bab 2 tinjauan pustakalibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/rs1_2018_1... · 2019. 5. 13. ·...
TRANSCRIPT
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balok
Balok berfungsi sebagai struktur tumpuan dari plat lantai, selain itu balok
berfungsi sebagai pengikat kolom dibagian atas. Struktur balok merupakan bagian
horizontal dari serangkaian struktur sebuah bangunan yang dapat menerima beban
dari plat lantai dan disalurkan ke struktur kolom.
Momen lentur akan terjadi apabila balok diberi beban dan mengakibatkan
terjadinya regangan lentur pada struktur balok tersebut. Dari terjadinya regangan
tersebut maka balok akan mengalami tegangan yang hal tersebut harus bisa di tahan
oleh struktur balok, dimana bagian atas balok akan mengalami regangan tekan dan
bagian bawah balok akan mengalami regangan tarik. Agar struktur balok tidak
mengalami keruntuhan dari adanya gaya lentur maka balok harus dapat menerima
tegangan Tarik dan tekan tersebut.
Persyaratan balok menurut PBI 1971.N.I - 2 sebagai berikut :
a. Lebar badan balok tidak boleh diambil kurang dari 1/50 kali bentang bersih.
Tinggi balok harus dipilih sedemikian rupa hingga dengan lebar badan yang
dipilih.
b. Untuk semua jenis baja tulangan, diameter (diameter pengenal) batang tulangan
untuk balok tidak boleh diambil kurang dari 12 mm. Sedapat mungkin harus
dihindarkan pemasangan tulangan balok dalam lebih dari 2 lapis, kecuali pada
keadaan-keadaan khusus.
c. Tulangan tarik harus disebar merata didaerah tarik maksimum dari penampang.
d. Pada balok-balok yang lebih tinggi dari 90 cm pada bidang-bidang sampingnya
harus dipasang tulangan samping dengan luas minimum 10% dari luas tulangan
tarik pokok. Diameter batang tulangan tersebut tidak boleh diambil kurang dari
8 mm pada jenis baja lunak dan 6 mm pada jenis baja keras.
2
e. Pada balok senantiasa harus dipasang sengkang. Jarak sengkang tidak boleh
diambil lebih dari 30 cm, sedangkan dibagian balok sengkang-sengkang
bekerja sebagai tulangan geser. Atau jarak sengkang tersebut tidak boleh
diambil lebih dari 2/3 dari tinggi balok. Diameter batang sengkang tidak boleh
diambil kurang dari 6 mm pada jenis baja lunak dan 5 mm pada jenis baja
keras.
2.1.1 Balok Menerus
Balok menerus salah satu jenis elemen dari struktur bangunan yang bentangnya
menumpu melewati lebih dari dua tumpuan atau perletakan secara menerus. Hal
tersebut menghasilkan balok menerus mempunyai kekakuan yang lebih besar,
sehingga balok menerus dapat ditempatkan di bagian yang menerima beban lebih
besar.
Gambar 2.1 Balok Menerus Empat Perletakan
Sumber : Macam perletakan (academia.edu)
2.1.2 Balok Tinggi
Menurut SNI 2847 2013 balok tinggi merupakan struktur dengan (ln) tidak
melebihi (4h) atau daerah balok dengan beban terpusat dalam jarak (2h) dari tumpuan
yang dibebani pada salah satu mukanya dan ditumpu pada muka yang berlawanan
agar strat tekan dapat terbentuk antara beban dan tumpuan.
ACI 318 berasumsi dalam mendesain balok tinggi “kekuatan dari struktur
balok dapat dihitung dengan metode desain yang mencakup dua kondisi dasar yaitu
keseimbangan statis dan kompabilitas strain.
Balok tinggi juga bersifat dimana sejumlah beban yang signifikan diteruskan
ke tumpuan oleh suatu dorongan tekan yang merupakan hasil gabungan beban luar
dan reaksi. Untuk suatu balok tinggi, tegangan geser mempunyai pengaruh yang
3
besar. Menurut ACI committee 318, balok tinggi didefinisikan sebagai komponen
struktur dengan beban bekerja pada salah satu sisinya dan perletakan pada sisi lainnya
sehingga strut tekan dapat terbentuk di antara beban dan perletakan.
Balok tinggi biasanya di tempatkan di bagian yang diperlukan bukaan kolom
lebih lebar seperti di pintu masuk basement atau struktur unik lainya (Gambar 2.2),
Balok tinggi juga bisa dipergunakan sebagai pile cap. Dikarenakan balok tinggi
menerima beban yang cukup besar maka dari itu luasan penulangan yang diperlukan
juga cukup besar. Oleh Karena itu fungsi dari membandingkan antara metode guna
mendapatkan nilai luasan penulangan yang lebih efisien dalam kata lain lebih efektif
dari segi luasan penulanganya.
Gambar 2.2 Balok Tinggi
Sumber : High Beam ratio (ascelibrary.org)
2.2 Metode Strut and Tie
Strut and Tie Model merupakan metode yang berangkat dari Truss Analogy
Model yang di sederhanakan menjadi lebih umum dan mudah, pengembanganya
dilakukan oleh Schafer pada tahun 1982-1993.
Metode Strut And Tie adalah metode perencanaan balok yang menerapkan
filosofi rangka batang dimana daerah balok dibagi menjadi dua daerah yang dapat
menggambarkan alur gaya sebagai transfer gaya yang terjadi pada struktur beton
bertulang hingga tertransfer ke perletakan yang membentuk gaya diagonal. Dua
daerah ini disebut daerah D (Distrubed atau Discontinuity) dan daerah B (Bending
4
atau Bernoulli).Kedua daerah tersebut menggambarkan alur gaya (Load Path) sebagai
trasnfer gaya yang terjadi pada struktur beton bertulang pada struktur beton bertulang
pada kondisi retak dari sumber pembebannya sampai tumpuan (Hardjasaputra, H dan
Tumilar S, 2002).
Pada balok beton bertulang sebelum terjadinya keretakan akan terjadi tegangan
elastis terlebih dahulu. Pada dasarnya keretakan menggangu jalur tegangan elastis
tersebut yang mengakibatkan menurunya kekuatan dalam balok beton bertulang
dalam menerima tekanan. Analisa strut and tie mengevaluasi struktur dengan tekanan
(compression strut) atau dengan hubungan ketegangan (steel tie) dan hubungan antara
strut dan tie tersebut disebut dengan daerah nodal.
Gambar 2.3 Model Strut and Tie
Sumber: Eric skibbe jurnal ( Kansas State University)
Tekanan dalam tension tie menurun jauh lebih sedikit di ujung struktur balok
karena baja bertindak sebagai tie yang menyalurkan tegangan konstan dari satu ujung
ke ujung yang lain, hal ini dijelaskan dalam metode strut and tie (Rogowsky &
MacGregor, 1983).
2.2.1 D-Region dan B-Region
Struktur Balok tinggi mempunyai dua daerah yaitu D-region dan B-region.
Daerah dimana hukum Bernoulli berlaku disebut B-region, pada B-region gaya dalam
torsi, geser, dan gaya aksial dapat dengan mudah ditemukan. Sedangkan D-region
yaitu daerah yang tidak lagi datar dan tegak lurus garis netral sebelum dan sesudah
5
ada tambahan lentur yang dirincikan oleh regangan non linier. D-region terjadi di
daerah berdekatan dengan beban terpusat.
Gambar 2.4 D-region dan B-region
Sumber: MacGregor & Wight, 2005
2.2.2 Strut dan Tie
Metode Strut and Tie digunakan pada struktur beton yang dalam keadaan
batas atau keadaan maksimal, maka pada kondisi Servicebility Limit State lebar retak
pada batang tarik perlu diperiksa, yaitu melalui pembatasan lebar retak atau melalui
pembuatan tegangan baja yang lebih rendah.
Strut adalah zona tegangan tekan dari satu zona nodal ke zona nodal
berikutnya atau bisa disebut dengan zona transfer pembebanan. Dalam strut, tegangan
tekan berbentuk parallel dengan jalur retakan akibat pembebanan. Strut sebagai
daerah jalur distribusi tekanan dapat membentuk seperti botol sebelum memasuki
zona nodal. Perkuatan zona untuk mentransfer pembebanan harus dilakukan sebelum
terjadi keretakan.
2.2.3 Trajektori Tegangan
Suatu benda elastis yang dibebani sebelum retak akan menghasilkan medan
tekan (compression field) dan medan tarik (tension field) elastis (Daniel
L.Schodek,1998). Garis trajektori utama adalah garis tempat kedudukan titik-titik dari
suatu tegangan utama (principal stress) yang memiliki nilai yang sama yang terdiri
6
dari garis trajektori tekan dan garis trajektori tarik. Garis-garis trajektori menunjukkan
arah dari tegangan utama pada setiap titik yang ditinjau. Trajektori tegangan
merupakan suatu kumpulan garis garis kedudukan dari titik-titik yang mempunyai
tegangan utama dengan nilai tertentu. Beberapa karakteristik penting dari trajektori
tegangan adalah:
a. Di tiap-tiap titik ada trajektori tekan dan trajektori tarik yang saling tegak lurus.
b. Dalam komponen struktur yang dibebani terdapat suatu trajektori tekan dan
trajektori tarik, dan kumpulan kedua trajektori adalah orthogonal. Ini
disebabkan karena tegangan utama tekan dan tegangan utama tarik di dalam
suatu titik yang arahnya saling tegak lurus sehingga trajektori tekan dan
trajektori tarik menyatakan suatu sistem yang orthogonal.
c. Trajektori tekan dan trajektori tarik berakhir pada sisi tepi dengan sudut 90°.
d. Di dalam titik-titik di garis netral arah trajektori-trajektori adalah 45°.
e. Lebih dekat jarak antara trajektori-trajektori, lebih besar nilai tegangan
utamanya.
Gambar 2.5 Trajektori Strut and Tie beban terpusat
Sumber: Strut and Tie diagram (astruttie.aroad.co.kr)
7
Gambar 2.6 Trajektori Strut and Tie beban merata
a. Desain kekuatan Strut
Menurut ACI 318 02 kuat tekan efektif beton pada strut harus diambil sebagai berikut:
= 0,85. …………………………………………………..(2.1)
Di mana untuk daerah tekan:
= ………………………..……………………………..(2.2)
Ada beberapa kriteria nilai β� yang diusulkan untuk menghitung tegangan
yang terjadi pada daerah strut, menurut ACI 318-02 Appendix A, nilai β� ditentukan
sebagai berikut:
= 1 untuk strut prismatis didaerah tekan yang tidak mengalami retak atau strut
yang mempunyai wilayah menyilang dan sama panjang tanpa kontrol retak
pada daerah penulangan.
= 0,75 untuk strut berbentuk botol dan terdapat kontrol retak pada daerah
penulangan.
= 0,60λ, untuk strut berbentuk botol dan tidak terdapat tanpa penulangan, di
mana λ adalah suatu faktor koreksi
8
= 0,40 untuk strut didalam komponen tarik
= 0,60 untuk kasus-kasus lain
Keterangan :
= Kekuatan nominal strut (kN)
= Kekuatan efektif (MPa)
= Luasan daerah tekan (mm²)
β = faktor reduksi kekuatan tekan pada strut
= Mutu beton (MPa)
b. Desain kekuatan tie
Metode Strut and Tie digunakan pada struktur beton yang dalam keadaan
batas atau keadaan maksimal, maka pada kondisi Servicebility Limit State lebar retak
pada batang tarik perlu diperiksa, yaitu melalui pembatasan lebar retak atau melalui
pembuatan tegangan baja yang lebih rendah.
Gaya tarik pada batang tarik tie tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
∅ ≥ ………………………..……………………………..(2.3)
Dimana subskrip t melambangkan tie dan Fnt adalah kekuatan nominal dari tie
dinyatakan sebagai:
= + ( + ∆ ) ………………………..……………..(2.4)
Keterangan :
= kekuatan nominal tie (kN)
= luasan tulangan (mm²)
= mutu baja (MPa)
=tegangan efektif yang hilang didalam baja tandon prategang (MPa)
∆ = penambahan gaya prategang disamping level load
9
c. Menentukan momen yang terjadi ( dan )
baja tulangan sebagai elemen pemikul tarik dianggap bekerja dalam sebuah
grup sehingga komponen ties memiliki suatu lebar efektif ( ). Lebar memiliki
nilai terbatas dan tergantung dari pendistribusian tulangan tarik balok. Pembatasan
nilai Wt berdasarkan atas beban luar dan reaksi-reaksi tumpuan serta semua titik
simpul berbeda dalam kesetimbangan
(∑� = 0; ∑ = 0;∑� = 0) ………………………..………….(2.5)
Pada perhitungan nilai Wb faktor yang harus diperhatikan adalah kekuatan ties itu
sendiri
( = . ) ………………………..…………………..(2.6)
dan kekuatan nodal zona akibat penjangkaran tulangan
( =0,85. . .b. ) ………………………..………….(2.7)
Agar komponen ties dapat mencapai leleh, maka kesetimbangan kedua gaya
tersebut dapat dijadikan dasar untuk menghitung lebar efektif elemen ties.
W� = ………………………..………………..(2.8)
Keterangan:
= 1, untuk (Strut Prismatic)
= 0.8, untuk (angkur tie di nodal A),
2.2.4 Zona Nodal
Zona nodal merupakan titik tangkap dari tiga batang atau lebih dari strut-and-
tie dengan berbagai kombinasi yang secara umum dapat dibagi dalam empat jenis
sambungan pertemuan:
Gambar 2.7 Klasifikasi Node
10
Sumber: ACI 318, 2008
Karena nodal di gambarkan sebagai sendi pertemuan maka zona nodal harus
dalam keadaan keseimbangan statis. Daerah nodal dapat di terapkan dengan dua cara
yang berbeda: zona nodal hidrostatik dan zona nodal diperpanjang. Untuk merancang
sebuah wilayah nodal hidrostatik, wilayah nodal harus tegak lurus dengan sumbu strut
atau tie, menghasilkan tegangan tekan uniaksial.
Syarat kuat tekan dari zona nodal adalah sebagai berikut:
= . ………………………..…………………………..(2.9)
Meskipun batas tulangan telah disediakan dalam zona nodal dan penulangan
didukung oleh pengujian dan analisis tegangan yang efektif yang dihitung permukaan
zona nodal juga strut and tie tidak harus lebih besar dari nilai:
= 0,85. ……………………….……………………..(2.10)
Keterangan:
= kekuatan nominal nodal (kN)
= kekuatan efektif (MPa)
= luasan daerah nodal (mm²)
= faktor reduksi kekuatan tekan pada strut
= mutu beton (MPa)
Sesuai persyaratan yang terjadi di masing masing kriteria, ada beberapa βn
yang diusulkan untuk menghitung tegangan-tegangan yang terjadi pada daerah nodal.
Menurut ACI 318-02 Appendix A, nilai βn ditentukan sebagai berikut:
= 1, pada daerah nodal yang terjadi oleh tekanan strut dan landasan (CCC
nodes)
= 0.80, pada daerah nodal dimana terdapat penjangkaran oleh ties hanya pada
derah (CCT nodes)
= 0.60, pada daerah nodal dimana terdapat penjangkaran oleh tarikan ties
dalam daerah (CTT nodes atau TTT nodes)
11
Faktor reduksi kekuatan Φ senantiasa diambil 0,75 untuk penyokong,
penggantung dan simpul. Critical section adalah daerah kritis atau daerah di mana
beton lebih mudah hancur.
2.2.5 Trajektori Tegangan Pada Shell SAP 2000
Trajektori tegangan pada balok tinggi diperlukan untuk memperkirakan
bentuk dan ukuran rangka batang yang nantinya dapat membantu dalam langkah awal
mendesain balok tinggi dengan metode strut and tie.
Menurut Partogi H.Simatupang dalam penelitianya di seminar nasional
teknik FST-Undana Tahun 2017, sudut trajektori yang dibentuk dengan program SAP
2000 dapat menentukan permodelan rangka batang yang dibutuhkan untuk mendesain
balok tinggi dengan melihat kecenderungan batang strut, sudut diukur dengan
menggunakan program AutoCAD secara manual.
Gambar 2.8 Trajektori Strut and Tie Beban Merata
Sumber: Seminar Nasional Teknik FST-Undana (2017)
2.3 Metode SNI 03-2847-2002 dan ACI 318
SNI 03-2847-2002 adalah acuan atau standarisasi dalam hal tata cara
perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung di Indonesia sedangkan ACI
standarisasi yang diterapkan di Amerika. Dalam ketentuanya, SNI 03-2847-2002 dan
ACI 318 juga menjelaskan tentang metode perencanaan penulangan lentur dan geser
pada struktur balok. Walaupun pada dasarnya semua ketentuan yang diterapkan pada
SNI sama dengan ketentuan yang diterapkan pada ACI.
12
Dalam merencanakan desain luasan tulangan SNI dan ACI menerapkan
standarisasi faktor pembebanan beban mati dan beban hidup yang sama yaitu
U=1,2D+1,6L dimana hal ini diatur dalam pasal 11.2 pada SNI 03 2847 2002 dan
diatur dalam chapter 5.3.1 pada ACI 318. Sedangkan untuk faktor reduksi yang telah
ditetapkan pada kedua standarisasi tersebut sama, yaitu sebesar � = 0,8 untuk gaya
lentur dan � = 0,75 untuk gaya geser dimana hal ini diatur dalam pasal 11.3 pada SNI
03 2847 2002 dan diatur dalam chapter 21.2.1 pada ACI 318.
2.3.1 Prosedur Perencanaan Tulangan Balok Tinggi Dengan Metode SNI 03-
2847-2002 dan ACI 318
Berikut adalah prosedur dalam hal merencanakan tulangan lentur dan geser
pada balok tinggi yang ditetapkan pada SNI dan ACI:
Tabel 2.1 Prosedur Perencanaan Penulangan lentur dan geser pada balok tinggi
(SNI dan ACI)
Prosedur Perencanaan Balok Tinggi
Metode Keterangan
SNI ACI SNI ACI
Faktor reduksi � -Reduksi lentur -Reduksi Geser
� = 0,8 � = 0,75
� = 0,65 – 0,9 � = 0,75
SNI 03 2847 2002 pasal 11.3
ACI 318 14 pasal 21.2.1
Faktor pembebanan
U=1,2D+1,6L U=1,2D+1,6L SNI 03
2847 2002 pasal 11.2
ACI 318 14 pasal 5.3.1
Menentukan jenis balok
tinggi apabila ≤ 5 ≤ 4
SNI 03 2847 2002
pasal 13.8.1
ACI 318 14 pasal 10.7.1
Menentukan rasio tulangan
( ) pada penampang
kritis
ρ = ρ = SNI 03 2847 2002
ACI 318 14
Menentukan besar
kemampuan beton memikul geser ( ) ambil
terkecil dari
= (3,50 – 2,50
) [ ( + 120
)] b. d
atau
≤ ( ) . d
= (3,50 – 2,50
) [ ( + 120
)] b. d
atau
≤ ( ) . d
SNI 03 2847 2002
pasal 13.8.7
ACI Task Committee
426
13
Menentukan kuat geser
nominal ( ) = = SNI 03
2847 2002 ACI 318 14
Menentukan
kebutuhan
tulangan geser
= [
(
( ]
= [
(
( ]
SNI 03 2847 2002
pasal 13.8.8
ACI Task Committee
426
Menentukan kebutuhan
tulangan momen lentur
= = SNI 03 2847 2002
ACI 318 14
Prosedur terperinci dalam menentukan penulangan sebagai berikut
Menentukan besar beban terfaktor, yaitu mengalikan beban mati dan beban
hidup yang terjadi dengan ketentuan faktor pembebanan sebesar
U = 1,2D + 1,6L………………………………………..(2.11)
Menentukan jenis balok tersebut apakah termasuk dalam balok tinggi atau
tidak. Dengan ketentuan dinamakan balok tinggi apabila
≤ 5……………………….…………..…………..(2.12)
Setelah didapatkan gaya dan yang terjadi selanjutnya menentukan
pada penampang kritis
ρ = ……………………….……………………..(2.13)
Menentukan besar kemampuan beton mikul geser () dengan rumus
terperinci (nilai diambil yang terkecil dari)
= (3,50 – 2,50 ) [ ( + 120 )] b. d.……..(2.14)
≤ ( ) . d………………………..……..(2.15)
14
Menentukan kuat geser nominal () pada penampang kritis dengan rumus
terperinci
= ……………………….…………………..(2.16)
Menentukan kebutuhan tulangan geser
……………….……………………..(2.17)
= [ ( ( ] …….……………..(2.18)
Menentukan kebutuhan tulangan momen lentur
= ……………………….……………..(2.19)
Keterangan:
DL = Beban mati (kN)
LL = Beban hidup (kN)
L = Panjang bentang (mm)
b = Lebar balok (mm)
= Mutu beton (MPa)
= Mutu baja (MPa)
= Momen lentur ultimate (kN.m)
= Gaya geser ultimate (kN.m)
= Luasan tulangan perlu (mm²)
= Faktor reduksi
15
2.4 Penelitian Terdahulu
2.4.1 Perancangan Balok Tinggi Beton Bertulang Yang Memikul Beban
Merata Dengan Menggunakan SAP 2000 (Partogi H.Simatupang, 2017)
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh Partogi H. Simatupang,
seminar nasional FST-UNDANA 2017 “Perancangan Balok Tinggi Beton
Bertulang Yang Memikul Beban Merata Dengan Menggunakan Sap 2000”. Pada
penelitian ini dilakukan analisa perencanaan penulangan balok tinggi perletakan
sederhana dimana analisa menggunakan program SAP 2000 untuk mendapatkan
trajektori tegangan pada shell yang nantinya digunakan dalam menentukan pola
rangka batang pada balok tinggi tersebut.
Pada penelitian tersebut digunakan 4 permodelan balok tinggi dengan
perletakan sederhana dimana setiap permodelan mempunyai rasio L/H yang
berbeda. Berikut data permodelan yang digunakan:
Tabel 2.2 Data Permodelan Penelitian Terdahulu
Tipe
Permodelan
Nama
Permodelan
Panjang
Balok
(L) (m)
Tinggi
Balok
(H) (m)
L/H
Variasi 1
V1-01
4
0,8 5
V1-02 2 2
V1-03 4 1
V1-04 5 0,8
Setiap permodelan diterapkan dengan pembebanan yang sama yaitu beban
merata sebesar 120kN/m
Gambar 2.9 Bentuk Permodelan Pembebanan Penelitian Terdahulu
16
Pada penelitian ini digunakan program SAP 2000 guna menganalisa tegangan yang terjadi pada shell balok tinggi yang telah diberi pembebanan. hasil dari trajektori tegangan tersebut dapat menggambarkan pola tegangan yang nantinya akan menjadi pola rangka batang yang dapat membantu dalam menghitung kebutuhan luasan penulangan dengan metode strut and tie.
Hasil trajektori tegangan pada shell (SVM) pada program SAP 2000
Gambar 2.10 Trajektori Tegangan Penelitian Terdahulu
Rekapitulasi nilai tegangan yang dihasilkan dari trajektori
Tabel 2.3 Data Nilai Tegangan Penelitian Terdahulu
Model Nama permodelan
Tarik Maksimum kN/m²
Tekan Maksimum Batang Strut kN/m²
Variasi 1
V1-01 167078,76 194261,32 V1-02 169528,57 197045,56 V1-03 173505,06 201664,34 V1-04 175491,77 203973,48
Setelah trajektori tergangan didapat maka selanjutnya peneliti
menghubungkan antara titik dengan titik dimana tegangan paling besar terjadi, dengan
itu didapatkan hasil pola rangka batang seperti dibawah ini
Gambaran salah satu permodelan pola rangka batang berdasarkan hasil
trajektori (SVM)
Gambar 2.11 Pola Rangka Batang Penelitian Terdahulu
17
Setelah didapatkanya pola rangka batang dari tegangan shell balok tinggi
tersebut selajutnya dihitunglah luasan penulangan dengan tata cara dan pernyaratan
metode strut and tie. Berikut adalah hasil dari kebutuhan luasan penulangan dari
setiap permodelan.
a. Hasil perhitungan desain balok tinggi dengan metode Strut and Tie V1-01
Tabel 2.4 Data Nilai Luasan Tulangan V1-01 Penelitian Terdahulu
Jenis Tulangan Luas Tulangan (mm²) Tulangan Terpasang Tulangan Longitudinal 1005,310 7D16
Tulangan Sengkang Vertikal 8168,140 4�10-155 mm Tulangan Sengkang Horizontal 785,400 10�10
b. Rekapitulasi hasil perencanaan tulangan seluruh variasi
Tabel 2.5 Data Rekapitulasi hasil perencanaan tulangan seluruh variasi
Model Nama
Permodelan
Luas Tulangan
(mm²)
Luas Tulangan Vertikal (mm²)
Luas Tulangan Horizontal
(mm²)
V1
V1-01 1407,43 785,40 8168,14 V1-02 3216,99 2412,74 8620,53 V1-03 6597,34 5227,61 8620,53 V1-04 7982,79 6433,98 8620,53
2.4.2 Pengaruh Tinggi Balok Pada Perilaku Struktur Beton Balok Tinggi
Bertulang ( K.H.Yang, H.S.Chung, A.F.Ashour, 2007)
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh K.H.Yang, H.S.Chung,
A.F.Ashour, , di University Of Bradford “Pengaruh tinggi balok pada perilaku
struktur beton balok tinggi bertulang”. Pada penelitian ini dilakukan analisa balok
tinggi untuk mendapatkan nilai pembebanan efektif dan nilai pembebanan batas dari
setiap permodelan yang sudah di tentukan luasan penulanganya serta dimensi balok
tinggi tersebut.
Pada penelitian tersebut digunakan 12 permodelan balok tinggi menerus
dimana setiap permodelan mempunyai rasio perbandingan antara panjang bentang
antara perletakan dan titik pembebanan dengan tinggi balok (a/h) yang berbeda.
Berikut data permodelan yang digunakan:
18
Tabel 2.6 Data Dimensi Permodelan Penelitian Terdahulu
Model
Mutu Beton
(MPa)
a/h Tinggi Balok
(h)(mm)
Panjang Setengah
Balok (a)(mm)
Panjang Balok
(L)(mm)
L5-40 32,4 0,5 400 400 400 L5-60 32,4 0,5 600 300 600 L5-72 32,4 0,5 720 360 720 L10-40 32,1 1 400 400 800 L10-60 32,1 1 600 600 1200 L10-72 32,1 1 720 720 1440 H6-40 65,1 0,6 400 240 480 H6-60 65,1 0,6 600 360 720 H6-72 65,1 0,6 720 432 864 H10-40 67,5 1 400 400 800
H10-60 68,2 1 600 600 1200
H10-72 67,5 1 720 720 1440
Bentuk permodelan yang digunakan yaitu bentuk balok tinggi menerus
dengan 3 perletakan, dimana di setiap tengah bentang antara perletakan diberlakukan
beban terpusat sebagai berikut
Gambar 2.12 Bentuk Permodelan Penelitian Terdahulu
19
Pada analisa ini setiap model diberlakukan analisa yang sama yaitu
permodelan di tes menggunakan mesin yang dapat membebani sebesar 3 kN/menit
dengan kapasitas maksimal mesin 3000 kN. Setiap permodelan dibebani di tengah
bentang sampai struktur dari balok tinggi tersebut menimbulkan pola retak dan
akhirnya runtuh, sehingga didapatkan nilai pembebanan efektif dan nilai pembebanan
maksimal dari setiap permodelan yang sudah di tentukan dimensi dan luasan
penulanganya.
Gambar 2.13 Bentuk Pola Retak Penelitian Terdahulu
Setelah melakukan pengetesan pada setiap permodelan maka didapatkan pola
retakan dan nilai pembebanan efektif dari setiap permodelan, hasilnya yaitu.
Tabel 2.7 Data Hasil Perbandingan Analisa Penelitian Terdahulu
Model
Mutu Beton
(MPa)
Tinggi Balok
(h)(mm) a/h
Penulangan Longitudinal
Beban Maksimum
Bawah Atas Batas Efektif
L5-40 32,4 400 0,5 574 574 1529 1252 L5-60 32,4 600 0,5 861 861 1635 1652 L5-72 32,4 720 0,5 1148 1148 1786 2016 L10-40 32,1 400 1 574 574 717 652 L10-60 32,1 600 1 861 861 880 868 L10-72 32,1 720 1 1148 1148 1003 1060 H6-40 65,1 400 0,6 574 574 2025 1538 H6-60 65,1 600 0,6 861 861 2248 1830 H6-72 65,1 720 0,6 1148 1148 2342 2168
20
H10-40 67,5 400 1 574 574 1112 914 2.4.3 Analisa dan Perencanaan Balok Tinggi Dengan Variasi Perletakan
Menggunakan Metode Strut and Tie (Putri Mutia Hafni Nasution,
Johannes Tarigan dan M. Agung Putra, 2014)
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh Putri Mutia Hafni Nasution,
Johannes Tarigan dan M. Agung Putra Handana yang berjudul “Analisa dan
perencanaan balok tinggi dengan variasi perletakan menggunakan metode strut and
tie”. Pada penelitian ini dilakukan analisa balok tinggi dengan variasi perletakan
untuk mendapatkan nilai luasan penulangan tarik dan tekan yang dibutuhkan pada
setiap variasi dengan menggunakan metode strut and tie
Pada penelitian tersebut digunakan 2 permodelan balok tinggi dimana setiap
permodelan mempunyai bentuk perletakan yang berbeda yaitu perletakan sederhana
dua tumpuan dan perletakan menerus empat perletakan. Berikut permodelan yang
digunakan:
Gambar 2.14 Bentuk Permodelan Dengan Variasi Perletakan Penelitian Terdahulu
21
Pada analisa ini setiap model diberlakukan analisa menggunakan metode
strut and tie. Beban yang diterapkan pada setiap permodelan yaitu beban terpusat
ditengah bentang dimana untuk model dengan dua perletakan diterapkan beban
sebesar 2500 kN dan untuk model dengan empat perletakan diterapkan beban sebesar
2000 kN. Pada analisa ini guna mendapatkan luasan penulangan yang dibutuhkan
maka terlebih dahulu dibuatkan gambaran pola rangka batang yang didapat dari pola
retakan pada balok tinggi tersebut.
Gambar 2.15 Pola Rangka Variasi Dua Perletakan
Gambar 2.16 Pola Rangka Variasi Empat Perletakan
Setelah didapatkan hasil pola rangka batang selanjutnya dilakukan analisa
luasan penulangan dengan ketentuan metode strut and tie, hasil luasan penulangan
yang didapatkan dari setiap permodelan yaitu :
Tabel 2.8 Data Hasil Luasan Penulangan Terdahulu
Permodelan Tipe Penulangan Luasan Tulangan
Balok Sederhana 3174,15 mm²
Balok di Atas 4 Tumpuan Serat Bawah 1937,171 mm²
Serat Atas 1610,432 mm²
22
2.4.4 Perbandingan Desain Menggunakan Pemodelan Strut-and-Tie dan
Metode Balok Tinggi Untuk Transfer Girders Dalam Bangunan
Struktur ( Eric Skibbe, 2010)
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh Eric Skibbe (Kansas State
University), “Perbandingan desain menggunakan pemodelan strut-and-tie dan metode
balok tinggi untuk transfer girders dalam bangunan struktur”. Laporan ini
membandingkan persyaratan dimensi, jumlah penulangan, dan kemampuan konstruksi
metode strut and tie dan metode deep beam melalui desain tiga balok tinggi yang
berbeda. Desain pertama adalah balok tinggi dengan beban di tengah bentang. Desain
kedua adalah balok tinggi dengan beban di seperempat bentang. Desain terakhir balok
tinggi dengan beban di tengah bentang dan di seperempat bentang. Dengan mutu
material dan .
Gambar 2.17 Permodelan Penelitian Terdahulu (Beban Tengah Bentang)
23
Gambar 2.18 Permodelan Penelitian Terdahulu (Beban Seperempat Bentang)
Gambar 2.19 Permodelan Penelitian Terdahulu (Beban Seperempat dan Tengah
Bentang)
Pada analisa ini setiap model diberlakukan analisa masing masing dengan
menggunakan metode strut and tie dan deep beam method yang mengacu pada
persyaratan ACI 318. Beban yang diterapkan pada permodelan yaitu beban terpusat
sebesar 1200 kN untuk satu pembebanan dan untuk dua pembebanan sebesar 600 kN.
Dimensi dari permodelan dengan beban di tengah bentang dan permodelan dengan
beban di tengah dan di seperempat bentang yaitu L = 16 feet, H = 7 feet sedangkan
dimensi permodelan dengan beban di seperempat bentang yaitu L = 16 feet, H = 8
feet.
Tabel 2.9 Data Dimensi Penulangan Permodelan Deep Beam Method
24
Balok Dimensi
(mm)
Tulangan
Sengkang
Horizontal
Tulangan
Sengkang
Vertikal
Volume
Tulangan
Geser
(mm³)
Tulangan
Lentur
Luasan
Tulangan
Lentur
(mm²)
DB 1 2133 x 609 �8-304 mm �8-254mm 22529 18D30 4572
DB 2 2438 x 609 �8-228 mm �8-228mm 30226 16D25 3200
DB 3 2133 x 609 �8-203 mm �8-203mm 28524 15D25 3048
Tabel 2.10 Data Dimensi Penulangan Permodelan Strut and Tie Method
Balok Dimensi
(mm)
Tulangan
Sengkang
Horizontal
Tulangan
Sengkang
Vertikal
Volume
Tulangan
Geser
(mm³)
Tulangan
Lentur
Luasan
Tulangan
Lentur
(mm²)
STM 1 2133 x 609 �8-304mm �8-228mm 22529 16D32 5156
STM 2 2438 x 609 �8-304mm �8-228mm 24790 18D25 3606
STM 3 2133 x 609 �8-304mm �8-228mm 22529 16D30 4064
2.4.5 Analisa Balok Tinggi Beton Bertulang Dengan Menggunakan Metode
Strut and Tie Model (Misbakhul Munir, Zulfikar Djau hari, Iskandar
Romey Sitompul, 2014)
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh Misbakhul Munir, Zulfikar
Djauhari, Iskandar Romey Sitompul yang berjudul “Analisa balok tinggi beton
bertulang dengan menggunakan metode strut and tie model (studi kasus balok tinggi
dengan beban merata)”. Penelitian ini menganalisis hubungan antara volume penguat
dengan kualitas beton, kualitas baja, dan variasi tentang bentang panjang balok dalam
25
dengan metode konvensional dan metode strut and tie (STM) berbasis ACI.
diverifikasi oleh Program computer aided strut and tie (CAST).
Penelitian ini juga menjelaskan tentang desain balok tinggi secara manual
berbasis konvensional dan strut and tie model (STM) walaupun menggunakan
program computer aided strut and tie (CAST). Dalam penelitian ini juga diperoleh
korelasi antara panjang bentang (L), kualitas beton ( ), kualitas baja ( ) dan beban
secara merata terhadap rasio tulangan, penambahan panjang bentang untuk
memperbesar rasio tulangan, penambahan tersebut dapat mengurangi kualitas
tulangan baja rasio, dan beban tambahan dapat meningkatkan rasio penguatan.
Mutu beton yang digunakan dalam analisa divariasikan menjadi beberapa
mutu beton yakni, 20 MPa, 25 MPa, dan 30 MPa. Mutu baja yang digunakan dalam
analisa divariasikan menjadi beberapa mutu baja yakni 240 Mpa dan 400 Mpa.
Pembebanan yang digunakan dalam analisa balok tinggi merupakan beban merata
sepanjang balok dengan, 500 kN/m, 625 kN/m, 700 kN/m, 725 kN/m, 750 kN/m,
800 kN/m, 1000 kN/m.
Tabel 2.11 Perbandingan nilai Volume tulangan Metode Konvensional dan Metode
Strut and Tie Model (
No Bentang
(mm)
Tinggi
(mm)
Lebar
(mm)
Volume Tul (10³)(mm³)
(
Konvensional STM I STM II
1 2500 1200 400 7483,05 8768,73 7161,69
2 3000 1200 400 9751,67 13580,12 10920,37
3 3500 1200 400 15532,67 20301,24 16206,83
4 4000 1200 400 23637,26 29257,60 23281,48
5 4500 1200 400 33386,96 40774,72 32404,74
Tabel 2.12 Perbandingan nilai Volume tulangan Metode Konvensional dan Metode
Strut and Tie Model (
No Bentang
(mm)
Tinggi
(mm)
Lebar
(mm)
Volume Tul (10³)(mm³)
(
Konvensional STM I STM II
1 2500 1200 400 4727,72 6273,07 4925,58
26
2 3000 1200 400 6184,18 9205,12 7070,37
3 3500 1200 400 9176,60 13283,01 10110,99
4 4000 1200 400 15978,48 18702,04 14203,70
5 4500 1200 400 21290,55 25657,53 19504,74
2.4.6 Penyempurnaan Model Strut-and-Tie untuk Balok Tinggi Beton
Bertulang (Mohammad Panjehpour, 2015)
Artikel penelitian yang dibuat oleh Mohammad Panjehpour yang berjudul
“Penyempurnaan model strut-and-tie untuk balok tinggi beton bertulang” bertujuan
untuk memodifikasi faktor efektivitas strut balok tinggi dari metode strut and tie yang
diatur di dalam ACI 318 dan AASHTO LRFD. Selain itu artikel ini bertujuan untuk
memperbaiki faktor efektivitas strut dari metode strut and tie dan memperkuat akurasi
dari hasilnya.
Penelitian ini menggunakan enam bentuk permodelan dengan masing masing
ratio perbandingan antara panjang bentang perletakan dan titik pembebanan dengan
tinggi balok (a/h) adalah 0,75, 1, 1,25, 1,50, 1,75, dan 2. Balok tinggi diletakan di
antara dua perletakan dan dibebani dua titik di atas balok tersebut. Analisa ini
menggunakan alat pembebanan hydraulic berkapasitas 5000 kN untuk membebani
balok tersebut hingga mencapai batas kekuatan dari penulangan yang sudah diatur
dalam ACI 318 dan AASHTO LRFD.
Gambar 2.20 Test Set Up Balok Tinggi
27
Gambar 2.21 Hasil Pola Retakan dari Balok Tinggi
Gambar 2.22 Detail Penulangan Balok
Dari luasan penulangan yang sudah ditentukan maka dicarilah nilai
pembebanan maksimum dari setiap permodelan dengan ratio antara panjang bentang
28
antara perletakan dan titik pembebanan dengan tinggi balok (a/h) yang berbeda. Maka
didapatkan hasil analisa sebagai berikut.
Tabel 2.13 Perbandingan Efektivitas Nilai Pembebanan dari Metode ACI 318 dan
AASHTO
a/h
Panjang Antara
Pembebanan dan
Perletakan
a(mm)
Beban Maksimal
(P)(ACI) kN
Beban Maksimal
(P)(AASHTO) kN
0,75 216,75 707.95 817.18
1,00 289,00 615.77 720.51
1,25 361,25 537.38 685.97
1,50 433,50 472.88 617.00
1,75 505,75 420.17 541.14
2,00 578,00 376.88 470.01
2.4.7 Perilaku Beton Balok Tinggi Dengan Perkuatan Tulangan Tinggi (Juan
de Garay-Moran, 2008)
Analisa yang dibuat oleh Juan de Garay-Moran di University of Alberta yang
berjudul “Perilaku beton balok tinggi dengan perkuatan tulangan tinggi” bertujuan
untuk mencari variable dari nilai rasio bentang balok dengan tinggi balok, rasio
penulangan longitudinal, dan kekuatan efektif dari penulangan balok tinggi. Analisa
ini menggunakan 6 macam permodelan dengan ratio (a/d) yang berbeda, diantaranya
a/d = 1,19, 1,18, 1,79, 1,78, dan 2,38. balok diletakan di dua perletakan dan diberi
dua titik pembebanan diantara bentang perletakan.
Dalam penilitian guna mendapatkan variabel hasil yang ingin didapatkan,
balok tinggi di desain penulanganya beberapa kali dan di tes dengan alat hydraulic
sampai mendapatkan nilai variable yang paling efektif.
29
Gambar 2.23 Balok MS1-1 Setelah Retak
Gambar 2.24 Balok MS1-3 Setelah Retak
Gambar 2.25 Balok MS2-2 Setelah Retak
30
Gambar 2.26 Balok MS2-3 Setelah Retak
Gambar 2.27 Balok MS3-2 Setelah Retak
Setelah melakukan pengetesan pada setiap permodelan maka didapatkan pola
retakan dan nilai pembebanan efektif dari setiap permodelan, hasilnya yaitu.
Tabel 2.14 Perbandingan Nilai Pembebanan dari Hasil Analisa Dengan Hasil
Ketentuan ACI 318 05
Model a/d
Persentase
Beban
(P) (%)
Beban
Maksimal
(Pmax)
(kN)
ACI 318 05
Beban Sesuai
Persyaratan
(Pp) (kN)
Pmax/Pp
(kN)
MS1-1 1,19 0,52 1252 1024 1,22
MS1-2 1,19 1,13 2124 2048 1,05
MS1-3 1,18 2,29 2747 2400 1,14
MS2-2 1,79 1,13 1432 1386 1,03
MS2-3 1,78 2,29 2055 1456 1,41
MS3-2 2,38 1,13 1154 1092 1,06
2.4.8 Rasio Lebar Dan Tinggi Balok Terhadap Kuat Lentur (Andi Marini
Indriani, Agus Sugianto, 2016)
31
Berikut penelitian terdahulu yang dibuat oleh Andi Marini Indriani, Agus
Sugianto (Universitas Balikpapan) yang berjudul “Rasio lebar dan tinggi balok
terhadap kuat lentur”. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perilaku rasio
Perbandingan antara lebar balok dengan tinggi balok (b/h) terhadap deformasi yang
terjadi. Rasio yang dianalisa antara lain adalah 1, 1,25, 1,5 dan diantara ketiga
permodelan tersebut dicari rasio yang paling optimal.
Cara menguji pada penelitian ini adalah alat uji lentur diletakkan pada media
yang rata dengan dua tumpuan penyangga balok uji kemudian cek kondisi horisontal
dengan waterpas lalu setting manometer sehingga mudah dibaca pada saat pengujian,
benda uji diletakan pada alat, kemudian pasang 3 buah manometer, 2 buah pada sisi
bagian atas dan 1 pada bagian samping. Cara pengujiannya dengan menekan pompa
hydraulic dan benda uji, kemudian manometer jack akan bergerak naik sampai benda
uji tidak mampu menahan beban sehingga mengalami penurunan dan membaca posisi
dial
Gambar 2.28 Pengujian Kuat Lentur
Analisa hasil pengujian membahas hubungan antara kuat lentur benda uji
dengan deformasi. Hasil pengujian kuat lentur, diperoleh sebagai berikut :
Tabel 2.15 Hubungan rasio b/h dengan Deformasi
Dimensi (mm) Rasio (b/h)
Arah Deformasi
(mm) Panjang (L)
Lebar (b)
Tinggi (h) x y
1400 100 100 1,00 1,033 14,63 14,67
1400 125 100 1,25 1,22 15,72 15,77
1400 150 100 1,50 0,91 15,27 15,30
32