b. karakteristik etika islam
DESCRIPTION
agamaTRANSCRIPT
B. Karakteristik Etika Islam (Akhlak)
Allah telah berkehendak bahwa akhlak dalam Islam memiliki karakteristik yang berbeda dan
unik (istimewa).
1. Al Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan
kriteria baik buruknya sesuatu perbuatan adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara
keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang
buruk. Al Qur’anul karim bukanlah hasil renungan manusia, melainkan firman Allah
Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu setiap Muslim berkeyakinan
bahwa ajaran kebenaran terkandung di dalam Kitabullah Al Qur’an yang tidak akan
dapat ditantangi oleh fikiran manusia. (QS. Al-Maidah (5): 15-16.
15. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan
kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan[408]. [408] Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dan kitab
Maksudnya: Al Quran.
16. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Sebagai pedoman kedua sesudah Al Qur’an adalah Hadits Rasulullah SAW
(Sunnah Rasul) yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadits Nabi juga
dipandang sebagai lampiran penjelasan dari Al Qur’an terutama dalam masalah-
masalah yang dalam Al Qur’an tersurat pokok-pokonya saja. Al-Hadits sebagai
pedoman hidup dijelaskan dalam QS. Al-Hasyr (59) : 7 yang artinya: ......... Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.
Jika telah jelas bahwa Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah pedoman hidup
yang menjadi azas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber
moral dalam Islam. Firman Allah SWT dan Sunnah Nabinya adalah ajaran yang
paling mulia dari segala ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia,
sehingga telah menjadi keyakinan (aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia
harus tunduk dan mengikuti petunjuk dan pengarahannya. Dari pedoman itulah
diketahui kriteria mana perbuatan yang baik dan jahat, mana yang halal dan mana
yang haram.
2. Kedudukan Akal dan Naluri
Berbeda dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang
menjadi dasar menentukan baik buruknya akhlak, maka ajaran etika Islam
berpendirian sebagai berikut :
a. Akal dan naluri manusia adalah anugerah Allah
b. Akal fikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusiapun tidak akan
mampu memecahkan seluruh masalah yang maujud ini. Karena itu akal masih
memerlukan bimbingan dan cahaya petunjuk dari sumber kebenaran yang mutlak
lebih utama, yakni wahyu dan kitabullah. Hanya akal yang dipancari oleh cahaya
Al Qur’an dan petunjuk Rasul akan memperoleh kedudukan yang tepat dan akan
dapat menemukan kedudukannya yang benar dan tepat.
c. Naluri manusiapun harus mendapat pengarahan dari petunjuk Allah yang
dijelaskan dalam kitab-Nya. Jika tidak, naluri itu akan salah penyalurannya.
Misalnya naluri makan, sexual, berjuang, dan lain-lain, jika diperturutkan begitu
saja akan menimbulkan kerusakan. Tetapi jika diarahkan menurut petunjuk-Nya,
niscaya akan tetap berjaklan di atas fitrahnya yang suci. Demikianlah kedudukan
naluri dan akal dalam pandangan etika islam, bahwa keduanya perlu dimanfaatkan
dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan pengarahan yang ditetapkan
dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3. Motivasi Iman
Tindakan dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu.
Adapun dalam pandangan Islam maka yang menjadi pendorong yang paling dalam
dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal perbuatan yang baik adalah aqidah,
iman yang terpatri dalam hati. Iman itulah yang membuat seorang muslim ikhlas, mau
bekerja (beramal) keras bahkan rela berkorban. Iman itulah sebagai motivasi dan
kekuatan penggerak yang paling ampuh dalam pribadinya yang membuat dia tidak
dapat diam dari melakukan kegiatan kebajikan dan amal shaleh Jika “motor iman” itu
bergerak, maka keluarlah produksinya berupa amal shaleh dan akhlaqul karimah.
Dengan demikian hanya dari jiwa yang dihayati iman dapat diharapkan memancar
kebaikan dan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir tanpa bersumberkan
keimanan adalah kebaikan yang tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah. Dengan
iman itulah, maka seorang mukmin selalu antusias berbuat baik sebanyak- banyaknya.
Sabda Rasul : “Sekali-kali tidaklah seoorang mukmin akan merasa kenyang (puas)
mengerjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga”. (HR. Tirmidzi). Iman
yang sempurna menjelmakan cinta dan taat kepada Allah SWT.
4. Mata Rantai Akhlak
Dengan motivasi iman, terdoronglah seorang mukmin mengerjakan kebaikan
sebanyak-banyaknya menurut kemampuan tenaganya. Dalam memanifestasikan iman
tersebut terdapat “mata rantai” yang berkaitan dalam realisasinya, yakni : niat
(keikhlasan) dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang dilaksanakan
oleh anggota tubuh. Sebelum melakukan suatu tindakan, harus didahului dengan niat
untuk apa pekerjaan itu dilakukan.
Yusuf Al-Qardhawi mengajukan tujuan karakteristik etika (moral/akhlak) Islam.
1. Sebuah moral yang beralasan (argumentatif) dan dapat dipahami.
Islam selalu bersandar pada penilaian yang logis dan alasan (argumentatif) yang dapat
diterima oleh akal yang lurus dan naluri yang sehat, yaitu dengan menjelaskan maslahat
(kebaikan) dibalik apa yang diperintahkan-Nya dan kerusakan dari terjadinya apa yang
dilarang-Nya
Q.S Al-Ankabut : 45
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2. Moral Universal
Moral dalam Islam berdasarkan karakteristik manusiawi yang universal, yaitu
larangan bagi suatu ras manusia berlaku juga bagi ras yang lain, bahkan umat Islam dan
umat-umat yang lain adalah sama dihadapan moral Islam yang universal. Dalam surat al-
Maidah ayat 8 menyebutkan ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa”. Dengan demikian etika (moral/akhlak) Islam adalah bebas dari
segala tendensi (kecenderungan) rasisme kebangsaan, kesukuan maupun golongan.
3. Kesesuaian dengan fitrah
Islam datang dengan membawa sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan tabiat
manusia serta penyempurnaannya. Islam mengakui eksistensi manusia sebagaimana yang
telah diciptakan Allah dengan segala dorongan kejiwaan, kecenderungan fitrah serta
segala yang telah digariskan-Nya. Islam menjadikan mulia dan membuat batasan hukum
untuknya agar dapat memelihara kebaikan masyarakat dan individu manusia itu sendiri.
Islam dengan segala yang diperbolehkannya demi menjaga tabiat manusiawi telah
meletakkan konsep aturan dan batasan-batasan yang netral atau moderat, sikap berlebih-
lebihan dan ekstrim akan menjurus kepada perangai binatang yang tercela.
4. Memperhatikan Realita
Al-qur’an tidak membebankan kepada manusia suatu kewajiban untuk mencintai
musuh-musuhnya, karena hal ini merupakan sesuatu hal yang tidak dimiliki jiwa
manusia, akan tetapi al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk
berlaku adil terhadap musuh-musuhnya, supaya ras permusuhan dan kebencian mereka
terhadap musuh-musuhnya tidak mendorong untuk melakukan pelanggaran terhadap
musuh-musuh mereka.
5. Moral Positif
Moral Islam menganjurkan menggalang kekuatan, keyakinan dan cita-cita,
melawan sikap ketidakberdayaan dan pesimisme (keputusasaan), malas serta segala
bentuk penyebab kelemahan. Islam menolak sikap ”pasif” (apatis) dalam menghadapi
kerusakan sosial dan politik, dekadensi moral dan agama, bahkan Islam memerintahkan
kepada muslim untuk merubah suatu kemungkaran dengan ”tangannya”, jika tidak
mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu lagi maka dengan hatinya.
Sebagaimana terdapat pada hadits arba’in ke- 34,
: صلى الله� و�ل س ر م�ع�ت س قال �ه عن الله ض�ي ر �خ د�ر�ي ال �د ع�ي س �ي ب أ عن�
: م� ل �ن� فإ د�ه�، �ي ب ه 'ر� غي �ي فل ) را �ك م ن م� �ك م�ن ى أ ر من� ق و�ل ي وسلم عليه الله
] رواه �مان� �ي �إل ا ض�عف أ �ك وذل �ه� �ب �قل فب ط�ع� ت س� ي م� ل �ن� فإ �ه�، ان �ل�س فب ط�ع� ت س� ي
مسلم]
”Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :
Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu
maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan
hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)”
6. Komprehensifitas (menyeluruh)
Islam bukanlah agama yang menganggap bahwa moral dalam agama berkisar
pada pelaksanaan ibadah ritual atau seremonial, padahal akhlak atau etika Islam tidak
membiarkan kegiatan manusia hanya dalam ibadah mahdah saja. Islam menggariskan
bahwa hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan manusia lainnya serta hubungan
manusia dengan alam secara global maupun detail haruslah dengan etika Islam atau
akhlak. Oleh sebab itu, akhlak Islam meletakkan apa yang dikehendaki manusia dari
adab susila yang tinggi dan luhur.
7. Tawazun (keseimbangan)
Tawazun dalam etika Islam yaitu menggabungkan sesuatu dengan penuh
keserasian dan keharmonisan, tanpa sikap berlebihan maupun pengurangan. Contohnya
seimbang dalam ”mengejar” dunia dan akhirat.
Sumber:
Anonim. Karakteristik etika islam. https://syahdotme1.files.wordpress.com/2012/05/karakte ristik-etika-islam2.pdf (diakses pada 02-11-2015)
Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas Sriwijaya. 2011. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikaan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Universitas Sriwijaya: Palembang.