bab 3 analisis data 3.1 analisis dampak modernisasi ...thesis.binus.ac.id/doc/bab3/2009-2-00308-jp...
TRANSCRIPT
26
Bab 3
Analisis Data
3.1 Analisis Dampak Modernisasi Terhadap Penurunan Jumlah Geisha
Dalam proses terjadinya modernisasi, masyarakat Jepang pada umumnya mengalami
kesulitan untuk melakukan adaptasi terhadap setiap perubahan yang terjadi. Mereka tidak
memiliki persiapan yang cukup memadai untuk membantu mereka ataupun
mempermudah mereka untuk beradaptasi dengan proses modernisasi yang ketika itu
sedang berlangsung (Furuta, 1994:188)
Begitu pula halnya yang terjadi dengan para geisha(芸者 ), mereka mengalami
kesulitan yang tidak jauh berbeda dengan kebanyakan masyarakat Jepang pada umumnya
dikarenakan geisha ( 芸 者 ) tidak memiliki pengetahuan yang memadai akan
modernisasi itu sendiri, seperti apa saja yang terjadi pada saat proses modernisasi itu
terjadi, meliputi apa sajakah modernisasi yang terjadi, dan akan memberikan dampak
yang seperti apa pada mereka. Sementara para geisha (芸者) sedang berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan proses modernisasi yang terjadi, proses modernisasi itu sendiri
berlangsung secara cepat tanpa memberikan para geisha (芸者) sedikit kelonggaran
waktu agar dapat berjalan beriringan dengan proses modernisasi yang berlangsung. Hal
ini membuat para geisha (芸者 ) semakin kesulitan untuk tetap mempertahankan
keberadaannya. Di atas itu semua, proses modernisasi yang terjadi juga mempersulit
geisha (芸者) untuk tetap berada dipanggung dan menjadi primadona di Jepang.
Proses modernisasi itu sendiri tidak berlangsung dengan mulus, tetapi juga
menimbulkan banyak kendala yang salah satunya adalah berdampak pada kehidupan para
27
geisha(芸者), sehingga mengurangi jumlah geisha (芸者) di Jepang tidak hanya pada
satu daerah saja melainkan secara keseluruhan. Profesi geisha (芸者) secara kuantitas
terus menerus mengalami penurunan setelah sempat mencapai puncak kejayaannya pada
tahun 1920-an dengan jumlah 80.000 orang di seluruh Jepang. Data tersebut belum
termasuk dengan keberadaan para geisha (芸者) di Gion, Kyoto yang berjumlah 2.500
geisha (芸者) dan 106 maiko(舞子) (Dalby, 1998:75). Pada saat itu keberadaan
geisha ( 芸者 )sedang berkembang pesat sehingga ritual menghabiskan waktu dan
berkumpul dengan geisha (芸者) menjadi suatu hal yang biasa terjadi dan bahkan
sempat menjadi trend. Akan tetapi, kejayaan geisha (芸者)tidak berlangsung terlalu lama
dan mulai mengalami penurunan yang signifikan sebagai akibat yang ditimbulkan dari
hasil modernisasi yang sedang terjadi di Jepang pada zaman Meiji (Dalby, 1998:75-76).
Sesuai dengan teori modernisasi pada bab 2 bahwa modernisasi menimbulkan
perkembangan kota yang menyebabkan bertambahnya urbanisasi. Hal ini dikarenakan
bahwa kota yang selalu dihubungkan dengan produksi yang lebih efisien, penyediaan
berbagai barang dan jasa serta berbagai macam interaksi antara manusia dengan ruangan
membuat masyarakat tergiur untuk berbondong-bondong datang ke kota (Weiner, 1989 :
71). Modernisasi yang terjadi di kota menyajikan berbagai macam barang dan jasa,
pekerjaan, serta hiburan yang menarik. Dengan adanya berbagai barang dan jasa, tentu
saja lapangan pekerjaan yang tersedia juga semakin bermacam-macam dan banyak
sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Sesuai dengan teori Inkeles (1989:88)
bahwa modernisasi merupakan penggantian budaya tradisional menuju budaya baru yang
lebih modern menyebabkan tumbuhnya perkembangan kota yang sangat pesat yang
dipengaruhi oleh masuknya budaya modern serta sistim produksi yang lebih modern pula.
28
Oleh karena itu, perkembangan kota yang modern membuat penduduk desa berbondong-
bondong pindah ke kota untuk menikmati segala kemudahan serta kemajuan teknologi
yang hanya tersedia di kota yang telah terpengaruh oleh adanya perkembangan
modernisasi.
Penulis menganalisis bahwa modernisasi yang terjadi di Jepang yang telah membawa
perubahan yang sangat besar bagi masyarakat Jepang. Dengan berkembangnya kehidupan
kota menjadi lebih modern, memungkinkan masyarakat desa pindah ke kota untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena dengan berubahnya
sistem kota yang tradisional menjadi modern, membuka banyak peluang dari segi mata
pencaharian bagi masyarakat desa. Selain itu mayrakat pedesaan ingin mengikuti
perkembangan kemodernan kota yang sedang terjadi saat itu. Perkembangan kota yang
telah menyebabkan bertambahnya urbanisasi inipun mengakibatkan penurunan jumlah
geisha (芸者 ). Hal ini dikarenakan bahwa kota yang dihubungkan dengan adanya
berbagai barang dan jasa tentu saja membuka peluang pekerjaan yang lebih fariativ dan
banyak sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja dan tidak terkecuali tenaga kerja
wanita(Weiner, 1989 : 71). gadis-gadis muda saat itu dapat menjadi pegawai toko dan
tentu saja gadis cafe yang disebut jokyuu (女給). Dengan semakin banyaknya wanita
bekerja yang memilih profesi sebagai jokyuu (女給) mengakibatkan persaingan antara
geisha (芸者) dan jokyuu (女給) dalam menghibur pelanggan yang menjadi salah satu
faktor menurunnya jumlah geisha (芸者) pada saat itu. Selain itu modernisasi kota yang
telah menyebabkan perubahan pola pikir masyarakat Jepang dan tingginya harga geisha
(芸者) turut menjadi penyebab menurunnya jumlah geisha (芸者) pada masa itu yang
diakibatkan oleh dampak modernisasi yang terjadi pada zaman Taisho.
29
3.1.1 Analisis Dampak Modernisasi Terhadap Penurunan Jumlah Geisha dalam
Persaingannya dengan Jokyuu
Jepang pada tahun 1920-an dan 1930-an adalah masa yang modern, dan bagi wanita,
menjadi shokugyou fujin(職業夫人) merupakan hal yang cukup menantang. Shokugyou
fujin, atau wanita pekerja memiliki makna seperti pekerja atau buruh yang terorganisir,
karir, bisnis dan kesadaran profesional (Dalby,1998:92). Gadis-gadis muda saat itu
memiliki pilihan jenis pekerjaan yang lebih beragam, mereka dapat memilih untuk
bekerja diberbagai macam lapangan pekerjaan dengan jenis pekerjaan yang berda-beda
pula, seperti menjadi pegawai toko, pekerja kantoran, gadis penjaga lift, dan tentu saja
gadis kafe yaitu jokyuu (女給)
Dalam hal ini saya sebagai penulis menganalisis bahwa modernisasi yang terjadi di
Jepang berdampak juga pada lapangan pekerjaan. Modernisasi memungkinkan
terciptanya banyak lapangan pekerjaan baru bagi para gadis muda yang ingin berkarir dan
membuka kesempatan bagi mereka untuk mencari pekerjaan lain yang anggap lebih
menarik sesuai dengan jiwa mereka dan tentu saja memperoleh penghasilan yang lebih
besar. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa dengan mengikuti arus modernisasi
bisa membawa perubahan tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarga. Hal ini
juga didukung oleh urbanisasi sebagai salah satu ciri dari terjadinya modernisasi, banyak
gadis-gadis muda yang tidak takut pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.
Dalam hal ini tentu saja membuat geisha(芸者) mendapatkan pesaing dalam hal
menghibur pengunjung. Para geisha(芸者) harus berusaha untuk bisa bersaing dengan
gadis-gadis muda yang tentu saja sudah mengalami modernisasi, baik dari segi
penampilan yang berbeda atau dari segi pelayanan yang lebih menarik dan tentu saja bisa
30
membuat konsumen atau masyarakat tertarik. Bukan hanya itu saja, dari segi hiburanpun
pendapatan jokyuu (女給) meningkat secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa
masyarakat lebih menyukai arus modernisasi yang ditawarkan oleh jōkyu(女給). Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa faktor modernisasi bisa membuat masyarakat Jepang
meninggalkan sistem tradisional. Dalam arti bahwa dengan makin bertambah tingginya
arus modernisasi dapat dikatakan pendapatan geisha(芸者) mengalami penurunan dan hal
ini tentu saja berbeda dengan fakta yang ada bahwa pendapatan jōkyu (女給) meningkat
drastis.
Gambar 1.3 Jokyu
Sumber : http//:imgres.file.com
Jōkyuu (女給) muncul pada tahun 1920-an, dengan cepat jōkyuu (女給) menjadi salah
satu profesi yang bergengsi dan paling banyak digeluti oleh gadis-gadis Jepang pada saat
itu. Untuk pertama kalinya geisha ( 芸 者 )mulai menghadapi persaingan yang
sesungguhnya dalam menarik minat para pelanggan, setelah selama ini mereka selalu
menjadi primadona dipanggung hiburan masyarakat Jepang. Daya tarik utama dari
profesi sebagai jōkyu (女給) adalah kemodernannya, seperti, cara mereka melayani tamu,
31
pakaian yang digunakan, dan segala hal modern yang disajikan. Kebanyakan para gadis
muda Jepang pada saat itu tertarik untuk menjadi jōkyu (女給), selain karena proses
untuk menjadi jōkyu tidaklah sesulit proses untuk menjadi geisha(芸者), profesi sebagai
jōkyu (女給) pada saat itu adalah profesi yang cukup menjanjikan karena dianggap lebih
modern, sejalan dengan proses modernisasi yang sedang terjadi diseluruh Jepang pada
saat itu. Para gadis muda tersebut mencari beberapa tahun pengalaman kerja yang
menarik dan tidak tradisional, dan profesi sebagai jōkyu (女給) ini adalah salah satu
profesi yang dapat dikatakan memenuhi syarat yang mereka cari. Profesi sebagai jōkyu
(女給) juga dipandang sangat menjanjikan secara finansial. Keadaan seperti itu tentu saja
membuat geisha(芸者 ) mendapatkan saingan berat dalam menarik dan menghibur
pengunjung, karena dalam waktu singkat banyak jōkyu(女給) bermunculan diseluruh
Jepang. Faktor modernisasi membuat masyarakat Jepang lebih menyukai jenis hiburan
yang lebih modern, yang berakibat pada berkurangnya pendapatan geisha(芸者) akibat
persaingannya dengan jokyu (女給) ( Dalby, 1998:84)
Peningkatan jumlah jōkyu(女給) dari tahun ke tahun yang signifikan dapat dilihat
pada grafik peningkatan jumlah jōkyu(女給) berbanding dengan jumlah geisha(芸者)
yang ada :
32
Tabel 1.3 Penurunan Jumlah Geisha(芸者) dengan Peningkatan Jumlah Jokyuu (女給)
0
20
40
60
80
100
120
1925 1926 1927 1928 1930 1934
GeishaJokyu
Sumber : Liza Crihfield Dalby, Geisha : hlm. 84, berdasarkan data dari Naimusho Keisatsu Torishimari Tokei.
Dari grafik di atas dapat dilihat pada tahun 1925, profesi geisha(芸者) menghadapi
persaingan dengan jōkyu (女給) yang jumlahnya semakin bertambah banyak. Pada tahun
1925 geisha(芸者) berjumlah 80.000 orang di seluruh Jepang, sementara jōkyu (女給)
baru bertambah dengan cepat dan sudah melebihi dari separuh jumlah geisha(芸者) yang
ada saat itu menjadi sekitar 50.000 orang pada awal kemunculannya. Berikutnya pada
tahun 1926 jumlah jōkyu ( 女給 ) meningkat menjadi sekitar 70.000 ribu orang,
peningkatan yang terjadi dengan cepat dalam kurun waktu satu tahun ini mulai
membayang-bayangi keberadaan geisha( 芸 者 ). Pada tahun 1927 geisha( 芸 者 )
mengalami penurunan 10.000 orang, yang mengakibatkan jumlah mereka menjadi setara
dengan jumlah jōkyu (女給). Hal ini membuat keadaan semakin sulit bagi geisha(芸者),
karena jumlah mereka yang sama sekarang. Sedangkan ketika jumlah geisha(芸者) masih
33
lebih banyak daripada jōkyu (女給) saja, sudah cukup sulit bagi geisha(芸者) untuk
menarik kembali minat para pelanggannya. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah jōkyu
(女給) terus berkembang mencapai jumlah 110.000 orang. Sementara itu jumlah geisha
mengalami penurunan sejumlah 10.000 orang dari tahun 1925 menjadi sekitar 70.000
orang. Seiring dengan semakin merebaknya modernisasi yang banyak berpengaruh pada
pola kehidupan di Jepang yang semakin condong ke arah Barat, maka jōkyu (女給) pun
terlihat semakin banyak. Profesi geisha(芸者) pun mulai tersisihkan dengan keberadaan
jōkyu (女給) yang jumlahnya semakin banyak saja. Peningkatan jumlah jōkyu (女給)
yang signifikan membuat keadaan semakin tidak sebanding, persaingan yang terjadi pun
semakin tidak berimbang antara jōkyu (女給) dan geisha(芸者). Pada tahun 1934 jumlah
jōkyu (女給) dan geisha(芸者) memiliki selisih sebesar 40.000 orang dengan lebih besar
jumlah jōkyu (女給) dibandingkan dengan geisha(芸者). Hal ini semakin menghimpit
keberadaan geisha(芸者) di Jepang.
Berdasarkan data di atas penulis menarik kesimpulan, bahwa modernisasi berdampak
pada munculnya lapangan pekerjaan yang baru dan membuka banyak kesempatan bagi
gadis muda untuk mencari pekerjaan yang mereka anggap lebih menarik. Para gadis
muda yang akan terjun ke dunia hiburan atau jasa melihat bahwa menjadi jōkyu (女給)
lebih mudah dan dapat tampil lebih modern dibandingkan jika mereka menjadi seorang
geisha(芸者). Dikatakan lebih mudah karena untuk menjadi jōkyu (女給), seorang gadis
tidak harus melewati proses latihan awal yang panjang yang dilalui oleh seorang calon
geisha(芸者 ). Dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang jauh lebih menarik ini
akhirnya membuat minat para gadis terhadap profesi geisha(芸者) menurun dan minat
34
terhadap profesi jōkyu (女給) semakin meningkat, hal ini menjadi salah satu faktor
berkurangnya jumlah geisha (芸者) di Jepang. Selain itu, para pelanggan geisha pun
mulai berkurang minatnya dan mulai beralih kepada para jōkyuu ( 女 給 ), ini
menyebabkan jumlah geisha (芸者) turut berkurang. Karena ada beberapa dari mereka
yang beralih profesi atau tidak menjadi geisha(芸者) lagi. Dengan tersedianya lapangan
pekerjaan yang jauh lebih menarik ini akhirnya membuat minat para gadis terhadap
profesi geisha (芸者) menurun dan jumlah mereka pun turut berkurang. Hal ini tentu saja
membawa dampak yang kurang begitu bagus untuk masyarakat Jepang yang masih
menggunakan sistem tradisional.
Beberapa hal yang telah penulis jelaskan diatas menjadi alasan-alasan yang cukup
masuk akal bagi para gadis muda di Jepang pada masa itu untuk lebih memilih profesi
menjadi jōkyu (女給) dari pada menjadi seorang geisha (芸者), yang menjadi penyebab
dari berkurangnya jumlah geisha (芸者) di Jepang pada masa itu. Ditambah dengan
adanya pengaruh Barat yang dianggap lebih modern pada saat itu.
3.1.2 Analisis Dampak Modernisasi Pada Penurunan Jumlah Geisha dihubungkan
dengan Berubahnya Pola Pikir Masyarakat Jepang
Pola pikir masyarakat Jepang yang berubah seiring dengan terjadinya proses
modernisasi, mengarah pada pola pikir yang lebih modern dan praktis. Oleh karena itu,
pada saat itu masyarakat Jepang mulai menyenangi hal-hal yang tidak rumit, tidak
berbelit-belit, dan dengan proses yang cepat.
35
Dikaitkan dengan penurunan jumlah geisha(芸者) yang terjadi pada saat itu adalah
karena proses yang dilalui untuk menjadi jōkyu (女給) tidaklah serumit dan sepanjang
tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menjadi geisha. Dikatakan begitu karena untuk
menjadi jōkyu(女給 ), seorang gadis tidak harus melewati proses latihan awal yang
panjang yang dilalui oleh seorang calon geisha(芸者). Mereka juga tidak perlu melalui
proses minarai seperti geisha( 芸 者 ). Lamanya proses minarai sebelum menjadi
geisha(芸者) dan ketakutan mereka akan hal itu bahwa dalam proses minarai biasanya
mereka akan mendapatkan masalah dan penderitaan, juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi penurunan jumlah geisha(芸者). Maka dari itu, ketika ada pilihan
lain selain menjadi geisha(芸者 ) mereka pun berbondong-bondong memilih profesi
tersebut. Selain itu, para calon jōkyu (女給) juga tidak perlu berurusan dengan asosiasi
seperti yang dialami oleh calon geisha(芸者). Para wanita yang ingin menjadi jōkyu (女
給) ini berasal dari seluruh Jepang, mereka ingin menjadi bagian dari modernisasi bangsa
Jepang (Dalby,1998:80). Kemudahan-kemudahan ini tentu menggiurkan bagi para gadis
muda di Jepang saat itu, karena mereka lebih cepat menghasilkan uang. Dalam artian,
semakin cepat mereka melalui proses latihan maka semakin cepat pula mereka terjun ke
dunia kerja yang sebenarnya dan semakin cepat mereka mendapatkan hasilnya.
Kemudian, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah sisi modernitas dari jōkyu (女給)
dibandingkan dengan geisha (芸者). Jōkyu (女給) memakai pakaian yang lebih modern
dibandingkan dengan geisha (芸者) yang selalu memakai kimono dan menampilkan
kesenian tradisional bangsa. Lamanya proses pemakaian kimono mengurangi kepraktisan
yang disukai oleh masyarakat pada masa tersebut. Karena alasan demi kepraktisan itulah
36
banyak gadis Jepang yang lebih memilih menjadi jōkyu (女給). Akan tetapi, seharusnya
hal ini tidak hanya dilihat dari satu sisi saja. Contohnya, kimono yang selalu dipakai oleh
geisha( 芸者 ) dan alat musik (shamisen, shakuhachi) yang dimainkan merupakan
identitas bangsa Jepang. Sedangkan jōkyu( 女 給 ) terlihat lebih modern dengan
penampilan dan cara mereka melayani tamu di bar dengan sajian musik jazz yang lebih
modern. Jokyu (女給) dapat berdansa secara modern dibandingkan geisha (芸者) yang
hanya menari tradisional jepang. Dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang jauh lebih
menarik ini akhirnya membuat minat para gadis terhadap profesi geisha(芸者) menurun,
hal ini menjadi salah satu faktor berkurangnya jumlah geisha(芸者) di Jepang. Selain itu,
para pelanggan geisha(芸者) pun mulai berkurang minatnya dan beralih kepada para
jōkyu(女給 ), ini menyebabkan jumlah geisha(芸者 ) turut berkurang. Karena ada
beberapa dari mereka yang beralih profesi atau tidak menjadi geisha(芸者) lagi.
Faktor pola pikir masyarakat Jepang yang cenderung berubah akibat dari proses
modernisasi yang kemudian terus berkembang menjadi westernisasi. Sesuai dengan teori
modernisasi yang diungkapkan Inkeles pada bab 2, dengan adanya proses modernisasi ini
cenderung membawa perubahan pada sifat manusia yang lebih mengarah pada
berubahnya sistem tradisional menjadi sistem dengan gaya Barat yang dipandang lebih
maju, sehingga seolah-olah cara tradisional dipandang menjadi cara yang ketinggalan
zaman dan dianggap kuno.
37
3.1.3 Analisis Dampak Modernisasi Pada Penurunan Jumlah Geisha dihubungkan
dengan Tingginya Harga Geisha
Karena tingginya tarif yang ditentukan oleh geisha(芸者) juga menjadi salah satu
penyebab menurunnya jumlah geisha( 芸者 ). Para pelanggan geisha( 芸者 ) yang
menggunakan jasa geisha(芸者) harus mematuhi standarisasi upah geisha(芸者) yang
telah ditetapkan pemerintah sejak tahun 1886 dan telah disepakati pula oleh pihak ochaya,
sehingga untuk memesan geisha(芸者), pelanggan harus menghubungi ochaya (お茶
屋)terlebih dahulu.
Setiap geisha(芸者) memiliki tarif yang berbeda-beda, tergantung pada pengalaman
kerja, popularitas serta kecantikan mereka. Semakin lama masa kerja geisha(芸者), maka
ia akan lebih dipandang oleh pelanggan karena dianggap lebih berpengalaman dan tidak
akan mengecewakan para pelanggan.
Di Gion biaya paling murah untuk geisha(芸者) adalah 10,000 yen ($100) per-jam.
Jika malam hari biaya menjadi lebih mahal antara 30,000-40,000 yen ($300-$400)
(Yurista, 2006:31). Dalam prinsip ekonomi menurut Rahardja (2006:20-21) jika suatu
barang semakin murah, maka permintaan terhadap barang itu bertambah dan jika suatu
barang semakin mahal maka permintaan terhadap barang tersebut akan menurun.
Seperti yang dikatakan oleh Shozo (2007:5) :
お客様として「お茶屋」で遊ぶには、単に榷力があっても、純金融資産
をー億円以上所有するのお金持ち層であっても、そこのお茶屋で遊んで
居られるを客様の、ご紹介か同伴でなければ入れません。ご紹介か同伴
「お茶屋」で遊び、あそびも慣れ、遊び方のマナーも知り、継続して遊
べる資方もある人と、お茶屋の女将に判断されて、出入りを認められて、
初めて選ばれたー流人のを遊びと言えるのです。
Yang terjemahannya adalah
38
Agar bisa masuk ke “ochaya” tertentu, seorang pelanggan membutuhkan lebih dari sekedar kekuasaan semata, dan bahkan seorang yang kaya yang mempunyai kekayaan lebih dari 100 juta yen pun memerlukan undangan atau ditemani oleh seseorang yang sudah diakui oleh “ochaya” tersebut agar bisa masuk. Hanya pelanggan yang sudah dikenal atau ditemani ke “ochaya” dan dihibur disana yang terbiasa dengan jenis hiburan dan etika disana, dan yang punya cukup uang untuk berkunjung secara regular akan diterima oleh nyonya rumah (pimpinan geisha) dan diijinkan untuk datang dan pergi dengan bebas; pada tingkat itu, maka mereka bisa dianggap telah terpilih untuk menikmati seni tingkat tinggi.
Dari kutipan diatas penulis melakukan analisis, bahwa tidak heran bila tingginya tarif
geisha(芸者) menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah pelanggan, yang
berakibat pada penurunan jumlah geisha(芸者). Walaupun dengan tarif yang tinggi ini
membuat geisha(芸者) memiliki kelasnya tersendiri atau bisa juga disebut dengan kelas
elit, karena tidak semua orang mampu untuk menyewa seorang geisha. Tetapi pada
kenyatannya, ternyata kesan elit yang diciptakan oleh para geisha(芸者) tersebut tidak
banyak membantu mereka dalam menghadapi persaingan dengan para jokyu (女給) yang
memasang tarif lebih rendah. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan Dalby (1998:81)
bahwa dengan adanya faktor ini, berdampak pula pada menurunnya pendapatan
geisha(芸者) yang disebabkan karena jumlah pelanggan menurun maka pendapatan pun
juga ikut menurun. Tidak sembarang orang yang bisa masuk dan menyewa geisha(芸者).
Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah geisha(芸者) pada saat itu, karena selain
tarifnya yang tinggi orang-orang yang belum dikenal oleh ochaya (お茶屋)tersebut
tidak dapat menikmati hiburan dari geisha(芸者), sehingga pada akhirnya mereka lebih
memilih ditemani oleh para jokyu (女給) dibandingkan dengan geisha(芸者).
39
Dengan mahalnya tarif geisha(芸者) membuat para pria yang ingin menjadi danna
(旦那)(pria yang membiayai hidup geisha(芸者)) juga ikut menurun. Kutipan diatas
juga didukung oleh Downer (2002 : 175) bahwa, dengan harga geisha(芸者) yang relatif
tinggi juga menjadi penyebab menurunnya jumlah pria yang ingin menjadi danna. Sejak
jumlah danna makin menurun, menjadi dilema tersendiri bagi geisha(芸者), karena hidup
para geisha(芸者) sebagian besar didukung oleh kehadiran danna(旦那). Mulai dari
kimono, make-up, rambut wig sampai biaya hidup dibiayai oleh danna(旦那).
Selain karena faktor makin tingginya tarif geisha(芸者), penurunan jumlah danna
(旦那) ini juga disebabkan karena faktor semakin tingginya biaya hidup di Jepang.
Seiring dengan makin majunya Jepang yang ditandai dengan berkembangnya industri
maka semakin tinggi pula ekonomi sosial, termasuk biaya hidup. Hal inilah yang menjadi
pemicu menurunnya jumlah pria yang ingin menjadi danna(旦那) bagi seorang
geisha(芸者) (Downer,2002 : 175-176)
Sebagian besar pria yang menjadi danna(旦那) adalah seorang pebisnis dan
pengusaha yang sukses, sehingga biaya geisha (芸者)tidak menjadi masalah. Sekarang
karena faktor ekonomi tersebut, para pebisnis pun juga sudah jarang yang ingin menjadi
danna untuk seorang geisha(芸者).
3.2 Analisis Perubahan Tata Cara Layanan Geisha Pada Tamu
Geisha (芸者) adalah wanita penghibur yang muncul pada jaman Edo (1600-1868).
Ia memiliki banyak kecakapan, terutama dalam bidang seni. Mereka menghibur para
tamunya dengan percakapan, permainan serta nyanyian dan tarian khas Jepang yang
40
diiringi oleh alunan alat musik tradisional Jepang seperti shamisen (三味線). Geisha
(芸者) menghibur para tamunya di ochaya (御茶屋) yaitu rumah minum teh dimana
geisha (芸者) menampilkan kebolehannya di depan para tamunya.
Geisha (芸者) yang pada keberadaannya di zaman Edo memiliki peranan serta
statusnya sebagai seorang penghibur seni tradisional dalam masyarakat. Namun dengan
adanya modernisasi yang terjadi di Jepang yang di awali pada zaman Meiji membawa
perubahan sosial dan budaya pada masarakat. Mengenai perubahan sosial yang dialami
oleh geisha (芸者) dihubungkan dengan konsep perubahan sosial menurut Soejono
Soekanto (1990 : 311-325) dikatakan bahwa adanya perubahan tersebut disebabkan oleh
faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial budaya. Antara lain
disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Dalam hal ini penulis menganalisis bahwa
adanya perubahan yang dialami masyarakat Jepang khususnya geisha lebih disebabkan
oleh faktor intern dari masyarakat Jepang itu sendiri. Faktor intern yang terjadi adalah
dengan berubahnya masyarakat Jepang yang tradisional menjadi modern yang
menyebabkan berubahnya pola pikir serta selera dari masyarakat itu berubah dari yang
tradisional menjadi lebih modern sehingga meninggalkan sifat-sifat asli masyarakat
tersebut (Weiner, 1989 : 88).
Geisha (芸者) yang pada zaman Edo merupakan penghibur seni yang menyajijkan
kesenian dengan alat musik tradisional serta tarian tradisional berubah seiring dengan
adanya modernisasi di Jepang yang mempengaruhi perubahan selera pada masyarakat
Jepang yang pada saat itu lebih menyukai sesuatu yang berbau Barat. Hal ini
menyebabkan timbulnya faham westernisasi dalam masyarakat Jepang. Dengan
berubahnya selera masyarakat dari yang tradisional menjadi modern membuat mereka
41
menyukai hal-hal modern, termasuk dalam seni dan hiburan. Hal ini menjadi
permasalahan tersendiri bagi geisha, karena geisha merupakan penghibur kesenian
tradisional.
Untuk mempertahankan keberadaannya geisha(芸者) berinovasi dan berimprovisasi
dengan menggabungkan hiburan tradisional dengan hiburan modern. Hal ini membuat
perubahan pada tata cara layanan geisha (芸者 ) pada tamu yang biasanya hanya
menampilkan hiburan seni tradisional saja. Dalam hal ini dampak dari westernisasi
masyarakat Jepang membuat geisha mencampurkan seni tradisional dengan seni modern
dalam penampilannya dalam hal alat musik dan tarian.
3.2.1 Analisis Perubahan Tata Cara Pelayanan Geisha Pada Kesenian yang
Berhubungan dengan Modernisasi
Dalam hal penampilan kesenian, geisha(芸者) menampilkan kesenian tradisional
seperti tarian dan musik tradisional. Dengan adanya modernisasi di Jepang yang telah
menyebabkan timbulnya westernisasi pada masyarakat Jepang telah merubah pola pikir
dan perubahan selera pada masyarakat Jepang dari yang tradisional menjadi lebih
modern dan keBarat-baratan. Dampak dari westernisasi masyarakat Jepang telah
menyebabkan penurunan jumlah geisha( 芸 者 ) pada saat itu. Dan untuk
mempertahankan keberadaan geisha dan seni tradsional Jepang maka geisha(芸者)
berupaya dan berusaha menampilkan pertunjukkan seni mereka dengan menambahkan
unsur-unsur Barat dalam pelayanan mereka kepada pengunjung dalam hal tarian dan
alat musik yang mereka gunakan.
42
3.2.1.1 Analisis Modernisasi dalam Tarian Geisha yang dipengaruhi oleh
Westernisasi
Sekitar tahun 1915 Jepang dilanda demam dansa ballroom gaya Barat yang disebut
dengan dansu. Kaburenjo, yaitu tempat geisha belajar menari, menyanyi, memainkan
shamisen(三味線) dan taiko (太鼓)di Pontocho, menjadi tempat pertama yang
memberikan pelajaran dansu tersebut kepada geisha (芸者) (Dalby,1998:81).
Kepopuleran dansa gaya Barat ini membuat geisha(芸者) yang berasal dari daerah
lain juga mulai mempelajarinya untuk melayani permintaan pelanggan yang telah
terpengaruh pada proses modernisasi, yang menuntut para geisha(芸者 ) harus bisa
berdansa. Pelajaran berdansa ini pertama kali diberikan bagi komunitas geisha(芸者) di
Kaburenjo, Potoncho. Kaburenjo ini dibangun sebagai tempat bagi geisha(芸者) untuk
menampilkan tarian Kamogawa, selain sebagai tempat untuk sekolah geisha(芸者) dan
tempat untuk asosiasi geisha(芸者) (Dalby,1998:82).
Menurut analisis penulis, pada masa itu semua masyarakat Jepang berlomba-lomba
untuk terlihat modern seperti masyarakat di belahan dunia bagian Barat. Akibat yang
ditimbulkan dari adanya proses modernisasi menyebabkan terjadinya westernisasi pada
masyarakat Jepang, yang mempengaruhi selera dan gaya hidup mereka sehingga menjadi
berubah. Dalam hal memilih tempat untuk rekreasi dan mencari hiburan pun berubah.
Geisha (芸者)yang dikenal sebagai penghibur tradisional Jepang juga berubah seiring
dengan adanya westernisasi. Dikarenakan oleh hal tersebut, agar keberadaan geisha(芸
者) tetap bertahan dan tetap memiliki pelanggan, maka para geisha(芸者) pun ikut
berubah mengikuti zamannya pada saat itu menjadi lebih modern dengan menambahkan
43
pelajaran tari mereka dengan dansu agar dapat memenuhi permintaan pelanggan. Hal ini
berkaitan erat dalam dunia persaingan antara geisha(芸者) dengan jokyu(女給) yang
terlihat lebih modern, untuk menarik minat pelanggan sebanyak-banyaknya.
Dengan kata lain dalam hal menampilkan keseniannya geisha(芸者 ) mengalami
asimilasi budaya yang disebabkan oleh westernisasi masyarakat Jepang pada saat itu.
seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (2005:160) bahwa asimilasi adalah suatu
proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari
unsur-unsur kebudayaan dari golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran. Unsur kebudayaan campuran disini yaitu bahwa
geisha(芸者) yang pada dasarnya adalah penghibur tradisional yang menyajikan hiburan
seni-seni tradisional mulai mencampur kesenian tersebut dengan kesenian berdansa ala
Barat untuk memenuhi keinginan pelanggannya agar keberadaannya tetap bertahan dalam
situasi modernisasi yang terjadi di kalangan masyarakat.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Eleanor (2001) pengaruh westernisasi
semakin besar terjadi pada tahun 1920-an dan 1930-an. Anak-anak muda sekarang
banyak yang tidak mengenal geisha(芸者) dan karena lebih menyukai sesuatu yang
bergaya Barat, mereka lebih suka ke kafe daripada ke ochaya. Dengan pengaruh
Hollywood, majalah, radio, music dan jazz para pemuda menjadi mobo dan gadis-gadis
menjadi moga, kependekan dari modern boy dan modern girl. Mereka menganggap
kimono cukup elegan namun tidak nyaman dipakai. Gadis-gadis memotong rambut
panjangnya menjadi pendek untuk mengikuti perkembangan
jaman.(Underwood,2001:31)
44
Penulis puisi Hagiwara Sakutaro juga menggambarkan keberadaan anak muda yang
pada saat itu sudah tidak tertarik lagi dengan geisha(芸者). Dalam tulisannya yang
berjudul Shin Geisha Ron ia mengatakan :
”Fun with geisha” is something for old men. Young men of style nowadays are of the opinion that geisha are dull and boring, and they turn their steps toward the cafes, not the tea house. The reason for this is perfectly clear. They prefer shingle-cut bobbed hair to the once fashionable tsubushi shimada. They like western music, not the shamisen. Young people don’t even understand the plays of kabuki stage anymore---they like Paramount pictures at the movie theatre. Geisha are part of these old-fashioned things youth just isn’t interested in (Dalby,1998:90).
Terjemahannya :
Bersenang-senang bersama geisha hanyalah untuk pria tua. Pria muda yang mengikuti gaya sekarang ini menganggap geisha membosankan dan mereka lebih memilih untuk pergi ke kafe daripada ke ochaya. Alasan dibalik masalah ini sangatlah jelas. Mereka lebih memilih model rambut pendek daripada tsubushi shimada yang dulu dianggap nge-trend. Mereka lebih menyukai musik Barat daripada shamisen. Anak muda sekarang bahkan tidak mengerti pertunjukkan kabuki lagi. Mereka menyukai film-film Paramount di bioskop. Geisha adalah bagian dari sesuatu yang sudah ketinggalan jaman sehingga anak muda tidak tertarik lagi.
Penulis menganalisis bahwa perubahan selera anak muda merupakan akibat dari
pengaruh westernisasi inilah yang membuat mereka tidak tertarik lagi dengan geisha(芸
者). Seperti yang telah dikatakan oleh Asrori (2009) masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri. Para remaja di Jepang pada saat itu yang
lebih menyukai budaya Barat daripada budaya asli Jepang sendiri dikarenakan mereka
belum mengerti dan memahami identitas asli dari budaya asli yang tradisional. Bagi
produsen, kelompok usia remaja salah satu pasar yang potensial, hal ini dikarenakan
remaja biasanya mudah terbawa trend yang sedang populer pada masa itu. Maka dari itu
geisha(芸者) dan hanamachi-nya pada tahun-tahun ini berusaha keras untuk beradaptasi
45
dengan gaya Barat dalam rangka memenuhi selera pelanggan. Mereka harus melakukan
hal tersebut, demi menjaga eksistensi mereka dalam dunia hiburan masyarakat Jepang.
Selain itu juga, untuk mempertahankan mata pencaharian mereka dan mempertahankan
para pelanggannya.
Perubahan selera ini apabila dihubungkan dengan kondisi masyarakat Jepang pada
saat itu, semakin membuat masyarakat Jepang mulai kehilangan ciri khasnya sebagai
masyarakat tradisional yang memiliki kepribadian yang unik. Modernisasi Jepang telah
menimbulkan westernisasi bagi masyarakat Jepang khususnya bagi kaum muda Jepang,
semakin menegaskan bahwa peranan geisha(芸者) sebagai penghibur tradisional Jepang
sudah tidak dipandang sebagai suatu hal yang penting lagi, karena para pemuda di Jepang
lebih menyukai hal-hal yang menjurus ke arah Barat dibandingkan seni tradisional milik
negara mereka sendiri.
3.2.1.2 Analisis Akulturasi Alat Musik yang dipengaruhi oleh Westernisasi
Geisha (芸者) dapat pula diartikan sebagai seniman atau penghibur tradisional Jepang
yang biasa menampilkan kesenian Jepang seperti tarian dan musik tradisional. Alat musik
tradisional yang biasa dimainkan oleh geisha (芸者) diantaranya adalah :
a. Shamisen, yaitu sejenis gitar yang memiliki tiga buah senar
b. Shakuhachi, yaitu seruling bambu. Yang termasuk dalam alat seni tiup.
c. Taiko atau Drum, yaitu alat musik tradisional Jepang yang cara membunyikannya
dengan dipukul.
Selain menguasai penggunaan alat musik tersebut, para geisha (芸者) juga menguasai
kesenian-kesenian lain seperti lagu atau nyanyian serta tarian tradisional Jepang, upacara
46
minum teh, berbagai jenis buku, dan juga puisi-puisi. Jadi, seorang geisha bukanlah
wanita penghibur biasa yang hanya mengandalkan kecantikan fisik semata. Untuk
menjadi seorang geisha (芸者 ) mereka juga harus menguasai berbagai hal, seperti
penggunaan alat musik tradisional Jepang, tarian-tarian tradisionalnya, upacara minum
teh, berbagai jenis buku, dan juga puisi-puisi. Mereka dibekali ilmu pengetahuan yang
cukup pada masa awal sebelum menjadi geisha(芸者). Itulah alasan mengapa untuk
menjadi seorang geisha dibutuhkan waktu yang panjang, karena harus dibekali oleh
kepintaran-kepintaran agar dapat bersaing dengan geisha (芸者) lainnya, dapat menarik
danna yang memiliki banyak uang, memberikan penghasilan kepada ochaya, dan dapat
memuaskan pelanggan.
Dalam teori modernisasi telah dikatakan bahwa proses modernisasi akan mengubah
kehidupan sosial masyarakat. Gaya hidup masyarakat Jepang pun berubah karena
pengaruh westernisasi. Mereka cenderung mengikuti gaya Barat mulai dari cara
berpakaian hingga selera musik. Pada saat itu masyarakat yang menjadi pelanggan
geisha(芸者) mulai menyadari betapa berbedanya musik jazz yang diiringi dengan alunan
saxophone dengan yang biasa dibawakan oleh geisha( 芸者 ) dengan memainkan
shamisen, sehingga mereka pun cenderung untuk lebih memilih pergi ke bar untuk
mendengarkan musik jazz (Dalby, 1998 : 81).
Dengan adanya modernisasi di Jepang, pada akhir 1930-an, para geisha(芸者) di
Tokyo juga bereksperimen dengan alat musik Barat seperti geisha ( 芸者 ) yang
memainkan biola Cara-cara seperti ini dilakukan agar geisha ( 芸者 ) tetap dapat
mempertahankan keberadaannya yang berada dalam arus modernisasi yang sedang
47
melanda masyarakat Jepang yang lebih menyukai hiburan dari Barat. Dalam hal ini
geisha (芸者) berusaha menggabungkan seni Barat dalam penampilan keseniannya agar
dapat menjadi lebih modern untuk dapat menarik minat pada pelanggan yang
menginginkan sajian kesenian dalam bentuk modern. Dengan kata lain dalam hal ini
geisha (芸者) mengalami akulturasi budaya, seperti yang telah dikatakan oleh Soejono
Soekanto (1990:88-89), akulturasi ialah proses sosial yang timbul apabila suatu
kelompok masyarakat dengan suatu kebudayaannya dihadapkan pada unsur-unsur
kebudayaan asing. Dengan demikian, lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing tersebut
melebur ke dalam kebudayaan asli, dengan tidak menghilangkan kepribadian kedua unsur
kebudayan tersebut. ). Ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial yang timbul
apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayan tertentu dihadapkan pada unsur-
unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu.
Dalam hal ini, kebudayan campuran yang disajikan oleh geisha (芸者 ) adalah
penambahan seni permainan alat musik yang disajikan geisha (芸者), yang biasanya
hanya menggunakan shamisen saja, kini ditambahkan dengan permainan biola agar
pengunjung geisha (芸者) tetap menyukai seni hiburan yang ditawarkan oleh geisha (芸
者).
48
Gambar 2.3 Geisha yang memainkan biola
Sumber : http//:www.farm4.static.flickr.com
Penulis menganalisis bahwa perubahan selera masyarakat Jepang khususnya kaum
remaja akibat westernisasi ini membuat mereka tidak tertarik lagi dengan geisha(芸者),
maka dari itu geisha(芸者) dan hanamachinya pada tahun-tahun itu berusaha beradaptasi
dengan gaya Barat dalam rangka memenuhi selera pelanggan. Perubahan selera ini jika
dihubungkan dengan kondisi masyarakat Jepang saat itu semakin membuat masyarakat
Jepang mulai kehilangan ciri khasnya sebagai masyarakat tradisional yang memiliki
kepribadian yang unik. Modernisasi Jepang yang telah menimbulkan westernisasi bagi
masyarakat Jepang khususnya bagi kaum muda Jepang semakin menegaskan bahwa
geisha(芸者) sebagai penghibur tradisional Jepang tidak penting lagi. Hal ini dikarenakan
pemuda dan pemudi Jepang lebih menyukai hal-hal yang berbau Barat dibandingkan seni
tradisional milik mereka sendiri. Dalam hal ini, geisha(芸者) yang keberadaannya sangat
berperan penting dalam melestarikan budaya Jepang telah dilupakan dikarenakan krisis
identitas masyarakat Jepang yang telah mengadopsi semua hal berbau Barat sehingga
geisha(芸者) geisha pun ikut berubah modern untuk mempertahankan keberadaannya
dan untuk menarik kembali minat pelanggan.
49
Dibalik segala kendala dan permasalahan yang dialami geisha(芸者 ) dalam arus
modernisasi, dapat dismpulkan bahwa di balik arus modernisasi yang sedang melanda
Jepang dan tentu saja anak-anak muda Jepang yang begitu membanggakan modernisasi,
geisha (芸者 ) masih memiliki kelebihan dibandingkan dengan gadis penghibur lain
seperti jokyu. Jokyu(女給) hanya bisa membuat pelanggan tertarik dari segi penampilan
mereka. Hal ini tentu saja berbeda dengan geisha yang begitu mahir memainkan alat
musik. Dari data di atas penulis menyimpulkan bahwa terdapat sisi positf dan negatif dari
kedua sistem tersebut. Pertama, sistem tradisional geisha (芸者) bisa bermain musik
dibandingkan dengan jokyu (女給) akan tetapi perlu proses yang lama untuk menjadi
seorang geisha ( 芸 者 ), sedangkan untuk menjadi seorang jokyu ( 女 給 ) tidak
perlumengalami proses apapun, mereka hanya bermodalkan penampilan saja.
3.2.2 Analisis Perubahan Mode Geisha yang dipengaruhi oleh Westernisasi
Modernisasi pada dasarnya akan menghasilkan perubahan dalam segi ekonomi,
politik dan sosial suatu masyarakat yang sedang berkembang berubah menjadi suatu
masyarakat dengan karakteristik yang kurang lebih sama dengan negara yang lebih
dahulu berkembang. Namun perubahan-perubahan yang dihasilkan tidak selamanya
disebabkan oleh modernisasi karena ada yang disebut westernisasi.
Mengenai hal ini Schoorl (2007) mengatakan bahwa proses modernisasi berjalan
melalui proses akulturasi yang artinya terjadi melalui suatu kontak dengan masyarakat
Barat. Dalam proses akulturasi itu bermacam-macam elemen Barat diambil alih,
50
misalnya pakaian Barat dan bentuk-bentuk rekreasi Barat. Dan salah satu kesimpuan
Schoorl (2007 : 40) mengenai modernisasi dan westernisasi adalah:
Bersama-sama dengan proses modernisasi itu terjadi suatu proses westernisasi karena perkembangan masyarakat modern itu terjadi di daerah kebudayaan Barat dan tersajikan dalam bentuk Barat, sedang bentuk Barat itu sering dipandang sebagai satu-satunya kemungkinan yang ada.
Dari kutipan di atas penulis dapat menganalisis bahwa faktor terbesar adanya
westernisasi di Jepang disebabkan oleh adanya modernisasi. Modernisasi ini terjadi
karena dipengaruhi oleh adanya faktor akulturasi yaitu proses sosial yang timbul karena
masyarakat Jepang dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan baru, dalam hal ini
kebudayaan baru tersebut merupakan kebudayaan Barat yang dibawa oleh bangsa Eropa
yang datang ke Jepang. Dengan demikian lambat laun unsur-unsur kebudayaan Barat
tersebut melebur kedalam kebudayaan Jepang dan menghilangkan kepribadian
kebudayaan Jepang.
Dalam hubungannya dengan modernisasi, geisha(芸者 ), ketika memasuki masa
modern, sama seperti halnya masyarakat Jepang pada umumnya, tentu saja tidak
memiliki persiapan yang memadai untuk menghadapi perubahan-perubahan yang
dihasilkan seiring dengan proses modernisasi. Hal ini disebabkan oleh proses
modernisasi yang sedang berlangsung cepat, dan tentu saja mereka akan mengalami
kendala karena cepatnya perubahan sehingga mereka berusaha untuk beradaptasi denga
cara-cara tertentu untuk mempertahankan keberadaannya.
Sesuai dengan sejarah perkembangan geisha(芸者) pada awal zaman Meiji, yaitu
tahun 1800-an, geisha(芸者) masih mengalami masa popularitasnya. Pada tahun 1898
jumlah geisha(芸者) di Jepang hampir mencapai 25.000. Penulis novel Ozaki Koyo dan
51
Izumi Kyoka menulis cerita yang menetapkan geisha(芸者) sebagai pahlawan romantis.
Para remaja tergila-gila dengan kecantikannya dan beberapa geisha(芸者 ) menjadi
bintang dan fotonya dikoleksi oleh para penggemarnya (Dalby, 1998 : 65)
Geisha(芸者) pada saat memasuki zaman modern pada awal zaman Meiji memang
masih populer dan masih menjadi patokan dalam mode, namun hal itu tidak
berlangsung lama. Dalam hal ini penulis menganalisis bahwa hal itu disebabkan oleh
perubahan gaya hidup masyarakat yang cenderung meniru atau menyukai sesuatu yang
berbau Barat. Dalam hal ini pemerintah memiliki andil yang besar dalam mendukung
proses westernisasi.
Westernisasi yang terjadi sejak awal zaman Meiji membuat pemerintah Jepang
merubah semua hal menjadi modern khususnya cara berpakaian. Pada saat itu pegawai
pemerintah memakai pakaian Eropa, kemudian kaisar dan para pembantunya secara
resmi berpakaian ala Eropa. Selanjutnya pemerintah menetapkan undang-undang bahwa
pangkat, topi maupun seragam menggunakan kostum ala Eropa. Orang Jepang kini
sudah banyak meniru cara berpakaian orang-orang Barat yang dinilainya lebih praktis.
Pakaian tradisional Jepang mulai ditinggalkan dan diganti dengan pakaian Barat.
Geisha(芸者)dalam hal ini juga tidak mau ketinggalan. Pada masa itu geisha(芸者)
mulai bergaya keBarat-baratan. Pada masa itu geisha menggunakan payung gaya Barat
yang pada saat itu sedang populer.
52
Gambar 3.3 Modern Geisha(芸者)
Sumber : http//: farm4.static.flickr.com.19-5-09.jpg
Penulis menganalisis, dengan meluasnya pakaian ala Barat dalam masyarakat Jepang
memberi dampak yang besar terhadap geisha(芸者) yang merupakan patokan dalam
mode pakaian. Hal ini diungkapkan oleh Hagiwara Sakutaro pada tulisannya yang
berjudul Shin Geisha Ron (Sebuah Wacanca Bagi Geisha Baru) pada tahun 1927. Ia
mengatakan bahwa saat itu geisha(芸者) merukan contoh utama dari sesuatu yang
sudah ketinggalan zaman (Dalby, 1998 : 91). Dengan demikian geisha(芸者) yang pada
zaman Edo merupakan patokan dalam mode sudah tidak berlaku lagi karena mode yang
sedang trend adalah mode pakaian Barat.
Pada tahun 1920an dan awal 1930-an geisha yang dihadapkan pada realitas
kehidupan yang telah berubah menjadi modern, para geisha(芸者) pun ikut berubah dan
tampil modern. Mereka memotong rambut panjang mereka agar terlihat lebih modern,
namun tanpa mereka sadari para geisha(芸者) itu sebenarnya berada dalam bahaya
53
karena ada beberapa yang berpendapat bahwa mereka tidak lagi terlihat sebagai
geisha(芸者) bila mereka tampil modern seperti itu ( Dalby, 1998 : 80 ).
Penulis menganalisis bahwa geisha( 芸者 ) merubah penampilan mereka lebih
tradisional dikarenakan perubahan selera masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang
modern termasuk dalam segi penampilan. Geisha(芸者) yang merubah dirinya menjadi
modern merupakan sebuah usaha mereka dalam mempertahankan keberadaannya dan
mempertahankan pelanggannya yang telah hilang karena mereka telah berlalih pada
hiburan yang di tawarkan jokyuu di bar yang lebih modern di bandingkan geisha(芸者)
yang menghibur tamunya di ochaya yang lebih tradisional. Sakutaro menegaskan bahwa
geisha( 芸 者 ) seharusnya dapat menjalankan fungsinya sebagai penghibur seni
tradisional yang cakap. Ia juga beranggapan bahwa jika geisha(芸者) tetap ketinggalan
zaman maka mereka akan punah. Namun tentu saja ada opini yang menentang
geisha( 芸者 ) untuk berubah modern, dengan alasan bahwa jika geisha( 芸者 )
mengadaptasi gaya baru maka mereka akan merusak dirinya (Dalby, 1998 : 91 ).