analisis dan pemetaan model supply chain …

40
(Hibah Penelitian Monodisiplin) Perjanjian No :III/LPPM/2017-01/13-P ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) DAN BUDAYA ORGANISASI PADA INDUSTRI BUSANA MUSLIM DI BANDUNG Disusun Oleh: Ria Satyarini, S.E., M.Si. L. Retno Adriani, Dra. M.Si Katlea Fitriani, S.T., M.S.M. Angela Teresia, S.IP., M.M. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan (2017)

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

(Hibah Penelitian Monodisiplin)

Perjanjian No :III/LPPM/2017-01/13-P

ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) DAN BUDAYA

ORGANISASI PADA INDUSTRI BUSANA MUSLIM DI BANDUNG

Disusun Oleh:

Ria Satyarini, S.E., M.Si. L. Retno Adriani, Dra. M.Si Katlea Fitriani, S.T., M.S.M. Angela Teresia, S.IP., M.M.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Universitas Katolik Parahyangan

(2017)

Page 2: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

2

DAFTAR ISI

RINGKASAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 4

1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................ 4

1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6

1.3 Urgensi Penelitian ........................................................................ 6

1.4 Capaian Penelitian ........................................................................ 7

1.5 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9

2.1 Definisi Supply Chain Management ............................................ 9

2.2 Model Supply Chain Management ............................................... 10

2.3 Budaya Organisasi ....................................................................... 11

2.4 The Competing Value Framework (CVF) .................................... 12

2.5 Organizational Culture Assesment Instrument ............................ 12

2.6 Tipe Budaya Organisasi ............................................................... 13

2.7 Kesenjangan Budaya .................................................................... 16

2.8 Studi Pendahuluan dan Hasil yang sudah dicapai ........................ 16

2.9 Roadmap Penelitian ..................................................................... 18

BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 19

3.1 Metode dan Jenis Penelitian ......................................................... 19

BAB IV JADWAL PELAKSANAAN .................................................... 20

BAB V PEMBAHASAN .................................................................... ..... 21

5.1. Analisa SCM Industri Busana Muslim di Kota Bandung Saat Ini 21

5.1.1 Analisa Keseluruuhan ........................................................ 22

5.1.2 Analisa Berdasarkan Skala Usaha ...................................... 26

5.2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana Muslim

di Kota Bandung ...................................................................................... 31

5.3. Analisa Budaya Organisasi Perusahaan pada Industri Busana Muslim di Kota

Bandung ................................................................................................... 33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... ........ 37

6.1. Kesimpulan ................................................................................. 37

6.2. Saran ............................................................................................ 37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 39

Page 3: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

3

ABSTRAK

Usaha baju muslim di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat

pesat dan sudah „dilirik‟ negara-negara tetangga, salah satunya karena model yang

fashionable, harga yang bersaing dan kualitas bahan yang cukup baik sehingga

peluang bagi para pengusaha baju muslim di Indonesia untuk merambah ke pasar

dunia terbuka dengan cukup lebar, dan bisa dimulai dari menjual produk ke

negara-negara yang tergabung di Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tetapi di sisi

lain, kesempatan para pengusaha baju muslim untuk menembus pasar dunia

dihadapkan pada tantangan lain, yaitu kesiapan perusahaan, manajemen, dan

karyawan untuk mampu inovatif, kreatif, dan berorientasi pada kebutuhan pasar.

Budaya organisasi merupakan faktor penting yang dapat membentuk sikap,

perilaku karyawan dan pada akhirnya berpengaruh pada pencapaian tujuan suatu

perusahaan. SCM yang dilakukan pun tidak sama, sehingga pembuatan model

yang tepat bagi industri baju muslim ini menjadi penting.

Penelitian ini bertujua untuk menganalisa model Supply Chain

Management pada industry busana muslim di Bandung. Selain itu, penelitian ini

juga bertujuan untuk menganalisa kesiapan produsen muslim di Indonesia dari sisi

budaya organisasi untuk mampu menembus pasar dunia. Diharapkan hasil dari

penelitian ini juga bisa digunakan pemerintah untuk mengatur kebijakan mengenai

industry busana muslim di Bandung.

Metode penelitian yang akan digunakan berupa metode wawancara, survey

dan juga kuesioner bagi para pemilik usaha pakaian muslim di Bandung. Dimana

disetiap titik pusat usaha pakaian muslim di Bandung akan diambil sampelnya.

Penelitian akan dimulai dengan menetapkan lokasi untuk industri ini, melakukan

penelitian pendahuluan, lalu kemudian dilakukan pemilihan sampel serta

pengambilan data, sehingga pada akhirnya dpat diambil kesimpulan dan

pemodelan dari SCM dan budaya organisasi pada industri pakaian muslim ini.

Kata Kunci : Supply Chain Management, Budaya Organanisasi, Fashion,

Industri Busana muslim

Page 4: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang

harus dipenuhi selain pangan dan papan. Akan tetapi dengan kemajuan teknologi

dan berkembangnya zaman, sekarang pakaian mempunyai kegunaan sebagai suatu

tren ataupun fashion yang terus berkembang sebagai sarana untuk memperlihatkan

eksistensi dan identitas seseorang di masyarakat. Demikian juga terjadi pada

pakaian yang bernuansa islami atau sering disebut busana muslim. Busana muslim

yang mempunyai fungsi utama sebagai alat penutup aurat bagi yang beragama

islam telah bertransformasi dari yang semula bergaya konservatif menjadi lebih

kontemporer tanpa melupakan fungsi utamanya sebagai penutup aurat.

Fashion busana muslim saat ini berkembang sangat cepat

mengikuti gaya hidup konsumen yang makin berkembang. Salah satu hal yang

mendasari perubahan itu adalah adanya banyak komunitas hijabers (wanita –

wanita yang menggunakan hijab) yang gencar bereksperimen dengan penampilan

mereka dan didukung dengan kemudahan teknologi saat ini. Para anggota hijabers

tersebut sering berkreasi dengan model busana mereka dan menyebarkannya

melalui dunia maya, sehingg dengan mudah tren pakaian mereka bisa dilihat dan

diikuti.

Komunitas yang tumbuh dengan cukup pesat adalah hijabers atau

komunitas pengguna baju muslim, seperti Hijabers Community Indonesia,

Bandung Hijabers Community, Hijabers Surabaya, Solo Hijabers, Hijabers

Palembang, Hijabers Aceh, Hijabers Padang, Hijabers Yogyakarta, Hijabers

Gresik, dan lain sebagainya. Komunitas hijabers tersebut mampu merubah

anggapan bahwa hijab/baju muslim tidak cocok digunakan oleh wanita remaja

karena membuat wanita menjadi tidak dapat mengikuti model fashion terbaru

karena saat ini baju muslim sudah dibuat dengan desain kontemporer yang sangat

trendy.

Indonesia memiliki 14 sub-sektor dalam industri kreatif;

periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion , video (film,

Page 5: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

5

fotografi), permainan interaktif (game), musik, seni pertunjukkan (showbiz),

penerbitan, layanan komputer dan piranti lunak (software), televisi & radio, R&D

(Riset dan pengembangan). Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)

bersama sejumlah kementerian tengah mendorong percepatan pengembangan

industri busana muslim di Indonesia. Sebab, selain kuliner, industri busana

muslim menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan dari ekonomi kreatif

(Merdeka, 2016).

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memperkirakan nilai

perdagangan busana muslim Indonesia mencapai USD7,18 miliar. Dari angka

tersebut, Bandung menjadi daerah dengan kontribusi paling besar (Barat, 2015).

Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah membuat blue print yang berisi

perencanaan agar Bandung menjadi pusat bisnis busana muslim. Sekitar 20%

perdagangan busana muslim berasal dari Bandung. (Barat, 2015)

Karena semakin berkembangnya industri busana muslim di

bandung, Pemerintahpun mempunyai rencana untuk meningkatkan produksi

busana muslim agar memenuhi permintaan konsumen. Akan tetapi, Industri

busana muslim di Bandung saat ini menghadapi beberapa kendala yang akan

berpengaruh untuk menaikan produksi, antara lain masalah bahan baku, proses

produksi dan juga standarnya. Saat ini, bahan baku untuk pembuatan busana

muslim masih banyak impor. 50% bahan baku untuk busana muslim dan 90%

aksesoris penunjang masih mengimpor. Jika pemerintah ingin menaikan produksi,

maka permasalahan bahan baku ini akan sangat penting.

Oleh karena itu, ada banyak pelaku industri kreatif busana muslim

di Jawa Barat yang senantiasa meningkatkan sistem produksi dan pendistribusian

produk agar bisa memenuhi permintaan konsumen. Para pelaku harus bisa

mengidentifikasikan permintaan, menerjemahkan dalam bentuk busana muslim

yang berkualitas, mendistribusikan ke konsumen dan menetapkan harga yang

memuaskan konsumen. Setiap pelaku dalam rantai pasok (supply chain) industry

busana muslim harus mememahami peran agar bias terus bertahan dan

berkembang. Semakin banyak kompetitor di industri busana muslim, akan

membuat konsumen makin selektif dalam memilih produk busana muslim. Untuk

Page 6: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

6

pemilihan model SCM akan menjadi sangat penting untuk perkembangan industry

busana muslim ke depannya.

Selain itu, Masalah Sumber daya manusia dari sisi inovasi dari

produsen pun menjadi kendala yang nantinya mampu menghambat industry

busana muslim ini. Kendala sumber daya manusia disini bukan berarti tidak

banyak orang yang berpotensi dan kreatif dalam industry fashion busana muslim,

namun masih banyaknya produsen dalam industry ini yang hanya sekedar hobi

atau ikut – ikutan (Barat, 2015). Untuk itu analisa kesiapan pengusahan baju

muslim di Indonesia dari sisi budaya organisasi agar mampu berinovasi untuk

mampu menembus pasar dunia seperti yang dimimpikan oleh Asosiasi Perancang

Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

yang menjadi dasar bagi para pengusaha baju muslim di Bandung untuk

mendesain budaya organisasi yang menjadi dasar dalam pengelolaan karyawan

mereka serta membuat roadmap perubahan budaya organisasi, demi pencapaian

target fashion muslim Indonesia menembus pasar dunia.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan penelitian ini dilakukan adalah:

1. Menganalisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota Bandung saat

ini.

2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana

Muslim di Kota Bandung

3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari sisi budaya

organisasi.

1.3 Urgensi Penelitian

Data dari kementrian perdagangan dan industri menyatakan bahwa

subsektor dari industri kreatif yang memberikan PDB terbesar terdapat pada dua

sektor, yaitu sektor fashion dan kuliner. Saat ini pemerintah melakukan koordinasi

Page 7: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

7

dengan 8 kementrian agar dapat mengembangkan industri baju muslim di

Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah yang sedang

mencari cara yang paling tepat dalam mengembangkan industri pakaian muslim

dengan mengambil Bandung terlebih dahulu. Dimana bantuan tersebut didapat

dengan membuat model SCM bagi industri pakaian muslim serta pemahaman

budaya organisasi yang sebaiknya didesain sesuai dengan target untuk menembus

pasar dunia.

1.4 Capaian Penelitian

Adapun capaian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keluaran (output) Hasil

Riset

Keluaran Wajib :

a. Publikasi Ilmiah pada jurnal

Internasional : e-journal yang akan terbit

Februari 2018

Keluaran Tambahan :

a. Pertemuan Ilmiah tingkat Internasional

(Internationanl Conference) : The 3rd

Internasional Conference on Economic

and Banking (ICEB 2017)

Dampak (outcome) Hasil

Riset

1. Mamapu menganalisa model SCM dan

kendala – kendala yangterjadi pada industri

busana muslim saat ini.

2. Memberikan masukan kepada pemerintah

Kota Bandung tentang model SCM yang

sesuai dengan kondisi industri busana muslim

di Bandung saat ini, sehingga pemerintah

dapat mengeluarkan kebijakan – kebijakan

yang akan membantu para pemain dalam

rantai pasok menjalankan SCM secara efisien.

Page 8: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

8

1.5 Kerangka Pemikiran

ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY

CHAIN MANAGEMENT (SCM) DAN BUDAYA

ORAGANISASI PADA INDUSTRI BUSANA MUSLIM

DI BANDUNG

PENELITIAN PENDAHULUAN

PEMILIHAN SAMPLE

PENGAMBILAN DATA

ANALISA DAN MODELING

KESIMPULAN

CAPAIAN

LOKASI

LUARAN

Page 9: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Supply Chain Management

Sarkis (1999) mengatakan bahwa Supply Chain Management

(SCM) adalah suatu system yang terdiri dari in-bound logistics, system produksi,

system distribusi dan reverse logistics. Pustaka lain menyebutkan bahwa SCM

adalah suatu hubungan antara pemasok bahan baku, proses produksi, transportasi,

system distribusi termasuk di dalamnya maslah keuangan dan arus informasi dari

suatu produk (Wang & Gupta, 2011). Perencanaan dan pengontrolan system juga

dimasukkan dalan definisi SCM oleh Wang & Gupta (2011). Heizer & Render

(2011) menjelaskan bahwa SC merupakan integrasi yang mengatur bahan baku,

merubahnya menjadi barang setengah jadi, dan barang jadi (produk), dan

menyampaikan kepada konsumen. Jadi, aktifitas dalam SCM itu sendiri terdiri

dari : pemasok Bahan baku, produsen, distributor dan konsumen, seperti contoh

gambar 1 di bawah.

Sumber : (Heizer & Render, 2011)

Gambar 2.1. Rantai Pasok (Model SCM) untuk perusahan Beer)

Page 10: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

10

Pada era Bisnis yang baru, Model Scm yang effektif adalah strategi

yang paling kompetitif. Kompetisi global antara manufaktur untuk mengatur value

chain dari pemasok dan konsumen merupakan titik penting dari model SCM yang

efektif. Untuk mendapatkan jumlah produksi yang cukup untuk memenuhi

permintaan konsumen dengan kualitas yang bagus, hubungan antara produsen dan

pemasok menjadi highlight dari proses ini. (Choy et al. , 2003).

3.2 Model Supply Chain Management

Industri tekstile dapat dibagi menjadi 3 pasar, yaitu :

a. Clothing and Fashion

b. Home and Interior decoration

c. Technical uses including transport, construction,

healthcare and furniture (Euratex, 2012)

Untuk itu Ulgen & Forslund (2015) membagi model SCM untuk

industry tekstil menjadi 2 kategori, yaitu Global SCM dan Local SCM. Global

SCM (gambar 2) merupakan model SCM dimana produsen tekstil berintegrasi

secara vertikal dan proses produksinya termasuk di dalamnya pemintalan benang,

cetak motif, dyeing, dan konfeksi. Global SCM ini memproduksi sendiri

produknya dan menjualnya melalui reseller di bawah brand produsen. Global

SCM ini punya kendali sentral yang menjadi head office di satu wilayah dan

punya cabang local dibeberapa tempat. Untuk Head office bertugas untuk

mengatur proses produksi, permintaan total tiap cabang dan segala keputusan

yang sifatnya sentral. Sedangkan cabang lokal bertugas berhubungan dengan head

office dan para retailer, seperti gambar berikut :

Sumber : (Ulgen & Forslund, 2015)

Gambar 2.2. Framework dari Global Supply Chain

Page 11: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

11

Sedangkan Local SCM, menurut Ulgen & Forslund (2015), proses

produksinya terdiri dari konveksi saja. Hanya punya 1 kantor saja yang digunakan

untuk mengatur baik stratei dan operasional pabrik. Produk akan dijual oleh

produsen langsung ataupun ke reseller lain. Dalam prakteknya, model ini sama

dengan jenis Usaha Kecil Menengah (UKM). UKM sendiri punya 2 model SCM,

yaitu UKM yang memproduksi sendiri produknya lalu menjualnya lewat took

sendiri, atau yang menggunakan jasa konveksi untuk produksi barang. Alur dari

Local SCM dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : (Ulgen & Forslund, 2015)

Gambar 2.3. Framework dari Local Supply Chain

2.3 Budaya Organisasi

George and Russel (2012:502) mendefinisikan budaya organisasi

sebagai serangkaian nilai-nilai, keyakinan dan norma yang mempengaruhi cara

karyawan berpikir, merasa dan berperilaku satu dengan yang lain dan dengan

orang lain di luar organisasi. Robbins (1996:289) mendefinisikan budaya

organisasi dengan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota

yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi lain. Tika (2006:4-

5) menjelaskan beberapa pengertian budaya organisasi, yaitu :

1. Druicker dalam buku Organizational Behavior in Education

mendefinisikan budaya organisasi adalah pokok penyelesaian

masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya

dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian

mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat

untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-

masalah terkait seperti di atas.

Page 12: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

12

2. Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture

dalam majalah Asian Manager (September 1989) mendefinisikan

budaya organisasi sebagai seperangkat asumsi dasar dan keyakinan

yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian

dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah

adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya

organisasi adalah hal yang sangat mendasar dalam suatu organisasi karena budaya

akan mempengaruhi cara bersikap, berperilaku, penyelesaian masalah dan

berkomunikasi secara internal maupun eksternal.

2.4. The Competing Value Framework (CVF)

Cameron & Quinn mengembangkan The Competing Value

Framework (CVF) sebagai kerangka berpikir untuk menentukan profil budaya

organisasi, berdasarkan dua dimensi, dimana dimensi tersebut merupakan suatu

dikotomi, seperti:

1. Efektivitas yang berpusat pada fleksibilitas-keleluasaan dan

stabilitas-kontrol

2. Efektivitas yang berpusat pada orientasi lingkungan internal

organisasi-integrasi dan berpusat pada orientasi lingkungan

eksternal organisasi-diferensiasi- persaingan

2.5. Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)

Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI) merupakan

salah satu instrumen yang sudah digunakan secara meluas di berbagai negara,

untuk mengidentifikasi budaya organisasi dan untuk memprediksi kinerja

organisasi di masa depan,.

OCAI mengidentifikasi budaya organisasi dengan menilai enam

dimensi utama budaya organisasi, yaitu: (1) Karasteristik Dominan, (2)

Kepemimpinan Organisasi, (3) Manajemen Karyawan, (4) Perekat Organisasi, (5)

Penekanan Strategi, dan (6) Kriteria sukses. OCAI juga digunakan untuk

membantu mengidentifikasi hal-hal yang menurut anggota organisasi perlu

Page 13: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

13

dikembangkan oleh organisasi untuk menghadapi tantangan dan persaingan di

masa mendatang.

Instrumen OCAI disajikan dalam bentuk kuesioner yang menggali

enam dimensi dan setiap dimensi memiliki empat pernyataan. Setiap responden

diminta untuk mendistribusikan dari total 100 poin ke dalam setiap pernyataan.

Penilaian tertinggi diberikan kepada pernyataan yang dirasa paling mendekati

keadaan organisasi tempatnya berada. Instrumen ini memiliki dua buah kolom

penilaian, yaitu „Sekarang‟ dan „Harapan‟. Penilaian yang diberikan pada kolom

„Sekarang‟ menyatakan penilaian terhadap keadaan organisasi saat ini, dan

penilaian yang diberikan pada kolom „Harapan‟ menyatakan keadaan organisasi

yang diharapkan lima tahun mendatang untuk mencapai keberhasilan.

Berdasarkan hasil penilaian, skor yang didistribusikan ke dalam pernyataan-

pernyataan tersebut akan membentuk sebuah pola sehingga didapatkan suatu

profil budaya organisasi. Masing-masing pernyataan mewakili 1 tipe budaya dan

masing-masing tipe budaya memiliki karakteristik tersendiri. Tujuan penyusunan

profil budaya organisasi adalah untuk mengetahui tingkat dominasi dari setiap tipe

budaya di dalam suatu organisasi.

2.6. Tipe Budaya Organisasi

Berdasarkan The Competing Values Framework, keenam dimensi

utama budaya organisasi akan dituangkan ke dalam sebuah peta budaya yang akan

memberikan gambaran profil budaya organisasi tersebut secara keseluruhan. Peta

budaya tersebut terdiri dari empat kuadran yang mewakili empat tipe budaya

sebagai berikut:

1. The Hierarchy Culture: Berpusat pada pentingnya formalitas serta struktur

yang baik dan rapih dalam organisasi. Seluruh aktivitas di dalam

organisasi diatur secara baku dan sistematis. Kepatuhan terhadap prosedur

menjadi sangat penting untuk memastikan seluruh aktivitas yang ada di

dalam organisasi berjalan sesuai dengan rencana. Gaya kepemimpinan

yang dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai koordinator dan

pengelola yang kuat sekaligus ketat. Organisasi dianggap berjalan efektif

apabila seluruh aktivitasnya dilaksanakan dan selesai pada waktu yang

Page 14: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

14

terlah ditentukan. Aturan dan kebijakan yang baku merupakan hal yang

menjaga kesatuan organisasi.

2. The Market Culture Berpusat pada aktivitas kompetisi yang ketat dan

tinggi. Bagi organisasi dengan market culture, lingkungan eksternal

dianggap lebih penting dibandingkan dengan lingkungan internal. Unggul

dari kompetitor dan menjadi market leader adalah tujuan organisasi

dengan market culture. Situasi persaingan yang ketat dan tinggi bukan

hanya terjadi di pasar saja, melainkan juga antaranggota organisasi dimana

setiap karyawan berlomba-lomba untuk memiliki produktivitas yang tinggi

dan unggul dibandingkan karyawan lainnya. Gaya kepemimpinan yang

dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai kompetitor yang

tangguh. Organisasi dianggap efektif apabila dapat "menaklukkan"

pesaing dan mencapai target. Pedoman yang digunakan hanya satu, yaitu

prinsip persaingan dalam meraih produktivitas.

3. The Clan Culture: berpusat pada hubungan antaranggota organisasi dan

sistem. Lingkungan internal organisasi dikondisikan senyaman dan

semirip mungkin dengan keluarga. Komitmen, rasa kepercayaan satu sama

lain, dan tradisi amat dijunjung tinggi. Gaya kepemimpinan yang

dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai guru, mentor, bahkan

figur orang tua. Organisasi dianggap efektif apabila seluruh bagian internal

terintegrasi dengan baik dan seluruh anggota organisasi saling peduli dan

mendukung. Pedoman yang digunakan adalah kerjasama tim, partisipasi,

dan konsensus.

4. The Adhocracy Culture: merupakan tipe budaya yang cenderung bersifat

dinamis, dalam arti anggota organisasi tidak dibatasi oleh struktur. Setiap

anggota organisasi diberikan kebebasan untuk menggali dan menyalurkan

ide-ide kreatif dan inovatif. Selain itu, anggota organisasi dituntut untuk

cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal.

Gaya kepemimpinan yang dikembangkan adalah gaya kepemimpinan

sebagai inovator, wirausaha, dan pemimpin yang visioner. Organisasi

dianggap efektif apabila terdapat pertumbuhan, inovasi, dan pembaharuan

sumber daya secara terus menerus.

Page 15: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

15

Sumber: Kim S. Cameron & Robert E. Quinn, Diagnosing and Changing

Organizational Culture : Based on The Competing Values Framework, John

Wiley & Sons, Inc., 2006, Revised ed., p.35.

Gambar 4. Ragam Tipe Budaya Organisasi dalam The Competing Values

Framework

Sumber: Kim S. Cameron & Robert E. Quinn (2006)

Gambar 4. Karakteristik Jenis-jenis Budaya Organisasi

2.7 Kesenjangan Budaya

Dalam menentukan kesenjangan budaya, dilakukan dua buah

pengukuran, yaitu budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi yang

diharapkan oleh seluruh anggota organisasi umunya dalam lima tahun mendatang.

Page 16: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

16

Dari dua pengukuran tersebut akan diperoleh gambaran mengenai seberapa

signifikan kesenjangan antara budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi

yang diharapkan oleh seluruh anggota organisasi dalam lima tahun mendatang.

Hal tersebut akan menentukan ada atau tidaknya perubahan yang dirasa perlu

untuk dilakukan di kemudian hari.

Signifikan atau tidaknya kesenjangan antara budaya organisasi saat

ini dan budaya organisasi yang diharapkan oleh seluruh anggota organisasi dalam

lima tahun mendatang ditentukan oleh besarnya selisih antara poin tipe budaya

saat ini dengan yang diharapkan. Selisih tersebut dianggap signifikan atau

mengindikasikan kebutuhan akan perubahan yang mendasar apabila skor

mencapai lebih besar sama dengan 10 poin antara skor budaya saat ini dengan

yang diharapkan.

2.8. Studi Pendahuluan dan Hasil yang sudah dicapai

Penelitian ini didasarkan pada ketertarikan peneliti pada industry

kreatif di kota Bandung. Ketertarikan akan industry kreatif dan sub sektornya ini

membuat peneliti dan tim sudah melakukan beberapa penelitian pendahuluan.

Penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah penelitian tentang:

1. Identifikasi Value Chain pada Bidang Fashion sebagai Bagian dari Industri

Kreatif Untuk Membuat Bandung Juara. Dimana hasil penelitian ini

menghasilkan value chain dari berbagai distribution store yang ada di kota

Bandung, dari hasil tersebut terlihat bahwa untuk memproduksi berbagai

produk fashion di distribution store perusahaan dapat memproduksinya

sendiri dari bahan baku kemudian diolah menjadi berbagai jenis produk

sendiri dipabriknya sendiri; atau perusahaan hanya membuat desain dan

memproduksinya diperusahaan subkontrak, atau perusahaan dapat hanya

menjualkan produk orang lain tetapi memakai merk sendiri. Setiap pilihan

tersebut tetap memberikan nilai bagi perusahaan.

2. Profil dan Perilaku Anak Muda dalam Membeli produk Fashion Distro Di

Bandung. (Anggadiredja, Adriani, Satyarini, 2016). Pembeli produk

fashion di Distro di Bandung kebanyakan adalah anak muda. Profilnya

berubah yang pada awalnya adalah anggota komunitas tertentu seperti

Page 17: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

17

kelompok band, musik, sepeda BMX, skateboard, kini menjadi lebih

umum, yaitu pria dan wanita siswa SMP, SMA, mahasiswa, bahkan yang

sudah bekerja. Gaya hidupnya menggunakan internet, bukan anggota

komunitas, hobbynya olahraga futsal, basket, dan hangout bersama teman2

sekolah. Umumnya dari golongan menengah yang membeli secara

impulsif bersama teman2 produk2 kaos, kemeja, jaket, sepatu, tas, dan

sedikit produk lainnya, menyukai disain & model yang menarik. Namun

tidak masal dengan harga sekitar Rp.200.000 – Rp.300.000.

3. Analisis Clothing Industry dan Persaingannya di Bandung. Hasil penelitian

ini menunjukkan kriteria kemudahan para pemain baru diindustri clothing

untuk memasuki pasar, strategi yang dipakai saat ini oleh para pelaku

usaha dibidang clothing, serta key success factor pada industry ini.

Keberanian dalam mendesign brand dan pakaian, hubungan dengan

komunitas yang ada di kota Bandung, serta seringnya produk baru

diluncurkan merupakan beberapa key success factor yang didapat dari

penelitian.

2.9. Roadmap Penelitian

Gambar 5. Roadmap Penelitian

Dari road map diatas, penelitian yang sudah dilakukan adalah

identifikasi dan SWOT usaha mikro dan kecil, analisis key success factor pada

industry clothing di Bandung, value chain pada distro, serta perilaku konsumen

dalam membeli produk distro. Penelitian yang akan dilakukan adalah SCM dan

PENELITIAN PADA

INDUSTRI

KREATIF

Penelitian yang

Sudah

Dilakukan

Penelitian yang Akan Dilakukan

Perilaku

Konsumen

Industri

Kreatif

Identifikasi dan SWOT

Usaha Mikro dan Kecil

Value Chain pada bidang

fashion

Budaya

Organisasi

Model

SCM

Page 18: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

18

budaya organisasi pada bidang fashion dengan objek yang berbeda. Penelitian

pada distribution store sudah dilakukan, maka proposal ini dibuat penelitian pada

SCM dan budaya pada industri busana muslim. Industry busana muslim ini

menyita banyak perhatian dari para pebisnis dan juga para peneliti. Pasar yang

cenderung naik dan membesar, menarik banyak pelaku usaha untuk membuka

jenis usaha yang sama. Industry dari busana muslim ini juga membuat pemerintah

memberikan perhatian agar dapat membuat industry ini berkembang dan

memberikan kontribusi baik terhadap PDRB maupun terhadap pertumbuhan

tenaga kerja serta kreativitas yang ada.

Page 19: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

19

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif untuk

memperoleh gambaran mengenai beberapa model SCM industry busana muslim

serta analisis budaya organisai di kota Bandung, data dikumpulkan dengan

metode:

Wawancara, wawancara dilakukan untuk mendapatkan data berupa SCM

serta budaya organisasi yang saat ini ada serta berkaitan dengan mencari

peran, peluang dan juga kendala yang dihadapi industri saat ini.

Selanjutnya data dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif yang akhirnya

dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dan juga dibentuk suatu

model SCM serta budaya organisasi yang paling efektif dengan kondisi

saat ini.

Survey, survey dilakukan untuk memperkuat data dari wawancara

sehubungan dengan SCM dan budaya organisasi.

Kuesioner, kuesioner akan dilakukan untuk memperkuat data yang ada

pada SCM dan budaya organisasi. Baik wawancara, survey maupun

kuesioner akan diberikan kepada pemilik perusahaaan pada industri

pakaian muslim di Bandung

Sedangkan sampel penelitian akan diambil dibeberapa pusat

penjualan baju muslim di Bandung, kemudian dari setiap tempat akan diambil

sampelnya. Pengambilan sampel berdasarkan judgement sampling, juga akan

dipilih para pengusaha baju muslim yang merupakan usaha kecil dan menengah

dengan beberapa variasi yang ada. Total sample ada 20 pemilik dan karyawan

industri busana muslim di Bandung.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini merupakan

applied research (penelitian terapan), karena penelitian ini diarahkan untuk

mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan sebuah

masalah.

Page 20: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

20

BAB IV

JADWAL PELAKSANAAN

Adapun untuk jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian ini diuraikan

pada Tabel 1 berikut:

Tabel 4.1. Rincian Pelaksanaan Kegiatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Literature review

2

Diskusi untuk penyusunan

pertanyaan wawancara dan

Kuesioner

3 Pengumpulan Data : Observasi

4

Pengumpulan Data :

Wawancara dengan Pemain

dalam Rantai Pasok

5

Pengumpulan Data : Kuesioner

Budaya Organisasi

6

Analisa data : Identifikasi

model SCM saat ini

7

Analisa data : Identifikasi

Budaya Organisasi saat ini

8

Mengembangkan model SCM

Industri busana muslim

9 Membuat Jurnal

10 Journal Submission

11 Membuat Laporan

12 Membuat Laporan Keuangan

No Jenis Kegiatan2017

Page 21: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

21

BAB V

PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka pembahasan penelitian akan

dibahas sebagai berikut:

1. Menganalisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota

Bandung saat ini.

2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi

Industri Busana Muslim di Kota Bandung

3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari

sisi budaya organisasi

5.1. Analisa SCM Industri Busana Muslim di Kota Bandung Saat Ini

Analisa SCM dilakukan dengan analisa deskriptif dengan cara

menghitung rata – rata jawaban responden pada setiap pernyataan di kuesioner, lalu

diinterpretasikan dalam setiap kategori seperti tabel di bawah. Untuk mengetahui batas

tiap kategori, dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Simamora, 2008) :

RS = (m – n)/b

Information :

RS = Interval (Skala)

m = Nilai Tertinggi

n = Nilai Terendah

b = Jumlah kategori

Berdasarkan rumus di atas, interval dari tiap kategori dapat diketahui sebagai

berikut :

RS = (5 – 1)/5 = 0,80

Setelah mengetahui interval untuk tiap kategori, maka batas atas-bawah tiap

kategori dapat ditentukan sebagai berikut :

Page 22: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

22

Tabel 5.1.

Tabel Batas Atas-Bawah Tiap Kategori untuk Analisa Deskriptif

Nilai Rata - rata Kategori

1,00 ≤ x ≤ 1,80

1,80 < x ≤ 2,60

2,60 < x ≤ 3,40

3,40 < x ≤ 4,20

4,20 < x ≤ 5,00

Sangat Tidak Setuju

Tidak Setuju

Netral

Setuju

Sangat Setuju

5.1.1 Analisa Keseluruhan

Hubungan antara perusahaan dan pemasok menjadi isu yang tak

akan habis untuk dibahas. Hubungan pemasok dan perusahaan bertujuan untuk

meningkatkan nilai dari rantai pasok, Menurut Fosstrom (2005), ada 3 nilai yang

bisa didapatkan dari kolaborasi pemasok dan perusahaan, antara lain :

a. Nilai dari suatu penawaran ( Monetary Value)

b. Nilai dari suatu hubungan (Intangible value)

c. Nilai yang tercipta dari suatu hubungan.

Menurut Anni-Kaisa Kahkonen dkk (2015), ada 4 hal yang

berhubungan dengan penciptaan nilai dalam hubungan pemasok dan perusahaan,

antara lain :

a. Orientasi Pemasok

b. Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan pengembangan produk

c. Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok

d. Pembelajaran dalam Perusahaan

Tabel 5.2. menunjukkan nilai rata – rata dan kategori pada poin

orientasi pemasok. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa Industri Busana

Muslim skala Mikro dan Kecil di Balubur Town Square (BALTOS) sangat setuju

(rata- rata 4.38) bahwa dalam Manajemen rantai pasok, perusahaan hendaknya

berorientasi ke pemasok. Definisi dari berorientasi kepada pemasok mengacu

pada aktivitas perusahaan untuk mengatur hubungan dengan pemasoknya untuk

menjapai tujuan, Selain itu, perusahaan yang bisa mengatur hubungan dengan

Page 23: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

23

pemasok dengan baik bisa menjadi salah satu strategi untuk menaikkan daya

saing. Lebih lanjut, perusahaan yang berorientasi terhadap pemasok, maka

perusahaan dapat mengembangkan hubungan jangka panjang dengan

pemasoknya.

Berdasarkan tabel 5.2, responden sangat setuju (rata-rata 4.55),

Jika barang yang diterima perusahaan dari pemasok mengalami kerusakan,

perusahaan bisa mengembalikan dan meminta ganti barang baru, karena barang

rusak dari pemasok akan menjadi tambahan biaya produksi bagi perusahaan. Hal

itu tentu akan berefek langsung pada keuntungan yang diterima perusahaan.

Selain itu, perusahaan sangat concern tentang tujuan hubungan pembeli-pemasok,

hal itu terlihat pada table 5.2. bahwa nilai rata – rata untuk poin 3 masuk dalam

kategori sangat setuju (x = 4.4). Tujuan tipe kolaborasi dengan pemasok ini

sangat berpengaruh pada bagaimana perusahaan akan berbagi informasi, material

dan monetary value.

Tabel 5.2.

Orientasi Pemasok

No Orientasi Pemasok Rata -

Rata Kategori

1

Jika barang yang diterima perusahaan dari pemasok

mengalami kerusakan, perusahaan bisa

mengembalikan dan meminta ganti barang baru.

4.55 Sangat

Setuju

2 Kolaborasi dengan pemasok akan diukur berkala. 4.05 Setuju

3 Hubungan antara perusahaan dengan pemasok

mempunyai tujuan yang jelas 4.4

Sangat

Setuju

4 Kriteria pengukuran untuk kolaborasi perusahaan

dan pemasok disepakati bersama 4.5

Sangat

Setuju

Rata - rata Total 4.38 Sangat

Setuju

Dimensi kedua yang akan dijelaskan adalah tentang

ketergantungan perusahan terhadap pemasok. Definisi ketergantungan di sini lebih

Page 24: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

24

menitikberatkan pada pertukaran informasi. Berdasarkan tabel 5.3, nilai rata – rata

dimensi ini tergolong kategori setuju (x = 4.03) artinya mereka sudah setuju

bahwa pada suatu waktu perusahaan harus bergantung pada pemasok, teurtama

mengenai perkiraan permintaan. Pertukaran informasi tentang perkiraan

permintaan pada pemasok mendapatkan rata – rata tertinggi diantara semua

indicator, yaitu 4.15. Perusahaan paham pentingnya pemasok tau tentang berapa

perkiraan permintaan agar pemasok dapat mengatur waktu untuk menyediakan

barang sehingga bisa selalu bisa memenuhi permintaan perusahan. Di sisi lain,

sebagian kecil perusahaan menganggap bahwa pemasok pasti selalu bisa

menyediakan permintaan dari perusahaan, sehingga tidak perlu adanya pertukaran

informasi tentang permintaan. Hal itu sejalan dengan pernyataan bahwa perusahan

dan pemasok harus bertukar informasi tentang tingkat persediaan. Permintaan dan

persediaan merupakan hal yang saling berhubungan, karena ketika informasi

tentang 2 hal itu dibagikan, maka akan mengurangi kemungkinan kurangnya

pemenuhan barang ataupun persediaan yang sia – sia.

Tabel 5.3.

Ketergantungan Perusahaan kepada pemasok

No Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok Rata -

Rata Kategori

1 Perusahaan anda melakukan pertukaran informasi

tentang tingkat persediaan kepada pemasok 4.05 Setuju

2 Perusahaan anda melakukan pertukaran informasi

tentang perkiraan permintaan kepada pemasok 4.15 Setuju

3 Kolaborasi dengan pemasok tidak mengikat sumber

daya perusahaan 3.9 Setuju

Rata - rata Total 4.03 Setuju

Dimensi ketiga adalah tentang keikutsertaan pemasok dalam proses

desain dan pengembangan produk. Keikutsertaan supplier pada proses desain dan

pengembangan produk merupakan tanda bahwa hubungan antara pemasok dan

perusahaan sifatnya jangka panjang. Keikutsertaan pemasok dalam proses desain

dan pengembangan produk dilihat sebagai suatu mekanisme pemasok untuk ikut

Page 25: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

25

dalam proses awal suatu produk didesain dan dikembangkan.

Tabel 5.4. menunjukan bahwa responden setuju tentang prinsip

keikutsertaan pemasok pada proses desain dan pengembangan produk (x = 4.03).

Nilai rata – rata anatara 2 pernyataan yang membangun dimensi ini tidak jauh

berbeda. Keterlibatan pemasok pada proses pengembangan produk mempercepat

waktu peluncuran produk baru memperoleh nilai rata – rata tertinggi yaitu 4.05.

Perusahaan sadar bahwa keterlibatan pemasok akan mempercepat waktu

peluncuran produk karena pemasok bisa memberikan saran tentang bahan baku

apa saja yang mudah didapatkan, harga dan ketersediaan bahan bakunya. Selain

membantu mempercepat dari sisi pemberian informasi, pemasok juga mendukung

perusahaan dalam proses pengembangan dengan memantu penyediaan bahan

baku.

Akan tetapi, sebagian kecil responden masih merasa bahwa hal ini

tidak perlu dilakukan. Hal itu mungkin diakibatkan banyak perusahaan khawatir

kalau pemasok yang mengetahui proses desain dan pengembangan produk akan

membocorkan ide yang mereka punya kepada competitor. Untuk itu, hubungan

jangka panjang antara perusahaan dan pemasok menjadi hal yang sangat penting

disini.

Tabel 5.4.

Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan pengembangan produk

No Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan

pengembangan produk

Rata -

Rata Kategori

1 Pemasok mendukung perusahaan dalam

pengembangan produk 4.05 Setuju

2

Keterlibatann pemasok pada proses pengembangan

produk mempercepat waktu peluncuran produk

baru

4 Setuju

Rata - rata Total 4.03 Setuju

Dimensi terakhir yang dilihat dari hubungan pemasok dan

perusahaan adalah pembelajaran dalam perusahaan terkait tentang hubungan

Page 26: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

26

dengan pemasok. Berdasarkan table 4, perusahaan setuju untuk melakukan

pembelajaran terkait hubungan dengan pemasok ke depannya (x = 4,13). Nilai

rata – rata tertinggi adalah ketika hubungan perusahan dan pemasok berkelanjutan

(x = 4.2), artinya perusahaan sangat berharap bahwa hubungan dengan pemasok

bisa bersifat jangka panjang. Selain itu perusahaan juga setuju untuk melakukan

kolaborasi dengan pemasok (x = 4.05). kolaborasi ini bisa terjadi ketika pemasok

bisa ikut dalam proses desain dan pengembangan produk.

Tabel 5.5.

Pembelajaran dalam Perusahaan

No Pembelajaran dalam Perusahaan Rata -

Rata Kategori

1

Perusahaan mempunyai perencanaan jangka

panjang berkaitan dengan kolaborasi dengan

pemasok

4.05 Setuju

2 Hubungan pemasok dan perusahaan akan bersifat

berkelanjutan 4.2 Setuju

3 Perusahaan membahas kebutuhan konsumen secara

berkaala. 4.15 Setuju

Rata - rata Total 4.13 Setuju

5.1.2 Analisa Berdasarkan Skala Usaha

Jika dilihat dari kategori dari skala usahanya, maka dapat dilihat

bahwa untuk orientasi pemasok usaha kecil memiliki nilai rata-rata yang lebih

besar dibanding usaha mikro, walau nilai rata-ratanya tidak jauh berbeda dan

masih dalam kategori yang sama yaitu sangat tinggi, orientasi pemasok untuk

usaha mikro (x = 4.36) dan kecil (x = 4.44). Selain itu, perusahaan juga mampu

membangun hubungan jangka panjang dengan pemasok. Dari hasil tersebut juga

dapat dilihat bahwa semakin besar skala usaha, maka perusahaan makin bisa

mengatur hubungan dengan pemasok lebih baik.

Perusahaan kecil ternyata lebih menekankan pada pernyataan

“kriteria pengukuran untuk kolaborasi perusahaan dan pemasok disepakati

Page 27: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

27

bersama” hal itu terlihat dari nilai rata – ratanya yang paling tinggi yaitu 4.645,

sedangkan pada skala usaha mikro pada pernyataan “jika barang yang diterima

perusahaan dari pemasok mengalami kerusakan, perusahaan bisa mengembalikan

dan meminta ganti barang baru” hal ini terlihat dari nilai rata – rata usaha kecil

terbesar ada yaitu 4.75 . Jadi pada skala usaha kecil perusahaan busana muslim

sudah menekankan pada kolaborasi sedangkan pada usaha mikro masih

menekankan pada kemudahan perusahaan dalam mengganti barang rusak yang

dipesan dari pihak pemasok. Walau berbeda penekanannya tetapi nilai

keseluruhannya sangat baik, artinya bahwa walaupun skala usahanya mikro dan

kecil tetapi kedua skala usaha menganggap bahwa orientasi perusahaan terhadap

pemasok sangat dibutuhkan.

Yang sedikit berbeda adalah pada sisi pengukuran kolaborasi

dengan pemasok, pada skala usaha mikro pengukuran secara berkala

kolaborasinya dengan pihak pemasok masih dilakukan kurang sering

dibandingkan dengan perusahaan pada skala usaha kecil.

Tabel 5.6.

Orientasi pemasok skala Usaha Mikro dan Kecil

No Orientasi Pemasok

Usaha Mikro Usaha Kecil

Rata –

Rata Kategori

Rata –

Rata Kategori

1

Jika barang yang diterima perusahaan

dari pemasok mengalami kerusakan,

perusahaan bias mengembalikan dan

meminta ganti barang baru.

4.625 Sangat

Setuju 4.25

Sangat

Setuju

2 Kolaborasi dengan pemasok akan

diukur berkala. 4 Setuju 4.25

Sangat

Setuju

3 Hubungan antara perusahaan dengan

pemasok mempunyai tujuan yang jelas 4.375

Sangat

Setuju 4.5

Sangat

Setuju

4

Kriteria pengukuran untuk kolaborasi

perusahaan dan pemasok disepakati

bersama

4.438 Sangat

Setuju 4.75

Sangat

Setuju

Rata – rata Total 4.36 Sangat 4.44 Sangat

Page 28: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

28

Setuju Setuju

Secara garis besar, semua skala usaha mempunyai ketergantungan

terhadap pemasok. Akan tetapi, sifat ketergantungan tidak total artinya perusahaan

merasa jika satu pemasok tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka bisa

mendapatkan dari pemasok lainnya. Semakin besar skala usaha semakin

berkurang tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pemasok. Hal itu terlihat

dari nilai rata – rata ketergantungan perusahaan terhadap pemasok untuk usaha

mikro adlah 4.13 dan usaha kecil adalah 3.67. Perusahaan skala mikro

menganggap bahwa pertukaran informasi tentang permintaan barang kepada

pemasok sangat penting, hal ini bisa disebaban oleh karena para pelaku usaha

mikro tidak banyak menyimpan persediaan sehingga membutuhkan kepastian

ketersediaan barang yang akan dipesan. Informasi tentang persediaan menjadi

sangat penting karena ketika pemasok tidak punya persediaan untuk memenuhi

permintaan perusahaan, maka perusahaan bisa mencari pemasok atau menunggu

waktu pemasok produksi barang. Disisi lain, jika perusahaan tidak ada persediaan,

pemasok bisa memasukkan barang agar perusahaan punya persediaan.

Pihak pelaku usaha kecil menganggap pertukaran informasi tentang

informasi tentang perkiraan permintaan terhadap pemasok tidak sebesar skala

usaha mikro, nilai yang diberikan oleh skala usaha kecil ini sama besarnya dengan

pentingnya bahwa kolaborasi perusahaan dengan pemasok tidak akan mengikat

sumber daya perusahaan. Artinya bagi pihak perusahaan dengan skala kecil,

bahwa perusahaan skala kecil tergantung terhadap pihak pemasok tetapi mereka

tidak ingin ketergantungan ini mempengaruhi sumber daya perusahaan baik itu

dalam hal keuangan atau modal perusahaan maupun sumber daya manusia.

Page 29: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

29

Tabel 5.7 .

Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok skala Usaha Mikro dan Kecil

No Ketergantungan Perusahaan kepada

Pemasok

Usaha Mikro Usaha Kecil

Rata -

Rata Kategori

Rata -

Rata Kategori

1

Perusahaan anda melakukan pertukaran

informasi tentang level stok kepada

pemasok

4.068 Setuju 4 Setuju

2

Perusahaan anda melakukan

pertukaran informasi tentang

perkiraan permintaan kepada

pemasok

4.313 Sangat

Setuju 3.5 Setuju

3 Kolaborasi dengan pemasok tidak

mengikat sumber daya perusahaan 4 Setuju 3.5 Setuju

Rata - rata Total 4.13 Setuju 3.67 Setuju

Berkaitan dengan keikutsertaan pemasok pada proses desain dan

pengembangan produk perusahaan dengan skala usaha kecil menganggap bahwa

saat ini hubungannya dengan pemasok sudah sangat melibatkan pemasok dalam

pengembangan produknya, sedangkan perusahaan dengan skala usaha kecil masih

berada ditingkatan dibawahnya. Hasil dari keikutsertaan pemasok dalam proses

desain dan pengembangan yang tergolong tinggi untuk usaha mikro (x=3.94) dan

sangat tinggi untuk usaha kecil (x=4.38).Perusahaan dengan skala usaha kecil juga

sudah sangat setuju bahwa keterlibatan pemasok dalam proses pengembangan

produk ini akan sangat mendukung perusahaan dalam pengurangan waktu yang

dibutuhkan untuk meluncurkan produk barunya. Untuk perusahaan dengan skala

usaha mikro masih menekankan pada keterlibatan pemasok pada proses

pengembangan produknya. Perbedaan ini bisa berkaitan dengan orientasi dari

perusahaan dengan skala usaha kecil yang sudah sangat mementingkan kolaborasi

dan mau mengukur kolaborasi secara berkala ( tabel 5.6), serta perusahaan skala

usaha kecil yang tidak mau terlalu tergantung kepada pemasok.

Page 30: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

30

Tabel 5.8.

Keikutsertaan Supplier pada Proses desain dan Pengembangan Produk pada

skala usaha mikro dan kecil

No Keikutsertaan Supplier pada proses

desain dan pengembangan produk

Usaha Mikro Usaha Kecil

Rata -

Rata Kategori

Rata -

Rata Kategori

1 Pemasok mendukung perusahaan

dalam pengembangan produk 4 Setuju 4.25

Sangat

Setuju

2

Keterlibatann pemasok pada proses

pengembangan produk mempercepat

waktu peluncuran produk baru

3.875 Setuju 4.5 Sangat

Setuju

Rata - rata Total 3.94 Setuju 4.38 Sangat

Setuju

Hal diatas menunjukkan juga bahwa semakin besar skala

perusahaan, tingkat kepercayaan terhadap pemasok juga akan meningkat. Untuk

itu usaha kecil memberikan ruang kolaborasi pada pemasok dalam fase awal

desain dan pengembangan produk. Perusahaan skala kecilpun paham bahwa hal

tersebut juga mampu mempercepat waktu proses pengembangan produk karena

pemasok biasanya bisa memberikan saran tentang bahan baku produk baru. Di sisi

lain, perusahaan mikro cenderung lebih rendah tingkat kepercayaan pada pemasok

karena mereka khawatir ketika mereka melibatkan pemasok dalam proses desain

dan pengembangan produk, pemasok akan membocorkan pada competitor, atau

bahkan pemasok bisa menyontek untuk dirinya sendiri.

Pada dimensi terakhir adalah tentang pembelajaran dalam

perusahaan tentang hubungan pemasok dan perusahaan. Hasil table 5.9.

menunjukkan bahwa nilai rata – rata kedua skala perusahaan tidak jauh berbeda.

Keduanya sama – sama masuk kategori tinggi (mikro = 4.15; kecil = 4.08). Baik

mikro maupun kecil sama – sama berpikir untuk meningkatkan hubungan

pemasok dan perusahaan agar meningkatkan daya saing. Maka dari itu, setiap

perusahaan melakukan pembelajaran untuk pengembangan hubungan pemasok

Page 31: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

31

dan perusahaan. Jika perusahaan skala mikro berfokus pada bagaimana

melakukan hubungan jangka panjang dengan pemasok (x = 4.25) sedangkan pada

usaha kecil lebih membahas tentang kebutuhan konsumen berkala (x = 4.25).

Ketika pemasok dan perusahaan sudah membahas tentang kebutuhan konsumen,

artinya pemasok sudah masuk dalam fase awal untuk proses desain produk.

Tabel 5.9.

Pembelajaran dalam perusahaan pada skala usaha mikro dan kecil

No Pembelajaran dalam Perusahaan

Usaha Mikro Usaha Kecil

Rata -

Rata Kategori

Rata -

Rata Kategori

1

Perusahaan mempunyai perencanaan

jangka panjang berkaitan dengan

kolaborasi dengan pemasok

4.063 Setuju 4 Setuju

2 Hubungan pemasok dan perusahaan

akan bersifat berkelanjutan 4.25

Sangat

Setuju 4 Setuju

3 Perusahaan membahas kebutuhan

konsumen secara berkala. 4.125 Setuju 4.25

Sangat

Setuju

Rata - rata Total 4.15 Setuju 4.08 Setuju

5.2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana Muslim

di Kota Bandung

Berdasarkan pembahasan dari sub bab 5.1. dapat diketahui bahwa kondisi

saat ini dari para pelaku usaha baik pada skala mikro maupun kecil pada industri busana

muslim di Bandung saat ini orientasi perusahaan terhadap pemasok sudah lebih ke

hubungan jangka panjang, mereka mau saling berbagi informasi, sudah melibatkan

perencanaan pemasok dalam perencanaan jangka panjang perusahaan dan perusahaan

sudah mau melibatkan pemasok dalam proses pengembangan desain dan produk, sehingga

dapat dilihat juga bahwa ketergantungan perusahaan terhadap pemasok juga cukup tinggi.

Model SCM saat ini sudah baik, hal ini bisa juga berkaitan dengan kondisi

para pelaku usaha busana muslim di kota Bandung yang berada pada industri kreatif

dengan segala cirinya. Kota Bandung sebagai kota yang berbasis industri tekstil dan fesyen

Page 32: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

32

sejak lama menjadikan hubungan antara produsen dan pemasok sudah terbina dengan

baiknya.

Untuk pengembangan SCM yang lebih baik dibutuhkan dukungan dari

pihak pemerintah agar hubungan dan kolaborasi ini menjadi semakin baik. Dukungan

pemerintah kota dengan menyediakan berbagai ajang fesyen misalnya, seperti yang selama

ini dilakukan untuk distribution store seperti ajang Kickfest. Ajang penyelengaraan banyak

kegiatan yang berhubungan dengan industri busana muslim di kota Bandung selain akan

menggerakkan roda penjualan dan perkembangan pada industri ini juga akan memperkuat

hubungan anatara pelaku usaha dan pemasoknya.

Dukungan pemerintah kota juga saat dibutuhkan dalam program

pembinaan. Saat ini penyediaan data yang mencukupi yang berhubungan dengan industri

ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Pemerintah kota dapat mulai dengan pemetaan

dari industri busana muslim yang ada saat ini, baik dari sisi produsen maupun dari sisi

pemasoknya.

5.3. Analisa Budaya Organisasi Perusahaan pada Industri Busana Muslim di Kota

Bandung

Budaya organisasi merupakan perwujudan dari nilai-nilai dasar yang

disepakati bersama di antara anggota organisasi dalam hubungan kerja untuk mencapai

tujuan organisasi. Menurut Robbins and Judge (2013) budaya organisasi yang kuat (strong

culture) memberikan dampak besar pada perilaku karyawan dan terkait langsung dengan

labor turnover.

Dalam suatu budaya yang kuat, nilai - nilai inti (core values) organisasi

akan menjadi acuan yang intensif serta dianut secara bersama - sama. Semakin banyak

anggota organisasi yang menerima nilai - nilai inti (core values) maka semakin kuat

eksistensi budaya tersebut. Dengan kata lain, budaya yang kuat (strong culture) mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap perilaku anggota–anggotanya karena tingginya tingkat

kebersamaan dan intensitas akan menciptakan iklim internal yang kondusif. Maka dari itu

penting bagi organisasi untuk selalu mengetahui jenis budaya organisasi apa yang paling

dominan, faktor kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan, dan kekurangan apa yang perlu

Page 33: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

33

diperbaiki sehingga mereka dapat menentukan bagaimana arah perubahan yang perlu

dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi kekurangan yang dimilikinya.

Budaya organisasi yang kuat dan sesuai dengan tuntutan bisnis, seringkali

menjadi ujung tombak keberhasilan suatu organisasi. Kuatnya budaya suatu organisasi

dengan ciri-ciri umum seperti kuatnya nilai yang dianut sehingga selalu manjadi pedoman

umum yang diyakini dan diterima oleh para pegawai, diangap sebagai kekuatan yang

terpenting dan membuat semua pihak terkait kepada nilai-nilai tersebut. Itulah mengapa

pemetaan budaya organisasi yang dianut menjadi penting dan berharga bagi suatu

organisasi.

Pentingnya budaya menuntut organisasi untuk secara terus menerus

melakukan penelitian atas budaya kerjanya untuk memastikan warna budaya seperti apa

yang sedang berkembang pada suatu waktu tertentu. Pemahaman mengenai budaya kerja

ini akan memberikan gambaran sejauh mana budaya yang sedang berkembang ini

memberikan dampak positif atau negatif terhadap pencapaian cita-cita perusahaan.

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan memetakan persepsi karyawan terhadap

budaya organisasi yang dijalankan serta budaya yang diharapkan (expected) di

lingkungan perusahaan

2. Melakukan penelitian Hubungan antara 6 Dimensi Budaya

Organisasi (Karakteristik Organisasi Dominan; Kepemimpinan Organisasi;

Pengelolaan Karyawan; Perekat Organisasi; Pengutamaan Stratejik; Kriteria

Keberhasilan) dengan profil budaya (Clan, Adhocracy, Market, Hierarchy)

3. Mengetahui bagaimana kesiapan karyawan untuk menjadi

lebih inovatif agar mampu bersaing di industry produsen baju muslim

Budaya organisasi merupakan keunikan yang dimiliki oleh setiap

perusahaan yang dapat membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan sejenis

lainnya. Budaya organisasi merupakan ciri khas dari suatu organisasi yang mencakup

sekumpulan nilai, tindakan dan norma yang membantu menuntun karyawan dan organisasi

untuk mengetahui perilaku apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan yang

berhubungan dengan tujuan perusahaan. Selain itu budaya organisasi juga merupakan suatu

Page 34: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

34

nilai tambah secara kasat mata yang dapat mempengaruhi pola berpikir, persepsi dan

perilaku manusia yang bekerja di dalam perusahaan.

Hasil dari survey OCAI ini dapat dibagi dalam 6 (enam) dimensi yang

kemudian dapat dirata-ratakan menjadi budaya organisasi secara keseluruhan. Dimensi-

dimensi tersebut adalah sKarakteristik, Organisasi yang Dominan, Kepemimpinan dalam

Organisasi, Pengelolaan Karyawan, Perekat Organisasi, Penekanan Strategis dan Kriteria

Kesuksesan.

Dalam melakukan pengumpulan data, penelitian ini menggunakan satu

kuesioner yaitu kuesioner OCAI (Organizational Culture Assesment Instrument).

Kuesioner tersebut yang akan mendeteksi enam dimensi dalam budaya organisasi

(Cameron dan Quinn,2011). Keenam dimensi tersebut adalah:

1. Karakteristik Organisasi yang Dominan (Dominant Organizational Characteristic)

2. Kepemimpinan Organisasi (Organization Leadership)

3. Pengelolaan Karyawan (Management of Employees)

4. Perekat Organisasi (Organization Glue)

5. Penekanan Stratejik (Strategic Emphases)

6. Kriteria Keberhasilan (Criteria of Success)

Biru: kondisi hari ini Orange: harapan

Tabel 5.1. Hasil Pengolahan OCAI Budaya Oraganisasi Industri Busana

Muslim di Bandung

Page 35: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

35

Hasil dari kuesioner OCAI dapat memberikan dua informasi, yaitu (1) persepsi

karyawan tentang praktek budaya yang saat ini ada di perusahaan; (2) harapan

budaya di masa depan menurut karyawan, jika dikaitkan dengan pemahaman

mengenai tujuan perusahaan serta tantangan bagi industrinya.

a. Persepsi tentang Budaya Saat ini

Untuk penelitian yang dilakukan ini didapatkan hasil budaya

keseluruhan seperti gambar di atas, dimana untuk seluruh dimensi yang diteliti

dalam budaya organisasi menurut Competing Values Framework, clan adalah

budaya dengan skor yang tertinggi, artinya kekeluargaan adalah values yang

menjadi „daya tarik‟ yang diberikan oleh pemilik dalam menjalankan fungsi

manajemen di perusahaan. Sistem merekrut karyawan, pendekatan dalam

memotivasi karyawan, cara untuk mempertahankan karyawan dan pendekatan

dalam berkomunikasi dilakukan dengan sangat personal sehingga perhatian dan

keperdulian pun dapat dirasakan oleh karyawan. Budaya ini dapat mendukung

suksesnya perusahaan pada skala kecil-menengah karena karyawan menunjukkan

loyalitas dan rasa memiliki perusahaan tersebut.

Tetapi sebaliknya, ketika lingkungan menuntut perusahaan untuk

berubah dengan cepat agar mampu bersaing dan bertahan, budaya clan akan

menghambat proses perubahan karena karyawan sudah berada pada zona nyaman

dan tidak ingin ada gangguan dalam proses kerja yang cenderung fleksibel.

Budaya organisasi kedua dan ketiga, memiliki skor yang hampir

sama yaitu market dan adokrasi. Artinya, karyawan sulit untuk membedakan

mana yang lebih prioritas, apakah mengejar target kerja harian ataukah bekerja

untuk lebih kreatif. Upaya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan melalui inovasi

dan kreatifitas produk sudah disadari dan mulai dilakukan tetapi waktu dan upaya

yang diberikan masih minim, belum dianggap sebagai prioritas sebagai

keunggulan untuk bersaing. Pertumbuhan perusahaan yang masih belum terlalu

baik dan pengendalian yang masih terpusat pada pemilik akhirnya memaksa

pencapaian target order adalah hal yang penting, dibandingkan dengan mendorong

karyawan untuk bisa kreatif dan inovatif.

Page 36: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

36

Hirarki merupakan profil budaya dengan skor paling rendah, karena

pada umumnya, perusahaan dengan budaya clan tidak memiliki banyak aturan

main yang harus dipatuhi, komunikasi dan koordinasi kerja tidak dilakukan

dengan terstruktur, lebih banyak secara tidak tertulis sehingga para responden

tidak merasa terkekang oleh aturan yang ada.

b. Harapan Karyawan untuk Budaya di Masa Depan

Karyawan merasa nyaman dengan budaya clan yang saat ini

tumbuh dan berkembang di perusahaan sehingga mereka berharap budaya

kekeluargaan ini tetap dipertahankan. Inovasi dan kreatifitas disadari sebagai hal

yang penting dan ingin dapat mereka lakukan sehingga data menunjukkan adanya

peningkatan skor adokrasi pada bagian ini. Karyawan juga menginginkan adanya

peraturan tertulis, dokumentasi yang lebih baik, komunikasi yang lebih

berjenjang, dan adanya SOP dalam cara kerja.

c. Budaya Ideal untuk Terciptanya Kreatifitas dan Inovasi

Jika kita ingin mengaitkan budaya organisasi yang ideal untuk

peningkatan kreatifitas dan inovasi maka budaya adokrasi dan market adalah

profil budaya utama yang dibutuhkan, karena adokrasi memberikan kebebasan,

fleksibilitas dan situasi yang memang mendorong karyawan untuk meningkatkan

kreatifitasnya, sedangkan budaya market berperan sebagai kerangka untuk adanya

kreatifitas, inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan tuntutan pasar.

Tetapi batasan mengenai sejauh mana kebebasan tersebut diberikan tentu saja

perlu diatur agar tidak miskelola sehingga budaya hirarki yang akan menjadi

mekanisme pengendalian dalam hal ini. Budaya clan tidak diperlukan terlalu

tinggi, tetapi dibutuhkan untuk praktek pengelolaan karyawan.

Page 37: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

37

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Analisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota Bandung saat

ini menghasilkan model SCM sudah memperhatikan hubungan jangka

panjang dengan pemasok, mulai melibatkan pemasok dalam proses desain

serta pengembangan produk, serta mulai mempertimbangkan kadar

ketergantungannya. Pada skala usaha usaha yang berbeda, terlihat bahwa

perusahaan dengan skala usaha kecil lebih memepertimbangkan untuk

melibatkan pemasok dalam proses desain serta mengurangi

ketergantungannya kepada pemasok. Pada skala usaha mikro perusahaan

masih menekankan pada tingkat pengembalian produk yang rusak serta

sangat tergantung pada ketersediaan produk dari pemasok.

2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana

Muslim di Kota Bandung membutuhkan dukungan dari pemerintahan kota

Bandung, baik dengan pembinaan pada usaha ini ataupun dengan

penyelenggaraan kegiatan-kegiatan berupa pameran ataupun kegiatan

fesyen show.

3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari sisi budaya

organisasi dapat dilihat dari analisa yang menunjukkan bahwa hasil budaya

nya budaya clan yang saat ini tumbuh dan berkembang di perusahaan,

dimana mereka berharap budaya kekeluargaan ini tetap dipertahankan.

Inovasi dan kreatifitas disadari harus ditingkatkan. Perlu juga adanya

peraturan tertulis, dokumentasi yang lebih baik, komunikasi yang lebih

berjenjang, dan adanya SOP dalam cara kerja.

6.2. SARAN

1. Untuk memperkuat daya saing perusahaan perlu dukungan dari pihak

pemerintahan kota, agar juga dapat mewujudkan harapan pemerintahan

Page 38: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

38

kota untuk menjadi pusat industry busana muslim di Indonesia bahkan

dunia.

2. Perlu dukungan untuk perusahaan berkembang dan lebih fleksibel

terhadap perubahan, peran aktif pemerintah kota dalam membentuk

komunitas industry kreatif di Kota Bandung sangat diperlukan.

Page 39: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

39

DAFTAR PUSTAKA

Anni-Kaisa, Kahkonen, Katrina, Lintukangas, Jukka, Hallikas. (2015). Buyer's

Dependence in Value Creating Supplier Relationships. Supply Chain

Management : An International Journal, Vol. 20 Issue; 2, pp. 151-162.

Chang, C. Y. (2014). "Visualizing brand personality and personal branding : case

analysis on Starbucks and Nike's brand value co-creation on Instagram.

Master of Arts thesis , 1-83.

Instagram. (2016). Instagram. Retrieved from Instagram:

https://www.instagram.com/about/faq/

Çukul, D. (2015, June 21). Fashion Marketing in Social Media: Using Instagram

For Fashion Branding. Business & Management Conference , 116-129.

Forsstrom, B., (2005). Value Co-creation in Industrial Buyer-seller partnerships -

creating and exploiting interdependencies: an empirical case study. Doctoral

Dissertation, Abo Akademi University Press, Abo.

The Jakarta Post. (2015, March 10). News: The Jakarta Post. Retrieved January 6,

2016, from Thejakartapost.com:

http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/10/internet-users-indonesia-

reach-73-million.html

Hellberg, M. (2015, July 31). Visual Brand Communication on Instagram: A

study on consumer engagement. Visual Brand Communication on Instagram:

A study on consumer engagement . Helsinki: Hanken School of Economics.

Ha, H. Y., & Janda, S. (2014). The effect of customized information on online

purchase intentions. Internet Research , 496-519.

Limbu, Y. B., Wolf, M., & Lunsford, D. (2012). Perceived ethics of online

retailers and consumer behavioral intentions: The mediating roles of trust and

attitude. Journal of Research in Interactive Marketing , 133-154.

Kotler, P., & Armstrong, G. (2012). Principles Of Marketing (14th ed.). England:

Pearson.

Barat, P. P. (2015, November 03). Bandung Kiblat Busana Muslim. Retrieved

December 15, 2016, from Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat:

http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/14696/2015/11/03/Bandung-

Kiblat-Busana-Muslim

Merdeka. (2016, June 23). Industri busana muslim sumbang pertumbuhan

terbesar ekonomi kreatif. Retrieved December 15, 2016, from Merdeka.com:

https://www.merdeka.com/uang/industri-busana-muslim-sumbang-

pertumbuhan-terbesar-ekonomi-kreatif.html

Heizer, J., & Render, B. (2011). Managing the Supply Chain. In J. Heizer, & B.

Render, Operations Management (pp. 452-473). New Jersey: Pearson.

Euratex. (2012, Maret 10). Position of the European textiles and clothing industry

and its applied research community on support for SME Research &

Innovation under HORIZON 2020. Retrieved November 10, 2016, from

euratex: www.euratex.eu/uploads/media

Ulgen, V., & Forslund, H. (2015). Logistics performance management in textiles

supply chains: best-practice and barriers. International Journal of

Productivity and Performance Management , 52-75.

Page 40: ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN …

40

Sarkis, J., 1999. How Green is the Supply Chain? Practice and Research,

Worcester, MA: Graduate School of Management, Clark University.

Wang, H.-F. & Gupta, S. M., 2011. Green Supllhain Management : Product Life

Cycle Approach. Chicago: McGraw-Hill.