analisis dan pemetaan model supply chain …
TRANSCRIPT
(Hibah Penelitian Monodisiplin)
Perjanjian No :III/LPPM/2017-01/13-P
ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) DAN BUDAYA
ORGANISASI PADA INDUSTRI BUSANA MUSLIM DI BANDUNG
Disusun Oleh:
Ria Satyarini, S.E., M.Si. L. Retno Adriani, Dra. M.Si Katlea Fitriani, S.T., M.S.M. Angela Teresia, S.IP., M.M.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan
(2017)
2
DAFTAR ISI
RINGKASAN PENELITIAN
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 4
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................ 4
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.3 Urgensi Penelitian ........................................................................ 6
1.4 Capaian Penelitian ........................................................................ 7
1.5 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9
2.1 Definisi Supply Chain Management ............................................ 9
2.2 Model Supply Chain Management ............................................... 10
2.3 Budaya Organisasi ....................................................................... 11
2.4 The Competing Value Framework (CVF) .................................... 12
2.5 Organizational Culture Assesment Instrument ............................ 12
2.6 Tipe Budaya Organisasi ............................................................... 13
2.7 Kesenjangan Budaya .................................................................... 16
2.8 Studi Pendahuluan dan Hasil yang sudah dicapai ........................ 16
2.9 Roadmap Penelitian ..................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN........................................................... 19
3.1 Metode dan Jenis Penelitian ......................................................... 19
BAB IV JADWAL PELAKSANAAN .................................................... 20
BAB V PEMBAHASAN .................................................................... ..... 21
5.1. Analisa SCM Industri Busana Muslim di Kota Bandung Saat Ini 21
5.1.1 Analisa Keseluruuhan ........................................................ 22
5.1.2 Analisa Berdasarkan Skala Usaha ...................................... 26
5.2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana Muslim
di Kota Bandung ...................................................................................... 31
5.3. Analisa Budaya Organisasi Perusahaan pada Industri Busana Muslim di Kota
Bandung ................................................................................................... 33
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... ........ 37
6.1. Kesimpulan ................................................................................. 37
6.2. Saran ............................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 39
3
ABSTRAK
Usaha baju muslim di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat
pesat dan sudah „dilirik‟ negara-negara tetangga, salah satunya karena model yang
fashionable, harga yang bersaing dan kualitas bahan yang cukup baik sehingga
peluang bagi para pengusaha baju muslim di Indonesia untuk merambah ke pasar
dunia terbuka dengan cukup lebar, dan bisa dimulai dari menjual produk ke
negara-negara yang tergabung di Masyarakat Ekonomi ASEAN. Tetapi di sisi
lain, kesempatan para pengusaha baju muslim untuk menembus pasar dunia
dihadapkan pada tantangan lain, yaitu kesiapan perusahaan, manajemen, dan
karyawan untuk mampu inovatif, kreatif, dan berorientasi pada kebutuhan pasar.
Budaya organisasi merupakan faktor penting yang dapat membentuk sikap,
perilaku karyawan dan pada akhirnya berpengaruh pada pencapaian tujuan suatu
perusahaan. SCM yang dilakukan pun tidak sama, sehingga pembuatan model
yang tepat bagi industri baju muslim ini menjadi penting.
Penelitian ini bertujua untuk menganalisa model Supply Chain
Management pada industry busana muslim di Bandung. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk menganalisa kesiapan produsen muslim di Indonesia dari sisi
budaya organisasi untuk mampu menembus pasar dunia. Diharapkan hasil dari
penelitian ini juga bisa digunakan pemerintah untuk mengatur kebijakan mengenai
industry busana muslim di Bandung.
Metode penelitian yang akan digunakan berupa metode wawancara, survey
dan juga kuesioner bagi para pemilik usaha pakaian muslim di Bandung. Dimana
disetiap titik pusat usaha pakaian muslim di Bandung akan diambil sampelnya.
Penelitian akan dimulai dengan menetapkan lokasi untuk industri ini, melakukan
penelitian pendahuluan, lalu kemudian dilakukan pemilihan sampel serta
pengambilan data, sehingga pada akhirnya dpat diambil kesimpulan dan
pemodelan dari SCM dan budaya organisasi pada industri pakaian muslim ini.
Kata Kunci : Supply Chain Management, Budaya Organanisasi, Fashion,
Industri Busana muslim
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang
harus dipenuhi selain pangan dan papan. Akan tetapi dengan kemajuan teknologi
dan berkembangnya zaman, sekarang pakaian mempunyai kegunaan sebagai suatu
tren ataupun fashion yang terus berkembang sebagai sarana untuk memperlihatkan
eksistensi dan identitas seseorang di masyarakat. Demikian juga terjadi pada
pakaian yang bernuansa islami atau sering disebut busana muslim. Busana muslim
yang mempunyai fungsi utama sebagai alat penutup aurat bagi yang beragama
islam telah bertransformasi dari yang semula bergaya konservatif menjadi lebih
kontemporer tanpa melupakan fungsi utamanya sebagai penutup aurat.
Fashion busana muslim saat ini berkembang sangat cepat
mengikuti gaya hidup konsumen yang makin berkembang. Salah satu hal yang
mendasari perubahan itu adalah adanya banyak komunitas hijabers (wanita –
wanita yang menggunakan hijab) yang gencar bereksperimen dengan penampilan
mereka dan didukung dengan kemudahan teknologi saat ini. Para anggota hijabers
tersebut sering berkreasi dengan model busana mereka dan menyebarkannya
melalui dunia maya, sehingg dengan mudah tren pakaian mereka bisa dilihat dan
diikuti.
Komunitas yang tumbuh dengan cukup pesat adalah hijabers atau
komunitas pengguna baju muslim, seperti Hijabers Community Indonesia,
Bandung Hijabers Community, Hijabers Surabaya, Solo Hijabers, Hijabers
Palembang, Hijabers Aceh, Hijabers Padang, Hijabers Yogyakarta, Hijabers
Gresik, dan lain sebagainya. Komunitas hijabers tersebut mampu merubah
anggapan bahwa hijab/baju muslim tidak cocok digunakan oleh wanita remaja
karena membuat wanita menjadi tidak dapat mengikuti model fashion terbaru
karena saat ini baju muslim sudah dibuat dengan desain kontemporer yang sangat
trendy.
Indonesia memiliki 14 sub-sektor dalam industri kreatif;
periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion , video (film,
5
fotografi), permainan interaktif (game), musik, seni pertunjukkan (showbiz),
penerbitan, layanan komputer dan piranti lunak (software), televisi & radio, R&D
(Riset dan pengembangan). Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)
bersama sejumlah kementerian tengah mendorong percepatan pengembangan
industri busana muslim di Indonesia. Sebab, selain kuliner, industri busana
muslim menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan dari ekonomi kreatif
(Merdeka, 2016).
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memperkirakan nilai
perdagangan busana muslim Indonesia mencapai USD7,18 miliar. Dari angka
tersebut, Bandung menjadi daerah dengan kontribusi paling besar (Barat, 2015).
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah membuat blue print yang berisi
perencanaan agar Bandung menjadi pusat bisnis busana muslim. Sekitar 20%
perdagangan busana muslim berasal dari Bandung. (Barat, 2015)
Karena semakin berkembangnya industri busana muslim di
bandung, Pemerintahpun mempunyai rencana untuk meningkatkan produksi
busana muslim agar memenuhi permintaan konsumen. Akan tetapi, Industri
busana muslim di Bandung saat ini menghadapi beberapa kendala yang akan
berpengaruh untuk menaikan produksi, antara lain masalah bahan baku, proses
produksi dan juga standarnya. Saat ini, bahan baku untuk pembuatan busana
muslim masih banyak impor. 50% bahan baku untuk busana muslim dan 90%
aksesoris penunjang masih mengimpor. Jika pemerintah ingin menaikan produksi,
maka permasalahan bahan baku ini akan sangat penting.
Oleh karena itu, ada banyak pelaku industri kreatif busana muslim
di Jawa Barat yang senantiasa meningkatkan sistem produksi dan pendistribusian
produk agar bisa memenuhi permintaan konsumen. Para pelaku harus bisa
mengidentifikasikan permintaan, menerjemahkan dalam bentuk busana muslim
yang berkualitas, mendistribusikan ke konsumen dan menetapkan harga yang
memuaskan konsumen. Setiap pelaku dalam rantai pasok (supply chain) industry
busana muslim harus mememahami peran agar bias terus bertahan dan
berkembang. Semakin banyak kompetitor di industri busana muslim, akan
membuat konsumen makin selektif dalam memilih produk busana muslim. Untuk
6
pemilihan model SCM akan menjadi sangat penting untuk perkembangan industry
busana muslim ke depannya.
Selain itu, Masalah Sumber daya manusia dari sisi inovasi dari
produsen pun menjadi kendala yang nantinya mampu menghambat industry
busana muslim ini. Kendala sumber daya manusia disini bukan berarti tidak
banyak orang yang berpotensi dan kreatif dalam industry fashion busana muslim,
namun masih banyaknya produsen dalam industry ini yang hanya sekedar hobi
atau ikut – ikutan (Barat, 2015). Untuk itu analisa kesiapan pengusahan baju
muslim di Indonesia dari sisi budaya organisasi agar mampu berinovasi untuk
mampu menembus pasar dunia seperti yang dimimpikan oleh Asosiasi Perancang
Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
yang menjadi dasar bagi para pengusaha baju muslim di Bandung untuk
mendesain budaya organisasi yang menjadi dasar dalam pengelolaan karyawan
mereka serta membuat roadmap perubahan budaya organisasi, demi pencapaian
target fashion muslim Indonesia menembus pasar dunia.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini dilakukan adalah:
1. Menganalisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota Bandung saat
ini.
2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana
Muslim di Kota Bandung
3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari sisi budaya
organisasi.
1.3 Urgensi Penelitian
Data dari kementrian perdagangan dan industri menyatakan bahwa
subsektor dari industri kreatif yang memberikan PDB terbesar terdapat pada dua
sektor, yaitu sektor fashion dan kuliner. Saat ini pemerintah melakukan koordinasi
7
dengan 8 kementrian agar dapat mengembangkan industri baju muslim di
Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah yang sedang
mencari cara yang paling tepat dalam mengembangkan industri pakaian muslim
dengan mengambil Bandung terlebih dahulu. Dimana bantuan tersebut didapat
dengan membuat model SCM bagi industri pakaian muslim serta pemahaman
budaya organisasi yang sebaiknya didesain sesuai dengan target untuk menembus
pasar dunia.
1.4 Capaian Penelitian
Adapun capaian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Keluaran (output) Hasil
Riset
Keluaran Wajib :
a. Publikasi Ilmiah pada jurnal
Internasional : e-journal yang akan terbit
Februari 2018
Keluaran Tambahan :
a. Pertemuan Ilmiah tingkat Internasional
(Internationanl Conference) : The 3rd
Internasional Conference on Economic
and Banking (ICEB 2017)
Dampak (outcome) Hasil
Riset
1. Mamapu menganalisa model SCM dan
kendala – kendala yangterjadi pada industri
busana muslim saat ini.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah
Kota Bandung tentang model SCM yang
sesuai dengan kondisi industri busana muslim
di Bandung saat ini, sehingga pemerintah
dapat mengeluarkan kebijakan – kebijakan
yang akan membantu para pemain dalam
rantai pasok menjalankan SCM secara efisien.
8
1.5 Kerangka Pemikiran
ANALISIS DAN PEMETAAN MODEL SUPPLY
CHAIN MANAGEMENT (SCM) DAN BUDAYA
ORAGANISASI PADA INDUSTRI BUSANA MUSLIM
DI BANDUNG
PENELITIAN PENDAHULUAN
PEMILIHAN SAMPLE
PENGAMBILAN DATA
ANALISA DAN MODELING
KESIMPULAN
CAPAIAN
LOKASI
LUARAN
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Supply Chain Management
Sarkis (1999) mengatakan bahwa Supply Chain Management
(SCM) adalah suatu system yang terdiri dari in-bound logistics, system produksi,
system distribusi dan reverse logistics. Pustaka lain menyebutkan bahwa SCM
adalah suatu hubungan antara pemasok bahan baku, proses produksi, transportasi,
system distribusi termasuk di dalamnya maslah keuangan dan arus informasi dari
suatu produk (Wang & Gupta, 2011). Perencanaan dan pengontrolan system juga
dimasukkan dalan definisi SCM oleh Wang & Gupta (2011). Heizer & Render
(2011) menjelaskan bahwa SC merupakan integrasi yang mengatur bahan baku,
merubahnya menjadi barang setengah jadi, dan barang jadi (produk), dan
menyampaikan kepada konsumen. Jadi, aktifitas dalam SCM itu sendiri terdiri
dari : pemasok Bahan baku, produsen, distributor dan konsumen, seperti contoh
gambar 1 di bawah.
Sumber : (Heizer & Render, 2011)
Gambar 2.1. Rantai Pasok (Model SCM) untuk perusahan Beer)
10
Pada era Bisnis yang baru, Model Scm yang effektif adalah strategi
yang paling kompetitif. Kompetisi global antara manufaktur untuk mengatur value
chain dari pemasok dan konsumen merupakan titik penting dari model SCM yang
efektif. Untuk mendapatkan jumlah produksi yang cukup untuk memenuhi
permintaan konsumen dengan kualitas yang bagus, hubungan antara produsen dan
pemasok menjadi highlight dari proses ini. (Choy et al. , 2003).
3.2 Model Supply Chain Management
Industri tekstile dapat dibagi menjadi 3 pasar, yaitu :
a. Clothing and Fashion
b. Home and Interior decoration
c. Technical uses including transport, construction,
healthcare and furniture (Euratex, 2012)
Untuk itu Ulgen & Forslund (2015) membagi model SCM untuk
industry tekstil menjadi 2 kategori, yaitu Global SCM dan Local SCM. Global
SCM (gambar 2) merupakan model SCM dimana produsen tekstil berintegrasi
secara vertikal dan proses produksinya termasuk di dalamnya pemintalan benang,
cetak motif, dyeing, dan konfeksi. Global SCM ini memproduksi sendiri
produknya dan menjualnya melalui reseller di bawah brand produsen. Global
SCM ini punya kendali sentral yang menjadi head office di satu wilayah dan
punya cabang local dibeberapa tempat. Untuk Head office bertugas untuk
mengatur proses produksi, permintaan total tiap cabang dan segala keputusan
yang sifatnya sentral. Sedangkan cabang lokal bertugas berhubungan dengan head
office dan para retailer, seperti gambar berikut :
Sumber : (Ulgen & Forslund, 2015)
Gambar 2.2. Framework dari Global Supply Chain
11
Sedangkan Local SCM, menurut Ulgen & Forslund (2015), proses
produksinya terdiri dari konveksi saja. Hanya punya 1 kantor saja yang digunakan
untuk mengatur baik stratei dan operasional pabrik. Produk akan dijual oleh
produsen langsung ataupun ke reseller lain. Dalam prakteknya, model ini sama
dengan jenis Usaha Kecil Menengah (UKM). UKM sendiri punya 2 model SCM,
yaitu UKM yang memproduksi sendiri produknya lalu menjualnya lewat took
sendiri, atau yang menggunakan jasa konveksi untuk produksi barang. Alur dari
Local SCM dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : (Ulgen & Forslund, 2015)
Gambar 2.3. Framework dari Local Supply Chain
2.3 Budaya Organisasi
George and Russel (2012:502) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai serangkaian nilai-nilai, keyakinan dan norma yang mempengaruhi cara
karyawan berpikir, merasa dan berperilaku satu dengan yang lain dan dengan
orang lain di luar organisasi. Robbins (1996:289) mendefinisikan budaya
organisasi dengan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota
yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi lain. Tika (2006:4-
5) menjelaskan beberapa pengertian budaya organisasi, yaitu :
1. Druicker dalam buku Organizational Behavior in Education
mendefinisikan budaya organisasi adalah pokok penyelesaian
masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya
dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian
mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat
untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-
masalah terkait seperti di atas.
12
2. Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture
dalam majalah Asian Manager (September 1989) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai seperangkat asumsi dasar dan keyakinan
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian
dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah
adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah hal yang sangat mendasar dalam suatu organisasi karena budaya
akan mempengaruhi cara bersikap, berperilaku, penyelesaian masalah dan
berkomunikasi secara internal maupun eksternal.
2.4. The Competing Value Framework (CVF)
Cameron & Quinn mengembangkan The Competing Value
Framework (CVF) sebagai kerangka berpikir untuk menentukan profil budaya
organisasi, berdasarkan dua dimensi, dimana dimensi tersebut merupakan suatu
dikotomi, seperti:
1. Efektivitas yang berpusat pada fleksibilitas-keleluasaan dan
stabilitas-kontrol
2. Efektivitas yang berpusat pada orientasi lingkungan internal
organisasi-integrasi dan berpusat pada orientasi lingkungan
eksternal organisasi-diferensiasi- persaingan
2.5. Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)
Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI) merupakan
salah satu instrumen yang sudah digunakan secara meluas di berbagai negara,
untuk mengidentifikasi budaya organisasi dan untuk memprediksi kinerja
organisasi di masa depan,.
OCAI mengidentifikasi budaya organisasi dengan menilai enam
dimensi utama budaya organisasi, yaitu: (1) Karasteristik Dominan, (2)
Kepemimpinan Organisasi, (3) Manajemen Karyawan, (4) Perekat Organisasi, (5)
Penekanan Strategi, dan (6) Kriteria sukses. OCAI juga digunakan untuk
membantu mengidentifikasi hal-hal yang menurut anggota organisasi perlu
13
dikembangkan oleh organisasi untuk menghadapi tantangan dan persaingan di
masa mendatang.
Instrumen OCAI disajikan dalam bentuk kuesioner yang menggali
enam dimensi dan setiap dimensi memiliki empat pernyataan. Setiap responden
diminta untuk mendistribusikan dari total 100 poin ke dalam setiap pernyataan.
Penilaian tertinggi diberikan kepada pernyataan yang dirasa paling mendekati
keadaan organisasi tempatnya berada. Instrumen ini memiliki dua buah kolom
penilaian, yaitu „Sekarang‟ dan „Harapan‟. Penilaian yang diberikan pada kolom
„Sekarang‟ menyatakan penilaian terhadap keadaan organisasi saat ini, dan
penilaian yang diberikan pada kolom „Harapan‟ menyatakan keadaan organisasi
yang diharapkan lima tahun mendatang untuk mencapai keberhasilan.
Berdasarkan hasil penilaian, skor yang didistribusikan ke dalam pernyataan-
pernyataan tersebut akan membentuk sebuah pola sehingga didapatkan suatu
profil budaya organisasi. Masing-masing pernyataan mewakili 1 tipe budaya dan
masing-masing tipe budaya memiliki karakteristik tersendiri. Tujuan penyusunan
profil budaya organisasi adalah untuk mengetahui tingkat dominasi dari setiap tipe
budaya di dalam suatu organisasi.
2.6. Tipe Budaya Organisasi
Berdasarkan The Competing Values Framework, keenam dimensi
utama budaya organisasi akan dituangkan ke dalam sebuah peta budaya yang akan
memberikan gambaran profil budaya organisasi tersebut secara keseluruhan. Peta
budaya tersebut terdiri dari empat kuadran yang mewakili empat tipe budaya
sebagai berikut:
1. The Hierarchy Culture: Berpusat pada pentingnya formalitas serta struktur
yang baik dan rapih dalam organisasi. Seluruh aktivitas di dalam
organisasi diatur secara baku dan sistematis. Kepatuhan terhadap prosedur
menjadi sangat penting untuk memastikan seluruh aktivitas yang ada di
dalam organisasi berjalan sesuai dengan rencana. Gaya kepemimpinan
yang dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai koordinator dan
pengelola yang kuat sekaligus ketat. Organisasi dianggap berjalan efektif
apabila seluruh aktivitasnya dilaksanakan dan selesai pada waktu yang
14
terlah ditentukan. Aturan dan kebijakan yang baku merupakan hal yang
menjaga kesatuan organisasi.
2. The Market Culture Berpusat pada aktivitas kompetisi yang ketat dan
tinggi. Bagi organisasi dengan market culture, lingkungan eksternal
dianggap lebih penting dibandingkan dengan lingkungan internal. Unggul
dari kompetitor dan menjadi market leader adalah tujuan organisasi
dengan market culture. Situasi persaingan yang ketat dan tinggi bukan
hanya terjadi di pasar saja, melainkan juga antaranggota organisasi dimana
setiap karyawan berlomba-lomba untuk memiliki produktivitas yang tinggi
dan unggul dibandingkan karyawan lainnya. Gaya kepemimpinan yang
dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai kompetitor yang
tangguh. Organisasi dianggap efektif apabila dapat "menaklukkan"
pesaing dan mencapai target. Pedoman yang digunakan hanya satu, yaitu
prinsip persaingan dalam meraih produktivitas.
3. The Clan Culture: berpusat pada hubungan antaranggota organisasi dan
sistem. Lingkungan internal organisasi dikondisikan senyaman dan
semirip mungkin dengan keluarga. Komitmen, rasa kepercayaan satu sama
lain, dan tradisi amat dijunjung tinggi. Gaya kepemimpinan yang
dikembangkan adalah gaya kepemimpinan sebagai guru, mentor, bahkan
figur orang tua. Organisasi dianggap efektif apabila seluruh bagian internal
terintegrasi dengan baik dan seluruh anggota organisasi saling peduli dan
mendukung. Pedoman yang digunakan adalah kerjasama tim, partisipasi,
dan konsensus.
4. The Adhocracy Culture: merupakan tipe budaya yang cenderung bersifat
dinamis, dalam arti anggota organisasi tidak dibatasi oleh struktur. Setiap
anggota organisasi diberikan kebebasan untuk menggali dan menyalurkan
ide-ide kreatif dan inovatif. Selain itu, anggota organisasi dituntut untuk
cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal.
Gaya kepemimpinan yang dikembangkan adalah gaya kepemimpinan
sebagai inovator, wirausaha, dan pemimpin yang visioner. Organisasi
dianggap efektif apabila terdapat pertumbuhan, inovasi, dan pembaharuan
sumber daya secara terus menerus.
15
Sumber: Kim S. Cameron & Robert E. Quinn, Diagnosing and Changing
Organizational Culture : Based on The Competing Values Framework, John
Wiley & Sons, Inc., 2006, Revised ed., p.35.
Gambar 4. Ragam Tipe Budaya Organisasi dalam The Competing Values
Framework
Sumber: Kim S. Cameron & Robert E. Quinn (2006)
Gambar 4. Karakteristik Jenis-jenis Budaya Organisasi
2.7 Kesenjangan Budaya
Dalam menentukan kesenjangan budaya, dilakukan dua buah
pengukuran, yaitu budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi yang
diharapkan oleh seluruh anggota organisasi umunya dalam lima tahun mendatang.
16
Dari dua pengukuran tersebut akan diperoleh gambaran mengenai seberapa
signifikan kesenjangan antara budaya organisasi saat ini dan budaya organisasi
yang diharapkan oleh seluruh anggota organisasi dalam lima tahun mendatang.
Hal tersebut akan menentukan ada atau tidaknya perubahan yang dirasa perlu
untuk dilakukan di kemudian hari.
Signifikan atau tidaknya kesenjangan antara budaya organisasi saat
ini dan budaya organisasi yang diharapkan oleh seluruh anggota organisasi dalam
lima tahun mendatang ditentukan oleh besarnya selisih antara poin tipe budaya
saat ini dengan yang diharapkan. Selisih tersebut dianggap signifikan atau
mengindikasikan kebutuhan akan perubahan yang mendasar apabila skor
mencapai lebih besar sama dengan 10 poin antara skor budaya saat ini dengan
yang diharapkan.
2.8. Studi Pendahuluan dan Hasil yang sudah dicapai
Penelitian ini didasarkan pada ketertarikan peneliti pada industry
kreatif di kota Bandung. Ketertarikan akan industry kreatif dan sub sektornya ini
membuat peneliti dan tim sudah melakukan beberapa penelitian pendahuluan.
Penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah penelitian tentang:
1. Identifikasi Value Chain pada Bidang Fashion sebagai Bagian dari Industri
Kreatif Untuk Membuat Bandung Juara. Dimana hasil penelitian ini
menghasilkan value chain dari berbagai distribution store yang ada di kota
Bandung, dari hasil tersebut terlihat bahwa untuk memproduksi berbagai
produk fashion di distribution store perusahaan dapat memproduksinya
sendiri dari bahan baku kemudian diolah menjadi berbagai jenis produk
sendiri dipabriknya sendiri; atau perusahaan hanya membuat desain dan
memproduksinya diperusahaan subkontrak, atau perusahaan dapat hanya
menjualkan produk orang lain tetapi memakai merk sendiri. Setiap pilihan
tersebut tetap memberikan nilai bagi perusahaan.
2. Profil dan Perilaku Anak Muda dalam Membeli produk Fashion Distro Di
Bandung. (Anggadiredja, Adriani, Satyarini, 2016). Pembeli produk
fashion di Distro di Bandung kebanyakan adalah anak muda. Profilnya
berubah yang pada awalnya adalah anggota komunitas tertentu seperti
17
kelompok band, musik, sepeda BMX, skateboard, kini menjadi lebih
umum, yaitu pria dan wanita siswa SMP, SMA, mahasiswa, bahkan yang
sudah bekerja. Gaya hidupnya menggunakan internet, bukan anggota
komunitas, hobbynya olahraga futsal, basket, dan hangout bersama teman2
sekolah. Umumnya dari golongan menengah yang membeli secara
impulsif bersama teman2 produk2 kaos, kemeja, jaket, sepatu, tas, dan
sedikit produk lainnya, menyukai disain & model yang menarik. Namun
tidak masal dengan harga sekitar Rp.200.000 – Rp.300.000.
3. Analisis Clothing Industry dan Persaingannya di Bandung. Hasil penelitian
ini menunjukkan kriteria kemudahan para pemain baru diindustri clothing
untuk memasuki pasar, strategi yang dipakai saat ini oleh para pelaku
usaha dibidang clothing, serta key success factor pada industry ini.
Keberanian dalam mendesign brand dan pakaian, hubungan dengan
komunitas yang ada di kota Bandung, serta seringnya produk baru
diluncurkan merupakan beberapa key success factor yang didapat dari
penelitian.
2.9. Roadmap Penelitian
Gambar 5. Roadmap Penelitian
Dari road map diatas, penelitian yang sudah dilakukan adalah
identifikasi dan SWOT usaha mikro dan kecil, analisis key success factor pada
industry clothing di Bandung, value chain pada distro, serta perilaku konsumen
dalam membeli produk distro. Penelitian yang akan dilakukan adalah SCM dan
PENELITIAN PADA
INDUSTRI
KREATIF
Penelitian yang
Sudah
Dilakukan
Penelitian yang Akan Dilakukan
Perilaku
Konsumen
Industri
Kreatif
Identifikasi dan SWOT
Usaha Mikro dan Kecil
Value Chain pada bidang
fashion
Budaya
Organisasi
Model
SCM
18
budaya organisasi pada bidang fashion dengan objek yang berbeda. Penelitian
pada distribution store sudah dilakukan, maka proposal ini dibuat penelitian pada
SCM dan budaya pada industri busana muslim. Industry busana muslim ini
menyita banyak perhatian dari para pebisnis dan juga para peneliti. Pasar yang
cenderung naik dan membesar, menarik banyak pelaku usaha untuk membuka
jenis usaha yang sama. Industry dari busana muslim ini juga membuat pemerintah
memberikan perhatian agar dapat membuat industry ini berkembang dan
memberikan kontribusi baik terhadap PDRB maupun terhadap pertumbuhan
tenaga kerja serta kreativitas yang ada.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif untuk
memperoleh gambaran mengenai beberapa model SCM industry busana muslim
serta analisis budaya organisai di kota Bandung, data dikumpulkan dengan
metode:
Wawancara, wawancara dilakukan untuk mendapatkan data berupa SCM
serta budaya organisasi yang saat ini ada serta berkaitan dengan mencari
peran, peluang dan juga kendala yang dihadapi industri saat ini.
Selanjutnya data dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif yang akhirnya
dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dan juga dibentuk suatu
model SCM serta budaya organisasi yang paling efektif dengan kondisi
saat ini.
Survey, survey dilakukan untuk memperkuat data dari wawancara
sehubungan dengan SCM dan budaya organisasi.
Kuesioner, kuesioner akan dilakukan untuk memperkuat data yang ada
pada SCM dan budaya organisasi. Baik wawancara, survey maupun
kuesioner akan diberikan kepada pemilik perusahaaan pada industri
pakaian muslim di Bandung
Sedangkan sampel penelitian akan diambil dibeberapa pusat
penjualan baju muslim di Bandung, kemudian dari setiap tempat akan diambil
sampelnya. Pengambilan sampel berdasarkan judgement sampling, juga akan
dipilih para pengusaha baju muslim yang merupakan usaha kecil dan menengah
dengan beberapa variasi yang ada. Total sample ada 20 pemilik dan karyawan
industri busana muslim di Bandung.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini merupakan
applied research (penelitian terapan), karena penelitian ini diarahkan untuk
mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan sebuah
masalah.
20
BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
Adapun untuk jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian ini diuraikan
pada Tabel 1 berikut:
Tabel 4.1. Rincian Pelaksanaan Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Literature review
2
Diskusi untuk penyusunan
pertanyaan wawancara dan
Kuesioner
3 Pengumpulan Data : Observasi
4
Pengumpulan Data :
Wawancara dengan Pemain
dalam Rantai Pasok
5
Pengumpulan Data : Kuesioner
Budaya Organisasi
6
Analisa data : Identifikasi
model SCM saat ini
7
Analisa data : Identifikasi
Budaya Organisasi saat ini
8
Mengembangkan model SCM
Industri busana muslim
9 Membuat Jurnal
10 Journal Submission
11 Membuat Laporan
12 Membuat Laporan Keuangan
No Jenis Kegiatan2017
21
BAB V
PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka pembahasan penelitian akan
dibahas sebagai berikut:
1. Menganalisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota
Bandung saat ini.
2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi
Industri Busana Muslim di Kota Bandung
3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari
sisi budaya organisasi
5.1. Analisa SCM Industri Busana Muslim di Kota Bandung Saat Ini
Analisa SCM dilakukan dengan analisa deskriptif dengan cara
menghitung rata – rata jawaban responden pada setiap pernyataan di kuesioner, lalu
diinterpretasikan dalam setiap kategori seperti tabel di bawah. Untuk mengetahui batas
tiap kategori, dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Simamora, 2008) :
RS = (m – n)/b
Information :
RS = Interval (Skala)
m = Nilai Tertinggi
n = Nilai Terendah
b = Jumlah kategori
Berdasarkan rumus di atas, interval dari tiap kategori dapat diketahui sebagai
berikut :
RS = (5 – 1)/5 = 0,80
Setelah mengetahui interval untuk tiap kategori, maka batas atas-bawah tiap
kategori dapat ditentukan sebagai berikut :
22
Tabel 5.1.
Tabel Batas Atas-Bawah Tiap Kategori untuk Analisa Deskriptif
Nilai Rata - rata Kategori
1,00 ≤ x ≤ 1,80
1,80 < x ≤ 2,60
2,60 < x ≤ 3,40
3,40 < x ≤ 4,20
4,20 < x ≤ 5,00
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Netral
Setuju
Sangat Setuju
5.1.1 Analisa Keseluruhan
Hubungan antara perusahaan dan pemasok menjadi isu yang tak
akan habis untuk dibahas. Hubungan pemasok dan perusahaan bertujuan untuk
meningkatkan nilai dari rantai pasok, Menurut Fosstrom (2005), ada 3 nilai yang
bisa didapatkan dari kolaborasi pemasok dan perusahaan, antara lain :
a. Nilai dari suatu penawaran ( Monetary Value)
b. Nilai dari suatu hubungan (Intangible value)
c. Nilai yang tercipta dari suatu hubungan.
Menurut Anni-Kaisa Kahkonen dkk (2015), ada 4 hal yang
berhubungan dengan penciptaan nilai dalam hubungan pemasok dan perusahaan,
antara lain :
a. Orientasi Pemasok
b. Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan pengembangan produk
c. Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok
d. Pembelajaran dalam Perusahaan
Tabel 5.2. menunjukkan nilai rata – rata dan kategori pada poin
orientasi pemasok. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa Industri Busana
Muslim skala Mikro dan Kecil di Balubur Town Square (BALTOS) sangat setuju
(rata- rata 4.38) bahwa dalam Manajemen rantai pasok, perusahaan hendaknya
berorientasi ke pemasok. Definisi dari berorientasi kepada pemasok mengacu
pada aktivitas perusahaan untuk mengatur hubungan dengan pemasoknya untuk
menjapai tujuan, Selain itu, perusahaan yang bisa mengatur hubungan dengan
23
pemasok dengan baik bisa menjadi salah satu strategi untuk menaikkan daya
saing. Lebih lanjut, perusahaan yang berorientasi terhadap pemasok, maka
perusahaan dapat mengembangkan hubungan jangka panjang dengan
pemasoknya.
Berdasarkan tabel 5.2, responden sangat setuju (rata-rata 4.55),
Jika barang yang diterima perusahaan dari pemasok mengalami kerusakan,
perusahaan bisa mengembalikan dan meminta ganti barang baru, karena barang
rusak dari pemasok akan menjadi tambahan biaya produksi bagi perusahaan. Hal
itu tentu akan berefek langsung pada keuntungan yang diterima perusahaan.
Selain itu, perusahaan sangat concern tentang tujuan hubungan pembeli-pemasok,
hal itu terlihat pada table 5.2. bahwa nilai rata – rata untuk poin 3 masuk dalam
kategori sangat setuju (x = 4.4). Tujuan tipe kolaborasi dengan pemasok ini
sangat berpengaruh pada bagaimana perusahaan akan berbagi informasi, material
dan monetary value.
Tabel 5.2.
Orientasi Pemasok
No Orientasi Pemasok Rata -
Rata Kategori
1
Jika barang yang diterima perusahaan dari pemasok
mengalami kerusakan, perusahaan bisa
mengembalikan dan meminta ganti barang baru.
4.55 Sangat
Setuju
2 Kolaborasi dengan pemasok akan diukur berkala. 4.05 Setuju
3 Hubungan antara perusahaan dengan pemasok
mempunyai tujuan yang jelas 4.4
Sangat
Setuju
4 Kriteria pengukuran untuk kolaborasi perusahaan
dan pemasok disepakati bersama 4.5
Sangat
Setuju
Rata - rata Total 4.38 Sangat
Setuju
Dimensi kedua yang akan dijelaskan adalah tentang
ketergantungan perusahan terhadap pemasok. Definisi ketergantungan di sini lebih
24
menitikberatkan pada pertukaran informasi. Berdasarkan tabel 5.3, nilai rata – rata
dimensi ini tergolong kategori setuju (x = 4.03) artinya mereka sudah setuju
bahwa pada suatu waktu perusahaan harus bergantung pada pemasok, teurtama
mengenai perkiraan permintaan. Pertukaran informasi tentang perkiraan
permintaan pada pemasok mendapatkan rata – rata tertinggi diantara semua
indicator, yaitu 4.15. Perusahaan paham pentingnya pemasok tau tentang berapa
perkiraan permintaan agar pemasok dapat mengatur waktu untuk menyediakan
barang sehingga bisa selalu bisa memenuhi permintaan perusahan. Di sisi lain,
sebagian kecil perusahaan menganggap bahwa pemasok pasti selalu bisa
menyediakan permintaan dari perusahaan, sehingga tidak perlu adanya pertukaran
informasi tentang permintaan. Hal itu sejalan dengan pernyataan bahwa perusahan
dan pemasok harus bertukar informasi tentang tingkat persediaan. Permintaan dan
persediaan merupakan hal yang saling berhubungan, karena ketika informasi
tentang 2 hal itu dibagikan, maka akan mengurangi kemungkinan kurangnya
pemenuhan barang ataupun persediaan yang sia – sia.
Tabel 5.3.
Ketergantungan Perusahaan kepada pemasok
No Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok Rata -
Rata Kategori
1 Perusahaan anda melakukan pertukaran informasi
tentang tingkat persediaan kepada pemasok 4.05 Setuju
2 Perusahaan anda melakukan pertukaran informasi
tentang perkiraan permintaan kepada pemasok 4.15 Setuju
3 Kolaborasi dengan pemasok tidak mengikat sumber
daya perusahaan 3.9 Setuju
Rata - rata Total 4.03 Setuju
Dimensi ketiga adalah tentang keikutsertaan pemasok dalam proses
desain dan pengembangan produk. Keikutsertaan supplier pada proses desain dan
pengembangan produk merupakan tanda bahwa hubungan antara pemasok dan
perusahaan sifatnya jangka panjang. Keikutsertaan pemasok dalam proses desain
dan pengembangan produk dilihat sebagai suatu mekanisme pemasok untuk ikut
25
dalam proses awal suatu produk didesain dan dikembangkan.
Tabel 5.4. menunjukan bahwa responden setuju tentang prinsip
keikutsertaan pemasok pada proses desain dan pengembangan produk (x = 4.03).
Nilai rata – rata anatara 2 pernyataan yang membangun dimensi ini tidak jauh
berbeda. Keterlibatan pemasok pada proses pengembangan produk mempercepat
waktu peluncuran produk baru memperoleh nilai rata – rata tertinggi yaitu 4.05.
Perusahaan sadar bahwa keterlibatan pemasok akan mempercepat waktu
peluncuran produk karena pemasok bisa memberikan saran tentang bahan baku
apa saja yang mudah didapatkan, harga dan ketersediaan bahan bakunya. Selain
membantu mempercepat dari sisi pemberian informasi, pemasok juga mendukung
perusahaan dalam proses pengembangan dengan memantu penyediaan bahan
baku.
Akan tetapi, sebagian kecil responden masih merasa bahwa hal ini
tidak perlu dilakukan. Hal itu mungkin diakibatkan banyak perusahaan khawatir
kalau pemasok yang mengetahui proses desain dan pengembangan produk akan
membocorkan ide yang mereka punya kepada competitor. Untuk itu, hubungan
jangka panjang antara perusahaan dan pemasok menjadi hal yang sangat penting
disini.
Tabel 5.4.
Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan pengembangan produk
No Keikutsertaan Supplier pada proses desain dan
pengembangan produk
Rata -
Rata Kategori
1 Pemasok mendukung perusahaan dalam
pengembangan produk 4.05 Setuju
2
Keterlibatann pemasok pada proses pengembangan
produk mempercepat waktu peluncuran produk
baru
4 Setuju
Rata - rata Total 4.03 Setuju
Dimensi terakhir yang dilihat dari hubungan pemasok dan
perusahaan adalah pembelajaran dalam perusahaan terkait tentang hubungan
26
dengan pemasok. Berdasarkan table 4, perusahaan setuju untuk melakukan
pembelajaran terkait hubungan dengan pemasok ke depannya (x = 4,13). Nilai
rata – rata tertinggi adalah ketika hubungan perusahan dan pemasok berkelanjutan
(x = 4.2), artinya perusahaan sangat berharap bahwa hubungan dengan pemasok
bisa bersifat jangka panjang. Selain itu perusahaan juga setuju untuk melakukan
kolaborasi dengan pemasok (x = 4.05). kolaborasi ini bisa terjadi ketika pemasok
bisa ikut dalam proses desain dan pengembangan produk.
Tabel 5.5.
Pembelajaran dalam Perusahaan
No Pembelajaran dalam Perusahaan Rata -
Rata Kategori
1
Perusahaan mempunyai perencanaan jangka
panjang berkaitan dengan kolaborasi dengan
pemasok
4.05 Setuju
2 Hubungan pemasok dan perusahaan akan bersifat
berkelanjutan 4.2 Setuju
3 Perusahaan membahas kebutuhan konsumen secara
berkaala. 4.15 Setuju
Rata - rata Total 4.13 Setuju
5.1.2 Analisa Berdasarkan Skala Usaha
Jika dilihat dari kategori dari skala usahanya, maka dapat dilihat
bahwa untuk orientasi pemasok usaha kecil memiliki nilai rata-rata yang lebih
besar dibanding usaha mikro, walau nilai rata-ratanya tidak jauh berbeda dan
masih dalam kategori yang sama yaitu sangat tinggi, orientasi pemasok untuk
usaha mikro (x = 4.36) dan kecil (x = 4.44). Selain itu, perusahaan juga mampu
membangun hubungan jangka panjang dengan pemasok. Dari hasil tersebut juga
dapat dilihat bahwa semakin besar skala usaha, maka perusahaan makin bisa
mengatur hubungan dengan pemasok lebih baik.
Perusahaan kecil ternyata lebih menekankan pada pernyataan
“kriteria pengukuran untuk kolaborasi perusahaan dan pemasok disepakati
27
bersama” hal itu terlihat dari nilai rata – ratanya yang paling tinggi yaitu 4.645,
sedangkan pada skala usaha mikro pada pernyataan “jika barang yang diterima
perusahaan dari pemasok mengalami kerusakan, perusahaan bisa mengembalikan
dan meminta ganti barang baru” hal ini terlihat dari nilai rata – rata usaha kecil
terbesar ada yaitu 4.75 . Jadi pada skala usaha kecil perusahaan busana muslim
sudah menekankan pada kolaborasi sedangkan pada usaha mikro masih
menekankan pada kemudahan perusahaan dalam mengganti barang rusak yang
dipesan dari pihak pemasok. Walau berbeda penekanannya tetapi nilai
keseluruhannya sangat baik, artinya bahwa walaupun skala usahanya mikro dan
kecil tetapi kedua skala usaha menganggap bahwa orientasi perusahaan terhadap
pemasok sangat dibutuhkan.
Yang sedikit berbeda adalah pada sisi pengukuran kolaborasi
dengan pemasok, pada skala usaha mikro pengukuran secara berkala
kolaborasinya dengan pihak pemasok masih dilakukan kurang sering
dibandingkan dengan perusahaan pada skala usaha kecil.
Tabel 5.6.
Orientasi pemasok skala Usaha Mikro dan Kecil
No Orientasi Pemasok
Usaha Mikro Usaha Kecil
Rata –
Rata Kategori
Rata –
Rata Kategori
1
Jika barang yang diterima perusahaan
dari pemasok mengalami kerusakan,
perusahaan bias mengembalikan dan
meminta ganti barang baru.
4.625 Sangat
Setuju 4.25
Sangat
Setuju
2 Kolaborasi dengan pemasok akan
diukur berkala. 4 Setuju 4.25
Sangat
Setuju
3 Hubungan antara perusahaan dengan
pemasok mempunyai tujuan yang jelas 4.375
Sangat
Setuju 4.5
Sangat
Setuju
4
Kriteria pengukuran untuk kolaborasi
perusahaan dan pemasok disepakati
bersama
4.438 Sangat
Setuju 4.75
Sangat
Setuju
Rata – rata Total 4.36 Sangat 4.44 Sangat
28
Setuju Setuju
Secara garis besar, semua skala usaha mempunyai ketergantungan
terhadap pemasok. Akan tetapi, sifat ketergantungan tidak total artinya perusahaan
merasa jika satu pemasok tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka bisa
mendapatkan dari pemasok lainnya. Semakin besar skala usaha semakin
berkurang tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pemasok. Hal itu terlihat
dari nilai rata – rata ketergantungan perusahaan terhadap pemasok untuk usaha
mikro adlah 4.13 dan usaha kecil adalah 3.67. Perusahaan skala mikro
menganggap bahwa pertukaran informasi tentang permintaan barang kepada
pemasok sangat penting, hal ini bisa disebaban oleh karena para pelaku usaha
mikro tidak banyak menyimpan persediaan sehingga membutuhkan kepastian
ketersediaan barang yang akan dipesan. Informasi tentang persediaan menjadi
sangat penting karena ketika pemasok tidak punya persediaan untuk memenuhi
permintaan perusahaan, maka perusahaan bisa mencari pemasok atau menunggu
waktu pemasok produksi barang. Disisi lain, jika perusahaan tidak ada persediaan,
pemasok bisa memasukkan barang agar perusahaan punya persediaan.
Pihak pelaku usaha kecil menganggap pertukaran informasi tentang
informasi tentang perkiraan permintaan terhadap pemasok tidak sebesar skala
usaha mikro, nilai yang diberikan oleh skala usaha kecil ini sama besarnya dengan
pentingnya bahwa kolaborasi perusahaan dengan pemasok tidak akan mengikat
sumber daya perusahaan. Artinya bagi pihak perusahaan dengan skala kecil,
bahwa perusahaan skala kecil tergantung terhadap pihak pemasok tetapi mereka
tidak ingin ketergantungan ini mempengaruhi sumber daya perusahaan baik itu
dalam hal keuangan atau modal perusahaan maupun sumber daya manusia.
29
Tabel 5.7 .
Ketergantungan Perusahaan kepada Pemasok skala Usaha Mikro dan Kecil
No Ketergantungan Perusahaan kepada
Pemasok
Usaha Mikro Usaha Kecil
Rata -
Rata Kategori
Rata -
Rata Kategori
1
Perusahaan anda melakukan pertukaran
informasi tentang level stok kepada
pemasok
4.068 Setuju 4 Setuju
2
Perusahaan anda melakukan
pertukaran informasi tentang
perkiraan permintaan kepada
pemasok
4.313 Sangat
Setuju 3.5 Setuju
3 Kolaborasi dengan pemasok tidak
mengikat sumber daya perusahaan 4 Setuju 3.5 Setuju
Rata - rata Total 4.13 Setuju 3.67 Setuju
Berkaitan dengan keikutsertaan pemasok pada proses desain dan
pengembangan produk perusahaan dengan skala usaha kecil menganggap bahwa
saat ini hubungannya dengan pemasok sudah sangat melibatkan pemasok dalam
pengembangan produknya, sedangkan perusahaan dengan skala usaha kecil masih
berada ditingkatan dibawahnya. Hasil dari keikutsertaan pemasok dalam proses
desain dan pengembangan yang tergolong tinggi untuk usaha mikro (x=3.94) dan
sangat tinggi untuk usaha kecil (x=4.38).Perusahaan dengan skala usaha kecil juga
sudah sangat setuju bahwa keterlibatan pemasok dalam proses pengembangan
produk ini akan sangat mendukung perusahaan dalam pengurangan waktu yang
dibutuhkan untuk meluncurkan produk barunya. Untuk perusahaan dengan skala
usaha mikro masih menekankan pada keterlibatan pemasok pada proses
pengembangan produknya. Perbedaan ini bisa berkaitan dengan orientasi dari
perusahaan dengan skala usaha kecil yang sudah sangat mementingkan kolaborasi
dan mau mengukur kolaborasi secara berkala ( tabel 5.6), serta perusahaan skala
usaha kecil yang tidak mau terlalu tergantung kepada pemasok.
30
Tabel 5.8.
Keikutsertaan Supplier pada Proses desain dan Pengembangan Produk pada
skala usaha mikro dan kecil
No Keikutsertaan Supplier pada proses
desain dan pengembangan produk
Usaha Mikro Usaha Kecil
Rata -
Rata Kategori
Rata -
Rata Kategori
1 Pemasok mendukung perusahaan
dalam pengembangan produk 4 Setuju 4.25
Sangat
Setuju
2
Keterlibatann pemasok pada proses
pengembangan produk mempercepat
waktu peluncuran produk baru
3.875 Setuju 4.5 Sangat
Setuju
Rata - rata Total 3.94 Setuju 4.38 Sangat
Setuju
Hal diatas menunjukkan juga bahwa semakin besar skala
perusahaan, tingkat kepercayaan terhadap pemasok juga akan meningkat. Untuk
itu usaha kecil memberikan ruang kolaborasi pada pemasok dalam fase awal
desain dan pengembangan produk. Perusahaan skala kecilpun paham bahwa hal
tersebut juga mampu mempercepat waktu proses pengembangan produk karena
pemasok biasanya bisa memberikan saran tentang bahan baku produk baru. Di sisi
lain, perusahaan mikro cenderung lebih rendah tingkat kepercayaan pada pemasok
karena mereka khawatir ketika mereka melibatkan pemasok dalam proses desain
dan pengembangan produk, pemasok akan membocorkan pada competitor, atau
bahkan pemasok bisa menyontek untuk dirinya sendiri.
Pada dimensi terakhir adalah tentang pembelajaran dalam
perusahaan tentang hubungan pemasok dan perusahaan. Hasil table 5.9.
menunjukkan bahwa nilai rata – rata kedua skala perusahaan tidak jauh berbeda.
Keduanya sama – sama masuk kategori tinggi (mikro = 4.15; kecil = 4.08). Baik
mikro maupun kecil sama – sama berpikir untuk meningkatkan hubungan
pemasok dan perusahaan agar meningkatkan daya saing. Maka dari itu, setiap
perusahaan melakukan pembelajaran untuk pengembangan hubungan pemasok
31
dan perusahaan. Jika perusahaan skala mikro berfokus pada bagaimana
melakukan hubungan jangka panjang dengan pemasok (x = 4.25) sedangkan pada
usaha kecil lebih membahas tentang kebutuhan konsumen berkala (x = 4.25).
Ketika pemasok dan perusahaan sudah membahas tentang kebutuhan konsumen,
artinya pemasok sudah masuk dalam fase awal untuk proses desain produk.
Tabel 5.9.
Pembelajaran dalam perusahaan pada skala usaha mikro dan kecil
No Pembelajaran dalam Perusahaan
Usaha Mikro Usaha Kecil
Rata -
Rata Kategori
Rata -
Rata Kategori
1
Perusahaan mempunyai perencanaan
jangka panjang berkaitan dengan
kolaborasi dengan pemasok
4.063 Setuju 4 Setuju
2 Hubungan pemasok dan perusahaan
akan bersifat berkelanjutan 4.25
Sangat
Setuju 4 Setuju
3 Perusahaan membahas kebutuhan
konsumen secara berkala. 4.125 Setuju 4.25
Sangat
Setuju
Rata - rata Total 4.15 Setuju 4.08 Setuju
5.2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana Muslim
di Kota Bandung
Berdasarkan pembahasan dari sub bab 5.1. dapat diketahui bahwa kondisi
saat ini dari para pelaku usaha baik pada skala mikro maupun kecil pada industri busana
muslim di Bandung saat ini orientasi perusahaan terhadap pemasok sudah lebih ke
hubungan jangka panjang, mereka mau saling berbagi informasi, sudah melibatkan
perencanaan pemasok dalam perencanaan jangka panjang perusahaan dan perusahaan
sudah mau melibatkan pemasok dalam proses pengembangan desain dan produk, sehingga
dapat dilihat juga bahwa ketergantungan perusahaan terhadap pemasok juga cukup tinggi.
Model SCM saat ini sudah baik, hal ini bisa juga berkaitan dengan kondisi
para pelaku usaha busana muslim di kota Bandung yang berada pada industri kreatif
dengan segala cirinya. Kota Bandung sebagai kota yang berbasis industri tekstil dan fesyen
32
sejak lama menjadikan hubungan antara produsen dan pemasok sudah terbina dengan
baiknya.
Untuk pengembangan SCM yang lebih baik dibutuhkan dukungan dari
pihak pemerintah agar hubungan dan kolaborasi ini menjadi semakin baik. Dukungan
pemerintah kota dengan menyediakan berbagai ajang fesyen misalnya, seperti yang selama
ini dilakukan untuk distribution store seperti ajang Kickfest. Ajang penyelengaraan banyak
kegiatan yang berhubungan dengan industri busana muslim di kota Bandung selain akan
menggerakkan roda penjualan dan perkembangan pada industri ini juga akan memperkuat
hubungan anatara pelaku usaha dan pemasoknya.
Dukungan pemerintah kota juga saat dibutuhkan dalam program
pembinaan. Saat ini penyediaan data yang mencukupi yang berhubungan dengan industri
ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Pemerintah kota dapat mulai dengan pemetaan
dari industri busana muslim yang ada saat ini, baik dari sisi produsen maupun dari sisi
pemasoknya.
5.3. Analisa Budaya Organisasi Perusahaan pada Industri Busana Muslim di Kota
Bandung
Budaya organisasi merupakan perwujudan dari nilai-nilai dasar yang
disepakati bersama di antara anggota organisasi dalam hubungan kerja untuk mencapai
tujuan organisasi. Menurut Robbins and Judge (2013) budaya organisasi yang kuat (strong
culture) memberikan dampak besar pada perilaku karyawan dan terkait langsung dengan
labor turnover.
Dalam suatu budaya yang kuat, nilai - nilai inti (core values) organisasi
akan menjadi acuan yang intensif serta dianut secara bersama - sama. Semakin banyak
anggota organisasi yang menerima nilai - nilai inti (core values) maka semakin kuat
eksistensi budaya tersebut. Dengan kata lain, budaya yang kuat (strong culture) mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku anggota–anggotanya karena tingginya tingkat
kebersamaan dan intensitas akan menciptakan iklim internal yang kondusif. Maka dari itu
penting bagi organisasi untuk selalu mengetahui jenis budaya organisasi apa yang paling
dominan, faktor kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan, dan kekurangan apa yang perlu
33
diperbaiki sehingga mereka dapat menentukan bagaimana arah perubahan yang perlu
dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi kekurangan yang dimilikinya.
Budaya organisasi yang kuat dan sesuai dengan tuntutan bisnis, seringkali
menjadi ujung tombak keberhasilan suatu organisasi. Kuatnya budaya suatu organisasi
dengan ciri-ciri umum seperti kuatnya nilai yang dianut sehingga selalu manjadi pedoman
umum yang diyakini dan diterima oleh para pegawai, diangap sebagai kekuatan yang
terpenting dan membuat semua pihak terkait kepada nilai-nilai tersebut. Itulah mengapa
pemetaan budaya organisasi yang dianut menjadi penting dan berharga bagi suatu
organisasi.
Pentingnya budaya menuntut organisasi untuk secara terus menerus
melakukan penelitian atas budaya kerjanya untuk memastikan warna budaya seperti apa
yang sedang berkembang pada suatu waktu tertentu. Pemahaman mengenai budaya kerja
ini akan memberikan gambaran sejauh mana budaya yang sedang berkembang ini
memberikan dampak positif atau negatif terhadap pencapaian cita-cita perusahaan.
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dan memetakan persepsi karyawan terhadap
budaya organisasi yang dijalankan serta budaya yang diharapkan (expected) di
lingkungan perusahaan
2. Melakukan penelitian Hubungan antara 6 Dimensi Budaya
Organisasi (Karakteristik Organisasi Dominan; Kepemimpinan Organisasi;
Pengelolaan Karyawan; Perekat Organisasi; Pengutamaan Stratejik; Kriteria
Keberhasilan) dengan profil budaya (Clan, Adhocracy, Market, Hierarchy)
3. Mengetahui bagaimana kesiapan karyawan untuk menjadi
lebih inovatif agar mampu bersaing di industry produsen baju muslim
Budaya organisasi merupakan keunikan yang dimiliki oleh setiap
perusahaan yang dapat membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan sejenis
lainnya. Budaya organisasi merupakan ciri khas dari suatu organisasi yang mencakup
sekumpulan nilai, tindakan dan norma yang membantu menuntun karyawan dan organisasi
untuk mengetahui perilaku apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan yang
berhubungan dengan tujuan perusahaan. Selain itu budaya organisasi juga merupakan suatu
34
nilai tambah secara kasat mata yang dapat mempengaruhi pola berpikir, persepsi dan
perilaku manusia yang bekerja di dalam perusahaan.
Hasil dari survey OCAI ini dapat dibagi dalam 6 (enam) dimensi yang
kemudian dapat dirata-ratakan menjadi budaya organisasi secara keseluruhan. Dimensi-
dimensi tersebut adalah sKarakteristik, Organisasi yang Dominan, Kepemimpinan dalam
Organisasi, Pengelolaan Karyawan, Perekat Organisasi, Penekanan Strategis dan Kriteria
Kesuksesan.
Dalam melakukan pengumpulan data, penelitian ini menggunakan satu
kuesioner yaitu kuesioner OCAI (Organizational Culture Assesment Instrument).
Kuesioner tersebut yang akan mendeteksi enam dimensi dalam budaya organisasi
(Cameron dan Quinn,2011). Keenam dimensi tersebut adalah:
1. Karakteristik Organisasi yang Dominan (Dominant Organizational Characteristic)
2. Kepemimpinan Organisasi (Organization Leadership)
3. Pengelolaan Karyawan (Management of Employees)
4. Perekat Organisasi (Organization Glue)
5. Penekanan Stratejik (Strategic Emphases)
6. Kriteria Keberhasilan (Criteria of Success)
Biru: kondisi hari ini Orange: harapan
Tabel 5.1. Hasil Pengolahan OCAI Budaya Oraganisasi Industri Busana
Muslim di Bandung
35
Hasil dari kuesioner OCAI dapat memberikan dua informasi, yaitu (1) persepsi
karyawan tentang praktek budaya yang saat ini ada di perusahaan; (2) harapan
budaya di masa depan menurut karyawan, jika dikaitkan dengan pemahaman
mengenai tujuan perusahaan serta tantangan bagi industrinya.
a. Persepsi tentang Budaya Saat ini
Untuk penelitian yang dilakukan ini didapatkan hasil budaya
keseluruhan seperti gambar di atas, dimana untuk seluruh dimensi yang diteliti
dalam budaya organisasi menurut Competing Values Framework, clan adalah
budaya dengan skor yang tertinggi, artinya kekeluargaan adalah values yang
menjadi „daya tarik‟ yang diberikan oleh pemilik dalam menjalankan fungsi
manajemen di perusahaan. Sistem merekrut karyawan, pendekatan dalam
memotivasi karyawan, cara untuk mempertahankan karyawan dan pendekatan
dalam berkomunikasi dilakukan dengan sangat personal sehingga perhatian dan
keperdulian pun dapat dirasakan oleh karyawan. Budaya ini dapat mendukung
suksesnya perusahaan pada skala kecil-menengah karena karyawan menunjukkan
loyalitas dan rasa memiliki perusahaan tersebut.
Tetapi sebaliknya, ketika lingkungan menuntut perusahaan untuk
berubah dengan cepat agar mampu bersaing dan bertahan, budaya clan akan
menghambat proses perubahan karena karyawan sudah berada pada zona nyaman
dan tidak ingin ada gangguan dalam proses kerja yang cenderung fleksibel.
Budaya organisasi kedua dan ketiga, memiliki skor yang hampir
sama yaitu market dan adokrasi. Artinya, karyawan sulit untuk membedakan
mana yang lebih prioritas, apakah mengejar target kerja harian ataukah bekerja
untuk lebih kreatif. Upaya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan melalui inovasi
dan kreatifitas produk sudah disadari dan mulai dilakukan tetapi waktu dan upaya
yang diberikan masih minim, belum dianggap sebagai prioritas sebagai
keunggulan untuk bersaing. Pertumbuhan perusahaan yang masih belum terlalu
baik dan pengendalian yang masih terpusat pada pemilik akhirnya memaksa
pencapaian target order adalah hal yang penting, dibandingkan dengan mendorong
karyawan untuk bisa kreatif dan inovatif.
36
Hirarki merupakan profil budaya dengan skor paling rendah, karena
pada umumnya, perusahaan dengan budaya clan tidak memiliki banyak aturan
main yang harus dipatuhi, komunikasi dan koordinasi kerja tidak dilakukan
dengan terstruktur, lebih banyak secara tidak tertulis sehingga para responden
tidak merasa terkekang oleh aturan yang ada.
b. Harapan Karyawan untuk Budaya di Masa Depan
Karyawan merasa nyaman dengan budaya clan yang saat ini
tumbuh dan berkembang di perusahaan sehingga mereka berharap budaya
kekeluargaan ini tetap dipertahankan. Inovasi dan kreatifitas disadari sebagai hal
yang penting dan ingin dapat mereka lakukan sehingga data menunjukkan adanya
peningkatan skor adokrasi pada bagian ini. Karyawan juga menginginkan adanya
peraturan tertulis, dokumentasi yang lebih baik, komunikasi yang lebih
berjenjang, dan adanya SOP dalam cara kerja.
c. Budaya Ideal untuk Terciptanya Kreatifitas dan Inovasi
Jika kita ingin mengaitkan budaya organisasi yang ideal untuk
peningkatan kreatifitas dan inovasi maka budaya adokrasi dan market adalah
profil budaya utama yang dibutuhkan, karena adokrasi memberikan kebebasan,
fleksibilitas dan situasi yang memang mendorong karyawan untuk meningkatkan
kreatifitasnya, sedangkan budaya market berperan sebagai kerangka untuk adanya
kreatifitas, inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan tuntutan pasar.
Tetapi batasan mengenai sejauh mana kebebasan tersebut diberikan tentu saja
perlu diatur agar tidak miskelola sehingga budaya hirarki yang akan menjadi
mekanisme pengendalian dalam hal ini. Budaya clan tidak diperlukan terlalu
tinggi, tetapi dibutuhkan untuk praktek pengelolaan karyawan.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
1. Analisa model SCM untuk industri busana muslim di Kota Bandung saat
ini menghasilkan model SCM sudah memperhatikan hubungan jangka
panjang dengan pemasok, mulai melibatkan pemasok dalam proses desain
serta pengembangan produk, serta mulai mempertimbangkan kadar
ketergantungannya. Pada skala usaha usaha yang berbeda, terlihat bahwa
perusahaan dengan skala usaha kecil lebih memepertimbangkan untuk
melibatkan pemasok dalam proses desain serta mengurangi
ketergantungannya kepada pemasok. Pada skala usaha mikro perusahaan
masih menekankan pada tingkat pengembalian produk yang rusak serta
sangat tergantung pada ketersediaan produk dari pemasok.
2. Merencanakan model SCM yang sesuai dengan kondisi Industri Busana
Muslim di Kota Bandung membutuhkan dukungan dari pemerintahan kota
Bandung, baik dengan pembinaan pada usaha ini ataupun dengan
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan berupa pameran ataupun kegiatan
fesyen show.
3. Menganalisa kesiapan pengusaha baju muslim di Bandung dari sisi budaya
organisasi dapat dilihat dari analisa yang menunjukkan bahwa hasil budaya
nya budaya clan yang saat ini tumbuh dan berkembang di perusahaan,
dimana mereka berharap budaya kekeluargaan ini tetap dipertahankan.
Inovasi dan kreatifitas disadari harus ditingkatkan. Perlu juga adanya
peraturan tertulis, dokumentasi yang lebih baik, komunikasi yang lebih
berjenjang, dan adanya SOP dalam cara kerja.
6.2. SARAN
1. Untuk memperkuat daya saing perusahaan perlu dukungan dari pihak
pemerintahan kota, agar juga dapat mewujudkan harapan pemerintahan
38
kota untuk menjadi pusat industry busana muslim di Indonesia bahkan
dunia.
2. Perlu dukungan untuk perusahaan berkembang dan lebih fleksibel
terhadap perubahan, peran aktif pemerintah kota dalam membentuk
komunitas industry kreatif di Kota Bandung sangat diperlukan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Anni-Kaisa, Kahkonen, Katrina, Lintukangas, Jukka, Hallikas. (2015). Buyer's
Dependence in Value Creating Supplier Relationships. Supply Chain
Management : An International Journal, Vol. 20 Issue; 2, pp. 151-162.
Chang, C. Y. (2014). "Visualizing brand personality and personal branding : case
analysis on Starbucks and Nike's brand value co-creation on Instagram.
Master of Arts thesis , 1-83.
Instagram. (2016). Instagram. Retrieved from Instagram:
https://www.instagram.com/about/faq/
Çukul, D. (2015, June 21). Fashion Marketing in Social Media: Using Instagram
For Fashion Branding. Business & Management Conference , 116-129.
Forsstrom, B., (2005). Value Co-creation in Industrial Buyer-seller partnerships -
creating and exploiting interdependencies: an empirical case study. Doctoral
Dissertation, Abo Akademi University Press, Abo.
The Jakarta Post. (2015, March 10). News: The Jakarta Post. Retrieved January 6,
2016, from Thejakartapost.com:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/10/internet-users-indonesia-
reach-73-million.html
Hellberg, M. (2015, July 31). Visual Brand Communication on Instagram: A
study on consumer engagement. Visual Brand Communication on Instagram:
A study on consumer engagement . Helsinki: Hanken School of Economics.
Ha, H. Y., & Janda, S. (2014). The effect of customized information on online
purchase intentions. Internet Research , 496-519.
Limbu, Y. B., Wolf, M., & Lunsford, D. (2012). Perceived ethics of online
retailers and consumer behavioral intentions: The mediating roles of trust and
attitude. Journal of Research in Interactive Marketing , 133-154.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2012). Principles Of Marketing (14th ed.). England:
Pearson.
Barat, P. P. (2015, November 03). Bandung Kiblat Busana Muslim. Retrieved
December 15, 2016, from Website Resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat:
http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/14696/2015/11/03/Bandung-
Kiblat-Busana-Muslim
Merdeka. (2016, June 23). Industri busana muslim sumbang pertumbuhan
terbesar ekonomi kreatif. Retrieved December 15, 2016, from Merdeka.com:
https://www.merdeka.com/uang/industri-busana-muslim-sumbang-
pertumbuhan-terbesar-ekonomi-kreatif.html
Heizer, J., & Render, B. (2011). Managing the Supply Chain. In J. Heizer, & B.
Render, Operations Management (pp. 452-473). New Jersey: Pearson.
Euratex. (2012, Maret 10). Position of the European textiles and clothing industry
and its applied research community on support for SME Research &
Innovation under HORIZON 2020. Retrieved November 10, 2016, from
euratex: www.euratex.eu/uploads/media
Ulgen, V., & Forslund, H. (2015). Logistics performance management in textiles
supply chains: best-practice and barriers. International Journal of
Productivity and Performance Management , 52-75.
40
Sarkis, J., 1999. How Green is the Supply Chain? Practice and Research,
Worcester, MA: Graduate School of Management, Clark University.
Wang, H.-F. & Gupta, S. M., 2011. Green Supllhain Management : Product Life
Cycle Approach. Chicago: McGraw-Hill.