artikel1

5

Click here to load reader

Upload: mifti-syawali

Post on 30-Jun-2015

182 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel1

MENATA ULANG URUTAN KONGRES KEBUDAYAAN

Nunus Supardi1

Sesuai keputusan Kongres Kebudayaan (KK) 2003 di Bukittinggi (yang dinyatakan sebagai

KK kelima) kongres berikutnya akan diselenggarakan 5 tahun sekali. Ini berarti tahun 2008

kongres itu tepat mencapai tahun kelima. Untuk menepati keputusan itu kini tengah dilakukan

persiapan penyelenggaraannya, sebagai KK yang keenam.

Berkenaan dengan rencana tersebut ada bagian penting yang perlu dilakukan penataan

ulang, yakni mengenai urutannya, karena ada dua penyelenggaraan kongres yang terlewatkan.

Jika permasalahan ini dibiarkan maka pertanyaan yang akan muncul adalah yang keberapakah KK

yang akan datang? Kongres yang keenam, kedelapan atau kelimabelas?

KK Sebelum Indonesia Merdeka yang Dilupakan Dua puluh tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya awal tahun 1918, muncul

gagasan dari dua sumber untuk menyelenggarakan sebuah kongres yang berkaitan dengan

kebudayaan. Pertama, datang dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Beberapa bulan sebelum

pembukaan sidang Volksraad, D. van Hinloopen Labberton, seorang theosof terkenal,

menyampaikan gagasan untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa. Persiapan ke arah

penyelenggaraan kongres sudah dipersiapkan dengan matang dari Batavia, dengan melampirkan

surat keputusan pembentukan panitia penyelenggara. Pangeran Prangwadono - yang kemudian

dinobatkan menjadi Mangkunegoro VII -, ditunjuk sebagai Ketua, sementara Dr. Hoesein

Djajadiningrat, Dr. F. D. K. Bosch, dan Dr. B. Schrieke sebagai anggota, dan Dr. Hazeu ditunjuk

sebagai Penasehat.

Kedua, sejumlah aktivis Boedi Oetomo di Surakarta mempunyai rencana tersendiri. Atas

usul Pangeran Prangwadono perlu diselenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa. Dengan

datangnya perintah datang dari Batavia itu, kaum terpelajar bumiputra tetap pada keinginan untuk

menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa dan bukan Kongres Bahasa Jawa. Setelah

1 Penulis buku KONGRES KEBUDAYAAN 1918-2003), aktif sebagai Sekretaris Jenderal Badan Kerjasama

Kesenian Indonesia (BKKI) dan Lingkar Budaya Indonesia (LBI) serta Anggota Lembaga Sensor Film (LSF)

Page 2: Artikel1

mendengar keputusan itu pihak pemerintah Hindia Belanda membiarkan kaum terpelajar

bumiputra menentukan pilihannya. Pada tanggal 5 Juli 1918 di Kepatihan Mangkunegara

Surakarta berlangsung KK ke-1 dengan nama Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling,.

atau Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa.

Munculnya inisiatif itu tidak dapat dipisahkan dari bangkitnya kesadaran berbangsa. Posisi

tahun penyelenggaraan KK ke-1 itu sangat istimewa, karena tepat di tengah-tengah dua peristiwa

yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu berdirinya BO (1908) dan Sumpah Pemuda

(1928). Tumbuhnya kesadaran berbangsa kerjalan seiring dengan kesadaran masa depan

kebudayaan bangsanya. Kongres itu lahir karena digerakkan oleh semangat yang dimiliki oleh

sejumlah „orang budaya‟ (man of culture) yang tidak lain adalah orang-orang yang terlibat dalam

pergerakan kebangsaan. Oleh karena itu ketiga peristiwa itu tidak hanya merupakan peristiwa

sejarah politik bangsa, tetapi juga merupakan peristiwa sejarah budaya bangsa. Bahkan dengan

segala kekurangannya dapat dikatakan sebagai awal lahirnya ”manifes kebudayaan Indonesia”

pada zaman kita masih sedang dijajah.

Kongres ke-2 diselenggarakan di Surakarta tahun 1919. Dua tahun kemudian (1921)

diselenggarakan KK ke-3 di Bandung, dan tiga tahun kemudian, yakni tahun 1924 diselenggarakan

KK ke-4, di Yogyakarta. KK ke-5 diselenggarakan tahun 1926 di Surabaya. Setelah kongres 1926

disusul oleh KK ke-6 (1929) di Surakarta. Kongres ini diselenggarakan agak istimewa karena

bersamaan dengan peringatan 10 tahun berdirinya Java-Instituut, sebuah lelmbag penelitian

kebudayaan dan kesenian yang didirikan atas rekomendasi KK ke-1. Kongres ke-7

diselenggarakan tahun 1937 di Bali. Yang menarik, kongres ini diselenggarakan setengah di

darat dan setengah di laut. Transportasi dari pulau Jawa ke Bali dan akomodasi para peserta serta

sebagian acara kongres berlangsung di atas kapal laut ‘Op ten Noort’.

Selama ini perhatian orang lebih tertuju pada KK yang diselenggarakan sesudah Indonesia

merdeka saja. Termasuk di kalangan budayawan dan seniman, peristiwa budaya itu tidak banyak

yang memperbincangkannya. Padahal, peristiwa budaya tahun 1918 itu pantas dijadikan tonggak

sejarah. Kongres itu telah menjadi motor penggerak diselenggarakannya KK berikutnya hingga

sekarang. Hasil yang dicapai amat besar manfaatnya bagi dasar pengembangan kebudayaan

bangsa.

Pokok-pokok pikiran yang lahir dari kongres-kongres itu menjadi landasan dalam

membangun solidaritas dan mengembangkan kebudayaan bangsa hingga sekarang. Kenyataan

Page 3: Artikel1

sebagai bangsa majemuk (multietnik) dan memiliki budaya beranekaragam (multikultur) menjadi

sumber inspirasi dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Kemajemukan telah menumbuhkan

hasrat, semangat dan inspirasi untuk mewujudkan kebudayaan bersama, menjadi milik bersama,

menuju perwujudan kebudayaan Indonesia, yang kemudian dibingkai dalam semboyan “Bhinneka

Tunggal Ika.”

Meskipun KK ke-1 1918 berjudu Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa, namun dalam

perdebatan melebar mengenai konsep bangsa yang majemuk dan kebudayaan bangsa yang

beranekaragam. Perbincangan mengenai kebudayaan Jawa saja dinilai terlalu sempit. Dalam

kongres kedua tahun 1919 masalah diperlebar, mencakup kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali.

Dalam diskusi melebar lagi ke masalah kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia.

Mereka sepakat untuk memajukan kebudayaan bangsa, mutu sumber daya manusia sebagai

pendukung kebudayaan ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan peran pendidikan dalam

proses pembudayaan (KK 1918). Anak-anak bumiputra perlu diberikan pelajaran sejarah bangsa,

arsitektur, bahasa, sastra, filsafat, musik tadisional, tari, sandiwara (tonil) dan kerajinan (besi,

perak, emas, kayu, tenun, bambu, kulit dll.) Tujuannya adalah untuk merubah pola pikir (mindset)

masyarakat suku bangsa terutama merubah pandangan sebagai bangsa kuli (terjajah) menjadi

bangsa yang merdeka dan berkepribadian, serta dari pola pikir kehidupan bersuku-suku menuju ke

arah kehidupan satu bangsa.

Perdebatan juga mengarah pada upaya perlindungan kebudayaan agar kebudayaan tidak

mengalami kerusakan dan kemusnahan (KK 1924). Perlindungan diarahkan pada kebudayaan

yang bersifat benda (tangible) maupun yang bersifat non-benda (intangible). Hal ini tergambar

pada perbincangan mereka tentang nilai-nilai (tatakrama), seni musik, keutuhan berbagai

bangunan kuno, situs purbakala, arsitektur, alat-alat kesenian, hasil kerajinan, bahasa daerah,

hingga pada sistem keluarga dan adat. Melalui kongres mereka merintis berdirinya lembaga

penelitian kebudayaan Java Instituut (KK 1918), berbagai museum, sekolah seni kerajinan tangan

(Kunst Ambachtsschool), serta membuka jurusan Sastra, Filsafat, dan Budaya Timur (KK 1929)

seperti yang ada hingga sekarang. Untuk melindungi benda peninggalan sejarah dan purbakala,

atas inisitif PAJ Moojen disusun Monumenten Ordinanntie (MO) stbl. 238 tahun 1931 yang

kemudian disempurnakan menjadi UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Dari uraian sekilas mengenai perjalanan KK sebelum Indonesia dapat ditarik kesimpulan

bahwa sumbangan kongres dalam meletakkan dasar mengenai konsep, kebijakan dan strategi

Page 4: Artikel1

pemajuan bangsa maupun kebudayaan bangsa amat besar. Tetapi sayangnya, peran dan posisi

peristiwa budaya yang terjadi di alam penjajahan itu justru kurang mendapatkan perhatian

dibandingkan dengan kongres yang lain. Berbeda dengan posisi Kongres Pemuda dan Kongres

Perempuan yang telah ditempatkan sebagai peristiwa sejarah dan tercatat dalam buku sejarah

perjalanan bangsa.

Kerancuan Urutan Kongres Sesudah Indonesia Merdeka

Urutan penyelenggaraan KK sesudah Indonesia merdeka ternyata rancu. Perdebatan

masalah urutan itu diawali pada saat berlangsung KK di Magelang tahun 1948. Ketika itu

dipersoalkan KK itu sebagai KK pertama, atau kedua atau malahan ketiga?

Kerancuan itu muncul karena kegiatan ”Musyawarah Kebudayaan” di Sukabumi pada 31

Desember 1945 telah dianggap sebagai KK ke-1, sehingga kongres di Magelang merupakan KK

ke-2. Sementara itu menurut Mr. Wongsonegoro KK di Magelang sebagai yang ke-3, karena

Kongres Pendidikan di Solo tahun 1947 disebutnya sebagai KK ke-2. Menengahi perdebatan itu

Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan setuju jika kongres di Magelang dinyatakan sebagai KK

ke-1 karena persiapannya lebih matang dan cakupannya lebih luas.

Permasalahan jumlah dan urutan KK kembali terulang pada KK 2003 di Bukittinggi yang oleh

Panitia dinyatakan sebagai KK ke-5. Peserta mengatakan bukan KK ke-5 tetapi ke-7, karena ada

dua kongres yang dilupakan, yakni KK 1957 dan 1960. Kali ini penyebabnya adalah tidak

konsistennya dalam penamaan kegiatan. Dalam Warta Kebudayaan terbitan Badan Musyawarat

Kebudayaan Nasional (BMKN), kedua pertemuan itu disebut sebagai “Pertemuan BMKN”, “Rapat

Umum BMKN”, dan pada bagian lain disebut ”Konferensi Budaya” dan “Kongres BMKN”. Dalam

buku Prahara Budaya kedua pertemuan itu disebutnya sebagai “Kongres BMKN” bukan dengan

sebutan KK. Karena ketidaktegasan itu maka kerancuan muncul.

Menurut Ajip Rosidi apa pun sebutannya, pertemuan budaya di Bali 1957 dan di Bandung

1960 juga merupakan KK. Sebagai peserta di kedua pertemuan itu Ajip mengakui selama ini

kedua peristiwa budaya itu memang cenderung dilupakan orang, padahal pada kedua peristiwa itu

telah terjadi perdebatan yang cukup keras tentang kebudayaan dan paham politik antara kelompok

budayawan dan seniman yang berhaluan humanisme sosialis (kiri) dengan kelompok humanisme

universal (kanan) dan kelompok netral. Demikian pula halnya dengan pendapat Rosihan Anwar

dan Ramadhan KH serta Saini KM, semuanya menyatakan bahwa kongres yang diselenggarakan

Page 5: Artikel1

di Bali tahun 1957 dan di Bandung tahun 1960 adalah Kongres Kebudayaan juga. Nama yang

terakhir itu menjadi salah satu dari lima peserta kongres yang menandatangani protes terhadap

sikap kelompok yang berhaluan humanisme sosialis dalam bentuk puisi . Empat peserta yang lain

adalah Dodong Djiwapradja, Ajip Rosidi, Ramadhan KH, dan Toto Sudarto Bachtiar.

Bertolak dari pendapat dan dokumen yang ada, urutan KK perlu ditata ulang menjadi sebagai

berikut: KK 1948 di Magelang (ke-1), KK 1951 di Bandung (ke-2), KK 1954 di Surakarta (ke-3),

KK 1957 di Denpasar/Bali (ke-4), KK 1960 di Bandung (ke-5), KK 1991 di Jakarta (ke-6), dan KK

2003 di Bukittinggi adalah yang ke-7. Anehnya, ketika KK 1991 disebut sebagai KK ke-4

(mestinya ke-6) tidak pernah ada yang mengoreksi, sehingga kesalahan itu terbawa terus hingga

ke KK 2003 di Bukittinggi. Dengan adanya penegasan di atas maka KK 2008 yang akan datang

jelas bukan KK ke- 6 tetapi ke- 8.

Tetapi jika KK tahun 2008 ini digunakan sebagai kesempatan menata ulang urutan KK

seharusnya jangan tangung-tanggung. Jauh sebelum Indonesia merdeka telah berlangsung

sebanyak 7 kali KK, dan kongres itu sangat pantas dinyatakan sebagai tonggak sejarah karena

memiliki arti penting bagi perkembangan kesadaran berbudaya bangsa. Dengan demikian pantas

pula jika ditempatkan sebagai bagian dari KK di Indonesia. Oleh karena itu, KK yang

diselenggarakan tahun 2008 ini seharusnya menjadi KK ke-15, yakni setelah 7 kali KK sebelum

Indonesia merdeka ditambah dengan 7 kali KK sesudah Indonesia merdeka. Mengapa takut?

Bukankah Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan tahun 1938 yang juga berarti

diselenggarakan sebelum Indonesia menjadi bangsa merdeka telah diakui sebagai Kongres

Bahasa Indonesia ke-1?

Tetapi, kalau kita memang sepakat menghindari polemik, untuk kongres yang akan datang

cukup disebut ”Kongres Kebudayaan 2008” saja, tanpa mencantumkan urutan. Tentang urutan

biarkan saja menjadi sebuah pertanyaan yang dapat dijawab oleh siapa pun sesuai pendapat

masing-masing.

Kemanggisan-Jakarta, 27 Agustus 2008

Nunus Supardi