bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang oil and gas. PHE WMO melakukan kegiatan
eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di lapangan pantai barat Madura (PHE
WMO, 2013). Lokasi sumur dan anjungan proses PHE WMO berada di lepas pantai,
sementara fasilitas proses dan distribusi untuk gas berada di wilayah Gresik, Jawa
Timur. Wilayah pengembangan masyarakat PHE WMO mencakup Kabupaten
Bangkalan dan Kabupaten Gresik. Sebelumnya pengelolaan minyak dan gas pada
wilayah ini dilakukan oleh Kodeco Energy Co. Ltd. dan dialihkan kepada PHE WMO
sejak 11 Mei 2011.
PHE WMO memiliki komitmen untuk menjalankan CSR di dalam kegiatan
perusahaan. Sektor oil and gas merupakan industri yang mendominasi dalam
pelaksanaan CSR, mengingat industri ini memperlihatkan adanya efek negatif seperti
oil spills dan singgungan dengan kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat
lokal. Industri oil and gas menerima banyak tekanan agar mampu mengatur hubungan
yang baik dengan masyarakat (wider society).
“The oil and gas sector has been among the leading industries in
championing CSR. This is at least partly due to the highly visible
negative effects of oil operations such as oil spills and the resulting
protests by civil groups and indigenous people.” Frynas (2009)
Perusahaan oil and gas tidak hanya menghadapi permasalahan bagaimana
secara teknis di dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Mereka juga dihadapi dengan
permasalahan non teknis seperti license to operate yang tidak hanya secara tersurat
2
terkait legal document yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tetapi juga izin dari
masyarakat (social license to operate), terutama masyarakat yang berdekatan dengan
wilayah operasi perusahaan.
“Geology has not restricted the distribution of hydrocarbons to areas
governed as open pluralistic democracies. The cutting edge of the issue
of corporate responsibility comes from the fact that circumstances
don’t always make it easy for companies to operate as they would
wish.” Levenstein & Wooding (dikutip oleh Frynas 2009)
PHE WMO tidak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan kegiatan perusahaan
setiap harinya. Minimal terdapat kontak antara PHE WMO dengan masyarakat yang di
wilayahnya terdapat asset milik perusahaan, berupa lalu lalangnya perahu nelayan di
sekitar anjungan lepas pantai milik perusahaan. Dalam hal ini PHE WMO berhubungan
langsung dengan masyarakat yang berada di pesisir pantai wilayah barat Madura.
Mengingat terdapat sumur milik PHE WMO yang berada di area mencari ikan (fishing
ground) para nelayan setempat.
PHE WMO tidak memiliki pilihan selain dapat bersosialisasi dengan baik
kepada masyarakat. Mengingat antara perusahaan dan masyarakat seharusnya dapat
hidup berdampingan selayaknya tetangga di dalam satu lingkungan, ingin dianggap
keberadaannya baik dalam suka maupun duka. PHE WMO menunjukkan value yang
dimiliki berbeda dengan perusahaan lainnya. Jikalah perusahaan lainnya ada yang
menempatkan pendekatan security officer sebagai satu-satunya cara untuk menjaga
keamanan perusahaan, PHE WMO memiliki value yang juga memberi perhatian
kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi. Perusahaan lebih baik berdindingkan
mangkok dibanding berdindingkan tembok, merupakan value PHE WMO (disampaikan
oleh Bapak Sudaryoko, Manager Community Development PHE WMO, 25 Februari
2016 di ORF PHE WMO).
3
Istilah berdindingkan mangkok merujuk kepada Program CSR yang peduli
kepada kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan maupun budaya yang dimiliki para
penerima manfaat, dalam hal ini mereka adalah masyarakat yang berada di sekitar
wilayah operasi. Perhatian kepada masyarakat sekitar, secara tidak langsung dapat
menumbuhkan sense of belongings masyarakat sekitar terhadap PHE WMO.
Harapannya masyarakat sekitar juga dapat berpartisipasi aktif di dalam menjaga
keamanan perusahaan yang berada di lingkungan mereka.
Elite lazim didefinisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil (the
rulling class) dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya
serta berkuasa. Kelompok ini merupakan kelompok minoritas yang
menduduki posisi-posisi penting, memiliki kemampuan mengendalikan
kegiatan ekonomi dan politik, serta berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan-keputusan krusial yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Untuk memperkuat posisi sosialnya, terkadang kelompok
minoritas tersebut juga menciptakan organisasi-organisasi, aturan-aturan
serta peranan yang ditunjang oleh suatu sistem tradisi untuk memenuhi
kebutuhannya. (Mils dalam Keller, 1995)
Meski pada kenyataannya dalam lingkungan suatu masyarakat terdapat aktor
yang dominan atau memiliki pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi suatu
keputusan. Pareto (dikutip oleh Kosim 2007), elite dipahami sebagai pihak baik
individu atau kelompok yang memiliki dan mendapatkan lebih dari apa yang dimiliki
dan didapatkan oleh orang lain itu, ada yang memegang kekuasaan (governing elite)
dan ada yang di luar kekuasaan (non governing elite).
Diagram 1. 1 Hirarki Penghormatan di Masyarakat Madura
4
Sumber: Kosim, 2007
PHE WMO yang memiliki area produksi di daerah Madura juga menghadapi
kekhasan yang dimiliki yaitu keberadaan kiai. Terdapat istilah yaitu buppa’-babu’-
guruh-ratoh penjelasan hirarki penghormatan di kalangan masyarakat Madura yaitu
ayah dan ibu (buppa’ dan babu’) serta guruh yang merujuk kepada kiai dan ratoh
sendiri adalah pemerintah. PHE WMO harus berupaya menjalin hubungan yang baik
dengan kiai yang berada di wilayah operasi perusahaan. Kiai merupakan stakeholder
bagi PHE WMO yang juga harus diperhatikan keberadaannya. Mengingat posisi
mereka yang sangat dihormati di wilayah Madura yang identik dengan masyarakat
agamis.
Masyarakat Madura juga memiliki tokoh yang disegani selain keberadaan kiai,
yaitu blater. Blater dalam hal ini sering dikenal sebagai preman. Mereka memiliki suatu
nilai lebih jika dibandingkan masyarakat lainnya, baik dalam hal kekuatan atau
keberanian yang biasanya dibuktikan melalui sebuah pertarungan. Pada momen
pemilihan kepala daerah dari tingkat desa hingga pemilihan presiden pun, posisi blater
dirasa menjadi salah satu hal yang menentukan. Blater dianggap memiliki massa yang
juga tidak kalah dibanding dengan massa yang dimiliki oleh seorang kiai. Dalam hal ini
PHE WMO juga tidak bisa menutup mata dari keberadaan blater di wilayah operasi
mereka. Sehingga PHE WMO juga harus menjalin komunikasi dan berusaha merangkul
para blater tersebut.
“Blater juga memiliki pengaruh yang penting selain keberadaan kyai.
Blater merupakan komunitas yang banyak ditemukan di wilayah
Madura. Pengaruh mereka juga beragam, tergantung pada;
kekuatan/ketangkasan adu fisik, keberanian, kepribadian,
kemenangannya dalam setiap pertarungan, dan faktor pendukung
lainnya.” (Kosim, 2007)
5
Melihat banyaknya elite yang berperan di sekitar wilayah operasi PHE WMO
menunjukkan bahwa perusahaan secara sadar harus mampu menggandeng para elite
tersebut. Keberadaan elite yang tidak tunggal, menyadarkan kita akan adanya
persaingan di antara mereka. Persaingan tersebut tentunya termasuk di dalam
menguasai hubungan yang kuat dengan PHE WMO. Hubungan kuat tersebut dapat
berupa distribusi Program CSR yang ditujukan baik kepada elite tersebut atau massa
yang dimiliki. Kapital simbolik yang dimiliki elite dengan PHE WMO tentunya dapat
semakin memperkuat posisi elite tersebut dibanding elite lainnya dan juga masyarakat.
Sehingga kontestasi di antara elite yang ada di wilayah operasi perusahaan menjadi
temuan di dalam penelitian ini.
Kondisi PHE WMO sebagai salah satu sasaran dari pengumpulan kapital oleh
para elite lokal menempatkan perusahaan pada posisi yang dilematis. Terdapat dua
kelompok elite yang harus dihadapi yaitu kelompok kiai dan kelompok blater.
Keduanya tidak boleh ada yang dikesampingkan mengingat posisi mereka yang sama-
sama memiliki massa. Posisi PHE WMO berhadapan dengan para elite yang
berkontestasi ini dapat mempengaruhi dalam perumusan Program CSR.
Desa Kusumah merupakan salah satu wilayah pengembangan masyarakat PHE
WMO dan di desa itulah terdapat elite lokal yang saling berkontestasi untuk
memperebutkan sumber daya berupa pelaksanaan program comdev. Terdapat blater
yang kekuasaannya cukup dipertimbangkan di wilayah Bangkalan dan Sampang, serta
keberadaan kiai yang bersaing memperebutkan posisi sosial di antara masyarakat.
Pemerintah Desa Kusumah juga dapat dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang penuh,
mengingat sang Kepala Desa memiliki hubungan saudara dekat dengan blater tersebut.
Hubungan tersebut mengakibatkan adanya kepatuhan yang ditunjukkan Kepala Desa
kepada sang blater. Sehingga pada setiap keputusan besar yang harus dibuat oleh
6
Pemerintah Desa Kusumah, maka pertimbangan blater tersebut menjadi penentu dari
keluarnya suatu keputusan.
Melihat kondisi normal suatu perusahaan dalam melakukan pelaksanaan CSR
adalah berkoordinasi dengan pemerintah desa dan masyarakat penerima manfaat secara
langsung. Namun nyatanya posisi ideal tersebut tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh
PHE WMO di Desa Kusumah. Keberadaan blater yang memiliki peranan penting dan
kedekatan dengan Kepala Desa dan pimpinan di Kabupaten Bangkalan membuatnya
memiliki power yang cukup tinggi di dalam struktur sosial masyarakat Desa Kusumah.
Seakan semua masyarakat termasuk pemerintah desa harus mengamini segala
pernyataan yang dilontarkan oleh sang blater. Bahkan bisa dikatakan bahwa posisi
seorang Kepala Desa Kusumah berada di bawah kendali sang blater. PHE WMO
sebagai pihak luar harus beradaptasi dengan pola yang telah berkembang di masyarakat.
Menyesuaikan dengan keadaan yang berada di wilayah pengembangan masyarakat
yang mereka miliki merupakan cara satu-satunya untuk mampu diterima di wilayah
tersebut. Sehingga PHE WMO juga melakukan pendekatan kepada sang blater.
Pada kenyataannya, terdapat dua jenis blater di Desa Kusumah. Blater rajeh
(besar) dan blater kene’ (kecil). Blater rajeh merupakan seorang blater yang sudah
sangat dikenal reputasinya oleh seluruh kalangan blater. Sehingga memiliki banyak
massa yang terdiri dari beberapa blater kene’. Sedangkan blater kene’, powernya
berada di bawah blater rajeh. Pada kesehariannya, blater kene’ tidak melakukan
perlawanan secara terang-terangan terhadap blater rajeh mengingat kekuatannya yang
tidak sebanding. PHE WMO pada masa awal pendekatan, masuk melalui blater kene’.
Namun kenyataannya blater kene’ tersebut tidak dapat memberi jaminan keamanan
kepada PHE WMO. Seiring berjalannya waktu PHE WMO berhasil melakukan
pendekatan kepada blater rajeh dan hubungan tersebut masih terjalin hingga saat ini.
7
Sumber: Olahan Peneliti dari Dokumen Pemetaan Sosial & Observasi (2016)
Gambaran alur pemberian program CSR PHE WMO dapat dilihat pada diagram
1.2. Tergambar bahwa PHE WMO tidak hanya perlu melalui pendekatan formal dalam
pelaksanaan program CSR (tergambar dalam garis berwarna hitam), tetapi juga harus
menghadapi adanya beberapa tokoh informal dalam hal ini elite lokal yang saling
berkontestasi (tergambar dalam garis berwarna hijau). Program CSR PHE WMO
merupakan arena strategis bagi seluruh pihak yang berkepentingan untuk melakukan
kontestasi. Seluruh kapital yang dimiliki akan dimobilisasi sedemikan rupa demi
mengakses program CSR. Hubungan dengan PHE WMO juga menjadi sebuah kapital
untuk menunjukkan sejauh mana kekuasaan yang dimiliki oleh para elite lokal tersebut.
Sehingga tidak aneh di dalam pelaksaan CSR di Desa Kusumah terdapat para elite lokal
yang saling berkontestasi. Peneliti dalam penelitian ini telah mengidentifikasi struktur
sosial dan peta kekuasaan yang ada di Desa Kusumah. Kemudian dinamika perebutan
yang ada menjadi hal yang dirasa perlu untuk dilihat lebih dalam, bagaimana strategi
yang dilakukan oleh masing-masing elite lokal yang terlibat. Pada akhirnya dari
Diagram 1. 2 Alur Pemberian Program CSR PHE WMO (Ideal dan Realita)
8
kontestasi yang ada tersebut apakah akan memiliki implikasi kepada masyarakat
penerima manfaat.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) oleh setiap
perusahaan tentunya harus melihat kondisi dari masing-masing masyarakat di setiap
wilayah operasi perusahaan. Melihat keadaan tersebut maka pertanyaan dari penelitan
ini adalah “Bagaimana kontestasi elite lokal dalam pelaksanaan program corporate
social responsibility (CSR) Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE
WMO)?”. Dari pertanyaan utama tersebut kemudian diturunkan menjadi tiga
pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana struktur sosial dan peta kekuasaan di dalam wilayah Desa Kusumah,
Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan?
2. Bagaimana dinamika perebutan akses terhadap program CSR PHE WMO?
3. Bagaimana implikasi dari para penerima manfaat (beneficiaries) akibat kontestasi
elite lokal tersebut?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
a. Mengidentifikasi elite lokal yang terlibat dalam kontestasi baik sebagai kiai,
blater atau kiai dan blater
b. Mengetahui struktur sosial terkait kiai dan blater yang berdiri sendiri (individu)
dan atau berkelompok di Desa Kusumah, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten
Bangkalan
9
c. Mendapatkan gambaran peta kekuasaan antara Kubu Abah Matsuri (Wilayah
Timur) dengan Kubu Abah Marsono (Wilayah Barat) di dalam wilayah Desa
Kusumah, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan,
d. Mengetahui dinamika perebutan akses terhadap program CSR PHE WMO
antara Kubu Abah Marsono dengan Kubu Abah Matsuri, dan
e. Mengetahui implikasi dari para penerima manfaat (beneficiaries) akibat
kontestasi antara Kubu Abah Matsuri dengan Kubu Abah Marsono di Desa
Kusumah, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan.
2) Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu:
a. Menambah penelitian yang berlokasi di Bangkalan dengan mengangkat
keberadaan blater yang masih belum banyak dibahas,
b. Memberikan gambaran bagi PHE WMO untuk menentukan strategi selanjutnya
terkait pemberdayaan masyarakat di Desa Kusumah,
c. Referensi untuk pendekatan pengembangan masyarakat terutama di wilayah
pesisir Bangkalan.
1.4. Tinjauan Pustaka
Peneliti menggali beberapa referensi terkait penelitian terdahulu yang
bermanfaat untuk digunakan sebagai stock of knowledge sebelum peneliti melakukan
penelitian lapangan. Referensi yang peneliti temukan terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Abdur Rozaki (2004) dan Mutmainnah (2015)
yang membantu peneliti dalam mengetahui setting Madura terutama Bangkalan yang
memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Kedua, penelitian milik Rozalinna (2014)
10
dan Hidayat (2015) terkait adanya kontestasi yang terjadi di antara aktor-aktor lokal
tingkat desa dalam keterlibatan mereka pada kontestasi yang ada.
Kondisi masyarakat Madura, dalam hal ini di wilayah Bangkalan telah
dibuktikan oleh Rozaki (2004) bahwa terdapat dua aktor utama di dalam kehidupan
bermasyarakat, yaitu kiai dan blater1. Kiai yang diketahui selama ini sebagai aktor
tunggal yang mendominasi kehidupan di Madura, ternyata tidak sepenuhnya benar.
Pada daerah Bangkalan, keberadaan blater juga dapat menyaingi power dan massa yang
dimiliki oleh kiai. Secara historis, fenomena munculnya blater merujuk kepada sosok
jago sebagai orang kuat desa. Blater keberadaannya sangat dipandang di wilayah
Bangkalan, bahkan memiliki massa yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Selama ini penelitian seringkali hanya mengangkat peranan kiai namun luput
dari kiprah blater yang juga tidak kalah power dalam kehidupan di Madura. Mengingat
dalam sejarah pada masa kolonialis, pemerintah memanfaatkan blater sebagai alat
pengintai (informan) yang membuat eksistensi blater seolah terlindungi oleh kekuasaan
formal yang ada. Saling tukar menukar jasa untuk masing-masing kekuasaan yang
dimilikinya secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan
antar blater dan aparat negara. Bahkan fenomena ini masih terjadi hingga saat ini di
wilayah Madura.
Pada penelitian lainnya yang dilakukan Mutmainnah (2015), seorang blater
rajeh di Bangkalan dan dalam hal ini menduduki kedudukan sebagai pimpinan daerah
terbukti dapat mengorganisir massa untuk melakukan demonstrasi besar-besaran dalam
menuntut pembubaran Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) sebagai
bentuk perlawanan orang kuat lokal (yaitu blater rajeh) terhadap pemerintah pusat2.
1 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Tesis. 2004. 2 Mutmainnah, Perlawanan Orang Kuat Lokal Terhadap Pemerintah Pusat (Studi tentang Penolakan Terhadap BPWS di
Kabupaten Bangkalan. Disertasi. 2015
11
Perlawanan tersebut muncul setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto. Terdapat
dua fenomena yang menjadi bahasan menarik ketika membicarakan politik lokal di
Madura. Pertama bahwa otonomi daerah yang memberi kebebasan lebih luas bagi elit
politik lokal memberi ruang kepada mereka untuk tampil aktif di panggung politik.
Kedua yaitu program percepatan pembangunan Madura setelah selesainya
pembangunan Jembatan Suramadu yang digawangi oleh Badan Pengembangan
Wilayah Suramadu (BPWS) menimbulkan pertentangan dari pemerintah lokal Madura.
Orang kuat lokal tersebut mampu bertahan karena dapat menempatkan keluarga dan
orang dekatnya dalam struktur kekuasaan. Dia juga mampu mengendalikan kehidupan
ekonomi politik untuk tujuan kepentingan pribadi dan bahkan mampu memobilisasi
sumber daya (manusia, material, moral, kultural dan sosial organisasional). Mobilisasi
sumber daya yang dilakukan antara lain, memimpin aksi para pimpinan di Madura dan
walikota Surabaya mempersoalkan eksistensi BPWS melalui surat kepada Presiden
SBY dan Dewan Pengarah BPWS, demonstrasi menuntut pembubaran BPWS, judicial
review Perpes BPWS, lobi-lobi politik melalui Dewan Pembangunan Madura dan
menghalangi proses pembebasan tanah. Orang kuat lokal tersebut merepresentasikan
beberapa aktor di dalam dirinya, baik sebagai seorang turunan Kiai yang sangat
dipandang di Pulau Madura, seorang pimpinan daerah dan juga sebagai seorang blater.
Kedua penelitian tersebut membimbing peneliti dalam mendapatkan gambaran
setting aktor dominan yang berada di wilayah Bangkalan. Bahwasanya peneliti harus
mampu mengidentifikasi mana sajakah nantinya aktor yang dapat dikategorikan
sebagai kiai, blater ataupun keduanya yang terlibat dalam kontestasi pada pelaksanaan
program CSR di Desa Kusumah. Terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan
pada proses pengumpulan data di lapangan. Bisa terjadi bahwa mungkin saja di Desa
Kusumah hanya didominasi kuat oleh kiai atau blater atau bahkan memang ada
12
keduanya (baik pada individu yang berbeda atau merangkap pada satu individu yang
sama). Penelitian yang akan peneliti lakukan memiliki perbedaan ruang lingkup jika
dibandingkan pada dua penelitian terdahulu. Pada dua penelitian tersebut menjadikan
ruang lingkup tingkat kabupaten sebagai cakupan wilayah yang diteliti, sedangkan
peneliti hanya fokus kepada ruang lingkup di tingkat desa. Meski pada nantinya,
peneliti tidak menutup mata jika ada keterkaitan antara kiai dan blater di tingkat Desa
Kusumah dengan kiai dan blater di tingkat Kabupaten Bangkalan.
Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti juga merasa timbulnya kebutuhan
untuk mendalami penelitian terdahulu yang membahas terkait adanya kontestasi yang
melibatkan elite lokal dalam pengelolaan sumber daya. Rozalinna (2014) membuktikan
bahwa adanya kontestasi kepentingan yang berbeda antara aktor politik (terlibat dalam
pelaksanaan Pilkada) dan aktor lokal dalam menyelesaikan permasalahan krisis air di
Desa Liprak Kidul, Kabupaten Probolinggo3. Hal unik pada penelitian yang dilakukan
oleh Rozalinna adalah kontestasi yang identik pada perebutan sumber daya, namun kali
ini ditemukan kontestasi tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul di
masyarakat. Temuan di dalam penelitian ini yaitu krisis air diselesaikan di Desa Liprak
Kidul melalui intervensi yang dilakukan oleh para aktor lokal dan politik dengan
membawa kontestasi kepentingan di masing-masing pihak. Kematangan dalam dalam
membidik isu, arena dan strategi dalam wacana penyelesaian krisis air tidak hanya
semata dibaca sebagai proses pemenangan suara semata namun sebagai sarana
kontestasi kepentingan. Tetapi juga hasil strategi realisasi penyelesaian krisis air telah
dirasakan oleh masyarakat desa dalam dua bentuk yaitu terbentuknya HIPPAM
(Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum) dan masuknya PDAM di dalam
memenuhi kebutuhan air bersih.
3 G. M. Rozalinna, G. M. Penyelesaian Krisis Air Sebagai Kontestasi Kepentingan Para Aktor dalam Arena Pilkada (Studi di
Desa Liprak Kidul, Kabupaten Probolinggo). Tesis. 2014
13
Berbeda hal dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2015), kontestasi
yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah keterlibatan elit birokrat, elit lokal dan
elit politik dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
di Kabupaten Tulang Barat4. Program PNPM yang sebenarnya merupakan arena dialog
antara pemerintah dan warga masyarakat yang setara dengan melibatkan masyarakat
dalam merumuskan, mengambil keputusan hingga pelaksanaannya. Tetapi yang terjadi
adalah munculnya kontestasi para elit birokrat, elit lokal dan elit politik yang
mengatasnamakan masyarakat. Elit tersebut memiliki peran strategis pada pelaksanaan
PNPM di setiap daerah. Selanjutnya dalam konteks program pembangunan PNPM di
Tulang Bawang Barat, relasi kuasa dilihat sebagai arena terbangunnya relasi-relasi yang
memupuk banyak kepentingan. Seperti dominasi kuasa oleh pemerintah yang
memposisikan diri sebagai pemegang otoritas kekuasaan dan masyarakat berada pada
posisi inferior. Ruang publik yang seharusnya bebas dominasi tidak ditemukan dalam
penelitian ini. Penguasa semestinya tidak selalu memaksakan gagasan kepada
masyarakat, rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat menjadi faktor simetris
rendahnya kepedulian masyarakat itu sendiri dalam merespon program-program
pembangunan.
Kedua penelitian tersebut mengangkat isu kontestasi di dalamnya, tetapi dengan
latar belakang daerah dan isu kontestasi yang berbeda, Rozalinna berada di Pulau Jawa
dengan isu kontestasi penyelesaian krisis air dan Hidayat di Pulau Sumatera dengan isu
kontestasi pelaksanaan program milik pemerintah. Perbedaan yang dimiliki oleh
peneliti dengan kedua penelitian terdahulu adalah bahwa isu kontestasi yang diangkat
adalah bahwa kontestasi yang terjadi di Desa Kusumah bukanlah dalam hal
4 P. Hidayat, P. Kontestasi dan Relasi Kuasa dalam Pemberdayaan Masyarakat di Daerah (Studi Kasus pada Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang). Disertasi. 2015.
14
penyelesaian krisis yang terjadi di masyarakat, tetapi dugaan sementara berada pada
level perebutan kapital (simbolik, budaya, sosial dan ekonomi) dan justru
memungkinkan timbulnya krisis di masyarakat. Perbedaan lainnya adalah program
yang dilaksanakan adalah program milik perusahaan yang pada dasarnya memiliki
pengawasan pelaksanaan program yang lebih ketat jika dibandingkan dengan
pelaksanaan program milik pemerintah.
Pemaparan rencana penelitian yang akan peneliti lakukan jika dibandingkan
dengan keempat penelitian yang sudah dipaparkan terdahulu dirasa cukup sebagai
modal untuk melakukan penelitian lapangan. Baik wawasan dari sisi setting masyarakat
Madura dan isu kontestasi yang terjadi. Fokus penelitian ini adalah kepada ruang
lingkup wilayah tingkat desa di Pulau Madura yaitu di Desa Kusumah (Kabupaten
Bangkalan) dengan menyasar pada pelaksanaan program milik perusahaan, yaitu
program CSR milik PHE WMO.
1.5. Kerangka Teoritik
1) Habitus, Arena dan Kapital
Melihat fenomena pada masyarakat Bangkalan dalam hal ini kontestasi elite
lokal yang terjadi di Desa Kusumah setidaknya dapat kita kaji dengan melihat latar
belakang habitus dan kapital yang ada pada elite lokal yang terlibat di arena. Bagi
Bourdieu, habitus tidak sekedar kebiasaan yang identik dari dalam diri seseorang.
Tetapi lebih dari itu yaitu:
“System of durable, transposable, disposition, structured structures
predisposed to function as structuring structures, that is, as principles of
the generation and structuring of practices and representations which can
be objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without anyway being the product
of obedience to rules, objectively adopted to their goals without
presupposing a conscius aiming at ends or an express mastery of the
operations necessary to attain them and, being all this, collectively
orchestrated without being the product of the orchestrating action of a
conductor.” Bourdieu (dikutip oleh Krisdinanto 2014)
15
Pendapat lain disampaikan Ritzer (Ritzer and Goodman, 2004) dengan
meringkasnya yaitu habitus merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan
aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau
pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi
tindakan mereka dan juga menilainya. Atau dapat dikatakan habitus sebagai produk
dari internalisasi struktur dunia sosial. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh
kehidupan sosial. Kiai dan blater saat ini tentunya melihat para pendahulu mereka
yang dijadikan sebagai acuan dalam hal bersikap dan berpikir. Dari proses
pengamatan dan peniruan tingkah laku yang terjadi dalam stuktur sosial yang ada
itulah diinternalisasikan oleh para agen.
Habitus bisa juga dikatakan sebagai akibat dari lamanya orang tersebut dalam
kehidupan sosial yang ia duduki (Krisdinanto, 2014). Dalam hal ini seorang blater
ataupun kiai tentunya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sudah dijalani dalam
tempo yang tidak sebentar. Orang yang menduduki posisi yang sama cenderung
memiliki kebiasaan yang sama. Kasus tersebut merupakan gambaran dari habitus
yang menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia
sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya
tak dapat dipaksakan sama kepada seluruh aktor. Habitus yang ada pada waktu
tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama
periode historis relatif panjang, Bourdieu (dikutip oleh Krisdinanto 2014). Dalam
konteks elite lokal yang berada di Desa Kusumah, dengan latar belakang yang sama-
sama sebagai blater, tetapi memiliki pengalaman dan latar belakang yang berbeda.
Perbedaan guru atau panutan dari kelompok blater yang mereka ikuti pada masa
merintis sebagai blater, bisa jadi menjadi penyebab perbedaan habitus yang terbentuk
16
di kehidupan para elite lokal tersebut. Habitus yang terbentuk di antara keduanya
merupakan hasil kolektif yang sudah terjadi bertahun-tahun, semenjak saat merintis
dari blater kene’ (kecil).
Habitus dan ranah (arena) tidak dapat saling dipisahkan, mengingat keduanya
memiliki hubungan dua arah, struktur-strukur di bidang sosial dan struktur-struktur
habitus yang telah terintegrasi pada perilaku (Mahar & Harker, 2010). Habitus
terletak pada dalam diri dan pikiran aktor, sedangkan ranah (arena) berada di luar diri
dan pikiran aktor. Bagi Bourdie ranah (arena) adalah:
“In analytic terms, a field may be defined as a network, or a configuration,
of objective relations between positions. These positions are objectively
defined, in their existence and in the determinations they impose upon their
occupants, agents or institutions, by their present and potential situation in
the structure of the distribution of species of power (or capital) whose
possesion commands access to the specific profits that are at stake in the
field, as well as by their objective relation to other positions (domination,
subordination, homology, etc).” Bourdieu & Wacquant (dikutip oleh
Krisdinanto 2014)
Agen-agen tidak berputar di ruang hampa tetapi dalam situasi sosial yang
terjadi dan diatur oleh seperangkat relasi sosial yang obyektif. Keadaan sosial yang
ada tidak dapat terlepas dalam ranah (arena) yang terorganisasi secara hirarkis
(ekonomi, pendidikan, politik dan lainnya). Meski tiap ranah (arena) otonom namun
tetap memiliki keterkaitan satu sama lain karena ditentukan oleh relasi-relasi di
antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di ranah (arena) tersebut. Perubahan
posisi-posisi agen menyebabkan perubahan struktur ranah (arena), Bourdieu (dikutip
oleh Krisdinanto 2014).
Ranah (arena) juga dapat dipahami ketika melihat ranah (arena) bukan dalam
pertarungan fisik tetapi adanya pertarungan simbolik di dalamnya. Kuasa simbolik,
kekerasan simbolik dan relasi simbolik menjadi istilah yang digunakan dalam
melihat persaingan di area ranah (arena) dan dapat menggambarkan proses
17
reproduksi sosial yang melibatkan agen-agen dalam suatu ranah (arena). Setiap agen
memiliki kapital dan habitus yang berbeda, tetapi perbedaan tersebut yang menjadi
bahan di dalam kontestasi di antara agen-agen tersebut, Bourdieu (dikutip oleh
Krisdinanto 2014).
Pada tahap selanjutnya Bourdieu juga menyebutkan bahwa kapital memiliki
peranan penting bagi para agen untuk berkontestasi di dalam ranah (arena). Bourdie
menyebutkan kapital yang diperlukan adalah:
“....These fundamental social powers are, according to my empirical
investigation, firstly economic capital, in its varius kinds; secondly cultural
capital or better, informational capital, again in it different kinds; and
thirdly two forms of capital that are very strongly correlated, social capital,
which consists of resources based connections and grup membership, and
symbolic capital, which is the form of the different types of capital take once
they are perceived and recognized as legitimate.” Calhoun (dikutip oleh
Krisdinanto 2014)
Kapital simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang
memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui
kekuasaan fisik dan ekonomi, karena akibat dari adanya mobilisasi. Kapital simbolik
dalam hal masyarakat di Madura dapat dilihat dari adanya gelar keagamaan di depan
nama aslinya, seperti gelar Haji ataupun Kiai (Haryatmoko, 2003).
Kapital sosial terlihat dari hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-
hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Kapital sosial atau jaringan sosial ini
dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain
yang memiliki kuasa (Haryatmoko, 2003).
Keempat kapital tersebut tersebar tidak merata di antara kelas-kelas sosial.
Kepemilikan kapital ekonomi misalnya, hal tersebut tidak berarti seorang agen juga
otomatis memiliki kapital kultural atau simbolik. Keempat kapital tersebut tidak
otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah (arena). Mengingat pada
18
setiap ranah (arena) membutuhkan kapital yang berbeda-beda, tergantung dari
sesuatu yang diperjuangkan tersebut. Kapital memiliki kaitan erat dengan habitus.
Kapital menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kontestasi agen di dalam
ranah (arena) dan di sisi lain ranah (arena) memerlukan kapital sebagai penentu
penting di dalamnya, Bourdieu (dikutip oleh Krisdinanto 2014).
Pemikiran Bourdieu mengenai habitus, arena dan kapital, peneliti anggap
dapat menjelaskan bagaimana realita yang terjadi di lapangan. Elite lokal yang
terlibat dalam perebutan akses program CSR PHE WMO dapat dianalisa dari habitus
yang mereka miliki kemudian menjalankan strategi untuk berkontestasi di dalam
arena untuk menguasai kapital. Elite lokal yang berhasil menjalankan strategi di
dalam penguasaan arena dan kapital selanjutnya menjadi elite yang mendominasi di
dalam pelaksanaan program CSR PHE WMO.
2) CSR Ajang Kontestasi Elite Lokal
Sedikitnya ada tiga macam perbedaan (Usman, 2007) yang sering menjadi
sumber atau akar konflik, yaitu perbedaan kepentingan (interest), pemahaman
(understanding) dan ideologi atau keyakinan. Konflik perbedaan kepentingan terjadi
bersamaan dengan adanya pembagian atau distribusi resources, fasilitas, pelayanan
dan kesempatan yang tdak adil (terjadi perbedaan akses). Pembahasan masalah
konflik yang terkait dengan perbedaan kepentingan sangat tergantung pada seberapa
jauh tingkat penguasaan pada resources, fasilitas, pelayanan dan kesempatan.
Semakin besar manipulasi dan monopoli kelompok tertentu pada resources, fasilitas,
pelayanan dan kesempatan yang dibutuhkan secara kolektif, semakin keras konflik
yang terjadi. Semakin terisolir kelompok tertentu semakin keras pula kemungkinan
konflik yang terjadi.
19
Kontestasi memposisikan para aktor politik tidak hanya berjuang untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain yang mereka wakili namun juga
berjuang dalam menetapkan aturan maupun prosedur yang konfigurasinya dapat
menentukan siapa yang akan menang atau kalah di masa mendatang. Aturan-aturan
inilah yang akan menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh
dimobilisasi ke dalam arena politik serta aktor-aktor mana yang boleh masuk.
Budiarjo (dikutip oleh Rozaki 2004), kekuasaan dianggap sebagai kemampuan
pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga
tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang
mempunyai kekuasaan. Dalam hal ini para penerima bantuan seakan dipengaruhi
oleh para elite lokal untuk mengikuti strategi yang dimiliki. Ketika mengikuti
keinginan yang dimiliki oleh elite lokal maka distribusi program akan berjalan
menuju kelompok/individu tersebut. Para elite lokal dan penerima manfaat dari
pelaksanaan Program CSR PHE WMO juga dapat digambarkan menjadi hubungan
timbal balik yang didalamnya melibatkan aktor yang menjadi patron dan lainnya
sebagai client.
1.6. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan sistematika penulisan
sebagai berikut. Bab I yaitu pendahuluan menyampaikan latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, tinjauan pustaka
dan kerangka penelitian serta sistematika penulisan. Bab II berisikan metode penelitian
yang secara rinci memaparkan lokasi penelitian, informan penelitian, jenis dan sumber
penelitian serta metode analisis data. Bab III akan menyampaikan latar belakang dan
sekilas sejarah pelaksanaan Program CSR PHE WMO di wilayah operasi perusahaan
20
dan kondisi masyarakat di wilayah operasi perusahaan. Bab IV mengurai pembahasan
mengenai peta kekuasaan antara kiai, blater dan kiai-blater. Pembahasan terkait
kontestasi dalam arena kegiatan yang didominasi oleh blater terdapat pada Bab V.
Sedangkan uraian mengenai blater yang menjadi penentu bantuan program CSR
terhadap para penerima manfaat berada pada Bab VI. Bab VII menjadi bagian penutup
dari laporan hasil penelitian yang dilakukan dan di dalamnya berisikan kesimpulan dan
saran yang merefleksi dari hasil temuan di lapangan.