analisis jkn (jaminan kesehatan nasional)
DESCRIPTION
Kajian ini merupakan esai mengenai kelayakan penggunaan BPJS yang merupakan produk dari sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).TRANSCRIPT
Analisis Sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional): BPJS Haram (?)
Musabab kenapa saya menulis pos blog kali ini adalah setidaknya ada dua alasan.
Pertama, akhil jalil (kolega mulia) saya yang enggan disebut jabatannya sebagai Wakil Ketua
Senat Mahasiswa UNDIP, mengirim pesan berantai (broadcast message) berisi kutipan berita
yang membenarkan pelaksanaan BPJS, singkatnya demikian, nanti akan dibahas di dalam tulisan
ini. Bisa jadi keengganan –sebut saja– Syahid (isim mufrad dari syuhada’) karena
sikap tawadhu’(kerendahan hatinya), namun kali ini pos blog ini tidak membahas itu. Alasan
kedua adalah karena ada sikap dan pernyataan teman penulis satu fakultas yang menganggap
bahwa ke-haram-an BPJS adalah karena riba. Selain itu ia juga berargumentasi mana mungkin
bisa gak riba, kan pegawainya perlu dibayar. Saya kira jika pernyataannya demikian kurang
memahami konteks masalah dan apa yang dipermasalahkan (baca: dipolemikkan). Untuk
menghindarkan sesat pikir yang beredar, saya mencoba untuk mendudukkan permasalahan yang
ada. Karena kasihan masalahnya masa berdiri terus, khawatir asam uratnya kambuh.
Pertama dari pesan berantai kawan saya. Di situ disebutkan bahwa yang mengirim adalah
Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, BPJS yang ditujukan untuk seluruh Duta
BPJS. Duta BPJS di sini mungkin adalah orang yang ditugaskan untuk melakukan sosialisasi
BPJS, singkat kata dapat dikatakan agen-agen BPJS-lah. Isi pesannya adalah tautan (link) dari
sebuah media dunia maya (online) pernyataan Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), Din
Syamsuddin, yang mengatakan bahwa BPJS tidak haram, melainkan hanya tidak sesuai/belum
sejalan/belum in linedengan syariat[1] (Islam). Saya berpura-pura kaget kenapa ada hal
yang ghairu masyru’ (tidak sesuai syari’ah) bisa dikatakan tidak haram. Keberpura-puraan kaget
saya nanti akan dijelaskan dalam pos kali ini. Kok bisa hal yang tidak sesuai syari’ah dikatakan
tidak haram, apakah berarti dengan kata lain ia makruh (ditinggalkan lebih baik, tapi dilakukan
juga tak apa-apa)? Namun mengapa tidak disebut makruh saja kalau demikian? Atau itu
masih syubhat yang berarti tidak jelas hukumnya. Tapi kalau syubhat, hukum syari’ah pasti
(kalau enggan mengatakan cenderung) akan menganjurkan untuk ditinggalkan atau ekstremnya
tidak syari’ah. Atau jika memang ada dua pendapat kuat antara yang membolehkan dan yang tak
memperbolehkan, maka mengapa tidak dikatakan hadzihi mukhtalifah bahwa memang ada
ikhtilaf/perbedaan pendapat dalam masalah ini. Dan sikap yang diambil
adalah tawaqquf(pembiaran kepada masyarakat untuk boleh ikut BPJS atau tidak, tanpa
menganjurkan atau mempersalahkan [memfatwakan haram]).
Sebelum menjawab penggunaan istilah di atas, ada baiknya kita tahu dulu dalam teks
Keputusan Ijtima Komisi Fatwa MUI sebagai berikut,
C. Ketentuan Hukum Dan Rekomendasi
1. Penyelenggaraan
jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para p
ihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsurgharar, maisir dan
riba.
2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan
melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukanpelay
anan prima.
Untuk teks lengkapnya dapat diunduh di sini. Baik, kita bahas satu per satu. Pertama, jika
dibandingkan dengan putusan hukum-hukum lain memang hanya di bagian BPJS inilah
dikatakan ‘tidak sesuai dengan prinsip syari’ah.’ Di bagian lain, misalkan dalam hal pemimpin
yang mengingkari janjinya maka dihukumi haram, bukan ‘tidak sesuai dengan prinsip syaria’ah’.
Saya tidak tahu apakah MUI mempunyai kaidah ushul yang baru bahwa ‘haram’ itu di bawah
dengan ‘tidak sesuai dengan prinsip’ atau ada alasan yang saya tidak tahu. Dalam kalimat
sebelumnya tidak efisien karena saya menggunakan kata ‘saya tidak tahu’ dua kali, yang Anda
baca tiga kali dengan yang terakhir. Oke, itu tidak penting. Yang penting sekarang kenapa BPJS
tidak syar’i. Setidaknya ada tiga poin penting kenapa BPJS tidak syar’i yaitu karena ada
unsur gharar, maisir,dan riba. Namun di teks keputusan Ijtima Ulama yang dihadiri 750 ulama
di Tegal ini tidak jelaskan praktik-praktik apa saja yang ada di dalam BPJS yang mengandung
tiga unsur itu. Sedikit banyak akan dijelaskan unsur-unsur itu dan akan ditambahkan pulacounter
argument-nya, yang menyatakan bahwa BPJS itu sudah benar beserta solusinya agar syar’i.
Gharar atau Ketidakjelasan
Ketidakjelasan BPJS ini timbul dari mulai akad peserta membayar premi. Kan
ada tuh premi bulanannya yang dibayarkan. Nah, MUI meminta kejelasan uang premi yang
dibayarkan itu akadnya apa, uangnya mau dikemanakan, uangnya mau diapakan? Apakah
akadnya ta’awun (gotong royong), perpindahan kepemilikan (uang diberikan secara sukarela ke
BPJS), transfer of risk, sharing of risk, wakaf, hibah, shadaqah, infaq, dst? Inilah muncul
sisi gharar-nya.
Penjelasan BPJS: tidak gharar karena berdasarkan amanah undang-undang[2] asasnya
adalah jelas-jelas gotong royong, yakni yang mampu membantu yang tidak mampu. Walaupun
pada kenyataan sekarang peserta yang PBI (Penerima Bantuan Iuran) masih ditanggulangi oleh
negara. Jadi, BPJS masuk dalam kategori akad ta’awun atau gotong royong.
Namun, ini perlu diketahui oleh peserta BPJS apakah ia bersedia atau tidak menjadi
peserta BPJS dengan akad ta’awun atau gotong royong, yang berarti mengikhlaskan uangnya
hilang untuk orang lain apabila ia sakit karena tidak bisa mengklaim dan sekaligus tidak bisa
menariknya seperti pada asuransi kesehatan biasa lain. Nah, kalau ikhlas maka akadnya
menjadi tabarru’ atau berbuat baik untuk orang lain. Sebagai tambahan, MUI menginginkan
akad yang jelas tertulis dalam polis BPJS yang diketahui untuk peserta.
Maisir atau Judi
Unsur maisir atau judi tersendiri akibat adanya untung-untungan apabila ia sakit atau
tidak sakit. Masih ada rentetannya dengan akad. Misal, apabila ia sakit, untung dia dapat bayar
biaya rumah sakit atau pengobatan sebesar 100 juta, misal. Tapi rugi kalau ia selama membayar
tidak sakit seumur hidup karena total iuran BPJS pun tidak bisa dikembalikan. Selain itu sampai
kapan peserta harus bayar? Supaya tidak terjadi unsur merasa diuntungkan atau dirugikan, atau
mencari keuntungan dan mendapat kerugian, maka kembali akadnya dibuat
menjadi ta’awun atau gotong royong yang memang uangnya diikhlaskan untuk membantu orang
lain.
Riba
Riba di sini disebabkan apabila investasi BPJS yang di-tasharruf-kan misal pada
investasi yang tidak islami. Untuk melihat masalah ini cukup bandingkan seperti antara bank
konvensional dan syariah. BPJS tidak ada ketentuan mengharuskan dana investasinya, misalkan
di pasar modal, harus diinvestasikan ke dalam perusahaan yang terdaftar pada indeks perusahaan
syari’ah, artinya pada perusahaan yang tidak bergerak pada industri yang haram seperti (misal)
perusahaan produsen minuman keras. Selain itu, riba di sini juga dikaitkan dengan denda 2%
keterlambatan bayar premi. Apabila ini masuk ke dalam other income maka ia termasuk riba.
Pihak BPJS sendiri mengatakan 2% tidak masuk other incomemelainkan akan masuk pula ke
dalam dana jaminan sosial. Keterlambatan pembayaran dengan denda 2% juga menurut MUI
juga dikategorikan hal yang memberatkan pula.
Kesimpulannya pernyataan teman saya keliru bahwa ribanya untuk mendanai pegawai BPJS.
Biaya operasional PBJS termasuk pegawainya dibayarkan dari 6,25% dari total iuran yang
dibayarkan. Sedangkan jika kemungkinan terdapat hasil riba itu dari profit investasi, yang kalau
pun itu riba ia tidak menjadi company profitmelainkan kembali ke dana jaminan sosial sendiri.
Ini dikarenakan BPJS yang sifatnya nir-laba, artinya tidak mencari keuntungan seperti asuransi
konvensional semata.
Lantas, bagaimana dengan pernyataan MUI tentang BPJS? Saya mau mengatakan dan
bersyukur bahwa MUI kita, MUI Indonesia adalah kumpulan ulama yang berakhlaq mulia nan
halus. Tidak keras dan ekstrem seperti di Timur Tengah, misal sebagai contoh. Ini dapat kita
lihat misalnya dulu ketika Ketua MUI sebelumnya KH Sahal Mahfudz (al-maghfur
lahu) berkomentar mengenani ajaran Ahmadiyyah. Demi kemaslahatan ummat (mashalih
mursalah), ia mengatakan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah ajaran yang tidak bisa diterima di
dalam Islam. Sungguh ini bahasa yang mengajak (hikmah) karena untuk salah satunya tidak
menyakiti pengikut Ahamdiyyah waktu itu, dan tidak memanaskan suasana. Kata yang umum
adalah aliran Ahmadiyah dhalla dhalalah (sesat menyesatkan). Namun, kearifan MUI tidak
menggunakan kata itu walaupun senyatanya memang Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Sama
halnya dengan kasus ini, saya pribadi menduga MUI mendorong pemerintah agar mengubah
BPJS menjadi syari’ah atau membuat ada BPJS syari’ah tanpa mempersalahkan atau
mengatakannya haram walaupun dari kaca mata syar’i dapat dikategorikan haram jika memang
terdapat unsur yang mengharamkannya.
Unsur Politis
Unsur politis saya tambahkan dan ini merupakan pendapat pribadi saya. Akhir-akhir ini,
industri keuangan syari’ah begitu diminati namun porsi kue finansialnya masih kecil jika
dibandingkan industri keuangan konvensional. Apabila BPJS disyariahkan atau minimal ada
BPJS syari’ah maka industri syariah akan semakin berkembang karena ada tambahan dana yang
cukup besar dari investasi BPJS yang masuk ke dalam sektor keuangan syari’ah di sini. Namun
kembali lagi ini adalah pendapat pribadi saya. Allahul musta’an.
[1] Dalam KBBI kata syariah/syari’ah belum baku, yang baku adalah syariat. Namun untuk kepentingan pos di sini saya memilih kata syari’ah
[2] Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan Undang-
Undang BPJS Nomor 24 tahun 2011
Sumber: https://darmawanindra.wordpress.com/2015/08/02/bpjs-haram/