analisis efisiensi anggaran pendidikan islam di...
TRANSCRIPT
ANALISIS EFISIENSI ANGGARAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA TAHUN
2013 - 2015
PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Muhammad Fajrul Syam Arzani
NIM : 1110084000048
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Muhammad Fajrul Syam Arzani
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 25 Mei 1993
3. Alamat : Jalan Sultan Iskandar Muda Gang Jaman Rt.03
Rw.02 No.29 Kebayoran Lama Utara Jakarta
Selatan 12240
4. Telepon : 0898-918-2419
5. Email : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. SDN 02 Petang Kebayoran Lama Utara Tahun 1998 - 2004
2. SMP Negeri 164 Jakarta Selatan Tahun 2004 - 2007
3. SMA Negeri 29 Jakarta Selatan Tahun 2007 - 2010
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010 - 2017
III. Seminar dan Workshop
1. Pelatihan IMAM / KHATIB Siswa DKI Jakarta diselenggarakan oleh
Majelis Dakwah Islamiyah DKI Jakarta & DIKMENTI, 23 Februari – 22
Maret 2008
2. Peserta dalam Seminar Metrologi, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), 20 Mei 2009
3. Peserta dalam Training Moralitas Pelajar: “We Change Ourselves by
ESQ”, diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia
(KAPMI), 21 Mei 2009
4. Peserta Student Leadership Development Program diselenggarakan oleh
Youth Leadership Center, Mei 2010.
5. Peserta Super Leadership Training , diselenggarakan oleh KAMMI UNJ,
Oktober 2012.
ii
6. Peserta Training Jurnalistik diselenggarakan oleh LDK Syahid Jakarta 20
Oktober 2010.
7. Peserta dalam seminar Peluang berkarir di dunia syariah yang
diselenggarakan oleh BEM Jurusan Ilmu ekonomi Studi Pembangunan –
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23 Oktober 2010.
8. Peserta workshop Adobe Photoshop diselenggarakan oleh Yayasan
Lembaga Pendidikan Indonesia – Amerika (LPIA), 30 Oktober 2010.
9. Peserta dalam acara Expresi X “Burn Your Self to be a Real Muslim”,
diselenggarakan oleh LDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 26 – 28
November 2010.
10. Peserta dalam acara Sharia Economist Training (SET) 10 “Langkah Pasti
Menuju Ekonom Rabbani” yang diselenggarakan oleh FoSSEI
Jabodetabek, 11 – 13 Februari 2011.
11. Peserta dalam Gathering Mahasiswa Se Indonesia, yang diselenggarakan
oleh inSure, 22 – 23 Januari 2011.
12. Peserta dalam Workshop “Basic Skill Organization” yang
diselenggarakan oleh LDK KomDa FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
26 Juni 2011.
13. Peserta Workshop Pelatihan Analisis Media IV, yang diselenggarakan
oleh InSure, 1 Juli 2011.
14. Peserta Studium Generale, Islamic Youth Movement in SouthEast Asia,
yang diselenggarakan oleh InSure, 28 Juli 2011.
15. Peserta Workshop Kepemimpinan Pemuda Indonesia yang
diselenggarakan oleh KAMMI Daerah Tangerang Selatan, 28 – 30
Oktober 2011.
16. Peserta Workshop, Outlook OJK terhadap industri keuangan dan
perbankan syariah, yang diselenggarakan oleh Lisensi UIN Jakarta, 22
Desember 2011.
17. Peserta Workshop Coding 24 Hours, yang diselenggarakan oleh
Microsoft Indonesia, 4 – 5 Februari 2012.
iii
18. Peserta Seminar Kepemudaan dan Entrepreneur Muslim, yang
diselenggarakan oleh KAMMI Uhamka, 31 Maret 2012.
19. Peserta Studium Generale jurusan IESP FEB UIN Jakarta,
diselenggarakan oleh FEB UIN Jakarta, 28 Maret 2012.
20. Peserta Seminar Sosialisasi 4 Pilar Negara, diselenggarakan oleh MPR
RI, April 2012.
21. Peserta Doctoral Journey in Management yang diselenggarakan oleh FE
UI, 16 Mei 2012.
22. Peserta seminar Bedah Pemikiran KH.Hasyim Asyari, diselenggarakan
oleh Gerakan Manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah (GEMA ASWAJA), 2
Desember 2012.
23. Peserta Pelatihan Alat Analisis Location Quotient, Shift Share & Tipologi
Sektoral, yang diselenggarakan oleh FEB UIN Jakarta, 14 Desember 2012.
24. Peserta Dialog Nasional Audit Indonesia Jilid 1, yang diselenggerakan
oleh ICMI, 31 Juli 2013.
25. Peserta Dialog Nasional Audit Indonesia Jilid 2, yang diselenggarakan
oleh ICMI, 11 Desember 2013.
26. Peserta Seminar Konflik Gubernur DKI Jakarta vs DPRD, yang
diselenggarakan oleh Ikatan Warga Djakarta Peduli Indonesia, 12 Maret
2015
27. Peserta Kegiatan Edukasi Keuangan Dalam Rangka Safari Ramadhan,
yang diselenggarakan oleh OJK, 13 Juli 2015.
28. Peserta Pelatihan Asesor Kompetensi yang diselenggarakan oleh BNSP
(Badan Nasional Sertifikasi Profesi) Februari 2016.
IV. Pengalaman Organisasi
1. ROHIS SMAN 29 Jakarta (2007 - 2010)
2. Karate SMAN 29 Jakarta ( 2007 – 2010)
3. KAPMI (Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia) (2009 – 2017)
4. Ikatan Alumni Rohis SMAN 29 Jakarta (2010 – 2014)
iv
5. LDK KomDa FEB UIN Syahid Jakarta (2010 – 2013)
6. DPP Partai Intelektual Muslim UIN Syahid Jakarta (2013 – 2015)
7. KAMMI DKI Jakarta (2013 – 2015)
8. Iqro Club Kebayoran Lama (2016 – 2018)
V. Pengalaman Kerja
1. Wiraswasta Ikhwan Donut 2008 - 2010
2. Freelance Surveyor Median 2012 – 2014
3. Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Buaran Bambu Tangerang, 2013
4. Tim Produksi dan Penjualan Atribut PP KAMMI 2015
5. Kepala Keuangan Koperasi Bina Usaha Gemilang 2015 – 2016
6. Asesor PT.Aljayaban (Januari – Maret 2016)
7. Admin Sosial Media Teropong Senayan (Januari – Februari 2016)
8. Konsultan CSR PT.Sinergi Muda Mandiri (Maret 2016 – Maret 2017)
9. Freelance Driver BNI Syariah Kanwil Jabodetabek (April 2017)
v
ABSTRACT
The aims of thus study is to analyze cost and system technical efficiency of
education sector budget spending at Islamic education sector in 33 province
below Director General of the Islamic Educational management of the Ministry of
Religious Affairs 2013-2015 by using Data Envelopment Analysis (DEA) method
with Variable Return to Scale (VRS) assumption, and using input orientation for
cost efficiency analysis between input and intermediate ouput, and output
orientation for system efficiency between intermediate output and output. The
input variable used in this study is allocation expenditure of Islamic Education.
Intermediate ouput variables are teacher per student ratios, classroom per
student ratios, and enrollment rate. The output variables are number of school,
number of teachers and National exam results.
The analytical method used is Data Envelopment Analysis. This analysis
was design specifically to measure the relative efficiency of a production unit in
input and output condition, which are usually difficult to be handled perfectly by
other efficiency measures anlysis techniques. Relative efficiency of an Economic
Activity Unit (UKE) is the efficiency in a sample using type of input and output the
same. The result showed that in the implementation of Islamic Education for three
years in Indonesia contain several Province that achieve perfectly toward
technical and cost. This study also identified potential improvement for input and
output to achieve condition 100% efficient.
Keywords: Education Budget Spending, Data Envelopment Analysis, Cost
Technical Efficiency, System Technical Efficiency
vi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi secara
teknis biaya dan teknis sistem anggaran pengeluaran pemerintah sektor
pendidikan islam 33 Provinsi dibawah pengelolaan Dirjen Pendidikan Islam
Kemenag RI 2013-2015 dengan menggunakan metode Data Envelopment
Analysis (DEA) dengan asumsi Variable Return to Scale (VRS),
menggunakan pendekatan intermediasi dan menggunakan orientasi minimasi
input pada efisiensi teknis biaya, serta maksimasi ouput pada efisiensi teknis
sistem. Variabel input yang digunakan adalah alokasi belanja pendidikan islam.
Variabel perantara yang digunakan adalah rasio guru per murid, rasio kelas
per murid, dan Angka Partisipasi Murni (APM). Variabel output jumlah
sekolah (MI, MTS & MA), jumlah guru (MI, Mts , MA) dan Nilai Hasil Ujian
Nasional (MI, MTS , MA)
Metode analisis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis.
Analisis DEA di desain secara spesifik untuk mengukur efisiensi relative
suatu unit produksi dalam kondisi terdapat banyak input maupun banyak output,
yang biasanya sulit disiasati secara sempurna oleh tenik analisis pengukuran
efisiensi lainnya . Efisiensi relative suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) adalah
efisiensi suatu UKE dibanding dengan UKE lain dalam sampel yang
menggunakan jenis input dan ouput yang sama. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam selama tiga tahun di Indonesia
terdapat beberapa Provinsi yang mencapai efisiensi sempurna pada efisiensi teknis
dan biaya . Penelitian ini juga mengidentifikasi potensi perbaikan/peningkatan
untuk variabel input dan output untuk mencapai kondisi efisien 100%.
Kata Kunci : Anggaran Pendidikan, Data Envelopment analysis (DEA), Efisiensi
Teknis Biaya, Efisiensi Teknis Sistem.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah melimpahkan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya. Salawat serta salam semoga senantiasa
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para
sahabatnya, hingga kepada umatnya sampai akhir zaman.
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Anggaran Pendidikan
Islam di Indonesia tahun 2013 – 2015 : Pendekatan Data Envelopment
Analysis” ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Terselesaikannya skripsi ini tentu dengan dukungan, bantuan, semangat, serta
doa dari orang-orang terbaik yang ada disekeliling penulis selama proses
penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu penulis ingin menyampaikan rasa
terimakasih kepada :
1. Allah SWT, karena tanpa kehendak dan segala pertolongan-Nya serta
memberikan petunjuk, keyakinan, dan juga kesehatan kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas segala nikmat dan
kemudahan yang Engkau berikan, ya Rabb.
2. Kedua orang tuaku untuk kasih sayang tulus tiada hentinya, almarhumah
emak-ku tercinta Atih Rahmiyati dan Bapakku tercinta Undang Zainudin
yang telah membesarkan, mendidik, mengajarkan yang disertai nasihat,
motivasi dan doa yang selalu terucap dan teteh-ku Dian Permata Sari.
Terimakasih banyak atas dukungan materi maupun nonmateri untuk
melancarkan studi ini yang tidak bisa terbalaskan oleh apapun atas apa
yang emak , teteh dan bapak lakukan. Doa yang terbaik segalanya untuk
emak, teteh dan bapak semoga nikmat dan karunia-Nya selalu menemani
almh.emak , bapak dan kakakku di dunia ataupun akhirat kelak.
3. Bapak Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga dapat memajukan dan
viii
mengembangkan jurusan ekonomi pembangunan menjadi lebih baik dan
terdepan.
4. Bunda Najwa Khairina SE, MA, selaku Dosen Pembimbing dengan
kerendahan hatinya bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan, ilmu yang berharga, serta bimbingan yang sangat berarti
selama penyelesaian skripsi. Terima kasih atas semua saran dan arahan
yang Bunda berikan selama proses penulisan hingga terselesaikannya
skripsi ini. Semoga Allah Swt membalas kebaikan bunda.
5. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si dan Ibu Najwa Khairina SE, MA, selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta yang telah meluangkan waktu dan arahan
untuk memperlancar terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak Yoghi Citra Pratama M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah meluangkan waktu dan arahan untuk memperlancar
terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah Swt membalas kebaikan Bapak.
7. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dan berharga bagi saya. Serta
jajaran karyawan dan staf UIN Jakarta yang telah memberikan pelayanan
selama perkuliahan. Semoga ini dapat menjadi nilai ibadah dan semoga
Allah SWT membalas semua jasa-jasanya.
8. Rustini,S.Pd yang telah memberikan motivasi dan doanya selama
mengerjakan skripsi ini. Semoga kamu selalu berada dalam lindungan
Allah SWT.
9. Keluarga besarku yang hampir setiap hari menanyakan KAPAN LULUS?
KAPAN WISUDA? Terimakasih banyak untuk saran, masukan dan
motivasinya selama ini wa Hendro, mang Jaya, bi Ratna dan bi Diah, dan
semuanya semoga kalian selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
10. Sahabat-sahabat kesayanganku, sahabat terbaik selama masa perkuliahan,
Ilham Fauzi, Dwi Nur Cahyo, Fauzan Hakim, Akmal Jun, Kholid,
Terimakasih telah menjadi sahabat terbaik dari awal semasa kuliah hingga
ix
saat ini dengan canda tawa, suka duka, dukungan, bantuan, doa, serta
selalu ada dikala membutuhkan dalam bentuk apapun Semoga apapun
yang kita kerjakan selalu dalam Ridho Allah SWT.
11. Keluarga Besar Forkat An Najm, KomDa FEB UIN Jakarta, ldk Syahid
UIN Jakarta, IAR SMAN 29 Jakarta, KAMMI DKI Jakarta, Iqro Club
Kebayoran Lama dan Dewan Pimpinan Pusat PIM, yang telah menjadi
penyemangat selama masa perkuliahan dengan canda serta tawanya,
Terimakasih atas segala bantuan, masukan, support, pengalaman, serta
doanya, semoga Allah SWT membalas semua jasa-jasa kalian dan
dilancarkan segala urusannya.
12. Backstabber 2010 sahabat SMA yang samapai saat ini terjaga
silaturrahimnya, Daus, mail, adul, hadi, topik, aping, dandi, nurman, iqbal,
acid, maruf yang telah menjadi penyemangat selama masa perkuliahan
dengan canda serta tawanya, Terimakasih atas segala bantuan, masukan,
support, pengalaman, serta doanya, semoga Allah SWT membalas semua
jasa-jasa kalian dan dilancarkan segala urusannya.
13. Teman-teman se - bimbingan skripsi yang telah memberikan bantuan,
masukan, saling belajar dari kesalahan satu sama lain, support, serta
doanya sampai skripsi ini dapat terselesaikan yaitu kepada Muhammad
Dwinanto Sidiq dan Ricky Fajar Saputra. Semoga ilmu yang kita dapatkan
menjadi bekal dan bermanfaat bagi orang lain.
14. Teman-teman IESP terbaik angkatan 2010, khususnya anak kosan Ali, dio,
pebi,kemal, hasyim, aziz, dan yusuf adzhar yang selalu memberikan canda
tawa, saling membantu selama masa kuliah, serta doa yang selalu terucap
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga kita sukses dan selalu
dapat menjaga tali silaturrahim.
15. Teman-teman KKN HIJRAH, Daus, Mail, Hadi, Topik, Adul, Nurman,
Addinul, Adi, Ayun, Peza, Febri, Rida, Via, Fatimah, Rani yang telah
berbagi pengalaman selama satu bulan lamanya dan bekerjasama untuk
menyelesaikan program-program kerja di desa Buaran Bambu, Pakuhaji.
x
Semoga apa yang kita lakukan menjadi amalan baik di hadapan Allah
SWT.
16. Tempat bekerja saya Koperasi Bina Usaha Gemilang, PT Aljayaban,
Teropong Senayan, PT.Sinergi Muda Mandiri yang telah memberikan
kesempatan bekerja dan menggali pengalaman di bidangnya masing –
masing. Kita bertemu untuk suatu alasan, terima kasih karena sudah
menjadi bagian dari hidup saya dan membuat saya menjadi pribadi yang
lebih baik.
17. Teman teman terbaik Asa Bos, Ilham, Putri, Mba upi, Mba Yani, Mas
deddy, dan Almunawir yang telah menjadi penyemangat selama masa
pengerjaan skripsi dengan canda serta tawanya, Terimakasih atas segala
bantuan, masukan, support, pengalaman, serta doanya, semoga Allah SWT
membalas semua jasa-jasa kalian dan dilancarkan segala urusannya.
18. Teman-teman terbaikku Mamah Nancy, Refi, Niken, Syifa, Ruqoyyah,
Arif, Bang Anwar, Azmi, awe, arif, andri, imal, zia andi, dyah, dita , alfi ,
intan, ina, amar, zaenal, dan faisal yang selalu memberikan sharing
pengalaman, dukungan, serta doanya dalam penyelesaian skripsi ini. Doa
yang terbaik untuk kalian.
19. Kakak – Kakak senior ideologis bang Indra dado, bang hari, bang lukman
fst, bang syahril, bang hamzah, bang dodo, bang arif, bang eko, bang
amru, bang aries, bang yasin, dan Pak Zuhaira. Terimakasih atas segala
bantuan, masukan, support, pengalaman, serta doanya, semoga Allah SWT
membalas semua jasa-jasa kalian dan dilancarkan segala urusannya.
20. Terima kasih untuk mentor yang secara khusus telah menjadi role model
dan memberikan banyak pengaruh buat saya dalam berkarya selama ini.
Role model tersebut ialah Ka Yayu Putri Senjani (Dosen FEB UIN Jogja),
Pak Syaiful Anwar (Wakil Direktur Pascasarjana STIEAD), Kak
Muhammad Dhafi Iskandar (Dosen Universitas Esa Unggul), Pak Reza
Miladi Fauzan (Sociopreneur). Mungkin mentor ini tidak menyadari hal
tersebut, namun apa yang dilakukan dan dicontohkan mereka sangat
xi
berpengaruh dalam cara saya memandang hidup dan pekerjaan sekarang
ini.
21. Terima kasih untuk semua pihak yang sudah hadir dan mewarnai
kehidupan saya. Untuk para guru dan teman sekolah dari SD, SMP, SMA
FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
22. Terima kasih kepada berbagai pihak yang teleh memercayai saya untuk
memegang amanah dan pertemanan. Mari kita sama – sama menerangi
dan membangun dunia prestasi di Indonesia, supaya Indonesia semakin
bersinar dan berjaya.
23. Akhirnya, terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu
secara teknis untuk skripsi ini dapat selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang
dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritik yang dapat membangun skripsi ini menjadi lebih baik.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 5 April 2017
Muhammad Fajrul Syam Arzani
xii
DAFTAR ISI
Cover
Lembar Pengesahan Pembimbing
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah
Daftar Riwayat Hidup .......................................................................................... i
Abstract .................................................................................................................. v
Abstrak ................................................................................................................. vi
Kata Pengantar .................................................................................................. vii
Daftar Isi ............................................................................................................. xii
Daftar Tabel ......................................................................................................... xv
Daftar Gambar ................................................................................................. xvii
Daftar Lampiran ............................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ...................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 20
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..21
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 23
A. Landasan Teori ..................................................................................... 23
1. Pendidikan Nasional ......................................................................... 23
2. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional .................... 26
3. Pendidikan dalam Pembangunan Ekonomi ..................................... 49
4. Teori Pengeluaran Negara / Daerah .................................................. 57
5. Anggaran Pendidikan ....................................................................... 68
xiii
6. Efisiensi ............................................................................................. 80
7. Efektivitas dalam Pengeluaran Publik ............................................... 97
8. Pengukuran Kinerja, Hasil dan Indikator dalam Bidang Pendidikan..98
B. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 104
C. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 113
D. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 115
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 116
A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 116
B. Metode Penentuan Sampel ................................................................. 117
C. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 117
D. Metode Analisis Data ......................................................................... 119
1. Data Envelopment Analysis ........................................................... 121
2. Pengukuran Orientasi Efisiensi ..................................................... 143
3. Konsep Constant Return to Scale dan Variable Return to Scale.....146
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................... 148
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................... 157
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................... 157
1. Pendanaan Pendidikan Islam di Indonesia ..................................... 157
2. Pencapaian Output Pendidikan Islam se Indonesia ........................ 160
3. Pengukuran Input dan Output ......................................................... 162
B. Hasil Analisa Data .............................................................................. 171
1. Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis Biaya Menggunakan Metode
DEA ............................................................................................... 172
2. Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan ................................................. 177
3. Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan .................. 188
4. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2013 ................................................. 193
5. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ................................................. 195
xiv
6. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2015 ................................................. 197
7. Hasil Analisa DEA Per Pulau ......................................................... 199
8. Perbaikan Variabel Input dan Output (Potential Improvement) ..... 206
9. Analisa Deskriptif Pendidikan Islam dan Pertumbuhan ekonomi...233
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 245
A. Kesimpulan ......................................................................................... 245
B. Saran ................................................................................................... 249
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 251
LAMPIRAN ....................................................................................................... 256
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Perkembangan Anggaran Pendidikan Islam 9
Tahun 2015
2.1 Penelitian Terdahulu 106
3.1 Sumber Data Penelitian 118
4.1 Jumlah Rata – rata Alokasi Biaya Pendidikan Islam 159
seluruh Provinsi se Indonesia
4.2 Jumlah Belanja Pendidikan Islam Tertinggi 165
4.3 Perbandingan Rasio Guru/Murid Pada Berbagai Jenjang
Madrasah (Satuan dalam Persen) tahun 2013 - 2015 165
4.4 Perbandingan Rasio Kelas/Murid Pada Berbagai Jenjang
Madrasah (Satuan dalam Persen) tahun 2013 - 2015 167
4.5 Perbandingan APM Pada Berbagai Jenjang Sekolah (Satuan
Dalam Persen) Tahun 2013 - 2015 169
4.6 Perbandingan NHUN pada Berbagai Jenjang Pendidikan
(2013 – 2015) 170
4.7 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2013 - 2015 174
4.8 Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2013 - 2015 189
xvi
4.9 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi
di Indonesia tahun 2013 193
4.10 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi
di Indonesia tahun 2014 195
4.11 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi
di Indonesia tahun 2014 197
4.12 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya
tahun 2013 209
4.13 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2013 214
4.14 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya
tahun 2014 217
4.15 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2014 223
4.16 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya
tahun 2015 227
4.17 Rata – rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2015 230
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Pagu Alokasi Anggaran Program Pendidikan Islam 10
Tahun 2015 berdasarkan Jenis Belanja
1.2 Anggaran Pendidikan 2010 - 2015 11
1.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pada Jenjang MI,MTS 12
, MA di 33 Propinsi se Indonesia Tahun 2015
2.1 Kurva Batas Kemungkinan Produksi 87
2.2 Kurva Efisiensi Teknis 94
2.3 Kerangka Berpikir 114
3.1 Grafik Efisiensi CRS dan VRS 139
4.1 Perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM)
Pendidikan Islam Tahun 2013 – 2015 161
4.2 Perbandingan Belanja Pendidikan Islam 33 Provinsi
se Indonesia (2013 – 2015) 164
4.3 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI - MA
33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013 177
4.4 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI - MA
33 Provinsi di Indonesia Tahun 2014 181
4.5 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI - MA
33 Provinsi di Indonesia Tahun 2015 185
4.6 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam jenjang
xviii
MI – MA Pulau Sumatera 199
4.7 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Jawa 200
4.8 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Kalimantan 201
4.9 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Bali, Nusra dan Papua 199
4.10 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Sumatera 203
4.11 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Jawa 204
4.12 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Kalimantan 204
4.13 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam jenjang
MI – MA Pulau Bali, Nusra dan Papua 205
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Data Alokasi Biaya Pendidikan Islam Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2013 - 2015 244
2 Data Pendidikan Rasio Guru Per Murid Pendidikan Islam
Seluruh Provinsi se Indonesi tahun 2013 - 2015 245
3 Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS, NHUN
Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2013 248
4 Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS, NHUN
Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2014 250
5 Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS, NHUN
Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2015 250
6 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Biaya Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2013 menggunakan metode DEA 254
7 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Biaya Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2014 menggunakan metode DEA 259
8 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Biaya Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2015 menggunakan metode DEA 264
9 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Sistem Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2013 menggunakan metode DEA 269
10 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Sistem Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2014 menggunakan metode DEA 273
11 Hasil Analisis Efisinesi Teknis Sistem Pendidikan Seluruh Provinsi
se Indonesia tahun 2015 menggunakan metode DEA 277
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Di Negara Indonesia, pembangunan suatu negara sangat berpengaruh pada
potensi daerah dengan sumber daya yang berbeda – beda. Oleh karena itu,
pemberdayaan ekonomi daerah sangat penting sekali untuk ditingkatkan guna
menunjang peningkatan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, peran kebijakan
pemerintah yang efektif dan efisien sangatlah penting diperlukan baik kebijakan
ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah pusat.
Sukses tidaknya pembangunan suatu negara pada umumnya dan daerah pada
khususnya dalam menghadapi persaingan di era globalisasi, sangat dipengaruhi
kuantitas dan kualitas dari sumber daya yang dimilikinya, baik Sumber Daya
Alam (Natural Resources) berupa tanah yang subur, kandungan mineral berharga,
dan bahan mentah bernilai ekonomis maupun Sumber Daya Manusia (Human
Resources) berupa jumlah penduduk serta tingkat keterampilan atau
pendidikannya.
Pembangunan ekonomi yang baik saat ini tidak hanya dilihat dari
pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat atau yang bersifat ekonomi lainnya
tetapi perhatian khusus terhadap hal non – ekonomi atau bersifat sosial juga perlu
ditingkatkan. Kemajuan suatu negara tidak sepenuhnya bergantung kepada
sumber daya alam. Contoh nyata dapat dilihat dari kemajuan negara – negara yang
secara potensial miskin sumber daya alamnya seperti Jepang dan Korea, tetapi
2
karena usaha peningkatan kualitas sumber daya manusianya hebat maka kemajuan
negara tersebut cukup pesat, sebaliknya negara – negara yang potensial sumber
daya alamnya (misalnya beberapa negara di Asia Tenggara) tetapi kurang
mementingkan sumber daya manusianya, tingkat kemajuan negaranya kalah
dengan Jepang dan negara maju lainnya.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pembangunan ekonomi yang bersifat non-ekonomi lebih tepatnya pengembangan
dalam hal sumber daya manusia. Berbicara kualitas sumber daya manusia
tidaklah terlepas dari persoalan pendidikan, baik itu berupa pendidikan
persekolahan maupun pendidikan luar sekolah. Sektor pendidikan itulah tumpuan
harapan bangsa untuk dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Menyangkut sumber daya manusia, Todaro (2003) mengatakan :
“Sumber daya manusia (Human Resources) – jumlah penduduk serta tingkat
keterampilan dan pendidikannya. Sumber daya manusia tidak hanya jumlah
penduduk dan tingkat keterampilannya, namun juga meliputi pandangan hidup
mereka, kebudayaan, sikap – sikap atau penilaian mereka terhadap pekerjaan,
akses mereka untuk mendapatkan informasi, dan besar kecilnya keinginan untuk
memperbaiki diri secara kreatif dan otonom. Tingkat kecakapan administratif juga
merupakan komponen sumber daya manusia yang penting karena hal tersebut
seringkali menentukan dan ketetapan waktu pemerintah dalam memperbaiki
struktur produksi secara keseluruhan.”
3
Selanjutnya UNDP dalam laporannya tentang Pembangunan Sumber Daya
Manusia (Human Resources Development) tahun 2000 menyatakan bahwa
“Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari
pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi
rakyatnya untuk menikmati umur yang panjang, sehat dan menjalankan kehidupan
yang produktif”. Pernyataan tersebut memberikan penekanan bahwa
pembangunan berpusat kepada manusia, yang menempatkan manusia sebagai
tujuan akhir dari pembangunan, dan bukan sebagai alat pembangunan.
Pembangunan membutuhkan suatu perubahan dinamika kehidupan
masyarakat. Dinamika perubahan tersebut harus berkembang terus menerus
menuju ke keadaan yang lebih baik dan maju. Untuk mencapai suatu perubahan
dinamika tersebut diperlukan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud menyangkut
kuantitas dan kualitas pendidikan dan kesempatan masyarakat untuk mengakses
pendidikan tersebut. Pendidikan adalah hal dasar yang diperlukan sebagai upaya
peningkatan kualitas hidup manusia. Para penganut teori human capital
beranggapan bahwa, manusia sebagai modal dasar yang diinvestasikan akan
menghasilkan manusia terdidik serta produktif dan akan meningkatkan jumlah
penghasilan, yang secara otomatis akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan merupakan sebuah investasi sumber daya yang sangat bermanfaat.
MC.Mahon dalam Nurkholis (2002) menyebutkan :
“Pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi
manfaat moneter ataupun non moneter. Investasi pendidikan sebenarnya
4
merupakan investasi jangka panjang. Nurkholis (2002), menyebutkan tiga alasan
pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Ketiga alasan tersebut adalah,
pertama, pendidikan merupakan alat perkembangan ekonomi bukan sekedar
pertumbuhan ekonomi; kedua, memberikan nilai balik yang tinggi; ketiga,
memiliki banyak fungsi seperti sosial – kemanusiaan, politis, budaya, dan
kependidikan. Keluaran dari pendidikan tersebut adalah sumber daya manusia
yang berkualitas.
Bahkan sebagai salah satu upaya dalam percepatan pembangunan
ekonomi, pemerintah telah sejak dini menyatakan bahwa diperlukan critical mass
di sektor pendidikan (Bappenas, 2004 ; 36). Menurut Damayanti (2013 : 1),
konsep ini mengupayakan suatu persentase penduduk dengan tingkat pendidikan
tertentu yang perlu disiapkan oleh pemerintah supaya pembangunan ekonomi dan
sosial bangsa daapat meningkat dengan cepat. Hal tersebut tidak lain karena
terdapat dukungan dari sumberdaya manusia yang berkualitas. Lebih dari itu,
sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang tercermin dalam pembukaan
Undang – undang Dasar 1945 (UUD 1945), Indonesia telah memiliki landasan
untuk mewujudkannya. UUD 1945 melalui pasal 31 secara tegas telah
menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, wajib
mengikuti pendidikan dasar, dan merupakan kewajiban pemerintah untuk
membiayainya. Begitupun dengan Undang – undang (UU No.20 tahun 2003) yang
telah menerangkan dengan lebih lanjut. Dengan kata lain konstitusi telah
mengamanatkan pemerataan pendidikan bagi bangsa ini.
5
Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan
pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat memperoleh
pelayanan pendidikan. Ketentuan ini memberikan jaminan bahwa ada alokasi
dana yang secara pasti digunakan untuk penyelanggaraan pendidikan. Salah satu
kebijakan yang dijalankan dalam investasi ialah pendidikan. Investasi ini berupa
belanja pendidikan yang nantinya dapat menghasilkan output serta outcome yang
dapat dirasakan masyarakat.
Pendidikan adalah variabel yang menentukan kualitas sumber daya
manusia suatu bangsa. Maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk dapat
menjamin terselenggaranya pendidikan dengan mutu/kualitas yang baik.
Berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dimanatkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Bentuk keseriusan
pemerintah dan DPR dalam bidang pendidikan tertuang dalam Pasal 31 ayat 4
UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20 persen dari APBN serta dari
APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini
dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 013/PUU-VI/2008,
Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20
persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. Alokasi anggaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan.
6
Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan dalam pasal 49 UU
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 yaitu dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendidikan bisa dikatakan
termasuk dalam kategori barang privat, karena bersifat non rivalry tetapi
exclusion, artinya tidak ada persaingan untuk memperoleh barang tersebut, tetapi
adanya ekslusifitas pada kalangan tertentu saja yang dapat menikmatinya. Dengan
kata lain konstitusi telah mengamanatkan pemerataan pendidikan bagi bangsa ini.
Namun Esnir dalam tulisannya untuk Republika (2015) menyatakan bahwa
kurang lebih 2,5 juta anak tidak dapat melanjutkan sekolah. Mayoritas dari
mereka, yakni sebanyak 1,9 juta anak tidak dapat melanjutkan ke sekolah
menengah, sedangkan sisanya tidak dapat menuntaskan pendidikan dasar.
Alasannya beraneka ragam, mulai dari faktor ekonomi hingga aksesibilitas. Tentu
ini menjadi bukti bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum
menerima pendidikan sebagaimana seharusnya.
Pemerintah tidak hanya berdiam diri saja. Fakta bahwa setiap tahun
anggaran untuk pendidikan semakin meningkat merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang ini. Banyak
hal yang telah pemerintah lakukan melalui berbagai paket program pendidikan.
Berbagai program ini adalah implementasi penggunaan anggaran pendidikan 20%
dari APBN. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, bantuan untuk siswa
miskin, penyempurnaan kualitas pendidikan melalui evaluasi dan pengembangan
7
kurikulum yang dilakukan terus menerus, upaya peningkatan aksesibilitas dan
kualitas tenaga pendidik merupakan beberapa program prioritas yang akan terus
digalakkan oleh pemerintah. Disamping itu masih dalam UUD 1945 pada pasal 31
ayat (2) yaitu setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dalam UU nomor 20 tahun 2003,
pada pasal 11 ayat (1) juga menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi, dan ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Sistem pendidikan di Indonesia memiliki dua sub – sistem utama, yaitu
sub – sistem pendidikan sekolah di bawah pengelolaan Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan sub – sistem pendidikan madrasah dan
pendidikan Agama di bawah pengelolaan Kementrian Agama (Kemenag). Dari
sekitar 233.517 lembaga pendidikan sekolah umum dan madrasah, 82 persennya
adalah sekolah umum dan 18 persennya madrasah; dan dari sekitar 49.402.000
peserta didik sekolah umum dan madrasah, 87 persennya terdaftar di sekolah
umum dan 13 persennya masuk di madrasah. Menurut peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia, sekolah umum dan madrasah harus mendapatkan
perlakuan yang sama di semua aspeknya. Lebih jauh lagi, madrasah menggunakan
Kurikulum Nasional yang sama dengan sekolah umum yang berada di bawah
8
Kemdikbud disamping menggunakan subjek agama Islam seperti yang telah
diatur oleh Kemenag.
Madrasah memberi kontribusi penting terhadap pencapaian standar
partisipasi di kabupaten/kota (Angka Partisipasi Murni/Kasar), target Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), serta pemenuhan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) di tingkat Kabupaten. Madrasah selama ini diketahui secara umum
menerima dana yang tidak mencukupi untuk melaksanakan pendidikan yang
berkualitas, dan dalam kasus madrasah swasta, secara signifikan pendanaannya di
bawah sekolah negeri. Pendidikan (madrasah) yang dikelola Kementrian Agama
terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Pengelolaan anggarannya masih tetap terpusat di Kementrian Agama RI; berbeda
dengan pendidikan yang dikelola oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
yang tidak termasuk instansi vertikal yang biaya pendidikannya diserahkan pada
pemerintah Kabupaten / Kota. Alasannya bahwa program pendidikan Islam tidak
termasuk yang diotonomikan atau didesentralisasikan, karena dalam pembinaan
kehidupan beragama, yang kemungkinannya bukan meliputi pendidikan yang
dibinanya. Akibatnya kedudukan madrasahpun menjadi tanggung, yaitu tetap
dikelola oleh pemerintah pusat (secara terpusat – menggantung keatas) pada saat
yang sama, semua sekolah lainnya telah didesentralisasikan pengelolaannya.
Karenanya madrasah menjadi sebuah anomali pada era otonomi yang berkembang
dewasa ini. Salah satu akibatnya pembiayaan madrasah tidak diperhitungkan oleh
pemerintah kabupaten/kota, karena madrasah dianggap telah memperoleh dana
9
dari pemerintah pusat melalui jalur Kantor Wilayah Kementrian Agama Propinsi
dan Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota.
Anggaran Program Pendidikan Islam dalam prosesnya mengalami
perkembangan yang dinamis. Perkembangan anggaran Program Pendidikan Islam
tahun 2015 berdasarkan sumber dana antara pagu alokasi anggaran (pagu
definitif) dan pagu pada akhir tahun 2015 disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1 Perkembangan Anggaran Pendidikan Islam Tahun 2015
No Sumber Dana Pagu Alokasi
Anggaran
Pagu Akhir Selisih
1 Rupiah Murni 43.528.526.748.000 44.696.150.896.000 1.167.624.148.000
2 Pinjaman Luar Negeri 375.680.554.000 375.680.554.000 -
3 Rupiah Murni Pendamping 90.000.000.000 90.000.000.000 -
4 PNBP 293.377.821.000 318.552.714.000 25.174.893.000
5 BLU 607.019.144.000 759.965.478.000 152.946.334.000
6 Hibah Dalam Negeri - 43.983.027.000 43.983.027.000
7 SBSN 280.900.000.000 280.900.000.000 -
Jumlah 45.175.504.267.000 46.565.232.669.000 1.389.728.402.000 Sumber : Laporan Dirjen Pendis 2015
Tambahan Rupiah Murni (RM) sebesar Rp. 1.167.624.148.000 (satu triliun
seratus enam puluh tujuh miliar enam ratus dua puluh empat juta seratus empat
puluh delapan ribu rupiah), yaitu anggaran tambahan berupa tunjangan kinerja
sebesar Rp. 733.572.132.000,- (tujuh ratus tiga puluh tiga miliar lima ratus tujuh
puluh dua juta seratus tiga puluh dua ribu rupiah), dan KIP sebesar Rp.
434.052.015.000,- (empat ratus tiga puluh empat miliar lima puluh dua juta lima
belas ribu rupiah).
10
Rincian Pagu Alokasi Anggaran Pendidikan Islam tahun 2015 berdasarkan
Jenis Belanja dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut.
Gambar 1.1 Pagu Alokasi Anggaran Program Pendidikan Islam Tahun 2015
berdasarkan Jenis Belanja
Sumber : Laporan Dirjen Pendis 2015
Berdasarkan Gambar 1.1 di atas dapat dilihat bahwa 58,75% anggaran
Program Pendidikan Islam tahun 2015 dialokasikan untuk belanja pegawai (gaji
dan tunjangan), lebih banyak dibandingkan belanja untuk tugas dan fungsi
(belanja barang, belanja modal dan belanja bantuan sosial).
1.994.012.985
27.355.301.932
13.767.193.364
3.448.724.388
Anggaran (Ribu Rp)
Belanja Bantuan sosial
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
11
Gambar 1.2 Anggaran Pendidikan 2010 – 2015
Sumber : Kementerian Keuangan, 2016
Salah satu kunci peningkatan kualitas pendidikan adalah dengan kebijakan
anggaran. Anggaran pendidikan yang rendah kerap kali berbanding lurus dengan
mutu pendidikan yang rendah. Selain itu, meskipun belanja pendidikan telah
ditingkatkan, masih terdapat perbedaan output dan pencapaian. Hal ini disebabkan
karena inefisiensi pengelolaan dan pembelanjaan anggaran, dimana tingkat
efisiensi diperoleh dengan memperkirakan efektivitas biaya dari input yang
diberikan dengan output yang diperoleh, dan membandingkan unsur – unsur
tersebut dengan sasaran pendidikan di kabupaten. Reinikka dalam Desi (2012)
menyebutkan bahwa kurangnya keselarasan antara perencanaan dan penyusunan
anggaran serta inefisiensi dalam alokasi anggaran dapat menghambat pencapaian
sebagaimana yang diharapkan.
96,5 105,4 117,2 126,2 128,2 154,2
127,7 159
186,6 214,1
238,8
254,9
1
2,6
7
5 8,4
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Melalui Pembiayaan
Melalui Transfer ke Daerahdan Dana Desa
Melalui Belanja PemerintahPusat
12
Gambar 1.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pada jenjang MI, MTS, MA di
33 Propinsi se Indonesia Tahun 2015
Sumber : Badan Pusat Statistik
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Indonesia
MA
MTS
MI
13
Menurut gambar diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2015 Angka
Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7 – 12 tahun (MI) di Indonesia adalah
sebesar 99,09 persen. Hal ini berarti masih ada 0,91 persen penduduk 7 – 12 tahun
(MI) yang tidak bersekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 13 –
15 tahun (MTS) sebesar 94,72 persen. Hal ini berarti masih ada 5,28 persen
penduduk berusia 13 – 15 tahun (MTS) yang tidak bersekolah. Angka Partisipasi
Sekolah (APS) penduduk usia 16 – 18 tahun (MA) adalah sebesar 70,61 persen.
Hal ini berarti masih ada 29,39 persen penduduk usia 16 – 18 tahun (MA) yang
tidak bersekolah.
Pemerintah saat ini cenderung untuk terus menerus meningkatkan
anggaran pendidikan. Salah satu tujuannya ialah untuk mengimbangi beban yang
ditanggung oleh orang tua murid. Karenanya, peningkatan anggaran pemerintah
untuk sektor pendidikan sesungguhnya bertujuan untuk mengimbangi besarnya
kontribusi keluarga agar minimal tidak terlalu timpang, sehingga pemerintah yang
selama ini sangat berperan dalam mengendalikan sekolah secara moral cukup
memiliki legitimasi dalam memainkan perannya. Menyangkut kebijakan
pemerintah tentang pembiayaan pendidikan, maka pemerintah wajib menjamin
pembiayaan pendidikan sebagaimana pendapat Ibnu Hazm dalam kitab Al –
Ahkam fi Ushulil Ahkam mengatakan bahwa “ seorang imam atau kepala negara
berkewajiban memenuhi sarana – sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya
diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji, orang
– orang tertentu untuk mendidik masyarakat.
14
Pengembangan sumber daya manusia merupakan investasi yang bersifat
“human investment”, investasi ini tidak akan tampak dalam jangka pendek atau
tidak dapat dilihat pengaruhnya kedalam perekeonomian karena aktivitas ini
bukan dalam hal ekonomi. Perekonomian yang baik dapat dilihat dari tingginya
PDRB. Seperti halnya di Indonesia digambarkan dalam penetapan Anggaran
untuk program pendidikan Islam di masing – masing kabupaten dan kota karena
belanja merupakan pemenuh kebutuhan, investasi ekonomi serta sebagai tujuan
pemerintah sehingga dapat memberikan pendapatan daerah yang tinggi akibat
investasi yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan yang
berlaku. Salah satu kebijakan yang dijalankan pemerintah adalah dalam investasi
hal pendidikan. Investasi ini berupa belanja pendidikan yang nantinya dapat
menghasilkan output serta outcomes yang dapat dirasakan masyarakat.
Alasan bidang pendidikan mendapat alokasi besar antara lain dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014 – 2019 disebutkan
bahwa :
“Tantangan dalam pembangunan pendidikan adalah mempercepat peningkatan
taraf pendidikan seluruh masyarakat untuk memenuhi hak seluruh penduduk usia
sekolah dalam memperoleh layanan pendidikan dasar yang berkualitas, dan
meningkatkan akses pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi;
menurunkan kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok sosial – ekonomi,
antar wilayah dan antar jenis kelamin, dengan memberikan pemihakan bagi
seluruh anak dari keluarga kurang mampu; serta meningkatkan pembelajaran
sepanjang hayat. Dalam rangka melakukan revolusi karakter bangsa, tantangan
15
yang dihadapi adalah menjadikan proses pendidikan sebagai sarana pembentukan
watak dan kepribadian siswa yang matang dengan internalisasi dan
pengintegrasian pendidikan karakter dalam kurikulum, sistem pembelajaran dan
sistem penilaian dalam pendidikan”.
Perencanaan dan pengalokasian anggaran menjadi sangat penting untuk
membiayai program pemerintah guna menaikkan kuantitas dan kualitas
pendidikan. Dimana pendidikan yang baik memerlukan anggaran yang cukup
untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia di Indonesia pada umumnya dan
program pendidikan Islam pada khususnya sesuai dengan ruang lingkup
penelitian ini.
Namun anggaran untuk belanja pendidikan yang sangat besar ini belum dapat
dikatakan berhasil jika tujuan dari kebijakan kesesuaian atau mencapai sasaran,
dan transparansi pada birokrasi maupun proses pemberian dana belum sampai
paling akhir. Hal ini sesuai dengan definisi ilmu ekonomi menurut Sadono
Sukirno yang menyebutkan bahwa “ilmu ekonomi’ menganalisa biaya dan
keuntungan dan memperbaiki corak penggunaan sumber – sumber daya” (Laily,
2013 : 2). Hal ini perlu dilakukan analisis ekonomi yang dapat membantu
tercapainya tingkat keberhasilan kebijakan yang telah dibuat oleh Dirjen
Pendidikan Islam Kemenag RI agar belanja pendidikan yang tergolong sangat
besar ini berguna semaksimal mungkin dan dapat mencapai sasaran yang
diinginkan serta meminimalkan pemborosan dana karena dapat terjadi ketidak
tepatan sasaran.
16
Beberapa penelitian terdahulu yang telah mengkaji efisiensi teknis antara
biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan pencapaian pada sektor
pendidikan penelitian, antara lain : Marijn Venhoeven, Victoria Gunnarsson, dan
Stephane Carcillo (2007) yang berjudul Education and health in g7 countries :
Achieving Better Outcomes with Less Spending, dengan penggunaan metode
analisis Data Envelopment Analysis dengan penerapan tiga tahap analisis, yang
pertama adalah efisiensi teknis biaya antara input (biaya perkapita murid) dengan
intermediate output (indikator perantara) orientasi minimisasi input, efisiensi
teknis sistem antara intermediate output dan output (indikator hasil) dengan
orientasi maksimal output. Hal serupa juga dilakukan oleh Geert Almekinders,
Aliona Cabotari dan Andreas Billmeier (2007) penelitian yang berjudul Arab
Republic of Egypt : Selected issues, dengan menggunakan beberapa indikator
yang berbeda pada intermediate output dan output. Penelitian dalam bidang yang
sama dengan studi kasus pada negara Indonesia pernah dilakukan oleh Blane
Lewis dan Daan Pattinasarany (2008) dengan judul penelitian “ Penghitungan
Biaya dan Pembiayaan Untuk Penyediaan Pelayanan Publik dan Standar
Pelayanan Minimal” juga menjadi dasar pemilihan indikator yang akan digunakan
dalam variabel penelitian ini.
Pada tahun 2011, Arianto Haryadi juga pernah melakukan studi serupa, untuk
mengukur efisiensi teknis bidang pendidikan di Indonesia dengan metode DEA.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata – rata tingkat efisiensi teknis biaya
sebesar 22,43% dan efisiensi teknis sistem 99,16% untuk semua jenjang sekolah,
17
Ia juga menyatakan bahwa peningkatan pendanaan tidak menjamin peningkatan
kinerja di sektor pendidikan.
Analisis efisiensi merupakan perbandingan antara input dan output. Analisis
ini telah banyak dilakukan untuk menilai kinerja lembaga, baik lembaga profit
maupun non profit. Pengukuran efisiensi cenderung mudah apabila lembaga
terkait hanya menggunakan 1 input dan menghasilkan 1 output saja. Namun,
keadaan demikian tentunya jarang terjadi. Keadaan yang ini juga dialami oleh
sektor publik, termasuk sekolah, yang biasanya menghasilkan layanan atau barang
secara gratis dengan harga yang tidak ditentukan oleh kekuatan pasar.
Sebagai salah satu parameter kinerja, secara teori efisiensi merupakan salah
satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja sebuah unit kegiatan ekonomi.
Haryadi (2011 : 5) menyatakan bahwa, pada saat pengukuran efisiensi dilakukan,
sekolah akan dihadapkan pada kondisi bagaimana mendapat output optimal
dengan input yang tersedia, atau bagaimana kombinasi input yang minimum
untuk mendapatkan tingkat output tertentu. Dengan diidentifikasi besarnya alokasi
input dan jumlah output, maka bila dianalisa dengan lebih jauh dapat terlihat
tingkat efisiensi suatu sekolah. Dari hasil tersebut juga akan dapat diketahui
variabel apa sajakah yang diduga mempengaruhi efisiensi penyelnggaraan
pendiddikan. Dengan demikian setelah diketahui penyebabnya, dapat dilakukan
koreksi oleh pihak – pihak terkait agar kualitas pendidikan semakin baik.
Umumnya terdapat beberapa cara untuk mengukur efisiensi suatu unit
kegiatan. Namun, karena pada bidang pendidikan memiliki lebih dari satu output,
18
maka diperlukan pendekatan yang memungkinkan untuk mengakomodir keadaan
demikian. Dalam hal ini, metode yang diharapkan dapat memberikan hasil paling
komprehensif adalah Data Envelopment Analysis (DEA).
Penggunaan DEA berdasarkan kesesuaian metode analisis yang dibutuhkan
untuk menjawab pertanyaan kajian mengenai analisis efisiensi. Seperti yang telah
dijalaskan sebelumnya mengenai pemberlakuan anggaran berbasis kinerja, dan
salah satu bentuk pengukuran kinerja adalah tingkat efisiensi. Analisis DEA (Data
Envelopment Analysis) menjadi alat dalam mengukur efisiensi melalui pendekatan
Input – ouput. Kegunaan alat analisis DEA terhadap penelitian efisiensi belanja
pendidikan adalah dapat mengetahui begaimana sebaiknya belanja pendidikan
digunakan sebaik mungkin dengan menyediakan pelayanan pendidikan berupa
ketersediaan jumlah sekolah dan ketersediaan akan guru pengajar hingga daya
tampung berupa murid dapat dilakukan dengan melihat daerah mana yang dapat
melakukannya dengan paling efisien sehingga dijadikan panutan bagi daerah
lainnya. Cara kerja pendekatan ini dengan memaksimalkan Output tanpa
menambahkan Input dan melakukan penghematan pada Input dengan tidak
mengurangi Output (Hadinata dan Manurung, 2008 ; 2). Kelebihan penggunaan
alat analisa ini dibandingkan alat lain adalah pemilihan data lebih fleksibel, yang
tidak membutuhkan asumsi hubungan fungsional antara variabel Input dan
Output, dapat digunakan untuk menilai efisiensi, kualitas, efektivitas dan
kombinasinya, memiliki satuan ukuran dari Input dan Output . DEA dapat
berbeda – beda serta tidak memerlukan sebuah asumsi bentuk fungsional untuk
19
menghubungkan Input dengan Output dan dapat memberikan peringkat efisiensi
berdasarkan data numerik dan tidak menggunakan opini subyektif dari seseorang.
Analisis efektivitas ini sangat penting karena akan dapat menggambarkan atau
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah telah terealisasi kepada masyarakat
atau belum. Seperti yang dijelaskan (Drucker, 2001, p.147 dalam Mihaiu,
Opreana, dan Cristescu, 2010: 5). Pendapat Drucker menjelaskan bahwa tidak ada
efisiensi tanpa efektivitas, karena lebih penting untuk melakukannya dengan baik
apa yang telah diusulkan (efektivitas) daripada melakukan sesuatu dengan baik
tetapi belum tentu sesuai dengan yang ingin dicapai pemerintah, maka peneliti
menggunakan analisis rasio angka partisipasi sekolah sebagai alat untuk melihat
efektivitas, cara kerja dari pendekatan ini adalah menghitung jumlah penduduk
yang bersekolah dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk usia
sekolah. Maka mengingat pentingnya pengukuran efisiensi dengan teknis analisis
yang tepat, serta sejauh yang penulis ketahui belum ada penelitian pengukuran
efisiensi teknis dan efektivitas bidang pendidikan Islam di Provinsi seluruh
Indonesia, penulis tertarik untuk menganalisis efisiensi teknis dan biaya bidang
pendidikan Islam di Provinsi seluruh Indonesia dengan Metode Data Envelopment
Analysis (DEA) pada tahun 2013 – 2015.
20
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, mengingat
pendidikan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara.
Berdasarkan pendekatan human capital ada hubungan linier antara investasi
pendidikan dengan higher productivity dan higher earning. Manusia sebagai
modal dasar yang diinvestasikan akan menghasilkan manusia terdidik yang
produktif dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kerja yang
ditampilkan manusia terdidik tersebut.
Disahkannya PP No.105 tahun 2000 dan Kepmendagri No.29 tahun 2000 yang
mengatur anggaran berbasis kinerja menjadi momentum penting dalam
pengelolaan keuangan pemerintah daerah sebagai upaya percepatan pembangunan
ekonomi daerah. Begitu pula dengan UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan
negara yang semakin mendukung penerapan anggaran pemerintah daerah yang
berbasis kinerja, dan salah satu pengukuran kinerja adalah tingkat efisiensi.
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis bagaimanakah efisiensi teknis
dan efektivitas belanja pendidikan di Indonesia menggunakan metode Data
Envelopment Analysis (DEA) tahun 2013 - 2015, pada pengukuran efisiensi teknis
biaya, penelitian ini menggunakan belanja pendidikan sebagai variabel input,
jumlah sekolah (MI,MTS,MA) dan jumlah guru (MI,MTS,MA) sebagai output.
Penelitian ini juga menggunakan variabel output intermediate berupa angka
partisipasi murni, rasio guru/murid dan rasio kelas/murid. Untuk mengukur
efektivitas belanja pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah & Hasil UN (MI, MTS,
21
MA) sebagai Outcomes dari belanja pendidikan. Selain itu juga akan dijelaskan
bagaimana perbaikan komposisi (potential improvement) bagi daerah – daerah
yang inefisien.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Seberapa besar tingkat efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem
pendidikan Islam di seluruh Provinsi Indonesia pada jenjang MI, MTS &
MA tahun 2013 – 2015 ?
2. Seberapa besar input serta output yang dapat diperbaiki guna mencapai
kondisi efisien melalui potential improvement untuk variabel input dan
output di seluruh Provinsi Indonesia pada jenjang MI,MTS & MA tahun
2013 – 2015 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat efisiensi teknis
bidang pendidikan pada alokasi biaya pendidikan Islam di seluruh Provinsi
Indonesia tahun 2013 – 2015. Serta untuk mengetahui seberapa besar input
serta output yang dapat diperbaiki guna mencapai kondisi efisien melalui
potential improvement untuk variabel input dan output di seluruh Provinsi
Indonesia pada jenjang MI, MTS & MA.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
22
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat serta melengkapi
kajian teoritis yang berkaitan dengan efisiensi teknis dan
efektivitas belanja pendidikan
b. Sebagai upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan berkaitan
dengan efisiensi teknis dan efektivitas belanja pendidikan
c. Sebagai masukan dan tambahan informasi untuk melakukan
penelitian selanjutnya dibidang yang sama bagi peneliti lain.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa dan masyarakat, sebagai referensi dalam
pembuatan karya tulis dan pengembangan penelitian selanjutnya
serta sebagai upaya mendorong mahasiswa peka dan kritis terhadap
permasalahan yang terjadi seperti ini dan juga ingin menumbuhkan
rasa peduli bagi masyarakat tentang adanya masalah yang
disampaikan dari penelitian ini.
b. Bagi pemerintah, sebagai input dalam pengambilan kebijkan
ekonomi khususnya yang menyangkut kebijakan keuangan daerah
di sektor pendidikan.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pendidikan Nasional
Sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I
menyebutkan “Pendidikan secara umum adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagaamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat.” Arti diatas menjelaskan bahwa
dalam kaitannya pelaku didik mengikuti proses belajar yang sesuai
dibutuhkan untuk dirinya sendiri maupun ketika mereka terjun ke
masyarakat, agar tercapai masyarakat yang berpendidikan. Pendidikan
di Indonesia sampai tahun ajaran 2013 menggunakan kurikulum
berdasarkan peraturan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional yang berisi
“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai – nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.” Hal tersebut dapat
24
disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia tetap menjunjung tinggi
nilai ketuhanan, memegang teguh jati diri bangsa, dan terus
berkompetitif dengan keadaan yang semakin maju. Dalam
menjalankan Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 maka dibuatkan
sistem pendidikan. “Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan
komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. Peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu.” Disebutkan bahwa pendidikan saling terkait secara terpadu
merupakan tingkatan pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi
yang dilaksanakan secara bertahap. Dan pada poin kedua peserta didik
berpendidikan sesuai dengan proses yang selaras agar terus
berkembang potensi yang dimilikinya.
Selanjutnya peneliti akan melihat Pendidikan Nasional dalam
kerangka teori produksi pendidikan, Pendidikan Islam dalam sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan dalam kerangka pembangunan
ekonomi, dan Anggaran Pendidikan. Pendidikan dilihat dari sisi
ekonomi merupakan proses produksi. Produksi sering diartikan sebagai
penciptaan guna, yaitu kemampuan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Produksi dalam hal ini mencakup pengertian yang
luas yaitu meliputi semua aktifitas baik penciptaan barang maupun
jasa-jasa. Proses penciptaan ini pada umumnya membutuhkan berbagai
25
jenis faktor produksi yang dikombinasikan dalam jumlah dan kualitas
tertentu. Istilah faktor produksi sering pula disebut “korbanan
produksi”, karena faktor produksi tersebut dikorbankan untuk
menghasilkan barang-barang produksi (Soekartawi, 1990).
Teori produksi terdiri dari beberapa analisa mengenai bagaimana
seharusnya seorang pengusaha dalam tingkat teknologi tertentu,
mampu mengkombinasikan berbagai macam faktor produksi untuk
menghasilkan sejumlah produk tertentu dengan seefisien mungkin.
Jadi, penekanan proses produksi dalam teori produksi adalah suatu
aktivitas ekonomi yang mengkombinasikan berbagai macam masukan
(input) untuk menghasilkan suatu keluaran (output). Dalam proses
produksi ini,barang atau jasa lebih memiliki nilai tambah atau guna.
Hubungan seperti ini terdapat dalam suatu fungsi produksi. Menurut
Nicholson (2002), tujuan dari sebuah perusahaan ialah mengubah input
menjadi sebuah output. Begitu pula dengan sebuah lembaga
pendidikan yang menggunakan sarana dan prasarana sekolah guna
menghasilkan pelajar yang terdidik.
Barbeta dan Gilberto Turati (2001) menggambarkan sebuah
Hubungan input dan output dalam sebuah lembaga pendidikan sebagai
berikut:
OS = f (B, G, TA, T, Latar Belakang Siswa, dan
Lingkungan)
26
Keterangan :
OS = Output Sekolah
TA = Tenaga Administrasi
B = Biaya
G = Guru
T = Teknologi
Input yang tersedia pada setiap perusahaan, pasti ingin diperoleh
hasil yang maksimal sesuai dengan tingkat teknologi yang tertinggi pada
saat itu (Nicholson, 2002) sedangkan menurut Sudarsono (1990) suatu
fungsi produksi dapat memberikan gambaran kepada kita tentang produksi
yang efisien secara teknis yang artinya semua penggunaan input dalam
produksi serba minimal atau serba efisien. Teori produksi yang sederhana
umumnya menggambarkan tentang hubungan antara tingkat produksi
suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk
menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut dimana dalam
analisis tersebut dimisalkan bahwa faktor-faktor produksi lainnya adalah
tetap.
2. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan pada hakekatnya berfungsi untuk membentuk
kepribadian manusia secara total. Sehingga arah atau sasaran dari
pendidikan adalah jasmani dan ruhani manusia. Manusia Indonesia tidak
hanya cerdas secara kognitif , tapi lebih dari itu harus bertakwa dan
berakhlak mulia. Pendidikan Islam yang berparadigma teosentris bertujuan
27
untuk mencetak individu muslim yang sejalan dengan tujuan dari Islam itu
sendiri. Dengan demikian Islam memiliki peran yang signifikan dalam
membentuk warga masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang baik,
yang sejalan dengan falsafah atau ideologi Bangsa Indonesia, yakni
Pancasila. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Nasional telah
menempati posisi yang sentral dalam membentuk jati diri masyarakat
Indonesia. Pendidikan Islam dilihat sebagai media yang mampu
melahirkan manusia Indonesia yang cerdas, bertakwa, bermoral dan
bermartabat.
Tantangan utama yang dihadapi para ahli dan praktisi pendidikan
Islam dalam hal pengintegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan
Nasional adalah menghapuskan dikotomi ilmu umum dan ilmu agama.
Ilmu harus dipandang sebagai identitas tunggal yang telah mengalami
perkembangan dalam sejarah. Perkembangan ilmu dalam sejarah
menunjukkan bahwa setiap peradaban manusia termasuk peradaban Islam
telah memberi sumbangannya sendiri. (M. Ali Hasan Mukti, 2003 : 60).
Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional
menemukan bentuknya dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) yang dilansir pemerintah pada tahun 1989. Melalui
UUSPN, madrasah mengalami perubahan definisi, dari sekolah agama
menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Perubahan definisi ini penting
artinya, karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya mendapat
legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
28
Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan antusias oleh Depag,
sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap madrasah dan lembaga
pendidikan Islam pada umumnya. Akan tetapi, perubahan definisi itu
selanjutnya menuntut ada perubahan kurikulum. Karena madrasah tidak
lagi sekolah agama, maka kurikulumnya harus didominasi oleh mata
pelajaran umum.
Tahun 1994 bisa jadi merupakan satu periode penting dalam
perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu, Depag telah
menetapkan berlakunya kurikulum baru yang kemudian dikenal dengan
kurikulum 1994 yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum
sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya bahwa madrasah memberikan
70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama Islam, pada
kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya
100% mata pelajaran umum sebagaimana diberikan di sekolah – sekolah
umum di bawah Depdikbud. (M. Ali Hasan Mukti, 2003 : 61). Sekilas
nampak memang bahwa yang paling menonjol dari kurikulum 1994 adalah
penghapusan 30% mata pelajaran agama yang diajarkan sejak
pemberlakuan kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh, istilah
penghapusan tersebut tentu tidak bisa dilihat semata – mata sebagai
mendiadakan mata pelajaran di madrasah.
Namun dilihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran
dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan
29
dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap
menermpati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal. jurusan
yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya.
a. Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam
Berbicara pendidikan adalah juga berbicara tentang kebijakan,
karena pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
dilaksanakan. Karena pendidikan merupakan kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah, maka kebijakan pendidikan adalah salah satu
kebijakan publik dalam bidang pendidikan. Yang dimaksud dengan
kebijakan publik disini adalah “keputusan yang dibuat oleh negara,
khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan
dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk
mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada
masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan
“Berbagai aturan dan perundang-undangan yang ada misalnya,
undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.
Menurut hemat penulis aturan ini cenderung bersifat sentralistik dari
pada desentralistik. Kemudian muncul kebijakan baru yaitu Undang-
undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU
nomor 22 tahun 1999 mengubah pola pembangunan dari sentralistik
menjadi desentralistik, dengan memberikan kekuasaan otonom secara
luas kepada pemerintah Kabupaten dan Kota. Efek samping dari pada
30
kekuasaan otonomi yang sangat luas kepada daerah, pada prakteknya
mengakibatkan sedikit terhambatnya proses desentralisasi
pembangunan dan pelayanan publik, juga pemerintah daerah
berpeluang untuk melakukan desentralisasi kekuasaan pada elit-elit
politik daerah. Salah satu pesan UU nomor 22 tahun 1999 adalah
bahwa daerah mempunyai kewajiban menangani pendidikan yang
rambu-rambunya telah dijabarkan dalam Peraturan pemerintah nomor
25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Bahwa persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan
pendidikan adalah apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu
dilakukan, dengan cara bagaimana dan mengapa demikian. Dengan
semangat pemberian kesempatan otonomi kepada daerah khususnya
Kabupaten dan Kota, dan tetap terjaminnya kepentingan nasional yang
paling esensial. Disadari betul bahwa kewenangan dan kekuasaan saja
belumlah cukup, dibutuhkan kemampuan daerah untuk
mengimplementasikan otonomi daerah. Kemampuan ini bisa diuraikan
menjadi sangat luas, mencakup keharusan memiliki wawasan yang
mumpuni, kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan serta
kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan. Dengan demikian
melalui pengelolaan yang desentralistik, “diharapkan pendidikan dapat
dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi daerah dan juga bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan desentralisasi
31
tersebut tidak dikehendaki terjadinya kemunduran dalam pendidikan
dan tidak juga justru melemahkan semangat integrasi nasional.
Kebijakan publik penyelenggaraan pembangunan Indonesia Pasca
reformasi ditata dengan pola desentralistik, yaitu dengan lahirnya
undang-undang nomor 22 Thun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang
dilengkapi dengan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hanya saja kebijakan
publik ini menurut hemat penulis terdapat kelemahan, diantaranya
adalah adanya kesenjangan kesejahteraan antara pusat dengan daerah.
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah
diperbaharui lagi dengan lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Munculnya berbagai peraturan dan
perundang-undangan ini adalah dalam rangka perbaikan sistem yang
selama ini berlaku, sehingga kedepan akan lebih baik lagi. Pemerintah
Orde baru menetapkan kebijakan publik dibidang pendidikan berupa
undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan
Nasional.
Kebijakan ini ditetapkan pada saat kebijakan publik tentang
penyelenggaraan pembangunan menganut pola yang cenderung
sentralistik, yaitu melalui Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menyebutkan bahwa
negara kesatuan RI dibagi kedalam daerah-daerah otonom
diselenggarakan melalui tiga pelaksanaan asas yaitu, asas
32
desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asa pembantuan. Pasal 2 UU
tersebut menetapkan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada
daerah tingkat II yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan
pemerintah (PP). Adapun tujuan daripada otonomi kepada daerah
adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan bisa mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri.Undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal; 50, 51 dan
52 secara khusus mengatur tentang pengelolaan pendidikan tingkat
pusat dan daerah, yang menyatakan bahwa sifat desentralistik dari
penyelenggaraan pembangunan pendidikan nasional. Namun
didalamnya memberikan panduan mengenai mekanisme desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu antara lain siapa yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional,
bagaimana standar nasional pendidikan, siapa yang bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan
tinggi dan sebagainya.
b. Kerangka Hukum Pendidikan Islam dalam Pendidikan
Nasional
Salah satu upaya pemerintah dalam mengusahakan dan
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional adalah penyelenggaraan
pendidikan melalui madrasah dan pesantren. Hal ini tercantum dalam
maklumat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP)
33
tertanggal 22 Desember 1945, yaitu bahwa pengajaran di langgar,
surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. BPKNIP
mengeluarkan maklumat lebih lanjut pada tanggal 27 Desember 1945
yang berisi agar madrasah dan pesantren mendapatkan perhatian dan
bantuan materiil dari pemerintah karena madrasah dan pesantren pada
hakekatnya adalah sumber pendidikan yang sudah berurat-berakar
dalam masyarakat Indonesia pada umumnya
Namun dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU
No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954), pendidikan madrasah
dan pesantren tidak dimasukan sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional dan merupakan sistem terpisah di bawah Kementerian
Agama. Alasan pemisahan ini menurut Pemerintah (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan) adalah bahwa pada saat itu pendidikan
madrasah dan pesantren lebih didominasi oleh muatan-muatan agama,
menggunakan kurikulum yang belum terstandar saat itu, memiliki
struktur yang tidak seragam dan pengelolaannya tidak berada dibawah
wewenang Pemerintah. Peserta didik madrasah atau pesantren tidak
dapat pindah ke sekolah negeri. Sikap pemerintah yang diskriminatif
ini diperkuat lagi dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun
1972 dan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974. Pada saat itu,
penduduk beragama Islam menolak kebijakan ini karena pendidikan
madrasah dan pesantren telah ada sejak zaman penjajahan.
34
Berdasarkan reaksi masyarakat yang cukup keras tersebut,
Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga
menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Menteri Dalam Negeri) pada tanggal 24 Maret 1975. SKB mengakui
keberadaan madrasah dan relevansinya dalam sistem pendidikan
nasional. Dalam SKB disebutkan ada tiga tingkatan madrasah dengan
komposisi kurikulum 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen
mata pelajaran agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) yang setara dengan
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Keputusan ini juga memungkinkan murid
madrasah untuk pindah ke sekolah negeri. Integrasi penuh dari
pendidikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional telah
selesai dengan UU Nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
di mana tujuh mata pelajaran Islam menjadi bagian resmi dari
kurikulum madrasah.
Sejumlah petunjuk operasional dikeluarkan setelah Undang-
undang ini disyahkan.Integrasi pendidikan madrasah ke dalam sistem
pendidikan nasional ini dioperasionalkan dalam sejumlah Peraturan
Pemerintah yang dikeluarkan antara tahun 1990 dan 199311 dan
keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama. UU No.
20/2003 menetapkan integrasi madrasah dalam sistem pendidikan
nasional di era desentralisasi. Dasar Hukum Pengelolaan Pendidikan di
35
Era Desentralisasi Madrasah, Isu tentang pengelolaan pendidikan
madrasah dan pendidikan agama menjadi lebih rumit di tahun 1999
ketika desentralisasi diperkenalkan. Undang-undang dan peraturan
desentralisasi memandatkan enam fungsi pemerintah untuk tetap
terpusat, di mana hal terkait agama adalah salah satunya. Peraturan
menyatakan pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk:
a) mengelola fungsi secara langsung,
b) mendelegasikan sebagian urusan pemerintah pusat ke unit
administrasi vertikal, terutama untuk gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah (di sini istilah “dekonsentrasi”
berlaku), atau
c) menetapkan beberapa urusan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) dan/atau ke
pemerintah desa berdasarkan azas tugas pendukung (tugas
pembantuan)
Pendidikan adalah salah satu dari 31 fungsi pemerintahan yang
didelegasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Provinsi
dan Kabupaten. Desentralisasi kewenangan dalam pendidikan adalah
sebagai berikut: Pemerintah Pusat membuat kebijakan nasional dan
menetapkan standar nasional pendidikan untuk menjamin kualitas;
Pemerintah Provinsi mengkoordinasikan pengelolaan dan administrasi
pendidikan, pengembangan staf pendidikan, dan menyediakan fasilitas
36
untuk pengelolaan dan administrasi pendidikan antar kabupaten untuk
pendidikan dasar dan menengah; Pemerintah Kabupaten mengelola
dan mengatur pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan non-formal, serta unit-unit pendidikan
unggulan (keunggulan lokal). Di bawah undang-undang dan
peraturan-peraturan tersebut, Pemerintah Daerah memiliki otonomi
yang cukup luas untuk mengatur dan menyusun urusan pemerintah
daerah secara langsung. Fungsi-fungsi pemerintah yang didelegasikan
kepada Pemerintah Daerah harus disertai dengan sumber pendanaan,
pengalihan infrastruktur dan staf.
Pemangku kepentingan di sektor pendidikan memiliki pandangan
yang berbeda tentang pengelolaan pendidikan madrasah dalam era
desentralisasi. Undang-Undang Desentralisasi tidak menyatakan
dengan jelas apakah madrasah dan pendidikan agama dilakukan secara
desentralisasi atau sentralisasi. Ambiguitas ini meningkatkan polemik
dan perdebatan di antara pemangku kepentingan dalam pemerintah
dan masyarakat. Perdebatan antar pemangku kepentingan berkisar dari
mereka yang percaya bahwa pendidikan madrasah dan agama harus
tetap tersentralisasi hingga mereka yang percaya bahwa hal tersebut
harus didesentralisasikan. Bagi beberapa orang hal ini bukanlah
masalah; tetapi salah satu masalahnya adalah bagaimana memastikan
dana yang cukup untuk madrasah dalam rangka meningkatkan mutu
37
pendidikan. Karena aspek politik yang dominan, masalah ini belum
terpecahkan, pada tingkat DPR sekalipun.
Dana-dana pendidikan yang dikelola oleh Kemdikbud terutama
digunakan untuk program prioritas nasional seperti rehabilitasi gedung
sekolah yang rusak. Dua mekanisme pendanaan utama yang digunakan
oleh Kemdikbud: Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana
Dekonsentrasi. Penggunaan dana Kemdikbud untuk madrasah sangat
dibatasi oleh peraturan yang berlaku saat ini. Misalnya, Kemdikbud
tidak dapat mendanai rehabilitasi gedung madrasah yang rusak melalui
DAK. Mekanisme Dana Dekonsentrasi hanya dapat digunakan untuk
memberikan dukungan terbatas kepada madrasah seperti membiayai
guru-guru madrasah swasta untuk lokakarya atau pelatihan, tetapi
mekanisme ini tidak dapat digunakan untuk mendanai program
bantuan keuangan atau kegiatan operasional Kemdikbud bekerjasama
dengan Kemenag dalam mengelola program yang mendirikan SMP
yang terletak berdekatan dengan pesantren, namun Kemdikbud
menemukan kesulitan dalam mendapatkan data terkait dan laporan
pemantauannya. Sehingga Kemdikbud kesulitan untuk menyesuaikan
dukungan dana dengan kebutuhan yang ada.
Kemdikbud juga memiliki program untuk meningkatkan akses
pendidikan dasar di 50 kabupaten/kota. Kemdikbud telah meminta
kepada Dinas Pendidikan kabupaten untuk memasukkan Kemenag
38
dalam pengelolaan program guna memastikan madrasah berpartisipasi
dalam program ini.
Namun ternyata masih ada kendala untuk melakukan koordinasi
dan komunikasi antara dua dinas tersebut. Setelah lahirnya Undang-
undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka
terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam hubungan Pemerintah
Daerah dengan Pemerintah Pusat. Hampir seluruh kewenangan
pemerintahan yang sebelumnya (sebelum dinudangkannya UU
tersebut) bertada ditangan Pemerintah Pusat, kini dialihkan
(dilimpahkan) ke Pemerintah Daerah. Inilah yang kemudian dikenal
dengan desentralisasi atau otonomi daerah. Dalam pasal 7 UU tersebut
menyatakan bahwa kewenangan dearah mencakup kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Bidang lain yang
dimaksud meliputi; kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro dan perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pembangunan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi dan standarisasi nasional. Dari pasal tersebut hanya lima
bidang itulah yang tidak berada dalam wewenang pemerintah daerah.
Artinya lima bidang tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah
pusat.
39
Urusan agama termasuk dalam lima bidang yang wewenangnya
tidak diserahkan kepada pemerintah daerah. Itulah sebabnya ketika
banyak departemen sibuk merestrukturisasi dan merampingkan
departemennya serta menyerahkan sebagian (besar) pegawainya ke
pemerintah daerah, departemen agama tidak melakukan hal itu. Ada
pertanyaan besar menyikapi hal ini, bagaimana dengan pendidikan
agama?, apakah dia termasuk pendidikan (harus diserahkan ke
pemerintah daerah) ataukah termasuk dalam bidang agama (tetap
menjadi wewenang pemerintah pusat). Bagaimana peran Kementerian
Agama dalam hal ini. Dalam masalah ini, ada pendidikan agama yang
diurus oleh Kementerian Agama (Dirjen Pendidikan Islam) ada dua
macam; (1) pendidikan agama (sebagai mata pelajaran) yang diberikan
di sekolah umum; dan (2) Pendidikan agama dalam bentuk
kelembagaan seperti madrasah.
Dalam hal pendidikan agama di sekolah umum yang dilakukan
adalah seperti menentukan isi kurikulum pendidikan agama,
pengangkatan guru agama (dulu pernah diserahkan pada
Depdikbud/Depdiknas), pelatihan guru agama. Penempatan guru
agama dan penentuan jumlah jam pelajaran agama disrahkan kepada
Depdiknas. Dalam hal madrasah terutama madrasah negeri wewenang
Kementerian Agama adalah menetapkan kurikulum termasuk alokasi
waktunya, menyediakan gedung dan fasilitas belajar, menyediakan
dana operasional dan gaji pegawai, membina pegawai yang ada
40
dimadrasah tersebut, termasuk pembinaan kepala madrasah. Menteri
Agama pernah mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri dengan/
untuk merespon UU nomor 22 tahun 1999. Isi surat tersebut mengenai
penyerahan sebagian kewenangan yang ada pada Menteri Agama
dalam bidang pendidikan agama dan keagamaan kepada Pemerintah
Daerah. Tanggapan atas surat tersebut termasuk internal Depag sendiri
beragam, ada yang ingin penyerahan tersebut dalam rangka
dekonsentrasi bukan desentralisasi, ada yang ingin adanya dinas
perguruan agama Islam di tiap Kabupaten/ Kota dan sebagainya.
Tanggapan Pemda kabupaten/ Kota juga beragam; ada yang menerima
namun ada juga yang menolak.
Kondisi riil sampai saat ini ternyata madrasah yang selama ini
dikelola oleh Kementerian Agama masih tetap dan setia untuk dikelola
dan dibina oleh Kementerian Agama. Sungguh merupakan nasib bagi
pendidikan Islam, dalam hal ini madrasah, karena memang sudah lama
menyimpan memori panjang kekurangan anggaran. Selama ini Negara
lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dari pada madrasah.
Dalam perihal itu, madrasah lebih banyak bersatus swasta dari pada
negeri. Dalam konteks sekolah negeri – swasta inilah belanja negara
dialokasikan secara tidak berimbang antara sekolah swasta dan negeri.
Sekolah negeri jauh lebih besar anggarannya, sementara sekolah
swasta banting tulang menggali dana, sekedar untuk operasional rutin,
maka lengkaplah nestapa madrasah yang kebanyakan swasta tersebut.
41
Belum lagi dengan perubahan politik anggaran pendidikan Islam di
tingkat pemerintah pusat belum serta merta didukung anggaran daerah
secara simultan. Sebagai contoh kebijakan anggaran APBD Propinsi
dan Kabupaten/Kota tersandung oleh Surat Edaran (SE) Menteri
Dalam Negeri Moh. Ma’ruf nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September
2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2005, surat tersebut “oleh
sebagian Kepala Daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD
untuk pendidikan keagamaan. Karena bidang agama tidak mengalami
desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja
pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD” Beragam tanggapan
dari Kepala daerah tentang surat tersebut, ada Kepala Daerah yang
gelisah, karena satus sisi tak mau salah dalam mengalokasikan
anggaran, pada sisi yang lain tak mau berkonfrontasi dengan para
tokoh agama yang ada diberbagai daerah. Ada juga pimpinan daerah
yang tidak mempedulikan larangan surat edaran tersebut. “ Daerah
yang tidak mempedulikan surat edaran tersebut antara lain Bupati
Pekalongan Jawa Tengah, serta Gresik dan Banyuwangi Jawa Timur.
Di Banyuwangi surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan
singkat, tapi tidak mempengaruhi anggaran”Lima bulan setelah surat
edaran Mendagri beredar , maka pada Pebruari 2006 Dirjen Bina
Administrasi Keuangan Daerah Depdagri membuat surat Klarifikasi
“Dukungan Dana APBD” surat tersebut ditujukan kepada gubernur,
42
bupati, walikota serta ketua DPRD propinsi dan kabupaten dan kota
menegaskan bahwa sekolah yang dikelola masyarakat, termasuk yang
berbasis keagamaan seperti madrasah.. dapat didanai melalui APBD
sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai”.
Berdasarkan surat ini seharusnya Pemerintah Daerah tetap
memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-
sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan sehingga
tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses
belajar mengajar di masing-masing daerah. Kemudian pada bulan Juni
2007 Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh Ma’ruf saki)
mengeluarkan Peraturan Mendagri nomor 30 tahun 2007 tentang
pedoman penyusunan APBD tahun 2008, peraturan ini menekankan
dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran. “Dalam
mengalokasikan belanja daerah harus mempertimbangkan keadilan dan
pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
diskriminasi pemberian pelayanan.
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 (Pemerintahan Daerah) pada
pasal 10 ayat 3, salah satu urusan pemerintahan yang tidak termasuk
didesentralisasikan ke daerah adalah urusan agama. Hal ini
menimbulkan berbagai interpretasi pemerintah daerah terhadap
kedudukan Pendidikan Agama (madrasah), yang penyelenggaraannya
oleh Kementerian Agama. Padahal menurut UU nomor 20 tahun 2003
secara yuridis dinyatakan sebagai sub sistem pendidikan nasional.
43
Konsekuensinya adalah madrasah harus mengikuti satu ukuran yang
mengacu pada sekolah-sekolah pemerintah (negeri) dibawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada hal kita tahu bahwa
madrasah berada dibawah kendali Kementerian Agama. Dengan
demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah
(madrasah) dibawah Kementerian Agama dengan Sekolah dibawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seperti yang telah diuraikan
diatas. Dualisme semacam ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-
kebijakan daerah yang kurang menguntungkan sekolah (madrasah)
yang berada dibawah Kementerian Agama. Implikasi lainnya adalah
muncul anggapan dari pemerintah daerah bahwa madrasah tidak
menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan
pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi
oleh pemerintah daerah sebagaimana mengurus pendidikan (sekolah)
di daerah pada umumnya. Akhirnya nasib madrasah semakin kurang
diperhatikan terutama oleh pemerintah daerah.
c. Pendanaan Pendidikan Islam
Dana pendidikan yang dikelola oleh Depag sebesar Rp4,713 triliun
terdiri atas dana rutin sebesar Rp2,550 triliun (54,11%) dan dana
pembangunan sebesar Rp2,163 triliun (45,89%). Dari keseluruhan
dana rutin pendidikan di Depag sebesar Rp2,550 triliun tersebut,
Rp1,892 triliun (74,20%) dialokasikan ke sasaran pendidikan berupa
44
gaji pendidik dan sisanya sebesar Rp658 milyar (25,80%) digunakan
untuk pengelolaan pendidikan berupa belanja pegawai, belanja barang,
dan kegiatan pengelolaan baik di Depag Pusat maupun di Kantor
Wilayah (Kanwil) Depag Provinsi dan Kantor Depag (Kandepag)
Kabupaten/Kota. Dari keseluruhan dana pembangunan pendidikan di
Depag sebesar Rp2,163 triliun tersebut, Rp670,3 milyar (31%) di
alokasikan ke sasaran pendidikan, Rp1,267 trilyun (58,58%)
dialokasikan ke seluruh Kanwil Depag Provinsi sebagai dana
dekonsentrasi, dan sisanya sebesar Rp226,8 milyar (10,49%)
digunakan untuk manajemen proyek dekonsentrasi di Depag Pusat.
Seperti halnya yang terjadi di Depdiknas, pemberian block
grant kepada sasaran pendidikan di lingkungan Depag dilakukan
melalui banyak sekali proyek dengan bentuk, antara lain: Bantuan
Khusus Murid (BKM), Bantuan Khusus Guru (BKG), bantuan imbal
swadaya USB untuk pendirian sekolah baru, bantuan imbal swadaya
RKB untuk pembangunan kelas baru, program pemberian beasiswa
bakat dan prestasi, bantuan imbal swadaya mutu untuk sarana dan
prasarana mutu, bantuan operasional manajemen mutu (BOMM), dan
program pendidikan Broad Based Education Life Skill.
Dari keseluruhan dana dekonsentrasi pendidikan di seluruh Kanwil
Depag Provinsi sebesar Rp1,267 trilyun tersebut, oleh Kanwil Depag
Provinsi dialokasikan ke sasaran pendidikan sebesar Rp571,670 milyar
(45,12%), dialokasikan ke seluruh Kandepag Kabupaten/Kota di
45
Indonesia sebesar Rp355,013 milyar (28,02%), dan sisanya sebesar
Rp340,316 milyar (26,86%) digunakan untuk manajemen proyek
dekonsentrasi. Dari keseluruhan dana dekonsentrasi pendidikan di
seluruh Kandepag Kabupaten/Kota di Indonesia sebesar Rp355,013
milyar tersebut, Rp174,761 milyar (48,10%) dialokasikan ke sasaran
pendidikan dan Rp184,252 milyar (51,90%) dialokasikan untuk
pengelolaan pendidikan Kandepag Kabupaten/Kota.
Dana dekonsentrasi yang diberikan oleh Kanwil Depag Provinsi
dan Kandepag Kabupaten/Kota ke sasaran pendidikan juga dilakukan
melalui banyak proyek dengan berbagai bentuk seperti halnya yang
dilakukan oleh Depag. Dengan menggabungkan proporsi alokasi dana
antara untuk sasaran pendidikan dan pengelolaan pendidikan di dana
rutin dan dana pembangunan yang dikelola Depag seperti yang
diuraikan di atas, dapat diestimasi proporsi alokasi dana antara untuk
sasaran pendidikan dan untuk pengelolaan pendidikan pada dana yang
dikelola oleh Depag. Dari keseluruhan dana pendidikan yang dikelola
Depag sebesar Rp4,713 trilyun, 29,89 persennya digunakan untuk
pengelolaan pendidikan dan 79,11 persennya digunakan untuk sasaran
pendidikan. Proporsi alokasi dana pendidikan untuk pengelolaan ini
terlalu besar dan menunjukkan inefisiensi dalam pengelolaan dana
pendidikan dan mengakibatkan pengurangan penerimaan dana
pendidikan bagi sasaran pendidikan.
46
Setelah kemerdekaan, ketika departemen agama didirikan, bentuk
pertama dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren adalah
seperti yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun
1946, tanggal 19 Desember 1946, tentang Pemberian Bantuan
Madrasah. Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas
pada beberapa keresi-denan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta,
dan Surakarta. Seiring dengan semakin berkembangnya madrasah, di
mana peran serta masyarakat dalam pengembangan madrasah dan
pesantren sangat besar,anggota masyarakat karena motivasi agama,
banyak yang menyediakan tanah wakaf atau dana pembangunan
madrasah dan pesantren sehingga jumlah madrasah swasta semakin
banyak.
Prakarsa dan peran serta masyarakat yang demikian besar dalam
bidang pendidikan tersebut, khususnya madrasah dan pesantren
memang patut dihargai dan perlu terus dibantu pengembangannya.
Pengembangan madrasah pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang
sangat mendesak, karena realitas di lapangan menunjukkan kondisi
madrasah belum sama kualitasnya dengan sekolah-sekolah secara
keseluruhan. Berdasarkan UU RI No. 2 Tahun 1989, dan diperkuat lagi
dengan UU RI No. 20 Tahun 2003, sekolah-sekolah di bawah
Departemen Agama (madrasah), baik yuridis maupun struktur sama
dengan persekolahan yang diselenggarakan di bawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi, karena komponen input
47
madrasah jauh lebih rendah dari sekolah pada umumnya, maka jumlah
dan mutunya, proses dan output-nya juga tidak sama. Oleh karena itu,
perbaikan terhadap kondisi madrasah kian hari kian dirasakan
pentingnya, bahkan jika dihubungkan dengan tuntutan pengembangan
sumber daya manusia untuk pembangunan, maka pengembangan
madrasah sudah dipandang sangat mendesak.
Kesepakatan antara pemerintahan RI dengan lembaga-lembaga
keuangan internasional, seperti Asian Development Bank (ADB) dan
Islamic Development Bank (IDB) dalam pengembangan madrasah,
tidak lain sebagai upaya untuk menjawab tuntutan pengembangan dan
peningkatan madrasah. Faktor dana yang selama ini menjadi keluhan
para pembina dan penyelenggara madrasah, diharapkan dapat
tertanggulangi, sehingga dapat mengantar ke arah perbaikan dan
pengembangan madrasah secara lebih sistematis. Dengan begitu,
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan untuk kepentingan madrasah
bisa lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dengan kata lain, program
pembinaan pada masa yang akan datang dapat menciptakan kondisi
madrasah yang lebih baik, setidaknya sama dengan sekolah pada
umumnya.
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu
sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran.
Anggaran penerimaan adalah pendapatan yang diperoleh setiap tahun
oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur, di
48
antaranya pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, masyarakat
sekitar, orangtua murid, dan sumber lain. Anggaran pengeluaran
adalah jumlah uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan
pelaksanaan pendidikan di sekolah. Bentuk biaya pendidikan yang
bersumber dari pemerintah ditentukan berdasarkan kebijakan keuangan
pemerintah di tingkat pusat dan daerah setelah mempertimbangkan
skala prioritas. Besarnya penerimaan dari masyarakat baik dari
perorangan maupun lembaga, yayasan, berupa uang tunai, barang,
hadiah, atau pinjaman bergantung pada kemampuan masyarakat
setempat dalam memajukan pendidikan. Besarnya dana yang diterima
dari orangtua siswa berupa iuran BP3 dan SPP yang langsung diterima
sekolah didasarkan atas kemampuan orangtua murid dan ditentukan
oleh pemerintah atau yayasan. Selain itu, penerimaan juga boleh
didapat dari sumber-sumber lain termasuk dalam golongan ini bantuan
atau pinjaman dari luar negeri yang diperuntukkan bagi pendidikan.
Berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada bab XIII bagian pertama pasal 46 ayat 1 dijelaskan
bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pada bagian keempat
tentang pengalokasian dana pendidikan pasal 49 ayat 1 dinyatakan
bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran Pendapatan dan
49
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 %
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
3. Pendidikan dalam Pembangunan Ekonomi
a. Konsep Perencanaan Pembangunan Bidang Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam
pertumbuhan ekonomi. Menurut teori human capital, pendidikan
merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang menanamkan
ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian, nilai, norma, sikap, dan
perilaku yang berguna bagi manusia sehingga manusia tersebut
dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktifnya. (Ghozali,
2000 : 66, Pshacaropoulus, 1987 : 21). Dengan meningkatnya
kapasitas belajar dan kapasitas produktif, produktivitas seseorang
akan meningkat sehingga akan meningkatkan pendapatan orang
tersebut dan meningkatkan output berupa barang dan jasa bagi
masyarakat, yang secara keseluruhan berarti akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. (Kim, 1986 : 46).
Menurut Todaro (2009:25), pembangunan sebagai suatu proses
multidimensional yang menyangkut perubahan – perubahan besar
dalam struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan nasional
maupun percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan dan penghapusan dari kemiskinan mutlak. Dalam
tiga nilai inti pembangunan yaitu kecukupan (sustance) untuk
mampu memenuhi kebutuhan dasar, harga diri (self-esteem) untuk
50
percaya diri menjadi manusia seutuhnya yang berharga dan
bermartabat, kebebasan (freedom) dari sikap menghamba sehingga
mampu untuk memilih dan memiliki kebebasan sebagai manusia,
termasuk kebebasan politik, keamanan pribadi, penegakkan
hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan seketaraan
kesempatan.
Tiga tujuan pembangunan yaitu (1) peningkatan ketersediaan
dan perluasan barang-barang kebutuhan hidup yang pokok, sperti
makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan perlindungan. (2)
peningkatan standar hidup, yang bukan hanya peningkatan
pendapatan hidup, tetapi juga ketersediaan lapangan kerja yang
lebih banyak, pendidikan yang lebih baik, serta perhatian lebih
besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. (3) perluasan
pilihan ekonomi dan sosial yang tesedia bagi individu dan bangsa
secara keseluruhan, yang tidak hanya membebaskan mereka dari
kungkungan sikap menghamba dan perasaan bergantung kepada
orang lain dan negara-bangsa lain tetapi juga dari berbagai faktor
yang menyebabkan kebodohan dan kesengsaraan. Dari tiga tujuan
pembangunan tersebut sangat jelas bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor utama dalam pembangunan yaitu agar dapat
meningkatkan standar hidup dengan pendidikan yang tinggi dan
berkualitas, individu tersebut dapat mendapat pekerjaan yang baik.
Selain itu pendidikan juga dapat memberi pengetahuan dan
51
pembekalan karakter bagi individu agar bebas dari kebodohan dan
kesengsaraan.
Pendidikan dan kesehatan adalah tujuan pembangunan yang
mendasar. Kesehatan sangat penting bagi kesejahteraan, dan
pendidikan bersifat esensial bagi kehidupan yang memuaskan dan
berharga, keduanya merupakan fundamental dalam kaitannya
dengan gagasan lebih luas mengenai peningkatan kapabilitas
manusia sebagai inti makna pembangunan yang sesungguhnya
(Todaro, 2009:445).
Investasi pendidikan sebagai modal manusia yang sering
digunakan sebagai analisis yang jika ditingkatkan dapat
meningkatkan produktivitas. Investasi di bidang modal manusia ini
dianalogikan seperti investasi konsvensional dalam modal fisik.
Setelah dilakukan investasi awal, aliran pendapatan yang lebih
tinggi di masa yang akan datang dapat diperoleh dari perluasan dan
peningkatan pendidikan. Pendidikan berkontribusi langsung
terhadap kesejahteraan, contohnya pendidikan meningkatkan
kedewasaan, pemberdayaan, dan kemandirian dalam berpikir atas
perawatan untuk kesehatan diri sendiri, kebebasan untuk memilih
suatu pilihan hidup.
Sekolah sebagai sarana paling berpengaruh dalam pendidikan
sangat berperan dalam memberi manfaat dan memberi pelajaran-
pelajaran dan fasilitas-fasilitas guna membentuk karakter dasar
52
terhadap pelajar sebagai sumber daya manusia. Berikut merupakan
beberapa fasilitas-fasilitas dan pelajaran- pelajaran bermanfaat
yang diberikan oleh sekolah : (Laurence S. Seidman, 2009:275)
a. Skills, knowledge, and human capital, untuk mengasah
kemampuan dan keterampilan, pengetahunan, dan
modal dalam diri untuk meningkatkan tingkat
produktivitas ekonomi di masa depan.
b. Wotk ethic, pelajar diajarkan untuk bertanggung jawab
dan merasa memiliki kewajiban, contohnya datang tepat
waktu, mengerjakan tugas tepat waktu.
c. How to learn, sekolah mengajarkan bagaimanacara
belajar, menghapal, berfikir analisis, membangun rasa
ingin tahu sehingga dapat bertanya, dan sifat yang
kritis. Sehingga pada saat nanti dihadapkan pada dunia
kerja, seseorang tersebut dapat mengatasinya karena
memiliki pengalaman, kemampuan bagaimana untuk
belajar dan menyesuaikan didalam sekolah dulu.
d. How to enjoy learning, dimana pelajar diajarkan untuk
dapat merasakan rasa kepuasan dari kesuksesan, dan
rasa menjiwai dalam belajar.
e. Screening and sorting, sekolah menyaring dan
menyortir pelajar dalam mengetahui potensi pelajar itu
sendiri dalam menentukan pekerjaan. Akan terjadi
53
pembuangan waktu dan biaya dalam perekonomian
untuk memperkerjakan, percobaan, pelatihan, dan
pemecatan pekerja. Oleh karena itu, sekolah sangat
tepat dalam memperbaiki efisiensi alokasi tenaga kerja
dalam perekonomian.
f. Citizenship, pelajar diajarkan bagaimana sistem
demokrasi dan kewarganegaraan. Contohnya, dengan
mempelajari tentang sejarah dan ilmu politik, akan
membuat warga waspada terhadap upaya dari diktator
yang berpotensi untuk merebut kekuasaan. Kesigapan
setiap warga negara bermanfaat bagi warga negara
lainnya.
g. Reducing the number of criminals, dari pelajaran-
pelajaran yang telah difasilitasi sekolah antara lain
keterampilan, etika bekerja, dan rekam jejak sehinggan
memungkinkan bagi individu untuk memperoleh dan
mempertahakan produktivitas dalam bekerja. Dengan
ini sekolah ikut berperan dalam mengurangi
kemungkinan orang untuk melakukan kriminal.
Pengurangan tingkat kriminal ini juga menguntungkan
warga lainnya.
Sistem pendidikan di banyak negara justru memperbesar
ketimpangan ketimbang memperkecilnya (World Bank Economic
54
Review, 1994:360). Alasan utama dari akibat buruk terhadap
distribusi pendapatan adanya korelasi positif antara tingkat
pendidikan dan tingkat pendapatan selama hidup. Biaya pribadi
pendidikan dasar (khususnya jika dilihat dari biaya peluang
seorang pekerja anak bagi keluarga miskin) lebih tinggi bagi murid
miskin ketimbang bagi murid dari keluarga yang lebih kaya, dan
manfaat yang diharapkan dari pendidikan dasar (yang berkualitas
rendah) akan lebih rendah bagi murid miskin. Kedua fakta ini,
biaya yang lebih tinggi dan lebih rendahnya manfaat pendidikan
yang diharapkan, berarti bahwa manfaat yang diperoleh keluarga
miskin dari investasi pendidikan anak lebih rendah daripada
keluarga lainnya. Oleh sebab itu, anak-anak dari keluarga miskin
lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolah pada tahun-tahun
awal sekolah. Tidak egaliternya sistem pendidikan yang
disebabkan oleh biaya pendidikan, semakin memperparah ketidak
merataan distribusi pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi
yang hampir semua mahasiswa perguruan tinggi berasal dari
kelompok orang berpendapatan tinggi (yang sebelumnya juga
terseleksi di tingkat pendidikan menengah), ini akan
mengakibatkan terus adanya kemiskinan, rendahnya daya beli, dan
rendahnya tingkat produktivitas, sehingga menghalangi
pembangunan ekonomi.
55
b. Hubungan Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan pendidikan
dan pembangunan ekonomi, akan digunakan dua pendekatan yaitu
pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro
dilakukan untuk mengetahui peranan pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi untuk tingkat nasional dan regional.
Pendekatan ini menggunakan model fungsi produksi yang mula-
mula diperkenalkan oleh Cobb dan Douglas, yang fokus pada
pentingnya peranan modal manusia (human capital) dalam fungsi
produksi, Hal itu mula – mula dikembangkan oleh Solow dan
argumennya dikembangkan oleh Becker, dan terakhir model itu
dikembangkan oleh Lucas, yang diterapkan dan dikembangkan lagi
salah satunya oleh McMahon. Dalam model yang terakhir ini,
produk domestik bruto (PDB) merupakan fungsi dari faktor –
faktor produksi yang terdiri dari modal, tenaga kerja (baik
kuantitas dan kualitas yang dapat diwakili oleh pendidikan),
teknologi, dan kualitas masyarakat (yang dapat diwakili oleh
pendidikannya). PDB akan meningkat atau pertumbuhan ekonomi
akan terjadi apabila faktor – faktor produksi ini meningkat. Dengan
menggunakan data sekunder yang dibutuhkan dan menerapkan
metode ekonometrika, dapat diketahui peranan masing – masing
faktor produksi, termasuk faktor produksi yang berupa pendidikan
tenaga kerja dan masyarakat, terhadap pertumbuhan ekonomi.
56
Pendekatan mikro digunakan untuk mengetahui jenis
pendidikan, kompetensi, serta sikap dan perilaku dari lulusan
pendidikan yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pendekatan mikro juga
digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara kompetensi, sikap
dan perilaku yang dihasilkan sekolah dengan kompetensi, sikap
dan perilaku yang dipersyaratkan dunia usaha atau dunia kerja, dan
untuk mengetahui proses lulusan mendapatkan pekerjaan dan atau
perusahaan mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan yang
dibutuhkan. Dihipotesakan bahwa semakin sesuai jenis pendidikan
serta semakin meningkat kompetensi, sikap dan perilaku lulusan
yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, semakin
meningkat produktivitas tenaga kerja, yang ebrarti juga semakin
meningkat pertumbuhan ekonomi.
Pentingnya peranan pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi
tersebut membutuhkan sejumlah persyaratan. Persyaratan tersebut
diantaranya adalah bahwa sistem pendidikan yang berlaku dapat
menghasilkan output pendidikan, khususnya lulusan, yang sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat, baik pengetahuan
dan keterampilan maupun sikap dan perilakunya, baik jumlah
maupun jenisnya. Di samping itu, sistem dan keadaan
perekonomian yang ada dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan
potensi dan kapasitas keluaran pendidikan tersebut.
57
4. Teori Pengeluaran Negara / Daerah
Fungsi utama pemerintah pada hakekatnya adalah melaksanakan
fungsi distribusi, fungsi stablisasi, dan fungsi alokasi. Untuk
pemerintah pusat lebih fokus dalam melaksankan fungsi distribusi dan
stabilisasi karena sifatnya yang mengatur dan lebih bersifat umum.
Sedangkan pemerintah daerah lebih kepada fungsi alokasi karena
pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi
daerah setempat. Menurut Prawoto (2011 ; 54) tentang fungsi alokasi
merupakan fungsi yang menyediakan barang publik serta penetapan
komposisi barang publik diterapkan. Pelaksanaan harus dilakukan
dengan baik melalui koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi di tiap
tingkatan pemerintah.
a. Definisi dan Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah atau belanja negara,menurut UU
No.27 tahun 2014 adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui
sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja
Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Fungsi
utama negara ialah untuk menyejahterakan setiap anggota
masyarakatnya. Untuk itu, pemerintah selalu berupaya memenuhi
keinginan serta kebutuhan rakyatnya dengan menyediakan
berbagai barang dan jasa yang berbagai bentuk, termasuk uang.
58
Menurut Prasetya (2012 : 1) penggunaan uang dalam hal inilah
yang dimaksud dengan pengeluaran pemerintah.
Pemerintah senantiasa akan terus melakukan pengeluaran
pemerintah. Hal ini bukan hanya untuk menjalankan roda
pemerintahan sehari – hari, namun juga untuk merangsang kegiatan
ekonomi secara umum, mengingat pemerintah harus tetap
berinvestasi pada sektor yang tidak diminati pihak swasta. Secara
sederhana, pengeluaran pemerintah dapat pula diartikan dengan
alokasi anggaran yang telah disusun dalam APBN setiap tahunnya
untuk digunakan oleh berbagai sektor publik, seperti kesehatan,
pendidikan, keamanan, dan sejenisnya, yang pada akhirnya akan
berguna membiayai atau mewujudkan fungsinya dalam
menyejahterakan masyarakat.
b. Teori Pengeluaran Pemerintah
Terdapat beberapa ahli yang telah mengungkapkan buah
pikirnya tentang pengeluaran pemerintah. Menurut Rostow &
Musgrave dalam Dumairy (1999 : 163), pada tahap awal, rasio
pengeluaran pemerintah terhadap total pengeluaran nasional relatif
besar. Hal ini dikarenakan, pemerintah berinvestasi pada banyak
kebutuhan dasar publik yang biasanya merupakan proyek padat
modal, seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur umum lain
seperti lsitrik, air, juga jalan.
59
Pada penjelasan teori Musgrave dan Rostow mengenai teori
pengeluaran Negara “Pada tahap awal perkembangan ekonomi
diperlukan pengeluaran negara yang besar untuk investasi
pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti
sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah
pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan
untuk pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan investasi sektor
swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut pembangunan
ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan, utamanya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya
peningkatan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dsb.” (Prasetya,
2012).
Teori Musgrave dan Rostow mendukung pengeluaran
pemerintah yang besar untuk digunakan sebagai investasi yang
memperlancar kegiatan ekonomi seperti infrastruktur, kesehatan,
pendidikan. Selain itu pemerintah juga menyediakan pasar bagi
swasta untuk turut campur dalam pembangunan sesuai dengan
tujuan pemerintah namun swasta hanya difasilitasi dalam hal
memperlancar proses kebijakan. Pemikiran pemerintah yang harus
tetap sejalan adalah investasi melalui pengeluaran pemerintah
sangat diperhatikan, guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
Dalam proses pembangunan, Musgrave berpendapat rasio
investasi total terhadap pendapatan nasional semakin besar tetapi
60
rasio antara investasi pemerintah dan pendapatan nasional semakin
kecil. Rostow juga berpendapat bahwa pada tahap ini
pembangunan ekonomi mengalami peralihan aktivitas pemerintah
dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran untuk layanan
sosial seperti kesehatan. Teori Musgrave dan Rostow merupakan
pandangan yang timbul dari pengamatan pembangunan ekonomi
yang dialami oleh banyak Negara. Tetapi teori ini tidak
menjelaskan bagaimana tahap pertumbuhan ekonomi tersebut
dapat terjadi melalui tahapan atau beberapa tahap dapat terjadi
secara bersamaan.
Pengeluaran belanja pemerintah sangat penting
penggunaannya untuk menjalankan kebijakan dari pemerintah yang
memiliki fungsi untuk diterapkan di masyarakat. Selain itu telah
dijelaskan di wealth of nations, dalam buku pengantar keuangan
publik (Prawoto, 2011: 55). Pada fungsi tiga dan empat dari empat
fungsi mengenai peran pemerintah yang disebutkan Adam Smith
yaitu “membentuk dan memelihara instansi pelayanan publik agar
memberi manfaat yang optimal dengan menetapkan standar
pelayanan minimal sebagaimana dituntut oleh undang-undang
pelayanan publik” dan “memenuhi anggaran belanja yang
diperlukan untuk melaksanakan ketentuan perundangan guna
menjalankan tugas pemerintah yang efisien dan efektif”.
61
Teori Peacock dan Wiseman “masyarakat mempunyai suatu
tingkat toleransi pajak yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat
memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”. Dalam hal
ini pandangan mengenai pengeluaran pemerintah berasal dari pajak
penerimaan, sehingga jika pemerintah menaikkan pengeluaran
akan berdampak pada kenaikan masyarakat membayar pajak dan
masyarakat tidak akan setuju jika pajak dinaikkan tanpa alasan
yang jelas. Ahli selanjutnya yang mengungkapkan pendapatnya
adalah Wagner. Wagner dalam Dumairy (1999:162) menyatakan
bahwa apabila pendapatan perkapita dalam suatu negara meningkat
maka pengeluaran pemerintah secara relatif akan meningkat pula.
Hal ini karena pemerintah harus turut mengatur berbagai hubungan
yang timbul di masyarakat, seperti hukum, pendidikan, rekreasi,
kebudayaan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain fungsi dan
aktivitas pemerintah meningkat pula di berbagai bidang.
Pengeluaran daerah harus mendasasarkan konsep value for
money yang telah dijelaskan oleh (Mardiasmo dalam lestari, 2013),
yaitu:
1). Ekonomi
Merupakan hubungan antara pasar (nilai uang) dan
masukan (Input). Ekonomi adalah praktek pengembalian
62
barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada
harga terbaik yang memungkinkan. Pengertian ekonomi
dalam hal ini sebaiknya juga berarti pengeluaran daerah
yang cermat dan penggunaan keuangan daerah secara
optimal tanpa pemborosan (tepat guna).
2). Efisiensi
Efisiensi berhubungan erat dengan konsep
efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara Output
yang dihasilkan Proses kegiatan operasional dapat
dikatakan dilakukan secara efisien apabila suatu target
kinerja tertentu (Outcome) dapat dicapai dengan
menggunakan sumber daya dan biaya serendah-rendahnya.
3). Efektivitas
Merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat
pertanggungjawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus
dicapainya. Efektivitas dalam pemerintah dapat diartikan
sebagai penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan
didalam batas anggaran yang tersedia.
c. Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah
Meskipun tujuan akhirnya adalah demi menyejahterakan
masyarakat, terdapat beberapa motif yang mendasari pemerintah
63
melakukan pengeluaran. Mangkoesoebroto (1993:169) menyatakan
pemerintah dapat melakukan pengeluaran untuk menambah
kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa yang akan datang, untuk
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, untuk pengeluaran
yang akan datang, serta sarana penyedia kesempatan kerja lebih
banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas. Sedangkan
menurut APBN, pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan.
1) Pengeluaran Rutin
Pengeluaran ini dikeluarkan oleh pemerintah pada
setiap tahun. Pengeluaran rutin terdiri dari; belanja pegawai
untuk pembayaran gaji pegawai, belanja barang untuk
pembelian barang-barang yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintah sehari – hari, belanja
pemeliharaan untuk memelihara agar milik atau kekayaan
pemerintah tetap terpelihara secara baik, serta belanja
perjalanan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan.
2) Pengeluaran Pembangunan
Berbeda dengan pengeluaran rutin, pengeluaran
pembangunan dilakukan pemerintah untuk pembangunan
fisik dan non fisik dalam rangka menambah modal
64
masyarakat. Contoh pengeluaran untuk pembangunan dapat
berupa pengeluaran untuk pembangunan sekolah, jalan,
pembiayaan untuk pelatihan pegawai, hingga pengeluaran
untuk program pengentasan kemiskinan. Namun
sebagaimana amanat dari UU No.17 tahun 2003, sistem
penganggaran saat ini telah disesuaikan dan mengacu pada
praktek internasional.
Sejak tahun 2005 dilakukan penyatuan anggaran
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan serta
pengklasifikasian anggaran belanja pemerintah pusat
menurut jenis belanja, organisasi dan fungsi. Dengan
berbagai penyesuaian format dan struktur belanja yang
baru, maka belanja negara menurut klasifikasi ekonomi
terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial,dan
belanja lain-lain.Sedangkan untuk belanja daerah, terdiri
dari dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan
penyesuaian. (Kemenkeu, 2005: 96)
d. Pengeluaran Pemerintah di Bidang Pendidikan
Rakyat berhak mendapatkan pendidikan setinggi tingginya.
Inilah kebijakan publik pemerintah di bidang pendidikan (Pasal 31
UUD 1945). Konsistensi terhadap konstitusi untuk mencerdaskan
65
bangsa sepatutnya merupakan landasan dari segenap rencana
strategis pendidikan yang diwujudkan dalam merumuskan praksis
pendidikan di Indonesia. Menurut Mankiw (2008) pengembangan
sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas
modal manusia. Modal manusia dapat mengacu pada pendidikan,
namun juga dapat digunakan untuk menjelaskan jenis investasi
manusia lainnya seperti investasi yang mendorong ke arah populasi
yang sehat yaitu kesehatan.
Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan
yang mendasar di suatu wilayah. Kesehatan merupakan
kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk
mencapai kehidupan yang layak. Pendidikan memiliki peran yang
penting dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang
untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan
kapasitas agar tercipta mpertumbuhan pembangunan yang
berkelanjutan (Todaro, 2006).
Mengingat pentingnya pendidikan dan kesehatan bagi
pembangunan, pemerintah daerah sudah mengalokasikan dana
yang besar bagi 2 sektor tersebut. Pengeluaran pemerintah atas
pendidikan pada dasarnya merupakan suatu investasi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Efek pembangunan pada sektor pendidikan
tersebut tidak dapat berdampak langsung melainkan membutuhkan
beberapa periode untuk dapat merasakan dampaknya. Terdapat
66
time log ketika pemerintah mengeluarkan anggaran pembangunan
atau belanja negara dengan dampak kebijakan tersebut. Investasi
pemerintah dalam pendidikan akan menyebabkan peningkatan
kualitas modal manusia dan prasarana fisik, hal ini juga akan
memacu investasi ekonomi. Investasi ekonomi selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, karena banyaknya modal
yang tersedia untuk pembangunan.
Pengeluaran pemerintah merupakan suatu jenis kebijakan
yang dapat dilakukan pemerintah sebagai salah satu langkah untuk
menyejahterakan masyarakatnya dan menuju pertumbuhan
ekonomi. Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan
merupakan bagian dari pengeluaran pemerintah yang memacu
kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya mempengaruhi
pertumbuhan ekonomis. Rate of return dalam bidang pendidikan
sangat tinggi terutama untuk negara – negara berkembang maupun
negara miskin dimana suplai tenaga terdidik masih relatif sangat
sedikit.
Peranan dominan pemerintah dalam pasar pendidikan tidak
hanya mencerminkan masalah kepentingan pemerintah tetapi juga
aspek ekonomi khusus yang dimiliki oleh sektor pendidikan,
karena karakteristik yang ada pada sektor pendidikan yaitu sebagai
berikut (Achsanah, 2007) :
67
1). Pengeluaran pendidikan sebagai investasi
Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan
mencerminkan investasi dalam sumber daya
manusia. Karakteristik khusus dari pengeluaran
pemerintah dalam bidang pendidakan adalah
dampaknya yang tidak secara langsung dapat
dilihat. Misalnya, pengeluaran pemerintah dalam
program wajib belajar 9 tahun tidak serta merta
dapat di rasakan tapi membutuhkan waktu misalnya
5 atau 10 tahun ke depan.
2). Eksternalitas
Pendidikan menawarkan eksternalitas positif
yang lebih luas kepada masyarakat. Pendidikan
akan meningkatkan kualitas tenaga kerja,dengan
demikian meningkatkan tingkat pengembalian
investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan juga mendorong terciptanya spesialisasi
tenaga kerja serta dapat memfasilitasi pembangunan
ekonomi yang lebih berorientasi ke luar (outward
looking). Intervensi pemerintah dalam bidang
pendidikan juga dalam kerangka penanaman
nasionalisme serta nilai-nilai kebangsaan lainnya.
Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan
68
cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan
langsung, misalnya pendirian sekolah negeri
dibandingkan misalnya dengan pemberian subsidi
pada sekolah swasta. Dengan mensuplai pelayanan
pendidikan secara langsung, pemerintah lebih dapat
mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan
3). Pengeluaran bidang pendidikan dan
implikasinya terhadap kebijakan publik Adanya
kegagalan pasar serta eksternalitas positif dari
pendidikan mendorong pentingnya intervensi
pemerintah dalam bidang pendidikan dalam
kerangka untuk meningkatkan efisiensi serta untuk
mendistribusikan pendidikan ke seluruh lapangan
masyarakat.
4). Rate of return pendidikan
Rate of return investasi dalam bidang
pendidikan sangat tinggi terutama untuk negara-
negara berkembang maupun negara miskin dimana
suplai tenaga terdidik relatif masih sangat sedikit.
5. Anggaran Pendidikan
Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU
No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang
69
Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (dalam UU RI
No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS Pasal 49 Ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD
ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan
skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana
pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu
Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah
sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang
dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun.
Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah
20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka
masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan
sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran
pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah
pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan
bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian
kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 %
(2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan
70
anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada
tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 Untuk tahun 2007 saja
alokasi APBN untuk anggaran sektor pendidikan hanya mencapai
11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai
anggaran Rp 763,6 triliun. Permasalahan lainnya yang timbul,
bukan karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk
mengeluarkan sejumlah dana yang telah dianggarkan. Namun,
lebih dikarenakan anggaran pendidikan belum terserap secara
keseluruhan. Hal ini disebabkan waktu pemakaian yang terbatas,
dan karena program dinas pendidikan provinsi tidak jelas, serta
kurangnya efektivitas birokrasi.
a. Sejarah Anggaran Pendidikan
Untuk mengetahui perjalanan arah rancang bangun sistem
pendidikan nasional, terutama mengenai anggaran pendidikan,
sebelum adanya kebijakan politik anggaran yang lebih progresif,
perlu kiranya menengok ke belakang. Pasca kemerdekaan,
sebenarnya Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Nomer 4
Tahun 1950 Jo. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Dalam
undang-undang ini, negara (dalam hal ini pemerintah) belum
membuat kebijakan politik anggaran pendidikan secara jelas,
terang, dan nyata. Tentu ini disadari, mengingat bangsa Indonesia
masih sangat balita, konsentrasi terpusat pada soal stabilitas
71
mempertahankan kemerdekaan. Namun, para pendiri bangsa, saat
melakukan proses pembahasan undang-undang pendidikan,
terutama menyangkut komitmen anggaran pendidikan telah
dipenuhi dengan rasa semangat membangun bangsa melalui arah
kebijakan pendidikan.
Ada konsensus yang sangat menggembirakan, ketika
sampai pada pembahasan bagaimana memikirkan subsidi terhadap
lembaga pendidikan swasta. Seperti telusur yang dilakukan oleh
Dr. Arief Subhan, bahwa seluruh peserta rapat pembahasan draft
rancangan undang-undang ketika memasuki tahap memikirkan
eksistensi pendidikan swasta, semua sepakat, bahwa pendidikan
swasta harus mendapat subsidi bantuan dana dari negara. Karena,
lembaga pendidikan swasta (terutama lembaga pendidikan yang
dianggap tertua, yaitu pendidikan Islam pondok pesantren, pen.)
sangat membantu aksesibilitas pendidikan yang dapat menjangkau
lapisan sosial masyarakat.
Selanjutnya, ketika memasuki era Orde Baru, negara
dengan melihat perkembangan jaman dan kebudayaan, maka
undang-undang pendidikan yang lahir pada paska kemerdekaan
diganti dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Sekalipun lahir dalam kondisi Negara
mampu melakukan stabilitas pembangunan, namun politik
anggaran pendidikan yang dituang dalam undang-undang tersebut
72
tidak menyebutkan secara nyata dan terang, berapa seharusnya
Negara memberikan alokasi anggaran pendidikan yang dituangkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (termasuk
Daerah). Alasan negara (pemerintah yang berkuasa) karena
konstitusi tidak memerintahkan secara jelas porsi anggaran
pendidikan. Pasal 31 (dalam UUD yang sebelum perubahan) tidak
menyebutkan prosentase anggaran pendidikan, terdiri dari dua ayat,
bab-nya pun masih berbunyi Pendidikan, tanpa menyandingkan
dengan kebudayaan, yaitu (1) tiap-tiap warga Negara berhak
mendapat pengajaran, dan (2) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur
dengan undang-undang Sejalan dengan arah keinginan bangsa,
melalui gerakan reformasi, UUD telah menyatakan dengan sangat
jelas tentang kebijakan anggaran pendidikan. Pasal 31 UUD, dalam
perubahan keempat, terutama ayat (4) telah menjadi pondasi
kebijakan anggaran pendidikan, yaitu berbunyi negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.
Bahkan untuk jenjang pendidikan dasar yang harus diikuti
oleh seluruh warga negara, pemerintah diwajibkan memenuhi
biayanya. Sehingga, untuk pendidikan dasar pemerintah tidak
73
boleh melakukan pungutan. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 31
ayat (2) UUD. Tentu, komitmen kebangsaan, sebagaimana yang
tertuang dalam UUD perubahan keempat tersebut tidak akan
terlaksana tanpa diikuti dengan pembentukan undang-undang
organiknya. Maka, lahirlah Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai wujud nyata
semangat reformasi. Berbarengan dengan lahirnnya UU tersebut,
lembaga Mahkamah Konstitusi juga dibentuk dan dilahirkan,
karena ‘perintah’ dalam UUD hasil perubahan pada Pasal III
Aturan Peralihan disebutkan; Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum
dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.14 Dalam Undang-Undang Sisdiknas baru tersebut, sudah
secara tegas dan nyata tentang komitmen kebijakan anggaran
pendidikan.
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas juga telah
membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang
terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya,
sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut
juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-
undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang
kemudian dituangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
74
undangan. (Undang-undang tersebut telah diganti dengan UU
Nomer 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, pen.)
Selain uji materi pasal tersebut, mereka juga melakukan uji
materi terhadap UU APBN tahun 2005 yang masih
mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 7 % (tujuh persen)
dari APBN. Namun MK tidak mengabulkan, dengan beberapa
pertimbangan, diantaranya adalah apabila MK mengabulkan maka
sebagai akibat hukumnya adalah seluruh rencana pendapatan dan
belanja Negara yang tertuang dalam APBN tidak mengikat kepada
Presiden, dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum pada
realisasi belanja yang telah dikeluarkan oleh sektor lain yang
anggarannya harus dikurangi. Disamping, kalau dikabulkan maka
pemerintah “dipaksa” untuk mengeluarkan belanja Negara dengan
mendasarkan pada APBN tahun sebelumnya, padahal anggaran
APBN tahun 2004 masih dibawah APBN tahun 2005, yaitu sebesar
6,6 %.
b. Penetapan Alokasi Anggaran Pendidikan 20%
Pencantuman persentase anggaran pendidikan dalam UUD
1945 sesungguhnya merupakan reaksi dari pencapaian
pembangunan pendidikan yang berpangkal sejak Proklamasi
Kemerdekaan hingga masa “Orde Baru”. Sedikitnya terdapat dua
75
yang menjadi landasan penetapan anggaran pendidikan minimal 20
persen. Para pencetus gagasan anggaran pendidikan minimal 20
persen memandang komitmen pemerintah yang tidak konsisten
terhadap pembiayaan pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh naik
turunnya persentase RAPBN untuk sektor pendidikan antara 6
persen sampai dengan sekitar 12 persen. Mereka mengatakan,
bahwa pemerintah tidak rela memberikan porsi yang wajar bagi
pendidikan dalam RAPBN.
Bahkan pada saat GBHN tahun 1993 menyatakan bahwa
titik berat pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi seiring
dengan pengembangan sumber daya manusia (termasuk di
dalamnya pendidikan) tetap saja semangat itu tidak tercermin
dalam RAPBN. Para penggagas anggaran pendidikan minimal 20
persen menganggap bahwa pemerintah kurang memberikan alokasi
anggaran yang layak untuk pendidikan dibandingkan negara
tetangga. Mereka mengatakan, apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia
masih sangat rendah. Data Human Development Report 2004
mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 1999–2001 Indonesia
hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure)
sebesar 1,3 persen dari produk domestik bruto (PBD). Sementara
dalam kurun waktu yang sama Malaysia, Thailand, dan Filipina
secara berturut-turut telah mengalokasikan anggaran sebesar 7,9
76
persen, 5,0 persen, dan 3,2 persen dari PDB. Menurut Human
Development Report UNDP Tahun 2005, posisi Indonesia berada
pada rangking ke 110 dari 177 negara yang dinilai. Pengeluaran
Indonesia untuk sektor pendidikan pada tahun 1990 adalah 1
persen dari GDP dan pada 2002 naik 1,2 persen. Sedangkan
menurut laporan tersebut pada tahun 2002, pengeluaran negara
untuk pendidikan hanya 9 persen dari APBN.
Sementara itu pada tahun 1996 UNESCO membandingkan
alokasi anggaran pendidikan berbagai negara yang menyebutkan
bahwa pada tahun 1992 rata-rata negara maju mengalokasikan 5,3
persen GNP untuk pendidikan, negara berkembang rata-rata 4,2
persen GNP untuk pendidikan, dan negara terkebelakang hanya 2,8
persen GNP, yang maknanya sama dengan pemahaman Pasal 49
Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003. Demikian juga pada tahun 2003
Bank Dunia mengajukan data yang antara lain menyatakan bahwa
anggaran pendidikan Indonesia 1,4 persen GDP, Vietnam 2,8
persen GDP, Korea Selatan 5,3 persen GDP, dan seterusnya,
maknanya juga sama. Dari berbagai data perbandingan antar
negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan UNESCO
dan Bank Dunia, Indonesia dalam hal pembiayaan pendidikan
memang terendah. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat
Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89 persen
77
dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8 persen dari
keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya.
Kemudian tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 49 UU Sisdiknas dikatakan
bahwa: (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD); (2) Gaji guru dan Dosen yang diangkat
oleh pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN); (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (4) Ketentuan
mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan persentase GDP yang dikeluarkan untuk
pendidikan, studi OECD/UNESCO (2002) misalnya menunjukkan
bahwa pada tahun 1999 Indonesia berada pada peringkat terendah
di antara negara-negara berkembang yang dibandingkan yaitu
hanya 1,2 persen. Dengan latar belakang tersebut muncul gagasan
yang makin mengkristal bahwa daripada terus-menerus seperti itu,
78
lebih baik porsi anggaran pendidikan dieksplisitkan saja dalam
UUD 1945. Tekanan dari berbagai lapisan masyarakat dan
organisasi profesi tentang hal ini begitu kuatnya, dan MPR
meluluskan tuntutan tersebut. Bagaimanapun, hal ini menempatkan
Indonesia sebagai salah satu di antara sedikit negara di dunia yang
secara eksplisit mencantumkan persentase anggaran pendidikan
dalam konstitusinya.
Disadari atau tidak, penyebutan anggaran untuk sektor
pendidikan minimal 20 persen dari RAPBN dan RAPBD itu
memiliki segi positif dan negatif. Positifnya adalah pemerintah
pusat dan daerah dapat dan harus menjadikan hal itu sebagai
pedoman dalam menyusun anggaran, dan DPR/DPRD serta
masyarakat dapat menjadikannya sebagai patokan dalam
melakukan pengawasan terhadap kesungguhan pemerintah. Akan
tetapi persoalannya menjadi tidak sederhana ketika ditanyakan dari
mana angka 20 persen itu akan dihitung? Apakah dari total
RAPBN/RAPBD? Ataukah dari RAPBN setelah dikurangi
anggaran untuk membanyar cicilan utang luar negeri? Dalam
RAPBN 2003 saja yang jumlah totalnya Rp 354,10 triliun, cicilan
bunga utang luar negeri mengambil porsi seperlima dari seluruh
RAPBN.
Amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya UU Sisdiknas
yang mengamanatkan agar dana pendidikan dialokasikan minimal
79
20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD di luar
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, serta mewajibkan
pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan
dasar tanpa memungut biaya, maka menyebabkan beban
penerimaan negara yang berat. Sebagai kompensasinya, maka perlu
peningkatan kualitas belanja publik di sektor pendidikan.
c. Daya Serap Anggaran Pendidikan
Kompleksitas persoalan pendidikan secara nyata tidaklah
selesai dengan penambahan jumlah anggaran. Faktanya, efektivitas
mesin birokrasi bidang pendidikan juga amat menentukan capaian
keberhasilan penyediaan akses pendidikan publik. Di tengah
menganggurnya sejumlah anggaran (yang belum diserap)
Kementerian Pendidikan & Kebudayaan, dan mencuatnya fakta
keterbatasan infrastruktur pendidikan, menyebabkan ribuan
hinggan jutaan anak didik tak bisa menikmati pendidikan adalah
hal yang patut kita sesali.
Semestinya anggaran pendidikan harus bisa digunakan
secara efisien dan efektif. Penggunaan anggaran disebut efektif jika
anggaran yang digunakan sesuai atau lebih kecil daripada yang
telah direncanakan dan menghasilkan layanan serta produksi
pendidikan yang sama atau melebihirencana semula, sedangkan
penggunaan anggaran disebut efektif bila dengan anggaran tersebut
tujuan pendidikan yang telah direncanakan semula bisa dicapai
80
dengan kuantitas dan kualitas yang sama atau melebihi dari yang
direncanakan (dalam Pidarta, 2007 : 272).
6. Efisiensi
Efisiensi menurut KBBI adalah ketepatan cara dalam
menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu, tenaga,
biaya. Pertiwi (2007: 125) mengemukakan bahwa efisiensi dapat
diartikan sebagai rasio antara output dengan input. Sedangkan
Hanushek (2010: xx) menerangkan bahwa efisiensi menunjukkan
produktivitas sumber daya. Dari berbagai definisi tersebut,
efisiensi dapat pula diartikan dengan kemampuan menghasilkan
output optimal menggunakan input sebanyak tertentu, atau
kemampuan untuk menggunakan input yang ada secara optimal,
agar menghasilkan output sebanyak tertentu. Menurut Suswandi
(2007: 5), terdapat tiga kondisi yang dapat disebut sebagai
efisiensi, yaitu, ketika menggunakan input sejumlah sama,
menghasilkan output lebih banyak, menggunakan input lebih
sedikit, menghasilkan output sejumlah sama atau menggunakan
input lebih banyak, menghasilkan output lebih banyak lagi. Ada
tiga faktor yang menyebabkan efisiensi, yaitu apabila dengan input
yang sama menghasilkan output yang lebih besar, dengan input
yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan dengan input
yang besar menghasilkan output yang lebih besar, menurut Kost
81
dan Rosenwig (1979) dalam Dita (2010) efisiensi dapat
didefinisikan sebagai rasio antara output dengan input.
Ditinjau dari teori ekonomi terdapat tiga pengertian
efisiensi, yaitu efisiensi teknik, efisiensi harga dan efisiensi
ekonomi (Yoto Paulus dan Nugent (1976) dalam Soekartawi, 2003
dan Singgih (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah efisiensi penyaluran belanja pendidikan Islam di tingkat
ibtidaiyah sampai aliyah di seluruh Provinsi se Indonesia.
Analisis ini penggunaannya berupa perbandingan belanja
pendidikan yang digunakan di tiap daerahnya masing-masing,
tetapi untuk menganalisis sebuah kinerja pemerintahan yang
bersifat sosial maka akan didapat efisiensi ekonomi investasi
bernilai nol. Karena pengukuran kinerja pemerintah akan sulit
dilakukan dalam bentuk uang sebagai indikator manfaat, melainkan
pencapaian kebijakan yang lebih bersifat kesejahteraan/kualitas diri
masyarakat (sumber daya manusia). Tidak keluar dari fungsi
pemerintah sebagai pelayan masyarakat berupa kebutuhan sosial
dan kesejahteraan ekonomi. Perlunya pemerintah dalam
menghitung pelaksanaan kebijakan dengan memperhatikan
efisiensi kinerja belanja pendidikan yang akan diperlukan juga
untuk mencapai efektivitas. Kinerja dapat didefinisikan sebagai
kombinasi yang memadai antara efisiensi dan efektivitas. Efisiensi
umumnya merujuk pada penggunaan minimum sejumlah Input
82
tertentu guna menghasilkan sejumlah Output tertentu (Wulansari,
2010). Input dan Output tertentu dalam hal ini dimaksudkan bahwa
cara dalam pengelolaan dan target yang ingin di capai sesuai
dengan yang di inginkan, kombinasi yang baik untuk mencapai
efisiensi adalah dengan mendapatkan pencapaian hasil (Output)
yang optimum dengan mengatur masukan (Input) seminimal
mungkin. Peter Drucker berpendapat “is no efficiency without
effectiveness, because it is more important to do well what you
have proposed (the effectiveness) than do well something else that
was not necessarily concerned” (Drucker, 2001, p.147 dalam
Mihaiu, Opreana, dan Cristescu, 2010: 5). Pendapat tersebut
menjelaskan bahwa tidak ada efisiensi tanpa efektivitas, karena
lebih penting untuk melakukannya dengan baik apa yang telah
diusulkan (efektivitas) daripada melakukan sesuatu dengan baik
tetapi belum tentu sesuai dengan yang ingin dicapai pemerintah.
Dasar efisiensi adalah rasio/perbandingan Output terhadap
Input. Cara untuk meningkatkan efisiensi antara lain dengan (Yasar
A. Ozcan, 2008 dalam Wulansari, 2010) :
1). Meningkatkan Output,
2). Mengurangi Input,
3). Atau jika kedua Output dan Input ditingkatkan, maka tingkat
kenaikan untuk Output harus lebih besar daripada tingkat kenaikan
untuk Input atau,
83
4). Jika kedua Output dan Input diturunkan, laju penurunan untuk
Output harus lebih rendah daripada tingkat penurunan untuk Input.
Definisi diatas menjelaskan bahwa untuk mencapai target harus
disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia. Efisiensi yang
digunakan pada sebuah sistem ekonomi akan dapat menghasilkan
lebih banyak hasil keluaran (Output) dengan mengatur Input agar
tidak terjadi penambahan. Dalam ekonomi, kegiatan pasar secara
umum dianggap lebih efisien dibandingkan dengan kegiatan
lainnya meskipun dengan dasar memberikan kesejahteraan.
Anggapan ini akan berlaku hanya jika pasar terjadi pada
keseimbangan sempurna Sedangkan pada ketidaksempurnaan pasar
maka akan berlaku kegiatan yang hanya mengindahkan
kesejahteraan melalui penyediaan barang, hal ini yang dapat
dikatakan efisien. Efisiensi terdapat 3 konsep yang dikemukakan
oleh (Ramens Bhat dalam wulansari, 2010), ketiga ketiga konsep
ini adalah efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi biaya.
Namun analisis penelitian ini lebih mengarah pada efisiensi teknis.
(Ramens Bhat dalam wulansari, 2010) Pengertian dari efisiensi
teknis adalah efisiensi yang berkaitan dengan penggunaan tenaga
kerja, modal, dan mesin sebagai Input untuk menghasilkan Output
maksimum. Dengan menerapkan teknologi yang sama pada semua
unitmaka diharapkan tidak aka nada Input yang sia-sia dalam
memproduksi kuantitas Output tertentu.
84
Sebuah organisasi yang beroperasi lebih baik daripada semua
organisasi lain yang disampel, maka bisa dikatakan bahwa
organisasi ini telah efisien secara teknis. Ekonomi mikro dalam
menilai sistem ekonomi dapat dilihat melalui efisiensi.Dalam
mencapai efisiensi maka kita harus menggunakan sumber daya
yang dimiliki agar dapat memberikan kesejahteraan yang
maksimum.Kesejarteraan umum ini dijadikan konsep berupa
efisiensi alokasi. Efisiensi alokasi ini pertama kali dikembangkan
oleh ekonom Italia, Vilfredo Pareto, di abad kesembilan belas.
Sehingga efisiensi ini sering disebut efisiensi Pareto. (Case & Fair,
2006: 302) Definisi dari efisiensi Pareto adalah suatu kondisi
dimana tidak mungkin terjadi perubahan yang akan membuat
beberapa anggota masyarakat lebih beruntung, tanpa membuat
anggota masyarakat lainnya merasa lebih merugi. Hal ini menjadi
tugas bagi pembuat kebijakan ekonomi untuk menjadikan ekonomi
lebih efisien kepada semua masyarakat. Sudut ekonomi mikro
bertujuan untuk membuat kebijakan dalam meningkatkan efisiensi
ekonomi dan mengurangi ketidak seimbangan pasar atau biasa
disebut distorsi ekonomi. Meskipun tidak ada teori yang
menjelaskan bahwa dengan mengurangi distorsi pasar maka akan
terjadi peningkatan efisiensi ekonomi. Selanjutnya yang kedua
berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa jika ada beberapa
distorsi pasar maka tidak dapat dihindari hanya dalam satu sektor
85
saja yang akan bergerak ke arah yang lebih besar dalam
kesempurnaan pasar terdapat sektor lain yang bisa menurunkan
efisiensi.
Dibawah merupakan rumus efisiensi
𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 =𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡
Keterangan dari rumus diatas, jika dengan hasil sama dengan satu
atau lebih maka dapat dikatakan efisien dan hasilnya berada
dibawah satu maka dapat dikatakan tidak efisien.
a. Efisiensi dan Teori Produksi
Suparmoko (2011: 77) berpendapat bahwa efisiensi erat
hubungannya dengan dengan teori produksi atau konsep
produktifitas. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi terdapat
perubahan input menjadi output. Dalam proses kegiatan
operasional unit kegiatan ekonomi, meskipun target setiap unit
berbeda-beda, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan
keuntungan maksimal. Karena hal tersebutlah, untuk membedakan
hasil kerja setiap unit kegiatan ekonomi, diperlukan penggunaan
faktor produksi yang efisien demi mencapai efisiensi.
Secara sederhananya proses produksi adalah proses
perubahan input menjadi output. Berbekal penjelasan tersebut,
maka fungsi produksi dapat diformulasikan sebagai berikut,
86
𝑄 = f ( 𝑥1, 𝑥2 , 𝑥3, ...... , 𝑥n)
Keterangan:
Q = Output atau tingkat produksi
𝑥1, 𝑥2 , 𝑥3, ...... , 𝑥n = Berbagai input yang digunakan
Pada jangka panjang, faktor yang digunakan dalam proses
produksi tentunya bersifat variabel. Artinya, memungkinkan bagi
produsen untuk mengombinasikan berbagai input, dengan berbagai
alternatif yang ada, demi menghasilkan output yang optimal.
Kombinasi input tersebut dapat digambarkan dalam bentuk kurva
isoquant. Tidak hanya itu, suatu unit kegiatan ekonomi yang baik
juga memungkinakna untuk mengombinasikan berbagai macam
input pada tingkat harga yang sama, biasanya isocost. Maka untuk
meminimumkan biaya produksi untuk sejumlah output tertentu,
unit kegiatan ekonomi harus dapat memilih kombinasi input yang
membebani dengan biaya yang minimum. Keadaan tersebut terjadi
saat kurva isoquant menyinggung kurva isocost, atau biasa disebut
dengan keseimbangan produsen.
Selain dengan pendekatan tersebut, efisiensi juga dapat
digambarkan dengan menggunakan kurva production possibilities
frontier.
87
Gambar 2.1 Kurva Batas Kemungkinan Produksi
Sumber : Mankiw, (2011 ; 31)
Berdasarkan ilustrasi tersebut, Mankiw (2011:31) menyebut
bahwa produsen dapat disebut efisien jika beroperasi pada di
sepanjang garis pp’. Adapun kondisi yang disebut inefisien terjadi
baik di dalam batas area garis, maupun di luar garis pp.
Coelli et al. (1996: 3) berpendapat bahwa efisiensi
umumnya terbagi atas tiga jenis, efisiensi teknik, alokatif, serta
produk dari keduanya yaitu efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis dan
alokatif memiliki sudut pandang mikro, sedangkan efisiensi
ekonomis memiliki jangkauan yang lebih luas. Pengukuran
efisiensi teknis cenderung terbatas pada hubungan teknis dan
operasional dalam perubahan input menjadi output. Dengan
demikian, kebijakan yang diambil umumnya hanya berupa
kebijakan pengendalian dan alokasi sumber daya yang optimal.
Coelli et al. (1996: 3) juga menyatakan bahwa efisiensi pada
perusahaan terdiri dari dua komponen:
88
1) Efisiensi Teknik, menggambarkan kemampuan unit
kegiatan ekonomi untuk memperoleh output optimal dari
kumpulan input tertentu, dan
2) Efisiensi Alokatif, menggambarkan kemampuan unit
kegiatan ekonomi menggunakan input dengan proporsi
maksimal, dengan harga masing-masing.
Sependapat dengan Coelli et al., Saleh dalam Roni (2012:
15) juga menyatakan bahwa efisiensi ekonomi adalah hasil
gabungan dari efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Dimana,
efisiensi teknis merupakan kombinasi antara kapasitas dan
kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat
output maksimum dari jumlah input dan teknologi. Sedangkan
efisiensi alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit kegiatan
ekonomi untuk beroperasi pada tingkat nilai produk marjinal sama
dengan biaya marjinal.
b. Metode Pengukuran Kinerja & Efisiensi Sektor Publik
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa efisiensi
ekonomi mencerminkan kinerja suatu unit kegiatan ekonomi.
Jafarov dan Gunnarsson (2008: 31) seiring dengan
perkembangannya penggunaan ukuran efisiensi saat ini tidak hanya
digunakan bagi perusahaan profit saja, namun juga dapat
digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah ataupun yang biasa
disebut sektor publik, termasuk pendidikan di dalamnya.
89
Pengukuran efisiensi sektor publik, khususnya dalam
pengeluaran belanja pemerintah didefinisikan sebagai keadaan
ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan
mampu meningatkan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi
pengeluaran pemerintah diartikan ketika, setiap rupiah yang
pemerintah belanjakan menghasilkan kesejahteraan masyarakat
yang paling optimal. Dalam penelitiannya, Jafarov dan Gunnarson
(2008: 31) mengungkapkan bahwa dalam mengukur efisiensi
sektor publik lebih tepat melakukan pengukuran efisiensi teknis,
dimana nilai efisiensi diukur dengan menggunakan sejumlah input
yang digunakan untuk menghasilkan output tertentu.
Dalam pengukuran efisiensi sektor publik, efisiensi teknis
dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni efisiensi teknis biaya,
efisiensi teknis sistem, dan efisiensi keseluruhan. Setidaknya
terdapat tiga kegunaan mengukur efisiensi, Ikhwan (2004: 35),
menyebutkan bahwa pengukuran efisiensi berguna sebagai tolak
ukur memperoleh efisiensi relatif sehingga mempermudah
perbandingan antar unit ekonomi. Kegunaan lainnya adalah dapat
digunakan untuk mengetahui variansi tingkat efisiensi, sehingga
dapat diidentifikasi faktor pengaruhnya. Selain itu, pengukuran
efisiensi juga berguna untuk membantu pengambil kebijakan
mengambil langkah yang tepat.
90
Mengingat pentingnya hal tersebut, telah banyak studi dan
penelitian yang melakukan pengukuran efisiensi suatu unit
kegiatan ekonomi. Namun, selama ini penelitian umumnya
menggunakan analisis rasio dan regresi. Analisis rasio mengukur
efisiensi dengan menghitung perbandingan output dengan input
yang digunakan. Berbeda dengan analisis rasio, analisis regresi
menggunakan sebuah model dari tingkat output tertentu sebagai
fungsi dari berbagai tingkat output tertentu. Meskipun demikian,
kelemahan kedua metode ini adalah tidak dapat mengakomodir
jumlah variabel output yang banyak.
Selain kedua metode tersebut, terdapat analisis lain untuk
melakukan pengukuran efisiensi, yaitu menggunakan pendekatan
frontier. Pendekatan ini dibedakan menjadi pendekatan frontier
parametrik dan frontier non parametrik. Fiorentino, et al. (2006: 4)
menuliskan bahwa pendekatan parametrik dapat diukur dengan tes
statistik parametrik seperti Stochastic Frontier Approach (SFA)
dan Distribution Free Approach (DFA). Sedangkan pendekatan
non parametrik dapat dengan menggunakan metode Data
Envelopment Analysis (DEA). Tes statistik parametrik adalah tes
yang mensyaratkan distribusi populasi penelitian harus normal.
Berbeda halnya dengan non parametrik yang tidak mensyaratkan
distribusi khusus pada data.
91
1). Pengukuran efisiensi relatif
Konsep pengukuran efisiensi relatif ini diawali oleh
Michael James Farrel (1957) yang membandingkan
pengukuran relatif untuk sistem dengan multi input dan
multi output, selanjutnya dilakukan pengembangan oleh
Farrel dan Fieldhouse (1962) dengan menitikberatkan pada
penyusunan unit empiris yang efisien sebagai rataan dengan
bobot tertentu dari unit – unit yang efisien dan digunakan
sebagai pembanding untuk unit yang tidak efisien. Mereka
membandingkan unit yang tidak efisien, dimana
koefisiennya telah ditentukan terlabih dulu melalui
observasi berdasarkan sampel dari indsutri yang terkait.
Farrel menyatakan bahwa efisiensi sebuah
perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu efisiensi tekni
(technical efficiency) dan efisiensi alokatif (allocative
efficiency). Efisiensi teknis menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk menggunakan input dengan proporsi
seoptimal mungkin pada tingkat harga input tertentu. Kedua
komponen ini kemudian dikombinasikan untuk
menghasilkan ukuran efisiensi total atau efisiensi ekonomis
(economic efficiency).
Kumbhaker danLovell (2000), mengatakan bahwa
efisiensi teknis merupakan salah satu dari komponen
92
efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Tetapi, dalam rangka
mencapai efisiensi ekonominya suatu perusahaan harus
efisien secara teknis. Untuk mencapai tingkat keuntungan
yang maksimal, sebuah perusahaan harus dapat berproduksi
pada tingkat output yang optimal dengan jumlah input
tertentu (efisiensi teknis) dan menghasilkan output dengan
kombinasi yang tepat pada tingkat harga tertentu (efisiensi
alokatif).
Akhmad (2007) menyatakan bahwa pengukuran
efisiensi sektor publik khususnya dalam pengeluaran
belanja pemerintah didefinisikan sebagai suatu kondisi
ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang
dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Maka efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah
menghasilkan kesejahteraan masyarakat yang paling
optimal. Ketika kondisi tersebut terpenuhi, maka dikatakan
belanja pemerintah telah mencapai tingkat yang efisien.
Terdapat berbagai pendekatan untuk mengukur
berbagai efisiensi dari berbagai bidang keilmuan, misalnya
pendekatan akuntansi dengan analisa rasio dan pendekatan
produktivitas dengan fungsi produksi. Namun menurut
Gollani dan Roll (1989 dalam Rahman 2010) ada beberapa
kekurangan dari metode tersebut antara lain :
93
1). Beberapa pengukuran output, seperti juga faktor input
bersifat kualitatif. Dalam permasalahan untuk
mengkuantitaskan faktor –faktor tersebut sangat sulit untuk
menentukan bobot yang cocok.
2). Kesulitan dalam merumuskan fungsi hubungan yang
jelas antara input dan output dengan berbagai bobot yang
tetap untuk berbagai faktor.
3). Perhitungan untuk menetapkan rataan performanasi
antara beberapa unit seperti regresi statistik tidak dapat
menjelaskan sifat unit secara individual.
4). Sulitnya penentuan bobot yang dapat didekati dengan
argumentasi bahwa tiap unit individual memiliki unit
tersendiri dalam sistem sehingga dapat menentukan nilai
dari bobotnya sendiri.
Argumentasi ini yang kemudian mendasari
pengukuran performansi dengan pendekatan Data
Envelopment Analysis (DEA).
2). Efisiensi teknis biaya dan Efisiensi teknis sistem
Pengukuran efisiensi teknis sebenarnya
mencerminkan seberapa tinggi tingkat teknologi dalam
proses produksi. Pada umumnya teknologi yang
dipergunakan dalam proses produksi bisa digambarkan
dengan menggunakan kurva isokuan, fungsi produksi,
94
fungsi biaya, dan fungsi keuntungan. Dengan demikian
efisiensi teknis bisa diukur dengan empat metode yang akan
memberikan hasil yang sama (Samsubar Saleh, 2000).
Asumsi dasar untuk mengukur efisiensi teknis
adalah adanya penyimpangan antara potensi dengan
realisasi kinerja secara teknis.
Gambar 2.2 Efisiensi Teknis
Keterangan :
Q = Output suatu barang tertentu dalam suatu periode
K = Pemakaian modal selama periode tertentu
L = Pemakaian tenaga kerja
Sedangakan menurut Boediono (2000) fungsi produksi
diformulasikan sebagai berikut :
Q = f{X1, X2, X3, ……………., Xn}
Keterangan :
Q = Tingkat produksi
95
X1, X2, X3, ……………., Xn = Berbagai input yang
digunakan
Proses produksi adalah proses yang dilakukan oleh
perusahaan berupa kegiatan mengkombinasikan input
(sumberdaya) untuk menghasilkan output. Dengan
demikian produksi merupakan proses transformasi
(perubahan) dari input menjadi output (Samsubar Saleh,
2000). Penggunaan metode analisis DEA pada sektor
publik khususnya pada bidang pendidikan, telah dilakukan
oleh beberapa penelitian terdahulu diantaranya penelitian
yang berjudul Education and Health in G7 Countries:
Achieving Better Outcomes with Less Spending oleh Marijn
Verhoeven, Victoria Gunnarsson, and Stéphane Carcillo
(2007), penelitian berjudul Arab Republic of Egypt:
Selected Issues yang dilakukan oleh Geert Almekindes,
Aliona Cebotari and Andreas Billmeier (2007) serta
penelitian yang berjudul Republic of Croatia: Selected
Issues yang dilakukan oleh Etibar Jafarov dan Anna Ilyina
(2008) mengunakan tiga jenis variabel, yaitu variabel input,
intermediate output, dan output. Hal ini disebabkan, dalam
implikasinya terdapat hubungan tidak langsung antara
variabel input dengan variabel output, maka untuk
mengakomodir hal tersebut dipergunakanlah variabel
96
intermediate output. Analisis yang digunakan dalam
aplikasi metode DEA adalah efisiensi teknis. Dengan
menggunakan metode DEA beberapa penelitian terdahulu
yang melakukan tiga tahap analisis, dua diantaranya yang
juga diterapkan dalam penelitian ini yaitu :
a). Efisiensi teknis biaya
Tahap ini menggambarkan hubungan efisiensi
antara biaya sebagai variabel input dengan variabel
intermediate output (dalam hal ini penentuan indikator pada
variabel ini tidak bersifat mutlak, namun berdasarkan
berbagai pertimbangan yang dilakukan oleh beberapa
peneliti tergantung pada kebutuhan atau maksud dari
penelitian yang dilakukan), intermediate output dalam
penelitian ini adalah fasilitas dan layanan pendidikan.
Tahap ini merupakan salah satu pengembangan dari tahap
ke-tiga pengembangan metode DEA, yaitu konsep cost
frontier, pemanfaatan input dan atau output sebagai variabel
kebijakan yang bisa dipilih secara optimal oleh
unit pelaku ekonomi.
Kondisi dikatakan efisien bila sejumlah biaya yang
dikeluarkan dapat menghasilkan output berupa fasilitas dan
layanan pendidikan yang maksimum.
97
b). Efisiensi teknis sistem
Tahap ini menggambarkan hubungan efisiensi
antara variabel intermediate output dan variabel output.
Dikatakan sebagai teknis sistem karena tahap ini
menjelaskan keterkaitan suatu entitas yang berinteraksi,
dalam hal ini antara variabel intermediate output dan
variabel output. Dalam penelitian ini, intermediate output
yang dimaksud adalah fasilitas dan layanan pendidikan, dan
output yang dimaksud adalah capaian pendidikan. Kondisi
dikatakan efisien bila dengan fasilitas dan layanan
pendidikan yang ada dapat menghasilkan output pendidikan
yang maksimum.
7. Efektivitas dalam Pengeluaran Publik
Efektivitas merupakan ukuran yang tepat dalam melihat
manfaat yang dinikmati masyarakat sesuai dengan Input yang
dikeluarkan pemerintah.dalam efisiensi pemerintah akan lebih
memilih cara yang benar dalam melakukan tugasnya. Namun
dalam efektivitas pemerintah diharuskan melakukan sesuatu yang
tepat.Jika efisiensi melihat hubungan antara Input dan Output,
maka efektivitas melihat hubungan antara Input dan
tujuan/sasaran/dampak.
98
Cara mengetahui tercapainya efektivitas bisa melalui tujuan
umum pemerintah/kebijakan fiskal seperti kesejahteraan
(pertumbuhan ekonomi), keadilan sosial (ekuitas), stabilisasi dan
lain-lain, ataupun tujuan sektoral yang lebih spesifik misalnya
kualitas kesehatan masyarakat, kuantitas dan kualitas pelayanan
publik, kondisi infrastuktur, standar kesehatan, dan lain-lain.
Pengertian efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa
jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu
ditentukan.Efektivitas juga dapat diartikan sebagai pencapaian
tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari
serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan
dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga diartikan
sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan
yang telah ditentukan.
8. Pengukuran Kinerja, Hasil dan Indikator dalam Bidang
Pendidikan
Kinerja (Veithzal Rivai, 2005) adalah hasil atau tingkat
keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu
dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau
kriteria yang telah ditemukan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama. Kinerja menilai bagaimana seseorang telah bekerja
dibandingkan dengan target yang telah ditentukan. Kinerja merujuk
99
kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta
kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja
dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang dinginkan dapat
tercapai dengan baik (donnelly, Gibson dan Ivancevich: 1994).
Sedangkan indikator adalah variabel yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan untuk
dilakukannya pengukuran terhadap perubahan – perubahan yang
terjadi dari waktu ke waktu. Suatu indikator tidak selalu
menjelaskan keadaan secara keseluruhan, tetapi seringkali memberi
petunjuk (indikasi) tentang keadaan secara keseluruhan. Tujuan
yang paling mendasar adalah keinginan atas akuntabilitas
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atau masyarakat.
Indikator digunakan sebagai proksi terhadap outcome
kinerja. Indikator bermanfaat dalam menilai atau mengukur kinerja
suatu instansi. Indikator kinerja dapat didefinisikan sebagai ukuran
kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan
memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output),
hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). (Mahsun,
et al., 2015 : 143). World Bank menggunakan alat LGPM (Local
government performance Measurement) untuk mengetahui
bagaimana kinerja Pemerintah daerah (Pemda) dalam
melaksanakan tanggung jawab dalam mengelola sumberdaya
100
keuangan yang berasal dari transfer, perluasan kewenangan fiskal,
penyediaan layanan sosial dan infrastruktur daerah, serta
kewenangan membuat kebijakan ekonomi daerah sebagai
konsekuensi dari desentralisasi. Keempat pilar ini terkait dengan
tanggung jawab baru Pemda dan masing – masing pilar merupakan
komponen yang fundamental dari yang pada umumnya dikenal
sebagai ‘tata pemerintahan yang baik’.
Sebagai implikasinya, alat tersebut merangkum empat
‘pilar’ temtasi menjadi satu indeks kinerja secara keseluruhan yang
mencakup kinerja pemda dalam (i) pengelolaan keuangan publik,
(ii) kinerja fiskal, (iii) penyediaan layanan publik, dan (iv) iklim
investasi. Dalam hal peranan dalam penyediaan layanan publik,
Pemda mengemban sebagian besar tanggung jawab dalam tiga
sektor utama layanan publik, yaitu : pendidikan, kesehatan dan
prasarana daerah. Dalam pilar ini, alat LGPM akan menelusuri
perncapaian ketiga sektor tersebut, dengan meminta
pertanggungjawaban Pemda untuk memenuhi sejumlah tolok ukur
kinerja.
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja
sektor publik dilakukan setidaknya untuk memenuhi dua tujuan.
Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk
membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja
dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada
101
tujuan dan sasaran – sasaran program unit kerja. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi
sektor publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan
untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki
komunikasi kelembagaan. Definisi indikator kinerja adalah ukuran
kuantitatif dan/atau
kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan (BPKP, 2000). Indikator
kinerja (performance indicator) sering disamakan dengan ukuran
kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun
keduanya merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat
perbedaan makna. Indikator kinerja mengacu pada penilaian
kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya
merupakan indikasi-indikasi kinerja, sehingga bentuknya
cenderung kualitatif. Sedangkan ukuran kinerja adalah kriteria
kinerja yang mengacu pada penilaian kinerja secara langsung,
sehingga bentuknya lebih bersifat kuantitatif. Indikator kinerja dan
ukuran kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat
ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi (Moh. Mahsun, 2014:17).
Indikator digunakan sebagai proksi terhadap outcome kinerja.
Indikator bermanfaat dalam menilai atau mengukur kinerja
instansi. Pendidikan merupakan salah satu indikator pelayanan
publik penting suatu negara. Berhasil atau tidaknya tingkat
102
keberhasilan suatu pemerintahan baik di negara berkembang
maupun negara maju dapat dilihat dari indikator pendidikan.
Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik pasal 5 ayat 2,
pendidikan merupakan salah satu ruang lingkup pelayanan publik.
Pengukuran keberhasilan pelayanan pendidikan menggunakan
kerangka pengukuran kinerja sektor publik yaitu dengan
menggunakan konsep pengukuran value for money. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi
sektor publik. Indikator-indikator kinerja dalam bidang pendidikan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari input,
intermediate output, dan output. Penggunaan tiga jenis variabel ini
disebabkan karena implikasinya terdapat hubungan tidak langsung
antara variabel input dengan variabel output, maka untuk
mengakomodir hal tersebut dipergunakanlah variabel intermediate
output sebagaimana pada beberapa penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Geert Almakinders et al (2007).
Marijn Verhoeven et al (2007), serta Etibar Jafarov dan
Victoria Gunnarsson (2008), sebagai berikut :
a. Masukan (Input). Input merupakan sumber daya yang digunakan
untuk pelaksanaan suatu kebijakan, program, dan aktivitas
(Mardiasmo, 2009). Dalam penelitian ini, dari sisi masukan (input)
dapat dilihat dari indikator pendidikan yaitu indikator anggaran
pemerintah yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
103
b. Hasil Antara (Intermediate Output). Intermediate Output
merupakan hasil antara dari suatu program, aktivitas, dan kebijakan
untuk mencapai hasil akhir (output). Selain itu, intermediate output
dapat dikatakan indikator yang paling berhubungan dengan
pengeluaran pemerintah saat itu (Verhoeven, 2007). Hubungan
pengeluaran pemerintah dengan hasil akhir mempunyai hubungan
yang tidak langsung, dengan menggunakan intermediate output
akan mendukung hasil yang baik pada hasil akhir (output). Dalam
penelitian ini, dari sisi hasil antara (intermediate output) dapat
dilihat dari indikator pendidikan yaitu rasio guru per murid, rasio
kelas per murid, dan Angka Partisipasi Murni (APM), ini juga
merupakan indikator pemerataan pendidikan sesuai UU No.20
Tahun 2003.
c. Hasil Akhir (Output). Diamond (2005) dalam Hendra (2011)
menyatakan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh output adalah
merupakan barang atau jasa yang disediakan bagi individu atau
organisasi di luar instansi yang bersangkutan, dapat diidentifikasi
dengan jelas, berkontribusi untuk pencapaian outcome yang
direncanakan, berada dalam kendali (controlable) instansi yang
bersangkutan, serta menjadi dasar untuk perbandingan kinerja antar
periode atau dengan kinerja aktual instansi lainnya. Output dalam
penelitian ini dapat dilihat dari indikator pendidikan yaitu jumlah
sekolah (MI,MTS & MA) & jumlah guru (MI,MTS & MA).
104
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini terinspirasi dari beberapa penelitian terdahulu,
diantaranya : penelitian yang dilakukan oleh Marijn Verhoeven, Victoria
Gunnarson dan Stephane Carcillo (2007) yang berjudul Education and
Health in G7 Countries : Achieving Better Outcomes with Less Spending.
Penelitian menggunakan DEA sebagai tahap analisis pertama dengan 3
jenis variabel dalam tiga bagian. Pada bagian pertama adalah analisis
efisiensi teknis biaya yang merupakan interaksi antara variabel input dan
variabel intermediate output, lalu bagian ketiga adalah analisis efisiensi
teknis sistem yang merupakan interaksi antara variabel intermediate output
dan variabel output, pada bagian ketiga adalah analisis efisiensi teknis
keseluruhan yang merupakan interaksi antara variabel input dan variabel
output. Pada tahap kedua adalah penggunaan metode tobit sebagai koreksi
dengan beberapa indikator pada variabel – variabel yang digunakan.
Penelitian lain yang juga menjadi acuan utama dari penelitian ini
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Etibar Jafarov dan Victoria
Gunnarsson pada tahun 2008 yang berjudul “Government Social Spending
on Health Care and Education in Croatia : Efficiency and Reform Options
“. Penelitian yang dilakukan oleh Etibar Jafarov dan Victoria Gunnarsson
ini menggunakan metode analisa DEA dengan 3 jenis variabel dalam tiga
bagian. Pada bagian pertama adalah analisis efisiensi teknis biaya yang
merupakan interaksi antara variabel input dengan variabel intermediate
output, kemudian pada bagian kedua adalah analisis efisiensi teknis sistem
105
yang merupakan interaksi antara variabel intermediate output dengan
variabel output, dan pada bagian ketiga adalah efisiensi teknis keseluruhan
yang merupakan interaksi antara variabel input dengan variabel output.
Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan
beberapa penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan di atas. Penelitian ini
menggunakan metode analisis DEA dengan dua bagian analisis yaitu
efisiensi teknis biaya yang merupakan interaksi dari variabel input dan
intermediate output dan efisiensi teknis sistem yang merupakan interaksi
antara variabel intermediate output dan output yang juga menjadi bagian
pada metode analisis pada penelitian yang dilakukan Marijn Verhoeven et
al. (2007) dengan tiga jenis variabel, antara lain : variabel input,
intermediate output, dan output. Penggunaan variabel input dengan
indikator biaya juga oleh Marijn Verhoeven et al.(2007) dan Blane Lewis
dan Daan Pattinasarany (2008). Penggunaan variabel intermediate output
dengan menggunakan data rasio murid/guru dan rasio murid/kelas
merupakan adaptasi dari penelitian Blane Lewis dan Daan Pattinasarany
(2008), sedangkan Angka Partisipasi Murni diadaptasi dari penelitian
Marijn Verhoeven et al.(2007). Pada variabel output, indikator yang
digunakan adalah jumlah sekolah dan jumlah guru yang merupakan
indikator bidang pendidikan sejalan dengan penelitian Blane Lewis dan
Daan Pattinasarany (2008).
106
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode analisis Hasil Penelitian
1. Marijn Verhoeven,
Victoria Gunnarsson,
and Stephane Carcillo
(2007)
Education and Health in G7
Countries : Achieving Better
Outcomes with Less
Spending
Tahap 1 : DEA
Input :
1. Pengeluaran perkapita dalam
bidang pendidikan dalam PPP
2. Pengeluaran perkapita dalam
bidang kesehatan dalam PPP
Intermediate :
1. Rasio guru/siswa
2. Lama jam mengajar pertahun
3. Angka masuk sekolah
4. Rasio computer/siswa
5. Rata – rata lama jam belajar
di sekolah
Output :
1. Rata – rata nilai matematika
PISA
2. Distribusi nilai matematika
PISA
3. Angka lulus sekolah
Tahap 2 : regresi
Variabel bebas :
1. Pengeluaran swasta dalam
1. Pengeluaran publik pada sistem
pendidikan dan kesehatan
bervariasi pada Negara – negara
G7 begitu pula dengan hasil
pengeluaran memiliki hubungan
kuat dengan hasil pendidikan di
Negara Perancis, Jerman,
Inggris, dan Amerika dan paling
efisien pada negara Kanada;
pada bidang kesehatan,
pengeluaran di Negara Italia dan
Jepang
2. Koefisien regresi ditaksir
dengan metode penambahan
serial korelasi dengan cara
cluster correction. Bagian dari
efisiensi pengeluaran dapat
dilengkapi dengan faktor
eksogen seperti GDP,
kependudukan dan perbedaan
gaya hidup.
107
pendidikan
2. Pengeluaran subnasional
3. Pengeluaran sekolah (schools
where principal is responsible
for hiring)
4. GDP perkapita
5. Jumlah penduduk kota
Variabel terikat
Masing – masing skor efisiensi pada
output
2 Etibar Jafarov dan
Victoria Gunnarsson
(IMF Country Report,
2008)
GovernmentSocial
Spendinngon Health Care
dan Education in Croatia :
Efficiency and Reform
Options
Data Envelopment Analysis (DEA)
1. Variabel input : pengeluaran
pemerintah untuk bidang
pendidikan
2. Variabel intermediate output
: rasio guru per murid, angka
kelulusan SMA, APM, angka
melanjutkan tingkat SMP,
rasio siswa per komputer
3. Variabel output : nilai
matematika PISA 2006
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
:
1. Pengeluaran gaji dan upah
merupakan pengeluaran terbesar
di bidang pendidikan pada
tingkat SD dan menghabiskan
dana yang lebih besar untuk
investasi dibanding negara –
negara eropa, namun dari segi
pencapaian hasil, kroasia relatif
lebih rendah dibanding nilai tes
PISA negara – negara Eropa
lainnya.
2. Subsidi publik lebih banyak
diterima oleh keluarga dengan
tingkat pendapatan yang lebih
108
tinggi ; sebab penerima beasiswa
dengan capaian akademis yang
tinggi juga didukung oleh
kemampuan keluarga dalam
menunjang sarana belajar yang
lebih baik.
3 Geert Almekindes
Aliona Cebotari and
Andreas Billmeier
Arab Republic of Egypt :
Selected Issues (Focussing
Fiscal Adjustment on
Relatively Inefficient
Spending)
DEA
Variabel input :
Pengeluaran pemerintah bidang
pendidikan
Variabel intermediate :
- Rasio guru/siswa
- Rata – rata jam mengajar
- Rasio siswa/komputer
Variabel output
- Tingkat baca – tulis
- Nilai tes TIMSS
Ditemukan hubungan signifikan untuk
meningkatkan efisiensi pada
pengeluaran sosial, secara khusus di
bidang pendidikan dan perlindungan
sosial. Pengeluaran relatif besar pada
sektor ini tidak selalu menghasilkan
capaian yang paling efisien.
Oleh karena itu pembuat kebijakan
harus secara regular mengkaji efisiensi
dana dalam pencapaian tingkatan hasil,
untuk itu diperlukan fleksibiltas
pengaturan yang lebih berkombinasi
dan serta akuntabilitas dana.
4 Douglas Sutherland,
Robert Price, Isabelle
Journard, dan
Chantal Nicq.
(Organization for
Economic Co –
Performance Indicators for
Public Spending Efficiency
in Primary and Secondary
Education in OECD Area
SFA dan DEA
Tingkat sekolah
1. Variabel input : jumlah guru
2. Variabel Output : Nilai PISA
2003
1. Hasil dengan SFA efisiensi
teknis pada tingkat sekolah
menunjukkan bahwa latar
belakang ekonomi pelajar
menentukan nilai PISA, jumlah
guru meningkatkan kualitas
109
operation and
Development, 2007)
Tingkat Nasional
1. Variabel input : biaya yang
dikeluarkan tiap murid
2. Variabel output : Nilai PISA
2003
pelajar, meskipun juga harus
diingat diminishing returns. Lalu
dengan DEA menunjukkan
bahwa sekolah publik justru
menunjukkan hasil kurang
efisien dibanding sekolah privat.
Sekolah yang kecil justru lebih
tidak efisien daripada sekolah
besar. Kemudian dalam tingkat
nasional, SFA dan DEA
menunjukkan hasil yang sama
yaitu negara yang paling tidak
efisien adalah Yunani, Hungaria
dan Turki. Lalu negara yang
paling efisien pada semua
tingkat sekolah adalah Korea
dan Jepang.
2. Hasil efisiensi biaya pada
tingkat nasional, dengan
menbandingkan dengan nilai
PISA menunjukkan
kecenderungan yang lemah
terhadap prestasi PISA dengan
pelaksanaan biaya pendidikan
yang baik.
5 Alexander Aristovnik
(University of
Ljubljana, Slovenia,
An Analysis of the Efficiency
of Education Spending in
Central and Eastern Europe
DEA
1. Variabel input : pengeluaran
1. Penelitian menunjukkan bahwa
secara umum negara yang baru
bergabung dalam EU memiliki
110
International
Conference , 2011)
per murid
2. Variabel output : Nilai PISA,
biaya pendaftaran sekolah,
rasio murid per guru, angka
kelulusan
efisiensi yang relatif tinggi pada
tingkat pendidikan di
universitas.
2. Pada negara CEE yang efisien
hanya ada pada negara
Hungaria, Estonia, dan Slovenia
dan negara tersebut menjadi
patokan efisiensi untuk
pendidikan tingkat dasar,
menengah dan tingkat
universitas.
6 Blnae Lewis dan Daan
Pattinasarany (2008)
Penghitungan Biaya dan
pembiayaan untuk
penyediaan pelayanan
publik dan Standar
Pelayanan Minimal
SFA
1. Variabel Input : Rasio Siswa
– Guru dan Rasio Siswa –
Kelas
2. Variabel Output : Angka
Partisipasi Murni (APM),
Persentase Siswa yang Tetap
Bersekolah, Jumlah Siswa
yang tetap Bersekolah
Biaya :
Total biaya 6 bulan (juta rupiah)
1. Hasil analisis menunjukkan
adanya kemungkinan bahwa
pemenuhan SPM input tidak
konsisten dengan pencapaian
SPM output
2. Di Indonesia, pelayanan SDN
tidak efisien. Tingkat efisiensi
teknis baru mencapai 72 persen
dari tingkat optimal, sedangkan
inefisiensi biaya masih 30
persen di atas tingkat optimal
7 Nisaul Mardliyah Analisis Efisiensi Anggaran Rasio input – output 1. Hasil analisis capaian kinerja
111
(2014) Pendidikan di Kabupaten
Boyolali
1. Variabel input : kualifikasi
guru, kualifikasi kepala
sekolah, rasio hubungan
siswa – guru – rombel
2. Variabel output : APK, APM,
APS, dan Angka Tinggal
Kelas
program wajib belajar 9 tahun
cenderung tidak stabil namun
kategori cukup baik
2. Hasil analisis penyerapan
anggaran menunjukkan cukup
tinggi
3. Hasil analisis rata – rata lama
belajar pada tingkat SD/MI
adalah 6 tahun dan tingkat
SMP/MTS adalah 3 tahun
4. Hasil analisis rasio input output
menunjukkan perbandingan
antara jumlah siswa baru yang
masuk dengan yang lulus stabil.
8 Lena Dina Pertiwi Efisiensi pengeluaran
pemerintah daerah di
Propinsi Jawa Tengah
Data Envelopment Analysis dengan
maksimasi output dan minimasi
input
Variabel input : Pengeluaran
pemerintah dibidang pendidikan dan
kesehatan
Variabel output :
Pendidikan : Angka melek huruf dan
Tingkat efisiensi pengeluaran
pendidikan pada tahun 1999 di setiap
kabupaten di Jawa tengah cenderung
belum efisien, hanya kota Sallatiga yang
mencapai tingkat efisiensi sempurna
dan terjadi peningkatan efisiensi pada
tahun 2002, salah satunya adalah
pencapaian tingkat efisiensi sempurna
di kabupaten Boyolali. Tingkat efisiensi
pengeluaran kesehatan pada tahun 1999
mayoritas tidak efisien, hanya kota
Salatiga yang mencapai tingkat efisiensi
112
rata – rata lama sekolah
Kesehatan :
Angka harapan hidup
sempurna, dan pada tahun 2002 rata –
rata mengalami peningkatan efisiensi.
9 Triyanti Lestari dan
Moh. Khusaini
Analisis Efisiensi Belanja
Daerah di Jawa Timur
(Studi Kasus Bidang
Pendidikan dan Kesehatan
Tahun 2009 – 2011)
DEA
1. Variabel input : belanja
pendidikan dan belanja
kesehatan
2. Variabel output : Jumlah
sekolah, jumlah guru, dan
jumlah siswa
1. Belanja pendidikan masih lebih
baik dibandingkan belanja
kesehatan,
2. Kebupaten Malang merupakan
daerah paling efisien.
3. Kota Surabaya merupakan
daerah yang paling tidak efisien.
113
C. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini mencoba menjelaskan
hubungan dari penggunaan biaya dalam mencapai output akhir melalui
efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem. Analisis efisiensi teknis
dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Etibar Jafarov dan Victoria Gunnarsson pada tahun 2008. Penghitungan
nilai efisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan tiga variabel, yaitu
variabel input, variabel output intermediate, dan variabel outcome.
Penggunaan semua indikator pada variabel input dan intermediate output
berlaku pada semua jenjang pendidikan.
Variabel input akan dibandingkan dengan variabel output
intermediate dan akan menghasilkan nilai efisiensi teknis biaya. Efisiensi
teknis biaya merupakan efisiensi dalam penggunaan input untuk
menghasilkan output. Selanjutnya, variabel intermediate output akan
dibandingkan dengan variabel outcome dan akan menghasilkan nilai
efisiensi teknis sistem.
Untuk mengukur dan menganalisis efisiensi teknik biaya dan
teknik sistem pada penelitian ini digunakan metode Non – Parametrik
DEA (Data Envelopment Analysis) yang digunakan untuk mengevaluasi
efisiensi dalam penggunaan input dalam memproduksi hasil untuk sampel
produksi unit. Kedua nilai efisiensi akan terbagi dalam dua kondisi, yaitu
efisien dan tidak efisien (inefisien). Pada kondisi tidak efisien akan
114
dilakukan analisis lebih lanjut mengenai target perbaikan agar menjadi
efisien.
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
RPJMN Indonesia
Program Wajib Belajar 12 Tahun
Renstra Pendis Kemenag
2016 - 2019
Undang – undang No.20 tahun 2003 49 ayat 1 (1) tentang Pembiayaan
Pendidikan Nasional
UU.17 Tahun 2003 – Anggaran Berbasis Kinerja
Variabel Input :
Anggaran
Belanja
Pendidikan
Variabel intermediate Output :
- Angka Partisipasi Murni
- Rasio Guru per Murid
- Rasio Kelas per Murid
Variabel Output
- Jumlah Sekolah
- Jumlah guru
- Angka Partisipasi
Sekolah
- Nilau Hasil
Ujiian Nasional Data Envelopment Analysis
(DEA)
Efisiensi Teknis Biaya Efisiensi Teknis Sistem
115
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian pada latar belakang pendahuluan, dari penelitian –
penelitian terdahulu, serta metode pengukuran efisiensi dengan Data
Envelopment Analysis maka penulis menetapkan hipotesis dalam
penelitian ini yaitu :
H1 : Tidak ada daerah yang efisien sempurna secara teknis biaya
dan teknis sistem pada pendidikan Islam di seluruh Provinsi
se – Indonesia tahun 2013 hingga 2015
H2 : Ada daerah yang efisien sempurna secara teknis biaya dan
teknis sistem pada pendidikan Islam di seluruh Provinsi se
– Indonesia tahun 2013 hingga 2015
116
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif non parametik
berupa linier programming. Karena data dikumpulkan berupa angka –
angka untuk menghitung besaran tiap variabel yang digunakan.
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini terletak di pendekatan Input
dengan Output. Satuan variabel yang digunakan tidak sama untuk variabel
Input satuan hitungnya menggunakan besaran rupiah mata uang dan
variabel Output menggunakan satuan jumlah besaran hitung. Selain itu
peneliti juga menggunakan rasio yang digunakan untuk melihat Efektivitas
melalui Outcome dari variabel Input. Satuan hitung yang digunakan adalah
persentase. Peneliti mengggunakan pendekatan ini karena peneliti ingin
mengetahui seberapa efisien belanja pendidikan terhadap jumlah guru dan
fasilitas pendidikan di seluruh Provinsi se Indonesia yang diteliti.Variabel
ini menggunakan pengukuran atau persamaan uji DEA karena untuk
melihat efisiensi dari pengeluaran pemerintah berupa alokasi belanja
pendidikan sebagai Input terhadap keluaran berupa Output. Maka peneliti
memilih menggunakan pendekatan ini sebagai bahan untuk menganalisis.
Peneliti juga melihat Efektivitas dan ketepatan anggaran yang
diterapkan melalui belanja dari anggaran pendidikan Islam di Seluruh
Provinsi se Indonesia, maka peneliti memperkuat analisisnya
117
menggunakan angka partisipasi sekolah pada tahun 2013 - 2015 berfungsi
untuk melihat kemampuan daya serap penduduk usia sekolah yang
bersekolah. Kuantitatif deskriptif merupakan jenis penelitian ini karena
setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data dan perhitungan
selanjutnya didapat hasil. Dengan hasil tersebut peneliti menggabungkan
antara realita dan teori dengan menjabarkan hasil, sehingga diperoleh gap
yang terjadi diantara teori dan realita.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiyono, 2010:62). Penentuan sampel dilakukan secara
purposive sampling, yaitu berdasarkan kriteria – kriteria tertentu.
Berdasarkan kriteria pengambilan sampel, yang menjadi objek penelitian
adalah sektor pendidikan jenjang Madrasah Ibtidaiyah hingga jenjang
Madrasah Aliyah seluruh Provinsi Se Indonesia pada periode tahun 2013 –
2015.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan peneliti
untuk mengungkap atau menjaring informasi kuantitatif dari responden
sesuai lingkup penelitian (Wiratna Sujarweni, 2015) Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode dokumentasi atau studi
pustaka, sehingga tidak diperlukan teknik sampling dan kuesioner. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan kata
118
lain data diperoleh dari dokumen – dokumen yang telah dikumpulkan dan
disusun oleh pihak lain. Studi dokumentaer merupakan salah satu teknik
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek
penelitian. Wiratna Sujarweni (2015) mendefinisikan analisis dokumen
lebih mengarah bukti konkret, dengan instrumen ini, kita diajak untuk
menganalisis isi dari dokumen – dokumen yang dapat mendukung
penelitian kita.
1. Sumber Data
Tabel 3.1 Sumber Data Penelitian
No Variabel Sumber data
1 Total Belanja Pendidikan Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
2 Jumlah Sekolah MI Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
3 Jumlah Sekolah MTS Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Pendis Kemenag
2013 - 2015
4 Jumlah Sekolah MA Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
5 Guru MI Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
6 Guru MTS Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
7 Guru MA Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
8 Angka Partisipasi MI BPS Indonesia, Kemdikbud tahun 2013 - 2015
9 Angka Partisipasi MTS BPS Indonesia, Kemdikbud tahun 2013 - 2015
10 Angka Partisipasi MA BPS Indonesia, Kemdikbud tahun 2013 - 2015
11 NHUN MI Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
12 NHUN MTS Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
13 NHUN MA Laporan tahunan dan statistik pendidikan Islam Dirjen Pendis
Kemenag 2013 - 2015
Sumber ; ilustrasi peneliti
2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Data
kuantitatif adalah data yang berbentuk angka (Wiratna Sujarweni,
119
2015). Seluruh data berjenis data time series yang dikumpulkan
berdasarkan tahun 2013 – 2015 sebagai tahun penelitian.
D. Metode Analisis Data
Pengukuran kinerja dapat memberi arah pada keputusan strategis
yang menyangkut perkembangan suatu organisasi di masa datang. Dalam
mengukur efisiensi suatu kinerja perusahaan, ataupun kinerja keuangan
pemerintah khususnya, dapat menggunakan pendekatan parametrik dan
non parametrik. Dimana perbedaannya terdapat pada gangguan, pada
pendekatan parametrik menggunakan ekonometrik stokastik dan berusaha
menghilangkan gangguan tersebut, sedangkan pada non parametrik dengan
pendekatan program linier yang tidak stokastik dan cenderung
“mengkombinasikan” gangguan (Aam Rusydiana, 2013). Penggunaan
metode parametrik pada umumnya menggunakan metode
StochasticFrontier Analysis (SFA), Ditsribution – Free Analysis (DFA),
dan Thick Frontier Analysis (TFA). Sedangkan penggunaan metode non –
parametrik pada umumnya menggunakan metode Free Disposal Hull
Analysis (FDH) dan Data Envelopment Analysis (DEA).
Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah
Data Envelopment Analysis. Pemilihan teknik sangat penting untuk dapat
mengetahui kondisi variabel yang sedang diamati, sehingga dapat
menjawab dengan tepat rumusan masalah pada penelitian. Setelah
mengidentifikasi tujuan pengukuran efisiensi serta variabel yang akan
120
terlibat dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa metode yang tepat
digunakan adalah DEA. Alasan pemilihan DEA sebagai alat analisis dalam
penelitian ini adalah karena DEA dapat mengatasi keterbatasan dari hasil
pada metode rasio dan regresi. Ikhwan (2004: 34) menyatakan DEA
merupakan alat analisis yang cocok digunakan untuk mengukur efisiensi
relatif dalam penelitian pendidikan, kesehatan, transportasi, pabrik,
maupun perbankan.
Penelitian ini menggunakan model BCC atau dengan kata lain
menganut asumsi Variable Return to Scale (VRS). Model tersebut dipilih
mengingat dalam bidang pendidikan penambahan sejumlah input belum
tentu akan menghasilkan sejumlah output yang sama. Karena hasil atau
capaian pendidikan juga ditentukan oleh berbagai faktor lain, seperti
kualitas pendidik, kondisi lingkungan belajar, peran orang tua, hingga
faktor endogen setiap murid (Haryadi, 2011: 33) Selain asumsi VRS,
terdapat dua pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini.
Pendekatan dengan orientasi input serta pendekatan dengan orientasi
output. Pada pengukuran efisiensi teknis sistem digunakan pendekatan
maksimasi output (output oriented). Sedangkan pada pengukuran efisiensi
teknis biaya, digunakan pendekatan minimasi input (input oriented).
Pendekatan ini digunakan mengingat alokasi per kapita murid
merupakan sumber daya yang terbatas dan keadaan yang efisien serta
adanya harapan untuk mencapai hasil ujian nasional yang tinggi. Semua
variabel input dan output diolah dengan software MaxDEA 6.13 (yang
121
merupakan metode terstandarisasi sebagai alat untuk pengukuran efisiensi
kinerja suatu aktifitas unit ekonomi) sehingga dapat diperoleh efisiensi
teknis bidang pendidikan di seluruh Provinsi se Indonesia. Efisiensi
ditunjukkan dengan skor 1 yang berarti efisien dan kurang dari satu berarti
menunjukkan adanya inefisiensi.
Dalam penelitian ini, data dianalisa dengan menggunakan “Data
Envelopment Analysis” . data dikumpulkan, disusun, diinterpretasikan, dan
dianalisa sehingga memberikan keterangan yang lengkap bagi
permasalahan yang dihadapi. Analisis data envelopment digunakan untuk
menghitung efisiensi penggunaan belanja pendidikan terhadap setiap
sektor Output yang dihasilkan. Serta membandingkan hasil dari DEA
dengan melihat rasio APS, jumlah guru, jumlah sekolah, dan Nilai Hasil
Ujian Nasional untuk melihat Efektivitas. Peneliti juga menggunakan
metode komparatif. Hal ini dilakukan untuk membandingkan teori yang
ada dengan praktik yang ditemui dilapangan
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif dengan
analisis DEA. Metode ini digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis
bidang pendidikan pada pendidikan Islam di Indonesia tahun 2013 – 2015.
1. DEA (Data Envelopment Analysis).
DEA adalah sebuah metode optimasi program matematis yang
digunakan untuk mengukur efisiensi teknis suatu unit Decision Making
Units (DMUs) dan membandingkan secara relatif terhadap DMU lain.
122
(Charnes, et al., 1978: 429). Tidak jauh berbeda dengan pernyataan
sebelumnya, Jati (2016: 3) berpendapat bahwa DEA merupakan
sebuah pendekatan non parametrik untuk mengevaluasi performa dari
kumpulan entitas homogen atau DMU dimana terdapat banyak input
maupun output yang masing-masing memiliki bobot yang berbeda.
DMU yang dimaksud pada definisi diatas adalah unit kegiatan
ekonomi yang dianalisa dalam DEA, misalnya bank, kantor polisi,
kantor pajak, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain. Jadi, secara
sederhana DEA dapat didefinisikan sebagai sebuah metode yang
digunakan untuk mengukur efisiensi keputusan suatu unit kegiatan
yang bertugas mengubah sejumlah input menjadi output.
DEA pertama kali digunakan oleh Farrel pada tahun 1957 untuk
membandingkan efisiensi relatif dengan sampel petani secara cross
section yang terbatas pada satu input dan satu output menjadi multi
input dan multi output. DEA kemudian dipopulerkan oleh Charnes,
Cooper, dan Rhodes pada tahun 1978. Setelah selang waktu yang
cukup lama, DEA dikembangkan kembali oleh Bunker, Charness, dan
Cooper pada tahun 1994.
Metode DEA merupakan sebuah metode frontier non parametric
yang menggunakan model program linier untuk menghitung
perbandingan rasio output dan input untuk semua unit yang
dibandingkan dalam sebuah populasi. Tujuan dari metode DEA adalah
untuk mengukur tingkat efisiensi dari DMU (misal bank) relatif
123
terhadap bank yang sejenis ketika semua unit – unit ini berada pada
atau dibawah “kurva” efisien frontier-nya. Jadi metode ini digunakan
untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari beberapa objek
(benchmarking kinerja).
Metode DEA menghitung efisiensi teknis untuk seluruh unit. Skor
efisiensi untuk setiap unit adalah relatif, tertgantung pada tingkat
efisiensi dari unit – unit lainnya di dalam sampel. Setiap unit dalam
sampel dinggap memiliki tingkat efisiensi yang tidak negatif, dan
nilainya antara 0 dan 1 dengan ketentuan satu menunjukkan efisiensi
yang sempurna. Selanjutnya, unit – unit yang memiliki nilai satu ini
digunakan dalam membuat envelope untuk frontier efisiensi,
sedangkan unit lainnya yang ada di dalam envelope menunjukkan
tingkat inefisiensi.
Pendekatan DEA lebih menekankan kepada melakukan evaluasi
terhadap kinerja DMU. Analisis yang dilakukan berdasarkan kepada
evaluasi terhadap efisiensi relatif dari DMU yang sebanding.
Selanjutnya DMU – DMU yang efisien tersebut akan membentuk garis
frontier. Jika DMU berada pada garis frontier, maka DMU tersebut
dapat dikatakan efisien relatif dibandingkan dengan DMU yang lain
dalam peer group-nya. Selain menghasilkan nilai efisiensi masing –
masing DMU, DEA juga menunjukkan unit – unit yang menjadi
referensi bagi unit – unit yang tidak efisien.
124
Model dari DEA adalah Linear Programming. Linear
Programming adalah model matematika yang digunakan untuk
mengoptimalkan kegunaan suatu utilitas atau departemen dalam satu
organisasi dengan sumber yang terbatas.
Menurut Taha Hamdy A.(1997), Model Linear Programming
mempunyai tiga elemen dasar yaitu :
1. Decision Variable
2. Objective (goal)
3. Constraint
Selain variabel yang akan dimaksimalkan atau diminimalkan,
dalam variabel keputusan juga terdapat variabel slack dan surplus.
Variabel slack adalah variabel yang berfungsi untuk menampung
sisa kapasitas atau kapasitas yang tidak digunakan pada kendala
yang berupa pembatas. Vriabel slack pada setiap kendala aktif pasti
bersifat nol dan variabel slack pada setiap kendala tidak aktif pasti
bersifat tidak aktif. Variabel surplus adalah variabel yang berfungsi
untuk menampung kelebihan nilai ruas kiri pada kendala yang
berupa –syarat (Siswanto, 2007).
Data yang digunakan dalam DEA adalah vektor untuk
semua DMU yang dianalisa. Dengan menyelesaikan beberapa seri
optimasi program linier, DEA mampu mengidentifikasi DMU yang
efisien dan sisanya inefisien beserta titik efisien rujukannya. DEA
125
dikembangkan sebagai perluasan dari metode rasio teknik klasik
untuk efisiensi. DEA menentukan untuk tiap DMU rasio maksimal
dari jumlah output yang diberi bobot terhadap jumlah input yang
diberi bobot, dengan bobot yang ditentukan oleh model.
Dalam mengevaluasi dengan metode DEA, perlu diperhatikan :
1. Kebutuhan nilai input dan nilai output untuk masing – masing
DMU
2. DMU memiliki proses yang sama yang menggunakan jenis input
dan jenis output yang sama
3. Mendefinisikan nilai efisiensi relatif masing – masing DMU
melalui rasio antara penjumlahan bobot output dengan
penjumlahan bobot input
4. Nilai efisiensi berkisar antara 0 sampai 1
5. Nilai bobot yang diperoleh dari hasil pemrograman dapat
digunakan untuk memaksimumkan nilai efisieni relatif
Produktivitas dari setiap unit diukur dengan membandingkan input
dan output yang digunakan dengan sebuah titik yang terdapat pada
garis yang disebut dengan garis frontir efisien (efficient frontier).
Garis tersebut akan mengelilingi atau menutupi (envelop) data dari
organisasi yang bersangkutan. Garis frontir efisien ini diperoleh dari
unit yang full efficient. Beberapa unit yang berbeda pada garis ini
dianggap memiliki nilai produktivitas sama dengan satu (=1),
126
sedangkan unit yang berada di bawah garis frontir efisien memiliki
nilai produktivitas lebih dari satu (<1) dan merupakan unit yang in
efficient.
DEA memiliki fungsi untuk menggambar batas efisiensi mewakili
Output dan Input yang terbaik. Metode yang dipakai adalah dengan
membandingkan suatu organisasi dengan organisasi sejenis yang
maya. DEA merupakan model matematika yang relatif mudah dimana
berbagai paket perangkat lunak yang tersedia mampu mengukur
efisiensi secara relatif mudah. Pada non parametik yang dilakukan
adalah mengkonstruksikan sebuah production possibility set dari Input
dan Output unit-unit yang akan diobservasi. Production possibility set
ini dibuat sehingga berisikan semua kemungkinan hubungan Input-
Output secara prinsip, termasuk dari unit-unit yang dinilai. Dalam
menerapkan model pendekatan DEA, terdapat asumsi-asumsi yang
mendasarinya (Ramanathan, 2003 dalam Wulansari 2010) yaitu :
a. DMU harus merupakan unit-unit yang homogenis, yaitu memiliki
fungsi dan tujuan yang sama.
b. Jumlah ukuran DMU dari unit-unit yang dteliti besarnya 2 atau 3
kali penjumlahan Input dan Output
Menurut Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978) dalam Aristyasani
(2013) secara teknis ada dua tahap yang harus dilalui dalam model
matematis menggunakan analisis DEA. Pada dasarnya teknik analisis
127
DEA didesain khusus untuk mengukur efisiensi relatif suatu UKE
(Unit Kegiatan Ekonomi) dalam kondisi banyak input maupun output.
Kondisi tersebut biasanya sulit disiasati secara sempurna oleh teknik
analisis pengukuran efisiensi lainnya (Aam Rusydiana, 2013). Tahap
pertama, model DEA diformulasikan dari persamaan fraksional yang
dikenal Fractional Programming (FP) yang menggunakan unit input
dan output sebagai variabel keputusan. Kemudian tahap kedua,
persamaan (FP) akan diubah menjadi persamaan linear (LP) ekuivalen
melalui metode simpleks untuk menemukan solusi optimal untuk
fungsi tujuan. Efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan
berikut :
𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑍𝑘
∑ 𝑈𝑟𝑘𝑌𝑟𝑘𝑠𝑟=1
∑ 𝑉𝑖𝑘𝑋𝑖𝑘𝑚𝑖=1
Asumsi DEA, tidak ada yang memiliki efisiensi lebih dari 100 %
atau 1, maka formulasinya :
𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑍𝑘∑ 𝑈𝑟𝑘𝑌𝑟𝑘
𝑠𝑟=1
∑ 𝑉𝑖𝑘𝑋𝑖𝑘𝑚𝑖=1
≤ 1, 𝑘 = 1, 2, … 𝑛
Bobot yang dipilih tidak boleh bernilai negatif :
Urk ≥ 0 ; r = 1, ... s
Vik ≥ 0, i = 1 , .... m
Salah satu kendala dari pemecahan persamaan tersebut adalah
eprsamaan tersebut berbentuk fraksional sehingga sulit dipecahkan
dengan pemrograman linear. Namun demikian dengan melakukan
128
linearisasi, persamaan dapat diubah menjadi persamaan linear
sehingga pemecahan melalui pemrograman linear dapat dilakukan.
Dasar pengukuran efisiensi dengan DEA adalah program linier,
transformasi program linier yang kita sebut dengan DEA adalah
sebagai berikut :
Maksimumkan :
𝑚𝑎𝑥𝑖𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑍𝑘 ∑ 𝑈𝑟𝑘𝑠𝑟=1 𝑌𝑟𝑘
Dengan batasan atau kendala :
∑ 𝑈𝑟𝑘
𝑠
𝑟=1
𝑌𝑟𝑘 − ∑ 𝑉𝑖𝑘
𝑚
𝑖=1
𝑋𝑖𝑘 ≤ 0, 𝑘 = 1, 2, … 𝑛
∑ 𝑉𝑖𝑘𝑚𝑖=1 𝑋𝑖𝑘 = 1, 𝑑𝑎𝑛 𝑈𝑟𝑘 𝑑𝑎𝑛 𝑉𝑖𝑘 ≥ 0
Dimana :
Y rk : jumlah output r yang dihasilkan oleh Unit KE k
X ik : jumlah input i yang digunakan oleh UKE k
k : wilayah yang dinilai dalam analisis
s : jumlah output yang dihasilkan
m : jumlah input yang digunakan
U rk : bobot tertimbang dari output r yang dihasilkan tiap UKE k
Vik : bobot tertimbang dari input yang dihasilkan tiap UKE k
129
Zk : nilai optimalisasi sebagai indikator efisiensi relatif dari UKE k
Tujuan dari metode DEA adalah untuk mengukur tingakt
efisiensi dari DMU (misal bank) relatif terhadap bank yang sejenis
ketika semua unit-unit ini berada pada atau dibawah garis efisien
frontier-nya. Jadi metode ini digunakan untuk mengevaluasi efisiensi
relatif dari beberapa objek (benchmarking kinerja). Model DEA
menghitung efisiensi teknik untuk seluruh unit. Skor efisiensi untuk
setiap unit adalah relatif, tergantung pada tingkat efisiensi dari unit-
unit lainnya di dalam sampel. Setiap unit dalam sampel dianggap
memiliki tingkat efisiensi yang tidak negatif, dan nilainya diantara 0
dan 1 dengan ketentuan satu menunjukkan efisiensi sempurna.
Selanjutnya, unit-unit yang memiliki nilai satu ini digunakan dalam
membuat envelope untuk frontier efisiensi, sedangkan unit lainnya
menunjukkan tingkat inefisiensi. Dalam DEA, efisiensi relatif UKE
didefinisikan sebagai rasio dari total output tertimbang dibagi total
input tertimbangya (total weighted output/total weighted input).
Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weights) atau
timbangan untuk setiap input dan output UKE. Setiap UKE
diasumsikan bebas menentukan bobot untuk setiap variabel-variabel
input maupun output yang ada, asalkan mampu memenuhi dua kondisi
yang disyaratkan (Samsubar Saleh, 2000). Adapun kedua kondisi
130
yang disyaratkan yaitu, (Silkman, 1986; Nugroho, 1995 dalam Huri
M. D. dan Indah Susilowati, 2004):
a. Bobot tidak boleh negatif;
b. Bobot harus bersifat universal. Hal ini berarti setiap UKE
dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot
yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted
output/total weighted input) dan rasio tersebut tidak lebih dari
1 (total weighted output/total weighted input ≤ 1) (Harjum
Muharam dan Pusvitasari, 2007).
DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan
dievaluasi, input serta output unit tersebut. Selanjutnya, dihitung nilai
produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak
menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan output
secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat komparatif atau
relatif, karena hanya membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set
data yang sama. DEA adalah model analisis faktor produksi untuk
mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan ekonomi
(UKE) (Yanitra Ega Pamula, 2012:36). Skor efisiensi dari banyak
faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut:
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔
131
Pengukuran efisiensi yang menyangkut dan input dan output
dapat dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif
yang dibobot sebagaimana tertulis sebagai berikut :
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑗 = 𝑣1𝑦1𝑘 + 𝑣2𝑦2𝑘 + ⋯
𝑣1𝑥1𝑘 + 𝑣2𝑥2𝑘 + ⋯
Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki
keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk
input dan output. Keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan
konsep DEA, efisiensi tidak semata-matadiukur dari rasio output dan
input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output
dan input yang digunakan. DEA berasumsi bahwa setiap UKE akan
memilih bobot yang memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize
total weighted output/total weighted input). Karena setiap UKE
menggunakan kombinasi input yang berbeda untuk menghasilkan
kombinasi output yang berbeda pula, maka setiap UKE akan memilih
seperangkat bobot yang mencerminkan keragaman tersebut. Secara
umum UKE akan mendapatkan bobot yang tinggi untuk input yang
penggunaannya sedikit dan untuk output yang dapat diproduksi
dengan banyak. Bobot-bobot tersebut bukan merupakan nilai
ekonomis dari input dan outputnya, melainkan sebagai variabel
keputusan penentu untuk memaksimumkan efisiensi dari suatu UKE
(N. Yartiman, 2012:72-73 dalam Aristyasani).
132
DEA memiliki beberapa manajerial. Pertama, DEA
menghasilkan efisiensi untuk setiap UKE terlatif terhadap UKE yang
lain didalam sampel. Angka efisiensi ini memungkinkan seseorang
mengenali UKE yang paling membutuhkan perhatian dan
merencanakan tindakan bagi UKE yang tidak/kurang efisien. Kedua,
jika UKE kurang efisien (efisiensi <100%), maka DEA menunjukkan
sejumlah UKE yang memiliki efisiensi sempurna dan seperangkat
angka pengganda yangdapat digunakan oleh manajer untuk menyusun
strategi perbaikan. Informasi tersebut memungkinkan seorang analisis
membuat UKE hipotesis yang menggunakan input yang lebih sedikit
dan menghasilkan output yang paling tidak sama atau lebih banyak
dibanding UKE yang tidak efisien, sehingga UKE hipotesis tersebut
akan memliki efisiensi yang sempurna jika menggunakan bobot input
atau bobot output dari UKE yang tidak efisien. Pendekatan tersebut
memberi arah strategis manajer untuk meningkatkan efisiensi suatu
UKE yang tidak efisien melalui pengenalan terhadap input yang
terlalu banyak digunakan serta output yang produksinya terlalu
rendah. Sehingga seorang manajer tidak hanya mengetahui seberapa
besar tingkat input dan ouput yang harus disesuaikan agar dapat
memiliki efisiensi yang tinggi. Ketiga, DEA menyediakan matriks
efisiensi silang. Efisiensi silang UKE A terhadap UKE B merupakan
rasio dari ouput tertimbang dibagi input tertimbang yang dihitung
dengan menggunakan tingkat input dan output UKE A dan bobot
133
input dan output UKE B. Analisis efisiensi silang dapatmembantu
seorang manajer untuk mengenali UKE yang efisien tetapi
menggunakan kombinasi input dan menghasilkan kombinasi output
yang sangat berbeda dengan UKE yang lain. UKE tersebut sering
disebut sebagai Maverick (menyimpang atau unik) (Yartiman, 2012).
Unit Pengambilan Keputusan (DMU)
Decision making unit merupakan satu atau sekumpulan
perusahaan atau organisasi yang terlibat dalam membuat dan
bertanggung jawab dalam sebuah keputusan penting pada berbagai
tujuan dan resiko dalam melakukan kegiatan yang sama. Terutama
keputusan tentang melaksanakan sesuatu.Dalam melakukan
penelitian, fokus biasanya terletak pada jumlah fase keputusan dan
waktu.namun perlu juga berfokus pada kegiatan rutin seperti
memanfaatkan pengambilan keputusan pada organisasi. Dalam
melakukan Pemilihan DMU terdapat beberapa kriteria yang harus
sama, seperti ukuran perusahaan / organisasi dan keterampilan
kepribadian dan anggota staf, jenis produk / jasa yang dibutuhkan ,
jenis organisasi, tahapan proses kegiatan yang berbeda, durasi
hubungan antara organisasi dan kegiatan yang dilakukan. Dalam
analisis DEA efisiensi dari DMU ditentukan dengan menggunakan
rasio jumlah berat variabel Output ke jumlah tertimbang dari variabel
Input.
134
Model DEA yang sering digunakan yaitu :
a. Model – model pada DEA
1) Model Charles, Cooper, dan Rhodes (CCR)
Model ini merupakan model DEA yang paling dasar.
Model ini menggunakan asumsi Constant Return to Scale (CRS).
Secara sederhananya, model ini berasumsi bahwa setiap
penambahan sebuah input maka akan menghasilkan penambahan
sebuah output. Asumsi lain yang juga digunakan pada model ini
adalah tiap DMU beroperasi dengan optimal. Model ini terdiri dari
fungsi tujuan yang berupa maksimisasi output dari unit yang akan
diukur produktivitas relatifnya serta selisih dari output dan input
dari semua unit yang akan diukur produktifitas relatifnya. (Coelli et
al, 1996: 9)
Model matematis CRS dengan menggunakan program non-
linear biasanya dirumuskan dengan notasi berikut:
Objective function :
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 = ∑ 𝑈𝑟𝑌𝑟𝑜
𝑠𝑟=1
∑ 𝑉𝑖𝑋𝑖0𝑚𝑖=1
≤ 1
135
Subject to :
= ∑ 𝑍𝑗𝑈𝑟 𝑌𝑟𝑗
𝑠𝑟=1
∑ 𝑉𝑟𝑗𝑚𝑖=1
≤ 1 ∶ 𝑗 = 1, 2, … 𝑛
Dimana :
j = DMU, j = 1 ..., n
i = Input, i = 1...., n
r = Output, r = 1..., n
Data
yrj = nilai output ke – r dari DMU ke j
xij = nilai input ke – i dari DMU ke j
Variabel
zk = efisiensi relatif DMU j
ur = bobot untuk output r
vi = bobot untuk input i
(Charnes, et al. 1978 : 430)
Terdapat 2 pendekatan dalam model CRS, yaitu :
Orientasi input
Objective function
min Ɵ
subject to
∑ 𝜆𝑗 𝑌𝑟𝑘
𝑛
𝑗=1− 𝑌𝑟𝑘 ≥ 0 ∶ 𝑟 = 1, 2 … 𝑠
136
𝜃𝑋𝑖𝑘 − ∑ 𝜆1 𝑋𝑖𝑗
𝑛
𝑗=1≥ 0 ∶ 𝑖 = 1, 2 … 𝑚
𝜆 ≥ 0 ; ( 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝐷𝑀𝑈, 𝑗 𝜖 1, 2, … 𝑛
Orientasi Output
Objective function
max Ɵ
subject to
∑ 𝜆𝑗𝑌𝑟𝑗 − 𝜃 𝑌𝑟𝑘 ≥ 0 ∶ 𝑟 = 1, 2, … 𝑠𝑛
𝑗=1
𝑋𝑖𝑘 − ∑ 𝜆𝑗𝑋𝑖𝑗 ≥ 0 ∶ 𝑖 = 1, 2, … 𝑚𝑛
𝑗=1
𝜆𝑗 ≥ 0
(Coeli et al, . 1996 : 9)
2) Model Banker, Charnes, dan Chopper (BCC)
Model BCC merupakan model yang telah dikembangkan
dari model sebelumnya, model CCR. Model ini tepat digunakan
dengan asumsi bahwa perbandingan terhadap input maupun output
suatu unit kegiatan akan mempengaruhi produktivitas yang
mungkin dicapai. Asumsi yang dimaksud disebut dengan Variable
Return to Scale (VRS). Maka, tentu berbeda dengan model
137
sebelumnya, pada DEA dengan asumsi VRS penambahan input
sebesar satu dapat menghasilkan output lebih dari, kurang dari,
atau sama dengan satu. Model BCC digunakan karena terdapatnya
keterbatasan, kompetisi yang tidak sempurna, dan keadaan lain-lain
yang tidak memungkinkan suatu unit kegiatan beroperasi secara
optimal. (Choelli, 1996: 17)
Mengingat model ini merupakan model pengembangan
DEA CRS, maka formula yang berlaku dalam model ini juga
relatif lebih mudah, yakni dengan menambah fungsi konektivitas
pada model CRS.
∑ 𝜆𝑗 = 1
𝑛
𝑗=1
Sehingga modelnya menjadi :
DEA VRS input oriented
objective function:
min Ɵ
subject to :
∑ 𝜆𝑗
𝑛
𝑗=1
𝑌𝑟𝑗 − 𝑌𝑟𝑘 ≥ 0 ; 𝑟 = 1, 2 . . 𝑠
138
Ɵ𝑋𝑖𝑘 − ∑ 𝜆𝑗𝑋𝑖𝑗 ≥ 0 ; 𝑖 = 1,2 . . 𝑚
𝑛
𝑗=1
∑ λj = 1
𝑛
𝑗=1
𝜆𝑗 ≥ 0 ; j € 1,2, ... n
DEA VRS output oriented
Objective function :
max Ɵ
subject to :
∑ 𝜆𝑗
𝑛
𝑗=1
𝑌𝑟𝑗 − Ɵ𝑌𝑟𝑘 ≥ 0 ; 𝑟 = 1, 2 . . 𝑠
Ɵ𝑋𝑖𝑘 − ∑ 𝜆𝑗𝑋𝑖𝑗 ≥ 0 ; 𝑖 = 1,2 . . 𝑚
𝑛
𝑗=1
∑ λj = 1
𝑛
𝑗=1
𝜆𝑗 ≥ 0 ; j € 1,2, ... n
139
DEA memiliki asumsi bahwa setiap DMU akan memilih
bobot yang memaksimalkan rasio efisiensinya. Karena setiap DMU
mempergunakan kombinasi input yang berbeda untuk
menghasilkan kombinasi output yang mencerminkan keragaman
tersebut, dan bobot – bobot tersebut bukan merupakan nilai
ekonomis dari input atau output melainkan penentu untuk
memaksimalkan efisiensi dari suatu DMU.
Selain dari model CRS dan VRS terdapat beberapa
penelitian yang telah mengembangkan perhitungan Technical
Efficiency (TE), yaitu dengan mencari hubungan antara antara
kedua model tersebut. Jika terdapat selisih antara skor TE dari hasil
perhitungan CRS dan VRS pada data yang sama maka hal tersebut
mengindikasikan bahwa DMU memiliki skala efisiensi. Nilai skala
efisiensi dapat diperoleh dengan rumus berikut :
Skala efisiensi =𝑇𝐸𝑐𝑟𝑠
𝑇𝐸𝑣𝑟𝑠
Perbedaan CRS, VRS, dan SE dapat dilihat melalui grafik berikut,
Gambar 3.1 Grafik Efisiensi CRS dan VRS
140
Sumber : Choelli, 1996 : 19
Garis OZ menunjukkan CRS, hal ini menggambarkan
kondisi unit kegiatan yang berjalan konstan optimal. Garis
melengkung merupakan VRS yang merupakan TE unit kegiatan
yang kinerjanya berbeda-beda. Titik D merupakan contoh unit
kegiatan yang belum efisien. Sedangkan titik E merupakan sebuah
unit kegiatan yang sudah efisien secara teknis namun belum
mencapai skala optimal. Perusahaan yang berada pada titik D dan
E harus meningkatkan skalanya hingga mencapai titik B, yakni
overall efficient. (Coelli et al., 1996: 19)
Maka dalam metode DEA, efisiensi relatif unit kegiatan
didefinisikan sebagai rasio dari total output tertimbang dibagi
dengan total input tertimbang. Saat mengevaluasi efisiensi unit
kegiatan menggunakan metode DEA, rasionya tidak akan lebih dari
1, yang berarti 1 adalah keadaan dimana suatu unit kegiatan telah
mencapai kondisi efisien.Garis OZ menunjukkan CRS, hal ini
141
menggambarkan kondisi unit kegiatan yang berjalan konstan
optimal. Garis melengkung merupakan VRS yang merupakan TE
unit kegiatan yang kinerjanya berbeda-beda. Titik D merupakan
contoh unit kegiatan yang belum efisien. Sedangkan titik E
merupakan sebuah unit kegiatan yang sudah efisien secara teknis
namun belum mencapai skala optimal. Perusahaan yang berada
pada titik D dan E harus meningkatkan skalanya hingga mencapai
titik B, yakni overall efficient. (Coelli et al., 1996: 19)
Maka dalam metode DEA, efisiensi relatif unit kegiatan
didefinisikan sebagai rasio dari total output tertimbang dibagi
dengan total input tertimbang. Saat mengevaluasi efisiensi unit
kegiatan menggunakan metode DEA, rasionya tidak akan lebih dari
1, yang berarti 1 adalah keadaan dimana suatu unit kegiatan telah
mencapai kondisi efisien.
Dalam penelitian ini, digunakan Data Envelopment
Analysis (DEA) dengan Variable Return to Scale (VRS) untuk
menghitung nilai (skor) efisiensi. Pilihan VRS dibandingkan
Constan Return to Scale (CRS) dengan pertimbangan bahwa tidak
semua unit pengambilan keputusan (DMU) beroperasi pada skala
optimal dan dikarenakan tidak ada kompetisi. Selain itu dalam
penyelenggaraan pelayanan pendidikan penambahan proporsi input
belum tentu dapat meningkatkan output dengan proporsi nilai yang
sama. Karena hasil (outcome) juga ditentukan kualitas pengajar,
142
kondisi lingkungan belajar, faktor endogen dari murid didik dan
lain – lain.
Dengan mempertimbangkan pentingnya pendidikan sebagai
suatu investasi Sumber Daya Manusia (SDM) namun dengan
keterbatasan alokasi dana dari Pemerintah (Pusat atau daerah),
maka pencapaian hasil (outcome) pendidikan yang baik
(maksimum) dengan biaya minimum menjadi faktor kunci.
Sehingga dalam penelitian ini selain asumsi VRS, digunakan dua
pendekatan untuk mengukur efisiensi; pendekatan input oriented
(minimisasi input) dan pendekatan output oriented. Estimasi untuk
memaksimumkan output digunakan pada tahap efisiensi teknis
sistem (intermediate output output). Sedangkan pada efisiensi
teknis biaya dengan penggunaan indikator intermediate output
yang bersifat rasio batasan yang bersifat relatif (dalam hal ini rasio
guru / murid, bila angka terlalu kecil menghasilkan output yang
kurang baik, tetapi angka terlalu besar juga mengindikasikan
adanya pemborosan), maka pada tahap efisiensi teknis biaya
digunakanlah orientasi dengan minimasi output.
b. Kelebihan dan Kekurangan DEA
Secara umum, DEA memiliki banyak kelebihan ketika
dibandingkan dengan metode lain yang digunakan untuk mengukur
efisiensi, seperti halnya analisis rasio dan regresi umum. Kelebihan
DEA menurut Ikhwan (2004: 35) mampu mengukur efisiensi
143
relatif suatu unit kegiatan yang menggunakan input dan output
lebih dari satu, dimana penggabungan beberapa output tidak perlu
dilakukan. Kelebihan lainnya adalah, penelitian dapat dilakukan
dengan menggunakan variabel yang memiliki satuan ukuran yang
berbeda.
Namun, tidak dapat dipungkiri metode ini juga memiliki
kelemahan. Menurut Roni (2012: 42), kekurangan dari DEA
adalah:
1) DEA mensyaratkan semua input dan output dapat diukur.
2) DEA mengasumsikan bahwa setiap input dan output identik
dengan unit lain dalam tipe yang sama, yang dapat mengakibatkan
hasil yang bias.
3) DEA CRS menyatakan bahwa perubahan pada semua tingkat
input akan menghasilkan ouput pada tingkat yang sama, pada
kenyataannya hal demikian jarang terjadi.
Bobot input dan output yang dihasilkan dalam DEA tidak
dapat diinterpretasikan dalam nilai ekonomi meskipun koefisien
memiliki formula matematis yang sama.
2. Pengukuran Orientasi Efisiensi
Dalam pengukuran efisiensi dengan menggunakan pendekatan
frontier sudah digunakan selama 40 tahun lebih (Coelli, 1996). Metode
utama yang menggunakan linier programming dan metode
ekonomterika adalah: 1) Data Envelopment Analysis; dan 2) Stokastic
144
Frontier. Pengukuran efisiensi modern ini pertama kali dirintis oleh
Farrell (1957), bekerja sama dengan Debreu dan Koopmans, dengan
mendefinisikan suatu ukuran yang sederhana untuk mengukur efisiensi
suatu perusahaan yang dapat memperhitungkan input yang banyak.
Efisiensi yang dimaksudkan oleh Farrell terdiri dari efisiensi teknis
(technical efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari suatu
perusahaan untuk memaksimalkan output dengan input tertentu, dan
efisiensi alokatif (allocative efficiency) yang merefleksikan
kemampuan dari suatu perusahaan yang memanfaatkan input secara
optimal dengan tingkat harga yang telah ditetapkan. Kedua ukuran
efisiensi ini kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan efisiensi
ekonomis (total). Aam Rusydiana (2013:16) menganalisis efisiensi
dengan pendekatan DEA diklasifikasikan menjadi dua model orientasi,
antara lain:
a. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measurement)
Pengukuran berorientasi input menunjukkan sejumlah input dapat
dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang
dihasilkan. Perspektif dalam melihat efisiensi pada orientasi ini yaitu
sebagai pengurangan penggunakan input meski memproduksi output
dalam jumlah yang tetap. Orientasi input dapat berasumsi Constant
Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS).
b. Pengukuran Berorientasi Ouput (Output-Oriented Measurement)
145
Pengukuran orientasi output mengukur bilamana sejumlah output
dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input
yg digunakan. Perspektif dalam melihat efisiensi pada orientasi ini
yaitu sebagai peningkatan output secara proporsional dengan
menggunakan tingkat input yang sama. Orientasi output juga dapat
berasumsi Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to
Scale (VRS).
Perbedaan antara orientasi input dan output model DEA hanya
terletak pada ukuran yang digunakan dalam menentukan efisiensi
(yaitu itu dari sisi input dan output), namun semua model (apapun
orientasinya), akan mengestimasi frontier yang sama (Yuli
Indrawati,2009).
Dalam penelitian ini, pengukuran efisiensi yang digunakan
menggunakan Orientasi Input (Input-Oriented Measurement) untuk
mengukur kinerja efisiensi teknis biaya. Anggaran Pemerintah Sektor
Pendidikan sebagai input yang dibandingkan dengan Rasio Guru per
Murid, Rasio Kelas per Murid, dan Angka Partisipasi Murni (APM)
sebagai Output intermediate yang bersifat rasio batasan yang bersifat
relatif, dalam hal ini rasio guru per murid dimana bila angka terlalu
kecil akan menghasilkan output yang kurang baik,tetapi bila angka
terlalu tinggi juga mengindikasikan adanya pemborosan, maka
menggunakan orientasi minimasi input. Orientasi Output (Output-
Oriented Measures) akan digunakan dalam mengukur efisiensi teknis
146
sistem yaitu membandingkan antara Rasio Guru per Murid, Rasio
Kelas per Murid, dan Angka Partisipasi Murni (APM) sebagai Output
intermediate dengan Angka Partisipasi Siswa dan Nilai Hasil Ujian
Nasional.
3. Konsep Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to
Scale (VRS)
a. Constant Return to Scale (CRS)
Model CCR yang merupakan model dasar DEA menggunakan
asumsi constant return to scale yang membawa implikasi pada bentuk
efficient set yang linier. Model ini dikembangkan oleh Charner,
Cooper dan Rhodes (CCR) pada tahun 1978. Model ini
mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input sebesar x kali,
maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi lain yang
digunakan dalam model ini adalah bahwa setiap perusahaan atau unit
pembuat keputusan (UPK) beroperasi pada skala yang optimal. Nilai
efisiensi selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai
efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilai
efisiensinya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
b. Variable Return to Scale (VRS)
Model ini dikembangkan oleh BBC (Banker, Charnes dan Cooper)
pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model CCR.
Model ini beranggapan bahwa perusahan atau suatu kinerja keuangan
147
atau fasilitas dan layanan tidak atau belum beroperasi pada skala yang
optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan
input dan output tidak sama (variable return to scale). Artinya,
penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output
meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali.
Nilai dari efisiensi tersebut selalu kurang atau sama dengan 1. UPK
yang nilaiefisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UPK
yang nilainya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien. Dalam
penelitian ini, menggunakan metode DEA yang bertujuan untuk
mengukur efisiensi teknis relatif. Dalam penggunaan DEA pada sektor
pendidikan, asumsi yang digunakan adalah variable return to scale.
Alasan mengapa tidak menggunakan constant return to scale, yaitu
karena dalam sektor pendidikan penambahan proporsi input belum
tentu dapat meningkatkan proporsi output dengan nilai yang sama.
Karena hasil ditentukan pula dengan kualitas pengajar, kondisi
lingkungan belajar, faktor endogen dari siswa didik itu sendiri. Selain
itu, pendidikan merupakan investasi yang sangat penting untuk
perkembangan sumber daya manusia dan kualitas hidupnya di masa
yang akan datang, maka dibutuhkan pencapaian hasil yang baik.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka estimasi untuk
memaksimumkan output digunakan pada tahap efisiensi teknis sistem.
Sedangkan pada efisiensi teknis biaya, dengan penggunaan indikator
intermediate output yang bersifat rasio batasan yang bersifat relatif
148
(dalam hal ini rasio guru per murid, bila angka terlalu kecil akan
menghasilkan output yang kurang baik, tetapi angka yang terlalu besar
juga mengindikasikan adanya pemborosan), maka tahan efisiensi
teknis biaya menggunakan orientasi minimasi input.
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Analisis dengan DEA didesain secara spesifik untuk mengukur
efisiensi relatif suatu unit produksi dalam kondisi banyak input maupun
banyak output dengan satuan yang berbeda – beda yang sulit disiasati
secara sempurna oleh teknik analisis pengukuran efisiensi lainnya
(Hastarini 2002 dalam Adhisty 2009). Adapun variabel yang digunakan
untuk analisis lokasi dengan melihat efisiensi adalah dengan menggunakan
variabel input dan output. Penelitian ini menggunakan 2 analisis efisiensi,
yaitu efisiensi teknis biaya dan teknis sistem dengan 3 variabel, yaitu
variabel input, intermediate output dan output. Variabel yang digunakan
menjadi objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian. Berikut penjelasan menurut jenis dan rincian variabel yang
digunakan.
1. Variabel Input
Dalam penelitian ini, peneliti memerlukan variabel Input sebagai
objek yang dilihat efisiensinya, yaitu berupa besaran rincian belanja
pendidikan di 33 Provinsi penelitian di Indonesia. Peneliti memisahkan
variabel Input sesuai dengan indikator dari kebutuhan peneliti.
Indikator yang digunakan pada variabel Input adalah :
149
a. Belanja Pendidikan di 33 Provinsi yang diteliti di Indonesia pada
tahun 2013 – 2015 dengan ukuran hitung total belanja pendidikan
dalam bentuk rupiah. Variabel ini digunakan pada semua jenjang
pendidikan dalam penelitian ini.
2. Variabel Intermediate Output
a. Rasio guru per murid (RGM)
Pada umumnya, data yang biasa di gunakan adalah data
murid/guru. Namun dalam aplikasi penelitian ini, variabel yang
digunakan adalah rasio guru/murid. Dalam penelitian Blane lewis
dan Daan Pattinasarany (2008), yang menyatakan bahwa salah satu
cara untuk mengestimasi produksi yang efisien adalah dengan
DEA, dimana adanya asumsi bahwa deviasi dari “efficient frontier”
merupakan realisasi dari inefisiensi sekolah. Penggunaan variabel
ini dimaksudkan untuk menghindari resiko bias dalam pembacaan
hasil analisis. Dikatakan bias yang disebabkan jika menggunakan
data mentah rasio murid/guru sebagai satu indikator dapat di
jelaskan sebagai berikut : misalkan dalam orientasi minimasi input,
output yang dicapai dengan indikator angka actual rasio
murid/guru adalah 20 dan untuk mencapai tingkat efisiensi
sempurna suatu daerah harus mencapai target 25 rasio murid/guru,
padahal rasio murid/guru yang semakin tinggi berarti jumlah guru
yang semakin sedikit. Namun dengan penggunaan guru/murid
150
maka bias tersebut bisa diatasi. Misalkan dalam orientasi minimasi
input, output yang dicapai dengan indikator angka actual rasio
murid/guru adalah 20 dan untuk mencapai tingkat efisiensi
sempurna suatu daerah harus mencapai target 25 rasio murid/guru,
dalam penggunaan rasio guru/murid angka yang semakin tinggi
menunjukkan pemakaian jumlah guru yang semakin banyak. Pada
orientasi minimasi input, dengan input yang sedikit seharusnya
suatu daerah dapat menggunkan guru yang lebih banyak dengan
dana yang ada.
Perbandingan rata-rata RMG untuk negara-negara kawasan
Asia/Pasifik sekitar 31:1 untuk pendidikan dasar dan 25:1 untuk
pendidikan Sekolah Menengah Pertama, sedangkan untuk standar
Amerika dan beberapa negara Eropa rasio murid/guru adalah 40:1
untuk pendidikan dasar dan 28:1 untuk pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (World bank, 2006). Rasio guru per murid
(RGM) adalah, perbandingan antara jumlah guru dengan jumlah
murid pada jenjang pendidikan tertentu. Dalam penggunaan DEA
sebagai alat analisis, hanya dapat menggunakan 2 angka di
belakang koma, untuk mengakomodir hal tersebut, maka pada
penelitian ini mengalikan hasil rasio guru/murid dengan angka
1000, adapun formula yang digunakan pada penelitian ini adalah :
𝑔𝑢𝑟𝑢
𝑚𝑢𝑟𝑖𝑑𝑥 1000
151
b. Rasio kelas per murid (RKM)
Rasio kelas per murid (RKM) adalah perbandingan antara
jumlah kelas dengan jumlah murid pada setiap jenjang pendidikan
tertentu. Pada umumnya, data yang biasa digunakan adalah data
murid/kelas. Namun dalam aplikasi penelitian ini, variabel yang
digunakan adalah indkes kelas/murid. Penggunaan variabel ini
dimaksudkan untuk menghindari resiko bias dalam pembacaan
hasil analisis. Dikatakan bias yang disebabkan jika menggunakan
data mentah rasio murid/guru sebagai satu indikator dapat di
jelaskan sebagai berikut : misalkan dalam orientasi minimasi input,
output yang dicapai dengan indikator angka actual rasio
murid/kelas adalah 20 dan untuk mencapai tingkat efisiensi
sempurna suatu daerah harus mencapai target 25 murid/kelas,
padahal rasio murid/kelas yang semakin tinggi berarti jumlah kelas
yang semakin sedikit atau kapasitas kelas yang lebih banyak.
Namun dengan penggunaan rasio kelas/murid maka bias tersebut
dapat diatasi. Misalkan dalam orientasi minimasi input, output
yang dicapai dengan indikator angka actual rasio kelas/murid
adalah 20 dan untuk mencapai tingkat efisiensi sempurna suatu
daerah harus mencapai target 25 rasio kelas/murid, dalam
penggunaan rasio kelas/murid angka yang semakin tinggi
menunjukkan pemakaian jumlah kelas yang semakin banyak atau
152
kapasitas yang semakin kecil. Pada orientasi minimasi input,
dengan input yang sedikit seharusnya suatu daerah dapat
menggunkan kelas yang lebih banyak untuk menampung murid
dengan dana yang ada.
Dalam penggunaan DEA sebagai alat analisis, hanya dapat
menggunakan dua angka di belakang koma, untuk mengakomodir
hal tersebut, maka pada penelitian ini mengalikan hasil rasio
guru/murid dengan angka 1000, adapun formula yang digunakan
pada penelitian ini adalah :
𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠
𝑚𝑢𝑟𝑖𝑑𝑥 1000
c. Angka partisipasi murni Madrasah Ibtidaiyah (APM MI)
Angka partisipasi murni sekolah dasar adalah perbandingan
antara jumlah murid jenjang sekolah dasar pada usia 7-12 tahun
dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sudah dinyatakan
dalam persentase. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan
jenjang pendidikan sekolah dasar adalah Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI). Hasil angka ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya persentase murid yang bersekolah SD dan
153
MI. Angka partisipasi murni jenjang Madrasah Ibtidaiyah dihitung
dengan formula sebagai berikut :
jumlah murid MI (usia 7 − 12 tahun)
jumlah penduduk usia MI (kelompok usia 7 − 12 tahun) 𝑥 100 %
d. Angka partisipasi murni Madrasah Tsanawiyah (APM MTs)
Angka partisipasi murni Sekolah Menengah Pertama dan MTs
adalah perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan
sekolah menengah pertama pada usia 13-15 tahun dengan penduduk
kelompok usia sekolah yang sudah dinyatakan dalam persentase.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan jenjang pendidikan
sekolah menengah pertama adalah Sekolah Menengah Pertama dan
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Hasil angka ini digunakan untuk
mengetahui banyaknya persentase murid yang bersekolah SMP dan
MTs . Angka partisipasi murni Madrasah Tsanawiyah dihitung dengan
formula sebagai berikut :
jumlah murid MTS (usia 13 − 15 tahun)
jumlah penduduk usia MTS (kelompok usia 13 − 15 tahun) 𝑥 100 %
e. Angka partisipasi murni Madrasah Aliyah (APM MA)
154
Angka partisipasi murni (SM APM) Sekolah Menengah
Atas/Kejuruan/MA adalah perbandingan antara jumlah murid jenjang
pendidikan sekolah menengah atas dengan penduduk kelompok usia
sekolah yang sudah dinyatakan dalam persentase. Dalam penelitian ini,
yang dimaksud dengan jenjang pendidikan sekolah menengah atas
adalah Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan
Madrasah Aliyah (MA). Hasil angka ini digunakan untuk mengetahui
banyaknya persentase murid yang bersekolah SMA /SMK/MA. Angka
partisipasi murni Madrasah Aliyah dihitung dengan formula sebagai
berikut :
jumlah murid MA (usia 16 − 18 tahun)
jumlah penduduk usia MA (kelompok usia 16 − 18 tahun) 𝑥 100%
Semua indikator pada variabel intermediate output digunakan pada semua
jenjang pendidikan dalam penelitian ini.
3. Variabel Output
` Variabel Output merupakan variabel yang berfungsi untuk
melihatefisiensi dari variabel Input. Penentuan variabel Output ini
memiliki keterkaitan dengan variabel Input karena Output ini berasal dari
Input yang tersedia. sehingga dapat melihat keluaran yang diperlukan oleh
peneliti.
Indikator yang diperlukan peneliti adalah:
155
a. Jumlah Madrasah Ibtidaiyah yang terdaftar menjadi alat ukur
penggunaan belanja pendidikan dialokasikan untuk penyediaan fasilitas
berupa sekolah. Ukuran hitung berupa total Madrasah Ibtidaiyah pada
tahun 2013 - 2015.
b. Jumlah Madrasah Tsanawiyah yang terdaftar menjadi alat ukur
penggunaan belanja pendidikan dialokasikan untuk penyediaan fasilitas
berupa sekolah.. Ukuran hitung berupa total Madrasah Tsanawiyah pada
tahun 2013 - 2015.
c. Jumlah Madrasah Aliyah yang terdaftar menjadi alat ukur penggunaan
belanja pendidikan dialokasikan untuk penyediaan fasilitas berupa
sekolah.. Ukuran hitung berupa total Madrasah Aliyah pada tahun 2013 -
2015.
d. Jumlah guru pengajar menjadi ukuran Output di madrasah ibtidaiyah di
tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran hitung berupa jumlah
total pengajar di setiap daerah pada tahun 2013 - 2015.
e. Jumlah guru pengajar menjadi ukuran Output di madrasah ibtidaiyah di
tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran hitung berupa jumlah
total pengajar di setiap daerah pada tahun 2013 - 2015.
f. Jumlah guru pengajar menjadi ukuran Output di madrasah aliyah di tiap
tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran hitung berupa jumlah
total pengajar di setiap daerah pada tahun 2013 - 2015.
156
4. Variabel Outcomes
Variabel Outcomes merupakan variabel yang berfungsi untuk
melihat efisiensi dari variabel Output. Penentuan variabel Outcomes ini
memiliki keterkaitan dengan variabel Output sehingga dapat melihat hasil
yang diperlukan oleh peneliti. Indikator yang diperlukan peneliti adalah:
a. Angka Partisipasi MI menjadi ukuran Outcomes pada penelitian belanja
pendidikan di tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran hitung
berupa jumlah total murid di tingkat dasar pada tahun 2013 - 2015
dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun.
b.Angka Partisipasi MTs menjadi ukuran Outcomes pada penelitian
belanja pendidikan di tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran
hitung berupa jumlah total murid di tingkat menengah pertama pada tahun
2013 - 2015 dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 13–15 tahun.
c. Angka Partisipasi MA menjadi ukuran Outcomes pada penelitian
belanja pendidikan di tiap propinsi di seluruh Indonesia dengan ukuran
hitung berupa jumlah total murid di tingkat menengah atas pada tahun
2013 – 2015 dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 16–19 tahun.
157
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Pendanaan Pendidikan Islam di Indonesia
Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan, bahkan setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan untuk itu pemerintah bertanggung
jawab membiayainya. Hal ini diperkuat dengan adanya UU No.20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang
berisi pasal – pasal yang diantaranya membahas pengaturan hak dan
kewajiban pemerintah di sektor pendidikan. Misalnya dalam pasal 49
ditegaskan bahwa angka minimal 20 persen tersebut tidak termasuk
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kerangka pendanaan
Pendidikan Islam meliputi sumber pendanaan, peningkatan pendanaan,
dan efektifitas pendanaan/ Pendanaan Pendidikan Islam menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daeran dan
masyarakat. Peningkatan pendanaan Pendidikan Islam dilakukan
melalui peningkatan proporsi anggaran secara signifikan sehingga
mencapai 25,12 persen dari APBN pada tahun 2019. Peningkatan
pendanaan pendidikan Islam juga menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat. Guna
meningkatkan efektifitas pendanaan Pendidikan Islam maka perlu
adanya upaya konkrit guna mengefektifkan peran dan kewenangan
158
Pusat – Daerah, menjamin sinergitas pelaksanaan Pendidikan Islam
Pusat – Daerah dan pengelolaan DAK yang lebih tepat sasaran, serta
mengupayakan kontribusi bantuan lembaga lainnya yang dikemas
dalam skema kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) yang tepat.
Berdasarkan data dari Dirjen Pendis (Pendidikan Islam) Kemenag
RI, biaya operasional pendidikan dari tahun 2013 – 2015 tidak
mengalami perubahan fluktuasi yang berarti, hanya saja terdapat
wilayah yang memiliki alokasi biaya yang lebih jauh lebih rendah
dibanding wilayah lainnya, hal ini memang berkaitan dengan jumlah
penduduk, jumlah usia sekolah, selain itu karena jumlah sekolah yang
masih sedikir dibanding wilayah lainnya.
159
Tabel 4.1 Jumlah Rata – rata Alokasi Biaya Pendidikan Islam
seluruh Provinsi se Indonesia
Provinsi Rata – rata
Aceh Rp. 1.952.838.858.500
Sumatera Utara Rp. 1.636.815.619.500
Sumater Barat Rp. 915.606.369.000
Riau Rp. 811.322.537.500
Jambi Rp. 722.871.609.000
Sumatera Selatan Rp. 904.751.149.000
Bengkulu Rp. 439.824.906.000
Lampung Rp. 1.109.016.172.000
Kep. Bangka Belitung Rp. 162.863.946.000
Kep. Riau Rp. 152.957.830.500
DKI Jakarta Rp. 1.260.861.958.000
Jawa Barat Rp. 5.291.283.902.000
Jawa Tengah Rp. 4.926.352.233.000
DI Yogyakarta Rp. 698.632.971.500
Jawa Timur Rp. 6.807.927.100.500
Banten Rp. 1.455.043.742.500
Bali Rp. 186.546.855.000
Nusa Tenggara Barat Rp. 1.152.284.888.000
Nusa Tenggara Timur Rp. 247.191.340.500
Kalimantan Barat Rp. 569.572.531.500
Kalimantan Tengah Rp. 448.407.869.500
Kalimantan Selatan Rp. 1.060.552.621.000
Kalimantan Timur Rp. 403.864.807.500
Sulawesi Utara Rp. 206.774.961.000
Sulawesi Tengah Rp. 484.571.389.500
Sulawesi Selatan Rp. 1.412.800.200.000
Sulawesi Tenggara Rp. 432.573.191.500
Gorontalo Rp. 268.574.300.000
Sulawesi Barat Rp. 261.788.762.000
Maluku Rp. 279.418.602.500
Maluku Utara Rp. 257.312.375.000
Papua Rp. 97.780.075.000
Papua Barat Rp. 114.553.588.500
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI
Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 3 tahun
dari tahun 2013 hingga 2015 alokasi biaya pendidikan Islam rata – rata
160
terbesar ada di Jawa Timur dengan nilai sebesar Rp. 6,807 Triliun. Di
sisi lain, pencapaian alokasi biaya pendidikan Islam Papua merupakan
yang terendah. Besar kecil alokasi biaya pendidikan yang diberikan
oleh Dirjen Pendis Kemenag RI ini berkaitan dengan tingkat
kebutuhan suatu wilayah fasilitas dan layanan pendidikan. Papua
hanya mendapatkan jumlah rata – rata alokasi biaya pendidikan yang
rendah karena ketersediaan sekolah, guru, dan anak murid yang harus
dipenuhi tidak banyak dibanding dengan wilayah – wilayah lainnya.
Sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2015 –
2019, kerangka pendanaan Pendidikan Islam 2015 – 2019 yang berasal
dari sumber pendanaan APBN adalah Rp. 127 triliun. Alokasi tersebut
bertujuan untuk mendanai program dan kegiatan guna mencapai target
kinerja yang telah ditetapkan selama periode 2015 – 2019. Alokasi
ditetapkan selama periode 2015 – 2019.
2. Pencapaian Output Pendidikan Islam se Indonesia
Penggunaan biaya pendidikan yang telah dibagi dari anggaran
dirjen pendis Kemenag RI harus dapat mencapai tujuan - tujuan
program dalam satu tujuan utama, yaitu pembangunan manusia
melalui pendidikan yang bisa dilihat dari Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Output dalam pendidikan memang tidak bisa
dirasakan dalam waktu singkat, oleh karena itu pendidikan dibilang
investasi jangka panjang. Maka dari itu, tidak hanya output, namun
161
2013 2014 2015
MI 95,26 91,71 91,99
MTS 77,75 75,42 78,34
MA 60,68 58,55 60,21
0
20
40
60
80
100
120
Axi
s Ti
tle
pendidikan memiliki variabel pengantar yaitu intermediate output
sebagai indikator proses pencapaian menuju hasil akhir atau output.
Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Sarana dan Prasarana
Pendidikan Islam di Indonesia masih terdapat sekolah yang rusak
walaupun secara bertahap dilakukan rehabilitasi total, rehabilitasi berat
terhadap sekolah – sekolah yang rawan ambruk. Rehabilitasi dilakukan
menurut skala prioritas berdasarkan analisis manajemen plan.
Kebijakan rehab total gedung sekolah disamping menjadikan gedung
sekolah sesuai standar juga diproyeksikan untuk menambah daya
tampung. Pengembangan sekolah melalui rehab total dengan cara
memaksimalkan lahan yang ada di sekolah lama melalui
pengembangan/pembangunan secara vertikal sehingga penambahan
ruang kelas dimungkinkan.
Gambar 4.1 Perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM)
Pendidikan Islam Indonesia Tahun 2013 – 2015
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI
162
Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan perbandingan
antara jumlah murid jenjang sekolah tertentu dengan penduduk
kelompok usia sekolah yang sudah dinyatakan dalam persentase. APM
juga merupakan indikator peemerataan layanan pendidikan. Selama
tahun 2013 hingga 2015 memiliki kecenderungan untuk fluktuatif.
Dianatara semua jenjang pendidikan, MA memiliki hasil yang paling
rendah ini mengindikasikan daya serap jenjang MA yang tidak
maksimal atau bisa dikatakan tidak banyak penduduk yang
melanjutkan ke MA, hal ini bisa dilatar belakangi oleh kurang
memadainya sarana pendidikan seperti jumlah dan kondisi sekolah,
ruang kelas, jumlah guru atau pengajar. Selain itu juga bisa disebabkan
oleh kualitas pendidikan yang tidak maksimal diberikan pada jenjang
sebelumnya sehingga banyak murid yang tidak dapat melanjutkan. Hal
lainnya yaitu dari kurangnya kesadaran atau motivasi masyarakat
terkait pentingnya untuk melanjutkan pendidikan dan keadaan
ekonomi keluarga itu sendiri.
3. Pengukuran Input dan Output
Efisiensi merupakan salah satu parameter pengukuran seberapa
baik organisasi mengelola input menjadi output atau jumlah keluaran
yang dihasilkan dari satu input yang dipergunakan. Efisiensi bisa
diterjemahkan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dengan benar atau dianggap dalam konsep matematika
merupakan perhitungan rasio antara keluaran (output) dan masukan
163
(input) (Handoko, 1984). Dengan kata lain, efisiensi dapat diartikan
sebagai cara untuk menghasilkan output yang maksimal dengan input
tertentu, atau untuk menghasilkan output tertentu dengan input
minimal. Penelitian ini menggunakan 1 variabel input, 3 variabel
intermediate output pada semua jenjang pendidikan, dan 2 variabel
output. Pemilihan variabel ini didasarkan tujuan untuk menjawab
pertanyaan kajian pada penelitian ini. Sebelum melakukan analisis,
perlu diketahui nilai minimum, maksimum, rerata dan standar deviasi
dari setiap variabel yang akan dilakukan analisis.
1. Pengukuran Input
Belanja Pendidikan
Belanja Pendidikan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam
Kemenag RI melalui Kanwil Kemenag setiap Provinsi
menggambarkan total belanja yang digunakan untuk alokasi
Pendidikan Islam.
164
0 4.000.000.000.000 8.000.000.000.000
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
2015 2014 2013
Gambar 4.2 Perbandingan Belanja Pendidikan Islam 33
Provinsi se Indonesia (2013 – 2015
Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, diolah
165
Dalam tiga tahun yang digunakan oleh peneliti yakni tahun 2013
sampai 2015, rata – rata tertinggi belanja pendidikan Islam ada
pada Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Tabel 4.2 Jumlah Belanja Pendidikan Islam Tertinggi
Jawa Barat 5.090.387.018.000 5.291.283.902.000 5.492.180.786.000
Jawa Tengah 4.685.679.534.000 4.926.352.233.000 5.167.024.932.000
Jawa Timur 6.606.435.342.000 6.807.927.100.500 7.009.418.859.000
Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, diolah
2. Pengukuran Intermediate Output
a) Rasio Guru/Murid (RGM)
Rasio Guru/Murid merupakan perbandingan antara jumlah guru
terhadap jumlah murid.
Tabel 4.3 Perbandingan Rasio Guru/Murid Pada Berbagai
Jenjang Madrasah (Satuan Dalam Persen)
Tahun 2013 - 2015
Tahun Jenjang Mean Max Min Std.Dev
2013 MI 91,29 154,25 56,62 26,47
MTS 115,23 182,09 20,91 32,95
MA 134,42 340,64 34,79 53,73
2014 MI 83,79 122,74 20,37 21,91623
MTS 104,29 159,86 27,48 23,72167
MA 136,96 343,28 44,10 45,5561
2015 MI 84,84 123,37 59,34 17,94997
MTS 121,98 761,06 13,26 117,098
MA 139,37 317,98 96,44 38,30649 Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, diolah
166
Tabel diatas menunjukkan bahwa jenjang MTS pada tahun
2013 memiliki rata – rata rasio guru/murid paling tinggi
dibanding jenjang lain, yaitu 115,23, dan nilai rata rata rasio
guru/murid yang paling kecil adalah MI, yaitu 91,29. Tabel
diatas menunjukkan bahwa jenjang MA pada tahun 2014
memiliki rata – rata rasio guru/murid paling tinggi dibanding
jenjang lain, yaitu 136,96 dan nilai rata rata rasio guru/murid
yang paling kecil adalah MI, yaitu 83,79.
Tabel diatas menunjukkan bahwa jenjang MA pada tahun
2015 memiliki rata – rata rasio guru/murid paling tinggi
dibanding jenjang lain, yaitu 139,37 dan nilai rata rata rasio
guru/murid yang paling kecil adalah MI, yaitu 84,84. Pada
berbagai jenjang Madrasah memiliki standar rasio murid per
guru yang berbeda, tetapi bila menggunakan konsensus umum,
nilai tertinggi dari rasio siswa/guru adalah 30 : 1, adalah yang
paling tinggi, sementara perbandingan rasio yang lebih kecil
dari ini akan memberikan pengembalian marginal yang sangat
rendah. Karena gaji guru merupakan komponen biaya yang
cukup signifikan, RMG yang rendah cenderung akan
menyebabkan beban keuangan yang berat (World bank, 2007).
Salah satu alasan menjadikan rasio siswa per guru sebagai
variabel intermediate output sebab menurut penelitian yang
167
dilakukan oleh World bank pada tahun 2007, dimana gaji guru
menjadi bagian dominan dari dana bidang pendidikan.
b) Rasio kelas/murid (RKM)
Rasio kelas/murid merupakan perbandingan antara jumlah
kelas terhadap jumlah murid.
Tabel 4.4 Perbandingan Rasio Kelas/Murid Pada Berbagai
Jenjang Sekolah (Satuan Dalam Persen)
Tahun 2013 - 2015
Tahun Jenjang Mean Max Min Std.Dev
2013 MI 42,30 62,23 25,58 9,571319
MTS 23,76 45,91 1,99 9,549102
MA 25,08 55,56 6,63 13,72346
2014 MI 42,03 63,27 20,40 8,788467
MTS 32,59 41,94 8,50 7,845524
MA 42,30 93,28 1,88 13,86181
2015 MI 58,64 511,60 32,56 81,62305
MTS 44,46 313,99 4,08 48,85845
MA 43,22 86,62 34,25 9,383844 Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, diolah
Berdasarkan tabel 4.4, pada tahun 2013 secara rata – rata
nilai rasio kelas/murid yang tertinggi adalah 42,30 pada jenjang
Madrasah Ibtidaiyah, sedangkan nilai rasio kelas/murid yang
paling rendah adalah pada tingkat MTS, yaitu sebesar 23,76.
Standar deviasi yang tertinggi pada jenjang MA sebesar
13,72346, hal ini menunjukkan seberapa besar nilai tersebut
menyimpang. Menurut standar yang digunakan pada standar
pelayanan minimum pendidikan di Indonesia, rasio siswa/kelas
168
30 – 40 anak perkelas, atau bila menggunakan rasio guru/murid
adalah 33,33 – 25.
Berdasarkan tabel 4.4, pada tahun 2014 secara rata – rata
nilai rasio kelas/murid yang tertinggi adalah 42,30 pada jenjang
Madrasah Aliyah, sedangkan nilai rasio kelas/murid yang
paling rendah adalah pada tingkat MTS, yaitu sebesar 32,59.
Standar deviasi yang tertinggi pada jenjang MA sebesar
13,86181, hal ini menunjukkan seberapa besar nilai tersebut
menyimpang. Menurut standar yang digunakan pada standar
pelayanan minimum pendidikan di Indonesia, rasio siswa/kelas
30 – 40 anak perkelas, atau bila menggunakan rasio guru/murid
adalah 33,33 – 25.
Berdasarkan tabel 4.4, pada tahun 2015 secara rata – rata
nilai rasio kelas/murid yang tertinggi adalah 58,64 pada jenjang
Madrasah Ibtidaiyah, sedangkan nilai rasio kelas/murid yang
paling rendah adalah pada tingkat MA, yaitu sebesar 43,22.
Standar deviasi yang tertinggi pada jenjang MI sebesar
81,62305, hal ini menunjukkan seberapa besar nilai tersebut
menyimpang. Menurut standar yang digunakan pada standar
pelayanan minimum pendidikan di Indonesia, rasio siswa/kelas
30 – 40 anak perkelas, atau bila menggunakan rasio guru/murid
adalah 33,33 – 25.
169
c) Angka Partisipasi Murni
Angka partisipasi murni merupakan proporsi jumlah anak pada
kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada
jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap
seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan.
Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan
untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk
usia sekolah.
Tabel 4.5 Perbandingan APM Pada Berbagai Jenjang
Sekolah (Satuan Dalam Persen) Tahun 2013 – 2015
Tahun Jenjang Mean Max Min Std.Dev
2013 MI 95,26 98,70 89,69 2,524486
MTS 77,75 95,55 62,91 7,68034
MA 60,68 62,91 43,93 9,757532
2014 MI 91,71 95,49 59,12 6,650568
MTS 75,42 94,66 31,59 11,20255
MA 58,55 80,49 35,37 9,223489
2015 MI 91,99 96,33 56,72 7,228078
MTS 78,34 94,19 41,30 9,078809
MA 60,21 74,05 35,60 8,495421
Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, diolah
Jenjang Madrasah Ibtidaiyah secara rata – rata pada tahun
2013 memiliki nilai angka partisipasi murni yang tertinggi
yaitu, 95,26, posisi kedua adalah pada jenjang MTS dengan
nilai 77,75 dan MA 60,68. Jenjang Madrasah Ibtidaiyah secara
rata – rata pada tahun 2014 memiliki nilai angka partisipasi
murni yang tertinggi yaitu, 91,71, posisi kedua adalah pada
jenjang MTS dengan nilai 75,42 dan MA 58,55.
170
Jenjang Madrasah Ibtidaiyah secara rata – rata pada tahun
2015 memiliki nilai angka partisipasi murni yang tertinggi
yaitu, 91,99, posisi kedua adalah pada jenjang MTS dengan
nilai 78,34 dan MA 60,21. APM mencerminkan tingkat
kesesuaian umur dengan jenjang sekolah yang dilakukan.
Rasio murid/kelas, murid/guru dan angka partisipasi murni
adalah bagian dari indikator – indikator pemerataan akses dan
layanan pendidikan yang merupakan representasi dari kondisi
riil pelaksanaan program pembangunan pedidikan dengan
orientasi menyediakan layanan pendidikan.
3. Pengukuran Output
Nilai Hasil Ujian Nasional
Tabel 4.6 Perbandingan NHUN pada Berbagai Jenjang
Pendidikan (2013 – 2015)
Tahun Jenjang Mean Max Min Std.Dev
2013 MI 7,44 8,36 5,91 0,600159
MTS 6,55 7,96 4,87 0,657321
MA 5,55 7,34 4,01 0,870032
2014 MI 7,08 7,82 6,26 0,458158
MTS 6,54 7,70 5,17 0,620524
MA 5,60 7,45 4,32 0,752718
2015 MI 7,11 8,10 6,53 0,39148
MTS 6,79 8,01 5,34 0,570005
MA 5,99 7,48 4,55 0,708958 Sumber : Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, diolah
Nilai Hasil Ujian Nasional Menunjukkan prestasi akademik
siswa di Indonesia secara umum. Variabel ini ditunjukkan
171
dengan skala 0,00 – 10. Rerata NHUN tertinggi dapat
ditemukan pada jenjang MI pada tahun 2013, sedangkan rerata
terendah dapat ditunjukkan pada tahun 2015 pada jenjang
pendidikan MA.
Muhson (2006 : 1) menyatakan bahwa salah satu
penghitungan ukuran penyebaran adalah standar deviasi.
Semakin besar standar deviasi, maka semakin besar jarak rata –
rata setiap unit data terhadap rerata hitung. Namun karena
terlihat masih terdapat standar deviasi pada indikator ini, berarti
menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan prestasi pada setiap
Provinsi di Indonesia.
Renstra Kemdikbud 2015 – 2019 juga telah
menccantumkan nilai minimal ujian nasional yang harus
dicapai oleh masing – masing jenjang pendidikan. Untuk
jenjang MI dan MTS sebesar 6,5 , sedangkan untuk jenjang
MA adalah 7,0. Dapat terlihat bahwa pada jenjang pendidikan
MI target renstra telah terpenuhi semua Provinsi di Indonesia.
Namun untuk pendidikan menengah masih diperlukan upaya
untuk meningkatkannya sehingga target renstra dapat
terpenuhi.
B. Hasil Analisa Data
Dalam penelitian ini, hasil nilai efisiensi diperoleh dengan metode
Data Envelopment Analysis (DEA). Penelitian ini menggunakan asumsi
172
Variable Return to Scale (VRS) yang berorientasi input (Input oriented)
untuk menganalisis efisiensi teknis biaya, sedangkan berorientasi output
(Output Oriented) untuk menganalisis efisiensi teknis sistem dengan
bantuan software MAXDEA. Setelah itu, DEA akan menghasilkan nilai
efisiensi relatif antar 33 Provinsi di Indonesia pada tahun 2013 – 2015.
Provinsi yang memiliki nilai efisiensi terbaik yakni 100 % dijadikan
sebagai acuan (benchmark) bagi Provinsi lainnya, sedangkan nilai 0 < 100
% merupakan nilai inefisien. Selain itu, DEA dapat menghasilkan
potential improvement atau nilai perbaikan variabel yang diperlukan untuk
meningkatkan tingkat efisiensi yang ditunjukkan dengan angka 100 %.
Maka, dapat diketahui input yang belum efisien penggunaannya dan
output yang harus ditingkatkan. Dikatakan efisien apabila
memaksimumkan hasil output dengan sejumlah input, atau dengan
menggunakan input minimum dengan menghasilkan output tertentu.
Data dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, data
input alokasi biaya pendidikan Islam. Kedua, data intermediate output
yang terdiri dari rasio guru per murid, rasio kelas per murid dan angka
partisipasi murni (APM). Ketiga, data output yang terdiri dari jumlah guru
dan jumlah sekolah. Unit kegiatan ekonomi yang dimaksud pada
penelitian ini adalah 33 Provinsi di Indonesia pada tahun 2013 – 2015.
1. Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis Biaya Menggunakan
Metode DEA
173
Nilai efisiensi dari belanja pendidikan dalam penelitian ini
diperoleh dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang
berorientasi input (input oriented) dengan bantuan software
MAXDEA. DEA akan menghasilkan nilai efisiensi antar unit
kegiatan ekonomi yang dalam hal ini terdiri atas tiga puluh tiga
Provinsi di Indonesia pada tahun 2013 – 2015. Efisiensi metode
DEA adalah efisiensi relatif. Provinsi yang memiliki nilai efisiensi
terbaik yakni 100% dijadikan sebagai acuan bagi Provinsi lainnya.
Berikut merupakan nilai efisiensi belanja pendidikan pada tiga
puluh tiga Provinsi di Indonesia tahun 2013 – 2015.
174
Tabel 4.7 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2013 - 2015
No Daerah 2013 2014 2015
1 Aceh 100 % 99,62 % 100 %
2 Bali 100 % 100 % 100 %
3 Banten 99,81 % 99,78 % 100 %
4 Bengkulu 100 % 99,84 % 100 %
5 DI Yogyakarta 100 % 100 % 100 %
6 DKI Jakarta 99,82 % 99,74 % 99,86 %
7 Gorontalo 99,12 % 98,99 % 99,38 %
8 Jambi 100 % 100 % 99,98 %
9 Jawa Barat 100 % 100 % 100 %
10 Jawa Tengah 99,87 % 99,91 % 99,89 %
11 Jawa Timur 100 % 100 % 100 %
12 Kalimantan Barat 98,74 % 98,87 % 99,02 %
13 Kalimantan Selatan 99,69 % 99,57 % 99,56 %
14 Kalimantan Tengah 100 % 100 % 100 %
15 Kalimantan Timur 99,97 % 99,94 % 100 %
16 Kep. Bangka Belitung 99,92 % 99,99 % 100 %
17 Kep. Riau 100 % 100 % 100 %
18 Lampung 100 % 100 % 100 %
19 Maluku 100 % 100 % 100 %
20 Maluku Utara 99,82 % 100 % 100 %
21 Nusa Tenggara Barat 100 % 100 % 100 %
22 Nusa Tenggara Timur 98,80 % 99,44 % 99,88 %
23 Papua 100 % 100 % 100 %
24 Papua Barat 100 % 100 % 100 %
25 Riau 100 % 100 % 100 %
26 Sulawesi Barat 100 % 100 % 100 %
27 Sulawesi Selatan 100 % 99,44 % 100 %
28 Sulawesi Tengah 98,50 % 98,45 % 98,51 %
29 Sulawesi Tenggara 99,99 % 99,78 % 99,79 %
30 Sulawesi Utara 100 % 99,73 % 100 %
31 Sumatera Barat 99,65 % 100 % 100 %
32 Sumatera Selatan 100 % 100 % 100 %
33 Sumatera Utara 100 % 100 % 100 %
Sumber : Hasil Olahan
Berdasarkan tabel 4.7 diatas terdapat dua puluh dua Propinsi yang
mempunyai tingkat efisiensi tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu,
175
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat dan
Papua. Selanjutnya dua puluh dua Propinsi tersebut akan menjadi
pembanding bagi daerah lain yang belum efisien. Tahun 2014
hanya ada delapan belas yang mempunyai tingkat efisiensi 100 %
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat,
Kalimantan Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat.
Tahun 2015, ada dua puluh empat yang mempunyai tingkat
efisiensi 100 % yaitu Aceh, Bali, Banten, Bengkulu, DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kep.Bangka Belitung, Kep.Riau, Lampung,
Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat,
Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Dari tabel 4.7 terlihat beberapa Propinsi yang mengalami kenaikan
atau penurunan nilai efisiensi maupun inefisiennya. Pada tahun
2014 ada beberapa Propinsi yang mengalami penurunan nilai
efisiensinya yakni Aceh, Banten, Bengkulu, DKI Jakarta,
Gotontalo, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
176
Selain penurunan nilai efisiensinya, pada tahun 2014 juga terdapat
yang mengalami peningkatan nilai efisiensinya, yaitu Jawa Tengah,
Kalimantan Barat, Kep.Bangka Belitung, Maluku Utara, dan Nusa
Tenggara Timur. Di tahun 2015 hanya ada tiga Propinsi yang
mengalami penurunan nilai efisiensinya yaitu Jambi, Kalimantan
Selatan dan Jawa Tengah, sedangkan yang mengalami kenaikan
nilai efisiensinya, yaitu Propinsi Aceh, Banten, Bengkulu, DKI
Jakarta, Gotontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kep.Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Pada Provinsi yang
mengalami inefisiensi penyebab pada umumnya adalah
ketidakmampuan daerah untuk memanfaatkan alokasi dana
pendidikan dengan tepat. Selain itu, banyaknya jumlah guru dan
ruang kelas juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penyelenggaraan pendidikan inefisien.
177
2. Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan
Gambar 4.3 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Sumber : Lampiran, diolah dengan MAXDEA.exe
178
Berdasarkan gambar 4.3, hasil perhitungan penelitian tahun 2013
menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis biaya pendidikan Islam 33
Provinsi di Indonesia rata – rata sudah efisiensi diatas 50%, namun
yang selalu mencapai nilai 100 % yaitu yang diwarnai hijau dalam peta
yakni, Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Propinsi yang sudah mencapai nilai 100% efisien dapat dijadikan
benchmark (wilayah acuan) bagi Provinsi lainnya yang belum
mencapai nilai efisien secara teknis biaya.
Aceh dengan alokasi biaya pendidikan tahun 2013 sebesar
1.770.015.964.000 triliun rupiah, Sumatera Utara 1.536.417.198.000
triliun rupiah, Riau 829.038.699.000 miliar rupiah, Kepulauan Riau
120.281.382.000 miliar rupiah, Jambi 682.488.970.000 miliar rupiah,
Bengkulu 466.293.793.000 miliar rupiah, Sumatera Selatan
874.838.652.000 miliar rupiah, Lampung 989.560.692.000 miliar
rupiah, Jawa Barat 5.090.387.018.000 triliun rupiah, DI Yogyakarta
774.043.917.000 miliar rupiah, Jawa Timur 6.606.435.342.000 triliun
rupiah, Bali 167.733.390.000 miliar rupiah, Kalimantan Tengah
415.202.347.000 miliar rupiah, Nusa Tenggara Barat
1.052.712.011.000 triliun rupiah, Sulawesi Utara 199.126.254.000
miliar rupiah, Sulawesi Barat 236.282.284.000 miliar rupiah, Sulawesi
179
Selatan 1.402.579.717.000 triliun rupiah, Maluku 268.914.799.000
miliar rupiah, Papua 87.092.006.000 miliar rupiah dan Papua Barat
111.503.658.000 miliar rupiah, Provinsi tersebut dapat mencapai nilai
efisiensi teknis biaya 100 %. Hal ini berarti Kemenag Propinsi tersebut
diatas dapat mengelola alokasi biaya pendidikan seminimal mungkin
dalam pengadaan fasilitas dan layanan pendidikan yang maksimum.
Berdasarkan gambar 4.3 juga dapat diketahui wilayah acuan
(benchmark) yang memiliki kedekatan dengan Provinsi yang
mengalami inefisiensi. DKI Jakarta mengalami inefisiensi dan yang
menjadi wilayah acuannya ialah DI Yogyakarta dengan besar
0,441810, Banten mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah
acuannya ialah Lampung dengan besar 0,508529, Jawa Tengah
mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah acuannya ialah Jawa
Timur dengan besar 0,553647, Sumatera Barat mengalami inefisiensi
dan yang menjadi wilayah acuannya ialah DI Yogyakarta dengan besar
0,449431, Sulawesi Tenggara mengalami inefisiensi dan yang menjadi
wilayah acuannya ialah Sulawesi Utara dengan besar 0,340646,
Kalimantan Selatan mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah
acuannya ialah Lampung dengan besar 0,802909,
Bali menjadi wilayah acuan (benchmark) beberapa Provinsi yang
mengalami inefisiensi, diantaranya : Gorontalo dengan besar 0,507049,
Kalimantan Timur dengan besar 0,624068, Kalimantan Barat dengan
besar 0,624068. Sedangkan Kepulauan Riau menjadi wilayah acuan
180
(benchmark) bagi beberapa Provinsi yang mengalami inefisiensi,
diantaranya : Bangka Belitung dengan besar 0,507427, Nusa Tenggara
Timur dengan besar 0,775941, Sulawesi Tengah dengan besar
0,479720, dan Maluku Utara dengan besar 0,397416.
181
Gambar 4.4 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2014
Sumber : Lampiran, diolah dengan MAXDEA.exe
182
Berdasarkan gambar 4.4, hasil perhitungan penelitian tahun 2014
menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis biaya pendidikan Islam 33
Provinsi di Indonesia rata – rata sudah efisiensi diatas 50%, namun
yang selalu mencapai nilai 100 % yaitu yang diwarnai hijau dalam peta
yakni, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur,
Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat. Propinsi yang sudah
mencapai nilai 100% efisien dapat dijadikan benchmark (wilayah
acuan) bagi Provinsi lainnya yang belum mencapai nilai efisien secara
teknis biaya.
Sumatera Utara dengan alokasi biaya pendidikan tahun 2014
sebesar 1.952.838.858.500 triliun rupiah, Sumatera Barat
915.606.369.000 miliar rupiah, Riau 811.322.537.500 miliar rupiah,
Kepulauan Riau 152.957.830.500 miliar rupiah, Jambi
722.871.609.000 miliar rupiah, Sumatera Selatan 904.751.149.000
miliar rupiah, Lampung 1.109.016.172.000 triliun rupiah, Jawa Barat
5.291.283.902.000 triliun rupiah, DI Yogyakarta 698.632.971.500
miliar rupiah, Jawa Timur 6.807.927.100.500 triliun rupiah, Bali
186.546.855.000 miliar rupiah, Nusa Tenggara Barat
1.152.284.888.000 triliun rupiah, Sulawesi Barat 261.788.762.000
miliar rupiah, Kalimantan Timur 403.864.807.500 miliar rupiah,
Maluku Utara 257.312.375.000 miliar rupiah, Maluku
183
279.418.602.000 miliar rupiah, Papua 97.780.075.000 miliar rupiah,
Papua Barat 114.553.588.500 miliar rupiah. Provinsi tersebut dapat
mencapai nilai efisiensi teknis biaya 100 %. Hal ini berarti Kemenag
Propinsi tersebut diatas dapat mengelola alokasi biaya pendidikan
seminimal mungkin dalam pengadaan fasilitas dan layanan pendidikan
yang maksimum.
Berdasarkan gambar 4.4 juga dapat diketahui wilayah acuan
(benchmark) yang memiliki kedekatan dengan Provinsi yang
mengalami inefisiensi. Aceh mengalami inefisiensi dan yang menjadi
wilayah acuannya ialah DI Yogyakarta dengan besar 0,683043, Banten
mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah acuannya ialah
Lampung dengan besar 0,631252, Jawa Tengah mengalami inefisiensi
dan yang menjadi wilayah acuannya ialah Jawa Timur dengan besar
0,0616640, DKI Jakarta mengalami inefisiensi dan yang menjadi
wilayah acuannya ialah DI Yogyakarta dengan besar 0,554531,
Kalimantan Selatan mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah
acuannya ialah DI Yogyakarta dengan besar 0,427447 dan Sulawesi
Selatan mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah acuannya
ialah Lampung dengan besar 0,753506.
Kepulauan Riau menjadi wilayah acuan (benchmark) beberapa
Provinsi yang mengalami inefisiensi, diantaranya : Bangka Belitung
dengan besar 0,819356, Nusa Tenggara Timur dengan besar 0,747740,
Sulawesi Tengah dengan besar 0,819356. Sedangkan Bali menjadi
184
wilayah acuan (benchmark) bagi beberapa Provinsi yang mengalami
inefisiensi, diantaranya : Bengkulu dengan besar 0,530970,
Kalimantan Barat dengan besar 0,637486, Kalimantan Timur dengan
besar 0,485749, Gorontalo dengan besar 0,855202, Sulawesi Tengah
dengan besar 0,519381, Sulawesi Utara dengan besar 0,730024 dan
Sulawesi Tenggara dengan besar 0,695312.
185
Gambar 4.5 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Jenjang MI – MA 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2015
Sumber : Lampiran, diolah dengan MAXDEA.exe
186
Berdasarkan gambar 4.5, hasil perhitungan penelitian tahun 2015
menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis biaya pendidikan Islam 33
Provinsi di Indonesia rata – rata sudah efisiensi diatas 50%, namun
yang selalu mencapai nilai 100 % yaitu yang diwarnai hijau dalam peta
yakni, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten,
Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan
Papua. Propinsi yang sudah mencapai nilai 100% efisien dapat
dijadikan benchmark (wilayah acuan) bagi Provinsi lainnya yang
belum mencapai nilai efisien secara teknis biaya.
Aceh dengan alokasi biaya pendidikan tahun 2015 sebesar
2.135.661.753.000 triliun rupiah, Sumatera Utara 1.737.214.041.000
triliun rupiah, Sumatera Barat 623.222.026.000 miliar rupiah, Riau
793.606.376.000 miliar rupiah, Kepulauan Riau 185.634.279.000
miliar rupiah, Bengkulu 413.356.019.000 miliar rupiah, Sumatera
Selatan 934.663.646.000 miliar rupiah, Bangka Belitung
179.370.410.000 miliar rupiah, Lampung 1.228.471.652.000 triliun
rupiah, Banten 1.578.785.406.000 triliun rupiah, Jawa Barat
5.492.180.786.000 triliun rupiah, DI Yogyakarta 623.222.026.000
miliar rupiah, Jawa Timur 7.009.418.859.000 triliun rupiah, Bali
205.360.320.000 miliar rupiah, Nusa Tenggara Barat
187
1.251.857.765.000 triliun rupiah, Kalimantan Tengah 481.613.392.000
miliar rupiah, Kalimantan Timur 432.488.702.000, Sulawesi Utara
214.423.668.000 miliar rupiah, Sulawesi Barat 287.295.240.000 miliar
rupiah, Sulawesi Selatan 1.423.020.683.000 triliun rupiah, Maluku
Utara 272.692.471.000 miliar rupiah, Maluku 289.922.406.00 miliar
rupiah, Papua Barat 117.603.519.000 miliar rupiah, dan Papua
108.468.144.000 miliar rupiah. Provinsi tersebut dapat mencapai nilai
efisiensi teknis biaya 100 %. Hal ini berarti Kemenag Propinsi tersebut
diatas dapat mengelola alokasi biaya pendidikan seminimal mungkin
dalam pengadaan fasilitas dan layanan pendidikan yang maksimum.
Berdasarkan gambar 4.5 juga dapat diketahui wilayah acuan
(benchmark) yang memiliki kedekatan dengan Provinsi yang
mengalami inefisiensi. Jawa Tengah mengalami inefisiensi dan yang
menjadi wilayah acuannya ialah Jawa Timur dengan besar 0,517857,
DKI Jakarta mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah
acuannya ialah Bali dengan besar 0,402262, Kalimantan Selatan
mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah acuannya ialah DI
Yogyakarta dengan besar 0,823061, Gorontalo mengalami inefisiensi
dan yang menjadi wilayah acuannya ialah Bali dengan besar 0,616764,
dan Jambi mengalami inefisiensi dan yang menjadi wilayah acuannya
ialah Nusa Tenggara Barat dengan besar 0,4339966
Sumatera Barat menjadi wilayah acuan (benchmark) beberapa
Provinsi yang mengalami inefisiensi, diantaranya : Sulawesi Tengah
188
dengan besar 0,345334, dan Sulawesi Tenggara dengan besar
0,355067. Sedangkan Kepulauan Riau menjadi wilayah acuan
(benchmark) bagi beberapa Provinsi yang mengalami inefisiensi,
diantaranya : Kalimantan Barat dengan besar 0,5595964, dan Nusa
Tenggara Timur dengan besar 0,288097.
3. Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan
Pada analisis efisiensi teknis sistem pendidikan bersifat relatif ini
nilai efisiensi diperoleh dengan menggunakan variabel intermediate
output sebagai input yaitu rasio guru per murid, rasio kelas per murid,
dan Angka Partisipasi Murni (APM) di tiga puluh tiga Propinsi di
Indonesia. Sedangkan untuk variabel output Angka Partisipas Siswa,
dan Nilai Hasil Ujian Nasional. Asumsi yang digunakan yaitu Variable
Return to Scale (VRS) dengan orientasi output. Efisiensi teknis sistem
ini digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat efisiensi Kemenag
dalam memaksimasi hasil output yaitu Angka Partisipasi Siswa dan
Nilai Hasil Ujian Nasional.
189
Tabel 4.8 Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2013 – 2015
No Daerah 2013 2014 2015
1 Aceh 100 % 100 % 100 %
2 Bali 100% 100 % 100 %
3 Banten 100 % 100 % 100 %
4 Bengkulu 100% 99,93 % 100 %
5 DI Yogyakarta 100 % 100 % 100 %
6 DKI Jakarta 100 % 100 % 100 %
7 Gorontalo 100 % 98,81 % 100 %
8 Jambi 100 % 100 % 100 %
9 Jawa Barat 99,72 % 100 % 100 %
10 Jawa Tengah 100 % 100 % 100 %
11 Jawa Timur 100 % 100 % 100 %
12 Kalimantan Barat 100 % 100 % 100 %
13 Kalimantan Selatan 100 % 100 % 100 %
14 Kalimantan Tengah 100 % 100 % 100 %
15 Kalimantan Timur 100 % 100 % 100 %
16 Kep. Bangka Belitung 99,59 % 100 % 100 %
17 Kep. Riau 100 % 100 % 100 %
18 Lampung 100 % 100 % 100 %
19 Maluku 100 % 100 % 100 %
20 Maluku Utara 100 % 99,51 % 99,73 %
21 Nusa Tenggara Barat 100 % 100 % 99,88 %
22 Nusa Tenggara Timur 100 % 100 % 100 %
23 Papua 100 % 100 % 100 %
24 Papua Barat 100 % 100 % 100 %
25 Riau 99,29 % 100 % 100 %
26 Sulawesi Barat 100 % 98,85 % 98,55 %
27 Sulawesi Selatan 100 % 99,30 % 100 %
28 Sulawesi Tengah 99,02 % 100 % 99,63 %
29 Sulawesi Tenggara 99,78 % 99,50 % 99,64 %
30 Sulawesi Utara 100 % 100 % 99,89 %
31 Sumatera Barat 100 % 99,68 % 100 %
32 Sumatera Selatan 100 % 100 % 100 %
33 Sumatera Utara 100 % 100 % 100 %
Sumber : Hasil Olahan
Berdasarkan tabel 4.8, hasil perhitungan selama periode penelitian
tahun 2013 – 2015 menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis sistem
pendidikan Islam Propinsi se Indonesia sudah efisien diatas 90 persen.
190
Tercatat dua puluh Propinsi yang secara konsisten memperoleh skor
efisiensi sempurna selama tiga tahun terakhir, yaitu Aceh, Bali, Banten, DI
Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua
Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Berdasarkan tabel diatas jika dilihat perkembangan per tahun, pada
tahun 2013 Propinsi yang memiliki skor efisiensi terendah ( dibawah 100
persen) yaitu, Jawa Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sulawesi
Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Propinsi lainnya memiliki skor efisiensi
tertinggi ( sama dengan 100%) yaitu Aceh, Bali, Banten, Bengkulu DI
Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Utara. Tahun 2014 terdapat dua puluh enam
Propinsi yang mempunyai tingkat efisiensi 100 persen yaitu, Aceh, Bali,
Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua,
Papua Barat, Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan,
191
dan Sumatera Utara. Sedangkan Propinsi yang memiliki tingkat efisiensi
kurang dari 100 persen ada sebanyak tujuh Propinsi yaitu, Bengkulu,
Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Sumatera Barat. Pada tahun 2015 terdapat dua puluh tujuh
Propinsi yang memiliki tingkat efisiensi 100 persen, yaitu Aceh, Bali,
Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua
Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan
Sumatera Utara. Sedangkan Propinsi yang memiliki tingkat efisiensi
kurang dari 100 persen yaitu Propinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi
Utara.
Dari tabel 4.8 terlihat beberapa Propinsi yang mengalami kenaikan
atau penurunan nilai efisiensi maupun inefisiensinya. Pada tahun 2014 ada
beberapa yang mengalami penuruan tingkat efisiensinya yaitu, Bengkulu,
Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera
Barat. Sedangkan di tahun yang sama 2014, ada beberapa yang mengalami
peningkatan tingkat efisiensinya yaitu, Jawa Barat, Kepulauan Bangka
Belitung, Riau, dan Sulawesi Tengah. Di tahun 2015 hanya ada empat
Propinsi yang mengalami penurunan tingkat efisiensi yaitu Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah,Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara.
192
Sedangkan yang mengalami peningkatan tingkat efisiensinya yaitu
Bengkulu, Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Sumatera Barat. Bagi Provinsi yang mengalami inefisiensi,
penyebab pada umumnya adalah daerah belum dapat memanfaatkan
banyaknya jumlah guru dan ruang kelas sebagai fasilitas dan layanan
pendidikan untuk menghasilkan capaian pendidikan yang tinggi. Hal
tersebut merupakan faktor yang menyebabkan penyelenggaraan
pendidikan inefisien.
193
4. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Tabel 4.9 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Propinsi di Indonesia tahun 2013
No DMU Score Benchmark
1 Aceh 1 Aceh(1,000000)
2 Bali 1 Bali(1,000000)
3 Banten 1 Banten(1,000000)
4 Bengkulu 1 Bengkulu(1,000000)
5 DI Yogyakarta 1 DI Yogyakarta(1,000000)
6 DKI Jakarta 1 DKI Jakarta(1,000000)
7 Gorontalo 1 Gorontalo(1,000000)
8 Jambi 1 Jambi(1,000000)
9 Jawa Barat 0,997296 Lampung(0,642204)
10 Jawa Tengah 1 Jawa Tengah(1,000000)
11 Jawa Timur 1 Jawa Timur(1,000000)
12 Kalimantan Barat 1 Kalimantan Barat(1,000000)
13 Kalimantan Selatan 1 Kalimantan Selatan(1,000000)
14 Kalimantan Tengah 1 Kalimantan Tengah(1,000000)
15 Kalimantan Timur 1 Kalimantan Timur(1,000000)
16 Kep.Bangka Belitung 0,995919 Kalimantan Tengah(0,778401)
17 Kep. Riau 1 Kep. Riau(1,000000)
18 Lampung 1 Lampung(1,000000)
19 Maluku 1 Maluku(1,000000)
20 Maluku Utara 1 Maluku Utara(1,000000)
21 Nusa Tenggara Barat 1 Nusa Tenggara Barat(1,000000)
22 Nusa Tenggara Timur 1 Nusa Tenggara Timur(1,000000)
23 Papua 1 Papua(1,000000)
24 Papua Barat 1 Papua Barat(1,000000)
25 Riau 0,992947 DI Yogyakarta(0,057697);
26 Sulawesi Barat 1 Sulawesi Barat(1,000000)
27 Sulawesi Selatan 1 Sulawesi Selatan(1,000000)
28 Sulawesi Tengah 0,990266 Papua Barat(0,261302)
29 Sulawesi Tenggara 0,997892 Kalimantan Selatan(0,388793);
30 Sulawesi Utara 1 Sulawesi Utara(1,000000)
31 Sumatera Barat 1 Sumatera Barat(1,000000)
32 Sumatera Selatan 1 Sumatera Selatan(1,000000)
33 Sumatera Utara 1 Sumatera Utara(1,000000)
Sumber : Hasil Olahan
194
Pada pengukuran efisiensi teknis sistem untuk tahun 2013, tercatat
dua puluh delapan Propinsi yang memperoleh skor efisiensi sempurna
yaitu, Aceh, Bali, Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta,
Gorontalo, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kep.Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan
Sumatera Utara. Sedangkan untuk Jawa Barat, Kep.Bangka Belitung,
Riau, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara tercatat sebagai
Propinsi yang belum mampu mencapai skor efisiensi sempurna, yang
menjadi wilayah acuan efisiensi bagi Jawa Barat ialah Lampung,
Kalimantan Tengah menjadi wilayah acuan efisiensi bagi Kep.Bangka
Belitung, DI Yogyakarta menjadi wilayah acuan bagi Propinsi Riau,
Papua Barat menjadi wilayah acuan bagi Propinsi Sulawesi Tengah,
dan Kalimantan Selatan menjadi wilayah acuan efisiensi bagi Propinsi
Sulawesi Tenggara. Wilayah yang belum mencapai efisiensi sempurna,
pada hal ini menunjukkan Kemenag Propinsi belum bisa memberikan
fasilitas dalam kegiatan belajar mengajar dan layanan pendidikan yang
merata kepada murid – murid.
195
5. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2014
Tabel 4.10 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA
33 Propinsi di Indonesia tahun 2014
No DMU Score Benchmark
1 Aceh 1 Aceh(1,000000)
2 Bali 1 Bali(1,000000)
3 Banten 1 Banten(1,000000)
4 Bengkulu 0,99934 Kalimantan Timur(0,481144);
5 DI Yogyakarta 1 DI Yogyakarta(1,000000)
6 DKI Jakarta 1 DKI Jakarta(1,000000)
7 Gorontalo 0,98811 Lampung(0,666074);
8 Jambi 1 Jambi(1,000000)
9 Jawa Barat 1 Jawa Barat(1,000000)
10 Jawa Tengah 1 Jawa Tengah(1,000000)
11 Jawa Timur 1 Jawa Timur(1,000000)
12 Kalimantan Barat 1 Kalimantan Barat(1,000000)
13 Kalimantan Selatan 1 Kalimantan Selatan(1,000000)
14 Kalimantan Tengah 1 Kalimantan Tengah(1,000000)
15 Kalimantan Timur 1 Kalimantan Timur(1,000000)
16 Kep.Bangka Belitung 1 Kep. Bangka Belitung(1,000000)
17 Kep. Riau 1 Kep. Riau(1,000000)
18 Lampung 1 Lampung(1,000000)
19 Maluku 1 Maluku(1,000000)
20 Maluku Utara 0,995199 Bali(0,286415);
21 Nusa Tenggara Barat 1 Nusa Tenggara Barat(1,000000)
22 Nusa Tenggara Timur 1 Nusa Tenggara Timur(1,000000)
23 Papua 1 Papua(1,000000)
24 Papua Barat 1 Papua Barat(1,000000)
25 Riau 1 Riau(1,000000)
26 Sulawesi Barat 0,988503 Sumatera Selatan(0,633584)
27 Sulawesi Selatan 0,993065 Lampung(0,585120);
28 Sulawesi Tengah 1 Sulawesi Tengah(1,000000)
29 Sulawesi Tenggara 0,995083 Sumatera Selatan(0,414720)
30 Sulawesi Utara 1 Sulawesi Utara(1,000000)
31 Sumatera Barat 0,996849 Sumatera Selatan(0,061771)
32 Sumatera Selatan 1 Sumatera Selatan(1,000000)
33 Sumatera Utara 1 Sumatera Utara(1,000000)
Sumber : Hasil Olahan
196
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai efisiensi teknis sistem
pendidikan di tahun 2014 masing masing wilayah sudah mencapai
diatas 97 persen, dimana ini merupakan nilai efisiensi relatif yang
sudah cukup baik. Terdapat dua puluh enam Propinsi yang
mencapai nilai efisien 100 % di tahun 2014, yaitu Propinsi Aceh,
Bali, Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,Kep.Bangka Belitung,
Kep.Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.. Wilayah
yang memiliki skore efisiensi tidak mencapai 100% adalah
Bengkulu, Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Barat, hal ini
menunjukkan Kemenag Propinsi belum bisa memberikan fasilitas
dalam kegiatan belajar mengajar dan layanan pendidikan yang
merata kepada murid – murid.
197
6. Nilai Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA 33
Provinsi di Indonesia Tahun 2015
Tabel 4.11 Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Jenjang MI – MA
33 Propinsi di Indonesia tahun 2015
No DMU Score Benchmark
1 Aceh 1 Aceh(1,000000)
2 Bali 1 Bali(1,000000)
3 Banten 1 Banten(1,000000)
4 Bengkulu 1 Bengkulu(1,000000)
5 DI Yogyakarta 1 DI Yogyakarta(1,000000)
6 DKI Jakarta 1 DKI Jakarta(1,000000)
7 Gorontalo 1 Gorontalo(1,000000)
8 Jambi 1 Jambi(1,000000)
9 Jawa Barat 1 Jawa Barat(1,000000)
10 Jawa Tengah 1 Jawa Tengah(1,000000)
11 Jawa Timur 1 Jawa Timur(1,000000)
12 Kalimantan Barat 1 Kalimantan Barat(1,000000)
13 Kalimantan Selatan 1 Kalimantan Selatan(1,000000)
14 Kalimantan Tengah 1 Kalimantan Tengah(1,000000)
15 Kalimantan Timur 1 Kalimantan Timur(1,000000)
16 Kep.Bangka Belitung 1 Kep. Bangka Belitung(1,000000)
17 Kep. Riau 1 Kep. Riau(1,000000)
18 Lampung 1 Lampung(1,000000)
19 Maluku 1 Maluku(1,000000)
20 Maluku Utara 0,997318 Papua Barat(0,075761
21 Nusa Tenggara Barat 0,998844 DI Yogyakarta(0,371358
22 Nusa Tenggara Timur 1 Nusa Tenggara Timur(1,000000)
23 Papua 1 Papua(1,000000)
24 Papua Barat 1 Papua Barat(1,000000)
25 Riau 1 Riau(1,000000)
26 Sulawesi Barat 0,985558 Kep. Bangka Belitung(0,087399);
27 Sulawesi Selatan 1 Sulawesi Selatan(1,000000)
28 Sulawesi Tengah 0,996388 Riau(0,454833)
29 Sulawesi Tenggara 0,996407 Aceh(0,420933)
30 Sulawesi Utara 0,998991 Kalimantan Selatan(0,060749);
31 Sumatera Barat 1 Sumatera Barat(1,000000)
32 Sumatera Selatan 1 Sumatera Selatan(1,000000)
33 Sumatera Utara 1 Sumatera Utara(1,000000)
Sumber : Hasil Olahan
198
Pada Pengukuran efisiensi teknis biaya tahun 2015 tercatat dua
puluh tujuh yang memperoleh skor efisiensi sempurna, yaitu Aceh,
Bali, Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo,
Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kep.Bangka Belitung, Kep.Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
dan Sumatera Utara. Sedangkan untuk Maluku Utara, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Utara tercatat sebagai Propinsi yang belum mampu mencapai
skor efisiensi sempurna, yang menjadi wilayah acuan efisiensi bagi
Maluku Utara ialah Papua Barat, DI Yogyakarta menjadi wilayah
acuan efisiensi bagi Nusa Tenggara Barat, Kep.Bangka Belitung
menjadi wilayah acuan bagi Propinsi Sulawesi Barat, Riau menjadi
wilayah acuan bagi Propinsi Sulawesi Tengah, Aceh menjadi wilayah
acuan bagi Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Selatan
menjadi wilayah acuan efisiensi bagi Propinsi Sulawesi Utara.
Wilayah yang belum mencapai efisiensi sempurna, pada hal ini
menunjukkan Kemenag Propinsi belum bisa memberikan fasilitas
dalam kegiatan belajar mengajar dan layanan pendidikan yang merata
kepada murid – murid.
199
0,994
0,995
0,996
0,997
0,998
0,999
1
1,001
2013
2014
2015
7. Hasil Analisa DEA Per Pulau
Hasil analisa DEA yang dibedakan menurut Pulau di Indonesia
bertujuan untuk mengetahui secara lebih detail tingkat efisiensi
pada masing – masing Popinsi yang berada dalam satu kepulauan.
a. Efisiensi Teknis Biaya Per Pulau
Gambar 4.6 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Sumatera
Sumber : Hasil Olahan
Berdasarkan hasil pengukuran teknis biaya di Pulau Sumatera
pada tahun 2013 – 2015, pernah mengalami kondisi inefisien. Pada
gambar 4.6 terlihat bahwa terdapat Propinsi yang mengalami efisiensi dan
inefisien. Propinsi yang pernah mengalami inefisien ialah Aceh, Bengkulu,
Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Barat, sedangkan Propinsi
200
0,996
0,9965
0,997
0,9975
0,998
0,9985
0,999
0,9995
1
1,0005
Banten DIYogyakarta
DKI Jakarta Jawa Barat JawaTengah
Jawa Timur
2013
2014
2015
yang konsisten mendapatkan tingkat efisiensi sebesar 1 ialah Propinsi
Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Gambar 4.7 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Jawa
Sumber : Hasil Olahan
Berdasarkan hasil pengukuran efisiensi teknis sistem di Pulau
Jawa, hanya tiga Propinsi yang selalu mencapai tingkat efisiensi sempurna
yaitu DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Sedangkan Propinsi
yang mengalami inefisiensi ialah Propinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa
Tengah.
201
0,98
0,982
0,984
0,986
0,988
0,99
0,992
0,994
0,996
0,998
1
1,002
Kalimantan Barat KalimantanSelatan
KalimantanTengah
Kalimantan Timur
2013
2014
2015
Gambar 4.8 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Kalimantan
Sumber hasil olahan
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa di Pulau Kalimantan
hanya Propinsi Kalimantan Tengah yang selalu mencapai tingkat efisiensi
sebesar 1 dari tahun 2013 – 2015. Sedangkan untuk Propinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengalami inefisiensi
dari tahun 2013 – 2015.
202
0,975
0,98
0,985
0,99
0,995
1
1,005
2013
2014
2015
Gambar 4.9 Grafik Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Bali, Nusra dan Papua
Sumber : hasil olahan
Berdasarkan hasil pengukuran efisiensi teknis biaya di Pulau Bali,
Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua, penyelenggaraan pendidikan selama
3 tahun terakhir hanya terjadi di Bali, Maluku, Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Sedangkan Gorontalo, Maluku
Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara penyelenggaraan pendidikan
selama 3 tahun terakhir mengalami inefisiensi.
203
0,988
0,99
0,992
0,994
0,996
0,998
1
1,002
2013
2014
2015
b. Efisiensi Teknis Sistem Per Pulau
Gambar 4.10 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Sumatera
Sumber : hasil olahan
Berdasarkan hasil pengukuran efisiensi teknis sistem di Pulau Sumatera
hanya Provinsi Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, dan Sumatera
Barat yang mengalami kondisi inefisien. Meskipun demikian, skor inefisiensi
pada empat daerah tersebut tidak terlampaui jauh dari skor efisiensi sempurna.
Itu artinya dengan mengoptimalkan input serta memaksimalkan output yang
dihasilkan, empat daerah tersebut menjadi Provinsi yang efisien dalam
menyelenggarakan pendidikan secara teknis sistem. Sedangkan pada gambar
4.11 secara detail menunjukkan bahwa di Pulau Jawa Provinsi Jawa Barat
mengalami inefisiensi, sedangkan Provinsi Banten , DKI Jakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur selama tahun 2013 hingga 2015, telah berja;an secara efisien.
204
0,9955
0,996
0,9965
0,997
0,9975
0,998
0,9985
0,999
0,9995
1
1,0005
Banten DIYogyakarta
DKI Jakarta Jawa Barat JawaTengah
Jawa Timur
2013
2014
2015
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
KalimantanBarat
KalimantanSelatan
KalimantanTengah
KalimantanTimur
2013
2014
2015
Gambar 4.11 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Jawa
Sumber : hasil olahan
Di Pulau Kalimantan memiliki kondisi yang berbeda. Dari Gambar
4.12 dapat diketahui bahwa setiap Provinsi di Kalimantan berada pada
kondisi efisien.
Gambar 4.12 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau Kalimantan
Sumber : hasil olahan
205
0,982
0,984
0,986
0,988
0,99
0,992
0,994
0,996
0,998
1
1,002
2013
2014
2015
Gambar 4.13 Grafik Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan
Islam jenjang MI – MA pulau pulau Bali, Nusra dan Papua
Sumber : Hasil olahan
Gambar 4.13 menjelaskan kondisi pada Pulau Bali, Nusa Tenggara dan
Papua. Di ketiga Pulau ini, Provinsi Bali, Maluku, Nusa Tenggara Timur,
Papua, dan Papua Barat selama periode waktu 2013 – 2015 mampu
mempertahankan kinerjanya yang efisien. Sementara Provinsi yang lain dalam
Pulau Bali, Nusra dan Papua masih berada pada kondisi inefisien, namun
fluktuatif untuk mencapai skor efisiensi sempurna.
Berdasarkan hasil pengukuran analisa DEA per pulau, pada efisiensi teknis
sistem, terdapat dua puluh satu Provinsi yang mendapatkan skor efisiensi
sempurna selama periode 2013 – 2015. Sedangkan kondisi yang fluktuatif
terjadi pada daerah lainnya.
206
8. Perbaikan Variabel Input dan Output (Potential Improvement)
Dalam metode DEA, selain dapat menentukan nilai tingkat
efisiensi relatif, DEA juga memiliki keunggulan yaitu dapat
mengetahui variabel – variabel atau unit kegiatan ekonomi mana saja
yang perlu diperbaiki (potential improvement) untuk meningkatkan
tingkat efisiensi hingga mencapai nilai efisien 100%. Perbaikan
variabel ini menunjukkan tingkat efisiensi daerah atau UKE (Unit
Kegiatan Ekonomi) yang belum efisien dapat ditingkatkan atau
dikurangi guna mencapai kondisi efisien baik secara teknis biaya atau
teknis sistem.
Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan kemampuan
unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum
dari jumlah input. Seperti yang telah dijelaskan, teori mengenai belanja
atau anggaran dikatakan efisien apabila input yang tersedia dapat
menghasilkan output berupa barang atau jasa yang paling optimal bagi
kepentingan masyarakat.
Setelah sebelumnya diketahui nilai efisiensi, kali ini dibahas
mengenai cara meningkatkan efisiensi. DEA selain dapat
menghasilkan nilai efisiensi juga dapat menghasilkan potential
improvement atau tingkat perbaikan yang diperlukan. Efisiensi metode
DEA adalah efisiensi relatif. Untuk meningkatkan tingkat efisiensi
yang ditunjukkan dengan angka 100% maka dapat diketahui input
207
mana saja yang belum efisien penggunaannya dan output mana saja
yang harus ditingkatkan. Yang dimaksud dengan efisien adalah
menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan sejumlah
input tertentu, atau dengan input minimum dapat menghasilkan output
tertentu.
Untuk mengatasi inefisiensi tidak hanya dapat dilakukan dengan
meminimumkan input tetapi dapat juga dilakukan dengan
memaksimumkan outputnya. Dalam pembahasan ini agar suatu DMU
(Decision Making Unit) menjadi efisien maka dapat diselesaikan
dengan meningkatkan output dengan input tertentu. Tingkat efisiensi
dengan meminimumkan input dan memaksimumkan output
mempunyai nilai efisiensi yang sama. Yang membedakan hanyalah
pada perubahan yang harus dilakukan baik pada input ataupun pada
output. Dalam pembahasan ini, untuk mencapai efisiensi yang
sempurna maka output DMU yang belum efisien harus ditingkatkan.
208
Pada pembahasan perbaikan variabel input dan output pendidikan
Islam, peneliti membuat batasan ruang lingkup Provinsi yang akan
dilakukan perbaikan. Provinsi – Provinsi di tahun 2013 yang sudah
mencapai nilai efisiensi tidak akan peneliti bahas secara mendalam,
akan tetapi Provinsi yang belum mencapai skor efisiensi, maka peneliti
akan membahasnya secara mendalam. Merujuk kepada tabel 4.7 pada
penelitian ini, didapat Provinsi yang sudah mencapai skor efisien 100
% secara efisiensi teknis biaya ialah Aceh, Bali, Bengkulu, DI
Yogyakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,
Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Papua,
Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Dua puluh Provinsi yang sudah
disebutkan telah mencapai skor efisiensi 100 % untuk efisiensi teknis
biaya, dengan begitu tidak ada perubahan variabel input dan output
yang harus ditingkatkan ataupun dikurangi dari Kanwil Kemenag
Provinsi tersebut. Hal ini menunjukkan biaya pendidikan Islam yang
dikeluarkan di dua puluh Provinsi tersebut, sudah seminimal mungkin
untuk pengadaan fasilitas dan layanan yang optimal.
Dalam efisiensi teknis sistem, merujuk kepada tabel 4.8 di tahun 2013
terdapat dua puluh delapan Provinsi yang sudah mencapai efisiensi 100 %.
Hal ini menunjukkan dua puluh delapan Provinsi tersebut dirasa baik dalam
menyelenggarakan pendidikan baik menggunakan input yang ada, maupun
upayanya dalam memaksimalkan output. Dua puluh delapan Provinsi tersebut
209
ialah, Aceh, Bali, Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo,
Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kep.Riau, Lampung, Maluku,
Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua
Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Tabel 4.12 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya tahun
2013
Provinsi Variabel Aktual Proyeksi
Banten Efisiensi Teknis Biaya
Alokasi 1.331.302.079 1.331.302.079
Jumlah MI 717 941
Jumlah guru MI 9.476 11.064
Jumlah siswa MI 150.264 150.264
APS MI 99,29 99,47
Jumlah MTS 797 798
Jumlah guru MTS 10.847 13.169
Jumlah siswa MTS 139.386 139.386
APS MTS 94,87 95,04
Jumlah MA 333 349
Jumlah guru MA 5.477 6.054
Jumlah siswa MA 40.437 40.437
APS MA 66,25 71,81
DKI Jakarta Alokasi 1.305.201.743 1.305.201.743
Jumlah MI 467 943
Jumlah guru MI 6.110 12.819
Jumlah siswa MI 90.961 120.409
APS MI 99,47 99,94
Jumlah MTS 243 525
Jumlah guru MTS 4.577 10.431
Jumlah siswa MTS 48.596 84.471
APS MTS 96,69 97,26
Jumlah MA 91 234
Jumlah guru MA 1.895 5.828
Jumlah siswa MA 15.372 40.446
APS MA 70,23 79,40
Gorontalo Alokasi 270.582.389 270.582.389
210
Jumlah MI 92 103
Jumlah guru MI 993 1.301
Jumlah siswa MI 10.112 13.853
APS MI 98,40 99,27
Jumlah MTS 67 97
Jumlah guru MTS 1105 1.324
Jumlah siswa MTS 8.928 12.710
APS MTS 90,47 96,08
Jumlah MA 39 56
Jumlah guru MA 635 640
Jumlah siswa MA 4.874 6.671
APS MA 68,69 77,17
Jawa Tengah Alokasi 4.685.679.534 4.003.129.187,
7
Jumlah MI 3.938 3.942
Jumlah guru MI 42.021 55.172
Jumlah siswa MI 539.001 547.736
APS MI 99,51 99,62
Jumlah MTS 1.613 1.910
Jumlah guru MTS 32.158 40.452
Jumlah siswa MTS 396.670 396.786
APS MTS 94,85 97,75
Jumlah MA 583 826
Jumlah guru MA 13.448 22.317
Jumlah siswa MA 123.896 157.699
APS MA 67,54 77,47
Kalimantan Barat Alokasi 557.184.094 557.184.094
Jumlah MI 392 396
Jumlah guru MI 5.062 5.126
Jumlah siswa MI 59.817 60.490
APS MI 98,18 99,43
Jumlah MTS 289 304
Jumlah guru MTS 4.215 5.720
Jumlah siswa MTS 38.164 42.872
APS MTS 91,76 96,02
Jumlah MA 128 129
Jumlah guru MA 1.918 2369
Jumlah siswa MA 20.388 20.617
APS MA 66,48 76,75
Kalimantan Selatan Alokasi 950.237.379 929.039.655,0
59
Jumlah MI 519 652
Jumlah guru MI 4.611 7307
Jumlah siswa MI 72.295 79.857
APS MI 99,24 99,54
211
Jumlah MTS 329 594
Jumlah guru MTS 1.298 9865
Jumlah siswa MTS 62.078 80.308
APS MTS 91,83 94,18
Jumlah MA 136 253
Jumlah guru MA 829 3.742
Jumlah siswa MA 23.827 29.910
APS MA 67,18 69,07
Kalimantan Timur Alokasi 375.240.913 375.240.913
Jumlah MI 116 173
Jumlah guru MI 1.692 2.396
Jumlah siswa MI 20.288 24.253
APS MI 99,35 99,23
Jumlah MTS 143 143
Jumlah guru MTS 2.538 3.055
Jumlah siswa MTS 21.786 21.789
APS MTS 97,89 97,90
Jumlah MA 58 80,98
Jumlah guru MA 990 1.658
Jumlah siswa MA 11.260 11.261
APS MA 80,50 81,56
Kep. Bangka
Belitung
Alokasi 146.357.482 146.357.482
Jumlah MI 31 63
Jumlah guru MI 406 848
Jumlah siswa MI 5.438 11.703
APS MI 99,16 99,23
Jumlah MTS 44 48
Jumlah guru MTS 688 744
Jumlah siswa MTS 6.745 6.749
APS MTS 91,53 97,90
Jumlah MA 23 28
Jumlah guru MA 445 445
Jumlah siswa MA 2.964 3.283
APS MA 65,78 81,56
Maluku Utara Alokasi 241.932.279 241.932.279
Jumlah MI 105 144
Jumlah guru MI 1.287 1.959
Jumlah siswa MI 14.051 19.182
APS MI 98,89 99,06
Jumlah MTS 129 129
Jumlah guru MTS 1.590 2.458
Jumlah siswa MTS 13.222 15.376
APS MTS 96,24 96,78
Jumlah MA 67 73
212
Jumlah guru MA 789 1.287
Jumlah siswa MA 5.653 10.707
APS MA 74,83 79,22
Nusa Tenggara
TImur
Alokasi 227.444.938 227.444.938
Jumlah MI 162 163
Jumlah guru MI 1.823 2.209
Jumlah siswa MI 22.680 22.953
APS MI 97,99 99,17
Jumlah MTS 72 103
Jumlah guru MTS 1.096 1.791
Jumlah siswa MTS 9.381 15.153
APS MTS 94,26 98,24
Jumlah MA 31 51
Jumlah guru MA 594 1.015
Jumlah siswa MA 7.313 7.400
APS MA 73,96 81,40
Sulawesi Tengah Alokasi 418.152.665 418.152.665
Jumlah MI 195 290
Jumlah guru MI 1.987 3.902
Jumlah siswa MI 21.381 35.804
APS MI 97,71 99,19
Jumlah MTS 269 273
Jumlah guru MTS 3.906 5.634
Jumlah siswa MTS 28.347 34.259
APS MTS 91,23 97,69
Jumlah MA 147 149
Jumlah guru MA 2.129 2.808
Jumlah siswa MA 12.310 24.190
APS MA 73,64 79,33
Sulawesi Tenggara Alokasi 382.426.218 382.426.218
Jumlah MI 149 237
Jumlah guru MI 1.411 3.108
Jumlah siswa MI 16.496 28.726
APS MI 99,11 99,13
Jumlah MTS 213 213
Jumlah guru MTS 1.607 4.312
Jumlah siswa MTS 22.657 26.357
APS MTS 93,53 96,10
Jumlah MA 115 120
Jumlah guru MA 1.185 2.221
Jumlah siswa MA 9.183 20.007
APS MA 72,25 76,37
Sumatera Barat Alokasi 1.207.990.712 1.207.990.712
Jumlah MI 135 799
213
*Alokasi anggaran dalam ribuan rupiah
Sumber ; hasil olahan
Tabel 4.12 menunjukkan secara konkrit kinerja variabel apa saja
yang harus ditingkatkan agar setiap daerah mampu mendapatkan skor
efisiensi sempurna. Pada tahun 2013 secara efisiensi teknis biaya terdapat
tiga belas Provinsi yang belum efisien 100 persen dari tiga puluh tiga
Provinsi. Sulawesi Tengah adalah Provinsi dengan efisiensi relatif paling
rendah, yaitu 98,50 persen, dengan orientasi minimasi input untuk
mencapai efisiensi 100 persen, maka harus memaksimumkan penggunaan
biaya alokasi pendidikan Islam sebesar Rp. 418.152.665.000 untuk
mencapai target 100 persen. Pada indikator output sebenarnya dapat
mencapai efisiensi 100 persen dengan meningkatkan jumlah sekolah,
jumlah guru, jumlah murid dan Angka Partisipasi Siswa. Dalam penelitian
ini terjadi peningkatan jumlah guru, jumlah murid dan jumlah sekolah.
Dengan penggunaan orientasi minimasi input dengan biaya yang tersedia
sebenarnya Provinsi yang belum efisien tersebut perlu meningkatkan
berbagai fasilitas/layanan pendidikan yang dicerminkan melalui indikator
Jumlah guru MI 2.001 11.122
Jumlah siswa MI 18.180 103.292
APS MI 99,27 99,61
Jumlah MTS 393 449
Jumlah guru MTS 8.898 8.929
Jumlah siswa MTS 65.405 75.748
APS MTS 95,84 98,07
Jumlah MA 203 203
Jumlah guru MA 4.180 5.056
Jumlah siswa MA 27.136 36.501
APS MA 81,97 82,25
214
– indikator pada variabel output, dalam hal ini, indikator yang memerlukan
peningkatan paling tinggi adalah angka partisipasi murni. Peningkatan
angka partisipasi murni dapat diartikan dengan upaya meningkatkan
aksesibilitas masyarakat untuk menempuh pendidikan di jenjang sekolah
dasar.
Tabel 4.13 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2013
Provinsi Variabel Aktual Proyeksi
Jawa Barat Efisiensi Teknis Sistem
RGM MI 60,83 84,44
RKM MI 35,47 43,91
APM MI 95,04 96,10
APS MI 99,57 99,57
NHUN MI 7,56 7,31
RGM MTS 75,39 114,37
RKM MTS 29,50 14,99
APM MTS 82,13 74,82
APS MTS 93,19 94,24
NHUN MTS 5,83 6,67
RGM MA 107,05 117,16
RKM MA 36,88 12,16
APM MA 45,89 53,28
APS MA 65,72 69,64
NHUN MA 5,61 5,74
Kep.Bangka
Belitung
RGM MI 65,73 74,65
RKM MI 41,67 40,96
APM MI 96,07 97,12
APS MI 99,22 99,56
NHUN MI 6,53 6,66
RGM MTS 99,42 94,30
RKM MTS 38,13 18,78
APM MTS 70,23 73,34
APS MTS 91,82 94,38
NHUN MTS 5,34 6,26
RGM MA 132,14 90,09
RKM MA 35,78 7,06
APM MA 47,87 61,04
APS MA 66,17 70,04
215
NHUN MA 4,55 5,17
Riau RGM MI 90,37 83,71
RKM MI 50,10 34,76
APM MI 93,64 94,13
APS MI 94,48 99,37
NHUN MI 6,97 7,89
RGM MTS 99,42 102,38
RKM MTS 38,02 24,93
APM MTS 76,44 81,51
APS MTS 75,57 96,11
NHUN MTS 7,25 7,37
RGM MA 132,14 115,99
RKM MA 49,21 20,65
APM MA 54,59 62,83
APS MA 75,57 75,83
NHUN MA 6,83 6,54
Sulawesi Tengah RGM MI 98,14 78,86
RKM MI 49,80 37,64
APM MI 92,61 93,91
APS MI 98,02 98,67
NHUN MI 6,74 7,38
RGM MTS 118,79 93,51
RKM MTS 39,72 22,40
APM MTS 81,80 71,77
APS MTS 91,8 95,03
NHUN MTS 6,51 6,74
RGM MA 161,55 95,87
RKM MA 44,88 24,07
APM MA 53,26 52,33
APS MA 73,8 74,36
NHUN MA 5,12 5,55
Sulawesi Tenggara
RGM MI 92,11 85,53
RKM MI 48,28 35,99
APM MI 90,25 96,12
APS MI 99,3 99,13
NHUN MI 6,81 7,83
RGM MTS 122,72 70,92
RKM MTS 38,86 18,22
APM MTS 80,27 77,65
APS MTS 93,67 94,38
NHUN MTS 6,96 7,14
RGM MA 165,72 74,34
RKM MA 43,55 13,52
APM MA 64,65 59,97
216
Berdasarkan tabel efisiensi teknis sistem diatas, tahun 2013
terdapat lima Provinsi yang belum efisien 100 persen. Provinsi Sulawesi
Tengah merupakan daerah dengan efisiensi paling rendah yaitu 99,02 %,
untuk mencapai efisiensi 100 persen, maka harus menurunkan angka rasio
kelas/murid MI, menjadi 37,64, RKM MTS menjadi 22,40, RKM MA
menjadi 24,07. Penelitian ini menggunakan rasio kelas/murid sebagai
rasio, angka yang semakin kecil menunjukkan semakin besar jumlah
murid dalam satu kelas. Metode analisis efisiensi teknis sistem
menggunakan orientasi maksimasi output. Berdasarkan tabel diatas, kedua
indikator output di Provinsi Sulawesi Tengah memerlukan peningkatan
NHUN MI menjadi 7,38, APS MI menjadi 98,67, NHUN MTS menjadi
6,74 , APS MTS menjadi 95,03 , NHUN MA menjadi 5,55 dan APS MA
menjadi 74,36.
Provinsi – Provinsi di tahun 2014 yang sudah mencapai nilai efisiensi
tidak akan peneliti bahas secara mendalam, akan tetapi Provinsi yang
belum mencapai skor efisiensi, maka peneliti akan membahasnya secara
mendalam. Merujuk kepada tabel 4.7 pada penelitian ini, didapat Provinsi
yang sudah mencapai skor efisien 100 % secara efisiensi teknis biaya ialah
Bali, DI Yogyakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah,
Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Utara. Delapan Belas Provinsi yang sudah
APS MA 72,42 72,42
NHUN MA 5,73 6,14
217
disebutkan telah mencapai skor efisiensi 100 % untuk efisiensi teknis
biaya, dengan begitu tidak ada perubahan variabel input dan output yang
harus ditingkatkan ataupun dikurangi dari Kanwil Kemenag Provinsi
tersebut. Hal ini menunjukkan biaya pendidikan Islam yang dikeluarkan di
dua puluh Provinsi tersebut, sudah seminimal mungkin untuk pengadaan
fasilitas dan layanan yang optimal.
Dalam efisiensi teknis sistem, merujuk kepada tabel 4.8 di tahun 2014
terdapat dua puluh enam Provinsi yang sudah mencapai efisiensi 100 %.
Hal ini menunjukkan dua puluh enam Provinsi tersebut dirasa baik dalam
menyelenggarakan pendidikan baik menggunakan input yang ada, maupun
upayanya dalam memaksimalkan output. Dua puluh enam Provinsi
tersebut ialah, Aceh, Bali, Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kep.Bangka Belitung,
Kep.Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Tabel 4.14 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya
tahun 2014
Provinsi Variabel Aktual Proyeksi
Aceh Efisiensi Teknis Biaya
Alokasi 1.562.271.086,8 1.531.215.190,7
Jumlah MI 592 1.082
Jumlah guru MI 11.595 12.303
Jumlah siswa MI 121.527 131.289
218
APS MI 99,40 99,77
Jumlah MTS 391 594
Jumlah guru MTS 8.367 9.545
Jumlah siswa MTS 79.577 170.608
APS MTS 97,38 98,03
Jumlah MA 221 263
Jumlah guru MA 5.111 5.130
Jumlah siswa MA 41.286 63.161
APS MA 80,89 81,19
Banten Alokasi 1.164.034.994 1.455.043.742,5
Jumlah MI 717 1053
Jumlah guru MI 4.236 11.721
Jumlah siswa MI 63.162 13.929
APS MI 99,29 99,50
Jumlah MTS 797 798
Jumlah guru MTS 6.309 12.667
Jumlah siswa MTS 68.854 57.190
APS MTS 94,87 95,07
Jumlah MA 333 340
Jumlah guru MA 4.328 6.073
Jumlah siswa MA 38.379 29.290
APS MA 66,25 72,07
Bengkulu Alokasi 351.859.924,8 439.824.906
Jumlah MI 129 130
Jumlah guru MI 1.571 1573
Jumlah siswa MI 15.751 16.560
APS MI 99,45 99,60
Jumlah MTS 86 86
Jumlah guru MTS 1.583 1.697
Jumlah siswa MTS 13.243 15.411
APS MTS 96,71 97,98
Jumlah MA 44 44
Jumlah guru MA 976 1.054
Jumlah siswa MA 7.439 9.384
APS MA 77,92 82,85
DKI Jakarta Alokasi 1.260.861.958 1.045.597.048,564
Jumlah MI 467 555
Jumlah guru MI 6.247 6.262
Jumlah siswa MI 98.129 15.410
APS MI 99,47 99,72
Jumlah MTS 243 381
Jumlah guru MTS 5.027 6.134
Jumlah siswa MTS 54.260 24.535
APS MTS 99,69 96,93
219
Jumlah MA 91 173
Jumlah guru MA 2.222 3.518
Jumlah siswa MA 18.079 12.383
APS MA 70,23 78,42
Gorontalo Alokasi 268.574.300 268.574.300
Jumlah MI 92 92
Jumlah guru MI 981 1.219
Jumlah siswa MI 10.952 98.377
APS MI 98,40 99,40
Jumlah MTS 67 67
Jumlah guru MTS 1.087 1.160
Jumlah siswa MTS 10.490 73.004
APS MTS 90,47 97,17
Jumlah MA 39 39
Jumlah guru MA 698 740
Jumlah siswa MA 4.898 35.793
APS MA 68,69 80,94
Jawa Tengah Alokasi 4.926.352.233 4.465.868.412,309
Jumlah MI 3,938 4.372
Jumlah guru MI 39.923 49.861
Jumlah siswa MI 543.395 621.312
APS MI 99,51 99,59
Jumlah MTS 1,613 2.117
Jumlah guru MTS 32.428 32.455
Jumlah siswa MTS 436.874 603.449
APS MTS 94,85 97,55
Jumlah MA 583 914
Jumlah guru MA 13.280 16.498
Jumlah siswa MA 139.772 167.418
APS MA 67,54 76,45
Kalimantan Barat Alokasi 569.572.531,5 569.572.531,5
Jumlah MI 392 396
Jumlah guru MI 4.183 5.002
Jumlah siswa MI 65.625 92.248
APS MI 98,18 99,30
Jumlah MTS 289 292
Jumlah guru MTS 3.439 5.524
Jumlah siswa MTS 32.311 52.738
APS MTS 91,76 97,15
Jumlah MA 128 152
Jumlah guru MA 1.770 3.270
Jumlah siswa MA 14.249 24.798
APS MA 66,48 79,43
Kalimantan Selatan Alokasi 1.060.552.621 1.057.607.693,528
220
Jumlah MI 519 582
Jumlah guru MI 6.534 6.562
Jumlah siswa MI 65.491 65.625
APS MI 99,24 99,66
Jumlah MTS 329 415
Jumlah guru MTS 5.677 6.501
Jumlah siswa MTS 63.046 32.311
APS MTS 91,83 96,10
Jumlah MA 136 189
Jumlah guru MA 2.644 3.763
Jumlah siswa MA 25.189 14.249
APS MA 67,18 75,89
Kalimantan Timur Alokasi 403.864.807,5 403.864.807,5
Jumlah MI 116 174
Jumlah guru MI 1.401 2.315
Jumlah siswa MI 19.335 34.099
APS MI 99,35 99,40
Jumlah MTS 143 143
Jumlah guru MTS 2.140 2.954
Jumlah siswa MTS 23.877 22.338
APS MTS 97,89 97,94
Jumlah MA 58 80
Jumlah guru MA 881 1.886
Jumlah siswa MA 7.122 9.134
APS MA 80,50 81,84
Kepulauan Bangka
Belitung
Alokasi 162.863.946 162.863.946
Jumlah MI 31 62
Jumlah guru MI 383 767
Jumlah siswa MI 5.695 23.916
APS MI 99,16 99,16
Jumlah MTS 44 57
Jumlah guru MTS 783 783
Jumlah siswa MTS 7.753 23.886
APS MTS 91,53 98,31
Jumlah MA 23 32
Jumlah guru MA 451 484
Jumlah siswa MA 3.255 10.900
APS MA 65,78 81,55
Nusa Tenggara
Timur
Alokasi 247.191.340,5 247.191.340,5
Jumlah MI 162 163
Jumlah guru MI 1.834 1.844
Jumlah siswa MI 22.968 91.587
APS MI 97,99 98,53
Jumlah MTS 72 102
221
Jumlah guru MTS 1.031 1.433
Jumlah siswa MTS 10.777 14.635
APS MTS 94,26 97,98
Jumlah MA 31 50
Jumlah guru MA 685 782
Jumlah siswa MA 6.453 56.590
APS MA 73,96 80,99
Sulawesi Selatan Alokasi 1.412.800.200 1.412.800.200
Jumlah MI 681 1.073
Jumlah guru MI 7.745 12.274
Jumlah siswa MI 69.183 143.555
APS MI 98,91 99,46
Jumlah MTS 716 821
Jumlah guru MTS 11.727 13.834
Jumlah siswa MTS 86.139 147.770
APS MTS 92,57 94,73
Jumlah MA 360 362
Jumlah guru MA 6.563 6.975
Jumlah siswa MA 40.753 71.290
APS MA 69,38 70,01
Sulawesi Tengah Alokasi 484.571.389,5 484.571.389,5
Jumlah MI 195 296
Jumlah guru MI 1.856 4.061
Jumlah siswa MI 19.966 136.140
APS MI 97,71 99,24
Jumlah MTS 269 273
Jumlah guru MTS 3.479 5.692
Jumlah siswa MTS 29.444 120.455
APS MTS 91,23 97,46
Jumlah MA 147 156
Jumlah guru MA 2.036 3.597
Jumlah siswa MA 12.814 48.561
APS MA 73,64 79,72
Sulawesi Tenggara Alokasi 432.573.191,5 432.573.191,5
Jumlah MI 149 244
Jumlah guru MI 1.423 3.214
Jumlah siswa MI 14.154 37.805
APS MI 99,11 99,32
Jumlah MTS 213 213
Jumlah guru MTS 2.809 4.167
Jumlah siswa MTS 21.792 37.137
APS MTS 93,53 96,88
Jumlah MA 115 115
Jumlah guru MA 1.891 2.543
222
*Anggaran dalam ribuan rupiah
Sumber ; hasil olahan
Berdasarkan tabel 4.14 efisiensi teknis biaya, terdapat lima belas
Provinsi yang belum efisien 100 persen dari tiga puluh tiga Provinsi.
Provinsi Sulawesi Tengah adalah Provinsi dengan efisiensi relatif paling
rendah yaitu 98,45 %. Dengan orientasi minimasi input, untuk mencapai
efisiensi 100 persen, maka alokasi biaya harus digunakan dengan
maksimum yaitu Rp. 484.571.389.500. Pada indikator output, sebenarnya
dapat mencapai efisiensi 100 persen dengan meningkatkan jumlah MI
menjadi 296 sekolah, jumlah guru MI menjadi 4.061 guru, jumlah siswa
MI menjadi 136.140 siswa, jumlah MT menjadi 273 sekolah, jumlah guru
MTS menjadi 5.692 guru, jumlah siswa MTS menjadi 120.455 siswa,
jumlah MA menjadi 156 sekolah, dan jumlah siswa MA menjadi 48.561
siswa. Dengan penggunaan orientasi minimasi input, dengan biaya yang
tersedia sebenarnya Provinsi yang belum efisiesn tersebut perlu
meningkatkan berbagai fasilitas/layanan pendidikan yang dicerminkan
Jumlah siswa MA 11.121 19.788
APS MA 72,25 79,20
Sulawesi Utara Alokasi 206.774.961 206.774.961
Jumlah MI 80 80
Jumlah guru MI 227 1.026
Jumlah siswa MI 11.146 33.534
APS MI 98,95 99,21
Jumlah MTS 58 60
Jumlah guru MTS 240 946
Jumlah siswa MTS 8.733 29.745
APS MTS 94,34 96,84
Jumlah MA 35 35
Jumlah guru MA 161 603
Jumlah siswa MA 3.651 14.894
APS MA 71,98 79,89
223
melalui indikator – indikator pada variabel output. Secara umum, lebih
dari 50 persen Provinsi yang belum efisien menunjukkan bahwa jumlah
guru harus ditingkatkan, dalam hal ini dengan biaya yang tersedia
sebenarnya dapat mencapai jumlah guru lebih banyak dari nilai aktual.
Tabel 4.15 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2014
Provinsi Variabel Aktual Proyeksi
Bengkulu Efisiensi Teknis Sistem
RGM MI 99,74 84,59
RKM MI 45,97 43,17
APM MI 94,82 94,35
APS MI 99,45 99,51
NHUN MI 7,24 7,24
RGM MTS 119,53 96,21
RKM MTS 37,60 34,53
APM MTS 76,73 76,73
APS MTS 96,71 96,88
NHUN MTS 5,17 6,35
RGM MA 131,20 124,72
RKM MA 41,67 40,65
APM MA 63,18 58,39
APS MA 77,92 77,97
NHUN MA 5,31 5,31
Gorontalo RGM MI 89,57 89,57
RKM MI 51,22 46,19
APM MI 93,20 93,20
APS MI 98,4 99,58
NHUN MI 7,15 7,33
RGM MTS 103,62 103,62
RKM MTS 41,56 32,87
APM MTS 76,94 76,09
APS MTS 90,47 94,93
NHUN MTS 6,32 6,50
RGM MA 142,51 136,66
RKM MA 54,10 40,06
APM MA 53,58 53,58
APS MA 68,69 71,64
NHUN MA 5,32 5,80
Maluku Utara RGM MI 75,71 78,85
224
RKM MI 42,12 38,72
APM MI 93,26 88,57
APS MI 98,89 99,04
NHUN MI 7,43 7,56
RGM MTS 115,70 112,90
RKM MTS 32,03 32,54
APM MTS 81,37 70,78
APS MTS 96,24 94,44
NHUN MTS 6,89 7,43
RGM MA 130,40 132,61
RKM MA 48,13 33,68
APM MA 80,49 56,12
APS MA 74,83 71,67
NHUN MA 4,75 6,14
Sulawesi Barat RGM MI 122,74 78,85
RKM MI 51,55 38,72
APM MI 88,57 88,57
APS MI 97,91 99,04
NHUN MI 7,48 7,56
RGM MTS 145,09 112,90
RKM MTS 40,35 32,54
APM MTS 70,78 70,78
APS MTS 89,26 94,44
NHUN MTS 7,01 7,43
RGM MA 157,95 132,61
RKM MA 44,47 33,68
APM MA 59,40 56,12
APS MA 66,97 71,67
NHUN MA 5,77 6,14
Sulawesi Selatan RGM MI 111,95 89,77
RKM MI 53,99 44,72
APM MI 93,74 92,98
APS MI 98,91 99,60
NHUN MI 7,70 7,75
RGM MTS 136,14 108,78
RKM MTS 41,94 33,61
APM MTS 75,07 75,07
APS MTS 92,57 94,76
NHUN MTS 6,79 6,83
RGM MA 161,04 139,54
RKM MA 43,75 39,54
APM MA 60,58 53,65
APS MA 69,38 71,47
NHUN MA 5,48 6,04
225
Sumber ; hasil olahan
Berdasarkan hasil olahan dengan menggunakan DEA, pada tabel
4.15 terdapat 7 Provinsi yang belum mencapai efisiensi 100 persen pada
efisiensi teknis sistem. Provinsi yang mencapai efisiensi paling rendah
pada efisiensi teknis sistem tahun 2014 ialah Gorontalo dengan nilai
efisiensi relatif 98,81 %. Dengan orientasi maksimasi output, pada
beberapa indikator variabel output memerlukan peningkatan untuk
Sulawesi Tenggara RGM MI 100,54 96,19
RKM MI 53,98 44,72
APM MI 91,52 91,52
APS MI 99,11 99,66
NHUN MI 7,28 7,75
RGM MTS 128,90 106,38
RKM MTS 40,43 33,61
APM MTS 82,36 80,52
APS MTS 93,53 94,76
NHUN MTS 6,83 6,83
RGM MA 170,04 128,29
RKM MA 48,29 39,54
APM MA 66,47 60,76
APS MA 72,25 71,47
NHUN MA 4,98 6,04
Sumatera Barat RGM MI 99,55 89,24
RKM MI 45,87 45,87
APM MI 95,45 95,13
APS MI 99,27 99,58
NHUN MI 6,56 7,33
RGM MTS 112,51 95,29
RKM MTS 34,60 33,22
APM MTS 84,30 84,3
APS MTS 95,84 98,05
NHUN MTS 6,80 6,23
RGM MA 162,74 126,91
RKM MA 46,63 42,60
APM MA 66,18 63,93
APS MA 81,97 82,22
NHUN MA 6,50 5,78
226
mencapai efisiensi 100 persen, yaitu peningkatan Nilai Hasil Ujian
Nasional dan Angka Partisipasi Sekolah. NHUN MI menjadi 7,33, NHUN
MTS menjadi 6,50, dan NHUN MA menjadi 5,80, APS MI menjadi 99,58,
APS MTS menjadi 94,93 dan APS MA menjadi 71,64. Dari sejumlah
Provinsi yang belum mencapai efisiensi sempurna, output yang
memerlukan peningkatkan paling mencolok adalah Angka Partisipasi
Sekolah, sedangkan input yang memerlukan penurunan paling banyak
ialah indikator rasio guru/murid.
227
Tabel 4.16 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Biaya
tahun 2015
Provinsi Variabel Aktual Proyeksi
DKI Jakarta Efisiensi Teknis Biaya
Alokasi 1.216.522.173 1.216.522.173
Jumlah MI 469 469
Jumlah guru MI 6.289 7.462
Jumlah siswa MI 105.976 106.077
APS MI 99,56 99,68
Jumlah MTS 244 277
Jumlah guru MTS 5.027 5.729
Jumlah siswa MTS 65.281 74.012
APS MTS 97,19 97,93
Jumlah MA 91 146
Jumlah guru MA 2.235 3.348
Jumlah siswa MA 20.261 35.622
APS MA 71 82,19
Gorontalo Alokasi 266.566.211 266.566.211
Jumlah MI 94 94
Jumlah guru MI 968 1.234
Jumlah siswa MI 11.546 16.921
APS MI 98,69 99,28
Jumlah MTS 69 74
Jumlah guru MTS 1.114 1.134
Jumlah siswa MTS 10.964 11.031
APS MTS 90,75 97,14
Jumlah MA 41 42
Jumlah guru MA 719 731
Jumlah siswa MA 5.307 5.339
APS MA 69 79,29
Jambi Alokasi 763.254.248 763.254.248
Jumlah MI 277 384
Jumlah guru MI 3.221 5.138
Jumlah siswa MI 28.453 48.291
APS MI 99,55 99,56
Jumlah MTS 367 367
Jumlah guru MTS 5.820 7.671
Jumlah siswa MTS 54.557 57.618
APS MTS 95,06 97,92
Jumlah MA 199 203
Jumlah guru MA 3.166 4.739
Jumlah siswa MA 23.589 28.471
APS MA 71 80,87
Jawa Tengah Alokasi 5.167.024.932 4.659.572.140,173
228
Jumlah MI 3.973 3.977
Jumlah guru MI 40.158 48.864
Jumlah siswa MI 563.759 564.226
APS MI 99,56 99,66
Jumlah MTS 1.645 2.002
Jumlah guru MTS 33.698 35.208
Jumlah siswa MTS 44.278 373.341
APS MTS 95,30 97,08
Jumlah MA 620 943
Jumlah guru MA 14.191 18.970
Jumlah siswa MA 147.151 178.291
APS MA 68 75,73
Kalimantan Barat Alokasi 581.960.969 581.960.969
Jumlah MI 401 404
Jumlah guru MI 4.552 4.696
Jumlah siswa MI 52.606 53.125
APS MI 98,27 99,24
Jumlah MTS 293 295
Jumlah guru MTS 3.804 4.865
Jumlah siswa MTS 36.617 46.184
APS MTS 91,91 97,52
Jumlah MA 128 141
Jumlah guru MA 2.037 2.577
Jumlah siswa MA 16.867 19.135
APS MA 67 80,02
Kalimantan Selatan Alokasi 1.170.867.863 1.170.867.863
Jumlah MI 521 572
Jumlah guru MI 6.700 6.925
Jumlah siswa MI 67.758 79.636
APS MI 99,43 99,86
Jumlah MTS 331 332
Jumlah guru MTS 5.930 6.638
Jumlah siswa MTS 66.964 73.704
APS MTS 91,91 99,12
Jumlah MA 139 152
Jumlah guru MA 2.864 3.535
Jumlah siswa MA 27.240 30.603
APS MA 67 84,89
Nusa Tenggara
Timur
Alokasi 266.937.743 266.937.743
Jumlah MI 165 165
Jumlah guru MI 1.899 1.958
Jumlah siswa MI 24.049 24.049
APS MI 98,13 98,24
Jumlah MTS 76 89
229
Sumber : hasil olahan
Berdasarkan tabel 4.16 efisiensi teknis biaya tahun 2015 terdapat 9
Provinsi yang belum efisien 100 % dari 33 Provinsi. Provinsi Sulawesi
Tengah adalah Provinsi dengan efisiensi relatif paling rendah yaitu, 98,51
%. Dengan orientasi minimasi input, untuk mencapai efisiensi 100 persen,
maka harus memaksimumkan alokasi anggaran pendidikan Islam sebesar
Jumlah guru MTS 1.177 1.455
Jumlah siswa MTS 11.771 11.771
APS MTS 94,39 97,40
Jumlah MA 33 46
Jumlah guru MA 767 846
Jumlah siswa MA 6.858 6.858
APS MA 74 80,82
Sulawesi Tengah Alokasi 550.990.114 550.990.114
Jumlah MI 202 205
Jumlah guru MI 2.166 2.821
Jumlah siswa MI 22.070 27.932
APS MI 98,02 99,49
Jumlah MTS 277 281
Jumlah guru MTS 4.169 5.993
Jumlah siswa MTS 35.095 49.175
APS MTS 91,80 96,86
Jumlah MA 150 152
Jumlah guru MA 2.462 3.405
Jumlah siswa MA 15.240 20.441
APS MA 74 80,43
Sulawesi Tenggara Alokasi 482.720.165 482.720.165
Jumlah MI 155 155
Jumlah guru MI 1.765 2.119
Jumlah siswa MI 19.161 21.773
APS MI 99,30 99,50
Jumlah MTS 217 223
Jumlah guru MTS 3.449 4.843
Jumlah siswa MTS 28.104 42.119
APS MTS 93,67 96,70
Jumlah MA 122 122
Jumlah guru MA 2.127 2.729
Jumlah siswa MA 12.835 16.904
APS MA 72 80,47
230
Rp. 550.990.114.000. Pada indikator output, peningkatan paling tinggi
harus dilakukan adalah pada jumlah siswa yaitu 27.932 siswa MI, 49.175
siswa MTS, dan 20.441 siswa MA dari nilai aktual masing – masing agar
untuk mencapai efisiensi 100 persen.
Tabel 4.17 Rata – Rata Aktual dan Proyeksi Efisiensi Teknis Sistem
tahun 2015
Provinsi 2015 Variabel Aktual Proyeksi
Maluku Utara Efisiensi Teknis Sistem
RGM MI 75,08 75,08
RKM MI 45,24 37,78
APM MI 93,83 92,90
APS MI 99,08 99,34
NHUN MI 7,58 7,60
RGM MTS 114,75 93,85
RKM MTS 42,57 34,38
APM MTS 81,85 81,85
APS MTS 96,68 96,94
NHUN MTS 7,19 7,20
RGM MA 140,36 119,97
RKM MA 51,80 39,44
APM MA 74,05 65,16
APS MA 75,16 78,61
NHUN MA 5,41 6,48
Sulawesi Barat RGM MI 123,37 80,44
RKM MI 51,46 40,04
APM MI 89,24 89,24
APS MI 98 99,43
NHUN MI 6,7 7,09
RGM MTS 142,91 112,95
RKM MTS 41,10 36,08
APM MTS 75,97 75,97
APS MTS 89,84 94,26
NHUN MTS 7,05 7,34
RGM MA 163,97 133,24
RKM MA 42,29 37,78
APM MA 61,57 59,05
APS MA 67,14 71,12
231
NHUN MA 6,19 6,28
Sulawesi Tengah RGM MI 98,14 76,73
RKM MI 49,80 43,76
APM MI 92,61 90,94
APS MI 98,02 98,37
NHUN MI 6,74 7,18
RGM MTS 118,79 96,27
RKM MTS 39,72 36,44
APM MTS 81,80 74,88
APS MTS 91,8 96,64
NHUN MTS 6,51 6,91
RGM MA 161,55 137,93
RKM MA 44,88 44,88
APM MA 53,26 53,26
APS MA 73,8 74,06
NHUN MA 5,12 6,38
Sulawesi Tenggara RGM MI 92,11 86,01
RKM MI 48,28 39,19
APM MI 90,25 90,25
APS MI 99,3 99,65
NHUN MI 6,81 7,54
RGM MTS 122,72 111,01
RKM MTS 38,86 35,96
APM MTS 80,27 80,27
APS MTS 93,67 95,82
NHUN MTS 6,96 7,25
RGM MA 165,72 129,47
RKM MA 43,55 39,15
APM MA 64,65 62,74
APS MA 72,42 75,63
NHUN MA 5,73 6,30
Sulawesi Utara RGM MI 70,77 70,76
RKM MI 40,70 37,69
APM MI 92,03 92,03
APS MI 99,33 99,43
NHUN MI 6,98 7,22
RGM MTS 93,49 94,49
RKM MTS 38,79 33,63
APM MTS 79,73 79,73
APS MTS 94,59 94,99
NHUN MTS 7,05 7,05
RGM MA 124,23 124,22
RKM MA 41,96 39,86
APM MA 72,59 58,43
232
Sumber ; hasil olahan
Berdasarkan tabel diatas, terdapat 6 Provinsi yang belum mencapai
efisiensi 100 persen. Provinsi Sulawesi Barat adalah Provinsi dengan
efisiensi paling rendah, untuk mencapai efisiensi sempurna memerlukan
peningkatan NHUN MI menjadi 7,09, NHUN MTS menjadi 7,34 dan
NHUN MA menjadi 6,28. Pada variabel intermediate output, indikator
yang memerlukan peningkatan efisiensi tertinggi adalah adalah Rasio
Guru Murid, yaitu penurunan angka menjadi 80,44 untuk RGM MI,
112,95 untuk RGM MTS, dan 133,24 untuk RGM MA.
APS MA 72,22 72,29
NHUN MA 5,46 6,32
Nusa Tenggara
Barat
RGM MI 119,91 85,26
RKM MI 49,34 46,05
APM MI 93,24 93,24
APS MI 99,48 99,59
NHUN MI 6,91 7,29
RGM MTS 158,69 93,48
RKM MTS 38,63 34,02
APM MTS 83,73 83,73
APS MTS 97,74 97,55
NHUN MTS 6,85 7,09
RGM MA 184,79 123,67
RKM MA 40,68 40,19
APM MA 70,03 66,23
APS MA 75,86 80,02
NHUN MA 6,38 6,38
233
9. Analisa Deskriptif Pendidikan Islam dan Pertumbuhan
Ekonomi
Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input
pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam
Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab
kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1)
pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas
manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi
isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut Solow (1958) juga telah melakukan analisa dari
temuannya tentang residual dalam penjelasan mengenai pertumbuhan
ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta
(1999) juga menjelaskan bahwa residual itu menujukkan tingkat
pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan
sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi tersebut
menunjukkan suatu keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan
pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan
kesehatan.
Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan
disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat
dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga
234
kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi
dan ekonomi yang terjadi. Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh
Al-Samarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka peningkatan
sumber daya manusia, pemerintah telah melakukan beberapa program
antara lain dengan menghapuskan biaya untuk Sekolah Dasar dan
memperbesar pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak
dari program ini adalah meningkatnya tingkat enrollment rate
ratio pendidikan dasar. Namun demikian masalah yang harus
diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah distribusi pendidikan
yang tidak merata.
Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan
pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian,
pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun
peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia
dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu
pendidikan dan program ekonomi yang jelas. Studi yang dilakukan
Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi
Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya
menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah
disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen
disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24
persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001)
menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa
235
pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan
budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk
kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial. Meski modal manusia
memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli
mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih
menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini
beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua
faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS
pada periode 1948-79. Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan
modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat
mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan
manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-
mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat
dan berkualitas. Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi
faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih
tinggi dari angka 31 persen.
Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini
berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan
dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat
pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan
lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas,
tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas. Buku terakhir
236
William Schweke, Smart Money: Education and Economic
Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah
para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan
sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat
menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan
ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja
berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan
masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya
akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat.
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian
kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun
pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran,
kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang
menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Lalu pertanyaannya,
apakah ukuran yang dapat menentukan kualitas manusia? Ada
berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan,
pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara
berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling
penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan,
manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan
pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan
hidupnya dengan lebih baik.
237
Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan,
pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar
mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun
kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia
akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian
secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa,
semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.
Di Indonesia, pendidikan masih belum mendapatkan tempat yang
utama sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini
ditunjukkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang masih jauh dari
amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Padahal dalam UU tersebut, telah
mengamanatkan tentang besarnya anggaran pendidikan di berbagai
level pemerintahan minimal 20%. Rendahnya pemenuhan anggaran
pendidikan dapat mengakibatkan mutu pendidikan dan perluasan akses
pendidikan menjadi terhambat. Akibatnya peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan penguasaan teknologi juga terpasung. Indikasi lain
yang perlu menjadi perhatian lebih untuk menjadikan pendidikan
sebagai basis perubahan dalam meningkatkan pembangunan,
khususnya pembangunan ekonomi adalah tingkat melek huruf dan
angka partisipasi pendidikan. Berdasarkan laporan dari Dirjen PLS
238
tentang tingkat pemberantasan buta aksara secara nasional di Indonesia
telah mengalami penurunan tahun 2006 hingga menjadi sekitar 13 juta
orang yang masih buta huruf.
Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004
yang berjumlah 15,4 juta orang, dan menurun menjadi 14,6 juta orang
pada tahun 2005. Jika dilihat persentase selama 2004 s/d 2006 telah
terjadi penurunan 16,15%. Bahkan menurut Ace Suryadi (2006)
diharapkan pada tahun 2015 pemberantasan buta aksara sudah bisa
tuntas dengan asumsi pengurangan setiap tahun 1,6 juta orang.
Sementara tingkat partisipasi pendidikan menurut data Susenas 2004,
APS penduduk usia 7 s/d 12 tahun meningkat dari 92,83% pada 1993
menjadi 96,775 pada 2004. Dalam rentang waktu yang sama APS
penduduk usia 13 – 15 tahun meningkat dari 68,74% menjadi 83,49%.
Sedangkan APS penduduk usia 16 – 18 tahun meningkat dari 40,23%
menjadi 53,48%. Data tersebut menunjukkan adanya masalah
kesenjangan partisipasi pendidikan, sehingga pemerintah perlu
meningkatkan alokasi anggaran pendidikan agar masyarakat lebih
banyak lagi yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan.
Yang jelas, kondisi di atas akan memunculkan fenomena tersendiri
bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia, diantaranya
kesenjangan pendapatan, ketertinggalan pendidikan, kemiskinan, dan
kemakmuran masyarakat. Sylwester (2002) telah merekomendasikan
dari hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa negara yang
239
mencurahkan banyak perhatian terhadap public education (dilihat dari
persentase GNP terhadap pendidikan) mempunyai tingkat kesenjangan
yang rendah.
Akan tetapi, di Indonesia, investasi modal fisik masih dianggap
sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi
usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, di Indonesia
cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka
pendek cara ini mungkin ada benarnya, karena diharapkan dapat
memberikan efek multiplier terhadap tenaga kerja di Indonesia.
Namun, dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi
untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi,
akibatnya banyak tenaga kerja sendiri tersingkirkan. Bila dilihat dari
besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak
lebih baik di banding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil.
Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di
luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah
penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah
jumlah mahasiswa Indonesia di AS.
Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di
bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang
amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi
tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing
kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan
240
keunggulan komparatif sumber daya manusia yang melimpah dan
murah sudah kurang relevan. Dengan demikian, peningkatan investasi
di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa
dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta.
Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran
sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara
absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-
negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya
manusia. Persentase investasi pendidikan 20 persen dari total anggaran
pemerintah harus segera dipenuhi sesuai dengan amanat undang-
undang. Demikian juga sektor swasta, selama ini belum ada aturan
yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya
manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya
perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada
ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia
5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena
biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai
beban input (Tobing, 1994).
Peran Pendidikan dalam Pembangunan Ekonomi
Pendidikan merupakan bagian dari public good dan kemajuan
suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam dan kecanggihan
tekhnologi saja, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia,
241
yaitu tenaga terdidik ,berintegritas tinggi dan mempunyai kapabilitas
yang lebih luas sehingga mampu menghadapi tantangan-tantangan
zaman yang semakin maju disertai dengan perkembangan teknologi
yang semakin canggih. Sebanyak apapun sumber daya alam dan
sehebat apapun teknologi di suatu Negara atau bangsa jika tidak di
iringi dengan peningkatatan kualitas SDM nya, maka lambat laun
Negara tersebut akan mengalami kemiskinan, Karena sumber daya
alam /kekayaan yang ada tidak dapat di manfaatkan dan mengelolanya
secara optimal untuk kelangsungan kehidupan ,apa lagi untuk
pembangunan ekonomi bangsanya. Pendidikan mempunyai tugas
menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah
pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman.
Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya . Maka dari itu pendidikan
perlu ditingkatkan serta didistribusikan secara merata demi tercapainya
pembangunan ekonomi yang sukses dan bermartabat. Pendidikan
adalah hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan
bermartabat. Pendidikan termasuk hal yang fundamental untuk
membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada
makna inti pembangunan.Pendidikan memainkan peran kunci dalam
membentuk kemampuan sebuah Negara berkembang untuk menyerap
tekhnologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta
pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan
242
memberi kontribusi secara sigfikan terhadap pembangunan ekonomi
telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian
akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahannya.
Pendidikan bukan hanya menetaskan sumber daya manusia
yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis
yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu,
investasi di bidang pendidikan tidak saja bermanfaat bagi individu
saja,tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat
umum.Pencapaian pendidikan pada semua level dan kalangan niscaya
akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat.
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian
kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai
problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba,
dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi
pemerintah. Setidaknya ada tiga paradigma yang menegaskan
bahwa pembangunan merujuk knowledge based economy tampak
semakin dominan yaitu :
- Kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis
dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
243
- Hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi
menjadi kian kuat dan solid.
- Pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan
ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural
berjangka panjang.
Sumbangan Pendidikan Pada Pembangunan
Adapun sumbangan pendidikan pada pembangunan secara spesifik
,pendidikan dapat memberikan sumbangan riil pada proses pembangunan
baik dalam skala makro maupun mikro dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a). Segi sasaran pendidikan
Pendidikan adalah sebuah usaha yang secara sengaja yang
ditujukan kepada peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi luhur
dan berpengetahuan luas serta bermoral tinggi. Tujuan citra manusia
pendidikan adalah terwujudnya citra manusia yang dapat menjadi sumber
daya pembangunan yang manusiawi,integritas dan berkomitmen tinggi.
Tujuan pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang baik yaitu manusia
yang dapat mempengaruhi dan memajukan lingkungan dimana ia berada.
b). Segi Pembidangan Kerja atau Sektor Kehidupan
244
Pembidangan kerja menurut sektor kehidupan meliputi antara lain
bidang ekonomi, hukum, sosial, politik, keuangan, perhubungan dan
komunikasi, pertanian, pertambangangan, pertahanan dan sebagainya.
Pembangunan sektor kehidupan diartikan sebagai aktivitas pembinaan,
pengembangan dan pengisian bidang-bidang kerja agar dapat memenuhi
hajat hidup warga negara sebagai suatu bangsa sehingga tetap jaya dalam
pergulatan kehidupan antara bangsa-bangsa di dunia. Pembinaan dan
pengembangan bidang-bidang tersebut hanya dikerjakan jika diisi orang-
orang yang memeiliki kemampuan seperti yang dibutuhkan atau yang
punya kompenten di bidanhnya . Kemuadian dari pernyataan diatas dapat
kita ambil kesimpulan bahwa ada tiga sumbangan pendidikan pada
pembangunan dilihat dari segi pembidangan kerja atau sektor kehidupan
yaitu :
Pertama ; pendidikan menyiapkan manusia sebagai sumber daya
pembagunan, kemudian manusia selaku sumber daya
pembangunan membangun lingkungannya,
Kedua ; manusia menjadi kunci pembangunan. Kesuksesan
pembangunan sangat tergantung pada manusianya.
Ketiga ; pendidikan memegang peranan penting karena merekalah
yang mencitakan manusia pencipta pembangunan.
245
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan beberapa uraian di atas dapat
diperoleh beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut :
1. Metode Data envelopment Analysis (DEA) dapat digunakan untuk
mengukur efisiensi relatif suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE), yang
memiliki input – output yang relatif sama, termasuk didalamnya untuk
membandingkan efisiensi relatif sektor pendidikan Islam pada setiap
jenjang di masing – masing 33 Provinsi se Indonesia.
2. Perhitungan efisiensi dilakukan pada seluruh jenjang sekolah dibawah
Pengelolaan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI pada tahun 2013 –
2015, dengan membandingan nilai/skor efisiensi menggunakan asumsi
variable return to scale (VRS). Pada efisiensi teknis biaya dengan
menggunakan orientasi minimasi input, menggunakan variabel input
alokasi anggaran pendidikan Islam dan variabel output jumlah sekolah,
jumlah guru dan jumlah siswa. Pada efisiensi teknis sistem,
menggunakan orientasi maksimasi output dengan menjadikan angka
partisipasi murni, rasio guru/murid, dan rasio kelas/murid sebagai
variabel intermediate output, dan menggunakan variabel output
diantaranya adalah Nilai Hasil Ujian Nasional dan Angka Partisipasi
Sekolah. Berdasarkan hasil penelitian ini, hipotesis bahwa terdapat
Provinsi yang mencapai efisiensi teknis biaya dan sistem yang
246
mencapai efisiensi sempurna terbukti. Walaupun secara rata – rata
terjadi inefisiensi, namun terdapat Provinsi yang mencapai nilai
efisiensi sempurna baik efisiensi teknis biaya dan sistem (efisiensi
100%). Di tahun 2013 secara efisiensi teknis biaya terdapat Provinsi
yang mencapai nilai efisiensi sempurna diantaranya, Aceh, Sumatera
Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat dan Papua. Di tahun 2014
secara efisiensi teknis biaya terdapat Provinsi yang mencapai nilai
efisiensi sempurna diantaranya, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat,
Kalimantan Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat. Tahun
2015 secara efisiensi teknis biaya terdapat Provinsi yang mencapai
nilai efisiensi sempurna diantaranya, Aceh, Bali, Banten, Bengkulu, DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Kep.Bangka Belitung, Kep.Riau, Lampung, Maluku, Maluku
Utara, Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Utara.
3. Berdasarkan hasil penelitian ini, hipotesis bahwa terdapat Provinsi
yang mencapai efisiensi teknis biaya dan sistem yang mencapai
247
efisiensi sempurna terbukti. Secara Efisiensi teknis sistem, yang
mencapai skor efisiensi sempurna pada tahun 2013 yaitu, Aceh, Bali,
Banten, Bengkulu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung,
Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Tahun 2014
terdapat dua puluh enam Propinsi yang mempunyai tingkat efisiensi
100 persen yaitu, Aceh, Bali, Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta,
Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat,
Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan
Sumatera Utara. Pada tahun 2015 terdapat dua puluh tujuh Propinsi
yang memiliki tingkat efisiensi 100 persen, yaitu Aceh, Bali, Banten,
Bengkulu, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua,
Papua Barat, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan dan Sumatera Utara.
248
4. Memaksimumkan penggunaan jumlah anggaran (karena dalam hal ini
anggaran yang dikelola oleh Kemenag RI termasuk bukan wilayah
otonom yang berarti ruang fiskal lebih sempit ) ternyata belum diikuti
peningkatan kinerja sektor pendidikan. Efisiensi dalam pelayanan
dalam pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kualitas penggunaan
dan pengalokasian anggaran pendidikan secara tepat dan hemat.
Ketidakefisienan dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan
menunjukkan terjadinya pemborosan dalam penggunaan sumber daya
pendidikan, karena lemahnya sistem tata kelola/manejemen.
5. Penyebab ketidakefisienan yang paling sering muncul dalam
pengukuran efisiensi teknis biaya adalah jumlah guru dan
ketidaktepatan penggunaan anggaran pendidikan Islam dalam
pengalokasiannya.
6. Sedangkan penyebab ketidakefisienan yang paling sering muncul
dalam pengukuran efisiensi teknis sistem adalah jumlah guru dan nilai
hasil ujian nasional yang belum memuaskan.
7. Kanwil Kemenag setiap Provinsi perlu meningkatkan tingkat efisiensi
agar dana yang telah dikucurkan oleh Dirjen Pendidikan Islam
Kemenag RI tidak terbuang percuma karena ketidakefisienan
penyelenggaraan layanan pendidikan.
249
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian, maka saran yang dapat diberikan
sebagai berikut :
1. Akademisi dan Peneliti
Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel
lain seperti angka sertifikasi guru, angka lama bersekolah, angka guru
honorer, dan dapat memasukkan variabel kualitatif seperti prestasi
murid dalam memenangkan kejuaraan atau olimpiade diluar ukuran
nilai UN guna menyempurnakan hasil penelitian ini, serta penelitian
selanjutnya dapat memperdalam mengenai kesetaraan dan kemerataan
sistem pendidikan dengan pencapaian Madrasah Negeri dan Madrasah
Swasta, karena keterbatasan data dalam penelitian ini tidak adanya
pemisahan antara Madrasah Negeri dengan Madrasah Swasta. Selain
itu, asumsi untuk penggunaan variabel biaya operasional pendidikan
ini habis terpakai, diharapkan selanjutntya besar penggunaan proporsi
biaya dapat dijadikan alternatif acuan.
2. Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI
Bagi wilayah yang belum efisien secara teknis biaya, maka
dapat lebih memperhatikan penyusunan anggaran dari mulai
perencanaan, pelaksanaan hinga pelaporan, tapi perhatikan terutama
dalam pelaksanaan, karena sering terjadi program yang sudah
250
dianggarkan namun dalam pelaksanaan masih terdapat hal – hal yang
membuat rencanan kegiatan tersebut tidak dapat terlaksana, atau bisa
terjadi hal – hal yang membuat rencana kegiatan tersebut tidak dapat
terlaksana, atau bisa terjadi hal – hal yang menimbulkan celah
ketidakefisienan nantinya. Selain itu, Dirjen Pendidikan Islam
Kemenag RI perlu melakukan koreksi atas penggunaan alokasi
anggaran pendidikan Islam di setiap daerah. Karena penyebab utama
ketidakefisienan dalam pengukuran teknis biaya adalah penggunaan
anggaran yang belum efisien. Dirjen Pendis Kemenag RI juga perlu
melakukan pemetaan terhadap jumlah guru, kebutuhan ruang kelas,
serta fasilitas penunjang pendidikan yang lain untuk mengetahui
daerah – daerah yang telah berlebihan atau masih membutuhkan
tambahan.
3. Masyarakat dan Kalangan Umum
Lembaga Pendidikan di bawah Dirjen Pendis Kemenag RI belum
seutuhnya menjadi wahana proses pembentukan sikap dan perilaku
ilmiah yang selalu siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Maka dari itu, hubungan sekolah dengan masyarakat serta peran
sertanya dalam dunia pendidikan, lingkurngan dan kultur sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan sangat perlu adanya sinergisasi dan
saling mendukung.
251
DAFTAR PUSTAKA
Afiat, Muhammad Nur. “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Perubahan Struktur Ekonomi Di Propinsi Sulawesi Tenggara”, Jurnal
Ekonomi Pembangunan Volume XVI Tahun 8, 2015.
Afonso, Antonio and Miguel St. Aubyn. “Non-parametric Approaches to
Education and Health Efficiency in OECD Countries”, Journal of Applied
Economics, Vol III No. 002, 2005.
Andriana, Novia. “Analisis Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Terhadap
Realisasi Tata Kelola Angaran Pembangunan Di Sektor Pendidikan
Pemerintah Kabupaten Jombang”, Tesis, Universitas Brawijaya, 2011.
Aristovnik, Aleksander. “An Analysis of The Efficiency of Education Spending In
Central and Central Europe”, Management, Knowledge and Learning
International Conference, Slovenia, 2011.
Boediono. “Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro”, BPFE, Yogyakarta, 2000.
Boediono. “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, BPFE UGM, Yogyakarta, 1999.
Darise, Nurlan. “Pengelolaan Keuangan Daerah”, PT. Indeks, Jakarta, 2009.
Haryadi, Arinto. “Analisis Efisiensi Teknis Bidang Pendidikan (Penerapan Data
Envelopment Analysis)”, Tesis, Universitas Indonesia, 2011.
252
Indriati, Neneng Erlina. “Analisis Efisiensi Belanja Daerah Di Kabupaten
Sumbawa (Studi Kasus Bidang Pendidikan dan Kesehatan)”, JESP-Vol.6
No.2, 2014.
Jafarov, E dan Victoria Gunnarsson. “Efficiency of Government Social Spendingin
Croatia”, IMF Working Paper, Washington, 2008.
Kurnia, Akhmad Syakir. “Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Public Metode
Free Disposable Hull (FDH)”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 11
No.2, 2006.
Lela, Dina Pertiwi. “Efisiesi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa
Tengah”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.12 No.2 Hal: 123 – 139,
Yogyakarta, 2007.
Lestari, Triyanti. “Analisis Efisiensi Belanja Daerah di Jawa Timur (Studi Kasus
Bidang Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2009-2011)”, Jurnal Ilmiah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, 2013 Lewis, Blane
dan Daan pattinasarany. “Perencanaan dan Pembiayaan dalam
Pencapaian SPM Bidang Pendidikan: Berdasarkan Temuan Governance
and Decentralization 2 (GDS2)”, Departemen Dalam Negeri dengan
dukungan ASSD (GTZ), DSF, GRSII (CIDA), Jakarta, 2008.
Laporan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI tahun 2013 – 2015.
253
Mangkoesoebroto, Guritno. “Ekonomi Publik”, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta,1993.
Verhoeven, Marijn, dkk. “Education and Health in G7 Countries: Achieving
Better Outcomes with Less Spending”, IMF Working Paper, 2007.
Mahmudi. “Manajemen Keuangan Daerah”, Erlangga, Jakarta, 2010.
Mahmudi, Hadi, dkk. “An Analysis of Technical Efficiency of Education
Organizer (A Case Study at Junior High School in Mataram City-West
Nusa Tenggara)”, International Journal of Business and Management
Invention Volume 3 Issue 7, 2014.
Mardiasmo. “Akuntansi Sektor Publik”, Andi Offset, Yogyakarta, 2009.
Mardiasmo. “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”, Edisi Kedua, Andi
Offser, Yogyakarta, 2004.
Mardliyah, Nisaaul. “Analisis Efisiensi Anggaran Pendidikan Di Kabupaten
Boyolali”, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014.
Merini, Dian, dkk.“Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor Publik Di
Kawasan Asia Tenggara : Aplikasi Data Envelopment Analysis”,Jurnal
Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang,
2013.
Putri, Aristyasani. “Efisiensi Teknis Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Propinsi
Jawa Barat”, Jurnal Signifikan Vol. 4 No.2, Jakarta, 2015.
Rencana Strategis Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI Tahun 2014 - 2019.
254
Rusyidiana, Aam Slamet.”Mengukur Tingkat Efisiensi dengan Metode Data
Envelopment Analysis (DEA)”, Cetakan Pertama Februari 2013, Tim
SMART Consulting, Bogor, 2013.
Saleh, Samsubar. “Metodologi Empiris Data Envelopment Analysis (DEA)”, Pusat
Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
2000.
Samuelson, Paul A dan William D. Nordhaus. “Ilmu Makroekonomi”. Media
Global Edukasi, Jakarta, 2004.
Seidman, Laurence S. “Public Finance”, Mc Graw Hill, New York, 2009.
Sujarweni, Wiratna. “Metode Penelitian Bisnis & Ekonomi”, Pustaka Baru Press,
Yogyakarta, 2015.
Susilowati, Indah, dkk. “Modul Mengukur Efisiensi dengan Metode Data
Envelopment Analysis (DEA) DEAWIN.exe”, Fakultas Ekonomi,
Universitas Dipenogoro, Semarang, 2004.
Sutherland, Douglass, dkk. “Performance Indicators For Public Spending
Efficiency In Primary and Secondary Education”, Organisation for
Economic Co-operation and Development Working Paper No.546, 2007.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. “Ekonomi Pembangunan”, Edisi
Kesebelas Jilid 1, Erlangga, 2009.
255
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Anggaran Berbasis Kinerja.
Wulansari, RR. Retno. “Efisiensi Relatif Operasional Puskesmas-Puskemas Di
Kota Semarang Tahun 2009”, Tesis, Universitas Indonesia, 2010.
Yatiman N. Arif Pujiyono. “Analisis Efisiensi Teknis Anggaran Belanja Sektor
Kesehatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2008-2010”, Diponegoro Journal of
Economics Vol.2 No.1, Semarang, 2013.
Yunan, Zuhairan N. “Tingkat Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah Di Pulau
Jawa”, Jurnal Signifikan Vol. 3 No.1, Jakarta, 2015.
256
Lampiran 1. Data Alokasi Biaya Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun
2013 – 2015 (Rupiah)
Sumber : Laporan Tahunan Dirjen Pendidikan Islam, diolah
No Propinsi Total belanja pendidikan
2013 2014 2015
1 Aceh 1.770.015.964.000 1.952.838.858.500 2.135.661.753.000
2 Sumatera Utara 1.536.417.198.000 1.636.815.619.500 1.737.214.041.000
3 Sumatera Barat 1.207.990.712.000 915.606.369.000 623.222.026.000
4 Riau 829.038.699.000 811.322.537.500 793.606.376.000
5 Jambi 682.488.970.000 722.871.609.000 763.254.248.000
6 Sumatera Selatan 874.838.652.000 904.751.149.000 934.663.646.000
7 Bengkulu 466.293.793.000 439.824.906.000 413.356.019.000
8 Lampung 989.560.692.000 1.109.016.172.000 1.228.471.652.000
9 Kep. Bangka Belitung 146.357.482.000 162.863.946.000 179.370.410.000
10 Kep. Riau 120.281.382.000 152.957.830.500 185.634.279.000
11 DKI Jakarta 1.305.201.743.000 1.260.861.958.000 1.216.522.173.000
12 Jawa Barat 5.090.387.018.000 5.291.283.902.000 5.492.180.786.000
13 Jawa Tengah 4.685.679.534.000 4.926.352.233.000 5.167.024.932.000
14 DI Yogyakarta 774.043.917.000 698.632.971.500 623.222.026.000
15 Jawa Timur 6.606.435.342.000 6.807.927.100.500 7.009.418.859.000
16 Banten 1.331.302.079.000 1.455.043.742.500 1.578.785.406.000
17 Bali 167.733.390.000 186.546.855.000 205.360.320.000
18 Nusa Tenggara Barat 1.052.712.011.000 1.152.284.888.000 1.251.857.765.000
19 Nusa Tenggara Timur 227.444.938.000 247.191.340.500 266.937.743.000
20 Kalimantan Barat 557.184.094.000 569.572.531.500 581.960.969.000
21 Kalimantan Tengah 415.202.347.000 448.407.869.500 481.613.392.000
22 Kalimantan Selatan 950.237.379.000 1.060.552.621.000 1.170.867.863.000
23 Kalimantan Timur 375.240.913.000 403.864.807.500 432.488.702.000
24 Sulawesi Utara 199.126.254.000 206.774.961.000 214.423.668.000
25 Sulawesi Tengah 418.152.665.000 484.571.389.500 550.990.114.000
26 Sulawesi Selatan 1.402.579.717.000 1.412.800.200.000 1.423.020.683.000
27 Sulawesi Tenggara 382.426.218.000 432.573.191.500 482.720.165.000
28 Gorontalo 270.582.389.000 268.574.300.000 266.566.211.000
29 Sulawesi Barat 236.282.284.000 261.788.762.000 287.295.240.000
30 Maluku 268.914.799.000 279.418.602.500 289.922.406.000
31 Maluku Utara 241.932.279.000 257.312.375.000 272.692.471.000
32 Papua 87.092.006.000 97.780.075.000 108.468.144.000
33 Papua Barat 111.503.658.000 114.553.588.500 117.603.519.000
257
Lampiran 2. Data Pendidikan Rasio Guru Per Murid Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2013 – 2015
No Propinsi
RGM
MI
RGM
MTS
RGM
MA
RGM
MI
RGM
MTS
RGM
MA
RGM
MI
RGM
MTS
RGM
MA
2013 2014 2015
1 Aceh
100
100
125
81
95
105
124
38
36
2 Sumatera Utara
68
87
102
76
68
89
114
36
31
3 Sumatera Barat
110
136
154
82
100
113
163
47
36
4 Riau
84
128
134
75
92
113
158
50
38
5 Jambi
154
102
85
70
119
96
134
54
38
6 Sumatera Selatan
65
111
132
68
76
114
132
37
34
7 Bengkulu
105
147
148
78
100
120
133
49
41
8 Lampung
88
125
131
69
87
111
143
42
33
9
Kep. Bangka
Belitung
75
102
150
66
67
101
132
42
38
10 Kep. Riau
72
109
157
82
64
97
157
36
39
11 DKI Jakarta
258
67 94 123 70 64 93 110 33 30
12 Jawa Barat
150
130
251
65
62
75
107
35
29
13 Jawa Tengah
78
82
109
68
73
74
96
46
314
14 DI Yogyakarta
138
106
149
86
120
91
119
63
35
15 Jawa Timur
113
131
149
70
86
97
113
512
35
16 Banten
63
78
135
66
67
92
114
35
31
17 Bali
72
120
110
82
65
104
143
35
35
18
Nusa Tenggara
Barat
126
182
112
76
121
160
185
49
39
19
Nusa Tenggara
Timur
80
117
81
74
80
96
112
47
42
20 Kalimantan Barat
85
110
94
66
64
106
121
44
37
21
Kalimantan
Tengah
57
91
73
66
84
89
123
48
35
22
Kalimantan
Selatan
64
21
35
67
100
90
105
53
36
23 Kalimantan Timur
83
116
88
81
72
90
125
39
35
24 Sulawesi Utara
60
67
97
72
20
27
124
41
39
25 Sulawesi Tengah
93
138
173
74
93
118
162
50
40
26 Sulawesi Selatan
115
166
195
69
112
136
158
55
4
259
27 Sulawesi Tenggara
86
71
129
72
101
129
166
48
39
28 Gorontalo
98
124
130
69
90
104
135
50
42
29 Sulawesi Barat
137
171
173
67
123
145
164
51
41
30 Maluku
91
132
115
77
90
120
136
46
40
31 Maluku Utara
92
120
140
75
76
116
140
45
43
32 Papua
69
173
341
62
65
138
318
37
43
33 Papua Barat
75
116
118
80
70
92
133
41
41
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI, diolah
260
Lampiran 3. Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS , NHUN Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2013
No Propinsi APM MI APM MTS
APM MA
RKM MI RKM MTS
RKM MA APS MI
APS MTS APS MA
NHUN MI
NHUN MTS
NHUN MA
1 Aceh 89,69 83,90 70,75 32,73 35,81 37,37 99,4 97,38 80,89 7,925 6,61 5,75
2 Sumatera Utara 94,77 81,96 63,01 25,58 30,06 20,89 99,26 96,06 75,78 8,18 7,96 7,32
3 Sumatera Barat 97,46 87,55 57,20 46,53 23,99 27,12 99,27 95,84 81,97 7,02 6,12 5,41
4 Riau 94,13 83,08 67,83 52,58 29,43 20,66 98,67 94,36 75,3 7,84 7,04 6,46
5 Jambi 95,72 79,73 58,65 56,99 6,81 7,23 99,46 94,88 70,41 7,92 7,02 6,1
6 Sumatera Selatan 93,34 74,36 59,54 30,37 25,33 27,36 99,47 93,36 67,84 7,89 7,63 6,37
7 Bengkulu 97,33 79,57 69,74 48,65 18,75 18,26 99,45 96,71 77,92 7,725 4,87 5,05
8 Lampung 95,52 75,10 48,64 44,93 13,38 15,01 99,56 94,01 68,75 7,7 6,9 6,05
9 Kep. Bangka Belitung 98,60 76,19 62,52 43,95 23,87 30,70 99,16 91,53 65,78 5,91 5,12 4,13
10 Kep. Riau 97,61 87,11 55,64 34,73 23,29 32,86 99,12 98,56 81,57 7,24 6,215 5,13
11 DKI Jakarta 98,07 95,55 77,91 35,78 30,39 37,54 99,47 96,69 70,23 7,05 6,85 6,25
12 Jawa Barat 97,10 74,82 53,28 51,42 19,36 33,68 99,3 92,84 65,48 7,165 5,52 5,2
13 Jawa Tengah 96,33 79,38 53,25 44,76 18,67 19,63 99,51 94,85 67,54 6,87 6,21 6,21
14 DI Yogyakarta 97,64 92,01 71,79 62,33 1,99 6,63 99,94 99,48 86,44 6,07 6,22 5,44
15 Jawa Timur 96,07 83,37 58,37 39,51 22,59 7,43 99,38 96,36 70,25 8,04 7,12 7,09
16 Banten 96,35 74,46 55,08 27,40 16,50 24,11 99,29 94,87 66,25 7,79 6,38 6,06
17 Bali 98,70 87,52 82,30 31,95 24,61 20,33 99,36 97,23 81,59 7,68 7,18 7,34
18 Nusa Tenggara Barat 92,56 80,88 59,37 51,82 34,04 24,94 99,11 97,27 75,68 7,83 6,54 5,9
19 Nusa Tenggara Timur 93,63 66,98 49,96 45,81 11,83 18,05 97,99 94,26 73,96 6,74 5,9 4,75
20 Kalimantan Barat 93,33 68,83 46,02 40,64 31,36 29,04 98,18 91,76 66,48 6,93 6,62 6,02
21 Kalimantan Tengah 96,98 68,03 57,99 34,89 23,57 7,19 99,46 92,94 65,84 6,835 6,28 5,1
22 Kalimantan Selatan 95,81 69,44 48,51 31,54 15,48 9,86 99,24 91,83 67,18 7,72 6,78 5
261
23 Kalimantan Timur 97,43 77,37 66,05 41,11 33,09 21,58 99,35 97,89 80,5 6,47 5,73 4,518
24 Sulawesi Utara 96,12 79,74 71,69 25,93 18,89 36,38 98,95 94,34 71,98 7,94 6,82 5,09
25 Sulawesi Tengah 95,47 71,77 52,31 41,86 29,21 44,03 97,71 91,23 73,64 7,31 6,12 4,05
26 Sulawesi Selatan 95,93 78,08 62,10 55,44 17,67 17,47 98,91 92,57 69,38 8,36 6,68 5,63
27 Sulawesi Tenggara 96,36 80,70 72,31 44,62 18,23 53,25 99,11 93,53 72,25 7,82 6,71 5,155
28 Gorontalo 93,83 70,61 55,21 52,22 16,80 8,41 98,4 90,47 68,69 7,72 6,17 5,07
29 Sulawesi Barat 90,89 73,62 63,92 49,17 41,47 46,95 97,91 89,26 66,97 8,2 6,9 5,55
30 Maluku 92,05 80,76 73,13 47,73 18,62 18,04 99,19 96,35 77,48 7,81 7,15 5,1
31 Maluku Utara 97,84 77,08 68,16 52,38 37,74 7,25 98,89 96,24 74,83 7,57 6,57 4,01
32 Papua 91,18 62,91 46,37 34,35 45,91 55,56 80,69 78,07 61,63 7,172 6,77 4,49
33 Papua Barat 89,69 63,31 43,93 36,16 25,41 42,89 96,65 96,28 79,87 7,22 7,32 6,28
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI, diolah
262
Lampiran 4. Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS , NHUN Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2014
Propinsi APM MI APM MTS
APM MA
RKM MI RKM MTS
RKM MA APS MI
APS MTS APS MA
NHUN MI
NHUN MTS
NHUN MA
1 Aceh 91,80 84,88 66,16 37,63 36,67 39,19 99,4 97,38 80,89 7,76 6,42 5,00
2 Sumatera Utara 93,59 80,90 64,36 36,15 31,52 36,13 99,26 96,06 75,78 7,82 7,70 6,80
3 Sumatera Barat 95,45 84,30 66,18 45,87 34,60 46,63 99,27 95,84 81,97 7,31 5,94 5,36
4 Riau 93,06 76,45 54,01 48,97 39,14 48,98 98,67 94,36 75,3 6,56 6,80 6,50
5 Jambi 94,99 73,98 56,86 52,11 19,13 43,39 99,46 94,88 70,41 7,43 7,13 6,23
6 Sumatera Selatan 91,51 69,98 52,19 35,35 34,77 36,43 99,47 93,36 67,84 7,32 7,57 6,60
7 Bengkulu 94,82 76,73 63,18 45,97 37,60 41,67 99,45 96,71 77,92 7,24 5,17 5,31
8 Lampung 92,92 72,24 50,15 43,44 32,41 40,05 99,56 94,01 68,75 7,68 6,78 5,90
9 Kep. Bangka Belitung 95,27 65,47 47,96 36,00 34,31 48,54 99,16 91,53 65,78 6,42 5,23 4,72
10 Kep. Riau 86,46 86,56 64,13 34,59 40,12 56,89 99,12 98,56 81,57 6,88 6,15 5,00
11 DKI Jakarta 95,43 94,66 63,53 33,78 31,18 35,62 99,47 96,69 70,23 6,72 6,65 5,95
12 Jawa Barat 94,74 72,17 44,71 35,03 28,67 37,03 99,3 92,84 65,48 7,33 5,32 5,47
13 Jawa Tengah 94,00 78,44 60,03 45,28 30,61 34,83 99,51 94,85 67,54 6,39 6,28 6,13
14 DI Yogyakarta 95,39 92,56 68,11 63,27 36,19 42,48 99,94 99,48 86,44 6,26 5,95 5,72
15 Jawa Timur 94,40 82,23 57,87 46,62 33,36 35,47 99,38 96,36 70,25 7,81 7,38 7,03
16 Banten 94,88 75,77 49,19 32,01 22,58 38,07 99,29 94,87 66,25 7,13 6,42 6,21
17 Bali 95,49 88,90 68,03 31,73 27,45 45,41 99,36 97,23 81,59 7,20 6,81 7,45
18 Nusa Tenggara Barat 92,54 80,58 69,07 20,40 11,60 10,20 99,11 97,27 75,68 6.91 6,76 5,86
19 Nusa Tenggara Timur 92,21 65,59 53,91 45,15 30,25 44,48 97,99 94,26 73,96 6,58 5,97 5,13
20 Kalimantan Barat 92,73 68,79 59,03 28,46 37,57 40,49 98,18 91,76 66,48 6,42 6,68 5,92
21 Kalimantan Tengah 95,36 67,15 47,06 46,04 33,66 41,71 99,46 92,94 65,84 6,49 6,39 4,98
22 Kalimantan Selatan 95,15 67,65 46,05 47,09 35,29 39,34 99,24 91,83 67,18 7,15 6,84 5,28
23 Kalimantan Timur 95,29 73,85 58,19 37,81 33,76 41,98 99,35 97,89 80,5 6,58 5,89 4,48
263
24 Sulawesi Utara 91,91 81,03 70,95 35,89 35,15 47,38 98,95 94,34 71,98 7,30 6,77 5,31
25 Sulawesi Tengah 90,95 71,55 50,55 45,73 37,70 46,59 97,71 91,23 73,64 6,50 6,33 4,75
26 Sulawesi Selatan 93,74 75,07 60,58 53,99 41,94 43,75 98,91 92,57 69,38 7,70 6,79 5,48
27 Sulawesi Tenggara 91,52 82,36 66,47 53,98 40,43 48,29 99,11 93,53 72,25 7,28 6,83 4,98
28 Gorontalo 93,20 76,94 53,58 51,22 41,56 54,10 98,4 90,47 68,69 7,15 6,32 5,32
29 Sulawesi Barat 88,57 70,78 59,40 51,55 40,35 44,47 97,91 89,26 66,97 7,48 7,01 5,77
30 Maluku 83,69 78,75 64,24 47,41 39,27 43,10 99,19 96,35 77,48 6,98 7,20 4,97
31 Maluku Utara 93,26 81,37 80,49 42,12 32,03 48,13 98,89 96,24 74,83 7,43 6,89 4,75
32 Papua 59,12 31,59 35,37 37,31 25,91 93,28 80,69 78,07 61,63 7,13 6,15 4,32
33 Papua Barat 83,06 59,50 60,41 39,19 8,50 1,88 96,65 96,28 79,87 7,24 7,22 6,13
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI, diolah
264
Lampiran 5. Data Pendidikan Rasio Kelas Per Murid, APM, APS , NHUN Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2015
No Propinsi APM MI APM MTS
APM MA
RKM MI RKM MTS
RKM MA APS MI
APS MTS APS MA
NHUN MI
NHUN MTS
NHUN MA
1 Aceh 92,31 85,35 66,52 38,42 36,22 40,98 99,9 97,71 81,43 8,1 6,85 6,1
2 Sumatera Utara 94,11 83,31 67,92 35,87 31,41 35,55 99,35 96,34 76,23 7,6 8,01 7,48
3 Sumatera Barat 95,92 79,57 65,41 46,84 35,70 45,59 99,44 95,98 82,53 7,45 6,36 5,76
4 Riau 93,64 76,44 54,59 50,10 38,02 49,21 98,79 94,48 75,57 6,97 7,25 6,83
5 Jambi 95,43 77,90 57,39 54,26 37,80 42,94 99,55 95,06 70,75 7,2 7,25 6,5
6 Sumatera Selatan 91,90 75,56 56,11 36,71 33,69 35,26 99,53 93,52 68,4 7,1 7,67 6,86
7 Bengkulu 95,97 79,41 62,51 49,37 40,99 42,73 99,65 96,83 78,16 7,02 5,58 5,51
8 Lampung 93,38 81,49 53,10 41,87 32,75 37,91 99,62 94,24 69,04 6,59 7,08 6,47
9 Kep. Bangka Belitung 96,07 70,23 47,87 41,67 38,13 35,78 99,22 91,82 66,17 6,53 5,34 4,55
10 Kep. Riau 86,39 80,93 65,19 35,76 39,02 55,92 99,34 98,67 81,84 6,56 6,51 5,38
11 DKI Jakarta 95,54 93,52 64,32 32,56 30,38 34,25 99,56 97,19 70,73 6,69 6,93 6,56
12 Jawa Barat 95,04 82,13 45,89 35,47 29,50 36,88 99,57 93,19 65,72 7,56 5,83 5,61
13 Jawa Tengah 94,39 81,72 59,98 46,23 313,99 34,86 99,56 95,3 67,66 6,73 6,36 6,5
14 DI Yogyakarta 95,33 87,77 68,65 62,76 34,56 40,76 99,89 99,68 86,78 7,26 6,3 5,61
15 Jawa Timur 94,87 84,22 57,57 511,60 35,01 36,69 99,45 96,53 70,44 7,4 7,23 7,19
16 Banten 95,96 79,87 50,45 35,37 31,43 36,54 99,41 95,29 66,73 7,3 6,75 6,44
17 Bali 96,33 94,19 71,62 34,98 34,93 36,84 99,41 97,41 81,69 7,38 7,25 7,41
18 Nusa Tenggara Barat 93,24 83,73 70,03 49,34 38,63 40,68 99,48 97,44 75,86 6,91 6,85 6,38
19 Nusa Tenggara Timur 92,29 67,37 61,31 46,95 41,54 47,97 98,13 94,39 74,25 7,05 6,32 5,24
20 Kalimantan Barat 93,18 71,40 64,88 43,80 37,09 39,31 98,27 91,91 66,83 6,56 6,79 6
21 Kalimantan Tengah 95,62 74,83 51,58 47,65 35,00 43,39 99,54 93,13 66 7,17 6,6 5,53
22 Kalimantan Selatan 95,21 75,98 52,25 53,00 35,81 39,61 99,43 91,91 67,49 6,82 6,94 5,69
23 Kalimantan Timur 95,49 80,94 61,42 38,73 35,11 42,91 99,63 97,92 80,68 6,92 6,05 4,99
265
24 Sulawesi Utara 92,03 79,73 72,59 40,70 38,79 41,96 99,33 94,59 72,22 6,98 7,05 5,46
25 Sulawesi Tengah 92,61 81,80 53,26 49,80 39,72 44,88 98,02 91,8 73,8 6,74 6,51 5,12
26 Sulawesi Selatan 94,22 79,95 64,10 54,95 4,08 43,67 99,03 92,66 69,66 7,92 6,95 6,16
27 Sulawesi Tenggara 90,25 80,27 64,65 48,28 38,86 43,55 99,3 93,67 72,42 6,81 6,96 5,73
28 Gorontalo 94,23 72,13 57,80 50,15 41,68 50,69 98,69 90,75 69,03 7,42 6,47 5,81
29 Sulawesi Barat 89,24 75,97 61,57 51,46 41,10 42,29 98 89,84 67,14 6,7 7,05 6,19
30 Maluku 82,03 78,75 68,31 46,27 40,21 43,30 99,38 96,44 77,87 7,25 7,27 5,61
31 Maluku Utara 93,83 81,85 74,05 45,24 42,57 51,80 99,08 96,68 75,16 7,58 7,19 5,41
32 Papua 56,72 41,30 35,60 37,35 42,83 86,62 81,04 78,14 61,96 7,18 6,97 5,13
33 Papua Barat 82,86 65,58 58,58 41,48 40,60 44,98 96,74 96,58 79,99 7,18 7,42 6,43
Sumber : Dirjen Pendis Kemenag RI, diolah
266
Lampiran 6. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2013 menggunakan metode
DEA
NO DMU
Score
Projection (Total belanja pendidikan)
Projection (Jumlah MI)
Projection (Jumlah MTS)
Projection (Jumlah MA)
Projection (Jumlah Guru MI)
Projection (Jumlah Guru MTS)
Projection (Jumlah Guru MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
Projection (Jumlah Siswa MI)
Projection (Jumlah Siswa MTS)
Projection (Jumlah Siswa MA)
1 Aceh 1
1.770.015.964.000 592 391 221 12391 7477 4981 99,4
97,38
80,89
7,925 6,61 5,75
124338 74836 39796
2 Bali 1
167.733.390.000 64 32 21 931 618 389
99,36
97,23
81,59 7,68 7,18 7,34 12897 5161 3542
3 Banten 1
1.331.302.079.000
941,819391
798,459796
349,82495
7
11064,7340
8
13169,3696
4
6054,65556
5
99,47186
1
95,04376
5
71,81987
6 7,80
4268 7,19
6438 6,43
5209 15026
4 13938
6 40437
4 Bengkulu 1
466.293.793.000 129 86 44 1602 1565 926
99,45
96,71
77,92
7,725 4,87 5,05 15251 10665 6244
5
DI Yogyakarta 1
774.043.917.000 163 95 46 2146 2227 1500
99,94
99,48
86,44 6,07 6,22 5,44 15546 21088 10100
6
DKI Jakarta
0,99828
6
1.305.201.743.000
943,652184
525,547956
234,12864
6
12819,9634
1
10431,4696
1
5828,05963
2
99,64075
9
97,26177
6
79,40006
5 7,06
2103 6,86
1759 6,26
0729
120409,360
8 84471
,994
40446,9236
7
7 Goro 0,99 103,8 97,34 56,98 1301, 1324, 640,6 99,2 96,0 77,1 7,78 7,05 6,54 13853 12710 6671,
267
ntalo 1212
270.582.389.000
83694 2584 8936 691146
441918
29928 72417
89825
76555
8446 7437 678 ,82315
,82599
347494
8 Jambi 1
682.488.970.000 245 344 193 3256 4251 1523
99,46
94,88
70,41 7,92 7,02 6,1 21108 41692 17989
9 Jawa Barat 1
5.090.387.018.000 3787 2610 1021 88332 80956 31482 99,3
92,84
65,48
7,165 5,52 5,2
588923
624080
125458
10
Jawa Tengah
0,99970
7
4.003.129.187.762
3942,74719
8
1910,96174
1
826,08844
3
55172,6364
9
40452,4410
1
22317,6760
5
99,62995
8
97,75262
2
77,47645
7 7,16
0684 6,71
8282 6,35
3517
547736,843
7 396786,117
157699,177
6
11
Jawa Timur 1
6.606.435.342.000 6990 3375 1455 97923 71270 39101
99,38
96,36
70,25 8,04 7,12 7,09
866300
544688
263009
12
Kalimantan Barat
0,98886
4
557.184.094.000
396,997334
304,912238
129,63178
3
5126,53190
6
5720,00615
5
2369,56842
2
99,43162
8 96,0
2916
76,75503
6 7,68
3583 7,06
2404 6,85387
60490,6385
8
42872,9380
7
20617,6026
8
13
Kalimantan Selatan
0,99698
3
929.039.655.059
652,074922
594,507644
253,21818
4
7307,47940
3
9865,74345
3
3742,24079
8
99,54029
1
94,18146
9
69,07717
1 7,74336
6,923651
6,059855
79857,6629
7
80308,7168
7
29910,5945
6
14
Kalimantan Tengah 1
415.202.347.000 269 142 69 2035 1863 572
99,46
92,94
65,84
6,835 6,28 5,1 35944 20454 7786
15
Kalimanta
0,99984
375.240.
173,011348
143,04254
80,984965
2396,70847
3055,40774
1658,14700
99,37955
97,91912
81,70426
7,319445
6,722498
6,348219
24253,9839
21789,4857
11261,8016
268
n Timur
913.000 8 9 4 5 1 6 6 9 2
16
Kep. Bangka Belitung
0,99931
146.357.482.000
63,725702
48,000004
28,383915
848,083696
744,435403
445,347591
99,23745
4 97,9
05
81,56180
4 7,45719
6,688379
6,214189
11703,4277
6749,65513
8
3283,39907
1
17
Kep. Riau 1
120.281.382.000
59,000001 59
33,000001
705,000017
765,000012
449,000016
99,12
98,56
81,57 7,24
6,215 5,13 9731 6999 2861
18
Lampung 1
989.560.692.000 752 656 268 8302 11244 4287
99,56
94,01
68,75 7,7 6,9 6,05 94279 89788 32837
19
Maluku 1
268.914.799.000 132 110 50 1576 1469 597
99,19
96,35
77,48 7,81 7,15 5,1 17242 11119 5210
20
Maluku Utara
0,99825
4
241.932.279.000
144,5406
129,22559
73,928101
1959,06366
8
2458,39272
4
1287,82303
7
99,06293
5
96,78525
7
79,22429
9 7,58
3238 6,70
0946 6,10
4512
19182,9075
7
15376,5349
4 10707,2416
21
Nusa Tenggara Barat 1
1.052.712.011.000 805 785 445 11332 17595 8871
99,11
97,27
75,68 7,83 6,54 5,9 90255 96626 79075
22
Nusa Tenggara Timur
0,98820
7
227.444.938.000
163,957547
103,069937
51,810366
2209,77869
7
1791,30517
7
1015,94160
1
99,17407
4
98,24895
8
81,40446
8 7,34
3983 6,43
0318 5,62
1423
22953,2229
7 15153,1418
7400,27464
8
23
Papua 1
87.092.006.000 37 28 22 442 361 233
80,69
78,07
61,63
7,172 6,77 4,49 6434 2091 684
2 Papu 1 44 25 14 455 425 185 96,6 96,2 79,8 7,22 7,32 6,28 6057 3660 1562
269
4 a Barat
111.503.658.000
5 8 7
25 Riau 1
829.038.699.000 402 580 262 3487 7918 3214
98,67
94,36 75,3 7,84 7,04 6,46 41653 61772 24061
26
Sulawesi Barat 1
236.282.284.000 159 150 83 1934 1907 908
97,91
89,26
66,97 8,2 6,9 5,55 14075 11164 5261
27
Sulawesi Selatan 1
1.402.579.717.000 681 716 360 7754 11689 6717
98,91
92,57
69,38 8,36 6,68 5,63 67412 70511 34455
28
Sulawesi Tengah
0,98505
5
418.152.665.000
290,332724
273,081289
149,23029
5 3902,
13391
5634,56375
8
2808,04674
5
99,19246
4
97,69369
7
79,33470
3 7,50
8389 6,53
7525 5,83
8015
35804,7615
2
34259,1096
7
24190,3608
6
29
Sulawesi Tenggara
0,99971
382.426.218.000
237,427103
213,061773
120,20609
3108,61066
9
4312,98573
1
2221,93916
6
99,13874
3
96,10485
8
76,37210
2 7,82
2268 6,91
7155 5,88
9929
28726,2637
6
26357,8835
1
20007,9874
2
30
Sulawesi Utara 1
199.126.254.000 80 58 35 556 519 409
98,95
94,34
71,98 7,94 6,82 5,09 9256 7731 4233
31
Sumatera Barat
0,99651
9
1.207.990.712.000
799,677027
449,243004
203,70902
4
11122,7625
7
8929,07830
5
5056,27957
5
99,61672
3
98,07646
5
82,25629
9 7,04
4519 6,76
7455 6,35848
103292,034
2 75748,7399
36501,4343
3
32
Sumatera Selatan 1
874.838.652.000 428 445 207 4686 6531 3489
99,47
93,36
67,84 7,89 7,63 6,37 71872 58702 26501
33
Sumatera 1
1.536.41 821 980 449 8128 13655 7038
99,26
96,06
75,78 8,18 7,96 7,32
120234
157455 68871
270
Utara 7.198.000
271
Lampiran 7. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2014 menggunakan metode
DEA
NO DMU
Score
Projection (Total belanja pendidikan)
Projection (Jumlah MI)
Projection (Jumlah MTS)
Projection (Jumlah MA)
Projection (Jumlah Guru MI)
Projection (Jumlah Guru MTS)
Projection (Jumlah Guru MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
Projection (Jumlah Siswa MI)
Projection (Jumlah Siswa MTS)
Projection (Jumlah Siswa MA)
1 Aceh
0,99628
7
1.531.215.190.722
1082,36295
5 594,3
18637
263,20238
1
12303,0971
1
9545,46364
7
5130,04544
6
99,77040
1
98,03409
2
81,19142
6 7,788
917 6,44
3923 6,05974
131289
170608 63161
2 Bali 1
186.546.855.000 64 32 21 912 596 420
99,36
97,23
81,59 7,2 6,81 7,45
140393,495
9
98304,5835
6
46486,7792
2
3 Banten
0,99783
4
1.455.043.742.500
1053,49336
6 798,7
29805
340,52879
6
11721,7993
4
12667,9200
7 6073,
67091
99,50549
9
95,07590
5
72,07066
1 7,591
884 6,93
0659 6,22
3478 13929 5719 2929
4 Bengkulu
0,99843
9
439.824.906.000
130,664586
86,134447
44,068787
1573,45599
6
1697,01318
3
1054,22786
2
99,60547
3
97,98367
3 82,8
5023 7,537
642 6,46
7659 6,65
9561
140157,165
6
124227,541
1 47938,4468
5
DI Yogyakarta 1
698.632.971.500 163 95 46 1853 2239 1463
99,94
99,48
86,44 6,26 5,95 5,72
17226,7110
6
17400,8422
6
8262,02121
5
6
DKI Jakarta
0,99747
1.045.597.048.564
555,295854
381,377234
173,60438
7
6262,84579
8
6134,43958
3
3518,59725
7 99,7
2231
96,93525
9
78,42867
4 6,763
16 6,66
6868 6,13
3865 15410 24535 12383
7 Goro 0,98 92,93 67,68 39,39 1219, 1160, 740,5 99,4 97,1 80,9 11,63 6,78 7,23 98377 73004 35793
272
ntalo 9925
268.574.300.000
6367 1919 6938 832519
329732
74329 01505
72115
45864
9841 1035 8038 ,18537
,47868
,56777
8 Jambi 1
722.871.609.000 245 344 193 2727 4579 2640
99,46
94,88
70,41 7,43 7,13 6,23
15795,2239
8
11178,7127
3
5336,79147
6
9 Jawa Barat 1
5.291.283.902.000 3787 2610 1021 38291 45529 17413 99,3
92,84
65,48 7,33 5,32 5,47 22989 47889 20672
10
Jawa Tengah
0,99915
4.465.868.412.309
4372,80162
5
2117,57936
6
914,84583
1
49861,5111
4
32455,5957
6
16498,5343
5
99,59468
2
97,55608
3
76,45659
8 7,215
792 6,83
1795 6,52
7798 62131
2 60344
9 16741
8
11
Jawa Timur 1
6.807.927.100.500 6990 3375 1455 79708 51241 25846
99,38
96,36
70,25 7,81 7,38 7,03
543395
436874
139772
12
Kalimantan Barat
0,98871
7
569.572.531.500
396,473322
292,297934
152,36549
9
5002,84910
1
5524,82177
8
3270,07267
6
99,30038
5
97,15191
4
79,43421
8
148,08884
8 6,75
6229 6,83
0084 92224
8 52738
5 24794
8
13
Kalimantan Selatan
0,99571
5
1.057.607.693.528
582,623933
415,086257
189,20282
5
6562,11866
9
6501,60901
2
3763,47606
4
99,66707
3
96,10005
9
75,89221
4 7,180
77 6,86
9436 6,24
1073 65625 32311 14249
14
Kalimantan Tengah 1
448.407.869.500 269 142 69 2875 1990 1088
99,46
92,94
65,84 6,49 6,39 4,98
77332,0139
63315,4783
6 31210,1225
15
Kalimanta
0,99947
403.864.
174,912088
143,074794
80,815971
2315,85813
2954,87367
1886,64069
99,40196
97,9412
81,84013
91,599852
6,50547
6,442851 34099 22338 9134
273
n Timur
7 807.500 7 7 5 4 6
16
Kep. Bangka Belitung
0,99997
6
162.863.946.000
62,848437
57,115541
32,517532
767,9319
783,018641
484,684969
99,16236
1
98,31990
3
81,55012
3 9,655
675 6,26
9026 5,43
6257
23916,9682
2
23886,0530
4
10900,3352
8
17
Kep. Riau 1
152.957.830.500 59 59 33 687 746 450
99,12
98,56
81,57 6,88 6,15 5 5695 7753 3255
18
Lampung 1
1.109.016.172.000 752 656 268 8202 10658 4905
99,56
94,01
68,75 7,68 6,78 5,9 10697 7652 2865
19
Maluku 1
279.418.602.500 132 110 50 1593 1592 868
99,19
96,35
77,48 6,98 7,2 4,97 94568 95619 33082
20
Maluku Utara 1
257.312.375.000 105 129 67 967 1499 848
98,89
96,24
74,83 7,43 6,89 4,75 17716 13242 6287
21
Nusa Tenggara Barat 1
1.152.284.888.000 805 785 445 11048 16727 10510
99,11
97,27
75,68 691 6,76 5,86 12773 12956 6503
22
Nusa Tenggara Timur
0,99442
6
247.191.340.500
163,059753
102,435278
50,580032
1844,28086
2
1433,16148
1 782,7
47597
98,53930
3
97,98608
8
80,99179
7 6,979
664 6,42
2403 5,29
9028 91587 10463
5 56590
23
Papua 1
97.780.075.000 37 28 22 475 378 276
80,69
78,07
61,63 7,13 6,15 4,32
23319,8765
8
14831,0524
4
6480,10284
1
274
24
Papua Barat 1
114.553.588.500 44 25 14 393 337 190
96,65
96,28
79,87 7,24 7,22 6,13 7343 2740 804
25 Riau 1
811.322.537.500 402 580 262 4044 8762 4194
98,67
94,36 75,3 6,56 6,8 6,5 5614 3647 1598
26
Sulawesi Barat 1
261.788.762.000 159 150 83 1762 2143 1126
97,91
89,26
66,97 7,48 7,01 5,77 44145 77523 27764
27
Sulawesi Selatan
0,99440
9
1.412.800.200.000
1073,46752
6 821,3
95431
362,02391
7
12274,0490
9
13834,9081
7
6975,90236
6
99,46607
1
94,73963
9
70,19014
1
125,93626
6 6,82
8173 5,97
0635 14355 14770 7129
28
Sulawesi Tengah
0,98456
8
484.571.389.500
296,124097
273,216309
156,29182
7
4061,14792
5
5692,19343
3
3597,07747
7
99,24150
8
97,46367
3
79,72869
2
222,11958
3 6,68
4563 6,54285
136140,479
120455,069
3
48561,9422
4
29
Sulawesi Tenggara
0,99783
9
432.573.191.500
244,535842
213,461357
115,24908
9
3214,55107
5
4167,88606
3
2543,48892
6
99,32467
2
96,88297
1
79,20091
9
124,77746
6 6,84
4794 6,95
8239
37805,8066
9
37137,5143
4
19788,2851
2
30
Sulawesi Utara
0,99736
7
206.774.961.000
80,211158
60,122573
35,092382
1026,05053
4 946,6
35292 603,3
11868
99,21117
6
96,84553
8
79,89440
4 13,051101
6,787869
6,786606
33534,3766
1
29745,3432
3
14894,4886
4
31
Sumatera Barat 1
915.606.369.000 135 393 203 1899 8675 4568
99,27
95,84
81,97 7,31 5,94 5,36
13937,2467
1
8747,59375
9 4097,
00305
32
Sumatera Selatan 1
904.751.149.000 428 445 207 4730 6487 3913
99,47
93,36
67,84 7,32 7,57 6,6 19075 77102 28070
33
Sumatera 1
1.636.81 821 980 449 8981 15123 7361
99,26
96,06
75,78 7,82 7,7 6,8 61927 56831 29372
275
Utara 5.619.500
276
Lampiran 8. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Biaya Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2015 menggunakan metode
DEA
NO DMU
Score
Projection (Total belanja pendidikan)
Projection (Jumlah MI)
Projection (Jumlah MTS)
Projection (Jumlah MA)
Projection (Jumlah Guru MI)
Projection (Jumlah Guru MTS)
Projection (Jumlah Guru MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
Projection (Jumlah Siswa MI)
Projection (Jumlah Siswa MTS)
Projection (Jumlah Siswa MA)
1 Aceh 1
2.135.661.753.000 591 405 225 11692 8982 5322 99,9
97,71
81,43 8,1 6,85 6,1
127289 84310 42846
2 Bali 1
205.360.320.000 68 32 22 999 616 439
99,41
97,41
81,69 7,38 7,25 7,41 15153 6385 3067
3 Banten 1
1.578.785.406.000 1003 955 369 10590 16694 6484
99,41
95,29
66,73 7,3 6,75 6,44
155484
185027 56836
4 Bengkulu 1
413.356.019.000 131 86 51 1618 1619 1093
99,65
96,83
78,16 7,02 5,58 5,51 16590 13857 8237
5
DI Yogyakarta 1
623.222.026.000 167 95 46 1857 2399 1508
99,89
99,68
86,78 7,26 6,3 5,61 16650 26154 12708
6
DKI Jakarta
0,99869
7
1.216.522.173.000
469,611951
277,717587
146,66434
1
7462,58934
1
5729,77876
9
3348,79116
1
99,68990
6
97,90387
2
82,19473
8 7,64
6198 6,93
9042 6,56
8559
106077,332
1 74012
,545
35622,9304
5
7 Goro 0,99 94,57 74,25 42,99 1234, 1134, 731,0 99,2 97,1 79,2 7,46 7,22 6,65 16921 11031 5339,
277
ntalo 3876
266.566.211.000
9197 0285 5621 008978
362874
76489 98096
4829 95864
572 1043 636 ,64052
,4644 655379
8 Jambi
0,99987
2
763.254.248.000
384,107578
367,046948
203,21584
9 5138,
54633 7671,
77604
4739,48393
6
99,56273
5
97,92415
3
80,87429
1 7,20
0921 7,25
0927 6,50
0831
48291,8888
4
57618,2245
5
28471,8439
5
9 Jawa Barat 1
5.492.180.786.000 3810 2660 1032 38853 48179 18855
99,57
93,19
65,72 7,56 5,83 5,61
638724
639025
176125
10
Jawa Tengah
0,99892
7
4.659.572.140.173
3977,26847
1
2002,07171
8
943,26798
7
48864,3103
1
35208,8797
5
18970,1274
7
99,66696
4
97,09892
8
75,73874
9 7,73
75 7,04
6786 6,66
4464
564226,614
2
373341,411
7
178291,969
7
11
Jawa Timur 1
7.009.418.859.000 7130 3489 1612 83473 59627 31677
99,45
96,53
70,44 7,4 7,23 7,19
891109
589572
279622
12
Kalimantan Barat
0,99020
5
581.960.969.000
404,966852
295,898473
141,82344
4696,22643
4
4865,43131
8 2577,
92936
99,24212
6
97,52100
2
80,02078
7 6,80
1508 6,85
7169 6,05
9354
53125,0745
9
46184,0760
9
19135,9343
5
13
Kalimantan Selatan
0,99565
1.170.867.863.000
572,417949
332,446033
152,33444
4
6925,47093
8
6638,38620
8
3535,66379
9
99,86437
8 99,1
2564
84,89723
3 7,36
6078 6,97
0319 5,71
4858
79636,2307
5
73704,8179
9
30603,9171
1
14
Kalimantan Tengah 1
481.613.392.000 277 145 73 3160 2220 1188
99,54
93,13 66 7,17 6,6 5,53 36957 23942 9657
15
Kalimanta 1
432.488. 114 147 59 1418 2301 927
99,63
97,92
80,68 6,92 6,05 4,99 20889 25491 7435
278
n Timur
702.000
16
Kep. Bangka Belitung 1
179.370.410.000 31 46 23 377 824 458
99,22
91,82
66,17 6,53 5,34 4,55 5736 8288 3466
17
Kep. Riau 1
185.634.279.000 60 56 31 726 755 474
99,34
98,67
81,84 6,56 6,51 5,38 11436 7920 3022
18
Lampung 1
1.228.471.652.000 758 666 274 8968 11851 5490
99,62
94,24
69,04 6,59 7,08 6,47
102585
107450 38306
19
Maluku 1
289.922.406.000 134 112 50 1692 1712 907
99,38
96,44
77,87 7,25 7,27 5,61 18262 13779 6652
20
Maluku Utara 1
272.692.471.000 108 126 68 1039 1569 970
99,08
96,68
75,16 7,58 7,19 5,41 13838 13673 6911
21
Nusa Tenggara Barat 1
1.251.857.765.000 804 791 454 11200 16716 10675
99,48
97,44
75,86 6,91 6,85 6,38 93400
105336 57768
22
Nusa Tenggara Timur
0,99884
8
266.937.743.000
165,190287
89,668695
46,114588
1958,09656
7
1455,57101
9 846,3
54993
98,24316
9 97,4
0278
80,82917
8 7,05813
7,109548
6,40067 24049 11771 6858
23
Papua 1
108.468.144.000 38 28 21 522 393 290
81,04
78,14
61,96 7,18 6,97 5,13 7978 3199 912
279
24
Papua Barat 1
117.603.519.000 46 26 15 453 358 242
96,74
96,58
79,99 7,18 7,42 6,43 6485 3941 1823
25 Riau 1
793.606.376.000 403 570 263 4186 9164 4442
98,79
94,48
75,57 6,97 7,25 6,83 46323 82070 28143
26
Sulawesi Barat 1
287.295.240.000 157 151 85 1937 2319 1295 98
89,84
67,14 6,7 7,05 6,19 15701 16227 7898
27
Sulawesi Selatan 1
1.423.020.683.000 686 733 372 7769 12165 6922
99,03
92,66
69,66 7,92 695 6,16 70844
917177 43850
28
Sulawesi Tengah
0,98513
4
550.990.114.000
205,048302
281,180097
152,26359
2821,82444
3
5993,69080
2
3405,99159
4
99,49918
1
96,86454
1
80,43417
2 7,22
4048 6,60824
6,07868
27932,2807
49175,5682
7
20441,9598
6
29
Sulawesi Tenggara
0,99795
482.720.165.000
155,318468
223,857354
122,25066
5
2119,09835
4
4843,76373
4
2729,60326
4
99,50402
5
96,70685
9
80,47664
8 7,25
9277 6,97
43 6,13
3565
21773,0081
4
42119,6847
3
16904,9260
3
30
Sulawesi Utara 1
214.423.668.000 81 63 36 819 875 524
99,33
94,59
72,22 6,98 7,05 5,46 11573 9359 4218
31
Sumatera Barat 1
623.222.026.000 137 400 208 1944 9009 4643
99,44
95,98
82,53 7,45 6,36 5,76 19939 82081 28447
32
Sumatera Selatan 1
934.663.646.000 487 436 208 5884 7993 4432
99,53
93,52 68,4 7,1 7,67 6,86 76739 72923 33608
33
Sumatera 1
1.737.21 852 989 452 9656 16591 7995
99,35
96,34
76,23 7,6 8,01 7,48
144860
191213 70405
280
Utara 4.041.000
281
Lampiran 9. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2013 menggunakan metode
DEA
NO DMU Score
Projection (APM MI)
Projection (APM MTS)
Projection (APM MA)
Projection (RGM MI)
Projection (RGM MTS)
Projection (RGM MA)
Projection (RKM MI)
Projection (RKM MTS)
Projection (RKM MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
1 Aceh 1 89,69 83,9 70,75 99,655
777 99,911
807 125,16
3333 32,725313
35,811641
37,365564 99,4 97,38 80,89 7,925 6,61 5,75
2 Bali 1 98,7 87,52 82,3 72,187
33 119,74
4236 109,82
4958 31,945414
24,607634
20,327499 99,36 97,23 81,59 7,68 7,18 7,34
3 Banten 1 96,35 74,46 55,08
63,062344
77,819867
135,445261
27,398445
16,50094
24,111581 99,29 94,87 66,25 7,79 6,38 6,06
4 Bengkulu 1 97,33 79,57 69,74
105,042292
146,741678
148,30237
48,652547
18,75293
18,257527 99,45 96,71 77,92 7,725 4,87 5,05
5
DI Yogyakarta 1 97,64 92,01 71,79
138,04194
105,605083
148,514851
62,331146
1,991654
6,633663 99,94 99,48 86,44 6,07 6,22 5,44
6
DKI Jakarta 1 98,07 95,55 77,91
67,171645
94,184707
123,276086
35,784567
30,393448
37,535779 99,47 96,69 70,23 7,05 6,85 6,25
7 Gorontalo 1 93,83 70,61 55,21
98,200158
123,767921
130,283135
52,21519
16,801075
8,411982 98,4 90,47 68,69 7,72 6,17 5,07
8 Jambi 1 95,72 79,73 58,65 154,25
4311 101,96
2007 84,662
85 56,992609
6,811858
7,226639 99,46 94,88 70,41 7,92 7,02 6,1
9 Jawa Barat
0,997296
96,104298 74,82 53,28
84,446752
114,37346
117,168402
43,911715
14,997727
12,162759
99,56925
94,24069
69,641346
7,31874
6,672538
5,74199
10
Jawa Tengah 1 96,33 79,38 53,25
77,960894
81,977462
108,542649
44,76244
18,670431
19,629367 99,51 94,85 67,54 6,87 6,21 6,21
11
Jawa Timur 1 96,07 83,37 58,37
113,0359
130,845548
148,667916
39,514025
22,594586
7,433206 99,38 96,36 70,25 8,04 7,12 7,09
282
12
Kalimantan Barat 1 93,33 68,83 46,02
84,624772
110,444398
94,074946
40,640621
31,364637
29,036688 98,18 91,76 66,48 6,93 6,62 6,02
13
Kalimantan Selatan 1 95,81 69,44 48,51
63,780344
20,909179
34,792462
31,537451
15,480525
9,862761 99,24 91,83 67,18 7,72 6,78 5
14
Kalimantan Tengah 1 96,98 68,03 57,99
56,615847
91,082429
73,465194
34,887603
23,565073
7,192397 99,46 92,94 65,84 6,835 6,28 5,1
15
Kalimantan Timur 1 97,43 77,37 66,05
83,399054
116,496833
87,921847
41,108044
33,094648
21,580817 99,35 97,89 80,5 6,47 5,73 4,518
16
Kep. Bangka Belitung
0,995919
97,126255
73,343948
61,048069
74,659801
94,300637
90,096136
40,969069
18,784421
7,068582
99,566368
94,389259
70,404943
6,665477
6,266704
5,175344
17
Kep. Riau 1 97,61 87,11 55,64
72,448875
109,301329
156,938134
34,734354
23,289041
32,855645 99,12 98,56 81,57 7,24 6,215 5,13
18
Lampung 1 95,52 75,1 48,64
88,057786
125,228316
130,553948
44,930472
13,375952
15,013552 99,56 94,01 68,75 7,7 6,9 6,05
19
Maluku 1 92,05 80,76 73,13
91,404709
132,116197
114,587332
47,732282
18,616782
18,042226 99,19 96,35 77,48 7,81 7,15 5,1
20
Maluku Utara 1 97,84 77,08 68,16
91,594904
120,254122
139,571909
52,380613
37,74013
7,252786 98,89 96,24 74,83 7,57 6,57 4,01
21
Nusa Tenggara Barat 1 92,56 80,88 59,37
125,555371
182,093846
112,184635
51,819844
34,038458
24,93835 99,11 97,27 75,68 7,83 6,54 5,9
2 Nusa 1 93,63 66,98 49,96 80,379 116,83 81,225 45,81 11,83 18,05 97,99 94,26 73,96 6,74 5,9 4,75
283
2 Tenggara Timur
189 1894 215 1287 2427 0048
23 Papua 1 91,18 62,91 46,37
68,697544
172,644668
340,643275
34,348772
45,911047
55,555556 80,69 78,07 61,63 7,172 6,77 4,49
24
Papua Barat 1 89,69 63,31 43,93
75,119696
116,120219
118,4379
36,156513
25,409836
42,893726 96,65 96,28 79,87 7,22 7,32 6,28
25 Riau
0,992947 94,13
81,516321
62,830575
83,715459
102,389879
115,999968
34,763386
24,933338
20,655833
99,370884
96,114509
75,834879
7,89569
7,370469
6,54114
26
Sulawesi Barat 1 90,89 73,62 63,92
137,40675
170,816912
172,590762
49,165187
41,47259
46,949249 97,91 89,26 66,97 8,2 6,9 5,55
27
Sulawesi Selatan 1 95,93 78,08 62,1
115,024031
165,775553
194,949935
55,435234
17,671002
17,472065 98,91 92,57 69,38 8,36 6,68 5,63
28
Sulawesi Tengah
0,990266
93,912195 71,77 52,31
78,86533
93,519761
95,875129
37,640765
22,404794
24,075499
98,670425
95,034896
74,363833
7,381852
6,749691
5,556741
29
Sulawesi Tenggara
0,997892
96,127047
77,659596
59,970523
85,535887
70,927307
74,348535
35,999255
18,228362
13,525475
99,31939
94,389846
72,402643
7,836521
7,140393
6,145082
30
Sulawesi Utara 1 96,12 79,74 71,69
60,069144
67,132324
96,621781
25,929127
18,885008
36,380817 98,95 94,34 71,98 7,94 6,82 5,09
31
Sumatera Barat 1 97,46 87,55 57,2
110,066007
136,044645
154,038915
46,534653
23,988992
27,122642 99,27 95,84 81,97 7,02 6,12 5,41
32
Sumatera Selata 1 93,34 74,36 59,54
65,199243
111,256857
131,655409
30,373442
25,331335
27,357458 99,47 93,36 67,84 7,89 7,63 6,37
284
n
33
Sumatera Utara 1 94,77 81,96 63,01
67,60151
86,723191
102,191053
25,583446
30,059382
20,894135 99,26 96,06 75,78 8,18 7,96 7,32
285
Lampiran 10. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2014 menggunakan metode
DEA
NO DMU Score
Projection (APM MI)
Projection (APM MTS)
Projection (APM MA)
Projection (RGM MI)
Projection (RGM MTS)
Projection (RGM MA)
Projection (RKM MI)
Projection (RKM MTS)
Projection (RKM MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
1 Aceh 1 91,8 84,88 66,16 95,410
896 105,14
3446 123,79
4991 37,629498
36,668887
39,19004 99,4 97,38 80,89 7,76 6,42 5
2 Bali 1 95,49 88,9 68,03 65,474
908 104,21
4023 143,39
365 31,732357
27,452352
45,407989 99,36 97,23 81,59 7,2 6,81 7,45
3 Banten 1 94,88 75,77 49,19
67,065641
91,628664
112,770004
32,012919
22,584018
38,067693 99,29 94,87 66,25 7,13 6,42 6,21
4 Bengkulu
0,99934
94,357734 76,73
58,393559
84,596367
96,217013
124,725772
43,174094
34,530497
40,651361
99,515676
96,880421
77,971458
7,244781
6,350437
5,313507
5
DI Yogyakarta 1 95,39 92,56 68,11
120,246593
91,257387
118,145845
63,270604
36,193193
42,47759 99,94 99,48 86,44 6,26 5,95 5,72
6
DKI Jakarta 1 95,43 94,66 63,53
63,661099
92,646517
122,905028
33,782062
31,183192
35,621439 99,47 96,69 70,23 6,72 6,65 5,95
7 Gorontalo
0,98811 93,2
76,096673 53,58
89,572681
103,622498
136,665818
46,193506
32,874095
40,065878
99,584019
94,931238
71,644324
7,33246
6,507133
5,808494
8 Jambi 1 94,99 73,98 56,86 118,62
195 95,616
948 127,70
8978 52,11
188 19,127566
43,392028 99,46 94,88 70,41 7,43 7,13 6,23
9 Jawa Barat 1 94,74 72,17 44,71
61,629262
75,447967
104,009127
35,030709
28,671851
37,027082 99,3 92,84 65,48 7,33 5,32 5,47
10
Jawa Tengah 1 94 78,44 60,03
73,469576
74,227352
95,011876
45,280137
30,612946
34,828149 99,51 94,85 67,54 6,39 6,28 6,13
11
Jawa Timur 1 94,4 82,23 57,87
86,427946
97,160518
104,239599
46,619781
33,36462
35,467114 99,38 96,36 70,25 7,81 7,38 7,03
286
12
Kalimantan Barat 1 92,73 68,79 59,03
63,740952
106,434341
124,219243
28,464762
37,572344
40,49407 98,18 91,76 66,48 6,42 6,68 5,92
13
Kalimantan Selatan 1 95,15 67,65 46,05
99,769434
90,045364
104,966454
47,09044
35,291692
39,34257 99,24 91,83 67,18 7,15 6,84 5,28
14
Kalimantan Tengah 1 95,36 67,15 47,06
84,313323
89,085863
119,115393
46,042406
33,664607
41,712284 99,46 92,94 65,84 6,49 6,39 4,98
15
Kalimantan Timur 1 95,29 73,85 58,19
72,459271 89,626
123,701208
37,807086
33,756335
41,982589 99,35 97,89 80,5 6,58 5,89 4,48
16
Kep. Bangka Belitung 1 95,27 65,47 47,96
67,251975
100,993164
138,556068
35,996488
34,3093
48,540707 99,16 91,53 65,78 6,42 5,23 4,72
17
Kep. Riau 1 86,46 86,56 64,13
64,223614
97,490852
157,068063
34,589137
40,12023
56,893543 99,12 98,56 81,57 6,88 6,15 5
18
Lampung 1 92,92 72,24 50,15
86,731241
111,463203
148,26794
43,439641
32,409877
40,051992 99,56 94,01 68,75 7,68 6,78 5,9
19
Maluku 1 83,69 78,75 64,24
89,918718
120,223531
138,062669
47,414766
39,268993
43,104819 99,19 96,35 77,48 6,98 7,2 4,97
20
Maluku Utara
0,995199 93,26 81,37
63,268643
75,706569
100,361274
130,401353
38,076935
32,031491
40,788297
99,367051
96,704267
78,313737
14,052588
6,923238
6,275893
21
Nusa Tenggara Barat 1 92,54 80,58 69,07
120,628473
159,860467
185,721859
20,395908
11,602236
10,196148 99,11 97,27 75,68 691 6,76 5,86
2 Nusa 1 92,21 65,59 53,91 79,850 95,666 106,15 45,14 30,24 44,47 97,99 94,26 73,96 6,58 5,97 5,13
287
2 Tenggara Timur
226 698 2177 9774 9606 5438
23 Papua 1 59,12 31,59 35,37
64,687457
137,956204
343,283582
37,314449
25,912409
93,283582 80,69 78,07 61,63 7,13 6,15 4,32
24
Papua Barat 1 83,06 59,5 60,41
70,003563
92,404716
118,898623
39,187745
8,500137
1,877347 96,65 96,28 79,87 7,24 7,22 6,13
25 Riau 1 93,06 76,45 54,01
91,607204
113,024522
151,058925
48,974969
39,136772
48,984296 98,67 94,36 75,3 6,56 6,8 6,5
26
Sulawesi Barat
0,988503 88,57 70,78
56,127335
78,85838
112,903107
132,615797
38,724258
32,545548
33,688148
99,048792
94,447259
71,671113 7,567
7,436717
6,148673
27
Sulawesi Selatan
0,993065
92,981961 75,07
53,658218
89,770052
108,789991
139,544972
44,72527
33,61252
39,541198
99,600744
94,762098
71,475477
7,753773
6,837418
6,043391
28
Sulawesi Tengah 1 90,95 71,55 50,55
92,958029
118,1565
158,888715
45,727737
37,698682
46,589668 97,71 91,23 73,64 6,5 6,33 4,75
29
Sulawesi Tenggara
0,995083 91,52
80,52099
60,761147
96,199246
106,3898
128,290697
48,599412
36,179561
40,067815
99,599702
96,336067
76,988808
7,31597
6,863747
5,94025
30
Sulawesi Utara 1 91,91 81,03 70,95
20,366051
27,481965
44,097508
35,887314
35,154014
47,384278 98,95 94,34 71,98 7,3 6,77 5,31
31
Sumatera Barat
0,996849
95,139244 84,3
63,935648
89,249999
95,293574
126,915009
45,87156
33,226312
42,609154
99,58374
98,05706
82,229064
7,333103
6,235844
5,788574
32
Sumatera Selata 1 91,51 69,98 52,19
76,380254
114,145449
133,222116
35,348071
34,769756
36,429252 99,47 93,36 67,84 7,32 7,57 6,6
288
n
33
Sumatera Utara 1 93,59 80,9 64,36
68,40634
88,641799
116,543437
36,149259
31,516693
36,12989 99,26 96,06 75,78 7,82 7,7 6,8
289
Lampiran 11. Hasil Analisis Efisiensi Teknis Sistem Pendidikan Islam Seluruh Provinsi se Indonesia tahun 2015 menggunakan metode
DEA
NO DMU Score
Projection (APM MI)
Projection (APM MTS)
Projection (APM MA)
Projection (RGM MI)
Projection (RGM MTS)
Projection (RGM MA)
Projection (RKM MI)
Projection (RKM MTS)
Projection (RKM MA)
Projection (APS MI)
Projection (APS MTS)
Projection (APS MA)
Projection (NHUN MI)
Projection (NHUN MTS)
Projection (NHUN MA)
1 Aceh 1 92,31 85,35 66,52 91,853
97 106,53
5405 124,21
2295 38,424
373 36,223
461 40,983989 99,9 97,71 81,43 8,1 6,85 6,1
2 Bali 1 96,33 94,19 71,62 65,927
539 96,476
116 143,13
6616 34,976
572 34,925
607 36,843821 99,41 97,41 81,69 7,38 7,25 7,41
3 Banten 1 95,96 79,87 50,45
68,109902
90,22467
114,082624
35,373415
31,43325
36,54374 99,41 95,29 66,73 7,3 6,75 6,44
4 Bengkulu 1 95,97 79,41 62,51
97,528632
116,836256
132,693942
49,367089
40,990113
42,734005 99,65 96,83 78,16 7,02 5,58 5,51
5
DI Yogyakarta 1 95,33 87,77 68,65
111,531532
91,725931
118,665408
62,762763
34,564503
40,761725 99,89 99,68 86,78 7,26 6,3 5,61
6
DKI Jakarta 1 95,54 93,52 64,32
59,343625
77,005561
110,310449
32,563977
30,376373
34,252998 99,56 97,19 70,73 6,69 6,93 6,56
7 Gorontalo 1 94,23 72,13 57,8
83,838559
101,605254
135,48144
50,147237
41,681868
50,687771 98,69 90,75 69,03 7,42 6,47 5,81
8 Jambi 1 95,43 77,9 57,39 113,20
4232 106,67
742 134,21
51 54,264
928 37,795
333 42,943745 99,55 95,06 70,75 7,2 7,25 6,5
9 Jawa Barat 1 95,04 82,13 45,89
60,82909
75,394546
107,054649
35,469154
29,498063
36,882896 99,57 93,19 65,72 7,56 5,83 5,61
10
Jawa Tengah 1 94,39 81,72 59,98
71,232566
761,055152
96,438352
46,2272
313,993405
34,862148 99,56 95,3 67,66 6,73 6,36 6,5
290
11
Jawa Timur 1 94,87 84,22 57,57
93,673165
101,136078
113,285078
511,596224
35,011839
36,685239 99,45 96,53 70,44 7,4 7,23 7,19
12
Kalimantan Barat 1 93,18 71,4 64,88
86,530054
103,886173
120,768364
43,797285
37,086599
39,307524 98,27 91,91 66,83 6,56 6,79 6
13
Kalimantan Selatan 1 95,21 75,98 52,25
98,881313
88,555045
105,139501
52,997432
35,810286
39,610866 99,43 91,91 67,49 6,82 6,94 5,69
14
Kalimantan Tengah 1 95,62 74,83 51,58
85,504776
92,724083
123,019571
47,649972
35,001253
43,388216 99,54 93,13 66 7,17 6,6 5,53
15
Kalimantan Timur 1 95,49 80,94 61,42
67,882618
90,267153
124,680565
38,728517
35,110431
42,905178 99,63 97,92 80,68 6,92 6,05 4,99
16
Kep. Bangka Belitung 1 96,07 70,23 47,87
65,725244
99,420849
132,140796
41,666667
38,127413
35,776111 99,22 91,82 66,17 6,53 5,34 4,55
17
Kep. Riau 1 86,39 80,93 65,19
63,483736
95,328283
156,849768
35,764253
39,015152
55,92323 99,34 98,67 81,84 6,56 6,51 5,38
18
Lampung 1 93,38 81,49 53,1
87,420188
110,29316
143,319584
41,867719
32,750116
37,905289 99,62 94,24 69,04 6,59 7,08 6,47
19
Maluku 1 82,03 78,75 68,31
92,651407
124,247043
136,34997
46,270945
40,206111
43,29525 99,38 96,44 77,87 7,25 7,27 5,61
20
Maluku Utara
0,997318
92,900929 81,85
65,168429
75,083104
93,859176
119,971553
37,784001
34,385727
39,441268
99,346468
96,940014
78,615461
7,600386
7,209337
6,483909
21
Nusa Tenggara
0,998844 93,24 83,73
66,237368
85,262225
93,480737
123,677741
46,056778
34,021017
40,197082
99,595151
97,552789
80,020685
7,29866
7,097132
6,387385
291
Barat
22
Nusa Tenggara Timur 1 92,29 67,37 61,31
78,963782
99,991505
111,840187
46,945819
41,542775
47,97317 98,13 94,39 74,25 7,05 6,32 5,24
23 Papua 1 56,72 41,3 35,6
65,429932
122,850891
317,982456
37,35272
42,825883
86,622807 81,04 78,14 61,96 7,18 6,97 5,13
24
Papua Barat 1 82,86 65,58 58,58
69,853508
90,839888
132,748217
41,480339
40,598833
44,980801 96,74 96,58 79,99 7,18 7,42 6,43
25 Riau 1 93,64 76,44 54,59
90,365477
111,660777
157,836762
50,1047
38,016328
49,212948 98,79 94,48 75,57 6,97 7,25 6,83
26
Sulawesi Barat
0,985558 89,24 75,97
59,059673
80,44486
112,950382
133,243083
40,040845
36,083826
37,785624
99,436038
94,269232
71,129965
7,095695
7,344705
6,280705
27
Sulawesi Selatan 1 94,22 79,95 64,1
109,663486
13,263525
157,856328
54,951725
4,07882
43,671608 99,03 92,66 69,66 7,92 6,95 6,16
28
Sulawesi Tengah
0,996388
90,945152
74,885719 53,26
76,735388
96,270477
137,93884
43,768138
36,442437
44,88189
98,375342
94,641943
74,06754
7,186846
6,912679
6,386133
29
Sulawesi Tenggara
0,996407 90,25 80,27
62,744755
86,014712
111,018173
129,475209
39,196694
35,960888
39,152986
99,658047
95,822915
75,633482
7,548632
7,250971
6,309267
30
Sulawesi Utara
0,998991 92,03 79,73
58,433415
70,768167
93,492895
124,229493
37,696496
33,638342
39,864242
99,430286
94,99137
72,292915
7,220398
7,057118
6,322028
31
Sumatera Barat 1 95,92 79,57 65,41
97,497367
109,757435
163,215805
46,842871
35,696446
45,59356 99,44 95,98 82,53 7,45 6,36 5,76
292
32
Sumatera Selatan 1 91,9 75,56 56,11
76,675484
109,608765
131,873363
36,708844
33,693074
35,259462 99,53 93,52 68,4 7,1 7,67 6,86
33
Sumatera Utara 1 94,11 83,31 67,92
66,657462
86,767113
113,557276
35,869115
31,409998
35,551452 99,35 96,34 76,23 7,6 8,01 7,48