bab i pendahuluan - …bappelitbangda.majalengkakab.go.id/sektoral/2010/inkesra.pdf · persen dari...
TRANSCRIPT
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah pusat dan daerah dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat saat ini adalah masih tingginya angka kemiskinan dan
penggangguran di Indonesia. Pada tahun 2009 angka kemiskinan tingkat nasional mencapai 14,15
persen dari seluruh penduduk Indonesia, sementara jumlah pengangguran terbuka mencapai
7,87 persen. Indikator tersebut merupakan sinyal bagi seluruh komponen pemerintahan untuk all
out menuntaskan masalah-masalah tersebut.
Peningkatan kesejahteraan rakyat dapat tercermin melalui meningkatnya partisipasi
pendidikan masyarakat, derajat kesehatan masyarakat serta kesempatan kerja yang semakin
luas, sehingga bisa meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat. Semakin meningkat
pendapatan, maka tingkat kemiskinan akan menurun secara signifikan.
Bentuk keseriusan pemerintah saat ini terlihat dengan diluncurkannya berbagai program
untuk penuntasan kemiskinan dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin sehingga
diharapkan tidak terperosok lebih dalam ke dalam jurang kemiskinan. Anggaran pemerintah
setiap tahun selalu meningkat dengan angka yang signifikan untuk program-program pro rakyat
seperti Jamkesmas, Raskin, PNPM, PKH dan program-progam sejenis lainnya.
Data sosial ekonomi yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat sangat
diperlukan untuk mengetahui apakah hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh
lapisan masyarakat, terutama yang menyangkut berbagai aspek pemenuhan kebutuhan hidup
seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan dan kesempatan kerja.
Susenas merupakan survei yang mempunyai cakupan data sosial ekonomi masyarakat yang paling
lengkap dan luas dengan pendekatan rumah tangga. Hasil Susenas selama ini telah digunakan,
baik oleh lembaga pemerintah, lembaga internasional (seperti UNICEF, ILO, dan lain-lain), dan
masyarakat.
Indikator-indikator kesejahteraan rakyat yang diukur dari hasil Susenas 2009 serta data-
data pendukung lainnya seperti Sakernas dan proyeksi penduduk yang ditampilkan dalam
publikasi ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat secara umum
di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 2
1.2. Tujuan
Penyusunan publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat bertujuan untuk menyediakan data
pokok sosial ekonomi masyarakat kabupaten Majalengka secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Data Sosial Ekonomi dalam Inkesra 2009 dapat digunakan sebagai masukan
penyusunan kebijakan sebagai alat untuk melihat keadaan, memonitor, dan mengevaluasi
keberhasilan pembangunan.
Penyusunan Indikator Kesejahteraan Kabupaten Majalengka senantiasa mengikuti dan
memenuhi kebutuhan data spesifik daerah, sebagai salah satu upaya memperkaya kuantitas dan
kualitas data yang disajikan. Setiap terbitan hasil Inkesra diharapkan dapat memberikan solusi
bagi kebutuhan data yang semakin beragam.
1.3. Sumber Data
Sumber data utama dalam publikasi ini adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) Tahun 2009, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2009 dan Proyeksi
Penduduk Kabupaten Majalengka. Selain itu untuk perbandingan digunakan berbagai data lainnya
yang bersumber pada hasil sensus dan berbagai survei lainnya. Hal ini dilakukan untuk melihat
fenomena perubahan tingkat kesejahteraan dengan menggunakan ukuran yang sejenis.
1.4. Kerangka Penulisan
Penulisan Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Majalengka Tahun 2009 ini
menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu menggambarkan atau menganalisa secara umum
(aktual) mengenai profil kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, perumahan dan
aspek sosial lainnya di Kabupaten Majalengka dengan memperhatikan hubungan (relasi)
antarvariabel.
1.5. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Majalengka Tahun 2009
terdiri atas :
Bab I Berisi latar belakang penulisan, tujuan, sumber data yang digunakan, kerangka
penulisan dan sistematika penyajian serta konsep dan definisi.
Bab II Menyajikan Indikator-Indikator yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat yang
mencakup gambaran keadaan kependudukan dan keluarga berencana, kondisi
kesehatan penduduk, pendidikan, perumahan, ketenagakerjaan, pengeluaran
penduduk, distribusi pendapatan dan gini ratio.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 3
Bab III Merupakan bab terakhir, sebagai penutup yang merupakan kesimpulan yang diperoleh
serta saran-saran.
1.6. Konsep dan Definisi
Untuk memudahkan pemahaman dalam pembicaraan selanjutnya, maka terlebih dahulu
akan dikemukakan beberapa pengertian pokok sebagai berikut :
Penduduk, yang dimaksud adalah orang, baik Warga Negara Republik Indonesia maupun
Warga Negara Asing yang berdomisili atau bertempat tinggal dalam suatu wilayah selama 6
(enam) bulan atau lebih dan mereka yang berdomisili kurang dari 6 (enam) bulan tetapi
bertujuan menetap.
Tingkat Pertumbuhan Penduduk, angka yang menunjukkan tingkat pertambahan penduduk
per tahun dalam jangka waktu tertentu. Angka ini dinyatakan sebagai persentase.
Kepadatan Penduduk, rata-rata banyaknya penduduk per kilo meter persegi.
Rasio Jenis Kelamin, banyaknya laki-laki dari setiap 100 wanita.
Metode Kontrasepsi, adalah cara (alat) pencegah kehamilan.
Peserta Keluarga Berencana (Akseptor), adalah orang yang mempraktekkan salah satu
metode kontrasepsi.
Imunisasi, adalah memasukkan kuman penyakit yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh anak
balita dengan cara suntik atau minum dengan maksud agar terjadi kekebalan terhadap jenis
penyakit tertentu pada tubuh.
Bersekolah, seseorang dikatakan masih bersekolah apabila ia terdaftar dan aktif mengikuti
pelajaran di sekolah.
Sekolah, adalah sekolah formal dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan
lanjutan (atas) dan pendidikan tinggi.
Angkatan Kerja, Penduduk usia kerja yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara
tidak bekerja, dan pengangguran.
Bekerja, melakukan kegiatan (pekerjaan) paling sedikit satu jam berturut-turut selama
seminggu dengan maksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan
atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang
bekerja.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), adalah persentase angkatan kerja terhadap
penduduk usia 15 tahun keatas.
Penganggur, adalah Angkatan kerja yang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan,
yang mencakup angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 4
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang punya
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Angka Beban Tanggungan, adalah angka yang menyatakan perbandingan antara penduduk
usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan penduduk usia
produktif (antara 15 sampai 64 tahun) dikalikan 100.
Angka Melek Huruf, adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca
dan menulis.
Angka Kematian Bayi, adalah Probabilita bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun
(dinyatakan dengan per seribu kelahiran).
Angka Harapan Hidup pada waktu lahir, adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak
lahir yang akan dicapai oleh penduduk.
Pengeluaran, adalah pengeluaran per kapita atau per rumahtangga untuk makanan dan
bukan makanan. Makan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi,
minuman, tembakau dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya
kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Kemiskinan adalah Ketidak mampuan seseorang/rumah tangga memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs) bagi kehidupannya.
Garis kemiskinan adalah batas minimal pengeluaran konsumsi untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan non-pangan yang bersifat mendasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan,
dan pendidikan) dari penduduk referensi.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 5
BAB II
INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT
2.1. Pendahuluan
Peningkatan Kesejahteraan rakyat merupakan sasaran dari pembangunan yang
dilaksanakan di setiap level pemerintahan. Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
melalui penyusunan program dan kebijakan di bidang kesejahteraan sosial yang mencakup
pendidikan, kesehatan, peningkatan daya beli yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara bertahap. Berbagai indikator sosial menjadi kajian penting dalam perencanaan
maupun evaluasi pembangunan kesejahteraan.
Pada bab ini akan dibahas mengenai kependudukan dan berbagai masalah yang
berkaitan erat seperti Keluarga Berencana, kesehatan masyarakat, pendidikan, fasilitas
perumahan dan lingkungan di Kabupaten Majalengka. Dari beberapa indikator sosial tersebut
dapat dilihat seberapa jauh peningkatan kesejahteraan rakyat setiap tahun untuk merumuskan
langkah di tahun berikutnya agar berkesinambungan dan lebih terarah.
2.2. Kependudukan
Penduduk merupakan faktor yang sangat penting dalam mekanisme perencanaan
pembangunan, karena penduduk tidak saja menjadi sasaran pembangunan (obyek), tetapi juga
berperan sebagai pelaksana pembangunan (subyek). Jumlah penduduk yang besar dan
berkualitas rendah, disadari hanya menjadi beban pembangunan, apalagi jika distribusinya tidak
merata dan komposisi secara sosial dan budayanya beraneka ragam. Oleh sebab itu, untuk
menunjang keberhasilan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
perkembangan penduduk diarahkan pada pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, serta
pengerahan mobilitas sehingga mempunyai ciri dan karakteristik yang menguntungkan
pembangunan suatu daerah, khususnya di Kabupaten Majalengka. Berbagai aspek yang
menyangkut kependudukan seperti Laju Pertumbuhan Penduduk, struktur umur, rasio jenis
kelamin merupakan indikator pokok yang akan dibahas terlebih dahulu. Jumlah Penduduk
menurut kecamatan, rumah tangga, luas wilayah, kepadatan dan kelompok umur disajikan dalam
Lampiran 1 sampai Lampiran 4.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 6
2.2.1. Laju Pertumbuhan Penduduk
Laju Pertumbuhan Penduduk merupakan salah satu indikator kependudukan yang sangat
penting dalam proses pembangunan suatu wilayah. Pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi
akan menyebabkan beban pembangunan akan semakin berat, sementara pertumbuhan
penduduk yang terlalu rendah juga akan menjadi masalah tersendiri karena akan menyebabkan
kekurangan sumber daya manusia. Penduduk suatu wilayah merupakan potensi yang harus
dikembangkan untuk mendukung pencapaian pembangunan kesejahteraan masyarakat tersebut.
Tabel 1. Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Jenis Kelamin,
Rasio dan Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 1961-2009
Tahun Jenis Kelamin
Jumlah (Jiwa)
Rasio Kelamin
LPP (%) LPP Jawa Barat (%)
Laki-laki (Orang)
Perempuan (Orang)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1961 306.786 332.133 638.919 92,73 - -
1971 371.280 394.613 765.893 94,09 1,81 2,09
1980 438.001 459.721 897.722 95,28 1,60 2,66
1990 509.230 522.793 1.032.023 97,41 1,40 2,57
2000 555.658 559.180 1.114.838 99,37 0,77 2,03
2001 557.611 564.030 1.121.641 98,21 0,79 2,24
2002 564.363 569.839 1.134.202 99,04 0,81 2,29
2003 576.412 577.030 1.153.442 99,89 1,04 2,89
2005 574.614 585.969 1.160.583 98,06 0,86 2,26
2005 577.633 591.704 1.169.337 97,62 0,82 2,10
2006 582.474 596.662 1.179.136 97,62 0,84 1,94
2007 588.321 599.868 1.188.189 98,08 0,76 1,84
2008 594.981 601.830 1.196.811 98,86 0,80 1,71
2009 600.396 600.306 1.206.702 99,03 0,81 1,93
Sumber : Sensus Penduduk, Susenas, Proyeksi Penduduk
Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, dapat diketahui bahwa jumlah
penduduk Kabupaten Majalengka adalah sebesar 1.121.641 jiwa terdiri atas 557.611 orang laki-
laki dan 564.030 orang perempuan. Dalam kurun waktu 9 tahun menurut hasil proyeksi
penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah 1.206.702 jiwa yang
terdiri atas 600.396 orang laki-laki dan 600.306 orang perempuan. Diperhitungkan dengan tahun
2008 laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Majalengka mengalami kenaikan dari 0,80 persen
menjadi 0,81 persen. Kenaikan 0,01 persen dimungkinkan karena terdapat perubahan-perubahan
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 7
dalam komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas maupun tingkat migrasi. Tetapi secara
umum LPP Kabupaten Majalengka masih relatif stabil. Tidak terjadi ledakan ataupun
pengurangan penduduk secara drastis. Berdasarkan data proyeksi tersebut terdapat asumsi
bahwa tingkat migrasi dianggap konstan.
Kestabilan Laju Pertumbuhan Penduduk tersebut ditopang oleh kesadaran masyarakat
akan pentingnya keluarga yang berkualitas serta didorong oleh Program Keluarga Berencana yang
semakin intens ke pelosok-pelosok daerah di Kabupaten Majalengka sehingga sangat
berpengaruh terhadap terkendalinya laju pertumbuhan penduduk.
Dibandingkan dengan LPP Provinsi Jawa Barat yang mencapai hampir 2 persen, LPP
Kabupaten Majalengka jauh lebih rendah. Oleh karena itu, dari aspek kependudukan masalah
pertumbuhan penduduk relatif dapat terkendali, sehingga diharapkan hasil-hasil pembangunan
akan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat di
Kabupaten Majalengka.
2.2.2. Rasio Jenis Kelamin
Pebandingan jumlah penduduk menurut jenis kelamin ditunjukkan dengan rasio jenis
kelamin, yaitu penduduk laki-laki per penduduk perempuan. Mengetahui rasio jenis kelamin fokus
pembangunan sumber daya manusia secara gender akan lebih terarah untuk peningkatan
kualitasnya secara lebih merata. Pada tahun 2009, rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten
Majalengka sebesar 99,03 artinya dari setiap seratus orang perempuan, terdapat 99 orang laki-
laki. Rasio tersebut mengalami kenaikan 0,17 poin dari tahun sebelumnya. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan berada dalam jumlah yang
hampir seimbang.
2.2.3. Struktur Umur Penduduk
Struktur umur penduduk merupakan salah satu karakteristik pokok kependudukan di
samping jenis kelamin. Struktur umur ini mempunyai pengaruh penting terhadap tingkah laku
demografi maupun sosial ekonomi. Struktur umur dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
00-14 tahun, 15-64 tahun dan kelompok umur di atas 65 tahun. Kelompok umur 15-64 tahun
dikategorikan sebagai kelompok umur produktif karena pada kelompok usia ini penduduk
dianggap sebagai kelompok yang mampu melakukan kegiatan ekonomi, sedangkan kedua
kelompok umur lainnya dikategorikan sebagai kelompok umur yang tidak produktif karena belum
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 8
mampu atau sudah tidak mampu lagi melakukan kegiatan ekonomi. Oleh karena itu semakin
besar penduduk yang berusia produktif maka semakin ringan angka beban tanggungannya.
Tabel 2. Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Kelompok Umur Khusus
Tahun 2005-2009
Kelompok Umur (Tahun)
Tahun (Orang)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
00 – 14 331.128 307.554 331.641 303.159 309.574
(28,32) (26,04) (27,91) (25,33) (25,65)
15 – 64 767.808 805.392 804.889 807.553 801.574
(65,66) (68,30) (67,74) (67,48) (66,43)
65 keatas 70.401 66.659 51.659 86.099 95.554
(6,02) (5,65) (4,35) (7,19) (7,92)
Jumlah 1.169.337 1.179.136 1.188.189 1.196.811 1.206.702
Angka Beban Tanggungan 52,29 46,40 47,62 48,20 50,54
Sumber : Susenas 2005 -2009 Catatan : Angka dalam ( ), menyatakan persentase
Komposisi penduduk Kabupaten Majalengka ditinjau dari kelompok umur khusus ini dapat
dilihat dari Tabel 2, bahwa pada tahun 2009 penduduk pada kelompok 15-64 tahun berjumlah
801.574 orang dengan proporsi sebesar 66,43 persen sedangkan kelompok umur 65 tahun ke atas
berjumlah 95.554 orang dengan proporsi sebesar 7,92 persen. Sementara kelompok umur 00-14
tahun sebanyak 25,65 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2008 kelompok umur 00-14
tahun mengalami kenaikan 0,32 persen, kelompok 65 keatas mengalami kenaikkan terbesar
hingga 0,73 persen. Untuk memperlihatkan perubahan struktur umur penduduk tahun 2008 dan
2009 terlihat dari Gambar berikut ini.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 9
Sumber : Susenas 2009
Untuk mengkaji struktur umur penduduk biasanya dilakukan penghitungan Angka Beban
Tanggungan. Angka Beban Tanggungan menginformasikan kepada kita berapa orang dari
penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) yang menjadi tanggungan
penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan biasanya angka ini dihitung dengan satuan 100 orang
penduduk usia produktif. Angka Beban Tanggungan untuk tahun 2009 adalah sebesar 50,54
yang berarti bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung penduduk non
produktif hampir 51 orang.
Jika dibandingkan dengan tahun 2008 angka ini mengalami kenaikan sebesar 2,65 poin.
Hal tersebut menunjukkan kelompok penduduk usia produktif secara rata-rata beban
tanggungannya semakin bertambah. Implikasinya dengan beban tanggungan yang semakin
berat, maka tingkat kesejahteraan akan relatif berkurang jika faktor-faktor yang lain seperti
lapangan kerja, tingkat upah tidak mengalami perubahan yang positif.
2.2.4. Perkawinan (Nuptialitas)
Salah satu fenomena sosial dalam kehidupan manusia adalah prosesi perkawinan
(Nuptialitas). Secara sosiologis, media perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam
mencari kesejahteraan diri. Di pihak lain secara biologis, media ini merupakan alat kesejahteraan
manusia dalam membentuk suatu keluarga besar yang merupakan perbesaran dari keluarga batih
(nucleus family).
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 10
Sebagai suatu alat untuk mengamati tingkat kesejahteraan masyarakat, proses ini diamati
dari dua segi, yaitu:
a. Segi status perkawinan
b. Segi umur perkawinan pertama
Pengamatan ini dilakukan dari aspek sosio demografis, yang mempunyai kecenderungan
perilaku sosial dalam bermasyarakat, yaitu adanya suatu persepsi pembentukan keluarga inti yang
dibentuk oleh seorang laki-laki dan perempuan.
2.2.4.1. Status Perkawinan
Pengelompokkan penduduk berdasarkan status perkawinan, dengan kriteria :
a. Penduduk yang belum kawin.
b. Penduduk dalam status kawin.
c. Penduduk dengan kondisi cerai hidup.
d. Penduduk yang termasuk dalam status cerai mati, yaitu pisah dari isteri/suami karena
kematian salah satu pasangan hidup.
Pengamatan status perkawinan ini sangat perlu, karena menyangkut tingkat
kesejahteraan penduduk. Berbagai penelitian mengungkapkan tingkat kenakalan anak-anak lebih
tinggi pada kelompok anak yang berorang tua tunggal (single parents), yaitu orang tua yang
karena sesuatu hal mengalami cerai hidup ataupun cerai mati.
Tabel 3. Penduduk Kabupaten Majalengka Berusia 10 Tahun ke Atas
Menurut Jenis Kelamin dan Status Perkawinan Tahun 2009
Jenis Kelamin Status Perkawinan (%)
Belum Kawin Kawin Cerai Hidup Cerai Mati Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laki-laki 29.4 67.9 0.70 2.0 100
Perempuan 20.8 64.1 4.51 10.7 100
Total 25.0 65.9 2.61 6.4 100 Sumber : Susenas 2009
Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara keseluruhan penduduk usia 10 tahun ke atas menurut
statusnya, yang sudah kawin sebanyak 65,9 persen, belum kawin 25 persen disusul dengan status
cerai sebanyak 9,1 persen.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 11
Jika dilihat menurut jenis kelaminnya, ternyata bahwa yang berstatus cerai hidup lebih
banyak pada penduduk perempuan yaitu sebesar 4,51 persen, sedangkan pada kelompok laki-laki
hanya sebesar 0,70 persen. Jenis kelamin laki-laki dengan status belum kawin mempunyai
prosentase lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 29,40 persen berbanding 20,80 persen.
Sementara itu, dilihat dari status perkawinan cerai mati ternyata tingkat cerai mati
penduduk perempuan lebih tinggi dari penduduk laki-laki dengan perbedaan yang sangat
mencolok. Laki-laki hanya 2,00 persen, sedangkan pada penduduk perempuan mencapai 10,70
persen. Hal ini mendukung pola angka harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan
laki-laki, sehingga pada umur tua banyak laki-laki yang lebih dulu meninggal kemudian
meninggalkan istrinya dengan status cerai mati.
2.2.4.2. Umur Perkawinan Pertama
Umur perkawinan pertama penduduk perempuan merupakan faktor yang memiliki
beberapa dampak terhadap masalah kependudukan, diantaranya terhadap laju pertumbuhan
penduduk dan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Pengaruhnya terhadap laju
pertumbuhan penduduk didasarkan pada asumsi bahwa semakin muda usia perkawinan pertama
penduduk perempuan maka rentang waktu untuk dapat melahirkan menjadi semakin besar. Hal
ini berarti tingkat kelahiran bayi akan semakin tinggi dan tentu saja hal ini akan meningkatkan laju
pertumbuhan penduduk.
Di lain pihak, pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan penduduk didasarkan pada
anggapan bahwa semakin muda usia perkawinan pertama, maka resiko kematian saat melahirkan
menjadi sangat tinggi. Hal ini dimungkinkan mengingat pada usia yang relatif muda kondisi fisik
dan psikologisnya relatif belum memungkinkan untuk dapat melahirkan secara normal.
Tabel 4 memperlihatkan persentase perempuan yang berumur sepuluh tahun ke atas,
menurut umur perkawinan pertama. Pada tahun 2009 ternyata usia perkawinan pertama di
bawah 16 tahun masih mempunyai persentase cukup tinggi yaitu 43,57 persen, selanjutnya pada
kisaran 19-24 tahun sebanyak 26,48 persen. Rata-rata usia perkawinan di Kabupaten Majalengka
berada pada kisaran 22 tahun. Menurut Undang-Undang Perkawinan usia yang ideal untuk
wanita adalah mulai usia 20 tahun, sehingga rata-rata di Kabupaten Majalengka sudah cukup baik.
Perkawinan pada umur yang telah dianjurkan bagi kesiapan individu baik laki-laki maupun
perempuan, maka implikasinya akan menunjang pada sisi psikologis dan sosial ekonomi
masyarakat. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap angka kematian bayi yang salah satu
determinannya adalah usia perkawinan pertama.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 12
Tabel 4. Persentase Perempuan Berumur Sepuluh Tahun ke Atas Pernah Kawin di Kabupaten Majalengka Menurut Umur Perkawinan Pertama
Tahun 2005-2009
Umur Perkawinan Pertama (Tahun)
Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
=< 16 44,97 34,42 44,80 42,90 43,57
17 – 18 25,06 34,07 27,50 27,80 26,34
19 – 24 26,09 28,79 22,40 25,10 26,48
>= 25 3,88 2,72 5,30 4,20 3,59
Rata-rata Umur Perkawinan Pertama
21,23 21,56 21,43 22,19 22,07
Sumber : Susenas 2005 - 2009
2.2.5. Tingkat Kelahiran (Fertilitas)
Tingkat kelahiran atau fertilitas merupakan ukuran untuk mengetahui bagaimana
kemampuan seorang wanita untuk dapat melahirkan. Hal ini dicerminkan dengan jumlah bayi
yang dilahirkan.
Kemampuan seorang wanita untuk melahirkan (secara riil), berbeda antara wanita yang
satu dengan lainnya. Akibat perbedaan ini antara lain menyebabkan perbedaan kecepatan
perkembangan jumlah penduduk di daerah yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat
menimbulkan perbedaan kepadatan penduduk. Di samping itu juga akan berakibat lanjutan, yaitu
menimbulkan perbedaan pertumbuhan jumlah anak usia sekolah, jumlah angkatan kerja dan
sebagainya.
Perkiraan angka kelahiran selama ini, dilakukan dengan cara penghitungan tidak langsung,
yaitu dengan menggunakan suatu metode demografi yang memanfaatkan data hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) atau survei lainnya yang sejenis. Tabel 5 memperlihatkan rata-rata
jumlah anak yang dilahirkan hidup. Lahir hidup adalah semua anak (bayi), baik yang masih hidup
maupun yang saat ini sudah meninggal, tetapi pada saat dilahirkan menunjukkan tanda-tanda
hidup (jantung berdenyut, dan lain-lain) walaupun hanya beberapa saat.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 13
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Anak Lahir Hidup Menurut Kelompok Umur Ibu Tahun 2005-2009
Kelompok Umur (Tahun)
Tahun (Orang)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
15 – 19 0,00 0,02 0,07 0,13 0,04 20 – 24 0,63 0,49 0,72 0,45 0,51 25 – 29 1,35 1,13 1,48 1,99 1,23 30 – 34 1,95 1,81 1,93 2,44 1,72 35 – 39 2,78 2,28 2,49 2,80 2,19
40 – 44 3,09 2,88 2,90 3,09 2,83 45 – 49 3,59 3,28 3,49 3,80 3,23
Rata-rata 1,80 1,64 1,91 2,28 2,09
Sumber : Susenas 2005-2009
Dari data dalam Tabel 5 tersebut dapat dilihat secara total rata-rata jumlah anak lahir
hidup pada tahun 2009 adalah sebesar 2,09 orang sementara itu pada tahun 2008 adalah sebesar
2,28 orang. Ini berarti rata-rata jumlah anak lahir hidup pada tahun 2009 mengalami penurunan
dari keadaan tahun 2008. Dilihat dari sisi kesehatan menunjukkan bahwa semakin besar rata-rata
anak lahir hidup, maka faktor-faktor pendukungnya juga semakin baik, seperti gizi ibu hamil,
penolong kelahiran maupun gizi bayi setelah dilahirkan, hal tersebut dimungkinkan dengan
semakin intensifnya pelayanan kesehatan untuk ibu semasa hamil dan bayi serta balita. Program
peningkatan kesehatan ibu dan anak memang menjadi salah satu program strategis pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.2.6. Keluarga Berencana
Kebijakan kependudukan berhubungan dengan dinamika kependudukan, yaitu
perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Kebijakan
kependudukan dapat mempengaruhi, menaikkan atau menurunkan angka kelahiran. Salah satu
program yang terus mendapat perhatian dari pemerintah, mengenai fertilitas adalah Program
Keluarga Berencana (KB). Keberhasilan program ini, ditentukan oleh berbagai faktor yang ada,
baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Faktor tingkat pendidikan, tingkat kemampuan
ekonomi dan tingkat pemahaman agama merupakan beberapa faktor yang ada dalam keluarga
peserta KB.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 14
Tabel 6. Persentase Perempuan Berumur (15-49 Tahun) Berstatus Kawin Menurut Alat/Cara KB yang digunakan di Kabupaten Majalengka
Tahun 2005-2009
Alat/Cara KB yang digunakan
Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) MOW/Tubektomi 1,49 1,69 3,10 4,92 3,69 MOP/Vasektomi 0,87 1.27 2,76 1,51 2,47 AKDR/IUD 2,05 6,45 5,53 4,60 4,06 Suntikan 71,37 63,16 68,96 63,48 62,17 Pil 20,40 22,29 17,24 22,65 23,95 Lainnya 3,22 4,79 2,41 2,84 3,66
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2009
Pada umumnya akseptor KB (Wanita usia 15-49 tahun) di Kabupaten Majalengka masih
menyukai menggunakan suntikan sebagai alat kontrasepsi. Hasil Susenas tahun 2009
menunjukkan pengguna alat kontrasepsi suntikan sebesar 62,17 persen, selanjutnya yang paling
banyak digunakkan sebagai alat kontrasepsi adalah dengan meminum Pil yaitu sebanyak 23,95
persen. Secara umum pada kurun waktu tiga tahun terakhir penggunaan alat kontrasepsi tidak
mengalami perubahan yang berarti dalam jenis alat yang digunakan. Untuk mengetahui lebih
jauh persentase pengguna alat KB disajikan pada Tabel 6.
2.3. Kesehatan
Sejak awal, pemerintah sangat memperhatikan dan berupaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dengan alasan kemanusiaan, melalui kesehatan individu ataupun
masyarakat dapat melakukan segala aktivitas dalam hidupnya. Status kesehatan masyarakat
adalah indikator penting dari seluruh indikator yang ada dan merupakan faktor penting dari
produktivitas ekonomi. Anak-anak yang sehat lebih banyak datang ke sekolah, lebih banyak
konsentrasi di sekolah dan menyerap pendidikan lebih baik. Para pekerja (pegawai) juga akan
lebih produktif dengan tingkat kesehatan yang tinggi daripada mereka yang lemah secara fisik.
Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai program
baik yang sifatnya promotif, preventif maupun kuratif, antara lain melalui pendidikan, kesehatan,
imunisasi, pemberantasan penyakit menular, penyediaan air bersih dan sanitasi serta pelayanan
kesehatan.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 15
Program-program pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga
tercermin dengan adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui program Asuransi
Kesehatan yang terwujud dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Walaupun
masih belum mencakup seluruh masyarakat namun hal tersebut menunjukkan supaya yang serius
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Upaya pelayanan kesehatan masyarakat perlu terus ditingkatkan agar semua lapisan
masyarakat dapat memperolehnya secara merata dan murah. Upaya tersebut diharapkan derajat
kesehatan masyarakat akan semakin baik. Derajat kesehatan dapat ditunjukkan antara lain dari
data penolong persalinan, imunisasi balita dan pemberian air susu ibu (ASI). Bagian ini juga
menyajikan gambaran tentang upaya peningkatan derajat kesehatan yang telah dilakukan.
2.3.1. Penolong Persalinan
Salah satu indikator dari pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah penolong persalinan.
Indikator ini sangat penting dalam menilai persalinan yang aman. Persalinan yang aman dilakukan
oleh dokter dan bidan. Khususnya di perdesaan, pada umumnya persalinan dibantu oleh dukun
yang dalam hal ini memberikan gambaran tentang belum amannya sebagian persalinan tersebut.
Pada Tabel 7, terlihat pada tahun 2009 persentase penolong kelahiran oleh tenaga medis,
yaitu dokter dan Bidan sudah menunjukkan kenaikkan yang cukup signifikan dibandingkan tahun
tahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya
kesadaran pentingnya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis serta partisipasi aktif masyarakat
untuk melahirkan dengan tenaga medis yang semakin tinggi. Akses masyarakat terhadap bidan
desa yang semakin mudah akan mengurangi angka kematian bayi sekaligus juga meningkatkan
angka harapan hidup.
Prosesi penolong kelahiran oleh tenaga non medis yaitu dukun bayi angkanya masih
cukup tinggi yaitu sekitar 20 persen. Berbagai hal tentunya harus dikaji mengapa masyarakat
masih menggunakan dukun tradisional (paraji) saat Bidan sudah ditugaskan ke desa-desa. Apakah
faktor lokasi ataupun faktor biaya yang tidak murah sehingga masyarakat masih menggunakan
jasa paraji untuk persalinannya. Hal tersebut penting untuk diketahui mengingat resiko yang
cukup tinggi saat melahirkan bukan dengan tenaga medis.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 16
Tabel 7. Persentase Balita Menurut Penolong Waktu Lahir di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Penolong Waktu Lahir Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tenaga Medis 78,88 71,89 61,87 80,40 79,23
Dokter 7,53 4,13 10,15 10,50 17,36 Bidan 67,56 67,76 51,72 69,40 61,87 Tenaga Medis Lain 3,79 0,00 0,00 0,50 0,00
Bukan Tenaga Medis 21,11 28,11 38,13 19,60 20,77
Dukun Tradisional 21,11 27,46 38,13 19,60 20,77 Lainnya 0,00 0,65 0,00 0,00 0,00
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Susenas 2005-2009
2.3.2. Imunisasi
Indikator penyiapan kualitas sumber daya manusia sejak dini adalah cakupan imunisasi.
Pemberian imunisasi pada balita adalah salah satu upaya pemerintah dalam menurunkan angka
kematian balita, selain perhatian khusus pada masa persalinan ibu dan pemberian ASI yang baik.
Tabel 8. Persentase Balita yang Diimunisasi Menurut Jenis Imunisasi
di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Jenis Imunisasi Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
BCG 92,49 95,98 96,14 98,40 97,30
DPT 90,57 91,20 92,88 95,60 95,80
POLIO 97,21 95,87 95,17 94,30 95,70
CAMPAK 82,57 84,51 85,03 82,20 82,70
Sumber : Susenas 2005- 2009
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa, pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2008
cakupan berbagai jenis imunisasi tidak mengalami perubahan yang berarti. Cakupan Balita yang
diimunisasi menunjukkan angka hampir seluruh balita telah mendapat akses Imunisasi. Angka
cakupan yang tinggi menunjukkan peran Posyandu sebagai salah satu basis fasilitas kesehatan di
masyarakat terbukti cukup efektif. Program Revitalisasi Posyandu akan semakin memfungsikan
posyandu tidak hanya dalam imunisasi ataupun Keluarga Berencana, namun juga untuk pelayanan
kesehatan dasar yang lain disinergikan dengan keberadaan pelayanan kesehatan yang lain.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 17
2.3.3. Penggunaan ASI
Salah satu faktor penting untuk perkembangan anak adalah Air Susu Ibu (ASI). ASI
merupakan zat yang sempurna untuk pertumbuhan bayi dan dapat mempercepat perkembangan
berat badan. Selain itu ASI mengandung zat penolak (pencegah) penyakit serta dapat
memberikan kepuasan dan mendekatkan hati ibu dan anak sebagai sarana menjalin hubungan
kasih sayang. Banyak ibu-ibu telah menyadari akan pentingnya ASI bagi bayi serta menyadari
bahwa kodrat seorang ibu adalah menyusui anaknya.
Tabel 9. Persentase Balita Menurut Lama Disusui di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Lama Disusui
(Bulan) Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tidak diberi ASI
1 – 6
2,33
9,75
9,90
9,10
4,20
11,20
7 – 23 36,62 61,90 52,20 59,50 55,76
24 + 40,82 28,35 37,90 31,40 33,04
Sumber : Susenas 2005 – 2009
Dari seluruh jumlah Balita di bawah umur 5 tahun terdapat 4,2 persen yang tidak disusui
sama sekali dengan susu ibu (ASI). Hal tersebut dimungkinkan karena berbagai hal seperti air susu
tidak ke luar, ataupun memang ibu yang tidak mau menyusui bayinya karena hal-hal tertentu.
Mengingat pentingnya ASI, maka menjadi tugas bagi instansi pemerintah di sektor terkait untuk
meningkatkan kesadaran tentang ASI ekslusif agar bayi mendapat haknya untuk disusui secara
penuh.
Rata-rata lama pemberian ASI anak-anak di Kabupaten Majalengka nampak cukup baik
(lihat Tabel 9). Pada tahun 2009 dari populasi anak yang berumur 0-59 bulan terlihat bahwa yang
disusui lebih dari 24 bulan atau lebih mencapai 33,04 persen; antara 7-23 bulan sebesar 55,76
persen; antara 1-6 bulan sebesar 11,20 persen.
2.4. Pendidikan
Pendidikan mempunyai peranan penting bagi suatu bangsa dan merupakan salah satu
sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia. Kualitas sumber daya
manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pentingnya pendidikan tercermin dalam
UUD 1945, bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Komitmen pemerintah juga diwujudkan dalam Undang-
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 18
Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang mendorong agar anggaran
pendidikan mencapai 20 persen dari APBN setiap tahun. Program-program yang menyentuh
langsung terhadap siswa dan sekolah juga terus dikembangkan melalui program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk tingkat SD dan SLTP. Pada saatnya diharapkan bahwa untuk
mencapai pendidikan dasar 9 tahun dilaksanakan secara gratis sepenuhnya sehingga bisa diakses
oleh seluruh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Program pendidikan mempunyai andil
besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Sejauh mana amanat ini dilaksanakan tercermin
antara lain dari profil pendidikan penduduk yang akan dibahas secara singkat dalam uraian
berikut. Dalam bagian ini antara lain disajikan gambaran umum mengenai partisipasi sekolah,
tingkat melek huruf dan pendidikan yang ditamatkan.
2.4.1. Partisipasi Sekolah
Upaya Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah; dalam hal ini
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Majalengka untuk mengejar
ketertinggalan masyarakat di bidang pendidikan dilakukan dengan berbagai upaya agar
pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun serta meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah, sehingga bisa
meningkatkan Rata-Rata Lama Sekolah. Kerjasama dengan berbagai pihak yang melibatkan
partisipasi masyarakat dalam sosialisasi berbagai program yang tujuan utamanya untuk
meningkatkan derajat pendidikan masyarakat.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan indikator yang menunjukkan partisipasi
sekolah penduduk usia sekolah. Hasil Susenas 2009 menginformasikan bahwa APS penduduk usia
7-12 tahun sebesar 99,25 persen. Artinya dari seluruh penduduk usia 7-12 tahun, yang masih
(sedang) bersekolah sebesar 99,25 persen, sedangkan sisanya ada yang tidak (belum) bersekolah
dan yang sudah tidak bersekolah lagi.
APS kelompok penduduk usia 13-15 tahun sebesar 87,78 persen dan pada kelompok
penduduk usia 16-18 tahun mencapai 50,36 persen. Semakin tinggi level pendidikan, persentase
penduduk yang bersekolah cenderung menurun karena masyarakat masih belum sepenuhnya
sadar untuk menggapai pendidikan setinggi-tingginya.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 19
Tabel 10 . Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia Sekolah di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Indikator 2009
A. Penduduk Usia Sekolah (Orang)
1. 7 – 12 tahun 130.588
2. 13 – 15 tahun 63.019
3. 16 – 18 tahun 56.022
B. Angka Partisipasi Sekolah (%)
1. APS usia 7-12 tahun (SD) 99,25
2. APS usia 13-15 tahun (SLTP) 87,78
3. APS usia 16-18 tahun (SMU/K) 50,36
Sumber: Susenas 2009
Dilihat berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara APS
laki-laki dan perempuan, sehingga dapat dikatakan tidak terdapat bias gender dalam bidang
pendidikan tingkatan SD sampai SLTA. Hal tersebut bisa terlihat dalam Tabel 11 yang
menunjukkan angka partisipasi sekolah antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang
mencolok. Paradigma sekolah hanya diutamakan bagi laki-laki nampaknya sudah mulai luntur,
sehingga anak perempuan pun mempunyai kesempatan yang sama dengan anak laki-laki.
Tabel 11 . Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin
di Kabupaten Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Kelompok Usia Pendidikan
Laki-Laki (%) Perempuan (%) Total (%)
(1) (2) (3) (4) SD 98,50 100,00 99,25
SLTP 86,30 89,40 87,78
SLTA 53,30 47,30 50,36
Sumber: Susenas 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 20
2.4.2. Angka Melek Huruf
Kemampuan membaca dan menulis selain memberikan peluang bagi penduduk dalam
menyerap dan menyampaikan informasi, juga membantu kemudahan berkomunikasi. Rendahnya
tingkat pendidikan dan ketidakmampuan membaca dan menulis memberi andil terhadap
keterbelakangan dan peningkatan penduduk miskin. Mereka tidak dapat bersaing dalam mencari
pekerjaan karena memiliki pilihan pekerjaan yang sangat terbatas. Mereka hanya dapat terjun
pada sektor informal ataupun buruh yang tidak mempunyai upah (pendapatan) yang cukup untuk
membiayai kehidupan mereka.
Distribusi penduduk dalam hal ketidakmampuan baca tulis sampai dengan tahun 2009
masih didominasi kaum perempuan. Data Susenas 2009 memperlihatkan angka buta huruf
perempuan masih lebih tinggi daripada angka buta huruf laki-laki. Ini merupakan akibat dari
fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang secara umum tingkat pendidikan laki-
laki lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan perempuan. Berdasarkan hasil Susenas
2009, penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf (tidak dapat membaca huruf latin atau
huruf lainnya) sekitar 5 persen. Komposisinya terbagi atas buta huruf laki-laki sebanyak 2,12
persen dan perempuan sebanyak 7,62 persen. Masih tingginya angka buta huruf pada kaum
perempuan terjadi karena pada masa lampau pendidikan masih ditujukan untuk anak laki-laki,
sehingga menurut distribusi umur buta huruf terjadi pada kelompok umur tua perempuan,
sedangkan pada kelompok umur muda hal tersebut tidak terlihat karena sudah terjadi perubahan
pola pikir orang tua.
Tabel 12. Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Berusia 15 Tahun ke Atas
Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis Tahun 2009
Uraian Laki-laki (%) Perempuan (%) Total (%) (1) (2) (3) (4)
Dapat Baca Tulis 97,88 92,38 95,03
Tidak Dapat 2,12 7,62 4,97
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2009
Bila kita perhatikan Tabel 12, maka dari seluruh penduduk usia lima belas tahun ke atas di
Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 ini, tampaknya persentase mereka yang memiliki
kemampuan membaca dan menulis mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada tahun
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 21
2009 persentasenya sebesar 95,03 persen, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 94,81 persen,
sehingga angka buta huruf menurun menjadi 4,97 persen. Kondisi ini tentu saja merupakan hal
yang cukup menggembirakan karena bagaimanapun kita semua berharap untuk masa-masa yang
akan datang Angka Melek Huruf di Kabupaten Majalengka dapat terus meningkat sesuai dengan
tuntutan zaman. Oleh karena itu program-program pemerintah khususnya di bidang pendidikan,
diantaranya program Wajib Belajar, Keaksaraan Fungsional serta Program Beasiswa dan bantuan-
bantuan lainnya dalam bidang pendidikan sangat diharapkan kesinambungannya.
Dari komposisi jenis kelamin perlu upaya yang lebih terarah untuk dapat meningkatkan
kemampuan baca tulis bagi kaum perempuan, karena dari Tabel tersebut menunjukkan
ketimpangan antara kaum laki-laki dan perempuan hampir 5 persen.
2.4.3. Pendidikan yang Ditamatkan
Kualitas sumber daya manusia secara spesifik dapat dilihat dari tingkat pendidikan
penduduk berumur 10 tahun ke atas. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan merupakan gambaran dari kondisi kualitas sumber daya manusia.
Apabila memperhatikan Tabel 12, terlihat struktur penduduk usia 10 tahun ke atas di
Kabupaten Majalengka menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan dari tahun 2005-2009
mengindikasikan adanya perubahan yang positif. Perubahan dimaksud adalah semakin kecilnya
persentase penduduk dengan tingkat pendidikan di bawah SD (Tidak/belum sekolah; Tidak/belum
tamat SD), sementara penduduk dengan tingkat pendidikan Tamat SD ke atas persentasenya
semakin besar.
Tabel 13. Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2005-2009
Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Tidak Punya 27,48 23,53 23,89 24,66 20,91
Sekolah Dasar 49,43 49,95 47,10 45,13 47,81 SMTP 13,63 15,20 15,37 15,67 17,61 SMTA 6,63 8,73 9,28 10,35 9,44 Diploma/Akademi (D1-D3) 1,50 1,43 2,10 1,98 1,50 >= S1/D4 1,33 1,16 2,20 2,21 2,73
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Susenas 2005-2009
.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 22
Tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009
masih didominasi oleh penduduk dengan pendidikan Sekolah Dasar yaitu berkisar pada angka 48
persen, Tingkat Pendidikan SLTP mencapai 17,6 persen serta diimbangi dengan kenaikan
persentase pada pendidikan yang lebih tinggi yaitu di tingkat SLTA, dan Sarjana. Semakin
meningkatnya anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen secara bertahap mudah-mudahan
bisa meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, khususnya di Kabupaten
Majalengka. Secara lengkap persentase penduduk Kabupaten Majalengka usia 10 tahun ke atas
menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan disajikan dalam Tabel 13.
2.5. Perumahan dan Pemukiman
Sebagai salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia, rumah tidak hanya
berfungsi sebagai tempat berlindung, tetapi fungsinya sebagai tempat tinggal lebih menonjol.
Oleh karena itu aspek kesehatan dan kenyamanan bahkan estetika bagi sekelompok masyarakat
tertentu sangat menentukan dalam pemilikan rumah tinggal dan ini terkait dengan tingkat
kesejahteraan penghuninya. Secara umum, kualitas rumah tinggal ditentukan oleh kualitas bahan
bangunan yang digunakan, yang secara nyata mencerminkan tingkat kesejahteraan penghuninya.
Selain kualitas rumah tinggal, fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga
mencerminkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Selain kualitas rumah tinggal, fasilitas yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga mencerminkan tingkat kesejahteraan. Keadaan dan
kualitas serta fasilitas lingkungan perumahan memberikan sumbangan dalam memberikan
kenyamanan hidup sehari-hari.
Berbagai indikator yang terkait dengan perumahan mencakup luas rumah, kualitas atap,
dinding maupun lantai yang digunakan, sumber air minum, jarak sumber air minum ke
penampungan kotoran, fasilitas buang air besar dan penggunaan alat penerangan.
2.5.1. Kualitas Rumah Tinggal
Kualitas rumah tinggal berpengaruh terhadap kenyamanan dalam kehidupan rumah
tangga. Beberapa faktor yang mempengaruhi kenyamanan adalah rumah yang luas disertai
dengan kualitas atap, dinding serta lantai yang layak. Rumah yang nyaman adalah rumah yang
relatif luas sehingga penghuninya tidak berdesakan. Pada tahun 2009 tercatat 35,64 persen
rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan ruang kurang dari 50 m2. Hal ini berarti sebagian
besar rumah tangga tinggal dalam rumah dengan luas yang memadai.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 23
Kualitas perumahan di Kabupaten Majalengka secara umum menunjukkan perkembangan
yang bertambah baik. Rumah tinggal yang berlantai tanah hanya tinggal 2,44 persen berarti
sebanyak 97,56 persen rumah tinggal sudah tidak berlantai tanah, sedangkan atap yang layak
(tidak beratap dedaunan) sudah mencapai 100 persen dan dinding tembok 92,09 persen. Untuk
lebih jelasnya mengenai kualitas rumah dapat diperhatikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Persentase Indikator Kualitas Perumahan
Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Indikator Kualitas Perumahan
Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Luas Lantai <50m2 35,16 45,20 37,60 38,65 35,64
Lantai Tanah 4,81 4,94 4,29 4,00 2,44
Atap Layak (Tdk beratap dedaunan)
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Dinding Permanen 91,52 82,36 84,94 89,47 92,09
Sumber : Susenas 2005-2009
2.5.2. Fasilitas Buang Air Besar
Fasilitas buang air besar (jamban) merupakan salah satu sarana pokok untuk mewujudkan
kehidupan yang sehat. Tersedianya fasilitas yang memadai akan berpengaruh terhadap
lingkungan dan kesehatan pribadi manusia. Oleh karena itu peningkatan jenis fasilitas buang air
besar dan peningkatan wawasan massyarakat tentang pentingnya sarana ini harus terus
disampaikan secara persuasif dan intens. Tahun 2009 menunjukkan terdapat 71,67 persen rumah
tangga di Kabupaten Majalengka menggunakan jamban sendiri, sementara yang mempunyai
fasilitas buang air besar yang digunakan bersama-sama ada 6,11 persen.
Cukup memprihatinkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas jamban masih
cukup besar persentasenya yaitu 20,41 persen. Hal ini berarti rumah tangga tersebut masih
menggunakan cara yang kurang sehat untuk buang air besar, yaitu di sungai (selokan, kolam)
bahkan di sawah/kebun. Diduga selain tingkat kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
jamban sendiri di beberapa wilayah masih rendah, juga faktor ketersediaan air bersih yang cukup
sulit sehingga masyarakat tidak memprioritaskan fasilitas tersebut.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 24
Tabel 15. Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Buang Air Besar Di Kabupaten Majalengka Tahun 2006-2009
Sumber : Susenas 2005 - 2009
2.5.2.1. Tempat Pembuangan Akhir Tinja
Tempat pembuangan akhir tinja merupakan salah satu indikator kesehatan yang layak
untuk dianalisis. Pembuangan akhir tinja yang asal-asalan dan tidak mempunyai sistem resapan
yang benar akan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan masyarakat secara umum. Sistem
hidup sehat mengharuskan pembuangan akhir dibuat dengan septic tank. Melalui sistem tersebut
bakteri yang terkandung dalam tinja tidak akan mencemari air maupun udara yang berada di
sekitar daerah tersebut.
Gambar 2. Persentase Tempat Pembuangan Akhir Tinja di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Sumber : Susenas 2009
Gambar di atas memperlihatkan bahwa sebanyak 71,6 persen rumah tangga sudah menggunakan
pembuangan akhir septik tank, sementara sisanya masih menggunakan kolam (sawah, sungai) dan
lainnya. Memang tidak mudah untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang
Fasilitas Buang Air Besar
2006 (%) 2007 (%) 2008 (%) 2009 (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
Sendiri 59,01 67,70 62,40 71,67
Bersama 13,48 7,90 12,30 6,11
Umum 14,09 3,90 7,20 1,82
Tidak ada 13,42 20,50 18,1 20,41
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 25
pentingnya septik tank, karena terkait berbagai hal seperti biaya, lahan maupun tingkat
kesadarannya itu sendiri.
2.5.3. Jenis Bahan Bakar
Penggunaan bahan bakar untuk memasak menarik untuk dicermati karena pemerintah
telah meluncurkan program konversi bahan bakar dari minyak tanah ke gas. Program tersebut
diluncurkan mengingat keterbatasan produksi minyak tanah dan subsidi yang sangat besar harus
ditanggung oleh pemerintah mengingat minyak tanah dijual dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang sesungguhnya.
Gambar 3 menunjukkan bahwa bahan bakar gas sudah menjadi mayoritas digunakan oleh
rumah tangga di Kabupaten Majalengka yaitu mencakup 65,7 persen, tetapi harus dilihat juga
rumah tangga pengguna kayu bakar masih cukup tinggi yaitu 29,3 persen. Banyaknya ledakan
kompor gas yang membuat masyarakat khawatir untuk menggunakan kompor gas merupakan
salah satu faktor sehingga pengguna gas masih belum memuaskan. Penggunaan kayu bakar juga
harus diwaspadai karena dikhawatirkan kayu bakar diambil dari hutan produktif sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya dapat menimbulkan bencana yang lain
seperti banjir, longsor dan sebagainya.
Gambar 3. Persentase Penggunaan Bahan Bakar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Sumber : Susenas 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 26
2.5.4. Sumber Air Minum
Penggunaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu hal untuk
mencegah terhadap penyakit-penyakit yang berasal dari air minum.
Gambar 4. Persentase Penggunaan Sumber Air Minum di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Sumber : Susenas 2009
Sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Majalengka menggunakan sumur sebagai
sumber air minumnya diikuti oleh pompa serta mata air. Penggunaan PDAM masih relatif kecil
cakupannya yaitu hanya 9,3 persen saja dari seluruh rumah tangga di Kabupaten Majalengka.
Masih harus dikaji lebih jauh apakah penggunaan sumur dan mata air berasal dari yang terlindung
atau tidak.
2.6. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan aspek yang amat mendasar dalam kehidupan manusia,
karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Setiap upaya pembangunan, selalu diarahkan
pada perluasan kesempatan kerja dan berusaha, sehingga penduduk dapat memperoleh manfaat
langsung dari pembangunan. Salah satu sasaran utama pembangunan dalam Rencana Kerja
Pemerintah adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai
untuk dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja setiap tahun.
Pertumbuhan penduduk secara langsung berpengaruh pada perkembangan
ketenagakerjaan dan lapangan kerja. Tingkat pertambahan penduduk yang relatif tinggi
merupakan masalah yang umum dialami negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Pertambahan penduduk usia kerja akan meningkatkan jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 27
angkatan kerja tersebut seyogianya sebanding dengan kesempatan kerja yang ada, namun
masalah yang dihadapi adalah kesempatan kerja formal sangat terbatas. Kondisi kesempatan
kerja yang terbatas, maka sebagian besar penduduk berusaha untuk menciptakan lapangan kerja
untuk dirinya sendiri pada sektor informal.
Pekerja sektor informal mempunyai ciri tersendiri seperti pekerja dengan pendidikan
rendah, jam kerja yang tidak tetap, produktivitas rendah dan pendapatan yang rendah. Melihat
kondisi ketenagakerjaan yang demikian, maka perlu adanya upaya menggalakkan program yang
memotivasi masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru, membudayakan bekerja di
bidang informal serta meningkatkan minat belajar. Program tersebut secara tidak langsung
meningkatkan pendapatan nasional serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tenaga
kerja yang lebih mandiri dan mempunyai kualitas yang baik akan meningkatkan produktivitas
kerja dan meningkatkan taraf hidup penduduk. Mulai Tahun 2009 indikator ketenagakerjaan
menggunakan sumber data Survei Angkatan Kerja Nasional, yaitu Survei yang lebih khusus
menggali kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
2.6.1. Penduduk Usia Kerja
Secara garis besar, kegiatan penduduk suatu wilayah dibedakan atas penduduk yang
dikelompokkan partisipatif dalam memutar roda perekonomian yaitu penduduk usia kerja dan
penduduk yang termasuk dalam kelompok tidak partisipatif dalam perekonomian keluarga yang
disebut penduduk bukan usia kerja (penduduk berumur kurang dari 15 tahun). Banyaknya
penduduk usia kerja dalam jumlah besar bukan merupakan jaminan akan meningkatkan tenaga
kerja yang potensial, karena tidak semua penduduk usia kerja masuk dalam angkatan kerja, bisa
saja masuk dalam kelompok bukan angkatan kerja.
Tabel 16. Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Tahun 2009
Kegiatan Utama Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah (Orang)
% Jumlah (Orang)
% Jumlah (Orang)
%
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Angkatan Kerja 375.986 85,18 230.317 48,93 606.303 66,47
Bekerja 355.616 94,58 209.811 91,10 565.427 93,26
Pengangguran 20.370 5,42 20.506 8,90 40.876 6,74
Bukan Angkatan Kerja 65.387 14,82 240.380 51,07 305.767 33,53
Penduduk Usia Kerja (Orang) 441.373 470.697 912.070
Sumber : Sakernas 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 28
Tabel 16 menggambarkan kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Majalengka tahun
2009. Jumlah penduduk yang termasuk usia kerja adalah sebanyak 912.070 orang. Dari penduduk
usia kerja ini yang termasuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 606.303 orang dan bukan
angkatan kerja sebanyak 305.767 orang. Sebagian dari angkatan kerja tersebut yang sudah
bekerja yaitu 565.427 orang (93,26 persen) dan 40,876 orang (6,74 persen) masih menganggur.
Kegiatan yang termasuk kelompok bukan angkatan kerja meliputi sekolah, mengurus
rumah tangga dan lainnya. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari laki-laki sebanyak 14,82
persen dan perempuan sebanyak 51,07 persen. Kelompok perempuan mendominasi bukan
angkatan kerja karena kemungkinan masih adanya anggapan yang cukup kuat bahwa yang harus
bekerja untuk mencari nafkah adalah laki-laki, sedangkan bagi perempuan lebih baik mengurus
rumah tangga, anak-anak dan suami. Kalaupun ada yang bekerja hanya diakibatkan oleh
dorongan kebutuhan ekonomi.
Dalam meninjau masalah kesempatan kerja diantaranya terkait tiga unsur. Pertama,
golongan umur penduduk yang akan menuntut kesempatan kerja pada tahun ini dan tahun yang
akan dating. Kedua, laju peningkatan golongan umur tertentu dalam pengadaan angkatan kerja di
masa yang akan dating. Ketiga, mempengaruhi arah perkembangan ekonomi (demand), hingga
dapat menyerap angkatan kerja lebih banyak. Pada akhirnya masalah kesempatan kerja memang
merupakan suatu hal yang perlu ditangani secara terus menerus, menyeluruh dan terpadu.
2.6.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tingginya persentase penduduk usia muda di Kabupaten Majalengka akan mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap pengadaan angkatan kerja di masa mendatang. Salah satu
usaha untuk mengurangi angkatan kerja pada usia muda adalah melalui peningkatan partisipasi
sekolah (pendidikan). Pendidikan dapat mengurangi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)-
Labour Force Participation Rate (LFPR). Di samping memperluas sarana pendidikan, peningkatan
mutu pendidikan juga perlu ditingkatkan. Diharapkan dapat tercipta tenaga kerja yang terampil
dan tepat guna pada usia yang telah mencukupi untuk bekerja. Tabel 17 memperlihatkan angka
TPAK,TPT dan TPT di Kabupaten Majalengka.
TPAK di Kabupaten Majalengka mengalami kenaikkan dari 62,23 pada tahun 2008 menjadi
66,48 persen pada tahun 2009. TPAK laki-laki sebesar 85,19 persen dan 48,93 persen untuk
perempuan. Kenaikkan TPAK tersebut tidak bisa serta merta diinterpretasikan positif karena
TPAK menunjukkan jumlah yang bekerja dan yang menganggur. Untuk menganalisis lebih dalam
tentu saja yang dilihat adalah Tingkat Penggangguran dan Tingkat Kesempatan Kerja.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 29
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan proporsi penduduk yang mencari
pekerjaan secara aktif terhadap seluruh angkatan kerja. Tinggi rendahnya angka ini memiliki
kepekaan terhadap dinamika pasar kerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
TPT Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 mengalami penurunan dari 7,98 persen
pada tahun 2008 menjadi 6,74 persen di tahun 2009. TPT penduduk laki-laki turun menjadi 5,42
persen dan TPT penduduk perempuan naik menjadi menjadi 8,90 persen. Hal tersebut harus
ditelaah secara komprehensif dengan melihat komposisi Penduduk menurut Angkatan Kerja dan
Bukan Angkatan Kerja.
Tabel 17. TPAK, TPT & TKK Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005-2009
Uraian Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laki-laki TPAK (%) 79,67 84,79 86,39 83,20 85,19 TPT (%) 5,53 11,30 4,96 8,33 5,42 TKK (%) 94,47 88,70 95,04 91,67 94,58
Perempuan TPAK (%) 42,78 39,73 52,66 42,36 48,93 TPT (%) 19,15 15,03 11,34 7,34 8,90 TKK (%) 80,85 84,97 88,66 92,66 91,10
Laki-laki+Perempuan TPAK (%) 60,82 62,34 69,06 62,23 66,48 TPT (%) 10,42 12,49 7,46 7,98 6,47 TKK (%) 89,58 87,51 92,54 92,02 93,26
Sumber : Susenas 2005-2009
2.6.3. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
Fenomena yang sering menjadi ukuran untuk melihat keberhasilan pelaksanaan
pembangunan adalah sejauh mana dunia kerja itu dapat menyerap sebesar-besarnya tenaga kerja
pada penduduk di wilayah tersebut. Di lain pihak, dewasa ini isu sentral yang menjadi
pembahasan dalam berbagai kesempatan adalah produktivitas dan kualitas sumber daya
manusia. Peningkatan kegiatan ekonomi di barbagai sektor (lapangan usaha) akan berdampak
langsung terhadap penciptaan lapangan kerja.
Dalam teori ekonomi, pembangunan ekonomi biasanya disertai dengan perpindahan
tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri (termasuk pertambangan, industri
pengolahan, listrik, bangunan dan angkutan) dan jasa (yaitu perdagangan, keuangan dan jasa-
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 30
jasa). Bagaimana situasi perubahan ini terjadi di Kabupaten Majalengka, dapat dilihat pada Tabel
18. Mencermati pola kegiatan masyarakat, terjadi peningkatan kegiatan pada sektor industri dan
jasa, sementara sektor perdagangan mengalami penurunan relatif kecil. Sektor pertanian sebagai
sektor andalan di Kabupaten Majalengka, pada saat periode survei menunjukkan penurunan
tetapi hal tersebut kemungkinan disebabkan beberapa daerah yang disurvei bukan pada musim
tanam (panen). Sektor industri masih bertumpu pada industri genteng (bata merah) di Kecamatan
Jatiwangi dan Dawuan harus tetap dibina dan dikembangkan agar mereka lebih eksis dan dapat
menggerakan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya, umumnya di Kabupaten Majalengka.
Tabel 18 . Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005-2009
Kegiatan Sektor Usaha Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Pertanian 29,95 31,80 37,61 30,58 30,44
Pertambangan & Penggalian 2,29 0,68 0,35 0,47 0,49
Industri Pengolahan 18,36 19,41 13,94 16,88 12,13
Listrik, Gas & Air Minum 0,39 0,10 0,24 0,28 0,29
Konstruksi 7,93 5,36 5,35 6,22 6,54
Perdagangan 26,15 26,68 26,61 24,35 29.40
Angkutan & Komunikasi 5,97 5,81 5,47 6,91 7,27
Keuangan 0,68 0,57 1,19 0,99 1,04
Jasa-jasa/lainnya 8,28 10,37 9,23 13,32 12,40
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2005-2009, Sakernas 2009
Penerapan kebijakan pertumbuhan ekonomi hendaknya terpusat pada usaha peningkatan
produksi pertanian. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sebagian penduduk Kabupaten
Majalengka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Peningkatan produksi sektor
pertanian sekaligus akan menaikkan tingkat pendapatan petani, yang pada gilirannya akan
mengangkat sebagian dari mereka ke luar dari kemiskinan. Usaha peningkatan produksi pertanian
ini dapat dilakukan dengan cara intensifikasi lahan, penganekaragaman tanaman, penyempurnaan
sistem penyaluran pupuk, benih, obat-obatan serta pemberian bimbingan dan penyuluhan.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 31
Tabel 19. Persentase Penduduk Kabupaten Majalengka Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin pada Tahun 2009
Status Pekerjaan Utama Laki-laki (%) Perempuan
(%) Jumlah (%)
(1) (2) (3) (4)
Berusaha sendiri 25,35 15,41 21,66
Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap 27,97 22,19 25,83
Berusaha dengan dibantu buruh tetap 2,59 1,33 2,12
Buruh/karyawan 17,31 16,29 16,93
Pekerja Bebas 21,41 10,65 17,43
Pekerja tidak dibayar 5,37 34,13 16,03
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 Sumber : Susenas 2009
Indikator lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang kedudukan
pekerja adalah status pekerjaan. Seperti ditampilkan pada Tabel 18, Status pekerjaan berusaha
dengan dibantu buruh tidak tetap merupakan status pekerjaan yang paling banyak yaitu sebesar
25,83 persen. Diikuti dengan berusaha sendiri serta para pekerja bebas. Buruh/karyawan hanya
mencakup 16,93 persen. Cukup besarnya penduduk yang berstatus buruh/karyawan, terdapat
pada perusahaan-perusahaan genteng, garmen maupun sektor industri yang lain seperti kerajinan
rumah tangga dari rotan/bambu. Hal tersebut mengindikasikan juga bahwa di Kabupaten
Majalengka investasi modal yang diarahkan kepada sektor-sektor yang bersifat padat karya yang
lebih banyak menyerap tenaga kerja. Berusaha dengan buruh tidak tetap biasanya terjadi pada
sektor pertanian, di mana petani dalam mengerjakan lahannya menggunakan pekerja bebas yang
melakukan kegiatan hanya terbatas pada saat-saat tertentu saja atau dibantu oleh pekerja tidak
dibayar (anak atau anggota keluarga yang lain).
Masih tingginya penduduk yang bekerja sebagai pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga
memberi indikasi masih kurang optimalnya pemanfaatan tenaga kerja di Kabupaten Majalengka.
Mereka yang masuk kelompok ini, pada umumnya perempuan, mereka hanya sekedar membantu
usaha yang dilakukan oleh keluarga dengan tingkat produktivitas yang rendah dan tidak
mendapatkan upah/gaji atau sekalipun ada balas jasa yang diterima sangat jauh dari memadai.
Indikator ini juga merefleksikan masih lemahnya perekonomian daerah dalam penyerapan tenaga
kerja yang produktif.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 32
2.7. Pola Konsumsi dan Distribusi Pendapatan
Salah satu Indikator penting yang sering digunakan dalam mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan masyarakat. Indikator awal yang secara umum
memberikan petunjuk bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat adalah
berkurangnya jumlah penduduk miskin. Berkurangnya jumlah penduduk miskin juga berarti
bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat. Aspek penting lain yang perlu
dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana
pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan
walaupun menggunakan pendekatan pengeluaran akan memberi petunjuk pada aspek
pemerataan yang telah dicapai.
Tabel 20. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan
untuk Sub Kelompok Makanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Jenis Komoditi Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Padi-padian 17,66 24,23 22,63 23,12 19,65 2. Umbi-umbian 0,84 0,76 0,67 0,75 0,72 3. Ikan 4,25 4,04 3,33 3,14 3,68 4. Daging 5,14 3,49 3,10 3,53 3,94 5. Telur dan Susu 5,56 4,73 4,61 4,92 5,64 6. Sayur-sayuran 5,65 4,19 4,13 4,34 5,52 7. Kacang-kacangan 4,72 3,86 3,55 3,64 4,51 8. Buah-buahan 3,32 3,00 2,78 2,95 3,11 9. Minyak dan Lemak 3,38 2,93 3,07 3,04 2,59 10. Bahan Minuman 4,29 3,22 3,08 3,14 3,09 11. Bumbu-bumbuan 2,71 2,43 2,08 2,35 1,65 12. Konsumsi lainnya 4,56 4,55 3,64 3,97 4,25 13. Makanan Jadi 22,03 23,71 30,62 28,53 26,87 14. Minuman beralkohol 0,05 0,25 0,01 0,01 0,00 15. Tembakau & Sirih 15,86 14,61 12,72 12,57 13,43
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2005-2009
Tingkat pendapatan masyarakat di suatu wilayah dapat digunakan sebagai ukuran
kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Pendapatan dalam konteks ini dapat berbentuk
uang, barang atau jasa. Namun sampai sejauh ini data mengenai pendapatan sulit didapat,
terutama dalam hal keakuratan data. Mengingat hal ini, untuk mengetahui data pendapatan
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 33
masyarakat akan digunakan data mengenai pengeluaran yang dapat dianggap sebagai proxy dari
pendapatan.
Pendekatan melalui pengeluaran dianggap lebih realistis karena masyarakat akan lebih
jujur untuk menjelaskan pengeluaran untuk konsumsinya daripada pertanyaan mengenai
pendapatannya,walaupun diperlukan kehati-hatian karena jawaban responden kadang-kadang
over ataupun under estimate.
Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan untuk kelompok makanan disajikan
pada Tabel 20. Tabel tersebut menunjukkan pendapatan yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi
komoditi-komoditi pokok sesuai tabel tersebut. Mencermati pola pengeluaran rata-rata per
kapita sebulan sub kelompok makanan tahun 2008 dan tahun 2009 tidak terdapat perubahan
yang mencolok, sekalipun ada penurunan/kenikan pada komoditi tertentu terjadi tidak signifikan
karena perubahannya relatif kecil saja.
Makanan jadi masih menjadi konsumsi yang tertinggi dibanding komoditi yang lain.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penduduk semakin banyak mengkonsumsi makanan
yang siap untuk dikonsumsi, dengan beberapa pertimbangan antara lain kepraktisan,
penghematan bahan bakar dan kurang tersedianya waktu untuk memasak sehingga banyak
rumah tangga yang beralih untuk membeli makanan jadi dalam pola konsumsi mereka.
Pengeluaran untuk bukan makanan seperti yang disajikan pada Tabel 21 sebagian besar
digunakan untuk perumahan, bahan bakar dan penerangan serta air yaitu sebesar 41,15 persen.
Kemudian untuk kebutuhan aneka barang dan jasa sebesar 20,98 persen. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa komponen biaya untuk pendidikan naik dari tahun 2208 sebesar 5,45
persen menjadi 9,93 persen. Hal ini bisa disebabkan biaya pendidikan semakin meningkat. Untuk
diketahui bahwa walaupun biaya pendidikan tingkat SD-SLTP berlaku gratis, tetapi dalam
penghitungan konsumsi rumah tangga biaya tersebut tetap diimputasi sehingga tetap
diperkirakan sebagai pengeluaran rumah tangga.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 34
Tabel 21. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan untuk Kelompok Bukan Makanan di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009
Jenis komoditi Tahun (%)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Perumahan, Bahan bakar, Penerangan dan Air
46,90 50,92 54,03 52.45 41,15
2. Aneka barang dan jasa 18,29 18,29 19,48 19.99 20,98
3. Biaya Pendidikan 5,16 5,08 5,79 5.45 9,93
4. Biaya Kesehatan 8,09 4,52 5,42 5.77 8,45
5. Pakaian,alas kaki dan tutup kepala
11,52 8,60 10,11 10.27 9,77
6. Barang-barang tahan lama 6,20 9,99 3,53 4.12 5,80
7. Pajak pemakaian &Premi Asuransi
2,10 1,88 1,20 1.35 2,57
8. Keperluan Pesta & Upacara 1,73 0,72 0,44 0.60 1,35
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2005-2009
2.8 Kemiskinan
Berbicara kesejahteraan rakyat tidak akan terlepas dari kemiskinan. Kemiskinan
merupakan masalah utama yang terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap kemiskinan diwujudkan dengan berbagai program anti
kemiskinan yang diwujudkan dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan.
Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah
tersedianya data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Ketersediaan data dan
informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan
keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan/sasaran dari kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan pada tingkat nasional, tingkat daerah (khususnya daerah
kabupaten/kota), maupun tingkat wilayah kecil komunitas. Oleh karena itu kegiatan pemantauan
kemiskinan secara berkelanjutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi
penanggulangan kemiskinan, baik untuk nasional maupun untuk daerah.
Menurut jenisnya, data kemiskinan biasanya dikategorikan dalam dua jenis, yaitu data
makro dan data mikro. Data makro kemiskinan pada dasarnya adalah angka estimasi penduduk
miskin untuk tingkat nasional maupun daerah (sampai pada tingkat kabupaten/kota). Data makro
kemiskinan ini biasanya digunakan untuk alokasi anggaran pengentasan kemiskinan menurut
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 35
daerah dan untuk perbandingan antardaerah. Namun demikian data makro kemiskinan ini tidak
dapat digunakan untuk taget sasaran rumahtangga/keluarga miskin. Untuk target sasaran
rumahtangga/keluarga miskin, diperlukan data mikro yang dikumpulkan secara lengkap dari
lapangan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pemantauan kemiskinan di Indonesia sekarang ini
cukup beragam dan hal tersebut dapat menjadi bahan perdebatan diantara berbagai pihak karena
adanya perbedaan konsep kemiskinan dan kegunaan pengukuran kemiskinan tersebut bagi
penyelenggaraan pembangunan, baik nasional maupun regional, khususnya pemerintahan
kabupaten/kota.
Tabel 22. Angka Kemiskinan Makro Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009
Uraian 2007 2008 2009
Jumlah (Orang) 234.437 218.420 207.150
Persentase (%) 19,73 18,25 17,12
Sumber : BPS RI
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 36
BAB III
P E N U T U P
3.1. Kesimpulan
Mengkaji Tabel dan analisisnya terlihat gambaran tingkat kesejahteraan rakyat di
Kabupaten Majalengka. Untuk beberapa dimensi Pemerintah Kabupaten Majalengka masih
harus bekerja keras agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari uraian-uraian tersebut sebagai
gambaran kondisi kesejahteraan rakyat Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yaitu :
1) Laju pertumbuhan penduduk tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2008 relatif stabil
pada kisaran angka 0,80 persen. Bila dibandingkan dengan LPP Provinsi Jawa Barat, LPP
Kabupaten Majalengka masih jauh lebih rendah. Hal tersebut salah satunya dimungkinkan
selain karena tingkat pertumbuhan alami yang relatif kecil, juga karena Majalengka
bukanlah daerah urban sehingga tingkat migrasi datangnya relatif rendah. Sementara
tingkat migrasi ke luarnya cukup tinggi untuk mencari nafkah di kota besar atau
meneruskan pendidikan tinggi di luar kota.
2) Di bidang kesehatan, penolong persalinan dengan tenaga medis masih harus ditingkatkan
agar persalinan dapat dijalani dengan aman untuk keselamatan bagi ibu dan bayinya.
Cakupan imunisasi sudah cukup tinggi sementara kaum ibu harus dapat meningkatkan
peranannya dalam menyusui bayi dengan ASI ekslusif hingga umur 6 bulan.
3) Di bidang pendidikan dari tahun ke tahun Angka Melek Huruf mengalami kenaikkan
walaupun relatif kecil, tetapi bila dilihat secara gender AMH perempuan masih
menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dari tahun ke tahun.
Pola ini menunjukkan kecenderungan masih adanya sterotype gender pada kalangan
perempuan.
4) Pada bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan angka tingkat pengangguran. Tetapi
tetap harus diwaspadai atau dicermat dari status pekerjaan mengingat komposisi pekerja
bebas, buruh dan buruh tidak dibayar masih cukup tinggi.
5) Di bidang perumahan, masalah sanitasi lingkungan terutama fasilitas buang air besar masih
ditemukan cukup besar rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar sehingga
dikhawatirkan akan berpengaruh besar terhadap derajat kesehatan masyarakat. Faktor-
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 37
faktor pendukungnya juga masih harus ditingkatkan seperti tempat pembuangan akhir tinja
dan penggunaan air minum yang bersih dan sehat.
6) Tingkat Kemiskinan setiap tahun terus menurun mengingat berbagai program anti
kemiskinan telah diluncurkan oleh pemerintah pusat yang harus didukung oleh pemerintah
daerah dalam implementasinya agar tidak mengalami distorsi.
3.2. Saran
Dari sejumlah gambaran yang cukup menggembirakan tersebut ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian dan tindak lanjut Pemerintah Kabupaten Majalengka yaitu :
1) Untuk bidang kependudukan dari segi laju pertumbuhan penduduk cukup rendah
dibandingkan dengan angka provinsi, harus terus dipertahankan yang perlu ditingkatkan
adalah kualitas penduduk agar dapat berkontribusi positif dalam pembangunan.
2) Proritas pembangunan bidang kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, salah satu faktor penting yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan
sarana kesehatan rumah tangga dan penanganan kesehatan ibu hamil agar dapat
menghasilkan bayi yang sehat dan cerdas.
3) Bidang ketenagakerjaan masalah pengangguran yang juga menjadi salah satu isu pokok
dalam pembangunan nasional, menjadi komitmen bersama antara pusat dan daerah dalam
penyediaan lapangan kerja melalui investasi lokal maupun asing dengan melakukan
stimulasi bagi investor untuk menanamkan modalnya.
4) Di bidang pendidikan masalah buta huruf dan wajar dikdas harus terus dipacu agar dapat
meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat Kabupaten Majalengka. Peningkatan sarana
dan prasarana pendidikan serta peningkatan kualitas pendidik juga harus seiring dilakukan
untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.
5) Untuk mendapatkan data kemiskinan yang up to date dan bisa digunakkan untuk targetting,
diharapkan pemerintah daerah bisa memanfaatkan database yang telah tersedia dari
pendataan BPS.
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 38
Lampiran 1
Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Kecamatan dan Jenis kelamin Tahun 2009
No. Kecamatan Laki-laki (Orang)
Perempuan (Orang)
Jumlah (Orang)
(1) (2) (3) (4) (5) 1 Lemahsugih 28,804 29,227 58,031 2 Bantarujeg 21,714 21,867 43,581 3 Malausma 22,090 22,814 44,904 4 Cikijing 30,628 30,533 61,161 5 Cingambul 18,415 18,578 36,993 6 Talaga 22,236 22,438 44,674 7 Banjaran 12,400 12,431 24,831 8 Argapura 17,563 17,764 35,327 9 Maja 23,667 24,017 47,684
10 Majalengka 33,351 34,574 67,925 11 Cigasong 16,261 16,281 32,542 12 Sukahaji 21,381 20,780 42,161 13 Sindang 8,298 7,981 16,279 14 Rajagaluh 22,162 21,631 43,793 15 Sindangwangi 15,722 15,728 31,450 16 Leuwimunding 30,476 31,011 61,487 17 Palasah 24,088 24,580 48,668 18 Jatiwangi 41,623 42,296 83,919 19 Dawuan 21,356 21,860 43,216 20 Kasokandel 22,699 22,465 45,164 21 Panyingkiran 14,905 14,849 29,754 22 Kadipaten 21,546 21,521 43,067 23 Kertajati 22,903 23,143 46,046 24 Jatitujuh 27,076 26,854 53,930 25 Ligung 30,529 31,492 62,021 26 Sumberjaya 28,503 29,591 58,094
Jumlah 2009 600,396 606,306 1.206.702 2008 594,981 601,830 1,196,811 2007 588,321 599,868 1,188,189 2006 582.474 596.662 1.179.136 2005 577.633 591.704 1.169.337 2005 574.614 585.969 1.160.583 2003 576.412 577.030 1.153.442 2002 564.363 569.839 1.134.202 2001 556.894 567.026 1.123.920 2000 555.658 559.180 1.114.838
Sumber: Susenas 2000-2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 39
Lampiran 2
Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009
Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki (Orang) Perempuan
(Orang) Jumlah (Orang)
(1) (2) (3) (4)
00 - 04 51152 43976 95128
05 - 09 61943 50781 112724
10 - 14 58183 43539 101722
15 - 19 48253 46984 95237
20 - 24 29949 41283 71232
25 - 29 41357 44982 86339
30 - 34 45591 50590 96181
35 - 39 40452 51216 91668
40 - 44 42206 46657 88863
45 - 49 45449 44024 89473
50 - 54 36654 40810 77464
55 - 59 30330 24312 54642
60 - 64 23674 26801 50475
65 - 69 19741 18460 38060
70 - 74 12628 14968 27632
75+ 12834 16923 29862
Jumlah 600,396 606,306 1,206,702
Sumber: Susenas 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 40
Lampiran 3
Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Kelompok Umur Khusus dan Jenis Kelamin Tahun 2009
Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki (Orang) Perempuan
(Orang) Jumlah (Orang)
(1) (2) (3) (4)
05 – 06 23.947 20.065 44.012
07 – 12 74.561 56.027 130.588
13 – 15 34.670 28.349 63.019
16 – 18 28.063 27.959 56.022
19 – 24 38.550 49.943 88.493
Sumber: Susenas 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 41
Lampiran 4
Jumlah Rumah Tangga, Persebaran dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Majalengka Menurut Kecamatan Tahun 2009
No Kecamatan Rumah Tangga
Luas Wilayah
(Km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Persebaran Penduduk
(100%)
Kepadatan Per
Rumah Tangga
Km2
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Lemahsugih 17,327 78.64 58,031 4.81 220 738 2 Bantarujeg 12,847 66.52 43,581 3.61 193 655 3 Malausma 13,556 45.04 44,904 3.72 301 997 4 Cikijing 18,356 43.54 61,161 5.07 422 1405 5 Cingambul 11,078 37.03 36,993 3.07 299 999 6 Talaga 13,337 43.5 44,674 3.70 307 1027 7 Banjaran 8,864 41.98 24,831 2.06 211 591 8 Argapura 11,858 60.56 35,327 2.93 196 583 9 Maja 14,691 65.21 47,684 3.95 225 731
10 Majalengka 19,805 57.00 67,925 5.63 347 1192 11 Cigasong 10,197 24.17 32,542 2.70 422 1346 12 Sukahaji 12,819 32.52 42,161 3.49 394 1296 13 Sindang 5,119 23.97 16,279 1.35 214 679 14 Rajagaluh 12,964 34.37 43,793 3.63 377 1274 15 Sindangwangi 9,652 31.76 31,450 2.61 304 990 16 Leuwimunding 18,162 32.46 61,487 5.10 560 1894 17 Palasah 15,293 38.69 48,668 4.03 395 1258 18 Jatiwangi 25,476 40.03 83,919 6.95 636 2096 19 Dawuan 14,041 23.8 43,216 3.58 590 1816 20 Kasokandel 15,487 31.61 45,164 3.74 490 1429 21 Panyingkiran 9,941 21.86 29,754 2.47 455 1361 22 Kadipaten 12,616 22.98 43,067 3.57 549 1874 23 Kertajati 16,319 138.36 46,046 3.82 118 333 24 Jatitujuh 19,358 73.66 53,930 4.47 263 732 25 Ligung 20,936 62.25 62,021 5.14 336 996 26 Sumberjaya 18,060 32.73 58,094 4.81 552 1775
Jumlah 2009 378,159 1.204,24 1.206.702 100 314 1002 Sumber : Proyeksi Penduduk 2009
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 42
Lampiran 5
Banyaknya Fasilitas Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Majalengka tahun 2009
No Kecamatan RS
(Unit) PKM (Unit)
Pustu (Unit)
Pos Yandu (Unit)
Apotek (Unit)
Praktek Dokter* (Orang)
Bidan Desa
(Orang) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 Lemahsugih - 1 6 58 - 3 10 2 Bantarujeg - 1 2 44 - 4 8 3 Malausma 1 5 44 2 7 4 Cikijing - 1 2 58 2 8 19 5 Cingambul - 1 5 41 - 3 12 6 Talaga - 1 3 66 7 10 21 7 Banjaran - 1 3 44 - 2 10 8 Argapura - 1 3 48 - 8 15 9 Maja - 1 5 63 2 17 16
10 Majalengka 1 2 2 85 14 67 31 11 Cigasong - 1 1 40 1 2 13 12 Sukahaji - 2 3 71 1 8 27 13 Sindang** 14 Rajagaluh - 1 3 50 5 13 15 15 Sindangwangi - 1 2 51 - 3 12 16 Leuwimunding - 1 2 84 2 4 19 17 Palasah - 1 3 55 - 7 15 18 Jatiwangi - 2 3 86 9 27 31 19 Dawuan 1 1 2 40 4 45 21 20 Kasokandel 1 1 40 - 2 10 21 Panyingkiran 1 1 1 33 1 14 14 22 Kadipaten - 1 1 46 9 20 18 23 Kertajati - 2 5 54 - 5 15 24 Jatitujuh - 2 2 68 3 12 19 25 Ligung - 1 5 68 1 3 22 26 Sumberjaya - 1 3 61 2 17 21
Jumlah 3 30 73 1440 63 306 422
Keterangan : *) Dokter Umum+Gigi+Spesialis termasuk di RS **) data masih bergabung dengan Kecamatan Sukahaji Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka
Inkesra Kabupaten Majalengka 2009 43
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Majalengka 2008, Majalengka, 2009.
Bappeda dan Badan Pusat statistik Kabupaten Majalengka, Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Majalengka 2008, Majalengka, 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Gambaran Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
Jawa Barat, Bandung, 1999.
Biro Pusat Statistik, Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 1983, Jakarta, 1984. Biro Pusat Statistik, Bunga Rampai Ringkasan Karangan Sosial dan Kependudukan,
Jakarta, 1992.
Biro Pusat Statistik, Kumpulan Bahan-Bahan Penyusunan Indikator Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, 1992.
Biro Pusat Statistik, Buku Panduan Penyusunan Indikator Sosial, Jakarta, 1995. Biro Pusat Statistik, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1997, Jakarta, 1998. Biro Pusat Statistik, Pedoman Analisis Data Susenas Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Jakarta, 1997.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2000, Bandung, 2002.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2002, Bandung,
2002. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2002, Bandung,
2003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2003, Bandung,
2005. Iskandar, N, Demografi Tekhnik, LD-FEUI, Jakarta 1977. , Dasar-dasar Demografi, LD-FEUI, Jakarta 1981. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Indikator Kesejahteraan Rakyat Jawa Barat
Tahun 1994, Bandung 1995.
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, LP-FEUI, Jakarta, 1985.