bab i pendahuluan - imissu single sign on of udayana ... i.pdf · membangun jaringan internet ......
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan yang sangat penting
dalam membangun dan memberikan kontribusi bagi kemajuan peradaban umat
manusia. Hal itu terbukti dengan adanya berbagai kemudahan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup manusia sebagai akibat dari perkembangan dan temuan-temuan
yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi
informasi. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan
yang besar bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang membuat
teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan
ekonomi dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-
produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana untuk
membangun jaringan internet lainnya, serta yang kedua, adalah memudahkan
transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis umum lainnya.1
Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pula berbagai bidang kehidupan
manusia mengalami dinamika perubahan yang cepat, efektif, dan efisien.
Kemajuan teknologi di berbagai bidang seperti telekomunikasi, transportasi,
kesehatan, dan pertanian, adalah beberapa contoh yang menunjukkan kemampuan
serta keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat signifikan dalam
1 Agus Raharjo, 2002, Cybercrime (Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi), Citra Aditya Bakti, Purwokerto, h. 1.
1
2
memberikan kemudahan serta kecepatan pemenuhan berbagai macam kebutuhan
dan tuntutan hidup manusia. Bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi menempati
posisi kunci dan strategis dalam pergaulan atau kerja sama internasional di dalam
memasuki persaingan di era globalisasi yang tengah berlangsung dewasa ini.
Demikian penting dan strategisnya peranan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi faktor penentu bagi suatu negara untuk dapat berdiri di garis terdepan
dalam persaingan global. Pembangunan nasional yang berlangsung selama ini
juga memandang penting peranan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
dimanfaatkan dalam rangka mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan lingkungan hidup bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Pada era yang modern ini, berbagai perkembangan telah membuat
perubahan yang cukup signifikan terhadap masyarakat, termasuk dalam gaya
hidup. Masyarakat kini cenderung menginginkan sesuatu yang lebih praktis dan
efisien. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat kondisi masyarakat yang
sedang berada dalam era globalisasi. Pada dasarnya, tiga pilar penting dalam
globalisasi yaitu perlindungan hak atas kekayaan perorangan, konsentrasi pasar,
dan persaingan sehat, ketiganya merupakan prasyarat keberhasilan suatu negara
memasuki era globalisasi2. Masyarakat pun sesungguhnya berperan dalam
keberhasilan suatu negara dalam menghadapi era globalisasi. Sehingga sangatlah
penting bila suatu masyarakat bisa memilah dengan baik dan turut berperan dalam
2 Romli Atmasasmita, 2014, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori dan Praktik di Era Globalisasi,
Predana Media, Jakarta, h. 25.
3
era globalisasi tersebut. Salah satunya ialah dengan menghadapi perkembangan
teknologi dalam memberikan sebuah jasa terhadap masyarakat. Indonesia yang
memiliki banyak kota besar tentu menghadapi berbagai masalah terkait
transportasi sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang salah satunya
ialah kemacetan. Kemacetan di kota-kota besar di Indonesia semakin menjamur
dan sangat merugikan masyarakat produktif terlebih dalam hal waktu. Sehingga
masyarakat pun membutuhkan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan
tersebut agar tetap produktif dan bisa menghemat waktu. Hal ini pun seakan
dibantu dengan berkembangnya berbagai aspek dengan pesat, baik itu aspek
teknologi, informasi, dan yang sekarang sedang menjamur yakni di bidang
transportasi. Dewasa ini, berbagai perusahaan teknologi di bidang transportasi
terus menjamur di Indonesia dan semakin diminati masyarakat, terutama di kota-
kota besar. Persaingan berebut pasar transportasi berbasis aplikasi pun mulai
terasa di bisnis yang mengandalkan kemudahan dan kepraktisan ini. Munculnya
perusahaan ini dianggap sebagai perkembangan dari pembangunan nasional dalam
ilmu teknologi. Hal ini pun seakan memberi bukti bahwa Indonesia memiliki
sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu dimanfaatkan,
sehingga potensi ini diharapkan dapat memperkuat kemampuan Indonesia dalam
memasuki kerja sama dan persaingan global. Salah satu perusahaan teknologi di
bidang transportasi yang kini sedang marak ialah Go-Jek. Go-Jek adalah
perusahaan berjiwa sosial yang memimpin revolusi industri transportasi ojek. Go-
Jek bermitra dengan para pengendara ojek berpengalaman di area Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Bali dan Surabaya, serta menjadi solusi
4
utama dalam pengiriman barang, pesan antar makanan, berbelanja dan berpergian
di tengah kemacetan.3 Kehadiran jasa ini merupakan media alternatif dalam
memberikan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat sebagai konsumen yang
ingin mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, dan efisiensi dalam
menggunakan sebuah jasa. Kendaraan yang digunakan oleh Go-Jek dalam
memberikan jasanya ialah sama dengan yang digunakan oleh ojek konvensional,
yakni kendaraan bermotor beroda 2 (dua). Kendaraan bermotor adalah kendaraan
yang digerakkan oleh motor (mekanik) yang berjalan di atas jalan darat (jalan
aspal, jalan berbatu, jalan tanah/pasir) nuatan manusia atau buatan alam seperti
mobil sedan, mobil stasion, jeep, kombi, bis umum, truk, trailer, kendaraan beroda
tiga dan beroda dua, dan lain-lain.4 Masyarakat sebagai konsumen yang ingin
menggunakan jasa ini tidak perlu mencari ojek di pangkalan ataupun menunggu di
pinggir jalan, dengan adanya Go-Jek masyarakat hanya perlu memesan ojek
melalui aplikasi Go-Jek yang telah diunduh terlebih dahulu, kemudian memesan
dan memasukkan alamat atau lokasi di mana konsumen berada. Konsumen dapat
melihat foto pengemudi Go-Jek yang dipesan dan menghubunginya melalui pesan
singkat ataupun melalui telepon. Kemudian setelah dikonfirmasi dan ditunggu
beberapa saat, maka pengemudi Go-Jek akan langsung datang dan siap untuk
memberikan jasa terhadap konsumen. Di akhir layanan, konsumen dapat
memberikan komentar dan penilaian terhadap pengemudi ojek tersebut. Maka
3 Situs Resmi Go-Jek Indonesia, URL: http://www.go-jek.com, diakses tanggal 8 November
2015 4 Radiks Purba, 1997, Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, Djambatan, Jakarta, h.
110.
5
dilihat dari hal tersebut, maka tentu Go-Jek lebih unggul dari jasa ojek
konvensional, karena memberikan kemudahan, kenyamanan, dan proses yang
lebih cepat.
Kehadiran jasa ini seakan menjadi solusi efektif dalam memberikan
kemudahan-kemudahan bagi masyarakat di kota-kota besar. Terlebih lagi
masyarakat cenderung menginginkan kenyamanan dan efisiensi. Hal ini tidak
terlepas dari kelebihan yang dimiliki oleh internet itu sendiri, yakni ketika
seseorang ingin mengakses suatu jasa dapat dilakukan di mana saja hanya
menggunakan layanan internet dan alat komunikasi yang menunjang, dan
sebagian masyarakat Indonesia pasti memiliki hal tersebut. Namun, kemudahan
dan efisiensi yang dihadirkan melalui aplikasi Go-Jek ini diikuti pula dengan
semakin banyaknya resiko dalam penggunaannya. Perkembangan yang ada saat
ini mengakibatkan pengaturan hukum mengenai hal tersebut seakan tidak dapat
lagi mengantisipasi dinamika bisnis sektor transportasi di Indonesia. Terlepas dari
nilai lebih jasa Go-Jek, maka dari sudut pandang hukum kehadiran jasa yang
berbasis aplikasi ini masih menyimpan sejumlah permasalahan, salah satunya
ialah dalam perlindungan data pribadi dari pengguna jasa Go-Jek itu sendiri.
Aspek kemudahan yang dihadirkan melalui penerapan teknologi informasi
pada suatu jasa diikuti pula dengan semakin banyaknya resiko dalam
penggunaannya. Perlu diingat pula bahwa teknologi mempunyai 2 (dua) sisi yang
berbeda, yakni sisi positif dan negatif. Sehingga eksistensi dan fungsi teknologi
harus didukung oleh suatu pranata nilai budaya dan pranata sosial ekonomi
tertentu. Pranata itu juga termasuk tingkat pengetahuan atau tingkat intelek
6
masyarakat yang sesuai.5 Perkembangan teknologi yang sekaligus merupakan
perkembangan dalam pemberian jasa juga memiliki dua sisi dampak yang
berbeda, yakni di satu sisi memberi kemudahan dan efisiensi sehingga menghemat
waktu, namun di sisi lain kemudahan dan efisiensi tersebut sangatlah beresiko.
Namun resiko-resiko tersebut seakan terlupakan karena aspek kemudahan dan
efisiensi yang diberikan oleh perkembangan ini. Resiko ini tentu juga terdapat
dalam jasa Go-Jek, salah satu resikonya ialah penyalahgunaan data pribadi
konsumen. Hal ini terjadi mengingat prosedur pemesanan jasa Go-Jek itu sendiri,
yakni ketika konsumen mulai memesan jasa Go-Jek, maka dari konsumen akan
tercantum di smartphone milik pengemudi Go-Jek yang ditugaskan, beserta rute
pengantaran yang konsumen inginkan. Di samping itu, pengemudi Go-Jek yang
ditugaskan tersebut bisa menghubungi nomor telepon konsumen yang telah
dicantumkan di akun konsumen itu sendiri, untuk mengkonfirmasi titik jemput.
Setelah itu, jika konsumen meminta untuk diantar ke rumah atau ke kantor, maka
secara tidak langsung pengemudi Go-Jek tersebut juga akan mengetahui alamat
rumah atau alamat kantor konsumen. Jadi dalam sekali perjalanan saja, seorang
pengemudi Go-Jek yang bertugas sudah bisa mengetahui data-data konsumen
yakni nama, nomor telepon, dan alamat rumah atau alamat kantor. Hal ini
mungkin terasa biasa saja, namun segala kemungkinan dapat terjadi. Salah
satunya ialah penyalahgunaan dari data pribadi konsumen tersebut yang sangat
rentan terjadi. Salah satu resiko terbesarnya ialah penyalahgunaan terhadap nomor
telepon dari konsumen tersebut yang diketahui oleh pengemudi Go-Jek yang
5 Agus Raharjo, op. cit, h. 22.
7
ditugaskan untuk memberi jasa terhadap konsumen. Penyalahgunaan tersebut
tentu saja dapat merugikan konsumen sebagai pengguna jasa Go-Jek. Dampak
dari penyalahgunaan tersebut ialah mengganggu privasi seseorang. Menurut Alan
F. Westin, privasi dapat digolongkan dalam apa yang dimaksud dengan
kerahasiaan, tetapi privasi merupakan konsep yang jauh lebih luas dari
kerahasiaan yang meliputi hak untuk mengontrol informasi pribadi seseorang dan
kemampuan untuk menentukan dalam hal apa saja dan bagaimana informasi
tersebut diperoleh dan digunakan.6 Karena itu privasi mempunyai konsep lebih
luas dari kerahasiaan, karena meminta pembatasan kegiatan yang lebih luas
berhubungan dengan suatu informasi pribadi, dalam hal pengumpulan,
penyimpangan, penggunaan dan penyingkapannya.
Privasi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah berkaitan dengan data
elektronik, sehingga hal ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE masih
mengatur secara terbatas mengenai ketentuan data pribadi. Pasal 1 angka 1 UU
ITE menentukan sebagai berikut.
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDJ), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti, atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 4 UU ITE menentukan sebagai berikut.
6 Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Cet. II, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Edmon Makarim I), h. 148.
8
Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
Kedua ketentuan dalam UU ITE tersebut belum menjelaskan secara rinci
mengenai pengertian data pribadi itu sendiri. Namun di sisi lain, diatur bahwa data
pribadi mendapat perlindungan hukum, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
26 UU ITE, yakni sebagai berikut.
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan,
penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan
Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan
berdasarkan Undang-Undang ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa UU ITE tidak menjelaskan
mengenai data pribadi secara eksplisit, namun di sisi lain UU ITE turut memberi
perlindungan hukum terhadap data pribadi itu sendiri.
Bertitik tolak pada latar belakang di atas maka diangkat judul penelitian
tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Go-Jek Atas
Penyalahgunaan Data Pribadinya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
9
1. Bagaimanakah hubungan hukum antara perusahaan Go-Jek, pengemudi
Go-Jek, dan pengguna jasa Go-Jek?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pengguna jasa Go-
Jek atas penyalahgunaan data pribadinya?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan penelitian ini untuk menghindari uraian yang tidak
menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu dibatasi permasalahannya
yakni mengenai hal sebagai barikut.
1. Hubungan hukum antara perusahaan Go-Jek, pengemudi Go-Jek, dan
pengguna jasa Go-Jek. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak.
2. Bentuk perlindungan hukum pengguna jasa Go-Jek atas penyalahgunaan
data pribadinya, serta diuraikan mengenai tanggung jawab dalam hal
terjadinya penyalahgunaan terhadap data pribadi pengguna jasa Go-Jek.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan data yang didapat oleh, ditemukan penelitian sejenis dengan
penelitian yang dilakukan. Indikator pembeda penelitian terdahulu dengan
penelitian yang dilakukan disajikan dengan tabel di bawah ini.
10
Tabel 1: Daftar Penelitian Sejenis.
No Penulis Judul Rumusan Masalah Tahun
1
Ni Putu Ria
Dewi Marheni,
Program
Pascasarjana
Universitas
Udayana,
Denpasar
Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen
Berkaitan Dengan
Pencantuman
Disclaimer Oleh
Pelaku Usaha Dalam
Situs Internet
(Website)
1. Bagaimanakah
pengaturan
mengenai
pencantuman
disclaimer pada
suatu situs internet
(website) di
Indonesia?
2. Bagaimanakah
bentuk perlindungan
hukum terhadap
konsumen berkaitan
dengan
dicantumkanya
disclaimer oleh
pelaku usaha dalam
situs internet
(website)?
2013
2
Windi Dianti
Agustin,
Fakultas
Hukum
Universitas
Udayana,
Denpasar
Perlindungan Hukum
Atas Data Pribadi
Nasabah Dalam
Penyelenggaraan
Layanan Internet
Banking Pada PT
Bank Syariah
Mandiri
1. Bagaimanakah
perlindungan hukum
atas data pribadi
nasabah dalam
penyelenggaraan
layanan internet
banking pada PT
Bank Syariah
Mandiri?
2. Apakah upaya yang
dilakukan oleh PT
Bank Syariah
Mandiri dalam
meminimalisir resiko
yang terjadi dalam
penyelenggaraan
internet banking?
2015
11
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penulisan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui hubungan hukum yang terjalin antara perusahaan
Go-Jek, pengemudi Go-Jek, dan pengguna jasa Go-Jek.
2. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap
pengguna jasa Go-Jek dalam hal terjadi penyalahgunaan terhadap data
pribadinya.
1.5.2 Tujuan Khusus
Terkait dengan tujuan umum di atas maka penelitian ini memiliki
tujuan khusus yang hendak dicapai, yakni sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui masing-masing hak dan kewajiban dari pihak
perusahaan Go-Jek, pengemudi Go-Jek, dan pengguna jasa Go-Jek.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum dan tanggung jawab
dalam hal terjadinya penyalahgunaan terhadap data pribadi pengguna
jasa Go-Jek.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi manfaat teoritis dan
manfaat praktis, yakni diuraikan sebagai berikut.
12
1.6.1 Manfaat teoritis.
1. Sebagai sumbangan dalam rangka pengembangan disiplin
ilmu pemikiran terutama ilmu hukum khususnya mengenai
perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
2. Penulisan skripsi ini juga diharapkan terdapat informasi
mengenai perlindungan hukum data pribadi, khususnya
perlindungan hukum data pribadi dalam sistem elektronik.
1.6.2 Manfaat praktis
1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau
masukan bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan
mengenai perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
2. Untuk dapat digunakan sebagai bahan atau penambah ilmu
bagi pembaca serta sebagai referensi di bidang perlindungan
hukum data pribadi dalam sistem elektronik.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindetifikasi teori hukum,
konsep hukum, asas hukum, aturan hukum, norma hukum, dan lain-lain yang akan
dipakai sebagai landasan untuk menganalisis dan membahas permasalahan dalam
penelitian. Landasan teori yang digunakan yakni diuraikan sebagai berikut.
1. Teori Perlindungan Hukum.
Timbulnya suatu perlindungan hukum pada dasarnya karena adanya suatu
hubungan hukum. Manusia sebagai makhluk sosial tentu hidup dalam kehidupan
13
bermasyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai interaksi. Berdasarkan hal
tersebut secara sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum
(rechtshandeling) dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).7 secara umum
perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan
terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum
dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Perlindungan hukum diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat
hukum, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan hal tersebut maka perlindungan hukum
merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya
berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan
mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang
melanggarnya.8 Secara teoritis, perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua)
bentuk, yakni sebagai berikut.
a) Perlindungan hukum preventif, yakni bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa dan sangat berarti bagi tindakan pemerintah yang
didasarkan pada kebebasan bertindak.
7 Soeroso, R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
8 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, h.2.
14
b) Perlindungan hukum represif, yakni bertujuan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan atau sengketa.
Berkaitan dengan pengguna jasa atau konsumen, perlindungan hukum terhadap
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum kepada
konsumen penyedia dan pengguna yang berkaitan dengan barang dan jasa.9
2. Perlindungan Data Pribadi di Media Elektronik.
Mengenai data pribadi, Indonesia belum memiliki kebijakan atau regulasi
mengenai perlindungan data pribadi dalam satu peraturan khusus. Pengaturan
mengenai hal tersebut masih termuat terpisah di beberapa peraturan perundang-
undangan dan hanya mencerminkan aspek perlindungan data pribadi secara
umum. Data pribadi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah data pribadi yang
berkaitan langsung dengan data elektronik. Sehingga peraturan perundang-
undangan yang dijadikan referensi ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 1 angka 1 UU ITE
mengatur bahwa:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDJ), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti, atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU ITE dinyatakan bahwa:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
9 Nasution, A.Z, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media,
Jakarta, h.22.
15
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Kedua pengertian tersebut tidak secara eksplisit memberi pengertian
terhadap data pribadi, begitu juga dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam UU
ITE. Tetapi, secara implisit UU ITE ini mengatur pemahaman baru mengenai
perlindungan terhadap keberadaan suatu data atau informasi elektronik baik yang
bersifat umum maupun pribadi. Perlindungan data pribadi dalam sebuah sistem
elektronik dalam UU ITE meliputi perlindungan dari penggunaan tanpa izin,
perlindungan oleh penyelenggara sistem elektronik, dan perlindungan dari akses
dan interferensi ilegal. Terkait perlindungan data pribadi dari penggunaan tanpa
izin, Pasal 26 UU ITE mensyaratkan bahwa penggunaan setiap data pribadi dalam
sebuah media elektronik harus mendapat persetujuan pemilik data bersangkutan.
Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat digugat atas kerugian yang
ditimbulkan. Bunyi Pasal 26 UU ITE yakni sebagai berikut.
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan,
penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan
Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan
berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam penjelasannya, Pasal 26 UU ITE menentukan sebagai berikut.
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi
merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi
yang dimaksud mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan
bebas dari segala macam gangguan.
16
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan (Orang
lain tanpa tindakan memata-matai).
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang
kehidupan pribadi dan data seseorang.
Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam UU ITE dilindungi
hak pribadi seseorang untuk bebas dari segala macam gangguan terhadap
kehidupan pribadinya, yang disebabkan oleh penyalahgunaan data pribadi
teknologi informasi, baik data yang bersifat umum maupun pribadi.
Berkaitan dengan UU ITE, dalam peraturan pelaksananya yakni Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka
27 bahwa, “data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat,
dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.” Dalam pengertian tersebut
tidak dijelaskan rincian data pribadi yang dimaksud, namun data pribadi tersebut
haruslah dijaga dan dilindungi. Selanjutnya Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 82 Tahun
2012 menentukan sebagai berikut.
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib:
a. menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi yang
dikelolanya;
b. menjamin bahwa perolehan, penggunaan, dan pemanfaatan Data Pribadi
berdasarkan persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan; dan
c. menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan berdasarkan
persetujuan dari pemilik Data Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan
yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi pada saat perolehan
data.
Berdasarkan ketentuan tersebut, data pribadi dalam sistem elektronik tentu
mendapat perlindungan hukumnya untuk menjamin kerahasiaan, keutuhan, serta
17
penggunaan dan pemanfaatannya yang harus dilakukan berdasarkan persetujuan
dari pemilik data pribadi tersebut.
3. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Hukum.
Terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi tentu
berdampak terhadap kerugian, sehingga ada prinsip tanggung jawab yang berlaku.
Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan sebagai berikut.
a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on
fault).
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.10
Prinsip ini tergambar dalam beberapa ketentuan di Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yakni Pasal 1365 dan
1367. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa, “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1365 KUHPerdata mengharuskan
terpenuhinya empat unsur pokok untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu
adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita,
dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Ketentuan
10
Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Edmon Makarim II) h. 187.
18
tersebut mengatur mengenai perbuatan melawan hukum yang pada
dasarnya ialah perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang
lain.
b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability).
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah,
dengan kata lain beban pembuktian ada pada tergugat.11
Dalam prinsip
beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.
c) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of
nonliability).
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk
tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability) hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan
pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.12
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan.
Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang
biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah
tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku
usaha) tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Sekalipun
11
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, h. 61. 12
Ibid.
19
demikian, dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara ada penegasan,
„prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab‟ ini tidak lagi
diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab
dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya 1 (satu) juta
rupiah). Artinya, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi
tangan tetap dapat dimintakan pertanggung jawaban sepanjang bukti
kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukan. Pihak yang
dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.
d) Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian, ada
pula para sarjana yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada
pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab
yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan dibebaskan
dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure. Sebaliknya
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak
ada pengecualiannya. Pada dasarnya strict liability adalah bentuk khusus
dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban
dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan
(sebagaimana tort pada umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku
usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena
20
perbuatan melawan hukum itu.13
Dengan prinsip tanggung jawab mutlak
ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita
oleh konsumen karena mengkonsumsi produk yang cacat merupakan suatu
risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus
lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian
produk terhadap konsumen. Di Indonesia, prinsip tanggung jawab mutlak
secara implisit dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1367 dan 1368 KUH
Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab
seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUH Perdata mengatur tentang
tanggung jawab pemilik atau siapapun yang memakai seekor binatang atas
kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di
bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.
Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung
jawab tanpa mempersoalkan adanya perbuatan melepaskan atau
menyesatkan binatangnya.
e) Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku
usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Namun secara umum prinsip tanggung jawab ini
13
Ibid, h. 63
21
sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku
usaha.
f) Tanggung jawab produk (product liability).
Menurut Agnes M. Toar, product liability adalah tanggung jawab
produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam peredaran yang
telah menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut. Dalam hal ini, product liability adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan
suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk dari orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.14
Product liability disebabkan oleh
keadaan tertentu (cacat atau membahayakan orang lain). Tanggung jawab
ini sifatnya mutlak (strict liability) atau semua kerugian yang diderita
seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang
lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka
yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab
mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian
pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab
tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat
14 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
Ghalia Indonesia, Bogor, h. 65.
22
membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen
sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya.
g) Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada 2 (dua)
unsur, yakni kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan
kesempatan oleh pihak lain. Dari unsur kedua, timbul sifat perbuatan, yaitu
adanya keunggulan pada salah satu pihak yang bersifat ekonomis dan/atau
psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi bilamana posisi kemampuan
ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah satu
bergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi
ketergantungan ekonomis tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi
secara kejiwaan. Kondisi penyalahgunaan keadaan ini dapat tercipta
karena adanya “ketergantungan relatif (misalnya antara orang tua dan
anak; suami dan istri; dsb) dan salah satu pihak menyalahgunakan keadaan
pihak lain untuk kepentingannya. Keadaan yang dimaksud disebabkan,
misalnya, yang bersangkutan belum berpengalaman, gegabah, kurang
cerdas dan/atau kurang informasi. Melengkapi pandangan Dunne, J. Satrio
menambahkan 6 (enam) faktor lagi yang dapat dianggap sebagai ciri dari
penyalahgunaan keadaan, diantaranya: a. Pada waktu menutup perjanjian,
salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit; b. Karena keadaan ekonomis,
kesulitan keuangan yang mendesak; c. Karena hubungan atasan-bawahan,
keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan-buruh;
orang tua/wali-anak belum dewasa; d. Karena keadaan, seperti pasien
23
membutuhkan pertolongan dokter ahli; e. Perjanjian itu mengandung
hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak
(prestasi yang tidak seimbang); pembebasan majikan dari resiko dan
menggesernya menjadi tanggungan si buruh; dan f. Kerugian yang sangat
besar dari salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan ini tentulah sangat
relevan untuk disinggung dalam kaitan dengan persengketaan transaksi
konsumen. Keadaan yang lebih unggul dari pelaku usaha baik dari segi
ekonomis maupun psikologis menjadi senjata yang ampuh untuk
mempengaruhi konsumen, sehingga tampaklah bahwa konsumen sangat
rasional dalam memutuskan kehendaknya padahal sejatinya justru
sebaliknya.
Terkait dengan uraian di atas, dalam penerapannya, setiap pertanggung jawaban
harus memiliki dasar yang jelas. Dasar pertanggung jawaban dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya: a. Pertanggung jawaban atas dasar kesalahan,
yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melanggar
hukum, atau tindakan yang kurang hati-hati; dan b. Pertanggungjawaban atas
dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai resiko yang harus
diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu pedoman untuk mempelajari dan
menghadapi lingkungan-lingkungan yang dihadapi, dan digunakan dalam
penelitian ilmiah. Hasil dari penelitian ilmiah ialah sangat bergantung dari
pengumpulan data-data penunjang yang lengkap dan jelas agar hasilnya nanti
24
dapat dipertanggungjawabkan secara benar dan jelas. Demikian halnya dengan
penelitian ini menggunakan metode yang diuraikan sebagai berikut.
1.8.1 Jenis penelitian.
Dalam penyusunan penelitian ini jenis penelitian yang
dipergunakan dalam mengkaji kedua permasalahan di atas adalah yuridis
normatif, yakni penelitian yang mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum
positif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan ini
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, taraf
sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum. Jenis penelitian ini dilakukan karena adanya kekosongan norma
hukum (rechtsvacuum) yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
1.8.2 Jenis pendekatan.
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
ialah pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan
pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), yaitu dilakukan
dengan meneliti semua norma hukum yang bersangkutan dengan isu
hukum yang sedang ditangani.15
Sehingga berbagai peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dengan penelitian ini, yakni Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 11 Tahun
15
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.
25
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik. Selanjutnya, yakni pendekatan analisis konsep
hukum (analitacal and conceptual approach), bahwa digunakan berbagai
konsep mengenai perlindungan data pribadi yang terdapat dalam berbagai
literatur.
1.8.3 Sumber bahan hukum.
Sumber bahan hukum yang digunakan sebagai bahan dalam
penyusunan penelitian ini adalah:
1. Bahan hukum primer, berupa perundang-undangan yang terkait
untuk analisa dalam penelitian ini yakni, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
2. Bahan hukum sekunder, berupa bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
terdiri dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum dapat berupa
buku-buku teks, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
26
putusan pengadilan.16
Bahan hukum sekunder juga termasuk
internet dengan menyebut nama situsnya. Dalam penelitian ini
bahan hukum sekunder yang digunakan ialah berbagai penelitian
mengenai perlindungan data pribadi dan berbagai ketentuan serta
informasi yang ada dalam Situs Resmi Go-Jek Indonesia,
http://www.go-jek.com.
3. Bahan hukum tersier, berupa bahan hukum yang dapat memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder. Contoh dari bahan hukum tersier adalah
bibliografi dan indeks kumulatif.17
Bahan hukum tersier yang
digunakan yakni kamus hukum.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini diawali dengan inventarisasi berbagai bahan-bahan hukum,
kemudian dilakukan klasifikasi untuk lebih memfokuskan pada bahan-
bahan hukum yang mendasar dan penting. Selanjutnya dilakukan
sistematisasi bahan hukum untuk mempermudah dalam membaca dan
memahaminya.
16
Ibid, h. 141.
17
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 24.
27
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum.
Dalam penyusunan penelitian ini, digunakan teknik analisis yuridis
deskriptif yaitu diuraikan fakta mengenai pengaturan perlindungan data
pribadi. Kemudian berdasarkan studi kepustakaan yang diperoleh, maka
bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif
sehingga menghasilkan bahan hukum yang bersifat deskriptif. Teknik ini
digunakan karena teknik deskriptif merupakan suatu cara penelitian yang
menghasilkan data dekriptif-analitif serta bertujuan untuk mengerti atau
memahami gejala yang diteliti.18
Selain itu juga digunakan teknik evaluasi
yakni dilakukan penilaian terhadap berbagai bahan hukum baik bahan
hukum primer, sekunder, maupun tersier tentang perlindungan hukum data
pribadi, khususnya bagi pengguna jasa Go-Jek. Selanjutnya dilakukan
teknik argumentasi karena teknik ini selalu berdampingan dengan teknik
evaluasi. Penilaian-penilaian yang diuraikan dalam penelitian ini harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
18
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 250.