bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/58840/3/bab 2.pdf5 bab 2 tinjauan pustaka 2.1 inflamasi...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflamasi
2.1.1 Definisi Inflamasi
Inflamasi atau radang merupakan proses fungsi pertahanan tubuh
terhadap masuknya organisme maupun gangguan lain. Inflamasi merupakan
suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai macam rangsangan
(Soenarto, 2014).
Fenomena yang terjadi dalam proses inflamasi meliputi kerusakan
mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit
menuju jaringan radang (Chen et al, 2018). Tanda-tanda dari inflamasi yaitu
kemerahan (rubor), panas (kalor), bengkak (tumor), nyeri (dolor), dan
hilangnya fungsi (function laesa) (Soenarto, 2014).
Reaksi radang meskipun membantu menghilangkan infeksi dan
stimulus yang membahayakan serta memulai proses penyembuhan jaringan,
reaksi radang dapat pula mengakibatkan kerugian dikarenakan
mengakibatkan jejas pada jaringan normal misalnya pada inflamasi dengan
reaksi berlebihan (infeksi berat), berkepanjangan, autoimun, atau kelainan
alergi (Zhang et al, 2019).
2.1.2 Jenis-jenis Inflamasi
Jenis inflamasi dibedakan menjadi dua macam:
1. Inflamasi akut
6
Pada inflamasi akut proses berlangsung singkat beberapa menit
hingga beberapa hari, dengan gambaran utama eksudasi cairan dan
protein plasma serta emigrasi sel leukosit terutama neutrofil. Rubor,
kalor, dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran
darah dan edema. Inflamasi akut biasanya terjadi tiba-tiba, ditandai oleh
tanda-tanda klasik, dimana proses eksudatif dan vaskularnya dominan
(Mitchell et al, 2015).
(Mitchell et al, 2015)
Gambar 2.1
(A) Pada pembuluh darah yang normal. (B) Manifestasi utama pada radang
akut. (1) Dilatasi pembuluh darah menyebabkan eritema dan hangat, (2)
ekstravasasi cairan plasma dan protein (edema), dan (3) emigrasi dan
akumulasi leukosit di tempat jejas.
2. Inflamasi Kronik
(Mitchell et al, 2015)
Gambar 2.2
Hasil dari peradangan akut
7
Inflamasi kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak
sempurna, bila penyebab jejas menetap atau bila penyebab ringan dan
timbul berulang-ulang. Dapat pula diakibatkan oleh reaksi
immunologik. Radang berlangsung lama (berminggu-minggu, berbulan-
bulan). Radang kronik ditandai dengan lebih banyak ditemukan sel
limfosit, sel plasma, makrofag, dan biasanya disertai pula dengan
pembentukan jaringan granulasi yang menghasilkan fibrosis (Mitchell
et al, 2015).
2.1.3 Mekanisme Inflamasi Akut
Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan
seperti infeksi. Inflamasi dimulai dengan inflamasi akut yang merupakan
respon awal terhadap kerusakan jaringan. Radang akut memiliki 2 komponen
utama, yaitu perubahan vaskular dan aktivitas sel. Pada vaskular terjadi
vasokonstriksi dalam hitungan detik setelah jejas, setelah itu terjadi
vasodilatasi arteriol yang mengakibatkan peningkatan aliran darah, sehingga
menimbulkan gejala rubor dan kalor yang merupakan tanda khas peradangan.
Pembuluh darah kecil menjadi lebih permiabel dan cairan kaya protein akan
mengalir keluar ke jaringan ekstravaskular sehingga meningkatkan viskositas
darah dan memperlambat aliran darah. Setelah pembuluh darah statis, leukosit
terutama neutrofil mulai berkelompok pada permukaan vaskular endotel.
Kontraksi sel endotel menyebabkan terbentuknya celah antar sel pada venule
post kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular. Kontraksi sel
endotel terjadi segera setelah pengikatan dengan histamin, bradikinin,
8
leukotrien selama 15- 30 menit, yang diikuti oleh peningkatan TNF dan IL-1.
Meningkatnya permeabilitas vaskular menyebabkan aliran cairan kaya protein
dan juga sel darah ke jaringan ekstravaskular. Hal ini akan mengakibatkan
tekanan osmotik cairan interstitial meningkat, dan cairan masuk ke dalam
jaringan sehingga terjadi penimbunan cairan kaya protein yang disebut
dengan eksudat, dan menimbulkan edema sebagai manifestasi radang
(Sheerwood, 2014).
(Mitchell et al, 2015)
Gambar 2.3
Kebocoran vaskular dan edema
Aktivitas selular dimulai setelah peningkatan aliran darah ke bagian
yang mengalami cedera. Leukosit dan trombosit tertarik ke daerah tersebut
karena bahan kimia yang dilepaskan oleh sel cedera, sel mast, melalui
pengaktifan komplemen dan produksi sitokin setelah antibodi berikatan
dengan antigen. Trombosit yang masuk ke daerah cedera merangsang
pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan. Penarikan
leukosit yang meliputi neutrofil dan monosit ke daerah cedera disebut
kemotaksis. Sel-sel yang tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan
9
melakukan penyembuhan (Carrillo et al, 2017). Urutan kejadian ekstravasasi
leukosit dari lumen vaskular ke ekstravaskular: (1) marginasi dan rolling, (2)
adhesi dan transmigrasi antar sel endotel, dan (3) migrasi pada jaringan
intertitial terhadap suatu rangsang kemotaktik. Mediator kimiawi
kemoatraktan dan sitokin tertentu memengaruhi proses ini dengan mengatur
ekspresi permukaan atau aviditas molekul adhesi (Mitchell et al, 2015).
(Mitchell et al, 2015)
Gambar 2.4
Urutan kejadian emigrasi leukosit pada inflamasi
Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh terhadap
selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim
lisosomal terutama metabolit asam arakidonat. Sebagian metabolit asam
arakidonat dirubah oleh enzim COX menjadi prostaglandin, tromboksan, dan
prostasiklin. Sebagian lain hasil metabolit asam arakidonat diubah oleh
enzim lipoxygenase menjadi leukotrien. Leukotrien merupakan produk akhir
dari metabolisme asam arakidonat pada jalur lipoxygenase (Robert et al,
2015).
10
Saat ini dikenal dua isoenzim COX (cyclooxygenase), yaitu COX-1 dan
COX-2. Enzim COX-1 berfungsi sebagai enzim konstitutif yaitu mengubah
PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGE1, PGE2) dan tromboksan
yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. Enzim COX-2 yang terdapat di
dalam sel-sel imun (makrofag dan lainnya), sel endotel pembuluh darah, dan
fibroblast sinovial sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme
sehingga akan mengubah PGH2 menjadi PGE2. Prostaglandin E2 (PGE2)
akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular,
sehingga aliran darah akan meningkat dan pori-pori kapiler juga membesar.
Pori-pori kapiler yang membesar akan menyebabkan protein plasma keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan yang meradang.
Akumulasi protein yang bocor pada jaringan interstitial akan meningkatkan
tekanan osmotik koloid dalam jaringan interstitial dan akan meningkatkan
tekanan darah kapiler. Peningkatan tekanan osmotik koloid dan tekanan
kapiler cenderung akan memindahkan cairan keluar kapiler dan megurangi
reabsorbsi cairan di kapiler. Akhirnya terjadi penumpukan cairan di jaringan
interstitial yang akan menyebabkan edema lokal (Mitchell et al, 2015).
Enzim COX-1 mengkatalisis pembentukan prostaglandin yang
bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis.
Sebaliknya, enzim COX-2 tidak ditemukan di jaringan pada kondisi normal,
tetapi diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin, sitokin, mitogen,
dan dihubungkan dengan produksi prostaglandin selama proses inflamasi,
nyeri, dan respon piretik. Enzim COX-2 dapat diinduksi apabila terdapat
11
stimuli radang, mitogenesis, atau onkogenesis (Ricciotti and Fitzgerald,
2011).
(Robbins et al, 2015)
Gambar 2.5
Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi
Cara kerja obat-obatan NSAID untuk sebagian besar berdasarkan
hambatan sintesis prostaglandin, dimana kedua jenis cyclooxygenase diblokir.
NSAID yang ideal, diharapkan hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan
tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), juga menghambat
lipoxygenase (pembentukan leukotrien) (Katzung, Master, and Trevor, 2002).
2.1.4 Tanda-tanda Inflamasi
a. Kemerahan (rubor)
Gejala berikutnya terjadi adalah kemerahan (rubor) biasanya
merupakan hal pertama yang dilihat di daerah yang mengalami
peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteri yang
12
mensuplai darah ke daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-
pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang
dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan
hiperemi atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena
peradangan akut (Price et al, 2005).
b. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Rasa
panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang
daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi
bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam
tubuh tidak dapat dilihat dan rasakan (Pober and Sessa, 2015).
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan karena adanya
peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan
tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, dan adanya
pengeluaran zat–zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf perifer di sekitar
radang sehingga dirasakan nyeri (Wijaya et al, 2015).
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya
peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
13
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitial (Soenarto, 2014).
e. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan sebagai
konsekuensi dari suatu proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada
daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar atau secara refleks
akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat
secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Wijaya et al,
2015).
2.1.5 Mediator Inflamasi
Pada tahap awal terjadinya radang, jaringan mengeluarkan stimulus
yang dapat memicu pelepasan mediator kimia plasma atau jaringan ikat.
Mediator tersebut berpengaruh terhadap respon vaskular maupun selular
berikutnya. Respon radang akan berakhir jika stimulus inflamasi jaringan dan
mediatornya hilang, dikatabolisme tubuh atau dihambat pengeluarannya
(Mitchell et al, 2015).
Mediator kimiawi pada inflamasi dihasilkan oleh sel yang mengalami
jejas atau dapat juga berupa faktor plasma. Mediator yang dihasilkan oleh sel
antara lain vasoactive amines (histamin, serotonin), metabolit asam
arakidonat (prostaglandin, leukotrien), faktor neutrophil (protease), dan
lymphokine. Faktor plasma terdiri dari komplemen, kinin (bradykinin), faktor
koagulasi, dan sistem fibrinolitik (Mitchell et al, 2015).
14
Berdasarkan jenisnya, mediator inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu
mediator lokal yang disintesis secara lokal oleh sel di tempat inflamasi dan
mediator sistemik yang bisa sirkulasi di dalam plasma dan disintesis oleh hati
(Abdulkhaleq et al, 2018). Dua jenis mediator tersebut dapat dilihat pada
gambar 2.6 dibawah ini.
(Kumar et al, 2014)
Gambar 2.6
Sumber-sumber mediator inflamasi lokal dan sistemik.
Peranan mediator kimia pada inflamasi akut meliputi beberapa fungsi
dalam dilatasi vaskular, peningkatan permeabilitas, dan kemotaksis. Fungsi
dalam dilatasi vaskular diperankan oleh histamin, serotonin, bradikinin, dan
prostaglandin. Mediator kimia untuk peningkatan permeabilitas adalah
histamin, serotonin, bradikinin, komplemen 3a, komplemen 5a,
prostaglandin, leukotriene, protease lisosomal, dan oksigen radikal.
Sementara itu, mediator yang berperan dalam kemotaksis adalah komplemen
5a, prostaglandin, leukotrien, komplemen 3b (opsonin), dan bradikinin
(Mitchell et al, 2015).
15
Tabel 2.1 Kerja Utama Metabolit Asam Arakidonat (Eikosanoid) Kerja Eikosanoid
Vasodilatasi PGI2 (prostasiklin), PGE1, PGE2
Vasokontriksi Tromboksan A2, leukotrien C4, D4, E4
Peningkatan permeabilitas vaskular Leukotrien C4, D4, E4
Kemotaksis, adhesi leukosit Leukotrien B4, HETE
(Mitchell et al, 2015)
2.2 Ubi Jalar Ungu
Ubi Jalar (Ipomoea batatas) atau yang sering disebut dengan ketela rambat
adalah sejenis tanaman yang akarnya dapat dimakan. Di beberapa daerah tertentu,
ubi jalar merupakan salah satu bahan makanan pokok. Di Indonesia, selain
dimanfaatkan umbinya daun ubi jalar juga dibuat sayuran. Untuk dibeberapa
wilayah daun dari rebusan ubi jalar diminum dan digunakan sebagai pengobatan
DBD, antioksidan, antikanker dan dapat juga ditumbuk dan ditempelkan pada
bagian yang bengkak sebagai pengobatan inflamasi (Setiawati et al, 2016).
2.2.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Familia : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas
(Richana, 2013)
16
(Firgianti dan Sunyoto, 2018)
Gambar 2.7
Foto umbi dan daun ubi jalar ungu
2.2.2 Morfologi
Ubi jalar ungu merupakan ubi-ubian dan tergolong tanaman semusim
(berumur pendek). Ubi jalar ungu tumbuh menjalar pada permukaan tanah
dengan panjang tanaman dapat mencapai 3 meter. Ubi jalar ungu berbatang
lunak, tidak berkayu, berbentuk bulat, dan bagian tengah bergabus. Batang
ubi jalar ungu beruas-ruas dengan panjang antar ruas 1-3 cm (Kim and
Wampler 2009). Waktu yang diperlukan dari saat penyerbukan sampai masak
± 30 hari. Warna kulit ubi jalar sangat beragam, yaitu putih, kuning, ungu dan
ungu-merah (Richana, 2013).
Ubi jalar ungu mempunyai bunga yang berbentuk terompet yang
panjangnya antara 3-5 cm. Mahkota bunga berwarna ungu keputih-putihan
dan bagian dalam mahkota bunga (pangkal sampai ujung) berwarna ungu
muda (Jusuf et al, 2008).
Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata atau berlekuk
dangkal sampai berlekuk dalam, sedangkan bagian ujung daun meruncing.
Daun biasanya berwarna hijau tua atau kekuning-kuningan (Jusuf et al,
2008).
17
(Jusuf et al, 2008)
Gambar 2.8
Tipe lobus daun ubi jalar
2.2.3 Kandungan Nutrisi dalam Umbi dan Daun Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat non beras tertinggi yang
mampu meningkatkan ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan di dalam
masyarakat. Sebagai sumber pangan tanaman ini mengandung energi, vitamin
dan mineral. vitamin yang terkandung dalam ubi jalar antara lain vitamin A,
vitamin C, thiamin (vitamin B1), dan riboflavin dan juga mengandung
mineral seperti zat besi (Fe), Kalsium (Ca) (Marczak et al, 2014).
Tabel 2.2 Kandungan Nutrisi Ubi Jalar Ungu Kandungan Jumlah
Kadar air (%) 72,84
Pati (%) 24,28
Protein (%) 1,65
Gula reduksi (%) 0,85
Mineral (%) 0,95
Asam askorbat (mg/100 g) 22,7
K (mg/100 g) 204,0
S (mg/100 g) 28,0
Ca (mg/100 g) 22,0
Mg (mg/100 g) 10,0
Na (mg/100 g) 13,0
Fe (mg/100 g) 0,59
Mn (mg/100 g) 0,355
Vitamin A (IU/100 g) 20063
Energi (kJ/100 g) 441
(Direktorat Gizi Depkes RI,1981 dalam Ginting et al, 2014)
18
Selain umbinya, daun ubi jalar juga kaya akan vitamin β-karoten, besi,
kalsium, zink dan protein, dan sebagai tanaman lebih toleran terhadap
penyakit, hama, dan kelembaban tinggi dibandingkan banyak sayuran
berdaun lain yang tumbuh di daerah tropis (Islam, 2018).
2.2.4 Kandungan Kimia Daun Ubi Jalar Ungu
Hingga saat ini masih sedikit penelitian yang menjelaskan mengenai
kandungan senyawa kimia apa saja yang ada pada daun ubi jalar ungu. Hasil
uji fitokimia pada tanaman tersebut menunjukkan adanya metabolit sekunder
dalam daun ubi jalar ungu. Beberapa penelitian melaporkan bahwa daun ubi
jalar merupakan sumber antioksidan polyphenol yang sangat baik dibanding
sayur lainnya. Caffeic, chlorogenic acid, dicaffeoylquinic, and
tricaffeoylquinic acids ditemukan terkandung dalam daun ubi jalar ungu
dengan menggunakan gas chromatography (Ishiguro et al, 2004; Islam,
2018). Menariknya, chlorogenic acid diketahui dapat mencegah penyakit
cardiovaskular dengan cara meningkatkan HDL, antidiabetik, dan sebagai
antiinflamasi yang potensial (Hwang et al, 2014; Zengin et al, 2017).
Kandungan chlorogenic acid daun ubi jalar ungu lebih banyak dibandingkan
jenis ubi jalar lainnya (Zhang et al, 2016). Kandungan tersebut lebih tinggi di
daun daripada umbinya (Griffin et al, 2019). Ekstrak etanol daun ubi jalar
menunjukkan adanya kandungan quercetin dan catechin (flavonoid).
Quercetin diidentifikasi sebagai komponen tunggal aktif terbanyak (Hue et al,
2012; Lee et al, 2016).
19
Tabel 2.3 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Ubi Jalar Ungu Golongan Senyawa Simplisia Ekstrak
Alkaloid + +
Flavonoid + +
Saponin - -
Tanin - +
Kuinon - +
Monoterpen - +
Seskuiterpen - +
Triterpenoid - -
Steroid + +
Polifenolat + +
(Firgianti dan Sunyoto, 2018)
Tabel 2.4 Total Kandungan Polyphenol dalam Daun Ubi Jalar Jenis ubi jalar Ubi jalar ungu Ubi jalar beauregard Ubi jalar Bonita
Jumlah (mg GAE/g DW) 46,7 ± 2,1 36,8 ± 4,8 41,2 ± 5,0
(Su et al, 2019)
2.2.5 Mekanisme Antiinflamasi Daun Ubi Jalar Ungu
Kandungan kimia dalam daun ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) yang
memiliki efek antiinflamasi antara lain:
1. Chlorogenic acid (Polyphenol)
Chlorogenic acid adalah ester yang terbentuk dari cinnamic acid
dan kuinat acid dan juga dikenal sebagai 5-Ocaffeoylquinic acid (5-
CQA) (IUPAC). Chlorogenic acid merupakan senyawa polyphenol
yang memiliki efek antiinflamasi. Selain itu juga dapat mencegah
penyakit kardiovaskular dengan meningkatkan HDL (High Density
Lipoprotein). Penelitian yang dilakukan Hwang et al (2014),
menggunakan makrofag dan sel mikrogial terbukti bahwa chlorogenic
acid memberikan efek yang potensial sebagai antiinflamasi dengan
cara menghambat COX-2 dan juga terbukti dapat menghambat sitokin
proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α dan menghambat kemokin.
Chologenic acid juga berpotensi dalam menghambat Nuclear Factor
20
(NF-ĸB) sehingga dapat menurunkan gen ekspresi inflamasi terutama
pada fase akut. Senyawa chologenic acid juga terbukti dapat
menghambat prostaglandin E2 yang diukur dengan Enzymelinked
Immunosorbent Assay (ELISA) (Zengin et al, 2017).
(Naveed et al, 2018)
Gambar 2.9
Stuktur Chlorogrnic acid
2. Quercetin (Flavonoid)
Quercetin merupakan salah satu senyawa flavonoid yang terdapat
pada ekstrak daun ubi jalar ungu. Flavonoid adalah salah satu senyawa
yang diketahui dapat digunakan sebagai antiinflamasi, anti aterogenik,
dan anti osteoporosis (Ozgen et al, 2016). Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa quercetin dapat menghambat aktivitas
metabolisme enzim asam arakidonat (AA) seperti cyclooxygenase-2
(COX-2), lipoxygenase (LOX) dan nitric oxide (NO). Penghambatan
enzim ini mengurangi produksi AA, prostaglandin, leukotrien dan NO
yang merupakan mediator penting dari peradangan. Dengan demikian,
penghambatan enzim ini adalah salah satu mekanisme yang paling
penting dari aktivitas antiinflamasi (Cho et al, 2016; Lee et al, 2018;
Mondal et al, 2019).
21
(Ozgen et al, 2016)
Gambar 2.10
Stuktur Quercetin
2.3 Karagenan
Karagenan adalah polisakarida yang diekstraksi dari beberapa spesies rumput
laut atau alga merah (rhodophyceae). Karagenan adalah galaktan tersulfatasi
linear hidrofilik. Polimer ini merupakan pengulangan unit disakarida. Galaktan
tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya unit 3,6-unhydro galactose dan posisi
gugus sulfat. Tiga jenis karagenan komersial yang paling penting adalah
karagenan iota, kappa dan lambda (Sormin et al, 2018).
2.3.1 Jenis-jenis Karagenan
Iota karagenan (ι-karagenan) adalah jenis yang paling sedikit jumlahnya
di alam, dapat ditemukan di Euchema spinosum (rumput laut) serta
membentuk gel yang kuat pada larutan yang mengandung garam kalsium
(Iglauer et al, 2011).
Kappa karagenan (κ-karagenan) merupakan jenis yang paling banyak
terdapat di alam, menyusun 60% dari karagenan pada Chondrus crispus dan
mendominasi pada Euchema cottonii. Kappa karagenan merupakan
karagenan kedua yang paling stabil (Yong et al, 2014).
22
Lambda karagenan (λ-karagenan) adalah jenis karagenan kedua
terbanyak di alam serta merupakan komponen utama pada Gigartina
aciculari dan Gigatina pistillata dan menyusun 40% dari karagenan pada
Chondrus ciprus. Lambda karagenan adalah karagenan yang paling stabil dan
dapat mudah larut dalam air dan NaCl (Necas & Bartosikova, 2013).
2.3.2 Mekanisme Kerja Karagenan sebagai Penginduksi Radang
(Huang et al, 2011)
Gambar 2.11
Mekanisme Kerja Karagenan
Karagenan menginduksi inflamasi dalam bentuk edema dan
hiperalgesia dengan mekanisme induksi COX-2 yang akan menghasilkan
prostaglandin. Prostaglandin yang dilepaskan akan berinteraksi dengan
jaringan di sekitarnya dan menyebabkan perubahan vaskular pada pembuluh
darah yang merupakan awal mula terjadinya edema (Necas dan Bartosikova,
2013). Ada tiga fase pembentukan edema yang diinduksi oleh karagenan.
Fase pertama terjadi degranulasi sel mast sehingga terjadilah pelepasan
histamin dan serotonin (1 jam). Fase kedua adalah pelepasan bradikinin yang
terjadi pada 1,5 hingga 2,5 jam setelah induksi, dan terjadi pelepasan
prostaglandin pada fase terakhir (3-4 jam) (Patel, Murugananthan, and
23
Gowda, 2012). Karagenan sudah banyak digunakan sebagai penginduksi
radang untuk membuktikan aktifitas antiinflamasi dan merupakan model
hewan sederhana untuk mengevaluasi respon radang tanpa adanya cedera atau
kerusakan pada kaki yang meradang (Necas & Bartosikova, 2013).
Karagenan memicu produksi nitric oxide yang merupakan mediator
inflamasi akut. Penelitian lanjutan, histamin, serotonin, bradikinin adalah
mediator yang dapat dideteksi pada fase awal inflamasi akibat induksi
karagenan. Prostaglandin memengaruhi peningkatan permeabilitas vaskular
dan terdeteksi pada fase akhir inflamasi. Inflamasi lokal atau sistemik akan
terjadi peningkatan dari pro-inflamatory cytokine yaitu TNF-α, IL-1, dan IL-6
akibat induksi karagenan (Posadas et al, 2014).