aplikasi analytic network process (anp) di dalam …digilib.unila.ac.id/28869/3/tesis tanpa bab...
TRANSCRIPT
APLIKASI ANALYTIC NETWORK PROCESS (ANP) DI DALAM
STRATEGI IMPLEMENTASI DIMENSI LINGKUNGAN DARI
COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)
DI PROVINSI LAMPUNG
(Tesis)
Oleh
WAHYU WIBOWO
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRAK
APLIKASI ANALYTIC NETWORK PROCESS (ANP) DI DALAM
STRATEGI IMPLEMENTASI DIMENSI LINGKUNGAN DARI
COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)
DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
WAHYU WIBOWO
Kopi merupakan komoditas penting di dunia dan kopi berkelanjutan
diperdagangkan sejak tahun 1967. Produksi kopi dunia saat ini 8,6 juta ton
dengan konsumsi 9 juta ton, sehingga korporasi industri kopi memberikan harga
premium untuk sustainable coffee sebesar USD 175 juta per tahun. Salah satu
standar kopi keberlanjutan terkemuka adalah Common Code for the Coffee
Community (4C) berdasarkan potensi pasokan yang tertinggi di dunia. Sebagai
standar tingkat dasar, 4C memudahkan petani kecil dalam implementasi standar
keberlanjutan. Total pasokan kopi 4C dunia sekitar 2,8 juta ton dan sumbangan
kopi 4C Provinsi Lampung hanya 63 ribu ton. Standar 4C yang diadopsi sejak
2008 di Provinsi Lampung, menunjukkan dimensi ekonomi dan dimensi sosial
dengan kinerja yang tinggi; dan dimensi lingkungan berkinerja rendah. Untuk itu,
aplikasi pemodelan Analytic Network Process (ANP) dipergunakan untuk
menyusun strategi implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Kategori Dimensi Lingkungan Unit 4C
terverifikasi di Provinsi Lampung yang berkinerja kurang baik, menetapkan
indikator prioritas dan strategi implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi
Lampung. Hipotesis dari penelitian ini adalah petani kopi belum memahami
implementasi standar keberlanjutan dan tidak mengetahui skala prioritas dari
Dimensi Lingkungan 4C. Penelitian ini dimulai pada Maret sampai Juni 2016.
Metode penelitian adalah analisis kualitatif dengan pemodelan aplikasi ANP,
mempergunakan data sekunder lima Unit 4C terverifikasi di Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung; data primer dari responden
terpilih, serta hasil FGD. Simpulan penelitian ini adalah tingkat kinerja Kategori
Dimensi Lingkungan 4C kurang baik. Penelitian menghasilkan lima prioritas,
yaitu: “Konservasi keanekaragaman hayati”, “Kesuburan tanah dan manajemen
nutrisi”, “Limbah”, “Konservasi tanah”, serta “Penggunaan dan penanganan
bahan kimia”. Strategi implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi
Lampung yang dapat diterapkan oleh 4C Association adalah melakukan pelatihan
spesifik “Konservasi Keanekaragaman Hayati”, sistem keterlacakan, aturan harga
premium, serta melakukan un-announcement visit Unit 4C. Selain itu, industri
dan eksportir harus berkomitmen dengan petani kopi, penguatan social capital
kelompok tani, serta investasi untuk program keberlanjutan. Pemerintah perlu
meningkatkan peran dalam tata kelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan
penegakan hukum, pemberdayaan penyuluh pertanian lapangan (PPL), serta
regulasi pupuk dan pestisida; adapun petani dapat melakukan penguatan
kelembagaan, meningkatkan kemampuan budidaya tanaman kopi yang baik dan
berkelanjutan, serta pengelolaan kebun dengan memperhatikan aspek kualitas
lingkungan. Saran penelitian adalah kinerja Unit 4C terverifikasi harus
disampaikan oleh Entitas Pengelola ke petani kopi untuk perbaikan kategori
berkinerja kurang baik, pemenuhan syarat standar keberlanjutan melalui
pendekatan komprehensif collective action, serta strategi implementasi tersebut di
atas harus dibuat kerangka kerja oleh Unit 4C untuk dapat dinilai efektivitas dan
kinerjanya berdasarkan waktu.
__________
Kata kunci: kopi, Provinsi Lampung, Dimensi Lingkungan 4C, Analytic Network
Process (ANP)
ABSTRACT
ANALYTIC NETWORK PROCESS (ANP) APPLICATION IN THE
IMPLEMENTATION STRATEGY OF ENVIRONMENTAL DIMENSION
OF THE COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)
IN LAMPUNG PROVINCE
By
WAHYU WIBOWO
Coffee is an important commodity in the world and sustainable coffee is traded in
1967. World coffee production is currently 8.6 million tons with consumption of 9
million tons, therefore the coffee industry corporation providing premium price
for a sustainable coffee of USD 175 million per year. One of the leading
sustainability standards of coffee is Common Code for the Coffee Community
(4C) with the highest potential supply in the world. The 4C as a baseline standard
that enables smallholders in the implementation of sustainability standards. Total
supply of 4C coffee at the global level is about 2.8 million tons and contribution
of 4C coffee from Lampung Province is only 63 thousand tons. The 4C was
adopted since 2008 in Lampung Province, shows high-performance of economic
and social dimensions; and low-performance of environmental dimensions.
Therefore, the Analytic Network Process (ANP) modeling application is used to
develop implementation strategy of 4C Environmental Dimension in Lampung
Province. The purpose of this research is to know in which Category of 4C
Environmental Dimensions from verified 4C Unit in Lampung Province with low-
performance, provide a priority and implementation strategy of 4C Environmental
Dimension in Lampung Province. The hypothesis of this research is that coffee
farmers still have not understood how to implement the sustainability standards
and are not aware of the priority scale of the 4C Environmental Dimension. This
research was started from March to June 2016. The research method is qualitative
analysis with ANP application modeling, using secondary data of five verified 4C
Unit in West Lampung District and Tanggamus District, Lampung Province;
primary data from selected respondents, and FGD results. The conclusion of this
research is that the performance level of the 4C Environmental Dimension
Category is not very good. This research resulted five priorities, i.e.:
"Biodiversity conservation", "Soil fertility and nutrient management", "Waste",
"Soil Conservation", and "Use and handling of chemicals". The implementation
strategy of 4C Environmental Dimension in Lampung Province that applicable to
the 4C Association is to conduct specific training of "Biodiversity conservation",
traceability system, premium pricing regulation, and un-announcement visit to 4C
Unit. Industries and exporters can commit to coffee farmers, strengthening of
farmers' social capital, and investing in sustainability programs. Government can
enhance role of forest community governance and law enforcement,
empowerment of agricultural extension, and regulation of fertilizer and pesticide;
while farmers can strengthen their institutions, improve capability on good
agriculture practices, and farm management with regard to environmental aspects.
Recommendation that can be given is that the performance of verified 4C Unit
should be communicated by Managing Entity to coffee farmers for the
improvement of categories with low-performance, fulfillment of sustainability
standard requirements through a comprehensive collective action approach, and
implementation mentioned above must be created by 4C Unit into a framework
that would enable a rating of its effectiveness and performance against time.
__________
Keywords: coffee, Lampung Province, 4C Environmental Dimension, Analytic
Network Process (ANP)
APLIKASI ANALYTIC NETWORK PROCESS (ANP) DI DALAM
STRATEGI IMPLEMENTASI DIMENSI LINGKUNGAN DARI
COMMON CODE FOR THE COFFEE COMMUNITY (4C)
DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh
WAHYU WIBOWO
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS
Pada
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis telah berkecimpung di dalam supply chain komoditas pertanian lebih dari
15 tahun, dengan konsentrasi pada komoditas kopi, teh, kelapa sawit, rempah-
rempah, dan spices. Kegiatan yang berhasil dilakukan adalah menciptakan sentra
baru dengan mitra lokal, menjamin pasokan secara rutin dan konsisten dengan
spesifikasi yang sudah ditetapkan.
Pengalaman kerja diperoleh dari PT. Haldin Pacific Semesta (General Manager
Operation), PT. Bromelain Enzyme (General Manager/Site Director), dan 4C
Association (Regional Manager Indonesia). Saat ini menjabat sebagai Direktur
PT. 4C Asosiasi Indonesia dan Manager Indonesia dari Global Coffee Platform
(GCP). Penulis juga merupakan founding partner dari Lumintu Sustainable
Services, sebuah organisasi yang membantu implementasi projek pertanian
keberlanjutan.
Penulis sekarang aktif terlibat dalam platform keberlanjutan untuk sektor kopi di
Indonesia dan tingkat global, dengan kegiatan diantaranya: fasilitator untuk
training of trainer (ToT) kurikulum nasional kopi robusta dan arabika di
Indonesia, master trainer untuk 4C Code of Conduct di dalam dan luar negeri,
fasilitator akses pembiayaan untuk 3.400 petani di Malang Selatan, ketua gugus
tugas standar keberlanjutan dan indikasi geografis dari Sustainable Coffee
Platform of Indonesia (SCOPI), menjadi tim perumus untuk kegiatan Rancangan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Budidaya Kopi
Berkelanjutan, mitra pemerintah untuk inisiasi benchmarking standar nasional
Indonesian Sustainable Coffee (ISCoffee) dengan standar internasional, serta
diundang sebagai key speaker di beberapa kegiatan di Indonesia dan luar negeri
terkait dengan kopi berkelanjutan.
i
Buat Mama Lisa atas dedikasinya.
Buat Kakak Vici dan Adik Sidney, semoga hasil ini
dapat menjadi pendorong kalian untuk pencapaian tertinggi!
ii
SANWACANA
Atas perlindungan dan ijin Allah S.W.T, penulis dapat menyelesaikan penelitian
berjudul: Aplikasi Analytic Network Process (ANP) di dalam Strategi
Implementasi Dimensi Lingkungan dari Common Code for the Coffee Community
(4C) di Provinsi Lampung. Penelitian ini berawal dari keingintahuan penulis
untuk dapat memahami kondisi perkebunan kopi dan implementasi standar
keberlanjutan di Provinsi Lampung, serta dapat memberikan sedikit andil untuk
kemajuan sektor kopi di Indonesia.
Penulis merasa bangga dapat berkolaborasi dengan para pakar dan dosen selama
masa perkuliahan di Universitas Lampung, serta mengucapkan terima kasih atas
bantuan dan saran selama penelitian kepada:
1. Dr. Ir. Agus Setiawan, M.S., selaku pembimbing utama, yang bersedia
memberikan jalan dan inspirasi sejak semester dua perkuliahan.
2. Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., selaku pembimbing kedua, yang bersedia
memberikan waktu lebih untuk konsultasi, dan selalu membuat penulis
termotivasi dengan filosofi yang diberikan.
3. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., selaku penguji, yang bersedia memberikan
saran dan masukan untuk arah yang lebih baik dari penelitian ini.
iii
4. Teman-teman Petani Kopi Indonesia, Penyuluh, Entitas Pengelola,
Verifikator, Pimpinan dan Staff dari Kementrian Pertanian (Direktorat P2HP,
Direktorat Tanaman Tahunan dan Tanaman Penyegar, serta Pusat Pelatihan
Pertanian), Pimpinan dan Staff dari Dinas Perkebunan Provinsi Lampung,
Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus,
Dinas Pertanian Kabupaten Bondowoso, Dinas Pertanian Kabupaten Sungai
Penuh, Dinas Pertanian Kabupaten Enrekang; atas waktu dan saran pada saat
diskusi.
5. Cornelis Hanssen, selaku line manager di 4C Association, atas fasilitas (data
dan biaya penelitian) dan fleksibilitas yang diberikan selama penulis
melakukan penelitian ini.
Bandar Lampung, September 2017
Wahyu Wibowo
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang dan Masalah ......................................................... 1
B. Tujuan............................................................................................ 4
C. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 4
D. Hipotesis ........................................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8
A. Standar Pertanian Berkelanjutan ................................................... 8
B. Standar Kopi Berkelanjutan ......................................................... 11
C. Fungsi 4C Association dan 4C Code of Conduct .......................... 13
1. Kategori-kategori Dimensi Lingkungan dari 4C Code of
Conduct .................................................................................. 14
2. Indikator 4C Code of Conduct ............................................... 17
D. Rantai Pasok dan Kondisi Perkebunan Kopi di Provinsi
Lampung........................................................................................ 18
E. Perkembangan 4C di Indonesia ..................................................... 24
F. Aplikasi Analytic Network Process (ANP) ................................... 25
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 33
A. Waktu dan Tempat ........................................................................ 33
B. Alat ................................................................................................ 33
C. Prosedur dan Langkah Penelitian .................................................. 33
1. Fase 1 – Konstruksi Model .................................................... 35
2. Fase 2 – Kuantifikasi Model .................................................. 36
3. Fase 3 – Analisis Hasil ........................................................... 38
4. Fase 4 – Strategi Implementasi ............................................. 41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 42
A. Data Unit 4C Terverifikasi ............................................................ 42
B. Hasil dan Analisis ANP................................................................. 45
1. Kelompok Responden Entitas Pengelola ............................... 46
2. Kelompok Responden Kolektor ............................................. 47
v
3. Kelompok Responden Petani ................................................. 48
4. Kelompok Responden Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) 49
5. Kelompok Responden Verifikator ......................................... 50
6. Rata-rata Semua Kelompok Responden................................. 51
C. Analisis dan Perbandingan Data Unit 4C Terverifikasi dan Hasil
ANP Semua Kelompok Responden .............................................. 52
D. Hasil Focus Group Discussion (FGD) .......................................... 56
1. Indikator: Program perlindungan lereng, DAS, dan rawa...... 57
2. Indikator: Pupuk organik digunakan ...................................... 59
3. Indikator: Menjalankan penggunaan kembali, daur ulang,
dan pembuangan yang aman .................................................. 60
4. Indikator: Ada rencana dan implementasi konservasi tanah . 61
5. Indikator: Pestisida disimpan dengan baik ............................. 62
E. Strategi Implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi
Lampung........................................................................................ 64
1. Pemilik standar keberlanjutan (4C Association) .................... 64
2. Industri (roasters dan retailers) dan eksportir ...................... 65
3. Pemerintah ............................................................................. 66
4. Petani ..................................................................................... 67
V. SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 69
A. Simpulan........................................................................................ 69
B. Saran .............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72
LAMPIRAN .................................................................................................... 77
Kuisioner Model ANP ............................................................................ 77
Tabel ...................................................................................................... 92
Gambar .................................................................................................. 111
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Matriks 4C Code of Conduct berdasarkan Kategori Dimensi
Lingkungan (Asosiasi 4C, 2012; data diolah) ........................................... 15
2. Contoh kinerja 4C Code of Conduct berdasarkan Dimensi Lingkungan,
Kategori Konservasi Keanekaragaman Hayati (Asosiasi 4C, 2012) ........ 16
3. Tingkat kinerja dan nilai (a) serta rata-rata nilai per prinsip sampel dan
tingkat kinerja (b) (4C Association, 2015b).............................................. 16
4. Matriks indikator 4C Code of Conduct berdasarkan Dimensi Lingkungan,
Kategori Konservasi Keanekaragaman Hayati (Asosiasi 4C, 2012) ........ 17
5. Skala fundamental dari angka mutlak (Saaty and Vargas, 2006) ............. 28
6. Contoh model kuisioner dan pengisian ..................................................... 38
7. Informasi umum Unit 4C terverifikasi di lokasi terpilih (4C Association,
2015c; data diolah) .................................................................................... 42
8. Hasil kompilasi lima Unit 4C terverifikasi di Provinsi Lampung (4C
Association, 2015c; data diolah) ............................................................... 43
9. Skala prioritas Dimensi Lingkungan 4C hasil lima Unit 4C terverifikasi
di Provinsi Lampung (4C Association, 2015c; data diolah) ..................... 44
10. Karakteristik dan informasi kelompok responden .................................... 45
11. Penggabungan data Unit 4C terverifikasi dan hasil ANP semua
kelompok Responden ................................................................................ 52
12. Indikator prioritas dari lima Kategori Dimensi Lingkungan 4C ............... 55
13. Hasil kuisioner Kategori Dimensi Lingkungan 4C untuk Entitas
Pengelola sebanyak lima responden ......................................................... 92
vii
14. Hasil kuisioner Kategori Dimensi Lingkungan 4C untuk Kolektor
sebanyak lima responden .......................................................................... 93
15. Hasil kuisioner Kategori Dimensi Lingkungan 4C untuk Petani
sebanyak 17 responden ............................................................................. 94
16. Hasil kuisioner Kategori Dimensi Lingkungan 4C untuk Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) sebanyak lima responden ............................... 97
17. Hasil kuisioner Kategori Dimensi Lingkungan 4C untuk Verifikator
sebanyak tiga responden ........................................................................... 98
18. Hasil kuantifikasi model ANP untuk Entitas Pengelola ........................... 99
19. Hasil kuantifikasi model ANP untuk Kolektor ......................................... 100
20. Hasil kuantifikasi model ANP untuk Petani ............................................. 101
21. Hasil kuantifikasi model ANP untuk Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL) ......................................................................................................... 102
22. Hasil kuantifikasi model ANP untuk Verifikator ..................................... 103
23. Hasil kuantifikasi model ANP untuk semua kelompok responden .......... 104
24. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari kelompok responden Entitas Pengelola ........................... 105
25. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari kelompok responden Kolektor ......................................... 106
26. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari kelompok responden Petani ............................................. 107
27. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari kelompok responden Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL) ......................................................................................................... 108
28. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari kelompok responden Verifikator ..................................... 109
29. Hasil kuantifikasi model ANP untuk mendapatkan nilai rater
agreement dari semua kelompok responden ............................................ 110
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Grafik kecenderungan produksi dan konsumsi kopi robusta di Indonesia
(TechnoServe, 2014) ................................................................................. 5
2. Alur kerangka pemikiran strategi implementasi Dimensi Lingkungan
4C di Provinsi Lampung ........................................................................... 6
3. Standar keberlanjutan sebagai market-based tools (ISEAL, 2016) .......... 8
4. Sejarah singkat awal standar sampai akhir tahun 1990 (ISEAL, 2016) ... 9
5. Sejarah singkat standar generasi kedua dan ketiga (ISEAL, 2016) .......... 10
6. Total sustainable coffee yang terjual tahun 2012 (Panhuysen and
Pierrot, 2014) ............................................................................................ 13
7. Alur rantai pasok komoditas kopi secara umum (Panhuysen and Pierrot,
2014) ......................................................................................................... 18
8. Alur rantai pasok komoditas kopi di Provinsi Lampung (Arifin, 2010) ... 19
9. Perkembangan produktivitas kopi di Brazil, Vietnam, dan Indonesia
(Hanani, dkk., 2012) ................................................................................. 20
10. Deforestasi di Sumatra akibat illegal logging dan konversi hutan ke
lahan pertanian (WWF, 2007) ................................................................... 21
11. Pola keanekaragaman hayati di dalam perkebunan kopi (Rainforest
Alliance, 2015) .......................................................................................... 23
12. Perkembangan Unit 4C di Indonesia (4C Association, 2015a; 4C
Association, 2015c; data diolah) ................................................................ 25
13. Perbandingan pola linier dan jaringan (Saaty and Vargas, 2006) ............. 27
14. Skema langkah-langkah penelitian ........................................................... 34
ix
15. Konstruksi model ANP Dimensi Lingkungan 4C Code of Conduct ........ 36
16. Alur kuantifikasi (Ascarya, 2009) ............................................................. 38
17. Peta lokasi Unit 4C di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten
Tanggamus, Provinsi Lampung ............................................................... 43
18. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari kelompok
responden Entitas Pengelola ..................................................................... 46
19. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari kelompok
responden Kolektor ................................................................................... 47
20. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari kelompok
responden Petani ....................................................................................... 48
21. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari kelompok
responden Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) ...................................... 49
22. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari kelompok
responden Verifikator ............................................................................... 50
23. Perbandingan Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari rata-rata semua
kelompok responden ................................................................................. 51
24. Perbandingan indikator “Konservasi keanekaragaman hayati” dari
semua kelompok responden ..................................................................... 53
25. Perbandingan indikator “Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi” dari
semua kelompok responden ...................................................................... 53
26. Perbandingan indikator “Limbah” dari semua kelompok responden ....... 54
27. Perbandingan indikator “Konservasi tanah” dari semua kelompok
responden .................................................................................................. 54
28. Perbandingan indikator “Penggunaan dan penanganan bahan kimia”
dari semua kelompok responden ............................................................... 55
29. Aktivitas FGD terkait indikator prioritas dari lima Kategori Dimensi
Lingkungan 4C di Provinsi Lampung ....................................................... 56
30. Kondisi lahan yang curam tanpa program perlindungan lereng ............... 57
31. Dampak deforestasi terhadap ekosistem DAS (Agus, dkk., 2002) ........... 58
32. Kolam daur ulang dan pembuangan limbah berbahaya di salah satu
kelompok tani di Kabupaten Tanggamus ................................................. 60
x
33. Teknik konservasi tanah di perkebunan kopi di Provinsi Lampung
(Agus, dkk., 2002) .................................................................................... 61
34. Penyimpanan pestisida di dapur salah seorang petani kopi ...................... 63
35. Aktivitas FGD berupa working group berdasarkan penyampaian
indikator prioritas dari Unit 4C terverifikasi dan hasil ANP .................... 111
36. Aktivitas FGD berupa sesi tanya jawab berdasarkan penyampaian
indikator prioritas dari Unit 4C terverifikasi dan hasil ANP .................... 111
37. Aktivitas FGD berupa kunjungan lapang untuk melihat kondisi kebun
kopi berdasarkan penyampaian indikator prioritas dari Unit 4C
terverifikasi dan hasil ANP ....................................................................... 112
38. Pembukaan hutan untuk perkebunan kopi (Sihite, 2001) ......................... 112
39. Teknik konservasi tanah berupa penyiangan secara parsial di
perkebunan kopi di Provinsi Lampung (Agus, dkk., 2002) ...................... 113
40. Teknik konservasi tanah berupa pembuatan rorak di perkebunan kopi
di Provinsi Lampung (Agus, dkk., 2002) ................................................. 113
41. Teknik-teknik konservasi tanah berupa pembuatan guludan dan tanaman
naungan di perkebunan kopi di Provinsi Lampung (Agus, dkk., 2002) .. 114
42. Penyimpanan pestisida di plastik hitam dan kemasan kosong tanpa label
untuk membeli pestisida eceran ................................................................ 114
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Kopi merupakan salah satu komoditas paling penting di dunia, diproduksi oleh 60
negara-negara berkembang, melibatkan 20 juta produsen yang sebagian besar
adalah petani kecil, mempunyai pengalaman panjang untuk keberlanjutan dengan
diperdagangkannya kopi bersertifikat organik di tahun 1967. Selain itu, nilai yang
relatif tinggi terhadap volume dan daya tahan sebagai hasil tanaman yang mudah
diangkut dan disimpan, kopi menjadi cash crop pilihan (Giovannucci and Potts,
2008). International Coffee Organization (ICO) merilis data yang menunjukkan
bahwa produksi kopi dunia per tahun saat ini hanya sebesar 8,6 juta ton (6,8 juta
ton di ekspor oleh negara-negara produsen) dengan konsumsi kopi dunia sebesar 9
juta ton. Adapun peningkatan laju produktivitas kopi dunia hanya sebesar 1,4%
dibandingkan dengan peningkatan laju konsumsi dunia sebesar 2,5% per tahun
sejak tahun 2011 (ICO, 2016). Tingkat konsumsi di Asia juga menunjukkan
kecenderungan positif, di mana konsumsi kopi tahun 1990 hanya 0,504 juta ton
dan meningkat menjadi 1,170 juta ton pada tahun 2012 (ICO, 2014). Adanya
selisih dari perbedaan pasokan yang lebih kecil dibandingkan permintaan yang
terus meningkat per tahunnya, membuat korporasi di industri kopi mencari cara
untuk meningkatkan produksi kopi dunia supaya mampu melebihi tingkat
konsumsi. Semua korporasi melakukan investasi yang cukup besar dalam
2
perkebunan kopi melalui kemitraan dengan petani, eksportir, dan pemerintah di
banyak negara (Panhuysen and Pierrot, 2014); juga memberikan insentif yang
lebih tinggi (harga premium) apabila kopi yang dibeli telah mendapatkan label
berkelanjutan berupa sertifikasi dan atau telah terverifikasi, yang disebut sebagai
sustainable coffee. Di tahun 2016, alokasi tambahan untuk harga premium
diestimasikan sebesar USD 175 juta (Global Coffee Platform, et al., 2016). Lebih
lanjut, industri kopi dunia telah menargetkan untuk dapat membeli kopi yang
bersertifikat atau terverifikasi berdasarkan standar keberlanjutan sebagai
sustainable coffee sebanyak 25% dari total pembelian di tahun 2015 dan dapat
menjadikan kopi sebagai komoditas pertama yang berkelanjutan di tahun 2020.
Salah satu standar kopi keberlanjutan yang terkemuka adalah Common Code for
the Coffee Community (4C) apabila dilihat dari potensi pasokan yang tertinggi di
dunia dibandingkan dengan standar lainnya (Panhuysen and Pierrot, 2014).
Industri kopi dunia pada tahun 2014 telah membeli sustainable coffee sebanyak
10% dari total pembeliannya, dan 25% dari pembelian sustainable coffee tersebut
tersebut merupakan kopi yang telah terverifikasi berdasarkan standar 4C
(Wibowo, 2015). Standar 4C mengacu pada tiga dimensi, yaitu: ekonomi, sosial,
dan lingkungan; merupakan entry level atau baseline standard (standar tingkat
dasar) yang sangat berguna dan memudahkan bagi petani skala kecil yang
mempunyai sedikit pengalaman dengan implementasi sertifikasi dan verifikasi
standar keberlanjutan.
Potensi kebutuhan konsumsi dunia, harga premium sebagai insentif untuk petani
kopi, dan 4C sebagai standar tingkat dasar dengan potensi pasokan tertinggi di
3
dunia, ternyata masih belum dimanfaatkan oleh petani kopi dan pemangku
kepentingan lainnya di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung. Data dari 4C
Association (2015c) menunjukkan bahwa di tahun 2015 total pasokan kopi 4C di
dunia sekitar 2,8 juta ton, dari Indonesia hanya menyumbang sekitar 84 ribu ton
(3%), di mana pasokan dari Indonesia sebagian besar disumbangkan oleh Provinsi
Lampung sekitar 63 ribu ton (2,25%). Selain itu, paradigma di Indonesia bahwa
pembukaan lahan baru dianggap sebagai cara utama peningkatan produksi akan
menyebabkan eksploitasi lahan dan degradasi lingkungan. Hal tersebut saat ini
menjadi sorotan dan kunci di dalam strategi implementasi standar keberlanjutan
perkebunan kopi di Provinsi Lampung. Bahkan, 4C Association (2014)
melaporkan bahwa standar keberlanjutan kopi yang diadopsi sejak tahun 2008
oleh Unit 4C di Provinsi Lampung, berdasarkan analisis verifikasi menunjukkan
dimensi ekonomi dan dimensi sosial dengan kinerja yang tinggi, dan sebaliknya,
untuk dimensi lingkungan dengan kinerja yang rendah. Selain itu, terkait proses
verifikasi dari 4C yang merupakan standar keberlanjutan tingkat dasar,
pengetahuan dan pemahaman petani terhadap implementasi standar keberlanjutan
masih sangat kurang dan mereka tidak siap pada saat menjalankan proses tersebut.
Apabila untuk standar tingkat dasar saja petani masih rendah pemahamannya,
maka akan jauh lebih sulit apabila bermaksud untuk mengajukan sertifikasi ke
standar yang lebih maju. Untuk itu, aplikasi pemodelan Analytic Network Process
(ANP) dipergunakan untuk menyusun strategi implementasi Dimensi Lingkungan
4C di Provinsi Lampung.
4
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuat peringkat Kategori Dimensi Lingkungan Unit 4C melalui pra survei
dan pengambilan data Unit 4C terverifikasi di Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung; sehingga diketahui kategori
dengan kinerja kurang baik.
2. Memetakan kinerja dan prioritas Kategori Dimensi Lingkungan 4C
berdasarkan persepsi para pemangku kepentingan yang terpilih sebagai
responden (Entitas Pengelola, Kolektor, Petani, Penyuluh Pertanian Lapangan,
dan Verifikator) dengan aplikasi pemodelan ANP.
3. Menyampaikan hasil pemetaan kinerja dan prioritas Kategori Dimensi
Lingkungan 4C kepada petani terpilih, dilanjutkan dengan Focus Group
Discussion (FGD) untuk menghasilkan strategi di dalam implementasi
Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung.
C. Kerangka Pemikiran
Indonesia sekarang menjadi eksportir nomor empat di dunia setelah Brazil,
Kolombia, dan Vietnam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dapat
berperan penting dalam memenuhi permintaan tambahan dari kopi yang berlabel
sustainable coffee. Konsumen saat ini menyadari apa yang mereka konsumsi dan
ingin mengetahui di mana kopi diproduksi, diproses, dan dipasarkan. Konsumen
bersedia membayar harga yang lebih tinggi apabila atribut tertentu dari produk
dan atau proses produksi, pengolahan, serta pemasaran terpenuhi. Tren ini
kemungkinan akan berlanjut di masa depan, dan kenyataan adanya perubahan di
sektor bisnis kopi di seluruh dunia yang mendorong kecenderungan spesialisasi
5
dan diversifikasi menggunakan standar keberlanjutan sebagai alat yang berfungsi
sekaligus untuk peningkatan kehidupan petani dan menyediakan produk yang
berkarakteristik positif secara fisik dan non fisik untuk konsumen. Di Indonesia,
potensi peningkatan hasil per hektar dari usaha tani kopi juga juga cukup besar,
namun dengan tingkat pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang cukup tinggi,
dengan produksi total yang cenderung tetap dan dibatasi oleh hasil pertanian yang
rendah, Indonesia akan menjadi pengimpor kopi robusta dalam waktu 10 tahun ke
depan seperti disajikan di Gambar 1 (TechnoServe, 2014).
Gambar 1. Grafik kecenderungan produksi dan konsumsi kopi robusta di
Indonesia (TechnoServe, 2014).
Produktivitas perkebunan kopi dan pendapatan petani yang rendah (dimensi
ekonomi) diyakini juga sangat dipengaruhi oleh kategori-kategori di dalam
dimensi lingkungan yang buruk (Jena, et al., 2010). Panhuysen dan Pierrot (2014)
melalui penelitiannya melaporkan bahwa permasalahan lingkungan di tingkat
6
petani adalah: konversi habitat hutan primer, deforestasi, hilangnya
keanekaragaman hayati dan kerusakan habitat, erosi dan degradasi tanah,
penggunaan agrokimia dan limpasan permukaan, degradasi kualitas dan pasokan
air, pengelolaan limbah yang terbatas, hama dan penyakit tanaman kopi,
eutrofikasi, serta penanaman kopi monokultur. Untuk itu, diperlukan strategi
implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung seperti disajikan ke
dalam alur kerangka pemikiran pada Gambar 2.
Keberlanjutan Komoditas Kopi
○ Laju Produksi dan Konsumsi ● Diproduksi oleh 60 negara berkembang
○ Harga premium sustainable coffee ● 20 juta produsen (petani kecil)
○ Standar keberlanjutan ● Cash crop
Bagan alir pemodelan ANP
Potensi sustainable coffee standar 4C Provinsi Lampung
Pasokan kopi 4C tertinggi di dunia
Dimensi Lingkungan 4C dengan kinerja rendah
PENELITIAN
Pra survei
Data Unit 4C terverifikasi
Peringkat Kategori Dimensi Lingkungan 4C
Konstruksi model
5. Verifikator
Analisis hasil
Focus Group Discussion
Strategi implementasi Dimensi Lingkungan 4C
Kuisioner
Responden
1. Entitas Pengelola
2. Kolektor
3. Petani
4. Penyuluh Pertanian Lapangan
Gambar 2. Alur kerangka pemikiran strategi implementasi Dimensi Lingkungan
4C di Provinsi Lampung.
7
Strategi implementasi yang tepat akan mendukung perbaikan kondisi lingkungan
dan aktivitas budidaya yang memperhatikan aspek kondisi lahan, reforestasi,
penggunaan bahan-bahan kimia secara bijak, perhatian terhadap biodiversity,
penggunaan energi yang baik, pengelolaan air, dan penanganan limbah yang baik.
Apabila hal tersebut terjadi, maka akan mendukung pertumbuhan optimal dari
tanaman kopi serta peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Harga jual
yang lebih baik dari kopi konvensional (tidak bersertifikat atau tidak terverifikasi)
juga merupakan dampak lain apabila petani kopi memenuhi persyaratan standar
keberlanjutan.
D. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah petani kopi belum memahami implementasi
standar keberlanjutan dan tidak mengetahui skala prioritas dari Kategori Dimensi
Lingkungan 4C. Hal ini diperkuat dengan laporan dari 4C Association (2014)
berdasarkan analisis verifikasi menunjukkan dimensi lingkungan dengan kinerja
yang rendah serta ada empat Unit 4C yang mengalami kegagalan pada saat
verifikasi dari tahun 2013 sampai 2014. Berdasarkan asumsi bahwa aplikasi ANP
dapat dipergunakan untuk melakukan skala prioritas berdasarkan feedback dari
Entitas Pengelola dari perusahaan eksportir, Kolektor (tengkulak), Petani,
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dan Verifikator; maka dapat ditentukan
prioritas kategori dimensi lingkungan dan mengembangkan kerangka strategi
implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Standar Pertanian Berkelanjutan
Pertanian merupakan pusat diskusi global dari keberlanjutan. Hampir sepertiga
populasi penduduk dunia hidup dan bekerja pada pertanian skala kecil di negara-
negara miskin dan berkembang (Conway, 2012). Sementara itu, ketahanan
pangan masih belum menjadi kenyataan, produksi dan hasil pertanian harus dapat
bertahan dari bertambahnya populasi dan sumberdaya alam yang semakin rapuh
(Giovannucci, et al., 2012). Sebagai contoh, pertanian menyerap 70%
penggunaan air tawar dunia dan menyumbang sebagian besar gas rumah kaca
(United Nations, 2006). Keberlanjutan memang menjadi topik paling penting
dalam pangan dan pertanian secara global, ditandai dengan munculnya ide-ide
baru tentang keberlanjutan dan sejumlah inisiatif untuk mempromosikannya, dan
standar keberlanjutan merupakan market-based tools (Gambar 3) untuk
mendorong produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
Gambar 3. Standar keberlanjutan sebagai market-based tools (ISEAL, 2016).
9
Standar keberlanjutan pada intinya meliputi semua kegiatan-kegiatan yang
tercantum, didefinisikan, serta harus diimplementasikan oleh pengguna. Standar
yang baik akan dilengkapi dengan program jaminan atas dasar kepatuhan, dan
sebuah label atau klaim atas produk tersebut yang pesannya sampai ke konsumen,
serta klaim “B2B” (business to business). Kenapa standar keberlanjutan muncul?
Jawaban pertama adalah akibat globalisasi dan deregulasi, sehingga pihak swasta
yang mempunyai tanggung jawab terhadap munculnya isu moral, sosial, dan yang
berkaitan dengan lingkungan. Kegagalan pemerintah di dalam melihat ke depan
terhadap solusi pasar merupakan jawaban kedua; sedangkan jawaban ketiga
adalah peningkatan populasi penduduk dunia yang berakibat terhadap peningkatan
konsumsi dan diantisipasi dengan cerdik oleh industri berupa penerapan corporate
social responsibility yang sekaligus berfungsi untuk meningkatkan jumlah
penjualan dan pendapatan. Sejarah singkat awal dari standar dapat diilustrasikan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Sejarah singkat awal standar sampai akhir tahun 1990 (ISEAL, 2016).
10
Pembentukan standar yang spesifik untuk keberlanjutan pertanian muncul dari
konsep asli yang agak berbeda. Standar organik (sertifikasi pertama tahun 1967)
berusaha menumbuhkan lanskap produktif yang selaras dengan ekosistem.
Fairtrade (sertifikasi pertama tahun 1988) berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kehidupan produsen kecil dan miskin. Rainforest Alliance
(sertifikasi pertama tahun 1992) berusaha untuk melestarikan keanekaragaman
hayati dan hutan secara keseluruhan. UTZ Certified (sertifikasi pertama tahun
2002) melakukan pendekatan keberlanjutan sebagai jalan untuk meningkatkan
produktivitas dengan praktik-praktik sosial dan lingkungan yang baik (COSA,
2013). Perkembangan implementasi standar di lapangan, serta semakin
banyaknya organisasi standar, maka pemahaman tentang keberlanjutan pada
parameter tertentu mempunyai kemiripan. Hal tersebut mengakibatkan beberapa
standar, khususnya yang mempunyai tujuan di aktivitas atau permasalahan yang
sama, dan atau terkonsentrasi pada komoditas yang sama, melakukan harmonisasi
dan benchmarking antar standar, seperti disajikan di Gambar 5.
Gambar 5. Sejarah singkat standar generasi kedua dan ketiga (ISEAL, 2016).
11
B. Standar Kopi Berkelanjutan
Projek kopi berkelanjutan mempunyai objektif untuk membuat semua pihak
terkait dapat bekerja secara bersama-sama dalam menghadapi tekanan isu
keberlanjutan. Pihak terkait tersebut di atas adalah: petani kopi, pedagang
pengumpul, industri (roasters dan retailers), lembaga swadaya masyarakat
(LSM), individu, perusahaan eksportir, dan pemerintah; yang mempunyai tujuan
untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi semua pihak
yang menggantungkan hidupnya dari kopi. Sertifikasi dan atau verifikasi kopi
merupakan alat yang semakin umum dipergunakan dan diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk perbaikan dan peningkatan produktivitas,
kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, keamanan pangan, dan
mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Petani kopi, perusahan ekportir,
dan industri menggunakannya untuk menunjukkan identitas “hijau” dan
berkelanjutan; serta membedakan penawaran mereka dari pesaing.
Kriteria keberlanjutan yang mendapatkan pengakuan dapat digunakan sebagai alat
yang efisien untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dan sekaligus
menjaga produksi yang berkelanjutan dari pertanian kopi. Hal ini sebenarnya
dapat diterapkan untuk pasar domestik dan pasar luar. Aspek yang telah
mendesak pengembangan kriteria keberlanjutan di sektor kopi adalah terutama
kurangnya kekhawatiran tentang isu-isu lingkungan. Awalnya, fokus utama di
sektor kopi adalah resiko potensi dan keuntungan ekonomi, bukan pada isu-isu
lingkungan. Pertengahan tahun 1990, pengembangan industri kopi ternyata
menyebabkan kerusakan lingkungan di negara produsen, peningkatan penggunaan
bahan bakar fosil untuk produksi dan transportasi, serta teknologi produksi yang
12
tidak efisien. Tekanan dari LSM untuk meningkatkan keberlanjutan di sektor
kopi telah meningkat; sebagai tanggapan, beberapa perusahaan mengadopsi
persyaratan untuk kualitas dan produksi kopi yang berkelanjutan. Bahkan,
sebagai langkah kompromi, perusahaan juga melibatkan dan bermitra dengan
LSM dan pemerintah (Pavlovskaia, 2014).
Penerapan voluntary sustainability standar (VSS) di sektor kopi untuk
memperbaiki permasalahan lingkungan dan sosial dianggap sebagai salah satu
cara untuk membantu mengatasi banyaknya aspek di produksi kopi berkelanjutan.
Sertifikasi diartikan bahwa petani kopi dapat meng-upgrade sistem produksi dan
meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas; yang
kesemuanya dapat berdampak terhadap manfaat finansial dan keuntungan yang
meningkat. Kondisi ini merupakan opsi yang menguntungkan bagi petani pada
konteks tertentu; dengan terhubung pada pasar serta menunjukkan bahwa mereka
terorganisasi dengan baik, yang akan dihargai oleh pasar sustainable coffee
(COSA, 2013). Hubungan positif antara kegiatan VSS dengan lingkungan juga
telah dipelajari oleh Blackman dan Naranjo (2010), dengan melakukan
pengambilan data detail terhadap 2.600 petani kopi di Kosta Rika. Hasilnya
adalah bahwa VSS dapat mengurangi secara signifikan tiga input kimia (pestisida,
herbisida, dan pupuk), serta meningkatkan adopsi paling tidak satu diantara empat
praktik manajemen yang ramah lingkungan berupa penggunan pupuk organik.
Bahkan, sebuah studi yang dilakukan di perkebunan kopi di Kolombia
menunjukkan perbedaan yang jelas antara yang sudah bersertifikasi Rainforest
Alliance dan non sertifikasi dalam hal utama mengenai konservasi air. Selain itu,
studi tersebut juga mengemukakan bahwa terjadi pengurangan agro-kimia dan
13
limbah padat, serta peningkatan kapasitas pengetahuan petani kopi melalui
pelatihan yang diberikan (Hughell dan Newsom, 2013). Di antara sekian banyak
VSS yang berhubungan dengan sektor kopi, ada tujuh VSS yang memainkan
peran sangat penting, terutama dilihat dari kontribusinya terhadap pangsa pasar
global berupa total sustainable coffee yang terjual seperti disajikan di Gambar 6.
Gambar 6. Total sustainable coffee yang terjual tahun 2012 (Panhuysen and
Pierrot, 2014).
C. Fungsi 4C Association dan 4C Code of Conduct
Tujuan 4C Association adalah bekerja bagi perbaikan kondisi ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam produksi dan pemrosesan kopi untuk membangun sektor yang
sejahtera dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Untuk mencapai misinya,
4C Association mempunyai tiga fungsi, yaitu:
- Fungsi pertama adalah menetapkan, memelihara, dan menjalankan 4C Code of
Conduct.
- Fungsi kedua adalah aktif mempromosikan dan bermitra dengan standar dan
inisiatif keberlanjutan lain yang ada di pasar untuk meningkatkan pasokan dan
permintaan sustainable coffee hasil sertifikasi dan atau verifikasi.
14
- Fungsi ketiga adalah menawarkan platform terbuka dan dinamis yang
mengundang semua stake holder untuk bekerja sama secara efektif tanpa
persaingan untuk menangani persoalan-persoalan yang menyeluruh dan isu-
isu kritis yang mengancam keberlanjutan sektor kopi.
Secara resmi, 4C Association didirikan pada 1 Desember 2006 oleh 37 organisasi,
terdiri dari: produsen, pelaku perdagangan dan industri, serta masyarakat sipil
dari seluruh dunia. Untuk mendapatkan lisensi standar keberlanjutan dari 4C
Association, maka suatu entitas operasional (perkebunan kopi, kelompok petani
kopi, koperasi, asosiasi, pabrik pengolahan, pedagang, dan bahkan individu)
dengan kapasitas minimal 20 ton biji kopi per tahun dapat mengajukan dan
mendaftar sebagai Unit 4C. Apabila sudah terdaftar, maka Unit 4C ini
berkewajiban untuk mengimplementasikan 4C Code of Conduct di semua bagian
dari supply chain, dan akhirnya dapat melakukan perdagangan kopi apabila telah
lulus dalam proses verifikasi dan memiliki lisensi yang valid.
1. Kategori-kategori Dimensi Lingkungan dari 4C Code of Conduct
Dimensi Lingkungan dari 4C Code of Conduct dibuat dalam bentuk matriks yang
terbagi ke dalam kategori, prinsip, dan kriteria. Kategori mengacu pada aspek-
aspek utama produksi, pemrosesan pasca-panen, dan perdagangan biji kopi.
Prinsip adalah pernyataan-pernyataan positif mengenai kinerja yang diinginkan
untuk masing-masing praktik yang tercantum dalam daftar. Untuk menilai kinerja
perkebunan dan petani kopi, kriteria menentukan kepatuhan terhadap persyaratan
prinsip-prinsip tersebut.
15
Matriks 4C Code of Conduct untuk Kategori Dimensi Lingkungan dapat dilihat di
Tabel 1, sebagai berikut:
Tabel 1. Matriks 4C Code of Conduct berdasarkan Kategori Dimensi
Lingkungan (Asosiasi 4C, 2012; data diolah)
No. Kategori Prinsip
1. Konservasi
keanekaragaman hayati
konservasi keanekaragaman hayati, termasuk flora dan
fauna asli yang dilindungi dan terancam punah
mendapat dukungan
2. Penggunaan dan
penanganan bahan kimia
a) penggunaan pestisida diminimalkan; dan
b) efek berbahaya dari pestisida dan bahan kimia lain
yang digunakan pada kesehatan manusia dan
lingkungan diminimalkan
3. Konservasi tanah praktik-praktik konservasi tanah dilakukan
4. Kesuburan tanah dan
manajemen nutrisi
a) pupuk digunakan secara pantas; dan
b) manajemen zat organik dijalankan
5. Air a) sumber daya air dilestarikan; dan
b) manajemen air limbah dijalankan
6. Limbah manajemen limbah yang aman dijalankan
7. Energi a) penggunaan energi yang dapat diperbarui lebih
diutamakan; dan
b) menghemat energi
Untuk memastikan bahwa setiap kategori memenuhi standar tingkat dasar, maka
petani kopi harus memulai dengan melihat sistem sederhana berupa pemodelan
lampu lalu-lintas (merah – kuning – hijau), yang menunjukkan tiga tingkat kinerja
yang berbeda, sebagai berikut:
- Merah, mengindikasikan bahwa kegiatan tersebut harus dihentikan,
- Kuning, mengindikasikan bahwa kegiatan tersebut harus diperbaiki dan
ditingkatkan, dan
- Hijau, menunjukkan bahwa praktik-praktik yang dilakukan sudah sesuai
dengan yang dipersyaratkan.
16
Contoh kinerja dari Kategori Konservasi Keanekaragaman Hayati dapat dilihat di
Tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 2. Contoh kinerja 4C Code of Conduct berdasarkan Dimensi Lingkungan,
Kategori Konservasi Keanekaragaman Hayati (Asosiasi 4C, 2012)
Kategori No. Prinsip Hijau Kuning Merah
Program pelestarian dan
peningkatan satwa liar dan
flora asli dikembangkan
diterapkan.
Konservasi
keanekaragaman
hayati, termasuk flora
dan fauna asli yang
dilindungi dan
terancam punah
mendapat dukungan.
Konservasi
Keanekara-
gaman
Hayati
1 Eksploitasi atas flora dan
fauna asli dipraktikkan
sebagian.
Dimensi Lingkungan Kriteria
Tidak ada eksploitasi atas
spesies dan flora asli yang
terancam punah dan
dilindungi. Program untuk
melindungi dan
meningkatkan
keanekaragaman hayati
sedang dikembangkan
Saat proses self-assessment dan verifikasi, tiga tingkat kinerja tersebut di atas
dinilai dan dibuat batasan rata-rata nilai per prinsip sampel untuk menentukan
tingkat kinerja. Secara jelas tersaji pada Tabel 3, sebagai berikut:
Tabel 3. Tingkat kinerja dan nilai (a) serta rata-rata nilai per prinsip sampel dan
tingkat kinerja (b) (4C Association, 2015b)
Tingkat Kinerja 4C
Code of ConductNilai
Rata-rata Nilai per
Prinsip Sampel
Tingkat
Kinerja
Merah 3 ≥ 2,251 Merah
Kuning 2 ≥1,251 ≤ 2,25 Kuning
Hijau 1 ≤ 1,25 Hijau
(a) (b)
Hal penting yang perlu dicatat adalah semua sampel terpilih yang diverifikasi
harus mendapatkan kinerja dengan minimal hasil “rata-rata kuning”, yang
penilaiannya dilakukan oleh pihak ketiga (verifikator independen), supaya
berhasil mendapatkan lisensi dan dapat menjual hasil kopi sebagai 4C Compliant
Coffee (kopi yang memenuhi standar 4C; atau “kopi 4C”). Ini berarti
diperbolehkan di dalam satu dimensi ada prinsip yang merah, sejauh ada kinerja
17
yang dinyatakan hijau dalam jumlah yang sama dengan merah, maka didapatkan
rata-rata kuning. Lisensi tidak diberikan apabila didapatkan prinsip-prinsip
dengan kinerja merah yang lebih banyak dari hijau.
2. Indikator 4C Code of Conduct
Implementasi dari 4C Code of Conduct diberikan pedoman berupa indikator-
indikator di setiap kategori. Indikator ini sangat penting karena bertujuan untuk
memberikan pedoman yang jelas dan konsisten kepada Unit 4C dan juga kepada
verifikator untuk menjalankan tugas masing-masing di dalam penerapan code of
conduct, self-assessment, dan proses verifikasi. Indikator tersebut, salah satunya
disajikan di Tabel 4, merupakan kondisi yang dapat diukur dan memungkinkan
dilakukannya penilaian apakah suatu kriteria terpenuhi atau tidak.
Tabel 4. Matriks indikator 4C Code of Conduct berdasarkan Dimensi
Lingkungan, Kategori Konservasi Keanekaragaman Hayati (Asosiasi
4C, 2012)
Kategori No. Prinsip Hijau Kuning Merah
Peta-peta sedang disusun.
dan
dan
dan
dan
dan
dan
Tidak ada praktik
perburuan atau ekstraksi
spesies satwa dan
tumbuhan yang terancam
punah. Apabila petani kecil
memburu atau
mengumpulkan spesies
yang terancam punah, ada
bukti mengenai kegiatan
Tidak ada kesadaran
dalam Unit 4C mengenai
pentingnya
keanekaragaman hayati
dan kurangnya
pengetahuan tentang
spesies satwa dan
Tidak ada langkah yang
diambil untuk melindungi
atau memperbanyak
tumbuhan dan fauna asli.
Praktik perburuan dan
ekstraksi spesies satwa dan
tumbuhan yang terancam
punah terlihat nyata.
Indikator
Setiap perkebunan
memiliki peta yang
menunjukkan penggunaan
Ada peta umum
penggunaan lahan Unit.
Ada langkah-langkah dan
tindakan dalam konservasi
atau pemulihan kembali
vegetasi dan fauna alami
dan perlindungan atas
wilayah sensitif (lereng,
daerah aliran sungai,
Entitas Pengelola telah
mengidentifikasi wilayah
sensitif utama dalam Unit
Dimensi Lingkungan Kriteria
18
D. Rantai Pasok dan Kondisi Perkebunan Kopi di Provinsi Lampung
Kegiatan yang dilakukan oleh petani kopi dan pemangku kepentingan kopi
lainnya memunculkan pola rantai pasok. Alur rantai pasok dari komoditas kopi
secara umum dapat disajikan di Gambar 7, di mana terbagi menjadi tiga kegiatan
utama, yaitu: pengolahan kopi gelondong kering, pengolahan biji kopi siap
ekspor, dan pengolahan menjadi kopi siap saji.
Gambar 7. Alur rantai pasok komoditas kopi secara umum (Panhuysen and
Pierrot, 2014).
Menurut Arifin (2010), di Provinsi Lampung, petani kopi pada umumnya sudah
mempunyai hubungan erat dengan kolektor, di mana kolektor ini sering
memberikan uang tunai di depan selama proses produksi tanpa prosedur yang
rumit. Konsekuensinya adalah petani kopi harus menjual produk mereka ke
hanya kolektor tersebut sehingga memiliki saluran pemasaran yang terbatas.
Petani kopi cenderung mendengarkan apa yang disampaikan kolektor karena
pengaruh tingkat kepercayaan, faktor sosio-psikologis, dan social capital dari
perekonomian sektor kopi ini.
19
Adapun alur rantai pasok di Provinsi Lampung disajikan di Gambar 8, yang
terbagi ke dalam aktivitas di pedesaan dan perkotaan. Rantai pasok tersebut
didalamnya terdapat juga terdapat aliran produk, aliran informasi, dan aliran
finansial.
Gambar 8. Alur rantai pasok komoditas kopi di Provinsi Lampung (Arifin,
2010).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2015), perkebunan kopi di Provinsi
Lampung melibatkan 202.858 rumah tangga yang dikategorikan sebagai petani
kecil (small holder), melakukan usaha tani perkebunan kopi di luasan lahan
236.801 ha, dan dengan total produksi sebesar 134.720 ton, sehingga
produktivitasnya hanya sebesar 568,89 kg per ha. Produktivitas yang sangat
rendah tersebut disebabkan oleh pola tanam yang tidak dikelola secara intensif,
varietas kopi yang tidak unggul dan sudah terlalu tua, dan tidak ada masukan
(input) pertanian (Wahyudi and Jati, 2012). Berdasarkan fakta ini, maka usaha
peningkatan akses petani terhadap sumber pembiayaan dan teknologi patut
20
dikembangkan, serta tanaman kopi yang sudah berumur tua dan kurang produktif
patut diremajakan secara bertahap (Hanani, dkk., 2012).
Seperti diilustrasikan di Gambar 9, tampak bahwa produktivitas kopi Indonesia
sangat rendah dibandingkan kedua negara pesaing utama tersebut. Produksi kopi
Indonesia baru mencapai sekitar 500 kg/ha, sementara Vietnam sudah mencapai
lebih dari 2 ton/ha
Gambar 9. Perkembangan produktivitas kopi di Brazil, Vietnam, dan Indonesia
(Hanani, dkk., 2012).
Kabupaten di Provinsi Lampung dengan perkebunan kopi terluas ada di
Kabupaten Lampung Barat seluas 65.010 ha, dengan produktivitas rata-rata per
tahun mencapai 808 kg/ha; kemudian diikuti Kabupaten Tanggamus seluas 43.897
ha dengan produktivitas rata-rata per tahun mencapai 808 kg/ha (Badan Pusat
Statistik, 2015). Produktivitas di Kabupaten Lampung Barat yang di atas rata-rata
produktivitas Provinsi Lampung dipengaruhi oleh pola budidaya tanaman dengan
21
memanfaatkan beberapa varietas pohon naungan (Verbist, et al., 2005 dalam
Evisal, et al., 2016) dan berdasarkan studi di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten
Lampung Barat, bahwa pohon naungan dengan indeks dominan yang tinggi
memberikan dampak positif terhadap produktivitas tanaman kopi (Evisal, et al.,
2016).
Deforestasi di Pulau Sumatra telah terjadi dengan akselerasi yang luar biasa dalam
beberapa dekade terakhir, dan dapat dilihat di Gambar 10, di mana warna merah
menunjukkan tutupan hutan. Deforestasi untuk ekstensifikasi merupakan cara
paling mudah untuk meningkatkan produksi tanaman kopi secara total, tetapi
bukan untuk peningkatan produktivitasnya.
Gambar 10. Deforestasi di Sumatra akibat illegal logging dan konversi hutan ke
lahan pertanian (WWF, 2007).
22
Di Provinsi Lampung, deforestasi terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan seluas 45,657 hektar; dari luasan tersebut sebanyak 73% dipergunakan
untuk penanaman kopi (WWF, 2007). Kegiatan deforestasi ini dapat memberikan
dampak kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa. Punahnya flora dan fauna
yang khas dan unik, efek pembakaran biomasa pada saat pembukaan lahan, tidak
ada tegakan pohon sebagai penghambat erosi pada saat curah hujan tinggi, dan
kegiatan lainnya yang berpotensi menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan
serta merusak ekosistem asli yang alami.
Persepsi umum tentang perubahan penggunaan lahan yang berkembang dewasa
ini adalah bahwa apabila hutan dialih-fungsikan menjadi perkebunan (termasuk
perkebunan kopi) atau lahan pertanian lainnya, fungsi hutan dalam mengatur tata
air dan mengontrol erosi akan menurun drastis sehingga beda debit air puncak dan
debit dasar akan melebar dan erosi akan berlipat ganda. Dengan demikian
kawasan hutan yang sudah beralih menjadi lahan perkebunan atau yang sudah
berubah fungsi menjadi kawasan produksi perlu dihutankan kembali (Agus, dkk.,
2002). Small holder yang melakukan aktivitas di perkebunan kopi sebaiknya
diarahkan ke dalam forrest community dengan alokasi lahan tertentu yang
diperbolehkan dan mendapatkan jaminan kepemilikan (SLUSE, 2010). Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Suyanto, et al. (2007) menunjukkan bahwa adanya
jumlah pohon non kopi di dalam area forrest community yang lebih tinggi.
Penanaman kopi dengan naungan (shade coffee grown) juga perlu diperkenalkan;
selain bermanfaat bagi konservasi keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan
tropis, juga pembeli dapat menghargai kopi dengan harga premium (Komar,
2012).
23
Shade coffee grown ini mendukung setidaknya 180 spesies burung dan
keanekaragaman spesies lokal kumbang, semut, lebah, dan laba-laba pada satu
jenis pohon naungan akan mendekati tingkat keanekaragaman pada pohon di
hutan tropis (NRDC, 2014). Agroekosistem tanaman kopi dengan naungan
kanopi yang kompleks dapat melindungi keanekaragaman hayati (Philpott, et al.,
2008). Kelebihan lain dari perkebunan kopi dengan naungan adalah dapat
menjadi “tetangga” yang baik untuk hutan serta spesies yang menyebutnya
sebagai “rumah”, seperti disajikan di Gambar 11.
Gambar 11. Pola keanekaragaman hayati di dalam perkebunan kopi (Rainforest
Alliance, 2015).
Lebih lanjut, Rainforest Alliance (2015) dan Arce, et al. (2009) menyatakan
bahwa perkebunan kopi dengan kondisi tersebut di atas memiliki kekayaan
spesies dan keragaman arthropoda tanah yang lebih tinggi. Spesies ini, termasuk:
laba-laba, tungau, dan kutu, sangat sensitif terhadap tekstur, struktur dan
kesuburan tanah; dan kehadiran mereka merupakan salah satu indikator kesuburan
dan kesehatan tanah.
24
Praktik-praktik dan kondisi lingkungan yang ditemukan di usaha tani perkebunan
kopi yang berpartisipasi dalam inisiatif keberlanjutan cenderung lebih baik.
Petani kopi menggunakan lahan yang bukan bagian dari hutan lindung,
melakukan tindakan konservasi (penutup tanah, kontur tanah, terasering, dan
saluran drainase), dan mematuhi seperangkat prinsip yang ditetapkan dalam code
of conduct. Hal ini harus dilaksanakan karena ada kegiatan audit atau verifikasi,
biasanya oleh pihak ketiga, sebelum petani mendapatkan sertifikat dan dapat
melakukan klaim terhadap produknya (Imaflora, 2009).
Realitas di lapangan menjadi jelas, ada beberapa bukti bahwa jika petani
berpartisipasi dalam pelatihan dan mengadopsi praktik lingkungan yang
diberikan, maka dapat mengakibatkan dampak yang lebih besar yang dapat diukur
di masa mendatang. Manajemen ini akan gagal apabila petani dan pemangku
kepentingan terkait tidak dapat memahami korelasi antara praktik lingkungan dan
insentif positif, seperti: produktivitas dan kesejahteraan (pendapatan); sehingga
akan sulit untuk mendukung praktik lingkungan yang baik (COSA, 2013).
E. Perkembangan 4C di Indonesia
Implementasi dan perkembangan 4C di Indonesia, sangat terkait dengan besaran
harga premium yang ditawarkan, manfaat langsung kepada petani, dan jaminan
pasar dari pembeli (roasters dan retailers). Untuk itu, para pelaku dan pemangku
kepentingan sektor kopi dari petani kopi, ekspotir lokal, pedagang internasional,
pemerintah (dinas perkebunan), dan LSM telah bekerja keras untuk dapat
meningkatkan praktik berkelanjutan, mengimplementasikan standar tingkat dasar,
dan dapat lulus verifikasi.
25
Walaupun perkembangan Unit 4C di Indonesia menunjukkan kecenderungan
positif dari tahun ke tahun, seperti terlihat di Gambar 12, tetapi dilihat dari
kontribusi pasokan dunia yang cukup besar maka perkembangan tersebut masih
jauh dari yang diharapkan.
Gambar 12. Perkembangan Unit 4C di Indonesia (4C Association, 2015a; 4C
Association, 2015c; data diolah).
F. Aplikasi Analytic Network Process (ANP)
Analytic Network Process atau ANP, adalah teori umum pengukuran relatif yang
digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio individu
yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling
berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty, 2001). ANP juga diyakini
merupakan pendekatan baru dalam proses pengambilan keputusan yang
memberikan kerangka kerja umum dalam memperlakukan keputusan-keputusan
26
tanpa membuat asumsi-asumsi tentang independensi elemen-elemen pada level
yang lebih tinggi dari elemen-elemen pada level yang lebih rendah dan tentang
independensi elemen-elemen dalam suatu level. Bahkan, ANP menggunakan
jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan
dalam Analytic Hierarchy Process (AHP), yang merupakan titik awal ANP.
Konsep utama dalam ANP adalah influence (pengaruh), sementara konsep utama
dalam AHP adalah preferrence (preferensi). Pada jaringan AHP terdapat level
tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif; di mana masing-masing level memiliki
elemen. Sementara itu, pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster yang
dapat memiliki kriteria dan alternatif di dalamnya, yang sekarang disebut simpul
(node). Adanya feedback di dalam ANP, alternatif-alternatif tersebut selain dapat
bergantung/terikat pada kriteria seperti pada hierarki, dapat juga
bergantung/terikat pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria itu
sendiri dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan sesama kriteria. AHP
dengan asumsi-asumsi dependensinya tentang cluster dan elemen merupakan
kasus khusus dari ANP.
Sementara itu, feedback meningkatkan prioritas yang diturunkan dari judgements
dan membuat prediksi menjadi lebih akurat; sehingga, hasil dari ANP
diperkirakan akan lebih stabil. Sebagai contoh, ada hubungan langsung dari
simpul utama C4 ke cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outer dependence.
Selain itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan dibandingkan berada
pada cluster yang sama, sehingga cluster ini terhubung dengan dirinya sendiri dan
membentuk hubungan loop. Hal ini disebut inner dependence. Elemen dalam
suatu komponen/cluster dapat mempengaruhi elemen lain dalam
27
komponen/cluster yang sama (inner dependence), dan dapat pula mempengaruhi
elemen pada cluster yang lain (outer dependence) dengan memperhatikan setiap
kriteria. Memperhatikan skema aplikasi ANP tersebut, maka dapat diketahui
keseluruhan pengaruh dari semua elemen. Dari jaringan feedback pada Gambar
13 dapat dilihat bahwa simpul atau elemen utama dan simpul-simpul yang akan
dibandingkan dapat berada pada cluster yang berbeda.
Gambar 13. Perbandingan pola linier dan jaringan (Saaty and Vargas, 2006).
ANP merupakan gabungan dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari hierarki
kontrol atau jaringan dari kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi,
sedangkan bagian kedua adalah jaringan pengaruh-pengaruh diantara elemen dan
cluster.
AHP dan ANP sama-sama menggunakan skala rasio. Prioritas-prioritas dalam
skala rasio merupakan angka fundamental yang memungkinkan untuk
dilakukannya perhitungan operasi aritmatika dasar seperti penambahan dan
pengurangan dalam skala yang sama, perkalian dan pembagian dari skala yang
berbeda, dan mengkombinasikan keduanya dengan pembobotan yang sesuai dan
28
menambahkan skala yang berbeda untuk memperoleh skala satu dimensi. Tabel
5 menunjukkan hal tersebut.
Tabel 5. Skala fundamental dari angka mutlak (Saaty and Vargas, 2006)
Intensitas
Pentingnya Definisi Keterangan
1 Sama pentingnya Dua elemen berkontribusi sama
terhadap tujuan
2 Lemah atau sedikit -
3
Cukup penting
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung satu kegiatan dibanding
yang lain
4 Cukup penting lagi -
5
Lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat
mendukung satu kegiatan dibanding
yang lain
6 Lebih penting lagi -
7 Sangat kuat atau menunjukkan
pentingnya
Suatu kegiatan yang disukai sangat
kuat dibanding lainnya; dalam praktik
sangat dominan
8 Sangat kuat sekali pentingnya -
9
Ekstrim pentingnya
Bukti menunjukkan kegiatan dengan
kemungkinan urutan tertinggi dan ada
penegasan
Resiprokal
angka di atas
Jika elemen “i” memiliki salah satu
angka di atas saat dibandingkan
dengan “j”; maka “j” memiliki angka
resiprokal jika dibandingkan dengan
“i”
Berdasarkan asumsi yang wajar dan
masuk akal
Perlu dicatat bahwa skala rasio juga merupakan skala absolut. Kedua skala
tersebut diperoleh dari pairwise comparison (perbandingan berpasangan) dengan
menggunakan judgements atau rasio dominasi pasangan dengan menggunakan
pengukuran aktual.
Dalam hal penggunaan judgements, dalam AHP seseorang bertanya: ”Mana yang
lebih disukai atau lebih penting?”, sementara dalam ANP seseorang bertanya:
“Mana yang mempunyai pengaruh lebih besar?”. Pertanyaan terakhir jelas
memerlukan observasi faktual dan pengetahuan untuk menghasilkan jawaban-
29
jawaban yang valid, yang membuat pertanyaan kedua lebih obyektif dari pada
pertanyaan pertama.
Pendekatan ANP masih jarang dipergunakan dibandingkan dengan pendekatan
AHP yang berstruktur linier, yang juga tidak mengakomodasikan adanya
feedback. Hal ini dikarenakan AHP lebih cocok diterapkan pada proses pengaruh
yang relatif lebih sederhana sehingga mudah untuk diterapkan, sedangkan ANP
lebih komprehensif, dan sesuai untuk diterapkan pada pengambilan keputusan
yang rumit, kompleks, serta memerlukan berbagai variasi interaksi dan
ketergantungan. Namun, sebagai metode pengembangan dari metode AHP,
motede ANP masih menggunakan cara Pairwise Comparison Judgement Matrices
(PCJM) antar elemen yang sejenis. Perbandingan berpasangan di dalam ANP
dilakukan antar elemen dalam komponen (cluster) untuk setiap interaksi dalam
network. ANP juga merupakan teori matematis yang mampu menganalisis
pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk menyelesaikan bentuk
permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk penyelesaian dengan
pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara penguraian sintesis
disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh prioritas terbesar.
ANP juga mampu menjelaskan model faktor-faktor dependence serta feedback-
nya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP yaitu dengan
melakukan pertimbangan dan validasi atas pengalaman empiris. Struktur jaringan
yang digunakan yaitu benefit, opportunities, cost and risk (BOCR) membuat
metode ini memungkinkan untuk digunakan dalam mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menyusun semua faktor yang mempengaruhi output atau
keputusan yang dihasilkan (Saaty and Vargas, 2006).
30
Landasan teori ANP adalah berdasarkan empat aksioma (Saaty and Vargas, 2006),
yaitu:
a. Resiprokal; aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA, EB) adalah nilai
perbandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C,
yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang
dimiliki elemen B, maka PC (EB, EA) = 1/PC (EA, EB). Misalkan, jika A
lima kali lebih besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
b. Homogenitas; menyatakan bahwa elemen-elemen yang dibandingkan dalam
struktur kerangka ANP sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar,
yang dapat menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan
penilaian elemen pendukung yang mempengaruhi keputusan.
c. Prioritas; yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala
interval [0.1] dan sebagai ukuran dominasi relatif.
d. Dependence condition; diasumsikan bahwa susunan dapat dikomposisikan ke
dalam komponen-komponen yang membentuk bagian berupa cluster.
Cox (2009) menyatakan bahwa metode ANP ini dikenal juga sebagai sebuah
kerangka kerja yang lebih canggih untuk menetapkan prioritas pengambilan
keputusan. ANP berbeda dari AHP dalam hal generalisasi proses perbandingan
berpasangan sehingga model keputusan dapat dibangun sebagai jaringan yang
kompleks, yang dapat mencakup inter koneksi dari komponen: tujuan keputusan,
kriteria, pemangku kepentingan, alternatif, skenario, dan faktor lainnya. Konsep
kunci dari ANP adalah bahwa pengaruh tidak perlu harus mengalir ke bawah,
seperti halnya hierarki dalam AHP; di mana pengaruh dapat mengalir antara
faktor-faktor dalam jaringan, dan membuat terciptanya jaringan non linier
31
prioritas dan alternatif pilihan. Cox (2009) menyimpulkan bahwa ANP sangat
berguna untuk pemodelan prediktif.
Dalam melakukan penelitian menggunakan metode ANP, ada beberapa tahapan
atau langkah yang harus dilakukan sesuai dengan tiga fungsi utama ANP
ditambah dengan langkah-langkah pelengkap yang diperlukan (Ascarya, 2009),
yaitu:
- Mengumpulkan data dan informasi mengenai permasalahan yang akan diteliti
selengkap mungkin dari para ahli yang menguasai permasalahan tersebut. Hal
ini diperlukan untuk memahami permasalahan yang ada secara mendalam agar
kerangka model yang dikembangkan dapat mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk tujuan ini antara
lain dengan mengadakan focus group discussion (FGD) dan indepth interview
dengan responden yang benar-benar menguasai masalah dari berbagai
kalangan, seperti pelaku, pakar, akademisi, dan pemerintah. Tanpa
pemahaman masalah yang mendalam akan sulit untuk menstruktur
kompleksitas dari masalah yang ada.
- Dekomposisi atau analisis untuk menstruktur kompleksitas masalah, yang
akan menghasilkan kerangka ANP dari permasalahan yang telah dipahami
secara mendalam, lengkap dengan semua cluster, elemen, dan hubungan-
hubungannya.
- Merancang kuisioner sesuai dengan kerangka ANP yang telah dibuat, yang
nantinya disebarkan kepada para ahli yang benar-benar menguasai masalah
untuk pengukuran menggunakan skala rasio. Dalam metode ANP, data yang
diperlukan dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, satu data yang
32
diperoleh merupakan konsensus dari sekelompok responden yang
dikumpulkan secara bersamaan. Kedua, pengumpulan data dilakukan secara
terpisah untuk masing-masing responden; dalam kasus ini metode ANP
membolehkan menggunakan modus atau rata-rata untuk mendapatkan satu
angka skala prioritas.
- Memproses dan mensintesis data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner
dengan kerangka ANP menggunakan perangkat lunak ANP.
- Menganalisis output yang dihasilkan, yang selanjutnya dipergunakan sebagai
dasar untuk memberikan policy recommendation yang sesuai untuk mengatasi
masalah yang ada.
Penggunaan pemodelan ANP terkait dengan isu-isu lingkungan belum banyak
dilakukan. Beberapa penelitian terkait diantaranya adalah penelitian kerangka
kerja untuk penilaian energi terbarukan di Nepal (Dhital, et al., 2014), sintesis
pengetahuan kolektif dari para ahli terkait sektor kopi di lima negara di Meso-
Amerika (Tapia and Eakin, 2009), dan analisa pengaruh permasalahan lingkungan
yang spesifik di Valenscia (Aragones-Beltrán, et al., 2015).
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dimulai dengan melakukan pra survei pada Maret dan April 2016
untuk pengambilan data dari Unit 4C yang sudah terverifikasi oleh verifikator
independen. Lokasi Unit 4C terpilih berada di Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
Penelitian kemudian dilanjutkan pada bulan Mei dan Juni 2016 untuk
penyampaian kuisioner kepada responden terpilih, analisis sementara hasil
kuisioner, Focus Group Discussion (FGD), strategi implementasi, analisis hasil
dan kesimpulan, serta penyajian hasil penelitian.
B. Alat
Alat yang dipergunakan untuk menunjang penelitian ini meliputi: computer, soft
copy data Unit 4C terverifikasi, hard dan soft copy kuisioner, serta software
aplikasi ANP menggunakan SuperDecision v.2.0.8 (dapat diunduh di:
http://www.superdecisions.com/super-decisions-download-page/)
C. Prosedur dan Langkah Penelitian
Penelitian ditujukan kepada para pelaku dari rantai pasok kopi di Kabupaten
Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Metode
34
penelitian yang dipergunakan adalah analisis kualitatif dengan pemodelan aplikasi
ANP. Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa data Unit 4C
terverifikasi dan data primer yang terdiri dari: jawaban kuisioner dari responden
terpilih dan hasil FGD. Adapun skema langkah-langkah penelitian ini disajikan di
Gambar 14, sebagai berikut:
Fase 3 - Analisis Hasil
Fase 1 - Konstruksi Model
Fase 2 - Kuantifikasi Model
Fase 4 - Strategi Implementasi
PENYUSUNAN KUISIONER
MODEL ANP
WAWANCARA
ANALISIS HASIL
PEMILIHAN RESPONDEN
PERSIAPAN DATA SEKUNDER
KOMPILASI DATA SKALA PRIORITAS
KONSTRUKSI MODEL
FOCUS GROUP DISCUSSION DAN STRATEGI
IMPLEMENTASI
Gambar 14. Skema langkah-langkah penelitian.
35
1. Fase 1 - Konstruksi Model
Metode eksplorasi data sekunder dari Unit 4C terverifikasi (4C Association, 2014;
4C Association, 2015a; 4C Association, 2015c) yang telah diolah didapatkan hasil
sebagai berikut:
- Jumlah Unit 4C di Provinsi Lampung secara keseluruhan adalah 14 unit.
Jumlah Unit 4C yang terambil dalam penelitian ini adalah sebanyak lima unit;
tiga unit berada di Kabupaten Lampung Barat dan dua unit berada di
Kabupaten Tanggamus. Sebanyak sembilan unit sisanya belum memberikan
konfirmasi untuk dapat dipublikasikan.
- Total luas perkebunan kopi dari lima Unit 4C tersebut di atas adalah 10.235,85
ha dengan 6.126 petani kopi terlibat didalamnya.
- Total sampel petani kopi yang terpilih pada saat verifikasi yang sudah
dilakukan dari lima Unit 4C tersebut di atas sebanyak 93 petani kopi.
Berdasarkan sistem tingkat dasar, verifikasi 4C untuk tiap Unit 4C
menggunakan formula sampling universal: minimum 50% dari akar kuadrat
dari total petani kopi, ditambah satu sampel dari entitas pengelola (4C
Association, 2015d). Formula tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Total sampel = (50% x √total petani kopi) + 1 entitas pengelola
36
Adapun konstruksi model berdasarkan indikator di dalam 4C Code of Conduct
dinyatakan secara jelas melalui model dekomposisi analytic network di Gambar
15. Kuisioner secara lengkap disusun berdasarkan konstruksi model tersebut.
Gambar 15. Konstruksi model ANP Dimensi Lingkungan 4C Code of Conduct.
2. Fase 2 - Kuantifikasi Model
Kuantifikasi model dinyatakan dengan merancang kuisioner dan survei pairwise
comparison antar elemen di dalam cluster untuk mengetahui di antara keduanya
yang mempunyai pengaruh lebih besar dan seberapa besar perbedaannya melalui
skala numerik 1-9. Responden terpilih terdiri dari lima kelompok, yaitu:
- Entitas pengelola dari perusahaan eksportir, dengan kriteria: pernah
mendapatkan pelatihan 4C Code of Conduct, serta pernah terlibat secara
langsung dan atau tidak langsung pada saat proses verifikasi.
37
- Kolektor, dengan kriteria: pernah mendapatkan pelatihan 4C Code of Conduct,
serta pernah terlibat secara langsung dan atau tidak langsung pada saat proses
verifikasi.
- Petani kopi, dengan kriteria: diutamakan ketua kelompok tani, pernah
mendapatkan pelatihan 4C Code of Conduct, serta pernah terlibat secara
langsung dan atau tidak langsung pada saat proses verifikasi.
- Penyuluh pertanian lapangan (PPL), dengan kriteria: pernah mendapatkan
pelatihan 4C Code of Conduct, serta pernah terlibat secara langsung dan atau
tidak langsung pada saat proses verifikasi.
- Verifikator, dengan kriteria: merupakan verifikator terdaftar dari 4C
Association, pernah mendapatkan pelatihan mengenai regulasi 4C Code of
Conduct, serta pernah melakukan verifikasi (baik sebagai verifikator dan atau
lead verificator) di Provinsi Lampung.
Untuk membantu responden di dalam pengisian kuisioner dan menjaga
konsistensi, diadaptasi sebuah penyederhanaan kuisioner yang dikembangkan oleh
Ascarya (2009), sebagai berikut:
“Berdasarkan perspektif tujuh kategori di dalam Dimensi Lingkungan 4C Code of
Conduct, kategori mana yang mempunyai pengaruh paling besar (lebih dominan),
dan berapa besar perbedaannya?”
38
Kemudian, sebagai contoh, responden mengisi ke dalam Tabel 6 yang sudah
disiapkan. Model kuisioner secara lengkap dapat dilihat di Lampiran.
Tabel 6. Contoh model kuisioner dan pengisian
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konservasi keanekaragaman hayati x
Penggunaan dan penanganan bahan kimia x
Konservasi tanah x
Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi x
Air x
Limbah x
Energi x
Kategori Dimensi Lingkungan
Kode Perilaku 4C
Intensitas Pengaruh
Selanjutnya, hasil kuisioner akan dilakukan kuantifikasi dengan alur seperti yang
ditunjukkan di Gambar 16.
Keterangan:
R1-Rn= jumlah responden ke-1 sampai ke-n
Gambar 16. Alur kuantifikasi (Ascarya, 2009).
3. Fase 3 – Analisis Hasil
Hasil penilaian dari Model ANP SuperDecisions akan menghasilkan keluaran
berupa prioritas, kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui hasil penilaian
responden secara individu dan menentukan hasil pendapat pada satu kelompok
responden dengan menghitung nilai rata-rata dari masing-masing kelompok
responden (Saaty and Vargas, 2006). Kuisioner yang berupa perbandingan
39
berpasangan (pairwise comparison) dari rata-rata kelompok responden akan
dikombinasikan sehingga membentuk konsensus dari semua kelompok responden.
Selain itu, dinilai juga rater agreement, yaitu ukuran yang menunjukan tingkat
kesesuaian (persetujuan) para responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam
satu cluster. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur rater agreement
adalah berdasarkan Kendall‟s Coefficient of Concordance (W;0 < W≤ 1). Jika
nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian atau
pendapat dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna; sedangkan
ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka menunjukan adanya
ketidaksesuaian antar jawaban responden atau jawaban masing-masing responden
bervariatif (Ascarya, 2009).
Contoh perhitungan rater agreement (Ascarya, 2009), adalah sebagai berikut:
- Hasil prioritas dari model ANP dilakukan transpose
ASPECT R9 R8 R7 R6 R5 R4 R3 R2 R1
Internal 0,436 0,362 0,375 0,176 0,452 0,318 0,280 0,225 0,286
Nasabah 0,235 0,124 0,137 0,153 0,276 0,123 0,192 0,139 0,219
Regulasi 0,143 0,256 0,229 0,460 0,144 0,411 0,272 0,328 0,251
Pemerintah 0,185 0,258 0,258 0,211 0,128 0,148 0,256 0,308 0,243
ASPECT Internal Nasabah Regulasi Pemerintah
R9 0,436 0,235 0,143 0,185
R8 0,362 0,124 0,256 0,258
R7 0,375 0,137 0,229 0,258
R6 0,176 0,153 0,460 0,211
R5 0,452 0,276 0,144 0,128
R4 0,318 0,123 0,411 0,148
R3 0,280 0,192 0,272 0,256
R2 0,225 0,139 0,328 0,308
R1 0,286 0,219 0,251 0,243
Transpose
40
- Hasil transpose dibuat ranking
ASPECT Internal Nasabah Regulasi Pemerintah
R9 0,436 0,235 0,143 0,185
R8 0,362 0,124 0,256 0,258
R7 0,375 0,137 0,229 0,258
R6 0,176 0,153 0,460 0,211
R5 0,452 0,276 0,144 0,128
R4 0,318 0,123 0,411 0,148
R3 0,280 0,192 0,272 0,256
R2 0,225 0,139 0,328 0,308
R1 0,286 0,219 0,251 0,243
ASPECT Internal Nasabah Regulasi Pemerintah
R9 1 2 4 3
R8 1 4 3 2
R7 1 4 3 2
R6 3 4 1 2
R5 1 2 3 4
R4 2 4 1 3
R3 1 4 2 3
R2 3 4 1 2
R1 1 4 2 3
Total 14 32 20 24
- Nilai rater agreement diperoleh dengan rumus:
U = (T1 + T2 + … + Tp)/p
S = (T1 – U)2 + (T2 – U)
2 + … + (Tp – U)
2
MaxS = (n – U) 2
+ (2n – U)2 + … + (pn – U)
2
W = S/MaxS
Keterangan: U = nilai rata-rata dari total ranking, S = jumlah dari deviasi kuadrat, p = jumlah
node, n = jumlah responden
Ranking
41
- Dari data dan rumus tersebut diperoleh nilai rater agreement berikut:
ASPECT Internal Nasabah Regulasi Pemerintah
R9 1 2 4 3
R8 1 4 3 2
R7 1 4 3 2
R6 3 4 1 2
R5 1 2 3 4
R4 2 4 1 3
R3 1 4 2 3
R2 3 4 1 2
R1 1 4 2 3
Total 14 32 20 24
U = 22,5
S = 171
MaxS = 405
W = 0,42
4. Fase 4 – Strategi implementasi
Setelah melalui tahapan fase 1 sampai 3, maka dihasilkan peta kinerja dan
prioritas Dimensi Lingkungan 4C yang merupakan gabungan dari data Unit 4C
terverifikasi dan hasil analisis ANP dari semua kelompok responden. Peta kinerja
dan prioritas Dimensi Lingkungan 4C akan disampaikan kepada petani terpilih
sebagai bahan informasi mengenai kondisi mereka saat ini.
Kemudian, dilanjutkan dengan FGD untuk menghasilkan strategi implementasi
Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat dibuat simpulan sebagai berikut:
1. Hasil kompilasi Kategori Dimensi Lingkungan 4C dari lima Unit 4C
terverifikasi di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus,
Provinsi Lampung, menempatkan kategori “Konservasi keanekaragaman
hayati” sebagai prioritas utama yang harus menjadi perhatian dan ditingkatkan
kinerjanya, diikuti kategori “Limbah” dan “Penggunaan dan penanganan
bahan kimia”. Selain itu, data tersebut juga menunjukkan tingkat kinerja
dengan hasil yang kurang baik.
2. Persepsi dari semua kelompok responden terpilih memberikan prioritas untuk
kategori “Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi”, “Konservasi tanah”, serta
“Konservasi keanekaragaman hayati” sebagai kategori yang perlu diperhatikan
dan ditingkatkan kinerjanya. Hasil over lapping skala prioritas dari data Unit
4C terverifikasi dan hasil analisa ANP semua kelompok responden
menghasilkan lima prioritas dari Kategori Dimensi Lingkungan 4C, yaitu:
- Konservasi keanekaragaman hayati, dengan indikator: program
perlindungan lereng, DAS, dan rawa.
- Kesuburan tanah dan manajemen nutrisi, dengan indikator: pupuk organik
digunakan.
70
- Limbah, dengan indikator: menjalankan penggunaan kembali, daur ulang,
dan pembuangan yang aman.
- Konservasi tanah, dengan indikator: ada rencana dan implementasi
konservasi tanah.
- Penggunaan dan penanganan bahan kimia, dengan indikator: pestisida
disimpan dengan baik.
3. Strategi implementasi Dimensi Lingkungan 4C di Provinsi Lampung menurut
peran dari masing-masing pemangku kepentingan adalah sebagai berikut:
- Selaku pemilik standar, 4C Association dapat berperan dengan
mengeluarkan regulasi pelatihan spesifik terkait dengan kategori
“Konservasi Keanekaragaman Hayati”, memperbaiki dan menerapkan
sistem keterlacakan dari unit yang terverifikasi, aturan yang jelas
mengenai harga premium, serta melakukan un-announcement visit (audit
tambahan) untuk memastikan hasil verifikasi Unit 4C.
- Industri (roasters dan retailers) dan eksportir harus berkomitmen dan
memberi kepastian pembelian jangka panjang dengan petani kopi, kerja
sama dan penguatan social capital kelompok tani, investasi untuk program
keberlanjutan, serta menyampaikan harga premium secara transparan dan
berdasarkan kesepakatan Bersama.
- Pemerintah dapat berperan sangat penting dengan mengeluarkan regulasi
dan kebijakan terkait dengan lingkungan, memperkuat dan harmonisasi
standar keberlanjutan nasional, perlu meningkatkan tata kelola Hutan
Kemasyarakatan (HKm) dan penegakan hukum di kawasan hutan lindung,
71
pemberdayaan penyuluh untuk pembinaan petani kopi, serta regulasi
pasokan pupuk dan pestisida dalam kemasan kecil dan ekonomis.
- Adapun Petani harus memperkuat kelembagaan untuk peningkatan akses
terhadap input pertanian, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
mengenai budidaya tanaman kopi yang baik dan berkelanjutan, serta
pengelolaan kebun dengan memperhatikan aspek kualitas lingkungan,
sehingga tekanan untuk membuka lahan baru di kawasan hutan lindung
dapat dikurangi.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah:
1. Informasi terkait kinerja untuk Unit 4C terverifikasi harus disampaikan oleh
Entitas Pengelola ke petani kopi di dalam unit tersebut sebagai bahan
pembelajaran dan perbaikan untuk kategori dengan kinerja yang kurang baik.
2. Pemenuhan syarat standar keberlanjutan untuk calon Unit 4C, khususnya di
tingkat petani kopi, dapat diwujudkan dengan pendekatan secara
komprehensif oleh semua pemangku kepentingan berupa collective action.
Impelementasi public private partnership yang bersifat pre-competitive dan
match funding juga dapat mengakselerasi pemenuhan tersebut.
3. Strategi implementasi dari masing-masing pemangku kepentingan, seperti:
pelatihan spesifik, sistem keterlacakan, harga premium, komitmen pembelian
jangka panjang, regulasi pemerintah, pemberdayaan penyuluh, serta penguatan
kelembagaan petani; dilaksanakan oleh Unit 4C dengan membuat kerangka
kerja sehingga dapat dinilai efektivitas dan kinerjanya berdasarkan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
72
DAFTAR PUSTAKA
4C Association. 2014. A Snapshot from the Field: Five Countries Over Five
Years. Adenauerallee 108, 53113 Bonn. Germany.
_____________. 2015a. Annual Report 2014: Collectively Building on Progress.
Adenauerallee 108, 53113 Bonn. Germany.
_____________. 2015b. Module for 4C Verifier Training. Adenauerallee 108,
53113 Bonn. Germany.
_____________. 2015c. Verification Update. Adenauerallee 108, 53113 Bonn.
Germany.
_____________. 2015d. 4C Verification Regulation. Adenauerallee 108, 53113
Bonn. Germany.
Agus, F., A.N. Gintings, dan M.V. Noordwijk. 2002. Pilihan Teknologi
Agroforestri/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya, Lampung Barat. International Centre for Research in
Agroforestry Southeast Asia Regional Office. Bogor. Indonesia.
Arce, V.J.C., R. Raudales, R. Trubey, D.I. King, R.B. Chandler, and C.C.
Chandler. 2009. Measuring and managing the environmental cost of
coffee production in Latin America. Journal of Conservation and
Society. 7(2): 141-144.
Aragones-Beltrán, P., M. García-Melón, and V. Estruch-Guitart. 2015. Analysis
of the participation of stakeholders in environmental management based
on ANP: Application to a Spanish Natural Park. International Journal
of the Analytic Hierarchy Process. 7(1): 1-14.
Arifin, B. 2010. Global sustainability regulation and coffee supply chains in
Lampung Province, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and
Development. 7(2): 67-89.
Ascarya. 2009. Analytic Network Process (ANP): Pendekatan Baru dalam
Penelitian Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan.
Bank Indonesia. Jakarta. Indonesia.
73
Asosiasi 4C. 2012. Kode Perilaku 4C. Adenauerallee 108, 53113 Bonn.
Germany.
Badan Pusat Statistik. 2015. Data Hasil Sensus Pertanian 2013 di Provinsi
Lampung. Jakarta. Indonesia.
Blackman, A. and Maria A. Naranjo. 2010. Does eco-certification have
environmental benefits? Organic coffee in Costa Rica. Environmental
for Discussion. Discussion Paper Series: 10-25.
Conway, G. 2012. One Billion Hungry: Can We Feed the World? Cornell
University. Itacha, NY. USA.
COSA. 2013. The COSA Measuring Sustainability Report: Coffee and Cocoa in
12 Countries. Committee on Sustainability Assessment. Pennsylvania.
USA.
Cox, M.A.A. 2009. Multidimensional scaling as an aid for the analytic network
and analytic hierarchy processes. Journal of Data Science. 7: 381-396.
Dhital, R. P., P. Pyakurel, T. R. Bajracharya, and R. Shrestha. 2014. Framework
for sustainability assessment of renewable energy projects in Nepal.
International Journal of the Analytic Hierarchy Process. 6(1): 76-92.
Evisal, R., Sugiatno, F. E. Prasmatiwi, and I. Nurmayasari. 2016. Shade tree
species diversity and coffee productivity in Sumberjaya, West Lampung,
Indonesia. Biodiversitas. 17(1): 234-240.
Giovannucci, D. and J. Potts. 2008. Seeking Sustainability: COSA Preliminary
Analysis of Sustainability Initiatives in the Coffee Sector. Committee on
Sustainability Assessment. Winnipeg. Canada.
Giovannucci, D., S. Scherr, D. Nierenberg, C. Hebebrand, J. Shapiro, J. Milder,
and K. Wheeler. 2012. Food and Agriculture: The Future of
Sustainability. A strategic Input to the Sustainable Development in the
21st century (SD21). Report for Rio+20. United Nations Department of
Economic and Social Aff airs Division for Sustainable Development
New York. USA.
Global Coffee Platform, IDH Sustainable Trade Initiative, Specialty Coffee
Association of America, and Sustainable Coffee Chalenge. 2016. Coffee
Sustainability Catalogue 2016: a collective review of work being done to
make coffee sustainable.
http://www.conservation.org/publications/Documents/Coffee_Sustainabil
ity_Catalogue_2016_FULL_with_appendices.pdf. Diakses pada 25
September 2016.
74
Hanani, N., Rosihan Asmara, dan Fahriyah. 2013. Persaingan Ekspor Kopi
Indonesia di Pasar Internasional. Universitas Brawijaya. Malang.
Indonesia.
Hughell, D. and D. Newsom. 2013. Impacts of Rainforest Alliance Certification
on Coffee Farms in Colombia. Rainforest Alliance, 233 Broadway, 28th
Floor. New York, NY, 10279-2899. USA.
Hulupi, R. dan E. Martini. 2013. Pedoman Budidaya dan Pemeliharaan
Tanaman Kopi di Kebun Campur. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia. Jember. Indonesia.
ICO. 2014. Coffee consumption in East and Southeast Asia: 1990-2012.
International Coffee Council, 112th
Session. London. United Kingdom.
ICO. 2016. The Current State of the Global Coffee Trade. London. United
Kingdom.
Imaflora. 2009. Impact Assesment Study on FSC/SAN Certification in Brazil:
Does Certification Make a Difference? Instituto de Manejo e
Certificação Florestal e Agrícola, Piracicaba. Brasil.
ISEAL. 2016. Sustainability Standard Essentials. Training and Workshop
Module by ISEAL in Amsterdam, January 27th
, 2016.
Jena, P.R., T. Stellmacher, U. Grote. 2010. Forest Coffee Certification and
Sustainable Livelihoods of Coffee Farmers in Nicaragua: Should We be
Optimistic? Post-Doctoral Research Fellow, University of Hannover.
Germany.
Komar, O. 2012. Are Rainforest Alliance Certified Coffee Plantations Bird-
friendly? Final Technical Report, Study of Dispersing Forest Bird and
Migratory Birds in El Salvador’s Apaneca Biological Corridor.
SalvaNATURA, Sal Salvador. El Salvador.
NRDC. 2014. Coffee, Conservation, and Commerce in the Western Hemisphere:
How Individuals and Institutions Can Promote Ecologically Sound
Farming and Forest Management in Northern Latin America. New York
City. USA.
Panhuysen, S. and J. Pierrot. 2014. Coffee Barometer 2014. Hivos, Raamweg
16, 2596 HL The Hague. The Netherland.
Pavlovskaia, E. 2014. Environmental sustainability criteria in the coffee sector–
lessons that can be learnt. Environment and Ecology Research. 2(3):
138-148.
75
Philpott, S.M., P. Bichier, R.A. Rice, and R. Greenberg. 2008. Biodiversity
conservation, yield, and alternative products in coffee agroecosystems in
Sumatra, Indonesia. Journal of Biodiversity Conservation. 17: 1805-
1820.
Rainforest Alliance. 2015. Measuring the Environmental Impact of Our Work.
http://www.rainforest-alliance.org/work/impact/environmental. Diakses
pada 28 Mei 2015
Saaty, T.L. 2001. Decision Making with Dependence and Feedback: The
Analytic Network Process. RWS Publication. Pittsburgh, USA.
Saaty, T.L. and L.G. Vargas. 2006. Decision Making with the Analytic Network
Process: Economic, Political, Social and Technological Applications
with Benefits, Opportunities, Cost and Risks. 2nd
Edition. Springer
Science+Business Media. New York.
Sihite, J. 2001. Evaluasi dampak erosi tanah model pendekatan ekonomi
lingkungan dalam perlindungan DAS: kasus sub-DAS Besai DAS
Tulang Bawang Lampung. Southeast Asia Policy Research Working
Paper, No. 11.
SLUSE. 2010. A Case Study of the Hutan Kemasyarakatan Community Forestry
Programme in Tugusari, Sumberjaya. SLUSE Field Course, University
of Copenhagen. Denmark.
Sudarsono, H., Purnomo, Wagianto. 2015. Pesticide Monitoring Sistem in
Indonesia: Case Study in Tanggamus and West Lampung (Lampung
Province) and South Ogan Komering Ulu (South Sumatera Province).
Lampung University. Bandar Lampung. Indonesia.
Suyanto, S., N. Khususiyah, and B. Leimona. 2007. Poverty and environmental
services: case study in Way Besai Watershed, Lampung Province,
Indonesia. Journal of Ecology and Society. 12(2): 13.
Tapia, L. A. B. and H. Eakin. 2009. ANP modelling of complex socio-
environmental systems: adaptive capacity of smallholder coffee system
in Mesoamerica. Proceedins of the International Symposium on the
Analytic Hierarchy Process.
TechnoServe. 2014. Indonesia: A Business Case for Sustainable Coffee
Production. An Industry Study by TechnoServe for the Sustainable
Coffee Program, powered by IDH. Nieuwekade 9, 3511 RV Utrecht.
The Netherland.
76
United Nations. 2006. Second UN World Water Development Report: Water, a
shared responsibility. Food and Agriculture Organization of the United
Nations and the International Fund for Agricultural Development. Rome.
Italy.
Wahyudi, T. and M. Jati. 2012. Challenges of Sustainable Coffee Certification in
Indonesia. Seminar on the Economic, Social, and Environmental Impact
of Certification on the Coffee Supply Chain. ICO 9th
Session. London.
United Kingdom.
Wibowo, W. 2015. 4C Indonesia, Current Situation and Trends. Presentation on
4C Association International Team Retreat. Bonn. Germany.
WWF. 2007. Gone in an Instant: How the Trade in Illegally Grown Coffee is
Driving the Destruction of Rhino, Tiger, and Elephant Habitat. WWF-
Indonesia, PO Box 5020 JKTM 12700. Jakarta. Indonesia.