bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/t2_322015019_bab...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme). Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2 (dua) aliran yakni: a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini dipengaruhi oleh aliran legisme. 1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan- wenangan. 2 Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest 1 Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2 J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan, 2000.

Upload: dinhbao

Post on 07-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim

yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa

keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa

yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai

keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas

penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme).

Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2

(dua) aliran yakni:

a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada

ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini

dipengaruhi oleh aliran legisme.1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula

bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang

kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan-

wenangan.2Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan

putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest

1Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak

tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan

kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang

menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung,

Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan, 2000.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

2

suntscripta), biarpun in concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan

hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidakadilan.

b. Aliran Progresif yaitu putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan

pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada

pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai

corong Undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan

yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom,

bukan lagi heteronom.3

Begitupun juga gagasan tentang hukum Represif yang digagas oleh Philippe

Nonet dan Philippe Selzinick, bahwa tertib hukum tentu dapat berupa ketidak-adilan

yang benar-benar parah. Keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya

keadilan, apalagi keadilan subtantif, sebaliknya tertib hukum memiliki potensi

reprasif sebab hingga tingkat tertentu Ia akan selalu terikat pada status quo dan

memberikan jubah otoritas pada penguasa, membuat kekuasaan menjadi makin

efektif.4Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam

bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku

dalam hak keistimewaan dan kekuasaan.5 Para penegak hukum (hakim) sendiri

dihadapkan oleh dua situasi, yaitu: penerapan hukum beresiko rendah dan penerapan

hukum beresiko tinggi. Penerapan hukum berisiko rendah, bahwa hakim sebagai

corong Undang-undang, dengan demikian semua putusan yang dibuat hakim, hanya

berdasarkan pada pertimbangan undang-undang saja. Penerapan hukum beresiko

3 Van Eikeme Hommes, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit,1999, hal. 26.

4 Philippe Nonet & Philippe Selzinick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 33.

5Ibid.,hal. 34.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

3

tinggi, dimana hakim tidak hanya melihat hukum sebagai Undang-undang saja, akan

tetapi hukum yang ada diluar Undang-undang juga. Dalam hal ini hukum yang hidup

didalam masyarakat.

Cicero mengatakan “ubi societas ibi ius”, dimana ada masyarakat disitu ada

hukum.Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum

memang harus mengakomodasikan ketiganya.Dalam putusan hakim harus

mempertimbangkan ketiga hal itu.Akan tetapi Bismar Siregar mengatakan, bila untuk

menegakan keadilan maka dia akan korbankan kepastian hukumdan tujuannya

adalah keadilan.6 Dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam

masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakekat pada keadilan dan

kekuatan moral, sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum akan

kehilangan supremasi dan ciri independennya, sebaliknya ide keadilan dan moralitas

akan penghargaan terhadap kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan kemanfaatan

jika terwujud dalam hukum formal dan materil serta diterapkan dalam kehidupan

masyarakat. Keadilan tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan

dan keselarasan yang membawa ketentraman didalam hati orang. Sebuah tatanan

yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang

tidak aman dan berbahaya.7Dengan teknik inferensial Peter Mahmud Marzuki

merumuskan esensi dari pengertian keadilan yang berpangkal pada moral manusia

yaitu rasa cinta kasih dan kebersamaan. Pandangan tersebut sangat berguna jika

6 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hal.7.

7 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah,Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Madah

University Pres, 2006, hal. 57.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

4

misalnya, dikaitkan dengan maxim klasik tentang keadilan yang dikemukakan oleh

Ulpianus yaitu “justitia est perpetua et constansnvoluntas jus suum cuique

tribuendi”(atau keinginan yang terus menerus dan tetap memberikan kepada orang

yang menjadi haknya).8Prespektif tersebut seyogianya menjadi sumber inspirasi bagi

hakim untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Istilah positive dimaksudkan bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas

dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya dengan nilai-nilai

yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata. Karena telah

begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang perlunya memisahkan

antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum

yang seharusnya (das sollen).9Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain

kecuali perintah penguasa atau dengan kata lain, inti dari dari aliran positivisme

adalahnorma hukum dikatakan sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas

yang berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan

digantungkan pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain

adalah undang-undang yang adalah sumber hukum dan diluar undang-undang tidak

dapat dikatakan sebagai hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum

yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan moral tetapi tidak mengurangi

keabsahan norma hukum tersebut.

8 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi, Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016,

hal. 79. 9Erwin Muhamad,Filsafat Hukum “Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam

Dimensi Ide dan Aplikasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 234.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

5

Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh adalah Hans

Kelsen dengan teori hukum murni. Kelsen mangatakan bahwa hukum dan keadilan

adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum

(law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan, karena

keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik.10

jika dalam teori hukum

murni, adil dipisahkan dari hukum maka hal ini berbanding terbalik dengan tujuan

dari hukum itu sendiri, maka sudah pasti keadilan tidak akan dipertimbangkan oleh

hakim dalam menegakan hukum. Sebab positivisme itu bebas nilai, keadilan ada

didalam nilai, oleh sebab itu keadilan tidak bisa dimasukan ke dalam positivisme

sehingga hukum tidak akan membicarakan keadilan itu sendiri.Aliran positivisme

hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan

bahwa tidak ada hukum diluar Peundang-undangan.Hakim legisme merupakan hakim

yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang

berpandangan sebagai berikut.11

a. Hukumadalah perintah.

b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi

sosiologis, historis, dan penilaian kritis.

c. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-

peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada

tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

10

Ibid., hlm. 242. 11

Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, hal.57-58.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

6

d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan

oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus

senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan

diinginkan.12

Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah

Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang

pada peristiwa yang konkrit.13

Undang-undang dan hukum diidentikkan.14

Hakim

positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang-undang. Hakim yang

menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang

beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang

atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum

akan terganggu.15

Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu

memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan

kemanfaatan.

Hakim yang legisme tentu akan menganut ajaran-ajaran positivisme yang selalu

mengutamakan bunyi pasal dalam Undang-undang atau dengan kata lain hakim

merupakan corong Undang-undang. Sebagai contoh hakim yang legisme, terlihat

dalam putusan pencurian tiga biji kaka yang dilakukan oleh Nenek Minah dengan

12

Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal. 249-250. 13

Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti,

Yogyakarta, 1993, hal. 5. 14

Ibid., hal. 120.

15Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hal. 114.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

7

nomor perkara 247/PID.B/2009/PN.PWT.dan kasus pencurian 6 piring yang

dilakukan oleh Rasmina, Pengadilan Negeri Tangerang Nomor

1346/Pid.B/2010/PN.TNG menyatakan Rasminah bebas. Akan tetapi Putusan

Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 2011 mengabulkan kasasi Nomor 653K/Pid.2011

dan menyatakan Rasminah bersalah dan dihukum penjara 4 Bulan 10 hari. kasus

pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no. 1104 K/Pid/2010. Kasus

pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko. No putusa perkara,

132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar dengan putusan no 2615

K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid.

Contoh-contoh kasus diatas menggambarkan kedudukan hakim yang legisme,

dimana hakim memutuskan dengan hanya merujuk berdasarkan pada unsur-

unsur(formil) perbuatan pidana yang telah tepenuhi. Dalam kasus ini, menurut

penulis hakim tidak mencoba menggali nilai keadilan, dimana nilai keadilan itu tidak

serta merta melekat pada bunyi Undang-undang, tetapi yang perlu dipahami oleh

hakim secara mendalam adalah bahwa keadilan harus dimaknai secara filosofis

sehingga tujuan sesungguhnya dari hukum dapat tercapai.

Berbicara mengenai keadilan, maka sedang membicarakan mengenai tujuan

yang esensi dari hukum16

yaitu untuk memberikan rasa keadilan, selain kemanfaatan

dan kepastian. Keadilan sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam Pancasila

yang disebut sebagai staats fundamental norm/ rechtsideesekaligus berfungsi sebagai

16

Teguh Prasetyo,Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015,

hal. 101.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

8

norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif

di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat oleh hakim wajib menjiwai nilai-

nilai yang ada dalam Pancasila.Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam

proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan

hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya

hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang saja tetapi hakim juga

harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila.Hakekat dari norma

dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada

sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.17

Oleh sebab sebab itu posisi hakim yang positivis tidak akan mampu

memberikan rasa keadilan dalam setiap putusannya, sebab dalam pertimbangan

hakim hanya menggunakan Undang-undang sebagai tolok ukur saja, tanpa

menggunakan moral untuk melihat penyebab seseorang melakukan pencurian.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini

adalah;

1. Bagaimana posisi hakim dalam sistem peradilan pidana?

2. Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka

mengupayakan keadilan?

C. Tujuan Penelitian.

17

Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,

Yogyakarta, 2013, hal. 69.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

9

Untuk menganalisis posisi hakim dalam sistem peradilan pidana dan,

Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka mengupayakan

keadilan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

secara praktis, yaitu:

a. Manfaat teoritis,hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian

pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana.

b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka

cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim

yang positivis supaya dapat mempertimbangkan keadilan melalui putusannya.

E. Kerangka Pemikiran:Peran filsafat hukum dalam putusan pengadilan.

Dalam hal ini filsafat hukum berkedudukan sebagai metateori bagi teori

interpretasi yuridis secara umum. Fungsionalitas dari beragam teori itu untuk

menjembatani antara proses dan produk ajudikasi supaya dihasilkan putusan yang

tepat atau benar sehingga finalitasnya tidak diganggu gugat atau dipertanyakan.

Teori Adjudikasi

Teori Adjudikasisebagai metateori interpretasi.Dipengaruhi oleh aliran atau

tradisi filsafat hukum tertentu, metateori interpretasi yang ada telah lazim

dikategorikan menjadi teori formalisme, teori realisme dan teori normativisme. Teori-

teori tersebut pada hakekaknya merupakan bentuk penerapan aliran filsafat hukum

tertentu ke dalam ajudikasi sehingga konsekuensi lebih dikenal dengan predikat teori

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

10

ajudikasi yaitu “theories of how judges do or should decide cases”18

atau lebih

tepatnya tentang “how should a judge decide what law governs the case before

her?19

”dalam arti demikian maka yang menjadi fokus teori-teori tersebut adalah

judicial reasoning sebagai spesies dari legal reasoning.Teori-teori tersebut sangat

penting dalam rangka fungsionalitas badan yudisial dan hakim terutama hakikak

fungsi hakim dan makna atau hakikak hukum di dalamnya.20

Menurut Thomas, “ a basic understanding of legal theory is a essential for the

complete performance of the judicial function….to fulfil their judicial function, and to

be able to assess whether they are fulfilling that function, judge must explore,

examine and know the theoretical framework for their judicial thingking”.

Pernyataan ini sangat tepat sasaran manakala diyakini bahwa ajudikasi dan

interpretasi adalah aktivitas intelektual yang sophisticated. 21

Makna atau hakikat dalam fungsi hakim adalah isu teoritis sangat penting

dalam rangka membekali hakim ketika melakukan ajudikasi.Isu ini merupakan salah

satu bidang kajian filsafat hukum maupun teori hukum yang lebih konkrit. Untuk

lebih memahami pemahaman isu filsafat hukum tentang makna atau hakekak hukum

dapat dikategorikan secara dikotomis dengan mengacu pada Alexy yaitu konsep yang

positivistik: “there are only two defining elements:that of issuance in accordance

with the system, or authoritative issuance, and that of social efficacy….Common to

18

Brian Leiter, Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?, 16 Legal Theory, 2010,

hal.111. 19

Robert Justun Lipkin, conventionalism, pragmatism and contutional Revolutions, 21 Uc Davis

Law Review, 1988, hal. 651. 20

Titon Slamet Kurnia, Kontitusi HAM, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2014, Hlm

105 21

Ibid. Hlm 105-106

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

11

all of the variations is the notion what law is depends solely on what has been issued

and/or is effication. Correctness of content-however achieved-count for nothing”

dan konsep yang non positivistik “defend the connection thesis, which says that the

concept of law is to be defined such that moral element are included. No serious non-

positivis is thereby excluding from the concept of law either the element of

authoritative issuance or the element of social efficacy. Rather, what distinguishes

the non-positivist from the positivist is the view that the concept of law is to be

defined such that, alongside these fact-oriented properties, moral elements are also

included”.22

Formalisme, realisme dan normativisme pada hakekaknya adalah teori tentang

makna atau hakekak hukum dalam ajudikasi, mengandung dimensi penerapan atas

study filsafat hukum, yang bertujuan menghasilkan postulat-postulat mengenai

makna atau hakikat hukum sebagai pendirian, word view bagi hakim ketika

melakukan ajudikasi tentang bagaimana hakim memutuskan atau seyogianya

memutus kasus dalam lingkup tugas yudisialnya. Menurut D’Amato: “the way judges

decide a case is informed by their own conception of what the law is-not just what a

statute might say, or a previous case might have held, but what the law is in the sense

of how they should interpret those statutes or cases. Aliran atau tradisi filsafat hukum

tertentu membentuk dan menetukan makna atau hakekak hukum tertentu, dan yang

pada analisis akhir menentukan hakim tentang bagaimana mengembannya ketika

memeriksa, menggali dan memutuskan. 23

22

Ibid., hal. 106. 23

Ibid.,hal. 107.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

12

a. Formalisme

Teori ajudikasi paling dominan dalam praktek ajudikasi. Tentang keampuhan

teori ini, Thomas memberikan gambaran “At the turn of the twentieth century a basic

from of positivism dominated legal thinking. The law was perceived as closed and

cloisterd edifice, an independent and authonomous discipline, and a sovereign, self-

contained system of internally rational and predictable rules to which the judge,

having no or little discretion, would mechanically apply deductive reasoning. Such

dogmatic formalism embraced the declaratory theory of law and fostered the belief

that law could be determined with quasi-mathematical precision. Idolatry of certainty

and predictabililyin the law displaced the search for justice and relevance. Justice, if

justice was to be done, would be systemic-the product ot adhering to rules of form”.

Secara lebih spesifik Tamanaha menyimpulkan sebagai generalisasi inti dari

teori formalisme yaitu: formalism entails rule-bound judging that prohibits

considerations of purposes or consequences”. Dengan demikian ajudikasi adalah

bebas nilai. Teori formalisme hukum dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak

langsung, atau merupakan penerapan , pemikiran filsafat positivisme yuridis (legal

positivism). Obsesi utama positivme yuridis adalah konsepsi hukum yang benar-

benar hukum dan validitas sumber-sumbernya. Atas dasar premis tersebut maka

positivisme yuridis membedakan secara tegas antara law as it dan law as it ought to

be, antara hukum dan nilai atau moral. Konsisten dengan itu, pembuktian utama

eksistensi hukum adalah pada sumbernya, yaitu sumber-sumber hukum positif dari

negara, dengan demikian pengaruhnya ke dalam ajudikasi, yang disebut formalisme

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

13

adalah semata-mata penerapan sumber-sumber hukum positif (law as it is) secara

subtantif.

b. Realisme

Secara genelogis, teori realism sebagai teori ajudikasi merupakan reaksi

terhadap teori formalisme, “ Formalism offers us right and wrong answers, it

encourages rigidity and a dismissive attitude to any analysis of the impact of non-

legal factors on the law, in other word it treats law as an isoled, closed an logical

system”. dengan kata lain, kritik terhadap formalisme adalah kritik terhadap terhadap

doktrin separation thesis dari teori positivisme yuridis yang menghasilkan regiditas

terhadap konsep hukum (khusus menyangkut teori sumber hukum yang dimonopoli

oleh produk-produk hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh penguasa) dalam

ajudikasi. Teori realisme pada hakikatnya masih teramasuk dalam bilangan

positivisme, seperti halnya teori formalisme sebagai teori ajudikasi dari filsafat legal

positivism.

Teori realisme merupakan kritikan atas kelemahan pendirian dari teori

formalisme yang memiliki kecenderungan kuat pada rule application tanpa dibantu

interpretasi. Menurut pandangan realisme hal tidak mungkin terjadi pada situasi hard

cases dimana existing rules mengandung pengertian atau makna panubra. Tanpa

referensi pada pertimbangan-pertimbangan factual, judicial reesoning berdasarkan

formalisme akan berubah menjadi legalistik,legisme. Dalam kaca mata realisme, isu

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

14

utama teori formalisme adalah kegagalan untuk menjembatangi pengunaan kata-kata

dalam ketentuan hukum sebagai premis mayor tersebut berlaku secara presisi.24

c. Teori Normativisme.

Pada teori normativisme, bahwa memutus menurut lex dengan memutus

menurut ius tidak selalu sama maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judical

reasoning yang lebih dari sekedar merujuk pada peraturan perundang-undangan

(formalism) adalah esensi yang menjadikan teori normativisme khas, termasuk

dengan realism (memutus dengan mempertimbngkan social demands).

Normativisme berbeda dengan formalisme menyangkut isu hubungan antara

hukum dengan moral: although we do separate law and morals, we do not separate

them entirely. Normtivisme juga berbeda dengan realisme walaupun sama-sama

bertolak dari tesis indeterminate legas rules. Normativisme lebih berorientasi pada

nilai (morality, justice, fairns) namun realism kebalikannya, lebih berorientasi pada

fakta.Normativisme hadir sebagai kritik terhadap formalisme maupun realisme,

formalisme dikritik karena penderian bebas nilainnya.Sementara realisme dikritik

karena kecendurungan metamtis dan prakmatisnya.Pendiri normativisme kontenporer

adalah Ronald Dworkin.Filsuf hukum yang teorinya secara khusus beroperasi di

ranah ajudikasi.Pemikiran Dworkin sangat penting kontribusinya bagi pengembangan

teori norvativisme dalam ajudikasi, kontribusi utamanya adalah menunjukan bahwa

ajudikasi merupakan interpretasi dan interpretasi tersebut memiliki landasan

moralitas yang kuat.Dengan demikian maka Dworkin menggugurkan tesis

positivisme yuridis dan formalism yaitu separation of law and morals dan unsure

24

Ibid.,hal. 120.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

15

ajudikasi yang semata-mata adalah penerapan sumber-sumber hukum positif secara

bebas nilai.25

Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga teori ini beranjak dari hukum itu norma,

akan tetapi ketiga teori ini melihat sumber dari norma itu berbeda-beda. Orang yang

berbicara hukum mempunyai keyakinan tentang filsafat hukum.Oleh peran filsafat

hukum sebagai dasar berpikirnya hakim dalam pengambilan keputusan. Menurut

penulis, hakim yang positivis tidak akan mampu memberikan rasa keadilan melalui

putusannya.

25

Ibid.,

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

16

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum (legal

research) yaitu untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dan

kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah

kecocokan antara aturan hukum dengan norma hukum.26

Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan

menjelaskan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan keadilan

dalam ruang-ruang pengadilan.

2. Jenis pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan

perundang-undangan (statute approach) karena akan menelaah dan

melihat kembali fungsi dan kewenangan hakim dalam memutuskan

perkara pidana, serta pendekatan konsep (conceptual approach) teoritis

karena akan mengkaji konsep keadilan dalam putusan hakim, berdasarkan

konsep maupun teori yang ada dalam praktek adjudikasi. Dan pendekatan

kasus (case approach)

G. Bahan Hukum

a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat

yang terdapat dalam unit amatan, yaitu:

1) Pancasila

26

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media Grup,

Jakarta, 2013, hal. 41.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14707/1/T2_322015019_BAB I.pdf · masyarakat tersebut maka hukum negara ... pandangan yang paling berpengaruh

17

2) UUD 1945

3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

4) Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/PID.B/2009/PN.PWT

5) Putusan Mahkama Agung Nomor 1346/Pid.B/2010/PN.TNG

b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan

buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

H. Unit Analisa

Yang menjadi unit analis dalam penelitian ini adalah

kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana dan hakim dalam hal

menyikapi kasus Mina dan Rasmina.