atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia
TRANSCRIPT
Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi (National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002).
Definisi Atrial FibrilasiAtrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak
terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada
gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P,
juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan
yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke
nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga
sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002).
Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007). Pasien umumnya memiliki
keluhan palpitasi, perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada), dispnea, pusing, atau sinkop
(pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya
pengisian sistolik ventrikel. Namun, beberapa kasus atrial fibrilasi bersifat asimptomatik
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Trombus dapat terbentuk dalam
rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan
stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak
dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya serangan stroke
(Philip and Jeremy, 2007).
Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama umumnya tidak teratur dengan
frekuensi laju jantung bervariasi (bias normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari 60 kali
permenit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), jika laju jantung 60-100 kali
permenit disebut atrial fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika laju jantung
lebih dari 100 kali permenit disebut atrial fibrilasi rapid ventricular respon (RVR). Kecepatan
QRS biasanya normal atau cepat dengan gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan
depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya tidak dapat didefinisikan (Chuchum, 2010).
Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya kejadian atrial fibrilasi terutama
dengan semakin meningkatnya usia semakin meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi
(National Collaborating Center for Chronic Condition, 2006). Faktor risiko lainnya dapat
dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non jantung. Selain faktor usia, faktor risiko
yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan
emboli pulmonal. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial septal
defect, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemik,
dll (Berry and Padgett, 2012).
2.2 Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya
berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit
lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi
dikelompokkan menjadi; AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF
paroksismal, AF persisten, dan AF permanen (Levy, Camm, Saksena, 2003). AF initial
event terjadi pertama kali dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF
proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh hari dan
kurang dari 48 jam, tanpa diberikan intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti
kardioversi. AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika diberikan
obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari tujuh hari. AF permanen terjadi jika
AF tidak hilang dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF
primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau
penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit
sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain (Ed: Irmalita, Nani,
Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan
bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk
gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P
halus hampir seperti garis lurus (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
2.3 Manajemen Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi harus benar-benar dipertimbangkan jika pasien telah mengalami dua kali atau
lebih episode atrial fibrilasi. Penanganan farmakologis mencakup pengembalian irama sinus
normal, dapat digunakan amiodaron (sebagai pengontrol irama). Obat lain yang dapat diberikan
adalah agen lain yang digunakan untuk mensupresi konduksi AV (Philip and Jeremy, 2007).
Tujuan penanganan AF menurut American College of Cardiology (ACC)/American Heart
Association(AHA)/European Society of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan
lagi irama sinus dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik (Shay,
2010). Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi profilaksis untuk
mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja ventrikuler dalam rentang normal, dan
memperbaiki irama yang tidak teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut menjadi tujuan penting
dalam mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III (Ed: Irmalita et al, 2009) yaitu:
2.3.1 Medikamentosa
a. Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus sehingga
memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan takikardiomiopati. Dapat diberikan
anti-aritmia golongan I seperti quinidine, disopiramide dan propafenon. Untuk golongan III
dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC shock (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Pengembalian irama sinus dengan
obat-obatan (amiodaron, flekainid, atau sotalol) bisa mengubah AF menjadi irama sinus atau
mencegah episode AF lebih jalnjt. Antikoagulasi untuk mencehag tromboembolik sistemik
(Patrick, 2002).
b. Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan pemberian obat-obat yang bekerja
pada AV node dapat berupa digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker). Amiodaron
dapat juga digunakan untuk rate control. Namun pemberian obat-obat tersebut harus hati-hati
pada pasien dengan AF disertai hipertrovi ventrikel. Pemeriksaan ekokardiografi bisa membantu
sebelum pemberian obat-obat tersebut (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al,
2009).
Pemberian obat-obat tersebut dapat membentu pengendalian denyut dengan menurunkan
kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi nodus AV menggunakan digoksin, B bloker,
atau antagonis kanal kalsium tertentu. Namun kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga
pasien membutuhkan digoksin untuk memperlambat repon ventrikel terhadap AF saat istirahat
dan β bloker untuk memperlambat denyut ventrikel selama olahraga (Patrick, 2002).
2.3.2 Non-farmakologi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009)
a. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap penderita AF. Jika pasien
mengalami AF sekunder, penyakit penyerta harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF lebih dari
48 jam maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu pasca kardioversi
untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Pemeriksaan trnasesofagus echo dapat
direkomendasikan sebelum melakukan kardioversi dengan DC shock jika pemberian
antikoagulan belum dapat diberikan untuk memastikan tidak adanya thrombus diatrium.
b. Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan. Penelitian menunjukkan
pemasangan pacu jantung kamar ganda lebih dapat mencegah episode AF dibandingkan
pemasangan pacu jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini pemasangan lead atrium pada
lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian bawah dapat mencegah terjadinya AF (Ed:
Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
c. Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena pulmonary dapat dilakukan.
d. Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR). Teknik ini digunakan
terutama pada penderita AF permanen dan penderita masih menggunakan obat antikoagulan.
e. Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini dapat dilakukan sekaligus
pada pasien dengan kelainan katub mitral (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et
al, 2009).
ACCF/AHA Pocket Guidelne. (2011). Management of Patients With Atrial Fibrillation. American: American College of Cardiology Foundation and American Heart Association. www.heart.org
Alfred, S, Jennife, W, Steven, L, Devender, A. (2012). Impact of emergency department management of atrial fibrilation on hospital charges. Western Journal of Emergency Medicine. www.escholarship.org
Aliot, E, Breithardt, G, Brugada, J. (2010). An international survey of physician and patient understanding, perception, and attitudes to atrial fibrillation and its contribution to cardiovascular disease morbidity and mortality. Europen. 12 (5), 626-633
Barrett, T. W., Martin, A. R., Storrow, A. B., et al. (2011). A clinical prediction model to estimate risk for 30-day adverse events in emergency department patients with symptomatic atrial fibrillation. Ann Emerg Med. 57, 1-12.
Bellone, A., Etteri, M., Vettorello, M., et all. (2011). Cardioversion of acute atrial fibrilation in the emergency department: A Prospective Randomized Trial. Emergency Medicine Journal.
Fibrilasi atrium adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi dari depolarisasi atrium
sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik atrium. Pada elektro- kardiogram (EKG),
fibrilasi atrium dikenali dengan pergantian konsisten gelombang P oleh gelombang fibrilasi atau
osilasi cepat yang bervariasi dalam hal bentuk, amplitudo maupun interval, diikuti dengan
respons ventrikel yang tidak beraturan sementara konduksi atriventrikular (AV) masih intak.
Umumnya gelombang QRS yang tampak adalah sempit kecuali pada kasus fibrilasi atrium
dengan jalur aberans atau bundle branch block. Walaupun denyut atrium bersifat cepat, dapat
dijumpai lebih dari 300 kali per menit, respons ventrikel bergantung pada perangkat
elektrofisiologi dari AV node dan jaringan konduktif lainnya, derajat tonus vagal dan simpatis,
ada atau tidaknya jalur konduksi aksesoris serta efek dari obat-obatan tertentu. Tanpa adanya
jalur aksesoris, respons ventrikel jarang melebihi 200 kali permenit dan umumnya kurang dari
150 kali permenit. Dengan adanya jalur konduksi aksesoris seperti misalnya pada Wolff-
Parkinson- White Syndrome, respons ventrikel dapat melampaui 300 kali permenit serta
mempresipitasi terjadinya fibrilasi ventrikel yang mengancam nyawa sehingga tindakan
emergensi diperlukan.