bab i pendahuluan a.digilib.uinsgd.ac.id/35301/4/4. bab i.pdf · 3 soerjono soekanto, kesadaran...
TRANSCRIPT
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN merupakan Unsur Aparatur Negara
dalam mengadakan dan menyelenggarakan pemerintahan serta pembangunan dengan tujuan
untuk dapat mencapai tujuan Nasional. Adapun cara untuk mencapai tujuan Nasional tersebut
diperlukan adanya Aparatur Sipil Negara yang meimiliki kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 penamaan Pegawai Negeri Sipil
diganti dengan Pegawai Aparatur Sipil Negara atau disingkat ASN. Pegawai Aparatur Sipil
Negara adalah pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap pemerintah1 yang diangkat oleh
pejabat yang berwenang secara kompetitif berdasarkan asas merit, dan diserahi tugas untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan tugas pembangunan negara, professional, memiliki
nilai-nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) serta digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil, didalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “Pegawai”
berarti orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan dan sebagainya), sedangkan “Negeri”
berarti negara atau pemerintah, jadi Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada
Pemerintah atau Negara.2
Aparatur Sipil Negara memiliki peranan yang merupakan subyek utama dalam suatu
birokrasi yang mempunyai peran tertentu untuk dapat menjalankan tugas negara dan
pemerintahan. Dengan demikian pola kerja Aparatur Sipil Negara merupakan suatu unsur utama
dalam terciptanya pelayanan kepada masyarakat secara profesional, adil dan merata. Kedudukan
Aparatur Sipil Negara sebagai suatu unsur aparatur Negara, abdi masyarakat dan memiliki
mental loyalitas terhadap negara. Hal ini secara tidak langsung Aparatur Sipil Negara dituntut
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif terhadap
pelayanan masyarakat secara luas.
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi dan
memiliki sifat memaksa oleh negara/aparat penyelenggara negara. Hukum berisi seperangkat
1 Abdullah, Hukum KepegawaianIndonesia, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia,2012,
hlm.3 2 W,J,S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
-
aturan yang mengatur kehidupan manusia. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk melindungi
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai
penghormatan atas jiwa, harta, kehormatan dan kemerdekaan. kehidupan manusia amat banyak
sehingga hukum itu sendiri sudah dipastikan tidak mampu untuk mengakomodasi atau
melindungi dan mengatur seluruh kegiatan manusia tersebut. Menurut Max Weber,agar suatu
hukum dapat berjalan dengan baik maka harus terdapat unsur paksaan didalamnya.3 Dalam
konteks hukum dan politik, pemerintah dijadikan sebagai suatu alat sosial yang pada hakikatnya
terdiri dari bermacam-macam proses. Di antara berbagai proses tersebut, dapat dilihat gejala-
gejala politik sebagai suatu proses tersendiri yang berbeda dengan proses-proses lainnya. Dalam
konsep politik tersebut, ditemukanlah istilah, struktur dan fungsi. Proses adalah pola-pola yang
dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu sama lain. Pola-pola ini ada yang
jelas terlihat tetapi ada pula yang tidak terlihat.4 Dalam suatu lembaga pemerintah pun sudah
mempunyai kehidupan sendiri, sebenarnya merupakan proses-proses yang pola-pola ulangannya
sudah tertata dengan rapih. Hal tersebut mencerminkan struktur tingkah laku antara manusia
dengan lembaga yang terstruktur dalam suatu hukum. Oleh karena itu, hukum dan politik dalam
birokrasi pemerintah saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan antara
hukum, demokrasi dan politik tergambar dalam konsep netralitas bagi ASN.
Keterlibatan ASN dalam proses demokrasi telah tersalurkan melalui penggunaan hak
pilihnya dalam penyelenggaraan pemilu. Penggunaan hak pilih ASN dalam penyelenggaraan
pemilu merupakan partisipasi langsung ASN dalam menentukan arah kepemimpinan atau
regenerasi kepemimpinan.
Netralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan dan sikap
netral, dalam arti tidak memihak, independen, atau bebas. Berdasarkan Nuraida Mokhsen
netralitas ASN mengandung makna impartiality yaitu bebas dari berbagai macam kepentingan,
bebas intervensi, bebas pengaruh, adil, independen, dan tidak memihak.5 Sementara itu Marbun
berpendapat bahwa netralitas adalah adanya suatu kebebasan dari ASN dalam berbagai pengaruh
politik dan tidak memihak untuk kepentingan partai politik tertentu atau tidak berperan dalam
3 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1982, hlm. 2.
5 Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara” Buku 1, Edisi 1 -- Jakarta: Komisi Aparatur Sipil Negara,
2018 Edisi Pertama. Hlm 4.
-
proses politik.6 Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemilu, netralitas dapat diartikan
sebagai perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat dalam mendukung atau mengkampanyekan
salah satu calon baik secara langsung maupun tidak secara langsung.7 La Ode Muh. Yamin
berpendapat bahwa, ada dua indikator utama dalam netralitas politik, yaitu:
1. Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses baik pada saat proses kampanye
baik terlibat secara langsung menjadi tim sukses atau menjadi peserta saat kamoanye..
2. Tidak memihak, dalam arti tidak membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah
kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah pada masa kampanye diantaranya pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau
pemberian barang kepada ASN dalam ruang lingkup unit kerjanya, anggota keluarga,
dan masyarakat, serta tidak menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan
dalam rangka pemenangan salah satu calon pada masa kampanye.
Pada era orde baru, praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme serta kepentingan penguasa
seakan-akan menjadi hal yang tidak aneh dalam dunia birokrasi. Bahkan birokrasi yang berjalan
di dalamnya seakan-akan dibangun untuk memperkuat para penguasa serta saling
menguntungkan satu sama lainya8. Padahal fungsi birokrasi ini menentukan suatu pelayanan
masyarakat dan membantu menurunkan kemiskinan, kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi
suatu negara.
Pada dasarnya beberapa regulasi telah dibuat oleh pemerintah dalam rangka menciptakan
pelayanan yang optimal kepada masayarakat melalui penguatan ASN agar tidak terintervensi
dalam politik, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sebagaimana diubah
menjadi Undang- Undang Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan telah
diperbaharui lagi pada tanggal 15 Januari 2014, menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (UUASN).
6 Sri Hartini, Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9,
No. 3 (2009) Publisher; bahan ini diambil dari Watunglawar, Matias Neis Dalam Perwujudan Asas Netralitas Birokrasi Dalam UU Nomor 5Tahun 2014 Tentang ASN, Jember (2015)
7 Muh. Amin, La Ode. 2013. Netralitas birokrat pemerintahan pada Dinas Pendidikan Kota Makassar
dalam pemilukada di kota makassar (pemilihan Walikota Makassar tahun 2008). Makassar dalam
http://103.195.142.17/handle/123456789/6824 diakses pada , 2o Juni 2019 8Mohammad Thahir Haning Jurnal hukum Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif
Administrasi Publik Vol. 4, No. 1 Juni, 2018 , hlm. 1
http://103.195.142.17/handle/123456789/6824
-
Seiring dengan adanya beberapa regulasi, akan tetapi masih adanya ASN yang terlibat
dalam kegiatan politik, berikut merupakan suatu pelanggaran terhadap asas netralitas dikalangan
pegawai ASN masih tinggi, terutama menjelang penyelenggaraan pemilihan umum. Data
menujukkan, pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN semakin meningkat dari tahun
2016 hingga tahun 2018 sebagai berikut:9
Grafik 1.1
Sumber : LAKIP Komisi ASN Tahun 2018
Salah satu upaya untuk menjaga profesionalisme ASN Seiring dengan banyaknya
pelaggaran terkait netralitas ASN dalam politik salah satunya adalah pemberlakukan Peraturan
Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, yang intinya adalah ASN dilarang terlibat
dan memihak terhadap salah satu calon.
Perilaku birokrasi yang cenderung melalukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
semakin memberikan gambaran negatif birokrasi publik di masyarakat. Memasuki era reformasi,
tantangan pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar adalah
dengan mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik yang semakin
9 Diolah oleh Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem dari Bidang Pengaduan dan Penyelidikan
KASN, 2019
269
0
101
171
29 55 52
491
0
100
200
300
400
500
600
2015 2016 2017 2018Daerah yang melaksakan Pilkada Jumlah Pelanggaran Netralitas ASN
-
menipis kepercayaanya. Kuranganya kepercayaan yang muncul akibat perilaku birokrasi selama
periode orde baru ini sering memicu protes di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Akibat dari
perilaku birokrat yang cenderung tidak mendukung pelayanan publik telah menyebabkan tujuan
awal birokrat dalam memberikan pelayanan publik bergeser ke arah pragmatisme dan
menurunkan integritas dan kualitasnya seehingga pelayanan publik tidak optimal.10
Seharusnya penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparat pemerintah pelayanan publik
harus dilakukan tanpa adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga dapat
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Hal tersebut menandakan bahwa perlu adanya perbaikan terutama pada aspek administrasi
publik agar penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih optimal dan meningkatkan tingkat
kepercayaan publik. Memasuki era reformasi, perubahan di semua bidang dilakukan bahkan
UUD 1945 juga diamandemen hingga empat kali. Selain itu, sistem desentralisasi juga
diterapkan dengan tujuan agar potensi yang dimiliki daerah dapat dimaksimalkan dan
dioptimalkan termasuk dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance)
Seiring dengan adanya berbagai perubahan tersebut, penerapan desentralisasi
menyebabkan tiga hal yakni, KKN semakin meluas di tingkat daerah, terjadi ketimpangan
layanan publik antar daerah, dan belum adanya aturan sanksi terhadap daerah yang memberikan
pelayanan buruk kepada masyarakat.11 Kegagalan birokrasi dalam merespon krisis yang
berkembang dimasayakat baik itu krisis ekonomi maupun politik akan mempengaruhi
tercapainya tujuan birokrasi. Kegagalan itu sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan, insentif,
akuntabilitas, dan budaya birokrasi yang ada.12.
Diantara komponen bangsa, birokrasi adalah komponen yang paling lambat berubah.
Dalam persepektif administrasi publik, good governance merupakan tujuan dari penyelenggaraan
pelayanan publik yang membutuhkan kompetensi birokrasi untuk mendesain dan melaksanakan
kebijakan guna memberikan pelayan terbaik kepada masyarakat yang tidak hanya dengan
10 Mohammad Thahir Haning Jurnal hukum Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif
Administrasi Publik Vol. 4, No. 1 Juni, 2018 , hlm. 1 11 Girindrawardana, D, Public Services Reform in Indonesia. Ombudsman Indonesia, Jakarta, 2002 12 Mohammad Thahir Haning Jurnal hukum Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif
Administrasi Publik Vol. 4, No. 1 Juni, 2018 , hlm. 2
-
mengandalkan jalur pragmatisme untuk mencapai jenjang karir secara cepat.13 Apabila tidak
dilakukan reformasi pada sistem birokrasi Indonesia maka era saat ini tidak akan jauh berbeda
dengan rezim orde baru dalam hal penerapan pelayanan publik.
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kegiatan politik bukanlah merupakan
peristiwa baru dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, persoalan netralitas
ASN menjadi isu lama yang senantiasa aktual dalam kehidupan bernegara terutama menjelang
pelaksanaan pemilihan umum, berkembanganya isu netralitas ASN dalam pelaksanaan pemilihan
umum terjadi karena adanya kekhawatiran publik akan keberpihakan ASN kepada salah satu
pasangan calon yang berkontestasi.
Wujud implementasi dari demokrasi di Indonesia tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur secara jelas mengenai hak warga
Negara.
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan wujud dari
kedaulatan rakyat yang terkandung dalam konstitusi Indonesia yang harus dijungjung tinggi.
Oleh karena itu, rakyat bebas untuk menentukan pilihanya dan mengemukakan pendapat dalam
pelaksanaan demokrasi, Seperti kebebasan memilih dan dipilih. Yang dalam pelaksanaanya
melalui pelaksanaan Pemilihan Umum, yang mutlak diberlakukan dalam Negara yang menganut
paham demokrasi.14
Peranan dari Komisi ASN sangat besar dan berat dalam menjaga netralitas ASN terutama
pada saat menjelang pilkada/ pemilu. Selain melakukan penindakan, agar terjaganya netralitas
para ASN, KASN bekerjasama dengan Bawaslu telah memberikan sosialisasi mengenai
netralitas ASN ke beberapa daerah, Sosialisasi tersebut diharapkan dapat membuat ASN
menjalankan tugasnya sesuai fungsinya serta mengingatkan agar menjaga netralitasnya. Pegawai
yang tidak netral akan berimbas terhadap pelayanan yang terdiskriminasi dan mementingkan
kelompok tertentu saja.
Peranan Aparatur Sipil Negara yang strategis dalam menyelenggarakan kebijakan
pelayanan publik menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan secara berkelanjutan.
13 Dwiyanto, Agus, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm 35 14 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 61.
-
Prasyarat untuk mencapai hal tersebut adalah keberadaan ASN profesional. Adapun pengertian
profesional menurut S. Tarmudji adalah “A vacation or occupation requiring advanced training
in some liberal art or science and usually involving mental rather than normal work, as
teaching, engineering, writing”.15 Untuk mewujudkan profesionalisme kerja dalam aspek
kepegawaian, maka dibentuk landasan normatif yang menciptakan suatu penngawasan yang
ketat berupa sistem merit dan asas netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Secara konseptual,
sistem merit berpijak pada human capital management yang didasari pada kombinasi aspek
pengetahuan keterampilan, dan kemampuan seseorang yang digunakan untuk menghasilkan
layanan professional dan optimal sesuai dengan kompetensi dan kemampuanya. Konsep ini akan
menjawab pemikiran bagaimana seseorang mempunyai kompetensi sesuai dengan jabatan/posisi
kerjanya dengan menempatkan pekerja yang bertalenta tinggi untuk menempati jabatan/posisi
yang cocok dengan kemampuan mereka.16
Pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk mengisi jabatan politik dimulai dari
pemilihan langsung mulai dari bupati/ walikota, gubernur, presiden dan wakil presiden,
pemilihan legislatif oleh masyarakat sebagai perwujudan demokrasi.
Dengan menggunakan sistem demokrasi secara langsung terdapat beberapa permasalahan
dalam penyelenggaraanya terutama dalam hal keterlibatan Aparatur Sipil Negara dalam kegiatan
politik diantaranya adalah terlibat dalam kegiatan kepartaian baik terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Diantaranya :17
1. Kegiatan pemilihan; memberikan suara, memberikan sumbangan untuk kampanye,
mencari dukungan bagi seorang calon dll.
2. Lobbying; upaya-upaya untuk berkomunikasi dengan pejabat-pejabat pemerintah atau
pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil.
3. Kegiatan organisasi; kegiatan sebagai anggota atau pejabat organisasi yang tujuannya
mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
15S. Tarmudji, 1994, Profesionalitas Aparatur Negara Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik, Bina
Aksara, Jakarta, hlm. 20-21. 16Akhmad Aulawi, “Penerapan Sistem Merit Dalam Manajemen ASN dan Netralitas ASN dari Unsur
Politik Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara”,
http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/DPR%20P3i%20Akhmad%20Aulawi%20% 2oASN_REV.pdf,
diakses 10 Juni 2019, hlm. 1-2. 17 https://studylibid.com/doc/1658717/pengaruh-kesadaran-politik-terhadap-partisipasi-politik-d diakses
pada 1 Januari 2019
https://studylibid.com/doc/1658717/pengaruh-kesadaran-politik-terhadap-partisipasi-politik-d
-
4. Mencari koneksi, (contacting); tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-
pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi dirinya
sendiri atau beberapa orang.
Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang pada dasarnya membawa
konsep perubahan mendasar pada eksistensi ASN, yang sebelumnya dikenal sebagai alat
kekuasaan pemerintah untuk memenangkan kontestasi menjadi unsur aparatur negara yang
profesional dan netral dari pengaruh semua golongan dari serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Melihat tugas dari aparatur sipil Negara yang dianggap dekat dengan masyarakat dan
berhubungan langsung dengan masyarakat dianggap merupakan salah satu cara efektif untuk
mengajak mereka ikut serta dalam proses kampanye atau politik, mengingat bahwa mereka
bekerja dan bertanggungjawab kepada kepala daerah atau pimpinanya, maka mau tidak mau
kebanyakan ASN mencari posisi yang aman atau secara praktis naik jabatan apabila dekat dan
mendukung kepada kepala daerah yang dalam hal ini dalam proses pemilihan umum.
Penilaian negatif yang masih tertanam dalam benak publik terhadap para aparatur
sipil negara yang dalam kinerjanya dinilai belum optimal. Sebagian masyarakat menilai citra
ASN masih buruk. Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman ASN terhadap tugas pokok
dan fungsi mereka sebagai abdi negara dan abdi pemerintah, yang seharusnya dapat bersikap
netral dalam kegiatan politik, sebab dapat mengarahkan pada perilaku mereka yang tidak netral
dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mengganggu kinerjanya.
Apabila ditinjau dari konteks otonomi daerah, adanya ASN yang menjadi anggota atau
pengurus partai politik tertentu ini merupakan hal yang tidak diharapkan, sebab salah satu tujuan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan dan mendekatkan pelayanan publik dari ASN
kepada masyarakat di daerah. Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah agar meningkatkan
mutu sumber daya manusia ASN yang memiliki semangat kerja yang tinggi, keterampilan kerja
dan profesionalisme kerja yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Disatu sisi ASN juga harus berperan dalam proses pemilihan kepala daerah atau
pemilihan presiden, tetapi hanya sebatas untuk mengajak dan menghimbau masyarakat agar
berpartisipasi dalam proses pemilihan, dan menekan angkat partisipasi masyarakat agar lebih
meningkat, dengan tidak memihak kepada salah satu calon. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
http://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi
-
Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala
pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
ASN harus menaati kewajiban dan menghindari larangan yang diatur dalam peraturan
perundang undangan dan/atau peraturan kedinasan apabila dilanggar dijatuhi hukuman disiplin,
dan bertanggungjawab atas segala bentuk pelanggaran, Pelanggaran disiplin yang dimaksud
adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan ASN yang tidak menaati kewajiban dan/atau
melanggar larangan ketentuan disiplin ASN, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam
kerja, serta menggunakan fasilitas Negara untuk menguntungkan salah satu calon yang
meyebabkan kerugian bagi masyarakat dan menciptakan iklim yang tidak sehat.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan terkait
Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara terhadap pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan
Umum di Kabupaten Sumedang.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, maka adapun rumusan masalah dalam penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang nomor 5 Tahun 2014
tentang aparatur sipil negara terhadap pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Pemilihan Umum di Kabupaten Sumedang.?
2. Apa yang menjadi kendala Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang nomor 5
Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara terhadap pelanggaran netralitas ASN dalam
Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum di Kabupaten Sumedang.?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan terhadap keterlibatan aparatur sipil negara dalam
pelanggaran netralitas?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara terhadap pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilihan
Kepala Daerah dan Pemilihan Umum di Kabupaten Sumedang.
-
2. Untuk memahami Kendala Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap pelanggaran netralitas ASN
dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum di Kabupaten Sumedang.
3. Untuk memahami upaya terhadap Keterlibatan Aparatur Sipil Negara dalam
pelanggaran netralitas.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:
1. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan yang
timbul, serta memberi sumbangan pemikiran pengetahuan bagi penulis sendiri, pembaca
atau pihak lainya, sebagai pengembangan keilmuan mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat
(2) Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN terhadap keterlibatan ASN dalam
kegiatan politik.
2. Secara praktis, menggambarkan bagaimana manfaat hasil penelitian dalam tesis ini bagi
akademisi, aparat terkait yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
E. Kajian Pustaka
Berkaitan Kajian pustaka dan orisinalitas penelitian tesis ini, sepanjang pengetahuan
penulis dan penelusuran terhadap kesamaan judul ataupun masalah hukumnya dari beberapa tesis
dipergutuan tinggi dapat dikatan bahwa penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap keterlibatan
Aparatur Sipil Negara dalam kegiatan politik” belum pernah dilakukan oleh penulis sebelumnya,
adapun penelitian yang sudah pernah ada diantaranya :
1. Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara langsung (Studi
Kasus Kabupaten Malang, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Kutai Kartanagara) oleh
Laura Astrid H Purba Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta
Tahun 2010.
Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis diatas berkaitan dengan netralitas ASN
dalam pilkada serentak, terdapat perbandingan diantara ketiga kabupaten yang dikaji.
Perbedaan dari tesis tersebut dengan penelitian penulis diantaranya adalah perubahan
aturan undang-undang yang berlaku, serta pelaksanaan dari aturan yang berlaku dan
-
penangananya berkaitan dengan keterlibatan ASN, juga upaya yang harus dilakukan agar ASN
dapat netral dalam setiap pemilihan, adanya konsep reformasi birokrasi serta menerapkan sistem
meritrokarsi agar ASN bekerja sesuai dengan tugasnya serta terbebas dari segala intervensi
politik.
2. Kebijakan Netralitas Politik Pegwai Negeri Sipil Dalam Perspektif Perlindungan Hak
Asasi Manusia Di Indonesia oleh Z.R.TJ M uloyono, Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponogoro Tahun 2008.
Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis tersebut berkaitan dengan latar belakang
kebijakan netralitas ASN dalam UU Kepegawaian, perkembangan keanggoataan ASN dalam
politik, kebijakan netralitas ASN ditinjau dari hak asasi manusia.
3. Analisis Yuridis Netralitas Pegawai Negeri Sipil Daerah Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung (Studi Kasus di Kabupaten Kudus) oleh Dwi Kumaryanto program
pasca sarjana Universitas Muria Kudus tahun 2013, tersis tersebut menghasilkan hasil
analisis terhadap ketentuan mengenai netralitas Pegawai Negeri Sipil;, upaya penegakkan
hukum terkait dengan netralitas pegawai negeri sipil; dan dampak yang ditimbulkan
adanya ketidaknetralan pegawai negeri sipil dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Kudus.
4. Efektivitas Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) Terhadap Peningkatan Kinerja
Melalui Motivasi Kerja PNS Di Permerintah Kabupaten Jepara oleh Aries Wijaningrum
Program Pasca sarjana Univertsias Muria Kudus, tesis ini membahas tentang evektivitas
dari ASN dalam peningkatan kualitas kinerja ASN dalam melayani publik.
5. Implementasi Disiplin Aparatur Sipil Negara Dalam Lingkup Organisasi Perangkat
Daerah (Studi di Dinas Pekerjaan Kabupaten Umum Lampung Utara), tahun 2017 oleh
Gita Herni Saputri Universitas Lampung membahas tentang disiplin dari ASN dalam
Undang-undang nomor 5 tahun 2014 dan PP nomor 53 Tahun 2010.
Perbedaan dari tesis tersebut dengan penelitian penulis diantaranya adalah perubahan
aturan undang-undang yang berlaku, serta pelaksanaan dari aturan yang berlaku dan
penangananya berkaitan dengan keterlibatan ASN, juga upaya yang harus dilakukan agar ASN
dapat netral dalam setiap pemilihan adanya konsep reformasi birokrasi serta menerapkan sistem
meritrokarsi agar ASN bekerja sesuai dengan tugasnya serta terbebas dari segala intervensi
politik.
-
Disimpulkan bahwa judul-judul tesis tersebut memiliki objek yang sama berkaitan
dengan netralitas Aparatur Sipil Negara, tetapi apabila dikaitkan perbedaan dari tesis diatas
dengan penulis adalah berkaitan dengan aturan hukum yang terbaru, mengkaji tentang penyebab
dari Aparatur Sipil Negara terlibat dan pelaksanaan dari aturan yang ada, mengkaji unsur-unsur
yang terkait, diantaranya Bawaslu, Komisi ASN, dan Badan Kepegawaian, sehingga terdpat
beberapa variabel permasalahan serta penyelesaianya. Dalam demokrasi tidak terlepas dari
pentingnya peran ASN karena ASN harus netral, tapi disuatu sisi tetap mempunyai hak untuk
memilih, banyaknya jumlah ASN serta membuat para calon berlomba-lomba untuk meraih suara
ASN, mengingat bahwa calon terpilih mempunyai kewenangan untuk memutasi, menaikan
jabatan terutama di dinas-dinas terkait membuat ASN menjadi tertarik untuk mendekati calon
dengan rasionalisasi bahwa ketika calon yang didukungnya menang bisa membuat karirnya
bagus, maka disitulah muncul suatu aturan untuk membatasi ruang ASN untuk berpolitik melalui
aturan hukum.
F. Kerangka Pemikiran
1. Grand Theory
Berbagai perubahan dilakukan salah satu contohnya adalah perubahan pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Perubahan Keempat pada tahun
2002, konsep Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”18Dalam sebuah konsep Negara Hukum, idealnya
bahwa yang harus dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, simbol yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris menyebutkan prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man.
Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per
orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Apabila ditinjau secara historis, embrio tentang gagasan negara hukum telah
dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, dalam karya tulisnya yang
ketiga, Seadngkan, dalam dua tulisan pertama, politeia dan politicos, belum muncul istilah
18 Marjanne Termorshuizen, The Consept Rule of Law, dalam “JENTERA Jurnal Hukum”, Edisi 3 tahun II,
Jakarta, 2004, hlm. 78
-
negara hukum. Dalam konsep Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara
yang baik adalah yang berlandaskan pada pengaturan atau hukum yang baik.19
Pemikiran Plato tentang Negara Hukum tersebut bertujuan untuk mencegah kekuasaan
yang sewenang-wenang oleh penguasa Negara serta untuk melindungi hak hak rakyat dari
tindakan pemerintahan yang tidak adil dan kesewenang wenangan sehingga menciptakan
ketidakadilan. Gagasaan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika di dukung oleh
Aristoteles (murid Plato), yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu
negara yang baik adalah Negara yang diatur dengan konstitusi dan menjadikan hukum sebagai
landansanya.20
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu sebagai berikut:
a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang wenang yang menyampingkan
konvensi dan konstitusi;
c. Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan, tekanan yang dilaksanakan pemerintah despotik
(satu penguasa).
Konsep Rechtsstaat di Jerman dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel
Kant berkembang di negara-negara civil law system dan dari Albert Venn Dicey dengan konsep
rule of law yang berkembang di Negara negara penganut common law/anglo saxon. Menurut
Philipus M. Hadjon,21 bahwa lahirnya negara dalam konsep rechtsstaat berlandaskan pada sistem
hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule
of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”.
Sri Soemantri berpendapat, 22tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak mempunyai
Konstitusi atau undang-undang dasar, Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian dalam batasan minimal, negara hukum identik
19 Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta Timur,
2013, hlm. 24 20 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca UUD 1945 (Jakarta: Kencana,
2010). Hlm. 61 21 Philipus M. Hadjo, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya 1987, Hal. 76-
82. 22 Soemantri Sri. M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Bulan Bintang, 1992) hlm.
3.
-
dengan negara yang berkonstitusional atau negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan
main dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Selanjutnya Budiono
Kusumohamidjojo, 23berpendapat bahwa pada kondisi sejarah sekarang, sulit untuk
membayangkan negara tidak sebagai negara hukum atau tidak mengunakan hukum dalam sistem
bernegara. Hukum juga menjadi aturan main untuk menyelesaikan berbagai macam perselisihan
yang terjadi, termasuk salah satunya adalah perselisihan politik dalam rangka mencapai
kesepakatan politik. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik dan
primordial, melainkan kepada cita-cita berbagsa dan bernegara dalam kerangka kenegaraan.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan judul “The Laws”24, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu
sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern ini, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan
antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan
menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,
konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The
Rule of Law”.25 Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan
istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat hal penting, yaitu:26
1. Perlindungan atas hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Soepomo berpendapat27, “Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan yang
memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi dan tidak terbatas
kekuasannya.” Dapat diartikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan tonggak dalam sebuah
negara hukum, bahkan sebuah lembaga yang memegang kedaulatan rakyat dikatakan sebagai
lembaga yang tidak terbatas kekuasaannya. Dalam kaitannya penjelasan diatas, menunjukan
23 Kusumohamidjojo Budiono, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo Jakarta, 2004,
Hal. 147. 24 Jimly Ashidiqie, Jurnal Mahkamah Konstitusi, konsep Negara hukum, 2004. 25 Jimly Ashidiqie, Jurnal Mahkamah Konstitusi, konsep Negara hukum, 2004 26Oemar Seno Adji, Prasarana Dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, 1966, hlm. 24 27 Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm. 16-17
-
dengan jelas ide sentral konsep negara hukum / rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan Sebagaimana
yang dikatakan Paul Scholten, “ciri utama negara hukum adalah, er is recht tegenover den
staat.” Artinya warga negara mempunyai hak terhadap negara, dan individu mempunyai hak
terhadap masyarakat.28 Hak asasi manusia itu terjamin dalam konstitusi yang ketentuan tersebut
antara lain mengenai29 :
1. Kebebasan berserikat dan berkumpul
2. Kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan
3. Hak bekerja dan penghidupan yang layak
4. Kebebasan beragama
5. Hak untuk ikut mempertahankan negara dan,
6. Hak lainnya dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan ada tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum
yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:30
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Ketiga prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas
pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan
oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi
dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of
judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The
International Commission of Jurists” itu adalah:31
1. Negara harus tunduk pada hukum.
28 Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm. 11. 29 Jimly Assihiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm. 12. 30 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 34. 31 Jimly Asshiddieqy ,Gagasan Negara Hukum Indonesia, Makalah,
http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia. diakses 19 Juni 2019
http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia
-
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Menurut Arief Sidharta32, Scheltem, merumuskan pandangannya tentang unsur- unsur
dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang
bersumber pada penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Menjamin sebuah kepastian hukum yang terwujud
dalam kehidupan masyarakat dan menjamin adanya suatu kepastian hukum,
sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-
asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus
lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-
undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-
undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok
orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu sehingga
terciptanya ketidak adilan dalam pelayanan serta tidak pandang bulu dan mendahulukan
seseorang yang dianggap lebih tinggi, atau dikenal dan atau unsur lainya. Di dalam prinsip ini,
terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan
32 B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum),
“Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004,
hlm..124-125.
-
pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua
warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk turut serta dalam pemerintahan atau mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip,
diantaranya:
a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara
berkala; Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban
oleh badan perwakilan rakyat;
b. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol jalanya
pemerintah;
c. Semua tindakan pemerintahan terbuka dan menerima kritik dan saran yang
berdasar dengan kajian rasional oleh semua pihak;
d. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
e. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
f. Rancangan sebuah undang-undang atau aturan lainya harus dipublikasikan untuk
meningkatkan partisipasi rakyat secara efektif dan aktif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanah sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan berbangsa dan
bernegara yang diatur dalam konstitusi. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai
berikut:
a. Asas-asas umum pemerintahan yang baik;
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat serta
dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang undangan, khususnya dalam
konstitusi negara;
c. Pemerintah harus secara rasional menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang
jelas dan berhasil. Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif
dan efisien.
-
2. Midle Theory
Kata bureaucracy dapat dimengerti dangan mencoba memahami dari segi istilah terlebih
dahulu. Dari segi istilah bahasa ‘bureau’ yang telah banyak dimaknai sebagai meja tulis atau
kantor tempat pejabat bekerja. Sedangkan ‘cracy’ yang berasal dari kata Yunani (Kratein) yang
berarti mengatur dimana kata ‘kratein’ ini dianggap memiliki kekuatan yang begitu besar oleh
para ahli.33 Istilah ini kemudian banyak bagian perbendaharaan di dunia khususnya di eropa
masuk sebagai istilah politik internasional. Bureaucratie dalam Bahasa Perancis, bureaukratie
dalam Bahasa Jerman, burocrazia dalam Bahasa Italia, dan bureaucracy dalam Bahasa Inggris.
Seperti halnya istilah yang popular lainnya ‘democracy’ maka ‘bureaucracy’ pun banyak
diturunkan menjadi bureaucrat, bureaucratic, bureaucratism, bureaucratis, burueaucratization’
Netralitas birokrasi bukan merupakan kajian yang baru, sejak didekati dengan berbagai
pendekatan ilmiah untuk memahami birokrasi sejak itu pulahlah perhatian tentang netralitas
birokrasi mulai di pertanyakan beberapa pakar. Dalam perspektif Rourke mengatakan bahwa
birokrasi tidak hanya sebagai pelaksana suatu kebijakan melainkan sebagai pembuat kebijakan
itu sendiri34.
Menurut Rourke, netralisasi birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, karena
apabila partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi
dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan
politik di luar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik.
Dukungan politik itu, menurut Rourke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni pada
masyarakat luar, pada legislatif dan pada diri birokrasi sendiri (executive branch).35 Akan tetapi
Thoha berpendapat, bahwa belum ada kesepakatan yang pasti tentang netralitas birokrasi, apakah
berdiri sebagai profesional ataukah ia harus memihak partai/pihak tertentu yang sedang berkuasa.
Perdebatan mengenai netralitas birokrasi bisa memberikan berbagai gambaran dan perspektif
dalam memahami mengapa birokrasi penting untuk bersikap netral disatu pihak dan di pihak
33 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Firman, Meritokrasi dan Netralitads Aparatur Sipil Negara Dalam
Pengaruh Pilkada Langsung, Volume 3, 2 Desember 2017, hlm. 9 34 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Firman, Meritokrasi dan Netralitads Aparatur Sipil Negara Dalam
Pengaruh Pilkada Langsung, Volume 3, 2 Desember 2017, hlm. 9 35 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Firman, Meritokrasi dan Netralitads Aparatur Sipil Negara Dalam
Pengaruh Pilkada Langsung, Volume 3, 2 Desember 2017, hlm. 10
-
dalin harus bersikap Independen. Dalam posisi ‘netral’ sangat di butuhkan ketika pelaksanaan
atau penyelenggaraan pemilu.
Berperilaku Netral dan ketidakberpihakan dalam pada kandidat/partai tertentu dalam
pemilihan umum menjadi hal yang penting dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas. Tidak
hanya kualitas pemilu yang baik tapi justru dari birokrasi pemerintahan akan menjadi baik. Oleh
karena demikian penting untuk setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk bersikap netral dalam
pemilu ataupun dalam hal lainya.
Konsep demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari negara yang 1
dengan negara yang lainnya. Demokrasi sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi
dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang dianggap ideal36. Oleh sebab itu,
menurut Ni‟matul Huda37, bahwa demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di
dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Berbagai negara telah menerapkan definisi dan
kriterianya mengenai demokrasi, yang tidak sedikit diantaranya justru mempraktekkan cara-cara
yang sangat tidak demokratis, meskipun di atas kertas menyebutkan negara “demokrasi” sebagai
asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi mengenai politik sampai pada identifikasi
bahwa fenomena demokrasi dapat dibedakan menjadi demokrasi normatif dan demokrasi
empririk. Demokrasi normatif menyangkut gagasan atau ide yang terdapat di dalam alam filsafat,
sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di lapangan tidak selalu sama dengan
gagasan normatifnya.38
Sebagaimana telah dibahas di atas mengenai sejarah demokrasi. Sekarang, demokrasi
dikenal dengan berbagai macam istilah, antara lain39: demokrasi konstitusional, demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, dan demokrasi nasional.
Dari sekian banyak aliran pemikiran mengenai demokrasi, terdapat 2 (dua) kelompok yang
sangat penting, yaitu: demokrasi konstitusional dan kelompok demokrasi yang mendasarkan
dirinya atas komunisme. Perbedaan fundamental di antara ke 2 (dua) kelompok tersebut ialah
bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan pemerintahan yang terbatas kekuasannya, yaitu
suatu Negara hukum (rechtsstaat) yang tunduk pada rule of law. Sedangkan demokrasi yang
36 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi (Jakarta: Press, 2005),hlm:141 37 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm:259 38 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm:259 39 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 263
-
mendasarkan dirinya atas komunisme, mencitacitakan bahwa pemerintahan kekuasaannya tidak
terbatas (machtsstaat) dan yang bersifat totaliter.
Ciri khas demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis
adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap
warga negaranya.40 Kekuasaan negara dibagi menjadi beberapa unsur, hal tersebut dilakukan
sebagai upaya agar penyalahgunaan diperkecil dan tidak terjadinya kesewenang-wenangan, yaitu
dengan cara tidak memusatkan pada 1 (satu) pemerintahan atau 1 (satu) badan saja. Perumusan
yuridis dan prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara Hukum (Rechtsstaat) dan Rule of
Law.
Dalam pandangan kelompok aliran demokrasi yang mendasarkan dirinya atas paham
komunis selalu bersikap ambivalen terhadap negara. Negara dianggapnya sebagai suatu alat
pemaksa yang akhirnya akan lenyap sendiri dengan munculnya masyarakat komunis41. Marx dan
Engels mengatakan: “Negara tidak lain tak bukan hanyalah mesin yang dipakai oleh satu kelas
untuk menindas kelas lain” dan “negara hanya merupakan suatu lembaga transisi yang dipakai
dalam perjuangan untuk menindas lawan-lawan dengan kekerasan.”42:
Secara umum pemilihan umum lahir dari konsepsi dan gagasan besar Demokrasi yang
berarti merujuk John Locke dan Rousseau, kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi individu
dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang
dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh warga Negara beserta dengan instrumen negara
baik pada level legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Hubungan antara warga negara dan
negara meskipun masih berjarak namun dapat difasilitasi oleh berbagai lembaga dan elemen
masyarakat karena adanya kebebasan bagi semua pihak untuk ikut serta secara aktif dalam
pembangunan nasional baik pembangunan politik maupun bidang lainnya. Masyarakat diberikan
ruang untuk berperan aktif dan menjadi bagian dari proses demokrasi. Meskipun secara
substansial, keikusertaan mereka masih cenderung prosedural dan momentum.
Salah satu produk dari elemen demokrasi dihasilkan dari proses pemilihan umum. Di sisi
lain, partai politik Indonesia masih bergerak lamban dan bahkan banyak di antaranya masih
pragmatis dalam menjalani tanggung jawabnya sebagai lembaga politik yang seharusnya
menciptakan kaderisasi yang sehat, baik dan kompeten. Sehat dalam berkompetisi, baik dalam
40 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 265. 41 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm, 265. 42Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm, 266.
-
memutuskan arahnya dan berkompeten dalam menciptakan kader-kader terbaik yang akan
memimpin sebagai bentuk kaderisasi. Hasil dari kebijakan publik menjadi kebijakan kelompok
tertentu dan kesejahteraan segelintir orang. Padahal dalam konteks sistem demokrasi yang ideal,
partai politik merupakan lembaga agregasi politik yang paling besar.
Partai politik menjadi suatu wadah berkumpulnya kepentingan publik, menyampaikanya
dan membuat suatu kebijakan yang adil dan membangun struktur untuk individu-individu
berpartisipasi dalam politik. Di samping itu, partai politik juga dapt berperan dalam
mengontrol pemerintah dari luar sistem dengan menjadi oposisi.43
Namun demikian, Edmund Burke berpendapat bahwa orang yang lolos keparlemen
mereka bukan merupakan wakil dari golonganya saja melainkan menjadi wakil bagi masyarkat
secara luas diwilayahnya.44 Oleh karena itu, seorang kader atau calon dari partai yang akan
menduduki kursi kekuasaan baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif hanya menjadi
politisi untuk partainya ketika dia masih berada di luar sistem kekuasaan dan akan menjadi abdi
bagi negara ketika sudah menduduki kursi kekuasaan dan menjadi wakil bagi seluruh masyarakat
sesuai tingkatanya. Sayangnya, kenyataannya terutama pada Negara berkembang, idealisme
tersebut tampak utopis. Partai politik baik dalam segi kaderisasi maupun visi dan misi tenggelam
pada pragmatisme ‘kekuasaan dan uang’. Partai politik menjadi tumpul dalam menjalankan
perannya baik secara internal terhadap kader maupun terhadap eksternal masyarakat dan
negara. Reformasi birokrasi merupakan sebuah harapan masyarakat pada pemerintah agar
mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat
untuk menikmati pelayanan publik yang efisien, responsip dan akuntabel. Maka dari itu
masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan
bernegara berjalan dengan baik serta mendapatkan pelayanan yang memuaskan, masyarakat serta
berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu konsep perubahan yang signifikan
elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur negara, ketatalaksanaan,
akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk
memposisikan diri kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang
43 Norm Kelly dan Sefakor Ashiagbor, Partai Politik dan Demokrasi dalam Perspektif Teoritis dan Praktis.
(Washington DC: National Democratic Institute., 2011), hlm. 3. 44 Chicaho University. Edmund Burke Speech to the Electors of Bristol 3 Nov. 1774. http://press-
pubs.uchicago.edu/founders/documents/v1ch13s7.html Diakses pada tanggal 3 Januari 2019
http://press-pubs.uchicago.edu/founders/documents/v1ch13s7.htmlhttp://press-pubs.uchicago.edu/founders/documents/v1ch13s7.htmlhttp://press-pubs.uchicago.edu/founders/documents/v1ch13s7.html
-
dinamis. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara
apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang peran birokrasi
dewasa ini45
3. Aply Theory
Secara bahasa, istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis bureau yang berarti kantor
atau meja tulis, dan kata Yunani krateinyang berarti mengatur46 Menurut Max Weber seperti
yang dikutip M. Mas’ud Said birokrasi adalah sistem adaministrasi yang memiliki kesamaan
yang didasarkan pada aturan tertulis dan menempatkan sesuai dengan kemampuanya. Menurut
Rourke birokrasi adalah sistem administrasi yang terstruktur dan hirarki sesuai dengan aturan
yang dibuat serta mengisi jabatan tertentu sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Menurut Pfiffner dan Presthus mendefinisikan birokrasi adalah suatu sistem kewenangan,
kepegawaian, jabatan, dan metode yang dipergunakan pemerintah untuk melaksanakan program-
programnya. Berdasarkan konsepsi legitimasi, merumuskan proposisi tentang penyusunan sistem
otoritas legal yakni:47
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda sesuai dengan fungsinya yang
masing-masing dilengkapi dengan syarat tertentu;
3. Jabatan tersusun secara hierarki yang disertai dengan rincian hak-hak control dan
pengaduan;
4. Aturan disesuaikan dengan pekerjaandiarahkan baik secara teknis maupun secara legal;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu
pribadi;
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis dan menjadikan kantor sebagai pusat
organisasi modern;
8. Sistem otoritas legal memliliki berbagai bentuk, tetapi dilihat pada aslinya sistem tersebut
tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
45 Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012, hlm.23 46 M. Mas'ud Said, Birokrasi di negara birokratis: makna, masalah, dan dekonstruksi birokrasi Indonesia,
UMM Press : Malang., 2007, hlm. 1. 47 M. Mas'ud Said, Birokrasi di negara birokratis: makna, masalah, dan dekonstruksi birokrasi Indonesia,
UMM Press : Malang., 2007, hlm. 2-5.
-
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan
organisasi karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam
sebuah organisasi serta tersusun secara hirarki. Birokrasi menurut Max Weber sebagai suatu
bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang
tinggi yang diisi oleh pejabat yang kompeten dalam bidangnya.48
Dalam rangkaianya terdapat keterlibatan antara Negara hukum yang didalamnya
mengatur regulasi yang secara jelas berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan Negara
termasuk didalamnya adalah sistem demokrasi sebagai suatu sarana untuk mengisi dan
mengelola suatu Negara, serta birokrasi yang dalam administrasi Negara merupakan motor
penggerak pelayan kepada masyarakat atau sebagai suatu organisasi untuk memberikan pelayan
terbaik dalam urusan pelayanan publik. Maka apabila digambarkan satu sama lain akan
berkaitan dan tidak bisa dilepaskan maka dalam suatu tatananya harus tertata dengan baik
sehingga menjadi satu kesatuan yang saling mendukung satu sama lain.
G. Langkah-Langkah Penelitian
Metode penelitian adalah suatu unsur utama yang ada dalam penelitian. Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Penelitian
48 Lijan Poltak Sinambela dkk, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, 2006, hlm 53.
DEMOKRASI
NEGARA HUKUM
BIROKRASI
-
Peneliti dalam tesis ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu mengkaji ketentuan
hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan masyarakat.49 Atau dengan
kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau
keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan
menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan.50
2. Metode Pendekatan
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan tesis ini adalah jenis penelitian
deskriptif analitis yaitu jenis penelitian yang menggambarkan gejala-gejala di lingkungan
masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan
kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sejumlah bahan informasi yang
terdapat dalam buku-buku dan informasi lainya baik buku yang memiliki hubungan dengan
penelitian maupun buku-buku penunjang. Penelitian ini terdiri dari dua sumber data yaitu :
a. Jenis data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
atau pihak terkait yang berhubungan dengan peneltian ini berdasarkan hasil
wawancara atau observasi secara langsung.
b. Jenis data sekunder, yaitu data yang berupa : 51
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan cara
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini,
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015,
Undang-Undang No 17 2017, Undang-Undang No 5 Tahun 2014, Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010..
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang penulis peroleh dari berbagai
literatur yang ada dan pendapat para ahli, buku-buku, yang berhubungan
dengan penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari,
49 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.
126. 50 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 15. 51 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press, Jakarta, 2014, hlm. 51-52.
-
Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Artikel
artikel dan Jurnal Hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Infomasi
itu dapat diperoleh dari buku-buku, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturan-
peraturan, ketetapan-ketetapan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis lainya yang
berhubungan dengan penelitian.52
b. Wawancara
Yakni sarana atau alat pengumpulan data dalam penelitian yang melibatkan orang-orang
yang melakukan komunikasi.53 Secara sederhana wawancara merupakan suatu proses tanya
jawab secara lisan langsung kepada pihak yang bersangkutan, hal-hal yang menjadi
hambatan pelakasanaan serta upaya-upaya dalam mengatasi hambatan tersebut. Wawancara
ini berpedoman pada daftar wawancara yang telah disediakan.
5. Analisis Data
Dalam menganaklisis data dalam penelitian menggunakan anaklisis kualitatif. Anaklisis
kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-anaklitis yaitu apa
yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan, dan juga perilakunya yang nyata,
yang diteliti, dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
52 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 201 53 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 220