asma
TRANSCRIPT
HIPERSENSITIVITAS – ASMA BRONKIAL
A. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (Gina, 2009).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh
penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006).
Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah
sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma
bronkial sebesar 5–15%
B. Definisi
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak
napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)
terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2009).
Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang
reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai
rangsang, inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel
netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-
kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan
(Nurafiatin,2007).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan
obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
Asma dibedakan jadi dua jenis, yakni asma bronkial dan kardial. Penderita asma
bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti debu rumah,
bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat
mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang.
Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang yang
mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat
berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan
pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.
Sedangkan asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut asma
kardial. Gejala asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang
hebat. Kejadian ini disebut nocturnal paroxymul dyspnea. Biasanya terjadi pada saat
penderita sedang tidur (Barbara, 2006). Di dalam makalah ini, kami lebih membahas
mengenai asma bronkial.
Klasifikasi Asma :
A.Berdasarkan Etiologi.
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
(i) Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
- Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1
- Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85% kasus
timbul sebelum usia 30 tahun
- Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan
serangan asma yang berbeda-beda
1
- Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang
timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang lebih
berat, maka prognosis menjadi jelek.
- Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan tubuh pada
IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di
kemudian hari
- Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
- Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
- Ada riwayat keluarga yang menderita asma
- Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat ( Neal, 2005).
(ii) Asma ekstrinsik non atopik
Memiliki sifat-sifat antara lain:
- Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang
spesifik
- Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang
tersensitasi dapat menjadi positif
- Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
- Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau dikemudian hari
( Neal, 2005)
b. Intrinsik/idiopatik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh
adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat
dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis
kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Sifat dari
asma intrinsik :
- Alergen pencetus sukar ditentukan
- Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil
negatif
1
- Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda
- Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun
dan disebut juga late onset asma
- Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid
- Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak
dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
- Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
- Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel
LE
- Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12 - 48%
- Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai (Neal, 2005).
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik (Neal, 2005).
B.Berdasarkan Keparahan Penyakit
1. Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa
jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam1 bulan, fungsi paru
normal dan asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Flow (PEF) dan
Peak Expiratory Value in 1 second (PEV1) > 80%
2. Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari,
eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali
dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%
1
3. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala
asma malam hari terjadi > 1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi β2 agonis
kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 > 60% dan < 80%
4. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari
sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60% (Depkes
RI, 2007).
C. Patofisiologi
Asma termasuk reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana reaksi yang terjadi
berlangsung cepat. Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang menimbulkan asma bersifat
airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak dalam periode waktu
tertentu agar mampu menimbulkan gejala asma. Namun di lain kasus terdapat pasien
yang sangat responsif, sehingga sejumlah kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah
dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas (Somantri, 2007).
1
Adapun mekanisme inflamasi pada asma adalah sebagai berikut.
Alergen dihadapkan ke sistem imun oleh makrofag mengkibatkan aktivasi sel CD4 (T
Helper) yang kemudian memproduksi interleukin (terutama IL-2, interferon, IL-4, IL-5,
dan IL-8). Sitokin-sitokin ini mengaktivasi sel inflamasi lain termasuk limfosit B,
polimorfonukleosit (PMN), eosinofil, dan makrofag.
Sel B menghasilkan IgE yang melekat ke reseptor pada sel mast dan mengakibatkan
degranulasi sel mast; iritan dapat secara langsung menstimulasi degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin, dan sel kemotaktan inflamasi menyebabkan inflamasi jalan napas yang
berat (Brashers, 2007).
Inflamasi ini menyebabkan bronkokonstriksi, sekresi mukus, dan edema mukosa yang
mengakibatkan serangan akut.
Eosinofil, limfosit, PMN, dan makrofag menyebabkan cedera jaringan secara langsung
dan menstimulasi pelepasan neuro-peptida toksik yang dapat menyebabkan deskuamasi
lebih lanjut pada epitel bronkial mengakibatkan peningkatan hiperresponsivitas bronkial.
1
Sitokin inflamasi juga mengubah fungsi reseptor muskarinik mengakibatkan peningkatan
kadar asetilkolin yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mukus.
Pada penyakit alergi, bisa terjadi respons asmatik lambat (late asthmatic response, LAR)-
eosinofil melepaskan neuro-peptida dan limfosit kemudian diaktivasi lebih lanjut
mengakibatkan kekambuhan bronkokonstriksi pada 4 sampai 12 jam setelah serangan
awal.
Bukti menunjukkan bahwa asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan deskuamasi
jangka panjang pada epitel bronkus dengan menunjukkan hiperresponsivitas bronkus dan
terjadinya jaringan parut pada jalan napas dengan obstruksi jalan napas permanan, yaitu
remodeling jalan napas (obstruksi jalan napas kronis CAO). (Brashers, 2007).
D. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda-tanda merupakan variabilitas indikasi tingkat keparahan
penyakit asma dari yang tingkat asma ringan hingga berat yaitu asma fatal. Asma ditandai
dengan kesulitan episodik bernafas, sesak dada, dan batuk. Berikut ini gejala dari
penyakit asma:
1. Batuk-batuk akibat dari penyempitan saluran napas, hipersekresi lendir, dan
peningkatan reaksi saraf aferen yang dilihat karena adanya peradangan saluran
napas. Batuk juga dapat terjadi sebagai akibat infeksi saluran nafas oleh virus. Pada
pasien asma, batuk akan mendorong lendir atau lumen kental yang menyumabat
bronkiolus. Akibat dari tekanan yang tinggi dari gejala batuk tersebut maka dapat
menimbulkan edema pada didnding bronkiolus. Batuk pada asma dapat berupa batuk
kronis kering atau batuk produktif yang terjadi secara terus menerus. Frekuensi batuk
biasanya meningkat pada malam hari. Secara fisik terjadi pembengkakan mukosa hidung
dikarenakan peningkatan sekresi hidung, dan hidung polyp sering terlihat pada pasien
dengan asma alergi, eksim, gangguan kulit atropic, bahu membungkuk.
2. Wheezing (nafas yang berbunyi) dari kontraksi otot halus bersamaan dengan
hipersekresi lendir dan retensi saluran nafas. Nafas yang mengi (mencuit-cuit) sebagai
akibat dari penyempitan bronkiolus baik pada salurannapas kecil, sedang maupun yang
besar karena adanya lendir atau lumen kental pada bronkiolus sehingga pada saat
1
ekspirasi udara sulit dikeluarkan dan menimbulkan nada mengi. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar.
3. Dyspnea atau sesak dada terjadi karena peningkatan kerja otot pada dinding dada
dalam mengatasi resistensi jalan napas. Penderita asma biasanya dapat melakukan
inspirasi tetapi kesulitan dalam melakukan ekspirasi sebab secara fisiologis saluran nafas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya
obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi
4. Takipnea, takikardia-takipnea dan takikardia umumnya terjadi pada penyakit asma
akut.
5. Pulsus Paradoxus adalah penurunan lebih dari 10 mm / Hg tekanan arteri sistolik
selama inspirasi dan terjadi pada asma akut.
6. Hipoksemia yaitu penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah (Clifford, 2006).
Manifestasi Klinik:
ASMA KRONIK
Asma klasik ditandai dengan episode dispnea yang disertai dengan bengek, tapi
gambaran klinik asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan sempit dada (sesak), batuk
(terutama pada malam hari), atau bunyi saat bernapas. Hal ini sering terjadi saat latihan
fisik tapi dapat terjadi secara spontan atau berhubungan dengan allergen tertentu. Tanda-
tandanya termasuk bunyi saat ekspirasi dengan pemeriksaan auskultasi, batuk kering
yang berulang, atau tanda atropi. Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai
gejala yang berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang, dan interval antar gejala
dapat mingguan, bulanan atau tahunan. Keparahan ditentukan oleh fungsi paru- paru dan
gejala sebelum terapi disamping jumlah obat yang diperlukan untuk mengontrol gejala.
Pasien dapat menunjukkan gejala berselang ringan yang tidak memerlukan pengobatan
atau hanya penggunaan sewaktu- waktu agonis β inhalasi kerja cepat. Pasien dapat juga
menunjukkan gejala asma kronik walau sedang menjalani pengobatan berganda
( Anonim, 2008).
1
ASMA PARAH AKUT
Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana inflamasi, edema jalan
udara, akumulasi mucus berlebihan, dan bronkospasmus parah menyebabkan
penyempitan jalan udara yang serius yang tidak responsive terhadap terapi bronkodilator
biasa. Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea parah, nafas
pendek, sesak dada, atau rasa terbakar. Mereka mungkin hanya dapat mengatakan
beberapa kata dalam satu nafas. Gejala tidak responsive terhadap penanganan yang biasa.
Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi,
batuk kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang
mengembang disertai dengan retraksi interkostal dan supraklavilar. Bunyi nafas dapat
hilang bila obstruksi sangat parah (Anonim, 2008).
Tanda Tanda Terkait Pernapasan :
Sesak napas, fase ekspresi memanjang, mengi dapat terdengar, tulang zigomatik
memerah dan telinga merah, bibir berwarna merah gelap, dapat berkembang menjadi
sianosis pada dasar kuku dan/sianosis sirkumoral, dengan berkembangnya serangan
asma. Pada anak yang sudah besar dapat duduk tegak dengan bahu dibungkukkan, tangan
berada di atas meja atau kursi dan lengan menahan. Berbicara dengan frasa yang singkat,
terpatah-patah dan terengah-engah.
Dada hiperesonansi pada perkusi, bunyi napas kasar dan keras. Mengi di bidang seluruh
bidang paru, ekspirasi memanjang, ronki kasar serta mengi pada saat inspirasi dan
ekspirasi: nada meninggi. Pada episode berulang. Dapat berupa dada barrel, bahu
meninggi dan penggunaan otot-otot pernapasan aksesori. Tampilan wajah: tulang
zigomatik mendatar, lingkaran di sekeliling mata, hidung mengecil, gigi atas menonjol
(Clifford, 2006).
E. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis
alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang,
sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas
karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat
keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang
di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk
mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu,
sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-
bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain
yang merokok di rumah atau lingkunan kerja, obat yang digunakan pasien, adakah ada
beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma
dirangkum dalam tabel (Karnen, 2007).
1
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: penderita tampak sesak napas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk. Jantung: pekak jantung mengecil, takikardi. Paru: inspeksi
(dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah), auskultasi
(terdengar mengi, ekspirasi memanjang), perkusi (hipersonor) dan palpasi (vocal fremitus
kanan = kiri) (Tucker, 2007).
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Karnen, 2007).
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis
asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih
diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV.
untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1 (Karnen,
2007).
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan
asma (Karnen, 2007).
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST)
bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism) (Karnen, 2007).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya
tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil
1
dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis
sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang
atau sulit dilakukan di luar riset (Karnen, 2007).
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%,
HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan
jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin (Karnen, 2007).
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis
pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk
anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang (Tucker, 2007).
F. Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, Kristal
Charcot Leyden). Leukositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi. Eosinofil darah meningkat >250/mm3, jumlah eosinofil ini menurun dengan
pemberian kortikosteroid (Tucker, 2007).
1
G. Penatalaksanaan Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan terapi:
ASMA KRONIK
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan faal paru mendekati normal dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation/ obstruksi) ireversibel
Mencegah kematian karena asma ( Anonim, 2008).
ASMA PARAH AKUT
Perbaikan hipoksemia signifikan
Pembalikan cepat penutupan jalan udara ( dalam hitungan menit)
Pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah timbul kembali
Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan memburuk (Anonim, 2008).
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (PDPI,
2006).
KRITERIA ASMA TERKONTROL
1. Tidak ada gejala atau gejala minimal
2. Tidak ada gejala asma pada malam hari
3. Tidak ada keterbatasan aktivitas
4. Tidak ada atau minimal pemakaian obat pelega
5. Faal paru normal atau mendekati normal
6. Tidak ada kunjungan ke emergency ( GINA, 2009).
1
Adapun penatalaksanaan terapi asma bronkial terbagi menjadi 2 menurut Global
Initiative for Asthma (GINA) 2009, yaitu :
1. Terapi non farmakologis:
− Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya tentang asma
− Menghindari faktor pencetus (allergen, makanan, perubahan cuaca, infeksi
saluran nafas, aktivitas berlebih, emosi, zat kimia/ obat- obatan)
− Fisiotherapy ( latihan terapi) seperti berenang (memperkuat otot pernapasan),
senam asma ( mengurangi frekuensi serangan dan pemakaian obat) dan bersepeda
− Pemakaian oksigen bila perlu.
2. Terapi farmakologis :
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri
atas pengontrol asma dan pelega nafas.
2.1. Pengontrol asma (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan rutin setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol:
• Kortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat). Contoh: Beklometason dipropionat, Budesonid,
Flunisolid, Flutikason, Triamsinolon asetonid.
• Kortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral
jangka panjang.
• Kromolin (Sodium kromoglikat dan Nedokromil sodium)
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
1
• Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol. Berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru.
• Agonis beta-2 kerja lama ( inhalasi)
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2
mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari
sel mast dan basofil.
• Leukotrien modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar
di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
• Antihistamin generasi ke dua (antagonis –H1)
2.2. Pelega Nafas (Reliever)
Prinsipnya untuk bronkodilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Digunakan setiap kali terjadi serangan.
Golongan obat yang termasuk pelega nafas adalah:
• Agonis beta2 kerja singkat inhalasi
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
1
modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan
akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise - induced asthma
• Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator
yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain.
• Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah
ipratropium bromide dan tiotropium bromide
• Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian
secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan
gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi
harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Cara Pemberian Pengobatan:
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan langsung ke jalan
napas (inhalasi) adalah lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan
napas; efek sistemik minimal atau dihindarkan; beberapa obat hanya dapat diberikan
melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan
kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada
oral.
1
Tabel. Terapi farmakologis sesuai beratnya asma
(GINA, 2009).Dari tabel diatas dapat dilihat, antara lain:
Asma intermiten, tidak membutuhkan pengobatan. Hal ini dikarenakan gejala yang
muncul dari asma intermiten ini < 1 kali dalam 1 minggu atau < 2 kali dalam 1 bulan,
dimana fungsi paru masih tetap normal jika serangan muncul.
Asma presisten ringan, membutuhkan medikasi pengontrolan harian dengan
glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug BB/hari atau ekivalennya). Selain
menggunakan glukorkortikosteroid pengobatan asma presisten ringan juga dapat
menggunakan teofilin lepas lambat, kromolin dan leukotriene modifiers. Obat-obat
ini berfungsi untuk mengontrol asma (controllers) agar eksaserbasi yang timbul tidak
menggangu aktivitas atau tidur.
1
Asma presisten sedang, membutuhkan medikasi pengontrol harian dengan
menggunakan kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama. Selain menggunakan pilihan medikasi
pengontrol harian, dapat juga menggunakan pilihan lain yaitu
− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah
teofilin lepas lambat ,atau
− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah
agonis beta-2 kerja lama oral, atau
− Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
− Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers.
Apabila pilihan lain yang digunakan kurang berkhasiat dapat juga kita memiliki
alternatif lain yang dapat digunakan (medikasi pengontrol harian + alternatif lain)
yaitu
− kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya) d itambah agonis beta-2 kerja lama oral dan
− agonis beta-2 kerja lama ditambah teofilin lepas lambat.
Asma presisten berat, membutuhkan medikasi pengontrol harian dengan
menggunakan Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:
− teofilin lepas lambat
− leukotriene modifiers
− glukokortikosteroid oral
Selain menggunakan pilihan medikasi pengontrol harian, dapat juga menggunakan
pilihan lain yaitu Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah
agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
1
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, ISO Farmakoterapi, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta
Barbara, G W., Joseph T. Dipiro., Terry L. Schwinghammer., Cindy W. Hamilton, 2006,
Pharmacotherapy Handbook, sixth edition, The McGraw-Hill companies,
Singapore
Brashers, Valentina. L., 2007, Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen,
Ed. 2, EGC, Jakarta, pp. 70-71.
Clifford, 2006, Symptoms, Atopy, and Bronchial Response to Methacholine in Parents
with Asthma and Their Children, www.ncbi.nlm.nih.gov/
pmc/articles/.../pdf/archdisch00702-0072.pdf, diakses tanggal 17 April 2013
Depkes RI, 2007, Pharmaceutical Care Penyakit Asma, Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik DITJEN Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Global Initiative for Asthma (GINA), 2009, Global Strategy for Asthma Management
and Prevention, Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?
intId=411, diakses pada 16 April 2013
Karnen, 2007, Pedoman Penatalaksanaan Asma Bronkial, CV Infomedika, Jakarta
Neal, M.J., 2005, Medical Pharmacology At a Glance, fifth edition, Blackwell
Publishing Ltd, London
Nurafiatin, A., Ayu, E.S., Mabruroh, F., dan Fauziah, N., 2007, Patofisiologi Asma,
Universitas Sumatera Utara
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006, Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sastrawan, I.G.P., Suryana, K., dan Ngurah Rai I.B., 2008, Prevalensi Asma Bronkial
Atopi pada Pelajar di Desa Tenganan, Jurnal Penyakit Dalam Volume 9, Nomor
1, Januari 2008
Somantri, I., 2007, Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Salemba Medika, Jakarta, pp. 45.
Tucker S.M., 2007, Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan, Diagnosis, dan
Evaluasi, EGC, Yogyakarta
1