bab 2 landasan teori 2.1 sistem...
TRANSCRIPT
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Informasi
2.1.1 Pengertian Sistem
Menurut Hall (2001, p5) sistem adalah sekelompok dua atau lebih komponen-
komponen yang saling berkaitan (inter related) atau subsistem-subsistem yang
bersatu untuk mencapai tujuan yang sama (common porpose).
Menurut McLeod (2001, p11) sistem adalah sekelompok elemen yang
terintegrasi dengan maksud yang sama untuk mencapai suatu tujuan organisasi atau
perusahaan yang terdiri dari sejumlah sumber data (manusia, material, mesin, uang,
informasi) yang ditentukan oleh pemilik atau manajemen.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah sekelompok
elemen yang saling terhubung, terintegrasi, dan berinteraksi untuk mencapai tujuan
tertentu.
2.1.2 Pengertian Informasi
Menurut Bodnar yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf dan Rudi
Tambunan (2001, p1) informasi adalah data yang berguna dan diolah sehingga dapat
dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang tepat.
Menurut Hall (2001, p14) informasi bukan sekedar fakta yang diproses dalam
suatu laporan formal. Informasi memungkinkan para pemakainya melakukan
9
tindakan yang menyelesaikan konflik, mengurangi ketidakpastian, dan melakukan
keputusan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi
merupakan semua fakta berupa data yang diproses sehingga memiliki arti dan nilai
guna sehingga dapat dipakai oleh pengguna atau user sebagai dasar untuk
mengambil keputusan.
Menurut Hall (2001, p17), informasi yang berguna memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1. Relevan
Isi sebuah laporan atau dokumen harus melayani suatu tujuan sehingga dapat
mendukung keputusan manajer atau tugas petugas administrasi.
2. Tepat waktu
Umur informasi merupakan faktor yang kritikal dalam menentukan
kegunaannya. Informasi harus tidak lebih tua dari periode tindakan yang
didukungnya.
3. Akurat
Informasi harus bebas dari kesalahan yang sifatnya material. Kesalahan-
kesalahan material ada ketika jumlah informasi yang tidak akurat
menyebabkan pemakai melakukan keputusan yang buruk atau gagal
melakukan keputusan yang diperlukan.
4. Lengkap
Tidak boleh ada bagian informasi yang esensial bagi pengambilan keputusan
atau pelaksanaan tugas yang hilang.
5. Rangkuman
10
Informasi harus diagregasi agar sesuai dengan kebutuhan pemakai.
2.1.3 Pengertian Sistem Informasi
Menurut Hall (2001, p7) sistem informasi adalah sebuah rangkaian
prosedur formal dimana data dikumpulkan, diproses menjadi informasi yang
didistribusikan kepada para pemakai.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem informasi adalah kumpulan komponen-
kompenen (orang-orang, hardware, software, jaringan komunikasi, dan sumber daya
data) yang memproses data menjadi informasi yang diperlukan oleh pengguna dalam
sebuah organisasi.
2.2 Sistem Informasi Akuntansi
2.2.1 Pengertian Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Jones dan Rama (2003, p4), sistem informasi akuntansi adalah suatu
subsistem dalam sistem informasi manajemen yang menyediakan informasi
akuntansi dan keuangan dan informasi lainnya yang dihasilkan dari rutinitas
pengolahan transaksi-transaksi akuntansi.
Menurut Bodnar dan Hopwood (2001, p1) yang dialihbahasakan oleh Jusuf
dan Tambunan, “Sistem informasi akuntansi adalah kumpulan sumber daya, seperti
manusia dan peralatan yang diatur untuk mengubah data menjadi informasi.
Informasi ini dikomunikasikan kepada beragam pengambil keputusan.”
Jadi, pengertian sistem informasi akuntansi dapat disimpulkan sebagai suatu
subsistem dalam sistem informasi manajemen yang terdiri dari kumpulan sumber
daya yang diatur untuk mengubah data menjadi informasi akuntansi dan keuangan,
11
yang digunakan oleh semua tingkat manajemen dalam perencanaan dan
pengendalian aktivitas organisasi untuk pengambilan keputusan yang dihasilkan dari
pengumpulan dan rutinitas pengolahan transaksi-transaksi akuntansi.
2.2.2 Tujuan Sistem Informasi Akuntansi
Menurut Jones dan Rama (2003, p6), tujuan dari sistem informasi akuntansi
adalah sebagai berikut:
a. Menghasilkan laporan-laporan eksternal
Bisnis-bisnis menggunakan sistem informasi akuntansi untuk memproduksi
laporan khusus untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh investor,
kreditor, penagih pajak, agen peraturan, dan lainnya.
b. Mendukung pelaksanaan aktivitas rutin
Manager membutuhkan sistem informasi akuntansi untuk menangani aktivitas
operasi rutin selama siklus operasi perusahaan. Misalnya, termasuk menerima
pesanan pelanggan, pengiriman barang dan jasa, menagih pembayaran, dan
mengumpulkan kas.
c. Mendukung pengambilan keputusan
Informasi juga dibutuhkan untuk pengambilan keputusan non rutin di setiap
tingkatan organisasi. Misalnya, mencakup pemberian informasi mengenai
produk-produk mana yang terjual dengan baik dan mana yang paling banyak
dibeli.
d. Perencanaan dan pengendalian
Sebuah sistem informasi akuntansi diperlukan dalam aktivitas perencanaan dan
pengendalian yang baik. Informasi berhubungan dengan biaya anggaran dan
12
standar yang disimpan oleh sistem informasi, dan laporan yang didesain untuk
membandingkan jumlah anggaran dengan jumlah yang sebenarnya.
e. Mengimplementasikan pengendalian intern
Pengendalian intern termasuk kebijaksanaan, prosedur, dan sistem informasi
digunakan untuk melindungi harta perusahaan dari kerugian atau pencurian dan
untuk menjaga data keuangan tetap akurat.
2.3 Analisis dan Perancangan Sistem
2.3.1 Pengertian Analisis Sistem
Menurut Bodnar (2001, p21) analisis sistem meliputi formulasi dan evaluasi
solusi-solusi masalah sistem. Penekanan dalam analisis sistem adalah pada tujuan
keseluruhan sistem. Dasar dari semua ini adalah analisis untung-rugi di antara
tujuan-tujuan sistem.
Menurut McLeod (2001, p128) analisis sistem adalah penelitian atas sistem
yang telah ada dengan tujuan untuk merancang sistem baru atau diperbaharui.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian analisis
sistem yaitu formulasi dan evaluasi solusi masalah sistem, yaitu penelitian atas
sistem yang telah ada dengan tujuan analisis untung-rugi dan perancangan sistem
baru di atas sistem yang telah ada.
2.3.2 Pengertian Perancangan Sistem
Menurut McLeod (2001, p192), rancangan sistem adalah penentuan proses
dan data yang diperlukan oleh sistem baru.
13
Menurut Mulyadi (2001, p51), perancangan sistem adalah proses
penerjemahan kebutuhan pemakai informasi di dalam alternatif rancangan sistem
informasi yang diajukan kepada pemakai informasi untuk dipertimbangkan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perancangan sistem
adalah penerjemahan kebutuhan pemakai informasi yang didapat dari proses analisis
sistem kedalam alternatif rancangan sistem informasi yang baru.
2.4 Metode Analisis dan Perancangan Sistem Berorientasi Objek
Menurut Mathiassen et. al. (2000,p3) metode analisis dan desain berorientasi
object adalah metode yang menggunakan object dan class sebagai konsep utama dan
membangun prinsip umum utama untuk analisis dan desain. Metode ini memiliki
beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk menetapkan syarat sistem.
2. Untuk menghasilkan sebuah desain sistem tanpa ketidakpastian yang berarti.
3. Untuk memahami sebuah sistem, konteksnya, dan kondisi untuk
implementasinya.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam analisis dan desain sistem yang
berorientasi object, diantaranya adalah:
1. Rich Picture.
2. UML Class Diagram.
3. UML Use Case Diagram.
4. Navigation diagram.
1. Rich Picture
14
Rich picture adalah suatu gambar yang informal yang melukiskan
pemahaman penggambar akan suatu situasi. Digunakan semasa pemilihan sistem
untuk menggambarkan gambaran menyeluruh dari tugas yang menghadapi
proyek pengembangan sistem. Rich picture secara umum menggambarkan
permasalahan sistem dan application domain. Rich picture tidak memiliki notasi
khusus. Namun seharusnya melalui beberapa persetujuan di antara proyek
sebagaimana aspek tertentu digambarkan.
2. UML Class Diagram
UML class diagram adalah gambaran mengenai sekumpulan class dan
hubungan antar class yang terstruktur. UML class diagram adalah pusat
penggambaran dari analisis dan desain berorientasi object. Selama masa analisis,
biasanya cukup untuk menggambarkan class dengan namanya.
3. UML Use Case Diagram
UML use case diagram adalah gambaran mengenai hubungan antara actor
dan use-case. Actor dan use-case adalah dua elemen utama dalam
penggambaran. Mereka dapat dihubungkan satu sama lain, dengan demikian
mengindikasikan actor yang ditentukan berpartisipasi dalam use-case yang
ditentukan. Actor dan use-case juga dapat saling berhubungan melalui
penggunaan struktur class diagram.
4. Navigation Diagram
Navigation diagram adalah jenis khusus dari statechart diagram yang
berfokus pada dinamika keseluruhan dari tampilan layar. Diagram ini
menunjukkan window-window yang bersangkutan dan perpindahan di antara
mereka. Sebuah window ditunjukkan sebagai sebuah state. State memiliki sebuah
15
nama dan sebuah icon. Pergantian state sesuai dengan pergantian di antara dua
window.
2.5 Siklus Hidup Pengembangan Sistem
Menurut Jones dan Rama (2003, p671), Sistem Development Life Cycles (SDLC)
terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Investigasi Sistem
Investigasi sistem merupakan tahap pertama dalam siklus hidup sistem. Dalam
tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah mempelajari sistem yang berjalan,
identifikasi perubahan yang diperlukan dan pertimbangan atas solusi yang
memungkinkan. Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk memilih proposal yang
layak dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Model atau teknik yang digunakan
dalam tahap ini adalah :
a. The workflow table
b. Overview activity diagram
2. Analisis Sistem
Analisis system merupakan tahap kedua dalam siklus hidup sistem. Tujuan dari
tahap ini untuk mempelajari sistem berjalan dan mengusulkan pemecahan secara
lebih rinci dibandingkan dengan tahap investigasi. Sasaran dari tahap ini adalah
mengembangkan persyaratan – persyaratan sistem baru.
3. Desain Sistem
Desain sistem merupakan tahap ketiga dalam dalam siklus hidup sistem. Tahap
ini bertujuan untuk merinci bentuk fisik sistem (seperti dokumen, laporan, file,
proses – proses, dan lainnya) dan pemilihan pemasok.
16
Pada tahap ini model yang digunakan adalah:
– UML class diagram
– UML Activity Diagram
– Risk Analysis templates
– UML Use Case Diagram
– Use Case Description
– Form layout and description
– Masukan kontrol
– Report layout
4. Implementasi Sistem
Implementasi sistem merupakan tahap keempat dalam dalam siklus hidup
sistem. Tahap ini bertujuan untuk membangun sistem informasi yang baru dan
mengkonversikan dari sistem yang lama. Aktivitasnya antara lain pengembangan
aplikasi, pengujian sistem, pelatihan user, membuat perubahan atas proses bisnis,
instalasi sistem dan konversi sistem baru dari sistem yang lama.
Pada tahap ini model yang digunakan adalah:
– Training manual
– User manual
2.6 Sistem Pengendalian Intern
2.6.1 Pengertian Sistem Pengendalian Intern
Menurut Mulyadi (2001, p163), sistem pengendalian intern meliputi struktur
organisasi, metode, dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga
17
kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong
efisiensi dan dipatuhinya kebijakan manajemen.
Menurut Weber (1999, p35), “A control is a system that prevents, detects, or
correct unlawful events”. Jadi menurut Weber, pengendalian adalah suatu sistem
untuk mencegah, mendeteksi, dan mengoreksi kejadian yang timbul saat transaksi
dari serangkaian pemrosesan tidak terotorisasi secara sah, tidak akurat, tidak
lengkap, mengandung redundansi, tidak efektif dan tidak efisien. Dengan demikian,
tujuan dari pengendalian adalah untuk mengurangi resiko atau mengurangi pengaruh
yang sifatnya merugikan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pengendalian dikelompokkan menjadi
tiga bagian:
a. Preventive Control
Pengendalian ini digunakan untuk mencegah masalah sebelum masalah
tersebut muncul.
b. Detective Control
Pengendalian ini digunakan untuk menemukan masalah yang
berhubungan dengan pengendalian segera setelah masalah tersebut
timbul.
c. Corrective Control
Pengendalian ini digunakan untuk memperbaiki masalah yang
ditemukan pada pengendalian detective. Pengendalian ini mencakup
prosedur untuk menentukan penyebab masalah yang timbul,
memperbaiki kesalahan atau kesulitan yang timbul, memodifikasi
18
sistem proses. Dengan demikian bisa mencegah kejadian yang sama di
masa mendatang.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian
intern merupakan sistem untuk mengendalikan ketelitian dan keandalan data, dan
juga meliputi perencanaan untuk mengkoordinasikan metode atau cara pengendalian
untuk menentukan apakah suatu sistem dapat dipercaya atau tidak untuk menentukan
luasnya pengujian yang dapat dilakukan, serta mendorong efektivitas dan efisiensi di
dalam perusahaan tersebut.
2.6.2 Tujuan Sistem Pengendalian Intern
Menurut Arens dan Loebbecke (1996, p218) di dalam buku Audit Sistem
Informasi Pendekatan Konsep yang ditulis oleh Gondodiyoto (2003, p85), tujuan
sistem pengendalian intern adalah:
1. Menyajikan data yang dapat dipercaya
Pimpinan hendaklah memiliki informasi yang tepat dalam rangka
melaksanakan kegiatannya. Mengingat bahwa berbagai jenis informasi
dipergunakan untuk bahan mengambil keputusan sangat penting
artinya, karena itu suatu mekanisme atau sistem yang dapat mendukung
penyajian informasi yang akurat sangat diperlukan oleh pimpinan
organisasi atau perusahaan.
2. Mengamankan aktiva dan pembukuan
Pengamanan atas berbagai harta benda dan catatan pembukuan
menjadi semakin penting dengan adanya komputer. Data atau informasi
19
yang begitu banyaknya yang disimpan di dalam media komputer seperti
magnetic tape dapat dirusak apabila tidak diperhatikan pengamanannya.
3. Meningkatkan efisiensi operasional
Pengawasan dalam suatu organisasi merupakan alat untuk mencegah
penghamburan usaha, menghindarkan pemborosan dalam setiap segi
dunia usaha dan mengurangi setiap jenis penggunaan sumber-sumber
yang ada secara tidak efisien.
4. Mendorong pelaksanaan kebijaksanaan yang ada
Pimpinan menyusun tata cara dan ketentuan yang dapat dipergunakan
untuk mencapai tujuan perusahaan. Sistem pengendalian intern berarti
memberikan jaminan yang layak bahwa kesemuanya itu telah
dilaksanakan oleh karyawan perusahaan.
Sedangkan menurut Mulyadi (2001) di dalam buku Audit Sistem Informasi
Pendekatan Konsep yang ditulis oleh Gondodiyoto (2003, p86), tujuan sistem
pengendalian intern adalah untuk:
1. Melindungi harta milik perusahaan
2. Memeriksa kecermatan dan kehandalan data akuntansi
3. Meningkatkan efisiensi usaha
4. Mendorong ditaatinya kebijakan manajemen yang telah digariskan
2.6.3 Unsur Sistem Pengendalian Intern
Menurut Mulyadi (2001, p164), unsur pokok sistem pengendalian intern
adalah:
20
1. Struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional
secara tegas.
2. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang memberikan
perlindungan yang cukup terhadap kekayaan, utang, pendapatan dan
biaya.
3. Praktik yang sehat dalam melaksanakan tugas dan fungsi setiap unit
organisasi.
4. Karyawan yang mutunya sesuai dengan tanggung jawabnya.
2.6.4 Komponen Sistem Pengendalian Intern
Menurut Weber (1999, p49), pengendalian intern terdiri dari lima komponen
yang saling terintegrasi, antara lain:
a. Lingkungan Pengendalian
Komponen ini diwujudkan dalam cara pengopersian, cara pembagian
wewenang dan tanggung jawab yang harus dilakukan, cara komite audit
berfungsi, dan metode-metode yang digunakan untuk merencanakan
dan memonitor kinerja.
b. Penaksiran Resiko
Komponen untuk mengidentifikasi dan menganalisa resiko yang
dihadapi oleh perusahaan dan cara-cara untuk menghadapi resiko
tersebut.
c. Aktivitas Pengendalian
Komponen yang beroperasi untuk memastikan transakasi telah
terotorisasi, adanya pembagian tugas, pemeliharaan terhadap dokumen
21
dan record, perlindungan aset dan record, pengecekan kinerja, dan
penilaian dari jumlah record yang terjadi.
d. Informasi dan Komunikasi
Komponen di mana informasi digunakan untuk mengidentifikasi,
mendapatkan dan menukarkan data yang dibutuhkan untuk
mengendalikan dan mengatur operasi perusahaan.
e. Pemantauan
Komponen yang memastikan pengendalian intern beroperasi secara
dinamis.
2.6.5 Keterbatasan Sistem Pengendalian Intern
Pengendalian Intern mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang antara lain
dikemukakan oleh Tuanakotta (1982, p98), di dalam buku Audit Sistem Informasi
Pendekatan Konsep yang ditulis oleh Gondodiyoto (2003, p89), sebagai berikut:
1. Persekongkolan
Pengendalian intern mengusahakan agar persekongkolan dapat
dihindari sejauh mungkin, misalnya dengan mengharuskan giliran
bertugas, larangan menjalankan tugas-tugas yang bertentangan oleh
mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan, keharusan
mengambil cuti dan seterusnya. Akan tetapi pengendalian intern tidak
dapat menjamin bahwa persekongkolan tidak terjadi.
2. Biaya
22
Pengendalian juga harus mempertimbangkan biaya dan kegunaannya.
Biaya untuk mengendalikan hal-hal tertentu mungkin melebihi
kegunaannya.
3. Kelemahan manusia
Banyak kebobolan terjadi pada sistem pengendalian intern yang secara
teoritis sudah baik. Hal tersebut dapat terjadi karena lemahnya
pelaksanaan yang dilakukan oleh personil yang bersangkutan.
2.7 Pengendalian Aplikasi
Pengendalian aplikasi dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah
pengendalian intern dalam sistem yang terkomputerisasi pada aplikasi komputer tertentu
sudah memadai untuk memberikan jaminan bahwa data dicatat, diolah dan dilaporkan
secara akurat, tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan manajemen. Penanggung jawab
atau yang menentukan tipe pengendalian aplikasi ialah penanggung jawab teknis tim
aplikasi, yaitu sistem perancangan atau sistem analisisnya. Menurut Weber (1999, p39-
40) membagi pengendalian aplikasi menjadi 6 jenis yaitu:
1. Boundary Control
Menurut Weber (1999, p368), pengendalian dalam subsistem
boundary mempunyai tiga tujuan, yaitu:
a. Mengatur identitas dan otentifikasi dari calon user.
b. Mengatur identitas dan otentifikasi dari sumber daya komputer
yang diminta oleh user.
c. Membatasi akses oleh user berdasarkan hak yang diberikan
kepadanya.
23
Menurut Weber (1999, p381), terdapat beberapa permasalahan
dengan password, seperti:
a. Untuk mengingat password, user sering menuliskannya di dekat
terminal yang digunakan oleh user sendiri.
b. User memilih password yang mudah ditebak oleh orang lain,
misalnya nama anggota keluarga, bulan lahir dan lainnya.
c. User tidak mengubah password setelah waktu yang ditentukan
untuk pengubahan password terlewati.
d. User tidak memahami dan menghargai pentingnya password.
e. User menjelaskan password-nya kepada teman atau
keluarganya.
f. Beberapa mekanisme pengendalian akses mengharuskan user
untuk mengingat beberapa password.
g. Mekanisme pengendalian akses menyimpan data-data password
dalam bentuk yang tidak enkripsi.
h. Password tidak dihapus ketika user keluar dari organisasi.
i. Password tidak ditransmisikan melalui jalur komunikasi dalam
bentuk clear text.
Menurut U.S National Bureau of Standard (1985) dan U.S
Department of Defense (1985), sebagaimana dikutip Weber (1999,
p382), prinsip-prinsip manajemen yang baik, yaitu:
a. Jumlah password yang ada seharusnya dapat diterima oleh
mekanisme pengendalian akses.
24
b. Mekanisme pengendalian akses seharusnya tidak menerima
password yang panjangnya lebih pendek dari jumlah yang
diisyaratkan.
c. Mekanisme pengendalian akses seharusnya tidak
memungkinkan user untuk memilih password yang buruk,
seperti kata-kata yang ditemukan dalam kamus atau kata-kata
yang memiliki variasi sebaran huruf minimal.
d. User seharusnya diarahkan untuk mengubah password secara
periodik.
e. User seharusnya tidak memungkinkan untuk menggunakan
kembali password yang sama dalam jangka waktu tertentu,
misalnya satu tahun.
f. Password seharusnya dienkripsi dengan sekali jalan saat akan
disimpan atau ditransmisikan.
g. User seharusnya diperkenalkan dan mempelajari tentang arti
pentingnya keamanan password dan prosedur yang dapat
digunakan untuk memilih password yang aman dan prosedur
yang harus diikuti untuk menjaga agar password tetap aman.
h. Password harus segera diubah bila terdapat indikasi bahwa
password telah dikompromikan.
i. Mekanisme pengendalian akses seharusnya membatasi berapa
kali user boleh memasukkan password yang salah, dan adanya
sanksi bila memasukkan password melebihi batasan
pengisian.
25
2. Input Control
Mengendalikan berbagai jenis metode input data, perancangan
dokumen sumber, rancangan layar masukan data, pengkodean data,
check digit, batch controls, validasi dari input data, dan instruksi
input.
a. Metode input data
Menurut Weber (1999, p421), metode input data meliputi:
1. Keyboarding, contoh: personal computer (PC).
2. Direct Reading, contoh: Optical Character Recognition
(OCR), Automatic Teller Machine (ATM).
3. Direct Entry, contoh: touch screen, joystick, mouse.
b. Perancangan dokumen sumber
Menurut Weber (1999, p423-424), tujuan dari pengendalian
terhadap perancangan dokumen sumber antara lain:
1. Mengurangi kemungkinan kesalahan data
2. Meningkatkan kecepatan pencatatan data
3. Mengendalikan alur kerja
4. Menghubungkan pemasukkan data ke sistem komputer
5. Meningkatkan kecepatan dan ketepatan pembacaan data
6. Sebagai alat referensi untuk mengecek urutan-urutan pengisian.
Menurut Weber (1999, p424), dasar-dasar yang perlu diperhatikan
untuk penilaian dari perancangan dokumen sumber yang baik
adalah:
26
1. Karakteristik dari medium kertas yang akan digunakan untuk
dokumen sumber, meliputi pemilihan panjang dan lebar kertas,
kualitas kertas, banyaknya rangkap yang dibuatkan untuk setiap
transaksi.
2. Layout dan style dari dokumen sumber.
c. Perancangan layar masukan data
Menurut Weber (1999, p427), dasar-dasar yang perlu diperhatikan
untuk penilaian dari perancangan layar masukan data adalah:
a. Apakah layar digunakan untuk pemasukan data secara langsung
atau digunakan untuk memasukkan data dari dokumen sumber.
b. Layar masukan harus mencerminkan bagaimana cara
pemasukkan field data.
c. Layar masukan harus mencerminkan dokumen sumber.
d. Pengkodean data
Types of coding systems menurut Weber (1999, p434-435)
adalah:
1. Serial codes
Memberikan urutan nomor atau alphabet sebagai suatu
obyek, terlepas dari kelompok obyek tersebut. Maka, dapat
dikatakan bahwa serial codes secara unik mengidentifikasikan
suatu obyek. Keuntungan utama dari pengkodean ini adalah
kemudahan untuk menambahkan item baru dan juga
pengkodean ini ringkas dan padat.
27
2. Block sequence codes
Pengkodean dengan block sequence memberikan satu blok
dari nomor-nomor sebagai suatu kategori khusus dari sebuah
obyek. Kelompok utama dari obyek dalam suatu kategori
harus ditentukan dan disertai dengan satu blok dari nomor-
nomor untuk masing-masing nilai dari kelompok tersebut.
Keuntungan dari pengkodean ini adalah dalam memberikan
nilai mnemonic (mudah diingat). Kesulitan yang dihadapi
adalah dalam menentukan ukuran atau panjang dari kode.
3. Hierarchical codes
Hierarchical codes membutuhkan pemeliharaan
serangkaian nilai kelompok dari suatu obyek yang akan
dikodekan dan diurutkan berdasarkan tingkat kepentingannya.
Hierarchical codes lebih berarti dibanding serial atau block
sequence karena pengkodean ini mendeskripsikan lebih
banyak kelompok dari obyek.
4. Association codes
Dengan association codes, kelompok dari obyek yang
akan diberi kode dipilih, dan kode yang unik diberikan untuk
masing-masing nilai dari kelompok tersebut. Kode tersebut
dapat berupa numerik, alphabet atau alfanumerik. Association
codes mempunyai nilai mnemonic yang tinggi. Pengkodean ini
lebih cenderung salah jika tidak ringkas atau terdiri dari
banyak campuran alphabet atau karakter numerik.
28
Menurut Weber (1999, p433), dasar-dasar yang perlu
diperhatikan untuk penilaian dari pengkodean data yaitu :
1. Panjang dari kode
Kode yang lebih panjang lebih mudah salah, maka
pengkodean tersebut dikelompokkan dalam bagian-bagian kecil
dengan memberikan hypen (-), slash (/), atau spasi untuk
mengurangi kesalahan.
2. Penggabungan alphabet dan numerik
Pengkodean dengan menggunakan penggabungan alphabet
dan numerik dilakukan dengan mengelompokkan kedalam
bagiannya masing-masing untuk mengurangi tingkat kesalahan.
Selain itu juga membantu dalam pemasukkan kode.
3. Pilihan dari karakter
Pilihan dalam penggunaan karakter juga harus diperhatikan
terutama karakter yang memiliki kemiripan dengan huruf atau
angka.
4. Penggunaan huruf besar dan huruf kecil
Pemakaian huruf besar dan kecil secara bersamaan akan
memperlambat pemasukan dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya kesalahan. Demikian juga dengan penggunaan
karakter spesial serta bantuan tombol shift sebaiknya
dihindarkan.
5. Urutan karakter yang dapat diperkirakan
29
Penggunaan urutan karakter yang sudah umum lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan urutan yang tidak umum.
e. Pengecekan digit (check digit)
Menurut Weber (1999, p436), check digit adalah suatu digit
redundan yang ditambahkan untuk memungkinkan ketepatan dari
karakter lainnya dalam kode yang dicek. Check digit dapat berada
pada awalan, akhiran atau ditengah-tengah kode. Ketika kode
dimasukkan, sebuah program mengkalkulasi ulang check digit
untuk menentukan mereka adalah sama, maka kemungkinan besar
kode itu benar. Jika mereka berbeda, kode tersebut kemungkinan
salah.
f. Pengendalian batch
Menurut Weber (1999, p439), batching adalah proses
pengelompokkan transaksi yang memiliki hubungan satu dengan
lainnya. Menurut Weber (1999, p439), ada dua tipe batch yang
digunakan yaitu physical batch dan logical batch. Physical batch
adalah kelompok transaksi yang terdiri dari unit physical. Logical
batch adalah kelompok transaksi yang disatukan atas dasar
persamaan logical.
Penilaian terhadap pengendalian batch dapat dilakukan
dengan mengacu pada :
a. Batch cover sheet
Menurut Weber (1999, p439), batch cover sheet terdiri dari:
30
1. Nomor batch yang unik
2. Total pengendalian untuk batch
3. Data yang umum dari berbagai transaski dalam batch
4. Tanggal ketika batch dipersiapkan
5. Informasi dari kesalahan yang terdeteksi dalam batch
6. Tanda tangan dari personil yang bertanggung jawab dalam
penanganan batch.
b. Batch control register
Menurut Weber (1999, p439), a batch control register records
the transit of physical batches between various location within
an organization. Artinya batch control register merekam
perpindahan physical batch antara berbagai lokasi dalam suatu
organisasi.
g. Validasi dari data input
Menurut Weber (1999, p443-445), ada empat tipe untuk
validasi data input:
a. Field checks
Validasi yang dilakukan tidak tergantung pada nilai dari
field yang lain pada record input.
b. Record checks
Validasi yang dilakukan bergantung pada field lain dari
record input.
c. Batch checks
31
Validasi yang dilakukan dengan memeriksa kesamaan
karakteristik batch dari record yang akan dimasukkan
dengan record batch yang sudah tercatat.
d. File checks
Validasi yang digunakan dengan memeriksa kesamaan
karakteristik dari file yang digunakan dengan karakteristik
file yang sudah terekam.
h. Instruksi Input
Dalam memasukkan instruksi ke dalam sistem aplikasi sering
terjadi kesalahan karena adanya instruksi yang bervariasi dan
kompleks, sehingga perlu menampilkan pesan kesalahan. Pesan
kesalahan yang ditampilkan harus dikomunikasikan pada user
dengan lengkap dan jelas.
Menurut Weber (1999, p446), ada enam cara untuk
memasukan instruksi ke dalam sistem informasi :
a. Menu driven languages
Sistem menyajikan serangkaian pilihan kepada user dan user
dapat memilih dengan beberapa cara, yaitu dengan mengetikan
angka atau huruf yang mengidentifikasi pilihan mereka,
meletakan kursor pada pilihan kemudian menekan tombol enter
atau dengan mengklik mouse, menggunakan light pen atau
touch screen.
b. Question-answer dialog
32
Sistem aplikasi menyajikan pertanyaan tentang nilai dari
beberapa item data dan user menanggapinya.
c. Command languages
Membutuhkan user untuk memberikan perintah tertentu dalam
meminta beberapa proses dan sekumpulan argumen yang secara
spesifik memberitahukan bagaimana proses tersebut seharusnya
dijalankan.
d. Form based languages
Membutuhkan user untuk memberikan perintah dan data
tertentu yang terdapat dalam form input dan output.
e. Natural languages
User memberikan instruksi pada sistem aplikasi melalui
recognition device.
f. Direct manipulation interface
User memasukan instruksi dalam sistem aplikasi melalui
manipulasi langsung obyek pada layar.
Menurut Weber (1999, p420-421), pengendalian terhadap
input sangat penting dilakukan karena:
1. Pada banyak sistem informasi subsistem input mempunyai
jumlah pengendalian yang paling banyak.
2. Aktivitas subsistem input melibatkan rutinitas dan intervensi
manusia secara terus menerus sehingga cenderung menimbulkan
kesalahan.
33
3. Subsistem input merupakan sasaran dari tindak kejahatan yang
meliputi penambahan, penghapusan, dan pengubahan transaksi
input.
3. Output Control
Menurut Gondodiyoto (2003, p145), Pengendalian output
merupakan pengendalian intern untuk mendeteksi jangan sampai
informasi yang disajikan tidak akurat, tidak lengkap, tidak up-to-date
(mutakhir) datanya, atau didistribusikan kepada orang-orang yang
tidak berwenang. Berdasarkan sifatnya metode output control terdiri
dari tiga jenis, yaitu:
1. Preventive Objective. Misalnya dengan menggunakan tabel
laporan yang terdiri dari jenis laporan, periode laporan, tanda
terima konfirmasi, siapa penggunanya, prosedur permintaan
laporan.
2. Detection Objective. Misalnya perlunya dibuat nilai-nilai
subtotal dan total yang dapat diperbandingkan untuk
mengevaluasi keakurasian laporan.
3. Corrective Objective. Misalnya tersedianya help desk dan
contact person.
2.8 Penjualan Konsinyasi
2.8.1 Pengertian Penjualan Konsinyasi
34
Menurut Hadori Yunus dan Harnanto (1999, p141) penjualan konsinyasi
adalah perpindahan hak milik atas suatu barang dari pengamanat kepada pihak ketiga
apabila komisioner telah berhasil menjual barang kepada pihak ketiga.
Menurut Utoyo Widayat dan Sugito Wibowo (1991, p107) penjualan
konsinyasi adalah perpindahan hak milik barang dari pihak pengamanat apabila
komisioner telah menjual barang kepada pihak lainnya.
Dengan deminkian dapat disimpulkan bahwa penjualan konsinyasi adalah
proses perpindahan hak milik barang dari pengamanat kepada pelanggan dengan
ketika komisioner telah melakukan penjualan barang tersebut kepada pelanggan.
2.8.2 Karakteristik Penjualan Konsinyasi
Menurut Hadori Yunus dan Harnanto (1999, p141) terdapat 4 hal yang pada
umumnya merupakan karakteristik dari transaksi konsinyasi itu, yang sekaligus
merupakan perbedaan perlakuan akuntansinyanya dengan transaksi penjualan, yaitu:
1. Karena hak milik atas barang-barang masih berada pada pengamanat,
maka barang-barang konsinyasi harus dilaporkan sebagai persediaan oleh
pengamanat. Barang-barang konsinyasi tidak boleh diperhitungkan
sebagai persediaan oleh komisioner.
2. Pengiriman barang-barang konsinyasi tidak mengakibatkan timbulnya
pendapatan dan tidak boleh dipakai sebagai kriteria untuk mengakui
timbulnya pendapatan, baik bagi pengamanat maupun bagi komisioner
sampai saat barang dapt dijual kepada pihak ketiga.
3. Pihak pengamanat sebagi pemilik tetap bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap semua biaya yang berhubungan dengan barang-barang
35
konsinyasi sejak saat pengiriman sampai dengan saat komisioner berhasil
menjualnya kepada pihak ketiga. Kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian di antara kedua belah pihak yang bersangkutan.
4. Komisioner dalam batas kemampuan mempunyai kewajiban untuk
menjaga keamanan dan keselamatan barang-barang komisi yang
diterimanya itu. Oleh sebab itu administrasi yang tertib harus
diselenggarakan sampai dengan saat ia berhasil menjual barang tersebut
kepada pihak ketiga.
2.9 Pengertian Retur Penjualan Konsinyasi
Menurut Utoyo Widayat dan Sugito Wibowo (1999, p118), retur penjualan
konsinyasi adalah pengembalian barang dari komisioner yang diakibatkan barang
tersebut rusak, catat dan lain-lain (misal:barang tidak laku terjual).
Dapat disimpulkan, bahwa retur penjualan konsinyasi adalah proses
pengembalian barang dari komosioner yang dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
antara lain rusak dan cacat.
2.10 Alasan-alasan Mengadakan Perjanjian Konsinyasi
Menurut Hadori Yunus dan Harnanto (1999, p142) terdapat beberapa alasan bagi
pengamanat untuk mengadakan perjanjian konsinyasi, yaitu :
1. Konsinyasi merupakan suatu cara untuk lebih memperluas pasaran yang
dapat dijamin oelh seorang produsen, pabrikan, atau distributor, terutama
apabila :
36
a. Barang-barang yang bersangkutan baru diperkenalkan, permintaaan
produk tertentu dan belum terkenal
b. Penjualan pada masa-masa yang lalu dengan melalui dealer tidak
menguntungkan.
c. Harga barang menjadi mahal dan membutuhkan investasi yang
cukup besar bagi dealer apabila ia harus membeli barang-barang
yang bersangkutan.
2. Resiko-resiko tertentu dapat dihindarkan oleh pengamanat. Barang-
barang konsinyasi tidak ikut disita apabila terjadi kebangkrutan pada diri
komisioner. Jadi lain sifatnya dengan perjanjian keagenan atau dealer.
3. Mungkin pengamanat ingin mendapatkan penjual khusus (specialist)
dalam perdagangan barang-barangnya, terutama untuk ternak, hasil
pertanian, dan lain-lain.
4. Harga eceran barang-barang yang bersangkutan tetap dapat dikontrol oleh
pengamanat; demikian pula terhadap jumlah barang-barang yang siap
dipasarkan dan stock barang-barang tersebut.
Sedangkan bagi komisoner menerima perjanjian konsinyasi, karena:
1. Komisoner dilindungi dari kemungkinan resiko gagal untuk
memasarkan barang-barang tersebut atau keharusan menjual dengan
rugi.
2. Resiko rusaknya barang dan adanya fluktuasi harga dapat
dihindarkan.
3. Kebutuhan akan modal kerja dapat dikurangi, sebab adanya barang-
barang konsinyasi yang diterima atatu dititipkan oleh pengamanat.
37
2.11 Sifat Konsinyasi
Menurut Drebin (1995, p158) adapun sifat konsinyasi yaitu ditilik dari sudut
hukum, penyerahan barang ini disebut sebagai penitipan, dimana pihak konsinyi
memegang barang ini untuk dijual seperti yang dirinci dalam persetujuan yang dibuat
antara konsinyor dan konsinyi. Konsinyor menetapkan konsinyi sebagai yang
bertanggung jawab atas barang-barang yang diserahkan kepada sampai barang-barang
itu terjual kepada pihak ketiga. Atas penjualan barang-barang ini, pihak konsinyasi
menetapkan penyerahan hak atas barang-barang ini dan juga hasil penjualannya.
Sebaliknya, pihak konsinyi tidak dapat menganggap barang-barang itu sebagai miliknya;
ia pun tidak mempunyai kewajiban kepada pihak konsinyor selain daripada
pertanggungjawabannya atas barang-barang yang diserahkan kepadanya. Hubungan
antara pihak konsinyor dan agen penjual, dan undang-undang keagenan mengatur
penetapan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
2.12 Keuntungan Penjualan Konsinyasi oleh Pengamanat dan Komisioner
Menurut Utoyo Widayat dan Sugito Wibowo(1999, p126) pengamanat lebih
suka untuk menjual barangnya kepada agen atas dasar sistem konsinyasi dengan alas an-
alasan sebagai berikut:
1. Memperluas daerah pemasaran suatu produk oleh pengamanat
(consignor) yang disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
2. Produk-produk yang beraneka ragam dari pengamanat, dapat diserahkan
kepada suatu agen yang mempunyai kekhususan dalam pengalaman
penjualan produk tertentu.
38
3. Pengamanat dapat mengendalikan (mengontrol) harga jual dari agen
(penerima barang konsinyasi). Hal ini dimungkinkan karena agen hanya
menjual dengan harga yang telah ditetapkan oleh pengamanat dan agen
hanya menerima komisi atas penjualan tersebut, tanpa mengambil
keuntungan dari harga jual barang konsinyasi.
Komisioner bersedia untuk menerima barang dari pengamanat atas dasar system
konsinyasi dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Tidak memerlukan modal untuk membeli barang dan memelihara barang
tersebut, karena beban ini umumnya ditanggung oleh pengamanat.
2. Menghindari kerugian, jika terdapat fluktuasi harga dan barang-barang
yang cepat rusak (perishable goods).
3. Menghilangkan resiko atas tidak terjualnya barang, misalnya barang
tersebut adalah barang yang baru diperkenalkan pada masyarakat umum
atau barang yang baru diperkenalkan pada suatu daerah pemasaran
tertentu.
2.13 Kontrak Perjanjian dari Penjualan Konsinyasi
Menurut Utoyo Widayat dan Sugito Wibowo (1999,p126), isi dari kontrak
perjanjian antara pengamanat dan komisioner antara lain:
1. Beban-beban pengeluaran komisioner yang akan ditanggung oleh
pengamanat, misalkan seperti beban pengangkutan , beban reparasi,
beban kuli, beban sewa gudang dan lain sebagainya.
2. Kebijaksanaan harga jual dan syarat kredit yang harus dijalankan oleh
komisioner atas instruksi dari pengamanat.
39
3. Komisi atau keuntungan yang akan diberikan oleh pengamanat kepada
komisioner.
4. Laporan pertanggungjawaban oleh komisioner kepada pengamanat
(account sales) yang dilakukan secara berkala atas barang-barang yang
sudah terjual dan pengiriman uang hasil penjualan tersebut.
5. After sales service (garansi) yang harus ditanggung oleh pengamanat atas
barang-barang yang telah dijual oleh komisioner.
6. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh kedua belah pihak.
2.14 Ayat-ayat Jurnal untuk Penjualan Konsinyasi
Hak milik dari barang-barang yang dijual dengan system konsinyasi tetap masih
berada pada pihak pengmanat sampai barang-barang tersebut terjual oleh komisioner.
Dengan demikian pada saat pengiriman barang-barang konsinyasi, pihak pengamanat
tidak mencatatnya sebagai penjualan, begitu pun bagi pihak komisioner tidak
mencatatnya sebagai penjualan barang dagangan.
Menurut Utoyo Widayat dan Sugito Wibowo (1999, p128), pada dasarnya
akuntansi penjualan dengan sistem konsinyasi dapat dibedakan menjadi 2 metode,
tergantung dari apakah :
1. Transaksi penjualan konsinyasi dan laba/rugi atas penjualan konsinyasi
dicatat secara terpisah dengan penjualan biasa.
2. Transaksi penjualan konsinyasi dan laba/rugi atas penjualan konsinyasi
digabungkan dengan penjualan biasa.
Ayat jurnal penjualan konsinyasi bagi pihak pengamanat adalah sebagai berikut :
40
1. Laba/rugi penjualan konsinyasi dicatat secara terpisah dengan penjualan
biasa dengan metode pencatatan persediaan perpetual
Pengiriman barang dagang konsinyasi :
Konsinyasi Keluar xxx
Persediaan barang dagangan xxx
Pembayaran biaya angkut oleh pengamanat :
Konsinyasi Keluar xxx
Kas xxx
Pembayaran biaya untuk penjualan barang konsinaysi :
Tidak ada jurnak sampai ada pemberitahuan dari komisioner
Penjualan barang dagangan konsinyasi :
Tidak ada jurnal
Pemberitahuan penjualan dan beban serta pengiriman uang penyelesaian
perhitungan :
Kas xxx
Konsinyasi Keluar xxx
Konsinyasi Keluar xxx
(Mencatat laporan penjualan barang konsinyasi dan penerimaan uang)
Konsinyasi Keluar xxx
Laba/Rugi penjualan konsinyasi xxx
2. Laba/rugi penjualan konsinyasi dicatat secara terpisah dengan penjualan
biasa dengan metode pencatatan persediaan periodik (fisik)
Pengiriman barang dagang konsinyasi :
41
Konsinyasi Keluar xxx
Persediaan barang konsinyasi xxx
Pembayaran biaya angkut oleh pengamanat :
Konsinyasi Keluar xxx
Kas xxx
Pembayaran biaya untuk penjualan barang konsinaysi :
Tidak ada jurnal sampai ada pemberitahuan dari komisioner
Penjualan barang dagangan konsinyasi :
Tidak ada jurnal
Pemberitahuan penjualan dan beban serta pengiriman uang penyelesaian
perhitungan :
Kas xxx
Konsinyasi Keluar xxx
Konsinyasi Keluar xxx
(Mencatat laporan penjualan barang konsinyasi dan penerimaan uang)
Konsinyasi Keluar xxx
Laba/Rugi penjualan konsinyasi xxx
(Mencatat laba penjualan konsinyasi)
3. Laba/rugi penjualan konsinyasi dicatat secara tidak terpisah dengan
penjualan biasa dengan metode pencatatan persediaan perpetual
Pengiriman barang dagang konsinyasi :
Persediaan barang konsinyasi xxx
Persediaan barang dagang xxx
Pembayaran biaya angkut oleh pengamanat :
42
Beban pengakutan masuk xxx
Kas xxx
Pembayaran biaya untuk penjualan barang konsinaysi :
Tidak ada jurnal sampai ada pemberitahuan dari komisioner
Penjualan barang dagangan konsinyasi :
Tidak ada jurnal
Pemberitahuan penjualan dan beban serta pengiriman uang penyelesaian
perhitungan :
Kas xxx
Beban lain-lain konsinyasi xxx
Beban komisi xxx
Penjualan xxx
(Mencatat laporan penjualan barang konsinyasi)
Harga pokok penjualan xxx
Persediaan barang konsinyasi xxx
(Mencatat harga pokok penjualan barang konsinyasi)
Harga pokok penjualan xxx
Beban pengangkutan masuk xxx
(Mencatat beban pengangkutan masuk yang menambah harga pokok
penjualan)
4. Laba/rugi penjualan konsinyasi dicatat secara tidak terpisah dengan
penjualan biasa dengan metode pencatatan persediaan periodik (fisik)
Pengiriman barang dagang konsinyasi :
Memorandum
43
Pembayaran biaya angkut oleh pengamanat :
Beban pengakutan masuk xxx
Kas xxx
Pembayaran biaya untuk penjualan barang konsinaysi :
Tidak ada jurnal sampai ada pemberitahuan dari komisioner
Penjualan barang dagangan konsinyasi :
Tidak ada jurnal
Pemberitahuan penjualan dan beban serta pengiriman uang penyelesaian
perhitungan :
Kas xxx
Beban kuli xxx
Beban komisi xxx
Penjualan xxx
(Mencatat laporan penjualan barang konsinyasi)
2.15 Persediaan
Menurut Mulyadi (2001, p553) persediaan dalam perusahaan dagang hanya terdiri
dari satu golongan, yaitu persediaan barang dagangan, yang merupakan barang yang
dibeli untuk tujuan dijual kembali.
Dengan demikian persediaan dalam perusahaan dagang adalah barang yang dibeli
oleh perusahaan untuk tujuan dijualkan kembali kepada pihak lain, dengan
mencatatkannya pada dokumen pencatatan persediaan dimana dokumen itu akan
digunakan sebagai bukti pencatatan apabila barang persediaan perlu dibeli kembali
Menurut Warren dan Fess (2002, edisi 21) persediaan adalah :
44
1. barang dagang yang disimpan untuk kemudian dijual dalam operasi bisnis
perusahaan
2. bahan yang digunakan dalam proses produksi atau yang disimpan untuk
tujuan itu.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan persediaan :
1. aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal
2. aktiva dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan
3. aktiva dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan
dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Persediaan meliputi barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual kembali,
misalnya, barang dagang dibeli oleh pengecer untuk dijual kembali, atau pengadaan
tanah dan property lainnya untuk dijual kembali. Persediaan juga mencakupi barang jadi
yang telah diproduksi, atau barang dalam penyelesaian yang sedang diproduksi
perusahaan dan termasuk bahan serta perlengkapan yang akan digunakan dalam proses
produksi.