bab 3 sintesa nanopartikel serat kulit rotan … · nanoteknologi adalah teknologi yang melibatkan...
TRANSCRIPT
36
BAB 3 SINTESA NANOPARTIKEL SERAT KULIT ROTAN DENGAN
METODA ULTRASONIK DAN KARAKTERISASINYA
Pendahuluan
Latar Balakang
Istilah nanoteknologi akhir-akhir ini begitu populer di masyarakat. Sekarang
ini dunia sedang mengarah pada revolusi nanoteknologi di mana dalam periode
2010 sampai 2020 akan tejadi percepatan luar biasa dalam penerapan
nanoteknologi di dunia industri. Teknologi itu bahkan menjadi tren riset dunia,
khususnya di negara-negara maju. Milyaran dollar dana mulai dikucurkan di
negara-negara ini untuk berbagai bidang penelitian. Semuanya berlomba-lomba
menggunakan kata kunci nanoteknologi. Riset di bidang nanoteknologi menjadi
sangatlah potensial. Pengembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para
peneliti dari akademik maupun dari industri untuk mewujudkan karya baru dalam
dunia nanoteknologi. Penguasaan teknologi pembuatan partikel nano menjadi
sebuah fenomena baru. Berbagai macam metode akan terus dikembangkan seiring
dengan kebutuhan nanopartikel dengan ukuran kurang dari 100 nm dan sekaligus
mengubah sifat atau fungsinya (Rahul 2009).
Nanoteknologi adalah teknologi yang melibatkan atom dan molekul dengan
satuan sepertriliun meter (1 nm = 10-9
Nanoteknologi menjadi penting dalam dunia rekayasa material karena
manusia berusaha untuk mengintegrasikan suatu fungsi atau kerja dalam skala
m). Sebuah ukuran yang sangat kecil dan ini
adalah rekayasa material dalam orde nanokristal. Sebagai contoh, perkembangan
nanoteknologi dalam dunia komputer telah mengubah tidak hanya dimensi
komputer yang semakin kecil dan tipis, namun juga peningkatan kemampuan dan
kapasitas yang luar biasa, sehingga memungkinkan penyelesaian program-
program raksasa dalam waktu singkat. Dunia informatika dan komputer bisa
menikmati adanya komputer kuantum yang mampu mengirimkan data dengan
kecepatan sangat tinggi. Tersusun dari chip yang sangat mungil, tetapi mampu
menyimpan data jutaan kali lebih banyak dari komputer yang kita gunakan saat
ini.
37
ukuran yang lebih kecil. Mengintegrasikan suatu fungsi mesin atau produk dalam
ukuran yang lebih kecil bukan hanya berarti memperindahnya tapi juga
memperkecil energi yang dibutuhkan dan mempercepat proses serta menghemat
biaya pekerjaan. Strategi pengembangan nanoteknologi harus diarahkan untuk
mengelola dan memberikan nilai tambah secara signifikan bagi sumber daya alam
Indonesia guna meningkatkan daya saing bangsa (persaingan global) sekaligus
menambah pendapatan negara. Sedangkan nanomaterial science merupakan
landasan utama dalam rantai pengembangan produk nanoteknologi.
Di Indonesia sendiri, keberadaan nanoteknologi dikatakan sedang
berkembang dan belum dapat menembus pasar industri. Kegagalan dalam
mengembangkan produk berbasis nanoteknologi, berpotensi menyebabkan pasar
domestik hanya menjadi pasar bagi produk impor sehingga Indonesia
diperkirakan kehilangan nilai tambah pendapatan negara. Sementara itu Indonesia,
memiliki keunggulan komparatif berupa kekayaan sumber daya alam misalkan
diversifikasi tanaman, limbah pertanian, mineral pasir besi, kuarsa, tembaga, emas
yang dapat digunakan sebagai basis teknologi nanomaterial.
Pembuatan nanomaterial dapat dilakukan dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan top-down (penggilingan mekanik, quenching
berulang, etsa/lithography) dan bottom-up (proses sol-gel, aerosol, chemical
vapour depostion). Berbagai riset nanomaterial telah dilakukan di berbagai
lembaga penelitian dan di perguruan tinggi di Indonesia diantaranya tahun 2010
Fisika LIPI mengembangkan metoda ultrasonic-milling pada nanomaterial logam,
Carbon nano tube dikembangkan oleh PTBIN BATAN, FT UI mengembangkan
alat sensor nano, berbasis nano komposit magnit dengan planetary ball mill.
Fisika ITB, membuat lapisan nano pada bahan magnit dalam bentuk Quantum Dot
partikel nano silika. Fisika Teknik ITB mengembangkan pembuatan nano silika
dengan metoda sol-gel.
Sementara itu pemanfaatan limbah dari hasil pertanian yang melimpah dan
dapat diperoleh sepanjang tahun seperti limbah kulit rotan yang disintesa dalam
bentuk nanopartikel pada aplikasi bionanokomposit belum pernah dilakukan.
Eksplorasi berbagai potensi kekayaan alam Indonesia yang didukung oleh adanya
sumber daya alam yang sangat potensial terutama pada pemanfaatan limbah
38
pertanian sangatlah bermanfaat untuk akselerasi pengembangan pembangunan
industri ramah lingkungan dan kemandirian bangsa, khususnya dalam penguasaan
ilmu dan teknologi rekayasa nanomaterial (http://www infonanoteknologi.mht).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nanopartikel serat kulit rotan
homogen berukuran kurang dari 100 nm dengan menggabungkan metoda milling-
shaker, pemanasan berstirer, dan ultrasonikasi serta mendapatkan
karakteristiknya. Tujuan lainnya adalah menentukan kondisi optimum pemrosesan
dan mengamati fenomena yang terjadi pada pembentukan partikel nano pada
variasi waktu ultrasonikasi.
Hipotesis
Dengan metoda ultrasonikasi diharapkan dapat menghasilkan nanopartikel
serat kulit rotan dengan ukuran < 100 nm dengan tetap mempertahankan fasa,
struktur mikro dan komposisi penyusun mineral yang dimiliki oleh selulosa kulit
rotan seperti yang telah dibahas pada bab 2 untuk dapat diaplikasikan sebagai
filler nanopartikel pada bionanokomposit.
Tinjauan Pustaka
Nanoteknologi
Semakin maju peradaban manusia maka permasalahan yang dihadapi
menjadi sangat kompleks dan menantang. Tak jarang solusi yang harus
dimunculkan memerlukan perhatian sampai pada ukuran yang sangat kecil yang
sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh manusia. Pengenalan dan pemahaman
akan ilmu dan teknologi nano sangat terkait dengan definisi nano, struktur
nanomaterial dan konsep teknologi nano. Nanosains adalah ilmu yang
mempelajari sifat–sifat unik yang muncul ketika ukuran mendekati skala
nanometer sedangkan nanoteknologi adalah rekayasa dari material fungsional,
alat, dan sistem melalui pengontrolan benda pada skala dari 1 - 100 nanometer,
dan eksploitasi dari fenomena pada skala tersebut.
Nano adalah satuan panjang sebesar sepertriliun meter (1 nm = 10-9 m).
Perbandingan antara 1 meter dengan 1 nanometer adalah seperti halnya
39
perbandingan antara bola bumi dengan bola pingpong. Mula-mula, tubuh kita
berada di dunia berskala meter. Kemudian bagian tubuh manusia yang berskala
1/1000 atau milimeter adalah tahi lalat (Gambar 3.1). Selanjutnya, yang berskala
1/1000 dari itu atau mikrometer adalah diameter rambut (80 µm), sel tubuh atau
sel darah merah (20 µm). DNA (deoxyribonucleic acid) merupakan bahan nano
alami dengan lebar pita gen sebesar 2 nm (Klemm 2009).
Ilmu dari perekayasaan dalam ukuran kecil pertama kali dikenalkan pada
tahun 1959 oleh Richard P. Feynman dalam sebuah buku berjudul There’s Plenty
of Room at the Bottom yang mengatakan bahwa pada suatu masa depan akan
mampu menyusun atom menurut apa yang diinginkan dan apa yang akan terjadi
ketika atom dapat disusun satu persatu menurut apa yang diinginkan sesuai
dengan aplikasinya. Kemudian dinyatakan pula bahwa bidang dari ilmu dan
teknologi yang kemungkinan besar akan menghasilkan terobosan–terobosan besar
masa depan maka ilmu dan rekayasa pada skala nano adalah jawabannya. Bahan
berstruktur nano merupakan bahan yang memiliki paling tidak salah satu
dimensinya (panjang, lebar, atau tinggi) berukuran 1 - 100 nm.
Gambar 3.1 Diameter rambut (a), sel darah merah (b), DNA (c), dan atom (d).
Bahan nano merupakan jembatan antara atom atau molekul dari bahan
berukuran mikrometer (1 nm = 1/1000 µm). Apabila nanometer dibagi lagi
menjadi sepersepuluhnya, akan sampai pada besaran atom (0.1 nm = 1 Å).
(a) d = 80 μm (b) d = 20 μm
(c) d = 2 nm (d) d = 1 Å
40
Penyusunan ulang atom-atom dalam nanoteknologi mencapai tahap penyusunan
ulang struktur atom individual, jadi bukan lagi tumpukan atom, sehingga
ketepatannya semakin presisi dan biaya produksi semakin murah. Satu aspek lain
yang sangat menarik dari nanoteknologi adalah self replication atau kemampuan
untuk duplikasi diri secara otomatis. Konsep ini memiliki kesamaan dengan
kemampuan reproduksi makhluk hidup. Sel-sel dalam tubuh (tersusun dari atom-
atom) memiliki kemampuan memperbaiki diri sehingga sel-sel yang rusak dan
mati selalu digantikan dengan sel baru yang sehat (Ting-Feng 2007).
Kelebihan dari nanomaterial adalah struktur material berukuran sangat kecil
akan menampakkan sifat–sifat unik diakibatkan oleh lua permukaan yang besar
(surface area). Merupakan ilmu baru yang mampu merangkul banyak disiplin
ilmu bersama-sama dan mengeksplorasi sifat bahan lebih dalam dari apa yang
diketahui saat ini. Nanomaterial dapat menawarkan kemampuan untuk
memanipulasi, mengontrol dan mensintesa material pada level atom dan molekul
dan mampu menyediakan afinitas, kapasitas dan selektivitas tingkat tinggi dari
suatu material dikarenakan sifat kimia, fisika dan biologi yang unik, sehingga
produk yang dihasilkan dapat memiliki sifat atau fungsi yang berbeda dari
material sejenis dalam ukuran besar (bulk) (Dahliana 2004).
Hal utama yang membuat nanopartikel memiliki sifat unik yaitu karena
ukurannya yang kecil, nanopartikel memiliki nilai perbandingan antara luas
permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan material
sejenis dalam ukuran besar. Hal ini membuat nanopartikel bersifat lebih reaktif.
Reaktivitas material ditentukan oleh atom-atom di permukaan, karena hanya
atom-atom tersebut yang bersentuhan langsung dengan material lain. Ketika
ukuran partikel menuju orde nanometer, maka hukum fisika yang berlaku lebih
didominasi oleh hukum-hukum fisika kuantum. Sifat-sifat yang berubah pada
nanopartikel yang berkaitan dengan fenomena kuantum adalah sebagai akibat
keterbatasan ruang gerak elektron dan pembawa muatan lainnya dalam partikel.
Fenomena ini merubah sifat material seperti perubahan warna yang dipancarkan,
transparansi, kekuatan mekanik, konduktivitas listrik, dan magnetisasi. Adanya
perubahan rasio jumlah atom yang menempati permukaan terhadap jumlah total
atom dapat mempengaruhi perubahan titik didih, titik beku, dan reaktivitas kimia.
41
Perubahan-perubahan tersebut merupakan keunggulan nanopartikel dibandingkan
dengan partikel sejenis dalam keadaan bulk (Abdullah 2008).
Beberapa efek penting yang dimiliki materi jika ukurannya diperkecil
menuju skala nano misalnya pada sifat termal. Nanomaterial memiliki titik lebur
yang lebih rendah dan panas spesifik yang lebih tinggi dibanding sifat bulk
-nya
(Gambar 3.2b). Kemudian reduksi ukuran ke skala nano akan menurunkan suhu
sintering dan suhu pengkristalan dikarenakan kandungan energi permukaannya
yang tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada sifat listrik nanomaterial yang dapat
mempunyai energi lebih besar dari pada material ukuran biasa karena memiliki
surface area yang besar. Hal ini berkaitan dengan resistivitas listrik yang
mengalami kenaikan dengan berkurangnya ukuran partikel. Contohnya material
yang bersifat isolator dapat bersifat konduktor ketika berskala nano
(nanokeramik) (Guo 2005).
Gambar 3.2 Plot DSC bacterial cellulose-polylactide nanocomposites (a) dan
sifat termal nanomaterial (b) (Lee 2009).
Dalam skala nanometer, sifat baru dan fenomena unik dari bahan akan
muncul. Hal ini diakibatkan karena ukuran dari nanomaterial menjadi komparabel
dengan banyak parameter fisis seperti ukuran gelombang kuantum, mean free
path, ukuran koherensi, dan domain dimensi yang kesemuanya menentukan sifat-
sifat dari material (Zhang 2010). Efek kuantum dapat diilustrasikan dengan level
energi dari elektron (Gambar 3.3a) yaitu dengan adanya perbedaan energi (∆E)
yang lebih besar dari nilai maksimal internal energi dari sistem, maka banyak sifat
yang ada pada bulk material yang hilang dan akan digantikan dengan sifat yang
Temperatur (0C)
Titik leleh emas = 1064,43 0C
Diameter partikel (nm)
b
42
unik. Hal ini dikenal dengan teori Kubo. Pita energi yang kontinyu tergantikan
oleh energi level yang terpisah, jika ukuran partikel mendekati radius Bohr dari
elektron dalam padatan. Hal ini dikenal dengan efek kuantum. Untuk
nanomaterial, energi band gap sangat sensitif terhadap morfologinya (ukuran,
bentuk, defek) dan distribusi komposisinya. Kombinasi dari efek-efek tersebut
menimbulkan munculnya sifat fisis yang berbeda dari sifat yang dimiliki
oleh bulk
materialnya, contoh perubahan sifat optikal emas disebabkan perubahan
ukuran (Gambar 3.3b).
a b Gambar 3.3 Efek kuantum (a), ilustrasi perubahan sifat optikal material
disebabkan perubahan ukuran (b) (Zhang 2010).
Abdullah 2008 dalam review sintesa nanomaterial menyatakan bahwa
semakin kecil ukuran benda maka permukaan atom penyusun benda tersebut yang
terekspos dipermukaan benda akan memiliki fraksi yang semakin besar. Misalkan
pada senyawa Tantalum. Pada kondisi bulk Ta memiliki struktur kristal kubik,
namun ketika ukuran diperkecil maka struktur kristal beralih ke tetragonal.
Struktur kristal tetragonal memiliki faktor tumpukan atom yang lebih besar dari
pada struktur kristal kubus (Gambar 3.4). Sementara itu pengaruh suhu annealing
akan memperkecil ukuran dan merubah fasa dari material TiO2 (Gambar 3.5).
Luas permukaan yang bertambah juga akan mengakibatkan bertambahnya
reaktivitas dari bahan dan sifat katalisis dari n
Gambar 3.6 merupakan contoh data aktivitas dari logam emas untuk
mengkatalis oksidasi CO dengan semakin mengecilnya ukuran partikel.
Sementara itu sifat mekanis (kekerasan dan kekuatan) dari bahan logam berukuran
nano dapat meningkat sampai dengan satu order diatas ukuran normalnya
anomaterial yang cenderung
memiliki aktivitas katalisis yang lebih baik.
43
demikian juga dengan bahan keramik direduksi sampai skala nano sifat
duktilitasnya juga akan meningkat (Gambar 3.7).
Gamabr 3.4 Profil XRD Tantalum.
Gamabr 3.5 Profil XRD nano TiO2
pada variasi suhu anneal (Abdullah 2008).
Gambar 3.6 Aktivitas katalis nanomaterial.
700 0C 500 0C 400 0C
Diameter partikel (nm)
tetragonal
cubic
2θ
Katalisis ≈ 1/d
44
Gambar 3.7 Sifat mekanik nanomaterial (a) dan kekuatan tarik nanokomposit chitosan-cellulose whiskers (b) (Qian 2009)
Kavitasi
Dalam aplikasinya, ultrasonik berfungsi sebagai pembawa informasi, salah
satunya untuk mempelajari bagian dalam atau struktur tubuh yang non-transparan
(organ dalam tubuh). Di sisi lain, ultrasonik yang mempunyai intensitas tinggi
dapat digunakan untuk memdeteksi perubahan tertentu dalam bahan atau objek
dan memperkecil ukuran suatu partikel pada proses produksi nanoteknologi. Salah
satu efek dari gelombang ultrasonik dalam medium cairan adalah fenomena
kavitasi. Camarena (2006) menyatakan bahwa proses terjadinya kavitasi dengan
cara menggunakan gelombang ultrasonik dengan rentang frekuensi 20 kHz – 10
MHz. Gelombang ultrasonik diberikan ke dalam medium cair untuk
Elongation at break
Tensile strength
b
a
Regangan
Konsentrasi selulosa whiskers (wt %)
45
menghasilkan kavitasi bubble
Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan, dan meledaknya
gelembung didalam cairan yang melibatkan sejumlah energi yang sangat besar.
Peristiwa meledaknya gelembung menghasilkan efek panas yang menyebar secara
konveksi dalam medium akibat kenaikan temperatur yang sangat tinggi (5000 K
pada tekanan 1000 atm dengan laju pemanasan dan pendinginan 1010 K/s). Pada
kondisi tertentu, tekanan yang dihasilkan pun meningkat dan peristiwa ini terjadi
berulang dalam waktu yang sangat singkat (orde nano detik) seiring dengan
bertambahnya waktu ultrasonikasi. Fenomena ini yang dimanfaatkan untuk
mereduksi partikel yang dilarutkan dalam cairan hingga diperoleh partikel
berukuran nanometer (Syafrudin 2008).
yang dapat memecah partikel dan memiliki
diameter dalam skala nano. Intensitas gelombang ultrasonik yang menjalar di
dalam medium cair akan mengalami penurunan intensitas karena adanya
penyerapan energi terhadap medium dan menimbulkan adanya perbedaan tekanan
sehingga dapat menimbulkan gelembung vakum kecil atau void dalam cairan
yang didalamnya terdapat partikel. Ketika gelembung mencapai volume yang
maksimal dan tidak mampu menyerap energi lagi, maka akan terjadi peristiwa
acoustic cavitation. Selama proses kavitasi akan terjadi bubble collapse
(ketidakstabilan gelembung) yaitu pecahnya gelombang akibat ultrasonikasi yang
melibatkan energi yang sangat tinggi, efek panas dan tumbukan antar partikel
dalam medium cairan yang bergerak acak zig-zag mengikuti kaidah hukum gerak
Brown (Gambar 3.8).
(a) (b) (c)
Gambar 3.8 Ultrasonikasi pada medium cair (a), fenomena kavitasi (b), dan
pengaruh ukuran terhadap surface area.
46
Penelitian nanomaterial, khususnya bidang eksperiman tidak bisa lepas dari
kegiatan karakterisasi atau pengukuran. Dengan karakterisasi dapat diyakini
bahwa material yang disintesa sudah memenuhi kriteria nanostruktur yaitu salah
satu dimensinya berukuran nanometer. Dalam kesepakatan umum sampai saat ini
dimensi nanometer adalah ukuran yang kurang dari 100 nm. Karakterisasi juga
memberikan informasi tentang sifat-sifat fisis dan kimiawi nanomaterial tersebut.
Hal ini sangat penting karena ketika dimensi material menuju nilai nanometer,
maka akan terjadi perubahan sifat kimia dan fisika dan menimbulkan karakteristik
unik. Keunikan yang timbul dapat menghasilkan peluang dan kekayaan sifat
untuk memanipulasi dan menggenerasi sifat-sifat baru yang tidak dijumpai pada
material ukuran besar. Teknik karakteristik dari nanopartikel ini meliputi ukuran
partikel dan distribusinya, bentuk partikel dan kerapatannya, specific surface
area, fasa dan distribusinya, hingga pada quality of mixing
Setiap kumpulan partikel disebut dengan polidispersi. Karenanya perlu
untuk mengetahui tidak hanya ukuran dari suatu partikel tertentu, tapi juga berapa
banyak partikel-partikel dengan ukuran yang sama ada dalam cuplikan.
Disamping itu diperlukan suatu perkiraan kisaran ukuran tertentu yang ada dan
berat fraksi dari tiap-tiap ukuran partikel, sehingga ukuran partikel rata-rata pada
cuplikan dapat dihitung.
(Abdullah 2009).
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk
mengetahui ukuran suatu partikel yaitu metode sedimentasi, Electronical Zone
Sensing (EZS), metode milling dan ayakan (Sieve analyses),
Partikel Size
Analyser, XRD (metode Scherrer), dan analisa gambar mikroskop (TEM, SEM,
AFM).
Bahan dan Metoda
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Terapan FMIPA IPB,
Nanoteknologi LIPI, Laboratorium Terpadu UGM dan PTBIN BATAN Puspiptek
Serpong. Waktu penelitian adalah dari bulan April 2011 sampai dengan bulan
Agustus 2011.
47
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit rotan segar
yang diperoleh dari desa Madu Sari Pontianak Kalimantan Barat, aquades,
aluminium foil dan plastik klip dan surfaktan (tween 80)
Alat yang digunakan dalam pembuatan nanopartikel serat yaitu meliputi
timbangan analitik, pen disk milling, electromagnetik shaker, gelas ukur,
pengaduk, termokopel, stirer dan ultrasonik (Gambar 3.14). Sementara itu
peralatan yang digunakan untuk pengujian kualitas serat yang dihasilkan
menggunakan X Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM),
Electron Dispersive Spectroscopy (EDS), Transmission Electron Microscope
Tahapan Penelitian
(TEM), piknometer, dan Partikel Size Analizer (PSA).
Metodologi kegiatan penelitian ini meliputi 2 tahap yaitu preparasi cuplikan
dengan metoda mekanik (milling-shaker) dan pemanasan berstirer yang
dilanjutkan dengan produksi nanopartikel metoda ultrasonikasi. Sebagai tahap
awal dilakukan preparasi terhadap cuplikan kulit rotan yaitu dibersihkan dari
kotoran dan debu, kemudian direbus 100 0
Serat dengan ukuran 1 mm dan 150 µm langsung digunakan pada
pembuatan biokomposit dengan metoda injeksi molding (sebagai pembanding
bionanokomposit), sedangkan serat dengan ukuran 75 µm di proses lebih lanjut
dengan ditimbang, masing-masing cuplikan 20 g sebagai massa awal, lalu
dilarutkan dalam aquades 40 ml untuk dipanaskan di hot plate pada suhu 100
C selama 15 menit, lalu dikeringkan.
Setelah kering kulit rotan dimilling dengan menggunakan alat Pen Disk Milling
kemudian di saring dengan menggunakan elektromagnetik shaker. Diameter serat
yang akan dicapai adalah 1 mm, 150 µm dan 75 µm. Kemudian serat yang
dihasilkan melalui metoda mekanik ini, dilakukan pengujian XRD, SEM-EDS dan
kerapatan guna analisa awal terhadap kualitas serat yang dihasilkan sebelum
diproses pada tahap ke-2 yaitu ultrasonikasi (produksi nanopartikel selulosa).
0C,
stirer 200 rpm selama 2 jam. Hal ini bertujuan untuk homogenisasi dan
meregangkan ikatan pada batas butir dan ikatan antar molekul sehingga proses
kavitasi ultrasonik dapat berjalan dengan optimal.
48
Suhu selama preparasi cuplikan ini diukur dengan menggunakan termokopel
dan selama proses ultrasonikasi dilakukan variasi waktu ultrasonik tu = 1, 2, 3
jam. Proses selanjutnya adalah pemberian gelombang ultrasonik terhadap partikel
serat kulit rotan yang dilarutkan dalam cairan. Frekuensi dan daya yang digunakan
selama proses ultrasonik adalah 20 kHz dan 130 Watt. Setelah proses ultrasonik
selesai, cuplikan dikeringkan secara pelan-pelan dengan suhu 90 0
Nanopartikel hasil dari ultrasonikasi kemudian diuji dengan menggunakan
XRD, SEM-EDS, TEM, FTIR, densitas, dan PSA (Gambar 3.9). Hasil
keseluruhan proses diharapkan menghasilkan partikel nano berukuran kurang dari
100 nm dengan tanpa merubah fasanya, densitas yang lebih rendah dari serat
sintetis serta memiliki karakteristrik struktur mikro yang sesuai untuk aplikasinya
sebagai filler pada bionanokomposit.
C ke dalam hot
plate lalu di timbang sebagai massa akhir.
49
Gambar 3.9 Diagram alir produksi nanopartikel.
Hasil dan Pembahasan
Diambil serat kulit rotan ukuran 75 μm
Analisa Data
Ditimbang (@ 20 gr)
Karakterisasi
(TEM, XRD, PSA, FTIR, SEM-EDX,
Dipanaskan
Ultrasonikasi Dikeringkan
Ditambahkan aquades
Karakterisasi
(XRD, SEM-EDX,
Kulit rotan segar
Ditimbang (mo)
Dikeringkan
Preparasi awal direbus
Dibersihkan
Dihasilkan serat kulit rotan ukuran 1 mm, 150 μm, 75 μm
Milling Shaking
50
Nanopartikel adalah sebuah ukuran yang sangat kecil dan selulosa kulit
rotan (C6H10O5)m merupakan bagian penyusun utama jaringan tanaman berkayu
yang membentuk potongan komponen jaringan memanjang. Pemisahan serat yang
baik dan dalam kondisi optimal menjamin sifat dan kandungan asli serat dapat
dipertahankan (Kristianto 2007). Sintesa nanopartikel serat kulit rotan, diawali
dengan preparasi cuplikan yaitu dengan pemanasan 100 0
Serat berukuran 75 μm dilanjutkan dengan proses pemanasan 100
C selama 15 menit
kemudian dikeringkan. Metode perlakuan awal ini bertujuan untuk
menghilangkan impuritas, memutuskan ikatan atau jaringan non selulosa serta
mempermudah proses milling–shaker sehingga dihasilkan rendemen serat yang
optimal. Selanjutnya proses mekanik ini menghasilkan serat dengan ukuran mili
dan mikro (Gambar 3.10). 0
C dan
stirer selama 2 jam. Hal ini bertujuan agar mempermudah kavitasi yaitu proses
pecahnya gelembung-gelembung partikel menjadi ukuran yang lebih kecil dalam
medium cair seperti yang ditunjukkan Gambar 3.8. Cuplikan kemudian
diultrasonikasi dalam media cair pada frekuensi 20 kHz, daya 130 Watt dan untuk
menghindari adanya perubahan fasa diberikan intensitas diskontinu. Sementara itu
serat dengan ukuran 1 mm dan 150 μm langsung digunakan sebagai filler variasi
ukuran pada sintesa biokomposit dengan metoda injeksi molding
Gambar 3.10 Serat kulit rotan metoda milling-shaker.
Berdasarkan hasil pengujian SEM-EDS (perbesaran 500X dan 1000X) serat
berukuran 1 mm dan 150 μm hasil dari penggilingan mekanik dan shaker
menunjukkan bahwa serat berbentuk silinder memanjang yang memiliki trakeida
dan berpori makro, tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan saling
menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Molekul-molekul
A = 75 μm B = 150 μm D = 1 mm
51
selulosa yang terdapat pada tiap lapisan mempunyai susunan arah melingkar yang
hampir sama (teratur) dan berantai panjang yang saling terhubung antara
monomer satu dengan yang lain. Antara dinding primer (lapisan paling luar dari
serat) dan dinding sekunder (lapisan dibawah dinding primer) terhubung dengan
lignin (Gambar 3.11). Dari gambar juga terlihat bahwa lignin merupakan perekat
antar sel, yang memiliki kandungan karbon yang relatif tinggi pada biomassa,
namun sangat resisten terhadap degradasi biologi, enzimatis, dan kimia.
Hasil EDS memperlihatkan komposisi persen massa dan atom pada elemen
cuplikan serat kulit rotan hasil dari penggilingan mekanik dengan ukuran 1 mm,
didominasi oleh kandungan atom C = 60.62% dan O = 38.69% serta kandungan
unsur yang lain yaitu elemen mikro dan makro Si, Cl, K, Ca, dan Cu yang
bersumber dari unsur hara tanah yang diserap oleh dinding sel tanaman (Tabel
3.2). Unsur K di dalam cuplikan menunjukkan peranan pada aktifitas stomata,
enzim dan berkontribusi pada peningkatan kekuatan serta daya tahan selulosa
terhadap pelapukan dan deformasi. Ca dan Si adalah unsur makro sekunder yang
merupakan zat inti protein tanaman untuk memperkuat dinding selulosa, Cl adalah
unsur mikro yang merupakan komponen fungsional, dimana tanaman berserat akan
banyak mengandung unsur Cl untuk merangsang pertumbuhan produksi sel, Cu
memiliki peranan sebagai unsur mikro tanaman yang merupakan komponen
struktural dari enzim berupa kation logam sebagai komponen dinding sel atau
pengisi larutan yang berkaitan dengan osmosis dan keseimbangan muatan pada
pembentukan klorofil (Sisworo 2009).
Tabel 3.2 Unsur serat kulit rotan hasil penggilingan mekanik ukuran 1 mm
Unsur Massa % Atom %
C 53.11 60.62
O 45.39 38.89
Si 0.36 0.17
Cl 0.10 0.04
K 0.15 0.05
Ca 0.21 0.07
Cu 0.68 0.15
52
Gambar 3.11 Citra SEM serat kuli rotan hasil penggilingan mekanik dengan ukuran serat 1 mm perbesaran 500 (a) dan 1000 (b).
Gambar 3.12 dan 3.13 menunjukkan profil XRD serat kulit rotan dengan
metoda mekanik ukuran 1 mm dan 150 μm. Terlihat bahwa pada SKR tedapat
bidang hkl 002 yang menunjukkan fasa kristal pada 2θ = 22 derajat dengan
intensitas tertinggi pada 280 counts dan FWHM (Full Weigh Half Maximum)
0.7872. Sementara itu struktur amorf ditunjukkan pada 2θ = 16 derajat dan 2θ >
35 derajat. Intensitas difraksi serat kulit rotan dengan metoda mekanik ini sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan serat yang dihasilkan dengan metoda
fermentasi 500 counts (Gambar 2.20) dan memiliki derajat kristalinitas yang jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan serat sintetis. Hal ini dapat dijelaskan
pori trakeida
lignin pori
x 500
x 1000
53
bahwa
Proses ekstraksi serat dengan menggunakan metoda fermentasi adalah
proses pelan, bertahap yang dilakukan oleh mikroorganisme dan membutuhkan
waktu yang panjang sampai dihasilkan serat dalam bentuk serat panjang dan
pendek, sehingga struktur kristal dari selulosa masih dapat dipertahankan dengan
intensitas difraksi yang cukup tinggi (500 counts). Sedangkan proses ekstraksi
serat dengan metoda milling dan shaker membuat ikatan rantai panjang monomer
serat terputus sehingga keteraturan molekul-molekulnya juga berubah sehingga
derajat kristalinitasnya berkurang. Sementara itu serat sintetis dibuat dari bahan
anorganik dengan komposisi kimia tertentu yang dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan aplikasinya, sehingga sifat dan ukurannya relatif seragam dan kekuatan
serat dapat diupayakan sama sepanjang serat (Eichhorn 2001).
serat kulit rotan adalah serat organik yang tersusun atas material yang
bersumber dari unsur-unsur hara dalam tanah, dengan panjang monomer dan
ukuran serat alam yang tidak seragam serta kekuatan yang sangat dipengaruhi
oleh faktor usia, perlakuan mekanik, panas dan lingkungan yang mengakibatkan
derajat klistalinitas serat alam ini rendah.
Gambar 3.12 Profil XRD serat kulit rotan metoda mekanik (ukuran serat 1 mm).
Gambar 3.13 Profil XRD serat kulit rotan metoda mekanik (ukuran serat 150 μm).
002
111
102 011
130
101
130 111
002
amorf 2θ=22 0
2 theta
54
Analisa perbandingan antara serat kulit rotan yang dihasilkan dengan
metoda penggilingan mekanik dengan selulosa alam lainnya berdasarkan
penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 3.14 yaitu selulosa whiskers dan
CMC, BC, dimana terlihat bahwa ketiganya memiliki kisaran intensitas struktur
kristal pada sudut difraksi 2θ = 22 derajat dan bidang hkl 002. Sementara itu
selulosa whiskers memiliki fasa yang sama dengan serat kulit rotan (β-selulosa)
sedangkan CMC dan BC memiliki fasa yang berbeda.
Gambar 3.14 Profil XRD selulosa whiskers (a) (Qian Li 2009)
CMC (carboxymethylcellulose) dan BC (bacterial celluloce/ polysacharide) (b) (Cristian 2009).
Gambar 3.15 memperlihatkan profil XRD cuplikan dengan variasi waktu
ultrasonik 0, 1, dan 3 jam. Cuplikan serat kulit rotan dengan waktu ultrasonik 0
jam diperoleh dari hasil penggilingan mekanik dengan ukuran 75 μm dan cuplikan
ini memiliki puncak difraksi tertinggi pada 2θ = 22 derajat dengan intensitas 150
count. Semakin bertambahnya waktu ultrasonik, proses kavitasi terus terjadi
2θ=22 0
2θ (degree)
CMC
BC
2θ (degree)
2θ=22 0
(a)
(b)
55
dimana pada siklus ultrasonikasi terjadi peredaman gelombang yaitu penurunan
energi mekanik terhadap waktu dan resonansi ketika frekuensi gelombang
mendekati frekuensi gelembung kavitasi (f0
Semakin kecil ukuran serat dari 1 mm, 150 μm, 75 μm sampai dengan
nanopartikel, terlihat puncak intensitas difraksi semakin menurun intensitasnya,
lebar puncak difraksi yang dihasilkan semakin melebar, dan puncak amorf
mengalami degradasi. Berdasarkan perumusan interferensi celah banyak melalui
aproksimasi persamaan Schererer, bahwa kristal berukuran besar dengan satu
orientasi akan menghasilkan puncak difraksi yang mendekati sebuah garis vertikal
sementara itu kristal berukuran sangat kecil akan menghasilkan puncak difraksi
yang sangat lebar. Hal ini disebabkan kristalinitas yang kecil memiliki bidang
pantul sinar X yang terbatas makin banyak jumlah celah interferensi maka makin
sempit ukuran garis frinji pada layar. Interferansi celah banyak dengan jumlah
celah tak berhingga menghasilkan frinji yang sangat tipis tetapi sangat terang.
≈ f), gelembung akan pecah dan
ukuran serat semakin kecil. Suspensi dalam larutan menghasilkan kecepatan
tumbuk antar partikel yang dapat merubah morfologi permukaan, komposisi, dan
reaktivitas. Semakin lama proses ultrasonikasi ini dapat menyamaratakan energi
yang diterima partikel di seluruh bagian sisi larutan, sehingga ukuran partikel
semakin homogen dan makin lebar puncak difraksi (FWHM) yang dihasilkan.
Ukuran kristal terkecil terjadi pada cuplikan perlakuan ultrasonikasi 3 jam yaitu
ACS = 151.95 berada pada 2θ = 22.35 derajat, FWHM = 1.951 (Lampiran 6).
Jumlah celah yang banyak identik dengan kristalitas ukuran besar. Lebar
puncak difraksi tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristal yang dapat
diprediksi dengan persamaan metode Schererer (persamaan 1 dan 2). Metoda
Schererer ini sebenarnya memprediksi ukuran kristal dalam material, bukan
ukuran partikel. Jika satu partikel mengandung sejumlah kristal yang kecil-kecil
maka informasi yang diberikan adalah ukuran kristal tersebut, bukan ukuran
partikel. Jika satu partikel mengandung satu kristalitas, maka yang diprediksi
dengan metode Schererer adalah ukuran partikel (Abdullah 2009).
56
Gambar 3.15 Karakterisasi XRD nanopartikel serat kulit rotan dengan variasi
waktu ultrasonikasi 0 jam (a), 1 jam (b), dan 3 jam (c).
Untuk mengetahui ukuran partikel serat kulit rotan hasil dari ultrasonikasi
digunakan 3 analisa pendekatan yaitu menggunakan PSA, TEM dan SEM.
Gambar 3.16 adalah grafik hasil pengukuran PSA yang menunjukkan pengaruh
lamanya waktu ultrasonik terhadap ukuran partikel, dimana semakin
b
c
a
2θ
2θ
2θ=22 0
2θ=22 0
002
57
meningkatnya waktu ultrasonik ukuran partikel (d) semakin kecil. Pada
pengukuran nanopartikel serat kulit rotan mengunakan PSA dengan kemampuan
skala pembacaan 0.6 nm – 7 μm, partikel didispersikan ke dalam media cair dan
ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.
Serat kulit rotan sebelum proses ultrasonik memiliki ukuran 75 µm (0 jam)
dan pemberian frekuensi ultrasonik 20 kHz selama 1 jam ukuran partikel
mengecil mencapai 1464.1 nm dengan distribusi 38%. Pada saat waktu
ditingkatkan menjadi 2 jam pengukuran PSA menunjukkan ukuran partikel 377.3
nm pada distribusi 38.6%. Proses kavitasi terus meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu ultrasonik menjadi 3 jam hingga ukuran partikel mencapai
146.3 nm dengan distribusi 32% number distribution, 15% volume distribution
dan 3% intensity distribution (Lampiran 18).
Data ukuran
partikel yang didapatkan berupa tiga distribusi yaitu intensity, number dan volume
distribution, sehingga dapat diasumsikan menggambarkan keseluruhan kondisi
sampel.
Gambar 3.16 Grafik pengaruh waktu ultrasonikasi dan ukuran partikel.
Sementara itu berdasarkan pengujian dengan menggunakan TEM (Gambar
3.17) pada cuplikan nanopartikel dengan tu = 3 jam, menunjukkan bentuk
nanopartikel yang menyerupai bola berdiameter terkecil mencapai 10 nm dan
homogen di ukuran 20 - 40 nm. Analisa TEM merupakan alat yang paling teliti
untuk menentukan ukuran partikel dalam skala nanometer karena resulusinya
sangat tinggi (0.1 - 0.2 nm), dimana panjang gelombang de Broglie yang dimiliki
oleh elektron (9 x 10-12 m) dapat menembus cuplikan kemudian diolah menjadi
0
7500
0 1 2 3
Dia
met
er (n
m)
Waktu ultrasonik (jam)
1464.1 nm373.3 nm 146.3 nm
75μm
58
gambar. Keunggulan lain dari pengukuran TEM adalah mampu mendapatkan
informasi kristalografi dari bahan uji dan memiliki kemampuan untuk
mendapatkan berbagai signal dari satu lokasi yang sama pada analisa elemental
skala nanometer dengan berkas elektron yang keluar dari filamen panas yang
dipercepat dengan potensial tinggi. Akibat percepatan tersebut, elektron memiliki
energi kinetik dan momentum yang tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang baik,
diperlukan cuplikan yang setipis mungkin, meskipun elektron yang ditembakkan
dapat merusak atau meninggalkan jejak pada cuplikan yang diuji (warna
kehitaman pada Gambar 3.17).
Hal ini berbeda dengan pengukuran PSA, dimana diameter serbuk partikel
diukur dalam media cair yang terdispersi dalam dispersan. Kondisi dispersi ini
sangatlah mempengaruhi pembacaan PSA dan pada nanopartikel serat kulit rotan
dengan dispersan aquades terjadi aglomerasi (penggumpalan) sehingga tidak
optimal dalam pembacaan skala dan distribusinya. Berdasarkan penjelasan diatas
maka pembacaan ukuran partikel serat kulit rotan digunakan pengamatan yang
dihasilkan oleh alat uji TEM seperti yang ditunjukkan Gambar 3.17.
Analisa perbandingan yang diperlihatkan pada Gambar 3.18 menunjukkan
bahwa Pengujian ukuran partikel menggunakan TEM pada material serat carbon
yang disintesa menggunakan metoda pyrolisis pada temperatur 1400 – 1700 0C
dan ITO pada suhu 900 0
C menghasilkan ukuran < 100 nm. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa capaian dalam penelitian ini yaitu nanopartikel SKR dengan
metoda ultrasonikasi menghasilkan ukuran yang sebanding dengan apa yang
diperlihatkan pada Gambar 3.18.
Gambar 3.17 Citra TEM nanopartikel serat kulit rotan pada perbesaran 100.000X (a), 500.000X (b) , dan 400X (c).
b a c
59
(a) (b)
Gambar 3.18 Citra TEM nano serat Carbon (Stamatin 2006) (a) dan partikel ITO yang disintesis dengan metode filter expansion spray pyrolisis pada suhu reaktor 900 o
Pengolahan data SEM berdasarkan deteksi elektron sekunder (pantul) dari
permukaan cuplikan. Elektron tidak menembus sampel tetapi hanya pantulan hasil
dari tumbukan elektron dengan permukaan cuplikan yang ditangkap oleh detektor
dan diolah menjadi gambar struktur obyek yang sudah diperbesar. Pada proses
operasinya, SEM tidak memerlukan cuplikan yang ditipiskan, sehingga bisa
digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Morfologi
permukaan nanopartikel serat kulit rotan menunjukkan semakin lama waktu
ultrasonik, semakin kecil ukuran partikelnya, meskipun belum tercapainya ukuran
yang homogen. Hal ini sesuai dengan pengamatan PSA bahwa hanya 32% dari
keseluruhan cuplikan yang memiliki ukuran nanopartikel yang sama. Sementara
68% memiliki ukuran yang berbeda. Gambar 3.19 menunjukkan hasil morfologi
permukaan nanopartikel serat kulit rotan pada waktu ultrasonik 0, 1 dan 3 jam
yang berbentuk serat bulat memanjang ± 10 μm - 50 µm dengan diameter
mengecil ± 100 nm seiring dengan bertambahnya waktu ultrasonikasi hingga 3
jam. Hal ini membuktikan bahwa selama proses ultrasonikasi telah terjadi
fenomena kavitasi yaitu pecahnya partikel mikro menjadi nano karena pengaruh
gelombang ultrasonik.
C (Abdullah 2008) (b).
Sementara itu Gambar 3.20 menunjukkan struktur permukaan nanoselulosa
berbagai sumber tanaman (tunicin, rami, dll) yang diteliti oleh Siquera (2010) dan
Hamad (2006). Selulosa ini terlihat memanjang dengan dimensi yang homogen.
60
Salah satu titik kelemahan dalam proses nanopartikel menggunakan gelombang
ultrasonik dalam media cair adalah sulit mendapatkan ukuran nano yang
homogen. Gambar 3.21 menunjukkan dua perbesaran yang berbeda dari citra
SEM CNT yang disintesa pada suhu reaktor 800 o
C. Ukuran diameter CNT yang
ditunjukkan sekitar 20 – 100 nm dengan panjang beberapa puluh nanometer.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.19 Citra SEM nanopartikel SKR variasi waktu ultrasonikasi 0 jam (a), 1 jam (b), dan 3 jam (c).
X500
61
Gambar 3.20 Nanoselulosa tunicin (a), rami (b), gula (c), MCC (d), BC (e)
(Siqueira 2010), dan SEM nano selulosa whiskers metode freeze dried (Hamad 2006)
(a) (b)
Gambar 3.21 Nano partikel Carbon nano tube dengan perbesaran 15.000 (a) dan 3000 (b) (Abdullah 2009 ).
62
Homogen dan keteraturan dalam produksi nanomaterial sangatlah
diharapkan karena akan menghasilkan sifat dan karakteristik (panas, listrik dan
mekanik) yang optimal dan stabil dalam aplikasinya. Hal ini perlu dikaji lebih
lanjut terkait energi yang ditransmisikan oleh gelombang ultrasonik ke gelembung
cairan yang didalamnya terdapat partikel cuplikan dan panas yang dilepaskan
selama proses kavitasi. Setiap material memiliki frekuensi alamiah yang harus
disesuaikan dengan frekuensi eksternal yang diberikan pada material tersebut,
sehingga pecah atau terlepasnya ikatan antara molekul satu dan yang lain dapat
terjadi dengan ukuran dan waktu yang optimal.
Di samping itu semakin lama waktu ultrasonikasi, panas yang terjadi selama
proses juga semakin meningkat dan atom-atom penyusun cuplikan memiliki suatu
batas pengaturan atau penggabungan diri kembali setelah mengalami getaran,
kekosongan kisi dan ketidakteraturan yang ditimbulkan oleh suhu. Oleh sebab itu
perlu adanya suatu surfaktan yang betul-betul sesuai dengan jenis cuplikan dan
kondisi proses ultrasonikasi sehingga hidrofil dan hidrofob dapat bekerja
maksimal untuk mencegah partikel yang sudah pecah menjadi nanopartikel dan
tidak bergabung kembali.
Analisa data dari pengujian EDS yang bertujuan untuk mengetahui
komposisi unsur nanopartikel setelah proses ultrasonikasi ditunjukkan oleh Tabel
3.3. Dalam pengambilan data EDS dilakukan pengukuran di 3 titik pada luasan
cuplikan kemudian di rata-rata. Tabel 3.4 memperlihatkan komposisi unsur pada
cuplikan nanopartikel serat kulit rotan pada variasi waktu ultrasonik 1 jam
meliputi penyusun utama selulosa yaitu atom C = 65.72% dan O = 32.30% yang
diambil dari air dan CO2
Hasil dari EDS juga memperlihatkan bahwa cuplikan yang diekstraksi
benar-benar merupakan selulosa dengan kandungan unsur pendukung yaitu unsur
dan unsur makro, mikro Si, Cl, K, Ca, Cu, dan Au.
Sementara itu komposisi unsur cuplikan pada waktu ultrasonik 3 jam terdiri dari
atom C = 63.25% dan O = 35.04% dengan unsur makro dan mikro meliputi Si, K,
Ca, Cu. Au adalah coating yang digunakan pada saat pengujian SEM-EDS.
Semakin lama waktu ultrasonik, unsur mikro Cl larut karena faktor panas yang
terjadi ketika proses kavitasi ultrasonik berlangsung, demikian juga dengan unsur
C dan O terlihat mengalami penurunan.
63
mikro dan makro yang bersumber dari unsur hara tanah yang diserap oleh dinding
sel tanaman. Kalium (K) diserap tanaman dalam bentuk K+, berfungsi dalam
membantu pembentukan protein dan karbohidrat, meningkatkan daya tahan
tanaman terhadap kekeringan dan penyakit. Kalsium (Ca), diserap oleh tanaman
dalam bentuk Ca2+, yang memiliki peran dalam memperkeras batang
tanaman. Unsur mikro tembaga (Cu) diserap oleh tanaman dalam bentuk Cu2+,
berfungsi dalam pembentukan enzim. Khlor (Cl) diserap oleh tanaman dalam
bentuk Cl-
Tabel 3.3 Komposisi unsur nanopartikel ultrasonikasi variasi waktu
, berfungsi memperbaiki dinding sel tanaman.
Unsur Massa (%) Atom (%)
0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam C 53.11 52.16 49.73 53.41 60.62 65.72 58.25 63.25 O 45.39 34.15 44.79 39.41 38.89 32.3 39.38 35.04 Si 0.36 0.40 3.64 1.86 0.17 0.22 1.02 0.94 Cl 0.10 0.31 - 0.04 0.13 K 0.15 1.01 0.71 0.52 0.05 0.39 0.25 0.19 Ca 0.21 0.40 0.35 0.34 0.07 0.15 0.12 0.12 Cu 0.68 1.24 0.78 0.95 0.15 0.30 0.17 0.21
Au - 10.33 3.51 - - 0.25
Pengujian densitas terhadap nanopartikel serat kulit rotan dengan berbagai
variasi waktu ultrasonikasi dilakukan dengan menggunakan alat uji piknometer.
Nanopartikel pada waktu ultrasonikasi 3 jam memiliki densitas paling kecil yaitu
0.2492 g cm-3 (Tabel 3.4). Jika dibandingkan dengan serat panjang hasil dari
fermentasi Aspergillus niger dengan densitas 0.582 g cm-3 dan serat fiber glass
dengan densitas 2.73 g cm-3
Tabel 3.4 Densitas nanopartikel serat kulit rotan pada variasi waktu ultrasonikasi
, maka ukuran serat kulit rotan pada skala nanometer
ini memiliki densitas yang lebih rendah.
Cuplikan Waktu ultrasonikasi (Jam) Densitas (g cm-3)
Nanopartikel serat kulit
rotan
1 0.2514 2 0.7530 3 0.2492
64
Kesimpulan
1. Pemberian gelombang ultrasonik pada serat kulit rotan dengan variasi
waktu menimbulkan peristiwa kavitasi.
2. Semakin lama waktu ultrasonik yang diberikan, maka semakin kecil
ukuran partikel serat kulit rotan hingga optimum pada tultrasonik
3. Nanopartikel yang dihasilkan memiliki karakteristik berfasa β-selulosa,
berstruktur kristal monoklinik, memiliki unsur penyusun C dan O, dan
elemen makro mikro K, Si, Ca, Cu
= 3 jam
dengan diameter 20 nm (pengujian TEM).
4. Nanopartikel serat kulit rotan memiliki densitas 0.25 g cm3 yang lebih
rendah dibandingkan serat fiber glass (2.73 g cm3) dan serat panjang hasil
fermentasi Aspergillus niger (0.582 g cm3
Daftar Pustaka
), namun ukuran nanopartikel
yang dihasilkan masih belum 100 % homogen.
Abdullah M, Virgus Y, Nirmin, Khairurrijal. 2008. Review sintesis nanomaterial. J Nanosains dan Nanoteknologi 1:1-25.
Abdullah M, Virgus Y, Nirmin, Khairurrijal. 2009. Review karakterisasi nanomaterial. J Nanosains & Nanoteknologi 2.1-9.
Camarena F, Martinez JA. 2006. Potential of ultrasound to evaluate turgidity and hydration of the orange. J Food Eng 75:503-507.
Cristian J, Torres FG, Gomez CM, Bano MC. 2009. Nanocomposites of bacterial cellulose/hydroxyapatite for biomedical applications. Acta Biomaterialia 5:1605–1615.
Dahliana H, Ismail MD. 2004. Rheological properties of polypropylene/ethylene-propylene terpolymer/natural rubber (PP/EPDM/NR) blends by torque rheometer. J Teknologi Proses 3:77-86.
Eichhorn S. 2001. Review current international research into cellulosic fibres and composites. J Materials Science 384:2107-2131.
Guo ZP, Miliny E, Wang JZ, Chen J, Liu HK. 2005. Silicon/disordered carbon nanocomposites for lithium-ion battery anodes. J of The Electrochemical Society 152:2211-2216.
65
Haryanto B, Budiastra IW, Purwadaria HK, Tresnobudi A. 2001. Determination of acoustic properties of durian fruit. Di dalam: Agricultural Aplication. Proceedings of 2nd IFAC-CIGR Workshop on Intelligent Control for Agricultural Aplication; 22-24 Agustus 2001. Bali: Indonesia.
Hamad W. 2006. On the development and applications of cellulosic nanofibrillar and nanocrystalline materials. J Chemical Engineering 84:513-519.
Ifuku S, Nogi M, Yoshioka M, Morimoto M. 2010. Fibrillation of dried chitin into 10–20 nm nanofibers by a simple grinding method under acidic conditions. J Polymers 81:134–139.
Klemm D, Scumann D, Kramer F, Hebler N. 2009. Nanocellulose materials: different cellulose different functionality. Macromol 280:60 –71.
Kristanto. 2007. Analisa teknis dan ekonmis penggunaan serat ijuk sebagai alternatif bahan komposit pembuatan kulit kapal ditinjau dari kekuatan tarik [Tesis]. Semarang: Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, UNDIP.
Lee KY, Jonny J, Blaker, Bismarck A, 2009. Surface functionalisation of bacterial cellulose as the route to produce green polylactide nanocomposites with improved properties. J Composites Science and Technology 69:2724–2733.
Qian L, Zhou J, Zhang L. 2009. Structure and properties of the nanocomposite films of chitosan reinforced with cellulose whiskers. J of Polymer Sciences 47:1069-1077.
Qian-ming G, Li Z, Bai ZD. 2004. Thermal properties of aligned carbon nanotube/carbon nanocomposites. J Materials Science and Engineering 384:209–214.
Rahul S, Resto O, Kahyar RS. 2009. Effect of nanocrystallinity on the electrochemical performance of LiMn. cathode. J of Renuable and Sustainahle Energy 23:95-103.
Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. Polymers 2:728-765.
Stamatin L, Stamatin I, 2006. Bionanocomposites based on nano-carbon materials for culture cells media. J Materials Science and Engineering 384:301–310.
Syafrudin A, Suryono, Suseno JE. 2008. Rancang bangun generator pulsa gelombang ultrasonik dan implementasinya untuk pengukuran jarak antara dua obyek. Fisika 11: 29-37.
Schumann DA. 2009. Artificial vascular implants from bacterial cellulose: preliminary results of small arterial substitutes. Cellulose 16:877–885.
66
Ting-Feng Y, Xin GH, Chang SD. 2007. Effect of different particle sizes on electrochemical performance of spinel LiMn-O cathode materials. J Mater Sci 42:3825- 3830.
Wang Y. 2007. System by Mechanical Alloying. Di dalam: Advanced Materials. Proceeding of One Day Seminar on Universiti Kebangsaan Malaysia. Malaysia, 30 October 2007.
Wang Y, Chang C, Zhang L. 2010. Effects of freezing/thawing cycles and cellulose nanowhiskers on structure and properties of biocompatible starch/PVA sponges. J Macromolecular Materials and Engineering 295:137–145.
Zhang T, Wang W, Zhang D, Zhang X, Yurong M. 2010. Biotemplated synthesis of gold nanoparticle–bacteria cellulose nanofiber nanocomposites and their application in biosensing. J Advanced Functional Materials 20: 1152-1160.