analisis kritis praktik murabahah di bank syariah

22
ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH Kategori : Muamalah/Ek.Islam | Oleh: Rahmat Dahlan | Tgl posting: 12/08/2010 | Jumlah komentar: 0 ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH Rahmat Dahlan[1] A. Pendahuluan Badai krisis yang menghantam Indonesia tahun 1998 telah memporak porandakan kehidupan perekonomian Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga tidak luput dari krisis ekonomi moneter. Namun secara faktual, Indonesialah yang paling lama melaksanakan proses pemulihannya (economy recovery).[2] Atas dasar tersebut, dan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah/ Islam.[3] Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,[4] selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.[5] Sejak saat itu berdirilah bank-bank yang berlandasakan sistem syariah yang mana pada sisi penghimpunan

Upload: lukmanfebriyanto

Post on 25-Jun-2015

1.161 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

  ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH Kategori : Muamalah/Ek.Islam | Oleh: Rahmat Dahlan | Tgl posting: 12/08/2010 | Jumlah komentar: 0  

ANALISIS KRITIS PRAKTIK MURABAHAH DI BANK SYARIAH

Rahmat Dahlan[1]

 

 

A. Pendahuluan

 

Badai krisis yang menghantam Indonesia tahun 1998 telah memporak porandakan

kehidupan perekonomian Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara

juga tidak luput dari krisis ekonomi moneter. Namun secara faktual, Indonesialah yang paling

lama melaksanakan proses pemulihannya (economy recovery).[2]Atas dasar tersebut, dan untuk

mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur

berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang

berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai

dengan prinsip syariah/ Islam.[3]

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,[4] selanjutnya diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998.[5] Sejak saat itu berdirilah bank-bank yang berlandasakan sistem syariah

yang mana pada sisi penghimpunan dana masyarakat diberlakukan sistem bagi hasil terhadap

hasil usaha bank. Pada sisi penyaluran dana kepada masyarakat yang merupakan usaha bank

terdiri dari produk jual beli (murabahah, salam, istishnâʻ), produk sewa (ijârah), produk

penyertaan modal dengan bagi hasil (mudhârabah, musyârakah), dan pinjaman kebajikan (al-

Qardhu al-Hasan).[6]

Pada tanggal 16 Juli 2008, pemerintah dan DPR RI mengesahkan Undang Undang

Perbankan Syariah yaitu UU No. 21 tahun 2008. Dengan terbitnya UU ini akan menggenjot

pengembangan bank syariah dengan pertumbuhan sebesar 5% tahun ini. Dengan UU ini pelaku

usaha dan pengguna jasa perbankan berbasis syariah akan memperoleh kepastian hukum. Hal ini

akan menggenjot pertumbuhan bank syariah dari segi aset.[7]

Page 2: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

Prinsip pokok dalam transaksi keuangan yang sesuai dengan syariah, antara lain

penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran system bagi hasil, dan larangan terhadap riba

(bunga), gharar (tipuan), dan maysir (spekulasi), diyakini menjadi prinsip dasar berinvestasi

yang bukan hanya menguntungkan dan halal, tetapi juga aman.[8]

Berdasarkan surat keputusan direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR 12 Mei 1999

tentang bank berdasarkan prinsip syariah, prinsip kegiatan usaha bank syariah adalah : hiwalah,

ijarah, ijarah wa iqtina, istishna, kafalah, mudharabah, murabahah, musyarakah, qardh, al

qardhul hasan, rahn, salam, sharf, ujr, wadiah dan wakalah.[9]

 

Berkaitan dengan data perkembangan asset bank syariah, dijumpai bahwa

pertumbuhannya sangat siginifikan dan menggembirakan. Data per Mei 2009 menunjukkan

bahwa total asset bank syariah mencapai Rp. 53.194 juta.[10]

Penyaluran dana pembiayaan kepada masyarakat oleh perbankan syariah pada Desember

2004 mencapai 81%, pada Desember 2005 mencapai 79%, pada Desember 2006 mencapai 81%,

pada Desember 2007 mencapai 82%, pada Desember 2008 mencapai 84%, dan pada Mei 2009

mencapai 83.3%.[11] Artinya, asset dana pihak ketiga pada perbankan syariah diorientasikan

untuk disalurkan kepada sektor riil dalam bentuk pembiayaan.[12]

Perbankan syariah memiliki kesamaan fungsi dengan perbankan konvensional dalam hal

mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

pemberian fasilitas pembiayaan, akan tetapi perbankan syariah memiliki perbedaan-perbedaan

dengan perbankan konvensional. Perbedaan yang paling mendasar adalah bank syariah

menerapkan sistem bebas bunga (free interest) atau memakai sistem bagi hasil (profit sharing),

jual beli dan sewa. Sedangkan bank konvensioanl menerapkan sistem bunga.

 

 

 

 

 

Page 3: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

 

B. Permasalahan

 

Dalam perbankan syariah kita mengenal beberapa macam istilah yang menggambarkan

bentuk atau model kerjasama antara nasabah dan bank syariah dalam pengelolaan dana

investasinya. Model kerjasama itu salah satunya adalah murabahah. Murabahah adalah jual beli

komoditas di mana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang harga pokok

pembelian barang dan tingkat keuntungan yang diinginkan.[13] Dalam murabahah, penjual harus

memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai

tambahannya.

Sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang ada, bank tidak dimungkinkan

berfungsi pula sebagai retailer dengan memiliki persediaan barang untuk dijual. Maka dalam

praktiknya yang diterapkan bukanlah murabahah murni tetapi murabahah kepada pemesan

pembelian (murabahah KPP). Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-âmir

bi al-Syirâ’.[14] Dalam murabahah jenis ini dua pihak atau lebih saling bernegosiasi dan berjanji

untuk melaksanakan kesepakatan di mana pemesan meminta pembeli membeli asset yang

selanjutnya akan dibeli oleh pemesan dengan harga pokok ditambah keuntungan.[15] Jadi, jual

beli murabahah dalam perbankan syariah adalah: kesepakatan antara bank sebagai pihak pertama

dan pembeli (nasabah) sebagai pihak kedua untuk membelikan barang tertentu, di mana pihak

pertama harus menjual barang pesanan tersebut kepada pihak kedua dengan harga aslinya

ditambah keuntungan yang disepakati bersama, dan pembayarannya ditentukan dengan cara yang

disepakati kedua pihak.

Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Mei 2009 yang dikeluarkan oleh Direktorat

Perbankan Syariah Bank Indonesia, bahwa per Mei 2009 pembiayaan murabahah mencapai Rp.

23.490 juta dari total pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah Rp. 40.715 juta.

Data tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan murabahah masih mendominasi jenis

pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan

dominasi murabahah dalam operasi investasi perbankan syariah, yaitu: Pertama, murabahah

adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem profit and

loss sharing (PLS), cukup memudahkan. Kedua, murabahah menjauhkan ketidakpastian yang

Page 4: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS. Ketiga, murabahah tidak

memungkinkan bank-bank syariah untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah

mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan

debitur. Keempat, mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga

memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan

bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank syariah.[16]

Murabahah sebagai salah satu produk bank syariah harus memenuhi ketentuan syariah,

antara lain: “Penjualan yang menggunakan sistem murabahah, harus berdasarkan pada dasar

adanya pembelian barang oleh pihak bank dan atas namanya, kemudian setelah pihak bank

memiliki barang tadi dan ada dalam tanggungannya, ia boleh melakukan penjualan kembali pada

pihak lain dengan cara murabahah, sehingga dengan itu kepemilikan barang tersebut bisa

berpindah dari pihak bank kepada pihak lain (pembeli/nasabah)”. Artinya bahwa transaksi

penjualan tadi benar-benar terjadi atas barang milik bank yang dibelinya dari pihak

pabrik/supplier dengan cara sah, kemudian barang tersebut berpindah dari kepemilikan bank ke

kepemilikan klien/nasabah dengan transaksi jual beli yang menggunakan sistem murabahah.

Jadi, jual beli tersebut tidak terjadi atas dasar formalitas semata, dan bukan sekedar untuk

mendapatkan pinjaman uang tunai dengan menggunakan kedok formalitas murabahah tapi benar-

benar melalui cara jual beli. Meskipun demikian, dalam operasional bank syariah praktik

murabahah sering kali tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah, seperti berikut ini:

Pertama, membayar harga barang kepada pihak klien (pemesan barang), baik itu dalam

pembayaran tunai atau transfer pada nomor rekening miliknya, dan mencukupkan dengan adanya

laporan kwitansi pembelian dari pihak sumber barang/supplier atas nama bank dengan harga

barangnya. Hal itu tanpa melalui transaksi jual beli langsung antara pihak bank dan pihak sumber

barang, dan tanpa ada wakil bank yang menerima penyerahan barang atas nama pihak bank yang

akan menyerahkan barangnya kepada pihak klien sebagai pemesan barang.

Kedua, penandatanganan transaksi jual beli dengan cara murabahah yang bersamaan

waktunya dengan penandatanganan transaksi perjanjian untuk membeli barang (fase awal). Hal

itu dilangsungkan ketika barang yang dipesan belum ada dan bank belum memilikinya.

Ketiga, pihak bank melepas tanggung jawabnya dari berbagai risiko operasional

transaksi, barang pesanan dianggap aman, padahal barang tersebut masih dalam proses

pengiriman, dan pihak klien menerima barang tersebut saat kedatangannya langsung dari pihak

Page 5: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

pabrik/toko dan kebijakan bank tersebut direkomendasi oleh pihak klien dengan membebaskan

pihak bank dari tanggung jawab atas kecacatan barang yang dikirim.

Keempat, pemberian dana untuk transaksi proyek jasa pelayanan dengan cara murabahah,

seperti membayar tarif cukai, khususnya pada kondisi di mana harga cukainya sangat mahal atau

bahkan lebih mahal dari barangnya itu sendiri, atau melakukan transaksi murabahah pada proyek

pemasangan alat-alat tertentu (assembling) dan lainnya. Semua itu tidak dibolehkan oleh syariat

karena jual beli murabahah itu hanya terbatas pada bentuk barang saja dan tidak boleh pada jasa

pelayanan.

Kelima, murabahah atas utang-piutang yang disebabkan murabahah sebelumnya,

bentuknya adalah pihak bank menggantikan posisi pihak kreditur pertama dalam melaksanakan

kewajibannya dan menuntut haknya dalam mendapatkan keuntungan sebagai imbalan pemberian

dana dan penguluran waktu.[17]

Penyimpangan dari prinsip syariah juga dapat dilihat pada pengenaan denda kepada

nasabah yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar utang pada waktunya sesuai akad

karena force majeur. Pada fatwa Dewan syariah Nasional terdapat ketentuan tentang sanksi atas

nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Sanksi tersebut dapat dikenakan denda.

Denda tersebut hanya dikenakan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan, bukan karena force

majeur  dan terbukti tidak beritikad baik. Denda yang dibayar atau diterima bank dari

nasabahnya tadi juga telah ditentukan peruntukannya, yaitu sebagai dana sosial.[18]

Penyimpangan pembiayaan murabahah lainnya, yaitu: Pertama, dalam hal pengikatan

akad jual beli yang umumnya dilakukan mendahului kepemilikan barang oleh bank. Hal ini jelas

telah menyalahi baik prinsip fiqh itu sendiri maupun hukum universal bahwa hak menjual

merupakan hak turunan dari kepemilikan. Kedua, dalam pembiayaan murabahah terdapat praktik

pencairan dana pembiayaan ke rekening nasabah yang selanjutnya nasabah diminta untuk

melakukan pembayaran kepada supplier. Hal ini akan menimbulkan kesan adanya transaksi

utang piutang antara bank dan nasabah, dan bukan transaksi jual beli.[19]    

Penyimpangan dari ketentuan syariah dalam praktik pembiayaan murabahah yang

dilakukan oleh perbankan syariah, telah mengundang kritikan-kritikan dari kalangan akademisi,

antara lain kritikan dari Kursyid Ahmad: Murabahah pendanaan tambah-ongkos (cost plus

financing) dan bayʻ muajjal (penjualan dengan pembayaran jangka panjang) dibolehkan dalam

syariat dengan beberapa syarat tertentu. Secara teknis, ia bukanlah bentuk mediasi keuangan

Page 6: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

melainkan semacam partisipasi bisnis. Syariat mengasumsikan bahwa penyandang dana benar-

benar membeli barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah. Sayangnya, praktik

“pembelian kembali dengan mark up” sekarang ini tidak memenuhi syarat-syarat yang

membolehkan murabahah atau bayʻ muajjal. Yang dilakukan adalah transaksi fiktif yang

menjanjikan suatu laba yang ditetapkan sebelumnya kepada bank tanpa benar-benar melakukan

transaksi barang atau berbagi resiko riil apapun. Ini bertentangan dengan isi dan spirit ajaran

syariat.[20]

Kritikan lebih tajam disampaikan oleh Hasanuz Zaman: Dari fakta-fakta ini terbukti

bahwa secara praktis tidaklah mungkin bagi bank-bank besar atau sistem perbankan untuk

mempraktikkan mark up, bayʻ salam, pembelian kembali, murabahah, dan sebagainya dengan

cara yang memenuhi ketentuan-ketentuan syariat. Tetapi agar memenuhi syarat untuk

mendapatkan laba hasil operasi bank-bank terpaksa menyiasati isi Undang-Undang. Mereka

benar-benar tidak membeli, tidak memiliki, sama sekali tidak menjual dan mengantarkan barang;

tetapi transaksinya diasumsikan telah terjadi. Dengan menandatangani sejumlah dokumen

pembelian, penjualan, dan transfer mereka bisa memenuhi persyaratan hukum tetapi dengan cara

melanggar spirit pelarangan.[21]  

Murabahah yang merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang diberikan lembaga

keuangan syariah masuk dalam kajian ilmu ekonomi Islam atau fiqh muʻâmalah mâliyah. Dalam

menetapkan legalitas murabahah ini, para fuqaha berusaha mengistinbathkan hukumnya dari

sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan sunnah. Jika tidak ditemukan dasar

hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, maka ijtihad[22] atau iftâ merupakan satu-

satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum

masalah tersebut.

Dalam hal ini, menurut Yûsuf Qardhâwî bidang ekonomi dan keuangan merupakan salah

satu lapangan ijtihad yang relatif baru pada masa kini. Kehadiran ijtihad di bidang ini memiliki

makna signifikan tersendiri karena di bidang inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens

dan berskala besar. Semakin modernnya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan

dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar keabsahan berbagai

transaksi yang terjadi antara nasabah dengan pihak lembaga keuangan syariah.[23]

Ketika tantangan tersebut dicoba untuk direspon, muncul berbagai reaksi. Ada sebagian

ulama yang tergesa-gesa mencari jalan termudah untuk menentukan hukum atas persoalan-

Page 7: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

persoalan tersebut dengan sikap penolakan, pengharaman dan lebih jauh pada sikap ekstrim. Ada

sebagian lain yang membuka pintu lebar-lebar untuk menerima segala sesuatu yang baru dan

membolehkannya dengan alasan demi kepentingan umum (mashlahat) atau alasan darurat. Ada

pula yang berusaha keras mengadakan penelitian pada setiap bentuk muamalah baru kemudian

dicarikan hukumnya dari pendapat ulama-ulama terdahulu untuk dikeluarkan hukum-hukum

yang sama dengan pendapat ulama-ulama terdahulu dan disesuaikan dengan dasarnya. Jika

hukum itu tidak didapatkan, maka bentuk muʻâmalah baru ini ditolak.[24] Sebenarnya pada

masalah inilah ijtihad atau iftâ memainkan peranan yang signifikan dengan memberikan jalan

penyelesaian yang baik karena ia memiliki metodologi yang diabsahkan bahkan dianjurkan oleh

agama.

Dengan demikian, ijtihad atau iftâ mempunyai peranan yang sangat penting dalam

menyelesaikan permasalahan yang belum diketahui status hukumnya. Khusus untuk permaslahan

yang terkait dengan ekonomi Islam, lembaga di Indonesia yang berwenang melakukan ijtihad

atau menetapkan sebuah fatwa ketika muncul suatu permasalahan dalam masyarakat adalah

Dewan Syariah Nasional.[25] Lembaga ini bertugas, antara lain, untuk menggali, mengkaji dan

merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam

kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syariah, serta mengawasi pelaksanaan dan

implementasinya.[26] Pedoman inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk fatwa.

Terkait dengan legalitas pembiayaan murabahah, Dewan Syariah Nasional telah

menetapkan kebolehannya selama praktik yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

sebagaimana ditetapkan dalam fatwa tentang murabahah.

Dari latar belakang permasalahan di atas, menunjukan bahwa ada sebagian ulama yang

tergesa-gesa mencari jalan termudah untuk menentukan hukum murabahah dengan sikap

penolakan atau pengharaman. Ada sebagian lain yang membolehkannya dengan alasan demi

kepentingan umum (mashlahat). Ada pula yang mencarikan hukumnya dari pendapat ulama-

ulama terdahulu untuk dikeluarkan hukum-hukum yang sama dengan pendapat ulama-ulama

terdahulu dan disesuaikan dengan dasarnya. Jika hukum itu tidak didapatkan, maka murabahah

ditolak.

Sebenarnya dalam menetapkan legalitas murabahah ini, yang harus dilakukan adalah

melakukan istinbath hukum dari sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah

dengan menggunakan metode istinbath hukum yakni metode bayânî, taʻlîlî dan istishlâhî,

Page 8: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

sehingga kesimpulan hukum murabahah benar-benar didasarkan atas ketiga metode istinbath

hukum tersebut. 

Mengenai murabahah sebagai salah satu bentuk pembiayaan yang diberikan bank kepada

nasabah telah ditetapkan kebolehannya melalui fatwa Dewan Syariah Nasional yang harus

dilaksanakan oleh lembaga keuangan syariah, karena penyimpangan atas fatwa tersebut akan

merubah status hukumnya dari boleh menjadi dilarang serta dari segi praktik menjadi tidak ada

bedanya dengan transaksi kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional.

            Penyimpangan dari fatwa yang mengatur murabahah sangat mungkin dilakukan oleh

perbankan syariah di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: keterbatasan

sumber daya manusia yang dimiliki oleh perbankan syariah di Indonesia dan rendahnya

moralitas pelaku ekonomi Islam sehingga dalam praktiknya hanya “berlabel syariah” namun

tidak sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap fiqh yang

menjelaskan murabahah baik dari segi hukumnya maupun ketentuan-ketentuan pelaksanaannya

turut berperan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam praktik murabahah pada

perbankan syariah di Indonesia.

             Di tengah menjamurnya bank syariah di Indonesia yang notabene menggunakan label

syariah adalah sangat naif jika dalam praktik pembiayaan murabahah di bank syariah

bertentangan dengan prinsip syariah.

           

 

C. Syarat dan Rukun Murabahah

           

Wahbah Zuhaely menjelaskan bahwa syarat-syarat jual beli dengan cara murabahah

adalah:[27] Pertama, penjual dan pembeli mengetahui harga pembelian benda yang akan dijual.

Kedua, penjual dan pembeli mengetahui jumlah keuntungan yang akan diberikan oleh pembeli

kepada pihak penjual. Ketiga, benda yang akan dijual memiliki bandingan sehingga dapat diukur

dengan timbangan, takaran, atau yang lainnya sehingga dapat diketahui harganya. Keempat,

benda yang diperjualbelikan tidak termasuk benda yang diharamkan untuk diperdagangkan.

Kelima, akad jual beli yang pertama (sebelum benda tersebut dijual lagi) termasuk transaksi yang

benar.

Page 9: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

Adapun syarat jual beli dengan cara murabahah menurut Lembaga Pendidikan dan

Pengembangan Bank Syariah (LPPBS) adalah:[28] Pertama, penjual hendaknya menyatakan

modal yang sebenarnya dari barang yang hendak dijual. Kedua, kedua belah pihak (penjual dan

pembeli) menyetujui besarnya keuntungan yang ditetapkan sebagai tambahan terhadap modal,

sehingga modal ditambah dengan untung merupakan harga barang yang dijual dalam jual beli

murabahah. Ketiga, barang yang dijual secara murabahah dan harga barang itu bukan dari jenis

yang sama dengan barang ribawi, yang dicegah diperjual belikan kecuali dengan timbangan dan

sukatan yang sama.

Menurut Usmani syarat pokok murabahah antara lain sebagai berikut:[29] murabahah

merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara eksplisit menyatakan biaya perolehan

barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat

keuntungan yang diinginkan. Tingkat keuntungan tersebut dapat ditentukan berdasarkan

kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya. Semua biaya

yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti biaya pengiriman, pajak dan

sebagainya dimasukkan ke dalam biaya perolehan untuk menentukan harga agregat dan margin

keuntungan didasarkan pada harga agregat ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul karena

usaha, seperti gaji pegawai, sewa tempat usaha, dan sebagainya tidak dapat dimasukkan ke

dalam harga untuk suatu transaksi. Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover

pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Melihat dari bentuknya, murabahah merupakan salah satu dari pembiayaan yang

berdasarkan konsep jual beli yaitu menjual suatu barang dengan harga asal (modal) ditambah

dengan margin keuntungan yang disepakati. Dengan demikian hukum dan rukunnya berpedoman

pada hukum dan rukun jual beli yang disyaratkan dalam fiqh muamalah Islam. Adapun rukun

jual beli yaitu adanya penjual, pembeli, barang, harga dan shigat (îjâb qabȗl).

 

 

 

D. Aplikasi Murabahah dalam Perbankan Syariah

           

Page 10: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

Murabahah yang dipraktikkan bank syariah adalah murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’,

yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan

sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut

secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan

yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment

(cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.[30]

            Adapun tahapan-tahapan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ dalam operasional perbankan

syariah adalah sebagai berikut:[31] Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan

barang/komoditas kepada pihak bank dengan spesifikasi tertentu. Kemudian keduanya membuat

kesepakatan bahwa pihak bank berjanji akan menjual komoditas yang telah dimiliki, dan nasabah

berjanji akan membeli komoditas dengan adanya tambahan profit/margin atas harga pokok

pembelian, dalam tahapan ini belum terjadi akad jual beli, namun baru berupa kesepakatan.

            Kemudian pihak bank membeli komoditas dari supplier atas nama bank sendiri, dan jual

beli ini harus sah dan bebas dari riba. Setelah komoditas tersebut resmi menjadi milik bank,

kemudian bank menawarkan aset tersebut kepada nasabah, dan tentunya aset tersebut harus

sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Setelah itu, pihak bank dan nasabah baru bisa

melakukan akad jual beli secara murabahah. Dalam hal ini, bank harus menyampaikan segala hal

yang berkaitan dengan pembelian, seperti harga pokok pembelian, besarnya margin, termasuk

jika pembelian dilakukan secara utang. Jika telah terjadi kesepakatan dalam jual beli tersebut,

barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, dan selanjutnya nasabah membayar harga

barang yang telah disepakati pada jangka waktu yang telah ditentukan.

            Jika pihak bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak

ketiga (supplier), maka kedua pihak harus menandatangani kesepakatan agensi (agency

contract), di mana pihak bank memberikan otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya guna

membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain, nasabah menjadi wakil

bank untuk membelikan komoditas. Kemudian, nasabah membeli komoditas atas nama bank, dan

kepemilikannya hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya, nasabah memberikan

informasi kepada pihak bank bahwa ia telah membeli komoditas, kemudian pihak bank

menawarkan komoditas tersebut kepada nasabah, dan terbentuklah akad jual beli dan komoditas

kemudian pindah menjadi milik nasabah dengan segala risikonya. 

Page 11: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

            Bentuk murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ dimunculkan sebagai alternatif dari pemberian

kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional dan untuk membantu nasabah yang tidak

mempunyai uang untuk memiliki barang yang diperlukan. Dalam praktik bank konvensional,

ketika nasabah mengalami kesulitan dana tunai untuk memiliki/membeli barang, pihak bank

memberikan kredit sejumlah uang dengan persentase suku bunga yang telah ditentukan oleh

pihak bank. Artinya, bank konvensional membantu nasabah dengan memberikan bantuan dana

tunai secara kredit atau utang, dimana kredit tadi mengandung suku bunga yang harus dibayar

bersama jumlah kredit aslinya. Sedangkan suku bunganya ditentukan berdasarkan jumlah dana

dan jangka waktu pembayarannya.

Hal ini berbeda dengan praktik yang dilakukan oleh bank syariah, dimana bank syariah

sebagai pembeli pertama berupaya membeli barang yang dibutuhkan nasabah dari

pedagang/pemasok melalui transaksi jual beli. Kemudian setelah bank memiliki barang tersebut,

ia menjual kembali barang tersebut kepada nasabah yang memerlukan barang tersebut dengan

harga pembelian awal ditambah keuntungan yang disepakati kedua belah pihak. Adapun

pembayarannya dilakukan dengan cara cicilan dan dalam waktu yang disepakati bersama.

             

            Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal

kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme

pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:

1. Pengadaan Barang

            Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti

pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya.

Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank

syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah

meneliti keadaan nasabah dan menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan

untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada

pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin

mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun,

maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain

memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi

yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee

Page 12: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya

asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.[32]

 

 

2.   Modal Kerja (Modal Kerja Barang)

            Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual beli

murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan

pembelian barang berulang-ulang.[33] Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak

terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam

bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudhârabah (bagi hasil) atau

musyârakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang

menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance

(pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi

dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah

menggunakan transaksi jual beli.

 

3.   Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)

            Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.

Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk

renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lain-lain. Transaksi dalam

pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.[34]

            Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:[35] Tuan A,

pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna

pembelian bahan baku kertas, seniali Rp. 100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya

layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil

bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut

kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas

pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar

menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan

Page 13: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut

terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.    

F. Jenis-Jenis Murabahah

 

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Murabahah tanpa

pesanan maksudnya ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah

menyediakan barang dagangannya.[36] Penyedian barang pada murabahah ini tidak terpengaruh

atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli. Murabahah tanpa pesanan tidak

peduli ada yang pesan atau tidak, ada yang beli atau tidak, bank syariah selalu menyediakan

barang dagangannya. Jadi nasabah tidak perlu memesan barang terlebih dahulu karena barang

yang diminta sudah disediakan oleh bank syariah.

Gambar : Alur Murabahah Tanpa Pesanan

 

PROSES PENGADAAN BARANG                     PROSES JUAL BELI MURABAHAH

NASABAHDilakukan sebelum transaksi jual beli murabahah

Membeli cash/tangguhMembuat sendiri/pesan (istishnâʻ)Memproduksi sendiri/pesan (salam)Barang mudhârabah, musyârakah Ada yang beli atau tidak                                                          1. Negosiasi dan Persyaratan             

                                                                                               

Pengadaan                                                                                            2. Akad Jual beli murabahah

BANK SYARIAHBarang (Perse                                                                                                      

diaan Barang)                                                                      3. B       4.Bayar kewajiban/harga barang

 

Page 14: Analisis Kritis Praktik Murabahah Di Bank Syariah

                                                                                                3. Kirim/penyerahan barang

 

Pada prinsipnya, dalam transaksi murabahah pengadaan barang menjadi tanggung jawab

bank syariah sebagai penjual. Dalam murabahah tanpa pesanan, bank syariah menyediakan

barang atau persediaan barang yang akan diperjualbelikan dilakukan tanpa memperhatikan ada

nasabah yang membeli atau tidak. Sehingga proses pengadaan barang dilakukan sebelum

transaksi jual beli murabahah dilakukan.  

            Adapun murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya adalah bank syariah baru akan

melakukan transaksi murabahah apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan

barang baru dilakukan jika ada pesanan. Pengadaan barang sangat bergantung  langsung dengan

pesanan barang tersebut.[37] Kedua belah pihak akan mengakhiri penjualan setelah kepemilikan

aset pindah ke nasabah.

           

Alur Murabahah Berdasarkan Pesanan

 

                                   Pesan beli barang