analisis morfologi dan sekuens its rdna jamur edibel ... · saat laju mineralisasi tidak memenuhi...

12
TINJAUAN PUSTAKA Ektomikoriza Mikoriza didefinisikan sebagai simbiosis mutualisme antara cendawan dan akar tumbuhan, yang khususnya berperan dalam penyerapan dan transfer nutrisi (Brundrett 2004). Menurut Smith & Read (1997), mikoriza dibagi ke dalam tujuh kelompok berdasarkan tipe penetrasi hifa, perkembangan sel akar, dan spesies tumbuhan inangnya. Ketujuh kelompok tersebut ialah mikoriza arbuskula, mikoriza monotropoid, mikoriza arbutoid, mikoriza erikoid, mikoriza anggrek, ektendomikoriza dan ektomikoriza. Ektomikoriza merupakan tipe mikoriza yang dapat dibedakan dari kelompok lain karena tidak adanya penetrasi intraseluler oleh cendawan. Menurut Smith & Read (1997) umumnya ektomikoriza mempunyai 3 ciri struktur utama. Pertama, akarnya diselubungi oleh mantel atau jaringan hifa. Kedua, terdapat jaring-jaring pertumbuhan hifa yang tumbuh di dalam ruang antara sel-sel epidermis dan korteks yang disebut jala Hartig. Ketiga, terdapat sistem hifa yang tumbuh di daerah rizosfer yang membentuk hubungan esensial dengan tanah maupun dengan tubuh buah dari cendawan yang membentuk ektomikoriza. Umumnya akar berektomikoriza dapat dibedakan dari akar yang tidak bersimbiosis secara kasat mata karena memiliki bentuk yang khas yaitu lebih pendek, menebal, dan memiliki warna yang berbeda karena diselubungi hifa atau mantel (Brundrett et al. 1996). A. Manfaat Ektomikoriza Manfaat mikoriza bagi tumbuhan diantaranya ialah meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat dan nitrogen dari tanah saat laju mineralisasi tidak memenuhi kebutuhan tanaman (Smith & Read 1997) dan menyerap lebih banyak air sehingga tumbuhan tahan terhadap kekeringan. Selain itu, mikoriza dapat meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan patogen akar, toksisitas logam berat (Rizzo et al. 1992), serta tingkat salinitas. Cendawan mikoriza juga dapat memacu pertumbuhan tanaman karena menghasilkan zat-zat pemacu pertumbuhan seperti auksin, giberellin, dan sitokinin (Smith & Read 1997). Sebaliknya, cendawan mendapat manfaat dengan mendapatkan sumbangan karbon dan senyawa organik lainnyadari tumbuhan

Upload: lengoc

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ektomikoriza

Mikoriza didefinisikan sebagai simbiosis mutualisme antara cendawan dan

akar tumbuhan, yang khususnya berperan dalam penyerapan dan transfer nutrisi

(Brundrett 2004). Menurut Smith & Read (1997), mikoriza dibagi ke dalam tujuh

kelompok berdasarkan tipe penetrasi hifa, perkembangan sel akar, dan spesies

tumbuhan inangnya. Ketujuh kelompok tersebut ialah mikoriza arbuskula,

mikoriza monotropoid, mikoriza arbutoid, mikoriza erikoid, mikoriza anggrek,

ektendomikoriza dan ektomikoriza. Ektomikoriza merupakan tipe mikoriza yang

dapat dibedakan dari kelompok lain karena tidak adanya penetrasi intraseluler

oleh cendawan. Menurut Smith & Read (1997) umumnya ektomikoriza

mempunyai 3 ciri struktur utama. Pertama, akarnya diselubungi oleh mantel atau

jaringan hifa. Kedua, terdapat jaring-jaring pertumbuhan hifa yang tumbuh di

dalam ruang antara sel-sel epidermis dan korteks yang disebut jala Hartig. Ketiga,

terdapat sistem hifa yang tumbuh di daerah rizosfer yang membentuk hubungan

esensial dengan tanah maupun dengan tubuh buah dari cendawan yang

membentuk ektomikoriza. Umumnya akar berektomikoriza dapat dibedakan dari

akar yang tidak bersimbiosis secara kasat mata karena memiliki bentuk yang khas

yaitu lebih pendek, menebal, dan memiliki warna yang berbeda karena

diselubungi hifa atau mantel (Brundrett et al. 1996).

A. Manfaat Ektomikoriza

Manfaat mikoriza bagi tumbuhan diantaranya ialah meningkatkan

penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat dan nitrogen dari tanah

saat laju mineralisasi tidak memenuhi kebutuhan tanaman (Smith & Read 1997)

dan menyerap lebih banyak air sehingga tumbuhan tahan terhadap kekeringan.

Selain itu, mikoriza dapat meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan

patogen akar, toksisitas logam berat (Rizzo et al. 1992), serta tingkat salinitas.

Cendawan mikoriza juga dapat memacu pertumbuhan tanaman karena

menghasilkan zat-zat pemacu pertumbuhan seperti auksin, giberellin, dan

sitokinin (Smith & Read 1997). Sebaliknya, cendawan mendapat manfaat dengan

mendapatkan sumbangan karbon dan senyawa organik lainnyadari tumbuhan

4

inang. Banyak tumbuhankehutanan sangat bergantung pada cendawan

ektomikoriza dan di area tanah yang miskin hara, tumbuhan bahkan tidak dapat

hidup tanpa bersimbiosis. Akibatnya dalam manajemen hutan, cendawan

ektomikoriza merupakan komponen penting.

B. Keragaman Tumbuhan Inang

Hampir semua tumbuhan yang membentuk ektomikoriza berupa pohon

tahunan. Meski hanya sekitar 2% tumbuhan Angiosperma yang merupakan

ektomikoriza (Brundrett 2009), namun peran pentingnya sangat besar karena

tumbuhan-tumbuhan tersebut menempati sebagian besar permukaan daratan dan

mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebagai contoh ialah Pinaceae yang tumbuh

mendominasi hutan boreal dari hemispera utara, Fagaceae yang mendominasi

hutan iklim sedang di belahan bumi utara, dan Myrtaceae di hutan iklim sedang

dan subtropis di wilayah hemispera selatan. Myrtaceae meliputi 10 genus dan

terdiri dari sekitar 1800 spesies, diantaranya ialah Eucalyptus, Melaleuca, dan

Tristaniopsis (Brundret 2008). Di hutan tropis Asia Tenggara, hutan

Dipterocarpaceae umumnya hanya membentuk ektomikoriza (Taylor &

Alexander 2005), misalnya tengkawang (Lee et al. 2008). Selain itu leguminosae

tertentu seperti Caesalpiniaceae yaitu Azfelia, Intsia, dan Eperua, tumbuhan

Mimosoideae seperti Acasia juga pernah dilaporkan membentuk ektomikoriza

(Read dan Smith 1997). Tumbuhan Angiospermae yang berbentuk semak dan

sebagian kecil herba juga sering ditemukan membentuk ektomikoriza, seperti

semak Dryas (Rosaceae), Helianthemum (Cistaceae), Polygonum viviparum, dan

Kobresia miyosuroides.

Berdasarkan ketergantungan terhadap simbiosis mikoriza, tumbuhan dibagi

ke dalam 3 kelompok, yaitu mikoriza obligat, mikoriza fakultatif, dan non

mikoriza (Brundrett et al. 1996). Tumbuhan mikoriza obligat ialah tumbuhan

yang tidak akan bertahan hidup sampai kematangan reproduktiftanpa berasosisasi

dengan cendawan mikoriza. Tumbuhan mikoriza fakultatif ialah tumbuhan yang

secara alami mendapat keuntungan darisimbiosis mikoriza hanya jika tanah atau

habitatnya kurang subur. Tumbuhan non mikoriza yang sering juga disebut

tumbuhan bukan inang mikoriza ialah tumbuhan yang sistem perakarannya secara

5

konsisten resisten terhadap kolonisasi cendawan mikoriza, setidaknya pada saat

muda dan sehat.

Tumbuhan pelawan mempunyai nama ilmiah Tristaniopsis merguensis

(Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse (http://data.gbif.org 2010).

Tumbuhan tersebut merupakan bagian dari divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, ordo Myrtales, famili Myrtaceae, dan genus Tritaniopsis. Spesies

tersebut mempunyai beberapa sinonim yaitu Tristania merguensis,

T. backhuizenni Back, T maingayi, dan T. subauriculata. Di beberapa daerah

T. merguensis memiliki nama yang berbeda-beda yaitu pelawan tudak (Belitung),

pelawan bukit (Malaysia), nyakamaung (Myanmar), dan kha nang (Thailand)

(Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Di Indonesia, T. merguensis tumbuh di Jawa

Barat, Kalimantan, dan Kepulauan Bangka Belitung (Sosef & Prawirohatmodjo

1998). Selain di Indonesia, T. merguensis juga terdapat di Malaysia, Myanmar

dan Thailand bagian selatan. Tumbuhan Myrtaceae telah dilaporkan sebagai salah

satu simbion ektomikoriza (Lapeyrie & Chilvers 1985, Jones et al. 1998).

Simbiosis tersebut diperkirakan sangat berperan dalam kelangsungan dan

kelestarian tumbuhan pelawan di hutan yang miskin hara.

Tristaniopsis merguensis banyak dimanfaatkan masyarakat Bangka Belitung

sebagai kayu bakar, kayu tajar bagi tanaman pertanian, kayu bahan bangunan,

dan bahan pembuatan kapal. Di samping itu, nektar bunga pelawan diduga

menjadi makanan lebah penghasil madu pahit yang disebut madu pelawan (Yarli

2011). Menurut Hidayanti (2010), tumbuhan tersebut juga merupakan tumbuhan

inang dari jamur edibel ektomikoriza pelawan.

C. Keragaman Cendawan Ektomikoriza

Cendawan pembentuk ektomikoriza berjumlah sangat besar dan merupakan

kelompok cendawan yang paling penting secara ekonomi. Mayoritas cendawan

ektomikoriza merupakan Basidiomisetes dan Askomiseteses, meski sejumlah

kecil Zigomisetes juga dilaporkan membentuk ektomikoriza. Menurut Molina

et al. (1992) terdapat sekitar 5000 sampai 6000 spesies cendawan yang

membentuk ektomikoriza atau ektendomikoriza. Cendawan tersebut kebanyakan

bersifat epigeal dan hanya sekitar seperempat bagian yang bersifat hipogeal.

Semua cendawan epigeal merupakan anggota Basidiomisetes, yaitu Amanitaceae,

6

Boletaceae, Corticiaceae, Cortinariaceae, Hydnaceae, Hygroporaceae,

Russulaceae, Sclerodermataceae, Telephoraceae, dan Tricholomataceae.

Cendawan hipogeal merupakan gabungan dari Basidiomisetes, Askomiseteses,

dan Zigomisetes.

Menurut beberapa taksonom, famili Boletaceae terdiri dari beberapa genus.

Corner (1972) membagi Boletaceae di Malaysia menjadi empat genus yaitu

Boletus, Gyroporus, Heimiella, dan Strobilomyces sementara Austroboletus,

Boletellus, Ixocomus, Leccinum, Pulveroboletus, Tylopilus, dan Xerocomus

tersebar dalam sub genus yang terpisah. Pegler & Young (1981) melaporkan

klasifikasi baru cendawan kelompok Bolet berdasarkan morfologi spora yaitu

menjadi 6 familiyang terdiri dari 35 genus. Lebih lanjut Singer (1981, 1986)

menyatukan Bolet ke dalam satu famili dengan 25 genus berdasarkan pada alasan

bahwa semua karakter pada Bolet dianggap sama, meski pada prakteknya Beliau

lebih menekankan pada morfologi basidioma dibandingkan spora. Halling et al.

(2007) membagi Bolet kedalam 31 genus yang terbagi dalam 4 famili yaitu

Boletaceae, Boletinellaceae, Gyroporaceae, dan Suillaceae. Genus tersebut ialah

Afroboletus, Aureoboletus, Austroboletus, Boletellus, Boletochaete, Boletinellus,

Boletus (termasuk Xerocomus), Bothia, Chalciporus, Fistulinella (termasuk

Mucilopilus), Gyrodon, Gyroporus, Heimioporus, Leccinellum, Leccinum,

Paragyrodon, Phlebopus, Phylloboletellus, Phylloporus, Porphyrellus,

Pseudoboletus, Pulveroboletus, Retiboletus, Rubinoboletus, Sinoboletus,

Strobilomyces, Suillus, Tuboseta (termasuk Setogyroporus), Tylopilus,

Veloporphyrellus, dan Xanthoconium.

Menurut Corner (1972), secara makroskopik terdapat kemiripan yang sangat

tinggi antara Boletaceae dan Xerocomaceae. Meski demikian, terdapat

perbedaan utama yang membedakan kedua famili tersebut, diantaranya ialah

bentuk dan pelekatan himenofora, yaitu pada Boletaceae selalu tubulat, adnatus-

bebas, umumnya sinuato-adnat, tidak pernah decurrent. Sementara

Xerocomaceae selain tubulat, himenoforanya dapat juga lamelat dan decurrent.

Di samping itu, pori Boletaceae berbentuk bulat ataupun bersiku dengan ukuran

yang kecil (-0.5 cm), sedangkan pori Xerocomaceae umumnya bersiku dengan

ukuran sedang sampai besar (0.5-1.5 cm) (Corner 1972). Ciri khas yang lain dari

7

Boletaceae ialah adanya kandungan gelatin yang sangat tinggi pada trama

tabungnya, sedangkan pada Xerocomaceae kandungan gelatinnya lebih rendah

(Corner 1972). Menurut Pegler (1986), spora Boletaceae dapat memiliki

permukaan yang halus atau berornamen. Spora yang halus digolongkan ke dalam

genus Pulveroboletus, Leccinum atau Boletus, sedangkan spora yang berornamen

retikulat hanya dimiliki oleh genus Heimioporus [Horak]. Menurut Brundrett et

al. (1996), spora retikulat dimiliki oleh dua genus, yaitu Strobilomyces dan

Heimioporus. Jika keseluruhan spora berornamen, maka genusnya ialah

Heimioporus, sedangkan jika memiliki pola adaxial yang tidak berjala, maka

genusnya ialah Strobilomyces.

Cendawan pembentuk mikoriza umumnya mempunyai kisaran inang yang

luas. Artinya cendawan tersebut dapat membentuk mikoriza dengan banyak

spesies tumbuhan. Meski demikian ada juga cendawan yang mempunyai kisaran

inang yang sempit atau bersifat spesifik. Sebagian kecil cendawan bersifat

spesifik genus, sebagian lagi bersifat spesifik famili, dan sebagian lain ada yang

bersifat terbatas pada Gimnospermaee saja (Smith & Read 1997). Contoh

cendawan dengan kisaran inang yang luas diantaranya ialah Amanita muscaria,

Cenococcum geophyllum, Hebeloma crustuliniforme, Laccaria laccata, Pisolithus

tinctorius, dan Telephora terrestris, yang tersebar luas di dunia pada kisaran

tumbuhan yang sangat luas. Sementara itu, sistem akar individu tumbuhan dapat

dikolonisasi oleh beberapa spesies cendawan, misalnya pada tumbuhan

Eucalyptus, Pseudotsuga, dan Pinus.

D. Heimioporus

Menurut Corner (1972), Heimella [Boedijn] atau Heimioporus [Horak]

merupakan spesies dari famili Boletaceae yang memiliki spora retikulat atau

berjala, sama dengan Strobilomyces. Perbedaannya terletak pada sporanya yang

berwarna cokelat zaitun yang tidak segelap warna spora Strobilomyces, dengan

eksospora yang tidak berwarna dan endospora berjala yang berwarna, serta tidak

mempunyai pola adaksial. Spora yang berjala inilah yang membedakannya

dengan spora Boletus yang umumnya halus. Dibandingkan dengan

Strobilomyces, Heimioporus berbeda dalam beberapa hal, yaitu: warna daging

tubuh buah yang tidak berubah menjadi kemerahan atau kehitaman saat terpapar

8

udara, tudung yang bersifat rata tomentosus atau mengkilat (tidak pecah-pecah),

dan struktur trama tabung yang bersifat boletoid sejati. Hampir pada semua

anggota spesiesnya mempunyai tangkai yang panjang (Corner 1972). Menurut

Singer (1986) Heimiosporus retisporus termasuk ke dalam genus Boletellus

section Retisporus, meski sporanya berjala dan trama tabungnya sangat boletoid

berbeda dengan karakter Boletellus.

Gambar 1 Spora beberapa spesiesHeimioporus. H. betula (A), H. fruticicola (B),

H. ivory (C), H. japonicus (D), H. retisporus (E), H. rubropunctus (F)

(www.mycobank.com)

Salah satu ciri utama yang membedakan antara spesies Heimioporus dari

genus lainnya ialah bentuk dan ornamentasi sporanya. Mungkin inilah yang

menyebabkan genus tersebut bertambah jumlahnya karena mengakomodir

beberapa jamur yang semula digolongkan ke dalam Boletus, Boletellus,

Austroboletus, Porphyrellus, dan Strobilomyces. Saat ini di Mycobank terdapat

18 spesies Heimioporus yang terdaftar dengan tiga macam tipe perhiasan spora

yaitu punctat, punctat retikulat, dan alveolat retikulat (Gambar 2). Meski

demikian menurut Halling & Fechner (2011), spesies yang sudah diakui hanya 10

spesies.

Heimioporus merupakan jamur pembentuk ektomikoriza yang diantaranya

bersimbiosis dengan tumbuhan Fagaceae, Dipterocarpaceae dan Myrtaceae

Halling et al. (2007). Sebagai contoh H. fruticicola ditemukan bersimbiosis

dengan Allocasuarina littoralis, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus sp.,

Acacia sp. dan Hibbertia riparia. Heimioporus japonicus juga dilaporkan

membentuk simbiosis dengan tumbuhan pinus dan ek di Jepang, serta dengan

Melaleuca, Allocasuarina, Eucalyptus dan Leptospermium di Australia (Halling &

D

A

C

A

B

A

A

E

A

F

A

E

A

9

Fechner 2011). Selain kedua negara tersebut, genus ini tersebar di berbagai

belahan dunia, yaitu di daerah timur Amerika Utara, Asia Timur, Asia Tenggara,

Mexico, dan Belize Costa Rica. Di Asia, jamur ini juga dilaporkan ditemukan di

Cina, Malaysia (Corner 1972), Myanmar, Singapura, dan Thailand (Chantorn

et al.2007). Boedijn (1951) telah mendeskripsikan spesies lainnya yaitu

H. retisporus dari Jawa.

Jamur pelawan adalah sejenis jamur epigeal yang ditemukan di hutan

Pelawan, Bangka Tengah. Jamur tersebut muncul setahun sekali sekitar bulan

Oktober. Kemunculan jamur pelawan biasanya diawali dengan banyaknya petir

pada akhir musim panas yang diikuti oleh hujan lebat selama berhari-hari.

Penduduk Bangka Tengah banyak memburu jamur ini karena memiliki nilai

ekonomi yang tinggi. Selain memiliki nilai ekonomi penting, jamur pelawan

mempunyai nilai ekologis yang signifikan karena menentukan keberhasilan

pertumbuhan pohon pelawan (T. merguensis) di alam (Hidayanti 2010). Sintesis

ulang simbiosis ektomikoriza antara jamur pelawan dan pohon pelawan telah

berhasil dilakukan menggunakan inokulan alami. Identifikasi morfologis tubuh

buah dan spora jamur pelawan telah dilakukan oleh Hidayanti (2010), dan

hasilnya menunjukkan bahwa jamur tersebut termasuk ke dalam genus Boletus.

Ciri jamur tersebut ialah tudung dan tangkainya berwarna merah, bagian bawah

tudung berpori yang berwarna kuning, dengan spora yang berbentuk fusiformis.

Identifikasi Jamur Ektomikoriza

A. Metode Identifikasi Jamur Ektomikoriza

Identifikasi dapat dilakukan secara morfologi, biokimia, dan molekuler.

Secara morfologi, identifikasi dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri tubuh

buah, secara biokimia berdasarkan kemampuan metabolisme atau enzimatik, dan

secara molekular berdasarkan susunan bahan penyusun genetika suatu makhluk

hidup. Karakter yang diamati secara morfologi diantaranya ialah ukuran, bentuk,

warna, dan tekstur permukaan tudung, tangkai, pori atau himenium, daging, spora,

trama, sistidium, serta basidium (Brundrett et al. 1996, Largent et al. 1978).

Secara biokimia karakter yang diamati diantaranya ialah perubahan warna pada

saat terpapar udara, terbentuknya reaksi setelah diberi larutan tertentu misalnya

10

Melzer’s, atau terbentuknya zat pati atau gelatin pada saat direndam dengan

larutan FAA, dan sebagainya. Secara molekular umumnya ciri yang diamati ialah

urutan sekuen basa pada DNA secara terperinci maupun dalam bentuk mini satelit

dan mikrosatelit (Grubisha et al. 2005).

Karakter morfologi mempunyai kelemahan yaitu hanya memperlihatkan

sifat pewarisan dominan dan resesif, tingkat polimorfismenya sedikit dan sangat

dipengaruhi oleh lingkungan. Akibatnya individu yang mempunyai genotipe

yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda, dan yang memiliki

genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang sama jika lingkungannya

berbeda. Kemiripan pada fenotipe belum tentu menunjukkan kemiripan pada

tingkat DNA (Tanskley 1983). Metode morfologi dan molekular menyediakan

pendekatan yang saling melengkapi untuk menganalisis struktur komunitas

ektomikoriza. Idealnya kedua metode tersebut diaplikasikan secara bersamaan

untuk menyediakan potensi verifikasi hasil yang lebih memuaskan. Sekitar 93%

mikoriza teridentifikasi sama dengan kedua metode tersebut (Sakakibara et al.

2002).

Secara molekuler, umumnya identifikasi cendawan ektomikoriza dilakukan

berdasarkan dua metode utama, yaitu metode sekuensing (Landeweert et al. 2003)

dan penggunaan enzim restriksi. Metode restriksi biasanya digunakan untuk

analisis komunitas, sedangkan sekuensing dilakukan untuk analisis individu.

Sekuensing dilakukan untuk merunut susunan basa nukleotida dari suatu gen

secara terperinci. Sementara itu, enzim restriksi digunakan untuk membedakan

potongan-potongan DNA berdasarkan situs restriksi yang terdapat pada DNA

cendawan. Perbedaan situs restriksi yang terdapat pada urutan DNA

menyebabkan hasil potongan yang unik untuk spesies-spesies yang berbeda.

Metode restriksi yang banyak digunakan untuk ektomikoriza ialah restriction

fragment length polymorpism (RFLP) (Gardes et al. 1991). Beberapa metode

lain telah dilakukan yaitu LH-PCR (Ranjard et al. 2001), T-RFLP (Burke et al.

2006), dan DGGE (Landeweert et al. 2005). Metode-metode tersebut merupakan

metode yang cukup akurat untuk membandingkan potongan-potongan yang

mengandung sekuens nukleotida spesifik. Pada RFLP, DNA dipotong dengan

enzim restriksi kemudian potongannya dipisahkan dengan elektroforesis. Namun

11

RFLP mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat membedakan dua fragmen yang

berukuran sama tetapi mempunyai susunan nukleotida yang berbeda. Dengan

demikian metode sekuensing DNA dianggap lebih dapat diandalkan.

Perkembangan PCR berbasis DNA dan primer spesifik takson (Mullis &

Faloona 1987, Micklos et al. 2003) telah mempermudah studi taksonomi

cendawan. DNA ribosom (rDNA) merupakan daerah penyandi RNA dan daerah

sekitarnya. Daerah tersebut, terutama internal transcribed spacer (ITS)

merupakan salah satu daerah yang paling umum digunakan untuk penanda

molekular cendawan (Bruns & Gardes1993, Sanchez-Ballesteros et al. 2000).

Daerah ITS bersifat konservatif, memiliki variabilitas yang sangat tinggi yang

spesifik takson, dan mempunyai jumlah ulangan yang tinggi. Konfirmasi

simbiosis mikoriza B. edulis dengan membandingkan sekuens ITS rDNA dari

mikoriza dan tubuh buahnya telah dilakukan oleh Agueda et al. (2006).

B. Daerah ITS rDNA

DNA ribosom (rDNA) merupakan DNA inti yang menyandikan DNA

ribosom. Ribosom merupakan makromolekul intra sel yang menghasilkan protein

atau rantai-rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari protein dan rRNA.

DNA ribosom dan pemisahnya terdapat dalam suatu kluster gen (biasanya 8-12

kb) yang berulang beberapa kali. Pada sel tanaman tingkat tinggi, setiap genom

inti haploid mengandung 1.000 sampai 10.000 salinan rDNA yang tersusun secara

tandem pada satu atau beberapa lokasi kromosom (Micklos et al. 2003).

Gambar 2 Sekuen DNA ribosom

Unit dasar DNA ribosom terdiri dari gen-gen untuk sub unit ribosom kecil

(18S), sub unit 5.8S, dan sub unit besar (28S) (Gambar 2). Ketiga gen tersebut

12

dipisahkan oleh dua daerah ITS (internally transcribed spacer), yang panjangnya

beberapa ratus pasang basa. Daerah ITS1 terletak antara daerah 18S dengan

5.8S, dan ITS2 berada di antara 5.8S dengan 28S. Daerah yang memisahkan unit

transkripsi dari rDNA berulang bersifat non transkrip dan disebut IGS (intergenic

spacer). Pada banyak spesies cendawan, terdapat pula sub unit 5S (Hillis &

Dixon 1991). Beberapa situs restriksi terkonservasi di dalam rDNA cendawan,

sehingga dapat memudahkan dalam proses pengklonanan (Binder & Hibbett

2006).

Gen-gen sub unit mempunyai domain yang terkonservasi maupun variabel,

yang dapat digunakan untuk perbandingan genus. Daerah pemisah yang dianggap

lebih beragam dapat digunakan sebagai pembanding spesies, bahkan pada

beberapa kasus sebagai pembanding bentuk patogenik spesifik. Daerah ITS lebih

beragam dibandingkan daerah penyandi, sehingga bermanfaat untuk

membandingkan hubungan antar spesies dan genus yang berkerabat dekat.

Banyaknya jumlah ulangan kebanyakan sekuens rDNA per genom, dan pola

evolusi bersamaan yang terjadi antara unit yang berulang menjadikan kluster

tersebut sebagai penanda molekular yang baik yang memberi kemudahan dalam

analisis rDNA dengan metodologi sekuensing RNA secara langsung, sekuensing

DNA (baik dengan kloning maupun amplifikasi), maupun dengan restriksi (Hillis

& Dixon 1991).

Morfotipe Akar Ektomikoriza

Ektomikoriza terbentuk ketika akar inang dan cendawan yang sesuai

tumbuh dalam hubungan yang erat dan kondisi lingkungan yang mendukung.

Urutan terbentuknya simbiosis ektomikoriza secara singkat diawali oleh

terjadinya kontak, pengenalan dan pelekatan hifa pada sel epidermis dekat ujung

akar lateral muda yang sedang aktif tumbuh. Selanjutnya, miselia berproliferasi

pada permukaan akar dan berdiferensiasi membentuk mantel. Hifa selanjutnya

menembus antara sel-sel epidermis (dalam kebanyakan Angiospermae) atau ke

ruang antar sel-sel korteks (dalam Gymnospermae) untuk membentuk jala Hartig

berlabirin (Agerer 1991). Respon tumbuhan inang terhadap kolonisasi cendawan

13

dapat berupa produksi polifenol di dalam sel maupun deposisi metabolit sekunder

di dalam dinding sel.

Sebagai akibat waktu yang diperlukan untuk pembentukan simbiosis

mikoriza, daerah mikoriza aktif terbentuk beberapa mili meter di belakang ujung

akar. Akan tetapi hifa jala Hartig mengalami pematangan pada daerah yang lebih

tua, yang lebih jauh dari ujung akar (Massicotte et al. 1987). Akibatnya, aktivitas

jala Hartig tergantung pada usia akar dan pertumbuhannya. Dalam akar yang

lebih tua, mantel biasanya masih ada setelah simbiosis menjadi tidak aktif yang

mungkin berfungsi sebagai struktur penyimpan dan propagul.

Struktur anatomi selubung akar dan miselia yang menyelimutinya bersifat

stabil setidaknya sampai tingkat genus cendawan dan semakin banyak digunakan

untuk mempermudah karakterisasi dari ektomikoriza yang terbentuk (Agerer

1991). Bahkan, perbedaan struktur mantel dapat digunakan untuk

mengidentifikasi simbion cendawan yang terlibat jika tubuh buahnya tidak

dijumpai. Selain itu teknik sidik jari molekular untuk cendawan yang

bersimbiosis dengan ujung akar mikoriza juga memegang peranan penting dan

semakin besar dalam menentukan komposisi spesies cendawan di dalam populasi

alami (Bruns &Gardes 1993). Umumnya simbiosis ektomikoriza diketahui

berdasarkan pengamatan tubuh buah dan tumbuhan inang di lapang, dan hanya

sebagian kecil status mikorizanya yang telah diketahui. Oleh karenanya

pengamatan dengan menelusuri hubungan dari tubuh buah ke akar tumbuhan, dan

sintesis ulang mikoriza pada kondisi aksenik yang diikuti dengan sidik jari

molekular sangat disarankan.

Selain dari tubuh buahnya, cendawan ektomikoriza dapat dibedakan satu

dari mikoriza lainnya berdasarkan beberapa ciri utama struktur simbiosisnya yaitu

adanya jala Hartig, mantel, dan miselium ekstraradikal (miselium perpanjangan

akar). Jala Hartig sebagai struktur transfer nutrisi antara cendawan dan tumbuhan

inangnya, memiliki konformasi yang sama pada semua ektomikoriza, kecuali

bahwa pemanjangan penetrasi akar besifat lebih superfisial pada kebanyakan

Angiospermae dibandingkan dengan Gimnospermae. Sebaliknya, mantel hifa

mempunyai struktur diagnostik dari spesies cendawan yang membentuknya.

Perbedaan bentuk anatomi struktur tersebutdapat digunakan untuk

14

mengidentifikasi cendawan sampai tingkat genus dan spesies ketika tubuh

buahnya tidak dijumpai (Agerer 1991). Di samping itu, teknik sidik jari

molekular juga digunakan untuk mempertanyakan identitas tipe-tipe mikoriza dan

memungkinkan pertimbangan perubahan komposisi spesies cendawan dalam

populasi alami.