penyalahgunaan zat psikoaktif
DESCRIPTION
tugasan ujianTRANSCRIPT
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
BAB 1
PENDAHULUAN
Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak impikasi untuk penelitian
otak, psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Dinyatakan dengan sederhana,
beberapa zat dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari dalam (sebagai
contoh: mood) maupun aktivitas yang dapat diobservasi dari luar (yaitu, perilaku).Tetapi,
implikasi dari pernyataan sederhana tersebut adalah mengejutkan. Satu implikasi adalah
bahawa zat dapat menyebabkan gejala neuropsikiatrik yang tidak dapat dibedakan dari
gangguan psikiatrik umum tanpa penyebab yang diketahui (sebagai contohnya, skizofrenia
dan gangguan mood). Pengamatan tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menyatakan
bahwa gangguan psikiatrik dan gangguan yang melibatkan penggunaan zat yang
mempengaruhi otak adalah berhubungan. Jika gejala depresif terlihat pada seseorang yang
tidak pernah menggunakan zat yang mempengaruhi otak tidak dapat dibedakan dari gejala
depresif dari seseorang yang telah menggunakan zat yang mempengaruhi otak, mungkin
terdapat kesamaan yang mempunyai dasar pada otak antara perilaku menggunakan zat dan
depresi. Kenyataan bahawa adanya zat yang mempengaruhi otak adalah suatu petunjuk
tentang bagaimana otak bekerja pada keadaan normal ataupun tidak normal.
DSM-IV menyebutkan ketergantungan zat ditandai oleh adanya sekurangnya satu
gejala spesifik yang menyatakan bahawa penggunaan zat telah mempengaruhi kehidupan
seseorang. Seseorang tidak dapat memenuhi penyalahgunaan zat untuk suatu zat tertentu jika
ia tidak pernah memenuhi kriteria untuk ketergantungan pada zat yang sama. Pasien yang
mengalami intoksikasi atau putus zat yang disertai dengan gejala psikiatrik tetapi yang tidak
memenuhi kriteria untuk pola sindrom spesifik untuk gejala (sebagai contohnya depresi)
mendapatkan diagnosis intoksikasi zat, kemungkinan bersama dengan ketergantungan atau
penyalahgunaan.
1
Diagnostic Criteria for Substance Dependence/Ketergantungan Zat
Suatu pola pengguanaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau penderitaan yng
bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih hal-hal berikut yang terjadi pada
tiap saat dalam periode 12 bulan:
1. 1.Toleransi yang didefinisikan sbb:
a. peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat untuk mendapatkan efek yang didamba atau
mencapai intoksikasi.
b.Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah yang sama dari zat.
w 2.Withdrawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari:
a.Sindroma withdrawal khas untuk zat penyebab ( criteria A dan B dari gejala withdrawal zat).
b.Zat yang sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau menghindari gejala-gejala
withdrawal.
3. 3.zat yng dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau lewat dari batas waktu
pemakaiannya.
4. 4.adanya hasrat menetap atau ketidakberhasilan mengurangi atau mengendalikan pemakaian
zat.
5. 5.adanya aktifitas yang menyita waktu untuk kebutuhan mendapatkan zat (mis.mendatangi
berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh), untuk menggunakan zat (merokok
tiada sela) atau untuk pulih dari efeknya.
6. 6.kegiatan-kegiatan sosial yang penting,pekerjaan atau rekreasi dilalaikan atau dikurangi
karena penggunaan zat.
7. 7.penggunaan zat tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problem fisik dan fisiologis
menetap atau berulang disebabkan oleh penggunaan zat (mis.sementara menggunakan kokain
meskipun mengetahui itu menginduksi depresi atau tetap meneguk-alkohol- meskipun
mengetahui hal itu memperburuk ulcus gaster).
Tentukan jika:
Dengan ketergantungan fisiologis: terbukti adanya toleransi atau withdrawal.
Tanpa ketergantungan fisiologis: tidak terbukti adanya toleransi atau withdrawal.
Tentukan perlangsunganya:
Remisi dini penuh
2
Pemisi dini parsial
Remisi penuh menetap
Remisi parsial menetap
Dalam terapi agonis
Dalam lingkungan yang diatur
Menurut PPDGJ-III: Diagnosis Ketergantungan Zat
yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala di bawah ini dialami dalam masa
setahun sebelumnya:
a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa(kompulsi) untuk
menggunakan zat
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal, usaha
penghentian atau tingkat penggunaannya
c) Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
penguranagn, terbukti orang tersebut menggunakan zat atau golongan yang sejenis
dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat
d) Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna
memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah
(contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan ketergantungan alkohol dan
opiat yang secara rutin setiap hari menggunakan zat tersebutsecukupnya untuk
mengendalikan keinginannya).
e) Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan kerana penggunaan
zat psikoaktif yang lain, meningkatkan jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya
f) Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati kerana minum alkohol berlebihan,keadaan
depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi kognitif akibat
menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat
bersungguh-sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya
bahaya.
3
DSM-IV-TR: Diagnostic Criteria for Substance Abuse (Penyalahgunaan Zat)
A. A. Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau penderitaan yng
bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 1 (satu) atau lebih hal-hal berikut yang terjadi dalam
periode 12 bulan:
B.
1. 1.Penggunaan berulang zat menyebabkan kegagalan memenuhi tugas utama ditempat
kerja,sekolah atau dirumah (mis. berulangkali bolos hasil kerja yang buruk karena penggunaan
zat, bolos,diganjar atu dikeluarkan dari sekolah karena penggunaan zat,mengabaikan anak
atau anggota keluarga).
2. 2.Berulangkali menggunakn zat dalm situasi yang membahayakan fisik (mis.mengemudikan
kendaraan atau mengoperasikan mesin saat terganggu oleh pemakaiannya).
3. 3. Berulangkali berurusan dengan hukum karena penggunaan zat (ditangkap karena ulah
berkaitan dengan penggunaannya).
4. meneruskan penggunaan zat meskipun tetap atau berulang memiliki problem sosial atau
interpersonal disebabkan atau kambuhnya efek2 dari zat (mis.berdebat dengan pasangan
tentang akibat intoksikasi,berkaelahi).
B. 4.Gejala-gejalanya tidak memenuhi kriteria Ketergantungan zat yang digunakan.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance Intoxication (Intoksikasi Zat)
A A.Terjadinya sindroma reversible zat spesifik karena barusan menelannya atau terpapar
olehnya.cat: zat yang berbeda dapat memberi sindroma yang mirip atau sama.
B. B.Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perobahan psikologis karena efek
dari zat terhadap sitim saraf pusat (mis. keadaan siap tempur,labilitas mood,gangguan
kognitif, penilaian,sosial dan fungsi pekerjaan) yang terjadi segera setelah penggunaan zat.
C. C.Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Substance withdrawal (Putus Zat)
A. A.Terjadinya sindroma zat spesifik karena penghentian mendadak (atau pengurangan)
penggunaan zat yang lama dan berat.
B. B.Sindroma diatas menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam hal sosial,pekerjaan atau area fungsi-fungsi penting lainnya
C. C.Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental lainnya.
4
BAB II
GANGGUAN BERHUBUNGAN DENGAN ALKOHOL
II.1 Etiologi
Riwayat Masa Kanak-kanak
Beberapa faktor telah teridentifikasi dalam riwayat masa kanak-kanak dari seseorang
yang memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol. Anak-anak beresiko yang memiliki
gangguan berhubungan dengan alkohol yaitu jika satu atau lebih orang tuanya adalah
pengguna alkohol.
Pada riwayat masa kanak-kanak terdapat gangguan defisit-atensi / hiperaktivitas atau
gangguan konduksi atau keduanya yang meningkatkan resiko anak untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol pada masa dewasanya. Gangguan kepribadian khususnya
gangguan kepribadian antisosial juga merupakan predisposisi seseorang kepada suatu
gangguan berhubungan dengan alkohol.
Faktor Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah dipusatkan
pada hipotesis superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari
perkembangan psikoseksual.
Menurut teori psikoanalisis, orang dengan superego yang keras yang bersifat
menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai cara menghilangkan stres bawah sadar
mereka. Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin diturunkan
dengan menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya. Beberapa dokter psikiatrik
psikodinamika menggambarkan kepribadian umum dari seseorang dengan gangguan
berhubungan dengan alkohol adalah pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh
kecemasan, hipersensitif, dan terrepresi secara seksual.1
Aforisme psikoanalisis yang umum adalah bahwa superego dapat larut dalam alkohol.
Pada tingkat yang kurang teoritis, alkohol dapat disalahgunakan oleh beberapa orang sebagai
cara untuk menurunkan ketegangan, kecemasan, dan berbagai jenis penyakit psikis.
5
Konsumsi alkohol pada beberapa orang juga menyebabkan rasa kekuatan dan meningkatnya
harga diri.
Faktor Sosial dan Kultural
Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama perguruan
tinggi dan basis militer adalah dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan dipandang
normal dan prilaku yang diharapkan secara sosial. Sekarang ini, perguruan tinggi dan
universitas mencoba mendidik mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari minum alkohol
yang berlebihan.
Faktor Prilaku dan Pelajaran
Sama seperti faktor kultural, faktor prilaku dan pelajaran juga dapat mempengaruhi
kebiasaan minum, demikian juga kebiasaan didalam keluarga, khususnya kebiasaan minum
pada orang tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti menunjukkan
bahwa, walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang mempengaruhi kebiasaan minum
pada anak-anaknya, kebiasaan minum pada keluarga kurang langsung berhubungan dengan
perkembangan gangguan berhubungan dengan alkohol seperti yang dianggap sebelumnya,
walaupun hal tersebut memang memiliki peranan penting.
Dari sudut pandang prilaku, ditekankan pada aspek pendorong positif dari alkohol,
alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat dan euforia pada seseorang. Selain itu,
konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat mendorong
seseorang untuk minum lebih lanjut.
Faktor Genetika dan Biologi Lainnya
Data yang kuat menyatakan adanya suatu komponen genetika pada sekurangnya suatu
bentuk gangguan berhubungan dengan alkohol. Laki-laki lebih banyak menggunakan alkohol
daripada wanita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan sanak saudara
tingkat pertama yang terpengaruh oleh gangguan berhubungan dengan alkohol adalah 3-4
kali lebih mungkin memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol daripada orang yang
tidak memiliki sanak saudara tingkat pertama yang terpengaruh dengan alkohol.1
Pada suatu penelitian ditemukan bahwa gangguan terkait alkohol lebih tinggi
resikonya pada kembar monizygot daripada dizygot.3
6
II.2 Efek fisiologi dari alkohol
Istilah "alkohol" ditunjukkan pada sebagian besar molekul organik yang memiliki
gugus hidroksil (-OH) yang melekat pada atom karbon jenuh. Etil alkohol juga disebut
sebagai etanol merupakan bentuk alkohol yang umum, sering kali disebut alkohol minuman,
etil alkohol digunakan dalam minuman. Rumus kimia untuk etanol adalah CH3-CH2-OH.
Karakteristik rasa dan bau berbagai minuman yang mengandung alkohol tergantung
kepada metode pembuatannya, yang menghasilkan berbagai senyawa dalam hasil akhirnya.
Senyawa tersebut termasuk metanol, butanol, aldehida, fenol, tannins, dan sejumlah kecil
berbagai logam. Walaupun senyawa ini dapat menyebabkan suatu efek psikoaktif yang
berbeda pada berbagai minuman yang mengandung alkohol, perbedaan tersebut dalam
efeknya adalah minimal dibandingkan dengan efek etanol itu sendiri.
Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus
kecil. Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya
dalam 45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang
meningkatkan absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi.
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor
selama mana alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat 15-30% (kemurnian -30 sampai -60).
Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika
konsentrasi alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan
katup pilorik ditutup, hal tersebut akan memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol
masuk ke usus kecil. Jadi, sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam
lambung selama berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan
muntah.
Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Jaringan yang mengandung proporsi air yang tinggi memiliki konsentrasi
alkohol yang tinggi. Efek intoksikasi menjadi lebih besar jika konsentrasi alkohol didalam
darah tinggi.
7
Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan
tanpa diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak
tergantung pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu memetabolisme kira-kira 15 mg/dl
setiap jam dengan rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya.
Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH)
dan aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida
yang merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi
asetaldehida menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram ( An-
tabuse), yang sering digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih
rendah dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih
terintoksikasi dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan
fungsi enzim yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi
intoksikasi alkohol dan gejala toksik.
Efek pada otak
Biokimiawi
Berbeda dengan zat yang lain yang disalahgunakan yang mempunyai reseptor yang
dapat diidentifikasi-sebagai contoh, reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) untuk
phencyclidine-tidak ada target molekular tunggal yang telah diidentifikasi sebagai mediator
untuk efek alkohol.Teori yang telah lama menunjukkan bahwa efek biokimiawi alkohol
terjadi pada membran neuron. Sejumlah hipotesis mendukung bahwa alkohol akan
menimbulkan efek karena ikatannya dengan membran yang menyebabkan meningkatnya
fluiditas membran pada penggunaan jangka pendek. Tetapi, pada penggunaan jangka panjang
teori menyatakan bahwa membran akan menjadi kaku. Fluiditas membran penting untuk
dapat berfungsi sebagai reseptor, saluran ion, dan protein fungsional pada membran lainnya
secara normal. Secara spesifik, suatu penelitian menunjukkan bahwa efektivitas saluran
alkohol yang berhubungan dengan reseptor asetilkolin nikotinik, serotonin (5-
hydroxytryptamine) tipe 3 (5-HT3) dan GABA tipe A (GABA A) diperkuat oleh alkohol,
sedangkan aktivitas saluran ion yang berhubungan dengan reseptor glutamat dan saluran
kalsium gerbang voltasi (voltage-gated calcium channel) yang akan di inhibisi.
8
Efek prilaku
Hasil akhir aktivitas molekular adalah bahwa alkohol memiliki fungsi depresan yang
sangat mirip dengan barbiturat dan benzodiazepin. Pada konsentrasi 0,05% alkohol didalam
darah, maka pikiran, pertimbangan, dan pengendalian akan mengalami kemunduran dan
sering kali terputus. Pada konsentrasi 0,1 aksi motorik akan canggung. Pada konsentrasi 0,2%
fungsi seluruh daerah motorik menjadi terdepresi, bagian otak yang mengontrol prilaku
emosional juga terpengaruhi. Pada konsentrasi 0,3% seseorang biasanya mengalami konfusi
dan dapat menjadi stupor. Pada konsentrasi 0,4-0,5% dapat terjadi koma. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi, pusat primitif diotak yang mengontrol pernapasan dan kecepatan denyut
jantung akan terpengaruhi dan dapat terjadi kematian. Kematian adalah sekunder kerana
depresi pernafasan langsung atau aspirasi muntah.
Efek fisiologis lain
Hati
Efek dari penggunaan alkohol yang utama adalah terjadinya kerusakan hati.
Penggunaan alkohol walaupun dalam jangka waktu yang pendek dapat menyebabkan
akumulasi lemak dan protein yang dapat menimbulkan perlemakan hati (fatty liver) yang
pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran hati.
Sistem gastrointestinal
Meminum alkohol dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya
esofagitis, gastritis, aklorhidria, dan ulkus lambung. Perkembangan menjadi varises esofagus
dapat menyertai pada seseorang dengan penyalahgunaan alkohol yang berat, pecahnya
varises esofagus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang sering menyebabkan
perdarahan bahkan kematian. Kadang-kadang juga dapat terjadi gangguan pada usus,
pankreatitis, insufisiensi pankreas, dan kanker pankreas. Asupan alkohol yang banyak dapat
mengganggu proses pencernaan dan absorbsi makanan yang normal. Sebagai akibatnya
makanan yang dikonsumsi dalam penyerapannya menjadi tidak adekuat.
Sistem tubuh lain
Asupan alkohol yang signifikan dihubungkan dengan meningkatnya tekanan darah,
disregulasi lipoprotein dan trigliserida serta meningkatkan terjadinya infark miokardium dan
penyakit serebrovaskular. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa alkohol dapat merugikan
9
sistem hemopoetik dan dapat meningkatkan insidensi kanker, khususnya kanker otak, leher,
esofagus, lambung, hati, kolon, dan paru-paru. Intoksikasi akut juga dapat menyebabkan
hipoglikemia, yang jika tidak cepat terdeteksi akan menyebabkan kematian mendadak pada
orang yang terintoksikasi. Kelemahan otot adalah efek samping dari alkoholisme.
Tes laboratorium
Kadar gamma-glutamiyl transpeptidase meningkat pada kira-kira 80% dari semua
pasien dengan gangguan berhubungan dengan alkohol, dan volume korpuskular rata-rata
(MCV; mean corpuscular volume) meningkat kira-kira 60%. Hasil tes laboratorium lain yang
mungkin berhubungan dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah asam urat,
trigliserida, glutamat oksaloasetat transaminase serum (SGOT) atau aspartat aminotransferase
(AST), dan glutamatpiruvat transaminase (SGPT) atau alanin aminotransferase (ALT).1
II.3 Gangguan-gangguan
DSM-IV menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol dan menyebutkan
kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol dan putus alkohol.
Gangguan berhubungan alkohol
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan akibat alkohol
Intoksikasi alkohol
Putus alkohol
Sebutkan jika:dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi alkohol
Delirium putus alkohol
Demensia menetap akibat alkohol
10
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan waham
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan mood akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Disfungsi seksual akibat alkohol
Sebutkan jika: Dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
??
Gangguan berhubungan alkohol yang tidak ditentukan
11
II.4 Intoksikasi alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
DSM-IV mempunyai kriteria resmi tentang diagnosis intoksikasi alkohol. Kriteria
menekakan sejumlah cukup konsumsi alkohol, perubahan prilaku maladaptif spesifik, tanda
gangguan neurologis, dan tidak adanya diagnosis atau kondisi lain yang membaur.
Intoksikasi alkohol bukan merupakan kondisi yang ringan. Intoksikasi alkohol yang
parah dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan dan kematian, baik karena henti
pernapasan atau karena aspirasi muntah.pengobatan untuk intoksikasi berat berupa bantuan
pernapasan mekanik diunit perawatan intensif, dengan perhatian pada keseimbangan asam
basa pasien, elektrolit, dan temperatur. Beberapa penelitian aliran darah serebral selama
intoksikasi alkohol mengalami peningkatan tetapi akan menurun pada minum alkohol
selanjutnya.
Beratnya gejala intoksikasi alkohol berhubungan secara kasar dengan konsentrasi
alkohol dalam darah, yang mencerminkan intoksikasi alkohol didalam otak. Pada onset
intoksikasi, beberapa orang menjadi suka bicara dan suka berkelompok, beberapa menjadi
menarik diri dan cemberut, yang lainnya menjadi suka berkelahi. Beberapa pasien
menunjukkan labilitas mood, dengan episode tertawa dan menangis yang saling bergantian
(intermiten). Toleransi jangka pendek terhadap alkohol dapat terjadi, orang tersebut tampak
kurang terintoksikasi setelah berjam-jam minum daripada setelah hanya beberapa jam.
Komplikasi medis intoksikasi alkohol sering disebabkan karena terjatuh yang dapat
menimbulkan hematoma subdural dan fraktur. Tanda yang menggambarkan intoksikasi
akibat sering bertanding minum adalah hematoma wajah, khususnya disekitar mata, yang
disebabkan terjatuh atau berkelahi saat mabuk.
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Prilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya,
prilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan pertimbangan,
gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah
ingesti alkohol
12
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol
1) Bicara cadel
2) Inkoordinasi
3) Gaya berjalan tidak mantap
4) Nistagmus
5) Gangguan atensi atau daya ingat
6) Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
II.5 Putus alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
Diagnosis putus alkohol disebut putus alkohol tanpa komplikasi di dalam DSM-III-R
untuk membedakannya dengan delirium putus alkohol. Kata “tanpa komplikasi”
(uncomplicated) dikeluarkan dari DSM-IV karena putus alkohol, walaupun tanpa delirium,
dapat bersifat serius dan dapat termasuk kejang dan hiperaktifitas otonomik. Keadaan yang
dapat mempredisposisikan atau memperberat gejala putus alkohol adalah kelelahan,
malnutrisi, penyakit fisik, dan depresi.
Kriteria DSM-IV untuk putus alkohol memerlukan dihentikannya atau penurunan
penggunaan alkohol yang sebelumnya berat dan lama, dan juga adanya gejala fisik atau
neuropsikiatrik spesifik.
Diagnosis DSM-IV juga memungkinkan menentukan “dengan gangguan persepsi”.
Suatu penelitian dengan Tomografi Emisi Positron (PET; positron emission tomographic)
terhadap aliran darah selama putus alkohol pada seseorang dengan ketergantungan alkohol
dengan keadaan lain yang sehat, menemukan kecepatan aktivitas metabolik yang rendah
secara menyeluruh. Dengan penelitian dan pengamatan selanjutnya aktivitas tersebut
menurun pada daerah parietal kiri dan frontalis kanan.
Tanda klasik dari putus alkohol adalah gemetar,kejang, dan gejala delirium tremens
(DTs), sekarang disebut delirium putus alkohol dalam DSM-IV. Gemetar muncul 6-8 jam
13
setelah dihentikannya minum, gejala psikotik dan persepsi muncul dalam 8-12 jam, kejang
dalam 12-24 jam, DTs dalam 72 jam. Tremor pada putus alkohol dapat mirip dengan tremor
fisiologis, dengan suatu tremor kontinyu dan amplitudo yang besar dan lebih dari 8 Hz, atau
dengan tremor familisl, dengan ledakan aktivitas tremor yang lebih lambat dari 8 Hz.
Gejala lain putus alkohol adalah iritabilitas umum, gejala gastrointestinal (mual dan
muntah) dan hiperaktivitas otonomik simpatik, termasuk kecemasan, kesiagaan, berkeringat,
kemerahan pada wajah, midriasis, takikardia, dan hipertensi ringan. Pasien dengan putus
alkohol biasanya sadar tetapi mudah dikagetkan.
Kejang putus alkohol
Kejang yang berhubungan dengan putus alkohol adalah kejang strereotipik,
menyeluruh, dan tonik klonik. Pasien sering kali mengalami lebih dari satu kejang dalam 3-6
jam setelah kejang pertama. Status epileptikus relatif jarang pada pasien putus alkohol, terjadi
pada kurang dari 3% dari seluruh pasien. Walaupun medikasi antikonvulsan tidak diperlukan
dalam penatalaksanaan kejang putus alkohol, penyebab kejang masih sulit untuk ditentukan
jika pasien pertama kali diperiksa diruang gawat darurat; jadi banyak pasien dengan kejang
putus alkohol mendapatkan terapi antikonvulsan, yang selanjutnya dihentikan jika penyebab
kejang telah diketahui. Penyalahgunaan alkohol jangka panjang dapat menyebabkan
hipoglikemia, hiponatremia, dan hipomagnesemia yang semuanya dapat juga menyebabkan
terjadinya kejang.
Kriteria Diagnostik untuk Putus Alkohol
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A
1) Hiperaktivitas otonomik (misalnya, berkeringat atau kecepatan denyut nadi
lebih dari 100)
2) Peningkatan tremor tangan
3) Insomnia
4) Mual dan muntah
5) Halusinasi atau ilusi penglihatan, raba atau dengar yang transien
6) Agitasi psikomotor
7) Kecemasan
14
8) Kejang grand mal
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang serius secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oelh gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Terapi obat untuk intoksikasi dan putus alkohol
Masalah
klinis
Obat Jalur Dosis Keterangan
Gemetaran
dan agitasi
ringan sampai
sedang
chlordiazepoxide Oral 25-100 mg tiap 4-6
jam
Dosis awal dapat
diulangi tiap 2 jam
sampai pasien tenang;
dosis selanjutnya harus
ditentukan secara
individual dan dititrasi
Halusinosis
Agitasi parah
Diazepam
Lorazepam
chlordiazepoxide
Oral
Oral
Intravena
5-20 mg tiap 4-6
jam
2-10 mg tiap 4-6
jam
0,5 mg/kg pada
12,5 mg/mnt
Berikan sampai pasien
tenang; dosis
selanjutnya harus
ditentukan secara
indivisual dan dititrasi
Kejang putus Diazepam Intravena 0,15 mg/kg pada
2,5 mg/mnt
Delirium
tremens
Lorazepam Intravena 0,1 mg/kg pada 2,0
mg/mnt
15
II.6 Gangguan psikotik akibat alkohol
Diagnostik dan gambaran klinis
Kreteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alcohol-induced psycotik
disorder) (sebagai contoh halusinasi dan waham) ditemukan di dalam kategori DSM-IV
tentang gangguan psikotik akibat zat (subtance-induced psycotic disorder). DSM-IV
memungkinkan lebih jauh untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol)
dan apakah halusinasi atau waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi yang terjadi selama
putus alkohol yang digunakan didalam DSM-III R tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-IV
adalah halusinasi alkohol. Halusinasi yang paling sering adalah auditorik, biasanya berupa
suara-suara, tetapi suara tersebut sering kali tidak terstruktur. Suara-suara karakteristiknya
adalah memfitnah, mencela, atau mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan bahwa
suara-suara itu adalah menyenangkan dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya berlangsung
selama kurang dari 1 minggu walaupun selama minggu tersebut gangguan test realitas adalah
sering. Setelah episode, sebagian besar pasien menyadari sifat halusinasi dari gejalanya.
Halusinasi setelah putus alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan sindrom
adalah berbeda dari delirium putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua usia, tetapi
biasanya berhubungan dengan orang yang telah melakukan penyalahgunaan alkohol dalam
jangka waktu yang lama. Walaupun biasanya halusinasi menghilang dalam 1 minggu, tapi
pada beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol harus
dibedakan dengan skizofren yang berhubungan dengan temporal dengan putus alkohol, tidak
adanya riwayat klasik skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat. Halusinasi
berhubungan dengan putus alkohol dibedakan dari DTs oleh karena adanya sensorium yang
jernih pada pasien.
Pengobatan
Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus alkohol sama dengan DTs yaitu
dengan benzodiazepin, nutrisi yang adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal
dan pada kasus jangka panjang, antipsikotik dapat digunakan.
16
II.7 Pengobatan
Psikoterapi
Psikoterapi memusatkan pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik
adalah dimana pasien minum, dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang
diharapkan dari minum, dan cara alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. Melibatkan
pasangan yang tertarik dan bekerja sama dalam terapi bersama (conjoint therapy) untuk
sekurangnya satu sesion adalah sangat efektif.
Medikasi
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepin.
Penelitian menunjukkan bahwa benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang,
delirium, kecemasan, dan tremor yang berhubungan dengan putus alkohol. Benzodiazepin
dapat diberikan peroral maupun parenteral. Diazepam (Valium) ataupun chlordiazepoxide
(Librium) tidak boleh diberikan IM karena adanya absorbsi yang menentu dari obat jika
diberikan dengan cara tersebut. Benzodiazepin dititrasi mulai dosis tinggi dan menurunkan
dosis saat pasien pulih. Benzodiazepin dalam jumlah yang cukup harus digunakan untuk
menjaga pasien tetap tenang dan tersedasi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa carbamazepine (Tegretol) dalam dosis 800
mg sehari sama efektifnya dengan benzodiazepin dan mempunyai manfaat tambahan
kemungkinan penyalahgunaan yang minimal.
17
BAB III
GANGGUAN BERHUBUNGAN DENGAN AMFETAMIN
III.1 Bentuk-bentuk
Sekarang ini, amfetamin utama yang tersedia di amerika Serikat adalah
dextroamphetamine (Dexedrine), methamphetamine dan methylphenidate (Ritalin). Obat
tersebut beredar dengan nama jalanan seperti crack,crystal, crystal meth, dan speed.Sebagai
suatu kelas umum, amfetamin juga dimaksudkan sebagai suatu simpatomimetik, stimulan dan
psikostimulan.
Amfetamin tipikal digunakan untuk meningkatkan daya kerja dan untuk menginduksi
perasaan euforik. Pelajar yang belajar untuk ujian, pengendara truk jarak jauh,orang bisnis
dengan deadline yang sangat penting,dan atlet dalam kompetisi adalah contoh-contoh orang
dan situasi dimana amfetamin digunakan. Amfetamin adalah obat yang adiktif, walaupun
tidak seadiktif kokain.
Zat yang berhubungan dengan amfetamin lainnya adalah ephedrine dan
propranolamine yang tersedia bebas sebagai suatu dekongestan
hidung.Phenylpropranolamine (PPA) juga tersedia sebagai penekan nafsu makan. Walaupun
kurang poten dibandingkan dengan amfetamin klasik, ephedrine dan propranolamine sasaran
penyalahgunaan, sebagian kerana obat tersebut mudah didapatkan dan harganya murah.
Ada dua jenis amfetamin, yaitu:
o Methamfetamin ice, dikenal sebagai shabu. Nama lainnya shabu-shabu. SS, ice,
crystal, crank. Cara penggunaannya dibakar dengan menggunakan kertas alumunium
foil dan asapnya dihisap, atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang
dirancang khusus (bong). Ice adalah bentuk murni dari methamphetamine yang dapat
diinhalasi, diisap seperti rokok, atau disuntikkan secara intravena oleh pelaku
penyalahgunaan zat. Ice paling banyak digunakan di Pantai Barat di Amerika Serikat
dan di Hawaii. Efek psikologis dari Ice berlangsung selama beberapa jam dan
digambarkan cukup kuat. Tidak seperti crack cocaine, yang harus diimpor, ice adalah
suatu obat sintetik yang dapat dibuat dalam laboratorium gelap setempat. Beberapa
badan hukum dan dokter ruang gawat darurat perkotaan berpendapat bahwa ice dapat
menjadi obat yang disalahgunakan secara luas selama lima tahun mendatang.
18
o MDMA (methylene dioxy methamphetamin), mulai dikenal sekitar tahun 1980 dengan
nama Ekstasi atau Ecstacy. Nama lain : XTC, fantacy pils, inex, cece, cein, Terdiri
dari berbagai macam jenis antara lain : white doft, pink heart, snow white, petir yang
dikemas dalam bentuk pil atau kapsul. Obat amfetamin klasik (dextroamphetamine,
methamphetamine, dan methylphenidate) mempunyai efek utamanya melalui sistem
dopaminergik. Sejumlah obat yang disebut dengan amfetamin racikan / designer
amphetamine (MDMA, ecstacy, XTC, Adam, MDEA/Eve, MMDA, DOM/STP) telah
dibuat dan mempunyai efek neurokimiawi pada sistem serotonergik dan dopaminergik
dan efek perilaku yang mencerminkan suatu kombinasi aktifitas obat mirip amfetamin
dan mirip halusinogen. Beberapa ahli farmakologis mengklasifikasikan amfetamin
racikan sebagai halusinogen; tetapi, Kaplan dan Sadock mengklasifikasikan obat
tersebut dengan amfetamin karena strukturnya yang sangat berhubungan. MDMA
merupakan yang paling banyak diteliti dan kemungkinan merupakan yang paling
banyak tersedia.
III.2 Epidemiologi
Di tahun 1991 kira-kira 7 persen populasi di Amerika Serikat menggunakan stimulan
sekurangnya satu kali, walaupun kurang dari 1 persen merupakan pengguna sekarang ini
(current user). Kelompok usia 18-25 tahun mempunyai tingkat penggunaan paling tinggi,
dengan 9 persen melaporkan menggunakan sekurangnya satu kali dan 1 persen
menggambarkan dirinya sebagai pengguna sekarang ini. Di antara kelompok usia 12 sampai
17 tahun adalah cukup tinggi, dengan 3 persen melaporkan menggunakan sekurangnya satu
kali dan 1 persen melaporkan penggunaan sekarang ini. Pemakaian amfetamin ditemukan
dalam semua kelas ekonomi, dan kecenderungan umum untuk penggunaan amfetamin adalh
tinggi di antara profesional bangsa Kaukasia. Karena amfetamin tersedia oleh peresepan
untuk indikasi spesifik, dokter yang mengeluarkan resep harus menyadari resiko
penyalahgunaan amfetamin oleh orang lain, termasuk teman dan anggota keluarga pasien
yang mendapatkan amfetamin. Tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang
epidemiologi penggunaan amfetamin racikan.
III.3 Mekanisme kerja Amfetamin (Neurofarmakologi)
Semua amfetamin cepat diabsorbsi peroral dan disertai dengan onset kerja yang cepat,
biasanya dalam satu jam jika digunakan peroral. Amfetamin klasik juga digunakan secara
19
intravena; dengan cara tersebut mereka mempunyai efek yang hampir segera. Amfetamin
yang tidak diresepkan dan amfetamin racikan juga dimasukkan dengan inhalasi. Toleransi
dapat timbul pada amfetamin klasik dan racikan, sehingga pemakai amfetamin sering kali
mengatasi toleransi dengan menggunakan lebih banyak obat. Amfetamin lebih kurang adiktif
dibandingkan kokain, seperti yang dibuktikan pada percobaan binatang dimana tidak semua
tikus memasukkan sendiri dosis rendah amfetamin.
Amfetamin adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak langsung
dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan katekolamin
endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik
disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter dari daerah presinap. Amfetamin klasik
mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron presinap dan
menginhibisi aktivitas monoamin oksidase, sehingga konsentrasi dari neurotransmitter
terutama dopamin cenderung meningkat dalam sinaps. Efek tersebut terutama kuat pada
neuron dopaminergik yang keluar dari area tegmental ventralis ke korteks serebral dan area
limbik. Jalur tersebut disebut jalur hadiah (reward pathway) dan aktifasinya kemungkinan
merupakan mekanisme adiksi utama bagi amfetamin.
Amfetamin racikan (MDMA, MDEA, MMDA, DOM) menyebabkan pelepasan
katekolamin (dopamin dan norepinefrin) dan pelepasan serotonin. Serotonin adalah
neurotransmiter yang berperan sebagai jalur neurokimiawi utama yang terlibat dalam efek
halusiogen. Farmakologi MDMA adalah yang paling dimengerti di antara semua jenis
amfetamin racikan. MDMA diambil dalam neuron serotonergik oleh transporter serotonin
yang bertanggung jawab untuk reuptake serotonin. Setelah di dalam neuron, MDMA
menyebabkan pelepasan cepat suatu bolus serotonin dan menghambat aktifitas enzim yang
menghasilkan serotonin. Pengguna SSRI/Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (fluoxetine)
tidak dapat mencapai perasaan elasi jika mereka menggunakan MDMA karena SSRI
mencegah pengambilan/uptake MDMA ke dalam neuron serotonergik.
Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf pusat dipengaruhi oleh pelepasan
biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin dan serotonin atau ketiganya dari tempat
penyimpanan pada presinap yang terletak pada akhiran saraf. Efek yang dihasilkan dapat
melibatkan neurotransmitter atau sistim monoamine oxidase (MAO) pada ujung presinaps
saraf.
20
III.4 Diagnosis
DSM-IV-TR mencantumkan banyak gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin)
(Tabel 9.3-l) namun hanya merinci kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin (Tabel 9.3-2),
keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3), dan gangguan terkait amfetamin yang tak-
tergolongkan (Tabel 9.3-4) pada bagian gangguan terkait amfetamin (atau lir-arnfetamin).
Kriteria diagnosis gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) lain tercantum dalam
bagian DSM-IV-TR yang berhubungan dengan gejala fenomenologis primer (contohnya
psikosis).
III.5 Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin
Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada
amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral
yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan
dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan
dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang
biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide
paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan.
III.6 lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin (menyebabkan
pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang penyalahgunaan dan
intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada amfetamin, literatur
klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada penyalahgunaan kokain.
Pada DSM-IV-TR, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah
namun hampir sama. DSM-IV-TR merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi
amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis gangguan psikotik
terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian
besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam.
Kriteria diagnostik untuk intoksikasi amfetamin menurut DSM-IV:
A. Pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan (misalnya methylphenidate) yang
belum lama terjadi.
B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya
euforia atau penumpulan afektif, perubahan sosiabilitas, kewaspadaan berlebihan, kepekaan
21
interpersonal, kecemasan, ketegangan, atau kemarahan, perilaku stereotipik, gangguan
pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau
segera setelah pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan.
C. Dua (atau lebih) hal berikut berkembang selama atau segera sesudah pemakaian
amfetamin atau zat yang berhubungan;
(1) takikardia atau bradikardia
(2) dilatasi pupil
(3) peninggian atau penurunan tekanan darah
(4) berkeringat atau menggigil
(5) mual atau muntah
(6) tanda-tanda penurunan berat badan
(7) agitasi atau retardasi psikomotor
(8) kelemahan otot, depresi pernapasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
(9) konfusi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
Sebutkan jika: dengan gangguan persepsi
III.7 Keadaan Putus Amfetamin
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood
disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang
berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak
terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I
minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi
berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan
ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk keadaan putus amfetamin
merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis tersebut.
Kriteria diagnostik untuk putus amfetamin menurut DSM-IV:
A. Penghentian (atau penurunan) amfetamin (atau zat yang berhubungan) yang sudah
lama atau berat
B. Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, yang berkembang
dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:
(1) kelelahan
22
(2) mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
(3) insomnia atau hipersomnia
(4) peningkatan nafsu makan
(5) retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
III.8 Amfetamin Psikosis
Efek penggunaan jangka panjang bisa menimbulkan kondisi yang disebut dengan
amfetamin psikosis. Gangguan mental ini sangat mirip sekali dengan paranoid schizophrenia.
Efek psikosis ini juga bisa muncul pada penggunaan jangka pendek dengan dosis yang besar.
Kondisi psikosis inilah yang tidak disadari oleh kebanyakan pengguna amfetamin. Karena
efeknya baru muncul jangka panjang maka sering kali efek ini disalah artikan. Pengalaman
dari negara-negara lain yang sudah lebih lama muncul penggunaan amfetamin, telah banyak
korban dengan gangguan psikosis atau gangguan kejiwaan yang parah. Tanda utama dari
gangguan psikotik akibat amfetamin adalah adanya paranoia. Skizofrenia dapat dibedakan
dari gangguan psikotik akibat amfetamin oleh sejumlah karakteristik seperti menonjolnya
halusinasi visual, afek yang biasanya sesuai, hiperaktifitas, hiperseksualitas, konfusi dan
inkoherensi, dan sedikit bukti gangguan berpikir (sebagai contohnya, asosiasi longgar).
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa, walaupun gejala positif skizofrenia dan
gangguan psikotik akibat amfetamin adalah serupa, pendataran afek dan alogia dari
skizofrenia biasanya tidak ditemukan pada gangguan psikotik akibat amfetamin. Tetapi,
secara klinis, gangguan psikotik akibat amfetamin akut mungkin sama sekali tidak dapat
dibedakan dari skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari atau temuan positif
pada uji saring urine yang akhirnya mengungkapkan diagnosis yang tepat. Beberapa bukti
menyatakan bahwa penggunaan amfetamin jangka panjang adalah disertai dengan
peningkatan kerentanan terhadap perkembangan psikosis di bawah sejumlah keadaan,
termasuk intoksikasi alkohol dan stres. Pengobatan terpilih untuk gangguan psikotik akibat
amfetamin adalah penggunaan jangka pendek antagonis reseptor dopamin seperti haloperidol.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat amfetamin dengan
gangguan psikotik lainnya. DSM-IV memungkinkan dokter menyebutkan apakah waham
atau halusinasi adalah merupakan gejala yang menonjol.
23
III.9 Pengobatan
Pengobatan gangguan berhubungan amfetamin (atau mirip amfetamin) adalah mirip
dengan gangguan berhubungan kokain dengan kesulitan dalam membantu pasien tetap
abstinen dari obat, yang mempunyai kualitas mendorong yang sangat kuat dan menginduksi
kecanduan. Lingkungan rawat inap dan macam-macam cara pengobatan (psikoterapi
individual, keluarga, dan kelompok) biasanya diperlukan untuk mencapai abstinensi zat yang
berlangsung selamanya. Pengobatan gangguan spesifik akibat amfetamin (seperti gangguan
kecemasan dan gangguan psikotik) dengan obat yang spesifik (sedatif dan antipsikotik)
mungkin diperlukan dalam jangka pendek. Antipsikotik, baik phenotiazine atau haloperidol,
dapat diresepkan untuk beberapa hari pertama. Tanpa adanya psikotik, diazepam (Valium)
berguna untuk mengobati agitasi dan hiperaktifitas pasien.
Dokter harus menegakkan ikatan teraupetik dengan pasien untuk mengatasi depresi
atau gangguan kepribadian dasar atau keduanya; tetapi, karena banyak pasien mengalami
ketergantungan berat dengan obat, psikoterapi mungkin sulit.
24
BAB IV
GANGGUAN BERHUBUNGAN DENGAN KANABIS
IV.1 Pendahuluan
Kanabis adalah nama singkat untuk tanaman rami Cannabis sativa. Semua bagian dari
tanaman mengandung kanabinoid psikoaktif, dimana (-)-Δ9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC)
adalah yang paling banyak. Tanaman kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong
kecil-kecil, selanjutnya digulung menjadi rokok (biasanya disebut “joints”), yang selanjutnya
dihisap seperti rokok. Nama yang umum untuk kanabis adalah mariyuana, grass, pot, weed,
tea, dan Mary Jane. Nama lain untuk kanabis yang menggambarkan tipe kanabis dalam
berbagai kekuatan, adalah hemp, chasra, bhang, ganja, dagga, dan sinsemilla. Bentuk kanabis
yang paling poten berasal dari ujung tanaman yang berbunga atau dari eksudat resin yang
dikeringkan dan berwarna cokelat-hitam yang berasal dari daun, yang disebut sebagai hashish
atau hash.
Efek euforia dari kanabis telah dikenali selama beribu-ribu tahun. Efek medis yang
potensial dari kanabis sebagai analgesik, antikonvulsan, dan hipnotis telah lama dikenali pada
abad ke-19 dan ke-20. belakangan ini kanabis dan komponen aktifnya yang utama, Δ9-THC,
telah berhasil digunakan untuk mengobati mual sekunder karena obat terapi kanker dan untuk
menstimulasi nafsu makan pada pasien dengan sindrom imunodefisiensi (AIDS). Beberapa
laporan yang kurang meyakinkan adalah tentang penggunaan Δ9-THC dalam pengobatan
glaukoma.
IV.2 Epidemiologi
Kanabis adalah zat gelap yang paling sering digunakan di Amerika Serikat. Di tahun
1991 kira-kira sepertiga keseluruhan populasi telah menggunakan kanabis sekurangnya satu
kali, dan kira-kira 5 persen sekarang merupakan pemakai. Di dalam kelompok usia 18 sampai
25 tahun, kira-kira 50 persen pernah menggunakan kanabis sekurangnya satu kali, dan 13
persen sekarang merupakan pemakai. Di dalam kelompok usia 12 sampai 17 tahun, kira-kira
13 persen pernah menggunakan kanabis sekurangnya satu kali, dan 4 persen sekarang
25
merupakan pemakai. Tetapi, pada umumnya, penggunaan kanabis telah menurun dari
tingkatnya yang tinggi di akhir tahun 1970-an.
Data epidemiologis tahun 1991 berikut ini berasal dari National Institute on Drug
Abuse (NIDA).
IV.3 Neurofarmakologi
Seperti yang disebutkan sebelumnya, komponen utama dari kanabis adalah Δ9-THC;
tetapi, tanaman kanabis mengandung lebih dari 400 zat kimia, yang kira-kira 60 buah
diantaranya secara kimiawi berhubungan dengan Δ9-THC. Pada manusia Δ9-THC secara
cepat dikonversi menjadi 11-hidroksi-Δ9-THC, suatu metabolit yang aktif di dalam sistem
saraf pusat.
Suatu reseptor spesifik untuk kanabiol telah diidentifikasi, diklon (clonned), dan
dikarakterisasi. Reseptor adalah anggota dari keluarga reseptor yang berkaitan dengan protein
G. Reseptor kanabinoid diikat dengan protein G inhibitor (Gi), yang berikatan dengan adenilil
siklase di dalam pola menginhibisi. Reseptor kanabinoid ditemukan dalam konsentrasi yang
tertinggi di ganglia basalais, hipokampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih
rendah di korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak, suatu kenyataan yang
konsisten dengan efek kanabis yang minimal pada fungsi pernafasan dan jantung. Penelitian
pada binatang telah menemukan bahwa kanabinoid mempengaruhi neuron monoamin dan
gamma-aminobutyric acid (GABA).
Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa binatang tidak menggunakan
kanabinoid dengan sendirinya, seperti yang mereka lakukan dengan zat yang disalahgunakan
lainnya. Selain itu, suatu perdebatan tentang apakah kanabinoid menstimulasi yang disebut
pusat kesenangan (reward centers) di otak, seperti neuron dopaminergik dari area tegmental
ventralis. Tetapi, toleransi terhadap kanabis memang terjadi, dan ketergantungan fisikologi
adalah tidak kuat. Gejala putus kanabis pada manusia adalah terbatas samapi peningkatan
ringan dalam iritabilitas, kegelisahan, insomnia, anoreksia, dan mual ringan; semua gejala
tersebut ditemukan hanya jika seseorang menghentikan kanabis dosis tinggi secara
mendadak.
26
Jika kanabis digunakan seperti rokok (smoked), efek euforia tampak dalam beberapa
menit, mencapai puncak dalam kira-kira 30 menit, dan berlangsung 2 sampai 4 jam. Beberapa
efek motorik dan kognitif berlangsung selama 5 sampai 12 jam. Kanabis juga dapat digunak
peroral jika disiapkan dalam makanan, seperti brownies dan cakes. Kira-kira harus digunakan
dua sampai tiga kali lebih banyak kanabis yang digunakan peroral untuk sama kuatnya
dengan kanabis yang digunakan melalui inhalasi asapnya. Banyak variabel yang
mempengaruhi sifat psikoakttif dari kanabis, termasuk potensi penggunaan kanabis, jalur
pemberian, teknik mengisap, efek pirolisis dari kandungan kanabinoid, dosis, lingkungan,
pengalaman masa lalu pemakai, harapan pemakai, dan kerentanan biologis unik dari pemakai
terhadap efek kanabinoid.
IV.4 Diagnosis dan gambaran klinis
Diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabis dapat ditegakkan
berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia,
Edisi III) dan DSM-IV (diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition).
Efek fisik yang paling sering dari kanabis adalah dilatasi pembuluh darah konjungtiva
(yaitu, mata merah) dan takikardi ringan. Pada dosis tinggi, hipotensi ortostatik dapat
terjadi.peningkatan nafsu makan-sering kali disebut sebagai pengunyah-dan mulut kering
adalah efek intoksikasi kanabis yang sering lainnya. Belum pernah dicatat secara jelas kasus
kematian yang disebabkan oleh intoksikasi kanabis saja, yang mencerminkan tidak adanya
efek dari zat pada kecepatan pernafasan. Efek merugikan potensial yang paling serius dari
dari penggunaan kanabis berasal dari inhalasi hidrokarbon karsinogenik yang sama-sama
ditemukan dalam tembakau konvensional, dan beberapa data menyatakan bahwa penggunaan
kanabis yang berat berada dalam risiko mengalami penyakit pernafasan kronis dan kanker
paru-paru. Praktik mengisap rokok yang yang mengandung kanabis sampai sangat habis,
yang disebut lipas (roach), meningkatkan lebih lanjut asupan tar (yaitu, materi partikel).
Banyak laporan menyatakan bahwa penggunaan kanabis jangka panjang berhubungan dengan
atrofi serebral, kerentanan kejang, kerusakan kromosom, defek kelahiran, gangguan
reaktivitas kekebalan, perubahan konsentrasi testosteron, dan disregulasi siklus menstruasi;
tetapi, laporan tersebut belum secara pasti ditegakkan, dan hubungan antara efek tersebut
dengan penggunaan kanabis tidak pasti.
27
Diagnostic and Statistical Manual of MentalDisorders edisi keempat (DSM-IV)
menuliskan gangguan berhubungan dengan kanabis tetapi mempunyai kriteria spesifik dalam
bagian gangguan berhubungan dengan kanabis hanya untuk intoksikasi kanabis. Kriteria
diagnostik untuk gangguan berhubungan dengan kanabis lainnya ditemukan di dalam bagian
DSM IV yang memusatkan pada gejala fenomenologi utama- sebagai contoh, gangguan
psikotik akibat kanabis, dengan waham, di dalam bagian DSM- IV tentang gangguan psikotik
akibat zat.
IV.5 Ketergantungan Kanabis dan Penyalahgunaan Kanabis
DSM-IV memasukkan diagnosis ketergantungan kanabis dan penyalahgunaan
kanabis. Data eksperimental dengan jelas menunjukkan toleransi terhadap banyak efek
kanabis; tetapi, data kurang mendukung adanya ketergantungan fisik. Ketergantungan
psikologis pada pemakaian kanabis terjadi pada pemakai jangka panjang.
Gangguan Berhubungan Kanabis
Gangguan pemakaian kanabis
Ketergantungan kanabis
Penyalahgunaan kanabis
Gangguan akibat kanabis
Intoksikasi kanabis
Sebutkan jika: dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi kanabis
Gangguan psikotik akibat kanabis, dengan waham
Sebutkan jika : dengan onset selama intoksikasi
Gangguan kecemasan akibat kanabis
Sebutkan jika: dengan onset selama intoksikasi
Gangguan berhubungan kanabis yang tidak ditentukan
Intoksikasi Kanabis
28
DSM-IV meresmikan kriteria diagnostik untuk intoksikasi kanabis. Kriteria
diagnostik menyebutkan bahwa diagnosis dapat diperkuat dengan kalimat ”dengan gangguan
persepsi”. Jika tes realitas yang intak tidak terdapat, diagnosis adalah gangguan psikotik
akibat kanabis.
Intoksikasi kanabis sering kali meninggikan kepekaan pemakai terhadap stimuli
eksternal, mengungkapkan perincian yang baru, membuat warna-warna tampak lebih terang
dari pada sebelumnya dan perlambatan waktu secara subjektif. Pada dosis tinggi, pemakai
mungkin juga merasakan depersonalisasi dan derealisasi.
Keterampilan motorik terganggu oleh pemakaian kanabis, dan gangguan pada
keterampilan motorik tetap ada setelah efek euforia dan subjektif telah menghilang. Selama 8
sampai 12 jam setelah menggunakan kanabis, pemakai mengalami suatu gangguan
keterampilan motorik yang mengganggu operasi kendaraan bermotor dan mesin mesin berat
lainnya. Selain itu, efek tersebut adalah aditif dengan efek alkohol, yang sering kali
digunakan dalam kombinasi dengan kanabis.
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Kanabis menurut DSM IV-TR
A. Pemakaian kanabis yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya,
gangguan koordinasi motorik, euforia, kecemasan, sensasi waktu menjadi lambat,
gangguan pertimbangan, penarikan sosial) yang berkembang segera, atau segera
setelah, pemakaian kanabis
C. Dua (atau lebih) tanda berikut, berkembang dalam 2 jam pemakaian kanabis:
(1) injeksi konjungtiva
(2) peningkatan nafsu makan
(3) mulut kering
(4) takikardi
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak diterangkan lebih baik
oleh gangguan mental lain.
Sebutkan jika: dengan gangguan persepsi
29
IV.6 Gangguan Psikotik Akibat Kanabis
Gangguan Psikotik Akibat Kanabis adalah didiagnosis dengan adanya psikosis akibat
kanabis. Gangguan psikotik akibat kanabis jarang terjadi, tetapi ide paranoid sementara
adalah lebih sering. Psikosis yang jelas agak sering di negara-negara di mana orang-orangnya
mempunyai jalur untuk mendapatkan kanabis dengan potensi yang tinggi. Episode psikotik
sering kali disebut sebagai kegilaan rami (hemp insenity). Penggunaan kanabis jarang disertai
dengan pengalaman khayalan buruk (bad-trip), yang sering kali menyertai intoksikasi
halusinogen. Jika gangguan psikotik akibat kanabis memang terjadi, keadaan ini mungkin
berhubungan dengan gangguan kepribadian yang telah ada sebelumnya pada orang yang
terkena.
Kriteria Diagnostik Intoksikasi Kanabis menurut PPDGJ II
A. Baru menggunakan kanabis
B. Takikardia
C. Paling sedikit terdapat satu dari gejala psikologik di bawah ini yang timbul dalam
waktu 2 jam sesudah penggunaan zat itu :
1. Euforia
2. Perasaan intensifikasi persepsi secara subjektif
3. Perasaan waktu berlalu dengan lambat
4. Apati
D. Paling sedikit terdapat satu dari gejala fisik di bawah ini yang timbul dalam waktu 2
jam sesudah penggunaan zat itu :
1. Kemerahan konjungtiva
2. Nafsu makan bertambah
3. Mulut kering
30
E. Efek tingkah laku maladaptif, misalnya kecemasan berlebihan, kecurigaan atau ide –
ide paranoid, hendaya daya nilai, halangan dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
F. Tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya.
Gangguan Waham Kanabis
Kriteria Diagnostik menurut PPDGJ II
A. Baru menggunakan kanabis
B. Timbul Sindrom Waham Organik di dalam waktu 2 jam sesudah penggunaan zat itu
C. Gangguan itu tidak menetap sesudah lebih dari 6 jam penghentian zat itu
D. Tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya.
PENGOBATAN
Pengobatan pemakaian kanabis terletak pada prinsip yang sama dengan pengobatan
penyalah-gunaan substansi lain-abstinensia dan dukungan. Abstinensia dapat dicapai melalui
intervensi langsung, seperti perawatan di rumah sakit, atau melalui monitoring ketat atas
dasar rawat jalan dengan menggunakan skrining obat dalam urine, yang dapat mendeteksi
kanabis selama tiga hari sampai empat minggu setelah pemakaian. Dukungan dapat dicapai
dengan menggunakan psikoterapi individual, keluarga, dan kelompok. Pendidikan harus
merupakan inti untutk program abstinensia dan dukungan, karena pasien yang tidak mengerti
alasan intelektual untuk mengatasi masalah penyalahgunaan substansi menunjukkan sedikit
motivasi untuk berhenti. Untuk beberapa pasien suatu obat antiansietas mungkin berguna
untuk menghilangkan gejala putus zat jangka pendek. Untuk pasien lain penggunaan kanabis
mungkin berhubungan dengan gangguan depresi dasar yang mungkin berespons dengan
terapi antidepresan spesifik.
IV.7 Prognosis
Ketergantungan kanabis terjadi perlahan, yang mana mereka akan mengembangkan
pola peningkatan dosis dan frekuensi penggunaan. Efek yang menyenangkan dari kanabis
sering berkurang pada penggunaan berat secara teratur.
31
Sejarah gangguan tingkah laku pada masa anak, remaja, dan gangguan kepribadian
antisosial adalah faktor resiko untuk berkembangnya gangguan terkait zat, termasuk
gangguan terkait kanabis. Sedikit data yang tersedia pada perjalanan efek jangka panjang dari
ketergantungan dan penyalahgunaan kanabis.
32
BAB V
PENUTUP
Pencegahan
Banyak yang masih bisa dilakukan untuk mencegah remaja menyalahgunakan
narkoba dan membantu remaja yang sudah terjerumus Penyalahgunaan Narkoba. Ada tiga
tingkat intervensi, yaitu
1. Primer, sebelum penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk pendidikan,
penyebaran informasi mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll. Instansi
pemerintah, seperti halnya BKKBN, lebih banyak berperan pada tahap intervensi ini.
kegiatan dilakukan seputar pemberian informasi melalui berbagai bentuk materi KIE yang
ditujukan kepada remaja langsung dan keluarga.
2. Sekunder, pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya
penyembuhan (treatment). Fase ini meliputi: Fase penerimaan awal (initial intake)antara 1 – 3
hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental, dan Fase detoksifikasi dan terapi
komplikasi medik, antara 1 – 3 minggu untuk melakukan pengurangan ketergantungan
bahan-bahan adiktif secara bertahap.
3. Tersier, yaitu upaya untuk merehabilitasi mereka yang sudah memakai dan
dalam proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas Fase stabilisasi, antara 3-12
bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan Fase sosialiasi dalam
masyarakat, agar mantan penyalahguna narkoba mampu mengembangkan kehidupan yang
bermakna di masyarakat. Tahap ini biasanya berupa kegiatan konseling, membuat kelompok-
kelompok dukungan, mengembangkan kegiatan alternatif, dll.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan H I and Saddock BJ, Sinopsis Psikiatri: ed saddock BJ. Vol. 1. 7th Edition.
USA. William and Wilkins, 2010: 571-632
2. American Psychiatric Association.Substance-Related Disorders,Diagnostic and
Statistics Manual of Mental Disorder 4th Edition..Arlington,VA;2000.110-150
3. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Edisi II.
Direktorat Kesehatan Jiwa. DepKes RI. 1983
4. Departemen Kesehatan Indonesia. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat
Penggunaan Zat Psikoaktif,Pedoman Penggolongan dan diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III. Jakarta ; 1993. hal. 84 – 102.
34