analisis kerentanan lingkungan perairan pantai makassar berbasis geospasial

Upload: wahyunipermata

Post on 09-Jul-2015

433 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KERENTANAN LINGKUNGAN PERAIRAN PANTAI MAKASSAR BERBASIS GEOSPASIALLatar Belakang Setiap wilayah pesisir mempunyai tingkat kerawanan yang berbeda terhadap gangguan lingkungan yang diterima, baik dari faktor alam maupun akibat dari aktivitas manusia. Environment Sensitivity Index (ESI) dapat digunakan untuk membuat zona-zona tingkat kerentanan. Zonasi tingkat kerentanan ini dapat dijadikan acuan untuk menyusun berbagai kebijakan yang berhubungan dengan rencana pengelolaan wilayah pesisir. Ruang Lingkup Pembuatan peta kerentanan wilayah perairan kota Makassar dengan menggunakan database dari SIG. Metode yang digunakan untuk menentukan zona tingkat kerentanan adalah dengan pembobotan (scoring) pada kriteria hasil analisis proporsi parameter dinamika pesisir. Tujuan Adapun tujuannya yaitu. 1. Mengkaji karakteristik fisik perairan kota Makassar 2. Menghasilkan peta/model tingkat kerentanan lingkungan. Tinjauan Pustaka Klasifikasi garis pantai (NOAA, 2002) Tingkat kerentanan dikendalikan oleh faktor-faktor berikut. Energi gelombang dan pasang surut yang terekspose relatif, Kemiringan pantai, Tipe substrat (ukuran butiran, pergerakan, penetrasi dan pola aliran), dan Produktivitas dan kerentanan biologis. Peta ESI adalah perbandingan dari tiga jenis informasi umum yaitu :

Shoreline Classification (Klasifikasi garis pantai) Biological Resources (Sumberdaya biologi) Human-use Resources (Guna lahan) Metodologi Lokasinya adalah pesisir kota Makassar terletak di pesisir barat Sulawesi Selatan

Prosedur 1. Interpretasi Citra Quickbird 2. Pemodelan parameter fisik pesisir 3. Kriteria dan kelas tingkat kerentanan lingkungan 4. Model Indeks Kerentanan Lingkungan Hasil & Pembahasan Makassar dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu : 1. Sebagai Kawasan Perekonomian dan Pariwisata di sepanjang pesisir bagian selatan, 2. Sebagai kawasan konservasi tanaman Mangrove di sepanjang pesisir bagian utara, dan 3. Sebagai kawasan Pelabuhan dan Industri disepanjang pesisir bagian tengah Pesisir kota makassar menurut klasifikasi garis pantai NOAA, terbagi atas 7 kelas dari 10 kelas. Dalam menganalisis kerentanan lingkungan perairan kota Makassar, dibagi dalam empat wilayah yaitu IKL Muara Sungai Tallo sepanjang 14,73 km, IKL Pelabuhan sepanjng 9,36 km, IKL

Tanjung Bunga sepanjang 10,52 dan IKL Muara Sungai Jeneberang sepanjang 6,21 km. Panjang garis pantai kota Makassar yang berkategori Area Sangat Sensitif sepanjang 8,84 km, Area Sensitif sepanjang 18,1 km dan Area Kurang Sensitif sepanjang 13,9 km.

Kesimpulan 1. Secara umum pesisir Makassar memiliki tutupan substrat yang terdiri dari sedimen dan meterial buatan serta memiliki kemiringan rata-rata dibawah 5 derajat dan memiliki daerah intertidal yang datar, tipe pasang surutnya adalah tipe pasang surut campuran dominan tungggal (diurnal), ekspose gelombang yang terjadi, beragam sepanjang pesisir pantai. 2. Tingkat kerentanan lingkungan pesisir kota Makassar hanya terdapat tiga dari empat kategori yang telah ditentukan. Daftar Pustaka Ali, H., Poerbandono & Ketut W. Penentuan Indeks Kerentanan Lingkungan Pantai berbasis Geospasial dan Parameter Fisik (Studi Kasus : Tumpahan Minyak di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta). Bandung: ITB; 2008. Hutabarat, S. & Stewart M.E. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI-Press; 1984. http://geomatika.its.ac.id/archives/tag/geospasial NOAA Ocean Service. Shoreline Rankings. Last revised on June 26, 2008. Avaliable from : URL:http://response.restoration.noaa.gov/type_subtopic_entry.p

hp?RECORD_KEY(entry_subtopic_type)=entry_id,subtopic_id,ty pe_id&entry_id(entry_subtopic_type)=694&subtopic_id(entry_su btopic_type)=8&type_id(entry_subtopic_type)=3 NOAA Ocean Service. Environmental Sensitivity Index Guidelines Version 3.0. Washington: NOAA Technical Memorandum NOS OR&R 11; 2002. Oluseyi, F.O., Integration of Remote Sensing Data and Field Models of in-Situ Data in a GIS for Environmental Sensitivity Index Mapping; a Nigerian Example. Ottawa: Syimposium on Geospatial Theory; 2002. Riyanto, Prinali E.P. & Hendi I. Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi Geografis Berbasis Dekstop dan Web. Yogyakarta: Penerbit Gava Media; 2009. Subagio, W.P., Abdul R.A., Wandito H.S. & I Wayan S.A. Environmental Sensitivity Index Assessment Using Formosat-2 Satellite In Labuan Coastal, Banten. Banten: Research Center for Marine Technology; 2009. Triatmodjo, Bambang. Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset; 1999. Utantyo, Hartono & Sutikno. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan: Studi kasus di Pesisir Cilacap dan Segara Anakan. Yogyakarta: PSLH UGM; 2003.http://gf-outline.blogspot.com/2011/02/analisis-kerentanan-lingkungan-perairan.html

KERENTANAN KAWASAN TEPI AIR TERHADAP KENAIKAN PERMUKAAN AIR LAUT Kasus Kawasan Tepi Air Kota SurabayaIwan Suprijanto Peneliti Bidang Permukiman - Puslitbang Permukiman, Departemen KIMPRASWIL bstract in Bahasa Indonesia : Terlepas dari ketidakpastian mengenai terjadi atau tidaknya pemanasan global, setiap perubahan iklim di bumi akan memberikan dampak terhadap kelangsungan hidup manusia. Salah satu kajian yang saat ini banyak dilakukan berkaitan dengan isu pemanasan global adalah mengenai kenaikan permukaan air laut. Pengkajian mengenai kenaikan permukaan air laut tersebut penting mengingat dampak yang akan ditimbulkannya dan dengan kenyataan secara umum kawasan tepi air memegang peranan penting dalam perkembangan suatu kota ataupun negara. Hal ditandai dengan banyaknya aktivitas yang berlokasi di kawasan tepi air. Kondisi geografis Indonesia dengan duapertiga bagian wilayahnya adalah perairan, menjadikan Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Hal tersebut menjadikan pula beberapa bagian wilayah di Indonesia merupakan kawasan pesisir atau tepi air., termasuk mayoritas kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar. Mengingat banyaknya aktivitas penting di kota-kota tersebut, terganggunya kawasan pantai akibat kenaikan permukaan air laut secara umum akan memberikan dampak yang cukup besar. Dari identifikasi yang dilakukan di kawasan tepi air kota Surabaya dampak kenaikan permukaan air laut akan berpengaruh tidak hanya untuk kawasan tepi air tapi juga untuk perkembangan Kota Surabaya. Hal itu disebabkan keberadaan kawasan industri dan pelabuhan serta alokasi kawasan perumahan untuk menampung pertambahan penduduk Kota Surabaya.

Kata Kunci: kenaikan permukaan air laut, pemanasan global, kawasan tepi air, dampakhttp://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/viewArticle/15784

Kota dalam Bayang-bayang BencanaOleh: M NAWIR (Aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota, Uplink Indonesia Makassar)Tata kota dan pemerintahan yang baik menjadi prasyarat penting untuk menjamin keberdayaan rakyat dan keterlibatan mereka dalam pengembangan lingkungan perkotaan agar mereka tidak terpinggirkan dan terkena bencana akibat perubahan iklim, kekerasan, serta kesehatan yang buruk (IFRC, World Disaster Report 2010: Focus on Urban Risk). Bencana alam akibat perubahan iklim dan kerentanan sosial yang muncul dari pesatnya pembangunan perkotaan dewasa ini menjadi tema pokok dari peringatan Pengurangan Bencana Dunia (World Disaster Campaign 2010). Gempa bumi di Haiti, Chili dan Selandia Baru; hujan deras dan banjir di Pakistan, Eropa Timur, Mozambik, dan bagian lain dari Afrika; kebakaran hutan di Rusia, longsor serta letusan gunung berapi di Indonesia dan Islandia; semuanya menyebabkan penderitaan manusia dan kerusakan infrastrukturekonomi. Dalam bayang-bayang perubahan iklim, kota-kota pun tidak kebal dari bencana. Laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) menyebut 2,57 miliar penduduk berpendapatan rendah rentan bencana akibat laju urbanisasi, pertumbuhan penduduk, sanitasi dan pelayanan kesehatan yang buruk, serta kasus-kasus kekerasan. Antara sepertiga hingga setengah dari penduduk kota-kota besar yang berpendapatan rendah itu tinggal di permukiman informal atau kumuh. Sebegitu pentingnya, sehingga badan PBB yang mengurusi Strategi Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) mengajak pemerintah kota di seluruh dunia menandatangani kampanye "Sepuluh Poin Penting Membangun Kota yang Tangguh" (10 Point Checklist Essensial for Making Cities Resilient). Dalam Forum DRR Shanghai akhir Juli lalu, Margaretha Wahlstrom, wakil khusus Sekjen PBBUNISDR menyerukan kepada wali kota, para perencana kota dan pengusaha serta masyarakat sipil, untuk membangun kolaborasi mengembangkan solusi alternatif dan praktik inovatif dalam mengurangi risiko bencana dan kerentanan sosial. Pemerintah Kota Makassar bersama 85 wali kota lainnya termasuk bagian dari penandatangan kampanye tersebut. Bencana Ekologis

Kerusakan daya dukung lingkungan hidup adalah salah satu penyebab utama bencana dewasa ini. Sedangkan kerusakan ekologi disebabkan pesatnya kapitalisasi sumber daya agraria, yang hingga kini nyaris tidak bisa lagi dimoratorium. Dalam kurun waktu 19972009, Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan 6.632 kali bencana ekologi di Indonesia. Sebanyak 5.444 kali di antaranya terjadi antara tahun 20042008. Jika diratakan per bulan, terjadi 42 kali bencana di republik ini. Sebanyak 151.277 orang tewas dalam 13 tahun itu. Bencana paling dahsyat dalam sejarah berdirinya republik ini adalah gempa dan tsunami Aceh akhir Desember 2004. Sejak itu, bencana gempa, letusan gunung berapi, banjir, badai, longsor, bergerak sampai di Wasior Papua Barat 4 Oktober lalu. Sebaran wilayah bencana terutama berpusat di kawasan pertanian, pegunungan, hutan dan perairan dalam, di mana berpusatnya eksploitasi atau eksplorasi sumber daya agrarian. Para aktivis lingkungan hidup menuding para kapitalis itu semakin memperbesar risiko terjadinya bencana. Pada gilirannya, kerusakan sumber daya agraria perdesaan berimbas pada kerentanan pembangunan perkotaan. Semakin timpangnya penguasaan sumber daya agraria, dan kian menyempitnya luas lahan pertanian, memperbesar jumlah buruh tani dan petani berlahan kurang dari 0,5 ha. Terbukti urbanisasi tidak pernah dilaporkan menurun, dan kota menjadi harapan hidup subsistem bagi kaum urban. Kota bagi kaum buruh dan petani miskin perdesaan bagaikan iklan yang selalu menggodanya untuk mencoba beradu nasib di sana. Mereka yang "beruntung" menjadi kaya dan terdidik. Mereka yang "buntung" menjadi gelandangan di emperan dan pinggiran kota. Risiko Bencana Perkotaan Laporan Bencana Dunia 2010 dan Risiko Perkotaan yang diluncurkan IFRC 1 Oktober lalu menyatakan bahwa 1 miliar penduduk kota di dunia saat ini tinggal di daerah kumuh yang penuh sesak, dan akan naik menjadi 1,4 miliar pada 2020. Sebagai contoh, Afrika yang dahulu sering dianggap sebagai perdesaannya dunia, sekarang memiliki penduduk perkotaan (412 juta), lebih besar dari Amerika Utara (286 juta). Situasinya menjadi riskan ketika penduduk menjadi beban bagi kota. Sementara pertumbuhan kota tidak optimal menyediakan fasilitas dasar bagi penduduknya. Bencana perkotaan menjadi laten karena

hanya menunggu faktor-faktor pemicunya. Hasil survei CRED, Pusat Penelitian tentang Epidemiologi Bencana, menunjukkan bahwa wilayah-wilayah dunia yang paling urban cenderung memiliki lebih sedikit kematian akibat bencana alam. Akan tetapi, mengalami kerugian ekonomi yang lebih tinggi seperti yang terjadi di Eropa. Di negeri maju itu memiliki 72 persen penduduk urban, yang pada tahun 2007 mengalami 65 kali bencana, dan mengakibatkan kematian 1 persen, tetapi dampaknya adalah 27 persen dari kerusakan ekonomi di seluruh dunia. Dan disadari bahwa, faktor lain pemicu dari tingginya risiko bencana dunia dewasa ini adalah perubahan iklim. Kota Makassar dewasa ini sedang mengemas dirinya menjadi Kota Dunia Berlandaskan Kearifan Lokal. Ibarat gerbong kereta api, laju pembangunan mengikuti jalur pertumbuhan kota megapolitan umumnya. Namun, searah dengan kemajuan itu, urbanisasi, kepadatan permukiman, semakin rendahnya daya dukung lingkungan dan kemacetan lalu lintas adalah problem yang masih tersisa. Dengan jumlah penduduk 1.371.904 jiwa, kota Makassar menyisakan keluarga miskin 62.06 rumah tangga (RT), di antaranya berumah tidak layak huni 3.197 RT, dan tinggal di atas kawasan kumuh seluas 540,78 ha di 23 kelurahan. Pertumbuhan permukiman kumuh dengan material bangunan yang rentan terbakar, sistem drainase yang buruk, terutama terkonsentrasi di sepanjang kanal dan pesisir selatan dan utara kota. Rawan konflik sosial, dengan kondisi lingkungan fisik permukiman yang menjadi rentan dari banjir, genangan air bercampur sampah/limbah. Sebanyak 16.689 KK penduduk berada di kawasan yang berisiko bencana. Menurut data Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, rata-rata kasus kebakaran 15 kali per bulan dalam setahun terakhir. Sementara 24 kawasan kumuh rentan banjir, yang berisiko pada peningkatan kasus diare, typhus dan demam berdarah. Sebagai salah kota tua di dunia, Makassar sudah harus menjadikan perspektif pengelolaan risiko bencana pada seluruh aspek pembangunannya. Banyak kota di dunia ini yang mengarusutamakan manajemen bencana untuk melindungi warganya. Atas dasar itu pula, forum Pengurangan Risiko Bencana Shanghai menjadi penting artinya. Kota Dunia menjadi berarti ketika Makassar dibangun di atas landasan cita-cita konstitusi, yakni memenuhi, mensejahterakan, dan melindungi warganya dari bencana alam, kekerasan dan pemiskinan.

Pengurangan Risiko Sejauh yang bisa dilakukan masyarakat perkotaan dewasa ini adalah mengelola sumber daya dalam bayang-bayang bencana dan perubahan iklim. Perspektif manajemen bencana menegaskan bahwa bencana tidak bisa diakhiri, tetapi bisa dikelola untuk mengurangi risiko maupun dampak kerusakan yang lebih besar. Dalam hal ini, kesadaran bahwa bencana alam sesungguhnya adalah ulah manusia sendiri menjadi penting maknanya. Kampanye Hari Internasional Pengurangan Bencana setiap 13 Oktober merupakan salah satu cara masyarakat sipil di Makassar dalam menumbuhkan kepekaan semua pihak pada masalah dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan ketimpangan pembangunan perkotaan. Kampanye ini akan menyorot kesungguhan pemerintah dalam mengantisipasi bencana dan mewujudkan masyarakat kota yang lebih aman dan tangguh. Sekretariat UNISDR menyerukan kepada para mitranya untuk mengambil peran yang lebih aktif. UNISDR mendorong pemerintah kota, dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil untuk bekerja sama mewujudkan sepuluh platform Membangun Kota yang Resilien. Sepuluh poin yang dimaksud adalah (1) Menata organisasi dan koordinasi untuk mendorong partisipasi publik, membangun aliansi, dan memastikan semua departemen memahami peran masing-masing. (2) Menetapkan anggaran pengurangan risiko bencana, insentif bagi keluarga berpenghasilan rendah, dan mendorong sektor bisnis untuk berinvestasi dalam mengurangi risiko bencana. (3) Merawat data tetap up-to-date, mempersiapkan penilaian risiko sebagai dasar perencanaan pembangunan, dan memastikan ketersediaan informasi bagi public. (4) Berinvestasi dan memelihara infrastruktur yang kritis (buruk) untuk mengurangi risiko seperti banjir sebagai akibat perubahan iklim. (5) Menilai keselamatan/keamanan semua sekolah, fasilitas kesehatan, dan meng-upgrade atau perbaikan sesuai keperluan. (6) Menerapkan peraturan tentang risiko bangunan dan tata guna lahan dengan mengidentifikasi keamanan tanah bagi warga miskin, serta mengembangkan penataan pemukiman informal. (7) Melaksanakan programprogram pendidikan dan pelatihan pengurangan risiko bencana di sekolah dan masyarakat setempat. (8) Melindungi ekosistem dan daerah penyanggah alami untuk mengurangi banjir, badai dan bahaya lain dengan praktik pengurangan risiko yang baik.

(9) Menginstal sistem peringatan dini dan kapasitas manajemen darurat bencana dan latihan rutin kesiap-siagaan masyarakat. (10) Mengembangkan pusat rekonstruksi pasca bencana, dan dengan dukungan organisasiorganisasi komunitas, merancang penerapan tanggap bencana, termasuk membangun kembali rumah dan mata pencaharian mereka. Pesan pokok dari platform tersebut adalah mengurangi risiko bencana perkotaan dengan menjadikan masyarakat yang paling rentan sebagai bagian yang ikut membicarakan, mendesain dan mengontrol tata ruang sebuah kota. (*)http://metronews.fajar.co.id/read/107328/19/index.php

PERUBAHAN IKLIM Dampak Setiap Daerah Berbeda-bedaJakarta, Kompas - Kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim Pulau Lombok yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan The Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit Indonesia menyimpulkan, dampak perubahan iklim satu daerah berbeda dengan dampak di daerah lain. Dampak yang berbeda membutuhkan adaptasi yang berbeda. Kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim Pulau Lombok pada 2008 dan 2009 itu menunjukkan, kerentanan bencana dan risiko bencana di lima kabupaten/kota yang semuanya di Pulau Lombok ternyata berlainan. Kajian itu, antara lain, menganalisis dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air, sektor pertanian, dan pesisir. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman menyatakan, kajian itu penting untuk merencanakan pembangunan. Dulu pemerintah daerah menyatakan semua masyarakat di kawasan pesisir rentan terhadap perubahan iklim. Ternyata tingkatan dampak kenaikan permukaan laut di sejumlah wilayah di Pulau Lombok tidak sama, kata Masnellyarti. Dia juga menyatakan pentingnya adaptasi di sektor pertanian. Awal musim hujan telah bergeser dari bulan November menjadi Januari. Itu membuat kalender tanam petani harus diubah, katanya. Peneliti dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Ibnu Sofian, membenarkan kenaikan paras muka laut di pesisir utara Lombok berbeda dengan pesisir selatan. Di utara 6 mm per tahun, sedangkan di selatan 4 mm per tahun. Berbeda tingkat kerentanannya, apalagi risikonya. Di daerah lain, risikonya semakin berbeda, dipengaruhi kecepatan kenaikan, pola arus, sedimentasi di garis pantai, dan kuat lemahnya gelombang, katanya. Ketua tim Djoko Santoso Abdi Suroso menyatakan, kajian itu telah diadopsi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. (ROW)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/08/11/03274463/dampak.setiap.daerah.berbedabedahttp://www.batukar.info/news/perubahan-iklim-dampak-setiap-daerah-berbeda-beda

Pemanasan GlobalEmail

Written by pristality on Dec-30-10 3:35pmFrom: pristality.wordpress.com

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,540 Celcius pada akhir abad 21. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosialekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya. Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan

budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan khususnya yang berfungsi lindung akan menyebabkan runoff yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992

tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku. Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

globalisasi ekonomi dan implikasinya, otonomi daerah dan implikasinya, penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya, pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan, pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi, daur ulang hidrologi, penanganan land subsidence, pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta pemanasan global dan berbagai dampaknya. Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi

kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran). Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran). Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang 250 km). beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar. Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan. Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang. Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahanagriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan

tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar. Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip working with nature. Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat florafauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya. Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu khususnya hutan tropis perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :

Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung. Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya. Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management). Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungandukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas. Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.

Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountableagar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kotakota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen baik PP, Keppres, maupun Perda untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang seimbang antar unsurunsur stakeholders. Berbagai sumberhttp://www.zimbio.com/Blogging/articles/AJUfx5iVAEC/Pemanasan+Global