bab i pendahuluan -...

25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak masih sekolah dasar, saya tidak asing mendengar bahwa Yogyakarta adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang mempertanyakan Yogyakarta sebagai kota apa. Hal ini saya rasa benar karena ada beberapa kampus negeri dan banyak kampus swasta di sini. Yang menjadi ikon adalah Universitas Gadjah Mada karena tercatat sebagai kampus nomor satu terbaik di Indonesia pada tahun 2015 versi webometrics 1 . Branding ini tentu membuat masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia tertarik untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Setiap tahunnya, jumlah pendatang yang bertujuan untuk melanjutkan pendidikan semakin bertambah. Tahun 2013 tercatat sekitar 310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia yang belajar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, 244.739 orang atau 78,7% adalah mahasiswa pendatang dari luar daerah (Kompas, 08/04/2013). Pada tahun 2014 tercatat 298.000 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di D. I. Yogyakarta. Dari sekian banyak mahasiswa hanya 10% sampai 15 % yang asli Yogyakarta. Sisanya ada 85% atau sekitar 200.000 mahasiswa dari berbagai daerah (Tribun Jogja, 15/01/2014). Kondisi ini berimplikasi pada bangunan kampus, bangunan kos, dan bangunan penunjang kebutuhan mahasiswa pendatang lainnya serta aktivitas mahasiswa pendatang masuk ke dalam kampung-kampung, 1 Webometrics adalah suatu sistem perangkingan dunia yang berbasis website dan peringkat, diperbaharui dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan Juli (http://www.ekonomi- holic.com/2015/01/daftar-peringkat-universitas-terbaik.html, diakses pada tanggal 21 Juni 2015).

Upload: vutuong

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak masih sekolah dasar, saya tidak asing mendengar bahwa Yogyakarta

adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

mempertanyakan Yogyakarta sebagai kota apa. Hal ini saya rasa benar karena ada

beberapa kampus negeri dan banyak kampus swasta di sini. Yang menjadi ikon

adalah Universitas Gadjah Mada karena tercatat sebagai kampus nomor satu

terbaik di Indonesia pada tahun 2015 versi webometrics1.

Branding ini tentu membuat masyarakat Indonesia maupun luar Indonesia

tertarik untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Setiap tahunnya, jumlah

pendatang yang bertujuan untuk melanjutkan pendidikan semakin bertambah.

Tahun 2013 tercatat sekitar 310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia yang

belajar di Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, 244.739 orang atau 78,7% adalah

mahasiswa pendatang dari luar daerah (Kompas, 08/04/2013). Pada tahun 2014

tercatat 298.000 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di D. I.

Yogyakarta. Dari sekian banyak mahasiswa hanya 10% sampai 15 % yang asli

Yogyakarta. Sisanya ada 85% atau sekitar 200.000 mahasiswa dari berbagai

daerah (Tribun Jogja, 15/01/2014). Kondisi ini berimplikasi pada bangunan

kampus, bangunan kos, dan bangunan penunjang kebutuhan mahasiswa pendatang

lainnya serta aktivitas mahasiswa pendatang masuk ke dalam kampung-kampung,

                                                            1 Webometrics adalah suatu sistem perangkingan dunia yang berbasis website dan peringkat, diperbaharui dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari dan Juli (http://www.ekonomi-holic.com/2015/01/daftar-peringkat-universitas-terbaik.html, diakses pada tanggal 21 Juni 2015).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

2  

kemudian menciptakan berbagai permasalahan. Tak terkecuali di Kampung

Babarsari.

“Babarsari akeh wong Papua. Lha wong golek kos wae enek sing ditolak

kok”. “Sekarang di kosku gak menerima anak dari Papua”. “Kosku enek cah

Papua tapi meh diusir nek entek kontrake. Pak kos wes wegah nerima cah Papua

neh”. Itulah beberapa penggalan cerita teman-teman saya terkait isu penolakan

anak kos dari Papua. Saya kaget setiap kali mendengar cerita mereka karena

selama di Yogyakarta (2013-2014) saya tidak peka akan hal ini. Dalam hati, saya

penasaran apa yang dilakukan oleh mahasiswa Papua sehingga ada warga

Yogyakarta yang tega menolak mereka untuk kos2, warga Jawa yang dulu

welcome terhadap orang lain menjadi ada yang tidak welcome.

Pada media online, saya memang sempat membaca berita tentang konflik

mahasiswa Papua di Yogyakarta. Konflik ini tidak jarang yang melibatkan warga

Yogyakarta. Salah satu contoh konflik yang pernah dimuat di media online adalah

penganiayaan yang dilakukan oleh organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)

pada 6 Agustus 2014. Organisasi yang dipimpin oleh Jefrison Wenda menganiaya

dua warga lanjut usia (lansia) bernama Dardiman (63 tahun) yang berdomisili di

Prawirodirjan dan Mugijono (70 tahun) yang berdomisili di Bantul. Penganiayaan

terjadi di perempatan depan kantor pos besar Yogyakarta saat AMP melakukan

demonstrasi menuntut agar Papua diberi kemerdekaan melalui referendum. Kedua

lansia ini melintas di sekitar terjadinya demonstrasi dan tanpa diketahui sebabnya,

mereka dianiaya hingga dirawat di rumah sakit Lempuyanganwangi Danurejan

                                                            2Kos adalah tempat tinggal yang disewakan, baik kamar yang disewakan atau rumah yang dikontrakkan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

3  

karena luka parah (http://suarapapua.org/2014/08/24/aliansi-mahasiswa-papua-

amp-yogyakarta-tak-berprikemanusiaan-menganiaya-orang-tua-sepuh/, diakses

pada tanggal 8 Oktober 2015). Saya masih ragu-ragu apakah konflik semacam

inilah yang menyebabkan warga Yogyakarta menolak mahasiswa Papua dalam

mencari kos atau ada hal-hal lain.

Respon negatif berupa penolakan kos terhadap mahasiswa Papua tidak

dilakukan oleh semua warga. Buktinya masih terdapat mahasiswa Papua yang

tinggal di Yogyakarta. Pada September 2014 saya menaiki sepeda motor

mengelilingi Babarsari. Di sana saya mendapati mahasiswa yang saya duga adalah

orang Papua karena ciri-ciri fisik yang saya lihat sesuai dengan lagunya Edo

Kondologit3. Hal itu sesuai juga dengan tulisan lfred Russel Walace yang dikutip

oleh Abbas (2014)4. Mereka sedang duduk-duduk di depan kampus STTNAS, di

warung makan, di depan kos, dan lalu lalang di jalan. Dugaan saya diperkuat

dengan cerita Pak RW bahwa Kampung Babarsari banyak dihuni oleh mahasiswa

dari berbagai daerah, termasuk Papua, juga mahasiswa dari Indonesia Timur

lainnya yang ciri-ciri fisiknya hampir mirip dengan orang Papua. Bahkan

sekarang ini (2014) di kos Pak RW ada juga mahasiswa yang berasal dari Papua.

Rupanya respon negatif terhadap mahasiswa Papua tidak hanya berhenti

pada penerimaan anak kos, namun juga pada penyewaan motor. Ketika iseng-

iseng bertanya mengapa ada tulisan “rental khusus mahasiswa” pada poster

                                                            3Edo Kondologit adalah penyanyi yang berasal dari Papua. Cuplikan lirik lagu yang ia nyanyikan adalah, “hitam kulit, keriting rambut, akulah Papua”. 4Etnis Papua memiliki penanda warna kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua sangat berbeda dalam warna kulit yang melebihi Melayu, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar dan kering.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

4  

pemilik rental, ia malah bercerita melebar bahwa ada mahasiswa tertentu (Papua)

yang ditolak ketika mau menyewa motor. Saya semakin penasaran dengan

keputusan yang diambil oleh pemilik rental. Bukankah kos dan rental motor

adalah ladang yang menghasilkan untuk menunjang kebutuhan ekonomi?

Kos dan rental motor merupakan dua hal yang mewakili tempat tinggal

dan alat transportasi. Keduanya merupakan kebutuhan penting bagi mahasiswa

pendatang. Namun ada satu hal lain yang tidak kalah penting, yaitu terkait

kebutuhan makan. Meminjam istilah Malinowski (1944: 91) bahwa manusia

mempunyai kebutuhan dasar kesehatan, dalam hal ini menurut saya makan

merupakan salah satu perilaku yang dapat menunjang kesehatan. Mahasiswa

membutuhkan makan untuk menunjang kesehatannya. Pemilik warung makan

berbeda dalam merespon mahasiswa pendatang. Jika pemilik kos dan rental motor

selektif terhadap calon penyewa, pemilik warung makan cenderung menerima dan

mempersilakan semua orang yang akan membeli makanannya. Inilah fakta di

kampung yang saya sorot dari segi respon warga kampung berdasarkan tiga hal,

yaitu kos, rental motor, dan warung makan. Respon yang saya maksud berupa

penerimaan5 warga kampung terhadap mahasiswa pendatang terutama yang

berasal dari Papua.

Pembicaraan mengenai penerimaan mahasiswa pendatang yang saya awali

dengan cerita mahasiswa Papua adalah hanya sebagai pintu masuk karena

gambaran yang menunjukkan penolakan terjadi kepada mahasiswa Papua.

                                                            5Penerimaan warga kampung yang saya maksud bukan hanya menerima dalam konteks yang berhubungan dengan usahanya, tetapi bagaimana sikap dan perilaku warga ketika berhadapan dengan mahasiswa dari Papua dan mahasiswa lainnya di lingkungan yang lebih luas. Penerimaan bisa menerima mereka secara tulus, ada pertimbangan, atau bahkan menolaknya (tidak menerima yang berhubungan dengan usahanya).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

5  

Sebenarnya masih ada realitas lain seperti adanya simbol-simbol penolakan yang

tidak hanya tertuju pada mahasiswa Papua. Simbol itulah yang menambah

ketertarikan saya mengupas isu respon warga kampung terhadap mahasiswa

pendatang karena warga melakukan penolakan tentu mempunyai pertimbangan-

pertimbangan tertentu.

Sudah seharusnya warga tidak diskriminatif terhadap orang-orang dari

daerah, etnis, atau agama tertentu. Kampung Babarsari sebagaimana diceritakan

oleh Pak RW warganya heterogen, sehingga menghargai satu sama lain perlu

diterapkan. Bukan hanya mahasiswa pendatang saja yang dicita-citakan

menghargai warga kampung, namun sebaliknya warga kampung juga harus

menghargai mahasiswa pendatang. Pemahaman nilai budaya sendiri yang selama

ini menjadi prasyarat untuk memahami orang lain hendaknya bisa mencair

sehingga permasalahan tentang stereotip tidak lagi sampai pada tataran

diskriminasi.

Penelitian mengenai membaurnya pendatang dan warga “asli” dalam

ruang material dan ruang sosial banyak dijumpai, tetapi sejauh yang saya ketahui

ditekankan pada perspektif pendatang. Penelitian hanya melihat bagaimana etnis

pendatang beradaptasi dengan tuan rumah seperti penelitian yang dilakukan oleh

Hartiningsih (2007) tentang bagaimana etnis Jawa sebagai pendatang beradaptasi

dengan etnis Madura di Situbondo. Penelitian tentang stereotip juga hanya

berhenti pada bentuk-bentuknya, tidak berlanjut pada tindakan akibat adanya

stereotip. Penelitian yang saya lakukan ini tidak menekankan pada perspektif

pendatang, namun lebih menekankan pada perspektif host, yaitu bagaimana

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

6  

bentuk-bentuk stereotip warga kampung terhadap mahasiswa pendatang dan

bagaimana pula stereotip tersebut berpengaruh terhadap respon sehingga muncul

respon yang berbeda di antara para warga kampung. Perlu digarisbawahi bahwa

dalam tulisan ini seringkali membahas mengenai pandangan warga kampung

terhadap mahasiswa pendatang yang oleh warga kampung sering disebut sebagai

“wong timur”, “wong timur” ataupun “wong ireng” terutama Papua karena yang

saya temukan di lapangan ada keunikan warga kampung dalam melihat

mahasiswa dari Papua dan mahasiswa lain yang ciri-ciri fisiknya hampir sama.

Dari uraian di atas berarti keberadaan mahasiswa pendatang dengan stereotip yang

melekat perlu diketahui apakah dapat berdampak pada hubungannya dengan

respon warga atau tidak. Sehubungan dengan itu, penelitian tentang stereotip dan

respon warga kampung terhadap mahasiswa pendatang menjadi perlu, penting,

dan menarik untuk diteliti.

B. Permasalahan

Yogyakarta selain terkenal dengan sebutan “Kota Pariwisata”, juga

terkenal sebagai “Kota Pelajar”. Citra Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” masih

melekat sampai sekarang. Sebutan ini berdialektis dengan kedatangan mahasiswa

pendatang dari berbagai daerah. Kedatangan mahasiswa di Yogyakarta adalah

sebagai migrasi silkuler, mereka hanya mondok atau menginap di kos (Mantra

dalam Tukiran, 2002: 57). Lama tidaknya mahasiswa yang mondok atau

menginap dalam kurun waktu beberapa tahun tergantung kelulusannya kecuali

ada yang memang tertarik bekerja di Yogyakarta.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

7  

Pembangunan kampus tersebar di lokasi yang ramai mendekati kota

sampai di kampung-kampung pelosok seperti di Kampung Babarsari. Keadaan

hidup bersama dengan mahasiswa pendatang dari berbagai daerah dari luar

kampung dirasakan sampai pada level kampung, bahkan kampung sekarang ini

tumbuh bangunan yang notabene dikomersilkan untuk tempat tinggal mahasiswa

pendatang (kos) dan bangunan-bangunan lain. Ruang fisik yang digunakan untuk

lahan pertanian sudah semakin langka meskipun ruang untuk pembauran warga

kampung masih tersedia. Masalah yang terjadi saat ini bukan langkanya ruang

fisik di kampung untuk lahan pertanian, namun respon mahasiswa pendatang

terkait adanya stereotip.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk stereotip warga kampung terhadap mahasiswa

pendatang?

2. Bagaimana stereotip berpengaruh pada respon warga kampung terhadap

mahasiswa pendatang?

3. Bagaimana bentuk-bentuk respon dan pengaruhnya terhadap mahasiswa

dalam mendapatkan layanan warga?

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai kampung dan pertemuan warga “asli” dengan

pendatang dalam sebuah ruang material dan ruang sosial sudah pernah dilakukan

oleh beberapa peneliti sebelumnya.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

8  

Pranowo (1988) membahas mengenai orang kampus dan orang kampung

yaitu pada interaksi dan persepsi timbal balik keduanya. Orang kampus adalah

orang-orang baru yang berada di sekeliling kampus, sementara orang kampung

adalah orang-orang Aceh yang memang sebelum kampus berdiri sudah tinggal di

situ dan berada di kampung sekitar kampus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

interaksi yang terjalin diwarnai perkembangan yang menunjukkan semakin

mapannya kedudukan masyarakat kampus di satu pihak dan tergesernya

kepentingan masyarakat kampung di pihak lain. Keadaan demikian merupakan

salah satu faktor yang memudahkan timbulnya kesalahpahaman, yang pada

gilirannya cenderung menyebabkan kerenggangan hubungan sosial mereka.

Interaksi sosial antara masyarakat kampus dengan masyarakat kampung tidak

lebih dari interaksi yang terjadi karena tempat tinggal mereka yang bertetangga.

Bukan berkaitan dengan interaksi yang mengarah pada ekonomi pasar seperti

penelitian yang saya lakukan.

Adapun persepsi orang kampung terhadap orang kampus dapat

dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu positif, ganda, dan negatif. Positif yaitu

adanya anggapan serba positif terhadap kehadiran lembaga dan masyarakat

kampus ke tengah lingkungan mereka yang dinyatakan dengan mengungkapkan

keuntungan yang mereka rasakan. Persepsi ganda yaitu adanya anggapan bahwa

kehadiran lembaga dan masyarakat kampus telah mendatangkan keuntungan dan

kerugian. Dan persepsi negatif berupa anggapan orang kampung yang serba

negatif terhadap orang kampus seperti sombong, mementingkan orang sedaerah,

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

9  

kurang menghormati adat, pergaulannya terlalu bebas, mau menang sendiri, dan

meremehkan orang.

Sementara persepsi orang kampus terhadap orang kampung adalah netral,

negatif, dan positif. Netral cenderung tidak memberi “cap” yang berkonotasi

positif atau negatif, namun memberi rasionalisasi atas aspek yang menyangkut

hubungan sosial orang kampus dan orang kampung. Negatif yaitu orang kampung

dinyatakan sebagai kolot, kasar, suka mengganggu, suka mencari-cari kesalahan,

dan malas. Sementara persepsi positif yaitu baik dan ramah.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Sadilah, dkk. (1998) di bawah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Daerah Istimewa (D.I) Yogyakarta

yang membahas mengenai tingkat integrasi dan disintegrasi yang terjadi, faktor

yang mempengaruhi tingkat integrasi dan disintegrasi, serta usaha-usaha yang

dilakukan dalam rangka meningkatkan integrasi antaretnik di Kota Yogyakarta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suku bangsa asal memandang positif atas

sifat-sifat kebersamaan dan taqwa serta memandang negatif atas sifat-sifat keras,

kasar, dan suka berkelahi. Adapun suku bangsa pendatang memberikan

pandangan positif atas sifat-sifat kebersamaan dan rukun serta memandang negatif

atas sifat kasar dan tidak mau mengalah terhadap suku bangsa lain. Pandangan ini

bisa melebur manakala baik suku bangsa pendatang maupun suku bangsa asli

sudah saling kenal dan lama kenal. Pandangan warga kampung terhadap suku

bangsa pendatang saya rasa tidak bisa digeneralisir karena setiap suku bangsa

memiliki perbedaan sifat, bahkan satu suku bangsa pun juga memiliki perbedaan

sifat pula.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

10  

Penelitian yang lebih baru yaitu dilakukan oleh Purwaningsih, dkk. (2004).

Purwaningsih, dkk. (2004) meneliti interaksi penghuni asrama mahasiswa dengan

masyarakat sekitar di D.I. Yogyakarta. Asrama yang diteliti ada lima yaitu yang

pertama asrama Rahadi Osman I, Kalimantan Barat di Jalan Bintaran Tengah

nomor 10, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta.

Kedua, asrama Sriwijaya, Sumatera Selatan berada di Jalan Bausasran DN III

nomor 595 Kelurahan Bausasran, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta.

Ketiga, asrama Bumi Gora, Nusa Tenggara Barat di Jalan Soga Celeban UH

III/543 Yogyakarta. Keempat asrama Bukit Barisan, Sumatera Utara yang berada

di Jalan Kaliurang Km 5 Gang Sitisonya Yogyakarta. Kelima adalah asrama

Lansirang Sulawesi Selatan di Nologaten Temuireng 27 A Yogyakarta.

Purwaningsih, dkk. (2014) ingin mengetahui bagaimana persepsi

mahasiswa terhadap budaya lain selain budaya yang dimilikinya dan interaksi

penghuni asrama mahasiswa dengan masyarakat sekitarnya. Peneliti

menggunakan konsep multikulturalisme dan konsep interaksi sebagai pisau

analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi penghuni asrama terhadap

orang Jawa ada yang positif dan ada yang negatif. Persepsi positif dikatakan

bahwa orang Jawa itu sopan santun, ramah-tamah, lemah lembut, terbuka bagi

pendatang. Sedangkan persepsi negatif dikatakan bahwa orang Jawa seenaknya

sendiri, etnosentris, penipu, dan membingungkan. Sementara interaksi yang

terjadi melibatkan penghuni asrama dan masyarakat sekitar. Mereka saling

berinteraksi ketika ada kegiatan-kegiatan tertentu seperti kerja bakti, peringatan

tujuh belasan, dan kegiatan serupa lainnya. Intensitas interaksi antara mahasiswa

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

11  

pendatang dengan warga kampung akan berbeda hasilnya jika yang diteliti adalah

mahasiswa yang tidak tinggal di asrama karena mahasiswa yang tinggal di asrama

cenderung membaur dengan mahasiswa yang asal daerahnya sama.

Beberapa penelitian di atas menarik karena membahas secara tuntas kedua

belah pihak yaitu masyarakat “asli” dan masyarakat pendatang. Namun dalam

konteks ruang sosial budaya, penelitian ini kurang melihat simbol-simbol sebagai

penerimaan masyarakat kampung sehingga penelitian saya akan melengkapi

penelitian ini meskipun dari sisi masyarakat pendatang saya tidak membahas

secara detail.

Kawasan Babarsari yang sebenarnya merupakan wilayah kabupaten juga

seringkali dianggap sebagai perkotaan karena selain letaknya dekat dengan kota

juga mobilitas pendatang serta kemajuan wilayahnya tidak jauh beda dengan

perkotaan. Penelitian Budiharjo (2012) mengkaji keterkaitan antara gaya hidup

dengan tata ruang koridor Jalan Babarsari. Gaya hidup mahasiswa yang ada di

koridor Babarsari adalah gaya hidup perkotaan (urban lifestyle) yang mampu

menciptakan ruang-ruang baru terutama bangunan komersial, karena tingkat

konsumsi mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan dasar sangat tinggi. Hal itu

dipengaruhi oleh latar belakang mahasiswa, tingkat ekonomi, dan waktu luang

atau kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa disela-sela rutinitasnya di kampus.

Tata ruang koridor Jalan Babarsari merupakan wujud dari masyarakat yang hidup

di dalamnya, aktivitas, pola hidup, dan minatnya. Penataan massanya menjadi

seoptimal mungkin dan efisien, serta sebaran bangunan komersialnya mengambil

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

12  

lokasi-lokasi strategis di koridor Jalan Babarsari, mengikuti aktivitas mahasiswa

terutama mahasiswa dengan tingkat ekonomi kelas menengah dan atas.

Penelitian Budiharjo ini lebih fokus pada wilayah sepanjang Jalan

Babarsari, yang secara hubungan sosial warganya berbeda dengan yang terjadi di

kampung. Secara komersial juga berbeda, tempat-tempat yang dikomersilkan

bukan mengarah pada kebutuhan dasar mahasiswa pendatang namun lebih kepada

pemenuhan kebutuhan tambahan yang konsumtif dan diminati oleh mahasiswa

menengah ke atas.

D. Kerangka Pemikiran

Keharmonisan suatu hubungan antara warga dengan mahasiswa pendatang

bisa saja terhambat karena adanya berbagai stereotip yang berkembang. Menurut

Allport (1985:187), “a stereotype is an exaggerated belief associated with a

category. Its function is to justify (rationalize) our conduct in relation to that

category”. Stereotip adalah menilai atau mempersepsikan, kemudian penilaian

atau persepsi tersebut mereka generalisasikan kepada orang-orang tertentu.

Stereotip suku Minahasa terhadap orang Papua berdasarkan penelitian yang

dilakukan Rumondor (2014) adalah bersifat positif dan negatif. Bentuk stereotip

yang bersifat positif yaitu memiliki rasa persatuan yang tinggi, bersifat memberi,

religius, setia kawan, dan sangat menghormati adat istiadat. Sementara bentuk

stereotip yang bersifat negatif yaitu sulit untuk diajak berkomunikasi, pemabuk,

suka berkelahi atau mencari masalah, lambat berpikir, dan memiliki sifat kasar.

Dalam kasus ini warga Kampung Babarsari bisa memberikan stereotip positif dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

13  

negatif sekaligus seperti suku Minahasa, positif saja, atau negatif saja terhadap

mahasiswa pendatang. Seringkali stereotip melebur apabila terpengaruh oleh

perasaan emosi tertentu dengan orang lain yang telah kenal dekat (Aloliliweri,

2005:213).

Stereotip berhubungan dengan media. Media memang memediasi, yaitu

merekonstruksi materi sumber dengan pelbagai cara dan alasan supaya menarik

bagi audiens (Burton, 2012: 11). Riwayat konflik yang dimuat media bisa

dijadikan dasar persepsi warga terhadap mahasiswa dari daerah tertentu meskipun

ada beberapa pihak yang bisa menyelesaikan konflik. Menurut Liliweri (2005:

209) banyak di antara stereotip itu unik dan berasal dari pengalaman pribadi,

tetapi beberapa di antaranya merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan

orang lain maupun dengan anggota kelompoknya sendiri. Merujuk dari pemikiran

Liliweri, pengalaman warga dalam kehidupan sehari-hari menghadapi pendatang

bisa menjadi penyebab berkembangnya persepsi kemudian merambah pada

stereotip. Ini seperti apa yang dikatakan Royce (Pelly, 1998: 1) bahwa corak

hubungan antarkelompok etnis dalam masyarakat majemuk ada tiga faktor yang

menentukan yaitu power, perception, dan purpose. Kekuasaan adalah yang

menjadi faktor utama dan faktor lainnya ditentukan oleh faktor utama ini. Jadi,

persepsi terhadap mahasiswa pendatang ditentukan oleh kekuasaan. Jika warga

menjadi bagian dalam kelompok dominan, maka persepsi dengan mudah

dimunculkan dan persepsi yang mengakar menjadi stereotip dapat dijadikan dasar

untuk merespon sekitar.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

14  

Dalam mempersepsikan, Ritser (2004: 274-275) mengatakan bahwa aktor

secara spontan menanggapi stimulus dari luar, namun dipikir sebentar lalu

dinilainya. Begitu juga dengan warga kampung yang memikirkan dan menilai

setiap stimulus yang ada. Adapunpersepsi menurut Renato (Pranowo, 1988:15)

adalah “in the person perception used here, the term perception is used in a very

loose way, most often meaning apperception and cognition”. Persepsi bisa positif

maupun negatif tergantung tolok ukur aktor yang mempersepsikannya.

Stereotip ini ternyata mempengaruhi respon warga kampung terhadap

mahasiswa pendatang. Melalui pintu masuk respon ekonomi, warga melanjutkan

respon dalam aspek sosial budaya yang meliputi adanya selektivitas terhadap

mahasiswa pendatang. Respon ekonomi merupakan tanggapan warga kampung

atas kedatangan berbagai mahasiswa dari berbagai daerah yang melakukan

migrasi dengan tujuan pendidikan di Yogyakarta. Menurut Ahimsa-Putra (2011:

637) respon ekonomi merupakan pola-pola perilaku atau aktivitas tertentu di

kalangan sejumlah warga masyarakat yang ditujukan untuk mendapatkan

penghasilan dan atau tambahan penghasilan yang muncul terutama sebagai

tanggapan atas aktivitas kepariwisataan di sekitar mereka. Respon yang saya

maksud jelas berbeda dengan yang diuraikan oleh Ahimsa-Putra. Jika respon yang

Ahimsa-Putra maksud adalah sebagai tanggapan atas aktivitas kepariwisataan,

maka respon yang saya maksud adalah respon ekonomi sebagai tanggapan atas

datangnya mahasiswa dari berbagai daerah di Kampung Babarsari.

Warga Kampung Babarsari sebagai tuan rumah merupakan aktor yang bisa

memanfaatkan situasi kondisi lingkungan sekitar. Seperti yang telah dituliskan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

15  

oleh Ahimsa-Putra (2011: 637), manusia diasumsikan memiliki kesadaran

mengenai hal di sekelilingnya. Hal ini dipandangnya sebagai “possible alternative

modes of behavior”, yang jika diikuti akan memberikan hasil-hasil tertentu.

Dalam konteks ini, manusia diasumsikan akan memilih alternatif yang dipandang

akan memberikan hasil paling menguntungkan.

Dalam kehidupan sebuah kampung, tentu warga kampung melakukan

interaksi sosial dengan sesama warga kampung maupun mahasiswa pendatang.

Hidup bersama dengan orang lain memerlukan interaksi karena sesungguhnya

manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan kehadiran orang lain.

Saya setuju dengan pemikiran Simmel (Jhonson dalam Liliweri, 2009:124-125)

bahwa kehidupan sosial merupakan pola interaksi yang kompleks antarindividu

dan untuk memahami kehidupan sosial harus memperhatikan interaksi sosial

karena interaksi sosial adalah proses. Setiap orang terlibat dalam proses dan itu

yang disebut relasi dengan orang lain. Sekarang ini, interaksi yang terjalin antara

warga kampung dengan mahasiswa pendatang lebih mengarah pada interaksi

ekonomi. Artinya hanya warga kampung yang mempunyai akses sumber daya

saja yang lebih terlibat dalam interaksi. Namun keadaan semacam ini bukan

berarti tidak ada interaksi antara warga kampung secara umum dengan mahasiswa

pendatang. Dalam situasi dan kondisi tertentu interaksi terlihat manakala mereka

membaur. Intensitas kurangnya interaksi ini salah satunya diperkuat oleh

segregasi yang diciptakan warga kampung maupun mahasiswa pendatang

(Iwansah, 2014:29).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

16  

Furnivall (2009: 471-475) dalam bukunya tentang ekonomi majemuk

mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang kehidupan

sosialnya beragam latar belakang dan juga kebudayaan, mereka hidup dalam unit

politik yang sama, namun proses berdampingan yang beragam itu membentuk

komunitas-komunitasnya sendiri. Hubungan antarkomunitas yang berbeda adalah

hidup berdampingan dan hanya berinteraksi dalam urusan ekonomi. Pasar

merupakan tempat berbagai golongan dalam masyarakat majemuk bertemu.

Mereka boleh berasal dari agama, etnis, ras, daerah, agama, dan sekolah yang

berbeda, namun tujuannya di pasar sama yaitu memperoleh keuntungan dengan

proses tukar menukar. Dari situ dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masyarakat

majemuk menurut Furnivall adalah: (i) meskipun tergabung dalam masyarakat

yang sistem politiknya sama namun mereka hidup sendiri-sendiri; (ii) interaksi

sosial antar kelompok kurang dan terjadi cenderung pada sektor ekonomi; dan (iii)

lemah dalam keinginan kebersamaan sosial. Apa yang ditulis Furnivall tentang

ekonomi majemuk kemungkinan dapat menggambarkan konteks Kampung

Babarsari. Interaksi terlihat jelas dalam urusan ekonomi dan pembauran terlihat

manakala di pasar karena pasar bisa mendamaikan kepentingan kedua belah

pihak.

Manusia diasumsikan akan berusaha mencari informasi-informasi yang

relevan, memproses informasi tersebut, menilai hasilnya, kemudian mengambil

keputusan (Long dalam Ahimsa-Putra, 2011: 637). Merujuk pada pemikiran ini,

maka penerimaan warga kampung terhadap mahasiswa pendatang berbeda.

Pengambilan keputusan penerimaan terhadap mahasiswa tertentu itu tergantung

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

17  

pada stereotip yang meliputi pengetahuan dan pengalaman warga terhadap budaya

lain dan kenyamanannya dengan keputusan yang diambil. Sebagaimana yang

dijelaskan Johnson dan Haver (Rogers, 79) bahwa ada tahapan dalam

pengambilan keputusan, yaitu mengamati masalah terlebih dahulu,

menganalisisnya, menentukan arah untuk melakukan tindakan, mengambil

langkah, dan menerima semua keputusan yang telah dibuat. Pada dasarnya ketika

aktor berkecimpung di dunia bisnis, pertimbangan-pertimbangan ekonomi adalah

mempunyai peranan penting karena bisnis ini menuntut adanya pertimbangan

untung-rugi (Abdullah, 1988:26). Bagi beberapa warga kampung, pertimbangan

dalam penerimaan mahasiswa pendatang bisa beragam, tidak hanya pertimbangan

ekonomi.

Terselip peran media (pengetahuan dari media) juga dalam mempengaruhi

keputusan penerimaan warga kampung terhadap mahasiswa dari “wong timur”

terutama Papua. Melalui penggunaan bahasa dan gambar sebagai sistem simbol,

para pengelola media mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan

bahkan meruntuhkan realitas. Ketika menikmati suatu informasi dari media,

terkadang tanpa sadar penonton/pembaca tanpa sadar digiring oleh definisi yang

ditanamkan oleh media massa tersebut (Mulyana, 2008: 12). Peter Dahlgren

(Mulyana, 2008: 12) memperjelas bahwa realitas sosial sebagian merupakan

produksi manusia dan hasil proses budaya. Stereotip yang salah satunya

disebabkan karena adanya konflik kekerasan di kampung dan ditambah dengan

boomingnya media menjadi acuan warga kampung dalam merespon secara sosial

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

18  

budaya segala dinamika kampung yang diakibatkan oleh efek kedatangan

mahasiswa yang berkonflik.

Penerimaan terhadap mahasiswa pendatang di Kampung Babarsari dapat

dikatakan sebagai bentuk segregasi. Segregasi merupakan gejala yang

menunjukkan tendensi (secara sadar atau tidak sadar) untuk memisahkan diri dan

mengadakan spesialisasi lebih lanjut dalam masyarakat. Ada segregasi

berdasarkan kesamaan keturunan, kebiasaan sosial, pembentukan daerah-daerah

perindustrian dan perdagangan khusus yang terpisah dari daerah-daerah kegiatan

manusia lainnya (Boskoff dan Sutherland dalam Susanto, 1985: 144). Adapun

segregasi sosial menurut Merry (Iwansah, 2014:29) tidak jauh beda, yaitu

pemisahan atau konsentrasi spasial yang ditampakkan dengan ciri/karakteristik

tertentu seperti: ras, etnisitas, status sosio-ekonomi, afiliasi politik, gender, agama,

status pekerjaan atau bahasa. Sementara yang nampak di Kampung Babarsari

adalah kecenderungan segregasi penerimaan mahasiswa berdasarkan fisik, daerah,

agama, ekonomi, dan bahasa, selain segregasi yang terjadi dalam aktivitas sosial

budaya warga kampung. Bahkan segregasi ini diakui secara fulgar dengan adanya

“nama” di kos yang dikomersilkan. Ada yang menamakan diri sebagai kos

muslim, kos eksklusif, dan kos bahasa Inggris.

Segregasi yang merupakan penyebab kurang intensnya interaksi antara

warga kampung dengan mahasiswa pendatang bisa menjadi alat untuk

mengekspresikan identitas mereka. Mulai dari identitas agama sampai pada status

sosial. Nama merupakan hal yang sederhana dan paling nyata dari simbol

identitas, meskipun rumit karena membuat nama membutuhkan penyelidikan arti

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

19  

dan permainan bahasa. Singkat kata, menurut John Dewey memberi nama berarti

harus mengetahui nama itu sendiri (Isaacs, 1993: 91). Simbol yang menjadi

identitas ada yang dipilih secara sangat sadar dan ada yang tidak (Ahimsa-Putra,

2013:8). Pada kasus ini pemilihan nama dibuat sangat sadar melalui sejarah

pemikiran. Simbol-simbol yang dipajang menunjukkan bahwa di balik tujuan

ekonomi juga bentuk ekspresi menampilkan siapa mereka dan apa kelebihan

mereka dibandingkan yang lainnya. Menurut Peter Berger (Soeprapto, 2002: 227)

bahwa identitas merupakan definisi yang diberikan secara sosial, dijaga secara

sosial, dan ditransformasikan secara sosial karena tidak hanya diciptakan oleh diri

sendiri namun juga melibatkan orang lain untuk menilai.

Respon berupa penerimaan dan penolakan atau yang lebih mencolok

adalah segregasi bisa cenderung mengarah pada diskriminasi sesama warga

Indonesia. Stetler (Allport, 1988:51-52) menyebutkan bahwa “discrimination

comes about only when we deny to individuals or groups of people equality of

treatment which they may wish”. Sasaran diskriminasi adalah komunitas

minoritas. Minoritas bukan berarti hanya jumlahnya saja yang sedikit, namun

keberadaannya seringkali dijadikan objek prasangka (Danandjaja, 2003).

Diskriminasi ini jika tidak diterima oleh pihak yang didiskriminasikan akan dapat

menimbulkan perpecahan di antara warga Indonesia yang notabene heterogen dan

berkeinginan untuk bersatu sesuai yang terdapat dalam sila ke-3 Pancasila. Posisi

ini yang kemungkinan akan menyebabkan konflik selanjutnya. Pada titik inilah

sentimen pribumisme berhadapan dengan para pendatang muncul dan menjadi

persoalan lain dari migrasi (Abdilah, 2002:99). Papua dengan ciri fisik berbeda

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

20  

dengan warga kampung telah mengalami penolakan baik tersirat maupun tersurat

oleh warga kampung. Mahasiswa Papua dinilai sebagai kaum Paria yang

berperilaku tidak terpuji (Barth, 1988:34).

Segregasi ini jika dilihat lebih jauh dekat dengan rasisme. Teori-teori rasis

menurut Douverger (Abdilah, 2002:61) mengatakan bahwa ras manusia yang

berbeda-beda, mempunyai bakat sosial dan intelektual yang tidak sama. Dari

sinilah muncul pandangan superioritas dan inferioritas serta orang dalam

(pribumi) dan orang luar (non pribumi) (Abdilah, 2002:61). David Theo Goldbeg

menganggap rasisme telah menjadi wacana dan membentuk cara pandang yang

tercermin dalam sikap dan perilaku seseorang serta cara-cara ekspresi. Ekspresi-

ekspresi rasis ini terbudayakan dalam berbagai macam cara dan media. Menurut

Goldbeg, rasisme telah termanifestasi dalam berbagai bidang seperti akademis,

ekonomi, atas nama ilmu pengetahuan, hukum, dan merasuk dalam bidang

birokrasi (Abdilah, 2002:62-63).

Untuk membingkai permasalahan stereotip, penelitian ini melihat

darimana munculnya dan bagaimana bentuk-bentuk stereotip. Stereotip bukan ada

begitu saja, namun mengalami sebuah proses standar berdasarkan pengetahuan

dan pengalaman warga. Bentuknya pun juga beragam, ada yang bersifat positif

dan ada yang bersifat negatif. Bentuk-bentuk stereotip ini ditentukan oleh aktor

sesuai dengan tolok ukur yang dimilikinya, tentunya berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya.

Stereotip yang dimiliki warga kampung merupakan bagian dari senjata

dalam merespon mahasiswa pendatang. Dijembatani oleh respon ekonomi, warga

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

21  

mulai merespon mahasiswa pendatang dengan respon sosial budaya termasuk

segregasi penerimaan mahasiswa pendatang dan segregasi dalam penerimaan anak

kos dijadikan sebagai ekspresi identitas. Warga seakan-akan menjadi aktor

superior yang dapat berkuasa di lingkup kampung, responnya pun mengalami

perbedaan.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian ini mencakup penentuan lokasi penelitian, metode

pengumpulan data, dan teknik analisis data.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini saya lakukan pada tahun 2014 sampai tahun 2015 di

Kampung Babarsari, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.

Pemilihan kampung ini berdasarkan pada fakta bahwa (i) Kampung Babarsari

terletak tidak jauh dari perguruan tinggi seperti Universitas Proklamasi, Sekolah

Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), dan kampus ternama lainnya, bahkan

STTNAS berdiri di kampung ini; (ii) ada indikasi bahwa penerimaan warga

kampung terhadap anak kos dengan berdasarkan ciri fisik, asal daerah,

kemampuan berbahasa, ekonomi, dan agama adalah beragam, ada yang menerima

untuk tinggal di tempat kosnya dan ada yang menolaknya; (iii)sebagai kampung

yang dekat dengan perguruan tinggi, dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari

berbagai daerah termasuk dari Papua dan bertempat tinggal di kos, kemudian

saling melakukan kontak dengan warga kampung; (iv) warga kampung membuka

usaha sebagai respon menghadapi mahasiswa pendatang.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

22  

2. Pemilihan Informan

Pemilihan informan saya lakukan dengan cara mengamati terlebih dahulu

keadaan Kampung Babarsari, kemudian bertanya pada ketua RW. Saya

menjelaskan bahwa saya menginginkan informan atas dasar pertimbangan tertentu

yaitu warga sebagai penyedia jasa dan barang yang erat kaitannya dengan

mahasiswa pendatang, yaitu pemilik kos, penjual makanan, pemilik rental motor.

Penyedia barang atau jasa yang berkaitan dengan mahasiswa pendatang sengaja

saya batasi pada pemilik/pengelola kos, penjual/penjaga warung makan, dan

pemilik/penjaga rental motor. Hal ini saya lakukan bukan berarti saya

mengesampingkan usaha foto kopi, salon, laundry, pulsa, dan usaha lainnya,

namun ketiga yang telah saya sebutkan sudah barang tentu menjadi hal terpenting

yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Kemudian dengan senang hati Pak RW

memberi gambaran siapa saja warga sebagaimana yang saya inginkan. Khusus

untuk pemilik kos, saya menginginkan kos yang menerima semua mahasiswa dari

manapun dan kos yang selektif terhadap mahasiswa tertentu. Saya juga

mewawancarai warga yang bukan penyedia barang dan jasa supaya dapat

mengetahui persepsi mereka terhadap adanya mahasiswa pendatang. Sebagai

usaha saya untuk melengkapi data, saya juga membutuhkan ketua RT untuk

memberi gambaran bagaimana keadaan kampung dan beberapa mahasiswa untuk

sekedar kroscek.

Saya memutuskan beberapa orang yang menjadi informan dalam

penelitian ini, yaitu ketua RW, ketua RT, pemilik/pengelola kos, pemilik/penjaga

warung makan, pemilik/penjaga rental motor, dan warga kampung yang tidak

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

23  

mempunyai usaha kos, warung makan, dan rental motor serta mahasiswa untuk

memperkuat data.

3. Metode Pengumpulan Data

Data yang saya kumpulkan pada penelitian ini sebagian besar berupa data

kualitatif. Untuk memperlengkap data kualitatif, saya juga mengumpulkan data

kuantitatif yang saya peroleh dari profil kampung. Adapun data kuantitatif yang

saya kumpulkan berupa data kependudukan. Untuk mendapatkan data yang

relevan dengan penelitian ini, maka metode pengumpulan data dapat saya lakukan

dengan cara studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Masing-

masing metode akan saya uraikan sebagai berikut.

3.1 Studi Pustaka

Studi pustaka pada penelitian ini melibatkan penelitian-penelitian

terdahulu, pemaparan data-data statistik dan etnografi-etnografi yang relevan

dengan penelitian ini. Pustaka saya ambil dari perpustakaan antropologi,

perpustakaan fakultas, dan sumber-sumber online.

3.2 Observasi

Observasi dalam penelitian ini adalah observasi partisipan. Saya ikut serta

dalam kegiatan yang dilakukan oleh warga kampung, mencoba menjadi konsumen

pada berbagai usaha di Kampung Babarsari dan ikut serta berinteraksi dengan

warga kampung. Saya percaya bahwa untuk mendapatkan informasi yang lengkap

dan akurat tentang hal-hal relevan terkait penelitian seharusnya peneliti berada di

antara informan dalam waktu yang relatif lama. Saya mempraktikkan tinggal

menetap di rumah ketua RW yang notabene berada pada lingkungan komunitas

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

24  

mahasiswa sehingga berbagai budaya yang ada bisa saya tangkap. Kesulitan saya

dalam melakukan observasi partisipasi ini adalah tidak bisa standby setiap hari di

dekat informan, sehingga data yang saya peroleh adalah hanya ketika saya

menjadi konsumen dan melihat konsumen lain serta pada saat mengikuti beberapa

dari berbagai kegiatan di kampung.

3.3 Wawancara

Metode untuk mengumpulkan data yang tidak kalah penting selain

observasi adalah wawancara. Wawancara yang saya lakukan berupa wawancara

mendalam tidak terstruktur. Pada mulanya saya melakukan wawancara biasa atau

sekedar ngobrol dengan masyarakat Babarsari. Untuk informan yang sesuai

dengan pertimbangan dan atas rekomendasi Pak RW, akan saya lakukan

wawancara mendalam tidak terstruktur, tentunya masih menggunakan panduan

pertanyaan supaya topik tidak melebar kemana-mana.

Penelitian ini kiranya juga perlu menggunakan wawancara sambil lalu

meskipun sudah menggunakan metode wawancara mendalam tak terstruktur.

Wawancara sambil lalu lebih mengarah seperti percakapan persahabatan. Saya

melakukan percakapan yang mungkin tidak disadari oleh informan, kemudian

dengan santai peneliti memasukkan pertanyaan-pertanyan etnografi di dalamnya

(Spradley, 2007:85). Wawancara sambil lalu ini saya rasa cukup unik karena

terselubung dan sudah mendapatkan data. Seperti halnya dengan observasi, saya

juga mempunyai kesulitan-kesulitan dalam melakukan wawancara. Kesulitan

yang paling saya rasakan adalah ketika saya akan mengunjungi rumah warga

(pemilik/pengelola kos) karena ada beberapa rumah yang pemiliknya sibuk kerja

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94452/potongan/S2-2016...adalah kota pelajar. Bahkan dalam ujian sekolah pun pernah ada soal yang

25  

dan ketika wawancara, warga suka “curhat” sehingga saya harus sabar sekaligus

berusaha mengembalikan pada topik.

3.4 Dokumentasi

Saya mencari data mengenai hal apapun untuk mengumpulkan data yang

bersumber dari arsip dan dokumen baik data dari kampung maupun di luar itu.

Selain arsip dan dokumen, foto yang saya peroleh melalui kamera juga menjadi

penunjang analisis data. Foto-foto yang relevan dengan tema penelitian akan saya

abadikan dan kemudian saya analisis.

F. Teknik Analisis Data

Semua informasi dari hasil studi pustaka, observasi partisipan, wawancara

mendalam, dan dokumentasi akan saya kumpulkan dan saya klasifikasikan ke

dalam tema-tema yang relevan dengan masalah penelitian. Kemudian informasi

yang saya anggap sebagai fakta-fakta akan saya abstraksikan untuk saya jadikan

sebagai data. Ketika data sudah tertata, maka langkah selanjutnya adalah

mengaitkan dengan kerangka konseptual supaya dapat saya analisis. Analisis data

menggunakan model interaktif, yaitu tidak fokus hanya pada data saja atau pisau

analisis saja, namun keduanya saling dikaitkan. Cara penulisanya pun tidak secara

kontinu, tetapi bisa maju mundur ke bab lain sesuai dengan kebutuhan.