analisis risiko produksi bayam hijau hidroponik di …
TRANSCRIPT
i
ANALISIS RISIKO PRODUKSI BAYAM HIJAU
HIDROPONIK DI SERUA FARM KOTA DEPOK
SKRIPSI
Wasis Vidya Hajjarwati
11150920000045
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020/1441 H
i
ANALISIS RISIKO PRODUKSI BAYAM HIJAU
HIDROPONIK DI SERUA FARM KOTA DEPOK
Wasis Vidya Hajjarwati
11150920000045
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020/1441 H
ii
iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Diri
Nama : Wasis Vidya Hajjarwati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang, 15 April 1997
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Jati II No. 8 RT/RW 001/005 Perumnas 1,
Desa Cibunar, Kecamatan Parungpanjang,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
No. Hp : 082210886620
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2003 – 2009 : SDN Perumnas Bumi Parungpanjang
2009 – 2012 : SMP Negeri 1 Parungpanjang
2012 – 2015 : SMA Negeri 3 Kabupaten Tangerang
2015 – 2020 : S1 Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Pengalaman Organisasi
2010 – 2012 : Sekretaris Ekstrakulikuler Palang Merah Remaja
SMPN 1 Parungpanjang
v
2012 – 2013 : Bendahara I OSIS SMPN 1 Parungpanjang
2019 : Panitia 4th International Conference on Science
and Technology
Pengalaman Kerja
2018 : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Divisi
Produksi (Magang)
2019 : Serua Farm, Depok Divisi Produksi (Magang)
vi
KATA PENGANTAR
﷽
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil'alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Analisis Risiko Produksi Bayam Hijau Hidroponik di Serua Farm
Kota Depok”. Penulisan skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses penulisan sampai selesainya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Penulis dengan penuh rasa hormat mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang memberikan bantuan dan dukungan baik
secara moril dan materil, secara langsung maupun tidak langsung sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Keluarga penulis, Bapak Wasis Adi Purwanto, Ibu Zetriyesi selaku orang tua
penulis, kakak Wasis Muharam Bhayangkara dan kedua adik Wasis
Mahardhika Juneswara dan Wasis Mahatma Paranpara yang selalu berusaha
memberikan dukungan moril maupun materil serta motivasi yang tiada henti.
Terima kasih atas doa, cinta, kasih sayang, pengertiannya, dukungannya, dan
vii
kesabarannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang lebih baik. Aaamiiin.
2. Ibu Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env.Stud selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mengesahkan karya tulis ini sebagai skripsi beserta
jajarannya.
3. Ibu Dr. Ir. Siti Rochaeni, M.Si selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan
Ibu Rizki Adi Puspita Sari, S.P, MM selaku Sekretaris Program Studi
Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada
penulis untuk menimba ilmu pengetahuan serta membantu penulis dalam
proses akademik.
4. Ibu Dr. Ir. Elpawati, MP dan Bapak Ir. Junaidi, M.Si selaku dosen
pembimbing I dan dosen pembimbing II yang tiada henti selalu memberikan
banyak pengarahan, bimbingan, waktu, tenaga dan dukungan secara tulus
kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini.
5. Bapak Dr. Yon Girie Mulyono, selaku pembimbing akademik penulis.
Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan nasihat kepada penulis selama
proses akademis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Charlie selaku pemilik di Serua Farm serta para pekerja di Serua Farm
yang telah memberikan dukungan dan pengetahuan kepada penulis sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
viii
7. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Leni, Rekha, Nabila, Putri, Jannisah, Titoy,
Athiya, Hafny, Firda, Tiara, Sekar, Hilda, Diah dan sahabat perjuangan
lainnya yang tidak tersebut yang menjadi tempat bertukar pikiran dan
senantiasa memberikan semangat serta motivasi sehingga dapat segera
menyelesaikan penulisan penelitian ini.
8. Teman-teman Agribisnis 2015 yang selalu memberikan berbagai informasi
dan juga semangat dalam mengerjakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dari seluruh pembaca. Semoga skripsi ini dapat
berguna bagi penulis maupun seluruh pihak yang membutuhkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta,Januari 2021
Wasis Vidya Hajjarwati
ix
RINGKASAN
Wasis Vidya Hajjarwati, Analisis Risiko Produksi Bayam Hijau Hidroponik di
Serua Farm Kota Depok. Di bawah bimbingan Elpawati dan Junaidi.
Kebun Serua Farm adalah kebun pertama yang dimiliki oleh Hidroponikita
dan kini sebagai kebun induk dalam bisnis pertanian Hidroponikita. Berdiri pada
tanggal 15 Januari 2017, dengan luas 1.200 meter persegi. Sayuran utama yang
diproduksi oleh Serua Farm adalah bayam hijau hidroponik. Dalam menjalankan
usahanya, produksi bayam yang dihasilkan oleh Serua Farm selalu beragam dan
tidak selalu mencapai target yang ditentukan serta tidak dapat memenuhi
permintaan konsumen yang masuk. Jumlah kegagalan produksi atau rijek yang
terjadi sering diakibatkan karena rusaknya produk bayam hidroponik sebelum
masa panen tiba sehingga mengurangi jumlah panen bersih yang dihasilkan dan
kemudian merugikan perusahaan.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi risiko produksi bayam
hidroponik yang dihadapi oleh Serua Farm; (2) Mengukur seberapa besar risiko
produksi bayam hidroponik di Serua Farm; (3) Memetakan risiko produksi bayam
hidroponik di Serua Farm; dan (4) Mengetahui prioritas strategi pengendalian
risiko yang tepat pada produksi bayam hidroponik di Serua Farm.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara,
kuesioner, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan secara sistematik
dengan informan terkait produksi bayam hidroponik dimana terdapat 4
narasumber, yaitu Charlie Tjendapati selaku kepala kebun, Een Jaenah selaku
penanggung jawab penyemaian, Rafika Putri Wulandari selaku penanggung jawab
screenhouse, dan Dian Ardiansyah selaku penanggung jawab produksi. Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah diagram fishbone, House of
Risk (HOR) fase 1 dan 2 serta diagram pareto. Pada penelitian ini akan
diidentifikasi penyebab dan dampak risiko yang ditimbulkan, dan penentuan
penyebab risiko yang harus diberikan aksi preventif terlebih dahulu.
Hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat 9 penyebab risiko pada proses
penanaman, 5 penyebab risiko pada proses pemeliharaan, 4 penyebab risiko pada
proses pemanenan dan 5 penyebab risiko pada proses pengemasan. Kemudian 9
kejadian risiko pada proses penanaman, 5 kejadian risiko pada proses
pemeliharaan, 4 kejadian risiko pada proses pemanenan dan 4 kejadian risiko pada
proses pengemasan. Hasil pemetaan risiko yang terjadi pada bayam hidroponik
didapatkan total 12 penyebab risiko yang menjadi prioritas untuk dijadikan
penanganan risiko. Berdasarkan pemetaan pareto yang menjadi prioritas
penanganan risiko tersebut, maka didapatkan 18 strategi preventif pencegahan
risiko guna menghindari risiko tersebut terjadi kembali.
Kata kunci : hidroponik, risiko, House of Risk, fishbone, strategi preventif
x
DAFTAR ISI
Halaman
PENGESAHAN UJIAN ................................. Error! Bookmark not defined.
SURAT PERNYATAAN ................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
RINGKASAN .............................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian......................................................................... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 10
2.1. Definisi Produksi ......................................................................... 10
2.2. Hidroponik .................................................................................. 11
2.3. Bayam.......................................................................................... 18
2.3.1. Syarat Tumbuh Bayam Hidroponik ................................... 21
2.3.2. Proses Produksi Bayam Hidroponik .................................. 24
2.4. Risiko .......................................................................................... 28
2.4.1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebab ................................ 29
2.4.2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat ..................................... 30
xi
2.4.3. Konsep Risiko .................................................................... 31
2.5. Manajemen Risiko....................................................................... 32
2.6. Risiko dalam Agribisnis .............................................................. 37
2.7. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone) .............................................. 45
2.8. House of Risk (HOR)................................................................... 48
2.8.1. House of Risk Fase 1 .......................................................... 50
2.8.2. House of Risk Fase 2 .......................................................... 53
2.9. Diagram Pareto ............................................................................ 55
2.10. Penelitian Terdahulu ................................................................. 57
2.11. Kerangka Pemikiran .................................................................. 59
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 61
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................... 61
3.2. Sumber dan Jenis Data ................................................................ 61
3.3. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 62
3.4. Metode Pengolahan Data ............................................................ 63
3.5. Metode Analisis Data .................................................................. 65
3.5.1. Diagram Tulang Ikan ......................................................... 65
3.5.2. House of Risk (HOR) Fase 1 .............................................. 66
3.5.3. Diagram Pareto .................................................................. 68
3.5.4. House of Risk (HOR) Fase 2 .............................................. 70
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ................................... 73
4.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ...................................... 73
4.2. Visi dan Misi Perusahaan ............................................................ 74
4.3. Struktur Organisasi Serua Farm .................................................. 75
4.4. Produk Sayur Hidroponik Serua Farm ....................................... 77
4.5. Proses Produksi Sayur Bayam Hidroponik di Serua Farm ......... 77
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN IDENTIFIKASI DAN
PEMETAAN RISIKO ................................................................. 81
5.1. Identifikasi Risiko ....................................................................... 81
5.1.1. Identifikasi Kejadian Risiko .............................................. 84
5.1.2. Identifikasi Penyebab Risiko ............................................. 92
xii
5.2. Pengukuran Risiko .................................................................... 101
5.2.1. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko ............... 101
5.2.2. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko ......................................... 107
5.2.3. Pengukuran Tingkat Korelasi antara Penyebab
Risiko (Risk Agent) dengan Kejadian Risiko
(Risk Event) ...................................................................... 112
5.2.4. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) ................. 114
5.3. Pemetaan Risiko ........................................................................ 121
5.3.1. Pemetaan Risiko pada Proses Penyemaian ........................ 122
5.3.2. Pemetaan Risiko pada Proses Penanaman ......................... 122
5.3.3. Pemetaan Risiko pada Proses Pemeliharaan ...................... 123
5.3.4. Pemetaan Risiko pada Proses Pemanenan ......................... 124
5.3.5. Pemetaan Risiko pada Proses Pengemasan ........................ 125
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN STRATEGI PENANGANAN
RISIKO ....................................................................................... 126
6.1. Strategi Penanganan Risiko ....................................................... 126
6.1.1. Strategi Preventif Risiko pada Proses Penyemaian ......... 126
6.1.2. Strategi Preventif Risiko pada Proses Penanaman .......... 127
6.1.3. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pemeliharaan ....... 128
6.1.4. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pemanenan .......... 130
6.1.5. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pengemasan ......... 131
6.2. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan
Strategi Pencegahan Risiko ....................................................... 132
6.2.1. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan
Penerapan Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Penyemaian .......................................................... 133
6.2.2. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan
Penerapan Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Penanaman ........................................................... 133
6.2.3. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan
Penerapan Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pemeliharaan ........................................................ 134
6.2.4. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan
Penerapan Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pemanenan ........................................................... 135
6.2.5. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan
Penerapan Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pengemasan .......................................................... 136
6.3. Penilaian Korelasi antara Strategi Pencegahan Risiko
dengan Agen Penyebab Risiko Prioritas ................................... 137
xiii
6.4. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap
Strategi Pencegahan Risiko ....................................................... 139
6.4.1. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada
Setiap Strategi Pencegahan Risiko pada Proses
Penyemaian ...................................................................... 139
6.4.2. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada
Setiap Strategi Pencegahan Risiko pada Proses
Penanaman ....................................................................... 140
6.4.3. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada
Setiap Strategi Pencegahan Risiko pada Proses
Pemeliharaan.................................................................... 141
6.4.4. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada
Setiap Strategi Pencegahan Risiko pada Proses
Pemanenan ....................................................................... 143
6.4.5. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada
Setiap Strategi Pencegahan Risiko pada Proses
Pengemasan ..................................................................... 144
6.5. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap
Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) ......................................... 145
6.5.1. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan
dari Tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk)
pada Proses Penyemaian .................................................. 146
6.5.2. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan
dari Tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk)
pada Proses Penanaman ................................................... 147
6.5.3. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan
dari Tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk)
pada Proses Pemeliharaan................................................ 148
6.5.4. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan
dari Tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk)
pada Proses Pemanenan ................................................... 150
6.6. Prioritas Aksi Strategi Preventif ................................................ 152
6.7. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi
Pencegahan Risiko .................................................................... 155
BAB VII PENUTUP .................................................................................. 159
7.1. Kesimpulan .................................................................................. 159
7.2. Saran ............................................................................................ 161
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 163
LAMPIRAN ................................................................................................ 168
xiv
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Selisih Produk Bayam Hijau Hidroponik di Serua Farm
Tahun 2018 –2019 dalam Kg ............................................................................. 5
2. Perbandingan Budidaya secara Konvensional dan Hidroponik ........................ 15
3. Model HOR Fase 1 ........................................................................................... 51
4. Model HOR Fase 2 ........................................................................................... 54
5. Matriks Penelitian Terdahulu ............................................................................ 58
6. Pemberian Kode Dugaan Penyebab Risiko Produksi
Bayam Hidroponik di Serua Farm ................................................................... 64
7. Pemberian Kode Dugaan Kejadian Risiko pada Produksi
Bayam Hidroponik di Serua Farm .................................................................. 64
8. Tabel House of Risk Fase 1 Proses Pemeliharaan Bayam
Hidroponik di Serua Farm .............................................................................. 67
9. Model HOR Fase 2 ........................................................................................... 70
10. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Penyemaian di Serua Farm Tahun 2019 ........................................................ 84
11. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Penanaman di Serua Farm Tahun 2019 ......................................................... 85
12. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Pemeliharaan di Serua Farm Tahun 2019 ..................................................... 87
13. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Pemanenan di Serua Farm Tahun 2019 ......................................................... 89
14. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Pengemasan di Serua Farm Tahun 2019 ....................................................... 91
15. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Penyemaian di Serua Farm Tahun 2019 ........................................................ 92
xv
16. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Penanaman di Serua Farm Tahun 2019 ......................................................... 94
17. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Pemeliharaan di Serua Farm Tahun 2019 ..................................................... 96
18. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Pemanenan di Serua Farm Tahun 2019 ......................................................... 98
19. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada
Proses Pengemasan di Serua Farm Tahun 2019 ............................................ 99
20. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada
Proses Penyemaian ....................................................................................... 102
21. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada
Proses Penanaman ........................................................................................ 103
22. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada
Proses Pemeliharaan .................................................................................... 104
23. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada
Proses Pemanenan ........................................................................................ 105
24. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada
Proses Pengemasan ...................................................................................... 106
25. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko pada Proses Penyemaian ............................. 107
26. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko pada Proses Penanaman .............................. 108
27. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko pada Proses Pemeliharaan .......................... 109
28. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko pada Proses Pemanenan .............................. 110
29. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko pada Proses Pengemasan ............................ 111
30. Hasil Perhitungan ARP Proses Penyemaian ................................................. 115
31. Hasil Perhitungan ARP Proses Penanaman .................................................. 116
xvi
32. Hasil Perhitungan ARP Proses Pemeliharaan ............................................... 118
33. Hasil Perhitungan ARP Proses Pemanenan .................................................. 119
34. Hasil Perhitungan ARP Proses Pengemasan ................................................. 120
35. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penyemaian .............................................. 133
36. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penanaman ................................................ 134
37. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemeliharaan ............................................ 135
38. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemanenan ................................................ 136
39. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pengemasan .............................................. 137
40. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Penyemaian............ 140
41. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Penanaman ............. 141
42. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pemeliharaan ......... 142
43. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pemanenan ............. 143
44. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pengemasan ........... 144
45. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari
tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penyemaian ............. 146
46. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari
tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penanaman .............. 148
47. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari
tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemeliharaan ........... 149
48. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari
tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemanenan .............. 150
49. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari
tiap Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pengemasan ............. 151
xvii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Data Produksi dan Target Bayam di Serua Farm Tahun 2018-2019 .................. 4
2. Proses Manajemen Risiko ISO 31000 : 2018 ................................................... 41
3. Identifikasi Risiko (Metode Fish Bone) ............................................................ 46
4. Diagram Tulang Ikan Tipe Rangkuman Sebab ................................................. 46
5. Struktur Diagram Tulang Ikan (Tipe Klasifikasi Proses Produksi) .................. 47
6. Struktur Diagram Pareto ................................................................................... 56
7. Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 60
8. Dugaan Diagram Tulang Ikan Dugaan Kejadian Risiko Produksi Bayam
Hidroponik di Serua Farm tahun 2019 ............................................................. 65
9. Model Diagram Pareto Risiko Produksi Bayam Hidroponik ............................ 69
10. Struktur Organisasi di Serua Farm ................................................................. 75
11. Alur Proses Produksi Bayam Hidroponik di Serua Farm ............................... 78
12. Identifikasi Sumber Risiko dengan Metode Fish Bone pada Produksi
Bayam Hidroponik di Serua Farm tahun 2019 .............................................. 83
13 Diagram Pareto pada Proses Penyemaian ...................................................... 122
14. Diagram Pareto pada Proses Penanaman ...................................................... 123
15. Diagram Pareto pada Proses Pemeliharaan ................................................... 124
16. Diagram Pareto pada Proses Pemanenan ...................................................... 124
17. Diagram Pareto pada Proses Pengemasan..................................................... 125
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Wawancara Profil Perusahaan dan Identifikasi Risiko ................................... 169
2. Matriks Instrumen Penelitian .......................................................................... 171
3a. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi
Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dan Tingkat Pengaruh Dampak (Severity)
Risiko pada Proses Penyemaian ................................................................... 173
3b. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi
Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dan Tingkat Pengaruh Dampak (Severity)
Risiko pada Proses Penanaman .................................................................... 175
3c. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan Tingkat
Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses Pemeliharaan………….176
3d. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi atau
Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan Tingkat
Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses Pemanenan ……….…..177
3e. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi atau Peluang
Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan Tingkat Pengaruh
Dampak (Severity) Risiko pada Proses Pengemasan ………………….....178
3f. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dengan Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada
Proses Penyemaian…………………………...………………………….....179
3g. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dengan Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada
Proses Penanaman……………………………………………………….....181
3h. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko (Severity)
pada Proses Pemeliharaan………………………………………………….183
3i. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko (Severity)
pada Proses Pemanenan...…………………………………………………185
xix
3j. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko (Severity)
pada Proses Pengemasan ………………..………………………………..187
4a. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat Kesulitan
Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif Penyebab Risiko
pada Proses Penyemaian ……………………………..…………………...189
4b. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat Kesulitan
Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif Penyebab Risiko
pada Proses Penanaman ……………………………..…………………...190
4c. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat Kesulitan
Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif Penyebab Risiko
pada Proses Pemeliharaan…………………………………………………190
4d. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat Kesulitan
Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif Penyebab Risiko
pada Proses Pemanenan…………………………………………………...191
4e. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat Kesulitan
Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif Penyebab
Risiko pada Proses Pengemasan……………………………………..........191
4f. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Penyemaian………...………………………………………...192
4g. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Penanaman…………………………………………………...193
4h. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pemeliharaan ……………………………………………........195
4i. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pemanenan…………………………………………………...196
4j. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pengemasan………………………………….……………….197
5a. Tabel HOR Fase 1 Proses Penyemaian..……………………...……….......199
xx
5b. Tabel HOR Fase 1 Proses Penanaman..……………………………….......200
5c. Tabel HOR Fase 1 Proses Pemeliharaan….……………………………….201
5d. Tabel HOR Fase 1 Proses Pemanenan……………..……………………...202
5e. Tabel HOR Fase 1 Proses Pengemasan…..……………………………….203
6a. Tabel HOR fase 2 Proses Penyemaian…..……………………...…………204
6b. Tabel HOR fase 2 Proses Penanaman…..…………………………………205
6c. Tabel HOR fase 2 Proses Pemeliharaan……………..…………………….206
6d. Tabel HOR fase 2 Proses Pemanenan……………..………………………207
6e. Tabel HOR fase 2 Proses Pengemasan……………..……………………..208
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bayam merupakan salah satu komiditi sayuran yang dapat diandalkan
untuk pemenuhan kebutuhan vitamin dan mineral yang relatif mudah dan
murah. Bayam dikenal sebagai salah satu sayuran yang bergizi tinggi dan
digemari oleh hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia. Daun bayam
dapat dibuat menjadi berbagai macam sayur mayur, bahkan disajikan sebagai
hidangan mewah. Di beberapa negara berkembang bayam dijadikan sebagai
sumber protein nabati karena memiliki fungsi ganda, yakni pemenuhan
kebutuhan gizi dan juga pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga
permintaan konsumen akan bayam selalu ada. Oleh sebab itu, perusahaan
penghasil bayam terus melakukan produksi secara kontinu agar pasokan
bayam tetap tersedia.
Nilai nutrisi yang terkandung dalam bayam yaitu memiliki kandungan
protein, kalsium dan juga zat besi. Kandungan gizi dalam setiap 100 g bayam
adalah 36,0 kalori; 3,5 gr protein; 6,5 gr karbohidrat; 0,5 gr lemak; 267 mg
kalsium; 67 mg fosfor; 3,9 mg zat besi; 0,08 mg vitamin B; 80 mg vitamin C
dan 86,9 gr air. Kandungan hidrat arang bayam sayur juga cukup tinggi, dalam
bentuk serat selulosa yang tidak tercerna yang perannya sangat penting dalam
membantu proses pencernaan oleh lambung sehingga dapat mencegah segala
bentuk gangguan lambung khususnya kanker lambung dan usus (Rukmana,
2005 : 22).
2
Dalam produksinya, bayam dapat dibudidayakan secara konvensional
yaitu sistem budidaya dengan menggunakan media tanah sebagai media
tumbuhnya dan budidaya tanpa media tanah seperti hidroponik, akuaponik dan
aeroponik. Hidroponik menggunakan media tanam seperti batuan atau sabut
kelapa yang diberi larutan campuran nutrisi primer, sekunder dan mikro.
Dengan kata lain hidroponik merupakan sistem bertanam tanpa menggunakan
media tanah (Paeru, 2018 : 65). Metode tanam dengan sistem hidroponik
merupakan salah satu cara yang efisien yang digunakan untuk menanam
sayur-sayuran. Sistem hidroponik dapat menjadi salah satu solusi bagi
pengembangan tanaman sayur dengan berbagai kelebihan dibandingkan
dengan sistem pertanian konvensional. Budidaya bayam dengan hidroponik
lebih efisien dalam penggunaan air dan tanah daripada pertanian konvensional
sehingga dapat menghemat biaya produksi. Selain itu, tanaman membutuhkan
lebih sedikit waktu tumbuh dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di
ladang karena tidak ada halangan mekanis ke akar dan seluruh nutrisi sudah
siap tersedia untuk tanaman (Anonim, 2017 : 3).
Sistem hidroponik sebenarnya merupakan alternatif budidaya tanaman
dilahan terbatas atau gersang, seperti di perkotaan. Tanaman hidroponik dapat
dilakukan pada lahan atau ruang terbatas seperti di atap, dapur, halaman rumah
atau garasi. Media tanaman pada sistem hidroponik dapat dirancang dengan
berbagai cara, misalnya dibuat secara bertingkat maupun horizontal sesuai
dengan luas lahan yang ada. Dengan sistem ini, budidaya tanaman seperti
sayuran dapat dilakukan di daerah yang tanahnya tidak subur dan miskin akan
3
hara. Hal ini menjadi sebuah kelebihan dari hidroponik karena tidak
bergantung pada kondisi tanah, karena banyak lahan di perkotaan yang tidak
dapat ditanami karena beberapa alasan seperti tanah berpasir, berbatu atau
tanah tercemar yang apabila dijadikan sebagai lahan budidaya maka tidak akan
mendapatkan hasil yang baik (Setiawan, 2017:10). Beberapa tanaman yang
sering ditanam secara hidroponik selain bayam diantaranya adalah selada,
cabai, tomat, pakchoy, brokoli, sawi, kailan, kangkung, bawang, stoberi dan
lain sebagainya. Bayam adalah sayuran yang paling mudah ditanam, termasuk
dalam sistem hidroponik. Usia panen juga relatif cepat, yaitu 3 hingga 4
minggu bayam sudah dapat dipanen.
Serua Farm merupakan perusahaan pertanian yang menggunakan
teknologi hidroponik dalam menjalankan usahanya. Berdiri pada tanggal 15
Januari 2017, dengan luas 1.200 meter persegi. Kebun Serua Farm mempunyai
rak produksi 12.500 lubang tanam, rak peremajaan 12.500 lubang tanam, dan
persemaian 15.000 tanaman. Menurut pemilik, perusahaan menggunakan
hidroponik sistem NFT (Nutrient Film Technique) dengan tujuan untuk
penurunan biaya produksi karena penggunaan air larutan nutrisi yang dangkal
sehingga air yang diperlukan tidak banyak, memungkinkan bertani tanpa
menggunakan lahan tanah yang luas, minimalisasi risiko dan optimalisasi
produksi dari segi kualitas dan kuantitas karena penyerapan nutrisi maksimal
dan aliran air nutrisi yang stabil. Sayuran yang diproduksi oleh Serua Farm
yaitu bayam hijau dan bayam merah.
4
Gambar 1. Data Produksi dan Target Bayam di Serua Farm Tahun 2018-2019
Sumber : Laporan Tahunan Serua Farm Tahun 2018-2019, data diolah.
Produksi bayam hidroponik bulan Agustus tahun 2018 - September tahun
2019 terjadi fluktuasi jumlah produksi yang dihasilkan. Kegagalan produksi
yang paling parah terjadi pada bulan Desember 2018 produksi sebesar 21.4 kg
dimana menurut pemilik diakibatkan karena musim hujan yang terjadi
sehingga produksi bayam banyak yang gagal. Kegagalan produksi dan tidak
tercapainya target produksi ini menyebabkan kerugian pada perusahaan karena
tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Untuk mensiasati hal tersebut,
perusahaan memilih untuk bekerjasama dengan mitra untuk menambah
pasokan bayam hidroponiknya. Perbedaan antara target produksi dan produksi
yang dihasilkan menimbulkan selisih yang cukup besar. Berikut Tabel selisih
beserta presentase selisih produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm.
Ags Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept
Panen Total 64,7 72,6 97,8 70 21,4 67,4 100 145 165 115 56,3 221 365 227
Rijek 13,4 20,8 14,3 9,8 2,2 10,3 34,2 39 66,1 19,8 7,3 51,1 26,3 13,7
Panen Bersih 51,3 51,8 83,5 60,2 19,2 57,1 65,9 106 99,1 95,6 49 170 339 213
Target 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
050
100150200250300350400
Pro
du
ksi
(K
g)
Data Produksi dan Target Bayam Hidroponik di Serua Farm
Tahun 2018 - 2019
5
Tabel 1. Selisih Produk Bayam Hijau Hidroponik di Serua Farm Tahun 2018 –
2019 dalam Kg
Bulan Target Panen Total Rijek % Rijek Panen Bersih
Ags 100 64.7 13.4 21 51.3
Sept 100 72.6 20.8 29 51.8
Okt 100 97.8 14.3 15 83.5
Nov 100 70 9.8 14 60.2
Des 100 21.4 2.2 10 19.2
Jan 100 67.4 10.3 15 57.1
Feb 100 100.1 34.2 34 65.9
Mar 100 145 39 27 106
Apr 100 165.2 66.1 40 99.1
Mei 100 115.4 19.8 17 95.6
Juni 100 56.3 7.3 13 49
Juli 100 221.1 51.1 23 170
Ags 100 364.9 26.3 7 338.6
Sept 100 226.9 13.7 6 213.2 Sumber : Laporan Tahunan Serua Farm Tahun 2018-2019, data diolah.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa target produksi bayam yang
ditetapkan oleh perusahaan adalah sebesar 100 kg tiap bulannya. Namun
jumlah produksi panen bersih yang dapat mencapai target hanya terdapat 4
bulan saja yaitu bulan Maret, Juli, Agustus dan September 2019 sisanya masih
belum dapat mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Sedangkan
jumlah permintaan konsumen yang masuk setiap bulannya dapat mencapai
300 kg bayam. Beberapa konsumen yang membeli bayam hidroponik dari
Serua Farm adalah The Original dan Navila Hidroponik, dan Amazing Farm.
Perusahaan menetapkan presentase kegagalan hanya 10% tetapi yang
terjadi, selisih presentasi yang paling tinggi yaitu mencapai 40%. Menurut
penuturan pemilik, terjadinya fluktuasi produksi bayam hijau hidroponik di
Serua Farm terjadi akibat beberapa faktor : cuaca yang berubah-ubah,
banyaknya benih bayam yang terbuang pada saat pemindahan ke fase
6
peremajaan, kesalahan pekerja dan hama penyakit yang menyerang tanaman.
Dalam kenyataannya perusahaan telah berusaha untuk menanggulangi hama
dan penyakit dengan cara menyemprotkan pestisida organik dengan
menggunakan air rebusan daun kipahit.
Seperti usaha lain pada umumnya, usaha pertanian bayam memiliki
risiko tersendiri pada tiap subsistemnya seperti risiko produksi, risiko harga
atau pasar, serta risiko kelembagaan. Risiko ini perlu diperhitungkan dalam
perencanaan bisnis sehingga perlu adanya identifikasi risiko. Hal ini untuk
mengantisipasi kerugian yang mungkin terjadi dan membuat perencanaan
manajemen risiko. Dengan membuat manajemen risiko, perusahaan dapat
meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa risiko yang terdapat
pada usaha pertanian salah satunya adalah risiko produksi. Dalam penelitian
ini, penelitian difokuskan pada analisis risiko produksi bayam hijau
hidroponik di Serua Farm. Risiko produksi berdampak pada kegagalan panen
atau penurunan jumlah panen dari hasil yang diharapkan.
Menurut Ali (2008 : 323), beberapa pendorong risiko produksi dalam
pertanian buah-buahan dan juga sayuran adalah sebagai berikut yaitu
kerusakan oleh hama dan penyakit, biaya produksi tinggi, kurangnya
pengetahuan teknis dalam produksi, pemrosesan, serta kontrol kualitas,
informasi yang tidak memadai, penurunan ukuran lahan, kerugian pascapanen
yang tinggi, benih berkualitas rendah, adaptasi varietas yang buruk, metode
pertanian tradisional, dan infrastruktur yang kurang memadai.
7
Tidak tercapainya target hasil produksi bayam hidroponik karena
kegagalan produksi dapat dikurangi atau diperkecil dengan mengetahui
sumber dan penyebab risiko pada saat proses persemaian, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pengemasannya. Berdasarkan penjabaran, maka
perlu dilakukan penelitian dengan judul penelitian “Analisis Risiko Produksi
Bayam Hijau Hidroponik di Serua Farm Kota Depok”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1) Apa risiko yang dapat terjadi pada proses produksi bayam hidroponik yang
dihadapi Serua Farm?
2) Bagaimana hasil pengukuran risiko produksi bayam hidroponik pada
Serua Farm?
3) Bagaimana hasil pemetaan risiko produksi bayam hidroponik di Serua
Farm?
4) Apa prioritas strategi pengendalian risiko yang tepat pada produksi bayam
hidroponik di Serua Farm?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1) Mengidentifikasi risiko produksi bayam hidroponik yang dihadapi oleh
Serua Farm.
2) Mengukur seberapa besar risiko produksi bayam hidroponik di Serua
Farm.
3) Memetakan risiko produksi bayam hidroponik di Serua Farm.
4) Mengetahui prioritas strategi pengendalian risiko yang tepat pada produksi
bayam hidroponik di Serua Farm.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
rekomendasi terkait dengan risiko produksi yang dihadapi perusahaan
serta sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan pihak Serua Farm
dalam menangani risiko produksi sayur hidroponik.
2) Bagi akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk kepentingan edukasi sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya,
dan sumber informasi bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan.
9
3) Bagi peneliti, penelitian ini memberikan kesempatan belajar dan sebagai
salah satu sarana penerapan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama
perkuliahan serta dapat memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana
Pertanian pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4) Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan
informasi terkait bidang agribisnis yang berhubungan dengan risiko
produksi.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada risiko yang terjadi pada serangkaian proses
produksi bayam hidroponik di Serua Farm yang dimulai dari kegiatan
penyemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan hingga pengemasan.
Penelitian ini diawali dengan mengamati proses produksi bayam hidroponik
berdasarkan literatur sehingga dapat mengidentifikasi risiko yang dapat
terjadi pada setiap prosesnya. Alat analisis yang digunakan adalah diagram
tulang ikan untuk mengidentifikasi risiko melalui observasi. Setelah itu
dilakukan pengukuran risiko dengan menggunakan alat analisis House Of
Risk (HOR) Fase 1 dan pemetaan risiko dengan menggunakan alat analisis
diagram pareto. Kemudian dilakukan pengukuran korelasi antara strategi
preventif dengan penyebab risiko berdasarkan derajat kesulitan, tingkat
keefektifan, rasio tingkat keefektifan dan kesulitan strategi preventif dengan
menggunakan alat analisis HOR Fase 2.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Produksi
Secara umum produksi diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses
yang mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output). Dalam
arti sempit, pengertian produksi hanya dimaksudkan sebagai kegiatan
menghasilkan barang, baik barang jadi, setengah jadi, barang industri, suku
cadang (sparepart) maupun komponen-komponen penunjang (Fuad, 2006 :
142). Menurut Fahmi (2012 : 2), produksi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan baik berbentuk barang (goods) maupun jasa (services) dalam
suatu periode waktu yang selanjutnya dihitung sebagai nilai tambah bagi
perusahaan. Bentuk hasil produksi dengan kategori barang (goods) dan jasa
(services) sangat tergantung pada kategori aktivitas bisnis yang dimiliki
perusahaan yang bersangkutan.
Sedangkan menurut Heizer dan Barry (2014 : 3) produksi adalah
sebuah penciptaan barang dan jasa. Sistem produksi mengkombinasikan atau
menggabungkan dalam proses transformasi komponen-komponen berupa
bahan baku, tenaga kerja, modal dan lainnya dengan suatu cara
pengorganisasian, bertujuan untuk mencapai tujuan akhir yang sama. Menurut
Fahmi (2012 : 5-6) ada beberapa bentuk masalah yang dihadapi manajer
produksi dimasa yang akan datang, yaitu :
1) Harus mampu menciptakan produk yang bisa memuaskan konsumen. Pada
masa yang akan datang sikap kritis dan persaingan semakin tinggi
11
sehingga konsumen betul-betul menginginkan produk yang mampu
memberi kepuasan, sementara pilihan produk yang ditawarkan pasar
sangat beragam. Sehingga seorang manajer produksi dituntut mampu
melihat realita serta menerapkan pada produk ciptaan.
2) Manager produksi harus mengedepankan konsep efisiensi dan efektivitas
dalam pekerjaan. Konsep just in time (JIT) merupakan salah satu rujukan
yang harus diikuti oleh para manajer produksi dalam rangka menghasilkan
produk atau menerima order dengan jangka waktu pengerjaan yang tepat
waktu.
3) Perubahan teknologi yang begitu tinggi mengharuskan manajer produksi
untuk bisa meng-upgrade secara berkelanjutan terhadap setiap teknologi
yang dimiliki, termasuk perubahan dalam menerapkan software dan
hardware yang modern. Dengan begitu alokasi dana untuk pengembangan
teknologi menjadi sangat diperlukan.
2.2. Hidroponik
Budidaya sistem hidroponik telah lama berkembang di Indonesia.
Menurut Nisha Sharma dalam jurnal Hydroponics as an advanced technique
for vegetable production: An overview, kata hidroponik diciptakan oleh
Profesor William Gericke diawal 1930-an yang menggambarkan
pertumbuhan tanaman dengan akarnya tergantung di air yang mengandung
mineral nutrisi. Hidroponik berasal dari bahasa Yunani, yaitu hydro yang
berarti air dan ponus yang artinya daya, tenaga atau tenaga kerja. Berdasarkan
12
pengertian di atas, maka hidroponik dapat diartikan sebagai menanam
menggunakan air atau tenaga kerja air. Dengan kata lain hidroponik
merupakan sistem bertanam tanpa menggunakan media tanah (Paeru, 2018 :
65).
Di Indonesia, hidroponik yang berkembang pertama kali yaitu
hidroponik substrat. Hidroponik substrat merupakan sistem hidroponik yang
mempergunakan media selain tanah dan steril, misalnya arang sekam, pasir
dan serbuk sabut kelapa. Teknik hidroponik ini sampai sekarang masih
digunakan untuk budidaya sayuran dan buah yang benilai jual tinggi. Dengan
sistem ini pula, budidaya tanaman seperti sayuran dapat dilakukan di daerah
yang tanahnya tidak subur. Berbagai keunggulan dari hidroponik adalah
sebagai berikut (Umar, 2016 : 17) :
1) Hemat lahan dan tanpa tanah
Instalasi hidroponik dapat dibuat secara vertikultur atau bertingkat
sehingga dapat menanam 4 – 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan
lahan pertanian konvensional dan lebih hemat penggunaan lahan yang
digunakannya. Sistem hidroponik menjadikan hasil panen lebih bersih atau
higienis karena tidak menggunakan tanah sebagai media tanamnya.
2) Tepat nutrisi
Dengan hidroponik, larutan nutrisi yang dialirkan mudah dikontrol
jumlahnya dan tepat diserap tanaman karena tidak terbuang percuma atau
diserap tanaman lain yang tidak dibudidayakan.
13
3) Minim hama dan bebas pestisida
Teknik pertanian hidroponik dengan instalasi dan lingkungan yang lebih
terkontrol atau tidak bersentuhan dengan tanah yang terdapat banyak
sumber hama atau penyakit tanaman, dapat menggunakan green house
sehingga menjadikan hidroponik sebagai sistem pertanian yang minim
hama dan bebas pestisida.
4) Efisien waktu dan tenaga
Tidak seperti budidaya tanaman secara konvensional yang mengharuskan
adanya penyiraman tanaman secara rutin yaitu 1 – 2 kali dalam sehari,
hidroponik dapat meniadakan aktivitas menyiram tanaman secara rutin,
sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga. Hal ini dikarenakan adanya
sistem aliran nutrisi sekaligus air yang dibutuhkan oleh tanaman yang bisa
berlangsung sepanjang waktu, terus menerus menggunakan tenaga pompa
air listrik.
5) Hasil panen lebih baik
Pemberian nutrisi di sistem hidroponik sesuai dengan kebutuhan tanaman,
sehingga tanaman bisa tumbuh dengan optimal. Kandungan gizi pada
tanaman hidroponik juga sangat baik karena nutrisi diberikan kepada
tanaman tidak berlebihan.
6) Wadah dan instalasi dapat dipakai berulang
Peralatan sistem hidroponik sebagian besar dapat digunakan berulang-
ulang hingga bertahun-tahun. Dengan instalasi yang dapat dipakai
14
berulang kali ini, pekerja tidak perlu mengolah tanah seperti yang
dilakukan petani konvensional.
7) Efisien dalam penggunaan air.
Kebutuhan air tanaman hidroponik lebih sedikit karena petani dapat
mengatur dengan tepat jadwal penambahan air. Bahkan pada sistem
hidroponik dengan sirkulasi nutrisi, air yang membawa nutrisi dapat
dipakai berulang.
Keunggulan hidroponik lainnya menurut Khan (2018 : 64) adalah
tanaman dapat tumbuh sepanjang tahun, tanaman bernilai gizi lebih tinggi,
tanaman tidak akan mengalami stress atau layu karena nutrisi selalu ada
tersedia, dan meningkatkan hasil panen. Teknik hidroponik memungkinkan
tanaman memperoleh nutrisi yang diperlukan secara terukur untuk
meningkatkan kualitasnya. Berbeda dengan penanaman di tanah yang
penyebaran nutrisinya tidak dapat dibatasi kecuali dalam pot atau wadah
tertentu. Namun hanya dengan teknik budidaya hidroponik yang tepat,
kualitas panen dapat meningkat. Tergantung cahaya, kelembaban dan
kecukupan nutrisi yang diperoleh tananam. Tabel dibawah ini menunjukkan
ringkasan perbandingan budidaya secara konvensional dan secara hidroponik
menurut Okemwa (2015:43).
15
Tabel 2. Perbandingan Budidaya secara Konvensional dan Hidroponik
Kategori Konvensional Hidroponik
Hasil
panen
Tidak stabil, tergantung
dengan karakteristik tanah
dan manajemennya.
Sangat tinggi, dengan jumlah
produksi yang banyak.
Kualitas
produk
Bergantung pada
karakteristik tanah, produk
dapat berkualitas rendah
akibat pemupukan dan
perawatan yang tidak
memadai.
Nutrisi yang dialirkan terkontrol
penuh sesuai dengan tahap
pertumbuhan tanaman.
Penghapusan faktor lingkungan
biotik dan abiotic yang merusak
pertumbuhan tanaman seperti
struktur tanah, dan kimia tanah.
Sanitasi Risiko terkontaminasi akibat
penggunaan air atau bahan
organik yang berkualitas
rendah.
Risiko terkontaminasi bagi
kesehatan manusia rendah.
Aliran
nutrisi
Sulit mengontrol kadar
nutrisi air di daerah akar
karena bergantung pada jenis
tanah.
Pengendalian nutrisi dan pH pada
daerah akar dapat dilakukan
secara real time dan pasokan
nutrisi yang diberikan juga dapat
diatur.
Efisiensi
nutrisi
Pupuk didistribusikan ke
setiap tahap pertumbuhan
dengan pengawasan yang
minim serta terdapat potensi
kehilangan nutrisi yang
tinggi.
Distribusi nutrisi seragam dan
aliran nutrisi dapat disesuaikan
dengan waktu sehingga tidak ada
nutrisi yang terbuang.
Efisiensi
sistem
Sangat sensitif pada
karakteristik tanah, dan
adanya kemungkinan tinggi
penyebaran nutrisi ke luar
media tanam.
Kehilangan air dan nutrisi dapat
dihindari dan sepenuhnya
dikontrol, dan tidak ada biaya
tenaga kerja untuk penyiraman
tanaman yang dikeluarkan.
Tenaga
kerja dan
peralatan
Standar, tetapi tetap
membutuhkan mesin untuk
membajak tanah yang
mengandalkan bahan bakar
dan lebih banyak tenaga kerja
yang dibutuhkan pada saat
produksi.
Biaya persiapan awal tinggi
namun operasi penangan panen
lebih sederhana.
16
Pada dasarnya teknik menanam dengan hidroponik ada beberapa cara
yaitu (Sutanto, 2015 : 45) :
1) Aeroponik. Aeroponik berasal dari kata aero yang berarti udara dan ponus
yang berarti daya. Dengan demikian, aeroponik dapat diartikan dengan
memberdayakan udara. Tanaman pada sistem aeroponik ditanam dengan
cara digantung sehingga akar tanaman menggantung didalam suatu bak.
Agar dapat berdiri, pangkal batang dimasukan kedalam helaian styrofoam
yang telah dilubangi. Prinsip kerja dari aeroponik yaitu menyemburkan
larutan hara dalam bentuk kabut hingga mengenai dan diserap oleh akar
tanaman. Sayuran yang hanya dapat ditanam secara aeroponik adalah
pakchoy, cesim, kailan, lettuce, bayam dan kangkung serta sayuran lain
yang ringan.
2) Sistem Tetes (drip system). Prinsip kerja sistem tetes ini yaitu
menggunakan pengatur waktu (timer) untuk mengontrol tetesan nutrisi.
Pompa meneteskan nutrisi ke masing-masing tanaman. Agar berdiri tegak,
tanaman ditopang menggunakan media tanam selain tanah seperti cocopit,
sekam bakar, ziolit atau pasir.
3) NFT (Nutrient Film Technique). Kata “film” pada hidroponik nutrient film
technique menunjukkan aliran air tipis. Dengan demikian, hidroponik ini
hanya menggunakan aliran air (nutrien) sebagai medianya. Keunggulan
sistem hidroponik ini antara lain air yang diperlukan tidak banyak, kadar
oksigen terlarut dalam larutan hara cukup tinggi, penyerapan nutrisi
maksimal karena aliran air stabil, air sebagai media mudah didapat dengan
17
harga murah, pH larutan mudah diatur, dan ringan sehingga dapat
disangga dengan talang. Prinsip kerja NFT adalah larutan yang terdiri atas
air dan nutrisi secara terus menerus mengalir melewati akar-akar tanaman.
Hidroponik NFT pada umumnya digunakan untuk sayuran berumur
pendek, misalnya pakchoy, cesim, lettuce, kailan, bayam, dan kangkung.
4) Sistem ebb dan flow (pasang surut). Bekerja dengan cara membanjiri
sementara wadah pertumbuhan dengan nutrisi sampai pada batas waktu
tertentu, kemudian mengembalikan nutrisi itu ke dalam penampungan,
begitu seterusnya. Sistem ini memerlukan pompa yang dikoneksikan ke
timer.
5) Sistem water culture. Wadah yang menyangga tumbuhan biasanya terbuat
dari styrofoam dan mengapung langsung dengan nutrisi. Pompa udara
memompa udara ke dalam air stone yang membuat gelembung-gelembung
sebagai suplai oksigen ke akar-akar tanaman.
6) Hidroponik rakit apung. Pada prinsipnya floating raft hydroponic system
adalah menanam tanaman dengan cara diapungkan di permukaan air, akar
tanaman akan menjuntai ke dalam air. Styrofoam yang digunakan di atas
air diberi lubang tanam untuk menancapkan anak semai sayuran. Dengan
sedikit rockwool, anak semai diganjal agar dapat berdiri dan tidak jatuh
kedalam air. Keuntungan menggunakan sistem ini ialah jika aliran listrik
mati selama sehari pun, pertumbuhan tanaman tidak akan terpengaruh
sehingga faktor risiko kematian sangat kecil. Pemakaian litrik pun hanya
sedikit, hanya untuk menjalankan pompa pada saat mengisi air ke kolam
18
dan mejalankan aerator kombinasi agitator. Disisi lain, pembuatan kolam
yang besar dan ati bocor tidaklah murah. Seperti pada aeroponik tanaman
yang ditanam tidak boleh terlalu berat karena hanya mengandalkan
kekuatan styrofoam yang diapungkan.
7) Sistem wick. Sistem ini dikenal juga sebagai sistem sumbu. Melalui
sumbu, nutrisi akan mengalir ke akar tanaman sehingga akar menyerap
unsur hara yang ada.
8) Kombinasi NFT dan Rakit Apung. Sistem ini dibuat untuk memanfaatkan
larutan hara yang terdapat dalam tandon. Larutan hara yang mengalir pada
hidroponik NFT dialirkan ke sebuah bak, tandon, atau resevoir. Dari bak
tersebut, larutan hara disirkulasi kembali ke bed untuk memberi makan
tanaman. Bak tempat larutan hara dapat dimanfaatkan sebagai tempat
hidroponik rakit apung. Dengan demikian akan diperoleh efisiensi
pemakaian hara dan pompa. Produksi tanaman pun meningkat karena
pemanfaatan bak tersebut.
9) Kombinasi aeroponik dan rakit apung. Kombinasi ini memanfaatkan bak
penampungan larutan hara yang berasal dari aeroponik. Diatas bak
tersebut diapungkan styrofoam, lalu ditanam sayuran yang berbiomasa
kecil.
2.3. Bayam
Bayam merupakan salah satu tanaman yang ditanam untuk dikonsumsi
bagian daunnya sebagai sayuran hijau. Umumnya, orang mengenal bayam
19
sebagai salah satu sayuran dengan kandungan zat besi yang tinggi. Selain itu
bayam disebut juga sebagai raja sayuran dikarenakan banyaknya komposisi
vitamin dan mineral yang terkandung dalam bayam. Bayam berasal dari
Amerika Tropika, dan hingga saat ini bayam telah tersebar di daerah tropika
dan subtropika. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, bayam sayur biasa disebut
dengan Chinese amaranth (Sunarjono, 2013 : 22).
Bayam termasuk tanaman perdu atau semak semusim. Batangnya lunak
dan berwarna hijau keputih-putihan, putih kemerah-merahan, atau hijau.
Batang berair dan kurang berkayu. Tanaman ini berakar tunggang dan berakar
samping. Akarnya kuat dan agak dalam. Daun bertangkai, berbentuk bulat
telur dengan ujung meruncing, lemas, berwarna hijau, merah, atau hijau
keputihan. Daun bayam berdaun tunggal, lunak dan lebar. Bunga tersusun
majemuk, ukurannya kecil dan muncul dari ketiak daun dan ujung batang
pada rangkaian tandan. Untuk biji, bayam memiliki banyak biji, sangat kecil,
bulat dan mudah pecah. Bayam dapat tumbuh sepanjang tahun baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1.500 mdpl (Juhaeti, 2014 :
14).
Keunggulan dari bayam secara umum adalah bayam mengandung zat
gizi protein 3.5 gr, lemak 0.5 gr, karbohidrat 0.6 gr, kalori 36 kal, vitamin A
6.090 Sl, B1 0.08 mg, C 80 mg, dan mineral kalsium 267 mg, fosfor 67 mg,
besi 3.9 mg. Kandungan besi pada bayam relatif lebih tinggi dibanding daun
lain. Zat besi merupakan penyusun sitokrom, protein yang terlibat dalam
fotosintesis, sehingga berguna bagi penderita anemia (Rukmana, 2005 : 22).
20
Klasifikasi dari bayam dapat dilihat sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Amaranthaceae
Genus : Amaranthus
Spesies : Amaranthus hybridus L.
Bayam ada yang dibudidayakan, ada juga yang tidak dibudidayakan.
Bayam yang liar dan tidak dibudidayakan ada dua jenis yaitu bayam tanah
(Amaranthus blitum L) dan bayam berduri (Amaranthus spinosus L). Warna
batangnya kemerah-merahan. Sementara itu, bayam yang biasa ditanam atau
dibudidayakan umumnya berbiji hitam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Bayam Cabut
Bayam cabut (Amaranthus tricolor L) atau biasa disebut bayam sekul.
Bentuk fisik tidak begitu tinggi, batang berukuran kecil, agak lunak, dan
bewarna kemerah-merahan (bayam merah) dan ada yang berwarna hijau
keputih-putihan. Daun berukuran lebih kecil dan tipis. Bunga berbentuk
seperti sikat botol. Bila dibiarkan tumbuh, bayam cabut dapat mencapai
tinggi 1,5 m.
21
2) Bayam Tahun atau Petik
Bayam tahun atau petik (Amaranthus hybridus L) biasa disebut juga
dengan bayam sekop atau bayam kakap dengan daun lebar. Amaranthus
hybridus memiliki dua varietas yaitu varietas caudatus dan paniculatus.
Varietas caudatus berdaun agak panjang, berujung runcing, dan berwarna
hijau atau merah tua. Bunganya merangkai panjang di ujung batang.
Bayam caudatus ada yang berbiji putih, dikenal dengan nama bayam
maksi (Amaranthus hypochondriacus). Sementara varietas paniculatus
memiliki dasar daun lebar dan berwarna hijau. Rangkaian bunganya
panjang dan tersebar di ketiak daun atau cabang, tetapi lebih teratur
daripada varietas caudatus.
2.3.1. Syarat Tumbuh Bayam Hidroponik
Untuk memperoleh hasil yang berkualitas tinggi, maka harus
mengetahui dan memperhatikan syarat tumbuh dari tanaman bayam hijau
yang dibudidayakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bayam
hidroponik adalah sebagai berikut :
1) Air
Dalam hidroponik, air memiliki peran yang sangat penting. Selain untuk
irigasi, hidroponik menggunakan air untuk media tempat tumbuh tanaman.
Suhu optimal akan berbeda pada setiap tanaman, pada umumnya tanaman
membutuhkan suhu air hidroponik di atas 18 atau 20° C dan di bawah 28°
C, pada tanaman bayam 20 - 25° C (Susilawati, 2019 : 129).
22
2) Oksigen
Selain digunakan untuk respirasi, oksigen juga dibutuhkan tanaman dalam
sistem perakaran, yaitu untuk menyerap air dan nutrisi. Pada tanaman yang
tumbuh dengan cara hidroponik, pasokan oksigen yang larut dalam air
akan cepat terkuras dan dapat menjadi berkurang drastis saat suhu air
terlalu tinggi. Keberadaan oksigen dalam sistem hidroponik sangat penting
untuk respirasi dan tenaga dalam penyerapan nutrisi oleh akar. Kegagalan
respirasi akar akan mengakibatkan akar gagal menyerap air dan unsur hara
sehingga akhirnya tanaman menjadi membusuk (Sutanto, 2015 : 42).
3) EC dan pH larutan nutrisi
Nutrisi menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan tanaman hidroponik.
Pemberian nutrisi secara tepat akan sangat berperan kepada keberhasilan
budidaya. Jenis nutrisi yang dapat diberikan pada tanaman bayam
hidroponik adalah nutrisi AB mix yang mengandung unsur hara mikro dan
makro yang dibutuhkan oleh bayam (Moesa, 2016 :14). Pemberian larutan
nutrisi atau pupuk dilakukan dengan memperhatikan dan melakukan
pengontrolan konduktivitas elektrik atau “Electro Conductivity” (EC) atau
aliran listrik di dalam air dengan menggunakan alat EC meter. EC ini
untuk mengetahui cocok tidaknya larutan nutrisi untuk tanaman.
Kebutuhan EC pada tanaman bayam hidroponik adalah 1,4 – 1,8
(mS/cm).
Selain itu melakukan pengontrolan ppm nutrisi bayam atau kepekatan
nutrisi diukur dengan sebuah alat yang disebut TDS meter dengan satuan
23
ppm. Setiap tanaman membutuhkan ppm yang berbeda-beda, agar bisa
tumbuh maksimal. Ppm pada bayam hidroponik adalah sebesar 1260 –
1610. Sedangkan pH air pada bayam hidroponik adalah sebesar 6.0 - 7.0
dan alat untuk mengukur pH larutan adalah pH meter (Rosliani, 2005 : 8 –
9).
4) Intensitas cahaya matahari
Pada umumnya, jenis tanaman sayuran daun, buah dan juga bunga
memerlukan sekurangnya delapan sampai sepuluh jam sinar matahari
langsung setiap harinya. Tetapi ada beberapa jenis tanaman yang justru
mengalami masalah dengan terik panas matahari seperti tanaman bayam.
Apabila intensitas cahaya matahari tinggi, maka akan membuat bagian dari
permukaan daun bayam rentan terbakar pada ujung daunnya.
5) Suhu
Tanaman akan dapat tumbuh dengan baik hanya dalam rentang suhu
tertentu. suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengakibatkan
pertumbuhan tanaman akan terganggu dan akan mengakibatkan bayam
menjadi layu. Suhu ideal pada tanaman bayam hidroponik adalah antara
23° C - 26° C. Untuk mengetahui suhu ideal tersebut, maka dapat
dilakukan pengecekan secara rutin dengan menggunakan alat pengukur
suhu ruangan.
6) Kelembaban udara
Kelembapan udara merupakan satu faktor keberhasilan hidroponik,
kondisi relative humidity (RH) yang optimal untuk budidaya tanaman
24
hidroponik adalah sekitar 70%. Sedangkan kelembaban udara yang cocok
untuk tanaman bayam adalah antara 40 – 60%. Kelembaban yang tinggi
akan menyebabkan tumbuhnya jamur yang dapat merusak atau
membusukkan akar tanaman (Susilawati, 2015 : 131).
2.3.2. Proses Produksi Bayam Hidroponik
Pada dasarnya, langkah atau tahapan penanaman bayam hidroponik
sama dengan tanaman hidroponik lainnya. Tahap utama dalam budidaya
bayam adalah tahap penyemaian dan penanaman (Setiawan, 2019 : 90).
Berikut berbagai tahap budidaya bayam hidroponik :
1. Tahap Persiapan Media
Proses budidaya hidroponik dimulai dari persiapan benih, media tanam,
netpot, instalasi greenhouse, larutan nutrisi dan menyiapkan yellowtrap untuk
mencegah hama menyerang tanaman. Pemilihan benih dengan kualitas yang
baik merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
suatu tanaman. Pemilihan varietas unggul merupakan upaya peningkatan
produksi bayam hijau, selain itu, benih yang digunakan harus sehat dan bebas
dari OPT (Organisme Penganggu Tanaman). Media tanam yang digunakan
harus merupakan media tanam yang mampu menopang akar tanaman, tidak
menyumbat sistem pengairan, serta mempunyai pori-pori yang baik seperti
rockwool. Penyiapan larutan nutrisi sangat penting bagi tanaman bayam
hidroponik, nutrisi yang digunakan pada bayam hidroponik adalah nutrisi AB
mix. (Aini, 2018 : 94).
25
2. Tahap Penyemaian
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam tahap penyemaian bayam
hidroponik adalah menyediakan arang sekam, pasir halus, dan benih bayam.
Mencampurkan benih bayam dan pasir dengan menggunakan perbandingan
1:1. Lalu menaburkan benih bayam tersebut ke dalam wadah semai dan tutup
dengan menggunakan sekam bakar atau arang sekam setinggi 0,5 cm dan
dilapisi dengan tisu basah agar media menjadi lembap. Waktu terbaik
penyemaian adalah pada pagi atau sore hari guna mengurangi tingkat stress
pada bayam. Benih bayam yang telah disemai tersebut kemudian diletakan di
tempat yang dinaungi atap untuk menghindari bayam terkena paparan cahaya
matahari dan air hujan secara langsung. Kemudian menyemprotkan benih
menggunakan air setiap pagi dan sore hari untuk menjaga kelembapan media.
Jika menggunakan rockwool sebagai media tanam maka benih hanya perlu
diletakan pada rockwool yang sudah digarisi dengan menggunakan garpu
sebagai ruang tanam benih bayam tersebut. Lalu ditutup menggunakan mulsa
untuk menjaga kelembapan media.
3. Tahap Penanaman
Setelah dua hari, benih bayam sudah mulai berkecambah. Bibit bayam
akan tumbuh 2-4 daun sejati dengan tinggi sekitar 7 cm pada hari ke 10. Pada
kondisi tersebut, bibit bayam sudah siap dipindah tanam ke sistem hidroponik
fase selanjutnya. Apabila benih telat dipindahkan maka akan tumbuh lumut
pada permukaan bawah rockwool, sehingga akan menyebabkan benih tidak
dapat menyerap nutrisi secara optimal. Tahapan pertama yang dilakukan
26
adalah dengan melubangi styrofoam atau netpot sebagai media tanam. Lalu
meletakan bayam tersebut pada gabus, kapas atau rockwool sebagai
penyangga bayam. Styrofoam atau netpot yang telah berisi bayam lalu
dimasukan kedalam talang atau pipa paralon hidroponik dengan jarak setiap
tanaman sekitar 15 cm.
4. Tahap Pemeliharaan
Setelah proses penanaman, selanjutnya adalah tahap pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan meliputi pemeliharaan tanaman dan pengecekan
larutan nutrisi. Pada tahap ini yang perlu dilakukan adalah mengontrol tendon
nutrisi secara berkala serta menambahkan nutrisi AB mix jika sudah mulai
berkurang, selain itu mengontrol ppm nutrisi bayam atau kepekatan nutrisi
diukur dengan sebuah alat yang disebut TDS meter. Melakukan pengukuran
pH larutan nutrisi dengan menggunakan alat pH meter, pengukuran suhu
udara, dan suhu air. Intensitas cahaya matahari juga perlu dilakukan
pengecekan, apabila intensitas cahaya matahari terlalu tinggi maka perlu
disiasati dengan memasang kain putih atau jaring di atas rak produksi.
Kebersihan di sekitar tanaman dan rak produksi harus selalu diijaga
dengan cara melakukan sanitasi, dan juga mengecek selang drip di setiap rak
produksi agar tidak ada lumut atau sisa-sisa daun bayam yang tersangkut
pada selang sehingga tidak menyumbat aliran nutrisi masuk ke tanaman
bayam. Pengendalian hama dan penyakit pada bayam yang dapat dilakukan
adalah dengan cara menyemprotkan pestisida organik dengan menggunakan
air rebusan daun kipahit, memasang yellowtrap pada screenhouse dan
27
membuang atau memisahkah tanaman yang terserang penyakit secara rutin.
(Setiawan, 2017 : 6).
5. Panen dan Pasca Panen
Waktu terbaik untuk panen adalah pagi atau sore hari saat suhu
lingkungan rendah karena sayuran daun sensitif terhadap pemanenan selama
periode panas. Bayam siap panen adalah bayam yang sudah berumur sekitar 1
- 1,5 bulan setelah tanam. Peletakan bayam yang telah dipanen kedalam
container box juga harus hati-hati dan seragam bagian akar dengan bagian
daunnya, agar ketika dilakukan pengambilan tidak merusak daun atau batang
bayam. Setelah panen, bayam dicuci untuk menghilangkan kotoran yang
menempel pada bayam. Pencucian bayam ada dua yaitu pencucian basah yaitu
dengan perendaman yang dapat menghilangkan kotoran dan pestisida dengan
air serta pencucian kering yaitu membersihkan permukaan kulit bayam dari
kotoran tetapi tidak dapat membersihkan residu bahan kimia dan kotoran yang
tersembunyi.
Bayam yang sudah dipanen, diletakan langsung pada ruangan yang
tertutup, tidak terkena paparan sinar matahari secara langsung dan tidak terlalu
lembab. Bayam juga dapat disimpan pada wadah yang diberi pecahan es,
ataupun di lemari pendingin dengan suhu 0° C dengan dilakukan penyimpanan
pada lemari pendingin maka masa simpan bayam bisa mencapai 10-14 hari.
Selanjutnya bayam disortir dan dilakukan proses grading untuk memisahkan
sayuran bayam yang mutunya rendah seperti ukuran terlalu kecil, lecet, memar
dan busuk. Kemudian bayam siap dikemas dengan menggunakan wadah yang
28
berukuran besar atau longgar agar daun-daun bayam tidak rusak karena
tekanan. Pada proses ini, kegiatan pengemasan juga harus hati-hati dan tidak
terburu-buru memasukan kedalam kemasan untuk menghindari batang bayam
rusak atau patah.
2.4. Risiko
Ada banyak definisi tentang risiko (risk). Risiko dapat ditafsirkan
sebagai bentuk keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan
terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang diambil berdasarkan berbagai
pertimbangan pada saat ini. Menurut Hanson (2004 : 1) risiko umumnya
digambarkan sebagai ketidakpastian yang memengaruhi kesejahteraan
individu, dan sering dikaitkan dengan kesulitan dan kerugian. Menurut Rick
W. Griffin dan Ronald J. Ebert, risiko adalah uncertainty about future events.
Adapun Joel G. Siegel dan Jae K. Shim mendefinisikan risiko pada tiga hal,
yaitu (Andayani 2017 : 149) :
1) Keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus, yang hasilnya
dapat diperoleh dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambil
keputusan.
2) Variasi dalam keuntungan, penjualan, atau variabel keuangan lainnya.
3) Kemungkinan dari sebuah masalah keuangan yang mempengaruhi kinerja
operasi perusahaan atau posisi keuangan, seperti risiko ekonomi,
ketidakpastian politik, dan masalah industri.
Risiko yang dihadapi perusahaan memiliki karakteristik antara lain:
29
1) Kejadian risiko akan berulang terus dan cenderung dapat diukur.
2) Jenis-jenis risiko yang masih sangat baru sulit diukur.
3) Sangat tergantung satu sama lain.
Menurut Darmawi (2010 : 21) risiko dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau
tidak terduga, dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya
ketidakpastian, ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan
tumbuhnya risiko. Dan jika dikaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu
timbul karena berbagai sebab, antara lain:
1) Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu
berakhir. Makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.
2) Keterbatasan tersedianya informasi yang dibutuhkan.
3) Keterbatasan pengetahuan atau keterampilan atau teknik mengambil
keputusan.
2.4.1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebab
Risiko dapat dilihat dari sudut pandang sebab terjadinya risiko.
Apabila dilihat dari sebab terjadinya risiko, ada dua macam risiko yaitu risiko
keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan adalah risiko yang
disebabkan oleh faktor-faktor keuangan seperti harga, tingkat bunga, dan
mata uang asing. Risiko operasional adalah risiko-risiko yang disebabkan
oleh faktor-faktor non keuangan seperti manusia, teknologi dan alam.
Sedangkan menurut Sofyan (2004 : 24) menyebutkan faktor-faktor
penyebab munculnya risiko itu pada umumnya dari dua sumber, yakni
30
sumber intern dan ekstern. Sumber intern umumnya memiliki risiko lebih
kecil. Hal ini dapat terjadi karena masalah intern itu umumnya lebih mudah
untuk dikendalikan dan bersifat pasti. Sumber ekstern umumnya jauh di luar
kendali si pembuat keputusan, antara lain muncul dari pasar, ekonomi, politik
suatu negara, perkembangan teknologi, perubahan sosial budaya suatu daerah
atau negara, kondisi suplai atau pemasok, kondisi geografi dan
kependudukan, serta perubahan lingkungan dimana perusahaan itu didirikan.
2.4.2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat
Risiko bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan. Menurut Sofyan
(2004 : 25) kejadian sesungguhnya kadang-kadang menyimpang dari
perkiraan (expectations) ke salah satu dari dua arah. Artinya, ada
kemungkinan penyimpangan yang menguntungkan dan ada pula
penyimpangan yang merugikan. Jika kedua kemungkinan itu ada, maka dapat
dikatakan risiko bersifat spekulatif. Secara umum, risiko spekulatif adalah
risiko yang mengandung dua kemungkinan yang menguntungkan atau
kemungkinan yang merugikan (Kasidi, 2010 : 5). Lawan dari risiko spekulatif
adalah risiko murni, yaitu yang hanya ada kemungkinan kerugian. Risiko ini
hanyalah mempunyai kemungkinan kerugian dan tidak mempunyai
kemungkinan untung.
Disimpulkan bahwa pentingnya penjenisan ini, karena setiap usaha
ekonomi itu penuh adanya risiko, baik risiko spekulatif maupun risiko murni.
Risiko dapat diklasifikasikan, apakah suatu risiko itu spekulatif atau murni,
bergantung pada pendekatan yang digunakan. risiko spekulatif biasanya tidak
31
dapat diasuransikan. Hanya risiko murni yang dapat diasuransikan. Asuransi
adalah alat utama bagi orang yang terbuka terhadap kemungkinan risiko
murni.
2.4.3. Konsep Risiko
Menurut Dewi (2008 : 12 - 14) beberapa hal penting yang harus
diperhatikan dalam menilai suatu risiko yaitu:
1) Exposure, suatu resiko kerugian maksimum yang harus dihadapi apabila
terjadi suatu kejadian terburuk. Makin besar nilai eksposur, maka akan
semakin besar kerugian yang timbul.
2) Volatility, semakin bervariasi hasil yang akan terjadi pada masa yang akan
datang maka semakin besar risikonya.
3) Probability, kemungkinan terwujudnya kejadian yang mengandung risiko.
Semakin besar probabilitas dari kejadian risiko, maka semakin besar
risiko.
4) Severity, berbeda dengan eksposure yang menekankan kerugian
maksimum, severity menekankan pada kerugian yang sekiranya akan
dialami. Severity erat hubungannya dengan probabilitas kejadian risiko.
5) Time horizon, semakin lama jangka waktu suatu investasi, maka tingkat
risiko semakin besar.
6) Correlaction, jika risiko yang dihadapi saling berhubungan, maka risiko
yang dihadapi perusahaan akan semakin besar.
7) Capital, perusahaan menyimpan modal untuk dua alasan utama. Alasan
pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan kas, misalnya untuk
32
membayar beban. Alasan kedua adalah untuk menutupi kerugian yang
tidak diperkirakan sebelumnya akibat dari exposure risiko.
2.5. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah usaha yang secara rasional ditujukan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian dari risiko yang dihadapi
(Kasidi, 2010 : 4). Sedangkan menurut Andayani (2017 : 150) manajemen
risiko adalah suatu bidang ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu
organisasi atau perusahaan menerapkan ukuran dalam memetakan berbagai
permasalahan yang ada dengan menempatkan berbagai pendekatan
manajemen secara komprehensif dan sistematis. Memahami risiko adalah titik
awal untuk membantu produsen membuat pilihan manajemen yang baik
dalam situasi yang memungkinkan terjadinya kerugian (Hawoord, 1999 : 2).
Menurut Kountur (2008) manajemen risiko adalah cara bagaimana
menangani semua risiko yang ada dalam perusahaan tanpa memilih risiko-
risiko tertentu saja. Penanganan risiko dianggap sebagai salah satu fungsi dari
manajemen. Ada beberapa fungsi manajemen yang sudah lazim dikenal yaitu
membuat perencanaan, mengorganisasi, mengarahkan dan melakukan
pengendalian. Dengan demikian, ditambahkan satu fungsi lagi yang sangat
penting, yaitu menangani risiko. Terdapat dua strategi penanganan risiko,
yaitu preventif dan mitigasi.
33
1) Preventif (Menghindari)
Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Sebelum risiko
terjadi harus ada cara-cara preventif yang dilakukan sedemikian rupa
sehingga risiko tidak terjadi. Preventif dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Membuat atau Memperbaiki Sistem dan Prosedur
Risiko ini dapat diperkecil jika aturan dan prosedurnya dibuat (jika
belum ada), atau diperbaiki (jika sudah ada namun belum baik).
Risiko-risiko yang disebabkan oleh manusia dan teknologi dapat
diperkecil jika sistem dan prosedurnya ada dan baik.
b. Mengembangkan Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan
pelatihan-pelatihan, baik pelatihan on-the-job atau pelatihan eksternal.
Dengan mengembangkan sumber daya manusia diharapkan
kemungkinan terjadinya risiko dapat diperkecil, terutama risiko-risiko
yang disebabkan oleh ketidak kompetenan sumber daya manusia.
c. Memasang atau Memperbaiki Fasilitas Fisik
Beberapa risiko dapat dihindari kejadiannya atau setidaknya diperkecil
kemungkinan terjadinya dengan memasang (jika belum ada) atau
memperbaiki (jika sudah ada namun belum baik) fasilitas fisik.
34
2) Mitigasi (Mengurangi)
Mitigasi merupakan penanganan risiko yang dimaksudkan untuk
memperkecil dampak yang ditimbulkan dari risiko. Ada beberapa cara
mitigasi yang dapat dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Diversifikasi
Diversifikasi adalah cara menempatkan asset atau harta di beberapa
tempat sehingga jika salah satu tempat kena musibah, tidak akan
menghabiskan semua asset yang dimiliki.
b. Penggabungan (Merger)
Jika diversifikasi dianjurkan untuk berpencar, disini justru dianjurkan
untuk bergabung atau merger. Seperti risiko bersaing dapat
diminimalkan dengan cara bersatu. Contoh strategi merger adalah
beberapa perusahaan yang bersepakat untuk bergabung atau akuisi.
c. Pengalihan Risiko
Pengalihan risiko adalah mengalihkan risiko ke pihak lain sehingga
jika terjadi kerugian, pihak lainlah yang menanggung kerugiannya.
Terdapat beberapa cara pengalihan risiko, yaitu:
a) Asuransi, mengasuransikan harta perusahaan yang dampak
risikonya besar, berarti sudah mengalihkan dampak risiko tersebut
kepada pihak asuransi.
b) Leasing, cara dimana suatu asset digunakan, tetapi pemiliknya
adalah pihak lain. Jika terjadi sesuatu pada asset tersebut, maka
35
pemiliknya yang adalah pihak lain yang menanggung kerugian atas
asset tersebut.
c) Outsourcing, mentrasfer kerugian ke pihak lain jika terjadi risiko
dengan cara outsource. Outsource merupakan cara dimana
pekerjaan diberikan ke pihak lain untuk mengerjakan, sehingga
perusahaan tidak menanggung kerugian seandainya pekerjaan yang
dilakukan gagal.
d) Headging, cara pengurangan dampak risiko dengan cara
mengalihkan risiko melalui transaksi penjualan atau pembelian.
Selanjutnya Kountur (2008:28) menjelaskan dalam mengelola risiko
terdapat proses pengelolaan risiko, yaitu:
1) Identifikasi risiko. Untuk mendapatkan daftar risiko yang merupakan hasil
dari identifikasi risiko. Tahapan pertama adalah menidentifikasi risiko-
risiko yang kemungkinan atau telah terjadi pada perusahaan. Lingkup
identifikasi risiko adalah unit atau bagian di dalam perusahaan.
2) Pengukuran risiko. Pada dasarnya pengukuran risiko mengacu pada dua
faktor seperti kuantitas risiko yang terkaitdengan berapabanyak nilai yang
rentan terhadap risiko dan kualitas risiko yang terkait dengan
kemungkinan suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko
terjadi semakin tinggi pula risikonya. Setelah diketahui kemungkinan
risiko dan dampak yang terjadi maka dapat diketahui status risikonya dan
dilanjutkan dengan pemetaan. Pemetaan risiko merupakan gambaran
terhadap posisi suatu risiko yang kemudian dapatdiketahui tingkat
36
kepentingan risiko untuk dilakukan manajemen risiko berdasarkan
tingkatan risiko yang terjadi.
3) Penanganan risiko. Kountur (2008:120-127) menjelaskan bahwa
berdasarkan hasil dari penilaian risiko dapat diketahui penanganan risiko
yang tepat untuk dilakukan.
4) Evaluasi. Evaluasi risiko ditujukan untuk menetapkan prioritas risiko
berdasarkan kepentingannya bagi perusahaan.
Dengan diterapkannya manajemen risiko disuatu perusahaan ada
beberapa manfaat yang akan diperoleh, yaitu sebagai berikut (Fahmi, 2010:3):
1) Perusahaan memiliki ukuran kuat sebagai pijakan dalam mengambil setiap
keputusan, sehingga para manajer menjadi lebih berhati-hati (prudent) dan
selalu menempatkan ukuran-ukuran dalam berbagai keputusan.
2) Mampu memberi arah bagi suatu perusahaan dalam melihat pengaruh-
pengaruh yang mungkin timbul baik secara jangka panjang dan jangka
pendek.
3) Mendorong para manajer dalam mengambil keputusan untuk selalu
menghindari risiko dan menghindari dari pengaruh terjadinya kerugian
khususnya dari segi finansial.
4) Memungkinkan perusahaan memperoleh risiko kerugian yang minimal.
Dengan adanya konsep manajaemen risiko (risk management concept)
yang dirancang secara detail maka artinya perusahaan telah membangun arah
dan mekanisme secara sustainable (berkelanjutan).
37
2.6. Risiko dalam Agribisnis
Menurut Huirne (2003 : 256), kegiatan pertanian yang banyak
dilakukan di luar ruangan sangat bergantung pada kondisi cuaca, serta
serangan hama dan penyakit sehingga dapat dijadikan sebagai contoh risiko
yang menonjol yang dihadapi dalam agribisnis. Selain itu, para petani yang
bekerja di pertanian juga dapat menjadi risiko tersendiri, karena kelangsungan
usaha pertanian yang dilakukan dapat terancam oleh beberapa risiko seperti
kematian pemilik, perceraian dari pasangan yang bersama-sama menjalankan
usaha pertanian tersebut, pemilik atau pekerja yang sakit dalam jangka waktu
panjang juga dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi
perusahaan.
Sedangkan menurut Harwood (1999:7) dalam pertanian, beberapa
sumber risiko yang biasa ditemukan yaitu :
1) Risiko produksi. Risiko ini terjadi karena pertanian dipengaruhi oleh
beberapa kejadian yang tak terkendali seperti cuaca meliputi curah hujan
yang berlebihan atau tidak mencukupi, suhu ekstrim, hujan es, serangga
dan penyakit. Teknologi pertanian memegang peranan penting dalam
risiko produksi, karena dapat menawarkan potensi untuk meningkatkan
efisiensi produksi, atau pengenalan varietas baru yang lebih kuat dari
ancaman risiko produksi.
2) Risiko harga atau pasar. Risiko ini terkait dengan perubahan dalam harga
output atau input produksi. Dibidang pertanian proses produksi umumnya
berlangsung lama, seperti pada produksi ternak yang membutuhkan proses
38
investasi yang berkelanjutan dalam pakan, peralatan dan lain-lain yang
mungkin tidak menghasilkan keuntungan dalam beberapa bulan atau
tahun.
3) Risiko kelembagaan. Risiko yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan
dan regulasi yang mempengaruhi pertanian. Jenis risiko ini umumnya
dimanifestasikan sebagai kendala produksi yang tidak terduga, seperti
peraturan pemerintah terkait dengan penggunaan pestisida untuk tanaman
atau obat-obatan untuk ternak dapat mengubah biaya produksi, atau
keputusan negara asing untuk membatasi impor tanaman tertentu yang
dapat menurunkan harga tanaman tersebut.
4) Risiko keuangan, seperti petani mengalami fluktuasi suku bunga pinjaman
modal, atau menghadapi kesulitan arus kas jika dana tidak mencukupi
untuk membayar kreditor sehingga proses produksi yang dijalankan petani
tersebut terhambat.
Secara umum ada dua kategori strategi manajemen risiko dalam
agribisnis, yaitu strategi manajemen risiko on farms dan strategi untuk
berbagi risiko dengan orang lain (Huirne, dkk. 2000 : 129). Pada strategi
manajemen risiko on farms, strategi yang dapat dilakukan adalah 1)
mengumpulkan banyak informasi terkait proses produksi pertanian, informasi
pilihan teknologi pertanian yang lebih produktif, peluang dan trend
pemasaran saat ini, 2) menghindari dan mengurangi kemungkinan risiko yang
akan terjadi dengan tindakan pencegahan seperti melakukan pemantauan dan
pengendalian proses produksi pertanian yang efektif, 3) memilih penggunaan
39
teknologi yang tidak terlalu berisiko dalam proses produksi, 4) diservifikasi
lahan pertanian diberbagai tempat, dan 5) dan meningkatkan fleksibilitas
asset, produk, pasar, biaya dan waktu produksi.
Sedangkan strategi berbagi risiko dengan orang lain yang dapat
dilakukan adalah dengan bijak dalam pembiayaan pertanian, mendaftar
asuransi pertanian dan melakukan kontrak pemasaran untuk komoditas yang
belum diproduksi, dan input yang dibutuhkan dimasa yang akan datang.
Secara menyeluruh, proses manajemen risiko agribisnis dijelaskan
sebagai berikut (Wastra dan Mahbubi, 2013:51-52):
1) Segenap sumber daya manusia perusahaan mulai dari jajaran komisaris
dan direksi sampai staf bahwa terdapat risiko dalam setiap usaha termasuk
agribisnis.
2) Identifikasi risiko merupakan aktivitas awal yang akan menghasilkan
output daftar risiko. Dalam identifikasi risiko terdapat stakeholder yang
meliputi pemegang saham, pemasok, karyawan, pemain industri yang
sama, dan pihak lain yang terpengaruh oleh adanya perusahaan. Metode
dalam identifikasi risiko meliputi analisis data historis, pengamatan, survei
baik dengan kuesioner atau wawancara, pendapat ahli melalui focus group
discussion.
3) Pengukuran risiko berupa data baik berupa kualitatif maupun kuantitatif.
Kualitatif menyangkut kemungkinan suatu risiko muncul, semakin tinggi
kemungkinan risiko terjadi maka semakin tinggi pula risikonya.
40
4) Pemetaan risiko ditujukan untuk menetapkan prioritas risiko berdasarkan
kepentingannya bagi perusahaan. Adanya prioritas dikarenakan
perusahaan memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia dan jumlah
uang sehingga perusahaan perlu menetapkan mana yang perlu dihadapi
terlebih dahulu mana yang dinomor duakan, dan mana yang perlu
diabaikan. Selain itu prioritas juga ditetapkan karena tidak semua risiko
memiliki dampak pada tujuan perusahaan.
5) Pengambilan keputusan terdapat empat cara dalam penanganan risiko
yaitu dengan menghindari risiko (risk avoidance), memitigasi atau
mengeliminasi risiko (risk elimination), pemindahan risiko (risk transfer)
dan penahanan risiko (risk retention).
6) Pengawasan perlu dilakukan untuk menjamin pelaksanaan keputusan yang
telah dibuat. Risiko berubah-ubah sesuai kondisisehingga perlu keputusan
yang cepat dan tepat untuk merespon terjadinya perubahan risiko.
7) Evaluasi menekankan upaya menilai proses pelaksanan rencana, mengenai
ada tidaknya upaya penyimpangan dan tercapai tidaknya sasaran yang
telah ditetapkan berdasarkan rencana yang telah dibuat.
Sedangkan proses manajemen risiko yang mengacu pada standar ISO
31000 : 2018, dapat dilihat pada gambar berikut (Soleh, 2020 : 57 – 62):
41
Gambar 2 Proses Manajemen Risiko ISO 31000 : 2018
Sumber : Soleh, 2020 : 54.
1) Komunikasi dan Konsultasi. Secara umum, tujuannya adalah untuk
membantu para pemangku kepentingan dalam memahami risiko, dasar
pengambilan keputusan dan alasan mengapa tindakan tertentu diperlukan.
Komunikasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
tentang risiko, sedangkan konsultasi ditujukan untuk memperoleh umpan
balik dan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan.
Komunikasi dan konsultasi dengan pemangku kepentingan eksternal dan
internal yang tepat harus dilakukan di dalam dan di sepanjang semua
langkah proses manajemen risiko.
2) Menentukan ruang lingkup. Perusahaan harus menentukan ruang
lingkup kegiatan manajemen risiko karena proses manajemen risiko dapat
diterapkan pada tingkat yang berbeda. Oleh karena itu, penting agar
dijelaskan ruang lingkup yang dipertimbangkan, tujuan yang relevan untuk
dipertimbangkan, dan keselarasannya dengan tujuan perusahaan atau
organisasi.
42
3) Menentukan konteks eksternal dan internal. Konteks eksternal dan
internal adalah lingkungan dimana perusahaan berusaha mendefinisikan
secara jelas. Konteks proses manajemen risiko harus ditetapkan dari
pemahaman lingkungan eksternal dan internal dimana perusahaan
beroperasi dan harus mencerminkan lingkungan spesifik dari kegiatan
dimana proses manajemen risiko akan diterapkan.
4) Menentukan kriteria risiko. Perusahaan harus menentukan jumlah dan
jenis risiko yang mungkin atau tidak mungkin diambil. Selain itu,
perusahaan juga harus menentukan kriteria untuk mengevaluasi
signifikansi risiko dan untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
Kriteria risiko harus selaras dengan kerangka manajemen risiko dan
disesuaikan dengan tujuan dan ruang lingkup spesifik dari kegiatan yang
sedang dipertimbangkan. Kriteria risiko harus mencerminkan nilai, tujuan,
dan sumber daya perusahaan dan konsisten dengan kebijakan dan
pernyataan tentang manajemen risiko. Kriteria harus didefinisikan dengan
mempertimbangkan kewajiban perusahaan dan pandangan para pemangku
kepentingan. Kriteria risiko harus ditetapkan pada awal proses penilaian
risiko, mereka harus dinamis dan terus ditinjau dan diubah jika perlu.
5) Penilaian risiko. Penilaian risiko adalah keseluruhan proses identifikasi
risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko. Penilaian risiko harus dilakukan
secara sistematis, interaktif, dan kolaboratif dengan memanfaatkan
pengetahuan dan pandangan para pemangku kepentingan. Harus
43
menggunakan informasi terbaik yang tersedia, serta dilengkapi dengan
penyelidikan lanjut jika diperlukan.
Identifikasi risiko bertujuan untuk menemukan, mengenali, menjelaskan
risiko yang mungkin dapat membantu atau mencegah pencapaian tujuan
perusahaan. Perusahaan harus mengidentifikasi risiko. Apakah sumber
risiko tersebut berada di bawah kendali atau tidak. Pertimbangan harus
diberikan bahwa mungkin ada lebih dari satu jenis hasil yang dapat
mengakibatkan berbagai konsekuensi yang nyata atau tidak nyata.
Analisis risiko bertujuan untuk memahami sifat risiko, karakteristiknya
dan tingkat risikonya. Analisis risiko melibatkan pertimbangan rinci atas
ketidakpastian, sumber risiko, konsekuensi, kemungkinan, peristiwa,
scenario, pengendalian dan keefektifannya. Analisis risiko dapat dilakukan
dengan berbagai tingkat detail dan kompleksitas, tergantung pada tujuan
analisis, ketersediaan, dan keandalan informasi dan sumber daya yang
tersedia. Teknik analisis dapat berbentuk kuantitatif, kualitatif atau
kombinasi keduanya, tergantung pada keadaan dan penggunaan yang
diinginkan.
Evaluasi risiko bertujuan untuk mendukung keputusan. Evaluasi risiko
melibatkan perbandingan hasil analisis risiko dengan kriteria risiko yang
ditetapkan untuk menentukan keputusan yang akan diambil. Pilihannya
antara lain: a) tidak melakukan apa-apa, b) mempertimbangkan pilihan
penanganan risiko, c) melakukan analisis lebih lanjut untuk memahami
44
risiko, d) mempertahankan pengendalian yang ada, e) menimbang kembali
tujuan yang telah ditetapkan,
Selanjutnya setiap hasil evaluasi risiko harus dicatat, dikomunikasikan dan
kemudian dievaluasi pada tingkat yang sudah ditentukan.
6) Perlakuan risiko. Tujuan dari perlakuan risiko adalah untuk memilih dan
menerapkan opsi-opsi untuk mengatasi risiko. Memilih opsi yang paling
sesuai mencakup keseimbangan manfaat potensial yang diperoleh dalam
kaitannya dengan pencapaian tujuan terhadap biaya, usaha atau kerugian
implementasi. Ketika memilih opsi risiko, perusahaan harus
mempertimbangkan nilai, persepsi, dan potensi keterlibatan pemangku
kepentingan, serta cara yang paling tepat untuk berkomunikasi dan
berkonsultasi dengan mereka.
Tujuan rencana perawatan risiko adalah untuk menentukan bagaaimana
perlakuan risiko akan dilaksanakan, sehingga urutan implementasinya
dapat dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat, serta progresnya dapat
dipantau. Rencana perawatan harus diintegrasikan ke dalam rencana
manajemen dan proses bisnis dengan parak pemangku kepentingan.
7) Pemantauan dan peninjauan risiko. Tujuannya adalah untuk
memastikan dan meningkatkan kualitas dan efektifitas desaian,
implementasi, dan hasil proses. Pemantauan berkelanjutan dan tinjauan
berkala atas proses manajemen risiko dan hasilnya harus menjadi bagian
yang direncanakan dari proses manajemen risiko, dengan tanggung jawab
yang ditetapkan dengan jelas. Pemantauan dan peninjauan harus dilakukan
45
di semua tahapan proses, yaitu : perencanaan, pengumpulan dan analisis
informasi, pencatatan hasil, dan pemberian umpan balik.
8) Perekaman dan pelaporan. Proses manajemen risiko dan hasilnya harus
didokumentasikan dan dilaporkan melalui mekanisme yang tepat.
Tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan kegiatan manajemen risiko
dan hasilnya di seluruh perusahaan, memberikan informasi untuk
pengambilan keputusan, meningkatkan kegiatan manajemen risiko, dan
membantu interaksi dengan para pemangku kepentingan serta pihak yang
memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas untuk kegiatan manajemen
risiko.
2.7. Diagram Tulang Ikan (Fish Bone)
Menurut Triono (2012 : 18) diagram tulang ikan merupakan teknik
yang sering digunakan dalam mengidentifikasi masalah (penyebab) dalam
manajemen mutu. Diagram tulang ikan sering juga disebut sebagai Ishikawa
Diagram yang ditemukan oleh Kaoru Ishikawa pada tahun 1990 dari
Universitas Tokyo. Menurut Kuswandi dan Mutiara (2004 : 79) pembuatan
diagram tulang ikan ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang mungkin
menjadi penyebab dari suatu masalah atau penyimpangan (sebagai akibat dari
sebab-sebab tersebut di atas).
Dengan diketahui hubungan antara sebab dan akibat dari suatu masalah,
maka tindakan pemecahan masalah akan mudah ditentukan, dengan kata lain,
apabila telah diketahui penyebab dari suatu kejadian risiko maka dapat segera
46
ditentukan strategi atau tindakan penanganan risiko. Menurut Mulyadi (2007 :
114) metode fish bone dalam identifikasi risiko meliputi data historis,
pengamatan, dan survey baik dengan kuesioner ataupun wawancara.
Gambar 3. Identifikasi Risiko (Metode Fish Bone) Sumber : Mulyadi, 2007 : 114.
Menurut Kuswandi dan Mutiara (2004 : 80) dalam pembuatan diagram
tulang ikan, akibat atau permasalahan digambarkan dalam bagian kepala ikan,
sedangkan faktor-faktor penyebab diletakkan sebagai tulang ikan. Terdapat
dua tipe, pertama yaitu pembuatan diagram tulang ikan berdasarkan tipe
pengelompokkan sebab. Kedua, pembuatan diagram tulang ikan berdasarkan
tipe proses produksi (Tipe Klasifikasi Proses Produksi). Pembuatan diagram
tulang ikan berdasarkan tipe pengelompokkan sebab, dapat dilihat pada
Gambar 4 sebagai berikut :
Gambar 4. Diagram Tulang Ikan Tipe Rangkuman Sebab
Sumber : Kuswandi dan Mutiara (2004 : 81)
Cause 1 Cause 3
Cause 2
Problem
47
Pembuatan diagram tulang ikan tipe rangkuman sebab dalam
menentukan permasalahannya digolongkan menjadi beberapa golongan besar.
Penggolongan dalam garis besar faktor-faktor penyebab dimaksud biasanya
terdiri atas bahan (material), alat (machine), manusia (man), cara (method),
dan lingkungan (environment). Penggambaran diagram tulang ikan dapat juga
digambarkan berdasarkan proses produksi (Tipe Klasifikasi proses produksi),
seperti pada Gambar 5 berikut ini :
Gambar 5. Struktur Diagram Tulang Ikan (Tipe Klasifikasi Proses Produksi)
Sumber : Kuswandi dan Mutiara (2004 : 81)
Pembuatan diagram tulang ikan berdasarkan tipe klasifikasi proses
produksi dalam menentukan permasalahannya digolongkan berdasarkan
proses atau alur produksi. Dimana, kejadian yang menjadi masalah
ditempatkan pada bagian kepala ikan, sedangkan proses-proses produksi
diletakkan pada bagian tulang ikan.
Menurut Triono (2012 : 18) ada empat langkah yang dibutuhkan dalam
membentuk diagram tulang ikan, langkah-langkah tersebut adalah :
1) Melakukan brainstorming untuk mengenali penyebab dan masalah.
48
2) Memetakan masalah dan penyebab ke dalam diagram tulang ikan. Masalah
pada kepala ikan dan tulang utama, serta penyebab pada tulang duri yang
lebih kecil.
3) Menanyakan pada setiap masalah, mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Jawaban atas hal tersebut diletakkan pada tulang yang lebih kecil sebagai
penyebab.
4) Mengumpulkan data atas masalah dan penyebab untuk menentukan
frekuensi kejadian paling tinggi.
Menurut Kuswandi dan Mutiara (2004 : 80) manfaat dari proses
pembuatan diagram tulang ikan antara lain :
1) Mengidentifikasi masalah dengan menggunakan logika bagaimana
mencari faktor-faktor penyebab dan hubungannya dengan akibat.
2) Diagram ini merupakan alat (pemandu) dalam mendiskusikan identifikasi
masalah secara sistematis.
3) Dapat diperoleh kemungkinan penyebab yang sebanyak mungkin yang
menimbulkan suatu akibat (masalah yang sedang dipecahkan)
2.8. House of Risk (HOR)
House of Risk merupakan sebuah framework dalam mengelola risiko
yang dikembangkan berdasarkan kombinasi dari ide dasar dua tools yang
terkenal yaitu FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) dan metode QFD
(Quality Function Deployment). Pengembangan model ini dilakukan oleh I.
Nyoman Pujawan dan Laudine H. Geraldin berdasarkan gagasan bahwa
49
manajemen risiko supply chain proaktif berusaha untuk fokus pada tindakan
preventif, yaitu mengurangi kemungkinan agen risiko terjadi. Mengurangi
terjadinya agen risiko biasanya akan mencegah beberapa peristiwa risiko
yang terjadi. Dalam kasus seperti itu, perlu untuk mengidentifikasi kejadian
risiko dan agen risiko yang terkait. Biasanya, satu agen risiko bisa mendorong
lebih dari satu kejadian risiko (Pujawan, 2009 : 955).
Dalam FMEA terkenal, penilaian risiko dilakukan melalui perhitungan
dari RPN (Risk Potential Number) sebagai produk dari tiga faktor, yaitu
probabilitas terjadinya risiko, tingkat keparahan dampak kerusakan yang
dihasilkan dan deteksi risiko. Tidak seperti di model FMEA, pendekatan
HOR perhitungan nilai RPN diperoleh dari probabilitas sumber risiko dan
dampak kerusakan terkait risiko itu terjadi, dalam hal ini untuk mencari
kemungkinan sumber risiko dan keparahan kejadian risiko (Pujawan, 2009 :
955).
Menurut Ulfah dkk (2016 : 89) HOR merupakan modifikasi FMEA
(Failure modes and Effect of Analysis) dan model rumah kualitas (House Of
Quality) untuk memprioritaskan sumber risiko mana yang pertama dipilih
untuk diambil tindakan yang paling efektif dalam rangka mengurangi potensi
risiko dari sumber risiko. Menurut Lutfi dan Irawan (2012:2) penerapan HOR
terdiri atas dua tahap yaitu :
1) HOR Fase 1 digunakan untuk mengidentifikasi kejadian risiko dan agen
risiko yang berpotensi timbul sehingga hasil output dari HOR fase 1 yaitu
50
pengelompokkan agen risiko ke dalam agen risiko prioritas sesuai dengan
nilai Aggregate Risk Potential (ARP).
2) HOR Fase 2. Menurut Lutfi dan Irawan (2012 : 5) HOR Fase 2 merupakan
perancangan strategi mitigasi untuk melakukan penanganan (risk
treatment) agen risiko yang telah teridentifikasi dan berada pada level
risiko prioritas. HOR fase 2 digunakan untuk perancangan strategi mitigasi
yang dilakukan untuk penanganan agen risiko kategori prioritas. Hasil
output dari HOR Fase 1 akan digunakan sebagai input pada HOR fase 2.
2.8.1. House of Risk Fase 1
Menurut Ulfah dkk (2016 : 89) Proses pengerjannya HOR fase 1
memiliki beberapa tahap pengerjaan yaitu :
1) Mengidentifikasi kejadian risiko yang bisa terjadi pada setiap bisnis
proses. Kemudian mengidentifikasi apa yang kurang atau salah pada setiap
proses. Kejadian risiko diletakkan dikolom kiri ditunjukkan sebagai Ei.
2) Memperkirakan dampak dari beberapa kejadian risiko (jika terjadi) dengan
menggunakan Skala Likert. Tingkat keparahan dari kejadian risiko
diletakkan di kolom sebelah kanan dari tabel yang dinyatakan sebagai Si
3) Identifikasi sumber risiko dan menilai kemungkinan kejadian tiap sumber
risiko. Sumber risiko (Risk Agent) ditempatkan dibaris atas tabel dan
dihubungkan dengan kejadian baris bawah dengan notasi Oj.
4) Kembangkan hubungan matriks. Keterkaitan antar setiap sumber risiko
dan setiap kejadian risiko Rij.
51
5) Hitung kumpulan potensi risiko (Aggregate Risk Potential of Agent j =
ARPj) yang ditentukan sebagai hasil dari kemungkinan kejadian dari
sumber risiko j dan kumpulan dampak penyebab dari setiap kejadian risiko
yang disebabkan oleh sumber risiko j.
Berdasarkan uraian tahap pengerjaan HOR fase 1, maka dapat di buat
tabel model HOR fase 1 seperti tabel berikut :
Tabel 3. Model HOR Fase 1 Risk Agent (Aj) Severity of
Risk Event
(Si) Bussiness
process
Risk Event (Ei) A1 A2 A3 A4 A..
Plan E1
Source E2 Rij
Make E3
Deliver E4
Return E...
Occurance of
Agent j
O1 O2 O3 O4 O..
Aggregate Risk
Potential j
AR
P1
AR
P2
AR
P3
AR
P4
AR
P...
Priority Rank
of Agent j
Sumber : Ulfah, dkk (2016 : 90)
Keterangan :
Ei = Kejadian Risiko (Risk Event)
Aj = Penyebab Risiko (Risk Agent)
Si = Tingkat Dampak (Severity)
Oj = Tingkat Probabilitas (Occurrence)
ARPj = Potensi Risiko Keselruhan (Aggregate Risk Potential)
Rank = Peringkat Prioritas Penyebab Risiko
52
Mengadopsi prosedur di atas, maka HOR 1 dikembangkan melalui
langkah-langkah berikut:
1) Mengidentifikasi kejadian risiko yang bisa terjadi dalam setiap proses
bisnis. Hal ini dapat dilakukan melalui proses produksi. Kemudian
mengidentifikasi, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam setiap proses
tersebut. Pujawan dan Geraldin (2009:5) menyediakan cara sistematis
mengidentifikasi dan menilai risiko. Model HOR 1 ditunjukkan pada
Tabel 3, dimana peristiwa risiko diletakan di kolom kiri, direpresentasikan
sebagai Kejadian Risiko (Ei).
2) Menilai dampak (keparahan) dari kejadian risiko tersebut (jika terjadi)
menggunakan Skala Likert (penelitian ini menggunakan skala 1 sampai
dengan 5). Suatu dari setiap peristiwa risiko yang diletakkan di kolom
kanan dari Tabel 1, diindikasikan sebagai Si.
3) Mengidentifikasi agen risiko atau penyebab risiko (Aj) dan menilai
kemungkinan terjadinya setiap agen risiko menggunakan Skala Likert 1
sampai dengan 5, di mana 1 berarti hampir tidak pernah terjadi dan nilai 5
berarti agen risiko hampir pasti terjadi. Di mana Aj ditempatkan pada baris
atas tabel dan terjadinya terkait adalah pada baris bawah, dinotasikan
sebagai Oj.
4) Mengembangkan matriks korelasi yaitu hubungan antara masing-masing
agen risiko dan setiap kejadian risiko, menggunakan skala Rij (0, 1, 3, 9) di
mana 0 mewakili tidak ada korelasi dan 1, 3, dan 9 mewakili masing-
masing, rendah, sedang, dan korelasi yang tinggi.
53
5) Menghitung potensi risiko keseluruhan agen j (ARPj) yang ditentukan
sebagai produk dari kemungkinan terjadinya agen risiko j dan dampak
agregat yang dihasilkan oleh peristiwa risiko yang disebabkan oleh agen
risiko j seperti pada persamaan di atas.
6) Prioritas agen risiko menurut potensi risiko agregat mereka dalam urutan
menurun (dari yang bernilai tinggi ke rendah).
2.8.2. House of Risk Fase 2
Penerapan HOR fase 2 meliputi beberapa tahap pengerjaan yaitu :
1) Menyeleksi agen risiko mulai dari nilai ARP tertinggi hingga terendah
dengan menggunakan analisis Pareto. Agen risiko yang termasuk kategori
prioritas tinggi akan menjadi input dalam HOR fase ke 2.
2) Mengidentifikasi aksi penanganan risiko yang relevan (PAk) terhadap agen
risiko yang muncul. Penanganan risiko dapat berlaku untuk satu atau lebih
agen risiko. Mengidentifikasi aksi penanganan risiko dapat menggunakan
Skala Likert 3, 4 dan 5. Dimana Skala Likert tersebut menunjukkan mudah
atau tidaknya suatu strategi penanganan risiko
3) Pengukuran nilai korelasi antara suatu agen risiko dengan penanganan
risiko. Hubungan korelasi terebut akan menjadi pertimbangan dalam
menentukan derajat efektivitas dalam mereduksi kemunculan agen risiko.
Pengukuran nilai korelasi menggunakan skala korelasi yaitu 0,1,3,9
dengan ketentuan 0 (tidak memiliki korelasi), 1 (memiliki korelasi
rendah), 3 (memiliki korelasi sedang) dan 9 (memiliki korelasi tinggi).
54
4) Mengkalkulasi total efektivitas (TEk) pada setiap agen risiko dengan
menggunakan perhitungan sebagai berikut :
TEk = Ʃ ARPj Ejk
5) Mengukur tingkat kesulitan dalam penerapan aksi mitigasi (Dk) dalam
upaya mereduksi kemunculan agen risiko.
6) Mengkalkulasi total efektivitas penerapan aksi mitigasi atau effectiviness
to difficulty of ratio (ETDk) dengan rumus sebagai berikut:
ETDk = TEk / Dk
7) Melakukan skala prioritas mulai dari nilai ETD tertinggi hingga yang
terendah. Nilai prioritas utama diberikan kepada aksi mitigasi yang
memiliki nilai ETD tertinggi.
Berdasarkan uraian tahap pengerjaan HOR fase 2, maka dapat di
buat tabel model HOR fase 2 seperti tabel berikut :
Tabel 4. Model HOR Fase 2 To be treated Risk Agent
(aj)
Risk Agent (Aj) Aggregate
Risk
Potentials
(ARP) kj
PA1 PA2 PA3 PA4 PA5
A1 ARP1
A2 Ejk ARP2
A3 ARP3
A4 ARP4
Total Effectivineess of
Action (TEk)
TE1 TE2 TE3 TE4 TE5
Degree of Difficulty
Preforming Action (Dk)
D1 D2 D3 D4 D5
Effectiveness to Difficulty
Ratio (ETDk)
ETD1 ETD2 ETD3 ETD4 ETD5
Rank of Priority R1 R2 R3 R4 R5 Sumber : Ulfah, dkk (2016 : 91)
55
Keterangan :
Dk =Degree of Difficulty Preforming Action (Tingkat kesulitan aksi preventif)
TEk =Total Effectivineess of Action (Total Keefektifan dan tiap aksi preventif)
ETDk = Effectiveness to Difficulty Ratio (Total Kesulitan dan Keefektifan aksi
preventif)
Ejk = Hubungan antara tiap strategi preventif yang dilakukan dengan tiap agen
risiko
PAk = Preventif Action (Strategi preventif yang dilakukan)
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan)
2.9. Diagram Pareto
Diagram Pereto diperkenalkan oleh seorang ahli, yaitu Alfredo Pareto.
Tisnowati dkk (2008 : 52) mendefinisikan diagram Pareto adalah diagram
batang yang menunjukkan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian.
Setiap permasalahan diwakili oleh satu diagram batang. Masalah yang paling
banyak terjadi akan menjadi diagram batang yang paling tinggi, sedangkan
masalah yang paling sedikit akan diwakili oleh diagram batang yang paling
rendah. Hal ini dapat membantu menemukan permasalahan yang perlu untuk
segera diselesaikan (rangking tertinggi) sampai dengan permasalahan yang
tidak harus segera diselesaikan (rangking terendah) (Ariani, 2004). Diagram
pareto dapat dilihat pada Gambar 6.
56
Gambar 6. Struktur Diagram Pareto Sumber : Kuswandi dan Mutiara (2004 : 55)
Menganalisa diagram pareto atau yang biasa disebut dengan diagram
prioritas, digunakan dalam rangka memilih prioritas masalah yang dampaknya
paling besar, yaitu kurang lebih 80% yang disebabkan oleh kurang lebih 20%
faktor penyebab (Kuswandi dan Mutiara, 2004 : 50). Diagram pareto dapat
digunakan untuk mencari 20% jenis kasus (misalnya, cacat, keluhan, masalah)
yang merupakan 80% kecacatan dari keseluruhan proses produksi.
Diagram pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi untuk :
1) Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalah-masalah atau
penyebab dari masalah yang ada.
2) Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting melalui pembuatan
ranking terhadap masalah-masalah atau penyebab-penyebab masalah itu
dalam bentuk yang signifikan.
Tipe-tipe diagram pareto yang menunjukkan penyebab suatu masalah :
1) Operator : Giliran kerja, kelompok kerja, umur karyawan, pengalaman,
keterampilan
2) Mesin : perlengkapan, peralatan, mesin-mesin, organisasi, instrument
3) Bahan baku : jenis bahan baku, produsen,
Nilai ARPj % Kumulatif
57
4) Metode Kerja : kondisi kerja, order kerja.
Tipe-tipe Diagram Pareto yang menunjukkan akibat suatu masalah :
1) Kualitas : Jumlah kerusakan, cacat, kesalahan, keluhan, produk, yang
dikembangkan, perbaikan
2) Biaya : jumlah kerugian, pemborosan biaya, biaya stock, biaya bunga
3) Pengiriman : keterlambatan pengiriman
4) Metode kerja : jumlah kecelakaan kekeliruan kerja
2.10. Penelitian Terdahulu
Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang meneliti terkait risiko
pada produk pertanian yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian
ini baik yang menggunakan metode yang sama maupun berbeda sebagai
berikut.
58
Tabel 5. Matriks Penelitian Terdahulu
Penulis Judul Penelitian Persamaan Perbedaan
Novianti
(2011)
Analisis Risiko Produksi
Bayam dan Kangkung
Hidroponik pada Parung
Farm Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat.
Menganalisis
sayuran hidroponik
bayam
Menggunakan
metode variance,
standard
deviation, dan
coefficient
variation.
Annisa
(2017)
Analisis Risiko Produksi
Susu Kambing di CV
Sawangan Farm Dairy.
Menggunakan
metode HOR,
diagram tulang
ikan, dan pareto
sebagai alat
analisis
Objek yang
diteliti yaitu susu
kambing
Hafizha
(2017)
Mitigasi Risiko Produksi
Susu Sapi di Peternakan
Mahesa Perkasa Farm.
Menggunakan
metode HOR,
diagram tulang
ikan, dan pareto
sebagai alat
analisis.
Objek yang
diteliti yaitu susu
sapi.
Hakas
(2017)
Analisis Risiko Produksi
Bunga Krisan Potong
dengan Pendekatan
Failure Mode And Effect
Analysis (Fmea) dan
Fishbone Diagrams di
Kecamatan Cugenang,
Kabupaten Cianjur.
Menggunakan
metode fish bone
dan diagram pareto
sebagai alat
analisis .
Menggunakan
metode FMEA
untuk alat analisis
kedua dan objek
yang diteliti
adalah bunga
potong krisan.
Nadira dan
Sulistyode
wi (2017)
Analisis Risiko Produksi
Baby Buncis pada
Kelompok Tani di
Kabupaten Bandung
Barat.
Menggunakan
metode HOR dan
pareto sebagai alat
analisis.
Objek yang
diteliti adalah
baby buncis pada
Kelompok Tani.
59
2.11. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini membahas mengenai risiko produksi bayam hidroponik di
Serua Farm. Dalam menjalankan bisnisnya, seringkali perusahaan ini tidak
dapat mencapai target produksi bayam yang telah ditentukan sebelumnya
sehingga dapat diindikasikan Serua Farm menghadapi risiko dalam setiap
proses produksi mulai dari (1) penyemaian (2) penanaman; (3) pemeliharaan;
(4) pemanenan; (5) pengemasan. Kemungkinan terjadinya risiko dapat
diketahui dengan dilakukan identifikasi risiko. Untuk mengidentifikasi risiko,
peneliti menggunakan diagram tulang ikan untuk menentukan titik-titik kritis
yang dapat menjadi risiko pada proses produksi bayam hidroponik. Setelah
teridentifikasi dilanjutkan dengan pengukuran risiko yaitu menggunakan Skala
Likert dengan skala 1 sampai 5, dengan keterangan sebagai berikut : (1) sangat
rendah, (2) rendah, (3) sedang, (4) tinggi, (5) sangat tinggi.
Pengukuran tersebut dimasukkan ke dalam tabel House Of Risk (HOR)
fase 1 dan dihitung nilai potensi risiko keseluruhan (Aggregate Risk Potential)
atau ARPj. Setelah didapatkan nilai ARPj, maka dilakukan pemetaan untuk
mengetahui penentuan strategi dan pengelolaan risiko dengan menggunakan
diagram pareto. Pengukuran korelasi antara tingkat dampak risiko dengan
frekuensi atau peluang terjadinya penyebab risiko dengan menggunakan Skala
Likert yaitu (0) tidak ada korelasi; (1) korelasi rendah; (3) korelasi sedang; dan
(9) korelasi yang tinggi. Pengukuran-pengukuran tersebut akan dimasukkan ke
dalam tabel HOR Fase 2. Sehingga didapatkan prioritas aksi untuk pencegahan
risiko. Adapun kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
60
Gambar 7. Kerangka Pemikiran
Keterangan
= Alur Proses Penelitian
= Input Pengumpulan Data
= Output Metode Analisis Risiko
Prioritas Aksi Pencegahan
Risiko
Menentukan Strategi
Pengelolaan Risiko
Pemetaan Risiko
Pengukuran Kejadian Risiko
Mengidentifikasikan Risiko
yang Timbul pada saat Proses
Produksi
Alur Produksi Bayam
Hidroponik di Serua Farm
Produksi yang Tidak Mencapai
Target
Serua Farm
Diagram Tulang
Ikan
Skala Likert
Model HOR
1
Diagram
Pareto
Model HOR
2
Skala Likert
61
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Serua Farm yang beralamatkan di Jalan
Serua Raya No.100 RT 003 RW 04, Komplek Gudang PT. NBA, Serua,
Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama
kurang lebih 2 bulan, yakni dimulai dari bulan November sampai dengan
bulan Desember 2019. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan bahwa Serua Farm merupakan perusahaan sayuran
hidroponik. Selain itu kondisi perusahaan yang sesuai dengan obyek yang
ingin diteliti.
3.2. Sumber dan Jenis Data
Berdasarkan sumber perolehan data, data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari
pengamatan langsung pelaksanaan aktivitas produksi bayam hidroponik di
Serua Farm, serta wawancara sistematik dengan informan terkait produksi
bayam hidroponik dimana terdapat 4 narasumber, yaitu Charlie Tjendapati
selaku kepala kebun, Een Jaenah selaku penanggung jawab penyemaian,
Rafika Putri Wulandari selaku penanggung jawab screenhouse, dan Dian
Ardiansyah selaku penanggung jawab produksi. Wawancara dilakukan untuk
memperoleh informasi lebih lengkap lagi mengenai objek yang diamati.
62
Teknik wawancara sistematik yaitu wawancara yang dilakukan dengan
mempersiapkan pedoman tertulis tentang apa yang hendak ditanyakan kepada
narasumber. Kemudian data primer yang digunakan selanjutnya untuk
mendapatkan informasi mengenai risiko dan sumber risiko produksi bayam
hidroponik di Kebun Serua Farm.
Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan sumber literatur yang
mendukung teori sebagai dasar dalam penelitian ini. Data kualitatif yang
dikumpulkan dalam penelitian ini mengenai profil perusahaan, proses
produksi yang terjadi di Serua Farm dan penyebab risiko dan kesulitan yang
dialami perusahaan dalam kegiatan produksi. Data kuantitatif merupakan
fakta dan informasi terkait kebun bayam hidroponik di Serua Farm yang
digunakan diantaranya nilai tingkat dampak risiko, nilai tingkat frekuensi
kejadian dan nilai tingkat deteksi risiko.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode wawancara, kuesioner, observasi dan studi pustaka.
Wawancara dilakukan dengan berkomunikasi dan bertanya kepada informan
yang bekerja di unit produksi serta kepala kebun Serua Farm. Kegiatan ini
dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan dan hal lain
yang terkait. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
identifikasi risiko dan kuesioner penilaian dampak risiko menggunakan
metode House Of Risk (HOR). Kuesioner tersebut digunakan untuk
63
mengetahui risiko apa saja yang dapat terjadi dalam tahap proses produksi
bayam hidroponik dan untuk mengukur nilai prioritas risiko berdasarkan nilai
dampak.
Pada tahap pembuatan skema pembuatan HOR fase 1 di mulai dari
kuesioner pertama terkait dengan informasi profil perusahaan dan identifikasi
risiko korelasi kemunculan penyebab risiko, seperti pengaruh atau dampak
risiko pada proses penenaman, pemeliharaan, pemanenan, pengemasan,
sesuai dengan proses produksi bayam hidroponik di Serua Farm. Hasil dari
kuesioner ini kemudian akan dijadikan acuan dalam pembuatan matriks
instrument penelitian di mana untuk merumuskan variabel penelitian serta
penentuan penyebab risiko dan kejadian risiko.
Observasi dilakukan dengan cara mengamati atau melihat objek yang
diidentifikasi serta terjun langsung mengikuti kegiatan produksi bayam di
Serua Farm. Studi pustaka dalam penelitian ini bersumber dari buku, jurnal
ilmiah dan bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4. Metode Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan dari kuesioner, perlu dilakukan
pengolahan data. Metode pengolahan data pada penelitian ini diantaranya :
1) Seleksi Data
Seleksi data pada penelitian ini yaitu memilih data yang paling relevan dan
sesuai dengan ketentuan pada penelitian ini, seleksi ini bertujuan untuk
mendapatkan data yang valid.
64
2) Tabulasi Data
Data yang didapatkan dari hasil wawancara dan kuesioner kepada
narasumber maka dimasukkan kedalam bentuk tabel. Adanya tabulasi data
berguna untuk memudahkan pengamatan.
3) Coding (Pemberian Kode)
Pada penelitian ini diperlukan adanya coding atau pemberian kode dalam
proses analisis data. Kode merupakan kata pendek yang secara simbolis
dapat meringkas, menangkap inti dari sebuah kata sehingga mendapatkan
kata yang sederhana. Contoh dari coding dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Pemberian Kode Dugaan Penyebab Risiko Produksi Bayam
Hidroponik di Serua Farm
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
A1 Tidak adanya SOP penyemaian secara tertulis
A2 Setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari
A3 Tumbuhnya lumut pada rockwool Sumber : Lampiran 2 kolom 4
Tabel 7. Pemberian Kode Dugaan Kejadian Risiko pada Produksi Bayam
Hidroponik di Serua Farm
Kode Kejadian Risiko (Risk Event)
E5 Benih terbuang percuma
E8 Bayam terjatuh hingga mati
E9 Pertumbuhan semaian menjadi lambat Sumber : Lampiran 2 kolom 5
4) Pengukuran Risiko dan Efektifitas Strategi
Setelah didapatkan data dari penyebaran kuesioner, maka data tersebut
diolah dengan cara menghitung rata-rata dari setiap jawaban narasumber
pada setiap prosesnya. Perhitungan dilakukan dengan bantuan Microsoft
excel 2010.
65
5) Finishing
Finishing merupakan proses akhir dari pengolahan data. Data yang telah
diseleksi, dan dimasukkan kedalam tabulasi data selanjutnya data diolah
dengan menggunakan alat analisis yaitu Diagram Tulang Ikan, House Of
Risk Fase 1, Diagram Pareto dan House Of Risk Fase 2.
3.5. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dengan bantuan Microsoft
excel 2010. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini sebagai
berikut :
3.5.1. Diagram Tulang Ikan
Diagram tulang ikan dapat dibuat dari matriks instrument penelitian.
Matriks instrument penelitian ini akan dijadikan dasar dalam pembuatan
diagram tulang ikan seperti pada Gambar 8 berikut.
Gambar 8. Dugaan Diagram Tulang Ikan Dugaan Kejadian Risiko Produksi
Bayam Hidroponik di Serua Farm tahun 2019
66
Dapat dilihat pada Gambar 8, pada bagian kepala diagram tulang ikan
terdapat masalah utama akibat yang ditimbulkan dari risiko produksi bayam
hidroponik di Serua Farm. Bagian badan diagram tulang ikan terdapat sub
variabel yaitu proses produksi bayam hidroponik di Serua Farm yang terdiri
atas penanaman, pemeliharaan, pemanenan serta pengemasan. Kemudian
pada masing-masing diagram tulang ikan terdapat parameter masing-masing
proses yaitu kegiatan rinci produksi bayam hidroponik, di mana masing-
masing kegiatan tersebut terdapat titik kritis yang menjadi penyebab atau
agen risiko produksi bayam hidroponik.
3.5.2. House of Risk (HOR) Fase 1
Analisis pertama yaitu dengan menggunakan metode House Of Risk
(HOR) fase 1, analisis ini digunakan untuk mengetahui nilai potensial risiko
keseluruhan atau Agregate Risk Potential (ARPj). Data peluang penyebab
risiko (Occurrence) dan tingkat dampak kejadian risiko (Severity) beserta
data korelasi antar keduanya yang telah diperoleh dari kuesioner pada
Lampiran 3a sampai 3j dan dimasukkan pada HOR fase 1 yang dibutuhkan
dalam penelitian ini. Pada penelitian ini tabel HOR fase 1 dibuat dari masing-
masing proses produksi bayam hidroponik yang dilakukan di Serua Farm
yaitu dimulai dari penamanan, pemeliharaan, pemanenan dan pengemasan.
Dalam pengisian kuesioner yang diberikan kepada responden,
kuesioner menggunakan Skala Likert yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 dengan
keterangan (1) Sangat rendah; (2) Rendah; (3) Sedang; (4) Tinggi; dan (5)
Sangat tinggi. Risk Event (Ei) atau kejadian risiko diletakan pada sisi kiri
67
tabel, nilai severity atau tingkat kejadian risiko ditempatkan pada sisi paling
kanan tabel, penyebab risiko atau Risk Agent (Aj) ditempatkan pada sisi atas
tabel. Pada sisi bawah tabel diisi dengan nilai Occurrence of Agent j (Oj),
Aggregate Risk Potential (ARPj) dan Priority Rank of Agent J. Contoh tabel
HOR fase 1 dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Tabel House of Risk Fase 1 Proses Pemeliharaan Bayam Hidroponik
di Serua Farm
Sumber : Lampiran 5c
Severity of Risk (Si) didapatkan dari perhitungan rata-rata
menggunakan Skala Likert yang telah diisi oleh responden pada tabel Risk
Event Lampiran 3a sampai 3e. Sedangkan perhitungan Occurrence of Agent j
didapatkan dari perhitungan rata-rata menggunakan Skala Likert pada
kuesioner yang telah diisi pada tabel Risk Agent Lampiran 3a sampai 3e.
3.5.2.1. Aggregate Risk Potential (ARPj)
Aggregate Risk Potential (ARPj) merupakan perhitungan nilai potensi
risiko keseluruhan yang didapat dari perkalian antara tingkat kemunculan
68
risiko j (Oj) dengan tingkat dampak suatu risiko (Si) dengan hubungan
korelasi antara agen risiko j dengan dampak risiko i (Rij). Adapun
perhitungan ARPj yaitu dengan rumus sebagai berikut :
ARPj = Oj Ʃ Si Rij ................................ (1)
Keterangan :
ARPj = Potensi Risiko Keseluruhan (Aggregate Risk Potential)
Oj = Tingkat Kemunculan Risiko Produksi Bayam Hidroponik
(Occurance Level of Risk) yang didapatkan dari kuesioner
Lampiran 3 (a, b, c, d, e)
Si = Tingkat Dampak suatu Risiko Produksi Bayam Hidroponik
(Severity Level of Risk) yang didapatkan dari kuesioner Lampiran
3 (a, b, c, d, e)
Rij = Hubungan (korelasi) antara agen risiko j dengan risiko i yang
didapatkan dari kuesioner Lampiran 3 (f, g, h, i, j)
3.5.3. Diagram Pareto
Setelah dianalisis menggunakan HOR 1 maka didapatkan nilai ARPj
dari masing-masing penyebab risiko (Aj), selanjutnya dilakukan pemetaan
penyebab kejadian risiko menggunakan diagram pareto dengan perbandingan
80 : 20. Diagram pareto dimaksudkan untuk mengetahui penyebab-penyebab
risiko yang memiliki pengaruh besar bagi perusahaan Serua Farm agar dapat
menentukan strategi pencegahan risiko pada masing-masing proses. Penyebab
risiko yang memiliki persentase kumulatif kurang dari atau sama dengan 80%
69
merupakan penyebab yang memiliki pengaruh yang besar dan akan membuat
kerugian bagi perusahaan.
%Aj = 𝐴𝑅𝑃𝑗
Ʃ𝐴𝑅𝑃𝑗/ 100 ................................... (2)
Keterangan :
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) pada
masing-masing penyebab risiko produksi bayam hidroponik
%Aj = Presentase kumulatif pengaruh penyebab risiko (Aj)
Syarat = Akumulasi penyebab risiko ≤ 80%
Setelah didapatkan presentase kumulatif pengaruh penyebab risiko
dari masing masing risiko maka akan dibuat diagram pareto seperti model
yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Model Diagram Pareto Risiko Produksi Bayam Hidroponik
Berdasarkan pada Gambar 9, diagram pareto yang berbentuk batang
melambangkan nilai potensi risiko keseluruhan (ARPj) dari masing-masing
penyebab risiko (Aj), sedangkan untuk titik hitam menunjukkan presentase
kumulatif dari masing-masing penyebab risiko (Aj), bagian sisi kiri akan
terdapat angka-angka tingkatan nilai ARPj dan pada sisi kanan akan terdapat
Tingkat
ARPj
Penyebab Risiko
Produksi Bayam
hidroponik
Nilai ARPj % Kumulatif
70
angka-angka presentase kumulatif dari masing-masing penyebab risiko (Aj).
Setelah diketahui penyebab risiko yang paling berpengaruh pada proses
produksi bayam di Serua Farm maka dilakukan perumusan strategi
pencegahan risiko dengan kepala kebun, pemilik dan pekerja bagian produksi
Serua Farm.
3.5.4. House of Risk (HOR) Fase 2
Alat analisis ketiga yang digunakan penelitian ini adalah House Of
Risk (HOR) fase 2. Setelah didapatkan agent risiko yang paling menjadi
masalah pada risiko produksi bayam hidroponik dengan diagram pareto,
maka dimasukkan ke dalam tabel House Of Risk (HOR) Fase 2. Contoh tabel
model HOR fase 2 adalah seperti tabel berikut :
Tabel 9. Model HOR Fase 2
To be treated Risk
Agent (aj)
Risk Agent (Aj) Aggregate
Risk
Potentials
(ARP) kj
PA1 PA2 PA3 PA4 PA5
A1 ARP1
A2 PAjk ARP2
A3 ARP3
A4 ARP4
Total Effectivineess of
Action (TEk) TE1 TE2 TE3 TE4 TE5
Degree of Difficulty
Preforming Action (Dk) D1 D2 D3 D4 D5
Effectiveness to
Difficulty Ratio (ETDk) ETD1 ETD2 ETD3 ETD4 ETD5
Rank of Priority R1 R2 R3 R4 R5 Sumber : Ulfah, dkk (2016 : 91)
Keterangan :
Aj = Risk Agent (Penyebab risiko yang sangat berpengaruh terhadap
perusahaan yang diperoleh dari hasil pemetaan diagram pareto 80%)
Dk =Degree of Difficulty Preforming Action (Tingkat kesulitan aksi preventif)
yang didapatkan dari kuesioner Lampiran 4 (a, b, c, d, e)
71
TEk =Total Effectivineess of Action (Total Keefektifan dan tiap aksi preventif)
ETDk = Effectiveness to Difficulty Ratio (Total Kesulitan dan Keefektifan aksi
preventif)
Pajk = Hubungan antara tiap strategi preventif yang dilakukan dengan tiap
agen risiko yang didapatkan dari kuesioner Lampiran 4 (f, g, h, i, j)
PAk = Preventif Action (Strategi preventif yang dilakukan)
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan)
3.5.4.1. Total Effectiviness (TEk)
Nilai Total keefektifan penerapan strategi didapatkan dari hasil
perkalian antara potensi risiko keseluruhan (ARPj) dengan hubungan antara
tiap aksi preventif dengan tiap agen risiko (Ejk). TEk dapat dirumuskan
sebagai berikut :
TEk = Ʃ ARPj Ejk
Keterangan :
TEk = Total Effectiveness (Total Keefektifan) risiko produksi bayam
hidroponik
ARPj = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) risiko
produksi bayam hidroponik
Ejk = Hubungan antara tiap aksi preventif dengan tiap agen risiko pada
risiko produksi bayam hidroponik
3.5.4.2. Effectiveness To Difficulty Ratio (ETDk)
Nilai rasio keefektivan kesulitan tindakan atau strategi pencegahan
(ETDk) diperoleh dari hasil bagi nilai total keefektivan setiap strategi
pencegahan (TEk) dengan derajat atau tingkat kesulitan melakukan strategi
(Dk). Rumus ETDk adalah sebagai berikut :
72
ETDk = TEk / Dk
Keterangan :
ETDk = Efffectiveness To Difficulty ratio (Rasio Keefektivan Kesulitan)
TEk = Total Effectiveness (Total keefektifan dari tiap strategi
pencegahan risiko)
Dk = Tingkat kesulitan untuk melakukan aksi k
Hasi nilai ETDk yang telah didapatkan selanjutnya diurutkan dan
ditulis pada kolom Rank yang menandakan strategi mana yang harus terlebih
dahulu dijalankan untuk mencegah terjadinya kerugian yang ditimbulkan dari
penyebab risiko pada proses produksi bayam hidroponik di Serua Farm di
masa yang akan datang.
73
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan
Kebun Serua Farm adalah kebun pertama yang dimiliki oleh
Hidroponikita dan kini sebagai kebun induk dalam bisnis pertanian
Hidroponikita. Berdiri pada tanggal 15 Januari 2017, dengan luas 1.200 meter
persegi. Kebun Serua Farm mempunyai rak produksi 12.500 lubang tanam,
rak remaja 12.500 lubang tanam, dan persemaian 15.000 tanaman. Kebun
Serua Farm membudidayakan sayuran dengan teknik hidroponik sistem NFT
(Nutrient Film Technique), yaitu pengairan nutrisi pada pipa dilakukan secara
tipis atau dangkal.
Kebun Serua Farm juga ditujukan sebagai tempat kunjungan dan
pembelajaran bagi siapapun, karena difasilitasi dengan ruangan rapat, ruang
serbaguna, perkantoran dan fasilitas lainnya yang bisa mengakomodir
kegiatan tersebut. Selain itu untuk kebutuhan produksi, Serua Farm juga
dilengkapi dengan fasilitas seperti screenhouse, mess karyawan, ruang kantor,
ruang meeting, ruang serbaguna, dan ruang packing pasca panen. Dalam
perjalanan bisnis dibidang penjualan sayuran, Serua Farm sudah memasok ke
berbagai supermarket seperti Navila Hidroponik, The Original, dan Amazing
Farm dan perseorangan. Pembelian bayam hidroponik di Serua Farm dapat
dilakukan dengan cara memesan melalui telepon.
Hidroponikita adalah suatu brand design dari sebuah badan usaha CV.
Usaha Kreasi Madani, yang didirikan pada tahun 2016 oleh Bapak Zulhaq
74
Ramadhan Djatma dan Charlie Tjendapati yang berkedudukan di Jakarta.
Hidroponikita bergerak dalam bidang pengelolaan kebun hidroponik,
pelatihan hidroponik, jasa konsultasi, pengadaan input hidroponik dan jasa
pembuatan instalasi kebun hidroponik. Pada perjalanannya, Hidroponikita
juga telah membangun beberapa kebun plasma untuk menunjang kinerja
produksi kebun induk Serua Farm dibeberapa tempat diantaranya adalah
Bojongsari, Bilabong, Cipayung dan Bintaro. Plasma ini dimiliki baik oleh
perorangan maupun grup, yang berafiliasi dengan kebun Hidrponikita. Mulai
dari pembangunan, perawatan, manajemen kebun, panen dan penjualan,
semua didampingi penuh. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan,
Hidrponikita banyak mengadakan pelatihan, seminar, dan pendampingan bagi
perorangan dan pribadi di masyarakat.
4.2. Visi dan Misi Perusahaan
Visi :
Menjadi perusahaan terdepan dibidang pengembangan dan produksi
dalam pertanian modern di Indonesia, dengan tetap berbasiskan pertanian
yang ramah lingkungan.
Misi :
1) Menjadikan pertanian sebagai suatu sumber hidup dan menghidupkan.
2) Menjadikan pertanian sebagai sarana untuk kemajuan bangsa dan Negara.
3) Menjadikan pertanian sebagai sumber kesejahteraan.
4) Mencetak generasi yang bangga akan pertanian.
75
4.3. Struktur Organisasi Serua Farm
Struktur organisasi merupakan susunan dan hubungan antara tiap
bagian serta posisi pada suatu organisasi atau perusahaan untuk mencapai
tujuan dalam menjalankan kegiatan operasional. Selain itu struktur organisasi
menunjukkan pola hubungan orang yang mempunyai kedudukan, tugas,
wewenang serta tanggung jawab yang berbeda-beda. Dengan adanya struktur
organisasi, suatu perusahaan dapat berjalan dengan baik dan dapat
menjalankan tugasnya masing-masing dengan jelas dan bertanggung jawab.
Serua Farm sudah memiliki struktur organisasi walaupun masih bersifat
sederhana. Adapun struktur organisasi Serua Farm, dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Struktur Organisasi di Serua Farm Sumber : Serua Farm (2019)
Tenaga kerja merupakan seluruh sumber daya manusia pada perusahaan
yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan kegiatan operasional kebun.
Tenaga kerja di Serua Farm berjumlah 4 orang yaitu sebagai kepala kebun,
penanggung jawab penyemaian, penanggung jawab screenhouse dan
penanggung jawab produksi. Proses perekrutan tenaga kerja tersebut tidak
mementingkan latar belakang pendidikan, yang terpenting pekerja tersebut
Kepala Kebun
Charlie Tjendapati
Penanggung Jawab
Penyemaian
Een Jaenah
Penanggung Jawab
Screenhouse
Rafika Putri W.
Penanggung Jawab
Produksi
Dian Ardiansyah
76
memiliki sifat tekun, disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Berikut adalah
uraian mengenai tugas dan wewenang dari struktur organisasi kebun Serua
Farm :
1) Kepala Kebun
Bertanggung jawab terhadap operasional kebun, membuat deskripsi
pekerjaan terhadap karyawan, menentukan target produksi dan layout
kebun, merekap hasil panen serta memastikan karyawan bekerja sesuai
dengan job description mereka.
2) Penanggung Jawab Penyemaian
Bertanggung jawab terhadap persediaan input penyemaian, melaksanakan
proses penyemaian, membuat laporan terhadap kepala kebun dan
bertanggung jawab melakikan sortasi saat panen.
3) Penanggung Jawab Screenhouse
Bertanggung jawab untuk memindahkan tanaman dari tahap semai ke
tahap remaja, mengukur kadar nutrisi tanaman dan pH air, memeriksa
saluran inlet, menjaga kebersihan tendon nutrisi dan pipa serta melakukan
packing saat panen.
4) Penanggung Jawab Produksi
Bertanggung jawab untuk memindahkan tanaman dari tahap remaja ke
tahap produksi, membuat estimasi dan jadwal panen serta melakukan
sortasi dan packing saat panen.
Selain memiliki tugas dan wewenang masing-masing yang telah
ditentukan, seluruh tenaga kerja di kebun Serua Farm bertanggung jawab
77
dalam perawatan tanaman dan kebersihan kebun. Perawatan tanaman meliputi
pengendalian hama dan penyakit, penyemprotan pestisida organik dan pupuk
organik cair.
4.4. Produk Sayur Hidroponik Serua Farm
Serua Farm pada awalnya memliki tiga produk yaitu bayam merah,
bayam hijau dan kailan. Ketiga produk tersebut diproduksi di kebun yang
sama di Serua Farm. Namun saat ini, Serua Farm tidak lagi membudidayakan
kailan karena menurut penuturan pemilik, permintaan akan kailan yang
masuk sedikit. Oleh karena permintaan yang sedikit itu, Serua Farm
memutuskan untuk lebih fokus ke bayam hijau saja, karena permintaan
bayam hijau sendiri cukup banyak tetapi Serua Farm masih belum bisa
memenuhi permintaan tersebut. Harga jual produk bayam merah dan hijau per
packnya adalah sebesar Rp. 5000 dengan berat satu pack sebesar 250gr.
4.5. Proses Produksi Sayur Bayam Hidroponik di Serua Farm
Proses produksi sayur bayam hidroponik di Serua Farm meliputi proses
penyemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengemasan. Setiap
proses produksi dan penanganannya memiliki perannya masing-masing dalam
menghasilkan kualitas bayam yang baik. Gambar 11 menunjukkan alur proses
produksi bayam hidroponik di Serua Farm, dimana alur proses produksi
dilambangkan dengan tanda panah dan proses produksi dilambangkan dengan
78
kotak persegi, sedangkan hasil produksi digambarkan dengan lingkaran.
Proses produksi bayam hidroponik di awali dengan proses penyemaian,
penanaman, lalu dilanjutkan dengan proses pemeliharaan, proses pemanenan
dan proses pengemasan yang semuanya dilakukan oleh pekerja yang bekerja
di Serua Farm dan akhirnya menghasilkan bayam hidroponik yang siap untuk
dijual kepasaran.
Gambar 11. Alur Proses Produksi Bayam Hidroponik di Serua Farm
Keterangan :
= Proses Produksi
= Alur Proses Produksi
= Hasil Produksi
Penyemaian adalah proses awal dari budidaya tanaman. Penyemaian
sayur hidroponik tidak jauh berbeda dengan penyemaian sayur pada
umumnya. Media semai yang digunakan untuk budidaya bayam secara
hidroponik di Serua Farm yaitu menggunakan rockwool. Sebelum melakukan
penyemaian, rockwool dipotong-potong terlebih dahulu dengan ukuran
panjang 30 cm, lebar 3 cm dan diberi garis bantu potong setiap 3 cm agar
memudahkan proses pemindahan ke rak peremajaan. Rockwool yang telah
dipotong kemudian direndam selama beberapa saat dengan menggunakan
antracol yang bertujuan untuk meminimalisir benih bayam yang berkecambah
Penanaman Pemeliharaan
Pemanenan
Pengemasan
Bayam
hidroponik
siap dijual
Penyemaian
79
mengalami busuk batang. Setelah rockwool dipotong dan direndam, rockwool
diberi garis menggunakan sendok garpu dengan tujuan sebagai tempat
meletakan benih bayam yang akan disemai nantinya.
Penyemaian di Serua Farm dilakukan pada pagi hari. Hasil dari
persemaian ditutup rapat menggunakan plastik hitam atau mulsa agar tidak
ada cahaya yang masuk mengenai benih yang sedang disemai. Persemaian
bayam biasanya dilakukan sekitar 2 hari sekali yaitu pada hari selasa, kamis,
dan sabtu. Dalam sekali penyemaian untuk bayam hijau adalah sebanyak
1.500 lubang tanam dan untuk bayam merah sebanyak 1.200 lubang tanam.
Umur semaian bekisar antara 10-14 hari sebelum akhirnya masuk pada fase
peremajaan dan dipindahkan ke dalam screenhouse.
Pada proses penanaman, tanaman yang dipindahkan ke rak peremajaan
adalah tanaman yang telah berumur 14 hari setelah semai dengan ciri-ciri
tanaman memiliki 4 helai daun. Pada proses pemindahan ke rak peremajaan,
dilakukan dengan memotong rockwool sesuai garis bantu potong, kemudian
memindahkan semaian tersebut kedalam tiap lubang di rak peremajaan.
Tanaman bayam yang telah berusia 21 hari kemudian dipindahkan
menuju rak produksi. Tanaman diseleksi kembali dan dipilih bayam mana
yang sehat sebelum masuk kedalam rak pembesaran atau rak produksi.
Pemeliharaan yang dilakukan di Serua Farm meliputi pemeriksaan instalasi,
pengontrolan nutrisi, pengendalian hama dan penyakit, pemeriksaan kondisi
tanaman, sanitasi kebun dan pembersihan instalasi serta pembersihan netpot
setelah panen.
80
Proses pemanenan bayam di Serua Farm dilakukan pada pagi dan sore
hari ketika cahaya matahari tidak terlalu terik. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kemungkinan bayam menjadi cepat layu atau mudah rusak.
Tanaman bayam yang siap panen adalah tanaman bayam yang sudah berumur
28-30 hari setelah semai. Pemanenan dilakukan setiap hari senin, rabu dan
jumat. Bayam dipanen dengan cara mencabut bayam dari netpot kemudian
dimasukan ke dalam keranjang untuk segera dibawa menuju ruang sortasi dan
pengemasan.
Setelah dipanen, bayam kemudian disortasi dengan cara membuang
bagian tanaman terutama pada bagian daun yang berlubang, berwarna kuning
akibat serangan dari hama dan penyakit. Lalu bayam dikeringkan dengan cara
diletakan di atas meja dan diangin-anginkan menggunakan kipas angin besar.
Pengeringan dilakukan agar kandungan air didalam rockwool tidak terlalu
banyak, karena dapat mengakibatkan tanaman mudah ditumbuhi jamur atau
bahkan busuk pada saat pengemasan. Bayam yang telah kering selanjutnya
akan dilakukan proses sortasi untuk memisahkah bayam dengan kualitas yang
baik atau tidak ada cacat seperti memar, busuk, atau daun berlubang.
Tanaman yang sudah melewati proses sortasi kemudian segera dikemas
dengan menyertakan akar yang masih menempel pada rockwool untuk
mengurangi penguapan yang berlebih sehingga dapat memperpanjang usia
simpan.
81
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN IDENTIFIKASI DAN PEMETAAN RISIKO
5.1. Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko adalah langkah pertama untuk menganalisis risiko
yang akan terjadi. Pada penelitian ini, identifikasi risiko didapatkan
berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat proses produksi bayam
hidroponik di Serua Farm dan hasil wawancara dan kuisioner putaran
pertama kepada para pekerja, dimulai dari proses penyemaian, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan serta pengemasan dan dengan melakukan
brainstrorming atau curah pendapat dengan pekerja di Serua Farm.
Identifikasi risiko dilakukan dengan menggunakan diagram tulang ikan atau
fish bone seperti pada Gambar 11.
Bagian pangkal badan tulang ikan terdapat sub variabel pada
penelitian yaitu proses produksi bayam hidroponik yang berada di Serua
Farm diantaranya penyemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan
pengemasan. Kemudian pada masing-masing tulang merupakan kegiatan
yang menjadi bagian dari masing-masing proses produksi bayam hidroponik.
Dimana pada masing-masing tulang tersebut terdapat titik kritis yang menjadi
penyebab atau agen risiko dari proses produksi bayam hidroponik,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Pada proses penyemaian terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat
terjadinya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bayam
hidroponik yaitu semaian.
82
2) Pada penanaman terdapat empat kegiatan yang menjadi tempat terjadinya
titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bayam hidroponik
diantaranya adalah paramaeter lingkungan, rak pembesaran, pentingnya
air, dan screenhouse pembibitan.
3) Pada proses pemeliharaan terdapat tiga kegiatan yang menjadi tempat
terjadinnya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bayam
hidroponik, yaitu pengecekan selang, sanitasi dan tenaga kerja.
4) Pada proses pemanenan terdapat satu kegiatan yang menjadi tempat
terjadinnya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bayam
hidroponik yaitu standar kualitas, waktu panen dan umur panen.
5) Pada proses pengemasan terdapat dua kegiatan yang menjadi tempat
terjadinnya titik kritis penyebab atau agen risiko produksi bayam
hidroponik, yaitu mempertahankan kualitas dan penyimpanan.
Pada bagian kepala tulang ikan terdapat akibat yang ditimbulkan dari
kemungkinan penyebab atau agen risiko yang terjadi yaitu kejadian risiko
produksi bayam hidroponik di Serua Farm. Berdasarkan proses produksi di
Serua Farm terdapat 23 agen penyebab risiko diantaranya 3 agen penyebab
risiko pada proses penyemaian, 6 agen penyebab risiko pada proses
penanaman, 5 agen penyebab risiko pada proses pemeliharaan, 4 agen
penyebab risiko pada proses pemanenan, dan 5 agen penyebab risiko pada
proses pengemasan.
83
Gambar 12. Identifikasi Sumber Risiko dengan Metode Fish Bone pada Produksi Bayam Hidroponik di Serua Farm tahun 2019
Sumber : Lampiran 2
84
5.1.1. Identifikasi Kejadian Risiko
Berdasarkan kejadian risiko yang dilakukan dengan metode fish bone
pada setiap proses produksi bayam hidroponik diketahui titik kritis dari
masing-masing proses. Titik kritis dari masing-masing proses yaitu terdapat 22
kejadian risiko atau Risk Event (E1) yaitu 3 kejadian risiko pada proses
penyemaian, 6 kejadian risiko pada proses penanaman, 5 kejadian risiko pada
proses pemeliharaan, 4 kejadian risiko pada proses pemanenan dan 4 kejadian
risiko pada proses pengemasan.
5.1.1.1. Identifikasi Kejadian Risiko pada Proses Penyemaian
Pada proses penanaman terdapat 3 kejadian risiko atau Risk Event
(E1). Kejadian risiko pada proses penyemaian dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses Penyemaian
di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Risk Event (E1)
Penyemaian E1 Benih terbuang percuma
E2 Bayam terjatuh hingga mati
E3 Pertumbuhan semaian menjadi lambat
Adapun keterangan dari masing-masing kejadian risiko adalah sebagai
berikut :
1) Benih terbuang percuma
Tidak adanya SOP tertulis tentang penyemaian bayam di Serua Farm,
membuat kegiatan penyemaian, khususnya pada saat menanam benih di
rockwool tidak seragam. Pemberian jumlah benih yang tidak sama ini akan
mengakibatkan benih terbuang percuma pada akhirnya, karena pada saat
dipindahkan ke fase selanjutnya rockwool yang memiliki benih yang
terlalu banyak akan dicabut sebagian agar dapat tumbuh optimal.
85
2) Bayam terjatuh hingga mati
Benih bayam yang tidak diletakan ditempat teduh atau tanpa atap, akan
rentan jatuh ketika ada angin atau hujan sehingga benih bayam yang jatuh
tersebut mati.
3) Pertumbuhan semaian menjadi lambat
Apabila bayam pada masa penyemaian lambat dipindahkan ke fase
selanjutnya maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya lumut pada
rockwool. Adanya lumut ini akan membuat semaian bayam tidak dapat
menyerap nutrisi dengan optimal. Sehingga pertumbuhan semaian bayam
akan menjadi lambat dan kerdil.
5.1.1.2. Identifikasi Kejadian Risiko pada Proses Penanaman
Pada proses penanaman terdapat 6 kejadian risiko atau Risk Event
(E1). Kejadian risiko pada proses penanaman dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses Penanaman
di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Risk Event (E1)
Penanaman E4 Tanaman menjadi layu
E5 Tanaman menjadi mudah busuk dan berjamur
E6 Tanaman bayam terbakar pada bagian daun
E7 Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga
membusuk
E8 Tanaman mudah terserang hama dan pathogen
E9 Tanaman menjadi tumpang tindih
Adapun keterangan dari masing-masing kejadian risiko adalah sebagai
berikut :
1) Tanaman menjadi layu
Suhu lingkungan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan pada
proses penanaman sayur hidroponik. Suhu udara di Serua Farm melebihi
86
30°C setiap harinya. Hal tersebut membuat sayur bayam menjadi layu
disiang hari, beberapa bayam akan kembali segar di sore hari namun tak
sedikit pula yang tetap layu.
2) Tanaman menjadi mudah busuk dan berjamur
Kelembapan udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan bayam mudah
busuk serta terserang jamur dan damping off (rebah semai) dimana gejala
yang ditimbulkannya ditandai dengan bercak basah cokelat kehitaman
dipangkal batang yang menyebabkan rebah dan layu (Wahyudi, 2010:24).
3) Tanaman bayam terbakar pada bagian daun
Pada Serua Farm, memiliki intensitas cahaya yang terlalu tinggi sehingga
tanaman bayam sangat rentan terbakar pada bagian daunnya. Hal ini
menyebabkan beberapa tanaman bayam akan terbakar atau gosong yang
kemudian akan mempengaruhi kualitas bayam yang diproduksi di Serua
Farm.
4) Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga membusuk
Suhu air nutrisi yang terlalu panas dapat menyebabkan tanaman bayam
tidak mampu menyerap air nutrisi dengan baik, sehingga akan
mempengaruhi kualitas bayam itu sendiri. Suhu yang cukup tinggi pada
larutan nutrisi dapat menyebabkan tingkat oksigen terlarut menurun dan
akan menghambat pertumbuhan tanaman. Keberadaan oksigen dalam
sistem hidroponik sangat penting untuk respirasi dan tenaga dalam
penyerapan nutrisi oleh akar. Kegagalan respirasi akar akan
87
mengakibatkan akar gagal menyerap air dan unsur hara sehingga akhirnya
tanaman menjadi membusuk (Sutanto, 2015 : 42).
5) Tanaman mudah terserang hama dan pathogen
Tanaman sayuran rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Selain itu,
sayur yang terkena penyakit atau terserang hama akan mudah mencemari
ke tanaman lain, apabila tidak segera dipisahkan atau disiasati dengan
membuat perangkap hama.
6) Tanaman menjadi tumpang tindih
Menanam bayam dengan jarak antar lubang tanam terlalu dekat akan
menyebabkan tanaman bayam menjadi tumpang tindih sehingga bayam
tidak dapat tumbuh membesar dengan baik karena tidak memiliki cukup
ruang untuk tumbuh. Normalnya jarak antar lubang ke lubang lain untuk
tanaman bayam adalah 15cm - 20cm.
5.1.1.3. Identifikasi Kejadian Risiko pada Proses Pemeliharaan
Pada proses pemeliharaan terdapat 5 kejadian risiko atau Risk Event
(E1). Kejadian risiko pada proses penanaman terdapat pada Tabel 12.
Tabel 12. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Pemeliharaan di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Risk Event (E1)
Pemeliharaan E10 Tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman mati
atau kerdil
E11 Air nutrisi tidak lancar karena terhambat oleh lumut,
tanaman kekurangan nutrisi
E12 Hama dan penyakit bersarang di sekitar rak produksi
E13 Hama dan penyakit menular ke tanaman lainnya
E14 Persaingan kebutuhan air, nutrisi dan cahaya
Adapun keterangan dari masing-masing kejadian risiko adalah sebagai
berikut :
88
1) Tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman mati atau kerdil
Budidaya tanaman secara hidroponik merupakan budidaya yang tanpa
menggunakan media tanah sebagai media tanamnya, oleh karenanya
tanaman bayam hidroponik perlu dialiri air nutrisi selama 24 jam agar
masa pertumbuhan bayam hidroponik akan optimal dan tidak berpotensi
menjadi tanaman bayam kerdil akibat kekurangan pasokan nutrisi yang
masuk.
2) Air nutrisi tidak lancar karena terhambat oleh lumut, tanaman kekurangan
nutrisi
Tanaman bayam hidropnik sangat membutuhkan larutan air nutrisi untuk
pertumbuhannya, namun baik lubang gully paralon maupun selang drip
yang mengaliri air nutrisi tersebut sangat rentan dengan tumbuhnya lumut,
sehingga akan membuat aliran nutrisi ke bayam menjadi tidak lancar atau
terhambat.
3) Hama dan penyakit bersarang di sekitar rak produksi
Tidak hanya pada budidaya tanaman secara konvensional, tanaman yang
dibudidayakan secara hidroponik juga rentan terserang hama dan penyakit.
Hama dan penyakit tersebut dapat masuk dan bersarang di tanaman yang
tidak diproduksi yang berada disekitar kebun tersebut, baik di dalam
maupun di luar kebun hidroponik.
4) Hama dan penyakit menular ke tanaman lainnya
Penularan hama dan penyakit ke tanaman bayam lain terjadi karena
pekerja kurang memperhatikan dan mengecek secara rutin tanaman bayam
89
hidroponik. Sehingga ketika satu tanaman bayam hidroponik yang terkena
penyakit lambat dipisahkan maka akan berpotensi menularkan penyakit ke
tanaman bayam yang lain.
5) Persaingan kebutuhan air, nutrisi, dan cahaya
Kebutuhan air, nutrisi dan cahaya yang cukup sangat penting bagi sayuran
hidroponik, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara optimal maka
tanaman bayam akan tumbuh kecil dan kerdil karena bersaing dengan
tanaman lain. Untuk menghindari hal tersebut maka pada satu lubang
tanam seharusnya hanya tumbuh tanaman sayuran yang diproduksi yaitu
bayam hijau.
5.1.1.4. Identifikasi Kejadian Risiko pada Proses Pemanenan
Pada proses pemeliharaan terdapat 4 kejadian risiko atau Risk Event
(E1). Kejadian risiko pada proses pemanenan terdapat pada Tabel 13.
Tabel 13. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses Pemanenan
di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Risk Event (E1)
Pemanenan E15 Tanaman saat diambil akan mudah sobek daunnya
E16 Bayam tidak layak panen akan mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas
E17 Tanaman bayam tidak seragam
E18 Bayam menjadi cepat busuk karena terjadi respirasi
Adapun keterangan dari masing-masing kejadian risiko adalah sebagai
berikut :
1) Tanaman saat diambil akan mudah sobek daunnya
Peletakan bayam yang sudah dipanen ke dalam container box, perlu
diperhatikan. Penataan yang salah, akan membuat bayam yang sudah
dipanen mudah rusak atau sobek daunnya ketika diambil untuk dikemas.
90
2) Bayam tidak layak panen akan mempengaruhi bayam lainnya apabila
dikemas
Proses sortasi dibutuhkan agar bayam yang tidak layak panen tidak
tercampur dengan bayam yang berkualitas baik. Hal ini perlu diperhatikan
karena jika tidak dilakukan maka pada saat pengemasan, bayam yang tidak
layak panen tersebut akan mempengaruhi kualitas bayam lain.
3) Tanaman bayam tidak seragam
Tanaman bayam yang dipanen sebelum waktu panen atau umur panen,
kualitasnya akan berbeda dengan bayam yang dipanen yang sudah
mencapai masa panennya. Jika bayam di panen sebelum waktunya maka
ukuran bayam akan tidak seragam, hal ini dapat terlihat jelas jika bayam
tersebut sudah dikemas. Selain itu, apabila bayam dipanen pada siang hari
akan menyebabkan bayam layu dan tidak segar, sehingga harus
memperhatikan waktu pemanenan.
4) Bayam menjadi cepat busuk karena terjadi respirasi
Sayuran bayam merupakan sayuran dengan tingkat respirasi yang tinggi
mencapai 40-70 mL CO2/kg-h sehingga rentan dengan penurunan kualitas.
Kualitas bayam hidroponik yang telah dihasilkan akan menjadi sia-sia
apabila tidak dipertahankan dengan penanganan pasca panen yang tepat.
Bayam akan menjadi mudah busuk ketika tidak langsung diletakan
diruangan pendingin.
91
5.1.1.5. Identifikasi Kejadian Risiko pada Proses Pengemasan
Pada proses pemeliharaan terdapat 4 kejadian risiko atau Risk Event
(E1). Kejadian risiko pada proses pengemasan terdapat pada Tabel 14.
Tabel 14. Daftar Kejadian Risiko atau Risk Event (E1) pada Proses
Pengemasan di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Risk Event (E1)
Pengemasan E19 Bayam dengan kondisi yang rusak dapat masuk
kedalam kemasan
E20 Bayam menjadi rusak saat dikemas
E21 Bayam menjadi mudah busuk / lembek
E22 Bayam menjadi tidak segar dan mudah layu
Adapun keterangan dari masing-masing kejadian risiko adalah sebagai
berikut :
1) Bayam dengan kondisi yang rusak dapat masuk kedalam kemasan
Dalam satu kemasan, seharusnya berisi bayam dengan kualitas dan kondisi
bayam yang baik. Dengan tidak adanya proses sortasi yang baik maka
akan ada kemungkinan bayam dengan kondisi yang tidak layak seperti
permukaan daun yang sobek masuk kedalam kemasan. Hal ini dilakukan
agar bayam yang dikemas tersebut lebih bagus atau lebih indah dipandang
oleh konsumen sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk
membeli bayam tersebut.
2) Bayam menjadi rusak saat dikemas
Pengemasan bayam perlu dilakukan dengan ketelitian dan kehati-hatian
pekerja agar bayam yang dimasukan kedalam kemasan tidak rusak karna
bayam yang rentan sobek. Oleh karenanya pekerja tidak boleh asal
memasukan sayur bayam ke dalam kemasan untuk menghindari kerusakan
pada bayam dan mempengaruhi kualitas baya yang dikemas.
92
3) Bayam menjadi mudah busuk atau lembek
Permukaan daun bayam hidroponik harus dikeringkan terlebih dahulu
sebelum dikemas, apabila bayam yang masih basah dikemas maka bayam
tersebut akan lembab dan mudah busuk sebelum sampai ke tangan
konsumen.
4) Bayam menjadi tidak segar dan mudah layu
Sebelum distribusikan, agar bayam tetap segar dan tidak layu maka bayam
yang sudah dikemas sebaiknya diletakan diruangan pendingin.
5.1.2. Identifikasi Penyebab Risiko
Berdasarkan proses produksi bayam hidroponik di Serua Farm terdapat
23 penyebab risiko, diantaranya 3 penyebab risiko pada proses penyemaian, 6
penyebab risiko pada proses penanaman, 5 penyebab risiko pada proses
pemeliharaan, 4 penyebab risiko pada proses pemanenan, 5 penyebab risiko
pada proses pengemasan.
5.1.2.1. Identifikasi Penyebab Risiko pada Proses Penyemaian
Pada penanaman terdapat 3 penyebab risiko atau Risk Agent (Aj)
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 menjelaskan 3 penyebab
risiko yang terjadi pada proses penyemaian, dimana tiap masing-masing
penyebab risiko diberikan kode dimulai dari A1 hingga A3.
Tabel 15. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Penyemaian di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Penyemaian A1 Tidak adanya SOP penyemaian secara tertulis
A2 Setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh
atau tidak terkena sinar matahari
A3 Tumbuhnya lumut pada rockwool
93
Adapun keterangan dari masing-masing penyebab risiko adalah
sebagai berikut :
1) Tidak adanya SOP penyemaian secara tertulis
Dalam proses penyemaian, pekerja memerlukan SOP tertulis tentang
penyemaian bayam dan ketentuan dalam jumlah benih yang disemai pada
tiap rockwool di Serua Farm. Hal ini diperlukan agar penyemaian benih
yang ditanam seragam, selain itu pekerja tidak perlu lagi mencabut
semaian bayam yang tumbuh berlebih.
2) Setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau tidak terkena
sinar matahari
Benih bayam yang telah disemai sebaiknya diletakan ditempat teduh atau
tempat yang beratap. Hal ini dikarenakan apabila benih diletakan ditempat
terbuka maka benih akan rentan jatuh ketika ada angin atau hujan sehingga
benih bayam yang jatuh tersebut akan mati.
3) Tumbuhnya lumut pada rockwool
Banyaknya lumut yang tumbuh pada rockwool akan membuat semaian
bayam tumbuh kerdil dan tidak dapat tumbuh dengan baik karena tidak
dapat menyerap air nutrisi secara optimal.
5.1.2.2. Identifikasi Penyebab Risiko pada Proses Penanaman
Pada penanaman terdapat 6 penyebab risiko atau Risk Agent (Aj)
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menjelaskan 6 penyebab
risiko yang terjadi pada proses penanaman, dimana tiap masing-masing
penyebab risiko diberikan kode dimulai dari A4 hingga A9.
94
Tabel 16. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses Penanaman
di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Penanaman A4 Suhu udara melebihi 30° C
A5 Kelembapan udara tinggi
A6 Intensitas cahaya matahari terlalu tinggi
A7 Suhu air melebihi 25° C
A8 Tidak ada yellow trap pada screenhouse
A9 Jarak antar lubang tanam kurang dari 15 cm
Adapun keterangan dari masing-masing penyebab risiko adalah
sebagai berikut :
4) Suhu udara melebihi 30° C
Setiap harinya suhu udara di Serua Farm dapat melebihi 30°C, yaitu
sekitar 30°C-35°C. Suhu udara yang terlalu panas akan membuat tanaman
bayam hidroponik menjadi layu dan permukaan daun dapat terbakar
sehingga mengurangi kualitas bayam hidroponik yang dihasilkan.
5) Kelembapan udara tinggi
Kelembapan udara yang terlalu tinggi pada musim penghujan dapat
membuat lingkungan sekitar screenhouse rentan dimasuki oleh hama dan
penyakit. Bayam akan mudah busuk serta terserang jamur dan tidak
tumbuh dengan baik. Kelembapan udara merupakan satu faktor
keberhasilan hidroponik, kondisi relative humidity (RH) yang optimal
untuk budidaya tanaman hidroponik adalah sekitar 70% (Susilawati, 2015
: 131).
6) Intensitas cahaya matahari terlalu tinggi
Intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi akan membuat permukaan
daun bayam hidroponik menjadi terbakar karna panas bahkan bayam dapat
mati.
95
7) Suhu air melebihi 25° C
Suhu lingkungan yang terlalu tinggi akan mempengaruhi air nutrisi yang
untuk dialirkan ke tiap instalasi rak budidaya. Apabila suhu air terlalu
panas tanaman bayam tidak dapat tumbuh dengan baik karena tidak
mampu menyerap air nutrisi secara optimal.
8) Tidak ada yellow trap pada screenhouse
Jebakan hama dengan menggunakan papan atau botol plastik berwarna
kuning yang telah diberi lem terlebih dahulu, bertujuan untuk menarik
hama datang dan menjebaknya. Serua Farm memiliki beberapa yellow
trap untuk perangkap hama namun jumlahnya tidak cukup banyak,
sehingga serangga atau hama masih bisa masuk kedalam screenhouse.
9) Jarak antar lubang tanam kurang dari 15 cm
Jarak antar lubang tanam ke lubang lain normalnya adalah sebesar 15 cm
untuk rak pendewasaan atau rak produksi namun di Serua Farm hanya
berjarak sekitar 10 cm saja sehingga membuat jarak tanam menjadi terlalu
dekat dan tanaman menjadi tumpang tindih.
5.1.2.3. Identifikasi Penyebab Risiko pada Proses Pemeliharaan
Pada pemeliharaan terdapat 5 penyebab risiko atau Risk Agent (Aj)
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 menjelaskan 5 penyebab
risiko yang terjadi pada proses pemeliharaan, dimana tiap masing-masing
penyebab risiko diberikan kode dimulai dari A10 hingga A14.
96
Tabel 17. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Pemeliharaan di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Pemeliharaan A10 Aliran air nutrisi dimatikan pada malam hari
A11 Tenaga kerja kurang melakukan kontrol selang drip
sehingga terdapat lumut
A12 Tenaga kerja malas dalam melakukan sanitasi
A13 Tenaga kerja kurang memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit
A14 Tenaga kerja membiarkan bayam merah dan bayam
hijau tumbuh dalam satu netpot
Adapun keterangan dari masing-masing penyebab risiko adalah
sebagai berikut :
1) Aliran air nutrisi dimatikan pada malam hari
Tanaman bayam hidroponik perlu dialiri air nutrisi selama 24 jam agar
pertumbuhan bayam hidroponik akan optimal. Apabila aliran air nutrisi
dimatikan pada malam hari dan berpotensi menjadi tanaman bayam
kerdil.
2) Tenaga kerja kurang melakukan kontrol selang drip sehingga terdapat
lumut
Selang drip yang terdapat lumut atau sisa-sisa daun atau akar bayam
hidroponik akan menghambat air nutrisi yang dialirkan. Selang drip harus
diperiksa secara berkala oleh para pekerja setiap harinya, oleh karenanya
para pekerja harus disiplin dan rajin memeriksa selang drip disetiap rak
budidaya.
3) Tenaga kerja malas dalam melakukan sanitasi
Tenaga kerja yang lalai dan malas melakukan sanitasi akan membuat
lingkungan baik disekitar screenhouse maupun di rak pembudidayaan
97
akan menjadi sarang hama yang kemudian dapat menyerang tanaman
bayam hidroponik.
4) Tenaga kerja kurang memperhatikan adanya tanaman yang rusak atau
terkena penyakit
Tanaman bayam hidroponik rentan terkena serangan penyakit dan hama,
apabila tidak segera dipisahkan maka akan berpotensi menyerang tanaman
bayam yang lain.
5) Tenaga kerja membiarkan bayam merah dan bayam hijau tumbuh dalam
satu netpot
Tanaman bayam hijau dan merah dalam satu netpot sebaiknya dicabut atau
dipisahkan agar tidak terjadi persaingan kebutuhan air nutrisi dan cahaya
matahari. Pekerja harus memeriksa setiap rak pembudidayaan untuk
memastikan tidak adanya netpot yang tercampur antara bayam merah dan
bayam hijau.
5.1.2.4. Identifikasi Penyebab Risiko pada Proses Pemanenan
Pada pemanenan terdapat 4 penyebab risiko atau Risk Agent (Aj)
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 menjelaskan 4 penyebab
risiko yang terjadi pada proses pemanenan, dimana tiap masing-masing
penyebab risiko diberikan kode dimulai dari A15 hingga A18.
98
Tabel 18. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses Pemanenan
di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Pemanenan A15 Tata letak pemanenan dilakukan dengan wadah akar
berada dibawah
A16 Tidak adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas
bayam
A17 Umur bayam dipanen sebelum waktu panen
A18 Hasil tidak langsung diletakan diruang pendingin
Adapun keterangan dari masing-masing penyebab risiko adalah
sebagai berikut :
1) Tata letak pemanenan dilakukan dengan wadah akar berada dibawah
Tata letak bayam yang sudah dipanen ke dalam container box di Serua
Farm diletakan dengan posisi bayam tidak beraturan. Posisi atas dan posisi
bawah bayam atau akar yang diletakan tidak diseragamkan pada wadah
panen atau container box akan mengakibatkan adanya risiko daun atau
batang bayam patah dan sobek ketika diambil untuk dimasukan kedalam
kemasan.
2) Tidak adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas bayam
Dalam proses pemanenan, para pekerja memerlukan pengetahuan lebih
terkait bayam mana yang sudah siap panen tidak hanya dengan
mengandalkan ingatan saja. Tidak adanya SOP tertulis terkait dengan
proses pemanenan akan membuat para pekerja melakukan kegiatan
pemanenan secara asal.
3) Umur bayam dipanen sebelum waktu panen
Bayam yang dipanen sebelum waktunya dapat mempengaruhi kualitas
bayam lainnya ketika dikemas. Hal ini karena ukuran bayam yang dipanen
menjadi tidak seragam.
99
4) Hasil tidak langsung diletakkan diruang pendingin
Bayam yang sudah dipanen sebelum dikemas terlebih dahulu dianginkan
lalu kemudian diletakan di ruangan pendingin agar bayam tidak menjadi
mudah busuk.
5.1.2.5. Identifikasi Penyebab Risiko pada Proses Pengemasan
Pada pengemasan terdapat 5 penyebab risiko atau Risk Agent (Aj)
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menjelaskan 5 penyebab
risiko yang terjadi pada proses pengemasan, dimana tiap masing-masing
penyebab risiko diberikan kode dimulai dari A19 hingga A23.
Tabel 19. Daftar Penyebab Risiko atau Risk Agent (Aj) pada Proses
Pengemasan di Serua Farm Tahun 2019
Area Kode Penyebab Risiko (Risk Agent)
Pengemasan A19 Tidak ada proses sortasi
A20 Tenaga kerja lalai dalam melakukan pengemasan
A21 Permukaan daun dan batang bayam masih basah
A22 Tidak menggunakan ruangan pendingin untuk
menyimpan bayam yang telah dikemas
A23 Tidak ada SOP pengemasan bayam
Adapun keterangan dari masing-masing penyebab risiko adalah
sebagai berikut :
1) Tidak ada proses sortasi
Proses sortasi pada pengemasan bayam diperlukan agar bayam hidroponik
yang dikemas menjadi lebih rapi tidak tercampur dengan bayam yang
kondisi fisiknya tidak layak sehingga akan menarik konsumen untuk
membeli.
2) Tenaga kerja lalai dalam melakukan pengemasan
Pekerja yang terburu-buru pada saat kegiatan pengemasan akan membuat
bayam menjadi lebih rentan sobek atau patah pada bagian batangnya.
100
Tentunya hal ini akan menyebabkan berkurangnya bayam layak dikemas
yang pada akhirnya akan merugikan Serua Farm.
3) Permukaan daun dan batang bayam masih basah
Permukaan daun bayam hidroponik setelah dipanen dan diletakan di
container box biasanya akan menyebabkan daun bayam menjadi basah.
Bayam yang telah dipanen sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu dengan
meletakan di rak pengering dan dikeringkan dengan menggunakan kipas
besar atau dengan meletakan bayam hidroponik tersebut ke ruangan
pendingin.
4) Tidak menggunakan ruangan pendingin untuk menyimpan bayam yang
telah dikemas
Penyimpanan bayam hidroponik yang sudah dikemas harus segera
diletakan kedalam ruangan pendingin. Ruangan pendingin yang baik
adalah ruangan dengan suhu yang dingin dan sejuk dengan suhu 16°C
sedangkan Serua Farm masih belum memiliki ruangan pendingin khusus
untuk menyimpan bayam hidroponik yang telah dikemas tersebut.
5) Tidak ada SOP pengemasan bayam
Dalam proses pengemasan, para pekerja memerlukan pengetahuan lebih
terkait dengan cara pengemasan yang baik dan benar. Tidak adanya SOP
tertulis tentang mengemas bayam yang sudah dipanen kedalam kemasan
membuat para pekerja kurang memperhatikan kembali kondisi bayam
sebelum dikemas sehingga bayam yang masuk kedalam kemasan isinya
masih tidak seragam.
101
5.2. Pengukuran Risiko
Pengukuran risiko produksi bayam di Serua Farm dilakukan untuk
mengetahui tingkat dampak kejadian risiko atau severity (Si), tingkat
probabilitas penyebab atau agen risiko occurance (oj), tingkat korelasi antara
penyebab risiko dengan kejadian risiko dan mengakumulasikannya dengan
perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) dari penyebab risiko yang ada.
Adapun nilai Severity dan Occurance dapat dilihat pada Lampiran 3a, b, c, d,
dan e.
5.2.1. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko
Pengukuran tingkat dampak kejadian risiko terhadap proses bisnis
perusahaan diukur dengan menggunakan nilai severity (Si) atau nilai yang
menyatakan seberapa besar dampak atau gangguan yang ditimbulkan oleh
suatu kejadian risiko bagi kelanjutan proses bisnis perusahaan. Tingkat dampak
risiko dinilai berdasarkan skala Likert 1-5 dengan kriteria : (1) berarti nilai
dampak tidak berarti, (2) nilai dampak kecil, (3) nilai dampak sedang, (4) nilai
dampak besar dan sangat berdampak terhadap perusahaan, dan (5) nilai
kerugian sangat besar dan bisa menyebabkan kehilangan asset.
Nilai severity tertinggi berarti memiliki dampak besar bagi perusahaan
yaitu 4.00 – 5.00, nilai severity sedang berarti memiliki dampak yang tidak
begitu besar bagi perusahaan yaitu 2.67 – 3.67, sedangkan nilai severity
terendah yang berarti memiliki dampak kecil bagi perusahaan yaitu 1.00 –
2.33.
102
5.2.1.1. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Penyemaian
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat dampak kejadian risiko pada proses penyemaian,
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 20. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Penyemaian
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Si
E1 Benih terbuang percuma 4.00
E2 Bayam terjatuh hingga mati 4.00
E3 Pertumbuhan semaian menjadi lambat 4.25 Sumber : Lampiran 3a
Hasil pengukuran tingkat dampak (severity) tertinggi pada proses
penyemaian terletak pada kejadian risiko dengan kode E3 (pertumbuhan
semaian menjadi lambat) dengan nilai severity sebesar 4.25. Hal ini berarti
kejadian yang ditimbulkan oleh E3 memiliki nilai kerugian yang besar dan
berdampak pada keberlangsungan perusahaan. Pertumbuhan semaian menjadi
lambat dapat berdampak bagi keberlangsungan perusahaan karena
terhambatnya proses persemaian menyebabkan semaian tidak dapat berlanjut
ke tahap selanjutnya atau bahkan menghentikan proses penyemaian sehingga
perusahaan tidak dapat memproduksi bayam hidroponik hingga panen.
Berbeda dengan kejadian risiko yang memiliki nilai tingkat dampak (severity)
terendah yaitu pada kejadian risiko dengan kode E1 (Benih terbuang percuma)
dengan nilai 4.00 dan E2 (Bayam terjatuh hingga mati) dengan nilai 4.00.
103
5.2.1.2. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Penanaman
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat dampak kejadian risiko pada proses penanaman,
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 21. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Penanaman
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Si
E4 Tanaman menjadi layu 4.00
E5 Tanaman menjadi mudah busuk dan berjamur 3.50
E6 Tanaman bayam terbakar pada bagian daun 3.25
E7
Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga
membusuk 2.75
E8 Tanaman mudah terserang hama dan pathogen 4.00
E9 Tanaman menjadi tumpang tindih 3.00 Sumber : Lampiran 3b
Hasil pengukuran tingkat dampak (severity) tertinggi pada proses
penanaman terletak pada kejadian risiko dengan kode E4 (Tanaman menjadi
layu) dengan nilai severity sebesar 4.00 dan E8 (Tanaman mudah terserang
hama dan pathogen) dengan nilai severity sebesar 4.00. Hal ini berarti kejadian
yang ditimbulkan oleh E4 dan E8 memiliki nilai kerugian yang besar dan
berdampak pada keberlangsungan perusahaan. Berbeda dengan kejadian risiko
yang memiliki nilai tingkat dampak (severity) terendah yaitu pada kejadian
risiko dengan kode E7 (Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga
membusuk) dengan nilai 2.75 yang memiliki arti dampak yang tidak begitu
besar bagi perusahaan (sedang).
104
5.2.1.3. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pemeliharaan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat dampak kejadian risiko pada proses pemeliharaan,
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 22. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pemeliharaan
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Si
E10
Tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman mati
atau kerdil 2.50
E11
Air nutrisi tidak lancar karena terhambat oleh lumut,
tanaman kekurangan nutrisi 2.75
E12 Hama dan penyakit bersarang di sekitar rak produksi 4.50
E13 Hama dan penyakit menular ke tanaman lainnya 4.00
E14 Persaingan kebutuhan air, nutrisi dan cahaya 3.00 Sumber : Lampiran 3c
Hasil pengukuran tingkat dampak (severity) tertinggi pada proses
pemeliharaan terletak pada kejadian risiko dengan kode E12 yaitu hama dan
penyakit bersarang di sekitar rak produksi dengan nilai tingkat dampak
(severity) pada kejadian risiko tersebut adalah sebesar 4.50. Hal ini berarti
kejadian yang ditimbulkan oleh E12 (hama dan penyakit bersarang di sekitar
rak produksi) memiliki nilai kerugian yang besar bagi perusahaan. Hal ini
karena hama dan penyakit yang bersarang di sekitar rak produksi dapat dengan
cepat menyerang bayam hidroponik yang dibudidaya oleh perusahaan,
sehingga apabila sanitasi tidak dilakukan secara rutin maka akan menyebabkan
kerugian bagi perusahaan.
Sedangkan kejadian risiko yang memiliki tingkat dampak (severity)
terendah yaitu pada kejadian risiko dengan kode E10 (tanaman kekurangan
105
nutrisi membuat tanaman mati atau kerdil) dengan nilai 2.50 yang artinya nilai
dampak pada kejadian tersebut hanya berpengaruh kecil terhadap perusahaan.
Menurut perusahaan tanaman tidak kekurangan nutrisi selama aliran air nutrisi
dimatikan di malam hari karena diparalon tempat budidaya masih tersedia air
nutrisi yang cukup bagi tanaman bayam yang sedang dibudidayakan hingga
besok pagi dinyalakan kembali selain itu suhu udara dimalam hari juga tidak
tinggi sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap tanaman bayam .
5.2.1.4. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pemanenan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat dampak kejadian risiko pada proses pemanenan,
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 23. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pemanenan
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Si
E15 Tanaman saat diambil akan mudah sobek daunnya 1.75
E16 Bayam tidak layak panen akan mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas 4.25
E17 Tanaman bayam tidak seragam 3.00
E18 Bayam menjadi cepat busuk karena terjadi respirasi 2.25 Sumber : Lampiran 3d
Hasil pengukuran tingkat dampak (severity) tertinggi pada proses
pemanenan terletak pada kejadian risiko dengan kode E16 yaitu bayam tidak
layak panen akan mempengaruhi bayam lainnya apabila dikemas dengan nilai
tingkat dampak (severity) adalah 4.25. Hal ini berarti kejadian yang
ditimbulkan oleh E16 (bayam tidak layak panen akan mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas) memiliki nilai kerugian yang besar dan berdampak
106
pada keberlangsungan perusahaan karena bayam yang tidak layak panen
apabila disatukan dalam satu kemasan akan mengurangi kualitas dari bayam
hidroponik yang dijual Serua Farm sehingga citra perusahaan pun juga akan
menurun. Berbeda dengan kejadian risiko yang memiliki nilai tingkat dampak
(severity) terendah yaitu pada kejadian risiko dengan kode E15 (tanaman saat
diambil akan mudah sobek daunnya) dengan nilai 1.75 yang artinya nilai
dampak tidak berarti.
5.2.1.5. Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pengemasan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat dampak kejadian risiko pada proses pengemasan,
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 24. Hasil Pengukuran Tingkat Dampak Kejadian Risiko pada Proses
Pengemasan
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Si
E19 Bayam dengan kondisi yang rusak dapat masuk
kedalam kemasan 2.00
E20 Bayam menjadi rusak saat dikemas 2.00
E21 Bayam menjadi mudah busuk / lembek 3.00
E22 Bayam menjadi tidak segar dan mudah layu 2.75 Sumber : Lampiran 3e
Hasil pengukuran tingkat dampak (severity) tertinggi pada proses
pengemasan terletak pada kejadian risiko dengan kode E21 yaitu bayam
menjadi mudah busuk atau lembek dengan nilai tingkat dampak (severity)
adalah 3.00. Hal ini berarti kejadian yang ditimbulkan oleh E21 (bayam
menjadi mudah busuk atau lembek) memiliki nilai kerugian yang sedang bagi
perusahaan karena perusahaan tidak bisa memenuhi permintaan konsumen
107
karena jumlah bayam yang siap dijual akan berkurang. Berbeda dengan
kejadian risiko yang memiliki nilai tingkat dampak (severity) terendah yaitu
pada kejadian risiko dengan kode E19 (tanaman menjadi tidak jelas isi dalam 1
kemasan) dan E20 (bayam menjadi rusak saat dikemas) dengan nilai 2.00 yang
artinya nilai dampak tidak berarti.
5.2.2. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko
Pengukuran tingkat frekuensi atau peluang kemunculan penyebab risiko
diukur dengan menggunakan nilai occurence (Oj). Nilai occurrence adalah
penilaian tingkat peluang munculnya penyebab risiko yang telah teridentifikasi.
Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kemunculan penyebab risiko
menggunakan skala likert 1 sampai 5 dengan kriteria: nilai 1 kemunculan
sangat jarang; nilai 2, kemunculan jarang; nilai 3, kemunculan sedang, nilai 4,
kemunculan sering, dan; nilai 5 kemunculan sangat sering.
5.2.2.1. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Penyemaian
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat kemunculan penyebab risiko pada proses
penanaman, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 25. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Penyemaian
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
A1 Tidak adanya SOP penyemaian secara tertulis 3.25
A2 Setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh
atau tidak terkena sinar matahari 4.00
A3 Tumbuhnya lumut pada rockwool 3.50 Sumber : Lampiran 3a
108
Hasil pengukuran tingkat kemunculan (occurrence) pada proses
penanaman dengan nilai tertinggi terletak pada penyebab risiko dengan kode
A2 yaitu setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari dengan nilai 4.00 yang berarti penyebab risiko pada
kode A2 memliki tingkat frekuensi kemunculan yang sering. Penyebab risiko
dengan frekuensi kemunculan terendah yaitu pada penyebab risiko dengan
kode A1 (Tidak adanya SOP penyemaian secara tertulis) dengan nilai 3.25
yang berarti penyebab risiko pada kode A1 memiliki frekuensi yang
kemunculannya jarang.
5.2.2.2. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Penanaman
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat kemunculan penyebab risiko pada proses
penanaman, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 26. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Penanaman
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
A4 Suhu udara melebihi 30° C 3.75
A5 Kelembapan udara tinggi 2.75
A6 Intensitas cahaya matahari terlalu tinggi 3.25
A7 Suhu air melebihi 25° C 3.75
A8 Tidak ada yellow trap pada screenhouse 3.00
A9 Jarak antar lubang tanam kurang dari 15 cm 2.75 Sumber : Lampiran 3b
Hasil pengukuran tingkat kemunculan (occurrence) pada proses
penanaman dengan nilai tertinggi terletak pada penyebab risiko dengan kode
A4 (Suhu udara melebihi 30° C) dan A7 (Suhu air melebihi 25° C) dengan
nilai masing-masing 3.75 yang berarti penyebab risiko pada kode A4 dan A7
109
memliki tingkat frekuensi kemunculan yang sering. Penyebab risiko dengan
frekuensi kemunculan terendah yaitu pada penyebab risiko dengan kode A5
(kelembapan udara tinggi) dan A9 (jarak antar lubang tanam kurang dari 15
cm) dengan nilai 3.75 yang berarti penyebab risiko pada kode A5 dan A9
memiliki frekuensi yang kemunculannya jarang.
5.2.2.3. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pemeliharaan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat kemunculan penyebab risiko pada proses
pemeliharaan, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 27. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pemeliharaan
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
A10 Aliran air nutrisi dimatikan pada malam hari 2.50
A11 Tenaga kerja kurang melakukan kontrol selang drip
sehingga terdapat lumut 3.75
A12 Tenaga kerja malas dalam melakukan sanitasi 4.50
A13 Tenaga kerja kurang memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit 3.50
A14 Tenaga kerja membiarkan bayam merah dan bayam
hijau tumbuh dalam satu netpot 2.50
Sumber : Lampiran 3c
Hasil pengukuran tingkat kemunculan (occurrence) pada proses
pemeliharaan dengan nilai tertinggi terletak pada penyebab risiko dengan kode
A12 yaitu tenaga kerja malas dalam melakukan sanitasi gulma dengan nilai
4.50 yang berarti penyebab risiko pada kode A12 memiliki tingkat probabilitas
kemunculan yang sering. Tenaga kerja yang malas melakukan sanitasi akan
memperbesar kemungkinan risiko bayam hidroponik yang dibudidaya di Serua
Farm terjangkit akan hama dan penyakit, karena akan menjadi tempat
110
bersarangnya hama dan penyakit tersebut. Penyebab risiko dengan probabilitas
kemunculan terendah yaitu pada penyebab risiko dengan kode A10 (aliran air
nutrisi dimatikan pada malam hari) dan A14 (tenaga kerja membiarkan bayam
merah dan bayam hijau tumbuh dalam satu netpot) dengan nilai 2.50 yang
berarti penyebab risiko pada kode A10 dan A14 memiliki probabilitas
kemunculan yang jarang.
5.2.2.4. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pemanenan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat kemunculan penyebab risiko pada proses
pemanenan, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 28. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pemanenan
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
A15 Tata letak pemanenan dilakukan dengan wadah akar
berada dibawah 3.25
A16 Tidak adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas
bayam 3.25
A17 Umur bayam dipanen sebelum waktu panen 3.00
A18 Hasil tidak langsung diletakan diruang pendingin 2.75 Sumber : Lampiran 3d
Hasil pengukuran tingkat kemunculan (occurrence) pada proses
pemanenan dengan nilai tertinggi terletak pada penyebab risiko dengan kode
A15 yaitu tata letak pemanenan dilakukan dengan wadah akar berada dibawah
dan A16 yaitu tidak adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas bayam
dengan nilai 3.25 yang berarti penyebab risiko pada kode A15 dan A16
memiliki tingkat probabilitas kemunculan yang sedang. Penyebab risiko
dengan probabilitas kemunculan terendah yaitu pada penyebab risiko dengan
111
kode A18 (hasil tidak langsung diletakan diruang pendingin) dengan nilai 2.75
yang berarti penyebab risiko pada kode A18 memiliki probabilitas kemunculan
yang jarang.
5.2.2.5. Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pengemasan
Berdasarkan pemberian penilaian yang telah dilakukan kepada
responden terhadap tingkat kemunculan penyebab risiko pada proses
pengemasan, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut :
Tabel 29. Hasil Pengukuran Tingkat Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko pada Proses Pengemasan
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Oj
A19 Tidak ada proses sortasi 2.25
A20 Tenaga kerja lalai dalam melakukan pengemasan 3.25
A21 Permukaan daun dan batang bayam masih basah 3.50
A22 Tidak menggunakan ruangan pendingin untuk
menyimpan bayam yang telah dikemas 3.75
A23 Tidak ada SOP pengemasan bayam 3.75 Sumber : Lampiran 3e
Hasil pengukuran tingkat kemunculan (occurrence) pada proses
pengemasan dengan nilai tertinggi terletak pada penyebab risiko dengan kode
A22 (tidak menggunakan ruangan pendingin untuk menyimpan bayam yang
telah dikemas) dan A23 (tidak ada SOP pengemasan bayam) dengan nilai 3.75
yang berarti penyebab risiko pada kode A22 dan A23 memiliki tingkat
probabilitas kemunculan yang sedang. Penyebab risiko dengan probabilitas
kemunculan terendah yaitu pada penyebab risiko dengan kode A19 (tidak ada
proses grading) dengan nilai 2.25 yang berarti penyebab risiko pada kode A19
memiliki probabilitas kemunculan yang sangat jarang.
112
5.2.3. Pengukuran Tingkat Korelasi antara Penyebab Risiko (Risk Agent)
dengan Kejadian Risiko (Risk Event)
Pengukuran tingkat korelasi antara penyebab risiko (Risk Agent) dengan
kejadian risiko (Risk Event) terdapat pada Lampiran 3f sampai 3j. adanya
pengukuran tingkat korelasi antara penyebab risiko (Risk Agent) dengan
kejadian risiko (Risk Event) adalah untuk mengetahui hubungan bahwa suatu
agen risiko dapat menimbulkan suatu risiko. Pengukuran tingkat korelasi ini
dapat dilihat dari seberapa besar hubungan antara suatu agen risiko dan
dampak yang ditimbulkan oleh suatu risiko. Korelasi akan memiliki hubungan
yang kuat apabila bernilai 9, korelasi yang memiliki hubungan sedang bernilai
3, korelasi yang memiliki hubungan rendah bernilai 1, sedangkan nilai 0 tidak
memiliki hubungan korelasi. Adapun penilaian korelasi antara penyebab dan
kejadian risiko pada produksi bayam di Serua Farm dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Pada lampiran 3f proses penyemaian terdapat 3 korelasi yang bernilai 9
yang berarti memiliki korelasi yang kuat antara penyebab risiko (Risk Agent)
dengan kejadian risiko (Risk Event) diantaranya adalah tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis, setelah benih disemai tidak diletakan ditempat
teduh atau tidak terkena sinar matahari, dan tumbuhnya lumut pada rockwool.
Pada Lampiran 3g proses penanaman terdapat 5 korelasi yang bernilai 9
yang berarti memiliki korelasi yang kuat antara penyebab risiko (Risk Agent)
dengan kejadian risiko (Risk Event) diantaranya adalah suhu udara melebihi
30° C, kelembapan udara tinggi, intensitas cahaya matahari terlalu tinggi, suhu
113
air melebihi 25° C, tidak ada yellow trap pada screenhouse dan jarak antar
lubang tanam kurang dari 15 cm.
Pada Lampiran 3h proses pemeliharaan terdapat 4 korelasi yang bernilai
9 yang berarti memiliki korelasi yang kuat antara penyebab risiko (Risk Agent)
dengan kejadian risiko (Risk Event) diantaranya adalah tenaga kerja kurang
melakukan kontrol selang drip sehingga terdapat lumut, tenaga kerja malas
dalam melakukan sanitasi gulma, tenaga kerja kurang memperhatikan adanya
tanaman yang rusak atau terkena penyakit, dan tenaga kerja membiarkan
bayam merah dan bayam hijau tumbuh dalam satu netpot.
Pada Lampiran 3i proses pemanenan terdapat 4 korelasi yang bernilai 9
yang berarti memiliki korelasi yang kuat antara penyebab risiko (Risk Agent)
dengan kejadian risiko (Risk Event) diantaranya adalah tata letak pemanenan
dilakukan dengan wadah akar berada dibawah, tidak adanya SOP tertulis dalam
menentukan kualitas bayam, umur bayam dipanen sebelum waktu panen dan
hasil tidak langsung diletakan diruang pendingin.
Pada Lampiran 3j proses pengemasan terdapat 5 korelasi yang bernilai
9 yang berarti memiliki korelasi yang kuat antara penyebab risiko (Risk Agent)
dengan kejadian risiko (Risk Event) diantaranya adalah tidak ada proses
grading, tenaga kerja lalai dalam melakukan pengemasan, permukaan daun dan
batang bayam masih basah, tidak menggunakan ruangan pendingin untuk
menyimpan bayam yang telah dikemas dan tidak ada SOP pengemasan bayam.
114
5.2.4. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP)
Perhitungan nilai Aggregate Risk Potential (ARP) adalah untuk
mengetahui urutan penyebab risiko yang harus diprioritaskan untuk dilakukan
strategi pencegahan risiko agar dapat mencegah risiko yang dapat berdampak
bagi perusahaan. Perhitungan ARP didapatkan dari hasil perkalian nilai
Occurrence (Oj) dengan total nilai Severity dan nilai korelasi antara penyebab
risiko dan kejadian risiko. Perhitungan ARP didapatkan dari hasil penjumlahan
perkalian Si dengan Rij kemudian dengan perkalian Oj. Adapun perhitungan
nilai ARP terdapat pada Lampiran 5a, b, c, d, dan e.
5.2.4.1. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada Proses
Penyemaian
Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada proses penyemaian
dapat dilihat pada Lampiran 5a. Berdasarkan lampiran tersebut dapat dibuat
Tabel 30 untuk menjelaskan nilai ARP dari setiap penyebab risiko secara
berurutan dari yang tertinggi hingga terendah. Pada Tabel 30 penyebab risiko
yang harus diberikan prioritas strategi atau aksi pencegahan adalah tumbuhnya
lumut pada rockwool. Adapun penyebab risiko yang tidak harus diprioritaskan
dalam perlakukan aksi pencegahan adalah setelah benih disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak terkena sinar matahari dan tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis.
115
Tabel 30. Hasil Perhitungan ARP Proses Penyemaian
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event
Keterangan (Risk
Event)
A3 Tumbuhnya lumut
pada rockwool 163.31 1
E1,
E3
E1=Benih terbuang
percuma
E3=Pertumbuhan
semaian menjadi
lambat
A2
Setelah benih disemai
tidak diletakan
ditempat teduh / tidak
terkena sinar matahari
124.31 2 E3
E3=Pertumbuhan
semaian menjadi
lambat
A1
Tidak adanya SOP
penyemaian secara
tertulis
117.00 3 E1 E1=Tanaman
menjadi layu
Sumber : Lampiran 5a
5.2.4.2. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada Proses
Penanaman
Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada proses penanaman
dapat dilihat pada Lampiran 5b. Berdasarkan lampiran tersebut dapat dibuat
Tabel 31 untuk menjelaskan nilai ARP dari setiap penyebab risiko secara
berurutan dari yang tertinggi hingga terendah. Pada Tabel 31 penyebab risiko
yang harus diberikan prioritas strategi atau aksi pencegahan adalah suhu udara
melebihi 30° C dengan kejadian risiko yaitu tanaman menjadi layu, tanaman
menjadi mudah busuk, tanaman bayam terbakar pada bagian daun, Tanaman
tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga membusuk, benih terbuang percuma,
tanaman mudah terserang hama dan pathogen dan pertumbuhan semaian
menjadi lambat.
Adapun penyebab risiko yang tidak harus diprioritaskan dalam
perlakukan aksi pencegahan adalah intensitas cahaya matahari terlalu tinggi
dengan kejadian risiko yaitu tanaman menjadi layu, tanaman bayam terbakar
116
pada bagian daun, Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga
membusuk, tanaman mudah terserang hama dan pathogen dan pertumbuhan
semaian menjadi lambat.
Tabel 31. Hasil Perhitungan ARP Proses Penanaman
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
A4 Suhu udara
melebihi 30° C 286.88 1
E4,
E5,
E6,
E7,
E8
E4=Tanaman menjadi layu
E5=Tanaman menjadi
mudah busuk dan berjamur
E6=Tanaman bayam
terbakar pada bagian daun
E7=Tanaman tidak dapat
menyerap air nutrisi
sehingga membusuk
E8=Tanaman mudah
terserang hama dan pathogen
A7 Suhu air melebihi
25° C 263.44 2
E4,
E5,
E7
E4=Tanaman menjadi layu
E5=Tanaman menjadi
mudah busuk dan berjamur
E7=Tanaman tidak dapat
menyerap air nutrisi
sehingga membusuk
A5 Kelembapan udara
tinggi 183.56 3
E4,
E5,
E7,
E8
E4=Tanaman menjadi layu
E5=Tanaman menjadi
mudah busuk dan berjamur
E7=Tanaman tidak dapat
menyerap air nutrisi
sehingga membusuk
E8=Tanaman mudah
terserang hama dan pathogen
A9
Jarak antar lubang
tanam kurang dari
15 cm
114.81 4
E7,
E8,
E9
E7=Tanaman tidak dapat
menyerap air nutrisi
sehingga membusuk
E8=Tanaman mudah
terserang hama dan pathogen
E9=Tanaman menjadi
tumpang tindih
A8
Tidak ada yellow
trap pada
screenhouse
108.00 5 E8 E8=Tanaman mudah
terserang hama dan pathogen
A6
Intensitas cahaya
matahari terlalu
tinggi
92.63 6
E4,
E6,
E7,
E4=Tanaman menjadi layu
E6=Tanaman bayam
terbakar pada bagian daun
117
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
E8 E7=Tanaman tidak dapat
menyerap air nutrisi
sehingga membusuk
E8=Tanaman mudah
terserang hama dan pathogen Sumber : Lampiran 5b
5.2.4.3. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada Proses
Pemeliharaan
Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada proses
pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 5c. Pada Tabel 32 penyebab risiko
yang harus diberikan prioritas strategi atau aksi pencegahan adalah tenaga kerja
kurang memperhatikan adanya tanaman yang rusak atau terkena penyakit
dengan kejadian risiko yaitu tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil, hama dan penyakit bersarang di sekitar rak produksi, hama
dan penyakit menular ke tanaman lainnya, dan persaingan kebutuhan air,
nutrisi dan cahaya.
Adapun penyebab risiko yang tidak harus diprioritaskan dalam
perlakukan aksi pencegahan adalah aliran air nutrisi dimatikan pada malam
hari dengan kejadian risiko tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman mati
atau kerdil. Hal ini dikarenakan walaupun tanaman hidroponik harus selalu
dialiri air nutris selama 24 jam, tetapi pada malam hari suhu udara tidak terlalu
tinggi sehingga tidak terlalu berpengaruh pada tanaman dan dapat dinyalakan
kembali keesokan paginya.
118
Tabel 32. Hasil Perhitungan ARP Proses Pemeliharaan
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
A13
Tenaga kerja
kurang
memperhatikan
adanya tanaman
yang rusak atau
terkena penyakit
378.00 1
E10,
E12,
E13,
E14
E10=Tanaman kekurangan
nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil
E12=Hama dan penyakit
bersarang di sekitar rak
produksi
E13=Hama dan penyakit
menular ke tanaman lainnya
E14=Persaingan kebutuhan
air, nutrisi dan cahaya
A11
Tenaga kerja
kurang
melakukan
kontrol selang
drip sehingga
terdapat lumut
293.44 2
E10,
E11,
E13,
E14
E10=Tanaman kekurangan
nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil
E11=Air nutrisi tidak lancar
karena terhambat oleh lumut,
tanaman kekurangan nutrisi
E13=Hama dan penyakit
menular ke tanaman lainnya
E14=Persaingan kebutuhan
air, nutrisi dan cahaya
A12
Tenaga kerja
malas dalam
melakukan
sanitasi gulma
236.25 3 E12,
E13
E12=Hama dan penyakit
bersarang di sekitar rak
produksi
E13=Hama dan penyakit
menular ke tanaman lainnya
A14
Tenaga kerja
membiarkan
bayam merah
dan bayam hijau
tumbuh dalam
satu netpot
73.75 4 E10,
E14
E10=Tanaman kekurangan
nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil
E14=Persaingan kebutuhan
air, nutrisi dan cahaya
A10
Aliran air nutrisi
dimatikan pada
malam hari
6.25 5 E10
E10=Tanaman kekurangan
nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil Sumber : Lampiran 5c
5.2.4.4. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada Proses
Pemanenan
Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada proses pemanenan
dapat dilihat pada Lampiran 5d. Pada Tabel 33 penyebab risiko yang harus
119
diberikan prioritas strategi atau aksi pencegahan adalah tidak adanya SOP
tertulis dalam menentukan kualitas bayam dengan kejadian risiko yaitu bayam
tidak layak panen akan mempengaruhi bayam lainnya apabila dikemas,
tanaman bayam tidak seragam dan bayam menjadi cepat busuk karena terjadi
respirasi.
Adapun penyebab risiko yang tidak harus diprioritaskan dalam
perlakukan aksi pencegahan adalah tata letak pemanenan dilakukan dengan
wadah akar berada dibawah dengan kejadian risiko tanaman saat diambil akan
mudah sobek daunnya.
Tabel 33. Hasil Perhitungan ARP Proses Pemanenan
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
A16
Tidak adanya SOP
tertulis dalam
menentukan
kualitas bayam
219.38 1
E16,
E17,
E18
E16=Bayam tidak layak
panen akan
mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas
E17=Tanaman bayam
tidak seragam
E18=Bayam menjadi
cepat busuk karena
terjadi respirasi
A17
Umur bayam
dipanen sebelum
waktu panen
119.25 2 E16,
E17
E16=Bayam tidak layak
panen akan
mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas
E17=Tanaman bayam
tidak seragam
A18
Hasil tidak
langsung diletakan
diruang pendingin
55.69 3 E18
E18=Bayam menjadi
cepat busuk karena
terjadi respirasi
A15
Tata letak
pemanenan
dilakukan dengan
wadah akar berada
dibawah
51.19 4 E15
E15=Tanaman saat
diambil akan mudah
sobek daunnya
Sumber : Lampiran 5d
120
5.2.4.5. Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada Proses
Pengemasan
Perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP) pada proses pengemasan
dapat dilihat pada Lampiran 5e. Pada Tabel 34 penyebab risiko yang harus
diberikan prioritas strategi atau aksi pencegahan adalah tidak adanya SOP
pengemasan bayam dengan kejadian risiko yaitu tanaman menjadi tidak jelas
isi dalam 1 kemasan, bayam menjadi rusak saat dikemas, bayam menjadi
mudah busuk atau lembek, dan bayam menjadi tidak segar dan mudah layu.
Adapun penyebab risiko yang tidak harus diprioritaskan dalam
perlakukan aksi pencegahan adalah tidak ada proses grading dengan kejadian
risiko tanaman menjadi tidak jelas isi dalam 1 kemasan, bayam menjadi rusak
saat dikemas, bayam menjadi mudah busuk atau lembek, dan bayam menjadi
tidak segar dan mudah layu. Hal ini dikarenakan penyebab risiko tersebut
peluang kemunculannya sangat rendah atau jarang terjadi.
Tabel 34. Hasil Perhitungan ARP Proses Pengemasan
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
A23 Tidak ada SOP
pengemasan bayam 329.06 1
E19,
E20,
E21,
E22
E19=Bayam dengan
kondisi yang rusak dapat
masuk kedalam kemasan
E20=Bayam menjadi rusak
saat dikemas
E21=Bayam menjadi
mudah busuk / lembek
E22=Bayam menjadi tidak
segar dan mudah layu
A20
Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
285.19 2
E19,
E20,
E21,
E22
E19=Bayam dengan
kondisi yang rusak dapat
masuk kedalam kemasan
E20=Bayam menjadi rusak
saat dikemas
E21=Bayam menjadi
mudah busuk / lembek
121
Kode Risk Agent ARP Rank Risk
Event Keterangan (Risk Event)
E22=Bayam menjadi tidak
segar dan mudah layu
A21
Permukaan daun
dan batang bayam
masih basah
244.13 3
E20,
E21,
E22
E20=Bayam menjadi rusak
saat dikemas
E21=Bayam menjadi
mudah busuk / lembek
E22=Bayam menjadi tidak
segar dan mudah layu
A22
Tidak
menggunakan
ruangan pendingin
untuk menyimpan
bayam yang telah
dikemas
126.56 4 E21,
E22
E21=Bayam menjadi
mudah busuk / lembek
E22=Bayam menjadi tidak
segar dan mudah layu
A19 Tidak ada proses
grading 93.94 5
E19,
E20,
E21,
E22
E19=Bayam dengan
kondisi yang rusak dapat
masuk kedalam kemasan
E20=Bayam menjadi rusak
saat dikemas
E21=Bayam menjadi
mudah busuk / lembek
E22=Bayam menjadi tidak
segar dan mudah layu Sumber : Lampiran 5e
5.3. Pemetaan Risiko
Pemetaan dilakukan untuk mengetahui penyebab risiko apa saja yang
diprioritaskan untuk diberikan aksi pencegahannya. Setelah diketahui nilai
ARP maka dapat dilakukan pemetaan dengan membuat diagram pareto.
Diagram pareto didapatkan dari nilai ARP yang telah didapatkan sebelumnya
kemudian diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil, kemudian dihitung
presentasi kumulatif. Adapun perbandingan yang digunakan dalam diagram
pareto pada penelitian ini adalah 80:20. Bila dipetakan dalam diagram pareto
maka agen risiko yang perlu diberikan prioritas adalah yang dibawah 80%
122
sedangkan presentase diatas 80% hingga 100% dapat diabaikan. Nilai
kumulatif kurang lebih sama dengan 80% ini merupakan penyebab risiko
yang perlu diberikan strategi penanganan karena dianggap merugikan
perusahaan dan seringkali terjadi.
5.3.1. Pemetaan Risiko pada Proses Penyemaian
Hasil pemetaan proses penyemaian dapat dilihat pada Gambar 13
yang menunjukkan bahwa terdapat 2 agen penyebab risiko dengan nilai ARP
tertinggi dan presentase kumulatif kurang dari 80% yang menjadi prioritas
penanggulangan untuk dilakukan penanganan risiko yaitu, 1) Tumbuhnya
lumut pada rockwool dengan nilai ARP sebesar 163.31 dan kumulatif ARP
sebesar 40%, 2) Setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau
tidak terkena sinar matahari dengan nilai ARP sebesar 124.31 dan kumulatif
ARP sebesar 31%.
Gambar 13 Diagram Pareto pada Proses Penyemaian
5.3.2. Pemetaan Risiko pada Proses Penanaman
Hasil pemetaan proses penanaman dapat dilihat pada Gambar 14 yang
menunjukkan bahwa terdapat 3 agen penyebab risiko dengan nilai ARP
tertinggi dan presentase kumulatif kurang dari 80% yang menjadi prioritas
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
A3 A2 A1
Kumulatif
ARP
Diagram Pareto pada Proses Penyemaian
Nilai ARPj
Kumulatif%
123
penanggulangan untuk dilakukan penanganan risiko yaitu, 1) Suhu udara
melebihi 30° C dengan nilai ARP sebesar 286.88 dan kumulatif ARP sebesar
27%, 2) suhu air melebihi 25°C dengan nilai ARP sebesar 263.44 dan
kumulatif ARP sebesar 52%, 3) kelembaban udara tinggi dengan nilai ARP
sebesar 183.56 dan kumulatif ARP sebesar 70%.
Gambar 14. Diagram Pareto pada Proses Penanaman
5.3.3. Pemetaan Risiko pada Proses Pemeliharaan
Hasil pemetaan proses pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 15
yang menunjukkan bahwa terdapat 2 agen penyebab risiko dengan nilai ARP
tertinggi dan presentase kumulatif kurang dari 80% yang menjadi prioritas
penanggulangan untuk dilakukan penanganan risiko yaitu, 1) tenaga kerja
kurang memperhatikan adanya tanaman yang rusak atau terkena penyakit
dengan nilai ARP sebesar 378.00 dan kumulatif ARP sebesar 38%, dan 2)
tenaga kerja kurang melakukan kontrol selang drip sehingga terdapat lumut
dengan nilai ARP sebesar 293.44 dan kumulatif ARP sebesar 68%.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
A4 A7 A5 A9 A8 A6
Ku
mu
latif
AR
P
Diagram Pareto pada Proses Penanaman
Nilai ARPj
Kumulatif%
124
Gambar 15. Diagram Pareto pada Proses Pemeliharaan
5.3.4. Pemetaan Risiko pada Proses Pemanenan
Hasil pemetaan proses pemanenan dapat dilihat pada Gambar 16 yang
menunjukkan bahwa terdapat 2 agen penyebab risiko dengan nilai ARP
tertinggi dan presentase kumulatif kurang dari 80% yang menjadi prioritas
penanggulangan untuk dilakukan penanganan risiko yaitu, 1) tidak adanya
SOP tertulis dalam menentukan kualitas bayam dengan nilai ARP sebesar
219.38 dan kumulatif ARP sebesar 49% dan 2) umur bayam dipanen sebelum
waktu panen dengan nilai ARP sebesar 119.25 dan kumulatif ARP sebesar
76%.
Gambar 16. Diagram Pareto pada Proses Pemanenan
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
400,00
A13 A11 A12 A14 A10
Ku
mu
latif
AR
P
Diagram Pareto pada Proses Pemeliharaan
Nilai ARPj
Kumulatif%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
A16 A17 A18 A15
Ku
mu
latif
AR
P
Diagram Pareto pada Proses Pemanenan
Nilai ARPj
Kumulatif%
125
5.3.5. Pemetaan Risiko pada Proses Pengemasan
Hasil pemetaan proses pengemasan dapat dilihat pada Gambar 17
yang menunjukkan bahwa terdapat 3 agen penyebab risiko dengan nilai ARP
tertinggi dan presentase kumulatif kurang dari 80% yang menjadi prioritas
penanggulangan untuk dilakukan penanganan risiko yaitu, 1) tidak ada SOP
pengemasan bayam dengan nilai ARP sebesar 329.06 dan kumulatif ARP
sebesar 31%, 2) tenaga kerja lalai dalam melakukan pengemasan dengan nilai
ARP sebesar 285.19 dan kumulatif ARP sebesar 57%, dan 3) permukaan daun
dan batang bayam masih basah dengan nilai ARP sebesar 244.13 dan kumulatif
ARP sebesar 80%.
Gambar 17. Diagram Pareto pada Proses Pengemasan
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
350,00
A23 A20 A21 A22 A19
Ku
mu
latif
AR
P
Diagram Pareto pada Proses Pengemasan
Nilai ARPj
Kumulatif%
126
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN STRATEGI PENANGANAN RISIKO
6.1. Strategi Penanganan Risiko
Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada keseluruhan proses produksi di
Serua Farm meliputi proses penyemaian, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan dan pengemasan menghasilkan agen risiko yang menjadi prioritas
untuk dapat ditangani dengan strategi pencegahan risiko. Agen risiko yang
telah diprioritaskan tersebut dapat dijadikan acuan utuk menentukan strategi
penanganan sebagai upaya pencegahan penyebab risiko yang akan muncul
kembali. Apabila risiko tidak segera dicegah maka akan dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan dan permasalahan yang ada sebelumnya akan terus
terjadi tanpa tidak dicegah.
6.1.1. Strategi Preventif Risiko pada Proses Penyemaian
Preventif action (PA) atau strategi preventif pada proses penyemaian
yang diusulkan untuk mencegah risiko yang muncul kembali adalah sebagai
berikut:
1) Membuat SOP tertulis tentang penyemaian
Adanya SOP tentang penyemaian akan menciptakan ukuran standar kinerja
bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, serta dapat mengurangi
kesalahan dan kelalaian yang mungkin saja terjadi dan dilakukan pekerja
pada saat proses penanaman bayam hidroponik yang pada akhirnya akan
merugikan perusahaan itu sendiri.
127
2) Meghitung jumlah biji bayam yang disemai
Jumlah biji yang disemai dihitung untuk menghindari terbuangnya benih
yang sudah ditaman atau bahkan benih menganggur di tempat semai karena
tidak sesuai dengan jumlah lubang tanam yang tersedia ketika saat
waktunya pindah tanam.
3) Membuat jadwal pola tanam yang tepat
Mengatur jadwal pola tanam yang tepat pada budidaya bayam hidroponik
terutama pada proses penyemaian dilakukan agar bayam dapat dipindahkan
sesuai waktunya dan tidak melewati satu fase atau tahap tanam. Rockwool
akan ditumbuhi lumut yang banyak apabila tidak segera dipindahkan ke
tahap peremajaan ataupun tahap produksi.
6.1.2. Strategi Preventif Risiko pada Proses Penanaman
Preventif action (PA) atau strategi preventif pada proses penanaman
yang diusulkan untuk mencegah risiko yang muncul kembali adalah sebagai
berikut:
1) Menyediakan blower atau kipas pada screenhouse
Saat suhu lingkungan sedang tinggi maka akan membuat suhu didalam
screenhouse pun akan menjadi terlalu panas. Ketika hal ini terjadi
diperlukan adanya blower atau kipas pada screenhouse untuk mengalirkan
udara dari luar screenhouse ke dalam screenhouse sehingga dapat
membantu menyejukan screenhouse agar tidak terlalu panas dan bayam pun
tidak akan menjadi layu.
128
2) Pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air
Pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air yang
dialirkan ke setiap paralon budidaya bayam penting dilakukan agar bayam
yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan optimal, apabila suhu air terlalu
tinggi maka makin berkurangnya oksigen terlarut dalam air tersebut,
sehingga akan menghambat pertumbuhan bayam hidroponik.
3) Pengawasan secara rutin terhadap pekerja
Melakukan pengawasan secara rutin dari kepala kebun Serua Farm kepada
pekerja dilakukan agar dapat mengukur bagaimana kinerja para pekerja
selama dilapangan sehingga dapat memastikan bahwa semua berjalan sesuai
dengan standar kerja yang sudah ditetapkan, selain itu apabila terjadi
penyimpangan seperti karyawan tidak tertib atau melakukan kesalahan
maka dapat segera diperbaiki saat itu juga.
6.1.3. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pemeliharaan
Preventif action (PA) atau strategi preventif pada proses pemeliharaan
yang diusulkan untuk mencegah risiko yang muncul kembali adalah sebagai
berikut:
1) Penyemprotan pestisida organik secara rutin
Penyemprotan pestisida organik bayam hidroponik harus dilakukan secara
rutin, jangan dilakukan ketika sudah muncul gejala serangan hama dan
penyakit seperti sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari,
mengurangi dan mengendalikan Organisme Peganggu Tanaman (OPT) baik
129
berupa hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan pada
tanaman bayam dan menyebabkan Serua Farm tidak dapat mencapai target
produksi.
2) Pemberian jobdesc tertulis yang jelas
Adanya job description yang jelas akan membantu Serua Farm untuk
mengalokasikan SDM yang lebih tepat sasaran, selain itu para pekerja juga
hanya perlu mengerjakan pekerjaannya sesuai jobdesc yang diberikan dan
tidak perlu mengerjakan pekerjaan yang bukan bagiannya sehingga pekerja
bisa bekerja secara optimal dan tidak kebingungan dan saling
mengandalkan.
3) Pengecekan secara rutin terhadap selang drip agar tidak tersumbat lumut
atau daun
Pengecekan selang drip dilakukan secara rutin utuk mengindari
penyumbatan aliran nutrisi yang biasa terjadi akibat adanya lumut, dan daun
atau akar tanaman yang masuk pada selang drip. Pengecekan dilakukan
dengan cara mengalirkan air melalui selang drip tersebut, apabila selang
drip bersih dan tidak tersumbat maka air akan mengalir dengan lancar dan
dapat keluar melalui lubang drip stik.
4) Membersihkan dan menjaga alat-alat produksi yang dipakai
Kebersihan alat-alat produksi yang dipakai harus terjaga agar bayam
hidroponik yang dibudidayakan terhindar dari hama dan penyakit, selain itu
kualitas dan kebersihan bayam juga akan baik hasilnya.
130
6.1.4. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pemanenan
Preventif action (PA) atau strategi preventif pada proses pemanenan
yang diusulkan untuk mencegah risiko yang muncul kembali adalah sebagai
berikut:
1) Membuat SOP tertulis kualitas bayam siap atau layak panen dan proses
pemanenan
Adanya SOP tentang pemanenan akan menciptakan ukuran standar kinerja
bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, serta dapat mengurangi
kesalahan dan kelalaian yang mungkin saja terjadi dan dilakukan pekerja
pada saat proses pemanenan bayam hidroponik yang pada akhirnya akan
merugikan perusahaan itu sendiri. Selain itu diperlukan SOP tertulis terkait
dengan penentuan bayam yang layak panen dan bayam yang tidak layak
panen.
2) Menambah rak produksi
Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil produksi dan memenuhi
permintaan konsumen, Serua Farm dapat menambahkan lebih banyak rak
produksi yang ada. Sehingga hasil produksi yang dihasilkan dapat mencapai
target produksi yang diinginkan Serua Farm.
3) Membuat jadwal pola tanam yang tepat
Mengatur jadwal pola tanam yang tepat pada budidaya bayam hidroponik
dilakukan agar tidak banyak bayam yang terbuang ketika masa panen
karena kondisi dan kualitas bayam yang tidak baik.
131
6.1.5. Strategi Preventif Risiko pada Proses Pengemasan
Preventif action (PA) atau strategi preventif pada proses pengemasan
yang diusulkan untuk mencegah risiko yang muncul kembali adalah sebagai
berikut:
1) Membuat SOP tertulis pengemasan bayam
Adanya SOP tentang pengemasan akan menciptakan ukuran standar
kinerja bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, serta dapat
mengurangi kesalahan dan kelalaian yang mungkin saja terjadi dan
dilakukan pekerja pada saat proses pengemasan seperti kebersihan alat
pengemasan harus seperti apa, kebersihan bayam, ketentuan tentang proses
sortasi dan grading bayam yang akan dikemas.
2) Dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun
Melakukan pengawasan secara rutin dari kepala kebun Serua Farm kepada
pekerja dilakukan agar dapat mengukur bagaimana kinerja para pekerja
selama dilapangan sehingga dapat memastikan bahwa semua berjalan
sesuai dengan standar kerja yang sudah ditetapkan, selain itu apabila
terjadi penyimpangan seperti karyawan tidak tertib atau melakukan
kesalahan maka dapat segera diperbaiki saat itu juga.
3) Melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan produksi
Evaluasi secara rutin pada setiap tahapan kegiatan produksi bayam perlu
dilakukan untuk melihat apakah proses produksi yang dijalankan berjalan
dengan baik atau tidak, selain itu dengan diadakan rapat evaluasi bersama
132
para pekerja juga dapat mengetahui dan mengidentifikasi hal apa yang
perlu diperbaiki selama proses produksi bayam di Serua Farm.
4) Melakukan tata ulang letak pengemasan
Penataan tata letak ruang pengemasan yang baik akan memberikan
dampak yang baik terhadap kelangsungan proses pengemasan bayam di
Serua Farm, seperti mengeluarkan benda-benda yang tidak seharusnya di
ruang pengemasan yang dapat berpengaruh pada kualitas bayam yang
akan dikemas atau yang sedang disimpan. Tata ulang letak di ruang
pengemasan ini juga dilakukan agar tersedia ruang yang cukup untuk
melakukan proses pengemasan, selain itu juga untuk memenuhi standar
higienitas ruang pengemasan itu sendiri.
5) Meletakan bayam yang dipanen ke dalam keranjang dengan posisi
seragam
Bayam yang sudah dikemas, ketika diletakan kedalam keranjang harus
dengan posisi seragam agar pada proses penghitungan akan lebih mudah
selain itu produk juga akan terlihat rapi dan tidak tumpang tindih.
6.2. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko
Penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi pencegahan
risiko dilakukan dengan narasumber yang dianggap berkontribusi pada proses
produksi di Serua Farm. Tingkat kesulitan rendah memiliki nilai 3.00 sampai
133
dengan 3.33, tingkat kesulitan sedang memiliki nilai 3.67 sampai dengan
4.00, dan tingkat kesulitan tinggi yaitu nilai 4.33 sampai dengan 5.00.
6.2.1. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penyemaian
Berdasarkan penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses penyemaian yang diberikan narasumber seperti
pada Lampiran 4a. Pada proses penyemaian, tingkat kesulitan penerapan
strategi pencegahan risiko tertinggi sebesar 4.75 yang berarti strategi tersebut
sulit untuk dijalankan oleh Serua Farm yaitu menghitung jumlah biji bayam
yang akan disemai. Menghitung jumlah biji bayam sebelum disemai ini akan
membuat waktu pengerjaan produksi bayam menjadi lebih lama. Kemudian
strategi pencegahan risiko yang memiliki tingkat atau derajat kesulitan
terendah adalah membuat jadwal pola tanam yang tepat yang berarti strategi
tersebut dianggap tidak sulit untuk dijalankan.
Tabel 35. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi Pencegahan
Risiko pada Proses Penyemaian
Kode Strategi Penanganan Dk
P1 Membuat SOP tertulis tentang penyemaian 3.50
P2 Menghitung jumlah biji bayam yang akan disemai 4.75
P3 Membuat jadwal pola tanam yang tepat 3.25 Sumber : Lampiran 4a
6.2.2. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penanaman
Berdasarkan penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses penanaman yang diberikan narasumber seperti
pada Lampiran 4b. Pada proses penanaman, tingkat kesulitan penerapan
strategi pencegahan risiko tertinggi sebesar 3.75 yang berarti strategi tersebut
134
sulit untuk dijalankan oleh Serua Farm yaitu Pengawasan secara rutin terhadap
pekerja. Kemudian strategi pencegahan risiko yang memiliki tingkat atau
derajat kesulitan terendah adalah pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan
kadar nutrisi air yang berarti strategi tersebut dianggap tidak sulit untuk
dijalankan.
Tabel 36. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi Pencegahan
Risiko pada Proses Penanaman
Kode Strategi Penanganan Dk
P4 Menyediakan blower atau kipas pada screenhouse 3.50
P5 Pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar
nutrisi air 3.00
P6 Pengawasan secara rutin terhadap pekerja 3.75 Sumber : Lampiran 4b
6.2.3. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemeliharaan
Berdasarkan penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses pemeliharaan yang diberikan narasumber seperti
pada Lampiran 4c. Pada proses pemeliharaan, tingkat kesulitan penerapan
strategi pencegahan risiko tertinggi ada 2 yaitu sebesar 3.50 yang berarti
strategi tersebut sulit untuk dijalankan. Strategi preventif yang sulit
penerapannya yaitu pada penyemprotan secara rutin dan pemberian jobdesc
tertulis yang jelas, karena menurut owner sendiri, para pekerja masih belum
disiplin dan belum memiliki kesadaran diri untuk bekerja dengan baik sehingga
ketika ditegur pekerja cenderung mengiyakan tapi jarang dilaksanakan.
Sedangkan strategi pencegahan risiko yang memiliki tingkat atau derajat
kesulitan terendah adalah pengecekan secara rutin terhadap selang drip agar
135
tidak tersumbat lumut atau daun karena hal ini sudah dilakukan secara rutin
pada pagi hari oleh para pekerja di Serua Farm.
Tabel 37. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi Pencegahan
Risiko pada Proses Pemeliharaan
Kode Strategi Penanganan Dk
P7 Penyemprotan pestisida organik secara rutin 3.50
P8 Pemberian jobdesc tertulis yang jelas 3.50
P9 Pengecekan secara rutin terhadap selang drip agar tidak
tersumbat lumut atau daun 3.00
P10 Membersihkan dan menjaga alat-alat produksi yang
dipakai 3.25
Sumber : Lampiran 4c
6.2.4. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemanenan
Berdasarkan penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses pemanenan yang diberikan narasumber seperti
pada Lampiran 4d. Pada proses pemanenan, tingkat kesulitan penerapan
strategi pencegahan risiko tertinggi yaitu sebesar 4.25 yang berarti strategi
tersebut sulit untuk dijalankan. Strategi preventif yang sulit penerapannya
yaitu pada menambah rak produksi karena Serua Farm tidak memiliki biaya
lebih untuk menambah operasional rak produksi di Serua Farm. Sedangkan
strategi pencegahan risiko yang memiliki tingkat atau derajat kesulitan
terendah dengan nilai 3.25 adalah membuat jadwal pola tanam yang tepat
karena perusahaan menganggap bahwa strategi tersebut dapat dilakukan.
136
Tabel 38. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi Pencegahan
Risiko pada Proses Pemanenan
Kode Strategi Penanganan Dk
P11 Membuat SOP tertulis kualitas bayam siap/layak panen
dan proses pemanenan 3.50
P12 Menambah rak produksi 4.25
P13 Membuat jadwal pola tanam yang tepat 3.25 Sumber : Lampiran 4d
6.2.5. Penilaian Tingkat atau Derajat Kesulitan Penerapan Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pengemasan
Berdasarkan penilaian tingkat atau derajat kesulitan penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses pengemasan yang diberikan narasumber seperti
pada Lampiran 4e. Pada proses pengemasan, tingkat kesulitan penerapan
strategi pencegahan risiko tertinggi ada dua strategi yaitu sebesar 4.00 yang
berarti strategi tersebut sulit untuk dijalankan. Strategi preventif yang sulit
penerapannya tersebut adalah dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun
dan melakukan tata ulang letak ruang pengemasan. Hal ini dikarenakan lokasi
tempat tinggal owner yang jauh dengan kebun produksi di hidroponik
sehingga owner hanya bisa datang untuk melakukan pengecekan atau
pengawasan di kebun sesekali saja. Sedangkan strategi pencegahan risiko
yang memiliki tingkat atau derajat kesulitan terendah dengan nilai 3.00 adalah
meletakan bayam yang dipanen ke dalam keranjang dengan posisi seragam
karena perusahaan menganggap bahwa strategi tersebut dapat aplikasikan.
137
Tabel 39. Hasil Penilaian Tingkat Kesulitan Penerapan Strategi Pencegahan
Risiko pada Proses Pengemasan
Kode Strategi Penanganan Dk
P14 Membuat SOP tertulis pengemasan bayam 3.25
P15 Dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun 4.00
P16 Melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan
produksi 3.50
P17 Melakukan tata ulang letak ruang pengemasan 4.00
P18 Meletakan bayam yang dipanen ke dalam keranjang
dengan posisi seragam 3.00
Sumber : Lampiran 4e
6.3. Penilaian Korelasi antara Strategi Pencegahan Risiko dengan Agen
Penyebab Risiko Prioritas
Penilaian korelasi antara strategi pencegahan risiko dengan agen
penyebab risiko prioritas dilakukan untuk mengetahui hubungan atau korelasi
antara penanganan risiko dengan agen penyebab risiko prioritas. Korelasi
dengan nilai angka 9 berarti memiliki korelasi yang kuat, korelasi sedang
memiliki nilai 3, korelasi rendah memiliki nilai 1 dan tidak adanya korelasi
ditandai dengan nilai 0. Strategi yang memiliki hubungan korelasi yang kuat
atau sedang dikatakan dapat mencegah kemunculan suatu agen penyebab
risiko.
Pada proses penyemaian, terdapat 2 strategi pencegahan atau preventif
penanganan risiko yang memiliki korelasi yang kuat atau bernilai 9 dengan
agen penyebab risiko, diantaranya yaitu; 1) membuat SOP tertulis tentang
penyemaian dan 2) membuat jadwal pola tanam yang tepat.
Pada proses penanaman, terdapat 2 strategi pencegahan atau preventif
penanganan risiko yang memiliki korelasi yang kuat atau bernilai 9 dengan
138
agen penyebab risiko, diantaranya yaitu; 1) menyediakan blower atau kipas
pada screenhouse, dan 2) pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar
nutrisi air.
Pada proses pemeliharaan, terdapat 4 strategi pencegahan atau preventif
penanganan risiko yang memiliki korelasi yang kuat atau bernilai 9 dengan
agen penyebab risiko, diantaranya yaitu; 1) penyemprotan pestisida organik
secara rutin, 2) pemberian jobdesc tertulis yang jelas, 3) pengecekan secara
rutin terhadap selang drip agar tidak tersumbat lumut atau daun, dan 4)
membersihkan dan menjaga alat-alat produksi yang dipakai.
Pada proses pemanenan, hanya terdapat 1 strategi pencegahan atau
preventif penanganan risiko yang memiliki korelasi yang kuat atau bernilai 9
dengan agen penyebab risiko, diantaranya yaitu; membuat SOP tertulis kualitas
bayam siap atau layak panen dan proses pemanenan.
Sedangkan pada proses pengemasan, terdapat 4 strategi pencegahan
atau preventif penanganan risiko yang memiliki korelasi yang kuat atau
bernilai 9 dengan agen penyebab risiko, diantaranya yaitu; 1) membuat SOP
tertulis pengemasan bayam, 2) dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun,
3) melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan produksi, dan 4) meletakan
bayam yang dipanen ke dalam keranjang dengan posisi seragam.
139
6.4. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko
Perhitungan Total Efektivitas (TEk) didapatkan dari hasil perkalian
antara masing-masing agen penyebab risiko yang menjadi prioritas dengan
nilai ARP dari masing-masing agen penyebab risiko yang menjadi prioritas
atau korelasi antara tiap strategi preventif. Hasil perhitungan tersebut
dimasukan kedalam tabel HOR fase 2 seperti pada Lampiran 6 a, b, c, d, dan e.
6.4.1. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penyemaian
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Total Efektivitas (TEk) seperti pada
Lampiran 6a maka didapatkan tabel seperti pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel
40 menjelaskan strategi yang memiliki nilai efektivitas terbesar atau yang
paling efektif untuk dilakukan pada proses penyemaian adalah membuat SOP
tertulis tentang penyemaian. Penerapan strategi ini diharapkan mampu
mencegah kemunculan penyebab risiko seperti setelah benih disemai tidak
diletakan ditempat teduh atau tidak terkena sinar matahari dan tumbuhnya
lumut pada rockwool.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai total keefektivitas
terkecil adalah menghitung jumlah biji bayam yang akan disemai. Serua Farm
menganggap bahwa strategi ini dapat dijadikan sebagai strategi alternative dan
diharapkan dapat mencegah kembali kemunculan risiko yaitu seperti benih
bayam yang terbuang percuma.
140
Tabel 40. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Penyemaian
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P1
Membuat SOP
tertulis tentang
penyemaian
7609.5 A1, A2,
A3
A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis
A2 =Setelah benih
disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari
A3 = Tumbuhnya lumut
pada rockwool
P3
Membuat jadwal
pola tanam yang
tepat
5436 A1, A2
A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis
A2 =Setelah benih
disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari
P2
Menghitung
jumlah biji bayam
yang akan disemai
1053 A1 A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis
Sumber : Lampiran 6a
6.4.2. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Penanaman
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Total Efektivitas (TEk) seperti pada
Lampiran 6b maka didapatkan tabel seperti pada Tabel 41. Berdasarkan Tabel
41 menjelaskan strategi yang memiliki nilai efektivitas terbesar atau yang
paling efektif untuk dilakukan pada proses penanaman adalah pengecekan
secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air. Penerapan strategi ini
diharapkan mampu mencegah kemunculan penyebab risiko seperti suhu udara
yang melebihi 30° C dan suhu air melebihi 25°C.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai total keefektivitas
terkecil adalah menyediakan blower atau kipas pada screenhouse. Serua Farm
141
menganggap bahwa strategi ini dapat dijadikan sebagai strategi alternative dan
diharapkan dapat mencegah kembali kemunculan risiko yaitu seperti suhu
udara yang melebihi 30° C dan suhu air melebihi 25°C.
Tabel 41. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Penanaman
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P5
Pengecekan secara
rutin terhadap suhu
air dan kadar
nutrisi air
7669.69 A4, A7
A4 = Suhu udara
melebihi 30° C
A7 = Suhu air melebihi
25° C
P4
Menyediakan
blower atau kipas
pada screenhouse
4414.69 A4, A7
A4 = Suhu udara
melebihi 30° C
A7 = Suhu air melebihi
25° C
Sumber : Lampiran 6b
6.4.3. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemeliharaan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Total Efektivitas (TEk) seperti pada
Lampiran 6c maka didapatkan tabel seperti pada Tabel 42. Berdasarkan Tabel
42 menjelaskan strategi yang memiliki nilai efektivitas terbesar atau yang
paling efektif untuk dilakukan pada proses pemeliharaan ada 3 strategi yaitu
pemberian jobdesc tertulis yang jelas, pengecekan secara rutin terhadap selang
drip agar tidak tersumbat lumut atau daun dan membersihkan dan menjaga
alat-alat produksi yang dipakai. Penerapan ke tiga strategi ini diharapkan dapat
mencegah kembalinya penyebab risiko seperti tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya tanaman yang rusak atau terkena penyakit dan tenaga
kerja kurang melakukan kontrol selang drip sehingga terdapat lumut.
142
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai total keefektivitas
terkecil adalah penyemprotan pestisida organik secara rutin. Serua Farm
menganggap bahwa strategi ini dapat dijadikan sebagai strategi alternative
yang lain.
Tabel 42. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pemeliharaan
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P8 Pemberian jobdesc
tertulis yang jelas 6042.94 A13, A11
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya
tanaman yang rusak atau
terkena penyakit
A11 = Tenaga kerja kurang
melakukan kontrol selang
drip sehingga terdapat
lumut
P9
Pengecekan secara
rutin terhadap
selang drip agar
tidak tersumbat
lumut atau daun
6042.94 A13, A11
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya
tanaman yang rusak atau
terkena penyakit
A11 = Tenaga kerja kurang
melakukan kontrol selang
drip sehingga terdapat
lumut
P10
Membersihkan dan
menjaga alat-alat
produksi yang
dipakai
6042.94 A13, A11
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya
tanaman yang rusak atau
terkena penyakit
A11 = Tenaga kerja kurang
melakukan kontrol selang
drip sehingga terdapat
lumut
P7
Penyemprotan
pestisida organik
secara rutin
3402 A13
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya
tanaman yang rusak atau
terkena penyakit Sumber : Lampiran 6c
143
6.4.4. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pemanenan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Total Efektivitas (TEk) seperti pada
Lampiran 6d maka didapatkan tabel seperti pada Tabel 43. Berdasarkan Tabel
43 menjelaskan strategi yang memiliki nilai efektivitas terbesar atau yang
paling efektif untuk dilakukan pada proses pemanenan adalah membuat SOP
tertulis kualitas bayam siap atau layak panen dan proses pemanenan. Penerapan
strategi ini diharapkan mampu mencegah kembalinya penyebab risiko tidak
adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas bayam dan umur bayam
dipanen sebelum waktu panen.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai total keefektivitas
terkecil adalah membuat jadwal pola tanam yang tepat. Serua Farm
menganggap bahwa strategi ini dapat dijadikan sebagai strategi alternative dan
diharapkan dapat mencegah kembali kemunculan risiko yaitu umur bayam
dipanen sebelum waktu panen.
Tabel 43. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pemanenan
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan
Penyebab Risiko
P11
Membuat SOP tertulis
kualitas bayam
siap/layak panen dan
proses pemanenan
3047.63 A16, 17
A16 = Tidak adanya
SOP tertulis dalam
menentukan kualitas
bayam
A17 = Umur bayam
dipanen sebelum
waktu panen
P13 Membuat jadwal pola
tanam yang tepat 357.75 A17
A17 = Umur bayam
dipanen sebelum
waktu panen Sumber : Lampiran 6d
144
6.4.5. Perhitungan Total Efektivitas (TEk) pada Setiap Strategi
Pencegahan Risiko pada Proses Pengemasan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Total Efektivitas (TEk) seperti pada
Lampiran 6e maka didapatkan tabel seperti pada Tabel 44. Berdasarkan Tabel
44 menjelaskan strategi yang memiliki nilai efektivitas terbesar atau yang
paling efektif untuk dilakukan pada proses pemanenan ada 3 yaitu membuat
SOP tertulis pengemasan bayam, dilakukan pengawasan oleh pihak kepala
kebun, dan melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan produksi.
Penerapan strategi ini diharapkan mampu mencegah kembalinya penyebab
risiko tidak ada SOP pengemasan bayam, tenaga kerja lalai dalam melakukan
pengemasan, dan permukaan daun dan batang bayam masih basah.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai total keefektivitas
terkecil adalah Melakukan tata ulang letak ruang pengemasan. Serua Farm
menganggap bahwa strategi ini dapat dijadikan sebagai strategi alternative.
Tabel 44. Hasil Perhitungan Nilai Efektivitas (TEk) pada Proses Pengemasan
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P14
Membuat SOP
tertulis
pengemasan
bayam
7725.38 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P15
Dilakukan
pengawasan oleh
pihak kepala
kebun
7725.38 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
145
Kode Strategi Preventif Tek
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P16
Melakukan
evaluasi rutin
setiap tahapan
kegiatan produksi
7725.38 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P18
Meletakan bayam
yang dipanen
kedalam keranjang
dengan posisi
seragam
3469.5 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P17
Melakukan tata
ulang letak ruang
pengemasan
858.375 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai
dalam melakukan
pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah Sumber : Lampiran 6e
6.5. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk)
Perhitungan ETDk dilakukan untuk menentukan prioritas strategi yang
terlebih dahulu dilakukan. Perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan
(ETDk) didapatkan dari hasil bagi antara nilai total efektivitas (TEk) dengan
derajat kesulitan (Dk) dari masing-masing strategi preventif yang telah
ditetapkan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel HOR fase 2 seperti pada
Lampiran 6 a, b, c, d, dan e.
146
6.5.1. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penyemaian
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari
tiap strategi pencegahan risiko (ETDk) pada proses penyemaian dapat dilihat
pada Lampiran 6a sehingga didapatkan Tabel 45. Berdasarkan tabel tersebut,
nilai keefektifan derajat kesulitan tertinggi adalah membuat SOP tertulis
tentang penanaman. Strategi ini memiliki nilai TEk tertinggi dan Dk terendah
sehingga dapat dianggap paling efektif dan paling mudah dilakukan bagi
perusahaan. Adapun penerapan strategi ini diharapkan akan mampu
meminimalisir setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari dan tumbuhnya lumut pada rockwool.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai keefektifan derajat
kesulitan terendah adalah menghitung jumlah biji bayam yang akan disemai
dengan nilai TEk dan nilai Dk tinggi sehingga dianggap kurang efektif dan
paling sulit dilakukan.
Tabel 45. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari tiap
Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penyemaian
Kode Strategi Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P1 Membuat SOP tertulis
tentang penanaman 2174.14
A1, A2,
A3
A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara
tertulis
A2 =Setelah benih
disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari
A3 = Tumbuhnya lumut
pada rockwool
P3 Membuat jadwal pola 1672.62 A1, A2 A1 = Tidak adanya SOP
147
Kode Strategi Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
tanam yang tepat penyemaian secara
tertulis
A2 =Setelah benih
disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak
terkena sinar matahari
P2
Menghitung jumlah
biji bayam yang akan
disemai
221.6842 A1
A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara
tertulis Sumber : Lampiran 6a
6.5.2. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penanaman
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari
tiap strategi pencegahan risiko (ETDk) pada proses penanaman dapat dilihat
pada Lampiran 6b sehingga didapatkan Tabel 46. Berdasarkan tabel tersebut,
nilai keefektifan derajat kesulitan tertinggi adalah pengecekan secara rutin
terhadap suhu air dan kadar nutrisi air. Strategi ini memiliki nilai TEk tertinggi
dan Dk terendah sehingga dapat dianggap paling efektif dan paling mudah
dilakukan bagi perusahaan. Adapun penerapan strategi ini diharapkan akan
mampu meminimalisir suhu air nutrisi yang tinggi.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai keefektifan derajat
kesulitan terendah adalah menyediakan blower atau kipas pada screenhouse
dengan nilai TEk dan nilai Dk tinggi sehingga dianggap kurang efektif dan
paling sulit dilakukan.
148
Tabel 46. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Penanaman
Kode Strategi
Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab Risiko
P5
Pengecekan
secara rutin
terhadap suhu
air dan kadar
nutrisi air
2556.56 A4, A7
A4 = Suhu udara melebihi 30°
C
A7 = Suhu air melebihi 25° C
P4
Menyediakan
blower atau
kipas pada
screenhouse
1261.34 A4, A7
A4 = Suhu udara melebihi 30°
C
A7 = Suhu air melebihi 25° C Sumber : Lampiran 6b
6.5.3. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemeliharaan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari
tiap strategi pencegahan risiko (ETDk) pada proses pemeliharaan dapat dilihat
pada Lampiran 6c sehingga didapatkan Tabel 47. Berdasarkan tabel tersebut,
nilai keefektifan derajat kesulitan tertinggi adalah pengecekan secara rutin
terhadap selang drip agar tidak tersumbat lumut atau daun. Strategi ini
memiliki nilai TEk tertinggi dan Dk terendah sehingga dapat dianggap paling
efektif dan paling mudah dilakukan bagi perusahaan. Sedangkan strategi
preventif yang memiliki nilai keefektifan derajat kesulitan terendah adalah
penyemprotan pestisida organik secara rutin dengan nilai TEk dan nilai Dk
tinggi sehingga dianggap kurang efektif dan paling sulit dilakukan.
149
Tabel 47. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari tiap
Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemeliharaan
Kode Strategi Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P9
Pengecekan secara
rutin terhadap selang
drip agar tidak
tersumbat lumut atau
daun
2014.31 A13, A11
A13 = Tenaga kerja
kurang memperhatikan
adanya tanaman yang
rusak atau terkena
penyakit
A11 = Tenaga kerja
kurang melakukan
kontrol selang drip
sehingga terdapat lumut
P10
Membersihkan dan
menjaga alat-alat
produksi yang dipakai
1859.37 A13, A11
A13 = Tenaga kerja
kurang memperhatikan
adanya tanaman yang
rusak atau terkena
penyakit
A11 = Tenaga kerja
kurang melakukan
kontrol selang drip
sehingga terdapat lumut
P8 Pemberian jobdesc
tertulis yang jelas 1726.55 A13, A11
A13 = Tenaga kerja
kurang memperhatikan
adanya tanaman yang
rusak atau terkena
penyakit
A11 = Tenaga kerja
kurang melakukan
kontrol selang drip
sehingga terdapat lumut
P7
Penyemprotan
pestisida organik
secara rutin
972 A13
A13 = Tenaga kerja
kurang memperhatikan
adanya tanaman yang
rusak atau terkena
penyakit Sumber : Lampiran 6c
150
6.5.4. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemanenan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari
tiap strategi pencegahan risiko (ETDk) pada proses pemanenan dapat dilihat
pada Lampiran 6d sehingga didapatkan Tabel 48 Berdasarkan tabel tersebut,
nilai keefektifan derajat kesulitan tertinggi adalah membuat SOP tertulis
kualitas bayam siap atau layak panen dan proses pemanenan. Strategi ini
memiliki nilai TEk tertinggi dan Dk terendah sehingga dapat dianggap paling
efektif dan paling mudah dilakukan bagi perusahaan. Adapun penerapan
strategi ini diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas bayam yang
dipanen oleh perusahaan. Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai
keefektifan derajat kesulitan terendah adalah membuat jadwal pola tanam yang
tepat dengan nilai TEk dan nilai Dk tinggi sehingga dianggap kurang efektif dan
paling sulit dilakukan.
Tabel 48. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari tiap
Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pemanenan
Kode Strategi Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab
Risiko
P11
Membuat SOP tertulis
kualitas bayam
siap/layak panen dan
proses pemanenan
870.75 A16, 17
A16 = Tidak adanya SOP
tertulis dalam menentukan
kualitas bayam
A17 = Umur bayam
dipanen sebelum waktu
panen
P13 Membuat jadwal pola
tanam yang tepat 110.077 A17
A17 = Umur bayam
dipanen sebelum waktu
panen Sumber : Lampiran 6d
151
6.5.5. Perhitungan Keefektifan Derajat Kesulitan dari Tiap Strategi
Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pengemasan
Berdasarkan hasil perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari
tiap strategi pencegahan risiko (ETDk) pada proses pengemasan dapat dilihat
pada Lampiran 6e sehingga didapatkan Tabel 49. Berdasarkan tabel tersebut,
nilai keefektifan derajat kesulitan tertinggi adalah Membuat SOP tertulis
pengemasan bayam. Strategi ini memiliki nilai TEk tertinggi dan Dk terendah
sehingga dapat dianggap paling efektif dan paling mudah dilakukan bagi
perusahaan. Adapun penerapan strategi ini diharapkan akan mampu
meminimalisir kesalahan dalam pengemasan sehingga tidak merugikan
perusahaan.
Sedangkan strategi preventif yang memiliki nilai keefektifan derajat
kesulitan terendah adalah melakukan tata ulang letak ruang pengemasan
dengan nilai TEk dan nilai Dk tinggi sehingga dianggap kurang efektif dan
paling sulit dilakukan.
Tabel 49. Hasil Perhitungan Nilai Keefektifan Derajat Kesulitan dari tiap
Strategi Pencegahan Risiko (ETDk) pada Proses Pengemasan
Kode Strategi
Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab Risiko
P14
Membuat SOP
tertulis
pengemasan
bayam
2377.04 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P16
Melakukan
evaluasi rutin
setiap tahapan
kegiatan
2207.25 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
152
Kode Strategi
Preventif ETDk
Penyebab
Risiko
dengan
Korelasi
Tertinggi
Keterangan Penyebab Risiko
produksi A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P15
Dilakukan
pengawasan
oleh pihak
kepala kebun
1931.34 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P18
Meletakan
bayam yang
dipanen
kedalam
keranjang
dengan posisi
seragam
1156.5 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah
P17
Melakukan tata
ulang letak
ruang
pengemasan
214.594 A23, A20,
A21
A23 = Tidak ada SOP
pengemasan bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
A21 = Permukaan daun dan
batang bayam masih basah Sumber : Lampiran 6e
6.6. Prioritas Aksi Strategi Preventif
Berdasarkan pengukuran keefektifan derajat kesulitan (ETDk) dari tiap
strategi preventif maka didapatkan prioritas aksi atau stratgei preventif risiko
yang telah ditetapkan pada masing-masing proses produksi bayam hidroponik.
6.6.1. Prioritas Aksi Strategi Preventif pada Proses Penyemaian
Urutan prioritas pelaksanaan tiap aksi atau strategi preventif
penanganan risiko yang telah ditetapkan pada proses penyemaian adalah
sebagai berikut:
153
1) Membuat SOP tertulis tentang penyemaian (P1)
2) Membuat jadwal pola tanam yang tepat (P3)
3) Menghitung jumlah biji bayam yang akan disemai (P2)
Penetapan prioritas aksi strategi preventif diatas berdasarkan hasil
perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari setiap strategi pencegahan
risiko (ETDk) yang telah dibahas pada Tabel 45. Prioritas aksi strategi preventif
ini bertujuan untuk mengetahui pengurutan strategi yang memiliki prioritas
penting dalam menangani risiko yang ada.
6.6.2. Prioritas Aksi Strategi Preventif pada Proses Penanaman
Urutan prioritas pelaksanaan tiap aksi atau strategi preventif
penanganan risiko yang telah ditetapkan pada proses penanaman adalah
sebagai berikut:
1) Pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air (P5)
2) Menyediakan blower atau kipas pada screenhouse (P4)
Penetapan prioritas aksi strategi preventif diatas berdasarkan hasil
perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari setiap strategi pencegahan
risiko (ETDk) yang telah dibahas pada Tabel 46. Prioritas aksi strategi
preventif ini bertujuan untuk mengetahui pengurutan strategi yang memiliki
prioritas penting dalam menangani risiko yang ada.
6.6.3. Prioritas Aksi Strategi Preventif pada Proses Pemeliharaan
Urutan prioritas pelaksanaan tiap aksi atau strategi preventif
penanganan risiko yang telah ditetapkan pada proses pemeliharaan adalah
sebagai berikut:
154
1) Pengecekan secara rutin terhadap selang drip agar tidak tersumbat lumut
atau daun (P9)
2) Membersihkan dan menjaga alat-alat produksi yang dipakai (P10)
3) Pemberian jobdesc tertulis yang jelas (P8)
4) Penyemprotan pestisida organik secara rutin (P7)
Penetapan prioritas aksi strategi preventif diatas berdasarkan hasil
perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari setiap strategi pencegahan
risiko (ETDk) yang telah dibahas pada Tabel 47. Prioritas aksi strategi
preventif ini bertujuan untuk mengetahui pengurutan strategi yang memiliki
prioritas penting dalam menangani risiko yang ada.
6.6.4. Prioritas Aksi Strategi Preventif pada Proses Pemanenan
Urutan prioritas pelaksanaan tiap aksi atau strategi preventif
penanganan risiko yang telah ditetapkan pada proses pemanenan adalah
sebagai berikut:
1) Membuat SOP tertulis kualitas bayam siap/layak panen dan proses
pemanenan (P11)
2) Membuat jadwal pola tanam yang tepat (P13)
Penetapan prioritas aksi strategi preventif diatas berdasarkan hasil
perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari setiap strategi pencegahan
risiko (ETDk) yang telah dibahas pada Tabel 48. Prioritas aksi strategi
preventif ini bertujuan untuk mengetahui pengurutan strategi yang memiliki
prioritas penting dalam menangani risiko yang ada.
155
6.6.5. Prioritas Aksi Strategi Preventif pada Proses Pengemasan
Urutan prioritas pelaksanaan tiap aksi atau strategi preventif
penanganan risiko yang telah ditetapkan pada proses pengemasan adalah
sebagai berikut:
1) Membuat SOP tertulis pengemasan bayam (P14)
2) Melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan produksi (P16)
3) Dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun (P15)
4) Meletakan bayam yang dipanen kedalam keranjang dengan posisi seragam
(P18)
5) Melakukan tata ulang letak ruang pengemasan (P17)
Penetapan prioritas aksi strategi preventif diatas berdasarkan hasil
perhitungan nilai keefektifan derajat kesulitan dari setiap strategi pencegahan
risiko (ETDk) yang telah dibahas pada Tabel 49. Prioritas aksi strategi
preventif ini bertujuan untuk mengetahui pengurutan strategi yang memiliki
prioritas penting dalam menangani risiko yang ada.
6.7. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko
Pada bagian atas tabel HOR fase 2 seperti pada Lampiran 6 a, b, c, d,
dan e terdapat hubungan kuat positif (++) dan positif (+). Apabila dua aksi atau
strategi preventif berhubungan kuat positif maka perusahaan bisa memilih
salah satu diantara dua strategi preventif tersebut. Sedangkan bila berhubungan
positif maka perusahaan bisa memadukan antara dua strategi preventif yang
156
berhubungan positif tersebut. Selain itu, apabila strategi preventif tidak
memiliki hubungan maka perusahaan perlu menjalankan tiap strategi-strategi
preventif tersebut.
6.7.1. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Penyemaian
Terdapat strategi yang memiliki hubungan kuat positif (++) antara
strategi pencegahan risiko pada proses penyemaian seperti pada Lampiran 6a.
Strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan hubungan kuat positif (++)
adalah strategi membuat SOP tertulis tentang penyemaian dengan strategi
menghitung jumlah biji bayam yang akan disemai yang artinya perusahaan
dapat memilih salah satu dari dua strategi preventif tersebut karena dianggap
memiliki tujuan pencegahan kemunculan penyebab risiko yang sama
6.7.2. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Penanaman
Terdapat strategi yang memiliki hubungan positif (+) dan kuat positif
(++) antara strategi pencegahan risiko pada proses penanaman seperti pada
Lampiran 6b. Strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan positif (+)
adalah strategi pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air
dengan strategi pengawasan secara rutin terhadap pekerja, yang berarti strategi
tersebut dapat dilakukan secara bersamaan atau dikombinasikan antara
keduanya karena narasumber menganggap kedua strategi tersebut dapat saling
melengkapi dan memaksimalkan berkurangnya kemunculan penyebab risiko.
Sedangkan strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan kuat positif
(++) adalah strategi menyediakan blower atau kipas pada screenhouse dengan
157
strategi pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air yang
artinya perusahaan dapat memilih salah satu dari dua strategi preventif tersebut
karena dianggap memiliki tujuan pencegahan kemunculan penyebab risiko
yang sama.
6.7.3. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pemeliharaan
Terdapat strategi yang memiliki hubungan positif (+) antara strategi
pencegahan risiko pada proses pemeliharaan seperti pada Lampiran 6c. Strategi
pencegahan risiko yang memiliki hubungan positif (+) adalah strategi
pemberian jobdesc tertulis yang jelas dengan strategi pengecekan secara rutin
terhadap selang drip agar tidak tersumbat lumut atau daun, yang berarti strategi
tersebut dapat dilakukan secara bersamaan atau dikombinasikan antara
keduanya karena narasumber menganggap kedua strategi tersebut dapat saling
melengkapi dan memaksimalkan berkurangnya kemunculan penyebab risiko.
6.7.4. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pemanenan
Terdapat strategi yang memiliki hubungan kuat positif (++) antara
strategi pencegahan risiko pada proses pemanenan seperti pada Lampiran 6d.
Strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan kuat positif (++) adalah
strategi membuat SOP tertulis kualitas bayam siap/layak panen dan proses
pemanenan dengan strategi membuat jadwal pola tanam yang tepat yang
artinya perusahaan dapat memilih salah satu dari dua strategi preventif tersebut
karena dianggap memiliki tujuan pencegahan kemunculan penyebab risiko
yang sama.
158
6.7.5. Hubungan Kuat Positif antara Dua Strategi Pencegahan Risiko pada
Proses Pengemasan
Terdapat strategi yang memiliki hubungan positif (+) dan kuat positif
(++) antara strategi pencegahan risiko pada proses pengemasan seperti pada
Lampiran 6e. Strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan positif (+)
adalah strategi dilakukan pengawasan oleh pihak kepala kebun dengan strategi
melakukan evaluasi rutin setiap tahapan kegiatan produksi, yang berarti strategi
tersebut dapat dilakukan secara bersamaan atau dikombinasikan antara
keduanya karena narasumber menganggap kedua strategi tersebut dapat saling
melengkapi dan memaksimalkan berkurangnya kemunculan penyebab risiko.
Sedangkan strategi pencegahan risiko yang memiliki hubungan kuat positif
(++) adalah strategi membuat SOP tertulis pengemasan bayam dengan strategi
meletakan bayam yang dipanen kedalam keranjang dengan posisi seragam
yang artinya perusahaan dapat memilih salah satu dari dua strategi preventif
tersebut karena dianggap memiliki tujuan pencegahan kemunculan penyebab
risiko yang sama.
159
BAB VII
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis yang telah dilakukan pada
proses produksi bayam hidroponik di Serua Farm, guna menjawab
perumusan masalah maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Risiko produksi bayam hidroponik yang dihadapi oleh Serua Farm
dikelompokkan menjadi penyebab risiko dan kejadian risiko. Terdapat 23
penyebab risiko (Risk Agent) pada keseluruhan proses produksi bayam
hidroponik, diantaranya adalah 3 penyebab risiko pada proses
penyemaian, 6 penyebab risiko pada proses penanaman, 5 penyebab
risiko pada proses pemeliharaan, 4 penyebab risiko pada proses
pemanenan dan 5 penyebab risiko pada proses pengemasan. Sedangkan
kejadian risiko (Risk Event) pada proses produksi berjumlah 22 kejadian,
yaitu 3 kejadian risiko pada proses penyemaian, 6 kejadian risiko pada
proses penanaman, 5 kejadian risiko pada proses pemeliharaan, 4
kejadian risiko pada proses pemanenan dan 4 kejadian risiko pada proses
pengemasan.
2. Hasil pengukuran risiko pada proses produksi bayam hidroponik
ditunjukkan dengan nilai ARP. Penilaian ARP tertinggi pada proses
penyemaian adalah Tumbuhnya lumut pada rockwool dengan nilai
163.31. Penilaian ARP tertinggi pada proses penanaman yang harus
diprioritaskan untuk diberikan strategi pencegahan adalah suhu udara
melebih 30°C dengan nilai 286.88. Penilaian ARP tertinggi pada proses
160
pemeliharaan yang harus diprioritaskan untuk diberikan strategi
pencegahan adalah tenaga kerja kurang memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit dengan nilai 378. Penilaian ARP
tertinggi pada proses pemanenan yang harus diprioritaskan untuk
diberikan strategi pencegahan adalah tidak adanya SOP tertulis dalam
menentukan kualitas bayam dengan nilai 219.38. Penilaian ARP tertinggi
pada proses pengemasan yang harus diprioritaskan untuk diberikan
strategi pencegahan adalah tidak ada SOP pengemasan bayam dengan
nilai 329.06.
3. Hasil pemetaan risiko yang terjadi pada produksi bayam hidroponik di
Serua Farm didapatkan total 12 penyebab risiko yang menjadi prioritas
untuk dijadikan penanganan risiko. Pada proses penyemaian terdapat 2
penyebab risiko prioritas dengan persentase kumulatif penyebab risiko
tertinggi yaitu setelah benih disemai tidak diletakan ditempat teduh atau
tidak terkena sinar matahari. Pada proses penanaman terdapat 3 penyebab
risiko prioritas dengan persentase kumulatif penyebab risiko tertinggi
yaitu suhu udara melebihi 30°C. Pada proses pemeliharaan terdapat 2
penyebab risiko prioritas dengan persentase kumulatif penyebab risiko
tertinggi yaitu tenaga kerja kurang memperhatikan adanya tanaman yang
rusak atau terkena penyakit. Pada proses pemanenan terdapat 2 penyebab
risiko prioritas dengan persentase kumulatif penyebab risiko tertinggi
yaitu tidak adanya SOP tertulis dalam menentukan kualitas bayam. Pada
proses pengemasan terdapat 3 penyebab risiko prioritas dengan
161
persentase kumulatif penyebab risiko tertinggi yaitu tidak adanya SOP
pengemasan bayam.
4. Berdasarkan pemetaan pareto yang menjadi prioritas penanganan risiko,
maka didapatkan 16 strategi preventif pencegahan risiko guna
menghindari risiko tersebut terjadi kembali. Strategi yang memiliki nilai
ETDk tertinggi berarti strategi tersebut dianggap paling efektif dan
mudah dilaksanakan. Pada proses penyemaian terdapat 3 strategi
preventif, strategi yang memiliki nilai ETDk tertinggi adalah membuat
SOP tertulis tentang penyemaian. Pada proses penanaman terdapat 2
strategi preventif, strategi yang memiliki nilai ETDk tertinggi adalah
pengecekan secara rutin terhadap suhu air dan kadar nutrisi air. Pada
proses pemeliharaan terdapat 4 strategi preventif, strategi yang memiliki
nilai ETDk tertinggi adalah pengecekan secara rutin terhadap selang drip
agar tidak tersumbat lumut atau daun. Pada proses pemanenan terdapat 2
strategi preventif, strategi yang memiliki nilai ETDk tertinggi adalah
membuat SOP tertulis kualitas bayam siap atau layak panen serta proses
pemanenan. Pada proses pengemasan terdapat 5 strategi preventif,
strategi yang memiliki nilai ETDk tertinggi adalah membuat SOP tertulis
pengemasan bayam.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut :
162
1. Serua Farm sebaiknya membuat SOP tertulis terkait produksi bayam
hidroponik, karena adanya SOP akan menciptakan ukuran standar kinerja
bagi pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, serta dapat mengurangi
kesalahan dan kelalaian yang mungkin saja terjadi pada saat proses
produksi bayam hidroponik yang pada akhirnya akan merugikan
perusahaan itu sendiri.
2. Pemilik sebagai pengawas saat ini dikarenakan keterbatasan pemilik
untuk melakukan pengawasan secara rutin akibat jarak tempuh yang jauh,
sebaiknya menunjuk salah satu karyawan untuk melakukan tugas
pengawasan pada kegiatan produksi bayam hidroponik secara lebih ketat
lagi kepada para pekerja.
3. Penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan
melakukan analisis risiko menggunakan metode lainnya serta melakukan
analisis risiko pada tingkat pelaku usaha yang lebih luas baik dari sisi
produksi maupun ke konsumen akhir dari produk bayam hidroponik.
163
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nurul dan Azizah, Nur. 2018. Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran secara
Hidroponik. UB Press, Malang.
Alviani, Puput. 2015. Bertanam Hidroponik untuk Pemula. Bibit Publisher,
Jakarta Timur.
Andayani, Sri Ayu. 2017. Manajemen Agribisnis : Pendekatan Manajemen dalam
Agribisnis. CV Media Cendikia Muslim, Bandung.
Annisa, Amalia Suci. 2017. Analisis Risiko Produksi Susu Kambing di CV
Sawangan Farm Dairy. [Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi, UIN
Jakarta.
Ariani, Dorothea. 2004. Pengendalian Kualitas Statistik (Pendekatan Kuantitatif
dalam Manajemen Kualitas). Penerbit Andi, Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Inovasi Hortikultura
Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat. IAARD Press, Jakarta.
Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. 2017. Buku Petunjuk Teknis Budidaya
Sayuran Hidroponik (Bertanam tanpa Media Tanah). BPTP Balitbangtan,
Riau.
Basyaib, Fachmi. 2007. Manajemen Risiko. PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
Estu, Hakas Putri. 2017. Analisis Risiko Produksi Bunga Krisan Potong dengan
Pendekatan Failure Mode And Effect Analysis (Fmea) dan Fishbone
Diagrams di Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. [Skripsi].
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institus
Pertanian Bogor, Bogor.
Fahmi, Irham. 2010. Manajemen Risiko; Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung,
Alfabeta.
Fuad, dkk. 2006. Pengantar Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Darmawi, Herman. 2010. Manajemen Risiko. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Djohanputro, Bramantyo. 2008. Manajemen Korporat. PPM Manajemen, Bogor.
Hadisoeganda, A. Widjaja. 1996. Bayam Sayuran Penyangga Petani di Indonesia.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.
164
Hafizha, Fernanda Aghnia. 2017. Mitigasi Risiko Produksi Susu Sapi pada
Peternakan Sapi Rakyat (Studi Kasus pada Peternakan Mahesa Perkasa
Farm, Kota Depok, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Sains dan Teknologi,
UIN Jakarta.
Hanggraeni, Dewi. 2008. Pengelolaan Risiko Usaha. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, Jakarta.
Hanson, James dkk. 2004. Risk and Risk Management in Organic Agriculture:
Views of Organic Farmers. Department of Agricultural and Resource
Economics The University of Maryland, College Park.
Harwood, Joy dkk. 1999. Managing Risk in Farming: Concepts, Research, and
Analysis. Washington, DC.
Heizer, Jay dan Barry Render. 2014. Manajemen Operasi. Ed ke-11. Penerjemah :
Horison Kurnia. Salemba Empat, Jakarta.
Huirne, Ruud.B.M. 2003. Strategy and Risk in Farming. Wageningen Journal of
Life Sciences. Vol. 50. No. 2. Hal 249 - 259. DOI : 10.1016/S1573
5214(03)80010-6.https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S1573521403
800106?token=2A3EEE4B369022201AE3F7D1D0126EC02F6388BDC4
4222071698BA057EDDBDA1BD5003774028E45C2D12E735777BC037
Diakses pada tanggal 11 Oktober 2020, pukul 10.40 WIB.
Huirne, dkk. 2000. Risk and Risk Management in Agriculture : an Overview and
Empirical Results. International Journal Risk Assessment and
Management. Vol. 1. No.1. Hal 125-136. DOI : 10.1504/IJRAM.2000.001
491.https://www.researchgate.net/publication/264441447_Risk_and_risk_
management_in_agriculture_An_overview_and_empirical_results.
Diakses pada tanggal 11 Oktober 2020, pukul 11.53 WIB.
Jabir, Ali dan Kapoor, Sanjeev. 2008. Farmers' perception on risks in fruits and
vegetables production: an empirical study of Uttar Pradesh. Agricultural
Economics Research Review. Vol. 21.
https://www.researchgate.net/publication/227365161_Farmers'_perception
_on_risks_in_fruits_and_vegetables_production_an_empirical_study_of_
Uttar_Pradesh. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2019, pukul 19.55 WIB.
Juhaeti, Titi, dkk. 2014. Prospek dan Teknologi Budidaya Beberapa Jenis
Sayuran Lokal. LIPI Press, Jakarta.
Kasidi. 2010. Manajemen Risiko. Penerbit Ghalia, Bogor.
165
Khan, Fraz Ahmad, dkk. 2018. A Review on Hydroponic Greenhouse Cultivation
for Sustainable Agriculture. International Journal of Agriculture,
Environment and Food Sciences.e-ISSN : 2618-5946.
https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/531618. Diakses pada
tanggal 1 September 2020, pukul 21.20 WIB.
Kountur, Ronny. 2008. Mudah Memahami Manajemen Risiko Perusahaan. PPM,
Jakarta.
Kuswandi dan Erna Mutiara. 2004. Delta Delapan Langkah dan Tujuh Alat
Statistik untuk Peningkatan Mutu Berbasis Komputer. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Lutfi, Ahmad dan Herry Irawan. 2012. Analisis Risiko Rantai Pasok De Model
House of Risk (Studi kasus pada PT. XXX). Manajemen Indonesia: Ejurnal.
Htpp://ijm.telkomuniversity.ac.id/wpcontent/uploads/2015/02/Vol.-12.
Moesa, Zulfikar. 2016. Hidroponik Kreatif, Membangun Instalasi Unik
Menggunakan Barang Bekas. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Mulyadi. 2007. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Salemba
Empat, Yogyakarta.
Okemwa, Ezekiel. 2015. Effectiveness of Aquaponic and Hydroponic Gardening
to Traditional Gardening. International Journal of Scientific Research and
Innovative Technology. Vol. 2. No. 12. ISSN : 2313-3759.
http://www.ijsrit.com/uploaded_all_files/3563230518_m3.pdf. Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2020, pukul 13.19 WIB.
Paeru dan Dewi, Trias Kurnia. 2018. Panduan Praktis Bertanam Sayuran di
Perkarangan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prastio, Untung. 2015. Panen Sayuran Hidroponik Setiap Hari. PT Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Prihmantoro, Heru dan Indriani, Yovita. 1998. Hidroponik Sayuran Semusim
untuk Bisnis dan Hobi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pujawan dan Geraldine. 2009. House of Risk : A Model of Proactive Supply Chain
Risk Management. Jurnal Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Rosliani, Rini dan Sumarni, Nani. 2005. Budidaya Tanaman Sayuran dengan
Sistem Hidroponik. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.
Rukmana, Rahmat. 2005. Bertanam Sayuran di Pekarangan. Kanisius,
Yogyakarta.
166
Rukmana, Rahmat dan Yudirachman, Herdi. 2016. Bisnis dan Budidaya Sayuran
Baby. Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung.
Saparinto, Cahya. 2013. Grow Your Own Vegetables, Panduan Praktis Menanam
14 Sayuran Konsumsi Populer di Pekarangan.Lily Publisher, Yogyakarta.
Setiawan, Andre. 2019. Buku Pintar Hidroponik. Laksana, Yogyakarta.
Setiawan, Hendra. 2017. Kiat Sukses Budidaya Cabai Hidroponik. Bio Genesis,
Yogyakarta.
Setyaningrum, Hesti Dwi dan Saparinto, Cahyo. 2011. Panen Sayur secara Rutin
di Lahan Sempit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sharma, Nisha dkk. 2018. Hydroponics as an advanced technique for vegetable
production: An overview. Journal of Soil and Water Conservation. ISSN :
022-457X.
Shinta, Nadira Desiana dan Nur Wiyono Sulistyodewi. 2017. Analisis Risiko
Produksi Baby Buncis pada Kelompok Tani di Kabupaten Bandung Barat.
[Skripsi]. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Sinulingga, Sukaria. 2013. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Sitorus, Novianti. 2011. Analisis Risiko Produksi Bayam dan Kangkung
Hidroponik pada Parung Farm Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
[Skripsi]. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sofyan, Iban. 2004. Manajemen Risiko. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Soleh, Mohamad. 2020. Risk Culture : Creating and Protecting Value by
Nurturing Risk Culture. Edu Publisher. Jawa Barat
Sunarjono, Hendro. 2013. Bertanam 36 Jenis Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sunarjono, Hendro dan Nurrohmah, Febriani. 2018. Bertanam Sayuran Daun
dan Umbi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Susilawati. 2019. Dasar-dasar Bertanam secara Hidroponik. Unsri Press,
Palembang.
Sutanto, Teguh. 2015. Rahasia Sukses Budidaya Tanaman dengan Metode
Hidroponik. Bibit Publisher, Depok.
167
Sutiyoso, Yos. 2006. Hidroponik Ala Yos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Swastika, dkk. 2017. Budidaya Sayuran Hidroponik Bertanam Tanpa Media
Tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Riau.
Syariefa, Evy, dkk. 2014. Hidroponik Praktis. PT Trubus Swadaya, Depok.
Tisnowati, Henny, Musa Hubeis dan Hartisari Hardjomidjojo. 2008. Analisis
Pengendalian Mutu Produksi Roti (Kasus PT. AC, Tangerang). E-jurnal.
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalmpi/article/view/806. Diakses pada
tanggal 15 Desember 2019, Pukul 19.19 WIB.
Triono, Agus R. 2012. Pengambilan Keputusan Manajerial ; Teori dan Praktik
untuk Manajer dan Akademisi. Salemba Empat, Jakarta.
Ulfah, Maria, Mohammad Syamsul Maarif, Sukardin dan Sapta Raharja. 2016.
Analisis dan Perbaikan Manajemen Risiko Rantai Pasok Gula Rafinasi
dengan Pendekatan House of Risk. Jurnal. Vol 25 No. 1 Hal 87 – 103.
Institut Pertanian Bogor E-Jurnal. http://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalti
n/article/view/13129. Diakses pada tanggal 25 Januari 2019, Pukul 20.19
WIB.
Umar, dkk. 2016. Jago Bertanam Hidroponik untuk Pemula. PT Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Wahyudi. 2010. Petunjuk Praktis Bertanam Sayuran. PT Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Wastra, Akhmad Riyadi dan Akhmad Mahbubi. 2013. Risiko Agribisnis. Jakarta :
UIN JAKARTA PRESS.
168
LAMPIRAN
169
Lampiran 1. Wawancara Profil Perusahaan dan Identifikasi Risiko
WAWANCARA PROFIL PERUSAHAAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO
I. DATA INFROMAN
Nama :
Umur :
Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan
Jabatan :
II. DAFTAR PERTANYAAN
A. PROFIL SERUA FARM
1. Bagaimana sejarah berdirinya Serua Farm?
2. Apa tujuan didirikannya Serua Farm?
3. Apa visi dan misi dari Serua Farm?
4. Bagaimana struktur organisasi di Serua Farm?
5. Apa saja produk yang dihasilkan atau dibudidayakan di Serua Farm?
B. IDENTIFIKASI RISIKO PENANAMAN
1. Bagaimana proses penanaman bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
2. Bagaimana parameter lingkungan di sekitar Serua Farm?
3. Apakah terdapat risiko pada proses penanaman yang dapat mempengaruhi
hasil produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
4. Apakah peralatan dalam melakukan proses penanaman telah memadai?
C. IDENTIFIKASI RISIKO PEMELIHARAAN
1. Bagaimana proses pemeliharaan bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
2. Apakah pekerja mengetahui proses pemeliharaan di Serua Farm?
170
3. Bagaimana kondisi lingkungan di sekitar Serua Farm?
4. Apakah terdapat risiko pada proses pemeliharaan yang dapat
mempengaruhi hasil produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
D. IDENTIFIKASI RISIKO PEMANENAN
1. Bagaimana proses pemanenan bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
2. Apa saja kriteria yang dibutuhkan untuk dapat diterima menjadi petugas
produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
3. Apakah fasilitas untuk pemanenan telah memadai atau tidak kekurangan
di Serua Farm?
4. Apa saja kriteria bayam hijau hidroponik yang baik untuk di panen di
Serua Farm?
5. Apakah pekerja mengetahui kriteria bayam hijau hidroponik yang baik
yang dapat dipanen di Serua Farm?
6. Apakah terdapat risiko pada proses pemanenan yang dapat mempengaruhi
hasil produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
E. IDENTIFIKASI RISIKO PENGEMASAN
1. Bagaimana proses pengemasan bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
2. Apakah fasilitas untuk pengemasan telah memadai atau tidak kekurangan
di Serua Farm?
3. Apakah terdapat risiko pengemasan yang dapat mempengaruhi hasil
produksi bayam hijau hidroponik di Serua Farm?
4. Apa saja kriteria pekerja untuk dapat melakukan proses pengemasan di
Serua Farm?
171
Lampiran 2. Matriks Instrumen Penelitian
No Sub Variabel Parameter Kemungkinan Penyebab Risiko Kemungkinan Kejadian Risiko
1. Penyemaian Semaian 1. Tidak adanya SOP penyemaian secara
tertulis
2. Setelah benih disemai tidak diletakan
ditempat teduh atau tidak terkena sinar
matahari
3. Tumbuhnya lumut pada rockwool
1. Benih terbuang percuma
2. Bayam terjatuh hingga mati
3. Pertumbuhan semaian menjadi lambat
2. Penanaman Parameter
Lingkungan
4. Suhu udara melebihi 30° C
5. Kelembaban udara tinggi
6. Intensitas cahaya matahari terlalu tinggi
4. Tanaman menjadi layu
5. Tanaman menjadi mudah busuk dan
berjamur
6. Tanaman bayam terbakar pada bagian
daun
Rak Pembesaran 7. Jarak antar lubang tanam kurang dari 15
cm
7. Tanaman menjadi tumpang tindih
Pentingnya Air 8. Suhu air melebihi 25° C 8. Tanaman tidak dapat menyerap air
nutrisi sehingga membusuk
Screenhouse
Pembibitan
9. Tidak ada yellow trap pada screenhouse 9. Tanaman mudah terserang hama dan
pathogen
3. Pemeliharaan Pengecekan
Selang
10. Aliran air nutrisi dimatikan pada malam
hari
11. Tenaga kerja kurang melakukan kontrol
selang drip sehingga terdapat lumut
10. Tanaman kekurangan nutrisi membuat
tanaman mati atau kerdil
11. Air nutrisi tidak lancar karena
terhambat oleh lumut, tanaman
kekurangan nutrisi
Penyiangan
Gulma
12. Tenaga kerja malas dalam melakukan
sanitasi di sekitar rak produksi
12. Hama dan penyakit bersarang di
sekitar rak produksi
172
Tenaga Kerja 13. Tenaga kerja kurang memperhatikan
adanya tanaman yang rusak atau terkena
penyakit
14. Tenaga kerja membiarkan bayam merah
dan bayam hijau tumbuh dalam satu
netpot
13. Hama dan penyakit menular ke
tanaman lainnya
14. Persaingan kebutuhan air, nutrisi dan
cahaya
4. Pemanenan Standar Kualitas 15. Tata letak pemanenan dilakukan dengan
wadah akar berada dibawah
16. Tidak adanya SOP tertulis dalam
menentukan kualitas bayam
17. Umur bayam dipanen sebelum waktu
panen
18. Hasil tidak langsung diletakan diruang
pendingin
15. Tanaman saat diambil akan mudah
sobek daunnya
16. Bayam tidak layak panen akan
mempengaruhi bayam lainnya apabila
dikemas
17. Tanaman bayam tidak seragam
18. Bayam menjadi cepat busuk karena
terjadi respirasi
5. Pengemasan Penyimpanan 19. Tidak menggunakan ruangan pendingin
untuk menyimpan bayam yang telah
dikemas
19. Bayam menjadi mudah busuk / lembek
Mempertahankan
Kualitas
20. Tidak ada proses sortasi
21. Tenaga kerja lalai dalam melakukan
pengemasan
22. Permukaan daun dan batang bayam
masih basah
23. Tidak ada SOP pengemasan bayam
20. Bayam dengan kondisi yang rusak
dapat masuk kedalam kemasan
21. Bayam menjadi tidak segar dan mudah
layu
Lampiran 2. Lanjutan
173
Lampiran 3a. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan
Tingkat Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses
Penyemaian
HASIL KUESIONER PENELITIAN PUTARAN PERTAMA
KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS RISIKO PRODUKSI BAYAM HIJAU HIDROPONIK DI
SERUA FARM KOTA DEPOK
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Saya Wasis Vidya Hajjarwati mahasiswi (S1) Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan penelitian skripsi yang berjudul “Analisis
Risiko Produksi Bayam Hijau Hidroponik di Serua Farm Kota Depok”. Salah satu
cara untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner, untuk
itu saya mengharapkan kesediaan anda untuk mengisi kuesioner ini. Segala
informasi yang anda berikan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian
ini. Semua jawaban yang anda berikan bersifat rahasia. Atas perhatian dan
kerjasama anda, saya ucapkan terima kasih.
Data Informan
Nama :.............................
Usia :..............................
Jenis Kelamin : Laki – Laki / Perempuan
Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadapa frekuensi atau peluang
terjadinya risiko beserta dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
muncul.
2. Pengisian kuesioner dilakukan dengan memberikan tanda checklist ( √ )
174
3. Jika terdapat pertanyaan yang Bapak/Ibu tidak pahami mohon untuk
melingkari nomor pertanyaan.
4. Keterangan unutk penilaian “Frekuensi atau Peluang Kemunculan
Penyebab Risiko (Aj)”
1 = Sangat Rendah (Tidak pernah terjadi)
2 = Rendah (Jarang terjadi, hanya pada kondisi tertentu)
3 = Sedang (Terjadi pada kondisi tertentu)
4 = Tinggi (Sering terjadi pada setiap kondisi)
5 = Sangat Tinggi (Selalu terjadi pada setiap kondisi)
A. Identifikasi Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) pada Proses Penyemaian
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Narasumber
Oj Charlie Een Putri Dian
A1 Tidak adanya SOP penyemaian
secara tertulis 1 4 4 4 3.25
A2
Setelah benih disemai tidak
diletakan ditempat teduh atau
tidak terkena sinar matahari
1 5 5 5 4.00
A3 Tumbuhnya lumut pada rockwool 4 3 3 4 3.50
Keterangan :
Oj didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
B. Tingkat Pengaruh atau Dampak Kejadian Risiko (Severity) pada Proses
Penyemaian
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Narasumber
Si Charlie Een Putri Dian
E1 Benih terbuang percuma 3 5 4 4 4.00
E2 Bayam terjatuh hingga mati 3 5 4 4 4.00
E3
Pertumbuhan semaian menjadi
lambat 5 5 4 3 4.25
Keterangan :
Si didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
175
Lampiran 4b. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan
Tingkat Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses
Penanaman
A. Identifikasi Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) pada Proses Penanaman
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Narasumber
Oj Charlie Een Putri Dian
A4 Suhu udara melebihi 30° C 4 4 3 4 3.75
A5 Kelembaban udara tinggi 3 3 2 3 2.75
A6 Intensitas cahaya matahari terlalu
tinggi 4 2 3 4 3.25
A7 Suhu air melebihi 25° C 4 2 4 5 3.75
A8 Tidak ada yellow trap pada
screenhouse 1 5 3 3 3.00
A9 Jarak antar lubang tanam kurang
dari 15 cm 1 3 3 4 2.75
Keterangan :
Oj didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
B. Tingkat Pengaruh atau Dampak Kejadian Risiko (Severity) pada
Proses Penanaman
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Narasumber
Si Charlie Een Putri Dian
E4 Tanaman menjadi layu 4 4 4 4 4.00
E5
Tanaman menjadi mudah busuk
dan berjamur 2 4 4 4 3.50
E6
Tanaman bayam terbakar pada
bagian daun 2 3 4 4 3.25
E7
Tanaman tidak dapat menyerap
air nutrisi sehingga membusuk 1 2 4 4 2.75
E8
Tanaman mudah terserang hama
dan pathogen 3 5 4 4 4.00
E9 Tanaman menjadi tumpang
tindih 3 3 3 3 3.00
Keterangan :
Si didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
176
Lampiran 3c. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan
Tingkat Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses
Pemeliharaan
A. Identifikasi Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) pada Proses Pemeliharaan
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Narasumber
Oj Charlie Een Putri Dian
A10 Aliran air nutrisi dimatikan pada
malam hari 5 1 3 1 2.50
A11
Tenaga kerja kurang melakukan
kontrol selang drip sehingga
terdapat lumut
5 3 3 4 3.75
A12 Tenaga kerja malas dalam
melakukan sanitasi 5 5 4 4 4.50
A13
Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit
1 5 4 4 3.50
A14
Tenaga kerja membiarkan
bayam merah dan bayam hijau
tumbuh dalam satu netpot
1 5 3 1 2.50
Keterangan :
Oj didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
B. Tingkat Pengaruh atau Dampak Kejadian Risiko (Severity) pada
Proses Pemeliharaan
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Narasumber
Si Charlie Een Putri Dian
E10
Tanaman kekurangan nutrisi
membuat tanaman mati atau
kerdil
1 1 4 4 2.50
E11
Air nutrisi tidak lancar karena
terhambat oleh lumut, tanaman
kekurangan nutrisi
1 4 4 2 2.75
E12 Hama dan penyakit bersarang di
sekitar rak produksi 5 5 4 4 4.50
E13 Hama dan penyakit menular ke
tanaman lainnya 3 5 4 4 4.00
E14 Persaingan kebutuhan air, nutrisi
dan cahaya 1 3 4 4 3.00
Keterangan :
Si didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
177
Lampiran 3d. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan
Tingkat Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses
Pemanenan
A. Identifikasi Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) pada Proses Pemanenan
Kode Penyebab Risiko (Risk
Agent)
Narasumber Oj
Charlie Een Putri Dian
A15
Tata letak pemanenan
dilakukan dengan wadah akar
berada dibawah
5 3 4 1 3.25
A16
Tidak adanya SOP tertulis
dalam menentukan kualitas
bayam
5 4 3 1 3.25
A17 Umur bayam dipanen
sebelum waktu panen 2 5 3 2 3.00
A18 Hasil tidak langsung
diletakan diruang pendingin 1 3 3 4 2.75
Keterangan :
Oj didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
B. Tingkat Pengaruh atau Dampak Kejadian Risiko (Severity) pada
Proses Pemanenan
Kode Kejadian Risiko (Risk
Event)
Narasumber Si
Charlie Een Putri Dian
E15 Tanaman saat diambil akan
mudah sobek daunnya 1 3 2 1 1.75
E16
Bayam tidak layak panen
akan mempengaruhi bayam
lainnya apabila dikemas
5 4 4 4 4.25
E17 Tanaman bayam tidak
seragam 3 5 3 1 3.00
E18 Bayam menjadi cepat busuk
karena terjadi respirasi 1 3 2 3 2.25
Keterangan :
Si didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
178
Lampiran 3e. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Identifikasi Frekuensi
atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko (Occurrence) dan
Tingkat Pengaruh Dampak (Severity) Risiko pada Proses
Pengemasan
A. Identifikasi Frekuensi atau Peluang Kemunculan Penyebab Risiko
(Occurrence) pada Proses Pengemasan
Kode Penyebab Risiko (Risk Agent) Narasumber
Oj Charlie Een Putri Dian
A19 Tidak ada proses sortasi 1 4 2 2 2.25
A20 Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan 2 5 4 2 3.25
A21 Permukaan daun dan batang
bayam masih basah 3 5 4 2 3.50
A22
Tidak menggunakan ruangan
pendingin untuk menyimpan
bayam yang telah dikemas
5 3 3 4 3.75
A23 Tidak ada SOP pengemasan
bayam 5 4 4 2 3.75
Keterangan :
Oj didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
B. Tingkat Pengaruh atau Dampak Kejadian Risiko (Severity) pada
Proses Pengemasan
Kode Kejadian Risiko (Risk Event) Narasumber
Si Charlie Een Putri Dian
E19
Bayam dengan kondisi yang
rusak dapat masuk kedalam
kemasan
1 4 2 1 2.00
E20 Bayam menjadi rusak saat
dikemas 1 5 1 1 2.00
E21 Bayam menjadi mudah busuk /
lembek 1 5 3 3 3.00
E22 Bayam menjadi tidak segar dan
mudah layu 2 3 3 3 2.75
Keterangan :
Si didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
179
Lampiran 3f. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab
Risiko (Occurrence) dengan Pengaruh Dampak (Severity)
Risiko pada Proses Penyemaian
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penyebab risiko
beserta pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
terjadi berdasarkan keterangan dibawah ini :
Penyebab Risiko Dampak Risiko
A1 = Tidak adanya SOP penyemaian
secara tertulis
E1 = Benih terbuang percuma
A2 = Setelah benih disemai tidak
diletakan ditempat teduh atau
tidak terkena sinar matahari
E2 = Tanaman bayam terjatuh
hingga mati
A3 = Tumbuhnya lumut pada
rockwool
E3 = Pertumbuhan semaian menjadi
Lambat
2. Pengisian kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruh atau
dampak (Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai
berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
180
B. Tabel Korelasi Penyebab Risiko dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
pada Proses Penyemaian
A1 A2 A3
E1
C 9
9
0
0
3 3
E 0 0 3
P 9 0 9
D 3 0 1
E2
C 0
0
0
0
0 0
E 0 0 0
P 1 0 0
D 0 0 0
E3
C 1
0
0
9
9 9
E 0 9 9
P 9 9 9
D 0 9 3
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
181
Lampiran 3g. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab
Risiko (Occurrence) dengan Pengaruh Dampak (Severity)
Risiko pada Proses Penanaman
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penyebab risiko
beserta pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
terjadi berdasarkan keterangan dibawah ini :
Penyebab Risiko Dampak Risiko
A4 = Suhu udara melebihi 30° C E1 = Tanaman menjadi layu
A5 = Kelembaban udara tinggi E2 = Tanaman menjadi mudah busuk
dan berjamur
A6 = Intensitas cahaya matahari
terlalu tinggi
E3 = Tanaman bayam terbakar pada
bagian daun
A7 = Suhu air melebihi 25° C E4 = Tanaman tidak dapat menyerap air
nutrisi sehingga membusuk
A8 = Tidak ada yellow trap pada
screenhouse
E6 = Tanaman mudah terserang hama
dan pathogen
A9 = Jarak antar lubang tanam < 15
cm
E7 = Tanaman menjadi tumpang tindih
2. Pengisian kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruh atau
dampak (Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai
berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
182
B. Tabel Korelasi Penyebab Risiko dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
pada Proses Penanaman
A4 A5 A6 A7 A8 A9
E4
C 9
9
3
3
3
3
9
9
0
0
0
0 E 9 1 1 3 0 0
P 3 3 3 9 0 0
D 9 0 9 9 0 0
E5
C 3
3
3
3
0
0
9
9
0
0
0
0 E 3 3 0 3 0 0
P 3 3 1 9 0 1
D 0 3 0 9 0 0
E6
C 3
3
0
0
3
3
0
0
0
0
0
0 E 3 0 1 1 0 0
P 3 1 3 3 0 0
D 3 0 3 0 0 0
E7
C 3
3
3
3
1
1
1
1
0
0
1
1 E 9 3 1 1 0 0
P 3 3 1 9 0 1
D 0 0 0 1 0 1
E8
C 1
3
9
9
1
1
0
0
9
9
3
3 E 9 9 0 0 9 0
P 3 1 1 9 9 3
D 3 9 1 0 3 3
E9
C 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9 E 0 0 0 0 0 9
P 0 0 0 0 0 1
D 3 0 1 3 0 9
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
183
Lampiran 3h. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab
Risiko (Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
(Severity) pada Proses Pemeliharaan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penyebab risiko
beserta pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
terjadi berdasarkan keterangan dibawah ini :
Penyebab Risiko Dampak Risiko
A10 = Aliran air nutrisi dimatikan pada
malam hari
E10 = Tanaman kekurangan nutrisi
membuat tanaman mati atau
kerdil
A11 =Tenaga kerja kurang melakukan
kontrol selang drip sehingga
terdapat lumut
E11 = Air nutrisi tidak lancar karena
terhambat oleh lumut, tanaman
kekurangan nutrisi
A12 = Tenaga kerja malas dalam
melakukan sanitasi
E12 = Hama dan penyakit bersarang
di sekitar rak produksi
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit
E13 = Hama dan penyakit menular ke
tanaman lainnya
A14 = Tenaga kerja membiarkan bayam
merah dan bayam hijau tumbuh
dalam satu netpot
E14 = Persaingan kebutuhan air,
nutrisi dan cahaya
2. Pengisian kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruh atau
dampak (Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai
berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
184
B. Tabel Korelasi Penyebab Risiko dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
pada Proses Pemeliharaan
A10 A11 A12 A13 A14
E10
C 1
1
9
9
1
0
9
9
0
1 E 1 9 0 3 9
P 1 9 3 9 1
D 0 3 0 9 1
E11
C 0
0
9
9
1
0
9
0
0
0 E 0 9 0 0 0
P 0 9 0 3 0
D 0 3 0 0 0
E12
C 0
0
1
0
9
9
9
9
0
0 E 0 0 9 3 0
P 0 0 9 1 0
D 0 0 9 9 0
E13
C 0
0
1
1
9
3
9
9
0
0 E 0 1 0 9 1
P 1 1 3 9 0
D 0 0 3 9 0
E14
C 0
0
9
9
9
0
9
3
3
9 E 0 9 0 3 9
P 1 9 3 3 9
D 1 0 0 0 0
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
185
Lampiran 3i. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab
Risiko (Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
(Severity) pada Proses Pemanenan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penyebab risiko
beserta pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
terjadi berdasarkan keterangan dibawah ini :
Penyebab Risiko Dampak Risiko
A15 = Tata letak pemanenan dilakukan
dengan wadah akar berada
dibawah
E15 = Tanaman saat diambil akan
mudah sobek daunnya
A16 = Tidak adanya SOP tertulis dalam
menentukan kualitas bayam
E16 = Bayam tidak layak panen akan
mempengaruhi bayam lainnya
apabila dikemas
A17 = Umur bayam dipanen sebelum
waktu panen
E17 = Tanaman bayam tidak seragam
A18 = Hasil tidak langsung diletakan
diruang pendingin
E18 = Bayam menjadi cepat busuk
karena terjadi respirasi
2. Pengisian kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruh atau
dampak (Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai
berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
186
B. Tabel Korelasi Penyebab Risiko dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
pada Proses Pemanenan
A15 A16 A17 A18
E15
C 9
9
0
0
0
0
0
0 E 9 9 0 0
P 9 0 0 1
D 0 3 1 0
E16
C 0
0
9
9
3
3
0
0 E 0 9 9 0
P 9 9 3 9
D 0 3 0 0
E17
C 0
0
9
9
9
9
0
0 E 0 9 9 0
P 0 9 3 0
D 0 3 9 0
E18
C 0
0
1
1
0
0
9
9 E 1 9 0 9
P 9 1 1 9
D 0 0 0 9
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
187
Lampiran 3j. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Kemunculan Penyebab
Risiko (Occurrence) dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
(Severity) pada Proses Pengemasan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penyebab risiko
beserta pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari risiko-risiko yang
terjadi berdasarkan keterangan dibawah ini :
Penyebab Risiko Dampak Risiko
A19 = Tidak ada proses sortasi E19 = Bayam dengan kondisi yang
rusak dapat masuk kedalam
kemasan
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
E20 = Bayam menjadi rusak saat
Dikemas
A21 = Permukaan daun dan batang
bayam masih basah
E21 = Bayam menjadi mudah busuk /
Lembek
A22 = Tidak menggunakan ruangan
pendingin untuk menyimpan
bayam yang telah dikemas
E22 = Bayam menjadi tidak segar
dan mudah layu
A23 = Tidak ada SOP pengemasan
bayam
2. Pengisian kuesioner korelasi penyebab risiko (Aj) dengan pengaruh atau
dampak (Ei) dilakukan dengan memberikan nilai dengan angka sebagai
berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
188
B. Tabel Korelasi Penyebab Risiko dengan Pengaruh atau Dampak Risiko
pada Proses Pengemasan
A19 A20 A21 A22 A23
E19
C 9
9
9
9
0
0
0
0
9
9 E 9 1 0 0 9
P 9 9 0 0 9
D 0 9 0 0 9
E20
C 1
9
9
9
3
9
1
0
9
9 E 9 9 9 3 9
P 9 9 9 0 9
D 9 9 1 0 3
E21
C 1
1
9
9
9
9
3
3
9
9 E 9 9 3 9 9
P 0 9 9 3 9
D 1 3 9 3 3
E22
C 1
1
9
9
9
9
9
9
9
9 E 1 9 9 9 9
P 0 9 9 9 9
D 3 0 1 9 3
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
189
Lampiran 4a. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat
Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif
Penyebab Risiko pada Proses Penyemaian
HASIL KUESIONER PENELITIAN KEDUA
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap derajat atau tingkat
kesulitan tindakan atau strategi pencegahan atau preventif penyebab risiko
pada proses penyemaian.
2. Pengisian kuesioner dilakukan dengan memberikan tanda checklist ( √ )
3. Keterangan untuk pengisian
3 = Mudah (Aksi preventif mudah dijalankan)
4 = Sedang (Aksi preventif dapat dijalankan)
5 = Sulit (Aksi preventif sulit dijalankan)
B. Derajat atau Ttingkat Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan
Risiko (Preventive Action)
Kode Strategi Penanganan Tingkat Kesulitan
Dk Charlie Een Putri Dian
P1 Membuat SOP tertulis tentang
penyemaian 3 4 3 4 3.50
P2 Menghitung jumlah biji bayam
yang akan disemai 5 4 5 5 4.75
P3 Membuat jadwal pola tanam yang
tepat 3 4 3 3 3.25
Keterangan :
Dk didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
190
Lampiran 4b. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat
Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif
Penyebab Risiko pada Proses Penananam
A. Derajat atau Tingkat Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan
Risiko (Preventive Action)
Kode Strategi Penanganan Tingkat Kesulitan
Dk Charlie Een Putri Dian
P4 Menyediakan blower atau kipas
pada screenhouse 3 4 3 4 3.50
P5 Pengecekan secara rutin terhadap
suhu air dan kadar nutrisi air 3 3 3 3 3.00
P6 Pengawasan secara rutin terhadap
pekerja 5 3 3 4 3.75
Keterangan :
Dk didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
Lampiran 4c. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat
Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif
Penyebab Risiko pada Proses Pemeliharaan
A. Derajat atau Tingkat Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan
Risiko (Preventive Action)
Kode Strategi Penanganan Tingkat Kesulitan
Dk Charlie Een Putri Dian
P7 Penyemprotan pestisida organik
secara rutin 3 4 3 4 3.50
P8 Pemberian jobdesc tertulis yang
jelas 3 4 3 4 3.50
P9
Pengecekan secara rutin
terhadap selang drip agar tidak
tersumbat lumut atau daun
3 3 3 3 3.00
P10 Membersihkan dan menjaga
alat-alat produksi yang dipakai 3 3 3 4 3.25
Keterangan :
Dk didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
191
Lampiran 4d Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat
Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif
Penyebab Risiko pada Proses Pemanenan
A. Derajat atau Tingkat Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan
Risiko (Preventive Action)
Kode Strategi Penanganan Tingkat Kesulitan
Dk Charlie Een Putri Dian
P11
Membuat SOP tertulis kualitas
bayam siap/layak panen dan
proses pemanenan
3 4 3 4 3.50
P12 Menambah rak produksi 4 4 4 5 4.25
P13 Membuat jadwal pola tanam yang
tepat 3 4 3 3 3.25
Keterangan :
Dk didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
Lampiran 4e. Hasil Pengisian Kuesioner dan Hasil Derajat atau Tingkat
Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan atau Preventif
Penyebab Risiko pada Proses Pengemasan
A. Derajat atau Tingkat Kesulitan Tindakan atau Strategi Pencegahan
Risiko (Preventive Action)
Kode Strategi Penanganan Tingkat Kesulitan
Dk Charlie Een Putri Dian
P14 Membuat SOP tertulis
pengemasan bayam 3 3 3 4 3.25
P15 Dilakukan pengawasan oleh
pihak kepala kebun 4 5 3 4 4.00
P16
Melakukan evaluasi rutin
setiap tahapan kegiatan
produksi
4 4 3 3 3.50
P17 Melakukan tata ulang letak
ruang pengemasan 4 4 4 4 4.00
P18
Meletakan bayam yang
dipanen ke dalam keranjang
dengan posisi seragam
3 3 3 3 3.00
Keterangan :
Dk didapatkan dari hasil bagi dari penjumlahan skala likert oleh narasumber.
192
Lampiran 4f. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Penyemaian
A. Petunjuk Pengisian Kuisioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penerapan tindakan
atau strategi pencegahan risiko pada proses penyemaian berdasarkan
keterangan di bawah ini :
Penyebab Risiko Strategi Pencegahan
A3 = Tumbuhnya lumut pada
rockwool
P1 = Membuat SOP tertulis tentang
Penyemaian
A2 = Setelah benih disemai tidak
diletakan ditempat teduh atau
tidak terkena sinar matahari
P2 = Menghitung jumlah biji bayam yang
akan disemai
A1 = Tidak adanya SOP
penyemaian secara tertulis
P3 = Membuat jadwal pola tanam yang tepat
2. Pengisian kusioner korelasi penerapan tindakan atau strategi pencegahan
risiko dengan penyebab risiko dilakukan dengan memberikan nilai dengan
angka sebagai berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
193
B. Tabel Korelasi Penerapan Ttindakan atau Strategi Pencegahan Risiko
dengan Penyebab Risiko Proses Penyemaian
P1 P2 P3
A3
C 9
9
3
3
9
9 E 9 0 9
P 9 9 9
D 3 3 1
A2
C 9
9
0
0
9
9 E 0 0 0
P 9 9 9
D 0 0 0
A1
C 9
9
0
0
0
0 E 3 0 0
P 9 3 3
D 1 1 1
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
Lampiran 4g. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Penanaman
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penerapan tindakan
atau strategi pencegahan risiko pada proses penanaman berdasarkan
keterangan di bawah ini :
Penyebab Risiko Strategi Pencegahan
A4 = Suhu udara melebihi 30° C P4 = Menyediakan blower atau kipas pada
Greenhouse
A7 = Suhu air melebihi 25° C P5 = Pengecekan secara rutin terhadap suhu
air dan kadar nutrisi air
A5 = Kelembaban udara tinggi P6 = Pengawasan secara rutin terhadap
Pekerja
194
2. Pengisian kusioner korelasi penerapan tindakan atau strategi pencegahan
risiko dengan penyebab risiko dilakukan dengan memberikan nilai dengan
angka sebagai berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
B. Tabel Korelasi Penerapan Tindakan atau Strategi Pencegahan Risiko
dengan Penyebab Risiko Proses Penanaman
P4 P5 P6
A4
C 9
9
9
9
9
0 E 9 9 0
P 9 0 1
D 3 0 0
A7
C 1
1
9
9
9
0 E 3 3 0
P 1 9 1
D 0 1 0
A5
C 0
0
0
0
0
0 E 0 0 0
P 0 0 9
D 0 1 0
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
195
Lampiran 4h. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pemeliharaan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penerapan tindakan
atau strategi pencegahan risiko pada proses pemeliharaan berdasarkan
keterangan di bawah ini :
Penyebab Risiko Strategi Pencegahan
A13 = Tenaga kerja kurang
memperhatikan adanya tanaman
yang rusak atau terkena penyakit
P7 = Penyemprotan pestisida organik
secara rutin
A11 =Tenaga kerja kurang melakukan
kontrol selang drip sehingga
terdapat lumut
P8 = Pemberian jobdesc tertulis yang
Jelas
P9 = Pengecekan secara rutin
terhadap selang drip agar tidak
tersumbat lumut atau daun
P10 = Membersihkan dan menjaga
alat-alat produksi yang dipakai
2. Pengisian kusioner korelasi penerapan tindakan atau strategi pencegahan
risiko dengan penyebab risiko dilakukan dengan memberikan nilai dengan
angka sebagai berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
196
B. Tabel Korelasi Penerapan Tindakan atau Strategi Pencegahan Risiko
dengan Penyebab Risiko Proses Pemeliharaan
P7 P8 P9 P10
A13
C 9
9
9
9
9
9
9
9 E 1 9 9 3
P 9 9 3 9
D 3 1 1 1
A11
C 0
0
9
9
9
9
9
9 E 1 9 9 3
P 0 9 9 9
D 0 3 9 0
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
Lampiran 4i. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pemanenan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penerapan strategi
pencegahan risiko pada proses pemanenan berdasarkan keterangan di bawah:
Penyebab Risiko Strategi Pencegahan
A16 = Tidak adanya SOP tertulis
dalam menentukan kualitas
bayam
P11 = Membuat SOP tertulis kualitas
bayam siap/layak panen dan
proses pemanenan
A17 = Umur bayam dipanen sebelum
waktu panen
P12 = Menambah rak produksi
P13 = Membuat jadwal pola tanam
yang tepat
2. Pengisian kusioner korelasi penerapan tindakan atau strategi pencegahan
risiko dengan penyebab risiko dilakukan dengan memberikan nilai dengan
angka sebagai berikut :
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
197
B. Tabel Korelasi Penerapan Tindakan atau Strategi Pencegahan Risiko
dengan Penyebab Risiko Proses Pemanenan
P11 P12 P13
A16
C 9
9
0
0
0
0 E 9 0 0
P 9 0 3
D 3 0 3
A17
C 9
9
0
0
3
3 E 9 0 0
P 9 9 9
D 9 0 3
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
Lampiran 4j. Hasil Pengisian Kuesioner Korelasi Penerapan Tindakan atau
Strategi Pencegahan atau Preventif dengan Penyebab Risiko
pada Proses Pengemasan
A. Petunjuk Pengisian Kuesioner
1. Jawaban merupakan persepsi Bapak/Ibu terhadap korelasi penerapan tindakan
atau strategi pencegahan risiko pada proses pengemasan berdasarkan
keterangan di bawah ini :
Penyebab Risiko Strategi Pencegahan
A23 = Tidak ada SOP pengemasan
bayam
P14 = Membuat SOP tertulis pengemasan
Bayam
A20 = Tenaga kerja lalai dalam
melakukan pengemasan
P15 = Dilakukan pengawasan oleh pihak
kepala kebun
A21 = Permukaan daun dan batang
bayam masih basah
P16 = Melakukan evaluasi rutin setiap
tahapan kegiatan produksi
P17 = Melakukan tata ulang letak ruang
Pengemasan
P18 = Meletakan bayam yang dipanen
kedalam keranjang dengan posisi
seragam
2. Pengisian kusioner korelasi penerapan tindakan atau strategi pencegahan
risiko dengan penyebab risiko dilakukan dengan memberikan nilai dengan
angka sebagai berikut :
198
0 = Tidak ada korelasi
1 = Korelasi atau hubungan rendah
3 = Korelasi atau hubungan sedang
9 = Korelasi atau hubungan tinggi
B. Tabel Korelasi Penerapan Tindakan atau Strategi Pencegahan Risiko
dengan Penyebab Risiko Proses Pengemasan
P14 P15 P16 P17 P18
A24
C 9
9
9
9
9
9
1
1
3
3 E 9 9 9 9 9
P 9 9 1 1 3
D 3 3 1 0 0
A21
C 9
9
9
9
9
9
1
1
9
1 E 9 9 9 3 3
P 9 9 1 1 1
D 3 3 1 0 1
A22
C 9
9
9
9
9
9
1
1
1
9 E 9 9 9 1 0
P 9 9 1 9 9
D 3 3 1 0 9
Keterangan :
C : Charlie
E : Een
P : Putri
D : Dian
Korelasi didapatkan dari nilai mayoritas (modus) dari narasumber.
199
Lampiran 5a. Tabel HOR Fase 1 Proses Penyemaian
1. T
idak
adan
ya
SO
P
pen
yem
aian
sec
ara
tert
uli
s
2. S
etel
ah b
enih
dis
emai
tid
ak
dil
etak
an d
item
pat
ted
uh a
tau
tidak
ter
ken
a si
nar
mat
ahar
i
3. T
um
buhnya
lum
ut
pad
a
rock
wool
Severity
of Risk
(Si)
1. Benih terbuang percuma 9 0 3 4.00
2. Bayam terjatuh hingga mati 0 0 0 4.00
3. Pertumbuhan semaian menjadi lambat 0 9 9 4.25
Occurrence of Agent j (Oj) 3.25 4.00 3.50
Aggregate Risk Potential (ARPj) 117.00 124.31 163.31
Priority Rank of Agent J 3 2 1
Penyebab Risiko (Risk Agent)
Kejadian Risiko (Risk Event)
200
Lampiran 5b. Tabel HOR Fase 1 Proses Penanaman
4. S
uhu u
dar
a m
eleb
ihi
30°
C
5. K
elem
bab
an u
dar
a ti
nggi
6. In
tensi
tas
cahay
a m
atah
ari
terl
alu t
inggi
7. S
uhu a
ir m
eleb
ihi
25°
C
8. T
idak
ada
yell
ow
tra
p p
ada
scre
enhouse
9. Ja
rak a
nta
r lu
ban
g t
anam
kura
ng d
ari
15 c
m
Severity
of Risk
(Si)
4. Tanaman menjadi layu 9 3 3 9 0 0 4.00
5.Tanaman menjadi mudah busuk dan berjamur 3 3 0 9 0 0 3.50
6. Tanaman bayam terbakar pada bagian daun 3 0 3 0 0 0 3.25
7. Tanaman tidak dapat menyerap air nutrisi sehingga
membusuk 3 3 1 1 0 1 2.75
8. Tanaman mudah terserang hama dan pathogen 3 9 1 0 9 3 4.00
9. Tanaman menjadi tumpang tindih 0 0 0 0 0 9 3.00
Occurrence of Agent j (Oj) 3.75 2.75 3.25 3.75 3.00 2.75
Aggregate Risk Potential (ARPj) 286.88 183.56 92.63 263.44 108.00 114.81
Priority Rank of Agent J 1 3 6 2 5 4
Penyebab Risiko (Risk Agent)
Kejadian Risiko (Risk Event)
201
Lampiran 5c. Tabel HOR Fase 1 Proses Pemeliharaan
10. A
lira
n a
ir n
utr
isi
dim
atik
an p
ada
mal
am h
ari
11. T
enag
a k
erja
kura
ng m
elak
ukan
kontr
ol
sela
ng d
rip
seh
ingga
terd
apat
lum
ut
12. T
enag
a k
erja
mal
as d
alam
mel
akukan
san
itas
i
13. T
enag
a k
erja
kura
ng
mem
per
hat
ikan
ad
anya
tanam
an y
ang
rusa
k a
tau t
erken
a p
enyak
it
14. T
enag
a k
erja
mem
bia
rkan
bay
am
mer
ah d
an b
ayam
hij
au t
um
buh d
alam
satu
net
pot
Severity of
Risk (Si)
10. Tanaman kekurangan nutrisi membuat tanaman
mati atau kerdil 1 9 0 9 1 2.50
11. Air nutrisi tidak lancar karena terhambat oleh
lumut, tanaman kekurangan nutrisi 0 9 0 0 0 2.75
12. Hama dan penyakit bersarang di sekitar rak
produksi 0 0 9 9 0 4.50
13. Hama dan penyakit menular ke tanaman
lainnya 0 1 3 9 0 4.00
14. Persaingan kebutuhan air, nutrisi dan cahaya 0 9 0 3 9 3.00
Occurrence of Agent j (Oj) 2.50 3.75 4.50 3.50 2.50
Aggregate Risk Potential (ARPj) 6.25 293.44 236.25 378.00 73.75
Priority Rank of Agent J 5 2 3 1 4
Kejadian Risiko (Risk Event)
Penyebab Risiko (Risk Agent)
202
Lampiran 5d. Tabel HOR Fase 1 Proses Pemanenan
15. T
ata
leta
k p
eman
enan
dil
akukan
den
gan
wad
ah a
kar
ber
ada
dib
awah
16. T
idak
adan
ya
SO
P t
ertu
lis
dal
am
men
entu
kan
kual
itas
bay
am
17. U
mur
bay
am d
ipan
en s
ebel
um
wak
tu p
anen
18. H
asil
tid
ak l
angsu
ng d
ilet
akan
dir
uan
g p
endin
gin
Severity of
Risk (Si)
15. Tanaman saat diambil akan mudah sobek
daunnya 9 0 0 0 1.75
16. Bayam tidak layak panen akan mempengaruhi
bayam lainnya apabila dikemas 0 9 3 0 4.25
17. Tanaman bayam tidak seragam 0 9 9 0 3.00
18. Bayam menjadi cepat busuk karena terjadi
respirasi 0 1 0 9 2.25
Occurrence of Agent j (Oj) 3.25 3.25 3.00 2.75
Aggregate Risk Potential (ARPj) 51.19 219.38 119.25 55.69
Priority Rank of Agent J 4 1 2 3
Kejadian Risiko (Risk Event)
Penyebab Risiko (Risk Agent)
203
Lampiran 5e. Tabel HOR Fase 1 Proses Pengemasan
19. T
idak
ada
pro
ses
sort
asi
20. T
enag
a k
erja
lal
ai d
alam
mel
akukan
pen
gem
asan
21. P
erm
ukaa
n d
aun d
an b
atan
g b
ayam
mas
ih b
asah
22. T
idak
men
ggunak
an r
uan
gan
pen
din
gin
untu
k m
enyim
pan
bay
am
yan
g t
elah
dik
emas
23. T
idak
ada
SO
P p
engem
asan
bay
am
Severity
of Risk
(Si)
19. Bayam dengan kondisi yang rusak dapat masuk
kedalam kemasan 9 9 0 0 9 2.00
20. Bayam menjadi rusak saat dikemas 9 9 9 0 9 2.00
21. Bayam menjadi mudah busuk / lembek 1 9 9 3 9 3.00
22. Bayam menjadi tidak segar dan mudah layu 1 9 9 9 9 2.75
Occurrence of Agent j (Oj) 2.25 3.25 3.50 3.75 3.75
Aggregate Risk Potential (ARPj) 93.94 285.19 244.13 126.56 329.06
Priority Rank of Agent J 5 2 3 4 1
Kejadian Risiko (Risk Event)
Penyebab Risiko (Risk Agent)
204
Lampiran 6a. Tabel HOR Fase 2 Proses Penyemaian
Keterangan :
ARP = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) yang didapatkan
dari perhitungan HOR 1
TEk = Total Effectiveness (Total keefektivan)
Dk = Tingkat Kesulitan Pelaksanaan Strategi Preventif yang didapatkan dari
hasil penilaian kuesioner pada Lampiran 4a
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Efektivitas dari tingkat kesulitan
pelaksanaan strategi)
Rank = Urutan Pelaksanaan Strategi Prioritas berdasarkan hasil perhitungan
ETDk
Keterangan :
+ = Positif
++ = Kuat Positif
205
Lampiran 6b. Tabel HOR fase 2 Proses Penanaman
Keterangan :
ARP = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) yang didapatkan
dari perhitungan HOR 1
TEk = Total Effectiveness (Total keefektivan)
Dk = Tingkat Kesulitan Pelaksanaan Strategi Preventif yang didapatkan dari
hasil penilaian kuesioner pada Lampiran 4a
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Efektivitas dari tingkat kesulitan
pelaksanaan strategi)
Rank = Urutan Pelaksanaan Strategi Prioritas berdasarkan hasil perhitungan
ETDk
Keterangan :
+ = Positif
++ = Kuat Positif
206
Lampiran 6c. Tabel HOR fase 2 Proses Pemeliharaan
Keterangan :
ARP = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) yang didapatkan
dari perhitungan HOR 1
TEk = Total Effectiveness (Total keefektivan)
Dk = Tingkat Kesulitan Pelaksanaan Strategi Preventif yang didapatkan dari
hasil penilaian kuesioner pada Lampiran 4a
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Efektivitas dari tingkat kesulitan
pelaksanaan strategi)
Rank = Urutan Pelaksanaan Strategi Prioritas berdasarkan hasil perhitungan
ETDk
Keterangan :
+ = Positif
++ = Kuat Positif
207
Lampiran 6d. Tabel HOR fase 2 Proses Pemanenan
Keterangan :
ARP = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) yang didapatkan
dari perhitungan HOR 1
TEk = Total Effectiveness (Total keefektivan)
Dk = Tingkat Kesulitan Pelaksanaan Strategi Preventif yang didapatkan dari
hasil penilaian kuesioner pada Lampiran 4a
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Efektivitas dari tingkat kesulitan
pelaksanaan strategi)
Rank = Urutan Pelaksanaan Strategi Prioritas berdasarkan hasil perhitungan
ETDk
Keterangan :
+ = Positif
++ = Kuat Positif
208
Lampiran 6e. Tabel HOR fase 2 Proses Pengemasan
Keterangan :
ARP = Aggregate Risk Potential (Potensi Risiko Keseluruhan) yang didapatkan
dari perhitungan HOR 1
TEk = Total Effectiveness (Total keefektivan)
Dk = Tingkat Kesulitan Pelaksanaan Strategi Preventif yang didapatkan dari
hasil penilaian kuesioner pada Lampiran 4a
ETDk = Effectiveness of Difficulty Ratio (Efektivitas dari tingkat kesulitan
pelaksanaan strategi)
Rank = Urutan Pelaksanaan Strategi Prioritas berdasarkan hasil perhitungan
ETDk
Keterangan :
+ = Positif
++ = Kuat Positif