bab i pendahuluan a. latar belakang...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang masih belum bisa teratasi dan selalu menimbulkan efek domino terhadap seseorang. Pada umumnya masyarakat yang masih terbelakang, berpenghasilan rendah, dan jika diukur dengan kebutuhan hidup minimum masih dibawah standar itulah yang kebanyakan orang mendefinisikannya sebagai masyarakat miskin (Sumodiningrat 1999, h.13). Kebanyakan negara berkembang yang masih memiliki masyarakat yang demikian maka dengan sadarnya pemerintah akan melakukan tindakan yang kemudian dicerminkan dalam sebuah kebijakan. Misalkan di Indonesia, banyak kebijakan yang sifatnya untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, contohnya BLT (Bantuan Langsung Tunai), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan); PNPM Mandiri; dan Inpres Desa Tertinggal. Terlebih lagi pada saat terjadi pengurangan subsidi BBM secara otomatis yang menimbulkan dampak kenaikan berbagai harga komoditas pokok di dalam masyarakat. Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Masyarakat miskin yang sebelumnya sudah sulit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya ditambah dengan pencabutan subsidi BBM menyebabkan masyarakat miskin tersebut tidak kuasa lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Beban yang mereka tanggung menjadi semakin berlipat-lipat akibat pencabutan subsidi BBM tersebut. Masyarakat miskin menjadi semakin terjepit, dan masyarakat menengah menjadi ikut miskin. Salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus dipenuhi adalah pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus menjamin bahwa semua warga negaranya berhak mengenyam kebutuhan tersebut

Upload: hadat

Post on 12-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang masih belum

bisa teratasi dan selalu menimbulkan efek domino terhadap seseorang. Pada

umumnya masyarakat yang masih terbelakang, berpenghasilan rendah, dan jika

diukur dengan kebutuhan hidup minimum masih dibawah standar itulah yang

kebanyakan orang mendefinisikannya sebagai masyarakat miskin (Sumodiningrat

1999, h.13). Kebanyakan negara berkembang yang masih memiliki masyarakat yang

demikian maka dengan sadarnya pemerintah akan melakukan tindakan yang

kemudian dicerminkan dalam sebuah kebijakan. Misalkan di Indonesia, banyak

kebijakan yang sifatnya untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan

masyarakat, contohnya BLT (Bantuan Langsung Tunai), P2KP (Program

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan); PNPM Mandiri; dan Inpres Desa

Tertinggal.

Terlebih lagi pada saat terjadi pengurangan subsidi BBM secara otomatis

yang menimbulkan dampak kenaikan berbagai harga komoditas pokok di dalam

masyarakat. Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.

Masyarakat miskin yang sebelumnya sudah sulit untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya ditambah dengan pencabutan subsidi BBM menyebabkan masyarakat

miskin tersebut tidak kuasa lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Beban yang

mereka tanggung menjadi semakin berlipat-lipat akibat pencabutan subsidi BBM

tersebut. Masyarakat miskin menjadi semakin terjepit, dan masyarakat menengah

menjadi ikut miskin.

Salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab

pemerintah yang harus dipenuhi adalah pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus

menjamin bahwa semua warga negaranya berhak mengenyam kebutuhan tersebut

2

seperti yang tercantum dalam mandat UUD 1945. Untuk itu pemerintah

mencanangkan berbagai kebijakan agar masyarakat miskin tetap bisa mengakses

kebutuhan pendidikan dan kesehatan tersebut. Dan tindakan ini dilakukan

pemerintah juga untuk melindungi masyarakat miskin yang notabene sama sekali

tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya dan keluarganya.

Melihat kemiskinan yang telah terjadi di Indonesia sejak lama pemerintah

selaku policy maker tentu menggunakan kewajibannya untuk membuat sebuah

kebijakan guna mengentaskan kemiskinan. Kita ambil contoh saja di daerah Gunung

Kidul. Pada tahun 2013 sendiri pemerintah menganggarkan Rp 46 Miliar untuk

program kemiskinan.1 Dan anggaran tersebut digunakan untuk memberikan bantuan

dana guna meringankan beban pengeluaran masyarakat. Angka yang cukup banyak

jika digunakan untuk pengeluaran sekaligus terhadap beberapa rumah tangga miskin.

Tentu saja orientasi keluarga tersebut secara logika pasti akan menggunakan dana

tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dibanding untuk memutarnya kembali agar bisa

berkembang atau sekedar untuk tabungan masa depan seperti halnya investasi dalam

pendidikan anak-anaknya.

Sejatinya kebijakan pemerintah untuk memberikan sejumlah bantuan kepada

masyarakat miskin merupakan kebijakan yang cukup membantu masyarakat tersebut

mengurangi beban pengeluaran. Namun masyarakat Indonesia yang terbilang

memiliki permasalahan yang kompleks tidak bisa memanfaatkan bantuan yang

diberikan dari pemerintah. Masyarakat miskin yang sangat membutuhkan

pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tentu akan lebih memilih untuk

menghabiskan dana tersebut guna membeli kebutuhan akan pangan ketimbang untuk

investasi masa depan atau untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan demikian

dana yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah sama sekali belum mampu

untuk membantu masyarakat keluar dari kemiskinan. 1 http://jogja.tribunnews.com/2013/03/28/pemda-diy-alokasikan-rp-46-miliar-genjot-penurunan-kemiskinan/, diunduh pada tanggal 2 April 2013

3

Program pemerintah yang memberikan bantuan dana tanpa adanya pemilihan

target salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT merupakan

bantuan sosial yang memberikan sejumlah dana kepada masyarakat miskin tanpa

syarat, dan program ini telah lama dijalankan di Indonesia, bantuan tersebut hanya

membuat ketidakefektifan untuk masyarakat karena penggunaan dana tersebut yang

kurang tepat. Misalkan saja rumah tangga miskin yang telah mengantri berjam-jam

untuk mendapatkan bantuan dana tersebut justru menggunakannya untuk konsumsi

rokok dan bukan untuk kebutuhan primer lainnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa

kebijakan penanggulangan kemiskinan masih banyak yang kurang efektif terutama

dalam implementasinya. BLT juga dinilai kurang tepat sasaran dalam pemberian

bantuan, masyarakat yang dirasa mampu atau masyarakat menengah pun turut

mendapatkan bantuan karena tidak ada ketentuan khusus yang diajukan oleh BLT

dalam mendapat bantuannya.

Pemerintah yang menanggapi ketidakefektifan bantuan tersebut kembali

membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)

berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 15 tahun 2010 tentang

percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K ini merupakan lembaga yang

dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di

tingkat pusat untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan.2 TNP2K

inilah yang nantinya akan menyusun program dan kebijakan sebagai penanggulangan

kemiskinan yang akan lebih ditajamkan kembali terkait sasaran program dan

kebijakan nantinya. TNP2K menjelaskan bahwa pemerintah saat ini memiliki

program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program

penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan

kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan

kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil. Pengelompokan tersebut lebih

dikenal dengan pembagian kelompok menjadi 3 kluster. 2 http://www.tnp2k.go.id/id/mengenai-tnp2k/tentang-tnp2k/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014

4

Program penanggulangan kemiskinan dengan basis bantuan sosial yang

merupakan baru di Indonesia adalah program pemberian bantuan dana bersyarat atau

lebih dikenal dengan Conditional Cash Transfer (CCT), program tersebut merupakan

kebijakan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang sama sekali tidak mampu

untuk mendapatkan kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan dengan fokus

target adalah keluarga sangat miskin. Program pemberian bantuan ini masuk ke

dalam kluster 1, dimana program bantuan sosial dan perlindungan sosial ditujukan

untuk pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan.3

Kebijakan penangulangan kemiskinan dengan basis pemberian bantuan sosial

yang ada setelah BLT adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan

bantuan dana bersyarat. PKH merupakan CCT yang masuk kedalam kluster 1 yang

berdampingan dengan program Jamkesmas, Raskin, dan juga BSM (Bantuan Siswa

Miskin).4 Secara konsep, Departemen Sosial menjelaskan bahwa Program Keluarga

Harapan (PKH) adalah program yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada

Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH.

Agar memperoleh bantuan, peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan

komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

(SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan.5 Peningkatan bidang pendidikan

mewajibkan RTSM harus menyekolahkan anaknya yang masih mempunyai usia

sekolah minimal sampai tingkat sekolah menengah. Sedangkan untuk bidang

kesehatan, bagi RTSM yang mempunyai ibu hamil harus memeriksakan

kandungannya secara rutin ke puskesmas.

PKH juga memberikan skema bantuan untuk setiap rumah tangga secara

detail, setiap keluarga mendapatkan bantuan berbeda-beda sesuai kriterianya. Tidak

3 http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 4 http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 5 http://pkh.depsos.go.id/index.php/2012-09-13-09-47-44/apa-itu-pkh, diunduh pada tanggal 30 Maret

2013

5

seperti BLT yang memukul rata bantuan kepada seluruh keluarga miskin yaitu

sebesar kurang lebih Rp. 150.000 per kepala keluarga, namun untuk PKH ini antara

keluarga yang mempunyai satu anak usia sekolah dengan keluarga yang mempunyai

beberapa anak sekolah ataupun keluarga yang mendapati ibu hamil akan

mendapatkan nominal bantuan yang berbeda. Misalkan saja keluarga yang

mempunyai dua anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan terdapat ibu hamil

akan mendapatkan bantuan sejumlah Rp. 1.000.000 per kepala keluarga per

tahunnya. Sedangkan untuk keluarga yang hanya mempunyai anak usia Sekolah

Dasar akan mendapatkan bantuan sebesar Rp. 600.000 per kepala keluarga per

tahun.

Terkait dengan sumber pendanaan PKH, dinas sosial menginfokan bahwa

sumber dana PKH berasal dari APBN dan APBD, namun tidak dapat dipungkiri juga

bahwa negara juga meninjam uang dari luar negeri. Menurut pengamat ekonomi,

tercatat bahwa anggaran untuk kebijakan PKH berasal dari hutang luar negeri yang

bunganya akan dibayarkan lebih besar.6 Total anggaran PKH pada tahun 2009 dan

2010 saja mencapai Rp. 1,1 Triliun, sedangkan untuk tahun 2011 naik hingga Rp.

1,3 Triliun, dan bertambah lagi pada tahun 2012 yang mencapai Rp. 1,6 Triliun. Hal

ini tentu saja akan semakin membebankan anggaran negara hanya untuk sejumlah

bantuan dana langsung kepada masyarakat, disamping juga pelaksanaan program

tersebut yang kurang efektif.

Terkait dengan kemiskinan Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menurut

BPS DIY tingkat kemiskinan pada tahun 2011 di kota mencapai 13,16% sedangkan

di desa mencapai 16,08%.7 Meskipun pada tahun 2012 tingkat kemiskinan penduduk

DIY menurun hingga 15,88%. Ditambah kondisi Yogyakarta yang masih terbilang

banyak daerah-daerah yang belum terjamah kegiatan perekonomian seperti Gunung

Kidul. Daerah Gunung Kidul merupakan daerah pegunungan yang setiap tahunnya 6 http://www.beritasatu.com/makro/28615-program-keluarga-harapan-didanai-utang-luar-negeri.html, diunduh pada tanggal 1 April 2013 7 Wawancara penulis dengan Sunarto, staff BPS Gunung Kidul, di Yogyakarta, 21 Februari 2014

6

mengalami kekeringan dan memiliki kondisi lingkungan yang minim sumber daya

alam. Karena di Gunung Kidul termasuk pegunungan kapur yang cukup sulit untuk

menjadi lahan pertanian musiman yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian

tetap masyarakat setempat.

Di Kabupaten Gunung Kidul yang merupakan salah satu kabupaten di DIY

dan yang akan menjadi lokus penelitian evaluasi PKH ini mempunyai jumlah

penduduk miskin yang mencapai 23,03% dari jumlah penduduk per pertengahan

tahun 2011 mencapai 678.043 jiwa. Kabupaten ini terbilang mempunyai masyarakat

miskin yang cukup banyak, dilihat dari banyaknya buruh yang terdapat dikota-kota

besar yang berarti mereka belum mampu mencari pekerjaan di daerah asalnya. Dan

juga keadaan geografis daerahnya yang kurang memadai untuk mendapatkan mata

pencaharian yang beragam, karena setiap tahun daerah tersebut mengalami

kekeringan sehingga sektor pertanian di Gunung Kidul masih belum maksimal. Hal

tersebut membuat masyarakatnya harus mencari pekerjaan sambilan selain

bergantung pada alam disekitar, dan salah satu yang menjadi andalan adalah

pekerjaan sebagai nelayan.

Sementara itu keadaan penduduk desa Tepus mayoritas tamatan SD dan SMP,

hanya sedikit sekali penduduk yang dapat mengenyam bangku pendidikan SMA,

terlebih lagi perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan memang keadaan yang memaksa

anak-anak di Desa Tepus tidak mampu menikmati bangku sekolah layaknya

penduduk di daerah lain. Penduduk lebih mengutamakan permasalahan keberlanjutan

hidup sehari-hari daripada untuk membiayai anak sekolah karena pada kenyataanya

untuk kebutuhan hidup sehari-haripun mereka merasa banyak kesulitan. Hal inilah

yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang terjadi di Desa Tepus, seakan

sudah mengakar dan sulit untuk dihilangkan.

Untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan PKH tersebut sudah mampu

melindungi kehidupan sosial rumah tangga miskin, penulisan ini akan secara jelas

menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan lokus

7

penelitian di Desa Tepus Kabupaten Gunung Kidul. Untuk melihat implementasi ini

penulis menggunakan instrumen kebijakan sebagai pisau ukur untuk mengetahui

seberapa jauh PKH telah diterapkan. Lokasi Gunung Kidul dipilih karena dengan

pertimbangan bahwa Gunung Kidul merupakan daerah yang banyak penduduk

miskin. Kemudian yang menjadi pertanyaan besar disini adalah seberapa jauh kah

pemberian kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam memberdayakan

masyarakat miskin?

Untuk membungkus seberapa jauh kah implementasi kebijakan tersebut,

maka perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan PKH. Misalkan saja

salah satu dari variable dalam sebuah evaluasi kebijakan adalah sejauh mana sebuah

program tersebut mencapai target populasi yang tepat. Program Keluarga Harapan

menjadi target evaluasi karena program tersebut sangat berkaitan dengan

penyelesaian masalah kemiskinan sehingga akan dilihat apakah kebijakan tersebut

sudah sesuai yang diharapkan atau justru tidak terutama pada implementasinya di

Kabupaten Gunung Kidul.

Kabupaten tersebut menarik untuk diamati lebih jauh karena kemiskinan yang

bisa dibilang menjadi sebuah warisan yang diturunkan sehingga banyak kebijakan

yang sifatnya memberikan bantuan dana menjadi tidak efektif. Masyarakat miskin

masih belum sepenuhnya sadar bahwa mereka sedang dibantu untuk dapat mengakses

kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan. Kesempatan yang diberikan belum

sepenuhnya digunakan dengan baik, banyak diantara RTSM yang hanya

menyekolahkan anaknya pada saat akan mendekati pencairan dana. Desa Tepus juga

menarik untuk diteliti karena di Desa Tepus masih banyak rumah tangga yang

membutuhkan perlindungan sosial agar bisa sekiranya mampu menjangkau hak-hak

dasarnya yang selama ini masih sulit untuk mereka dapatkan. Kondisi masyarakat

Tepus yang masih banyak belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi

alasan mengapa PKH perlu diimplementasikan disini. Selain itu angka putus sekolah

8

karena keterbatasan biaya juga masih banyak ditemukan di sejumlah RTSM Desa

Tepus.

Kebiasaan masyarakat di sana juga menjadi penyebab kemiskinan tersebut

diturunkan ke anak cucunya. Misalkan saja, jika kepala keluarga mendapatkan

bantuan berupa dana lewat PKH tersebut untuk meringankan pengeluaran mereka

dengan harapan anaknya bisa melanjutkan sekolah dan tidak bekerja, namun justru

dana tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalkan saja untuk cicilan

kendaraan bermotor. Namun pemerintah setempat yang mengetahui hal demikian

justru membiarkan saja, dan belum ada pendampingan yang maksimal dalam

pelaksanaannya.

Keberadaan pekerja anak pun masih banyak, dari awal diimplementasikan

kebijakan PKH di Desa Tepus masih belum banyak penurunan soal jumlah pekerja

anak. Bantuan yang diberikan belum mampu mencukupi insentif anak untuk kembali

ke sekolah, sehingga banyak dari mereka lebih memilih untuk bekerja dibanding

sekolah. Meskipun anak tersebut bersedia untuk bersekolah, namun tingkat

kehadiran dan prestasinya tidaklah naik. Tingkat kehadiran yang menurun ini

disebabkan karena anak-anak lebih mengutamakan pekerjaan mereka membantu

orang tua berdagang di pantai. Mereka lebih memilih untuk berdagang karena

dengan berdagang sehari mereka mampu mendapatkan uang, dibanding dengan

harus menunggu pencairan dana yang tiga bulan sekali.

Guna mendukung pencarian informasi apakah kebijakan PKH tersebut

efektif ataukah belum, maka penelitian ini akan lebih mengarah pada evaluasi

terhadap berjalannya implementasi kebijakan PKH. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa pisau analisis yang akan digunakan nantinya ialah dengan

menggunakan kerangka teori dari instrument kebijakan yang ditawarkan oleh

Chritopher Hood, yaitu berupa nodality, authority, treasure, dan organization, atau

banyak ilmuwan yang menyingkatnya menjadi ‘NATO’.

9

Untuk mendukung dalam pencarian data lebih lanjut, penelitian ini akan

didukung menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus dianggap dapat

merepresentasikan fenomena-fenomena yang ditemui secara mendetail sehingga

peneliti dapat mengeksplor hal-hal dasar pendukungnya. Dalam proses pengumpulan

data, metode studi kasus ini akan didukung dengan observasi langsung, wawancara

lebih mendalam, dan tentunya studi literasi dari pemberitaan-pemberitaan yang ada.

Karena studi kasus memerlukan penggalian data lebih dalam maka metode-metode

seperti observasi langsung dan wawancara memang sangat dibutuhkan.

B. Rumusan Masalah

Program Keluarga harapan (PKH) mempunyai tujuan untuk meringankan

beban pengeluaran keluarga miskin dan juga untuk meningkatkan kemampuan

keluarga miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun

program tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan betul oleh RTSM untuk

mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Dari permasalahan yang telah

diuraikan diatas maka penelitian studi kasus ini menarik sebuah rumusan masalah

yaitu SEBERAPA JAUH PELAKSANAAN KEBIJAKAN PKH (PROGRAM

KELUARGA HARAPAN) DI TEPUS DALAM MEMBERIKAN

PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI RTSM?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan PKH di Kabupaten

Gunung Kidul

2. Untuk mengetahui sebab atau faktor dari kebijakan PKH yang tidak bisa

mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul, Khususnya

kecamatan Tepus.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :

10

1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan memberi kontribusi bagi

pemahaman dan pengembangan pada bidang ilmu politik, khususnya pada

studi evaluasi terhadap implementasi kebijakan

2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan

bagi pemerintah dan stakeholders agar kedepannya mampu memperbaiki

apa yang menjadi kendala pada suatu kebijakan baik dalam perencanaan,

pelaksanaan atau implementasi, maupun monitoring program sehingga

bisa didapat kebijakan yang lebih tepat dan mencapai tujuan kebijakan itu

sendiri. Sehingga bisa menjadi acuan apakah PKH akan dilanjutkan atau

digantikan.

E. Kerangka Teori

Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu kebijakan

pemerintah yang berusaha untuk membantu mengurangi tingkat pengeluaran keluarga

miskin dan sebagai imbalannya keluarga miskin diminta untuk melaksanakan syarat

yang sudah ditetapkan guna meningkat kualitas SDM masing-masing keluarga.

Kebijakan ini menjadi salah satu langkah dari pemerintah sebagai jalan lain untuk

menggantikan subsidi BBM yang mulai dikurangi. Kementerian Sosial merancang

program ini dengan baik, mulai dari tujuan, sasaran, hingga pendampingan yang

harus dilakukan. Namun di beberapa daerah program ini masih belum efektif,

sehingga disini bisa dipertanyakan bagaimana tingkat ketidakefektifan implementasi

kebijakan tersebut. Untuk itu perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan

tersebut guna mengetahui disfungsi unit-unit administratif yang melaksanakan

implementasi kebijakan ataukah terdapat kesalahan dalam memobilisasi sumberdaya

yang ada.

11

1. Conditional Cash Transfer

Perkembangan penanggulangan kemiskinan semenjak krisis ekonomi 1998 yang

dialami oleh bangsa Indonesia semakin menunjukan keseriusan. Setelah program

BLT yang belum cukup mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia,

pemerintah kembali meluncurkan kebijakan PKH yang salah satu program

Conditional Cash Transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. Dalam penelitian

World Bank terkait CCT, mereka mendefinisikan bahwa CCT adalah:

Bantuan tunai bersyarat (CCT) adalah program yang mentransfer uang, biasanya untuk rumah tangga miskin, dengan syarat bahwa rumah tangga melakukan investasi yang sudah ditentukan dalam modal manusia anak-anak mereka. (Schady & Fizsbein 2009: 1)

CCT dibanggakan di beberapa Negara yang masih memiliki penduduk miskin

dengan kesenjangan jauh seperti yang terjadi di Amerika Latin. Seperti yang telah

diterapkan oleh Brazil, Nikaragua, Columbia dan lain sebagainya. Negara tersebut

mengawali penerapan CCT dan terbukti mampu mengurangi kemiskinan karena

persyaratan yang diberikan oleh CCT. Dalam laporan terkait perkembangan CCT di

Nikaragua, kemiskinan mampu turun 5-9 poin pada tahun 2002 (Schady & Fizsbein

2009: 15). Hal tersebut dikarenakan CCT tidak hanya memberikan bantuan secara

mentah namun penerima manfaat juga mempunyai kewajiban untuk merubah kualitas

diri mereka, sehingga bantuan mampu digunakan dengan baik.

Program CCT ini merupakan program perlindungan sosial yang ditujukan

untuk masyarakat miskin dan yang ada pada garis batas kemiskinan berdasarkan BPS.

Perlindungan sosial ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya

manusia terutama kelompok masyarakat miskin. Pemerintah setempat mentransfer

dana kepada masyarakat miskin yang memenuhi kriteria yang diantaranya adalah

mendaftarkan anak ke sekolah, memeriksakan rutin anaknya ke pelayan kesehatan,

diberikan vaksin dan lain sebagainya.

12

Pada umumnya CCT mampu untuk meningkatkan tingkat konsumsi

masyarakat miskin, sehingga dengan CCT setidaknya mampu menghasilkan

pengurangan yang cukup besar dalam kemiskinan (Fiszbein 2009 : xii). CCT juga

mampu untuk meningkatkan peran wanita karena penerima dana pada Program

Keluarga Harapan adalah wanita. Dengan adanya program ini wanita mampu untuk

terlibat dalam kegiatan sosial sehingga peran wanita semakin meningkat dari yang

sebelumnya hanyalah ibu rumah tangga yang mengurusi dapur dan anaknya.

2. Kebijakan Publik

Pada dasarnya kebijakan merupakan sebuah instrumen untuk mengontrol

tingkah laku warga negara dan juga pasti mempunyai dampak terhadap masyarakat

luas. Di era globalisasi sekarang ini pergeseran paradigma kajian pemerintahandari

government ke governance menjadikan proses kebijakan publik juga tidak sekedar

proses perumusan yang terjadi di institusi pemerintah, namun juga concern pada

output dan outcome yang nantinya akan dihasilkan. Sehingga masyarakat juga bisa

ikut andil dalam pengawasan kebijakan. Proses input sumberdaya kebijakan hingga

menghasilkan sebuah outcome itulah yang akan menghasilkan sebuah kefektifitasan

sebuah kebijakan. Sehingga tepat untuk menganalisa evaluasi sebuah implementasi

kebijakan dengan melihat output dan outcome kebijakan.

Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan

dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena keterbatasan

sumberdaya yang tersedia (Sitompul 2006:47).Didalam kebijakan tersebut terdapat

aspek politik karena terdapat penyaringan dan pemilihan kepentingan dan akan

memperjuangkannya menjadi sebuah kebijakan.

Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut Dunn adalah sebagai

berikut (Nugroho 2007: 7):

13

1. Fase penyusunan agenda; disini para pejabat yang dipilih menentukan

masalah dalam agenda publik

2. Formulasi kebijakan; masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan

kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk perumusan

alternatif atau pilihan kebijakan.

3. Fase Adopsi Kebijakan; disini alternatif atau pilihan kebijakan dipilih

dandidopsi dengan dukungan suatu masyarakat.

4. Implementasi Kebijakan; kebijakan yang telah diambil kemudian

dilaksanakan oleh unit-unit administrative dengan memobilisir sumber

daya yang dimiliki.

5. Penilaian Kebijakan; disini unit-unit pemeriksaan menilai apakah pembuat

kebijakan telah memenuhi syarat dari pembuat dan pelaksana kebijakan.

Hasil kebijakan atau dalam hal ini adalah implementasi kebijakan menurut

William N. Dunn dibedakan antara keluaran (outputs) yaitu produk layanan yang

diterima kelompok sasaran kebijakan dan impak (impacts), yaitu perubahan perilaku

yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan (Nugroho 2007: 26). Dalam penelitian

ini focus yang akan diambil adalah pada keluaran atau output, karena ukuran dari

efektivitas sebuah kebijakan adalah berkenaan dengan apakah suatu alternatif

mencapai hasil yang diharapkan (Nugroho 2007: 24).

Riset evaluasi membahas dua dimensi: yang pertama adalah bagaimana

sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dan yang kedua

adalah dampak aktual dari kebijakan (Parsons 2008: 548). Jika analisis evaluasi

implementasi yang diutamakan maka dimensi yang terkait adalah bagaimana sebuah

kebijakan bisa diukur dari tujuan kebijakan, karena ini merupakan sebuah pengukuran

kinerja kebijakan antara tujuan dengan hasil yang dicapai. Sedangkan pendekatan

untuk analisis evaluasi sendiri masih menurut Parsons, antara lain:

1. Teknik yang mengukur hubungan antara biaya dan manfaat dengan utilitas

14

2. Teknik yang mengukur kinerja

3. Teknik yang menggunakan eksperimen untuk mengevaluasi kebijakan dan

program.

3. Karakteristik Evaluasi

Dalam sebuah kebijakan, tindakan yang dilakukan pemerintah dirancang

sedemikian rupa sehingga tujuan kebijakan diharapkan akan bisa mencapai tujuan

dari kebijakan. Namun seandainya kebijakan tersebut gagal, maka pemerintah perlu

mengetahui letak kegagalan tersebut agar hal yang sama tidak terulang di masa

mendatang. Dan untuk itulah evaluasi diperlukan dalam sebuah proses kebijakan

publik. Evaluasi kebijakan sekiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek (Wibawa

1994: 9), yaitu: (1) proses pembuatan kebijakan, (2) proses implementasi, (3)

konsekuensi kebijakan, dan (4) efektivitas dampak kebijakan. Dalam evaluasi

kebijakan PKH ini, fokus akan ditujukan pada aspek kedua, atau disebut juga dengan

evaluasi implementasi.

Sebelum mengetahui lebih lanjut terkait evaluasi pada proses implementasi

kebijakan, alangkah baiknya untuk mengetahui arti dari proses evaluasi itu sendiri.

Menurut Darwin, (1994: 34 dalam Nurharjadmo 2008: 217) evaluasi kebijakan pada

dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan

membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan

tujuan atau target kebijakan yang ditentukan. Tujuan dan target kebijakan ini dilihat

dari seberapa jauh proses implementasi menghasilkan output di masyarakat. Evaluasi

kebijakan digunakan untuk mengetahui masa depan keberlanjutan dari kebijakan

tersebut,dan bertujuan untuk memperbaiki kebijakan. Oleh karena kebijakan PKH ini

dirasa kurang efektif maka evaluasi diperlukan karena untuk digunakan kedepannya

agar kebijakan pemerintah bisa benar-benar tepat sasaran dan tepat penggunaannya

dan tepat sasaran. Evaluasi kebijakan sendiri menurut Thomas Dye (1987:351)

adalah:

15

Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris

terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi

tujuan yang ingin dicapai. (Parsons 2008: 547)

Evaluasi kebijakan ini lebih difokuskan pada evaluasi sebuah implementasi

kebijakan atau dalam konsep Palumbo disebut sebagai evaluasi formatif, Palumbo,

1937: 40 menerangkan bahwa evaluasi kebijakan yang sedang diimplementasikan

merupakan analisis tentang seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa

yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi (Parsons 2008: 549). Jika

dihubungkan dengan evaluasi implementasi kebijakan PKH ini maka nanti akan

diperoleh seberapa jauh program tersebut telah diimplementasikan dan apa saja yang

membuat program tersebut menjadi kurang efektif terutama didaerah Gunung Kidul.

Sementara agar dapat mendeskripsikan evaluasi kebijakan PKH maka penulis

memilih satu model evaluasi. Model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi

formatif, menurut Rossi dan Freeman model evaluasi formatif mendeskripsikan tiga

persoalan, yaitu: (1) sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang

tepat; (2) apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain

program atau tidak; (3) dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan

program (Parsons 2008: 550). Dalam kebijakan PKH populasi yang dicapai dirasa

sudah tepat karena banyak dari keluarga miskin yang mendapatkan bantuan dana dari

pemerintah.

Tidak jauh beda dengan Rossi dan Freeman. Ernest R. House (1980) dalam

Nugroho (2006) juga mempunyai model evaluasi tersendiri yang mempunyai lebih

banyak poin di dalamnya. Ernest R. House menyebutkan bahwa terdapat beberapa

model dalam evaluasi, yaitu:

1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi,

16

2. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktivitas dan

akuntabilitas,

3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah kefektifan dan

keterjagaan kualitas,

4. Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan

pengguna dan manfaat sosial,

5. Model kekritisan seni (art critism), dengan indikator utama adalah standar

yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat,

6. Model review professional, dengan indikator utama adalah penerimaan

professional,

7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi,

dan

8. Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas

diversitas.

4. Implementasi

Suatu kebijakan publik yang telah disepakati dan disahkan tidak akan

bermanfaat jika pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut kurang maksimal.

Karena pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau

disetujui. Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat

(Anderson, 1975: 98) dalam (Pasons 2008: 464). Oleh karena itu Parsons juga

menjelaskan bahwa implementasi merupakan pelaksanaan pembuatan kebijakan

dengan cara-cara lain.

Dalam pandangan umum masyarakat mengetahui bahwa implementasi

kebijakan adalah suatu proses dimana rancangan kebijakan mulai dilaksanakan dan

memastikan tujuan kebijakan tersebut tecapai. Seperti yang dinyatakan oleh Presman

dan Wildavsky, bahwa implementasi adalah proses interaksi antara penentuan tujuan

dan tindakan untuk mencapai tujuan kebijakan ( Parsons 2008: 466). Dalam

17

pandangan Parsons, implementasi pada dasarnya adalah untuk membangun hubungan

sebab-akibat agar kebijakan tersebut mempunyai dampak. Oleh karena itu tidak

berlebihan jika dikatakan implementasi merupakan aspek yang paling penting dari

seluruh proses kebijakan. Karena suatu kebijakan harus diimplementasikan agar

mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2002: 34).

Implementasi sendiri memiliki tujuan secara umum, menurut Grindle , tugas

implementasi adalah untuk membangun link yang memungkinkan tujuan kebijakan

publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah (Grindle 1980: 6).

Hasil dari kegiatan pemerintah tersebut yang kemudian kita sebut dengan sebuah

program yang akan dilaksanakan oleh birokrat yang berada di lapangan (street level

bureaucracy) yang kemudian diarahkan kepada kelompok sasaran. Oleh karena itu,

berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

berikut ini merupakan kutipan beberapa pendapat terkait faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan.

Grindle mengarahkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan ditentukan oleh

dua faktor yaitu content atau isi kebijakan dan konteks implementasi. Seperti yang

ditunjukan gambar dibawah ini:

18

Gambar 1.1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle Tujuan kebijakan

Sumber: Samodra Wibawa, 1994: 23

Dalam (Nugroho 2006: 134) Grindle menjabarkan content atau isi kebijakan

dipengaruhi oleh faktor kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan yaitu:

1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan.

Hal ini berarti bahwa dalam setiap perumusan kebijakan tentu akan

mengundang kepentingan aktor-aktor tertentu, sehingga jika kebijakan

Tujuan yang ingin dicapai

Program aksi dan proyek individu yang didesain daan dibiayai

Melaksanakan kegiatan Dipengaruhi oleh (a) Isi kebijakan:

1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang

diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksana program 6. Sumber daya yang dilibatkan

(b) Konteks kebijakan: 1. Kekuasaan, kepentingan dan

strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan

penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap

Mengukur keberhasilan

Program yang dijalankan seperti direncanakan?

Hasil Kebijakan

a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok

b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat

19

tersebut berimplikasi negatif maka implementasi kebijakan akan terancam

gagal.

2. Jenis manfaat / tipe manfaat yang akan dihasilkan.

Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga berpengaruh pada keberasilan

proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan.

3. Derajat perubahan yang diinginkan.

Dalam hal ini implementasi kebijakan haruslah selalu memperhatikan tingkat

perubahan yang mendasar, karena pemerintah harus meminimalisir perubahan

yang mendasar tersebut.

4. Kedudukan / letak pembuat kebijakan

Hal ini berarti bahwa setiap keputusan akan mempertimbangkan dimana

keputusan tersebut akan diambil.

5. (Siapa) pelaksana program

Artinya bahwa keputusan yang akan dibuat dalam tahapan implementasi

kebijakan akan mementingkan juga siapa yang akan ditugaskan untuk

melaksanakan berbagai macam program rancangan

6. Dan sumber daya yang dilibatkan.

Artinya bahwa setiap keputusan yang diambil akan berakibat pada pemenuhan

sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program yang

telah ditetapkan.

Sedangkan untuk konteks implementasi terdapat beberapa faktor yaitu:

1. Kekuasaan; kepentingan; dan strategi aktor yang terlibat

Proses implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor

tertentu yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan juga pada saat

implementasi tersebut berlangsung.

2. Karakteristik lembaga dan penguasa.

Kunci dari keberhasilan implementasi adalah pada penyusunan strategi yang

tepat, dan untuk menyususn strategi yang tepat maka diperlukan

pengorganisasian lembaga yang massive pula.

20

3. Kepatuhan dan daya tanggap.

Selain strategi yang tepat, kepatuhan pelaksana kebijakan juga sangat penting,

karena jika strategi yang telah disusun tidak dilaksanakan oleh pelaksana

kebijakan maka akan menjadi tidak berguna.

Tidak jauh dengan Grindle, teori implementasi yang ditawarkan oleh ilmuwan

Van Meter dan Van Horn juga menyatakan terdapat beberapa variable yang

mempengaruhi implementasi kebijakan diantaranya adalah (Nugroho 2006: 128):

1. Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi

2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor

3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

4. Kecenderungan dari pelaksana/ implementor

Efektif atau tidaknya suatu kebijakan juga tergantung pada sikap dari

implementor kebijakan. Karena salah satu komponen kebijakan adalah cara mencapai

sasaran dari tujuan kebijakan tersebut, maka dalam cara tersebut juga terkandung

komponen keijakan antara lain, siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar

dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program

dilaksanakan, dan bagaimana keberhasilannya. (Wibawa et. al. 1994: 15). Sehingga

penting adanya untuk melihat bagaimana sikap atau tindakan yang dilakukan oleh

para implementor kebijakan atau para birokrasi.

Pendapat lainnya adalah yang dikemukakan oleh Christopher Hood yang juga

tidak jauh dengan apa yang dinyatakan oleh Grindle ataupun Van Meter dan van

Horn. Menurut Hood (Hood and Margetts, 2007) pada dasarnya pemerintah

mempunyai 4 (empat) sumberdaya atau instrument yang dapat mereka gunakan,

nodality, authority, treasure, dan organization (atau biasa disingkat menjadi NATO)

(Howlett 2009: 24). Berikut ini merupakan penjabaran lebih jelas mengenai empat

instrument tersebut:

21

1. Nodality

Menurut Hood dalam (Osuna 2012: 43) Nodality merupakan posisi

sentral pemerintah dalam jaringan informasi masyarakat yang bisa digunakan

melalui pesan, seperti pemberitahuan, pengumuman publik. Faktor yang

mencakup kejelasan isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan penerimaan

terhadap kebijakan. Nodality digunakan melalui penyaluran pesan seperti

pemberitahuan atau pengumuman ke publik yang menjelaskan konten dari

kebijakan. Dengan adanya nodality pemerintah mampu menggunakan

informasi dalam menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat dan

digunakan untuk mengubah perilaku institusi sosial yang ada. Oleh karena itu,

pemerintah harus dapat memastikan informasi itu memang dibutuhkan oleh

berbagai pihak yang dituju oleh kebijakan (Harahap 2004: 41).

2. Authority

Dalam (Margetts 2009: 5) authority merupakan otoritas yang

menunjukan bahwa pemerintah memiliki kekuatan hukum yang resmi untuk

menuntut, melarang, menjamin, atau mengadili. Selain itu pemerintah juga

mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi, atau menerbitkan peraturan

administrative, atau dengan menguasi sumberdaya melalui pajak. Otoritas

inilah yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan perilaku masyarakat

selaku objek kebijakan. Atau dengan kata lain authority (kewenangan)

merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakkan pengawasan untuk

mengawal agar kebijakan tersebut dapat dilksanakan (Harahap 2004: 41)

3. Treasure

Treasure atau yang berarti harta, menurut Hood treasure adalah

sebuah sesuatu yang dimiliki pemerintah berupa benda atau jasa yang

diberikan kepada masyarakat dari pemerintah. (Margetts 2009: 5). Treasure

juga mengindikasikan adanya ketersediaan dana atau benda bernilai lainnya

dan pemerintah bisa menggunakannya untuk meraih tujuan kebijakan yang

dibuat pemerintah (Osuna 2012: 44). Penggunaan resources memiliki peran

22

cukup penting dalam menjalankan kebijakan, dengan memaksimalkan

sumberdaya ini diharapkan tujuan kebijakan juga mudah untuk dicapai.

Dalam kondisi kebijakan PKH ini, pendamping menjadi sumberdaya yang

dimiliki pemerintah untuk mengontrol perilkau masyarakat miskin.

4. Organization

Organisasi sebagai sumberdaya dapat digunakan dalam apa yang

disebut oleh Hood sebagai ‘treatments’, yaitu penggunaan upaya masyarakat

dan kemampuan material lainnya dari organisasi tersebut (Osuna 2012: 44).

Organisasi yang dijalankan pemerintah berupa sumberdaya yang mampu

digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sumberdaya ini tentunya

juga dibarengi dengan kualitas dan kuantitas yang memadai sehingga mampu

melaksanakan dan mencapai tujuan kebijakan. Organisasi ini juga mencakup

pada karakteristik lembaga pelaksana kebijakan PKH, sehingga jelas

bagaimana tugas masing-masing dalam menjalankan kebijakan.

Semua teori implementasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan sejatinya

adalah untuk menggambarkan bahwa implementasi adalah untuk memastikan tujuan

dari kebijakan tersebut terlaksana. Namun, dalam konteks kebijakan PKH, untuk

mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi pendekatan yang digunakan

adalah menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Hood yaitu berupa

nodality, authority (otoritas), treasure (harta benda), dan juga organization

(organisasi).

F. Definisi Konseptual

1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan

dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena

keterbatasan sumberdaya yang tersedia.

23

2. Implementasi Kebijakan

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara

individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan

sebagaimana dirumuskan didalam kebijakan. Instrumen untuk melihat

implementasi:

a. Nodality, adalah kemampuan pemerintah untuk mengelola informasi yang

masuk dari berbagai lapisan masyarakat atau kelompok kepentingan yang

menuntut pemerintah untuk menginformasikan kembali kepada objek

kebijakan.

b. Authority, merupakan otoritas yang dimiliki pemerintah untuk mengatur

perilaku objek kebijakan agar tujuan kebijakan bisa dicapai dengan

menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku.

c. Treasure, adalah sejauh mana pemerintah mampu untuk menggunakan

instrumen sumberdaya berupa jasa untuk mengontrol perilaku masyarakat

miskin selaku target kebijakan.

d. Organization, adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk

menegakkan peraturan atau kebijakan yang berlaku.

3. Evaluasi implementasi

Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris

terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi

tujuan yang ingin dicapai.

G. Definisi Operasional

Guna mendukung terkumpulnya semua data yang diperlukan sehingga bisa

menjawab rumusan masalah penelitian dan menjawab keresahan dalam suatu kasus

atau dalam hal ini terkait imlementasi kebijakan PKH, maka diperlukan instrumen

pelaksanaan penelitian. Untuk itu dibawah ini akan dijabarkan operasional dalam

penelitian nantinya:

1. Implementasi kebijakan.

24

a. Nodality dapat dinilai melalui: Isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan juga

respon dari objek kebijakan

b. Authority dapat dinilai melalui pengawasan kepada objek kebijakan dan

juga kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana kebijakan dalam

mensukseskan berjalannya kebijakan PKH.

c. Treasure, penggunaan model pemberian sumberdaya berupa jasa yaitu

pendamping yang dimaksudkan untuk mengontrol perilaku masyarakat

agar bisa mencapai tujuan dari kebijakan.

d. Organization, dapat dinilai melalui struktur organisasi, job description,

serta kualitas dan kuantitas dari sumber daya yang berada di dalam

organisasi tersebut.

2. Untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut apakah menghasilkan efektivitas

atau tidak, maka perlu adanya variable evaluasi kebijakan untuk

mengukurnya. Dan variable tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

- Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat;

- Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain

program atau tidak;

- dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan program

H. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode penelitian

kualitatif yang menekankan pada obyektifitas dengan jenis penelitian adalah studi

kasus (case study). Yang berarti bahwa dalam menyajikan data yang didapat

bukanlah berupa angka-angka, namun berupa data wawancara, dokumen resmi

maupun pribadi, catatan lapangan dan lainnya. Selain itu tujuan dari penelitian

kualitatif adalah untuk menggambarkan realita empirik dengan yang ada dalam suatu

fenomena secara rinci dan mendalam, oleh karenanya penggunaan pendekatan

25

kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan antara realita empirik

dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif (Moleong 2004:

131).

Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pemahaman

menyeluruh dari satu/beberapa kasus yang terdapat dalam suatu masyarakat. Dalam

hal ini kasus yang diambil dalam penelitian adalah kebijakan Program Keluarga

Harapan (PKH) yang dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu rancangan

kualitatif itu bersifat naturalistik, yang berarti bahwa evaluator tidak boleh berupaya

untuk memanipulasi program atau kebijakan (Patton 2009: 13). Karena evaluasi ini

juga bertujuan untuk perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang, sehingga

dibutuhkan hasil yang apa adanya dari kebijakan tersebut.

2. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah kebijakan Program Keluarga Harapan

(PKH) yang merupakan program dari Kementerian Sosial dan juga dilaksanakan di

Kabupaten Gunung Kidul. Program Keluarga Harapan di Kabupaten Gunung Kidul

ini dipilih secara purposive untuk menjelaskan bagaimana efektivitas program

melalui evaluasi implementasi kebijakan yang diliat dari aspek pencapaian tujuan

kebijakan dan penyelesaian masalah yang ada di Gunung Kidul. Sampel yang akan

diambil antara lain: Pemerintah Daerah Gunung Kidul, Dinas Sosial Kabupaten

Gunung Kidul, Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul, Dinas Pendidikan

Kabupaten Gunung Kidul, masyarakat setempat dan lain-lain

3. Lokasi Penelitian

Penelitian yang berfokus pada melihat efektif atau tidaknya suatu kebijakan

yang dibungkus dalam evaluasi implementasi kebijakan ini akan mengambil lokasi

penelitian di Desa Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Lokasi ini menarik karena dalam

implementasi kebijakan PKH yang ada di Desa Tepus dirasa kurang berhasil dengan

26

indikator banyak warganya yang menggunakan dana tersebut untuk digunakan secara

percuma seperti halnya untuk membeli rokok, kredit kendaraan bermotor, dan lain

sebagainya yang bukan kebutuhan primer.

Selain itu, selain faktor implementor yang nantinya akan dilihat lebih jauh

bagaimana sikap mereka dalam mengimplementasikan kebijakan, faktor penting yang

harus dilihat adalah sifat masyarakat sekitar yang mendapatkan bantuan dana PKH.

Keadaan daerah Gunung Kidul bisa jadi menjadikan pribadi masyarakat setempat

kurang bisa bergantung pada alam sekitar. Alam sekitar yang kurang bisa diandalkan

menjadikan masyarakatnya begitu mendapatkan bantuan dana langsung mereka

gunakan sekali pakai untuk keperluan sehari-hari dan tidak digunakan untuk

kepentingan meningkatkan pendapatan dari pekerjaan pokok mereka.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

metode observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen.

1. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai suatu peristiwa

atau fenomena yang terjadi dalam suatu penelitian.

2. Wawancara. Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan

data kualitatif, yang dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk

mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya

langsung secara bertatap muka (face to face) (Suyanto 2005: 69).

Wawancara sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi yang

detail terkait pelaksanaan program.

3. Analisis dokumen dilakukan untuk mendapat data sekunder berupa arsip,

dokumen, maupun peristiwa yang tercatat yang cukup relevan dengan data

yang diperlukan.

27

5. Teknik Analisis Data

Proses analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengelompokan, mengurutkan, dan meringkas data yang diperoleh dari wawancara

mendalam, observasi, dan juga dokumentasi, termasuk didalamnya adalah

menyantumkan transkip wawancara dari beberapa narasumber. Data yang dieroleh

akan direduksi sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Dan kemudian akan

disajikan dalam bentuk uraian penjelasan suatu fakta, yang kemudian akan ditarik

kesimpulan atau verifikasi.

Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi implementasi kebijakan PKH

ini adalah dengan logika induktif. Pendekatan suatu evaluasi adalah bersifat induktif

dimaksudkan bahwa evaluator berupaya menyikapi dengan akal sehat suatu situasi

tanpa mengedepankan harapan yang diduga sebelumnya perihal latar belakang

program (Patton 2009: 15).

6. Sistematika Penulisan

Dalam menyajikan naskah penelitian akan dibagi dalam beberapa bab yang

saling terkait satu sama lain. Sistematika dari bab tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

1. BAB I : Pendahuluan

2. BAB II : Conditional Cash Transfer di Indonesia

3. BAB III : Nodality dan Authority

4. BAB IV : Treasure dan Organization

5. BAB V : Kesimpulan dan Saran