artikel astri reinventing government

23
Tanamkan Konsep Reinventing Government dalam Pelaksanaan Otonomi daerah Oleh : Astri Yulia NIM: 24512002 Kelas : AKBU 2012 E-mail : [email protected] ABSTRACT Reinvention is not just another word for reform, nor is it synonymous with downsizing, or privatization, or simply cutting waste and fraud. It is about something much deeper, something tantamount to changing the very “DNA” of public organizations so that they habitually innovate, continually improving their performance without having to be pushed from outside. It is about building an entrepreneurially minded public sector with a built-in drive to improve—what some would call a self-renewing system.Obviously, this is complex work that requires careful strategy. David Osborne and Peter Plastrik lay out what they call the “Five Cs” for successfully reinventing public organizations:The Core Strategy, to help them create clarity of purpose.The Consequences Strategy, to introduce consequences for their performance.The Customer Strategy, to make them accountable to their customers.The Control Strategy, to empower organizations and their employers to innovate.The Culture Strategy, to change the habits, hearts, and minds of public employees. ABSTRAK 1

Upload: astri-yulia

Post on 25-May-2015

1.526 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel astri reinventing government

Tanamkan Konsep Reinventing Government dalam

Pelaksanaan Otonomi daerah

Oleh : Astri Yulia

NIM: 24512002

Kelas : AKBU 2012

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Reinvention is not just another word for reform, nor is it synonymous with downsizing,

or privatization, or simply cutting waste and fraud. It is about something much deeper,

something tantamount to changing the very “DNA” of public organizations so that they

habitually innovate, continually improving their performance without having to be

pushed from outside. It is about building an entrepreneurially minded public sector with

a built-in drive to improve—what some would call a self-renewing system.Obviously,

this is complex work that requires careful strategy. David Osborne and Peter Plastrik

lay out what they call the “Five Cs” for successfully reinventing public

organizations:The Core Strategy, to help them create clarity of purpose.The

Consequences Strategy, to introduce consequences for their performance.The Customer

Strategy, to make them accountable to their customers.The Control Strategy, to

empower organizations and their employers to innovate.The Culture Strategy, to

change the habits, hearts, and minds of public employees.

ABSTRAK

Reinvention bukan hanya kata lain untuk reformasi , juga tidak identik dengan

pengurangan , atau privatisasi , atau hanya memotong limbah dan penipuan . Ini

adalah tentang sesuatu yang jauh lebih dalam , sesuatu yang sangat sama saja dengan

mengubah " DNA " dari organisasi publik sehingga mereka biasa berinovasi , terus

meningkatkan kinerja mereka tanpa harus didorong dari luar. Ini adalah tentang

membangun pemerintah wirausaha dengan memikirkan pembangunan untuk

meningkatkan - apa yang orang inginkan untuk memperbaharui sistem. Jelas, ini

1

Page 2: Artikel astri reinventing government

adalah pekerjaan yang kompleks yang memerlukan strategi hati-hati. David Osborne

dan Peter Plastrik mengeluarkan apa yang mereka sebut " Lima Cs " untuk

keberhasilan Reinventing Government : Strategi Inti , untuk memperjelas maksud

organisasi. Konsekuensi Strategi, untuk menerapkan konsekuensi atas kinerja

organisasi.Strategi Pelanggan, untuk menciptakan pertanggungjawaban organisasai

pemerintah terhadap pelanggan Strategi Kontrol, untuk memberdayakan organisasi

dan pegawainya agar bisa berinovasi. Strategi Budaya, untuk mengubah kebiasaan,

hati , dan pikiran karyawan publik.

A. PENDAHULUAN

1. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diselenggarakan lebih

dari satu dasawarsa. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai

diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa

kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah

mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang

kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di

berbagai bidang.

Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi

oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan

tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam

pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan

demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui

pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan

antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta pembaharuan

manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi

yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah

terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator

peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

2

Page 3: Artikel astri reinventing government

Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu

daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas

pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini terutama disebabkan

karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada

awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan

pemerintahan daerah masing-masing.

Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat

beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia

yang meliputi kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota

lembaga legislatif dan partisipasi masyarakatnya. Faktor keuangan daerah,

baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, yang akan

mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah. Faktor

manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien

sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah.

Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa

yang menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara

yang lebih baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak

sesuai dengan apa yang dibayangkan. Pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang

berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam pelaksanaan

otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin

sejuk reformasi berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria

reformasi dan dalam situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat

kesejahteraan rakyat, Negara Indonesia membuat suatu keputusan

pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar

pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Judicial review ini dilakukan

setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan terhadap pelaksanaan

3

Page 4: Artikel astri reinventing government

otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan dengan

mendasarkannya pada logika hukum.

Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan

dimana mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil

judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka

bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia

menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang

sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan

realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya dan tidak

dapat dilaksanakan. Wacana ini pernah ditulis oleh Hikmahanto Yuwono dan

dimuat di harian Kompas pada tahun 2002.

Pelaksanaan otonomi daerah telah mendorong lahirnya banyak

perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang

berperan siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya

kewenangan untuk mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah

tidak berarti bahwa daerah bisa secara massif berupaya meningkatkan

pendapatan daerah yang disisi lain justru berpotensi mengurangi investasi

dan memperlambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Demikian pula bahwa perencanaan pembangunan di daerah mesti

didasarkan pada analisa yang obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah

dan harrus secara bijak memperhatikan kepentingan masyarakat kecil.

Belakangan ini kita sangat sering menyaksikan bagaimana para pedagang

kecil yang harus disejahterakan melalui pelaksanaan otonomi daerah justru

menjadi korban penggusuran.

2. Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah

Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan

aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung

keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Sebagai wujud komitmen

nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan

reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama

4

Page 5: Artikel astri reinventing government

dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2010 – 2014. Makna reformasi birokrasi adalah:

Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia;

Pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad

ke-21; Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antarfungsi-fungsi

pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang

tidak sedikit; Upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi

hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah

bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar

kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa; Upaya merevisi

dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan

praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas

fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.

Atas dasar makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan

dapat: Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan

kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; Menjadikan

negara yang memiliki birokrasi yang bersih, mampu, dan melayani;

Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; Meningkatkan mutu

perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; Meningkatkan

efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi;

Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam

menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya

dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di

Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa

Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi

Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden

No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025,

dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi

Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman

dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan

Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang

5

Page 6: Artikel astri reinventing government

Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan

pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.

Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah

dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan

dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi

Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan

reformasi birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid

dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang

objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari

sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun

2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk

operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang

Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara

Online.

Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi

Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah

untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi

sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB

mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program

reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator

Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator

keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.

Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB),

berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal

pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.

3. Kajian Pustaka

Dari sepuluh prinsip Reinventing Government yang disampaikan oleh

David Osborne. Maka terkandung empat prinsip yang merupakan inti dari

pada prinsip Reinventing Government itu sendiri antara lain ;

6

Page 7: Artikel astri reinventing government

1. Steering, dalam hal ini pemerintah memfasilitasi atau menjembatani

keinginan dari pada masyarakat. Jadi tugas pemerintah disini mengarahkan

bukan intervensi terhadap keingginan dari pada masyarakat itu sendiri.

2. Empowering, pemerintah merupakan milik dari pada masyarakat dan

memberikan wewenang ketimbang melayani masyarakat. Disini titik

beratnya adalah memberdayakan anggota masyarakat sehingga masyarakat

merasa memiliki program-program pemerintah

3. Meeting the needs of the costumer, not the bureaucracy, pemerintah

berorientasi pada pelanggan dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Sehingga

kualitas harus ditentukan oleh pelanggan bukan oleh birokrasi.

4. Earning, dalam pemerintahan yang wirausaha mengutamakan

menghasilkan dari pada membelanjakan.

5. Prevention, pemerintah antisipatif dimana lebih baik mencegah dari pada

mengobati.

B. PEMBAHASAN

1. Reinventing Government

Reinventing Government “menurut David Osborn dan Peter Plastrik dalam

Banishing Bureaucracy dimaknai sebagai berikut.

The fundamental tranformation of public system and organizations to

create dramatic increaces in their effectiveness, efficiency, adaptability

and capacity to innovate.this transformation is accomplishedby changing

their purpose, incentives,accountability, power structure and culture.

Transformasi ini akan tercapai apabila dengan mengubah tujuan, sistem

insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan

organisasi pemerintahan”. Pembaruan adalah dengan penggantian sistem yang

bersifat wirausaha. Pembaruan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk

menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat,

7

Page 8: Artikel astri reinventing government

menciptakan organisasi-organisasi yang mampui memperbaiki efektifitas dan

efisiensi pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang.

Reformasi konsep birokrasi memiliki tujuan untuk mewujudkan good

governance yang dalam pelaksanaanya bebas dari KKN. Selain itu pelaksanaan

reformasi yang profesional akan mampu mewujudkan pelayanan masyarakat

yang lebih baik, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

Dapat dibayangkan, peran pemerintah masa mendatang adalah

pemetrintah yang kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada

warga, mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan

masukkan, digerakkan oleh tujuan/misi, bukan oleh peraturan, menempatkan

klien sebagai pelanggan, dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan lebih

baik, mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis setelah masalah

muncul, mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya

membelanjakan, mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan

manajemen partisipasi, lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme

birokratis, memfokuskan pada mengkatalisasi stakeholder (pemerintah swasta

dan lembaga sukarela) kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh

bentuk peran pemerintah yang akan datang ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari

Reinventing Government.

Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan

yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) dalam Mardiasmo (2002), yang

tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep ‘reinventing

government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut

adalah :

1. Pemerintahan katalis; fokus pada pemberian pengarahan,

bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam

pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses

produksinya. Sebaiknya pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan,

sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau

sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan non profit lainnya).

2. Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan masyarakat

daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada

8

Page 9: Artikel astri reinventing government

masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong

dirinya sendirinya (self-help community).

3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi

dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk

menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan

kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya

tanpa harus memperbesar biaya.

4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi

yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.

Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam

mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan

masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu

unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin

kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan.

Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit

kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka

memiliki peluang baru, semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin

banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah wirausaha berusaha mengubah

bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan.

Pemerintah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang

mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan

yang menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya semakin banyak

pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah

dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan; memenuhi kebutuhan

pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam

mengidentifikasikan pelanggannya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhan

dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi

arogan. Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan

mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini,

tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab pada dewan legislatif;

9

Page 10: Artikel astri reinventing government

tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda : kepada

legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan

arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan

masyarakat.

7. Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan

tidak sekedar membelanjakan. Pemerintah tradisional cenderung tidak

berbicara tentang upaya menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal,

banyakyang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses

penyediaan pelayanan publik. Pemerintah wirausaha dapat mengembangkan

beberapa pusat pendapatan, seperti : BPS dan Bappeda yang dapat menjual

informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian, pemberian hak guna

usaha kepada pengusaha dan masyarakat, penyertaan modal, dan lain-lain.

8. Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati.

Pemerintah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi

pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik, serta cenderung bersifat

reaktif. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya

mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk

mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perenca-naan strategis untuk

menciptakan visi.

9. Pemerintah desentralisasi; dari hierarki menuju partisipatif dan

tim kerja. Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan

hierarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat,

mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan

dengan masyarakat dan bisnis. Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok,

karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar lokasi

masih lamban, dan aparatur pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk

langsung. Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan

teknologi sudah sangat maju dan keinginan masyarakat sudah semakin

kompleks, sehingga pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat,

asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.

10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar; mengadakan

perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif ) dan bukan dengan

10

Page 11: Artikel astri reinventing government

mekanisme administratif (sistem prosedurdan pemaksaan). Manajemen

pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat

berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik

baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan. Di

dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk

meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung

mengutamakan sistem dan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi

pada kinerja atau hasil kerja.

2. Penerapan Konsep Reinventing Government

Bagaimana konsep Reinventing Government dapat diterapkan, terutama

dalam pelaksanaan otonomi daerah ? Dengan kata lain apa yang dapat kita

lakukan untuk menumbuhkan birokrasi yang mempunyai semangat wirausaha

dalam pemerintah daerah sehingga tujuan pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah dapat dicapai dengan baik.

Untuk menjawab permasalahan ini, Osborne dan Plastrik menyatakan

bahwa setidaknya terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk melakukan

perubahan yang mendasar dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan

birokrasi yang efektif dan efisien ataupun kemampuan menyesuaikan dan

kapasitas untuk memperbarui sistem dan organisasi publik.

Pertama, strategi inti (the core strategy). Strategi ini menentukan tujuan

sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai

tujuan yang banyak, atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat

mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan

mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh

karena itu, penting adanya bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik

untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.

Barangkali penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai arah dan

pegangan yang jelas. Diluar itu, strategi ini terutama berkaitan dengan usaha-

usaha memperbaiki pengarahan (steering).

11

Page 12: Artikel astri reinventing government

Kedua, Strategi Konsekuensi (the concequences strategy). Strategi ini

menentukan insentif-insentif yang dibangun kedalam sistem publik. Birokrasi

memberikan para pegawainya yang insentif kuat untuk mengikuti peraturan-

peraturan, dan sekalligus mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para

pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka

hasilkan. Namun, dlam rangka Reinventing Goverment, seperti diungkapkan

oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara

emnciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu organisasi-

organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan

membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh

penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat

kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-

organisasi publik dan swasta.

Ketiga, Strategi Pelanggan (the customers strategy). strategi ini terutama

memfokuskan pada pertanggungjawaban. Berbeda dengan birokrasi lama, dalam

birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik

hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap

sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata

ditempatkan pada pejabat birokratis diatasnya. Model pertanggungjawaban

seperti ini dapat diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-

organisasi publik untuk memperbaikik kinerja ataupun pengelolaan sumber-

sumber organisasi. Selanjutnya dengan memberikan pertanggungjawaban

kepada masyarakat aatu konsumen akan dapat menciptakan informasi yaitu,

tentang kepuasan konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan

tertentu. Degan kata lain, penyerahan pertanggungjawaban kepada para

konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran

yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers

satification)

Keempat, Strategi Kontrol (the control strategy) strategi ini menentukan

dimana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem

birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarki.

Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat

12

Page 13: Artikel astri reinventing government

organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan

harus melalui jenjang hierarki yang panjang sehingga membuat proses

pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini k dipaksakan, maka

jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barriers. Pada

akhirnya secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah

dan memberikan memberikan pelayanan kepada masyakrakat akan berlangsung

lamban karena bawahan tidak di beri ruang yang cukup untuk mengambil

inisiatif dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, penting adanya

emndesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan

karyawan atau pegawai birokrasi dibawahnya karena hal ini akan mendorong

timbulnya rasa tanggung jawab di kalangan para pegawai birokrasi, dan dalam

konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses

implementasi kebijakan.

Kelima,Strategi Budaya (the culture strategy) strategi ini menentuka

budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan

harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh

tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaan

organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem

pertanggungjawaban dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.

C. KESIMPULAN DAN SARAN

Otonomi daerah sebagai salah satu mekanisme dalam penyelenggaraan

pemerintahan, didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain pentingnya

keterbukaan, pemberdayaan, membawa konsekuensi logis bagi birokrasi untuk

mereformasi diri. Hal ini cukup beralasan mengingat birokrasi yang ada semenjak

orde baru telah melenceng dari filosofi dasarnya yakni sebagai pelayan publik. Satu

hal penting yang dapat mendukung dalam upaya reformasi birokrasi adalah

kemauan politik dari seluruh jajaran birokrasi dari tingkat pusat sampai daerah.

Komitmen untuk berubah menyesuaikan tuntutan dan kondisi masyarakat perlu

terus menerus dikembangkan, sehingga birokrasi tidak lagi menjadi hal yang

menakutkan, menyebalkan, membosankan dan julukan yang bernada negatif tidak

perlu lagi terdengar di masa mendatang.

13

Page 14: Artikel astri reinventing government

Untuk itu, diperlukan Reinventing Government yang bermakna dalam pencarian

format birokrasi yang mempunyai kemampuan untuk memperbarui secara mandiri

dan mempunyai mentalitas wirausaha. Hal ini karena otonomi daerah dengan

berbagai tujuan yang hendak di capai memerlukan birokrasi yang efisien, yang

secara cepat mampu memperbarui diri dan responsif terhadap perubahan-perubahan

yang terjadi.

Namun, dalam menerapkan konsep Reinventing Government akan mendapat

banyak kendala. Hal ini karena model birokrasi di Indonesia dicirikan oleh model

birokrasi patrimonial, birokrasi rente, dan bureaucratic polity. Sebernarnya model-

model birokrasi tersebut sangat bertentangan dengan model birokrasi wirausaha.

Oleh karena itu, usaha mewirausahakan birokrasi tidak akan dapat dilakukan dengan

baik tanpa terlebih dahulu tanpa menghancurkan model birokrasi yang lama. Untuk

itu, diperlukan komitmen yang kuat dari elite politik. Selain itu, hal ini juga dapat

dilakukan dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan

pengawasan terhadap kinerja birokrasi. Oleh karena itu, program pemberdayaan

masyarakat menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Penguatan

kelompok-kelompok kepentingan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga

penting dilakukan karena kelompok-kelompok ini dapat diharapkan perannya dalam

konteks menyediakan sumber informasi yang cukup untuk mengambil tindakan-

tindakan yang bersifat politis, terutama dalam konteks penyikapannya terhadap

kinerja birokrasi publik.

D. DAFTAR PUSTAKA

Osborne, David and Peter Plastrik, 1992. Banishing Bureaucracy, New

York:Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

_______ and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How to

Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, New York:

Penguin Books, Ltd.

14

Page 15: Artikel astri reinventing government

Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan

Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan

Kepemerintahan yang baik), Refika Aditama, Bandung, 2009.

Sarundajang,1999, Arus Balik Kekuasaan ke Pusat Daerah. Jakarta : Sinar

Harapan

http://pmprb.menpan.go.id

15