bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · hukum secara perdata. ... kitab undang-undang hukum...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial. Dalam menjalankan
kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat dan saling
membentuk hubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam. Pemenuhan kebutuhan manusia
sebagaimana dimaksud diatas akan dapat tercapai bilamana manusia itu sendiri
mengadakan hubungan dimana dalam hubungan ini akan melahirkan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik.
Hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban sejenis ini disebut dengan
hubungan hukum, dalam arti bahwa tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua
sisi, pada satu sisi ia merupakan hak dan pada sisi lainnya ia merupakan
kewajiban.
Dalam keberlakuannya, hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam
masyarakat tidak selalu akan berjalan dengan lancar dengan pengertian bahwa
hubungan-hubungan hukum sebagaimana dimaksud diatas dalam perjalanannya
sangat dimungkinkan akan menimbulkan konflik. Demi terwujudnya prinsip
negara hukum yang menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
yang dijiwai oleh kebenaran dan keadilan, maka dibutuhkan berbagai regulasi
yang mengatur mengenai hal tersebut.
2
Dalam tataran yang luas, regulasi-regulasi sebagaimana dimaksud diatas
berbentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan sebagainya. Namun hal ini belumlah cukup karena begitu
kompleksnya dinamika perkembangan masyarakat serta di sisi lain, sifat
pengaturan dari regulasi-regulasi tersebut yang menjangkau secara umum dalam
artian sifat pengaturannya tidak melingkupi kebutuhan-kebutuhan para subyek
hukum secara perdata.
Tidak diakomodirnya kebutuhan-kebutuhan para subyek hukum
sebagaimana dimaksud diatas dalam tataran yang lebih sempit dapat dirangkum
dan diatur secara individu dalam suatu perjanjian yang dibuat antar subyek hukum
tersebut, baik antara orang perseorangan dengan badan hukum, antara sesama
orang perserorangan maupun antara sesama badan hukum. Walaupun dibuat
secara individu, sejatinya daya ikat suatu perjanjian dapat disamakan dengan
undang-undang. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat dengan KUH
Perdata) yang mengamanatkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata didefinisikan sebagai “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”. Terkait dengan itu, perjanjian menurut namanya dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan
perjanjian innominaat (tidak bernama). Perjajian nominaat adalah perjanjian atau
kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. Hal-hal yang termasuk dalam
3
perjanjian nominaat ini adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa,
persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,
pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. Sedangkan
perjanjian innominaat adalah perjanjian yang belum diatur dalam KUH Perdata
dan perjanjian jenis ini timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.1
Dalam keberlakuannya, jenis perjanjian yang paling sering ditemui di
masyarakat adalah perjanjian jual beli barang dan/atau jasa, baik berbentuk tertulis
maupun lisan. “Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam bentuk tulisan”.2 Perjanjian jenis ini lumrahnya digunakan bagi
obyek perjanjian yang nilai ekonomisnya tinggi, seperti tanah dan bangunan.
Sedangkan perjanjian lisan adalah “suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak
dalam bentuk lisan (cukup kesepakatan para pihak)”.3 Umumnya perjanjian lisan
digunakan sebagai tanda kesepakatan hubungan transaksional para pihak yang
berkenaan dengan nilai ekonomis obyek perjanjiannya dalam kisaran menengah
ke bawah seperti halnya kendaraan, furniture, dll.
Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang semakin pesat
dewasa ini yang sejalan dengan perkembangan globalisasi telah membawa
berbagai dampak positif diantaranya adalah terciptanya internet. Dengan adanya
internet tidak dapat dipungkiri membawa berbagai pengaruh pada setiap aspek
kehidupan manusia tak terkecuali dalam hal perjanjian itu sendiri yang awalnya
1H. Salim HS., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS. I), h. 1.
2H. Salim HS., H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, Ed. I, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
3Ibid.
4
berbentuk konvensional (tertulis dan lisan) kini telah muncul suatu bentuk
perjanjian baru, yaitu perjanjian atau kontrak elektronik.
Tanpa mengenal batasan ruang dan waktu, para subyek hukum yang
berbeda wilayah dalam satu waktu yang sama dapat mengikatkan dirinya dalam
konteks hubungan transaksionalnya. Solusi dari perikatan sebagaimana dimaksud
adalah menuangkannya dalam bentuk perjanjian/kontrak elektronik.
Perjanjian/kontrak elektronik menurut Pasal 1 angka 17 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (yang selanjutnya disingkat dengan UU ITE) merupakan suatu
perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Mengenai Sistem
elektronik itu sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE yang
menyatakan bahwa “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
Adapun yang menjadi ciri-ciri khusus dari perjanjian/kontrak elektronik
adalah “dapat terjadi secara jarak jauh bahkan dapat melampaui batas-batas suatu
negara melalui internet dan para pihak dalam perjanjian/kontrak elektronik tidak
pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah
bertemu”.4
Berkaitan dengan uraian diatas, dalam transaksi jual beli online secara
umum kondisinya adalah pihak pembeli tidak dapat melihat maupun mencoba
4Sukarmi, 2008, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, Bandung, h. 140.
5
fisik barang yang menjadi obyek perjanjian secara langsung. Dikatakan demikian
karena pada umumnya mekanisme dalam transaksi jual beli online berbasis media
internet antara pihak penjual dengan pihak pembeli melakukan transaksi tanpa
melalui tatap muka dimana hal ini diawali dengan tindakan pihak pembeli yang
melakukan pencarian katalog barang yang diinginkan melalui sebuah situs
internet. Setelah itu, bila pihak pembeli telah menentukan pilihan atas barang yang
dikehendaki, maka ia akan menghubungi kontak yang tertera pada katalog barang
tersebut, baik melalui media telepon, email, Blackberry Messenger, dll., lalu
bersepakat untuk melakukan transaksi. Di akhir prosesnya yang biasanya
dikarenakan perbedaan tempat antara pihak penjual dan pihak pembeli yang
cukup jauh, lumrahnya barang yang telah disepakati akan dikirimkan melalui jasa
pengiriman barang (ekspedisi), yang tentunya telah dibayarkan terlebih dahulu
oleh pihak pembeli baik melalui transfer rekening antar bank maupun melalui
media pembayaran lainnya.
Sebagai contohnya adalah dalam situs berniaga.com. Situs ini merupakan
situs jual beli online berbasis media internet yang beroperasi di bawah bendera
perusahaan PT. 701 Search, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan
media patungan antara Singapore Press Holdings (SPH) dan Schibsted Classified
Media (SCM). Situs ini sudah beroperasi sejak Desember 2009 dan menawarkan
jasa penjualan barang secara gratis, seperti properti, kendaraan, furniture, barang-
barang elektronik, dan lain-lain,5 sepanjang barang-barang tersebut adalah barang-
barang yang diperbolehkan/tidak dilarang menurut hukum positif Indonesia.
5Wikipedia, 2014, “berniaga.com”, http://id.wikipedia.org/wiki/berniaga.com, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2014.
6
Lumrahnya pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs ini
adalah orang perseorangan yang langsung memiliki barang second hand atau
bekas pakai namun kondisinya tetap laik untuk digunakan.
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa situs berniaga.com merupakan situs
internet yang menawarkan jasa penjualan untuk berbagai jenis barang dimana
pada hakikatnya situs ini hanya sebagai perantara pihak penjual dan pihak pembeli
dalam hubungan transaksionalnya, dalam artian bahwa situs ini bukanlah situs
jual beli online berbasis media internet yang secara langsung melakukan kegiatan
perdagangan barang.
Dengan kondisi yang sedemikian rupa, dimana pihak penjual dan pihak
pembeli yang tidak melakukan tatap muka dalam transaksinya ditambah dengan
pihak pembeli yang tidak dapat melihat maupun mencoba fisik barang/obyek
perjanjian secara langsung, sangat dimungkinkan menimbulkan permasalahan.
Dikatakan demikian, bilamana setelah barang sebagaimana dimaksud diatas
diserahkan kepada pihak pembeli ternyata mengandung suatu cacat tersembunyi.
Terlebih lagi, dalam melakukan hubungan transaksionalnya, para pihak seakan
telah mempercayai satu sama lain sehingga tidak sedetail mungkin merumuskan
perjanjian tersebut.
Dalam UU ITE sendiri tidak mengatur secara eksplisit mengenai cacat
tersembunyi sebagaimana dimaksud diatas dan segala akibat yang dapat
ditimbulkan. UU ITE hanya mengatur mengenai keharusan pelaku usaha untuk
menyediakan informasi yang lengkap dan benar tentang syarat kontrak, produsen,
dan produk yang ditawarkan sebagaimana rumusan Pasal 9 yang menyatakan
7
bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan”.
Dalam Penjelasannya ditentukan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘informasi
yang lengkap dan benar’ meliputi:
a. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun
perantara; dan
b. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya
perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti
nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa”.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU ITE, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik (untuk selanjutnya disingkat dengan PP PSTE) dalam Pasal 49 ayat (2)
mengamanatkan bahwa “Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi
tentang penawaran kontrak atau iklan”. Sedangkan dalam ayat (3) dinyatakan
bahwa “Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk
mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau
terdapat cacat tersembunyi”.
Frasa “informasi yang lengkap dan benar” sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 UU ITE dan frasa “kejelasan informasi tentang penawaran kontrak” dalam
ketentuan Pasal 49 ayat (2) PP PSTE sejatinya sama sekali tidak menyinggung
tentang cacat tersembunyi itu. Hanya dalam rumusan Pasal 49 ayat (3) PP PSTE
8
ditentukan batas waktu bagi konsumen untuk mengembalikan barang yang
mengandung cacat tersembunyi.
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada satupun
penjelasan yang definitif mengenai cacat tersembunyi. Dalam KUH Perdata
sendiri juga tidak dirumuskan secara eksplisit mengenai apa itu cacat tersembunyi.
Perumusan cacat tersembunyi dalam KUH Perdata hanya sebatas kewajiban
penanggungan pihak penjual terhadap pihak pembeli dimana hal ini senada
dengan ketentuan Pasal 49 ayat (3) PP PSTE. Hal ini secara eksplisit dinyatakan
dalam Pasal 1491 KUH Perdata yang mengamanatkan bahwa “Penanggungan
yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin 2
(dua) hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram;
kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang
sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.
Terkait dengan uraian diatas, terdapat frasa “menerbitkan alasan untuk
pembatalan pembeliannya”. Frasa ini sejatinya mengarah pada batalnya perjanjian
jual beli (secara elektronik) sebagai akibat dari adanya cacat tersembunyi pada
barang/obyek perjanjian. Namun yang menjadi persoalan adalah batalnya
perjanjian tersebut dikualifikasikan sebagai apa? Apakah perjanjian yang
bersangkutan dapat dibatalkan ataukah perjanjian tersebut batal demi hukum.
Karena hal tersebut akan berimplikasi pada klasifikasi cacat tersembunyi itu
sendiri sebagai suatu hal yang melanggar atau tidak memenuhi syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
9
Di sisi lain, sebagaimana perumusan Pasal 9 UU ITE yang telah disebutkan
diatas, terdapat frasa “Pelaku usaha”. Frasa ini seakan multitafsir karena tidak
jelas siapa yang dimaksud dengan pelaku usaha tersebut. Merujuk pada Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disingkat dengan UU PK) menyatakan
bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan
pasal ini mengamanatkan bahwa: “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian
ini adalah perusahaan, korporasi, badan usaha milik negara, koperasi, importir,
pedagang, distributor, dan lain-lain”.
Apabila dicermati rumusan Penjelasan pasal diatas, bahwa Pelaku usaha
yang dimaksud adalah pelaku usaha yang berskala besar dimana dalam
menjalankan kegiatan usahanya lebih ditujukan untuk kepentingan
bisnis/usaha/profesinya.
Bilamana dikaitkan dengan kegiatan jual beli melalui perantara situs
berniaga.com sebagaimana dimaksud diatas, maka peraturan perundang-undangan
tersebut sejatinya belum mengatur secara detail mengenai cacat tersembunyi yang
sangat dimungkinkan terjadi dalam kerangka hubungan transaksional para pihak
tanpa adanya tatap muka. Di sisi lain, UU ITE juga belum merumuskan secara
jelas siapa yang dimaksud pelaku usaha, apakah pelaku usaha tersebut meliputi
10
pihak penjual barang second hand milik pribadi yang bukan termasuk ke dalam
golongan professional seller.
Tidak jelasnya rumusan norma dalam Pasal 9 UU ITE dapat mengakibatkan
multitafsir mengenai tanggung jawab pihak penjual dan akibat hukum yang dapat
ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli
dengan sistem elektronik.
Berdasarkan adanya kekaburan norma (vague van normen) ini, maka sangat
menarik untuk disusun skripsi dengan judul : “Tanggung Jawab Pihak Penjual
Terhadap Cacat Tersembunyi Pada Barang/ObyekPerjanjian Jual Beli Dengan
Sistem Elektronik”.
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan,
adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada 2 (dua)
hal, yaitu:
1. Apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs
berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan dengan
pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat pada
barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik?
2. Bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat
tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik
yang telah diserahkan kepada pihak pembeli?
11
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapatkan gambaran umum tentang apa yang akan diuraikan
dalam skripsi ini, maka perlu kiranya ditentukan lingkup permasalahannya
sebagai berikut:
Terhadap permasalahan pertama, akan dikemukakan tentang kualifikasi dan
tanggung jawab pelaku usaha sebagai pihak penjual dalam transaksi jual beli
online melalui situs berniaga.com terhadap cacat tersembunyi pada barang/obyek
perjanjian, yang berkaitan dengan pengertian pelaku usaha, kedudukan pihak
penjual dalam transaksi jual beli online melalui situs berniaga.com, hak dan
kewajiban pihak penjual, serta tanggung jawab pihak penjual.
Terhadap permasalahan kedua, akan dijabarkan mengenai akibat hukum
yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek
perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang telah diserahkan kepada pihak
pembeli, dalam hal ini dapat berupa pembatalan perjanjian, pemenuhan prestasi
oleh pihak penjual (dengan atau tanpa disertai ganti rugi) atau pemutusan
perjanjian.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
yang menyangkut masalah “Tanggung Jawab Pihak Penjual Terhadap Cacat
Tersembunyi Pada Barang/Obyek Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem
Elektronik”, tidak ditemukan karya tulis yang sama meneliti tentang hal tersebut.
12
Untuk menjamin orisinalitas penelitian dalam skripsi ini, maka disajikan beberapa
penelitian sebelumnya yang mengangkat tema yang serupa, diantaranya:
Moh. Yuda Sudawan, 2013, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, dengan judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Virtual
Office”, menggunakan metode penelitian yuridis empiris, dengan perumusan
masalah : Pertama, bagaimana keabsahan perjanjian sewa-menyewa online kantor
perusahaan pada Virtual Office?. Kedua, bagaimana tanggung jawab hukum
penyedia jasa Virtual Office?.
Rizsky Marlina Lubis, 2009, Skripsi Fakultas Hukum Univesitas Sumatera
Utara, Medan, dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Pelaku
Usaha dalam Memberikan Informasi Produk pada Transaksi E-Commerce”,
menggunakan metode yuridis normatif, dengan perumusan masalah: Pertama,
Apakah batasan-batasan terhadap informasi yang lengkap dan benar dalam
transaksi E-commerce?, kedua, bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha
jika tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan informasi yang lengkap
dan benar dalam transaksi E-commerce?, ketiga, apakah ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha terhadap pertanggung jawaban
tersebut dapat diterapkan?.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum
dan tujuan yang bersifat khusus.
13
1.5.1 Tujuan umum.
1. Untuk mengetahui apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya
melalui situs berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan
dengan pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat
pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari
adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem
elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli.
1.5.2 Tujuan khusus.
Berdasarkan pada tujuan umum diatas dan dengan menekankan pada aspek
normatifnya, adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan
yang dibahas, yakni:
1. Untuk memahami apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya
melalui situs berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan
dengan pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat
pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik.
2. Untuk memahami bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari
adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem
elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik yang bersifat
teoritis maupun manfaat praktis, diantaranya:
14
1.6.1 Manfaat teoritis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran sebagai penambah wawasan ataupun refrensi melalui
pemahaman terhadap konsep tanggung jawab pihak penjual terhadap cacat
tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik
beserta akibat hukum yang dapat ditimbulkannya.
1.6.2 Manfaat praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman
untuk menyelesaikan permasalahan sejenis baik bagi pemerintah, pengusaha,
mahasiswa atau siapapun yang berkaitan dengan kegiatan transaksi jual beli
online melalui situs internet.
1.7 Landasan Teoritis
Teori berasal dari kata theoria dalam Bahasa Latin yang berarti perenungan,
dan kata theoria itu sendiri berasal dari kata thea yang dalam Bahasa Yunani
berarti cara atau hasil pandang.6 Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: Konsep tanggung jawab, Asas konsensualisme, Asas pacta
sunt servanda serta Asas iktikad baik.
6Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Elsam dan Huma, Jakarta, h. 179.
15
1.7.1 Konsep tanggung jawab.
Secara terminologi, tanggung jawab berarti “keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut), dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya ”.7
Menurut Frans Magnis Suseno, tanggung jawab merupakan kesediaan
dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Respondeo ergo
sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada), demikian tegas Emmanuel Levinas.
Adapun uraiannya sebagai berikut: kebebasan memberikan pilihan bagi manusia
untuk bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, manusia wajib bertanggung
jawab atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral baru akan
mempunyai arti apabila manusia tersebut mampu dan/atau mau bertanggung
jawab atas pilihan yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana
dikatakan, bahwa pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditujukan
bagi orang yang dapat dan/atau mau bertanggung jawab.8
Berkenaan dengan uraian diatas, konsep tanggung jawab ditinjau dari sudut
pandang yuridis merumuskan bahwa subyek hukum diwajibkan menanggung
segala akibat dari perbuatannya baik karena kesengajaan maupun karena
kealpaan. Dalam hal ini, “Hans Kelsen mengemukakan sebuah teori yang ia sebut
dengan teori tradisional, dimana dalam teori ini, tanggung jawab dibedakan
7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 1006. 8Frans Magnis Suseno, 2000, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, h. 87.
16
menjadi 2 (dua) macam, yaitu (a) tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan;
dan (b) tanggung jawab mutlak”.9
Tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan baik karena kesengajaan
maupun kealpaan merupakan suatu tanggung jawab yang dibebankan kepada
subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan yang dinilai melanggar
hukum. Sedangkan tanggung jawab mutlak, bahwa perbuatannya menimbulkan
akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu
hubungan eksternal antara perbuatannya dengan akibatnya. Tiadanya keadaan
jiwa si pelaku dengan akibat perbuatannya.10
1.7.2 Asas konsensualisme.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata merumuskan bahwa “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Istilah ‘secara sah’ bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian
yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 KUH Perdata),
karena di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap
pemenuhan perjanjian.11
Secara sederhana, asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup
9H. Salim HS., Erlis Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Disertasi dan Tesis (Buku Kedua), Cet. I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 211. 10Ibid., h. 212. 11Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersil, Ed. I, Cet. II, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 120.
17
dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.12
Dikaitkan dengan bentuk perjanjian elektronik, sejatinya para pihak dalam
kerangka hubungan transaksionalnya telah bersepakat untuk menuangkannya
dalam bentuk tersebut. Tanpa didasari kesepakatan para pihak akan
mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah dan juga tidak mengikat sebagaimana
layaknya suatu undang-undang.
1.7.3 Asas pacta sunt servanda.
Pada dasarnya janji itu mengikat, sehingga perlu diberikan kekuatan untuk
berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikat suatu
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan
mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya
undang-undang. Asas pacta sunt servanda merupakan konsekuensi logis dari efek
berlakunya kekuatan mengikat suatu perjanjian13 dimana hal ini secara tegas
dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Asas pacta sunt servanda ini pada dasarnya mengandung makna bahwa:14
1. Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; dan
2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang termaktub
dalam perjanjian merupakan suatu pelanggaran terhadap janji tersebut dan akan
berakibat pada perjanjian itu sendiri.
12H. Salim HS., 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS. II), h. 10.
13Agus Yudha Hernoko, op. cit., h. 124. 14Harry Purwanto, 2009, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional”, Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 1, Februari 2009, h. 162.
18
Dengan adanya suatu cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual
beli dengan sistem elektronik, maka akan dapat berakibat pada perjanjian itu
sendiri, baik berupa pembatalan perjanjian atau pemutusan perjanjian itu sendiri.
1.7.4 Asas iktikad baik.
Rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata ‘iktikad’ didefinisikan sebagai “kepercayaan, keyakinan yang
teguh, maksud, kemauan (yang baik)”.15 Jadi dapat dirumuskan bahwa asas
iktikad baik ini adalah asas yang menghendaki dan/atau mengharuskan para pihak
melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik.
Asas iktikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan
sifatnya, yaitu iktikad baik nisbi (relatif-subyektif) dan iktikad baik mutlak
(absolut-obyektif). Pada iktikad baik yang nisbi (relatif-subyektif), orang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik
yang absolut-obyektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat
ukuran obyektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian
tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif).16
Khusus mengenai iktikad baik yang bersifat relatif-subyektif memiliki
keterkaitan yang erat dengan tindakan pihak penjual yang menjual barang
dagangannya yang mengandung suatu cacat tersembunyi. Bilamana pihak penjual
15Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 369. 16Agus Yudha Hernoko, op. cit., h. 137.
19
telah mengetahui sebelumnya bahwa barang yang diperdagangkannya
mengandung cacat tersembunyi dan ia tidak juga memberi informasi yang lengkap
dan benar kepada pihak pembeli akan hal itu, maka dapat dikatakan bahwa pihak
penjual tersebut telah melanggar asas iktikad baik. Hal ini akan melahirkan suatu
tanggung jawab yuridis bagi pihak penjual itu sendiri.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yaitu “suatu cara untuk mendapatkan data-data dari bahan-bahan
kepustakaan terutama yang berhubungan mengenai masalah hukum”.17 Penelitian
hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam Law in Book
(yang dikonsepsikan sebagai apa yang termaktub dalam peraturan perundang-
undangan) dan bahan hukum lain di luar peraturan perundang-undangan seperti
doktrin atau pendapat para sarjana.
Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma tentang maksud dari frasa
“informasi yang lengkap dan benar” dan frasa “pelaku usaha” dalam rumusan
Pasal 9 UU ITE dimana pada akhirnya kekaburan norma ini bermuara pada tidak
jelasnya batasan ruang lingkup pelaku usaha dalam konteks sebagai pihak penjual
dalam transaksi jual beli online melalui situs internet yang menawarkan jasa
penjualan barang, ruang lingkup mengenai cacat tersembunyi, pertanggung
jawaban pihak penjual tersebut serta akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari
17Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 41.
20
adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem
elektronik.
1.8.2 Jenis pendekatan.
Jenis pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani,18 dimana dalam kaitan dengan penelitian ini, pengkajian dan
penelaahan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tanggung jawab pihak penjual dikaitkan dengan adanya cacat tersembunyi
pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. Pendekatan
konseptual dilakukan dengan cara menemukan konsep-konsep yang terkait
dengan permasalahan yang sedang diteliti.
1.8.3 Sumber bahan hukum.
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer, terdiri dari:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan Burgelijk Wetboek oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio);
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik;
18Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 93.
21
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen; dan
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau
menunjang bahan hukum primer dimana pada akhirnya akan memperkuat
penjelasan dalam penelitian ini, yang diantaranya meliputi: literatur-literatur,
jurnal-jurnal hukum, dan karya tulis dalam bidang hukum (tesis/ skripsi) serta
bahan hukum tertulis lainnya yang terkait.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang sifatnya membantu atau
menunjang bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya terdiri dari kamus
dan ensiklopedia hukum serta tulisan-tulisan yang diakses melalui internet
yang tentunya masih relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti
dalam tulisan ini.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum.
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan sistem bola salju
(snow ball system) dimana hal ini diawali dengan pencarian literatur, dari satu
literatur dengan merujuk pada daftar pustaka untuk kemudian dicatat dan
dilakukan pencarian literatur lainnya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
22
Demikian untuk seterusnya sehingga bahan hukum telah dirasa cukup untuk
membahas permasalahan.
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum.
Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan
adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isu hukum
dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan
pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis
dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana.19
Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran
sistematis dilakukan dengan titik tolak dari suatu konsep/aturan hukum dan
mengkaitkannya dengan konsep/aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran
secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan
secara keseluruhan atau bagian-bagiannya per kalimat menurut bahasa hukum
ataupun bahasa keseharian.
19I Wayan Ananda Yadnya Putra Wijaya, 2013, “Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Risalah Lelang” Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 36.