi mengenai persebaran RTH sangat erat kaitannya dengan lokasi

sehingga informasi tersebut akan sangat efektif apabila disajikan dalam bentuk peta.

Pengukuran ketersediaan RTH tentu sangat penting demi keberlanjutan Kota

Yogyakarta. Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif yang dapat

4

digunakan dalam pemetaan persebaran RTH. Data penginderaan jauh yang

digunakan untuk interpretasi ini adalah citra Quickbird Tahun 2017. Citra ini

termasuk dalam Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi (CSRST) dengan resolusi

spasial sebesar 2,4 m pada saluran multispektral dan 0,6 m pada saluran

pankromatik. Resolusi spasial yang tinggi dapat digunakan untuk melihat dan

memetakan ketersediaan RTH di Kota Yogyakarta secara jelas. Citra Quickbird

tahun 2017 sudah digunakan oleh instansi di Kota Yogyakarta untuk membuat

berbagai kebijakan seperti rencana detil tata ruang sehingga citra ini sudah

terkoreksi dan memiliki kenampakan yang tegak. Metode yang digunakan, yaitu

pengamatan manual dan digitasi on screen pada citra satelit terkoreksi. Utami,

Suharyadi, & Iswari (2012), Wicaksono & Zuharnaen (2017), dan Indraputra &

Hidayat (2016) telah melakukan penelitian dengan digitasi on screen menggunakan

citra penginderaan jauh dan rerata persentase ketelitian interpretasi RTH lebih dari

85%.

Besarnya luas RTH yang dibutuhkan berdasarkan kebutuhan oksigen dapat

dihitung menggunakan metode Gerrarkis (1974). Perhitungan ini berdasarkan

jumlah penduduk, kendaraan bermotor, dan hewan ternak. Kebutuhan ruang

terbuka hijau perlu diketahui untuk menyeimbangkan RTH dengan jumlah

kebutuhan penduduk yang tinggal di kawasan tersebut. Kawasan perkotaan yang

memiliki jumlah RTH yang cukup dan tersebar merata tentunya akan memberikan

suasana kota yang nampak asri dan sejuk sehingga meningkatkan kenyamanan saat

berkunjung maupun bertempat tinggal di kota. Maka dari itu, diperlukan adanya

analisis kebutuhan RTH suatu wilayah melalui perbandingan dengan RTH yang ada

saat ini.

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul

“ANALISIS SPASIAL PERSEBARAN RUANG TERBUKA HIJAU

TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGEN DI KOTA

YOGYAKARTA”.

5

1.2 Perumusan Masalah

Kota Yogyakarta merupakan ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

dan kota wisata sehingga kegiatan penduduk terpusat pada kawasan ini. Kota

Yogyakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, yakni sebesar 12,74 jiwa/km� (BPS, 2020). Seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk dan angka wisatawan, kebutuhan masyarakat akan

sarana dan prasarana kota juga semakin tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tingkat

alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun semakin tinggi. Pembangunan

seringkali tidak memperhatikan dari aspek lingkungan sehingga mengakibatkan

penurunan kualitas lingkungan.

Salah satu hal yang penting dalam penataan ruang adalah penyediaan dan

pemanfaatan ruang terbuka hijau. Fungsi RTH dapat meningkatkan kualitas

lingkungan perkotaan. RTH dapat menciptakan suhu udara yang lebih sejuk,

menjaga keseimbangan kadar oksigen (O�) dan karbondikosida (CO�), mengurangi

polusi, menjaga ketersediaan air tanah, serta mengurangi resiko terjadinya banjir.

Penelitian yang dilakukan oleh Ika & Sani (2019) menjelaskan bahwa pada tahun

2017 Kota Yogyakarta memiliki RTH seluas 3,57 km� atau 11% dari wilayah

keseluruhan Kota Yogyakarta. Jumlah ketersedian RTH tersebut tentu saja belum

memenuhi ketersediaan RTH berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2007

tentang penataan ruang bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH.

Ketersediaan RTH yang belum mencukupi tentunya akan mengakibatkan

turunnya tingkat kenyamanan untuk tinggal di perkotaan. Jumlah penduduk yang

terus meningkat setiap tahunnya yang juga diiringi dengan pertambahan jumlah

kendaraan bermotor yang melintas di jalan merupakan beberapa faktor yang

mempengaruhi berkurangnya suplai oksigen di perkotaan. Melalui latar belakang

yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang dijabarkan dalam pertanyaan

penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pola persebaran dan luas RTH yang tersedia di Kota Yogyakarta?

2. Bagaimana kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta berdasarkan jumlah

penduduk, hewan ternak, dan kendaraan bermotor?

6

3. Berapa luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen di Kota

Yogyakarta?

4. Bagaimana rekomendasi lokasi pembangunan RTH dengan memanfaatkan citra

penginderaan jauh?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini

disusun dengan tujuan sebagai berikut.

1. Menganalisis pola persebaran dan luas RTH yang tersedia di Kota Yogyakarta.

2. Menganalisis besar kebutuhan oksigen berdasarkan jumlah penduduk, hewan

ternak, dan kendaraan bermotor.

3. Menganalisis luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen

di Kota Yogyakarta.

4. Memberikan rekomendasi lokasi pembangunan RTH dengan memanfaatkan

citra penginderaan jauh.

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka

penelitian ini disusun dengan manfaat sebagai berikut.

1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan geografi, khususnya ilmu

geografi perkotaan tentang perencanaan tata ruang.

2. Manfaat praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta sehingga instansi terkait dapat

mempertimbangkan kebutuhan tersebut dalam penyusunan kebijakan

perencanaan tata ruang.

7

1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya

1.5.1 Telaah Pustaka

1.5.1.1 Analisis Spasial

Analisis keruangan (spasial) merupakan salah satu pendekatan dalam

geografi yang berkaitan dengan ciri khas berupa distribusi gejala tertantu di

pada suatu wilayah. Yunus (2010) menyatakan bahwa terdapat 9 analisis

keruangan, yaitu analisis pola keruangan, proses keruangan, interaksi

keruangan, struktur keruangan, asosiasi keruangan, organisasi keruangan,

kecenderungan keruangan, komparasi keruangan, dan sinergisme keruangan.

Penelitian ini menggunakan analisis pola keruangan. Pola keruangan (spatial

pattern) merupakan sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan

benda-benda di permukaan bumi (Lee dan Wong, 2001).

Salah satu analisis yang dapat digunakan dalam menentukan pola

spasial adalah analisis tetangga terdekat (nearest neighbor analyst). Analisis

tetangga terdekat merupakan analisis yang digunakan untuk menjelaskan pola

persebaran dari titik-titik lokasi tempat dengan menggunakan perhitungan yang

mempertimbangkan, jarak, jumlah titik lokasi, dan luas wilayah. Terdapat 3

bentuk distribusi data pada pola spasial, yaitu clustered (mengelompok),

random (acak), dan dispersed (seragam). Pola persebaran terdapat pada gambar

1.2 sebagai berikut.

Gambar 1. 2 Distribusi dalam Analisis Nearest Neighbor

Sumber: https://desktop.arcgis.com/

a) Clustered (Mengelompok)

Pola mengelompok ditandai dengan jarak antar titik berdekatan dan

cenderung membentuk kelompok pada lokasi-lokasi tertentu.

b) Random (Acak)

Pola acak ditandai dengan jarak antar objek yang tidak teratur.

8

c) Dispersed (Seragam)

Pola seragam ditandai dengan jarak antar titik relatif sama.

1.5.1.2 Kawasan Perkotaan

Menurut Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan

ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial, dan kegiatan ekonomi. Suatu wilayah juga dapat dikatakan sebagai kota

jika tidak terdapat lahan sawah yang mendominasi di dalamnya. Kota memiliki

ciri khas, antara lain landmark yang merupakan identitas sebuah kota sehingga

dapat memudahkan dalam pemasaran suatu daerah. Selain itu, kota biasanya

memiliki kepadatan penduduk maupun bangunan yang tinggi dengan pola

jaringan jalan yang kompleks. Pada sebuah kota jarang ditemukan lahan

pertanian (non-agraris).

1.5.1.3 Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka (Open Space) merupakan ruang terbuka yang selalu

terletak di luas massa bangunan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang

untuk melakukan berbagai kegiatan (Hakim, 2004). Secara umum ruang

terbuka dibagi menjadi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau

(Purnomohadi, 2006). Menurut Peraturan Menteru Pekerjaan Umum No.

05/PRT/M/2008 Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area

memanjang/jalur atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat

terbuka, dan merupakan tempat tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang

sengaja ditanam.

Ruang terbuka hijau sangat penting keberadannya terutama pada

perkotaan. Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang

perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, kawasan hijau pertamanan

kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau

kegiatan olahraga, kawasan perumahan, kawasan hijau pertanian, kawasan

9

hijau jalur hijau, dan kawasan hijau pekarangan (Fandeli, 2002 dalam

Wijayanti, 2003). Ruang terbuka hijau dapat menjadi ciri suatu kota hijau

(Green City). Melalui ruang terbuka hijau, fungsi ekologis, estetika, pelayanan

umum, konservasi, dan produksi suatu kota dapat terpenuhi. Keberadaan ruang

terbuka hijau tidak hanya pada di pusat kota, tetapi dapat dibangun juga di

pinggiran kota dengan tetap mempertimbangkan aspek ekologis dan estetika.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

dijelaskan bahwa suatu wilayah/kota wajib menyediakan ruang terbuka hijau

sebesar 30% dari luas wilayahnya, dengan persentase RTH publik sebesar 20%

dan RTH privat 10%. Menurut Peraturan Menteri PU No. 6 Tahun 2007

tentang Pedoman Umum Rencana Tata bangunan dan Lingkungan, tujuan

pengadaan Ruang terbuka hijau sebagai berikut.

a. Meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan

lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan

ekologis.

b. Mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang

sosial antarpenggunanya.

c. Menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan.

d. Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan

pejalan kaki.

e. Mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan.

Ruang terbuka hijau yang dibangun di kawasan perkotaan memiliki

fungsi sebagai berikut (Departemen PU, 2006).

a. Segi fisik

Ruang terbuka hijau sebagai pengatur iklim, penyerapan air tanah,

produsen oksigen, peneduh, penghalang angin, dan habitat satwa.

b. Segi sosial, ekonomi, dan budaya.

Ruang terbuka hijau sebagai tempat rekreasi, pendidikan, serta

interaksi sosial masyarakat.

c. Segi ekosistem perkotaan

10

Ruang terbuka hijau sebagai salah satu bagian dari usaha pangan,

produksi oksigen, dan tanaman berbunga.

d. Segi estetika

Ruang terbuka hijau dapat meningkatkan nilai keindahan dan

kenyamanan suatu kota, menciptakan keseimbangan dan keserasian antar

berbagai bangunan, taman kota, jalur hijau jalan, jalur biru sungai, serta

bantaran rel kereta api.

1.5.1.4 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh sebagai suatu ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data

yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah

atau fenomena yang dikaji. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui citra

(Lillesand dkk., 2015). Citra adalah gambaran suatu objek yang terekam oleh

kamera atau alat sensor lain (Andoko dkk., 2017). Salah satu citra dengan

resolusi spasial tinggi adalah Quickbird.

Citra Quickbird merupakan sistem satelit yang dimiliki oleh

DigitalGlobe. Citra ini diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di

Vabdeberg Air Force Base, California, USA. Satelit Quickbird ini termasuk

dalam Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi (CSRST) dengan resolusi spasial

sebesar 2,4 m pada saluran multispektral dan 0,6 m pada saluran pankromatik.

Satelit ini sesuai digunakan dalam aplikasi analisis perubahan dan penggunaan

lahan, pertanian, iklim hutan, exploration and production (E&P) minyak bumi

dan gas, teknik, konstruks, dan studi lingkungan. Berikut ini tabel 1.1

spesifikasi citra Quickbird.

11

Tabel 1. 1 Tabel Spesifikasi Citra Quickbird

Sumber: https://inderaja-catalog.lapan.go.id/

Citra Quickbird sudah banyak digunakan dalam melakukan penelitian

dan analisis ruang terbuka hijau. Pada penelitian Handayani, M.Awaluddin &

Sabri (2014), Wicaksono & Zuharnaen (2017), Fathurrofi & Suharyadi (2017)

menggunakan digitasi on screen dengan menggunakan citra Quickbird dan

menghasilkan rerata persentase ketelitian interpretasi RTH lebih dari 85%. Hal

tersebut membuktikan bahwa kemampuan Citra Quickbird dalam

menggambarkan objek terkecil dapat digunakan dalam pemetaan RTH.

Interpretasi citra merupakan proses mengkaji foto udara maupun citra

untuk mengidentifikasi dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Widayati,

2019). Prinsip pengenalan objek pada citra berdasarkan atas penyidikan

karakteristiknya atau atributnya pada citra. Karakteristik obyek yang tergambar

pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek tersebut disebut unsur

interpretasi citra. Perolehan informasi mengenai lingkungan perkotaan dapat

diketahui melalui citra penginderaan jauh dengan bantuan unsur interpretasi.

Unsur-unsur intepretasi yang paling sering digunakan dalam perolehan

informasi tersebut, yaitu:

12

a. Rona dan Warna

Rona (tone/ color tone/ grey tone) adalah tingkat kegelapan maupun

kecerahan obyek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut

bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering

disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0,4 – 0,7 �m)

(Sutanto, 1986). Rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau

sebaliknya. Warna merupakan wujud yang tampak oleh mata dengan

menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.

Pada setiap obyek yang tampak pertama pada citra adalah rona atau

warnanya. Setelah rona atau warna yang sama dikelompokkan dan diberi garis

batas untuk memisahkannya dari yang berlainan, barulah tampak bentuk,

tekstur, pola, ukuran, dan bayangannya. Itulah sebabnya rona dan warna

disebut unsur dasar. Misalnya pada vegetasi ditandai dengan warna hijau,

bangunan dengan atap berwarna orange, jaringan jalan dengan material aspal

berwarna abu-abu, tubuh air dengan warna biru, dll.

b. Bentuk

Bentuk merupakan ciri objek yang dapat terlihat dengan jelas sehingga

mudah untuk mengenali objek berdasarkan bentuknya. Terdapat dua istilah

bentuk, yaitu bentuk umum atau luar (shape) dan bentuk rinci (form). Bentuk

umum merupakan bentuk obyek secara umum sehingga untuk menafsirkan

obyek yang ada pada citra hanya dengan melihat ciri khas yang ada pada obyek

secara umum pula. Misalnya bentuk U ,L, persegi, dan persegi panjang

merupakan ciri dari gedung perkantoran maupun sekolah.

c. Ukuran

Ukuran berkaitan dengan skala citra yang dapat berupa luas, panjang,

lebar, tinggi, dan volume. Ukuran juga merupakan faktor pengenal objek yang

dapat digunakan untuk membedakan obyek yang sejenis yang ada pada citra.

Misalnya ukuran gedung pertokoan dan perkantoran lebih besar dari ukuran

rumah warga dan jalan arteri yang lebih lebar dari ukuran jalan kolektor.

13

d. Tekstur

Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur dapat

dinyatakan dengan ksar, sedang, dan halus. Misalnya pada hutan bertekstur

kasar, ladang bertekstur sedang, dan sawah bertekstur halus.

e. Pola

Pola merupakan susunan keruangan objek. Pola dapat menjadi ciri yang

menandai fenomena suatu wilayah. Misalnya pada objek rumah yang memiliki

pola teratur, yaitu ukuran dan jaraknya seragam dapat dikenali sebagai

perumahan.

f. Bayangan

Bayangan memiliki sifat menyembunyikan kedetailan suatu objek yang

berada di area yang gelap. Namun, bayangan juga merupakan kunci penting

dalam pengenalan obyek. Misalnya gedung pusat perbelanjaan lebih tinggi dari

permukiman dan pertokoan di sekitarnya sehingga terdapat bayangan pada

objek tersebut.

g. Situs

Situs merupakan posisi suatu obyek terhadap obyek yang lain yang ada

di sekitarnya. Misalnya pertokoan dan gedung kelembagaan terletak di sekitar

jaringan jalan.

h. Asosiasi

Asosiasi merupakan keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek

yang lainnya. Contoh asosiasi adalah keberadaan stasiun kereta api yang

berasosiasi dengan rel kereta api maupun keberadaan tiang bendera yang

beraosisasi dengan perkantoran dan sekolah.

i. Konvergensi Bukti

Konvergensi bukti menggunakan beberapa unsur interpretasi citra

sehingga dapat mempersempit ruang lingkup yang mengarahkan pada

kesimpulan obyek tertentu. Misalnya terdapat obyek yang berbentuk kotak

dengan tekstur halus dan bentuknya teratur dapat diartikan bahwa objek

tersebut adalah sawah. Contoh lainnya, obyek dengan ukuran bangunan yang

14

relatif besar serta bentuknya yang menyerupai I, L, atau U, dan berasosiasi

dengan lapangan olah raga dapat diartikan sebagai gedung sekolah.

1.5.1.5 Sistem Informasi Geografi

Sistem Informasi Geografi (SIG) dikembangkan oleh Tomlinson Tahun

1967. Murai (1999) dalam Elly (2009) mengartikan SIG sebagai sistem

informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil

kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis

atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan dalam

perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam,

lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.

SIG dapat merepresentasikan suatu model real world (dunia nyata) di

atas layar monitor komputer sebagaimana lembaran-lembaran peta dapat

merepresentasikan dunia nyata di atas kertas (Prahasta, 2008). Walaupun

demikian, SIG memiliki kekuatan lebih dan daya fleksibilitas dari pada

lembaran-lembaran kertas. Peta merupakan salah satu bentuk representasi

grafis milik dunia nyata. Objek-objek di dunia nyata yang direpresentasikan di

atas peta disebut sebagai unsur-unsur peta atau map features. Contohnya adalah

sungai, jalan, gunung, bangunan, dll. Hal tersebut disebabkan oleh peta yang

mengorganisasikan unsur-unsurnya berdasarkan lokasi masing-masing. Peta

sangat baik dalam memperlihatkan hubungan atau relasi yang dimiliki oleh

unsur-unsurnya.

Kemampuan SIG dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat

dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis di dalam SIG,

yaitu fungsi analisis spasial dan atribut. Fungsi analisis atribut (nonspasial)

antara lain terdiri dari operasi-operasi dasar sistem pengelolaan basis data

(DBMS) beserta perluasannya. Pengelolaan basis data antara lain pembuatan

basis data baru, penghapusan basis data, pembuatan tabel baru, pengisian dan

penyisipan data, penambahan dan pengurangan field, pembacaan dan pencarian

data, peng-update-an data yang terdapat dalam tabel basis data, penghapusan

data, dan membuat indeks untuk setiap tabel basis data (Prahasta, 2008).

15

Informasi spasial secara geometri terbagi menjadi dua model, yaitu data vektor

dan data raster. Data vektor terdiri dari titik (point), garis (line), dan area

(polygon).

a. Titik

Titik adalah bentuk objek geografi yang paling sederhana dan disebut

sebagai objek yang berdimensi nol karena titik tidak memiliki luasan. Setiap

titik direpresentasikan dengan koordinat. Contoh titik adalah titik fasilitas

umum dan titik kejadian kecelakaan.

b. Garis

Garis adalah bentuk geometri linier yang menghubungkan paling sedikit

dua titik dan digunakan untuk merepresentasikan objek-objek yang berdimensi

satu. Sebuah garis memiliki dua titik sebagai pembatas titik awal dan titik akhir.

Garis dikatakan berdimensi satu karena garis hanya dapat merepresentasikan

satu arah. Contoh garis adalah jaringan jalan, jaringan listrik, rel kereta api, dan

sungai. Objek seperti jalan dan sungai dapat direpresentasikan baik sebagai

objek geometris garis maupun poligon. Hal tersebut bergantung pada skala peta

yang menjadi sumbernya atau skala representasi akhirnya.

c. Area/Poligon

Geometri area/poligon digunakan untuk merepresentasikan objek-objek

dua dimensi. Suatu objek yang berbentuk poligon paling sedikit dibatasi oleh

tiga garis (sisi) yang saling terhubung di antara ketiga titik sudutnya. Pada basis

data spasial, semua unsur yang berbentuk area (luasan) dua dimensi akan

direpresentasikan dengan geometri poligon.

Dalam software SIG terdapat berbagai tools yang dapat digunakan untuk

membantu pengolahan spasial. Dalam penelitian ini, menggunakan tools

average nearest neighbor untuk mengetahui pola persebaran ruang terbuka

hijau yang ada di Kota Yogyakarta. Cara kerja tools average nearest neighbor

berdasarkan perhitungan jarak terdekat antar titik RTH yang saling berdekatan

sehingga diperoleh nilai indeks. Nilai indeks/rasio tetangga terdekat digunakan

untuk menentukan pola spasial, yaitu random (acak), clustered (mengelompok),

dispersed (seragam).

16

1.5.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian mengenai analisis ketersediaan ruang terbuka hijau terhadap

kebutuhan oksigen sudah dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut digunakan oleh

penulis sebagai acuan dan pedoman dalam penulisan. Penelitian terdahulu yang

dijadikan acuan oleh penulis terdapat pada tabel 1.2. Pada penelitian skripsi oleh

Fatma Nugrahaning Nastiti (2017) mengambil judul penelitian “Kajian

Ketersediaan Dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali”. Penelitian ini bertujuan

untuk menganalisis ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali dan menganalisis kebutuhan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kompleks Perkantoran Terpadu Pemerintah

Kabupaten Boyolali. Metode yang digunakan adalah analisis foto udara untuk

mendapat data angka serta dilakukannya observasi untuk mengetahui ketersediaan

ruang terbuka hijau di lapangan. Kemudian melakukan perhitungan kebutuhan

ruang terbuka hijau menurut pemenuhan kebutuhan oksigen yang dikonsumsi

metode Gerrarkis (1974). Hasil yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah

ketersediaan ruang terbuka hijau menurut jenisnya, ketersediaan ruang terbuka

hijau dalam produksi oksigen dan penyerap karbon diojsida, kebutuhan ruang

terbuka hijau menurut kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ruang terbuka hijau

berdasarkan emisi karbon dioksida.

Pada penelitian thesis oleh Anifa Widiyantari (2018) dengan judul

“Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI untuk Mengkaji Kebutuhan Ruang Terbuka

Hijau Berdasarkan Kebutuhan Oksigen di Kota Semarang”, memiliki tujuan

mengestimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen tahun 2017, tahun

2020 dan tahun 2030 menggunakan data Penginderaan Jauh Citra Citra Landsat 8

OLI Tahun 2015, mengkaji ketersediaan RTH Kota Semarang terhadap kebutuhan

oksigen tahun tahun 2017, tahun 2020 dan tahun 2030, dan mengkaji arahan

pengembangan RTH di Kota Semarang. Metode yang digunakan adalah klasifikasi

multispektral penutup lahan Citra Landsat 8 OLI Tahun 2015 menggunakan metode

Maximum Likelihood untuk perolehan RTH esksisting dan kebutuhan RTH

berdasarkan kebutuhan oksigen metode Gerrarkis. Hasil yang diperoleh adalah e

17

kebutuhan RTH berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen tahun 2017, tahun

2020 dan tahun 2030 di Kota Semarang, distribusi ketersediaan ruang terbuka hijau

Kota Semarang terhadap kebutuhan oksigen tahun 2017, tahun 2020 dan tahun

2030, serta arahan pengembangan RTH di Kota Semarang

Pada penelitian skripsi oleh Ari Widayati (2019) dengan judul

“Pemanfaatan Citra Worldview-2 untuk Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Kecamatan Magelang Selatan”,

memiliki tujuan mengetahui kemampuan citra Worldview-2 dalam mengekstraksi

informasi kerapatan vegetasi dan penutup lahan di Kecamatan Magelang Selatan,

mengetahui persebaran dan luas Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Magelang

Selatan tahun 2019, mengetahui informasi mengenai kebutuhan Ruang Terbuka

Hijau di Kecamatan Magelang berdasarkan pemenuhan kebutuhan oksigen tahun

2019, dan mengetahui informasi mengenai prediksi luas dan kebutuahan Ruang

Terbuka Hijau di Kecamatan Magelang Selatan tahun 2025 dan 2035. Metode yang

dilakukan adalah interpretasi visual, transformasi indeks vegetasi NDVI untuk

mengetahui kerapatan vegetasi dan luasan RTH aktual, observasi lapangan,

perhitungan luas RTH, perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan pemenuhan

kebutuhan oksigen dengan Metode Gerrarkis, dan prediksi luas dan kebutuhan RTH

tahun 2025 dan 2035. Hasil yang diperoleh adalah peta penggunaan lahan dan

kerapatan vegetasi hasil interpretasi citra serta hasil transformasi indeks vegetasi

NDVI, peta Persebaran Ruang Terbuka Hijau aktual Kecamatan Magelang Selatan,

analisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan pemenuhan kebutuhan oksigen

di Kecamatan Magelang Selatan, serta prediksi luas dan kebutuhan RTH

Kecamatan Magelang Selatan tahun 2025 dan 2035

Persamaan penelitan yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya

adalah penggunaan metode Gerrarkis untuk mengetahui luas RTH yang

dibutuhkan. Selain itu, penelitian Fatma Nugrahaning Nastiti (2017) juga

menggunakan pengamatan manual dengan digitasi on screen untuk memperoleh

infromasi RTH. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan

dilakukan terletak pada lokasi penelitian, citra yang digunakan, dan metode

perolehan data. Lokasi penelitian pada Fatma (2017) dilakukan pada Kompleks

18

Perkantoran Terpadu Pemerintah Kabupaten Boyolali, penelitian Ari (2019) di

lakukan di Kecamatan Magelang Selatan, dan penelitian Anifa (2018) di Kota

Semarang. Penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kota Yogyakarta dengan

cakupan area penelitian yang lebih luas.

Penelitian Fatma (2017) dan Ari (2019) masing-masing menggunakan foto

udara dan citra Worldview-2 dalam proses mendapatkan ketersediaan ruang terbuka

hijau. Pada penelitian Anifa (2018) bahkan menggunakan citra dengan resolusi

spasial yang lebih rendah, yaitu Landsat 8 OLI. Penelitian yang akan dilakukan

menggunakan Citra Quickbird. Ari (2019) dan Anifa (2018) menggunakan

transformasi indeks vegetasi untuk mengetahui kerapatan vegetasi dan luasan RTH

aktual. Penelitian yang dilakukan menggunakan pengamatan visual dan digitasi

onscreen menggunakan klasifikasi RTH menurut Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum Nomor : 05/Prt/M/2008 dengan modifikasi untuk memperoleh informasi

RTH yang tersedia di Kota Yogyakarta. Kelebihan penelitian yang dilakukan

dnegan penelitian sebelumnya adalah adanya analisis spasial nearest neighbor

untuk mengetahui jenis pola persebaran RTH di Kota Yogyakarta dan memberikan

rekomendasi lokasi yang dapat digunakan untuk pembangunan RTH berdasarkan

pengamatan dengan citra penginderaan jauh.

19

Tab

el 1

. 2

Pen

elit

ian

Seb

elu

mn

ya

No

. N

am

a

Pen

elit

i Ju

du

l T

uju

an

M

eto

de

Ha

sil

1.

Fat

ma

Nu

gra

han

ing

Nas

titi

(20

17)

Kaj

ian

Ket

erse

dia

an

Dan

Keb

utuh

an

Ru

ang

Ter

buk

a

Hij

au (

RT

H)

di

Ko

mpl

eks

Per

kan

tora

n T

erp

adu

Pem

erin

tah

Kab

upa

ten

Bo

yola

li

1.

Men

gan

alis

is k

eter

sed

iaan

Ruan

g

Ter

buka

Hij

au (

RT

H)

di

Kom

ple

ks

Per

kan

tora

n T

erp

adu

Pem

erin

tah

Kab

upa

ten B

oyo

lali

.

2.

Men

gan

alis

is k

ebutu

han

Rua

ng

Ter

buka

Hij

au (

RT

H)

di

Kom

ple

ks

Per

kan

tora

n T

erp

adu

Pem

erin

tah

Kab

upa

ten B

oyo

lali

.

1.

An

alis

is f

oto

ud

ara.

2.

Per

hit

un

gan

keb

utu

han

ru

ang

terb

uk

a h

ijau

met

od

e G

erra

rkis

(19

74)

1. K

eter

sed

iaan

ru

ang

ter

bu

ka

hij

au m

enu

rut

jen

isn

ya

2. K

eter

sed

iaan

ru

ang

ter

bu

ka

hij

au d

alam

pro

duk

si o

ksi

gen

dan

pen

yer

ap k

arb

on

dik

osi

da

3. K

ebut

uh

an r

uan

g te

rbu

ka

hij

au m

enu

rut

keb

utu

han

oks

igen

4. K

ebut

uh

an r

uan

g te

rbu

ka

hij

au b

erd

asar

kan

em

isi

kar

bon

dio

ksid

a

2.

An

ifa

Wid

ian

tari

(20

17)

Pem

anfa

atan

Cit

ra

Lan

dsa

t 8 O

LI

untu

k

Men

gkaj

i

Keb

utu

han

Ru

ang

Ter

buk

a H

ijau

Ber

das

arkan

Keb

utu

han

Oksi

gen

di

Ko

ta S

emar

ang

1. M

enges

tim

asi

keb

utu

han

RT

H

ber

das

arkan

keb

utu

han

oksi

gen

tah

un

201

7, t

ahu

n 2

020

dan

tah

un 2

030

men

ggunak

an d

ata

Pen

gin

dera

an J

auh

Cit

ra C

itra

Lan

dsa

t 8 O

LI

Tah

un 2

015.

2. M

engka

ji k

eter

sed

iaan

RT

H K

ota

Sem

aran

g t

erh

adap

keb

utu

han o

ksi

gen

tah

un

tahun

201

7, t

ahun

202

0 d

an

tah

un

20

30

3. M

engka

ji a

rah

an p

eng

emb

angan

RT

H d

i K

ota

Sem

aran

g.

1. K

lasi

fik

asi

Mu

ltis

pek

tral

pen

utu

p l

ahan

Cit

ra L

and

sat

8 O

LI

Tah

un

20

15 m

eng

gun

akan

met

od

e

Max

imu

m L

ikel

iho

od

2. K

ebut

uh

an R

TH

ber

das

ark

an

keb

utu

han

ok

sig

en m

eto

de

Ger

rark

is.

1.

Est

imas

i k

ebu

tuha

n R

TH

ber

dasa

rkan

pen

dek

atan

keb

utu

han

ok

sige

n t

ahun

201

7, ta

hun

20

20

dan

tah

un

203

0 d

i K

ota

Sem

aran

g.

2. D

istr

ibu

si k

eter

sed

iaan

ruan

g t

erb

uka

hij

au K

ota

Sem

aran

g t

erh

adap

keb

utu

han

oks

igen

tah

un

20

17

, tah

un

20

20

dan

tah

un

20

30.

3. A

rah

an p

eng

emb

ang

an

RT

H d

i K

ota

Sem

aran

g.

3.

A

ri W

iday

ati

(20

19)

Pem

anfa

atan

Cit

ra

Wo

rldvi

ew-2

unt

uk

An

alis

is K

ebut

uhan

1.

Men

get

ahui

kem

ampu

an c

itra

Wo

rldvi

ew-2

dal

am m

eng

ekst

raksi

info

rmas

i ker

apat

an v

eget

asi

dan

1.

Inte

rpre

tasi

vis

ual

2.

Tra

nsf

orm

asi

ind

eks

veg

etas

i

ND

VI

un

tuk

men

get

ahui

ker

apat

an v

eget

asi

1. P

eta

pen

gg

unaa

n l

ahan

dan

ker

apat

an v

eget

asi

has

il

inte

rpre

tasi

cit

ra s

erta

has

il

tran

sfo

rmas

i in

dek

s v

eget

asi

20

N

o.

Na

ma

P

enel

iti

Ju

du

l T

uju

an

M

eto

de

Ha

sil

Ru

ang

Ter

buk

a

Hij

au B

erdas

arkan

Pem

enuhan

Keb

utu

han

Oksi

gen

di

Kec

amat

an

Mag

elan

g S

elat

an.

pen

utu

p l

ahan

di

Kec

amat

an M

agel

ang

Sel

atan

.

2.

Men

get

ahui

per

sebar

an d

an l

uas

Ru

ang

Ter

buk

a H

ijau

di

Kec

amat

an

Mag

elan

g S

elat

an t

ahun

2019.

3.

Men

get

ahui

info

rmas

i m

eng

enai

keb

utu

han

Ruan

g T

erbu

ka

Hij

au d

i

Kec

amat

an M

agel

ang

ber

das

arka

n

pem

enuhan

keb

utu

han

oksi

gen t

ahu

n

201

9.

4.

Men

get

ahui

info

rmas

i m

eng

enai

pre

dik

si l

uas

dan

keb

utu

ahan

Ruan

g

Ter

buka

Hij

au d

i K

ecam

atan

Mag

elan

g

Sel

atan

tah

un

20

25

dan

2035.

dan

lu

asan

RT

H a

ktu

al

3.

Ob

serv

asi

lap

ang

an

4.

Per

hit

un

gan

lu

as R

TH

5.

Per

hit

un

gan

keb

utu

han

RT

H

ber

das

ark

an p

emen

uh

an

keb

utu

han

ok

sige

n d

eng

an M

eto

de

Ger

rark

is

6.

Pre

dik

si l

uas

dan

keb

utu

han

RT

H t

ahu

n 2

025

dan

20

35

ND

VI

2. P

eta

Per

seb

aran

Ru

ang

Ter

bu

ka H

ijau

ak

tual

Kec

amat

an M

agel

ang

Sel

atan

.

3. A

nal

isi

keb

utu

han

ru

ang

terb

uka

hij

au b

erd

asar

kan

pem

enu

han

keb

utu

han

oks

igen

di

Kec

amat

an

Mag

elan

g S

elat

an.

4. P

red

iksi

lu

as d

an

keb

utu

han

RT

H K

ecam

atan

Mag

elan

g S

elat

an t

ahu

n 2

02

5

dan

20

35.

4.

Mir

za A

mal

ia

Lut

fita

sari

(20

20)

An

alis

is S

pas

ial

Per

seb

aran

Ruan

g

Ter

buka

Hij

au

Ter

had

ap

Pem

enuhan

Keb

utu

han

Ok

sigen

di

Ko

ta Y

ogy

akar

ta

1.M

eng

anal

isis

pola

per

seb

aran

dan

luas

R

TH

y

ang

ters

edia

d

i K

ota

Yo

gya

kar

ta.

2.M

engan

alis

is

bes

ar

keb

utu

han

oks

igen

ber

das

ark

an j

um

lah

pen

dud

uk,

hew

an t

ernak

, dan

ken

dar

aan b

erm

otor.

3.M

enga

nal

isis

lu

as

RT

H

yan

g

dib

utu

hkan

untu

k m

emen

uhi

keb

utu

han

oks

igen

di

Ko

ta Y

ogya

kar

ta.

4.M

embe

rikan

re

kom

endas

i lo

kas

i

pem

ban

gunan

R

TH

d

engan

mem

anfa

atkan

cit

ra p

engi

nder

aan

jau

h.

1.

Inte

rpre

tasi

vis

ual

2.

Dig

itas

i o

n sc

reen

un

tuk

men

get

ahu

i p

erse

bar

an d

an l

uas

an

RT

H a

ktu

al

3.

Cek

lap

anga

n d

an U

ji A

ku

rasi

4.

An

alsi

si n

eare

st n

eig

hb

or

untu

k

men

get

ahu

i p

ola

sp

asia

l R

TH

5.

Per

hit

un

gan

lu

as R

TH

ak

tual

6.

Per

hit

un

gan

keb

utu

han

RT

H

ber

das

ark

an p

emen

uh

an

keb

utu

han

ok

sige

n d

eng

an M

eto

de

Ger

rark

is

1. P

eta

RT

H y

ang

ter

sed

ia d

i

Ko

ta Y

og

yak

arta

2. P

eta

Po

la P

erse

bar

an

Ru

ang

Ter

bu

ka

Hij

au a

ktu

al

di

Ko

ta Y

og

yak

arta

.

3. P

eta

Keb

utu

han

Ok

sig

en d

i

Ko

ta Y

og

yak

arta

.

4. A

nal

isis

keb

utu

han

ru

ang

terb

uka

hij

au b

erd

asar

kan

pem

enu

han

keb

utu

han

oks

igen

di

Ko

ta Y

og

yak

arta

.

5.

Rek

om

end

asi

loka

si

pem

ban

gun

an R

TH

21

1.6 Kerangka Penelitian

Kota Yogyakarta merupakan ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, yakni sebesar 12,74 jiwa/km� (BPS, 2020). Pada Kota Yogyakarta

juga terdapat berbagai wisata dengan peningkatan angka wisatawan setiap

tahunnya. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan angka wisatawan,

kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana kota juga semakin tinggi. Hal

tersebut mengakibatkan tingkat alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun

semakin tinggi. Pembangunan di wilayah perkotaan ini terus meningkat sebagai

upaya untuk menyokong berbagai kegiatan yang ada.

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 32,5 km� dengan persentase Ruang

Terbuka Hijau (RTH) pada tahun 2017 sebesar 11%. Fungsi RTH selain untuk

menambah keindahan kota juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan

perkotaan. RTH dapat menghasilkan oksigen (O�) yang digunakan manusia dan

hewan ternak untuk bernafas serta digunakan untuk mengubah energi kimia dari

bahan bakar fosil menjadi energi kinetik pada kendaraan bermotor.

Informasi mengenai persebaran RTH sangat erat kaitannya dengan lokasi

sehingga informasi tersebut akan sangat efektif apabila disajikan dalam bentuk peta.

Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam

pemetaan persebaran RTH. Data penginderaan jauh yang digunakan untuk

interpretasi ini adalah citra Quickbird Tahun 2017. Terdapat perbedaan waktu

antara waktu dilakukannya penelitian dengan citra yang digunakan. Oleh sebab itu,

dilakukan proses observasi di lapangan. Proses observasi lapangan melakukan

pengambilan sampel metode purposive sampling. Pemilihan titik sampel ditentukan

berdasarkan area yang mudah dijangkau dan dekat dengan jaringan jalan untuk

memudahkan proses lapangan. Penentuan jumlah sampel RTH dihitung

berdasarkan sampel slovin. Persentase ketelitian interpretasi yang diharapakan

adalah lebih dari 85%.

Melalui pemetaan RTH maka didapat luas RTH yang tersedia. Luas tersebut

dibandingkan dengan luas RTH yang dibutuhkan yang didapat dari perhitungan

metode Gerrarkis. Metode ini menghitung luas kebutuhan RTH berdasarkan

22

kebutuhan oksigen pada manusia, hewan ternak, dan kendaraan bermotor.

Ketersediaan RTH di suatu kota dikatakan mencukupi jika luas RTH yang tersedia

lebih besar dari luas RTH yang dibutuhkan. Selain digunakan untuk mengetahui

kecukupan RTH, peta RTH juga digunakan untuk mengetahui pola sebarannya

dengan analisis tetangga terdekat. Wilayah dengan RTH pola seragam/tersebar

tentu lebih baik daripada pola sebaran mengelompok dan acak. Pada RTH dengan

luas yang besar dan pola seragam /tersebar mengakibatkan semua titik lokasi

tersebut terasa sejuk dan nyaman akibat dari distribusi oksigen yang mencangkup

wilayahnya secara keseluruhan.

Gambar 1. 3 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian

Peningkatan penduduk dan wisatawan setiap tahun

Peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana

Pembangunan meningkat

Lahan hijau berkurang Lahan terbangun meningkat

Analisis luas RTH yang tersedia dengan

RTH yang dibutuhkan

Estimasi ketersediaan dan pola

sebaran berdasarkan hasil interpretasi,

digitasi, observasi lapangan, dan

analisis tetangga terdekat

Luas yang dibutuhkan berdasarkan

kebutuhan oksigen pada penduduk,

hewan ternak, dan kendaraan bermotor

23

1.7 Batasan Operasional

• Pola keruangan (spatial pattern) adalah sesuatu yang menunjukkan

penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi (Lee dan Wong,

2001).

• Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan

pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007).

• Ruang terbuka (Open Space) adalah ruang terbuka yang selalu terletak di luas

massa bangunan yang dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang

serta memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan (Hakim,

2004).

• Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur atau

mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh

tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008).

• Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena

yang dikaji (Lillesand dkk., 2015).

• Citra adalah gambaran suatu objek yang terekam oleh kamera atau alat sensor

lain (Andoko dkk., 2017).

• Interpretasi Citra merupakan proses mengkaji foto udara maupun citra untuk

mengidentifikasi dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Widayati, 2019).

• Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem informasi yang digunakan

untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis,

dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk

mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan

penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota,

dan pelayanan umum lainnya (Murai, 1999 dalam Elly, 2009).