analisis jkn (jaminan kesehatan nasional)

6
Analisis Sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional): BPJS Haram (?) Musabab kenapa saya menulis pos blog kali ini adalah setidaknya ada dua alasan. Pertama, akhil jalil (kolega mulia) saya yang enggan disebut jabatannya sebagai Wakil Ketua Senat Mahasiswa UNDIP, mengirim pesan berantai (broadcast message) berisi kutipan berita yang membenarkan pelaksanaan BPJS, singkatnya demikian, nanti akan dibahas di dalam tulisan ini. Bisa jadi keengganan –sebut saja– Syahid (isim mufrad dari syuhada’) karena sikap tawadhu’(kerendahan hatinya), namun kali ini pos blog ini tidak membahas itu. Alasan kedua adalah karena ada sikap dan pernyataan teman penulis satu fakultas yang menganggap bahwa ke-haram-an BPJS adalah karena riba. Selain itu ia juga berargumentasi mana mungkin bisa gak riba, kan pegawainya perlu dibayar. Saya kira jika pernyataannya demikian kurang memahami konteks masalah dan apa yang dipermasalahkan (baca: dipolemikkan). Untuk menghindarkan sesat pikir yang beredar, saya mencoba untuk mendudukkan permasalahan yang ada. Karena kasihan masalahnya masa berdiri terus, khawatir asam uratnya kambuh. Pertama dari pesan berantai kawan saya. Di situ disebutkan bahwa yang mengirim adalah Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, BPJS yang ditujukan untuk seluruh Duta BPJS. Duta BPJS di sini mungkin adalah orang yang ditugaskan untuk melakukan sosialisasi BPJS, singkat kata dapat dikatakan agen-agen BPJS-lah. Isi pesannya adalah tautan (link) dari sebuah media dunia maya (online) pernyataan Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), Din Syamsuddin, yang mengatakan bahwa BPJS tidak haram, melainkan hanya tidak sesuai/belum sejalan/belum in linedengan syariat[1] (Islam). Saya berpura-pura kaget kenapa ada hal yang ghairu masyru’ (tidak sesuai syari’ah) bisa dikatakan tidak haram. Keberpura-puraan kaget saya nanti akan dijelaskan dalam pos kali ini. Kok bisa hal yang tidak sesuai syari’ah dikatakan tidak haram, apakah berarti dengan kata lain ia makruh (ditinggalkan lebih baik, tapi dilakukan juga tak apa-apa)? Namun mengapa tidak disebut makruh saja kalau demikian? Atau itu

Upload: indra-darmawan

Post on 23-Jan-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kajian ini merupakan esai mengenai kelayakan penggunaan BPJS yang merupakan produk dari sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

Analisis Sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional): BPJS Haram (?)

Musabab kenapa saya menulis pos blog kali ini adalah setidaknya ada dua alasan.

Pertama, akhil jalil (kolega mulia) saya yang enggan disebut jabatannya sebagai Wakil Ketua

Senat Mahasiswa UNDIP, mengirim pesan berantai (broadcast message) berisi kutipan berita

yang membenarkan pelaksanaan BPJS, singkatnya demikian, nanti akan dibahas di dalam tulisan

ini. Bisa jadi keengganan –sebut saja– Syahid (isim mufrad dari syuhada’) karena

sikap tawadhu’(kerendahan hatinya), namun kali ini pos blog ini tidak membahas itu. Alasan

kedua adalah karena ada sikap dan pernyataan teman penulis satu fakultas yang menganggap

bahwa ke-haram-an BPJS adalah karena riba. Selain itu ia juga berargumentasi mana mungkin

bisa gak riba, kan pegawainya perlu dibayar. Saya kira jika pernyataannya demikian kurang

memahami konteks masalah dan apa yang dipermasalahkan (baca: dipolemikkan). Untuk

menghindarkan sesat pikir yang beredar, saya mencoba untuk mendudukkan permasalahan yang

ada. Karena kasihan masalahnya masa berdiri terus, khawatir asam uratnya kambuh.

Pertama dari pesan berantai kawan saya. Di situ disebutkan bahwa yang mengirim adalah

Departemen Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, BPJS yang ditujukan untuk seluruh Duta

BPJS. Duta BPJS di sini mungkin adalah orang yang ditugaskan untuk melakukan sosialisasi

BPJS, singkat kata dapat dikatakan agen-agen BPJS-lah. Isi pesannya adalah tautan (link) dari

sebuah media dunia maya (online) pernyataan Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), Din

Syamsuddin, yang mengatakan bahwa BPJS tidak haram, melainkan hanya tidak sesuai/belum

sejalan/belum in linedengan syariat[1] (Islam). Saya berpura-pura kaget kenapa ada hal

yang ghairu masyru’ (tidak sesuai syari’ah) bisa dikatakan tidak haram. Keberpura-puraan kaget

saya nanti akan dijelaskan dalam pos kali ini. Kok bisa hal yang tidak sesuai syari’ah dikatakan

tidak haram, apakah berarti dengan kata lain ia makruh (ditinggalkan lebih baik, tapi dilakukan

juga tak apa-apa)? Namun mengapa tidak disebut makruh saja kalau demikian? Atau itu

Page 2: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

masih syubhat yang berarti tidak jelas hukumnya. Tapi kalau syubhat, hukum syari’ah pasti

(kalau enggan mengatakan cenderung) akan menganjurkan untuk ditinggalkan atau ekstremnya

tidak syari’ah. Atau jika memang ada dua pendapat kuat antara yang membolehkan dan yang tak

memperbolehkan, maka mengapa tidak dikatakan hadzihi mukhtalifah bahwa memang ada

ikhtilaf/perbedaan pendapat dalam masalah ini. Dan sikap yang diambil

adalah tawaqquf(pembiaran kepada masyarakat untuk boleh ikut BPJS atau tidak, tanpa

menganjurkan atau mempersalahkan [memfatwakan haram]).

Sebelum menjawab penggunaan istilah di atas, ada baiknya kita tahu dulu dalam teks

Keputusan Ijtima Komisi Fatwa MUI sebagai berikut,

C. Ketentuan Hukum Dan Rekomendasi

1. Penyelenggaraan

jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para p

ihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsurgharar, maisir dan

riba.

2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan

melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukanpelay

anan prima.

Untuk teks lengkapnya dapat diunduh di sini. Baik, kita bahas satu per satu. Pertama, jika

dibandingkan dengan putusan hukum-hukum lain memang hanya di bagian BPJS inilah

dikatakan ‘tidak sesuai dengan prinsip syari’ah.’ Di bagian lain, misalkan dalam hal pemimpin

yang mengingkari janjinya maka dihukumi haram, bukan ‘tidak sesuai dengan prinsip syaria’ah’.

Saya tidak tahu apakah MUI mempunyai kaidah ushul yang baru bahwa ‘haram’ itu di bawah

Page 3: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

dengan ‘tidak sesuai dengan prinsip’ atau ada alasan yang saya tidak tahu. Dalam kalimat

sebelumnya tidak efisien karena saya menggunakan kata ‘saya tidak tahu’ dua kali, yang Anda

baca tiga kali dengan yang terakhir. Oke, itu tidak penting. Yang penting sekarang kenapa BPJS

tidak syar’i. Setidaknya ada tiga poin penting kenapa BPJS tidak syar’i yaitu karena ada

unsur gharar, maisir,dan riba. Namun di teks keputusan Ijtima Ulama yang dihadiri 750 ulama

di Tegal ini tidak jelaskan praktik-praktik apa saja yang ada di dalam BPJS yang mengandung

tiga unsur itu. Sedikit banyak akan dijelaskan unsur-unsur itu dan akan ditambahkan pulacounter

argument-nya, yang menyatakan bahwa BPJS itu sudah benar beserta solusinya agar syar’i.

Gharar atau Ketidakjelasan

Ketidakjelasan BPJS ini timbul dari mulai akad peserta membayar premi. Kan

ada tuh premi bulanannya yang dibayarkan. Nah, MUI meminta kejelasan uang premi yang

dibayarkan itu akadnya apa, uangnya mau dikemanakan, uangnya mau diapakan? Apakah

akadnya ta’awun (gotong royong), perpindahan kepemilikan (uang diberikan secara sukarela ke

BPJS), transfer of risk, sharing of risk, wakaf, hibah, shadaqah, infaq, dst? Inilah muncul

sisi gharar-nya.

Penjelasan BPJS: tidak gharar karena berdasarkan amanah undang-undang[2] asasnya

adalah jelas-jelas gotong royong, yakni yang mampu membantu yang tidak mampu. Walaupun

pada kenyataan sekarang peserta yang PBI (Penerima Bantuan Iuran) masih ditanggulangi oleh

negara. Jadi, BPJS masuk dalam kategori akad ta’awun atau gotong royong.

Namun, ini perlu diketahui oleh peserta BPJS apakah ia bersedia atau tidak menjadi

peserta BPJS dengan akad ta’awun atau gotong royong, yang berarti mengikhlaskan uangnya

hilang untuk orang lain apabila ia sakit karena tidak bisa mengklaim dan sekaligus tidak bisa

Page 4: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

menariknya seperti pada asuransi kesehatan biasa lain. Nah, kalau ikhlas maka akadnya

menjadi tabarru’ atau berbuat baik untuk orang lain. Sebagai tambahan, MUI menginginkan

akad yang jelas tertulis dalam polis BPJS yang diketahui untuk peserta.

Maisir atau Judi

Unsur maisir atau judi tersendiri akibat adanya untung-untungan apabila ia sakit atau

tidak sakit. Masih ada rentetannya dengan akad. Misal, apabila ia sakit, untung dia dapat bayar

biaya rumah sakit atau pengobatan sebesar 100 juta, misal. Tapi rugi kalau ia selama membayar

tidak sakit seumur hidup karena total iuran BPJS pun tidak bisa dikembalikan. Selain itu sampai

kapan peserta harus bayar? Supaya tidak terjadi unsur merasa diuntungkan atau dirugikan, atau

mencari keuntungan dan mendapat kerugian, maka kembali akadnya dibuat

menjadi ta’awun atau gotong royong yang memang uangnya diikhlaskan untuk membantu orang

lain.

Riba

Riba di sini disebabkan apabila investasi BPJS yang di-tasharruf-kan misal pada

investasi yang tidak islami. Untuk melihat masalah ini cukup bandingkan seperti antara bank

konvensional dan syariah. BPJS tidak ada ketentuan mengharuskan dana investasinya, misalkan

di pasar modal, harus diinvestasikan ke dalam perusahaan yang terdaftar pada indeks perusahaan

syari’ah, artinya pada perusahaan yang tidak bergerak pada industri yang haram seperti (misal)

perusahaan produsen minuman keras. Selain itu, riba di sini juga dikaitkan dengan denda 2%

keterlambatan bayar premi. Apabila ini masuk ke dalam other income maka ia termasuk riba.

Pihak BPJS sendiri mengatakan 2% tidak masuk other incomemelainkan akan masuk pula ke

dalam dana jaminan sosial. Keterlambatan pembayaran dengan denda 2% juga menurut MUI

juga dikategorikan hal yang memberatkan pula.

Page 5: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

Kesimpulannya pernyataan teman saya keliru bahwa ribanya untuk mendanai pegawai BPJS.

Biaya operasional PBJS termasuk pegawainya dibayarkan dari 6,25% dari total iuran yang

dibayarkan. Sedangkan jika kemungkinan terdapat hasil riba itu dari profit investasi, yang kalau

pun itu riba ia tidak menjadi company profitmelainkan kembali ke dana jaminan sosial sendiri.

Ini dikarenakan BPJS yang sifatnya nir-laba, artinya tidak mencari keuntungan seperti asuransi

konvensional semata.

Lantas, bagaimana dengan pernyataan MUI tentang BPJS? Saya mau mengatakan dan

bersyukur bahwa MUI kita, MUI Indonesia adalah kumpulan ulama yang berakhlaq mulia nan

halus. Tidak keras dan ekstrem seperti di Timur Tengah, misal sebagai contoh. Ini dapat kita

lihat misalnya dulu ketika Ketua MUI sebelumnya KH Sahal Mahfudz (al-maghfur

lahu) berkomentar mengenani ajaran Ahmadiyyah. Demi kemaslahatan ummat (mashalih

mursalah), ia mengatakan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah ajaran yang tidak bisa diterima di

dalam Islam. Sungguh ini bahasa yang mengajak (hikmah) karena untuk salah satunya tidak

menyakiti pengikut Ahamdiyyah waktu itu, dan tidak memanaskan suasana. Kata yang umum

adalah aliran Ahmadiyah dhalla dhalalah (sesat menyesatkan). Namun, kearifan MUI tidak

menggunakan kata itu walaupun senyatanya memang Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Sama

halnya dengan kasus ini, saya pribadi menduga MUI mendorong pemerintah agar mengubah

BPJS menjadi syari’ah atau membuat ada BPJS syari’ah tanpa mempersalahkan atau

mengatakannya haram walaupun dari kaca mata syar’i dapat dikategorikan haram jika memang

terdapat unsur yang mengharamkannya.

Unsur Politis

Unsur politis saya tambahkan dan ini merupakan pendapat pribadi saya. Akhir-akhir ini,

industri keuangan syari’ah begitu diminati namun porsi kue finansialnya masih kecil jika

Page 6: Analisis JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)

dibandingkan industri keuangan konvensional. Apabila BPJS disyariahkan atau minimal ada

BPJS syari’ah maka industri syariah akan semakin berkembang karena ada tambahan dana yang

cukup besar dari investasi BPJS yang masuk ke dalam sektor keuangan syari’ah di sini. Namun

kembali lagi ini adalah pendapat pribadi saya. Allahul musta’an.

[1] Dalam KBBI kata syariah/syari’ah belum baku, yang baku adalah syariat. Namun untuk kepentingan pos di sini saya memilih kata syari’ah

[2] Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional dan Undang-

Undang BPJS Nomor 24 tahun 2011

Sumber: https://darmawanindra.wordpress.com/2015/08/02/bpjs-haram/