bab 4 & 5 hasil b
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Wilayah Penelitian
Kabupaten Donggala memiliki luas wilayah sebesar 10.471,71 kilometer
persegi dan secara geografis terletak pada 0,30o LU sampai dengan 2,20o LS dan
119,45o sampai dengan 121,45o BT dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut
:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mamuju Utara Propinsi
Sulawesi Selatan;
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten
Poso dan Kota Palu;
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Kabupaten Donggala sampai tahun 2006 memiliki 21 Kecamatan – dengan
287 Desa dan 9 Kelurahan – yaitu Kulawi, Pipikoro, Kulawi Selatan, Palolo, Dolo,
Rio Pakava, Dolo Selatan, Marawola, Pinembani, Sigi Biromaru, Gumbasa,
Tanambulava, Banawa, Banawa Selatan, Labuan, Tanantovea, Sindue, Sirenja,
Balaesang, Damsol, Sojol. Sementara itu sampai dengan tahun 2008 berkembang dan
mekar menjadi 30 Kecamatan dengan kecamatan pemekaran meliputi : Sojol Utara,
Sindue Tobata, Sindue Tombu Sabora, Marawola Barat, Kinovaro, Lindu, Dolo
Barat, Nokilalaki, dan Banawa Tengah. Dari 30 Kecamatan tersebut terdapat 13
Kecamatan yang berada di wilayah pesisir yang membentang dari arah selatan ke
arah utara Kabupaten Donggala.
44
Dari 13 Kecamatan tersebut, terdapat 3 kecamatan yang berada di bagian
selatan Kabupaten Donggala, dan 10 Kecamatan terdapat di bagian utara Kabupaten
Donggala, yang kesemuanya berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Lebih dari
itu, wilayah bagian selatan sampai membentang ke bagian utara, ke 13 Kecamatan
dibatasi oleh perairan Teluk Palu yang secara administratif pemerintahan berada di
wilayah pemerintahan Kota Palu. Sehingga dalam menghubungkan setiap aktivitas
pemerintahan maupun swasta lainnya, dilakukan melalui transportasi darat melalui
Kota Palu. Masalah ini kemudian menjadi kendala dalam melakukan aktivitas
pemerintahan secara optimal, dan tidak sedikit aktivitas ekonomi penduduk
Kabupaten Donggala lebih terjaring di wilayah Kota Palu.
Secara klimatologis, Kabupaten Donggala memiliki suhu antara 20o – 25o C
pada malam hari dan 34o – 37o C pada siang hari dengan kelembaban rata-rata 64%
sampai 85%, dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1.500 – 3.000 mm/tahun
kecuali wilayah Lembah Palu hanya mencapai 600 sampai 800 mm/tahun. Wilayah
Lembah Palu lebih dikenal dengan kondisi iklim tak kenal musim (Off Season).
Sementara itu, curah hujan rata-rata tahunan (1989 – 2002) di BPP Mantikole (20 km
selatan Palu) sebesar 1.482 mm, dengan rata – rata bulanan 75-170 mm. Data dari
stasiun Donggala menunjukkan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.437 mm,
dengan rata-rata bulanan 72-192 mm. Berdasarkan distribusi curah hujan bulanan
menunjukkan bahwa daerah lembah Palu mempunyai musim kemarau cukup panjang
hampir sepanjang tahun, sedangkan musim hujan atau bulan basah pendek
(Desember-Februari). Keadaan ini kurang menguntungkan untuk usaha tani tanaman
pangan, kecuali terdapat suplai air irigasi.
45
Berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2005, jumlah penduduk
Kabupaten Donggala pertengahan Tahun 2005 mencapai 467.556 jiwa, yang terdiri
dari penduduk laki – laki 237.926 jiwa dan penduduk perempuan 229.630 jiwa. Atau
mengalami pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,24% dibandingkan tahun 2004
sebesar 461.774 jiwa (BPS Kabupaten Donggala, 2005). Sedangkan estimasi
penduduk Tahun 2005 mencapai 473.272 jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar
2,42% dibandingkan Tahun 2004.
1. PDRB Kabupaten Donggala
Dilihat dari laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Donggala, menunjukkan
bahwa tingkat rata-rata pertumbuhan PDRB berbagai sektor cenderung melamban
dengan angka di bawah 1 % per tahunnya dan bahkan cenderung menurun pada
hampir semua sektor pada tahun 2006 – meskipun menunjukkan angka sangat
sementara sekali – dibanding pada tahun 2005 (angka sangat sementara), kecuali
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan pertumbuhan
menghampiri angka 1% atau sebesar 0,81% pada tahun 2006.
Sementara itu, sektor industri pengolahan, dan listrik dan air bersih sama-
sama mencatat angka pertumbuhan sebesar 0,06%. Sektor perdagangan, hotel
dan persewaan sebesar 0,40%, yang kesemuanya mengalami pertumbuhan yang
tidak signifikan bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2002
ke tahun 2003, yang menunjukkan angka rata-rata pertumbuhan 1,34% (lihat
Tabel 1).
46
Tabel 1.
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Donggala Atas Dasar HargaKonstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (%) Tahun 2002 - 2006
Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pertanian 4,64 4,67 6,19 6,43 6,40
2. Penggalian 4,62 5,24 5,74 5,93 5,85
3. Industri Pengolahan 4,35 7,33 7,37 7,51 7,57
4. Listrik dan Air Bersih 7,06 4,61 7,87 8,06 8,12
5. Bangunan 6,87 7,69 8,03 8,42 7,93
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 3,51 7,74 7,86 7,69 8,09
7. Angkutan dan Komunikasi 6,74 7,15 7,85 7,93 7,97
8. Keuangan, Persewaan, dan 1,45 2,98 10,40 10,66 11,47 Jasa Perusahaan
9. Jasa – Jasa 4,28 8,25 8,00 8,14 7,75
PDRB 4,84 6,18 7,70 7,86 7,91Sumber : BPS Kabupaten Donggala, 2006
Bila dilihat dari peranan sektoral pada masing-masing lapangan usaha,
menunjukkan distribusi PDRB Kabupaten Donggala, dominan berasal dari sektor
pertanian yang sampai pada tahun 2006 mencapai 49,27% atau terjadi penurun
sebesar 1,7 % bila dibanding pada tahun 2002 yang mencapai 50,97%. Penurunan
ini terjadi karena, peningkatan distribusi dari beberapa sektor seperti sektor
perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, sektor angkutan dan
komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Untuk lebih
jelasnya distribusi antar berbagai sektor dapat dicermati pada Tabel 3 berikut.
Tabel 2
47
Distribusi PDRB Kabupaten Donggala Atas Dasar Harga BerlakuMenurut Lapangan Usaha (%) Tahun 2002 - 2006
Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006
1. Pertanian 50,97 50,53 50,02 49,65 49,27
2. Penggalian 2,92 3,09 3,07 3,06 3,03
3. Industri Pengolahan 3,90 4,14 4,21 4,56 4,63
4. Listrik dan Air Bersih 0,28 0,29 0,29 0,29 0,29
5. Bangunan 6,52 6,66 6,72 6,75 6,69
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 12,27 12,05 12,38 12,44 12,74
7. Angkutan dan Komunikasi 6,11 6,25 6,32 6,25 6,42
8. Keuangan, Persewaan, dan 1,64 1,59 1,97 2,06 2,23 Jasa Perusahaan
9. Jasa - Jasa 15,39 15,4 15,02 14,94 14,70
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Donggala, 2006
Berdasarkan PDRB Kabupaten Donggala atas dasar harga berlaku, dapat
dijelaskan gambaran Pendapatan per Kapita setiap kecamatan yang menjadi
wilayah penelitian sebagai bahan perbandingan dengan Pendapatan per Kapita
Kabupaten Donggala, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut.
48
Tabel 3Perbandingan PDRB Perkapita Kabupaten Donggala
Kecamatan Banawa Selatan, Sindue, dan SirenjaAtas Dasar Harga Berlaku Tahun 2003 - 2007
NoKabupaten / Kecamatan
Tahun
2003 2004 2005 2006* 2007**
1 Kabupaten Donggala 5,584,3
05 6,251,21
2 7,156,84
5 8,067,27
4 9,017,32
9
2 Kecamatan Banawa Selatan
- 6,875,35
0 7,901,41
3 8,467,15
4 9,463,73
8
3 Kecamatan Sindue 4,725,7
63 5,426,41
5 6,308,99
8 6,760,72
2 7,556,45
9
4 Kecamatan Sirenja 4,616,9
99 5,237,53
1 6,145,89
6 6,585,94
2 7,361,10
8 Ket.: Pertumbuhan angka Perkapita Kecamatan tahun 2006 dan 2007 menggunakan
asumsi angka pertumbuhan sebesar 7,16 % dan 11,77 %
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala 2007 (diolah)
2. Potensi Sumber Daya Perikanan Laut
Kabupaten Donggala sebagai salah satu Kabupaten yang berada di wilayah
Propinsi Sulawesi Tengah memiliki sumber daya pesisir dan laut yang sangat
potensial untuk dikembangkan. Namun hingga kini pemanfaatannya belum
dikelola secara optimal dalam meningkatkan sumber-sumber penerimaan bagi
daerah. Salah Satu potensi sumber daya pesisir dan laut yang membentang dari
arah selatan ke utara – tepatnya di perairan selat Makassar/wilayah Barat
Kabupaten Donggala – adalah sumber daya perikanan yang menyimpan berbagai
jenis spesies yang pengelolaannya dimanfaatkan secara tradisional dan belum
dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perekonomian daerah,
49
khususnya bagi masyarakat yang berada wilayah pesisir dan laut Kabupaten
Donggala.
Berdasarkan hasil pengkajian stok sumberdaya ikan di Indonesia yang
dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP bekerjasama dengan
P3O-LIPI tahun 2001 menunjukkan bahwa potensi ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) Selat Makassar dan Laut Flores (WPP-4) sesuai luasan perairan
yang disurvei yaitu 12.321 km2 adalah sebesar 911.000 ton/tahun dengan tingkat
pemanfaatan yang tergolong tinggi yaitu 71,29%. Sumber daya ikan tersebut
terdiri dari kelompok jenis ikan pelagis besar dengan potensi sebesar 193.600
ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96% dan ikan pelagis kecil dengan
potensi 605.440 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 55,06%. Disamping itu,
masih terdapat jenis lainnya yang tingkat pemanfaatannya lebih besar dari potensi
kelompok jenis ikan pelagis (lihat Tabel 4.).
Dari potensi tersebut, nilai potensi perikanan Kabupaten Donggala pada tahun
2003 sebesar 18.540 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 71,52% (lihat
Tabel 4). Hal inipun baru mencakup survey yang dilakukan di sebagian wilayah
perairan pantai barat Kabupaten Donggala. Artinya pemanfaatan potensi
sumberdaya ikan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal, jika
dibandingkan produksi ikan tertinggi sebesar 13.260 ton yang pernah dicapai
yang tersebar di wilayah pendaratan ikan di Kabupaten Donggala pada tahun
2003.
Tabel 4
50
Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di WPP - 4Selat Makassar dan Laut Flores, dan Perairan Laut
Kabupaten Donggala 2001
No.Kelompok Sumberdaya/
WPP - 4Kabupaten
Potensi & Pemanfatan Donggala1 Ikan Pelagis Besar Potensi (103 ton/tahun) 193,60 3,94 Produksi (103 ton/tahun) 85,10 Pemanfaatan (%) 43,96 2 Ikan Pelagis Kecil Potensi (103 ton/tahun) 605,44 12,32 Produksi (103 ton/tahun) 333,35 Pemanfaatan (%) 55,06 3 Ikan Demersal Potensi (103 ton/tahun) 87,20 1,78 Produksi (103 ton/tahun) 167,38 Pemanfaatan (%) > 100 4 Ikan Karang Konsumsi Potensi (103 ton/tahun) 15,38 0,31 Produksi (103 ton/tahun) 24,11 Pemanfaatan (%) > 100 5 Udang Panaeid Potensi (103 ton/tahun) 4,80 0,10 Produksi (103 ton/tahun) 30,91 Pemanfaatan (%) > 100 6 Lobster Potensi (103 ton/tahun) 0,70 0,01 Produksi (103 ton/tahun) 0,65 Pemanfaatan (%) 92,86 7 Cumi – Cumi Potensi (103 ton/tahun) 3,88 0,08 Produksi (103 ton/tahun) 7,95 Pemanfaatan (%) > 100 Potensi (103 ton/tahun) 911,00 18,54
Produksi (103 ton/tahun) 649,45 13,26 *)
Pemanfaatan (%) 71,29 71,52Sumber : BRKP-DKP dan P30-LIPI (2001) dalam Hasil Penelitian PKSPL - TROPIS Fak. Pertanian UNTAD 2007 *) Produksi di Lokasi Survei Kabupaten Donggala Tahun 2003
51
3. Potensi Sumber Daya Tambang dan Mineral
Potensi sumber daya tambang dan mineral di Kabupaten Donggala,
berdasarkan data terakhir sampai tahun 2007 (Dinas Pertambangan dan Energi
Propinsi Sulawesi Tengah, 2008) yang hingga kini masih belum terkelola dengan
optimal dalam menghasilkan PAD, dan membutuhkan perencanaan dan
pemanfaatan – dan termasuk masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui jumlah deposit yang dikandung pada berbagai wilayah sebarannya di
Kabupaten Donggala – yang tersedia antara lain:
a. Minyak dan Gas Bumi
Berasal dari bahan-bahan organik dalam endapan sedimen laut yang
mengalami perubahan dan pemisahan serta migrasi dari tempat asalnya karena
pengaruh tekanan dan temperatur yang tinggi dan dalam waktu yang lama.
Minyak dan gas bumi ini bermanfaat sebagai sumber energi/bahan bakar.
Terdapat di peraiaran selat Makassar tepatnya di Desa Surumana Kecamatan
Banawa Selatan (Blok Surumana). Keadaan dalam proses menuju tahap
eksplorasi.
b. Batu Bara
Terdapat di Desa Toaya dan Tamarenja Kecamatan Sindue dengan lokasi
penyebaran sekitar 15 Ha terdapat pada formasi Malosa, berselang seling
dengan lempung sn batu pasir halus sampai kasar dengan ketebalan 0,15 – 3, 0
m. Berdasarkan hasil analisa grab sampling menunjukkan kadar air 20,79%,
abu 9,68%, fix carbon 29,55%, belerang 1,26% dengan nilai kalori 4.130
Kcal.
52
c. Galena
Merupakan hasil proses hidrotermal. Bermanfaat untuk pembungkus
kabel, solder, amunisi, pembuatan lempeng Pb, baterai dan bahan tube.
Terdapat di Sungai Lewara Hulu dan Kecamatan Marawola Kabupaten
Donggala.
d. Emas
Terdapat di Kecamatan Sigi Biromaru dengan lokasi wilayah sebaran
228.700 Ha.
e. Granit
Terdapat di Kecamatan Dolo (Desa Mantikole) dan Kecamatan Marawola
(cadangan 93 Juta m3), Kecamatan Damsol, Desa Ogoamas, Balukang,
Siboang, Sabang sampai Malona (cadangan 12, 287 milyar m3), Kecamatan
Balaesang, Desa Sibayu sampai Sibuolang, Tambu sampai Labean,
Walaudano sampai Poolulu (cadangan 84,324 milyar m3), dan Kecamatan
Sirenja, Desa Lende (cadangan 2,442 milyar m3).
f. Diorit dan Andesit
Merupakan intrusi batuan beku yang bersifat intermediate dengan
kandungangn SiO2 sekitar 50 – 60%. Bermanfaat sebagai konstruksi
bangunan, alas jalan raya,campuran beton bertulang, bahan konstruksi darat
dan air, bahan arsitektur dan ornamen. Terdapat di Kecamatan Banawa dan
Kecamatan Tawaeli.
53
g. Pasir Felspar-Kuarsa
Merupakan hasil pelapukan fisik (ides-integrasi) batuan granit yang
bersifat pegmatitik (berbutiran sangat kasar). Bermanfaat sebagai bahan
keramik, semen portland, isilator rendah sampai menengah, industri kaca dan
kertas. Terdapat di Sepanjang pantai desa Ogoamas sampai Lenju, desa
Siboang, Tonggolobibi dan desa Malonas sampai Sabang Kecamatan Damsol
(cadangan 15,91 juta m3), Sepanjang pantai Sibayu, Tambu, Mepanga dan
Lambonga Kecamatan Balaesang (cadangan (22,72 juta m3), dan Pantai Lende
Kecamatan Sirenja (cadangan 0,5 juta m3)
h. Batu Gamping
Terdapat di Desa Ganti, Kabonga, Maleni, Kecamatan Banawa (0,5 milyar
m3), dan Desa Kaliburu, Batusuya, Daerah Loro Kecamatan Sindue (12 Juta
m3).
i. Pospat
Sebagai hasil rekasi antara kotoran, urin, bangkai burung dan kelelawar
yang tinggai digua-gua dengan batu kapur. Bermanfaat sebagai bahan baku
pembuatan pupuk, korek api, pemurni gula dan fotografi. Terdapat di Desa
Kabonga, Kabonga Besar dan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa.
j. Lempung dan Tanah Liat
Terdapat di Kecamatan Banawa (5,1 juta m3), Kecamatan Sirenja (592
ribu m3), dan Kecamatan Damsol (2,442 milyar m3).
54
4. Potensi Sumber Daya Lahan Pertanian
Kabupaten Donggala bila ditinjau dari aspek pengembangan dan peningkatan
sektor pertanian sangat potensial karena ditunjang oleh ketersediaan sumber daya
lahan yang masih sangat besar. Potensi lahan pertanian sebesar 404.965 Ha yang
terdiri dari lahan sawah sebesar 32.838 Ha, lahan kering 359.165 Ha, dan lahan
pekarangan sebesar 12.962 Ha. Potensi dan pemanfaatan lahan pertanian di
Kabupaten Donggala dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 5
Potensi dan Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Donggala
No. Jenis LahanPotensi
Pemanfaatan %
(Ha) (Ha)
1. Lahan Sawah 32.838 31.715 96,58
2. Lahan Kering 359.165 25.987 7,24
3. Lahan Pekarangan 12.962 8.522 65,75
Jumlah 404.965 66.224 16,35
Sumber : BPS Kabupaten Donggala 2006, diolah
Tabel di atas, menunjukkan bahwa potensi lahan pertanian sebesar 404.965
Ha, dan baru termanfaatkan sekitar 16,35% atau sebesar 66.224 Ha (16,35%).
Sehingga masih terdapat peluang pengembangan lahan pertanian sebesar 338.741
Ha (83,65%) melalui perluasan areal (Penambahan Baku Lahan) terhadap potensi
lahan yang belum dimanfaatkan. Memperhatikan potensi sumberdaya pertanian,
wilayah Kabupaten Donggala memiliki peluang besar untuk pengembangan
usahatani padi sawah dan buah – buahan karena ditunjang oleh potensi
sumberdaya lahan yang luas, iklim dan letak geografis yang strategis.
55
B. Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Wilayah Perdesaan Pesisir
Untuk mencermati peran serta atau partisipasi masyarakat dalam penataan
ruang pesisir dan laut – khususnya pada wilayah penelitian – tidak dapat terhindarkan
dari arah sejarah perjalanan bangsa pada masa sebelumnya, utamanya sejarah
perjalanan pemerintahan Indonesia periode Orde Baru yang syarat dengan sejarah
developmentalisme. Bahkan hampir semua ruang sektor publik didominasi oleh
negara dan menjadikan ruang partisipasi masyarakat sebagai sebuah ”slogan
pembangunan” yang syarat dengan sub-ordinasi.
Dominasi negara tersebut, oleh Tarigan (2007) dipicu oleh 2 faktor tambahan
yaitu Pertama, besarnya oleh sumberdaya pembangunan yang dimiliki oleh negara;
Kedua, lemahnya daya tawar masyarakat sipil yang masih terkotak-kotak dalam
kantung-kantung kepentingan dan ideologi parokial. Kondisi pertama terjadi
sepanjang tahun 1970 sampai dengan 1980-an, yang ditandai oleh aliran modal
pembangunan yang sangat besar dari dua sumber utama, yaitu eksploitasi kekayaan
sumberdaya alam – dipusatkan pada pemanfaatan potensi sumberdaya hutan sebagai
emas hijau – yang ditopang sepenuhnya oleh investasi asing, dan bekalangan mulai
merambah pada kekayaan sumberdaya alam laut yang dikenal sebagai emas biru.
Sementara itu kondisi kedua ditandai oleh sebaran kekuatan masyarakat sipil dalam
berbagai kategori parokial sehingga gagal memberi tekanan efektif terhadap negara.
Dalam posisi inilah, negara mampu menunjukkan diri sebagai aktor dominan di
bawah label kepentingan nasional dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan sosial
politik sipil yang terpecah-pecah dalam wilayah kepentingan.
56
Memasuki era otonomi daerah yang syarat dengan kekuatan dan kemampuan
daerah dalam mengupayakan tingkat kemandirian daerah dalam proses pelaksanaan
pembangunan daerah, tidak serta merta terlaksana dengan baik tanpa melibatkan
partisipasi dalam program-program pembangunan yang didasarkan atas regulasi
maupun kebijakan-kebijakan penataan ruang yang secara jelas dapat memberi nilai
manfaat terhadap partisipasi masyarakat – khususnya partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang perdesaan pesisir laut yang menjadi tema sentral dalam penelitian ini.
Pembangunan daerah, bila dicermati dalam kerangka otonomi daerah akan
seringkali terkait dengan pertanyaan bagaimana daerah memiliki kemampuan dalam
hal mengelola potensi sumber daya – alam dan manusia – yang dimiliki untuk
mencapai tahap kemandirian dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini harus
diterjemahkan sebagai pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat dalam
mengurus daerah dan masyarakatnya, yang secara signifikan mengandung berbagai
implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap pencapaian hasil yang diperoleh
daerah dalam mengisi ruang pembangunan yang tersedia, utama peran serta
masyarakat dalam mewujudkan pembangunan daerah secara berkelanjutan atas
pemanfatan sumberdaya yang tersedia dan bermartabat bagi kehidupan manusia.
Sebelum merunut lebih jauh tentang keberadaan partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang perdesaan pesisir laut di kabupaten donggala, satu hal yang umumnya
berlaku umum dalam wilayah penelitian adalah menyangkut situasi yang serba
terbatas dan disertai oleh berbagai kondisi yang menekan kehidupan, diantaranya:
rendahnya perkembangan sumberdaya manusia; lemahnya akses pembangunan;
lemahnya nilai tukar hasil produksi di pasaran; rendahnya tingkat produktifitas;
57
minimnya permodalan dan teknologi; lemahnya organisasi tingkat perdesaan;
rendahnya pendapatan; dan lemahnya posisi tawar dalam pembangunan. Jika diamati
secara lebih mendalam bahwa penyebab utama (mainstream) adalah terbatasnya
kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki.
Gambar : 5. Alur Partisipasi Masyarakat
Sumber: Bambang Ismawan, Partisipasi dan Dimensi Keswadayaan: Pengalaman LSM Membangun Keswadayaan Masyarakat, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II - No. 3 - Mei 2003.
Dalam kaitan dengan partisipasi aktif masyarakat, baik secara kelompok
maupun organisasi masyarakat dalam penataan ruang perdesaan pesisir laut di
kabupaten Donggala, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih
menghadapi berbagai kendala yang secara umum, jika dikaitkan dengan tingkat
kesadaran pelibatan dalam setiap perencanaan maupun pelaksanaan program-program
pembangunan kewilayahan – secara internal dalam cakupan wilayahnya – masih
menunjukkan sisi yang belum menempatkan arti partisipasi sesungguhnya, dimana
58
POSISITAWAR
PRODUKTIVITAS
AKSESPEMBANGUNAN
KESENJANGAN
PENDAPATAN
PARTISIPASI
NILAI TUKARMODAL
TEKNOLOGI
ORGANISASI
SUMBERDAYA
MANUSIA
dalam setiap peran serta dalam menciptakan inisiatif menuju kemandirian
pembangunan dari, oleh dan untuk mereka masih serba terkendala.
Dengan kebijakan yang ada, terbuka ruang bagi wilayah untuk merencanakan
penataan wilayahnya, dan kalaupun tidak menjadi ruang terbuka bagi orang luar
dalam memanfaatkan ruang tersebut. Pernyataan responden terhadap ada tidaknya
perencanaan wilayahnya sebagai berikut:
Tabel 6Pernyataan Responden Terhadap Keberadaan Tata Ruang Wilayahnya
Pernyataan Responden Jumlah PersentasiAda 14 31
Belum 12 27Tidak Tahu 19 42Jumlah 45 100
Sumber: Data Primer 2008
Umumnya di daerah penelitian belum mempunyai perencanaan ruang dan
kalaupun ada informasi tersebut umumnya masyarakat belum mengetahui peruntukan
ruang-ruang di wilayahnya. Sebagian responden yang meyakini ada tata ruang
disebabkan karena pernah diberitahu/diwawancarai oleh konsultan perencana
mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan tata ruang di wilayahnya. Menurut Ali,
masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti,
namun masyarakat tidak mempunyai daya untuk mempengaruhi hasilnya, karena
hasil akhir dari penelitian tersebut tidak pernah disampaikan kembali kepada mereka
dan atau dicek kebenarannya kepada masyarakat.
Namun model partisipasi yang melibatkan secara penuh pernah dirasakan oleh
kelompok nelayan yang difasilitasi dengan LSM dalam merencanakan ruang dan
pemanfaatannya. Masyarakat berpartisipasi secara aktif sehigga masyarakat
59
menyadari arti penting merencanakan wilayah kelola masyarakat dan arti penting
bersatu sehingga masyarakat dapat memegang kontrol terhadap bagaimana
sumberdaya digunakan. Namun jumlah masyarakat yang terlibat relatif masih kecil
sebatas kelompok nelayan dan belum melibatkan pemerintah desa setempat.
Yang menyatakan belum ada perencanaan di wilayahnya dilandasi pada
realitas objektif karena secara terbuka orang bisa saja memanfaatkan ruang hanya
dengan berbekal izin dari Kepala Desa. Sardin (51 tahun) mencontohkan banyaknya
perusahaan menambang pasir (galian C) tanpa ada musyawarah masyarakat. Yang
tidak tahu menganggap bahwa perencanaan bukan merupakan wilayah masyarakat
tapi merupakan wilayah orang-orang yang di atas yang mempunyai pengetahuan dan
kekuasaan.
Namun kesemua responden merasa pentingnya ada perencanaan mengenai
tata rung desanya. Hal ini dilandasi karena semakin terbukanya akses untuk orang
luar memanfaatkan ruang yang berakibat pendapatan nelayan semakin menurun
akibat pemanfaatan ruang tersebut.
Dari gambaran tersebut pelibatan masyarakat dalam proses pemanfaatan
ruang pihak luar rrelatif sudah ada, namun masih dilakukan sebatas apa adanya.
Berbagai peraturan dan perundangan dibuat dengan menyebutkan perlunya pelibatan
masyarakat. Undang-undang Tata Ruang, dan Undang-undang Lingkungan Hidup
sebagai contoh mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
terkait dengan wilayah kelola masyarakat. Namun partisipasi masyarakat lebih
cenderung terjadi di level mobilisasi sumberdaya masyarakat untuk kegiatan-kegiatan
fisik. Masyarakat masih kurang terlibat pada level kebijakan padahal hak partisipasi
60
masyarakat sebagai stakeholder melekat dalam dirinya karena dampak dari
pemanfaatan ruang akan berimbas pada masyarakat.
Secara internal, kendala utama partisipasi masyarakat dalam setiap
kegiatan/program karena seringkali diperhadapkan masalah ekonomi keluarga
disamping keterbatasan sumberdaya manusia. Masyarakat dengan kendala ekonomi
keluarga lebih memikirkan pendapatan keluarganya dan kurang peduli dengan ruang
wilayah yang dimasuki orang luar. Hal umum yang menjadi perhatian masyarakat
khsusunya nelayan adalah menyangkut sumber pembiayaan usaha, teknologi dan
aspek jaringan pemasaran hasil produksi – perikanan dan perkebunan – yang pada
hakekatnya terpeliharanya mata rantai pemasaran produksi yang panjang sampai ke
pasar utama. Seperti halnya diungkapkan oleh Agus (salah seorang nelayan
tradisional di desa Alindau kecamatan Sindue) bahwa:
” ... hasil produksi ikan yang kami pancing maupun menggunakan pukat biasanya kami jual dengan orang-orang yang punya modal yang sebelumnya memberikan panjar kepada kami, dan biasanya pada saat hasil tangkapan melebihi seringkali pemodal menghargai dengan harga yang rendah, dan bahkan ada yang tidak laku akhirnya tidak menghasilkan pendapatan bagi kami...”.
Masyarakat nelayan beradaptasi untuk mengatasi kesulitan ekonomi rumah
tangganya dengan membangun relasi sosial dengan pemodal, tapi dari hubungan
sosial tersebut menyebabkan masyarakat miskin/nelayan terjebak dalam suatu
lingkaran kemiskinan yang terus menerus. Kondisi kemiskinan menyebabkan
nelayan miskin makin jauh dari partisipasi dan integrasi ke dalam masyarakat yang
lebih luas, hal ini disebabkan karena bentuk dari interaksi dan hubungan sosial di
wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh faktor kedudukannya dalam masyarakat.
61
Program Pemberdayan ekonomi baik yang dilakukan Pemerintah atau LSM
selama ini belum melihat hubungan sosial yang tidak adil sebagai suatu masalah,
sehingga keberlangsungan hidup masyarakat nelayan sekalipun sebagai penerima
manfaat program pemberdayaan, namun tetap kembali pada masalah pola atau
institusi patron-klien seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir yang
sebenarnya merupakan jebakan patron demi melanggengkan usahanya. Namun
berdasarkan pandangan nelayan, kuatnya pola hubungan tersebut (patron-client) di
masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko
ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka dengan bergantung pada
pemilik modal, karena ketiadaan institusi ekonomi lokal.
Kemiskinan di wilayah pesisir tersebut oleh pihak pemerintah/LSM
menjadikan wilayah pesisir sebagai objek program-program pemberdayaan. Untuk
pelibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan program pemberdayaan seperti pada
Tabel berikut:
Tabel 7Pernyataan Responden Terhadap Pelibatannya
dalam Program Pemberdayaan
Pernyataan Responden Jumlah PersentasiYa 18 40Tidak 20 44Tidak Tahu 7 16Jumlah 45 100
Sumber: Data Primer 2008
Yang menyatakan adanya keterlibatan masyarakat dalam program-program
pemberdayaan, karena dalam program-program pemberdayaan masyarakat di desa
proses selama ini diawali dengan musyawarah. Setelah itu masyarakat membentuk
62
kelompok yang diminta oleh pihak luar. Yang menyatakan tidak karena menganggap
bahwa pemberi bantuan (pihak luar) sudah menentukan sebelumnya tujuan dan
bentuk bantuannya. Keterlibatan masyarakat tidak terjadi pada saat awal dari
perencanaan proyek melainkan setelah kebijakan-kebijakan utama tentang proyek
tersebut telah diambil. Kelompok yang dibentuk ini biasanya tergantung kepada pihak
fasilitator atau pelaksana proyek, tetapi mungkin saja menjadi kelompok yang
independen di kemudian hari.
Yang tidak tahu umumnya kebingungan mengambil sikap karena disatu sisi
ada juga masyarakat yang diikutkan dalam perencanaan namun bersifat simbolis.
Responden lainnya menganggap orang yang dilibatkan dalam perencanaan kadang
tidak mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dan hal yang paling
mendasar adalah tidak adanya proses dokumentasi hasil-hasil pembicaraan awal
sehingga karena ketiadaan/ketidak lengkapan data tersebut sehingga sulit bagi
masyarakat untuk berargumentasi ketika ada proyek yang tidak sesuai dengan
pembicaraan awal.
Lain halnya dengan Abdullah (tokoh masyarakat desa Tosale)
mengungkapkan
”... bagaimana mungkin mengharapkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam perencanaan wilayah, sementara program-program yang diluncurkan oleh pemerintah ke tengah-tengah masyarakat yang dengan maksud merangsang kemandirian masyarakat, hampir tidak pernah melibatkan secara langsung masyarakat dalam tahapan awal perencanaan, sehingga dalam pelaksanaannya yang terjadi adalah kegagalan-kegagalan yang cukup berarti dihadapi masyarakat dan cenderung pemerintah tidak sedikit mengeluarkan biaya. Dan bahkan ada kecenderungan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan yang diluncurkan pemerintah tidak diawali dengan persiapan sosial yang matang berdasarkan kondisi kultural dan struktural yang dihadapi
63
masyarakat khususnya menyangkut kepastian pasar dan perlindungan usaha bagi masyarakat...”
Untuk keterlibatan masyarakat dalam program-program yang sifatnya
swakelola relatif bagus, pertanyaan kepada responden tentang adakah pengalaman
masyarakat dalam perencanan yang dibuat oleh masyarakat sendiri, hasilnya seperti
pada Tabel berikut:
Tabel 8Pernyataan Responden Terhadap Perencanaan Swakelolah
Pernyataan Responden Jumlah PersentasiAda 38 84Belum 7 16Jumlah 45 100
Sumber: Data Primer 2008
Yang menyatakan ada karena berdasarkan pengalaman bahwa bila ada
masalah-masalah sosial, masyarakat dengan sendirinya bermusyawarah untuk
memecahkan masalah tersebut. Yang menyatakan belum karena masalah-masalah
sosial yang biasa dimusyawarahkan hanya kepada urusan-urusan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan yang mendasar.
Terlepas dari subtansi masalahnya, dari gambaran tersebut, pada dasarnya
masyarakat perdesaan pesisir mempunyai budaya kerjasama yang aktif melibatkan
masyarakat. Dengan atau tanpa terkait pemerintah, masyarakat secara turun temurun
bersama-sama telah berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
komunitasnya. Masyarakat tradisional memiliki mekanisme untuk menyelesaikan
persoalan komunitasnya secara partisipatif. Masyarakat terbiasa untuk terlibat
(berpartisipasi) bahkan menyumbangkan sumberdaya yang dimiliki untuk
menyelesaikan permasalahan atau kebutuhan komunitasnya. Masyarakat yang pada
64
dasarnya partisipatif ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
mensukseskan program atau agenda pemerintahan dengan memanfaatkan sumberdaya
masyarakat. Masyarakat diminta berpartisipasi untuk suatu kegiatan yang merupakan
agenda pemerintah bukan merupakan kebutuhan masyarakat.
Kebiasaan masyarakat untuk bekerja secara bersama dalam menyelesaikan
permasalahannya atau kebutuhan mereka akan semakin memudahkan mobilisasi
masyarakat dalam pembangunan. Berbeda dengan penyelenggara pemerintahan yang
berhasil melaksanakan agenda pemerintah yang terkait dengan masyarakat dilakukan
dengan sumberdaya masyarakat dengan berbagai program swadaya, swadana dan
lainnya. Sementara untuk kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan
masyarakat, yang juga menggunakan dana publik cenderung dilaksanakan sendiri
atau paling tidak membayar pihak ketiga untuk melaksanakannya dengan
mengabaikan aspirasi dan pendapat masyarakat apalagi mengajak masyarakat sebagai
pemilik dana publik tersebut untuk ikut memutuskan.
Partisipasi masyarakat hanya dianggap sebagai kewajiban masyarakat untuk
menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya untuk mensukseskan agenda kegiatan
yang dirumuskan oleh pemerintah. Partisipasi lebih dianggap sebagai kegiatan
mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Olehnya untuk membuka kesadaran
partisipatif masyarakat dalam penataan dan pengelolaan wilayah adalah bagaimana
pemerintah secara bersama-sama menciptakan transparansi program dengan
menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, dalam arti mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring evaluasi, dilaksanakan secara terbuka
berdasarkan tujuan dan output program dengan bersandarkan kekuatan budaya lokal.
65
Lebih dari itu, Ahmad (Tokoh masyarakat desa Tanjung Padang Kecamatan
Sirenja), menekankan pentingnya pemerintah membuka diri untuk melibat-aktifkan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta dalam penyusunan dan pembahasan
peraturan daerah, menyangkut sektor publik yang berkaitan dengan ruang mereka.
Karena selama ini menurutnya partisipasi masyarakat perdesaan, biasanya muncul
secara aktif pada saat bersentuhan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang bekerja di wilayah mereka, meskipun tidak sedikit pemerintah lokal memandang
miring dan kurang bersahabat dengan mereka.
Dari pernyataan yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa tingkat
partisipasi masyarakat dalam penataan ruang perdesaan pesisir laut di Kabupaten
Donggala, masih mengalami hambatan yang cukup berarti jika dikaitkan dengan
keterlibatan para pihak yang memiliki berbagai kepentingan ekonomi jangka pendek
yang ditentukan oleh kelompok elite yang secara dominan mewarnai penetapan tata
ruang, seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemasukan kas pemerintah daerah atau
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang secara substansial seringkali berhadapan
dengan kepentingan masyarakat lokal atas perlindungan dan pengelolaan wilayah.
Dalam arti, akses masyarakat yang luas terhadap informasi tata ruang,
kesadaran masyarakat yang tinggi tentang pentingnya berperan serta, dan kemampuan
memahami objek permasalahan, akan berhadap-hadapan dengan kepentingan
pemerintah daerah yang hanya mengejar target PAD dengan memberikan akses yang
besar bagi kepentingan investasi daerah, utamanya penerbitan izin tambang galian C
66
dan hak pengusahaan hutan yang masuk dalam wilayah kelola masyarakat. Hal-hal
seperti inilah proses penetapan dan perubahan tata ruang seringkali berjalan tanpa
dilandasi pertimbangan maupun arahan pembangunan yang berwawasan lingkungan
dan keberpihakan terhadap masyarakat lokal. Karena itu, pertimbangan terhadap tata
ruang maupun revisi tata ruang dalam kaitannya dengan peningkatan sumber-sumber
penerimaan daerah, haruslah mempertimbangkan aspek ekonomi termasuk di
dalamnya aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek sosial dan budaya setempat
sebagai jawaban terhadap penciptaan kemandirian dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah.
C. Strategi Penataan Ruang Wilayah Perdesaan Pesisir
Penggunaan alat analisis SWOT dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk
menggambarkan analisis kondisi lingkungan internal dan eksternal, yang merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi strategi penataan ruang perdesaan pesisir dan laut
di Kabupaten Donggala. Berdasarkan peta situasi lingkungan internal – yang
mengambil sampel pada 29 desa pesisir dan laut di 3 kecamatan –di lokasi penelitian,
dan situasi lingkungan eksternal yang dapat berpengaruh terhadap penataan ruang
perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, dapat diuraikan berikut.
1. Faktor Internal
a. Kekuatan
1). Sumber Daya Ekonomi Pesisir dan Laut.
Terdapat sejumlah kekayaan pesisir laut yang dapat dijadikan sumber daya
ekonomi baik sebahai bahan baku pabrik maupun barang jadi, seperti
sumberdaya tambang, mineral dan hasil laut serta hasil-hasil pertanian.
67
2). Biodiversity dan Keanekaragaman Hayati.
Bodiversity dan keanekaragaman kehidupan bawah laut, serta hamparan
pohon bakau (mangrove) di pesisir pantai yang dapat djadkan
pengembangan parawisata pantai atau sebagai pusat penelitian ilmiah.
3). Penduduk.
Sebagian besar penduduk bertempat tingal disekitar pesisir pantai.
4). Nilai Sosial Budaya.
Nilai-nilai sosial budaya adalah penting untuk dijadikan bahan
pengembangan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi norma-
norma yang dapat dioperasionalkan menjadi landasan dan rambu-rambu
pengamanan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut
b. Kelemahan
1). Belum ada Peraturan Daerah yang spesifik tentang Penataan Ruang
pesisir dan laut.
2). Belum ada perencanaan strategis tentang perencanaan ruang pesisir dan
laut secara berkelanjutan.
3). Kurangnya tenaga ahli dan tenaga terampil.
4). Belum ada lembaga lokal yang dapat mengelola, mengawasi, dan
mengendalikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Tabel 9 menggambarkan bahwa faktor kekuatan yang mempunyai nilai
bobot terbesar adalah potensi sumber daya ekonomi, sedangkan faktor kelemahan
yang sangat lemah adalah belum adanya perencanaan strategis dan penataan ruang
di Kabupaten Donggala yang dijadikan sebagai dasar pemanfaatan/pengelolaan
ruang wilayah pesisisr & laut bagi masyarakat secara berkelanjutan.
68
Tabel 9
Penilaian Identifikasi Faktor Internal Berdasarkan Rating Scale Rensis Likert di Kabupaten Donggala
SWOT IDENTIFIKASI FAKTORNilai
Urgensi (NU)
BOBOT FAKTOR
(BF)
Strength/Kekuatan
Potensi Sumber Daya Ekonomi Pesisir & Laut
5 0.16
Biodiversity & keanekaragamanan hayati
4.33 0.13
Penduduk
3.67
0.13
Sosial Budaya
3.67
0.13
Weakness/ Kelemahan
Belum ada peraturan daerah yang membahas secara spesifik tentang penataan ruang dan atau pengelolaan wilayah pesisir & laut
3.67
0.13
Belum ada perencanaan strategis dan penataan yang dijadikan dasar bagi pengelolaan wilayah pesisisr & laut secara berkelanjutan
4
0.13
Kurangnya tenaga ahli & tenaga trampil berpendidikan yang dapat mengoptimalkan pengembangan dan pengelolaan pesisir & laut bagi kepentingan peningkatan pendapatan keluarga
3
0.10
Belum ada kelembanggaan lokal yang secara maksimal dapat mengelola, mengawasi, dan mengendalikan pengelolaan wilayah pesisir & laut
3
0.10
TOTAL NILAI URGENSI (TNU) 30.33 1.00Sumber: Data Primer 2008
69
2. Faktor Eksternal
a. Peluang
1). UU Otonomi Daerah dan UU Penataan Ruang.
2). Lembaga-lembaga Perencana (Pemerintah dan Non-Pemerintah).
3). Program Pendidikan dan Pelatihan.
4). Lembaga Sosial Kemasyarakatan (Lokal dan Nasional).
b. Ancaman
1). Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut.
Merupakan ancaman jika eksploitasi sumberdaya tersebut tidak
mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutannya.
2). Penghancuran ekosistem kehidupan bawah laut.
3). Penguasaan pihak luar, yang bermodal, terampil dan berpendidikan.
4). Konflik pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Dari Tabel 10 menggambarkan bahwa faktor peluang yang mempunyai nilai
bobot terbesar menunjukkan adanya peluang kebijakan secara nasional seperti
Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 & 33 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan Undang-Undang No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memungkinkan Pemerintah Daerah
membuat perencanaan di wilayahnya.
Sedangkan ancaman yang akan muncul di wilayah pesisir jika masalah ini
didiamkan adalah persoalan eksploitasi Sumber Daya Pesisir & Laut secara massif
yang berakibat pada penghancuran ekosistem kehidupan wilayah pesisir & laut,
terutama ekosistem lingkungan kehidupan biota laut.
70
Tabel 10Penilaian Identifikasi Faktor Eksternal Berdasarkan Rating Scale Rensis Likert di Kabupaten Donggala
SWOT IDENTIFIKASI FAKTORNilai
Urgensi (NU
BOBOT FAKTOR
(BF)
Opportunity/ Peluang
Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 & 33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
5
0.17
Ada lembaga Pemerintah dan Non Pemerintah yang bertujuan membuat perencanaan strategis tentang ekosistem pesisir & laut
3.67
0.13
Ada Program Pendidikan dan Pelatihan pengelolaan sumber daya pesisir & laut secara berkelanjutan
3.33
0.10
Ada lembaga Lokal maupun Nasional yang dijadikan aliansi dalam pengelolaan pesisir & laut secara berkelanjutan
4.33
0.13
Threat/Ancaman
Eksploitasi Sumber Daya Pesisir & Laut secara massif
3
0.13
Penghancuran ekosistem kehidupan wilayah pesisir & laut, terutama ekosistem lingkungan kehidupan bawah laut
3
0.13
Pengelolaan sumber daya pesisir & dikuasai oleh pihak luar dengan kemampuan pendidikan, keterampilan modal, dan peralatan yang lebih unggul (modern)
3
0.10
Konflik pengelolaan wilayah pesisir & laut
2.67
0.10
TOTAL NILAI URGENSI (TNU) 28.00 1.00
Sumber: Data Primer 2008
71
3. Kuadran SWOT
Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) -- lihat lampiran 7 dan 8, maka
peta SWOT sebagaimana Gambar 6. Untuk penjelasan kuadran sebagai berikut:
a. Kuadran I
Kuadran I dikenal dengan istilah Growth. Merupakan situasi yang sangat
menguntungkan, karena memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam
kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif Growth
Oriented Strategy.
b. Kuadran II
Kuadran II atau Stabilization atau stabilitas mengandung pengertian bahwa
meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi masih memiliki peluang
dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah memanfaatkan
peluang dengan mengatasi berbagai kelemahan yang ada.
c. Kuadran III
Kuadran III adalah Survival, dalam arti bahwa meskipun menghadapi peluang
yang sangat besar, tetapi dilain pihak menghadapi beberapa kelemahan
internal. Strategi yang harus diterapkan adalah bagaimana meminimalkan
masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik.
72
d. Kuadran IV
Kuadran ini dikenal dengan nama Diversification, merupakan situasi yang
sangat tidak menguntungkan, karena menghadapi berbagai ancaman eksternal
dan kelemahaan internal.
Gambar 4.1
Gambar 6 . Diagram Analisis Swot Penataan Ruang Perdesaan
Pesisir dan Laut Kabupaten Donggala
Berdasarkan diagram analisis SWOT seperti dijelaskan pada Kuadran SWOT,
secara internal menghasilkan variabel kekuatan (Strenght) sebesar 1,37 dan
variabel kelemahan sebesar – 0,91. Sementara itu, secara eksternal menghasilkan
variabel peluang sebesar 1,24 dan variabel ancaman sebesar – 0,73. Atau nilai
absisnya adalah 0,51 dan ordinatnya adalah 0,46. Dengan demikian titik
73
S = 1,37( + )
( + )O = 1,24
W = 0,91( - )
T = 0,73( - )
0,51
0,46
IVIII
III
koordinatnya sebesar (0,46 – 0,51) yaitu berada di kuadran I atau tepatnya
pada posisi strategi pertumbuhan stabil (stable growth strategy) karena
(S – W) < (O – T).
4. Strategi Penataan Ruang Perdesaan Pesisir dan Laut
Posisi kuadran berada pada Strategi Pertumbuhan Stabil menunjukkan secara
keseluruhan dari kemampuan penataan ruang perdesaan pesisir dan laut
Kabupaten Donggala lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang ada, sehingga
usaha pertumbuhan daerah atau desa-desa yang berada di wilayah pesisir dan laut
Kabupaten Donggala dilakukan sebatas kemampuan. Dengan kata lain,
pertumbuhan penataan ruang perdesaan pesisir dan laut dilakukan secara
bertahap.
Dalam upaya memaksimalkan penataan ruang, maka perlu dirumuskan suatu
strategi perencanaan yang disajikan dalam gambar matrik SWOT pada Tabel 11.
Berdasarkan diagram kuadran SWOT tersebut di atas, maka untuk
memaksimalkan kekuatan internal dalam meraih dan mendayagunakan peluang
yang ada dijalankan dengan melaksanakan strategi SO, yaitu sebagai berikut:
a. Membuat rancangan dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
& Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Laut secara Berkelanjutan;
74
Tabel 11Strategi Penataan Ruang Perdesaan Pesisir dan Laut
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (Strengths)
Kelemahan (Weaknesses)
Peluang (Opportunities)
Strategi SO
1. Membuat rancangan dan menetapkan Perda tentang Pengelolaan & Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Laut secara Berkelanjutan
2. Menjalin hubungan kemitraan dan kerja sama Para Pihak dalam membuat perencanaan strategis tentang Pengelolaan & Pemanfaatan Ekosistem Pesisir & Laut
3. Menciptakan program-program penguatan kelembagaan local dalam Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengawasan, dan Pengendalian Wilayah Pesisir & Laut secara Berkelanjutan
Strategi WO
1. Meningkatkan pengembangan Sumberdaya manusia local melalui Pendidikan & Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir & Laut secara Berkelanjutan
2. Mendorong masyarakat atau lembaga-lembaga local untuk turut berpartisipasi dalam Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengawasan, dan Pengendalian Wilayah Pesisir & Laut secara berkelanjutan
3. Pembentukan dan Penguatan Lembaga Lokal yang berfungsi mengontrol dan mengawasi pengelolaan Sumberdaya Pesisir & Laut
Ancaman (Threats) Strategi ST
1. Meningkatkan kontrol dan pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya pesisir & laut
2. Mempertahankan & melindungi Biodiversity & keanekaragaman hayati berdasarkan pertimbangan lingkungan dan keberlanjutannya
3. Menumbuhkembangkan Kearifan Budaya Lokal yang bersentuhan dengan Perlindungan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir &
Strategi WT
1. Minimalisasi eksploitasi sumberdaya Pesisir & Laut
2. Meminimalisasi penghancuran ekosistem kehidupan wilayah Pesisir & Laut
3. Meminimalisasi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir & Laut
75
Laut secara berkelanjutan
Sumber: Data Primer 2008
b. Menjalin hubungan kemitraan dan kerja sama Para Pihak dalam membuat
perencanaan strategis tentang Pengelolaan & Pemanfaatan Ekosistem Pesisir
& Laut;
c. Menciptakan program-program penguatan kelembagaan local dalam
Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengawasan, dan Pengendalian Wilayah Pesisir &
Laut secara Berkelanjutan.
D. Hasil Analisis Regresi
1. Hubungan antarvariabel Penelitian
Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, dijelaskan secara
deskripsi statistik pada Tabel 12.
Tabel 12 Deskripsi Statistik
Uraian PL JPDK KAPITA KAKAO Mean 2412.333 1967.545 7022.394 114.8548 Median 1854.000 1985.000 6640.000 40.00000 Maximum 5770.000 3628.000 11147.00 628.3200 Minimum 658.0000 618.0000 5749.000 1.050000 Std. Dev. 1489.525 867.1827 1291.657 159.9558 Skewness 0.639057 0.316164 1.499505 1.792832 Kurtosis 2.263499 2.208998 5.107999 5.313562
Jarque-Bera 2.992016 1.410095 18.47687 25.03814 Probability 0.224023 0.494085 0.000097 0.000004
Sum 79607.00 64929.00 231739.0 3790.210 Sum Sq. Dev. 70997877 24064186 53388076 818747.4
Observations 33 33 33 33 Sumber: Data Primer 2008
76
Pada Tabel tersebut menunjukkan bahwa data Produksi Sektor Unggulan
(Kakao) mempunyai standar deviasi yang sangat besar dengan nilai rata-ratanya,
yang memberi indikasi awal bahwa data tidak terdistribusi secara normal,
sehingga untuk kebutuhan pemilihan model awal perlu dilakukan transformasi
dalam bentuk logaritma dengan model yang dimungkinkan adalah lin-log
(semilog) dan log-linear (double log), untuk mendapatkan model yang terbaik
(goodness of fit).
2. Pemilihan Model Awal
Berdasarkan hasil analisis dengan regresi linier berganda terhadap data
penelitian, dalam bentuk lin-log dan log-log (double log), secara ringkas dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13Ringkasan Hasil Regresi
Model Lin-Log dan Model Log-Lin
ParameterModel Lin-Log Model Log-Lin
Koefisien Std. Error Koefisien Std. Error
b0 1923.522 1297.081 7.131606 0.553672
b1 0.869932 0.304052 0.000380 0.000130
b2 -0.326911 0.221879 -0.000123 9.47E-05
b3 288.2045 158.0779 0.154807 0.067477
R2 0.280910 0.328784
D-W 1.738694 1.614142
F-statistik 3.776257 4.735046
Sumber: Data Primer 2008
77
Hasil regresi pada Tabel 13 dapat disimpulkan bahwa kedua bentuk fungsi
model mempunyai tanda koefisien yang sesuai secara teoritis. Model Log-Lin
mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai F yang tinggi dibanding
model Lin-Log.
Kriteria koefisien determinasi (R2) menunjukkan kemampuan besaran statistik
deskriptif untuk dipakai sebagai salah satu kriteria memilih suatu model terutama
dikaitkan dengan uji keserasian dari model yang sedang ditaksir, di mana model
yang lebih baik adalah yang memiliki nilai R2 yang lebih tinggi (Insukindro,
1998: 1-2).
Untuk menentukan kriteria model terbaik, maka dilakukan pemilihan model
untuk menghindari kemungkinan kesalahan spesifikasi, melalui prosedur uji
MacKinnon, White, dan Davidson (MWD), dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Estimasi persamaan model alternatif yang dipilih, yaitu lin-log dan log-
log(double log).
b. Menentukan nilai fitted (F1 untuk model lin-log dan F2 untuk model log-
log) dengan cara mengurangkan variabel terikat dengan residualnya.
c. Menyatakan nilai Z1 sebagai log F1 dikurangi F2 dan Z2 sebagai antilog
F2 dikurangi F1.
d. Estimasi persamaan model lin-log dengan memasukkan Z1 sebagai
variabel bebas.
PL = 0 + 1 JPdk + 2 Kapita + 3 LogKakao + 4 Z1
78
e. Estimasi persamaan model log lin dengan memasukkan Z2 sebagai
variable bebas.
LogPL = 0 + 1 JPdk + 2 Kapita + 3 LogKakao + 4 Z2
f. Lihat nilai p-value Z1 dan Z2. Jika Z1 signifikan secara statisitik, maka
hipotesis yang menyatakan bahwa model yang benar adalah lin-log ditolak,
dan sebaliknya. Jika Z2 signifikan secara statistik maka hipotesis yang
menyatakan bahwa model yang benar log-linier ditolak..
Tabel 14
Hasil Uji MWD
Parameter /t-stat/ t-tabel Kesimpulan
Z1 0.262382 2,048 Signifikan
Z2 -0.484296 2,048 Signifikan
Sumber: Data Primer 2008
Berdasarkan hasil uji MWD model lin-log dan model log-lin (double log)
memiliki parameter Z1 dan Z2 yang tidak signifikan secara statistik, di mana
t-hitung < t-tabel. Berdasarkan uji MWD yang dikaitkan dengan koefisien determinasi
(R2), menunjukkan bahwa model log-lin lebih baik dari model lin-log dengan R2
sebesar 32,88%. Dengan demikian, model log-lin selanjutnya akan digunakan
sebagai model empiris dalam penelitian.
Model regresi log-lin dapat digambarkan dalam persamaan matematis berikut.
LogPL = 0 + 1 Jpdk + 2 Kapita + 3 LogKakao +
Di mana,
79
LogPL : adalah Logaritma Pemanfaatan Lahan dalam hektar
0 : adalah konstanta
1 … 3 : adalah koefisien variabel bebas
: faktor eror (error term)
Jpdk : adalah Penduduk yaitu jumlah penduduk dari masing-masing atau
keseluruhan sampel penelitian yang terdiri dari 33 Desa yang
berada di 3 Kecamatan di Kabupaten Donggala.
Kapita : adalah Pendapatan Per Kapita dari masing-masing atau keseluruhan
sampel penelitian yang terdiri dari 33 Desa yang berada di 3
Kecamatan di Kabupaten Donggala.
LogKakao : adalah Logaritma Produksi Sektor Unggulan Kakao yaitu jumlah
produksi kakao (dalam ton) dari masing-masing atau keseluruhan
sampel penelitian yang terdiri dari 33 Desa yang berada di 3
Kecamatan di Kabupaten Donggala.
Regresi model log-lin diperoleh hasil koefisien dan parameter sebagai
berikut.
Tabel 15Hasil Regresi Model Log-Lin
Variabel Koefisien /t-stat/ /p-value/ Keterangan
C 7.131606 12.88057 0.0000* Signifikan
Jpdk 0.000380 2.928825 0.0066* Signifikan
Kapita -0.000123 -1.302638 0.2029 tidak signifikan
LogKakao 0.0154807 2.294213 0.0292** Signifikan
*) signifikan pada = 1% **) signifikan pada = 5% df = 33 Sumber: Data Primer 2008
80
Dari Tabel di atas, maka dibuat estimasi model regresi sebagai berikut.
Log PL = 7,131606 + 0,000380 Jpdk – 0,000123 Kapita + 0.0154807 LogKakao
/t-stat/ : (12.88057) (2.928825) (-1.302638) (2.294213)
SE : (0.553672) (0.000130) (9.47E-05) (0.067477)
/p-value) : (0.0000) (0.0066) (0.2029) (0.0292)
R2 : 0.328784
Adjusted R2 : 0.259347
F-hitung : 4.735046
D-W-hitung : 1.614142
Berdasarkan hasil estimasi model log-lin tersebut dapat diterjemahkan sebagai
berikut :
1. Koefisien variabel Jpdk sebesar 0,000380 mengindikasikan bahwa jika Jpdk
bertambah sebesar 1 maka akan meningkatkan rata-rata nilai PL (pemanfatan
lahan) sebesar 0,038% dari luas lahan.
2. Koefisien variabel Kapita sebesar – 0,000123 mengindikasikan bahwa jika
Kapita (pendapatan per kapita) bertambah sebesar 1 maka akan menurunkan
rata-rata nilai PL (pemanfatan lahan) sebesar 0,012%.
3. Koefisien variabel Kakao sebesar 0,0154807 mengindikasikan bahwa jika
Kakao bertambah sebesar 1 maka akan meningkatkan rata-rata nilai PL
(pemanfatan lahan) sebesar 1,54%.
3. Uji Statistik
81
Dari model yang terpilih selanjutnya dilakukan pembahasan statistik yaitu
meliputi uji p-value, uji-F dan uji koefisien determinasi (R2).
3.3.1 Uji p-value. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas
(independent variable) secara individual mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel tak bebas (independent variable). Berdasarkan Tabel 15 dapat
disimpulkan bahwa variabel bebas Jumlah Penduduk (Jpdk) dan variabel
Produksi sektor unggulan kakao (Kakao) berpengaruh signifikan terhadap
Pemanfaatan Lahan (PL) pada derajad kepercayaan 99% dan 95%. Sedangkan
variabel bebas Pendapatan per Kapita desa sampel (Kapita) secara signifikan
tidak berpengaruh terhadap variabel tak bebas.
3.3.2 Uji-F. Uji ini dilakukan untuk menguji apakah keseluruhan variabel
bebas secara bersama-sama memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel
tak bebasnya. Hipotesis dari pengujian ini adalah:
Ho : α = 1 = 2 = 3 = 0
H1 : α 1 2 3 0
Jika nilai F-hitung > F-tabel (0,05, k-1, n-k), maka Ho ditolak yang berarti bahwa
variabel-variabel penjelasnya secara serempak dapat menjelaskan secara nyata
perubahan pada variabel yang dijelaskan dan bila nilai F-hitung < F-tabel(0,05, k-1, n-k),
maka Ho diterima yang berarti variabel-variabel penjelasnya secara serempak
tidak dapat menjelaskan secara nyata perubahan pada variabel yang dijelaskan.
Hasil analisis regresi – model penelitian ini – dalam bentuk log-lin diperoleh
nilai F-hitung sebesar 4.735046 (lampiran 12) sedangkan nilai F-tabel(0,05; k-1; n-k) sebesar
82
2.95. Karena F-hitung > F-tabel bermakna Ho berhasil ditolak dan variabel-variabel
penjelasnya secara serempak dapat menjelaskan secara nyata (signifikan)
perubahan pada variabel yang dijelaskan.
3.3.3 Uji-koefisien determinasi (R 2 ). Koefisien ini menunjukkan besaran
kemampuan variasi variabel bebas menjelaskan variasi variabel tak bebas yang
dinyatakan dalam persen. Berdasarkan analisis regresi diperoleh R2 sebesar
0.328784 (Lampiran 12) yang mengandung arti bahwa sekitar 32,88 % variasi
variabel tak bebas PL (pemanfaatan lahan) dapat dijelaskan oleh variasi variabel
bebas.
4. Uji Ekonometri
Dari model yang terpilih, perlu dilakukan uji yang berkaitan dengan uji
asumsi klasik. Utamanya uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas.
U ji heteroskedastisitas . Gejala heteroskedastisitas menunjukkan adanya
kesalahan atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang
konstan dari satu observasi ke observasi lainnya. Setiap observasi mempunyai
reliabilitas yang berbeda akibat perubahan dalam kondisi yang melatarbelakangi
tidak terangkum dalam spesifikasi model (Kuncoro, 2001:112). Deteksi terhadap
gejala heteroskedastisitas dilakukan deteksi melalui uji White, baik berdasarkan
no cross term maupun cross term.
Berdasarkan hasil uji White Heteroskedasticity (no cros term), tidak
ditemukan gejala heteroskedastisitas (homoskedasticity). Nilai Obs*R-squared
(2-hitung) = 4.540943 < 2
-tabel = 12,5916 (pada =0,05; df=6). Melalui uji White
Heteroskedasticity (cross term), juga tidak ditemukan gejala heteroskedastisitas,
83
karena nilai Obs*R-squared (2-hitung) = 9.092430 < 2
-tabel = 16,9190 (pada =0,05;
df=9).
U ji Multikolinieritas . Multikolinieritas merupakan keadaan di mana satu atau
lebih variabel bebas dapat dinyatakan sebagai kombinasi dari variabel bebas
lainnya. Menurut Frisch, suatu model regresi terkena multikolinearitas bila terjadi
hubungan linear yang perfect atau exact di antara beberapa atau semua variabel
bebas dari suaru model regresi (Modul Pelatihan Ekonometrika Dasar, 2001:245).
Indikasi adanya gejala multikolinieritas dapat dideteksi melalui tingginya R2
dan statistik F yang signifikan, tetapi tingkat signifikan variabel bebas melalui uji
p-value atau t-statistik sangat sedikit. Hasil regresi atau estimasi model dalam
penelitian ini (model log-linier), menunjukkan nilai R2 sebesar 32,88% dan diikuti
uji p-value pada variabel bebas Jumlah Penduduk (Jpdk) dan Produksi Sektor
Unggulan Kakao (Kakao) signifikan secara statistik dan 1 variabel bebas lainnya
tidak signifikan.
Farrar dan Glauber (1967) mengatakan, uji multikolinieritas dapat dilakukan
dengan membandingkan nilai r2 regresi parsial antarvariabel bebas dengan
koefisien determinasi (R2) (Modul Pelatihan Ekonometrika Dasar 2001:247).
Langkah-langkah melakukan penerapan metode ini adalah sebagai berikut.
1. Melakukan regresi atas model yang diamati, tentukan R2-
nya;
2. Melakukan regresi secara parsial dengan variabel bebas
secara bergantian sebagai variabel terikat, tentukan masing-masing R2-nya.
84
Pedoman yang digunakan adalah jika nilai R2 langkah pertama lebih tinggi
dari r2 parsial, maka tidak terdapat gejala multikoliniaritas. Hasil regresi parsial
antarvariabel bebas, dapat dicermati melalui Tabel 16. Dari Tabel tersebut
menunjukkan bahwa nilai R2 model empiris lebih tinggi dari nilai r2 parsial
masing-masing variabel bebas, kecuali variabel pendapatan per kapita (Kapita)
yang mengidiksikan nilai lebih tinggi dari nilai R2 model empiris. Dengan
demikian, model empiris yang diamati terdapat gejala multikolinieritas.
Tabel 16Hasil Regresi Antarvariabel Bebas
Menurut Farrar dan Glauber
Regresi r2 dibanding R2 Multikolinieritas
r2 Jpdk, Kapita, LogKakao 0.208661 < 0.328784 Rendah
r2 Kapita, Jpdk, LogKakao 0.330190 < 0.328784 Tinggi
r2 LogKakao,Jpdk, Kapita 0.175368 < 0.328784 Rendah
Sumber: Data Primer 2008
E. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Penataan Ruang Perdesaan Pesisir dan Laut.
Penataan ruang sebagai bagian yang terpenting dalam perencanaan
pembangunan daerah, tidak hanya sekedar perencanaan di atas tumpukkan dokumen-
dokumen, tetapi hal yang utama yang harus dipikirkan adalah peran serta masyarakat
– disamping pemetaan potensi-pontensi sumberdaya yang bernilai ekonomi bagi
pembangunan daerah – menjadi penting dalam kerangka perencanaan tata ruang yang
responsif sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang tanggap pada preferensi
85
serta kebutuhan masyarakat yang potensial berdampak terhadap kehidupan
masyarakat, jika perencanaan tata ruang diimplementasikan.
Kecenderungan yang terjadi dalam perencanaan penataan ruang perdesaan
pesisir di Kabupaten Donggala, syarat dengan pertimbangan-pertimbangan teknis dan
ekonomi ketimbang mempersyaratkan kondisi sosial masyarakat atau preferensi dari
masyarakat sebagai pengguna akhir produk tata ruang. Sehingga yang terjadi adalah
prasyarat-prasyarat teknis dan ekonomi seringkali menciptakan sebuah produk tata
ruang yang tidak dipahami oleh masyarakat dan bahkan partisipasi masyarakat
cenderung melemah (atau dilemahkan) bila diperhadapkan dengan berbagai produk
keputusan-keputusan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya
pesisir dan laut bagi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis situasi lapangan, menunjukkan
bahwa penataan ruang perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, menyimpan
berbagai potensi sumberdaya – baik potensi perikanan laut maupun potensi
sumberdaya darat berupa sumberdaya kehutanan dan perkebunan rakyat – yang
belum termanfaatkan secara optimal bagi peningkatan pendapatan masyarakat
maupun peningkatan penerimaan kas daerah.
Jika dicermati lebih runut, wilayah perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten
Donggala, banyak menyimpan deposit sumberdaya alam laut dan darat yang secara
potensial dapat dikembangkan secara berkelanjutan, diantaranya :
1. Potensi sumberdaya lahan pertanian dan perkebunan secara
signifikan sangat luas yang membujur dari arah selatan ke utara – merupakan
86
investasi alamiah yang sangat berharga – tetapi belum terkelola secara optimal
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
2. Potensi perikanan laut yang berada di sepanjang selat makassar
merupakan potensi strategis yang dapat mendatangkan devisa bagi daerah.
3. Potensi sumberdaya tambang dan mineral, seperti halnya batu
gamping sebagai bahan dasar semen maupun tambang galian golongan C yang
banyak menyimpan kandungan deposit, utamanya di wilayah pantai barat (bagian
utara) Kabupaten Donggala.
4. Potensi biodiversity dan keanekaragaman kehidupan bawah laut,
serta hamparan pohon bakau (mangrove) di pesisir pantai Kabupaten Donggala,
yang secara potensial dapat dikembangkan menjadi daerah kunjungan wisata.
Berdasarkan potensi yang ada dalam kerangka perencanaan penataan ruang
perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, hal yang sangat mungkin
dipertimbangkan sebagai faktor yang berberpengaruh terhadap penataan ruang
perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, meliputi faktor-faktor berikut :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Kedua undang-undang ini merupakan dasar pijakan
dalam membuat perencanaan tata ruang wilayah kabupaten yang lebih
konfrehensif dalam menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama
pembangunan.
Secara internal, meskipun Kabupaten Donggala belum memiliki peraturan daerah
yang secara jelas dan spesifik mengenai penataan ruang perdesaan pesisir dan
87
laut, kedepan diharapkan sudah harus merancangnya sebagai sebuah wujud
kejelasan dalam penataan ruang yang dapat dijadikan dasar dalam proses
peningkatan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Termasuk di dalamnya
mengandung makna dapat meminimalisasi konflik kepentingan pengelolaan dan
pemanfaatan ruang.
2. Bentang alam Kabupaten Donggala
yang tidak saja merupakan salah satu bagian wilayah yang terluas di Propinsi
Sulawesi Tengah, akan tetapi potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah –
hingga kini belum terkelola secara optimal – dapat menjadi lahan investasi yang
cukup potensial dalam rangka peningkatan penerimaan daerah.
3. Sumberdaya manusia dan budaya
lokal menjadi salah satu aspek yang sangat berpengaruh terhadap penataan ruang
perdesaan pesisir dan laut Kabupaten Donggala. Meskipun selama ini dirasakan
bahwa tingkat kesadaran partisipasi masyarakat dalam penataan ruang masih
rendah, tetapi pertimbangan terhadap peningkatan sumberdaya manusia cukup
beralasan, disamping budaya lokal yang menjadi jati diri masyarakat tidak harus
dikesampingkan dalam upaya penataan ruang perdesaan pesisir dan laut di
Kabupaten Donggala, khususnya tradisi budaya pesisir dan laut yang dimiliki oleh
etnis bugis-makassar yang sepanjang garis pantai Kabupaten Donggala, didiami
oleh etnis bugis-makassar. Disamping itu, komunitas asli yang kehidupannya
lebih terkonsentrasi di wilayah pesisir dan laut bagian daratan.
4. Modal dan Teknologi. Kendala
utama yang dihadapi masyarakat di wilayah perdesaan pesisir dan laut Kabupaten
88
Donggala adalah menyangkut modal pengembangan usaha, sehingga dengan
keterbatasan modal turut mempengaruhi sisi produksi. Karena itu, sebahagian
besar teknologi yang digunakan dalam penangkapan hasil-hasil perikanan dan
produksi hasil lautnya, hingga kini masih menggunakan teknologi alat tangkap
tradisional sesuai dengan kemampuan modal yang dimiliki. Sehingga dengan
ketidakmampuan modal dan teknologi yang dimiliki, menjadikan masyarakat
tidak sedikit terjebak dalam pola hubungan eksploitatif yang diciptakan oleh
pemilik modal dengan pola hubungan produksi yang menempatkan masyarakat
dalam wilayah mesin produksi yang menguntungkan pemilik modal. Pola ini
bukan hanya sebatas pada sektor perikanan tetapi juga turut mempengaruhi sektor
perkebunan di wilayah perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, melalui
sistem Paja-Paja yaitu sebuah sistem pengambilalihan sementara lahan
perkebunan masyarakat oleh pemilik modal dengan tenggang waktu perjanjian
tahunan, karena sebelumnya masyarakat pemilik perkebunan telah mengambil
uang sebelumnya untuk keperluan dasar pemilik lahan perkebunan kepada
pemilik modal.
89
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Keterlibatan masyarakat perdesaan wilayah pesisir dalam perencanaan
kegiatan/pembangunan dapat dikategorikan dalam 3 pola. Untuk kegiatan
perencanaan/pemanfatan ruang, keterlibatan masyarakat masih sebatas konsultasi
tanpa ketiadaan akses masyarakat melihat hasil atau memutuskan
perencanaan/pemanfaatan ruang. Untuk kegiatan pemberdayaan sosial-ekonomi
baik yang dilakukan Pemerintah atau non Pemerintah (Lembaga Swadaya
Masyarakat) keterlibatan masyarakat sebatas menjalankan kegiatan/proyek.
Partisipasi aktif masyarakat terjadi pada kegiatan yang diinisiasi oleh masyarakat
itu sendiri khususnya pada kegiatan-kegiatan sosial, seperti keamanan
lingkungan, kebersihan, dan keagamaan. Dengan demikian perencanaan kegiatan
di perdesaan pesisir dan laut di Kabupaten Donggala, baik secara kelompok
maupun organisasi memiliki kecenderungan rendah bila berhadapan dengan pihak
luar. Hal ini disebabkan rendahnya pengembangan sumberdaya manusia, yang
90
berakibat lemahnya posisi tawar dalam kegiatan/pembangunan sebagai akibat
masih dominannya peran piha luar dalam mengambil keuntungan dari kondisi
masyarakat.
2. Berdasarkan hasil analisis yang digunakan menunjukkan bahwa strategi penataan
ruang perdesaan pesisir dan laut di kabupaten Donggala, dilakukan dengan
strategi pertumbuhan stabil, dengan membuat rancangan dan menetapkan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan & Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Laut secara Berkelanjutan; menjalin hubungan kemitraan dan kerja sama Para
Pihak dalam membuat perencanaan strategis tentang Pengelolaan & Pemanfaatan
Ekosistem Pesisir & Laut; dan Menciptakan program-program penguatan
kelembagaan lokal dalam Pengelolaan, Pemanfaatan, Pengawasan, dan
Pengendalian Wilayah Pesisir & Laut secara Berkelanjutan.
3. Untuk uji F dalam bentuk log-lin secara serempak dapat menjelaskan secara
nyata (signifikan) perubahan pada variabel yang dijelaskan. Sedangkan dalam uji
t, faktor yang mempengaruhi penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten
Donggala adalah variabel Jumlah Penduduk (Jpdk) dan variabel Produksi sektor
unggulan kakao (Kakao) pada derajad kepercayaan 99% dan 95%. Sedangkan
variabel bebas Pendapatan per Kapita desa sampel (Kapita) secara signifikan
tidak berpengaruh terhadap variabel tak bebas.
4. Dalam konteks pengembangan wilayah, penataan ruang perdesaan pesisir dan laut
di Kabupaten Donggala, adalah Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-
Undang Tata Ruang sebagai acuan dasar implementasi pelaksanaan penataan
91
ruang. Disamping itu, kondisi bentang alam Kabupaten Donggala yang banyak
menyimpan deposit sumberdaya alam. Lebih dari itu, meskipun partisipasi
masyarakat masih rendah, tetapi beberapa hal yang terpenting dan dianggap turut
mempengaruhi penataan ruang perdesaan pesisir di Kabupaten Donggala, adalah
menyangkut kuantitas sumberdaya manusia dan kekuatan budaya lokal, serta
pengembangan modal dan teknologi dalam pengelolaan dan pemanfaatan
penataan ruang masih merupakan bagian yang terpenting dalam memaksimalkan
penataan ruang ke depan secara arif dan berkelanjutan.
B. Saran – Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan saran-
saran sebagai berikut :
1. Agar melibatkan masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan
khususnya dalam penatanan/pemanfaatan ruang untuk menjamin keberhasilan
pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Kebijakan yang berbasis pada
potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan
dan perlindungan sumber daya alam. Dan terakomodasinya aspirasi masyarakat
akan mempermudah proses penataan ruang. Selain itu masyarakat lebih
bertanggung jawab atas keamanan wilayah pesisir dan laut sebagai basis wilayah
produksinya. Untuk mendorong ke arah pembangunan yang lebih partisipatif
perlu komitmen yang tinggi dari pengambil kebijakan dengan menghilangkan ego
sektoral dan memperkuat aspek relasi pemangku kepentingan. Hal yang penting
di dorong dalam masyarakat adalah gerakan pemetaan ruang partisipatif dalam
92
merencanakan arah penataan ruang yang dilandasi oleh rasa keadilan dan
menjamin keberlanjutan ekosistem.
2. Agar strategi perencanaan tata ruang terkelola baik maka harus dilakukan
penguatan kelembagaan di tingkat lokal. Hal ni didasari bahwa penguatan
kelembagaan lokal akan meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan
wilayah dan sumber daya alam. Semangat kolektif dari kelembagaan lokal akan
mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari
kerusakan yang dapat mengancam perekonomian. Rencana Strategi juga akan
diperkuat dengan pembuatan peraturan daerah tentang wilayah pesisir, yang lebih
adil dan berpihak pada rakyat miskin.
3. Agar masalah penataan ruang di Kabupaten Donggala bisa dilihat secara lengkap,
maka untuk peneliti selanjutnya, disarankan meneliti struktur sosial masyarakat
pedesaan pesisir kaitannya dengan pemangku kepentingan dalam perencanaan-
perencanaan tata ruang wilayah. Selain itu menambah variabel-variabel mengenai
faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap penataan ruang perdesaan
pesisir, seperti: jumlah rumah tangga yang memiliki mobil, jarak desa dengan
pusat pertumbuhan (kota), jumlah rumah tangga yang menyekolahkan anaknya di
Perguruan Tinggi dan lainnya.
93
Catata
- Kayu tuva = kau beracun
- Bulan Syafar =
- Tempat kramat (notupu)
- Moninti (tradisi menangkap ikan dengan parang secara
bersama pada malam hari, umumnya dilakukan oleh pemuda)
- Tamba; tempat pengakapam/pemeliharaan ikan di wilayh laut
(bahan bakunya bambu = sebagai jaring/ dan kayu dolo
(lantoro) model penangkapan tradisi
-
94