bab 2 ekstraksi dan karakterisasi selulosa kulit … · senyawa yang mengikat satu serat dengan...
TRANSCRIPT
7
BAB 2 EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SELULOSA KULIT
ROTAN DENGAN METODA FERMENTASI
Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam terbarukan yang melimpah
yaitu tanaman yang mengandung serat yang sangat besar beserta limbah biomassa
pertanian. Tanaman serat menghasilkan serat alami yang tersusun atas selulosa
dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersil yaitu sebagai bahan baku industri.
Pemanfaatan tanaman serat dibeberapa negara telah lama dilakukan dan
merupakan salah satu perintis industri pengolahan. Kemajuan teknologi telah
memungkinkan manusia untuk memanfaatkan serat sintetis dari polimer rantai
panjang sehingga pemanfaatan serat sintetis tersebut telah mengurangi
penggunaan tanaman serat. Hal ini dikarenakan serat sintetis yang dihasilkan
memiliki sifat seperti serat alami sedangkan penggunaan serat alami dalam jumlah
besar menemukan kendala dalam budidaya serta kualitas yang tidak seragam.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi menghasilkan selulosa adalah
tanaman rotan. Batang rotan adalah hasil utama dari pertanian rotan sedangkan
kulit rotan merupakan limbah padat yang banyak mengandung selulosa (Sisworo
2009). Serat yang berasal dari kulit rotan merupakan sumber penghasil serat alami
baru yang dapat dimanfaatkan selain tanaman penghasil serat lain seperti kapas,
kenaf, rami dan lainnya. Selain berharga murah dan belum banyak dimanfaatkan,
kulit rotan mengandung selulosa yang dapat diekstrak dengan menghilangkan
jaringan non selulosa melalui proses fermentasi. Sampai saat ini pemanfaatan
kulit rotan masih relatif terbatas yaitu dibakar, digunakan sebagai tali yang dijual
di pasar, dan dimanfaatkan sebagai atap rumah petani rotan. Pembakaran kulit
rotan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan dan pemanfaatan kulit
rotan ini masih dapat dioptimalkan sebagai serat alam pengganti serat sintetis.
Serat digunakan secara luas dalam berbagai macam industri diantaranya
industri tekstil, material konstruksi, peralatan olah raga, dan komponen eksterior
dan interior alat transportasi. Konsumsi serat sintetik dunia mencapai 150 juta ton
per tahun (Lampiran 14). Selama lima tahun terakhir, kebutuhan akan polimer di
8
Indonesia mengalami peningkatan 10% salah satunya untuk industri otomotif
(Lampiran 14). Di Indonesia tiga industri manufaktur sepeda motor terbesar
tercatat tahun 2010 memproduksi 6.217.087 unit motor dan tahun 2011
memproduksi 9.319.516 unit (Lampiran 1) dengan eksterior komponen
penyusunnya adalah serat sintetis dan polimer. Seiring dengan naiknya harga serat
sintetik akibat persediaan bahan bakar yang terbatas dan naiknya harga minyak
mentah dunia menjadikan masyarakat menyadari untuk memilih material yang
ramah lingkungan. Material serat alam kembali dipilih untuk menggantikan serat
sintetis. sehingga bahaya dari pemanasan global dapat dikurangi.
Penelitian rotan yang merupakan serat alam non kayu sebagai bahan
penguat polimer telah banyak diteliti. Jasni (1999), menyatakan bahwa batang
rotan memiliki sifat mekanik MOE 10 kg cm-2 dan MOR 421 kg cm-2 dengan
berat jenis 0.5. Menurut Jasni (2006), ditinjau dari sifak morfologi dan komposisi
kimia batang rotan berjenis semambu memiliki kandungan serat mencapai 60%
dengan komposisi kimia yang meliputi selulosa 37.36%, lignin 22.19%,
holoselulosa 70.07%, dan bahan lainnya 21.35%. Sementara itu Sisworo (2009),
telah meneliti aplikasi biokomposit berserat kulit rotan dalam bentuk anyaman
sebagai penguat polimer pada bodi kapal laut dengan hasil kekuatan tekuk 3 kg
mm-2 dan kekuatan tarik 2.1 kg mm-2
Serat alam berukuran nano merupakan material baru yang dapat digunakan
sebagai bahan penguat polimer pada komposit sehingga kualitas komposit
meningkat. Untuk menghasilkan serat berukuran nano dengan karakterisik yang
optimal, diperlukan informasi data terkait karakteristik struktur mikro,
penggolongan fasa, komposisi unsur penyusun dan kristalografi dari selulosa kulit
rotan yang belum pernah diteliti sebelumnya. Untuk itu diperlukan suatu
teknologi dan metode yang dapat memisahkan jaringan nonselulosa tanpa
merusak selulosa itu sendiri yaitu ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda
fermentasi fungi Aspergillus niger. Penelitian sebelumnya menggunakan
fermentasi Aspergilus niger pada media cair serat kudzu telah dilakukan oleh
CREATA IPB (2008). Busairi (2009), menggunakan Aspergillus niger untuk
fermentasi padat limbah kulit umbi ubi kayu dan hasilnya adalah mendapatkan
yield protein maksimum 36.78% pada produksi pakan ternak. Syamsuriputra
.
9
(2006), menggunakan fermentasi Aspergillus niger untuk produksi asam sitrat dari
ampas tapioka.
Sementara itu penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah kulit rotan
dalam bentuk serat panjang, pendek dan nanopartikel sebagai penguat komposit
berbasis polimer belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian
limbah kulit rotan yang diekstrak menjadi selulosa dengan metoda fermentasi
dapat memberikan informasi karakteristik data dasar pada struktur mikro.
Karakterisasi ini memiliki peran yang penting terhadap proses selanjutnya yaitu
produksi nanopartikel serat kulit rotan metoda ultrasonikasi dan bionanokomposit
dengan metoda injeksi molding pada aplikasi industri komponen sepeda motor.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan selulosa kulit rotan dengan
rendemen optimum dalam bentuk serat pendek atau panjang dengan metoda
fermentasi padat kapang Aspergillus niger dengan mendapatkan suatu kondisi
proses yang optimum pada variasi waktu dan jumlah spora selama proses
fermentasi.
Selulosa yang dihasilkan dapat memberikan informasi data dasar
karakteristik struktur mikro, fasa, komposisi unsur penyusun, kristalografi, dan
kerapatan. Data karakterisasi yang didapatkan akan digunakan sebagai masukan
pada proses sintesa nanopartikel dan penerapan aplikasinya yaitu sebagai penguat
pada bionanokomposit.
Hipotesis
Proses fermentasi padat dengan Aspergillus niger pada variasi waktu dan
jumlah spora yang optimal, diharapkan dapat membentuk enzim yang dapat
menghancurkan atau memisahkan jaringan tanaman non selulosa dan kandungan
asli serat dapat dipertahankan. Selulosa kulit rotan yang dihasilkan melalui
bioproses ini juga diharapkan memiliki densitas yang kecil, berstruktur kristal,
dengan unsur penyusun utama C, H, O dan beberapa unsur pendukung yaitu
mikro dan makro nutrien sebagai penguat selulosa.
10
Tinjauan Pustaka
Rotan Rotan merupakan palem berduri dan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari
bahasa melayu "raut" yang berarti mengupas atau menguliti (Gambar 2.1). Tanaman ini
berjenis famili Palmae yang tumbuh memanjat (Lepidocaryodidae). Struktur anatomi
tanaman rotan yaitu tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dan memiliki sistem perakaran
serabut (Gambar 2.1). Penampang lintang rotan dapat dipisahkan menjadi tiga
bagian yaitu kulit, kortek dan bagian tengah batang. Bagian kulit terbagi atas dua
macam lapisan yaitu epidermis sebagai lapisan terluar dan endodermis di lapisan
dalam. Lapisan epidermis adalah lapisan yang sangat keras, sel-selnya tidak
berlignin dan lapisan dinding tangensialnya mengandung endapan silika yang
dilapisi oleh lilin dan tebalnya mencapai 70 mikron (Tellu 2008).
Gambar 2.1 Struktur monokotil.
Rotan yang akan dipanen adalah rotan yang masak tebang, dengan ciri-ciri
bagian bawah batang sudah tidak tertutup lagi oleh daun kelopak atau selundang,
sebagian daun dan duri sudah mengering (rontok) (Gambar 2.2). Pemanenan rotan
dilakukan dengan menebang pangkal rotan dengan pengkaitnya setinggi 10
sampai 50 cm. Rotan yang tumbuh soliter hanya dipanen sekali dan tidak
beregenerasi dari tunggul yang terpotong, sedangkan rotan yang tumbuh
berumpun dapat dipanen terus-menerus (Tellu 2008).
Phloem
Epidermis Vascular bundle
Ground tissue system
Pembuluh angkut
Epidermis
Xilem
Floem
Empulur
Serabut xilem
11
a b
Gambar 2.2 Tanaman rotan (a) dan batang rotan (b).
Struktur anatomi batang dan kulit rotan yang berhubungan erat dengan
keawetan dan kekuatan rotan antara lain adalah komponen kimia, besar pori dan
tebalnya dinding sel serabut (Tabel 2.1). Menurut Tellu (2005), sel serabut
diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan.
Demikian juga menurut Mudyantini (2008), bahwa tebal dinding sel serabut
merupakan parameter anatomi yang paling penting dalam menentukan kekuatan
selulosa, dinding sel-sel serabut yang lebih tebal membuat selulosa manjadi lebih
keras dan menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis (Tabel 2.2).
Tabel 2.1 Kandungan kimia beberapa jenis batang rotan
Nama Holoselulosa (%)
Selulosa (%)
Lignin (%)
Tanin (%)
Pati (%)
Sampang (K. junghunii Miq) Bubuay (P. elongata Becc) Seuti (C. ornathus Bl) Semambu (C. scipionum B) Tretes (D. heteroides Bl) Balubuk (C. burchianus B) Batang (C. zolineri Becc) Galaka (C. Spp) Tohiti (C. inops Becc) Manau (C. manan Miq)
71.49 42.89 24.41 8.14 19.62 73.84 40.89 16.85 8.88 23.57 72.69 39.19 13.35 8.56 21.82 70.07 37.36 22.19 - 21.35 72.49 41.72 21.99 - 21.15 73.34 42.35 24.03 - 20.85 73.78 41.09 24.21 - 20.61 74.38 44.19 21.45 - 19.40 74.42 43.28 21.34 - 18.57 71.45 39.05 22.22 - 18.50
Sumber: Jasni 2006.
Kulit rotan adalah material yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan
α-1,4-glikosida (Gambar 2.3). Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling
menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul
12
selulosa ditentukan oleh jumlah monomer di dalam polimer (derajat
polimerisasi/DP). DP selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya
dalam kisaran 200-27.000 unit glukosa. Selulosa dapat disenyawakan
(esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat, dan asam
fosfat. molekul-molekul selulosa yang terdapat pada tiap lapisan mempunyai
susunan arah melingkar yang berbeda. Dinding serat dapat dibedakan menjadi 2
yaitu dinding primer yang merupakan lapisan paling luar dari serat dan dinding
sekunder yaitu lapisan dibawah dinding primer.
Tabel 2.2 Data pengujian sifat fisis dan mekanis batang rotan
Jenis Kadar air basah (%)
Kadar air udara (%) BJ MOE
(kg/cm2MOR (kg/cm) 2
Panjang ruas (cm) )
Tinggi buku (cm)
Seuti 142.22 13.76 0.511 17.089 441.96 20.76 0.31 Balubuk 167.11 13.87 0.500 14.585 431.61 32.15 0.39 Karokok 137.17 14.10 0.470 15.423 453.12 24.47 0.26 Semambu 138.80 14.25 0.490 10.017 421.16 37.20 0.23 Manau 105.00 - 0.550 19.800 734.00 - 0.16 Sampang 84.32 18.19 0.580 22.00 834.00 - -
Sumber: Jasni dan Supriana 1999.
Selulosa memiliki 3 fasa yaitu α-Cellulose, β-Cellulose dan γ-Cellulose. α-
Cellulose adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam NaOH, larutan basa
kuat dengan DP 600 – 1500, dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat
kemurnian selulosa. β-Cellulose merupakan selulosa berantai pendek, larut dalam
NaOH atau basa kuat dan dapat mengendap bila dinetralkan sedangkan γ-
Cellulose adalah selulosa dengan derajat polimerisasi lebih kecil dari β selulosa.
Selulosa α adalah kualitas selulosa yang paling tinggi (murni) dan memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan bahan
peledak. Sedangkan selulosa β dan γ digunakan sebagai bahan baku industri
kertas, industri tekstil dan komponen alat olah raga (Pari 2011).
Gambar 2.3 Skema selulosa.
13
Lignin merupakan bagian dari lamela tengah dan dinding sel yang berfungsi
sebagai perekat antar sel, merupakan senyawa aromatik berbentuk amorf. Lignin
berwarna putih bersifat kaku dan rapuh. molekul kompleks yang tersusun dari unit
phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi (Gambar 2.4).
Material dengan kandungan karbon yang relatif tinggi serta memiliki energi tinggi
(dalam biomassa), namun sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi,
enzimatis, maupun kimia. Setiap materi kayu dan bukan kayu bila dilihat di
mikroskop, terlihat serat-seratnya yang melekat satu dengan yang lainnya.
Senyawa yang mengikat satu serat dengan serat lainnya disebut lignin. Dari
penampang melintang serat mempunyai dinding dan lubang tengah yang disebut
lumen (Achyuthan 2010).
Gambar 2.4 Struktur lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada tanaman (Achyuthan
2010).
Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, terdiri dari monomer
gula berkarbon dan jika dihidrolisis akan menghasilkan D-manova, D-galaktosa,
D-Xylosa, L-arabinosa dan asam uranat (Gambar 2.5). Holoselulosa adalah bagian
dari serat yang bebas dari lignin, terdiri dari campuran selulosa dan hemiselulosa.
Tanin merupakan nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri
dari senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500 - 3000, dapat bereaksi
dengan protein membentuk senyawa komplek dan dalam fermentasi dapat
menyebabkan atau meninggalkan pengendapan protein. Sementara itu pati adalah
Lignin Lignin
Ikatan pada dinding sel
peroxidase laccase (β glucosidase)
Lamela tengah
Dinding primer Dinding sekunder Membran plasma
Lignin Pektin Selulosa Hemiselulosa
14
cadangan karbohidrat utama pada tumbuhan tingkat tinggi, yaitu sekitar 70% dari
berat basah, berbentuk granula yang larut dalam air (Siqueira 2010).
Gambar 2.5 Skema dinding sel selulosa dan mikrofibril (Siqueira 2010).
Proses Pemisahan Serat
Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel dari
pohon dan tanaman tinggi lainnya. Selulosa merupakan bagian penyusun utama
jaringan tanaman berkayu. Selulosa terdapat pada setiap jenis tanaman, termasuk
tanaman semusim, tanaman perdu dan tanaman rambat bahkan tumbuhan paling
sederhana sekalipun seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Menurut
Rachmaniah (2009), selulosa ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai
microfibril dengan diameter 2 - 20 nm dan panjang 100 - 40000 nm (Gambar 2.5).
Selulosa merupakan β-1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat besar. Unit
ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang mengakibatkan
struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga menimbulkan ikatan
hidrogen secara intra dan inter molekul. Beberapa molekul selulosa akan
membentuk mikrofibril yang sebagian berupa daerah teratur (kristalin) dan
diselingi daerah amorf. Beberapa mikrofibril membentuk fibril yang akhirnya
Dinding sel
Mikrofibril
Kristal selulosa Molekul selulosa
Lapisan dari mikrofibril di dalam dinding sel tanaman
Glukosa Selulosa
Hemiselulosa
Kristal selulosa
Struktur mikrofibril
15
menjadi serat selulosa (Gambar 2.6). Selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi
dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Hal ini berkaitan dengan struktur
selulosa dan kuatnya ikatan hidrogen.
Gambar 2.6 Ilustrasi mikro dan makrofibril dalam selulosa (Rahmaniah 2009).
Pemisahan (ekstraksi) serat kulit rotan adalah salah satu tahap yang penting
dalam proses pembuatan bionanokomposit. Prinsip dasar dari pemisahan serat
adalah adanya mikroorganisme tertentu yang pada kelembapan tertentu dapat
membentuk enzim dan menghancurkan jaringan tanaman non selulosa.
Penghancuran bahan non selulosa dapat memisahkan bahan penyusun serat dari
jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis, sehingga memungkinkan serat
dapat diekstrak secara mekanik setelah dikeringkan (Muhiddin 2001).
Pada Gambar 2.1 terlihat penampang melintang batang monokotil, dimana
jaringan parenkim, kolenkima dan skerenkima merupakan daerah korteks.
Diantara jaringan pembuluh xylem dan floem terletak kambium. Serat terdapat
pada bagian skelenkima yang merupakan bagian daerah korteks sehingga untuk
mengambil serat dari bagian batang tanaman diperlukan 2 tahap pemisahan serat
yaitu memisahkan serat dari jaringan terluar tanaman yaitu epidermis dan jaringan
penyusun korteks lain. Tahap selanjutnya adalah memisahkan serat dari jaringan
terdalam yaitu jaringan pembuluh dan empulur.
Berdasarkan Syamsuriputra (2006), selulosa dapat diekstraksi oleh fungi,
Aspergillus niger (Gambar 2.7). Hal ini dikarenakan spesies ini termasuk fungi
berfilamen penghasil enzim lignoselulotik seperti enzim selulase, amylase dan
pektinase. Kapang Aspergilus niger mempunyai hifa berseptat dan spora yang
dihasilkan bersifat aseksual. Spora berbentuk globular dan kasar dengan
Selulosa
Lignoselulosa Hemiselulosa
lignin
Mikrofibril
Degradasi enzim
Makrofibril Serat selulosa
16
terdapatnya garis-garis pada permukaan yang berpigmen. Hifa terletak pada
bagian terendam dari substrat untuk menyerap unsur hara dan yang menghadap ke
permukaan berfungsi sebagai alat reproduksi. Mempunyai kepala pembawa
konidia yang besar dan bulat.
Dalam metabolismenya fungi ini dapat menghasilkan enzim yang dapat
menghancurkan jaringan tanaman non selulosa yang banyak mengandung pektin,
tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan, dapat tumbuh
dengan cepat dan dalam pertumbuhannya berhubungan langsung
dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana yang
terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang
lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan
menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler seperti amylase, pektinase, dan
selulase. Bahan organik dari substrat digunakan oleh fungi untuk
aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel, mobilitas sel, nutrien bagi
kultur, dan tempat penyimpanan air untuk mikroorganisme.
Gambar 2.7 Aspergillus niger pada perbesaran mikroskop optik.
Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan
fungi Aspergilus niger mempunyai beberapa fase, antara lain (Gambar 2.8) :
1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan pembentukan
enzim-enzim untuk mengurai substrat.
2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah
3. Fase eksponensial, merupakan fase yang penting bagi kehidupan fungi
karena aktivitas sel meningkat merupakan fase perbanyakan jumlah sel.
4. Fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah
Domain : Eukaryota Kerajaan : Fungi Filum : Ascomycota Upafilum : Pezizomycotina Kelas : Eurotiomycetes Ordo : Eurotiales Famili : Trichocomaceae Genus : Aspergillus Spesies : A. Niger Nama binomial : Aspergillus niger
17
5. Fase stasioner, yaitu fase garis lurus yang horizontal, dimana jumlah sel
yang bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang
6. Fase kematian yaitu jumlah sel-sel yang mati lebih banyak daripada sel-sel
yang masih hidup
Gambar 2.8 Pertumbuhan Aspergillus niger.
Aplikasi Selulosa dan Produk Turunannya
Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri adalah berupa serat kayu
dalam industri kertas dan karton. Pengunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil,
serat pada material bangunan dan perabot rumah tangga (Tabel 2.3). Untuk
aplikasi lebih luas, selulosa dapat diturunkan menjadi beberapa produk, antara lain
micro crystalline cellulose (mcc), carboxy methyl cellulose (cmc), methyl
cellulose dan hydroxypropyl methyl cellulose. Produk-produk tersebut
dimanfaatkan sebagai bahan emulsifier, stabilizer, dispersing agent dan gelling
agent. Fiber glass merupakan serat sintetis kaca cair yang ditarik menjadi serat
tipis dengan garis tengah 0.005 – 0.01 mm. Dalam aplikasinya serat ini digunakan
sebagai bahan penguat pada beberapa polimer yang dikenal dengan komposit
sintetis (glass-reinforced plastic) (Gambar 2.9).
Serat gelas banyak digunakan pada komponen berbagai alat transportasi
seperti interior mobil, luggage box sepeda motor dan body kapal. Serat gelas
diperoleh dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga harus
dilakukan penghematan. Material ini berbahan dasar minyak bumi (fosil), dan
beberapa logam lainnya. Minyak bumi ini juga akan meninggalkan residu dalam
proses produksinya. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui ini
Fase kematian
Fase eksponensial
Fase stationer
Fase lag
Fase akselerasi
Log x
Waktu
6
5 4
3
1
18
perlahan-lahan akan habis, sehingga diharapkan bagi setiap material baru atau
pengembangan dari material harus memiliki sifat-sifat yang sebanding dan
memiliki dampak kerusakan yang seminimal mungkin bagi lingkungan. Sumber
energi alternatif merupakan tantangan utama untuk para ilmuan dan perekayasa
material. Oleh karena itu serat kulit rotan dapat dijadikan alternatif sebagai serat
organik menggantikan fiber glass, bahan ini mudah diperoleh dapat
dibudidayakan, keberadaanya melimpah, dan dapat diperoleh sepanjang tahun.
Gambar 2.9 Serat sintetis fiber glass.
Tabel 2.3 Produksi serat alam
Serat alam Negara yang memproduksi Produksi dunia Biaya produksi Juta ton % Juta US$ %
Selulosa Kapas Cina, USA, India, Pakistan, Brazil 25.00 78.8 31.20 85.8 Jute India, Bangladesh 2.70 8.5 0.48 1.3 Flax Cina, Perancis, Belgia, Ukraine 0.08 0.2 0.43 1.2
Kenef Negara Asia 0.5 1.6 - - Coir Thailand, Malaysia 0.45 1.4 - - Sisal Brazil, Cina, Tanzania 0.3 0.9 0.08 0.2 Rami Cina 0.15 0.5 0.17 0.5 Abaca Pilipina, Equator 0.08 0.3 0.03 0.1 Hemp Rusia, Chile 0.09 0.3 0.003 0.1 Wool Austria, Cina, New Zealand 2.20 6.9 2.96 8.1 Silk Cina, India 0.14 0.4 0.98 2.7
Serat lain 0.03 0.1 - - Total 31.72 100 36.35 100
Sumber : Siqueira 2010.
19
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Terapan IPB, PTBIN
BATAN PUSPIPTEK Tangerang dan Laboratorium Terpadu UGM Yogyakarta.
Waktu penelitian pada bulan November 2010 sampai dengan April 2011.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit rotan segar
jenis semambu yang diperoleh dari desa Madu Sari Pontianak Kalimantan Barat,
biakan spora kapang Aspergillus niger diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB, aquadest,
aluminium foil dan plastik klip.
Alat yang digunakan untuk ekstraksi serat dengan metode fermentasi dan
mekanik yaitu meliputi kompor, panci, kontainer, timbangan analitik, pisau, gelas
ukur, pengaduk, spatula, dan termokopel. Sementara itu peralatan yang digunakan
untuk pengujian kualitas serat yang dihasilkan menggunakan X Ray Diffraction
(XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), Electron Dispersive Spectroscopy
(EDS), Transmission Electron Microscope
Tahapan Penelitian
(TEM) dan peralatan uji kerapatan
Archimedes.
Proses ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda fermentasi
menggunakan fungi Aspergillus niger dapat berlangsung dalam media padat dan
cair. Dalam tahapan penelitian ini digunakan medium padat dengan kondisi atau
parameter yang diubah-ubah dalam setiap perlakukan dan pengulangan adalah
jumlah spora Aspergillus niger yaitu dengan 2 x 108 (cuplikan D1, E1), 3 x 108
(cuplikan D2, E2) dan 4 x 108 (cuplikan D3, E3) dengan waktu fermentasi tF
Prosedur percobaan diawali dengan menyiapkan kulit rotan dalam bentuk
segar (masak tebang). Kulit rotan yang masih dalam kondisi lunak dibersihkan
= 8
dan 10 hari (mengacu pada grafik pertumbuhan Aspergillus niger (Gambar 2.8).
Sementara itu cuplikan A, B dan C menggunakan variasi waktu 4, 5, dan 6 hari
dengan jumlah spora ½ dari cuplikan D (Tabel 2.4).
20
dari sisa-sisa kotoran tanah, debu, duri dan dipotong-potong menurut ukuran
panjang bukunya. Setelah kulit rotan bersih, kemudian ditimbang sebagai massa
awal, lalu direbus pada T = 100 0
Selama proses fermentasi suhu dan pH yang digunakan adalah konstan
sesuai dengan kondisi lingkungan laboratorium. Pengukuran suhu digunakan
termokopel, sementara itu pH diukur dengan pH meter. Apabila sampai hari ke-6
belum dihasilkan rendemen secara maksimal, dilakukan pengulangan satu siklus
pertumbuhan kapang dengan penambahan Σ spora Aspergillus niger pada setiap
variasi perlakuan. Setelah fermentasi selesai, cuplikan dalam kontainer dipisahkan
dengan tangan antara selulosa dengan ukuran panjang, pendek dan kulit rotan
yang masih utuh. Hasil rendemen selulosa (panjang dan pendek) ditimbang
sebagai massa akhir (m
C selama 15 menit dan dikeringkan. Setelah
kering, kulit rotan disusun kedalam kontainer dan diinokulasi dengan spora
Aspergillus niger lalu di tutup dengan aluminium foil sampai proses fermentasi
selesai, sesuai dengan variasi waktu fermentasi (Lampiran 3).
a
Untuk mengetahui kualitas dari selulosa yang dihasilkan dengan metoda
fermentasi, cuplikan pada rendemen optimum dikarakterisasi dengan
menggunakan alat uji SEM untuk mengetahui morfologi permukaan dan ukuran.
Selanjutnya untuk mengetahui kristalografi selulosa yang meliputi indeks miller,
fasa serat, struktur dan sistem kristal digunakan alat uji XRD. Untuk mengetahui
struktur mikro didalam cuplikan selulosa digunakan mikroskop TEM (perbesaran
150.000). Sementara itu EDS digunakan untuk mengetahui komposisi unsur
selulosa sebelum dan setelah proses fermentasi dalam bentuk % massa dan %
atom (Gambar 2.10).
) dan dilakukan analisa rendemen serta dilakukan
pengujian terhadap kualitas selulosa.
21
Gambar 2.10 Diagram alir penelitian.
Diamati dengan waktu 4 - 10 hari
Pengambilan serat dalam bentuk serat panjang dan pendek
Ditimbang
Kulit rotan segar Dibersihkan dari impuritas
Ditimbang
Dipanaskan dalam air (100 0C, 15 menit)
Diangkat dan dikeringkan
Analisa data
Inokulasi Aspergillus niger ke dalam substrat Σ spora = 2 x 108, 3 x 108, 4 x 108
Kontainer ditutup dengan aluminium foil
Dimasukkan di kontainer
Pengujian (SEM-EDS, XRD, TEM, densitas)
22
Hasil dan Pembahasan
Prinsip dasar dari pengambilan selulosa adalah adanya mikroorganisme
yang pada kelembaban tertentu dapat membentuk enzim yang dapat
menghancurkan jaringan tanaman non selulosa yang banyak mengandung pektin.
Selulosa dapat diekstraksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia. Jenis fungi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus niger. Pembenihan inokulasi
dilakukan pada medium PDA (Potato Dextrose Agar). Alasan pemilihan ini
dikarenakan spesies ini merupakan sumber organisme stabil, tidak mengeluarkan
racun, produktivitas enzim tinggi (amylase, pektinase, dan selulase), dapat
tumbuh dan berkembang dengan cepat yang dalam pertumbuhannya berhubungan
langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat (kulit rotan)
(Syamsuriputra 2006).
Fermentasi merupakan suatu reaksi reduksi-oksidasi dalam sistem biologi
yang menghasilkan energi. Senyawa organik seperti karbohidrat merupakan donor
dan aseptor pada proses fermentasi. Pertumbuhan fungi dalam substrat padat
bertindak sebagai sumber makanan pada fermentasi merupakan hal terpenting
dalam proses ekstraksi. Dalam proses fermentasi dengan menggunakan
Aspergillus niger dapat berlangsung dalam media padat dan cair. Penelitian yang
dilakukan menggunakan sistem fermentasi padat (Solid State Fermentation).
Alasan pemilihan metode ini adalah sistem fermentasi padat dapat menghasilkan
ekstrak serat dengan kadar air rendah karena selama proses fermentasi
berlangsung jumlah air yang dibuang dan busa yang terbentuk sedikit, tingkat
produktivitasnya tinggi dan recovery produknya lebih mudah sehingga hal ini
akan membawa dampak positif pada aplikasi selulosa sebagai filler komposit
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Tabel 2.4 memperlihatkan hasil ekstraksi selulosa kulit rotan dengan metoda
fermentasi Aspergillus niger. Selama proses fermentasi berlangsung, pada waktu
fermentasi (tF) = 4 hari, 5 hari (cuplikan A, B) dan 6 hari (cuplikan C1, C2) belum
dihasilkan rendemen selulosa (0%) yaitu masih dalam bentuk batangan kulit rotan
(Gambar 2.11a). Selulosa mulai dihasilkan pada tF = 6 hari (cuplikan C3) yaitu
menghasilkan rendemen 113 g (22.6%) (Gambar 2.11b).
23
Gambar 2.11 Rendemen selulosa pada hari ke-4, 5, 6 (a), hari ke-8 (b), hari ke-10 dengan Σ spora 3 x 108 (c) dan hari ke-10 dengan Σ spora 4 x 108
Tabel 2.4 Rendemen selulosa kulit rotan dengan massa awal rotan 500 g
(d).
Cuplikan Waktu fermentasi
(hari)
Rendemen serat (g) 1 2 3
Σspora=10 Σspora = 1.5 x 108 Σspora= 2 x108 A
8 4 0 0 0
B 5 0 0 0 C 6 0 0 113 Pengulangan ke-2 Σ spora = 2 x 10 Σspora= 3 x 1016 Σspora = 4 x 108
D 8
8 220 257 282 E 10 246 304 291
Satu siklus fase pertumbuhan fungi (Gambar 2.8) belum mampu
menghancurkan jaringan non selulosa, karena kulit rotan memiliki karakteristik
yang lentur, ulet dan keras dimana jaringan dinding sel batang dan kulit
mengalami lignifikasi (pengerasan) dan akumulasi selulosa dalam lignin, sehingga
perlu dilakukan pengulangan atau penambahan fungi. Kemudian dilakukan
pengamatan kembali pada tF = 8 dan 10 hari (cuplikan D dan E). Terjadi
pertumbuhan dan pertambahan jumlah spora yang diinokulasi terhadap kulit rotan
yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama proses fermentasi. Hasil
yang diperoleh adalah terjadi kenaikan rendemen selulosa pada cuplikan D hingga
24
mencapai hasil optimum (cuplikan E2) pada tF
Sementara itu pada cuplikan E
= 10 hari dengan rendemen
selulosa 304 g (60.8%) (Gambar 2.12c).
3
Tabel 2.5 menunjukkan spektrum EDS cuplikan A dan B pada hari ke-5.
Pengamatan spektrum EDS memperlihatkan bahwa unsur dominan yang ada
dalam cuplikan adalah C dan O serta beberapa elemen makro, mikro nutrien pada
tumbuhan. Pada proses fermentasi sampai dengan hari ke-5, kandungan unsur
pada cuplikan meliputi C = 57.57% dan O = 40.45%, serta unsur makro dan
mikro dinding sel tanaman Si, Cl, K, dan Cu. Hari ke-5 merupakan pertumbuhan
fungi pada fase deselerasi dan stasioner. Fase deselerasi merupakan fase sel-sel
mulai kurang aktif membelah dan fase stasioner yaitu fase jumlah sel yang
bertambah dan jumlah sel yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini
merupakan garis lurus yang horizontal dan banyak senyawa metabolit sekunder
yang tumbuh pada fase ini. Si dan K merupakan unsur makro yang merupakan
komponen struktural bersumber dari salinitas tanah untuk memperkuat dinding sel
dan memperkuat terhadap proses pelapukan. Sementara itu Ca dan Cl adalah
unsur mikro yang merupakan komponen fungsional, dimana tanaman berserat
akan banyak mengandung unsur Cl dan unsur Ca yang dapat merangsang
pertumbuhan fungi dalam memproduksi enzim.
mengalami penurunan hasil dan kualitas
rendemen selulosa (58.2%). Selulosa yang dihasilkan rapuh, patah dan berjamur
(Gambar 2.11d). Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya jamur yang mengelilingi
serat karena kelembaban yang meningkat dan terjadinya penumpukan fungi
selama proses fermentasi sehingga terjadinya penurunan kualitas (faktor biologi),
yaitu adanya organisme lain yang tumbuh dan memakan karbohidrat yang
terkandung dalam selulosa, sehingga menimbulkan enzim khusus yang merusak
struktur dari selulosa.
Tabel 2.5 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-5)
Element Massa (%) Atom (%) C 49.46 57.75 O 46.19 40.45 Si 1.99 0.99 Cl 0.76 0.30 K 0.85 0.31 Cu 0.75 0.16
25
Tabel 2.6 menunjukkan spektrum EDS cuplikan C3, dimana proses
fermentasi serat kulit rotan sampai pada hari ke-6 yaitu fase kematian. Pada fase
ini jumlah sel-sel fungi yang mati lebih banyak daripada sel-sel fungi yang masih
hidup. Selama proses ekstraksi selulosa satu siklus, terjadi biokonversi dari kulit
rotan yang merupakan material organik menjadi selulosa dengan cara pemecahan
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim
dan meninggalkan residu. Fungi yang sudah mati banyak mengandung protein,
sehingga hasil EDS menunjukkan adanya penambahan elemen mineral pada
cuplikan. Kandungan unsur C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun
bahan organik yang diambil tanaman berupa C02
Tabel 2.6 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-6)
, serta unsur makro dan mikro
Na, Si, Cl, K, Ti, Cu, Zn, Nb dan Bi.
Unsur Massa (%) Atom (%) C 21.60 43.21 O 27.35 40.92 Na 3.25 3.30 Si 0.70 0.60 K 1.93 0.57 Ti 12.29 6.14 Cu 1.97 0.74 Zn 1.92 0.70 Nb 2.14 0.55 Bi 27.76 3.10
Gambar 2.11 A dan B menunjukkan bahwa kerja fungi Aspergilus niger
belum bekerja maksimal. Selulosa kulit rotan belum terlepas secara optimal dari
jaringan inti kulitnya, penghancuran bahan non selulosa yang dapat memisahkan
bahan penyusun serat dari jaringan parenkim, xilem serta jaringan epidermis
belum secara keseluruhan terjadi sehingga diperlukan penambahan jumlah spora
fungi. Tabel 2.7 memperlihatkan spekteum EDS dan kandungan unsur selama
proses pengulangan (cuplikan D) pada hari ke-8. Kerja fermentasi Aspergilus
niger dalam menyerap zat organik dari substrat mulai lebih meningkat sehingga
rendemen serat meningkat. Komponen unsur C dan O juga meningkat dari hari
sebelumnya serta mulai muncul unsur S yang mencirikan adanya aktifitas protein.
C = 43.21% dan O = 40.92% sebagai pembangun bahan organik yang diambil
tanaman berupa C02
, serta unsur makro dan mikro Si, Cl, K, Mg, Cu, Ca.
26
Tabel 2.7 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-8)
Element Massa (%) Atom (%) C 48.74 57.75 O 44.22 39.32
Mg 0.32 0,19 Si 2.77 1.40 S 0.21 0.09 Cl 0.63 0.35 K 1.35 0.49 Ca 0.52 0.15 Cu 1.04 0.23
Hasil karakterisasi kandungan komposisi unsur dengan menggunakan EDS
pada Tabel 2.8, cuplikan E2
Tabel 2.8 Komposisi unsur selulosa kulit rotan (hari ke-10)
(hari ke-10) menunjukkan komposisi persen massa
dan atom pada elemen cuplikan yang didominasi oleh kandungan atom C =
56.34% dan O = 40.95%, sisanya adalah mineral Mg, S, Si, Ca, Cl, K, dan Cu.
Kandungan C, H, dan O adalah komponen pembentuk utama serat alami ini.
Sementara itu kandungan unsur yang lain menunjukkan elemen mikro dan makro
yang bersumber pada nutrisi tanah dan hasil dari aktivitas fermentasi.
Makronutrien meliputi S, K, Ca, Mg, Si sedang mikronutrien meliputi Cu, Cl.
Element Massa (%) Atom (%)
C 47.50 56.34 O 46. 03 40.98
Mg 0.41 0.24 Si 2.10 1.06 S 0.27 0.12 Cl 0.82 0.33 K 1.39 0.51 Ca 0.69 0.25 Cu 0.79 0.18
Morfologi permukaan cuplikan dengan menggunakan alat uji SEM
perbesaran 500 dan 1000 X terlihat bahwa selulosa (C6H10O5
jaringan
) yang tersusun atas
unit-unit glukosa membentuk potongan-potongan serat yang memanjang,
kontinu, berpori, saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang kuat,
memiliki rantai monomer panjang dan banyak mengandung mineral-mineral alam
yang bersumber pada nutrisi tanah yang dapat mengalami proses pelapukan atau
degradasi karena faktor lingkungan. Tersusun atas lignin sebagai perekat antar sel
selulosa (Gambar 2.12) dan trakeida yang merupakan sekumpulan sel-sel
dengan dinding sel lateralnya mengalami penebalan oleh lignin sedangkan bagian
27
ujung atas dan bawahnya tidak mengalami perforasi (pelubangan), berbentuk pipa
kapiler memanjang sehingga pergerakan air seakan-akan melalui katup-katup.
Dinding selnya banyak memiliki noktah dengan ruang dalam dinding sel (lumen)
sempit karena selnya lebih memanjang.
(a)
(b)
Gambar 2.12 Citra SEM selulosa metoda fermentasi dengan perbesaran 500 X (a)
dan 1000 X (b).
Pori
lignin
selulosa
trakeida
trakeida
28
Keseluruhan hasil karakterisasi terhadap komposisi unsur dan struktur
mikro permukaan dapat menjelaskan bahwa kulit rotan yang diekstraksi dengan
metoda fermentasi benar-benar merupakan selulosa dengan lignin sebagai perekat
antar sel. Hal ini berdasarkan pada pendekatan literatur pada ikatan penyusun
selulosa dan citra SEM pada penelitian selulosa dan lignin sebelumnya dengan
material berbagai macam hasil dan limbah pertanian. Gambar 2.13
memperlihatkan ikatan gugus fungsi C, H, dan O selulosa dinding sel tanaman
dalam skala atom. Gambar 2.14 menunjukkan morfologi permukaan sel bagas
pada perlakuan liquid hot water dengan variasi tekanan dan Gambar 2.15
menunjukkan citra SEM selulosa whiskers pada beberapa perlakuan pembekuan
yang menunjukkan kemiripan dengan selulosa kulit rotan. Terdiri dari rantai
monomer memanjang memiliki pori, diselimuti lignin dan berukuran sampai orde
mikro meter serta selulosa terlihat memiliki keteraturan (struktur kristal).
(a)
(b)
Gambar 2.13 Ikatan gugus fungsi C, H, dan O selulosa dinding sel tanaman
dalam skala atom (a) dan selulosa dinding batang sel tanaman (b).
29
Gambar 2.14 Struktur sel bagas pada kondisi operasi dry stem (A–B) dan fresh leaf (C, D) (Rachmaniah 2011).
Gambar 2.15 Citra SEM selulosa whiskers (Wang 2010).
Berdasarkan penelitian dari Rahmaniah 2011 tentang struktur kristal limbah
lignoselulosa sel bagas bahwa selulosa adalah polimer dari polisakarida berantai
lurus yang tersusun atas unit-unit glukosa atau unit sellobiosa dengan penghubung
ikatan β-1-4 glukan (Gambar 2.18). Rantai-rantai selulosa tersusun dengan ikatan
hidrogen yang disebut sebagai mikrofibril. Mikrofibril selulosa ini memiliki
bentuk amorph (2θ = 16 derajat) dan kristal (sekitar 2/3 bagian, 2θ = 22 derajat).
Pori
lignin
Pori
30
Tinggi dan kuatnya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil
pada rantai yang berdekatan, menyebabkan struktur kristal serat sulit didegradasi
secara enzimatik sehingga digunakan sebagai serat pada komposit. Sementara itu
hemiselulosa dan lignin berstruktur amorf yang sangat mudah terdegradasi oleh
lingkungan. Pendekatan literatur peneliti sebelumnya juga dilakukan terhadap
profil XRD selulosa whiskers (Gambar 2.16) dan bacterial celulloce (Gambar
2.17) yang merupakan α-selulosa, dimana pada bidang 002, 2 θ = 22 derajat
menunjukkan struktur kristal selulosa dan hal ini memiliki kesamaan dengan
profil XRD ekstraksi selulosa kulit rotan (Gambar 2.19).
Gambar 2.19 menunjukkan hasil pengujian XRD selulosa kulit rotan metoda
fermentasi (cuplikan E2). Hasil ini semakin menguatkan bahwa ekstraksi
fermentasi kulit rotan merupakan selulosa pada puncak difraksi tertinggi di 2θ =
22 derajat dan beberapa puncak yang terlihat amorf pada 2θ = 67 – 80 derajat.
Analisa data puncak difraksi dengan metode Scherer (Persamaan 1 dan 2)
dihasilkan ukuran kristalin (ACS) yang terdistribusi dari 80 μm - 599 nm.
Sementara itu regangan mikro terkecil pada η = 2.9 x 10-10 (Lampiran 4).
Berdasarkan penelusuran literatur deengan JCPDS (Joint Committee on Powder
Diffraction) - ICDD (International Centre for Diffraction Data)
selulosa kulit
rotan yang dihasilkan berfasa β-selulosa, memiliki sistem kristal monoklinik
dengan parameter kisi a = 7.87, b = 10.31, c = 10.13 dan α = γ = 90, β = 120.
Indexing profil difraksi dilakukan dengan menggunakan powder-X, dimana
struktur kristal pada puncak diffraksi terlihat pada indeks miller 002, 101, 012
(Lampiran 4).
Dimana : λ = Panjang gelombang Cu = 1.54 Å B = Lebar puncak difraksi (FWHM) η = Regangan mikro
31
Gambar 2.16 Profil XRD dari selulosa whisker (Wang 2010).
Gambar 2.17 Profil XRD bacterial celulloce (Lee 2009).
Gambar 2.18 Profil XRD selulosa bagas (Rachmaniah 2011).
2θ
2θ = 22 derajat
amorf
2θ = 220
32
Gambar 2.19 Profil XRD selulosa kulit rotan metoda fermentasi.
Struktur mikro didalam cuplikan selulosa kulit rotan dengan metode
fermentasi pada perbesaran 150.000 X (alat uji TEM) menunjukkan bahwa
intensitas pada kristalinitas atom-atom serat selulosa yang cukup tinggi pada
bidang-bidangnya (Gambar 2.20). Cahaya terang pada Gambar 2.20c
menunjukkan daerah kristal pada bidang 002, sedangkan beberapa daerah difus
amorf disekitarnya menunjukkan adanya kandungan lignin dan hemiselulosa yang
masih tersisa. Selulosa yang berbentuk memanjang dan saling terhubung antara
monomer satu dengan yang lain melalui β-1.4 poli glukosa, dimana unit ulangan
dari molekul-molekulnya terikat melalui ikatan hidrogen di sekitar rantai
membentuk mikrofibril dengan diameter berorde nanometer. Gambar 2.20b
menunjukkan adanya kumpulan dari partikel-partikel yang lebih kecil dan
mengumpul dengan bentuk menyerupai bola.
Densitas merupakan suatu besaran fisis yaitu perbandingan massa dengan
volume benda. Pengukuran densitas yang berbentuk padatan atau bulk digunakan
metode Archimedes, dimana setiap benda yang tercelup dalam fluida akan
mengalami gaya keatas (Fapung) yang besarnya sama dengan berat fluida yang
dipindahkan (w). Hasil dari pengujian densitas menunjukkan bahwa densitas
selulosa kulit rotan yang dihasilkan melalui fermentasi adalah 0.582 g cm-3.
Sementara itu berdasarkan literatur (lampiran 5) massa jenis fiber glass adalah
2.73 g cm-3. Material dengan densitas kecil akan memiliki volume yang lebih
besar sehingga kondisi ini membawa dampak positif pada aplikasi serat sebagai
filler komposit dan pada aplikasi produk komposit yang dihasilkan.
101
012
2θ
Amorf
002 2θ = 22 derajat
33
Produk dari material berdensitas rendah akan memberi implikasi yang
penting terhadap efisiensi penggunaan material dan proses produksinya yaitu
dibutuhkan konsumsi energi yang lebih rendah selama proses manufaktur. Pada
aplikasi komponen sepeda motor, densitas yang rendah akan mengurangi berat
kendaraan sehingga berdampak pada penghematan bahan bakar. Hal ini
merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh serat alam dibandingkan
dengan serat sintetis sebagai material penguat komposit.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas terkait dengan berbagai macam
pengukuran atau karakterisasi dan analisa pembahasan dari rendemen selulosa
kulit rotan dengan metoda fermentasi Aspergillus niger dan beberapa pembanding
(pendekatan literatur) dari penelitian sejenis sebelumnya, maka analisa struktur
mikro dan kristalografi ini digunakan sebagai acuan atau input data didalam
proses selanjutnya yaitu sintesa nanopartikel serat kuli rotan dengan metoda
ultrasonik.
Gambar 2.20 Citra TEM selulosa kulit rotan hasil ekstraksi fermentasi pada
perbesaran 3000X (a), 150.000X (b), dan 400X (c).
Kesimpulan
1. Ekstraksi fermentasi selulosa kulit rotan menghasilkan rendemen optimum
60.8% dengan waktu fermentasi 10 hari pada penggunaan Aspergillus
niger dengan jumlah spora 3 x 108
2. Selulosa kulit rotan yang dihasilkan memiliki karakteristik berstruktur
kristal monoklinik pada 2θ = 22 derajat ; hkl = 002, berfasa β-selulosa,
tersusun atas unsur utama C = 47.50% dan O = 46.03%, unsur makro-
mikro Mg, Si, S, Cl, K, Ca, Cu serta memiliki struktur nanofiber dengan
ukuran panjang 2 nm (Uji TEM).
.
a b C 002
kristal
c
34
Daftar Pustaka
Achyuthan KE. 2010. Polyphenolic lignin’s barrier to cost-effective lignocellulosic biofuels. Molecules 15:8641-8688.
Busairi AM, Hersoelistyorini W. 2009. Pengkayaan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi menggunakan pesponse surface methodology. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009.
Jasni, Supriana. 1999. Rotan, Sifat fisis dan mekanis batang rotan. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Jasni, Rachman O. 2006. Rotan, sumberdaya, sifat dan pengelolaannya. J Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 26: 22-28.
Lee KY, Jonny J, Blaker, Bismarck A, 2009. Surface functionalisation of bacterial cellulose as the route to produce green polylactide nanocomposites with improved properties. J Composites Science and Technology 69:2724–2733.
Mudyantini W. 2008. Pertumbuhan, kandungan selulosa, dan lignin pada rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan pemberian asam giberelat (GA3). Biodiversitas 9:269-274.
Muhiddin NH, Juli N, Aryantha IN. 2001. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. J Matematika dan Sains 6:1-12.
Pari G. 2011. Pengaruh selulosa terhadap struktur karbon arang. J Penelitian Hasil Hutan 29:33-45.
Rachmaniah O, Febriyanti L, Lazuardi K. 2009. Pengaruh liquid hot water terhadap perubahan struktur sel bagas. Prosiding Seminar Nasional XIV, FTI-ITS; Surabaya, 22-23 Juli 2009. Hlm 30-40.
Rachmaniah O, Pahlevi R, Mendila CD. 2011. Structure features changes of galah grass (Saccharum spontaneum Linn) by liquid hot water pretreatment. J of Biobased Materials and Bioenergy 5:1–9.
Sisworo SJ. 2009. Pengaruh penggunaan serat kulit rotan sebagai penguat pada komposit polimer dengan matriks polyester yucalac 157 terhadap kekuatan tarik dan D tekuk. J TEKNIK 30: 3-10.
Syamsuriputra, Setiadi, Kushandayani, Yunus. 2006. Pengaruh kadar air substrat dan konsentrasi dedak padi pada Produksi asam sitrat dari ampas tapioka menggunakan Aspergillus niger ITBCCL74.
Tellu AT. 2008. Sifat kimia jenis-jenis rotan yang diperdagangkan di propinsi sulawesi tengah. Biodiversitas 9:108-111.
35
Taherzadeh, Karimi K, Keikhosro. 2008. Macrofibril and microfibril in the celulloce. J Mol. Sci. 9:1621-1630.
Tellu, AT. 2005. Kunci identifikasi rotan (Calamus spp.) asal Sulawesi Tengah berdasarkan struktur anatomi batang”. Biodiversitas 2: 113-117.
Tellu, AT 2006. Kladistik beberapa jenis rotan Calamus sp. asal Sulawesi Tengah berdasarkan sifat fisik dan mekanik batang. Biodiversitas 7: 221-225.
Tellu, AT 2007. Penentuan jenis dan kualitas rotan yang diperdagangkan di Sulawesi Tengah berdasarkan ciri morfologi batangnya. Eukariotik 5: 7-12.
Siqueira G, Bras J, Dufresne A. 2010. Cellulosic bionanocomposites: A review of preparation, properties and applications. Polymers 2:728-765.
Wang Y, Chang C, Zhang L. 2010. Effects of freezing/thawing cycles and cellulose nanowhiskers on structure and properties of biocompatible starch/PVA sponges. J Macromolecular Materials and Engineering 295:137–145.