analisis dasar pengajuan kasasi penuntut umum …/analisis... · teori yang berhubungan dengan...

79
ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : FEBRI DWI HARTANTI NIM : E0005018 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Upload: hoangthuy

Post on 24-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT

UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG

DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

(STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

FEBRI DWI HARTANTI

NIM : E0005018

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT

UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG

DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

(STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007)

Disusun oleh :

FEBRI DWI HARTANTI

NIM : E0005018

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.

NIP. 131 863 79

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT

UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG

DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

(STUDI PUTUSAN MA NO. 15 K/ PID.SUS/2007)

Disusun oleh :

FEBRI DWI HARTANTI

NIM : E0005018

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 14 Juli 2009

TIM PENGUJI

1. Kristiyadi, S.H., M. Hum. : ......................................................

NIP. 131596273

Ketua

2. Edy Herdyanto, S.H.. M.H. : ......................................................

NIP. 131472194

Sekretaris

3. Bambang Santoso, S.H., M Hum. : ......................................................

NIP. 131863797

Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.

NIP.131 570 154

iv

ABSTRAK

FEBRI DWI HARTANTI. E 0005018.ANALISIS DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI PUTUSAN MA NO.15 K/ PID.SUS/2007). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pengajuan kasasi oleh kejaksaan negeri Pemalang dan pertimbangan hakim Agung dalam menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah (studi putusan no. 15 k/ pid.sus/2007)

Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau doktrinal yang bersifat deskriptif dengan menggunakan jenis data sekunder. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti. Jenis data sekunder yaitu data yang didapat dari sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang diperoleh secara tidak langsung, melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan / verifikasi dan akan diperoleh kebenaran obyektif.

Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dasar pengajuan kasasi kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang dengan Terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah adalah judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum. Sedangkan Pertimbangan Hakim Agung adalah bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak salah menerapkan hukum.

v

MOTTO

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat

siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.

-( QS. Al-Baqarah: 286 )-

Motivasi adalah langkah pertama untuk mencapai keberhasilan, karena

motivasi adalah pelahir tindakan pertama, yang bisa menjadi langkah awal

dari langkah-langkah berikutnya yang cemerlang

- Penulis -

Ingatlah, kualitas yang prima tidak menjamin keberhasilan bagi

siapapun, tetapi penggunaan yang bersungguh-sungguh dari kualitas

apapun yang Anda miliki itu lah jalan terbaik menuju jaminan yang

Anda inginkan. Selalu, berupayalah untuk menjadi yang terbaik dalam

yang Anda lakukan

- Penulis -

Bukan besar atau kecil yang membuat engkau menang atau gagal, tetapi

jadilah yang terbaik siapapun engkau adanya

- Douglas Mallock -

Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan

perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari

ini tidak mungkin kembali esok, maka manfaatkan waktumu sebaik

mungkin

- Penulis -

Sebuah pribadi dibentuk oleh koleksi kebiasaannya

- Penulis -

vi

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan

kepada :

§ Allah SWT yang Maha Segalanya

yang selalu memberikan yang terbaik

dalam setiap detik episode kehidupan

§ ibuku dan babeku yang telah

memberi dukungan dan doanya yang

begitu besar dalam hal apapun

§ masdung yang salalu

mengarahkanku untuk menjadi

pribadi yang mandiri, membantu dan

menyemangati setiap waktu;

§ sahabat-sahabat terbaikku yang

begitu berharga dalam hidupku;

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih

dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “ANALISIS

DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN

PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS

PERKARA MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

(STUDI PUTUSAN MA NO.15 K/ PID.SUS/2007)”. Penulisan skripsi ini

bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar

kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau

skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril

yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan

kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui

penulisan skripsi.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang

telah membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi .

3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi yang

telah menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan

ilmu, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk

memberi nasihat serta mendengar keluh kesah penulis.

4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang

telah memberikan ilmunya kepada penulis.

viii

5. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan,

cerita dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga

dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis

amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.

7. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus

prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan

seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.

8. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas

bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk

penulisan penelitian ini.

9. Kedua orang tua, Babeku tersayang pak Mucshon dan Ibuku tercinta Sri

Hartini, yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada

kata yang dapat mewakili rasa terima kasih atas segala yang telah diberikan.

Semoga Ananda dapat membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan-

harapan yang ibu dan babe inginkan..

10. Abangku tercinta ( Masdung / Kodrat Muh Hartanto ) yang selalu memberikan

kasih sayang, arahan, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam bentuk

apapun, walaupun kita jauh dan susah untuk berkumpul tapi kasih sayangmu

begitu besar semoga Ade bisa membuatmu bangga.

11. Eyang putriku yang memberi semangat kepada penulis untuk tetap semangat..

12. Om Budi yang selalu memberikan nasihat, dukungan serta wejangan

mengenai nilai-nilai kehidupan dan beberapa hal keagamaan..

13. Mulya Jati Milarti dan Caecar Asmara Juda Halilintar sahabat terbaikku

terimakasih atas banyak hal yang begitu berharga yang menjadikanku lebih

mengenal pergaulan dan berkawan yang baik dengan sesama.

14. Sahabat-sahabatku tercinta Gank HIT yang sudah kuanggap saudaraku sendiri

(“Miemi” teman seperjuanganku makasi banyak atas perhatian yang begitu

besar yang selalu mengarahkanku untuk mengambil jalan terbaik walaupun

ix

kadang aku sendiri tak menghiraukan. Makasi ya!, “Ayu” kan selalu kuingat

jasamu anter jemput aku kuliah, selau dengerin curhatku, selalu

mengarahkanku, “Ratih” Mamiku apapun itu yang kita alami jadikan

pembelajaran diri dan janganlah di sesali makasi atas bantuannya, ”Intan”

yang semakin hari semakin positif-positif aja ayo Lanjutkan!, “Febri”

Pribadimu sungguh memotivasiku untuk menjadi lebih baik, Oiya ayo cari

calon suami yang baik, “Yellin” Makasi untuk semuanya and tetep semangat

untuk menggapai dowble degree...keren, “Ika” Bekerja yang rajin dan

gapailah cita dan cintamu seperti yang kau inginkan, “Iis” kalau sudah sampai

wamena tetep ingat aku ya..) Untuk semuanya makasih telah dengan setia

mendengar keluh kesah penulis dan memberi bantuan, semangat, serta

dukungan yang luar biasa untuk menyelesaikan skripsi. Maaf telah banyak

merepotkan kalian.

15. Untuk Farid Rizal sudah tak bisa merangkai kata lagi cuma bisa bilang

makasih untuk semuanya. Banyak hal baru yang dapat kuperoleh darimu.

16. Sahabat-sahabatku Iwan (Momot) , Anggun, Deddy, Bram, Siweng makasih

uda mau main-main bareng dan sukses buat kalian..

17. Teman-teman kosku mbak Mita, dek Ipin, Dhita, tante Lukma, teteh Neny,

Mbak Kingkin, Mbak Lely yang tak henti-hentinya mengingatkanku belajar

hidup dengan orang lain dan menemani hari-hariku di kos.

18. Temen- temen Reza, Ruri, Evi, Endah, Isty, Puri, Fai, Putra, Ria, Febty, Ijup,

Ratna, Prima, Arif, Pambudi, Dilla, Andan, Eko Joko, Adit, Kotrek, Hendrik,

Rudy makasih telah menemani hari-hariku di FH

19. Seluruh teman-teman angkatan 2005 FH UNS yang mengisi hari-hari kuliah

penulis selama ini.

20. Temen-temen Angkatan 2004 Mbak Lina makasi atas dukungannya sekaligus

menjadi temen berbagi cerita dan konsultanku, Mbak Ria, Mbak Ninda, Mbak

Dyah makasi telah banyak mengajarkanku hidup dan makasi selalu

mengajakku jalan-jalan jangan sampai silaturrahmi kita putus.

21. Seluruh Guru serta teman-teman SD, SMP, SMU yang telah menjadi bagian

hidup penulis.

x

22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang

membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya

tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, Juli 2009

Penulis

FEBRI DWI HARTANTI

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii

ABSTRAK................................................................................................... iv

HALAMAN MOTTO.................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

DAFTAR ISI................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Perumusan Masalah................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian.................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian.................................................................. 8

E. Metode Penelitian................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ....................................................................... 15

1. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim Hakim………. 15

a. Pengertian Putusan…………….…………………….. 15

b. Jenis-Jenis Putusan....................................................... 15

c. Sahnya Suatu Putusan.................................................. 18

d. Putusan pada Tingkat Pertama dan Terakhir.............. 19

e. Putusan dalam Tingkat Banding................................. 20

f. Pertimbangan Hakim dalam Putusan........................... 22

2. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung ..................... 25

xii

a. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Agung.......... 25

b. Fungsi Mahkamah Agung........……………………... . 26

3. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi........................... 29

a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi.. .............................. 29

b. Kasasi Sebagai Upaya Hukum..…....…………….. 30

c. Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi.................. 30

d. Tata Cara Pengajuan Kasasi....................................... 32

e. Alasan Kasasi............................................................. 33

f. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi................................... 37

4. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan ............................... 39

a. Pengertian Kejaksaan................................................ 39

5. Tinjauan Umum Tentang Money Politics...................... 39

a. Pengertian Tentang Money Politics.......................... 39

b. Pengertian Tentang Money Politics Dalam Pilkada.. 39

B. Kerangka Pemikiran……………………………………….. 42

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang

dalam Perkara Money Politics dalam pemilihan Kepala

Daerah………………………………………………… 44

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam

Menolak Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Kejaksaan

Negeri Pemalang Dalam Perkara Money Politics Dalam

Pemilihan Kepala Daerah..........................................69

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................ 74

B. Saran....................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi terhadap warga negara. Untuk membangun demokrasi secara menyeluruh dan bertanggungjawab perlu adanya penegakan demokratisasi secara konsisten. Penegakan demokratisasi di Indonesia memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua bahwa membangun demokrasi tidaklah mudah. Membangun demokrasi yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat tidak akan dicapai bila hanya melakukan perubahan sistem ataupun aturan prosedural saja, namun juga menyangkut budaya/culture dari elit politik maupun warga negara secara keseluruhan.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung merupakan satu langkah maju dalam penegakan demokratisasi di Indonesia yang telah dibangun sejak era reformasi 1998. Sebagaimana bunyi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18 ayat (4) yang bunyinya “ Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokasi untuk menggerakkan jalur roda pemerintahan. Fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Jabatan publik artinya kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat atau publik, hal tersebut akan berdampak kepada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyatnya.

Pelaksanaan Pilkada langsung juga merupakan peristiwa penting untuk menjaring pemimpin yang lebih baik sebagai kepala daerah di tiap-tiap wilayah di Indonesia.. Pilkada merupakan rekrutmen politik dimana rakyat menyeleksi tokoh-tokoh lokal yang mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Dalam kehidupan politik di daerah, Pilkada merupakan salah satu kegiatan yang nilainya sejajar dengan pemilihan legislatif terbukti kepala daerah dan DPRD setara dan menjadi mitra. Aktor utama Pilkada adalah

1

1

xiv

rakyat, Parpol, pasangan calon kepala daerah dan KPUD ( Komisi Pemilihan Umum Daerah ) sebagai penyelenggara.

Keputusan politik untuk memilih sistem Pilkada secara langsung bukan datang dengan tiba-tiba. Banyak faktor yang mendorong munculnya sistem pilkada langsung tersebut. Adapun faktor-faktor pendorong tersebut adalah sistem pemilihan perwakilan (lewat DPRD) diwarnai banyak kasus, rakyat dapat berperan langsung, peluang terjadinya politik uang (money politics)akan makin menipis, peluang campur tangan partai politik berkurang dan pada Pilkada secara langsung hasil yang diperoleh akan lebih obyektif.

Salah satu yang dianggap mendorong pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung (dibandingkan Pilkada melalui perwakilan) adalah peluang terjadinya politik uang (money politics) akan makin menipis. Berkurangnya kemungkinan money politics logikanya adalah menyuap jutaan rakyat jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyuap beberapa puluh orang. Hal tersebut benar adanya, akan tetapi bukan berarti penyimpangan demokrasi yang bernama money politics ini akan berkurang secara signifikan. Bisa saja terjadi transformasi money politics jika semula kepada puluhan orang menjadi masyarakat luas (sekaligus terhadap beberapa orang yang ditokohkan dan ditaati). Logikanya jika semula miliaran rupiah disebar kepada beberapa puluh orang maka modus yang baru dari money politics mungkin dengan jumlah yang juga miliaran rupiah, tapi penyebarannya lebih luas. Tentu saja penyimpangan berupa penyuapan tersebut tidak lepas dari penyimpangan lain yaitu menyangkut dana kampanye terlarang.

Masalah politik uang (money politics) tampaknya kembali akan terus mewarnai kancah politik kita, khususnya pada pelaksanaan pilkada secara langsung. Bentuk politik uang (money politics) dikaitkan dengan masalah suap-menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat pasangan calon tertentu dalam suatu Pilkada. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Bagian VIII mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah terdapat ketentuan mengenai politik uang (money politics) ini, khususnya pada Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah terdapat larangan dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu

Para penyidik dan penuntut umum pun untuk kasus-kasus politik uang (money politics) pada pemilu juga mengakui bahwa secara teknis memiliki kemampuan untuk menyidik dan menuntut tindak pidana semacam ini. Tetapi, perlu dicatat bahwa pada kenyataanya terdapat tiga kasus politik uang (money politics) yang berhasil disidang dan diputuskan oleh pengadilan, secara modus operandi tidak terlampau sulit dan melibatkan jumlah materi yang relatif kecil serta dilakukan bukan oleh tokoh-tokoh penting partai melainkan rakyat kecil.

xv

Pada kenyataannya sulit membawa penyimpangan dana kampanye ke pengadilan. Dalam konteks inilah pengawasan dan penegakan hukum untuk menangani politik uang (money politics) terkait dengan faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Problem utamanya adalah apakah ketentuan yang ada sudah memadai untuk mengawasi dan menangani politik uang (money politics). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik Pasal 23 huruf e yaitu kewenangan untuk mengawasi terletak pada pundak Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu dengan meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum.

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan ini dimiliki oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Undang-undang memang tidak menjelaskan secara langsung peran pengawas pemilu dalam mengawasi dana kampanye, tetapi tugas dan kewenangan pengawas Pilkada hampir sama dengan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) yaitu mengawasi semua tahapan, menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terakit dengan pelaksanaan Pilkada, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pilkada, dan meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

Dengan demikian apabila Pengawas Pilkada dalam tugas proaktifnya menemukan pelanggaran dana kampanye atau menerima laporan pelanggaran dana kampanye maka ia dapat melakukan tindakan berupa meneruskan kepada instansi yang berwenang. Jika hal itu mengandung unsur pidana berarti kepada penyidik. Dengan demikian pengawas Pilkada tidak perlu menunggu adanya hasil audit dana kampanye, pertama karena menurut undang-undang audit dana kampanye itu diserahkan kepada KPUD (bukan kepada pengawas Pilkada); dan kedua, karena hasil audit itupun baru diserahkan dalam waktu cukup lama.

Perlu diantisipasi bahwa pelanggaran-pelanggaran yang ada, sesuai Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus dilaporkan paling lama 7 hari sesudah pelanggaran terjadi. Dengan demikian masalah pelanggaran mengenai dana kampanye inipun jika diketahui harus cepat dilaporkan sehingga dapat ditangani. Artinya, kepada warga masyarakat yang berhak memilih, memantau, serta peserta pemilu yang mengetahui adanya politik uang (money politics) ini diharap segera melaporkan kepada pengawas pemilu, sesuai ketentuan dan waktu yang diatur dalam undang-undang, tanpa menunggu audit yang baru bisa diketahui lama sesudah Pilkada berakhir.

Sebagaimana yang terjadi di wilayah hukum Pemalang telah terjadi praktek politik uang (money politics) berupa suap-menyuap untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah

xvi

secara langsung. Perkara tersebut sudah diketahui oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kemudian diserahkan kepada pihak yang berwenang yaitu penyidik dan diproses hukum sebagaimana mestinya dengan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah yang telah di dakwa oleh penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang telah melanggar Pasal 117 ayat (2) yang bunyinya : “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).” Perkara ini sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Pemalang hingga Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.

Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari

itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada

penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum (Pasal 182 ayat (8)

KUHAP). Terdakwa atau penuntut umum dalam hal putusan pengadilan yang

dijatuhkan memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum, pikir-pikir, ataupun

menerima putusan pengadilan tersebut. Apabila mengajukan upaya hukum,

terdakwa dan/atau penasihat hukumnya atau penuntut umum dapat

mangajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi guna memeriksa

perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi yang

memeriksa perkara banding tersebut dapat memberikan putusan yang pada

pokoknya sama dengan putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan

ataupun dapat memiliki pertimbangan lain yang berbeda dengan putusan

Pengadilan Negeri. Dalam putusan pengadilan pada tingkat banding, terdakwa

ataupun penuntut umum dapat pula mengajukan upaya hukum terakhir yaitu

kasasi ke Mahkamah Agung.

Mengajukan permohonan kasasi, pemohon kasasi wajib mengajukan

memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasi dan dalam waktu 14

(empat belas) hari setelah mengajukan permohonan kasasi, pemohon harus

sudah menyerahkannya kepada panitera, dan atas penyerahan itu, panitera

memberikan surat tanda terima. Surat tanda terima yang dibuat panitera atas

penerimaan memori kasasi tersebut, dalam praktek dikenal sebagai Akta

xvii

Penerimaan Risalah Kasasi. Kewajiban pemohon kasasi untuk mengajukan

memori kasasi dalam tenggang waktu yang ditentukan tersebut bersifat

imperatif. Bila pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi atau

menyarahkan memori kasasi melampaui tenggang waktu yang ditentukan,

maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.

Pemeriksaan dalam tingkat kasasi yang didasarkan pada permasalahan

penerapan hukum, dengan sendirinya dalam memori kasasi harus diuraikan

permasalahan penerapan hukum yang dimintakan untuk diperiksa oleh

Mahkamah Agung. Karena itu untuk dapat menyusun memori kasasi yang

memenuhi syarat, memerlukan pengetahuan hukum acara pidana yang luas, di

samping itu dituntut pula kemampuan (kejelian) untuk mempelajari dan

meneliti putusan pengadilan yang akan dimintakan kasasi. Pemohon kasasi

harus mampu menemukan dimana letak kesalahan atau kekeliruan dalam

putusan pengadilan, guna dikemukakan sebagai alasan permohonan kasasi.

Dengan berdasarkan uraian diatas Penulis berpendapat bahwa hal-hal

tersebut diatas merupakan latar belakang permasalahan yang Penulis akan

kemukakan. Oleh karena itu Penulis menuangkan sebuah penulisan yang

berbentuk penulisan hukum dengan judul : “ANALISIS DASAR

PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN

MAHKAMAH AGUNG DALAM MEMUTUS PERKARA MONEY

POLITICS PEMILIHAN KEPALA DAERAH ( STUDI PUTUSAN MA

NO. 15 K/ PID. SUS /2007 ).

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

xviii

1. Apakah dasar pengajuan kasasi penuntut umum dalam perkara money

politics pemilihan kepala daerah?

2. Bagaimanakah pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus

pengajuan kasasi penuntut umum dalam perkara money politics dalam

pemilihan kepala daerah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Setiap penelitian mempunyai tujuan-tujuan yang merupakan acuan dan dasar kegiatan penelitian agar penelitian terarah dan mengenai sasaran. Maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan penulisan hukum ini adalah.

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dasar pengajuan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan

Negeri Pemalang terhadap putusan Mahkamah Agung dalam perkara

money politics dalam pemilihan kepala daerah.

b. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Agung dalam memeriksa

dan memutus permohonan kasasi Penuntut Kejaksaan Negeri

Pemalang terhadap putusan Mahkamah Agung dalam perkara money

politics dalam pemilihan kepala daerah.

2. Tujuan Subyektif :

a. Sebagai sarana penulis guna turut serta menyumbangkan gagasan

pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada

umumnya serta bidang ilmu hukum acara pidana pada khususnya.

b. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang

hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam

lapangan hukum khususnya mengenai money politics dalam pemilihan

kepala daerah.

c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar

kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

xix

d. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh

selama kuliah guna mengatasi masalah hukum yang terjadi dalam

masyarakat.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam setiap penelitian tentu sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum

acara pidana yang berkaitan dengan money politics dalam pemilihan

kepala daerah.

b. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang

sedang diteliti.

2. Manfaat Praktis

a. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang

dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi

masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait

masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif

dan memadai dalam upaya penyelesaian perkara money politics dalam

pemilihan kepala daerah.

c. Sebagai praktek dan teori penelitian dalam bidang hukum dan juga

sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode

ilmiah.

E. METODE PENELITIAN

xx

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang mana dilakukan

menggunakan metode ilmiah. Suatu laporan penelitian akan disebut ilmiah

dan dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan metode penelitian yang

tepat.

Metode Penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan

baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,

mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran

dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dengan metode

pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri dari bahan primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji

kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang

diteliti (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1994:14).

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah

penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan

ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin, 2004: 25).

Dalam penelitian ini Penulis menggambarkan mengenai dasar

pengajuan kasasi oleh Kejaksaan Negeri Pemalang dan pertimbangan

Mahkamah Agung dalam perkara Money Politics dalam pemilihan kepala

daerah.

xxi

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yaitu data dari bahan pustaka yang antara lain meliputi: buku-buku,

literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, hasil penelitian

yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan

penelitian ini. Penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif,

maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Putusan MA Nomor 15 K/ PID. SUS /2007.

2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004

Tentang Mahkamah Agung.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003

Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002

tentang Partai Politik

9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

xxii

10) Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,

Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah.

11) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1977.

b. Bahan hukum sekunder.

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah dan internet.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang.

Bahan hukum tersier atau penunjang yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, diantaranya :

a) Kamus Bahasa Indonesia

b) Kamus Hukum

5. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian pasti akan membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian, lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data yaitu : studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto,1986 : 21).

Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber yang ditemukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan), yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dokumen serta artikel.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan

xxiii

tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2007 : 183). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

Metode analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2001 : 250). Ada tiga komponen pokok dalam tahapan analisis data, yaitu: a) Data Reduksi yaitu merupakan proses seleksi, pemfokusan,

penyerdehanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam field not.

Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, hasilnya data

dapat disederhanakan dan ditransformasikan melalui seleksi ketat,

ringkasan serta penggolongan dalam suatu pola.

b) Data Display adalah rakitan organisasi informasi yang memungkinkan

kesimpulan riset yang dilakukan, sehingga peneliti akan mudah

memahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan

c) Conclution Drawing dari awal pengumpulan data, peneliti harus

mengerti apa arti hal-hal yang ditelitinya, dengan catatan peraturan,

pola-pola, pernyataan konfigurasi yang mapan dan arahan sebab akibat

sehingga memudahkan dalam pengambilan kesimpulan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab, yaitu tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bagian yang dimaksud untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini Penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

xxiv

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim, Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi, Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung, Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan dan Tinjauan Umum Tentang Money Politics. Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang berupa dasar pengajuan kasasi penuntut umum Kejaksaan Negeri Pemalang dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam menolak pengajuan kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dalam pemilihan kepala daerah.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap pembahasan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

xxv

1. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

a. Pengertian Putusan

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP memberikan penjelasan mengenai putusan pengadilan adalah ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

b. Jenis-jenis Putusan

Mengenai putusan apa yang dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006 : 347). Ada beberapa jenis bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan, yaitu:

1) Putusan Bebas

Adalah putusan yang dijatuhkan apabila pengadilan

berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang

didakwakan kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan

menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana (Pasal 191 ayat

(1) KUHAP. Terhadap putusan pengadilan berupa putusan bebas

(vrijspraak) tidak diperkenankan mengajukan permohonan

pemeriksaan banding. Apabila putusan bebas ini dijatuhkan

ternyata terdakwa berada dalam tahanan, maka terdakwa

diperintahkan dibebaskan seketika itu juga.

2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan, apabila

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan

tindak pidana. Terdapat kesalahan dalam melukiskan peristiwa

yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, sehingga tidak

sesuai perumusan ketentuan peraturan pidana yang didakwakan

(Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

13

xxvi

3) Putusan Pemidanaan

Adalah putusan yang dijatuhkan apabila pengadilan

berpendapat dan menilai bahwa terdakwa terbukti bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, dimana telah

terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti dan hakim yakin

bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah telah

melakukannya (193 ayat (1) KUHAP).

4) Penetapan tidak Berwenang Mengadili

Bisa terjadi sengketa mengenai wewenang mengadili

terhadap suatu perkara. Pasal 147 KUHAP, memperingatkan

Pengadilan Negeri, setelah menerima surat pelimpahan perkara

dari penuntut umum, tindakan pertama yang harus dilakukan

adalah mempelajari berkas perkara. Yang pertama dan utama yang

diperiksanya, apakah perkara yang dilimpahkan penuntut umum

tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri yang dipimpinnya.

Seandainya ketua Pengadilan Negeri berpendapat perkara tersebut

tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal

84 KUHAP, yaitu karena tindak pidana yang terjadi tidak

dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang

bersangkutan, atau sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam

terakhir, diketemukan atau ditahan berada di wilayah Pengadilan

Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah

Pengadilan Negeri lain, sedang saksi-saksi yang dipanggilpun lebih

dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana

dilakukan.

5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan tidak Dapat Diterima

Berpedoman pada Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu :

”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut

xxvii

umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum

Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan

penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal

143 ayat (3) yang bunyinya ”Surat dakwaan yang tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi

hukum” dan didasarkan pada Pasal 156 ayat (1) yang bunyinya:

”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yang

menyatakan dakwaan batal demi hukum, baik hal itu oleh karena

atas permintaan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum

dalam eksepsi, maupun atas wewenang hakim karena jabatannya.

Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan batal demi

hukum, apabila surat dakwaan tidak memenuhi unsur yang

ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan

ditandatangani serta berisi : uraian secara cermat, jelas dan lengkap

mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan

waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

c. Sahnya Suatu Putusan

Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 195 KUHAP yaitu apabila

diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Memperhatikan

bunyi ketentuan Pasal 195 KUHAP dapat diambil pengertian :

xxviii

1) sahnya putusan serta supaya putusan mempunyai kekuatan hukum,

harus diucapkan di sidang pengadilan “yang terbuka untuk umum”.

Putusan yang diucapkan dalam “sidang tertutup” dengan sendirinya

“tidak sah” dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Oleh karana itu, putusan yang diucapkan secara tertutup tidak

mempunyai daya eksekusi.

2) semua putusan “tanpa kecuali”, harus diucapkan dalam sidang

yang terbuka untuk umum.

Putusan diucapkan dalam sidang yang dihadiri terdakwa, kecuali

apabila perkara yang diadili tersebut perkara disersi atau perkara lalu

lintas, maka pengadilan dapat memutus perkara tanpa hadirnya

terdakwa. Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua

wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala haknya

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :

1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan.

2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau

menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu

tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan

diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3)

jo Pasal 233 ayat (2) KUHAP).

3) Hak meminta penagguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang

waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini untuk dapat

mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat

(3) KUHAP jo Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang

Grasi)

4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada

terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196

xxix

ayat (2) KUHAP. (Pasal 196 ayat (3) jo Pasal 233 ayat (2)

KUHAP).

5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir

a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal

235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “selama perkara

banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permintaan

banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,

permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi”

(Pasal 196 ayat (3) KUHAP).

d. Putusan pada Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir

Dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP, dinyatakan bahwa ”dalam

acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan

mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan tingkat

terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan

kemerdekaan, terdakwa dapat minta banding”. Bila dihubungkan

dengan ketentuan dalam Pasal 205 ayat (1) yang mengatur tentang

acara pemerksaan tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana

penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 7.500,00 (Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah)

dan penghinaan ringan. Kemudian dihubungkan dengan judul Bab

XVI Bagian Keenam, yakni acara pemeriksaan cepat, baru dapar

diperoleh tentang pengertian yang terkandung dalam Pasal 205 ayat

(3). Pengertiannya adalah bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim

tunggal dalam acara pemeriksaan cepat adalah putusan pada tingkat

pertama dan tingkat terakhir. Maksudnya putusan demikian tidak dapat

dimintakan banding (hubungkan dengan ketentuan Pasal 67 KUHAP).

Karena putusan tersebut adalah putusan pada tingkat pertama yang

sekaligus merupakan putusan pada tingkat terakhir, kecuali terhadap

putusan yang mengandung perampasan kemerdekaan.

e. Putusan dalam Tingkat Banding

xxx

Dikaitkan dengan upaya hukum kasasi, maka putusan Pengadilan

Tinggi dalam tingkat banding yang perlu dibahas adalah bentuk-bentuk

putusan pada tingkat banding tersebut. Bentuk-bentuk putusan yang

dapat dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi sesuai dengan ketentuan Pasal

241 KUHAP adalah : putusan yang menguatkan putusan Pengadilan

Negeri; putusan yang mengubah atau memperbaiki putusan Pengadilan

Negeri; dan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri.

1) Putusan Pengadilan Tinggi yang Menguatkan Putusan Pengadilan

Negeri.

Putusan dalam bentuk ini akan dijatuhkan oleh Pengadilan

Tinggi apabila:

a) Putusan Pengadilan Negeri dapat dibenarkan oleh Pengadilan

Tinggi, karena proses pemeriksaan perkara di Pengadilan

Negeri tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

undang-undang (hukum acara pidana);

b) Dalam pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri,

hukum telah diterapkan sebagaimana mestinya, artinya tidak

ada kesalahan penerapan hukum dalam proses pemeriksaan

yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri;

c) Penerapan hukum pembuktian, yang menyangkut tentang alat

bukti, sistem penggunaan alat bukti dan penilaian alat bukti

telah dilaksanakan sebagainama mestinya sesuai dengan

ketentuan undang-undang.

d) Pertimbangan - pertimbangan, argumentasi - argumentasi dan

kesimpulan Pengadilan Negeri untuk sampai kepada diktum

(amar) putusan, sudah tepat dan benar menurut penilaian

Pengadilan Tinggi.

2) Putusan yang Mengubah atau Memperbaiki Putusan Pengadilan

Negeri

xxxi

Bila Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan alasan,

pertimbangan, kesimpulan, serta amar dalam putusan Pengadilan

Negeri, maka Pengadilan Tinggi melakukan perbaikan atau

penyempurnaan terhadap hal-hal dimana Pengadilan Tinggi tidak

sependapat dengan Pengadilan Negeri. Jadi perbaikan atau

penyempurnaan itu dapat hanya meliputi amar putusan Pengadilan

Negeri saja, dapat pula meliputi hanya pada pertimbangan dan

kesimpulannya saja, dan dapat pula penyempurnaan oleh

Pengadilan Tinggi itu meliputi pertimbangan dan kesimpulan serta

amar putusan Pengadilan Negeri.

3) Putusan yang Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri

Dalam hal Pengadilan Tinggi secara keseluruhan tidak

sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri yang dimintakan

pemeriksaan ulangnya pada tingkat banding, maka Pengadilan

Tinggi sesuai dengan kewenangannya yang ada padanya akan

membetalkan putusan Pengadilan Negeri dimaksud. Dalam hal

Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri, maka

Pengadilan Tinggi mengadili sendiri perkara tersebut dan

menjatuhkan putusan sendiri.

Berbagai macam alasan yang dapat dijadikan dasar oleh

Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri

adalah : mulai dari alasan pembuktian; yang didakwakan tidak

merupakan tindak pidana; surat dakwaan batal demi hukum karena

tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP; dan

dakwaan tidak dapat diterima baik oleh karena alasan daluarsa atau

nebis in idem; maupun putusan Pengadilan Negeri tidak memuat

hal-hal yang disebut Pasal 197 ayat (1) KUHAP.

f. Pertimbangan Hakim dalam Putusan

xxxii

Pertimbangan hakim dalam memberi berbagai macam putusan,

dapat dibagi dalam dua kategori. Menurut Rusli Muhammad dalam

memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai

putusannya, kategori itu adalah (Rusli Muhammad, 2006:124).

1) Pertimbangan yang bersifat yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain.

a) Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan.

b) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa menurut KUHAP dalam Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri.

c) Keterangan saksi

Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

d) Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi:

(1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya

atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau

sebagai hasil tindak pidana;

(2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk

melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan;

xxxiii

(3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi

penyidikan tindak pidana;

(4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk

melakukan tindak pidana;

(5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan

tindak pidana yang dilakukan.

e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya.

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut. Dan pasal-pasal tersebut dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim (Pasal 197 KUHAP).

2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu: a) Latar belakang terdakwa

Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

b) Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan tedakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

c) Kondisi diri terdakwa

xxxiv

Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial terdakwa.

d) Keadaan sosial ekonomi terdakwa

Baik dalam KUHP maupun KUHAP tidak ada suatu aturan yang mengatur dengan tegas mengenai keadaan social ekonomi terdakwa dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Namun didalam konsep KUHP yang baru, bahwa pembuat, motif, dan tujuan dilakukanya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup, dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap, dan tindakan si pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.

e) Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

2. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Agung

a. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan yaitu

sebagaimana dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa:

1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan

memutus:

a) Permohonan kasasi;

xxxv

b) Sengketa tentang kewenangan mengadili;

c) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan

ayat (1), Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas

dalam Mahkamah Agung.

Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

1985 jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah

Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung memutus

permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau

tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”

Pasal 30 Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 14 Tahun

1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004

tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung

dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-

pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang bersangkutan.”

b. Fungsi Mahkamah Agung

1) Fungsi Peradilan (Fungsi Yustisia)

Fungsi Yustisia adalah fungsi yang terpenting dari

Mahkamah Agung, dikatakan terpenting karena fungsi yustisia

tersebut sangat menentukan (mempengaruhi) jalannya

penyelenggaraan peradilan. Fungsi Yustisia dimaksud adalah

fungsi Mahkamah Agung dalam bidang peradilan. Mengenai tugas

xxxvi

peradilan, walaupun hanya menyangkut bagian dari fungsi tersebut,

fungsi pemegang monopoli dari peradilan kasasi dalam posisinya

sebagai puncak tunggal dari semua lingkungan peradilan yang ada.

2) Fungsi Yudicial Review

Fungsi Yudicial Review adalah fungsi Mahkamah Agung

untuk menguji secara materiil suatu produk perundang-undangan.

Pelaksanaan hak menguji materiil itu dilaksanakan oleh Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Sehubungan dengan hal

ini dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo

Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,

digariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara

meteriil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang;

b) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua

peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah

dari pada undang-undang atas dengan alasan bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

c) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan

perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan

dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

3) Fungsi Pengawasan dan Pembinaan

Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas di bidang

peradilan, Mahkamah Agung mempunyai fungsi pengawasan

tertinggi dalam hal:

a) Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan

dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;

b) Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim dari

semua lingkungan peradilan dalam melaksanakan tugasnya;

xxxvii

c) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan tentang

hal-hal yang bertalian dengan teknis peradilan dari semua

lingkungan peradilan;

d) Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran

atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan dari

semua lingkungan peradilan.

4) Fungsi Pertimbangan

Fungsi Mahkamah Agung untuk memberikan

pertimbangan kepada lembaga tinggi negara, diatur dalam Pasal 37

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 jo

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung yaitu ” Mahkamah Agung dapat memberikan

pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta

maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.”

5) Fungsi Mengatur

Apabila dalam pelaksanaan atau dalam penyelenggaraan

peradilan, terdapat hal-hal yang belum diatur dalam undang-

undang dan hal itun dipandang segera untuk diatur demi kelancaran

penyelenggaraan peradilan, maka Mahkamah Agung berwenang

untuk mengatur hal dimaksud. Kewenangan Mahkamah Agung

mengatur hal demikian itu, diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah

Agung yaitu ” Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-

hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan

apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-

undang ini.”

3. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi

a. Pengertian Upaya Hukum Kasasi

xxxviii

Dalam Pasal 153 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa

pemeriksaan tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas

permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244

KUHAP dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan apakah benar suatu

peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana

mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut

ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan telah melampaui

batas kewenangannya. Pasal 244 KUHAP mengatur tentang putusan

pengadilan tingkat terakhir yang dapat dimintakan kasasi dan para

pihak (terdakwa atau penuntut umum) yang dapat mengajukan

permohonan kasasi. Pasal 248 KUHAP mengatur tentang kewajiban

mengajukan alasan dan memasukan memori kasasi oleh pemohon

kasasi.

Jika pengertian kata ”kasasi” dan pengertian ”upaya hukum”

tersebut diatas, kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1)

KUHAP, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan upaya

hukum kasasi adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna

membatalkan putusan pengadilan tersebut, dengan alasan (secara

alternatif/kumulatif) bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi

tersebut, perturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak

sebagaimana mestinya, dan cara mengadili tidak dilaksanakan menurut

ketentuan undang-undang, serta pengadilan telah melampaui batas

wewenangnya.

Dengan berpedoman pada Pasal 30 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka arti

“kasasi” adalah pembatalan putusan atau penetapan pengadilan tingkat

banding atau tingkat terakhir karena tidak sesuai dengan ketentuan

xxxix

perundang-undangan yang berlaku. Tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dapat terjadi berupa:

1) Melampaui batas kewenangannya yang ditentukan perundang-

undangan;

2) Penerapan yang tidak tepat atau keliru;

3) Melanggar hukum yang berlaku;

4) Tidak memenuhi syarat yang ditentukan perundang-undangan.

b. Kasasi Sebagai Upaya Hukum

Dikatakan kasasi sebagai upaya hukum karena kasasi adalah

salah satu bentuk dari upaya hukum yang dapat ditempuh oleh

terdakwa atau penuntut umum apabila ia tidak dapat menerima putusan

pengadilan pada tingkat terakhir. Kasasi sebagai upaya hukum dapat

berbentuk kasasi biasa (yang diajukan oleh terdakwa atau penuntut

umum) dan kasasi demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa

Agung (sebagai upaya hukum luar biasa). Kasasi biasa diajukan

terhadap putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum

tetap, sedangkan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan oleh Jaksa

Agung.

c. Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi

Maksud dan tujuan kasasi erat kaitannya dengan pelaksanaan

fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan

tertinggi dalam memimpin dan mengawasi pengadilan rendahan, demi

terciptanya kesatuan dan keseragaman penerapan hukum dalam

wilayah negara kita. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 14 tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, diatur fungsi dan wewenang

Mahkamah Agung Republik Indonesia yang terdiri dari :

xl

1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan

memutus : permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan

mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara meteriil

terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang;

3) Mahkamah Agung mempunyai wewenang pengawasan tertinggi

terhadap penyelenggaraan peradilan dari semua lingkungan

peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

4) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para

hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan

tugasnya;

5) Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk, teguran atau

peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua

lingkungan peradilan;

6) Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden

selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan

grasi;

7) Mahkamah Agung dan pemerintah melakukan pengawasan atas

penasihat hukum dan notaris;

8) Mahkamah Agung memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam

bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi

negara yang lain.

Dalam hubungannya dengan fungsi dan kewenangan Mahkamah

Agung tersebut, maksud dan tujuan kasasi adalah :

1) Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan

bawahan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi)

Dalam hal ini Mahkamah Agung, melalui koreksi atas

putusan pengadilan bawahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki

xli

dan meluruskan kesalahan atau kekeliruan penerapan hukum.

Maksudnya agar peraturan hukum benar-benar diterapkan

sebagaimana mestinya; agar cara mengadili dilaksanakan menurut

ketentuan undang-undang; agar pengadilan bawahan dalam

mengadili tidak melampaui batas wewenangnya.

2) Menciptakan dan membentuk hukum baru

Penciptaan atau pembentukan hukum baru tersebut, bukanlah

berarti Mahkamah Agung membentuk peraturan-peraturan hukum

baru dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang.

Disini bukanlah dimaksud bahwa Mahkamah Agung telah

bertindak sebagai badan legislatif. Menciptakan hukum baru di

sini, dalam arti bahwa Mahkamah Agung melalui

Yurisprudensinya menciptakan sesuatu yang baru dalam praktek

hukum. Penciptaan hukum baru tersebut, dimaksudkan untuk

mengisi kekosongan hukum yang menghambat jalannya peradilan.

Terciptanya keseragaman penerapan hukum.

d. Tata Cara Pengajuan Kasasi

Dalam KUHAP, telah ditetapkan tentang tata cara pengajuan

permohonan kasasi sebagai berikut:

1) Cara mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245

KUHAP, yang menetapkan bahwa permohonan kasasi disampaikan

oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus

perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari setelah

putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan

kepada terdakwa;

2) Permohonan kasasi tersebut oleh panitera dicatat dalam sebuah

surat keterangan yang disebut akta permintaan kasasi yang

xlii

ditandatangani oleh pemohon kasasi dan panitera dan dicatat dalam

suatu daftar yang dilampirkan pada berkas perkara;

3) Dalam Pasal 245 ayat (3) KUHAP, ditegaskan bahwa dalam hal

Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang

diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa, maupun yang

diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka

panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu

kepada pihak yang lain;

4) Dalam Pasal 247 ayat (4) KUHAP, ditegaskan pula bahwa

permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali. Pengaturan

lebih lanjut tentang hal ini, terdapat dalam Pasal 43 Undang-

Undang Nomor Republik Indonesia 14 tahun 1985 jo Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahunj 2004 tentang

Mahkamah Agung. Dalam pasal tersebut diatur tentang tidak hanya

tentang berapa kali permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika

pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum

banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

e. Alasan Kasasi

1) Kasasi yang dibenarkan menurut undang-undang

Alasan kasasi sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal

253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah

Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Sejalan dengan

itu, permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan

kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1)

KUHAP. Yang harus diutarakan dalam memori kasasi adalah

keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya,

karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang

tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

xliii

Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat

dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari:

(a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau

diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

(b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut

ketentuan undang-undang;

(c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas

kewenangannya.

Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undang-

undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini, keberatan

kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-undang. Penentuan

alasan kasasi yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus

membetasi wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan

perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan

pengadilan atas ketiga hal tersebut. Di luar ketiga hal itu, undang-

undang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan

memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengajukan

permohonan kasasi, harus benar-benar memperhatikan keberatan

kasasi yang disampaikan dalam memori kasasi, agar keberatan itu

dapat mengenai sasaran yang ditentukan Pasal 253 ayat (1)

KUHAP.

2) Alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh undang-undang

(a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan

Putusan Pengadilan Negeri

Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan

Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan

putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam

pemeriksaan kasasi. Percuma pemohon kasasi mengajukan

alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan

xliv

Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui

pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu tidak merupakan

kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan pelanggaran

dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-

undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas

wewenang yang ada padanya, malahan tindakan Pengadilan

Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam

batas wewenang yang ada padanya, karena berwenang penuh

menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri

yang dianggap telah tepat.

(b) Keberatan atas Penilaian Pembuktian

Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di

luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya

dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Keberatan kasasi dapat

dibenarkan Mahkamah Agung atas alasan judex factie atau

pengadilan tidak salah menerapkan hukum telah melanggar

sistem dan batas minimal pembuktian, karena pengadilan telah

menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat bukti yang

cukup. Padahal Pasal 294 HIR telah menentukan sistem dan

batas minimum pembuktian, yang menegaskan hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali jika

kesalahannya dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah. Demikian juga penagasan Pasal 300 HIR,

yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

(c) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta

Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah

”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti

xlv

ini tidak dibenarkan undang-undang. Arti pengulangan fakta

ialah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang

telah pernah dikemukakan baik dalam pemeriksaan sidang

Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding. Isi memori

kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan

keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan

pengadilan yang terdahulu.

(d) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara

Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon

dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang

menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dalam

putusan perkara yang bersangkutan. Keberatan kasasi yang

sepertin ini dianggap irrelevant, karena berada di luar

jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak menganai

masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus

pengadilan.

(e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda

Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak dapat

dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat ringannya

hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang bsar kecilnya

jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk

pada pemeriksaan tingkat kasasi.

(f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti

Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat dibenarkan.

Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah

wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan

xlvi

kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak menentukan kepada

siapa barang bukti dikembalikan.

(g) Keberatan kasasi Mengenai Novum

Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah

kebaratan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah ”pernah

diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik

dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat

banding. Berarti suatu hal yang diajukan dalam keberatan

kasasi, padahal hal itu tidak pernah diperiksa dan diajukan baik

pada pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun pada

pemeriksaan tingkat banding, tidak dapat dibenarkan karena

tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti

itudalam kebaratan kasasi dianggap ”hal baru” atau ”novum”.

f. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi

1) Pemeriksaan Dilakukan dengan Sekurang-kurangnya Tiga Orang

Hakim

Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah Agung

terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang Hakim Agung,

sedangkan majelis besar terdiri dari semua Hakim Agung yang

disebut full chamber atau en banc. Namun dalam melaksanakan

tugas peradilan sehari-hari dalam memeriksa perkara kasasi, tidak

selamanya dilakukan oleh majelis lengakap. Jika perkara kasasi

sederhana, cukup diperiksa dan diputus oleh majelis kecil yang

terdiri dari tiga orang hakim. Salah satu diantaranya bertindak

sebagai ”ketua majelis”, sedangkan yang dua orang berkedudukan

sebagai ”hakim anggota”.

2) Pemeriksaan Berdasar Berkas Perkara

xlvii

Pemeriksaan perkara pada peradilan kasasi pada umumnya

tidak langsung secara lisan. Berbeda dengan tata cara pemeriksaan

perkara pada tingkat Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Negeri,

sidang pemeriksaan perkara dilakukan secara langsung dalam suatu

ruang sidang dengan cara menghadirkan terdakwa dan saksi-saksi

serta dihadiri penuntut umum maupun penasihat hukum. Jelasnya

pemeriksaan dilakukan secara lisan. Lain halnya pemeriksaan

perkara pada tingkat kasasi. Pemeriksaan dilakukan tanpa dihadiri

terdakwa, saksi dan penuntut umum. Memang seandainya ada

urgensi dan relevansi, secara kasuistik Mahkamah Agung dapat

melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan saksi dan

atau terdakwa (hearing) dalam ruang sidang yang lengkap dihadiri

terdakwa, penuntut umum, penasihat hukum dan saksi-saksi,

seperti jalannya pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri, tetapi

jarang terjadi dalam praktek.

3) Pemeriksaan Tambahan

Tidak selamanya pemeriksaan perkara pada tingkat pertama

dan tingkat banding telah tuntas dilakukan. Sering dijumpai

kekurangan pemeriksaan yang dianggap sangat penting dan

menentukan dalam mengambil putusan. Maksud pemeriksaan

tambahan bertujuan untuk manambah dan melengkapi pemeriksaan

yang dianggap perlu. Mungkin sesuatu yang oleh pengadilan

dianggap tidak penting dan diabaikan, dianggap penting oleh

Mahkamah Agung. Misalnya pemeriksaan saksi yang masih

kurang lengkap atau masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan

kepada terdakwa.

4. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan

a. Pengertian Kejaksaan

xlviii

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan

bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Dari rumusan tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, dengan

demikian dalam hal melaksanakan kekuasaan negara maka kejaksaan

merupakan salah satu aparat negara. Kekuasaan tersebut menurut Pasal

1 ayat (2) dilaksanakan secara merdeka. Kejaksaan adalah satu dan

tidak dipisah-pisahkan (Pasal 1 ayat (3)). Hal-hal tersebut perlu

dipahami untuk mengetahui kedudukan kejaksaan baik dalam

pemerintahan maupun selaku pengemban tugas negara.

5. Tinjauan Umum Tentang Money Politics

a. Pengertian Tentang Money Politics

Di Indonesia, praktik politik uang (money politics) hampir

sama dengan praktik korupsi konvensional yang sulit untuk dibuktikan

keberadaanya. Secara teoritis, praktik politik uang merupakan bentuk

lain dari korupsi politik (Pope dalam Leo Agustino 2009:131). Banyak

faktor yang menjadi penyebab praktik politik uang sulit dibuktikan.

b. Pengertian Tentang Money Politics Dalam Pilkada

Menurut amanat Undang-Undang Otonomi Daerah yang baru

(Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)

bahwa kepala daerah (bupati, wali kota dan gubernur) harus dipilih

secara langsung yang koheren dengan penyelenggaraan pemilihan

presiden dan wakil presiden secara langsung di tingkat pusat/nasional.

pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu

langkah maju dalam mewujudkan demokrasi di level lokal.

xlix

Pemilihan kepala daerah secara langsung secara esensial

bertujuan untuk lebih menguatkan legitimasi politik penguasa di

daerah. Namun, dalam konteks lain terjadi kontraproduktif dengan

upaya pemberantasan korupsi karena Pilkada langsung diindikasikan

kuat akan makin menyuburkan budaya money politics. Faktor-faktor

itu, menurut Abdul Asri biasanya berasal dari kondisi internal

masyarakat pemilih dan juga faktor eksternal atau lingkungan tempat

Pilkada diselenggarakan. Beberapa faktor internal yang mendorong

terjadinya politik uang antara lain kesulitan ekonomi dan kemiskinan

yang masih melanda sebagian besar pemilih, baik yang tinggal di

pedesaan maupun perkotaan. Faktor kemiskinan dan beban hidup yang

berat membuat mereka mudah dibujuk dan dipengaruhi oleh sejumlah

uang dan imbalan material lainnya. Demikian juga faktor mentalitas

dan rendahnya kualitas pendidikan serta pengetahuan pemilih semakin

melengkapi ketidak berdayaan pemilih ketika berhadapan dengan

praktik politik uang (Abdul Asri dalam Leo Agustino 2009:131).

Faktor eksternal yang cukup besar pengaruhnya adalah

buruknya kualitas produk perundang-undangan yang mengatur politik

uang dan lemahnya upaya penegakan hukum terhadapnya. Berbagai

aturan hukum yang melarang praktik politik uang (money politics)

biasanya sangat umum, normatif, dan kabur, sehingga memunculkan

berbagai bentuk penafsiran. Pelaku politik uang (money politics)

biasanya akan menafsirkan aturan itu dengan kepentingannya.

Tersedianya sejumlah celah hukum (loopheles) juga meningkatkan

kesempatan pelaku untuk menghindari jeratan hukum. Berbagai dalih

dan argumen hukum akan mudah diperoleh dan digunakan sebagai

alibi untuk menutupi praktik politik uang (money politics), sehingga

pada akirnya aparat penegak hukum pun akan kesulitan untuk

mengumpulkan bukti yang cukup sebagai alat untuk menyeret pelaku

pengadilan.

l

Politik uang (money politics) adalah perbuatan yang sangat

berbahaya bagi proses demokrasi. Hasil Pilkada Langsung akan

menyimpang dari tujuan awalnya jika praktik politik uang tidak bisa

diminimalisir. Pilkada yang diselenggarakan dalam batas wilayah yang

relatif kecil dengan jumlah pemilih yang juga lebih sedikit tentu sangat

rawan praktik politik uang (money politics). Lagi pula masing-masing

kandidat tentu mempunayi hubungan yang lebih intens dan dekat

dengan pendukungnya. Ketentuan yang memberikan definisi tentang

politik uang (money politics) secara implisit tercantum dalam Pasal 82

Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan, pasangan calon

dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan

uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian

pada ayat (2)-nya, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang

terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan

sebagai pasangan calon oleh DPRD ( Yahya Harahap, 2005:86).

6. Kerangka Pemikiran

li

Gambar Kerangka Pemikiran

Terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

secara langsung di Pemalang berupa suap-menyuap untuk memenangkan

salah satu pasangan calon tertentu, terkait atas Perkara Money Politics telah

melanggar ketentuan dalam Pasal 117 ayat 2 Undang-Undang Republik

indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perkara

tersebut selanjutnya diserahkan kepada pihak yang berwenang dan diproses

secara hukum sebagaimana mestinya. Dalam putusannya Pengadilan Negeri

Pemalang telah memutus bahwa terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah

dinyatakan telah bersalah.

Hakim

Putusan

Lepas dari Segala Tuntutan Hukum ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP)

Pertimbangan

Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP)

Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)

Tolak Terima

JPU Upaya Hukum

Money Politics

lii

Putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding

menyatakan bahwa terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dipidana penjara dan

diwajibkan untuk membeyar pidana denda. Upaya hukum setelah banding

adalah upaya hukum tingkat kasasi. Atas putusan tersebut penuntut umum

Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan upaya hukum kasasi kepada

Mahkamah Agung terkait perkara ini. Karena putusan Pengadilan Negri

Pemalang dan juga putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dirasa kurang

memuaskan. Atas pengajuan kasasi itu Mahkamah Agung menyatakan

menolak pengajuan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum Kejaksaan

Negeri Pemalang. Upaya hukum tingkat kasasi hanya memeriksa berkaitan

dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak

diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak

dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan

telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 253 KUHAP.

BAB III

HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang dalam Perkara

Money Politics dalam Pemilihan Kepala Daerah.

1. Kasus Posisi

liii

Pada hari Sabtu tanggal 26 November 2005 sekitar pukul 10.00 WIB Eni Kusrini Binti Dullah yang bertempat tinggal di rumah Dullah dusun Setikung desa Sekayu RT03/ RW 02 Kec. Comal Kab. Pemalang melakukan praktek money politics. Awalnya Dullah yang disuruh oleh Sudono (Kepala Desa Sekayu) untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako masing-masing berisi 1 kg beras, dua buah sarimi kepada warga dusun Setikung, karena tidak sempat membagi-bagikan kepada warga dusun Setikung, Dullah menyuruh Eni Kusrini untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako tersebut langsung kepada warga dusun Setikung. Dan setelah mendapat perintah dari Dullah tepatnya pada hari Sabtu tanggal 26 November 2005 sekitar pukul 10.00 WIB di rumah Dullah. Suatu hari Eni Kusrini mendatangi Darsono “ ini senbako buat kamu” lalu dijawab Darsono “dari siapa?” Eni Kusrini menjawab dari pak Lurah( Sudono)selanjutnya setelah menerima bungkusan itu yang berisi 1 Kg beras, dua buah sarimi dan satu lembar contoh suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macross SH,_ Junaidi SH. MM tampak jelas dan Eni Kusrini juga bilang kepada Darsono untuk jangan lupa memilih no 2 yaitu pasangan calon Bupati HM. Macroes SH.- HM. Junaedi SH. MM.

Eni Kusrini juga mendatangi Purwanto dan menyuruhnya untuk mengambil beras di rumahnya pak RT ( Dullah) dan sewaktu Purwanto mengambil satu bungkusan sembako berisi 1 kg beras, dua buah sarimi, dan satu lembar surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes SH- HM Junaedi SH. MM. Juga kepada Ranyi, Darkiyah, Kastini, Nurani masing-masing mendapat satu bungkus semabako berisi 1 Kg beras, dua buah sarimi, dan contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH – HM. Junaedi , SH.MM. Berdasarkan penelitian Panitia Pengawas Daerah Pemalang memasukkan perbuatan seperti ini dalam kategori tindak pidana dalam pemilihan daerah. Selanjutnya Eni Kusrini diperiksa oleh Penyidik.

2. Identitas Terdakwa

N a m a : ENI KUSRINI binti DULLAH ; Tempat lahir : Pemalang ; Umur/Tanggal lahir : 25 Tahun/16 Nopember 1980 ; Jenis Kelamin : Perempuan ; Kebangsaan : Indonesia ; Tempat tinggal : Dusun Setikung Desa Sekayu RT.

03/RW. 02 Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang ;

A g a m a : Islam ; Pekerjaan : Ibu rumah tangga ;

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

42

liv

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang dalam surat dakwaannya mengajukan dakwaan terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan dakwaan tunggal sebagai berikut :

Bahwa ia terdakwa ENI KUSRINI BINTI DULLAH pada hari Sabtu tanggal 26 Nopember 2005 sekitar pukul 10.00 Wib atau setidak-tidaknya pada bulan Nopember 2005 atau setidak-tidaknya suatu waktu tertentu dalam tahun 2005, bertempat di rumah Dullah Dusun Setikung Desa Sekayu Rt.03/Rw.02 Kec. Comal Kab. Pemalang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Pemalang, dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, Perbuatan tersebut terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa berawal dari Dullah yang disuruh oleh Sudono (Kepala Desa Sekayu) untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako masing -masing berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi kepada warga Dusun Setikung, karena tidak sempat membagikan kepada warga dusun Setikung Dullah menyuruh terdakwa untuk membagi-bagikan 32 buah bungkusan sembako tersebut langsung kepada warga Dusun Setikung. Setelah mendapat perintah dari Dullah pada hari Sabtu tanggal 26 Nopember 2005 sekitar pukul 10.00 Wib di rumah Dullah Hal. 2 dari 6 hal. Put. No. 15 K/Pid.Sus/2007 terdakwa membagi-bagikan sembako tersebut kepada warga Dusun Setikung diantaranya yaitu :

a. Kepada Darsono, dengan cara terdakwa mengatakan "ini sembako

buat kamu" dan dijawab oleh Darsono "dari siapa?" terdakwa

menjawab dari Pak Lurah (Sudono) selanjutnya setelah Darsono

menerima sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu

lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM.

Macroes, SH. - HM. Junaedi, SH.,MM tampak jelas, terdakwa

kemudian mengatakan kepada Darsono dengan kata-kata "jangan

lupa nomor 2 (pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH. - HM.

Junaedi, SH.MM).

b. Kepada Purwanto dengan cara terdakwa mengatakan "Pur sana

ngambil beras di rumahnya Pak RT (Dullah) dan sewaktu Purwanto

mengambil satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah

Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan

lv

calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM tampak jelas,

terdakwa mengatakan " Pur ini beras dari Pak Lurah, jangan lupa

nomor 2 (pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,

SH.MM) juga kepada Ranyi, Darkiyah, Kastini, Nurani masing-

masing mendapat satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras dan dua

buah Sarimi dan contoh surat suara dengan gambar pasangan calon

Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi, SH.MM tampak jelas.

Akhirnya terdakwa berhasil membagi-bagikan 32 bungkus

sembako tersebut dan contoh surat suara dengan gambar pasangan

calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi, SH.MM tampak

jelas kepada warga Dusun Setikung Desa Sekayu Kec. Comal Kab.

Pemalang. Bahwa dari hasil kajian Panitia Pengawas Daerah Pemalang

perbuatan terdakwa tersebut masuk kategori tindak pidana dalam

pemilihan kepala daerah, akhirnya terdakwa diperiksa untuk

dimintai keterangan oleh penyidik Polres Pemalang;Perbuatan

terdakwa ENI KUSRINI BINTI DULLAH tersebut di atas diatur dan

diancam pidana dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum:

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan tuntutan kepada terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa ENI KUSRINI BINTI DULLAH terbukti

secara sah bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja

memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada

seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih

pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara

tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, sebagaimana diatur

dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ENI KUSRINI BINTI

lvi

DULLAH dengan pidana 4 (empat) bulan ;

c. Menghukum terdakwa membayar denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu

juta rupiah) Subsidair 1 (satu) bulan kurungan ;

d. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) Kg beras, 2 (dua) buah

Sarimi dikembalikan kepada saksi Sudono dan 1 (satu) lembar contoh

surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH -

HM. Junaedi, SH.MM tampak jelas dirampas untuk dimusnahkan ;

e. Menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

5. Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor : 05/PID.B/

2006/PN.PML. tanggal 25 Januari 2006 yang amar lengkapnya sebagai

berikut :

a. Menyatakan terdakwa ENI KUSRINI binti DULLAH tersebut, telah

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

"Dengan sengaja memberikan materi lainnya kepada seseorang

supaya memilih pasangan calon tertentu ;

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara selama : 2 (dua) bulan ;

c. Menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak usah dijalani kecuali

dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena

terpidana disalahkan melakukan tindak pidana sebelum berakhir

masa percobaan selama : 6 (enam) bulan ;

d. Menghukum terdakwa untuk membayar denda sebesar

Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) apabila pidana denda tersebut tidak

dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama: 1 (satu) bulan ;

e. Menyatakan barang bukti berupa : I (satu) kg beras, 2 (dua) bungkus

sarimi dikembalikan kepada saksi Sudono bin Turah, sedangkan 1

(satu) lembar contoh surat suara pemilihan bupati dan wakil bupati

Pemalang dengan gambar calon bupati : HM. Machroes, SH.MH

HM. Junaedi, SH.MM dirampas untuk dimusnahkan ;

lvii

f. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) ; Hal. 4 dari 6 hal. Put. No. 15

K/Pid.Sus/2007 ;

6. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang Nomor :

105/Pid/2006/PT.Smg. tanggal 11 Juli 2006 yang amar lengkapnya

sebagai berikut :

a. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum ;

b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 25

Januari 2006 Nomor 05/Pid.B/2006/PN.Pml., yang dimintakan

banding tersebut ;

c. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam kedua

tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.5.000,-

(lima ribu rupiah) ;

7. Alasan-Alasan Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan

Negeri Pemalang

Alasan kasasi menurut Undang-Undang sudah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Sejalan dengan itu, permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Yang harus diutarakan dalam memori kasasi adalah keberatan atas putusan yang dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari:

a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan

tidak sebagaimana mestinya;

b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan

undang-undang;

c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.

lviii

Ketiga hal ini keberatan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagai alasan kasasi. Di luar ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan undang-undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus membetasi wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut. Di luar ketiga hal itu, undang-undang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengajukan permohonan kasasi, harus benar-benar memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam memori kasasi, agar keberatan itu dapat menganai sasaran yang ditentukan Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

Adapun mengenai alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh undang-undang adalah:

a) Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri

Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan

Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan

Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan kasasi.

Percuma pemohon kasasi mengajukan alasan keberatan yang

demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan

serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu

tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan

pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan

undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas

wewenang yang ada padanya, malahan tindakan Pengadilan Tinggi

menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas wewenang

yang ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan

mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.

b) Keberatan atas Penilaian Pembuktian

Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar

alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Oleh karena

itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan

tingkat kasasi. Keberatan kasasi dapat dibenarkan Mahkamah Agung

lix

atas alasan judex factie atau pengadilan tidak salah menerapkan hukum

telah melanggar sistem dan batas minimal pembuktian, karena

pengadilan telah menjatuhkan pemidanaan tanpa didukung oleh alat

bukti yang cukup. Padahal Pasal 294 HIR telah menentukan sistem dan

batas minimum pembuktian, yang menegaskan hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali jika kesalahannya dapat

dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Demikian juga penagasan Pasal 300 HIR, yaitu keterangan seorang

saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa.

c) Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta

Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah

”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi seperti ini tidak

dibenarkan undang-undang. Arti pengulangan fakta ialah mengulang-

ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan

baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam

memori banding. Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang

kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada

pemeriksaan pengadilan yang terdahulu. Sebagai contohnya pada

waktu pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri, pemohon talah

mengemukakan keadaan dan fakta-fakta, keudian hal tersebut kembali

lagi diutarakan dalam memori kasasi menjadi alasan kasasi. Keberatan

kasasi yang sepeerti itu tidak dibenarkan undang-undang, dan

Mahkamah Agung menganggapnya sebagai pengulangan fakta yang

tidak perlu dipertimbangkan dalam tingkat kasasi.

d) Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara

Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon

dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang

dari apa yang menjadi pokok persoalan dalam putusan perkara yang

lx

bersangkutan. Keberatan kasasi yang sepertin ini dianggap irrelevant,

karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap

tidak menganai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang

diputus pengadilan.

e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda

Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak dapat

dibenarkan undang-undang, sebab tentang berat ringannya hukuman

pidana yang dijatuhkan maupun tentang bsar kecilnya jumlah denda

adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan

tingkat kasasi. Keberatan tidak dibenarkan Mahkamah Agung dengan

pertimbangan bahwa mengenai besar kecilnya denda adalah wewenang

judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.

f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti

Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat dibenarkan.

Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang

pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan

sepenuhnya berhak menentukan kepada siapa barang bukti

dikembalikan.

g) Keberatan kasasi Mengenai Novum

Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah kebaratan

kasasi harus mengenai hal-hal yang telah ”pernah diperiksa”

sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik dalam sidang

Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal

yang diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak pernah

diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan sidang Pengadilan

lxi

Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding, tidak dapat

dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan

hal seperti itudalam kebaratan kasasi dianggap ”hal baru” atau

”novum”.

Memperhatikan akan akta permohonan kasasi No. 02/Akta Pid/2007/PN. Pemalang yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Pemalang yang menerangkan, bahwa pada tanggal 5 Maret 2007 Jaksa/ Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan Tinggi tersebut.

Memperhatikan memori kasasi tanggal 15 Mart 2007 dari Jaksa/ Penuntut Umum sebagai pemohon Kasasi yang diterima di kepaniteraan pengadilan Negeri Pemalang pada tanggal 16 Maret 2007.

Menimbang, bahwa putusan pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 20 Februari 2007 dan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Maret 2007 serta memori Kasasinya telah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 16 Maret 2007 dengan demikian permohonan Kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi itu formal dapat diterima.

Bahwa permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah telah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang di Pemalang pada bulan Maret 2007 Nomor: 02/Akta. Pid/2007/PN. Pml, jadi masih dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Juga memori kasasi ini diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

Bahwa Pengadilan Tingi Jawa Tengah yang telah menjatuhkan putusan yang Amarnya berbunyi seperti tersebut diatas dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut putusan Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dalam masa percobaan 6 (enam) bulan belum memenuhi rasa keadilan baik menurut peraturan perundang-undangan maupun rasa keadilan bagi masyarakat karena pemerintah sedang menggalakkan pemilihan Kepala Daerah secara demokratis dan terbebas dari money politics.

Alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut :

lxii

Bahwa judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melangar Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 106 berbunyi:

(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon

kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari

setelah penetapan hasil penetapan kepala daerah dan wakil kepala

daerah.

(2) Keberadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan

dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya

pasangan calon.

(3) Pengajuan keberatan kepada mahkamah Agung sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan Tinggi

untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan

kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala derah dan wakil

kepala daerah kabupaten atau kota.

(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14

hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan

Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

bersifat final dan mengikat.

(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada

lxiii

pengadilan tinggi untuk memutus engketa hasil perhitungan suara

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan

kota.

(7) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

bersifat final.

Pasal 117 ayat (2) berbunyi :

” Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah,....”

8. Pembahasan

Menyatakan terdakwa ENI KUSRINI binti DULLAH tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah,....”

a. Analisis unsur yuridis Majelis Hakim

1) Setiap orang;

2) Dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi

lainnya kepada seseorang;

3) Supaya tidak menggunakan hak pilihnya;

4) Atau memilih pasangan calon tertentu;

5) Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu;

6) Sehingga surat suara menjadi tidak sah;

Sehubungan dengan unsur-unsur tersebut fakta yang terungkap dipersidangan adalah sebagai berikut :

Ad.1. Unsur ” Setiap orang”

lxiv

Menurut Kamus Hukum orang adalah manusia dalam pengertian khusus, manusia sebagai ganti diri ketiga yang tidak pasti ,diri sendiri atau manusia sendiri. Setiap orang maksudnya tiap-tiap manusia dalam pengertia khusus, tiap-tiap manusia sebagai ganti diri ketiga yang tidak pasti, tiap-tiap diri sendiri atau tiap-tiap manusia sendiri.

Dalam hal ini setiap orang yang dimaksud adalah Eni Kusrini Binti Dullah yang dalam perkara ini bertindak sebagai terdakwa sebagaimana telah dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara menjadi tidak sah.

Ad. 2. Unsur ” Dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dengan sengaja adalah memang direncanakan; memang diinginkan atau dikehendaki dan menurut Hoge Raad 21 Mei 1990 menyebutkan bahwa apabila suatu perbuatan yang sengaja dilakukan tidak boleh tidak harus menimbulkan kerusakan, maka dalam kesengajaan untuk berbuat itu tercakup kesengajaan untuk merusak.

Memberikan materi dalam perkara money polititics dalam bentuk bermacam-macam. Materi yang dimaksud berupa:

a. Uang

Uang menurut Kamus Hukum adalah alat pengukur atau standart pengukur nilai yang sah, kertas emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara. Dalam perkara money politik dalam Pilkada di Pemalang tidak memberikan uang dengan maksud agar memilih pasangan calon tertentu.

b. Barang

Barang yang diberikan bermacam-macam bentuknya. Dalam perkara ini barang yang diberikan berupa satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM.

Ad. 4. Unsur ” Supaya tidak menggunakan hak pilihnya”

lxv

Supaya tidak menggunakan disini terdapat unsur kesengajaan dengan pengaruh untuk mencapai suatu tujuan tertentu yaitu agar tidak menggunakan hak pilihnya.

Hak pilih itu sendiri menurut Kamus Hukum adalah hak yang dimiliki dan melekat pada setiap warga negara untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat yang merupakan salah satu unsur penting dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. Hak pilih terdiri atas hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Hak pilih aktif adalah hak yang dimiliki dan melekat pada seeorang untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat. Hak pilih pasif adalah hak yang dimiliki seseorang untuk dipilih dan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat.

Ad. 5. Unsur ”Atau memilih calon pasangan tertentu”

Memilih menurut kamus adalah mengambil suatu keputusan atas sesuatu dengan kepercayaan yang dia miliki terhadap hal tersebut. Dalam perkara money politics yang dimaksud adalah memilih pada saat Pilkada secara langsung dengan memilih pasangan calon tertentu yaitu pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM.

Ad. 6. Unsur ” Atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu”

Menggunakan hak pilih dengan cara tertentu yaitu dengan cara memberikan sejumlah materi untuk mempengaruhi para pemilih menentukan pilihanya sehingga pemilu secara LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia) tidak terlaksanakan dengan baik. Dalam perkara ini terdakwa mempengaruhi dengan memberikan sejumlah materi berupa satu bungkus sembako berisi 1 Kg beras, dua buah Sarimi dan satu lembar contoh surat suara dengan gambar pasangan calon Bupati HM. Macroes, SH - HM. Junaedi,SH..MM.

Ad. 7. Unsur ”Sehingga surat suara tidak sah”

Surat suara menurut kamus berupa suatu kertas berisi gambar pasanga calon dan nomornya untuk digunakan sebagai sarana dalam peilihan wakil pemerintahan di Indonesia yang dilakukan setiap lima tahun sekali baik pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden Republik Indonesia. Dalam perkara ini surat suara itu ditujukan sebagai sarana dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang. Tidak sah menurut Kamus Hukum adalah tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku, segala

lxvi

sesuatu yang diakui kebenarannya, pasti otentik (asli, sah, dapat dipercaya).

Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 2 (dua) bulan .Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Adapun dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim bahwa terdakwa pelaku tindak pidana tersebut.

Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP.

Pertimbangan hakim dalam memberi berbagai macam putusan, dapat dibagi dalam dua kategori. Menurut Rusli Muhammad dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya, kategori itu adalah (Rusli Muhammad, 2006:124).

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain.

a. Dakwaan jaksa penuntut umum

Dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan.

b. Keterangan terdakwa

lxvii

Keterangan terdakwa menurut KUHAP dalam Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau dialami sendiri

c. Keterangan saksi

Salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

d. Barang-barang bukti

Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi:

(1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

tindak pidana;

(2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkan;

(3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana;

(4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan

tindak pidana;

(5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan.

e. Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya.

Dalam praktek persidangan, pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal peraturan hukum pidana. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa, yakni telah melakukan perbuatan seperti diatur dalam pasal hukum pidana tersebut. Dan pasal-pasal tersebut dijadikan dasar pemidanaan oleh hakim (Pasal 197 KUHAP).

lxviii

Pidana penjara yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Pemalang didasarkan atas fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Ketika menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa majelis hakim harus mempertimbangkan juga beberapa aspek non yuridis terdakwa. Dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu:

a. Latar belakang terdakwa

Pengertian latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal.

b. Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan tedakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

c. Kondisi diri terdakwa

Pengertian kondisi terdakwa dalam pembahasan ini adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial terdakwa.

d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa

Baik dalam KUHP maupun KUHAP tidak ada suatu aturan yang mengatur dengan tegas mengenai keadaan social ekonomi terdakwa dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan. Namun didalam konsep KUHP yang baru, bahwa pembuat, motif, dan tujuan dilakukanya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, riwayat hidup, dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap, dan tindakan si pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan.

e. Agama terdakwa

lxix

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.

Menimbang beberapa penjelasan tersebut diketahui bahwa putusan Hakim pengadilan Negeri Pemalang telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada yaitu apa yang diputus hakim telah sesuai dengan batas minimum dan tidak melampaui batas maximum atas Pasal 117 ayat (2) yang pada pengenaan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak (sepuluh juta rupiah).

Dengan adanya Putusan Pengadilan Tinggi Pemalang tersebut Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang mengajukan permohonan kasasi, dimana tata cara pengajuan permohonan kasasi adalah sebagai berikut :

1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon Jaksa Penuntut

Umum Kejaksaan Negeri Pemalang kepada panitera pengadilan yang

telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama yaitu Pengadilan

Negeri Pemalang, dalam waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan

Tinggi Pemalang. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah

diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 11 Juli 2006 dan JPU

mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Maret 2007 serta

memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Pemalang pada tanggal 16 Maret 2007 dengan demikian permohonan

kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam

tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh

karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima

2) Permohonan kasasi tersebut oleh Panitera Pengadilan Negeri

Pemalang dicatat dalam sebuah surat keterangan yang disebut akta

permintaan kasasi yang ditandatangani oleh pemohon kasasi yaitu

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang serta panitera

dan dicatat dalam suatu daftar yang dilampirkan pada berkas perkara;

lxx

Dalam Pasal 245 ayat (3) KUHAP, ditegaskan bahwa dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa, maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam hal ini Panitera Pengadilan Negeri Pemalang wajib memberitahukan kepada Terdakwa.

Dasar dari pengajuan permohonan kasasi yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah:

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”

Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

putusan yang bersangkutan.”

Bahwa permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money politics dengan terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah tersebut telah diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang di Pemalang pada tanggal Maret 2007 Nomor: 02/Akta.Pid/ 2007/PN.Pml, jadi masih dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Memori Kasasi telah di serahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang. Bahwa Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang telah menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara money politics dalam Pilkada di Pemalang tersebut putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dalam masa percobaan 6 (enam) bulan belum memenuhi rasa keadilan baik menurut peraturan perundang-undangan maupun rasa keadilan bagi masyarakat karena pemerintah sedang menggalakkan

lxxi

pemilihan kepala daerah secara demokratis dan terbebas dari money politic.

Bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam pasal 106 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah, tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yaitu melanggar ketentuan pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 113 Peraturan Pemerintah Nomor: 6 Tahun 2005 dan mengingat ketentuan pasal 244, 245, 248, 253 KUHAP atau Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14PN.07.03 Tahun 1983, Yurisprudensi.

Keberatan kasasi atas berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi.

Mengenai alasan tersebut : Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum karena dalam persidangan telah terbukti bahwa terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, sebagaimana diatur dalam pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;

Menurut pendapat Penulis, Jaksa Penuntut Umum kurang tepat dalam dakwaannya . Dalam surat dakwaanya Jaksa Penuntut Umum menggunakan bentuk dakwaan tunggal untuk menjerat terdakwa Eni Kusrini Binti Dullah. Hal ini dirasa sangat beresiko karena dalam penyusunan surat dakwaan ini hanya didakwakan satu perbuatan pidana dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar. Penyusunan dakwaan ini sangat mengandung resiko karena kalau dakwaan satu-satunya ini gagal dibuktikan dalam persidangan maka tidak ada alternative lain kecuali terdakwa dibebaskan. Dalam pratek kadang-kadang ditemui suatu keadaan perkara yang berdasarkan bukti-bukti yang ada sulit dicari alasan untuk mendakwa secara tunggal. Penyusunan surat dakwaan tunggal merupakan penyusunan surat dakwaan yang teringan jika dibandingkan dengan surat dakwaan lain, karena penuntut umum hanya memfokuskan pada sebuah permasalahan saja. Hal ini berarti bahwa penyusunan surat dakwaan tunggal mempunyai sifat sederhana yaitu sederhana dalam perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.

lxxii

Menurut pendapat Penulis akan lebih baik jika Jaksa Penuntut Umum menggunakan susunan dakwaan subsidair. Dakwaan subsider ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang paralel / satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secar berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidan teringan. Pembuktian dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.

Pada Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah terdapat larangan dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu (substansi pasal ini sama persis dengan substansi Pasal 139 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pelaku dari perbuatan terakhir ini dapat dijatuhi hukuman 2 hingga 12 bulan dan/atau denda Rp 1.000.000,- hingga Rp 10.000.000,-. Dari sudut sanksinya beberapa tindak pidana politik uang (money politics) di atas relatif lebih berat dibanding tindak pidana lainnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Daerah. Pelanggaran atas beberapa perkara money politics di atas selain diancam sanksi pidana juga dikenakan pembatalan sebagai calon sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) yang menyatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran ini berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Mengenai berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan suatu hukuman melampaui batas maximum yang ditentukan atau hukuman yang dijatuhkan kurang cukup dipertimbangkan. Begitu pula mengenai besar kecilnya denda juga merupakan wewenang judex factie yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi, kecuali jika denda yang dijatuhkan melampaui batas maximum yang diatur undang-undang. Dari pertimbagan yang singkat itu dapat diambil kaidah hukum :

lxxiii

a. Kalau hukuman atau denda yang dijatuhkan masih dibawah batas

maximum ancaman pidana yang di dakwakan, pengadilan tidak salah

menerapkan hukum,dan berwenang menjatuhkan pidana badan atau

denda asal tidak melampaui batas maximum ancaman hukuman.

b. Tapi apabila hukuman atau denda yang dijatuhkan melampaui batas

maximum ancaman hukuman, pengadilan salah menerapkan hukum

dan terhadapnya dapat dibenarkan permohonan kasasi.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex factie (Pengadilan Tinggi Pemalang) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon Kasasi/para Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;

Memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Menolak

Pengajuan Kasasi Kejaksaan Negeri Pemalang Dalam Perkara Money

Politics Dalam Pemilihan Kepala Daerah.

Pasal 153 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa pemeriksaan tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagainama mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.

Pasal 244 KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas.

lxxiv

Mahkamah Agung, memiliki fungsi terpenting yaitu fungsi yustisia. Fungsi yustisia tersebut sangat menentukan (mempengaruhi) jalannya penyelenggaraan peradilan. Fungsi Yustisia dimaksud adalah fungsi Mahkamah Agung dalam bidang peradilan. Mengenai tugas peradilan, walaupun hanya menyangkut bagian dari fungsi tersebut, fungsi pemegang monopoli dari peradilan kasasi dalam posisinya sebagai puncak tunggal dari semua lingkungan peradilan yang ada. Dalam melaksanakan fungsi peradilan tersebut, pemeriksaan perkara kasasi masih didampingi dengan fungsi untuk memutuskan sengketa yurisdiksi antara hakim dan pengadilan, kemudian memutus dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan arbitrase.

1. Dasar Pertimbangan Hakim Agung atas Pengajuan Kasasi oleh Kejaksaan

Negeri Pemalang dalam Perkara Money Politics dalam Pemilihan Kepala

Daerah:

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi/judex factie tidak salah menerapkan hukum dan mengenai berat ringannya hukuman dalam perkara ini adalah wewenang judex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex facti menjatuhkan suatu hukuman melampaui batas maksimum yang ditentukan atau hukuman yang dijatuhkan kurang cukup dipertimbangkan ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ;

Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ; Memperhatikan Undang-Undang No.4 tahun 2004, Undang-Undang No.8 tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;

Putusan Hakim Mahkamah Agung berbunyi :

a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Pemalang tersebut ;

b. Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu

lima ratus rupiah) ;

2. Pembahasan

lxxv

Putusan kasasi yang amarnya menolak permohonan kasasi ialah :

a) permohonan kasasi memenuhi syarat formal;

b) pemeriksaan perkara telah sampai menguji mengenai hukumnya;

c) akan tetapi putusan yang dikasasi tidak ternyata mengandung

kesalahan dalam penerapan hukum sebagaimana mestinya;

Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang diajukan pemohon dalam memori kasasi. Namun, segala keberatan tidak memenuhi sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.

Ad.1. ”permohonan kasasi memenuhi syarat formal”

Mengenai hal ini bahwa permohonan kasasi yang dianggap sah dan memenuhi syarat formal, diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, Pasal 248 KUHAP yaitu :

Permohonan kasasi diajukan oleh orang yang berhak untuk itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Yang berhak mengajukan permohonan kasasi ialah terdakwa atau kuasanya yang ditunjuk khusus untuk itu atau penuntut umum. Permohonan kasasi disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu pada tingkat pertama, dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan pengadilan yang dikasasi diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP. Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan kasasi dalam waktu 14 hari terhitung sejak permohonan kasasi diajukan seperti yang diatur dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP. Dalam Perkara ini syarat-syarat formalnya sudah terpenuhi sebagaimana mestinya. Ini berarti dari segi formal permohonan kasasi dapat diterima.

Ad.2. ”pemeriksaan perkara telah sampai menguji mengenai hukumnya”

Jika permohonan kasasi telah memenuhi syarat formal maka permohonan dapat diterima, barulah Mahkamah Agung berwenang memeriksa pokok perkara atau mengenai hukum yang bersangkutan dengan perkara kasasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 245, apabila Mahkamah Agung setelah memeriksa permohonan kasasi berpendapat permohonan telah memenuhi syarat formal yang ditentukan Pasal-pasal 245,246, dan Pasal 248 KUHAP maka Mahkamah Agung dapat memeriksa mengenai hukumnya serta memutuskan untuk menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.

lxxvi

Ad.3. ”akan tetapi putusan yang dikasasi tidak ternyata mengandung kesalahan dalam penerapan hukum sebagaimana mestinya;

Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang diajukan permohon dalam memori kasasi. Namun segala keberatan yang diajukan tidak mengenai sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Ini berarti putusan yang dikasasi sudah tepat hukumnya. Cara mengadilinyapun telah benar dilaksanakan pengadilan menurut ketentuan undang-undang serta pengadilan tidak melampaui batas wewenangnya dalam mengadili dan memutus perkara yang di kasasi. Maka dalam hal ini Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi.

Menurut hemat Penulis, Mahkamah Agung tepat dalam putusannya yaitu menolak kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pemalang menimbang beberapa alasan kasasi yang telah diajukan. Mahkamah Agung tidak salah dalam menerapkan hukumnya, semua telah sesuai dengan peraturan yang ada.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Dasar Pengajuan kasasi kejaksaan Negeri Pemalang dalam perkara money

politics dalam pemilihan kepala daerah di Pemalang dengan Terdakwa Eni

Kusrini Binti Dullah adalah judex factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru

dan salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa Eni Kusrini Binti

Dullah tidak termasuk ruang lingkup sengketa sebagaimana diatur dalam

lxxvii

Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah tetapi perbuatan terdakwa adalah merupakan pidana yang terbukti

secara sah dan meyakinkan telah melangar Pasal 117 ayat (2) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang bunyinya : ” Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau

menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak

menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau

menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara

menjadi tidak sah,....”.

2. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung adalah :

a. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa

Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex factie tidak

salah menerapkan hukum lagi pula mengenai penilaian hasil

pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan.

Keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat

Kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan

hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya

atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-

Undang dan atau Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun 1981) ;

b. Bahwa disamping itu Mahkamah Agung berdasarkan wewenang

pengawasannya juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut

dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas

wewenangnya, oleh karena itu permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut

Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No. 8

tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima ;

c. Bahwa oleh karena Mahkamah Agung menolak Permohonan

Kasasi/Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa dinyatakan bersalah,

74

lxxviii

maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada

terdakwa ;

B. Saran

1. Kepada Jaksa Penuntut Umum sebaiknya dalam membuat dakwaannya

untuk perkara-perkara pidana tidak memakai dakwaan tunggal karena

dakwaan tunggal sangat mengandung resiko, jika dakwaan tersebut tidak

terbukti maka terdakwa akan bebas dan tidak ada alternatif pasal lain yang

dapat menjerat terdakwa.

2. Kepada pemerintah Republik Indonesia perlu membentuk peraturan

perundang-undangan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan pemilihan

kepala daerah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

CST. Kansil. 1986. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK). Jakarta: Bina Kasara.

HB Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Henry P. Panggabean. 2001. Fungsi Mahkamah agung Dalam Praktik Sehari-hari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ilham Gunawan. 1994. Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum Dan Stabilitas Politik. Yogyakarta: PT. Karya Unipress

Leo Agustino. 2009. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lexi J. Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

M.Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Rusli. Muhammad. 2006.Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta:

lxxix

Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1994. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Peraturan Perundang – undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 Tentang

Mahkamah Agung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1977.