bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah 1.pdf2 lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat...

38
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini masyarakat di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya sedang mengalami suatu perubahan yang signifikan di segala bidang. Bali yang merupakan pulau memiliki keindahan dari unsur-unsur yang terkandung di dalamnya seperti adat, budaya, tradisi dan agama yang memiliki suatu relevansi yang saling mendukung satu sama lain. Keadaan seperti ini membuat Bali yang dikenal dengan pulau dewata atau pulaunya para dewa dan pulau seribu pura, hal ini membuat Bali dikenal tidak hanya dilingkup nasional melainkan juga dilingkup dunia internasional. Di lain sisi, terkenalnya Bali hingga di tingkat dunia internasional tidak serta merta memberikan dampak yang positif, akibat dari hal ini masyarakat Bali sendiri tidak luput dari dampak proses globalisasi yang seakan memaksa moral orang-orang Bali itu sendiri harus mengikuti keadaan. Proses globalisasi memberikan banyak kelonggaran dan kebebasan yang hampir tidak terbatas disegala bidang yang mempengaruhi nilai-nilai yang tertanam di dalam benak-benak masyarakat Bali, seperti nilai ketuhanan yang mencakup ajaran-ajaran agama Hindu. Nilai dalam ajaran agama Hindu yang dimaksudkan disini seperti ajaran (Tri Hita Karana,Tat Twam Asi, Tri Kaya Parisudha), nilai kesusilaan yang mencakup tetang tata cara berperilaku di masyarakat, nilai kesopanan yang mencangkup sifat toleransi dan saling menghormati antar sesama manusia di dalam sebuah lingkungan, entah itu

Upload: vuphuc

Post on 11-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masyarakat di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada

khususnya sedang mengalami suatu perubahan yang signifikan di segala bidang. Bali

yang merupakan pulau memiliki keindahan dari unsur-unsur yang terkandung di

dalamnya seperti adat, budaya, tradisi dan agama yang memiliki suatu relevansi yang

saling mendukung satu sama lain. Keadaan seperti ini membuat Bali yang dikenal

dengan pulau dewata atau pulaunya para dewa dan pulau seribu pura, hal ini

membuat Bali dikenal tidak hanya dilingkup nasional melainkan juga dilingkup dunia

internasional.

Di lain sisi, terkenalnya Bali hingga di tingkat dunia internasional tidak serta

merta memberikan dampak yang positif, akibat dari hal ini masyarakat Bali sendiri

tidak luput dari dampak proses globalisasi yang seakan memaksa moral orang-orang

Bali itu sendiri harus mengikuti keadaan. Proses globalisasi memberikan banyak

kelonggaran dan kebebasan yang hampir tidak terbatas disegala bidang yang

mempengaruhi nilai-nilai yang tertanam di dalam benak-benak masyarakat Bali,

seperti nilai ketuhanan yang mencakup ajaran-ajaran agama Hindu. Nilai dalam

ajaran agama Hindu yang dimaksudkan disini seperti ajaran (Tri Hita Karana,Tat

Twam Asi, Tri Kaya Parisudha), nilai kesusilaan yang mencakup tetang tata cara

berperilaku di masyarakat, nilai kesopanan yang mencangkup sifat toleransi dan

saling menghormati antar sesama manusia di dalam sebuah lingkungan, entah itu

2

lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat dan nilai hukum yang mencangkup

norma-norma yang ada di Bali seperti awig-awig, perarem, sima, dresta dan lain-lain.

Bali dengan segala keanekaragaman yang dimiliki seperti, adat, tradisi dan

budaya, juga memiliki persekutuan masyarakat adat. Secara umum persekutuan

masyarakat adat yang di maksud adalah himpunan masyarakat di pedesaaan yang

memiliki ikatan/ diikat oleh segala bentuk ketentuan kaedah dan norma diwilayahnya,

wilayah yang di maksud dalam hal ini adalah desa adat yang saat ini diubah dengan

istilah desa pakraman. Persekutuan masyarakat adat secara spesifikasi dapat pula

diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang pada hakekatnya diikat oleh

3 faktor yang subtansial yang terdiri dari faktor, keturunan (genealogis), faktor

wilayah (territorial) dan faktor wilayah keturunan / pertalian darah (di Bali biasa

disebut dengan istilah kawitan, dadia, soroh), serta memiliki kekayaan materiil dan

imateriil. Kesatuan masyarakat hukum adat secara konstitusi telah mendapat

pengkuan dari norma dasar yaitu Pasal 18B Ayat 2 dan Pasal 28I Ayat 3 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1

Secara organisatoris, di Bali terdapat dualisme sistem pemerintahan yaitu

desa dinas dan desa pakraman (desa adat). Secara umum gambaran atau ciri fisik atas

desa dinas dan desa pakraman dapat dijabarkan sebagai berikut:

1 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra ,2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet 1, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 4. (selanjutnya di sebut dengan

Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra I).

3

a. Desa mempunyai dua arti yaitu desa pakraman (desa adat) dan desa dinas

(desa administratif).

b. Terdapat 2 jenis model pemerintahan yakni pemerintahan desa pakraman dan

desa dinas yang masing-masing sering kali menunjukkan dominasi sehingga

sering menyebabkan eksistensi desa pakraman semakin memudar dalam

bidang pemerintahan.

c. Desa dinas merupakan produk administrasi pemerintah sebagai unit

pemerintahan terendah di bawah camat sedangkan desa pakraman merupakan

suatu lembaga masyarakat tradisional yang dinamakan desa sejak dahulu yang

terbentuknya berdasarkan dengan konsep Tri Hita Karana.

d. Hubungan kerja antara desa dinas dan desa pakraman bervariasi menurut

perkembangan historisnya, luas wilayahnya dan jumlah keanggotaannya dari

warga-warga desa yang bersangkutan.

e. Warga desa pakraman juga menjadi warga desa dinas yang harus tunduk

kepada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh kedua jenis desa tersebut, kecuali

bagi warga dinas yang tidak menganut agama Hindu yang hanya tunduk

kepada desa dinas.

f. Dasar hukum tentang pengakuan dan otonomi desa pakraman telah tercantum

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

18 B ayat 2, Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa

Pakraman dan awig-awig sedangkan dasar hukum untuk pengakuan dan

otonomi desa dinas telah tercantum pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

4

tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 43 dan Peraturan Daerah (Perda)

masing-masing kabupaten.2

Seiring dengan perkembangan jaman diera gobalisasi ini, pertumbuhan

penduduk di Bali dewasa ini lajunya semakin pesat. Keadaan seperti ini di sebabkan

banyak orang-orang maupun kelompok domestik dan mancanegara berkunjung ke

Bali, hal ini disebabkan Bali merupakan salah satu tujuan utama dari destinasi

pariwisata yang sangat potensial. Kedatangan orang-orang maupun kelompok

tersebut ke Bali memiliki dua kemungkinan, pertama hanya semata-mata berkunjung

sementara ke Bali sebagai wisatawan atau kedua ingin menetap dan mencari

pekerjaan bahkan ingin mendirikan suatu usaha di Bali.

Orang-orang yang datang ke Bali dan tinggal di Bali disebut dengan istilah

penduduk pendatang dan bagi mereka yang mendirikan usaha pariwisata disebut

dengan istilah pengusaha pariwisata. Akibat dari hal ini jumlah penduduk di Bali

akan terus bertambah seiring dengan arus kependudukan yang terus meningkat setiap

tahunnya. Berdasarkan dengan Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman

Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil

Pesamuan Agung Pertama Majelis Desa Pakraman Bali tertanggal 3 Maret 2006,

penduduk di Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga jenis yaitu krama desa (penduduk

beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama

tamiu (penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai

2 I Wayan Surpha, 1993, Eksistensi Desa Adat Di Bali, Upada Sastra, Bali, h. 2.

5

anggota desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota

desa pakraman.

Kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam hal ini selain

sebagai faktor penunjang kegiatan pariwisata Bali seperti sarana jaringan kerja

(network) juga membukakan sebuah lapangan kerja baru bagi masyarakat Bali. Akan

tetapi implikasi dari kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata

berpotensi merusak keadaan mental orang Bali dan keadaan tradisi maupun budaya

yang ada di Bali.

Permasalahan kependudukan di Bali merupakan suatu permasalahan yang

sangat krusial karena memiliki implikasi yang besar terhadap Bali dan keadaan

masyarakatnya. Maka dari itu perlu pola hubungan yang sistematis dan kordinasi

antara desa pakraman dan desa dinas mengenai pengaturan dan penangan terhadap

penduduk pendatang maupun pengusaha pariwisata.

Sebagai warisan jaman kolonial Belanda, pemerintahan desa pada mulanya

tidak seragam. Hal ini dapat dipahami karena tata susunan rakyat di desa-desa pada

jaman yang lampau mengalami perubahan-perubahan yang berhubungan dengan

pengaruh tata susunan administrasi dan pengaruh campur tangan administrasi

pemerintahan Hindia Belanda.3

Pasca proklamsi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

munculah produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang salah

3 Bayu Suariningrat, 1981, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Aksara Baru, Jakarta, h.85.

6

satu isi subtansinya mengatur tentang otonomi desa seperti, Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1984

tentang Pemerintahan Daerah, lalu digantikan dengan Udang-Undang No 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Seiring dengan perkembangan keadaan sistem pemerintahan yang terus

menujukan perkembangannya, akhirnya Udang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah digantikan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang di dalam batang tubuhnya mengatur tentang otonomi

pemerintahan desa khususnya desa dinas sebagai organ pemerintahan terkecil dan

paling bawah yang terdapat dalam Pasal 1angka 43.

Desa pakraman sebagai lembaga tradisonal dengan kesatuan masyarakat

hukum adatnya juga memiliki otonomi membentuk sebuah sistem pemerintahan dan

aturan berdasarkan ketentuan-ketentuan adat/ kebiasaan yang pada umumnya tidak

tertulis seperti dalam bentuk sima dan dresta dan tercatatkan seperti awig-awig dan

perarem, aturan dalam hal ini berfungsi sebagai social engineering dan social

control.

Mengenai masalah kependudukan yang dalam hal ini adalah penduduk

pendatang dan pengusaha pariwisata sudah merambah ke setiap desa-desa yang ada di

Bali, salah satunya di wilayah tujuan wisata seperti Desa Pakraman Abangan. Secara

umum di Desa Pakaman Abangan, kehadiran penduduk pendatang menujukkan

perkembangan yang sangat pesat, salah satu diantara penduduk pendatang tersebut

telah mendirikan usaha-usaha dibidang pariwisata yang disebut dengan istilah

7

pengusaha pariwisata, ini terlihat dengan banyaknya ada akomodasi atau penunjang/

sarana kegiatan pariwisata seperti:

1. Hotel Puri Sunia Resort

2. Villa Ochid

3. Dandan Sari

Dengan keadaan laju pariwisata yang semakin meningkat, warga asli Desa

Pakraman Abangan juga mendirikan sebuah usaha sebagai penunjang kegiatan

pariwisata antara lain dengan berdirinya Cafe Coffee yang bernama Labak Sari.

Situasi sepeti ini memerlukan sebuah aturan mengenai permasalahan

kependudukan dan usaha-usaha yang didirikannya tersebut. Aturan disini berperan

sebagai alat pengatur masyarakat (social control) agar terciptanya keadaan yang

kondusif dan harmonis berdasarkan 3 aspek dasar dari ajaran Tri Hita Karana di

Desa Pakraman Abangan dengan hadirnya penduduk pendatang dan pengusaha

pariwisata.

Merujuk mengenai pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata

dalam Awig-awig di Desa Pakraman Abangan, maka terbitlah sebuah instrument

pengatur terhadap kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata yang

tertuang dalam Perarem Desa Pakraman Abangan No. 01/III/DP/Abangan/2014

tentang Hak Dan Kewajiban Penduduk Pendatang atau sementara Di Desa Pakraman

Abangan, dan khususnya untuk pengusaha pariwisata ketentuannya telah di atur

dalam Paruman Agung Desa Pakraman Abangan, karena ketentuan pengaturan

terhadap penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata belum terdapat

8

pengaturannya secara spesifik di dalam Awig-awig Desa Pakraman Abangan.

Parerem dalam hal ini merupakan aturan yang bersifat khusus dan lebih bersifat

fleksibel dan dinamis tetapi harus tetap tunduk dengan ketentuan nilai-nilai yang ada

di dalam awig-awig. Perarem dibuat melalui sebuah pauman desa. Pauman desa

merupakan suatu kegiatan rapat besar dengan yang dilakukan oleh perangkat desa dan

tokoh-tokoh desa (penglingsir) berdasarkan prinsip dari hukum adat Bali

(kasukertan) yang terdiri dari beberapa asas, seperti:

a. Kebersamaan (sareng-sareng)

b. Kesepakatan (rarem/ perarem/ sabha/ parung/ sangkep)

c. Kedamaian (shanti lan santha)

Pada dasarnya kehadiran penduduk pendatang khususnya penduduk

pendatang berwarganegara Indonesia pada setiap daerah di Indonesia tidak dapat

dilarang karena Bali merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) dan mau tidak mau, siap tidak siap akan didatangi oleh penduduk pendatang

yang hanya berkunjung ataukah menetap serta mendirikan suatu usaha di Bali.

9

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang belakang tersebut maka penulis tertarik

mengangkat sripsi dengan judul PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DAN

PENGUSAHA PARIWISATA DALAM AWIG-AWIG DI DESA PAKRAMAN

ABANGAN, TEGALLALANG, KABUPATEN GIANYAR

1. Bagaimana pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di

Desa Pakraman Abangan?

2. Bagaimana pola hubungan Desa Pakraman Abangan dengan Desa Dinas

Tegallalang dalam pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata

di Desa Pakraman Abangan?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan

batas penelitian: mempersempit permasalahan dan membatasi areal penelitian.4

Selain itu ruang lingkup masalah memiliki tujuan untuk menunjukkan secara pasti

variable-variable mana yang akan diteliti dan mana yang tidak akan diteliti.5

Mengindari melebarnya pokok bahasan di dalam penulisan skripsi ini, penulis

4 Bambang Sunggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet. 7, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h.11.

5 Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo,

Jakarta, h. 41. (selanjutnya di sebut dengan Amirudin dan H. Zainal Asikin, I)

10

membatasi ruang lingkup masalah atau hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi

yang diangkat oleh penulis.

Untuk menghindari kesan kesalahpahaman mengenai pemahaman isi usulan

penelitian ini maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian:

1. Pada permalahan pertama dibatasi mengenai pengaturan penduduk pendatang

dan pengusaha pariwisata dalam Awig-awig dan Perarem Desa Pakraman

Abangan dengan otonominya.

2. Pada permasalahan kedua penulis membatasi dengan melihat pola hubungan

antara Desa Pakraman Abangan dan Desa Dinas Tegallalang dalam mengatur

penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Pada penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian berjudul pengaturan

penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam Awig-awig Desa Pakraman

Abangan, Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Setelah ditelusuri, penulis menemukan 3

(tiga) karya tulis yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Adapun judul karya

tulis tersebut adalah:

Pada penelusuran di internet tanggal 15 November 2014 Pukul 09.30 Wita

telah ditemukan satu karya tulis dalam bentuk artikel dengan judul Pengaturan

Penduduk Pendatang Dalam Awig-Awig Desa Pakraman oleh Dr. I Ketut

Sudantra, S.H, M.H selaku dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11

Pada tanggal 17 November 2014, ditemukan satu karya tulis dalam bentuk

penelitian berjudul Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat

Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten

Gianyar yang dilakukan pada tahun 2006 oleh A.A Gde Oka Parwata S.H,

M.Si dan kawan-kawan selaku dosen di Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

Pada tanggal 20 November 2014, penulis juga menemukan satu karya tulis

dalam bentuk skripsi dengan judul Peranan Desa Pakraman Dalam

Penanganan Penduduk Pendatang (Study Kasus Desa Pakraman Padang tegal,

Ubud) oleh I Wayan Eka Putra (0516051173) mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Udayana

Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah yang penulis angkat, tentu

berbeda dengan judul-judul, rumusan masalah serta subtansi pada ketiga karya tulis

diatas. Pada skripsi ini penulis menekankan pada bagaimana peranan Desa Pakraman

Abangan dalam mengatur penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata serta

bagaimana pola hubungan Desa Pakraman Abangan dengan Desa Dinas Tegallalang

dalam pengaturan terhadap penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata.

12

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan adalah rumusan tentang sebuah tujuan yang akan dicapai

oleh kegiatan penelitian. Tujuan penelitian ini dapat disusun dalam bentuk tujuan

umum dan tujuan khusus.

1.5.1 Tujuan Umum

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengklarifikasi kebijakan

Desa Pakraman Abangan dalam sistem kependudukan, khususnya

penduduk pendatang serta pengusaha pariwisata yang ada di Desa

Pakraman Abangan.

2. Peneliti memiliki keiginan untuk memberikan sumbangan pemikiran pada

ilmu hukum yang memiliki sebuah relevansi terhadap peran desa

pakraman dalam penanganan penduduk pendatang dan pengusaha

pariwisata di Bali khususnya di Desa Pakraman Abangan.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Adapun tujuan khusus di dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimanakah peran Desa Pakraman Abangan di dalam kebijakannya

yang memiliki otonomi untuk mengatur pengendalian kependudukan,

khususnya penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata yang tertera di

dalam ketentuan pawos-pawos yang ada di dalam Awig-awig dan Perarem

Desa Pakraman Abangan.

13

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara Desa Pakraman Abangan

dan Desa Dinas Tegallalang dalam mengatur penduduk pendatang dan

pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat secara teoritis maupun

secara praktis.

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat menjadi

dedikasi serta dapat memberikan suatu paradigma pada pengembangan dari teori-

teori yang berdasarkan ilmu hukum dan memberikan sumbangan yang berarti

untuk kajian kritis terhadap peran desa pakraman dalam mengatur, mengurus dan

menangangi penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata sesuai otonominya

yang berasal dari awig-awig/ perarem serta tidak bertentangan dengan ketentuan

hukum nasional.

1.6.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu landasan dasar

sesuai dengan prinsip ilmu hukum, khususnya Hukum Adat Bali itu sendiri untuk

mendapatkan suatu manfaat terhadap penerapan kebijakan-kebijakan desa

pakraman dalam otonominya untuk mengatur kehadiran penduduk pendatang dan

pengusaha pariwisata di desa pakraman tersebut, serta dampak-dampak yang

diberikan kepada penduduk lokal akibat dari hadirnya penduduk pendatang dan

14

pengusaha pariwisata. Manfaat praktis juga dapat diterapkan terhadap ketentuan-

ketentuan dari desa dinas dan desa pakraman di dalam suatu koordinasi untuk

menyeleksi kedatangan penduduk pendatang dan pengusaha pariwsata, supaya

dalam aplikasinya ketentuan dari desa dinas dan desa pakraman tidak terjadi

unsur tumpang tindih, di lain sisi manfaat praktis dari penelitian ini dapat

memberikan pemahaman penting terhadap aparatur desa dinas, aparatur desa

pakraman (prajuru) serta masyarakat, tentang bagaimana seyogyanya dalam

menyikapi kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di desa

pakraman itu sendiri.

1.7. Landasan Teori

Landasan teoritis meliputi: filosofi, teori hukum, asas-asas hukum, norma dan

doktrin, yang dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai

landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat

konsensus yang diperoleh dari rangklaian upaya penelusuran (controleur baar).

Identifikasi landasan teoritis tersebuit diatas tidak boleh bertentangan satu sama lain.6

1.7.1 Teori

Di dalam kehidupan masyarakat di Bali, istilah desa memiliki dualisme

pengertian. Pengertian pertama merujuk kepada desa dinas, yaitu desa yg

menyelenggarakan birokrasi dari pemerintahan sedangkan pengertian kedua merujuk

6 Fakultas Hukum, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Denpasar, h. 75.

15

terhadap pengertian desa pakraman atau yang sering disebut dengan sebutan desa adat

yang dalam hal ini sebagai penyelenggaran fungsi sosial religius.7

Desa dinas dalam kontek ini pada dasarnya dapat dikatakan perpanjangan

tangan atau pengemban tugas dari negara untuk mengatur kehidupan masyarakat di

pedesaan. Dalam hal ini desa dinas merupakan lembaga negara terbawah dibawahi

oleh camat. Desa dinas memiliki tanggung jawab untuk mengatur kehidupan

masyarakat desa tanpa menurunkan dan menghilangkan eksistensi dari suatu desa

pakraman.

Sedangkan desa pakraman terbentuk dari perkumpulan kesatuan masyarakat

hukum adat yang di ikat oleh 3 faktor yaitu: Faktor keturunan, (genealogis) faktor

wilayah (territorial) dan faktor wilayah keturunan/ pertalian darah (dadia, soroh,

kawitan) yang mempunyai harta kekayaan berupa harta materiil dan harta imateriil.

Di tinjau secara historis desa pakraman di Bali sudah berkembang sejak dahulu kala,

tepatnya saat kedatangan dari Rsi Markandeya sekitar abad ke-8. Beliau dianggap

sebagai dasar terbentuknya desa pakraman yang didalamnya diatur dasar pola

persekutuan hidup masyarakat. Pola kehidupan masyarakat dalam hal ini disebut

dengan istilah pakraman yang kemudian dibakukan oleh Mpu Kuturan dengan dasar

dari konsep Kahyangan Tiga yang merupakan cikal bakal dan syarat mutlak bagi

lahirnya desa pakraman.

7

Ayu Putu Nantri dan I Ketut Sudantra, 1991, “Struktur Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga

dalam Desa Adat Gianyar”, Laporan Penelitian, Universitas Udayana, Denpasar, h. 1.

16

Secara perspektif historis, desa pakraman (desa adat), sebagai sebuah

organisasi sosial religius masyarakat di Bali diyakini ada sejak jaman Bali Kuno,

yaitu pada abad 9-14 masehi yang sering disebut dengan istilah Bali Aga. Masyarakat

desa pada waktu itu disebut dengan istilah kraman atau karaman, sedangkan untuk

menujuk desa digunakan istilah wanua atau banua, seperti tercatat dalam prasasti

Desa Trunyan abad ke-10.8

Desa pakraman (desa adat) adalah suatu lembaga tradisonal. Sebagai suatu

lembaga desa pakraman mempunyai dua arti diantaranya sebagai wadah dan sebagai

pranata (institute dan institutions). Dalam hal ini pranata mengatur hubungan antara

warga masyarakat disekitar kepentingan-kepentingan tertentu. Lembaga selalu dalam

keadaan bergerak. Dengan demikian pengertian desa pakraman (desa adat) sebagai

lembaga dan kesatuan sosial yang mencangkup dua hal yaitu desa adat sendiri

sebagai wadah adat istiadat dan hukum adatnya sebagai isi dari wadah tersebut.9

Mengenai kedudukan dari hukum adat, Griffiths mengkaitkan hal ini dengan

teorinya tentang pluralisme hukum. Dalam pandangan Griffiths yang membedakan

puralisme hukum itu menjadi dua yang terdiri dari weak legal prularism dan strong

legal pluralism. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah (weak legal

prularism) adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui

8 I Gede Parimarta, 1998, Desa Adat dalam Pesefektif Sejarah, Dinamika Kebudayaan, Vol. 1,

Universitas Udayana, Denpasar, h. 2.

9 A.A Gde Oka Parwata, dkk, 2006, “Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat

Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar”, Laporan

Penelitian, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dengan Bappeda Kabupaten Gianyar,

h. 35.

17

adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang superior, sementara

hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarkie dibawah hukum negara. Contoh

dari pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker, dimana

dalam konsepnya terkandung walaupun mengakui adanya keanekaragaman sistem

hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut

dengan municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan sevient

law yang menurutnya inferior seperti kebiasaaan (hukum adat) dan hukum agama.

Sedangkan pluralisme hukum yang kuat menurut Griffiths merupakan produk

hukum dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan mengenai fakta adanya

kemajemukan tatanan hukum yang terdapat disemua (kelompok) masyarakat. Semua

sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak

terdapat hirarkie yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang

lain. Griffiths sendiri memasukkan pandangan beberapa ahli kedalam pluralisme

hukum yang kuat antara lain adalah teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-

aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang dikontraskan dengan hukum

negara, yang dalam hal ini di Indonesia biasa disebut dengan sistem hukum adat.

Dalam hal ini sebenarnya Ehrlich tidak hanya menunjukkan bahwa ada jurang

diantara law on the book dan aturan-aturan dalam kehidupan sosial, tetapi juga bahwa

keduanya merupakan katagori yang berbeda secara hakiki.

Pandangan lain yang dikatagorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat

menurut Griffiths adalah teori Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan

dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kolompok sosial yang diberi

18

label the semi autonomous social field. Sementara itu pengertian hukum dari Moore

juga dikutipnya adalah law is the self regulation of a semi autonomous social field.

Pandangan Sally Falk Moore jika direlevansikan dengan keadaan hukum adat

di Indonesia terkandung bahwa sebuah organisasi adat yang didalamnya ada

masyarakat dan lembaga adat yang disebut dengan desa adat atau di Bali sering

disebut dengan istilah desa pakraman memiliki sebuah otonomi dalam mengatur

wilayah dan masyarakat adatnya beserta memiliki hak untuk membuat norma-norma

sendiri untuk berlangsungnya sistem hukum adatnya. Akan tetapi otonomi dari desa

adat ini hanya bersifat semi otonom (the semi autonomous social field) dimana dalam

pelaksanaan otonominya, desa adat tidak boleh bertentangan atau tetap harus tunduk

pada kekuasaan negara. Sedangkan jika dikaitkan dengan sistem hukum adat di Bali

yang lembaga hukum adatnya diistilahkan dengan desa pakraman, dalam teori Sally

Fack More terkandung bahwa desa pakraman berhak membuat sebuah norma yang

dilandasi dengan keadaan dalam masyarakatnya serta adat kebiasannya, akan tetapi

dalam hal ini norma-norma yang dimiliki tidak boleh bertentang dengan dasar negara

yaitu Pancasila dan norma dasar yaitu Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dan disamping itu pula terkadang norma-norma yang berasal dari hukum

adat akan berpotensi diintervensi oleh aturan-aturan yang berasal dari dunia luar yang

mengelilinginya.10

10

Sulistyowati Irianto, 2000, “Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Kritis”, Hukum dan

Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.

Ihromi, dalam E.K.M Masinambow (Ed), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta., h. 67.

19

Didasari terhadap asal-usul dan hak-haknya serta pengertian kedua desa

tersebut antara desa dinas dan desa pakraman memiliki suatu otonomi yang khusus

yang diberikan oleh negara semasih tidak bertentang dengan ketentuan hukum

nasional dan norma dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan Pancasila. Di sisi lain otonomi kedua desa tersebut mestinya tidak

terjadi suatu tumpang tindih dan dapat berjalan dengan harmonis dalam pelaksanaan

tugas. Desa dinas tunduk dengan ketentuan negara sedangkan desa pakraman pada

khususnya tunduk pada ketentuan aturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang

didalamnya terdapat kaedah-kaedah seperti kaedah perintah, kaedah larangan dan

kaedah dispensasi yang didalamnya terdapat unsur-unsur kewajiban dan keharusan

dan harus dipatuhi oleh warga desa, yang kesemuanya itu tertuang di dalam, awig-

awig, perarem, sima, dresta, dan dalam hal ini desa pakraman telah mendapatkan

pengakuan terhadap hak-hak tradisionalnya secara konstitusi dan mendapat legalitas

dari Pasal 18B ayat 2 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di sisi lain dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 1 angka 43 mengatakan bahwa desa secara konstitusi telah diakui

wewenangnya dalam mengatur dan mengurus wilayah dan masyarakatnya. Terhadap

ketentuan tersebut desa berhak melakukan segala jenis kewenangannya dalam

mengurus rumah tangganya sendiri dalam daerah otonominya semasih tidak

bertentangan dengan norma dasar yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

20

Selain ketentuan umum yang di atur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman sebagai

sebuah aturan yang lebih mendalam dari subtansi desa itu sendiri, karena khususnya

di Bali selain desa itu sebagai desa dinas ada pula otonomi dari desa pakraman.

Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman yang

merupakan perubahan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang

Kedudukan, Fungsi, Peranan Desa Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan

Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Di dalam

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman

dijelaskan pengertian desa pakraman tepatnya pada Pasal 1 Angka 4 yang

mengatakan “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi

Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama kehidupan masyarakat

umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan tiga atau Kahyangan Desa

yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus

rumah tangganya sendiri”.

Pada Peraturan Derah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa

Pakraman memiliki arti bahwa desa pakraman dan kesatuan masyarakat hukum

adatnya itu mempunyai hak-hak tradisional dan istimewa yang harus dihormati.

1.7.2. Asas

Suatu asas pada dasarnya merupakan sebuah nilai yang terkandung di dalam

sebuah norma dan tata cara bertingkah laku di dalam masyarakat, maka dari itu asas

21

sangat diperlukan terutama dalam pembuatan dan penerapan norma/ aturan yang akan

diberlakukan untuk menciptakan keadaan yang kondusif dan harmonis (kasukertan).

Berikut akan diuraikan asas-asas yang memiliki keterkaitan dengan penulisan ini:

a. Asas kebersamaan (sareng-sareng)

Asas kebersamaan (communal) artinya lebih mengutamakan

kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan

bersama (satu untuk semua, semua untuk satu/ one for all, all for one).11

Merujuk pada teori organ dari Otto Von Gierkie bahwa individu tidak

mungkin ada/ tidak mungkin hidup tanpa ada masyarakat sehingga individu

tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan menurut Aristoteles

filsuf asal Yunani mengacu kepada manusia mahluk sosial mengatakan secara

alamiah manusia merupakan binatang politik (zoon politicon) atau seringkali

diperhalus dengan mahluk bermasyarakat.12

b. Asas kesepakatan (rarem/ perarem/ sabha/ parung/ sangkep)

Asas kesepakatan pada hakekatnya meresepsi dari asas kebersamaan

yaitu dimana sebuah keputusan dalam sebuah forum seyogyanya harus

mementingkan kepentingan bersama. Dalam asas kesepakatan ini lebih

mengutamakan sebuah musyawarah untuk mencapai suatu mufakat (Paras

Paros Sagilik Saguluk Salunglung Sabiantaka). Dalam bukunya Tjok Istri

Putra Astiti menjelaskan tentang arti dari asas musyawarah tersebut sebagai

11 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Pustaka, Alfabeta, Jakarta,

h.34.

12

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Pranada Media Group, Jakarta, h.107

22

berikut: Asas musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam

hidup bermasyarakat segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan

kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota-anggotanya

atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama. Di dalam asas musyawarah

ada juga asas mufakat, asas mufakat digunakan dalam menyelesaikan

perbedaan-perbedaan kepentingan seorang dengan orang lain atas dasar

perundingan yang bersangkutan.13

c. Asas kedamaian (shanti lan santha)

Asas kedamaian pada hakekatnya akan timbul apabila asas

kebersamaan dan kesepakatan sudah berlaku optimal di dalam kehidupan

bermasyarakat. Asas kedamaian ini menekankan kepada setiap masyarakat

dimana dalam melakukan sebuah pemikiran maupun perbuatan apapun

seyogyanya didasari dan dilandasi oleh rasa tenang dan damai serta harmonis

(trepti, sukerta, sekala niskala).

d. Asas Lex Specalis Derogat Lex Generalis

Asas ini menekankan dimana kepentingan yang bersifat khusus

(specialist) mengesampingkan kepentingan yang bersifat umum (generalis).

Sebagai contoh dalam sebuah norma atau aturan yang bersifat nasional seperti

undang-undang, di dalam pasalnya terdapat kesenjangan norma dalam artian

bersifat merugikan suatu obyek seperti tidak dapat diberlakukan pada suatu

13 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Press,

Denpasar h. 77

23

daerah dan masyarakat tertentu, maka pasal tersebut dapat tidak diberlakukan

dengan dalih suatu keadaan yang tidak memungkinkan pasal itu diberlakukan,

serta dalam hal ini dapat dibuat suatu peraturan yang lebih khusus terhadap

persoalan mengenai keadaan tersebut.

e. Asas desentralisasi

Menurut Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau

penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih rendah

kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri

mengambil keputusan dibidang pengaturan (regelendaad) dan dibidang

pemerintahan (bestuursdaad).14

Asas desentralisasi ini merujuk kepada

pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan yang

ada dibawahnya dalam menjalankan otonomi secara mandiri. Pada konteks ini

pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat merujuk kepada desa dinas

yang merupakan salah satu unit pemerintahan terbawah.

1.7.3. Konsep

Keberadaan dari desa pakraman itu sendiri di Bali, awal mulanya belum dapat

diketahui secara pasti. Akan tetapi lahirnya desa pakraman di Bali merupakan suatu

hak yang timbul dari hak asasi masyarakat desa yang dihuni oleh setiap individu yang

memiliki naluri untuk untuk hidup bersama di dalam suatu wilayah untuk dapat

melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka, seperti tradisi dan budaya dalam hal-hal

sosial dan keagamaan khususnya Agama Hindu entah itu secara individual maupun

14 Jimmly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, h. 294

24

kolektif dalam suatu desa pakraman atau banjar. Maka dari itu umat Hindu

beranggapan bawah desa pakraman di Bali bukannya hanya sebagai lembaga sosial

saja melainkan juga merupakan lembaga untuk menunjang kegiatan keagaaman

khususnya agama Hindu yang hidup di dalam desa pakraman tersebut. Dengan

demikian, maka istilah desa di Bali dapat di jabarkan mengandung 2 arti yaitu:

1. Desa yang menunjukkan kepada adanya suatu desa yang hidup secara

tradisonal sebagai perwujudan dari pada lembaga adat yang disebut desa

pakraman.

2. Desa yang menunjuk kepada suatu bentuk desa administratif yang

eksistensinya tergantung kepada kehendak penguasa yang semula dinamakan

“desa keperbekelan” atau desa dinas.15

Di Bali desa pakraman memiliki suatu ciri-ciri yang bersifat khusus yang

jarang dijumpai dalam jenis kesatuan masyarakat hukum adat lainnya. Secara

filosofis ciri khusus tersebut adalah sesuatu yang menjiwai kehidupan masyarakat

hukum adat di Bali, konsep tersebut di kenal degan istilah Tri Hita Karana yang

apabila dijabarkan berdasarkan refrensi yang ada bahwa Tri Hita Karana terbagi

menjadi 3 sub bagian yang terdiri dari Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan dan

Karana artinya penyebab. Dalam konsep ini, sesuai hakekatnya ajaran Tri Hita

Karana bertujuan untuk menciptakan suatu keharmonisan di dalam kehidupan

memiliki tiga buah subtansi yang dapat diklarifikasi sebagai berikut:

15 I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar,

h.29.

25

1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan yang dalam hal ini diartikan

dengan istilah Parhyangan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan

istilah bhakti.

2. Hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia yang dalam hal ini

diartikan dengan istilah Pawongan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan

dengan asah, asih dan asuh menyama braya.

3. Hubungan harmonis manusia dengan lingkungan yang dalam hal diartikan

dengan Palemahan yang wujud nyata dapat diperlihatkan dengan istilah

rungu.16

Suasana harmonis itu secara konkret diterjemahkan dengan suasana tertib,

aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala). Hal ini merupakan hakekat hidup

manusia dalam suatu kehidupan bermasyarakat.

Konsep dari ajaran Tri Hita Karana apabila dikaitkan dengan persefektif dari

desa pakraman dapat dibagi menjadi tiga bahasan yaitu:

a. Parhyangan yaitu adanya Kahyangan desa (Kahyangan Tiga yang terdiri dari:

Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale agung) sebagai tempat

pemujaan Tuhan Yang Maha Esa.

b. Palemahan yaitu sebagai wilayah tempat tinggal dan tempat mencari

penghidupan sebagai suatu proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk

dibawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung.

16 I Made Suasthawa Dharmayudha dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Hukum Adat Bali,

Upada Sastra, Denpasar, h. 28.

26

c. Pawongan yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut krama desa

sebagai suatu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman.17

Desa pakraman ditinjau dari sistem pemerintahannya yang memiliki otonomi

tersendiri juga mempunyai pembagian tugas dalam pelaksanaan pemerintahan

tersebut. Pembagain tugas dalam menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman,

yang dalam hal ini meminjam istilah teori Trias Politica dari Montesque yang terdiri

fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial. Mengenai otonomi desa pakraman, Wirtha

Griadi dalam Sudantra menjabarkan isi otonomi dari desa pakraman itu sebagai

berikut:

a. Kekuasaan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka.

dengan kekuasaan ini desa pakraman menerapkan tata hukumnya sendiri yang

meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa pakraman. Aturan-aturan

hukum ini lazim disebut dengan nama awig-awig atau perarem desa

pakraman. Kekuasaaan dalam menetapkan sebuah aturan diindentikan dengan

kekuasaan legislatif dalam lingkungan negara.

b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Dalam

menyelenggarakan sebuah kehidupan berorganisasi, desa pakraman memiliki

otonomi untuk membuat struktur kepengurusan di desa pakraman itu sendiri

sebagai wadah untuk menjalankan otonomi desa pakraman tersebut sebagai

kegiatan sosial dan agama. Susunan prajuru adat ini bervariasi terutama

17 I Ketut Sudantra, , 1999, “Formalisasi Forum Komunikasi Antar Desa Adat Dalam Penyelesaian

Persoalan-Persoalan Hukum yang dihadapi Desa Adat”, Kertha Patrika, Majalah Ilmu Hukum Unud,

No. 72, Edisi XXIV.

27

berhubungan dengan dengan tipe desa yang bersangkutan (Bali Age dan

Apanage). Pada desa pakraman yang tergolong tipe desa pakraman apanage,

pejabat puncak dalam prajuru desa adalah bandesa atau kelihan desa, dibantu

oleh pejabat-pejabat lainnya seperti penyade/ petajuh/ pangliman sebagai

wakil dari bandesa, penyarikan/ juru surat yang dalam hal ini berfungsi

sebagai sekretaris dan petengen/ juru raksa yang berfungsi sebagai bendahara.

Belakangan ini dalam struktur prajuru desa juga ada petugas keamanan desa

pakraman yang disebut dengan istilah pecalang. Kekuasaan

menyelenggarakan kehidupan organisasi desa pakraman ini identik dengan

kekuasaan pemerintah eksekutif dalam lingkungan negara.

c. Kekuasaan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Persolan

hukum yang dihadapi desa pakraman dapat berupa pelanggaran hukum (awig-

awig, dresta ataupun aturan-aturan hukum lainnya) dan dapat berupa sebuah

sengketa. Kekuasaan ini dapat diidentikan dengan kekuasaan yudikatif/

yudisial dalam lingkungan negara.

Awig-awig desa pakraman pada hakekatnya memiliki fungsi yang sangatlah

fundamental dalam keberlangsungan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai

landasan bertingkah laku atau tata cara hidup di dalam masyarakat desa pakraman,

karena dalam hal ini awig-awig merupakan dasar norma yang dimiliki desa

pakraman, maka dari itu awig-awig dapat disebutkan sebagai social engineering/

social control. Di dalam awig-awig desa pakraman terdapat asas-asas yang penting

sebagai cikal bakal lahirnya suatu awig-awig yang akan meresepsi dalam jiwa

28

mayarakat desa pakraman itu sendiri. Asas-asas yang terdapat dalam awig-Awig

seperti: Asas kebersamaan (communal), kekeluargaan, kesepakatan (Sangkepan),

musyawarah (Paras-Paros Sagilik-Saguluk Salunglung Sabiantaka) dan pastinya asas

dari hukum itu sendiri yang didalamnya terdapat sebuah sanksi bagi setiap

pelanggaran yang terjadi.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengaturan dan penanganan

terhadap penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata seyogyanya terlebih dahulu

dapat dijelaskan pengertian dari penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata

sebagai berikut:

Penjelasan mengenai penduduk pendatang khususnya di Bali tertuang dalam

Surat Edaran Gubernur Bali No. 470/1159/B.T.Pem. Tertanggal 27 Pebruari 2002,

disebutkan penduduk pendatang adalah akibat mutasi kepindahan dari luar daerah dan

telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Setelah itu ditegaskan lagi dalam Surat

Edaran Gubenur Bali No.470/7587/ B. Tapem. Tertanggal 14 Nopember 2002

disebutkan: Penduduk yang datang akibat adanya mutasi kepindahan antar kabupaten/

kota atau Provinsi Bali. Penduduk pendatang terdiri dari WNA dan WNI yang dapat

dibedakan menjadi (1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal

minimal tiga tahun; dan (2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan

lama tinggal paling lama 1 tahun. Kedatangan penduduk pendatang wajib

didaftarkan kepada kepada desa/ lurah.

Seiring dengan dinamika kependudukan di Bali, pada tahun 2003 Gurbenur

Bali mengadakan sebuah kesepakatan dengan bupati dan walikota seprovinsi Bali

29

yang di dalamnya kesepakatan tersebut terkandung tentang tata tertib administrasi

kependudukan di masing-masing kabupaten/ kota se-Bali. Kesepakatan Bersama

Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Pasal 1 yang

ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Pebruari 2003 menyatakan penduduk

pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Provinsi Bali untuk tinggal

menetap atau tinggal sementara.

Kesepakatan Gurbenur Bali dengan bupati dan walikota ini terkandung bahwa

pengertian penduduk pendatang lebih dipersempit lagi karena di dalam kesepakatan

ini tidak termasuk adanya mutasi kepindahan antar kabupaten/ kota atau provinsi

Bali. Selanjutnya pada tahun 2006 Majelis Desa Pakraman (MDP) mengadakan

sebuah rapat (Pasamuan), dan hasil rapat (Pasamuan) yang dilakukan oleh MDP

menghasilkan suatu keputusan mengenai penggolongan penduduk di wilayah

Provinsi Bali. Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor

050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama

Majelis Desa Pakraman Bali tertanggal 3 Maret 2006, dinyatakan: “Penduduk Bali

dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil

atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama

Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu

adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman”.

Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor

050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 memiliki intisari mengenai penggolongan

penduduk, tetapi ditinjau secara kekinian penggolongan pada suatu desa pakraman

30

hanya ada dua yang terdiri dari krama Tamiu yang berarti penduduk pendatang yang

beragama hindu dan tamiu yang berarti penduduk pendatang yang beragama non-

Hindu. Dan dalam hal ini krama tamiu dan tamiu lebih memiliki perbedaan hanya

pada hak dan kewajibannya saja dalam kontribusi terhadap desa pakraman.

Sedangkan pengusaha pariwisata secara umum dapat diartikan dengan

individu maupun kelompok yang menyediakan akomodasi untuk menunjang kegiatan

dan perkembangan pariwisata. Pengusaha pariwisata dapat terdiri dari seorang

individu ataukah kelompok (group) yang diantaranya memanfaatkan keadaan

maupun kondisi alam dalam suatu daerah tertentu yang dianggap mempunyai potensi

menarik para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Secara konstitusi pengertian dari pengusaha pariwisata terdapat pada Pasal 1

angka 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang

mengatakan pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang

melakukan kegiatan usaha pariwisata, dan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan Dan

Pariwisata No. PM. 90/ HK. 50/ MKP/ 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha

Daya Tarik Wisata Pasal 1 angka 3 yang mengatakan, pengusaha pariwisata yang

selanjutnya disebut pengusaha adalah perseorangan dan badan usaha yang melakukan

kegiatan pariwisata bidang usaha daya tarik pariwisata.

Desa dinas dengan bantuan dari desa pakraman memiliki otonomi sebagai

sebuah desa administratif dalam mengatur dan mengurus penduduk pendatang dan

pengusaha pariwisata. Pengaturan terhadap penduduk pendatang secara konstitusi

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik yang dikeluarkan oleh

31

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan-peraturan tersebut

diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang

Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga.

Di sisi lain pengaturan penduduk pendatang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1

Angka 1 ditegaskan: Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan

dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependududkan melalui

pendaftaran, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta

pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan disektor lain.

Secara spesifik khususnya di kabupaten Gianyar untuk penanganan penduduk

pendatang dengan meresepsi Undang-Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun

2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1

diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 7 Tahun 2010 tentang

Kependudukan paragraf 6 Pasal 41 dikatakan:

1. Desa pakraman berperan membantu perbekel/ kepala desa/ lurah dalam

penanganan pendaftaran dan penertiban penduduk secara terkoordinasi demi

terciptanya situasi kondusif.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai peranan desa pakraman, sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan bupati.

Sementara itu dalam Keputusan Bupati Gianyar No. 180 Tahun 2002 tentang

Pendaftaran Kedatangan Penduduk Pendatang Pasal 1 huruf h ditegaskan

32

“Pendaftaran kedatangan penduduk dari luar Kabupaten Gianyar adalah pendaftaran

kedatangan warga Negara Indonesia yang diakibatkan perpindahan dari luar

kabupaten gianyar”.

Sedangkan untuk pengaturan pengusaha pariwisata dan kegiatan pariwisatan,

dengan merujuk kepada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

dan Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata No. PM. 90/ HK. 50/ MKP/ 2010

tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Daya Tarik Wisata, desa pakraman telah

mendapat legalisasi dari Peraturan Daerah provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang

Kepariwisataan Budaya Bali Pasal 25 yang menyatakan, desa pakraman dan/atau

lembaga tradisional lainya, dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan

usaha-usaha untuk mencegah aktivitas kepariwisataan yang tidak sesuai dengan

kepariwisataan budaya Bali. Dalam Peraturan Daerah Bali No. 2 Tahun 2012 tentang

Kepariwisataan Budaya Bali terkandung tentang eksistensi desa pakraman dalam

membantu Pemerintah Provinsi Bali untuk menjaga alam Bali dan memegang teguh

konsep Tri Hita Karana dari sebuah kegiatan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten

Gianyar, pengaturan terhadap pengusaha pariwisata maupun kegiatan pariwisata telah

diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar No. 10 Tahun 2013 Tentang

Kepariwisataan Budaya.

33

1.8.Metode Penulisan

1.8.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah metode yuridis empiris, karena dalam penulisan ini terdapat 2 aspek

metode penelitiannya. Pertama dari sisi yuridis menekankan dari segi

perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah serta norma-norma yang

relevan dengan masalah ini yang terutama bersumber pada Awig-awig Desa

Pakraman Abangan (Das Sollen), dan yang kedua dari sisi empiris yang

mencangkup penelitian dan identifikasi hukum (Soerjono Soekanto).18

Dalam

artian bahwa penelitian hukum empiris bertolak ukur terhadap sifat hukum

yang nyata yang sesuai dengan kenyataan hidup di dalam masyarakat (Das

sein) serta metode penelitian empiris mengutamakan pengalaman-pengalaman

yang diperoleh berdasarkan suatu wawancara dengan narasumber dan

informan di lapangan.19

1.8.2 Jenis Pendekatan

Penulisan skripsi ini digunakan 4 (empat) jenis pendekatan (approach) yang

relevan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis yang terdiri dari :

1. Pendekatan fakta (the fact approach), dalam pendekatan fakta penulis mencari

fakta-fakta yang terjadi di lapangan sesuai dengan obyek penelitian (study

18 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 153.

19 Amirudin dan H. Zainal Asikin I, op. cit, h. 133.

34

case) salah satunya adalah keadaan masyarakat dengan penerapan suatu

norma (awig-awig, perarem dan lain-lain) apakah sudah bersifat koperhensif

ataukah masih ada ketidakjelasan (ambigu).

2. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), dalam penulisan ini

digunakan pendekatan perundang-undangangan karena menekankan dari segi

perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah serta norma-norma yang

relevan dengan masalah ini yang terutama bersumber pada awig-awig.

3. Pendekatan perbandingan (comparative approach), dalam pendekatan ini

penulis mengkaji norma yang berasal dari peraturan perundang-undangan,

peraturan daerah dan norma yang berasal dari desa pakraman (awig-awig,

perarem dan lain-lain) dan merangkum aspek-aspek tersebut serta

membandingkan dengan keadaan yang terjadi dalam masyarakat di desa

pakraman.

1.8.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi

ini di dapat dari 3 sumber data yang terdiri dari data primer, data sekunder

dan bahan hukum penunjang yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama

melalui penelitian.20

Data primer dapat ditemukan di lapangan dari

20 Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, h. 2.

35

informan maupun narasumber yang dalam hal ini mereka terlibat dan

mengalami langsung keadaan di lapangan, seperti:

a. Prajuru Desa Pakraman Abangan.

b. Aparat kedinasan Desa Dinas Tegallalang.

c. Penduduk pendatang.

d. Pengusaha pariwisata.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang didapat dari sumber yang

kedua. Data sekunder dalam hal ini dapat berupa dokumen-dokumen

tertulis yang dimiliki Desa Pakraman Abangan, seperti:

a. Awig-awig, perarem dan lain-lain.

3. Bahan Hukum Penunjang

Bahan hukum penunjang merupakan penunjang dari data primer dan

data sekunder yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Bahan hukum

penunjang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Peraturan Perundang-Undangan.

c. Peraturan Daerah.

2. Bahan Hukum Sekunder:

a. Buku, artikel dan lain-lain.

36

3. Bahan Hukum Tersier:

a. Kamus dan ensiklopedi.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data terbagi menjadi 3 bagian yang diantaranya

bersumber dari data primer, sekunder dan bahan hukum penunjang.

a. Data Primer

Teknik pengumpulan data di dalam data primer dilakukan dengan cara

terjun langsung kelapangan dengan melakukan sebuah metode wawancara

(interview) terhadap para narasumber. Yang dimaksud dengan metode

wawancara menurut Amirudin dan H. Zainal Asikin dalam bukunya yang

berjudul Pengantar Metode Penelitian Hukum mengatakan: Wawancara

(interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka, ketika seseorang

yakni pewancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk

memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah peneliti kepada

seseorang responden. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu

mempersiapkan berbagai hal antara lain, seleksi individu untuk diwawancarai,

pendekatan terhadap orang yang telah diseleksi dan pengembangan suasana

lancar dalam wawancara.

37

Selain dengan menggunakan metode wawancara, dalam pengumpulan

data primer juga menggunakan pengamatan (observasi). Dalam hal ini

mengamati gejala-gejala hukum yang berkaitan dengan fokus penelitian.21

b. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui teknik study dokumen

berupa menelusuri dasar-dasar norma yang berada di Desa Pakraman

Abangan berupa awig-awig, perarem dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Penunjang

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan bahan hukum

penunjang adalah sebagai penunjang dari data primer dan data sekunder

dalam melakukan pembahasan didalam penulisan skripsi ini seperti, meninjau

dari sisi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah. Disamping itu pula

juga meninjau dari sisi literature seperti buku, artikel dan lain-lain serta

menggunakan Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Bali sebagai penerjemah

kata-kata yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Bali.

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini digunakan teknik analisis kualitatif atau yang juga sering

dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul,

baik dari data primer maupun data sekunder serta bahan hukum penunjang akan

21 Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi penelitian hukum Empiris Murni, Sebuah

Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, h. 58

38

diolah dengan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis.22

Pengolahan

data yang dilakukan penulis adalah dengan mengkaitkan hasil sebuah wawancara

dengan dasar-dasar hukum yang berlaku baik Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan, peraturan daerah,

awig-awig, perarem serta dari kajian kepustakaan berupa literatur maupun artikel dan

selanjutnya dirangkum dalam suatu wadah berupa penelitian untuk sebuah kejelasan

dari sebuah asumsi-asumsi dan isu-isu hukum yang ada di dalam masyarakat.

22 Fakultas Hukum, op. cit, h. 88.