analisis dampak ekonomi dari alih fungsi lahan … · ekonomi dari alih fungsi lahan pertanian ke...

109
ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SARAH NUR AMALIA DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: phamkhanh

Post on 14-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP

KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SARAH NUR AMALIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak

Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan

Pangan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Sarah Nur Amalia

NIM H44090043

ABSTRAK

SARAH NUR AMALIA. Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan

Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.

Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Searah dengan peningkatan jumlah penduduk juga

terjadi peningkatan kebutuhan pangan. Selain itu, yang terjadi sekarang ini adalah

perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri, yang

menyebabkan permintaan akan lahan bangunan yang semakin meningkat pula.

Pemenuhan kebutuhan pemukiman dan lahan terbangun untuk industri dan

manufaktur mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di

Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi laju alih

fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor, menganalisis

faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke

penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor dan dampak ekonomi dari alih fungsi

lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor, serta untuk

menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk

kebijakan pemerintahan. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari

tahun 2002-2011 sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan

sebesar 0,01 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

pertanian khususnya lahan sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan

penduduk dan produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih

fungsi lahan pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah

anggota keluarga, dan jumlah tanggungan. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan

perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan

mengalami perubahan sebesar Rp 52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat

alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata

kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar

2.878,96 ton per tahun, sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu

sebesar Rp 7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp

8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan

perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras di

Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak tahun

2002 hingga tahun 2011.

Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Pertanian, Dampak Ekonomi, Kabupaten Bogor

ABSTRACT

SARAH NUR AMALIA. Analysis The Economic Effect of Agricultural Land

Conversion in Bogor Regency. Supervised by RIZAL BAHTIAR.

Population growth in Bogor Regency increasing year by year. Along with

population growth, there is also increasing food needs that related to agricultural

sector. Currently, changes to the transformation of the economic development

towards the direction of industrial development and manufacturing. In addition,

increasing population growth requires residential development. This case,

indicated agricultural land conversion. The aims of the study were to know the

rate of agricultural land conversion in Bogor Regency, to find out the factors

which affect, and to analyze the economic effect and an appropriate policy in the

control of agricultural land conversion. Agricultural land conversion in Bogor

Regency has been fluctuated year by year. The average of land conversion in

Bogor Regency was 0,01 percent per year or 7,1 hectar per year. On this study

showed that the increasing density of society and the paddy productivity were

affected to the agricultural land conversion. Meanwhile, the agricultural land

conversion will affect change of the farmer‟s total income before and after land

conversion amount of Rp 52.176 in month. The average income before the

conversion amount of Rp 1.931.157 and the average income amount of Rp

2.878,96. Beside the farmer‟s total income, the agricultural land conversion also

caused the reducing of paddy production. The average loss of paddy production

per hectare converted land was 2.878,96 tons per year, while the average loss

production value was Rp 7.771.656.534,60 in paddy forms and Rp

8.518.512.570,00 in rice forms. The estimation result of food security in Bogor

Regency showed that rice production has not adequated the needs of rice in 2002-

2011.

Keywords : Agricultural land conversion, Bogor Regency, Effect

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan

ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP

KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SARAH NUR AMALIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Judul Skripsi : Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke

Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.

Nama : Sarah Nur Amalia

NIM : H44090043

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT

Ketua Departemen

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya

ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan

Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si

selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan

kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir.

Nindyantoro, M.Sp dan Ibu Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku dosen penguji

atas saran dan masukannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu,

penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor,

Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Catatan Sipil Kabupaten

Bogor serta dinas terkait lainnya dan kepada Bapak Agus, Bapak Asep, Bapak

Mustar serta para kelompok tani di Kecamatan Ciampea yang telah membantu

dalam pengumpulan data dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada nenek buyut (Siti Romlah), ayah (Maliyanto), ibu (Salbiah),

adik (Siska Nur Hidayah dan Maulana Syahreza Pahlevi) serta seluruh pihak

keluarga yang selalu memberi semangat, doa dan mendampingi dalam pembuatan

karya ilmiah ini serta teman-teman BOS 46, Keluarga Wisma Ayu, Keluarga

BEM TPB 46, BEM FEM Sinergi, BEM FEM Progresif, BEM KM KUN, ESL 46,

ODOJ 570, Edukasi Gizi dan para Relawan Turun Tangan atas doa dan

dukungannya serta tak terlupa terima kasih pula kepada Korean Exchange Bank,

BUMN, serta Dikti selaku pihak yang telah memberikan beasiswa kepada penulis

selama proses belajar di IPB ini. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan

dalam karya ilmiah ini dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman agar karya

ilmiah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Sarah Nur Amalia

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9

2.1. Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian ......................................... 9

2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian .............................................................. 10

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ...... 11

2.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ................... 13

2.5. Produktivitas Lahan ............................................................................ 14

2.6. Reforma Agraria (Landreform) dan Landasan Hukum Kebijakan

Alih Fungsi Lahan .............................................................................. 14

2.7. Ketahanan Pangan .............................................................................. 17

2.8. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 23

IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 27

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .............................................................. 27

4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 27

4.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 28

4.4. Analisis Data....................................................................................... 28

4.4.1. Analisis Deskriptif .................................................................... 29

4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan .............................................. 29

4.4.3. Analisis Faktor .......................................................................... 30

4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda ............................... 30

4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik ............................................ 35

4.4.4. Analisis Hilangnya Penerimaan Petani ..................................... 37

4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi ......................................... 38

V. GAMBARAN UMUM ............................................................................ 41

5.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor ................................................ 41

5.2. Kependudukan Kabupaten Bogor ....................................................... 42

5.3. Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor .................................................. 43

5.4. Pertanian di Kabupaten Bogor ............................................................ 44

5.5. Gambaran Umum Kecamatan Ciampea ............................................ 45

5.2.1. Sebaran Usia Responden ......................................................... 47

5.2.2. Pendidikan Formal Responden ............................................... 48

5.2.3. Lama Menetap di lokasi ......................................................... 48

5.2.4. Luas Lahan yang dimiliki ....................................................... 49

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51

6.1. Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten

Bogor .................................................................................................. 51

6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat

Wilayah Kabupaten Bogor ................................................................. 54

6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat

Petani di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ............................. 58

6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani

Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor ............................................. 61

6.5. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap

Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor ............................................ 62

6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Produksi dan Nilai Produksi Padi di

Kabupaten Bogor ............................................................................... 66

6.7. Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

di Kabupaten Bogor ........................................................................... 68

VII. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 73

7.1. Simpulan ............................................................................................ 73

7.2. Saran .................................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 75

LAMPIRAN ............................................................................................. 79

RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 92

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2009–2011 Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 ................... 1

2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan

Pekerjaan Utama 2008-2012 ................................................................... 3

3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010 ......................... 4

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor ...... 4

5. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 19

6. Matriks Metode Analisis Data ............................................................... 28

7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011 .................. 42

8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten

Bogor Tahun 2012 ............................................................................... .. 43

9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor ........................... 44

10. Rata-rata Hasil per ahektar Tananaman padi Sawah di Masing-Masing

Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ................................ 45

11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea ................................. 46

12. Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012 ...... 47

13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-rata Luas Lahan ................ 49

14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun

2002-2011 ............................................................................................... 53

15. Rata-rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut jenis Lahan Sawah di

Kabupaten Bogor Selama Periode 2002-2011 (dalam Hektar) ............... 54

16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Sawah di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor ......................................... 55

17. Hasil Estimasi Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Petani

untuk menjual Lahan Sawah ................................................................... 59

18. Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah

Terjadinya Alih Fungsi Lahan ................................................................ 61

19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya

di Kabupaten Bogor (dalam Hektar) ....................................................... 63

20. Produksi Padi Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan

Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ............................................. 64

21. Produksi Beras Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan

Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ............................................. 65

22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras

Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor ...................................................... 65

23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang

Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-

2011 ........................................................................................................ 67

24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi

Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun

2002-2011 ............................................................................................... 68

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................................... 25

2. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Usia pada

Tahun 2013 ............................................................................................. 48

3. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat

Pendidikan pada Tahun 2013 ................................................................. 48

4. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama

Menetap pada Tahun 2013 ..................................................................... 49

5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ....................... 49

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner Penelitian ............................................................................... 80

2. Peta Tata ruang Wilayah Kabupaten Bogor ........................................... 83

3. Peta Kecamatan Ciampea ....................................................................... 84

4. Hasil Regresi Linear Berganda ............................................................... 85

5. Hasil Regresi Logistik ............................................................................ 87

6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di Provinsi Jawa

Barat Tahun 2002-2011 .......................................................................... 89

7. Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan ...... 90

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia

mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000.

Pertambahan jumlah penduduk Indonesia memperlihatkan kecenderungan

peningkatan setiap tahunnya. Sejalan dengan pertambahan penduduk, terjadi pula

peningkatan kebutuhan pangan. Saat ini yang menjadi salah satu agenda global

ialah ketahanan pangan dan kemiskinan. Kegagalan riil pencapaian ketahanan

pangan akan diidentikkan dengan kemiskinan dan kondisi rawan pangan. Hal ini

menyebabkan ketersediaan pangan sangat memerlukan penanganan yang serius

dan terencana.

Masalah yang paling pokok dalam menangani ketersediaan pangan akan

sangat tergantung pada bagaimana kebijakan nasional di sektor pertanian. Sektor

pertanian telah memberikan sumbangsih besar dalam pertumbuhan ekonomi

nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja,

peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional

Bruto (PDRB), perolehan devisa melaui ekspor–impor, dan penekanan inflasi.

Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua

setelah industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap

peningkatan PDRB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.

Lapangan Usaha

Atas dasar harga

berlaku (triliun

rupiah)

Atas dasar harga konstan

2000 (triliun rupiah)

2010 2011 2010 2011

Pertanian, peternakan, kehutanan, dan

perikanan 985,40 1.093,5 304,7 313,7

Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2

Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5 597,1 634,2

Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9

Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1

Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2

Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3

Keuangan, persewaaan, jasa perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1

Jasa – jasa 654,7 783,3 217,8 232,5

Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313,8 2.463,2

PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4 2.171 2.321,8

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2010)

2

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat besaran kontribusi yang diberikan oleh

sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan

PDRB Indonesia. Berdasarkan harga berlaku sektor pertanian, peternakan,

kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp

985,40 triliun dan meningkat sebesar Rp 54,10 triliun menjadi Rp 1.039,50 triliun

di tahun 2011. Sedangkan berdasarkan harga konstan sektor pertanian, peternakan,

kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp

304,70 triliun dan meningkat sebesar Rp 9,00 triliun menjadi Rp 313,70 triliun di

tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan,

dan perikanan masih menyumbangkan PDRB terbesar dibandingkan sektor lain

terhadap pembangunan di Indonesia.

Sektor pertanian juga masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan

sektor–sektor lain di Indonesia dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Dapat

dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan data penduduk usia 15 tahun ke

atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2008-2012.

Terlihat penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan,

perburuan, dan perikanan masih terbesar dibandingkan dengan sektor–sektor lain.

Adanya transformasi struktur ekonomi yang terjadi, mengakibatkan

berkurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian terhadap

output dan kemampuannya menyerap angkatan kerja. Hal tersebut menyebabkan

semakin besarnya alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan non

pertanian. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian

karena land rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan

dengan non pertanian. Menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai

ekonomi yang diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan

untuk kegiatan proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa

lahan tersebut adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan

pusat pasar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih

fungsi lahan pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi

dari pertanian ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada

akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non

pertanian. Dampak alih fungsi lahan menyebabkan tenaga kerja di bidang

3

pertanian, perkebunan, dan kehutanan menjadi berkurang, terlebih lagi semakin

banyaknya pertambahan penduduk maka alih fungsi lahan pertanian untuk

pemukiman akan semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia (2010), dalam waktu 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah

seluas 80.000 ha per tahun menjadi lahan non pertanian seperti industri dan

perumahan, sehingga menyebabkan adanya pengurangan terhadap lahan pertanian.

Besaran kontribusi terhadap lapangan pekerjaan yang diberikan oleh

sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan

PDRB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama 2008-2012 (dalam Jiwa)

No

Lapangan

Pekerjaan

Utama

2008 2009 2010 2011 2012

1. Pertanian,

Perkebunan,

Kehutanan,

Perburuan dan

Perikanan

41.331.706 41.611.840 41.494.941 39.328.915 38.882.134

2. Pertambangan

dan Penggalian 1.070.540 1.155.233 1.254.501 1.465.376 1.601.019

3. Industri 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.542.081 15.367.242

4. Listrik, Gas dan

Air 201.114 223.054 234.070 239.636 248.927

5. Konstruksi 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.811 6.791.662

6. Perdagangan,

Rumah Makan

dan Jasa

21.221.744 21.947.823 22.492.176 23.396.537 23.155.798

7. Transportasi,

Pergudangan dan

Komunikasi

6.179.503 6.177.985 5.619.022 5.078.822 4.998.260

8. Lembaga

Keuangan, Real

Estate, Usaha

Persewaan dan

Jasa Perusahaan

1.459.985 1.486.596 1.739.486 2.633.362 2.662.216

9. Jasa

Kemasyarakatan,

Sosial, dan

Perorangan

13.099.817 14.001.515 15.956.423 16.645.859 17.100.896

10. Lainnya - - - - -

Total 102.552.750 104.870.663 108.207.767 109.670.399 110.808.154

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2012)

Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan

sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan

pangan semakin bermasalah. Alih fungsi lahan yang terjadi terutama di daerah

Jawa sebagai gudang pangan nasional menyebabkan gangguan yang serius dalam

4

pengadaan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali akan

dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian saat

ini, sering terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa, yang

merupakan kota–kota pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Semakin

besarnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan tingginya

sikap kompetitif untuk penggunaan lahan. Salah satu daerah dengan aktivitas

perekonomian yang terus berkembang adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Daerah Kabupaten Bogor, saat ini masih banyak didominasi oleh lahan pertanian,

baik lahan sawah maupun lahan perkebunan. Namun perkembangan ekonomi ini

diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya.

Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4,

berikut ini.

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) 2004 3.438.055 2005 3.700.207 2006 4.215.436 2007 4.251.838 2008 4.340.520 2009 4.477.344 2010 4.345.915

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan

Tabel 3 tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk secara keseluruhan

pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2004-2010. Terlihat

peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2010.

Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan

tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari yang akan meningkat.

Sehingga lahan yang sifatnya relatif tetap dengan kebutuhan serta permintaan

yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non

pertanian. Hal tersebut mengakibatkan, jumlah lahan pertanian akan mengalami

penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun.

Pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian sangat

penting dalam pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu langkah berani yang

disampaikan pemerintah dalam paket Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan

5

Kehutanan (RPPK) adalah dimunculkannya wacana pengadaan lahan pertanian

abadi pada bulan juni 2005. Lahan pertanian pangan abadi adalah suatu kebijakan

yang mengatur mengenai tata guna lahan, khususnya bertujuan untuk melindungi

pengalihfungsian lahan pertanian untuk keperluan yang lainnya. Pemerintah

menargetkan pencapaian 15 juta ha lahan sawah ditambah dengan 15 juta ha lahan

tegalan, yang hanya diperbolehkan digunakan untuk lahan pertanian, dan tidak

diijinkan dialihfungsikan untuk penggunaan yang lainnya. Memang tidak mudah

untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, namun berbagai upaya

konstruktif harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Target

pencapaian luasan lahan pertanian pangan abadi seluas 15 juta hektar memerlukan

upaya yang kuat. Semangat ini sebenarnya mecerminkan adanya aspek reformasi

agraria (land reform). Sehingga pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat

erat dengan reforma agraria ini.

1.2 Perumusan Masalah

Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan yaitu

adanya pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang semakin

berkembang serta adanya intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Keadaan Kabupaten Bogor dengan pertumbuhan penduduk dan

pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang mengarah pada alih fungsi

lahan yang terus meluas. Alih fungsi lahan tersebut terjadi karena kebutuhan

masyarakat yang semakin bertambah tiap tahunnya, tuntutan hidup untuk

memperoleh kondisi yang lebih baik serta masalah property right dalam

penggunaan lahan yang tidak jelas. Permasalahan alih fungsi lahan ini memang

tidak dapat dihindari dalam proses pembangunan, namun sangat perlu

pengendalian yang tepat. Peningkatan kebutuhan lahan terjadi akibat adanya

peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, peningkatan jumlah penduduk setiap

tahunnya serta kebutuhan penduduk tersebut secara langsung dan tidak langsung

telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Alih fungsi

lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Bogor akan

menimbulkan berbagai dampak seperti penurunan hasil produksi pertanian dan

daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup

6

petani. Kehilangannya lapangan pekerjaan pada petani, menyebabkan penurunan

pendapatan bagi rumah tangga petani itu sendiri, sehingga terjadi kemiskinan dan

penurunan kesejahteraan petani serta penurunan pada hasil produksi pertanian.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan

permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Seberapa besar laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di

Kabupaten Bogor?

2. Faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian

ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani

dan produksi padi di Kabupaten Bogor?

4. Bagaimana langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan

dalam bentuk kebijakan pemerintahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pentingnya

memproteksi aset dan mengendalikan alih fungsi lahan yang ada di Indonesia.

Selain itu, dalam penelitian ini juga terdapat tujuan khusus sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian

di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi

lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan

petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.

4. Menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan

dalam bentuk kebijakan pemerintahan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, diharapkan peneliti dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan

ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi pertanian sumberdaya dan

lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian

Bogor.

7

2. Bagi pemerintah daerah maupun pusat, informasi ini dapat menjadi acuan

dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan

pembangunan pertanian serta untuk mengendalikan alih fungsi lahan yang

terjadi di Kabupaten Bogor.

3. Bagi civitas akademi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi

yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul diperlukan batasan penelitian agar lebih

fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan non sawah di Kabupaten

Bogor.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor

eksternal dan faktor internal di wilayah tersebut.

4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah

tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian

khususnya lahan sawah.

5. Hasil produksi pertanian yang diperhitungkan dari hasil produksi lahan sawah

di Kabupaten Bogor dari sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan

pertanian.

8

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian

Hampir seluruh sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor

pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Tanah

berarti bumi, sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan

umumnya ada pemiliknya. Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu.

Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang

melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:

1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan,

perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.

2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang

mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya

bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

Fungsi lahan bagi pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang

dihasilkan untuk suatu luas tertentu, adapun fungsi lahan pertanian yang

berpengaruh lebih luas adalah menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan

hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga

kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan serta mempertahankan nilai-

nilai budaya. Fungsi lahan bagi para stakeholder memiliki arti penting masing-

masing. Fungsi lahan bagi masyarakat, lahan sebagai tempat tinggal dan sumber

mata pencaharian. Bagi petani, lahan sebagai sumber memproduksi makanan dan

keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan ialah aset untuk

mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu

negara dan untuk kesejahteraan rakyat.

Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) bahwa dari aspek lingkungan,

keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu:

pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi,

pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan

mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Menurut Sumaryanto

10

dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori.

Pertama, use value. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan

usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use

value, berbagai manfaat yang dapat tercipta dengan sendirinya walaupun bukan

merupakan tujuan dari eksploitasi dari pemilik lahan pertanian.

2.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil

pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh.

Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor

produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bagi petani, lahan

juga mempunyai arti yang sangat penting. Dari lahan sawah lah mereka dapat

mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam

dan beternak. Karena lahan merupakan faktor - faktor produksi dalam berusaha

tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini

berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan

juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani

yang diusahakan.

Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan

ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan

akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa

dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu

wilayah maka dengan perubahan struktur ekonomi yang terjadi seperti yang

terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser

peranan sektor pertanian ke sektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk

kegiatannya. Dalam keadaan demikian lahan-lahan pertanian akan mendapat

tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar

pertanian (Anwar 1993).

Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi lahan secara umum menyangkut

transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke

penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan biasanya terjadi di wilayah sekitar

perkotaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan

11

membangun sektor–sektor industri dan jasa. Sebagai sumberdaya alam, lahan

merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk

meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada

dasarnya bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo, 1992). Jika

lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri,

maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut

berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat

sementara, karena pada tahun–tahun yang akan datang dapat dijadikan sawah

kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada

alih fungsi lahan sementara.

Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah-

wilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-

pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat

untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah

tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana

yang berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi dengan pemukiman sebagai

tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti

industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah

Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertumbuhan ekonomi, maka

laju penggunaan lahan akan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan akan

lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut

Pakpahan et al (1993), faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah

ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang

mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak

langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dan

faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani yaitu

faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan

alih fungsi lahan.

Menurut Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih

fungsi lahan sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS)

12

dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu,

penurunan jumlah luas lahan dan variabel bebas yaitu, kepadatan penduduk,

produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non

pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non

pertanian.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih

fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :

1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu

wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan

permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut

berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.

2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non

pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk

bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian

relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga

petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan.

3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan

terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun

skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang

memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan.

Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung

mendorong alih fungsi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan

yang ada.

Menurut Utomo (1992) secara umum masalah alih fungsi dalam

penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih

sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang

masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) masih

lemah dan penegakkan hukum yang masih lemah.

13

2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Menurut Widjanarko et all (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan,

antara lain :

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang

mengganggu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari

sektor pertanian ke non pertanian, apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak

terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka penygangguran. Dampak

sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial

masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi

meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pegairan menjadi

tidak optimal pemanfaatannya.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun

industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan

mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga

meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik

sosial seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang

terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru

yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan Tengah,

tidak memuaskan hasilnya.

Menurut Firman (2005) alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan

dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan

oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi

dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan.

Sedangkan dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari

wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

Menurut Sibolak (1995), pengalihan fungsi lahan ke penggunaan lain,

secara otomatis mengubah besaran maupun jenis manfaat yang dapat di terima

dari penggunaan lahan tersebut. Kerugian akibat alih fungsi lahan petanian ke non

pertanian terutama adalah hilangnya „peluang‟ memproduksi hasil pertanian di

14

lahan sawah yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang

teralihfungsikan. Kerugiannya antara lain penurunan produksi pertanian dan

nilainya, pendapatan usahatani, kesempatan kerja pada kegiatan usahatani,

kehilangan manfaat investasi dari lahan teralihfungsikan.

2.5 Produktivitas lahan

Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk

persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau

faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja,

atau air selain terhadap satuan luas lahan (Hildebran, 1987).

Produktivitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari

usahataninya. Semakin rendah produktivitas lahan sawah, maka produk yang

dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah. Rendahnya pendapatan

petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktivitas lahan sawah akan

menyebabkan petani memutuskan untuk mengalihfungsikan lahan sawahnya dan

beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non

pertanian dipandang dapat mengahasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada

pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktivitas

rendah (Utama, 2006).

2.6 Reforma Agraria (Land Reform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih

Fungsi Lahan

Pengertian reformasi agraria secara luas mencakup pengaturan hubungan

manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan

kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada

dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan

kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat

sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut

tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :

1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak

terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas

lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas,

usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi

15

pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi

pendapatan masyarakat.

2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat

memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).

3. Pengaturan hubungan pemilik‐penggarap (UU bagi hasil, dan lain‐lain).

4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada

masyarakat.

5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.

6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri,

pemukiman, hutan lindung, dan lain‐lain).

Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan

pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan

produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan

pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan

dari landreform, yaitu :

1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat.

Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani

menjadi pemilik tanah.

2. Industri berkembang.

3. Secara multiplier akan meningkatkan Gross National Product (GNP).

Hal‐hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di

Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan

luasan yang banyak akibat adanya alih fungsi lahan.

Secara konseptual, agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda, yaitu

aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”.

Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang

terdapat dalam TAP MRP No. 9 tahun 2001 pasal 2, yang menyebutkan bahwa:

“pembaharuan agraria mencakup satu proses yang berkesinambungan berkenaan

dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan

aspek penggunaan dan pemanfaatan. Karena yang pertama berkenaan dengan

bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua berkenaan

16

dengan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) digunakan dan

dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Undang-Undang Peraturan Agraria

(UUPA) No. 5 tahun 1960 dan amandemen UU tersebut yang sudah sejak tahun

2003 yang telah dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari pada aspek penggunaan.

Landasan hukum dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA

antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian

pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk

perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan

berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.

2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada

pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan

pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah

terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di

kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan

dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah yang

diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak

menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan

tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak

mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi

ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada kepala kantor

wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah

menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut sifat dan tujuan

pemberian haknya.

5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi

penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin

17

lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah

dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah

yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta

kemampuan tanah.

Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang

berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian

adalah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan

Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada

pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri

dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.

2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan

pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena

memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.

3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket

Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan

penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut

menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan

industri, pemukiman, maupun wisata.

2.7 Ketahanan Pangan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan

adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1)

tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman;

(3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut,

ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan

dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang memadai dalam

setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi

jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari

cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau merusak

18

kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau

kepercayaan masing-masing.

3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman dan

berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah

kalori setiap rumah tangga di Indonesia.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman dan

berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh semua

kalangan masyarakat Indonesia.

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari penelitian-penelitian yang

sudah dilakukan mengenai laju alih fungsi lahan di suatu wilayah, pengaruh

faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian,

dampak ekonomi ketahanan pangan di suatu wilayah. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada tambahasan pembahasan

mengenai kebijkan terkait alih fungsi lahan serta penelusuran tentang

kesejahteraan petani. Tabel 5 merupakan kumpulan dari penelitian terdahulu.

19

Tabel 5. Penelitian Terdahulu

No. Pengarang, Tahun dan

Judul Tujuan Metode Hasilnya

1. Neneng Solihah, 2002,

Dampak Alih Fungsi

Lahan Sawah ke

Penggunaan Non Sawah

Terhadap Pendapatan

Petani di Kabupaten

Bogor.

1. Mengkaji besar alih fungsi lahan

sawah dan pola alih fungsi yang terjadi

di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis pola alih fungsi lahan

sawah di tingkat petani dan aktivitas

petani setelah melakukan alih fungsi

lahan.

3. Menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi alih fungsi lahan sawah

di tingkat wilayah dan tingkat petani.

4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan

sawah terhadap pendapatan petani.

1. Tabulasi deskriptif

2. Analisis regresi Linier

Berganda.

3. Analisis faktor logit

1. Perubahan lahan sawah di Kabupaten

Bogor 1996-2001, secara keseluruhan

menurun 2.946 ha atau 491 ha per

tahun.

2. Konversi lahan yang terjadi di

kabupaten Bogor selama 1998-2001

adalah 19,61% atau 22,9% per tahun

sedang non sawah 8,39% atau 2,1%

per tahun, dengan kehilangan lahan

sawah seluas 76,45 ha untuk non

pertanian dan 82,68% untuk

perumahan.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi

adalah jumlah penduduk, jumlah

sarana pendidikan, panjang jalan aspal

dan produktivitas lahan sawah.

4. Secara empirik, alih fungsi lahan

sawah menurunkan pendapatan petani.

2. Fanny Anugerah K, 2005,

Analisis Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi

Konversi Lahan Sawah ke

Penggunaan Non

Pertanian di Kabupaten

Tangerang.

1. Mengidentifikasi perkembangan dan

pola konversi lahan sawah selama

sepeluh tahun terakhir di wilayah

Kabupaten Tangerang.

2. Mengidentifikasi dampak konversi

lahan sawah seiring dengan terjadinya

pergeseran struktur ekonomi di

Kabupate n Tangerang.

3. Menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya konversi

lahan sawah ke penggunaan non

pertanian di Kabupaten Tangerang.

1. Analisis deskriptif

2. Analisis estimasi dampak

konversi lahan

3. Metode Location Quotieny

(LQ)

4. Analisis surplus pendapatan

dan tenaga kerja.

5. Analisis regresi linier

berganda.

1. Konversi lahan yang terjadi di

Kabupaten Tangerang pada tahun

1994-2003 sebesar 5.407 ha dengan

laju sebesar 2,44% per tahun.

2. Rata-rata lahan sawah yang

terkonversi selama 1994-2003 yaitu

sebesar 3.588,11 ton per tahun dan

kehilangan nilai produksi sebesar Rp

48.439.427.500.

3. Hasil perhitungan LQ berdasarkan

indikator pendapatan menunjukan

sektor pertanian merupakan sektor

basis dan mampu memberikan nilai

surplus.

20

3. Desi Irnalia Astuti. 2011.

Keterkaitan Harga Lahan

Terhadap Laju Konversi

Lahan Pertanian Di Hulu

Sungai Ciliwung

Kabupaten Bogor

1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di

Kecamatan Cisarua.

2. Menganalisis keterkaitan harga lahan

terhadap laju konversi lahan pertanian

di

Kecamatan Cisarua.

3. Mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi penduduk dalam

mengkonversi

lahan di hulu sungai.

1. Analisis Keterkaitan Harga

Lahan terhadap Laju

2. Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Konversi

Lahan

1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan

Cisarua tahun 2001-2010 terus

mengalami peningkatan. Konversi

lahan tertinggi terjadi pada tahun

2006, karena ada pertambahan jumlah

obyek wisata dan jumlah penduduk.

Tingkat konversi lahan untuk

pertanian dan untuk pemukiman

masing-masing sebesar 2.28 % dan

3.94 %.

2. Harga lahan di tingkat Kecamatan

Cisarua pada tahun 2001-2010

berhubungan positif terhadap konversi

lahan. Laju konversi semakin tinggi

karena kenaikan harga lahan di

Kecamatan Cisarua lebih murah

dibandingkan dengan daerah asal

mayoritas pembeli yaitu Jakarta

dimana pembeli memiliki keinginan

untuk berinvestasi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penduduk pada tingkat rumah tangga

dalam mengkonversi lahan adalah

harga lahan, jumlah tanggungan,

pendapatan, dan luas lahan yang

dimiliki saat sebelum menjual.

4. Irvan Maulana Sadikin,

2009, Analisis Dampak

Konversi Lahan Pertanian

Terhadap Produksi Padi

dan Land Rent (Kasus

Perumahan Pakuan

Regency, Bogor Barat,

Kota Bogor)

1. Menjelaskan faktor-faktor yang

mendorong Pemerintah Kota Bogor

mengkonversi lahan pertanian menjadi

lahan pemukiman.

2. Menjelaskan dan menghitung dampak

pembangunan perumahan Pakuan

Regency terhadap hilangnya padi dan

pemasukan (income) petani dari

usahatani padi.

3. Menjelaskan dan menghitung

1. Analisis deskriptif

2. Analisis dampak konversi

lahan pertanian

3. Dampak lingkungan

4. Analisis hilangnya produksi

padi

5. Analisis hilangnya

penerimaan petani

6. Analisis Land rent

7. Analisis faktor-faktor yang

1. Faktor-faktor yang mendorong

peningkatkan kualitas pemukiman

yang telah ada, yaitu visi Kota Bogor

sebagai kota pemukiman sebelum

diubah menjadai kota jasa dan

kontribusi terhadap PDRB.

2. Pembangunan perumahan Pakuan

Regency menghilangkan akses air

irigasi pada lahan pertanian dengan

kehilangan jumlah produksi padi

21

perbandingan nilai Land Rent sebelum

dan sesuadah dibangunnya perumahan

Pakuan Regency.

4. Menjelaskan pengaruh dari faktor-

faktor Land Rent terhadap nilai

ekonomi lahan (land rent) pada lahan

pertanian dan lahan pemukiman

perumahan Pakuan Regency.

mempengaruhi Land Rent sebesar 392 ton Gabah Kering Giling

(GKG) dan lahan yang terganggu

aliran air irigasinya sebesar 22,4 ton

GKG dengan jumlah pendapatan yang

hilang Rp 1.141.760.000,00 per tahun.

Land Rent pemukiman lebih besar

71,68 kali dibandingkan dengan Land

Rent pertanian.

3. Variabel luas lahan dan biaya

operasional berpengaruh negatif

terhadap land rent pertanian dan

variabel penerimaan berpengaruh

secara negatif oleh variabel luas lahan,

biaya operasional dan pajak,

sedangkan variabel luas bangunan dan

total penerimaan berpengaruh positif.

5.

Deny Syaiful Hayat,

2002, Analisis Faktor–

Faktor yang

Mempengaruhi Konversi

Lahan Sawah (Studi

Kasus Kabupaten Bogor,

Jawa Barat)

1. Mengetahui pola konversi lahan sawah

yang terjadi dan mengetahui dampak

ekonomi konversi lahan sawah ke

penggunaan non pertanian terhadap

pembangunan wilayah di kabupaten

Dati II di Bogor.

2. Mengetahui proses transformasi

perekonomian yang terjadi sebagai

implikasi konversi lahan sawah yang

terjadai di Kabupaten Bogor.

3. Faktor–faktor apa yang mempengaruhi

konversi lahan sawah ke penggunaan

non pertanian di Kabupaten Dati II

Bogor.

1. Analisis deskriptif

2. Analisis kuantitatif estimasi

dampak konversi lahan sawah

3. Metode Location Quotient

(LQ).

4. Analisis surplus pendapatan

petani dan tenaga kerja.

5. Analisis estimasi

pertumbuhan.

6. Analisis regresi linier

berganda.

1. Pada tahun 1991-2000 jumlah lahan

yang terkonversi seluas 19.262 ha.

Rata–rata luas lahan yang terkonversi

adalah 1.926,2 ha per tahun.

2. Pola konversi lahan sawah yang

terjadi di Kabupaten bogor terjadi

pada jenis lahan sawah irigasi

sederhana yaitu 44% dari luas lahan

yang terkonversi.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi

adalah produktivitas lahan sawah,

proporsi lahan sawah beririgasi teknis

dan non teknis, kontribusi

pertumbuhan PDRB dan pertambahan

jalan aspal.

6. Dicky fajar Utama, 2006,

Analisis Faktor–Faktor

yang Mempengaruhi

Konversi Lahan Sawah ke

Penggunaan Non Sawah

1. Mengetahui besaran dan laju konversi

lahaan sawah ke penggunaan non

sawah di Kabupaten Cirebon.

2. Mengetahui pola konversi lahan sawah

yang terjadi dan mengetahui dampak

1. Analisis Deskriptif

2. Analisis Kuantitatif Estimasi

Dampak Konversi Lahan

Sawah

3. Analisis Regresi

1. Konversi lahan yang terjadi di

Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-

2004 sebesar 5.872 ha atau sekitar

391,47 ha per tahun.

2. Konversi lahan sawah yang terjadi

22

di Kabupaten Cirebon ekonomi konversi lahan sawah.

3. Menganalisis faktor–faktor yang

berpengaruh terhadap konversi lahan

sawah ke penggunaan non sawah di

kabupaten Cirebon.

4. Analisis Operasional

mengakibatkan kehilangan peluang

produksi padi sebesar 42.209,08 ton

dengan nilai sebesar Rp

78.086.798.000 jika diasumsikan

harga 1 ton gabah kering giling

sebesar Rp 1.850.000.

3. Faktor–faktor yang mempengaruhi

adalah kepadatan penduduk,

produktivitas lahan sawah, kontribusi

PDRB non pertanian dan pertumbuhan

panjang jalan aspal.

23

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Permasalahan pembangunan sektor ekonomi dan pertumbuhan jumlah

penduduk yang terjadi sangat mempengaruhi ketersediaan lahan pertanian yang

ada. Pembangunan sektor ekonomi yang ada dalam suatu wilayah, sangat

berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan salah satunya terjadi pada

sektor industri. Pertumbuhan sektor industri yang sangat cepat menyebabkan,

permintaan akan kebutuhan lahan akan semakin meningkat. Sehingga, lahan yang

awalnya berupa lahan pertanian, khususnya sawah kini menjadi lahan yang

memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin

meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana

sehari-hari akan meningkat pula. Sehingga, lahan yang sifatnya relatif tetap,

dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya

alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Semakin sempitnya luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah, akan

memberikan dampak yang cukup besar terhadap hilangnya jumlah produksi dan

nilai produksi padi dan hilangnya nilai pendapatan rumah tangga petani. Dampak

yang dirasakan petani akibat terjadinya alih fungsi lahan yaitu, petani yang pada

awalnya merupakan petani pemilik lahan, perlahan mereka mulai berubah

kedudukkan menjadi petani penggarap dilahan orang lain, buruh tani, penggarap

ataupun beralih ke pekerjaan lain, sehingga nilai pendapatan rumah tangga mereka

dapat mengalami peningkatan, penurunan atau bahkan lenyap. Hal tersebut

menunjukkan adanya transformasi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian

dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non

pertanian juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan secara fisik. Seperti

banjir, kekurangan air, pencemaran air yang akan berpengaruh terhadap kondisi

lingkungan masyarakat.

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian didasari oleh adanya faktor-

faktor tertentu, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor

yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi

lahan di tingkat wilayah, merupakan faktor yang secara tidak langsung

mempengaruhi hasil keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang

24

mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, merupakan faktor yang secara

langsung mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan. Pengaruh langsung

dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk yang

akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke

arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana

transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan

meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di

tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan,

pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga

tanah dan lokasi tanah. Secara umum, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain

dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi lahan sawah

secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan

sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di

pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus

urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang, sedangkan alih fungsi

lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas

lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut

secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana

transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana

pemukiman dan sebaran lahan pertanian.

Pengendalian alih fungsi lahan merupakan langkah tinjauan ulang

kebijakan pemerintah terkait reforma agraria. Sehingga dari gambaran alih fungsi

lahan yang terjadi, pemerintah akan dapat memperhitungkan kompensasi yang

harus diberikan untuk mempertahankan lahan pertanian yang ada di Indonesia.

Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian

beserta dampak terhadap pendapatan petani dan produksi pangan ditampilkan

secara sederhana dalam Gambar 1.

25

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Analisis Laju Alih Fungsi

Lahan Pertanian

Kebijakan Pengendalian Alih

Fungsi Lahan Pertanian ke Non

Pertanian

Analisis Pendapatan

Petani dan Alih Kerja

Analisis Produksi

Pangan

Penurunan Kondisi

Lingkungan

Perubahan

Pendapatan Petani

Penurunan Produksi

Pangan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Dampak

Alih Fungsi Lahan

Pertanian

Peningkatan Kebutuhan

Pemukiman

Peningkatan Kebutuhan

Lahan Industri

Pembangunan

Sektor Ekonomi

Pertumbuhan

Penduduk

Peningkatan Usaha

Keluarga Non

Pertanian

26

27

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari

Juli 2013. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara

sengaja (purposive). Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak

dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut

pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan

terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu

wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan

perkembangan ekonomi yang paling cepat, sehingga memberikan implikasi

adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di

Kecamatan Ciampea yang dipilih karena pada daerah tersebut produktivitas padi

per hektarnya dari tahun 2009-2011 terus mengalami penurunan. Hal ini dapat

dilihat pada gambaran umum mengenai Kecamatan Ciampea di bab selanjutnya.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian “Analisis Dampak Ekonomi

dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan

Di Kabupaten Bogor. ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer

digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

di tingkat petani, dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan

dampak alih fungsi lahan terhadap produksi pangan.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pemilik

lahan baik melalui kuesioner maupun wawancara secara mendalam. Responden

yang diambil sebanyak 45 petani. Kecamatan Ciampea ini diambil berdasarkan

hasil Location Quotient (dengan nilai lebih dari 1) basis komoditas padi sawah

dari data Pemerintah Kabupaten Bogor. Data sekunder digunakan untuk

mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor eksternal dan internal yang

mempengaruhi alih fungsi lahan. Jenis data tersebut diperoleh dari: Badan Pusat

Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Daerah, Bapeda Kota Bogor dan

publikasi beberapa penelitian terdahulu, jurnal, artikel, dan internet.

28

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan

kepada petani pemilik lahan yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak

mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik

purposive sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method.

Penelitian dilaksanakan menggunakan metode sampling non-probability

disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui

secara pasti.

4.4 Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk

tabel yang mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode analisis data yang akan

dilakukan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6. Matriks Metode Analisis Data

No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1. Mengkaji laju alih fungsi

lahan pertanian di

Kabupaten Bogor.

Penelusuran data

sekunder

Analisis laju alih fungsi

lahan

2. Mengidentifikasi faktor-

faktor yang berpengaruh

terhadap alih fungsi lahan

pertanian ke penggunaan

non pertanian di Kabupaten

Bogor.

Penelusuran data

sekunder dan

wawancara

menggunakan

kuesioner

Analisis deskriptif, Analisis

regresi linier berganda dan

Analisis regresi logistik.

3. Menganalisis dampak alih

fungsi lahan terhadap

pendapatan petani dan

produksi pangan di

Kabupaten Bogor.

Penelusuran data

sekunder dan

wawancara

menggunakan

kuesioner

Analisis hilangnya

penerimaan petani, Analisis

hilangnya produksi padi.

4. Menganalisis langkah

pengendalian alih fungsi

lahan yang harus

diterapkan dalam bentuk

kebijakan pemerintahan

Penelusuran data

sekunder

Analisis kebijakan apa saja

yang sudah diterapkan.

29

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan

komputer dengan program microsoft office excel 2007, Eviews 7 dan SPSS 18.

4.4.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode yang sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah

yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu

termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang

berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena (Withney, 1960). Data yang

diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penulisan data dan informasi diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk

mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan yang terjadi

selama pengamatan.

2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari

kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi

data.

3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran

yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi

interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Dengan menggunakan analisis deskriptif akan diperoleh gambaran

mengenai faktor-faktor lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dampaknya

terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.

4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih

fungsi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009) dalam Astuti (2011). Laju alih

fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut :

𝑉 =𝐿𝑡− 𝐿𝑡−1

𝐿𝑡−1 × 100% .............................................................................(4.1)

Dimana :

V = Laju Alih Fungsi lahan (%)

Lt = Luas lahan sawah saat ini/ tahun ke-t (ha)

Lt-1 = Luas lahan sawah tahun sebelumnya (ha)

30

Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan

pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi dengan luas lahan

tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Hal ini dapat dilakukan

pada tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat diperoleh hasil laju alih fungsi

setiap tahun.

4.4.3 Analisis Faktor

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke

penggunaan non pertanian digunakan dua analisis yaitu analisis regresi linier

berganda dan analisis regeresi logistik. Analisis regresi linier berganda digunakan

untuk mengetahui faktor-faktor eksternal di tingkat wilayah yang berpengaruh

terhadap alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan analisis regresi logistik

digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal di tingkat petani yang

berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah

yang ada.

4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda

Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat

alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linier berganda.

Analisis regresi adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel

peubah bebas atau independent (X) dengan variabel peubah tak bebas atau

dependent (Y). Hipotesis faktor-faktor dari tingkat wilayah yang mempengaruhi

alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:

1. Laju pertumbuhan penduduk (persen)

Laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi permintaan terhadap lahan,

seperti untuk pemukiman, sarana dan prasarana serta fasilitas umum lainnya.

Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatan permintaan

terhadap lahan sehingga mendorong penurunan luas lahan pertanian akibat alih

fungsi lahan pertanian yang semakin tinggi.

2. Luas lahan bangunan dan jumlah industri (unit)

Peningkatan luas lahan bangunan dan jumlah industri mendorong

meningkatnya permintaan terhadap lahan. Semakin tinggi pertambahan luas

31

lahan bangunan dan jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan

sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.

3. Produktivitas lahan pertanian (ton/ha)

Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka akan meningkatkan

penurunan luas lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan karena lahan

dianggap memilik opportunity cost.

Persamaan model regresi linier berganda antara peubah-peubah diatas

dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε .................................................(4.2)

Tanda yang diharapkan :

β i > 0

Dimana :

Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan

α = Intersep

Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan

β i = Koefisien regresi

ε = Erorr Term

Metode Analisis Linier Berganda merupakan metode analisis yang didasarkan

pada Metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode Least Square

adalah menduga koefisisen regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan

(error). Ordinary Least Square (OLS) memiliki beberapa sifat : (1) tidak bias

dengan penaksiran varian yang minimum baik linear maupun bukan, (2)

konsisten yaitu dengan meningkatnya ukuran sample secara tidak terbatas,

penaksir mengarah ke nilai populasi sebenarnya, dan (3) β0 dan β1 terdistribusi

secara normal (Gujarati 2002).

Langkah awal yang dapat dilakukan dalam pengujian ini adalah dengan

pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi

diperlukan dalam penelitian ini. Terdapat tiga pengujian, yaitu uji koefisien

determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t.

1. Uji Koefisien Determinasi (R-square)

Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variable

dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R-squared dapat

32

menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersamaan dalam menjelaskan

variasi dari peubah tak bebas. Nilai R-squared memiliki besaran yang positif yaitu

0< R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman

variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya,

jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara

keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna

(Gujarati, 2002). Rumus R-squared dapat dilihat sebagai berikut.

𝑅2 = 𝐸𝑆𝑆

𝑇𝑆𝑆 ................................................................................................(4.4)

Dimana :

ESS = Explained of Sum Squared

TSS = Total Sum of Squared

2. Uji t

Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing

variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependennya. Prosedur dalam pengujian Uji t oleh Gujarati

(2002) :

H0 : β1 = 0

H0 : β1 ≠ 0

𝑡 =𝑏−𝛽𝑡

𝑆𝑒𝛽 .................................................................................................(4.5)

Dimana :

b = Parameter dugaan

β1 = Parameter hipotesis

Seβ = Standar error parameter β

Jika t hitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak

berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak,

artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).

3. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau

bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau tidak bebas (Y).

Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002):

H0 = β1 = β2 = β3 = ..... = βi = 0

H1 = minimal ada satu βi ≠ 0

33

𝐹ℎ𝑖𝑡 =𝐽𝐾𝐾 /(𝑘−1)

𝐽𝐾𝐺 /(𝑛−𝑘) ......................................................................................(4.6)

Dimana :

JKR = Jumlah Kuadrat Regresi

JKG = Jumlah Kuadrat Galat

k = Jumlah variabel terhadap intersep

n = Jumlah pengamatan/sampel

Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti

bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas

(Y). Apabila F hitung > F tabel maka H0 diterima dan H1 diterima yang berarti bahwa

variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y).

Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik, sehingga

harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat

dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian

pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik.

Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat model tersebut baik atau tidak.

Model yang baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang

dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.

Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :

H0 : Error term terdistribusi normal

H1 : Error term tidak terdistribusi normal

Dengan kriteria uji :

Jika P-value < α maka tolak H0

Jika P-value > α maka terima H0

Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan

persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji

Kolmogrov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara data yang di uji dengan data baku.

b. Uji Autokorelasi

Autokerelasi adalah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada

pengamatan berbeda waktu dan individu yang terjadi dapat data time series.

34

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya

autokorelasi. Salah satunya adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Besarnya nilai

statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):

𝑑 = (𝑢𝑡− 𝑢 𝑡−1)2 𝑁

𝑡=2

𝑢𝑡2 𝑁

𝑡−1

..................................................................................(4.7)

Dimana :

d = Statistik Durbin-Watson

ut dan ut-1 = Gangguan estimasi

Pengambilan keputusannya :

- Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka

koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autkorelasi positif.

- Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lowne bound (dl), maka

koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.

- Jika nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih

kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.

- Jika nilai DW lebih kecil daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih

besar daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

- Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW

terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

c. Uji Multikolinearitas

Jika suatu model regrasi berganda terdapat hubungan linear sempurna

antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut

mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan R-

squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Uji Varian

Invaction Factor (VIF) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam metode

ini. Hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar

dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka model tersebut

mengalami multikolinearitas. Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka model

tersebut tidak mengalami multikolinearitas. Jika model mengandung

multikolinearitas, mengatasinya adalah dengan cara mengubah semua variabel

bebas yang berpengaruh menjadi Ln.

35

d. Uji Heteroskedastisitas

Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak

sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi

yang biasanya terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi

heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dengan

tujuan untuk menjadikan ragam homogeni pada peubah respon hasil transformasi

tersebut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser yang dilakukan

dengan meregresikan varibel-variabel bebas terhadap nilai residualnya (Gujarati

2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejster lebih besar dari α maka tidak

terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.

4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik

Analisis regresi logistik digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang

mempengaruhi petani dalam pengalihfungsian lahan sawah. Menurut Nachrowi et

all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam parameter maupun

dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang

dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009) :

𝑃𝑖 = 𝐹 𝑍𝑖 = 𝐹 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 =1

1+𝑒−𝑧 =1

1+𝑒−(𝛼+𝛽𝑋𝑖 ) ..................................(4.8)

Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718).

Dengan aljabar biasa, persamaan dapat di tunjukkan menjadi :

𝑒𝑧 =𝑃𝑖

1−𝑃𝑖 .................................................................................................(4.9)

Peubah Pi / 1 - Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yaitu rasio

peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif.

Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum

likelihood (ML). Dengan persamaan logaritma natural, maka :

𝑍𝑖 = ln𝑃𝑖

1−𝑃𝑖→ ln

𝑃𝑖

1−𝑃𝑖= 𝑍𝑖 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖..................................................(4.10)

Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang

mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :

ln𝑃𝑖

1−𝑃𝑖= 𝑍 = 𝛼 + 𝛽1𝑋1 + 𝛽2𝑋2 + 𝛽3𝑋3 + 𝛽4𝑋4 + 𝛽5𝑋5 + 𝛽6𝑋6 + 𝜀 ..(4.11)

Dimana:

Z = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)

36

α = Intersep

Xi = Faktor –faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan

βi = Koefisien regresi

ε = Error Term

Hipotesis faktor-faktor internal yang mempengaruhi tingkat alih fungsi

lahan adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan

Semakin kecil pendapatan yang diperoleh petani, maka semakin tinggi

keinginan petani untuk melakukan alih fungsi lahan.

2. Jumlah Keluarga (Orang)

Semakin banyak jumlah tanggungan anggota keluarga, maka akan semakin

banyak pula kebutuhan yang harus ditanggapi, sehingga tekanan untuk

melakukan alih fungsi lahan akan meningkat.

3. Hasil Panen (ton/ha)

Semakin tinggi hasil panen akan memberikan tingkat pengembalian yang besar,

sehingga akan mendorong petani untuk mempertahankan lahannya. Alih fungsi

lahan yang terjadi akan menurun.

4. Harga Pupuk (Rp/kg)

Semakin meningkat harga pupuk, maka petani akan lebih memilih melakukan

alih fungsi lahan daripada mempertahankan lahannya dengan harga pupuk

yang tinggi.

5. Harga Benih (Rp/kg)

Harga benih yang tinggi, akan mengakibatkan petani lebih memilih untuk

menngalifungsikan lahannya, sehingga alih fungsi lahan akan mengalami

peningkatan.

6. Harga Tanah di Sekitar (Rp/ha)

Harga lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi keputusan petani dalam

melakukan alih fungsi lahan. Semakin tinggi harga lahan, semakin tinggi

tingkat alih fungsi lahan di wilayah tersebut.

7. Ketersediaan Irigasi (Dummy)

Ada atau tidaknya irigasi mempengaruhi petani dalam mempertahankan

lahannya. Jika tidak adanya irigasi, maka petani akan lebih memilih melakukan

37

alih fungsi lahan dibandingkan mempertahankan lahannya. Agar diperoleh hasil

analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian untuk melihat model

logit yang dihasilkan keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara

kualitatif. Pengujian parameter yang dilakukan dengan menguji semua secara

keseluruhan dan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Statistik uji

yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Odds Ratio

Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadinya sukses (y=1) terhadap

peluang kejadian terjadinya gagal (y=0) (Nachrowi et all, 2002). Odds ratio sering

digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam

epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara

peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Odds ratio dapat

didefinisikan sebagai berikut : 𝑃(𝑋𝑖)

1−𝑃(𝑋𝑖) dimana P menyatakan peluang terjadinya

peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa.

b. Likelihood Ratio

Likelihood Ratio merupakan rasio kemungkinan maksimum yang

digunakan untuk menguji peranan variabel secara serentak (Hosmer dan

Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai Likelihood Ratio

adalah Uji G dengan rumus seperti:

𝐺 = −2 ln(𝑙0

𝑙𝑖) .......................................................................................(4.12)

Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li

merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran

chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G

> chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa

minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat

menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan.

4.4.4 Analisis Hilangnya Penerimaan Petani

Alih fungsi lahan sawah berdampak pada perubahan penerimaan yang

didapatkan petani dari usaha tani yang dilakukan. Menurut Utama (2006),

penerimaan petani yang lahan pertaniannya teralihfungsikan dihitung berdasarkan

38

produksi padi yang hilang dikalikan dengan harga padi yang berlaku. Sehingga

dapat dirumuskan sebagai berikut :

NQ1 = PR x QR.........................................................................................(4.13)

Dimana :

NQ1 = Penerimaan petani yang hilang dari lahan sawah yang teralihfungsi (Rp)

PR = Harga padi (Rp)

QR = Produksi padi yang hilang (ton)

Penerimaan yang hilang dari petani yang lahan pertaniannya terganggu

dihitung berdasarkan pada selisih penerimaan antara usahatani yang dilakukan

sebelum lahan pertanian tersebut terganggu dan setelah lahan pertanian tersebut

terganggu. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :

𝑁𝑄𝑍 = 𝑃𝑅𝑥𝑄𝑅 − 𝑃𝑉𝑥𝑄𝑉𝑗 , .....................................................................(4.14)

Dimana :

NQZ = Selisih penerimaan usahatani sebelum dan sesudah adanya alih fungsi

lahan (Rp)

QR = Produksi padi yang hilang (ton)

QVj = Produksi perkebunan (ton)

PR = Harga padi (Rp)

PV = Harga komoditi perkebunan (Rp)

Penerimaan sari usahatani padi sebagai dampak alih fungsi lahan

merupakan penjumlahan dari penerimaan yang hilang pada lahan yang

teralihfungsikan dan selisih penerimaan antara usahatani padi dan usahatani

perkebunan. Dapat dirumuskan :

NQT = NQ1 + NQ2 ...............................................................................(4.15)

Dimana NQT merupakan hilangnya penerimaan total sebagai dampak alih

fungsi lahan.

4.4.5 Analisis Estimasi Dampak Produksi

Salah satu dampak dari alih fungsi lahan pertanian adalah hilangnya

kesempatan memproduksi pangan dari lahan pertanian yang teralihfungsikan dan

lahan pertanian yang terganggu di sekitar lahan pertanian yang teralihfungsikan.

Model dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑄 = 𝑆1 𝑥 𝐻 + (𝑆2𝑥𝐻 ) ......................................................................(4.16)

39

Dimana :

Q = Produksi padi per tahun yang hilang (ton)

S1 = Luas lahan yang teralihfungsikan (ha)

S2 = Luas lahan yang terganggu sehingga tidak dapat menghasilkan produksi

padi (ha)

𝐻 = Produktifitas lahan rata – rata pada kawasan lahan yang teralihfungsikan

(ton/ha)

Produktifitas lahan pertanian rata – rata di peroleh dari rata – rata

produktifitas lahan seluruh responden dengan fungsi sebagai berikut :

𝐻 =

𝑄

𝑆

𝑛 ...................................................................................................(4.17)

Dimana :

𝑄

𝑆 = Jumlah produktifitas lahan pertanian dari seluruh responden yang

melakukan usahatani (ton/ha)

n = Jumlah responden yang menjadi sampel pengamatan

40

41

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung

dengan ibu kota RI (DKI Jakarta) dan secara geografis mempunyai luas sekitar

2.301,95 Km2 terletak antara 6

o19‟ – 6

o47‟ lintang selatan dan 106

o1‟-107

o103‟

bujur timur. Batas-batas Wilayah ini adalah:

- Sebelah utara berbatasan dengan Kota Depok

- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak.

- Sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta

- Sebelah timur laut berbatasan dengan Kabupaten Bekasi.

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.

- Sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2012, Kabupaten Bogor terdiri

dari 40 kecamatan, 17 kelurahan, 413 desa, 3.882 Rukun Warga (RW) dan

15.561 Rukun Tangga (RT). Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yakni 235 desa

berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 meter terhadap permukaan laut,

sedangkan 145 desa berada di antara 500 - 700 meter dari permukaan laut dan

sisanya 50 desa berada di atas ketinggian lebih dari 700 meter dari permukaan laut.

Dilihat dari aksesibilitas perhubungan, Kabupaten Bogor merupakan daerah

strategis karena menghubungkan antara Ibu Kota Jakarta dan Kota Bogor. Dalam

hal pembangunan regional Jabodetabek, Kabupaten Bogor berfungsi sebagai

daerah penyangga DKI Jakarta.

Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga wilayah pembangunan, yaitu wilayah

pembangunan barat, tengah dan timur. Pembagian perwilayahan pembangunan

merupakan dasar penyusunan rencana strategis wilayah Kabupaten Bogor.

Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan

pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan

sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Pembangunan wilayah barat

meliputi 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg,

Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang,

42

Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar

128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 kecamatan, yaitu

Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede,

Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi,

Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan

Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur

meliputi tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi,

Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu.

5.2 Kependudukan Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah perlintasan utama menuju

DKI Jakarta dan daerah bertumbuh kembangnya kawasan industri manufaktur.

Sehinggan permasalahan pembangunan seringkali menjadi beban. Terutama

pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup pesat. Berdasarkan hasil data dari

Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Tahun 2011, jumlah

penduduk Kabupaten Bogor sebesar 4.353.591 juta jiwa. Jumlah tersebut

mendiami wilayah seluas 2.997,13 km2, sehingga secara rata-rata kepadatan

penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1.453 jiwa per km2. Jumlah penduduk

Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada

Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk

(Jiwa/Km2)

2002 3.249.781 1.354

2003 3.399.036 1.423

2004 3.438.055 1.439

2005 3.700.207 1.549

2006 4.215.436 1.582

2007 4.251.838 1.596

2008 4.340.520 1.629

2009 4.477.344 1.681

2010 4.771.932 1.998

2011 4.353.591 1.453 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan

43

5.3 Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor

Penggunaan lahan pertanian dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis,

sawah irigasi setengah teknis, pengairan sederhana, pengairan non PU, lahan

kering yang terdiri dari tegalan dan ladang. Luas penggunaan lahan tersebut

mengalami penurunan dari tahun 2002 hingga tahun 2011. Wilayah Kabupaten

Bogor pada tahun 2011 memiliki luas lahan sawah sebesar 299.428 Hektar.

Terdiri dari lahan sawah sebesar hektar 48.185 (17,94%) dan lahan kering sebesar

251.243 hektar (82,06%). Luas lahan penggunaaan sawah di Kabupaten Bogor

mengalami perubahan, yaitu sebesar 48.256 hektar pada tahun 2002 menjadi

48.185 hektar pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012).

Adapun luas lahan yang dimanfaatkan dalam bidang pertanian :

Tabel 8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Bogor

Tahun 2012

No. Jenis Pemanfaatan Jumlah (Ha)

1. Pengairan Teknis 2.506

2. Pengairan ½ Teknis 9.644

3. Pengairan Sederhana 14.451

4. Pengairan Non PU 11.635

5. Tadah Hujan 9.949

6. Lebak/Polder Lahan Kering -

Jumlah 48.185 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012

Selain penggunaan lahan dalam pertanian, Kabupaten Bogor juga

memanfaatkan lahan kering untuk berbagai macam bangunan, hutan dan

perkebunan. Penggunaan lahan kering sebagai bangunan, hutan rakyat serta

perkebunan mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan penggunaan

lahan sawah setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan jumlah

penduduk yang cukup besar dan usaha perkebunan yang semakin menyeruak.

Berikut ini adalah luasan lahan kering berdasarkan pemanfaatannya di wilayah

Kabupaten Bogor.

44

Tabel 9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor

No. Jenis Pemanfaatan Jumlah (Ha)

1. Pekarangan/Lahan untuk Bangunan dan Sekitarnya 41.115

2. Tegal Kebun 58.383

3. Ladang/Huma 3.233

4. Penggembalaan/Padang Rumput 899

5. Rawa yang tidak ditanami 76

6. Tambak -

7. Kolam/Tebat/Empang 2.144

8. Lahan Kering sementara tidak diusahakan 1.491

9. Hutan Rakyat 21.564

10. Hutan Negara 79.437

11. Perkebunan 21.239

12. Lain-lain 21.662

Jumlah 251.243 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012

5.4 Pertanian di Kabupaten Bogor

Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, perikanan, perkebunan,

peternakan, dan kehutanan. Pada sektor ini sumber data dari masing masing

instansi terkait di antaranya Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Perikanan dan

Perum Perhutani. Sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan yang

sangat penting, mengingat luasnya lahan pertanian yang dimiliki dan juga

sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masih tergolong Desa Pedesaan yang

menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Luas lahan yang

digunakan untuk sawah tahun 2011 seluas 48.185 ha. Adapun Produksi padi

sawah tahun 2011 sebanyak 519.676 ton dan padi gogo/ladang 7.092 ton.

Produktivitas padi yang tinggi dapat dijadikan benteng Ketahanan Pangan di

Kabupaten Bogor. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara,

dimana sudah tersedia irigasi, seperti di kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya,

Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu.

Berikut rata-rata hasil per hektar tanaman padi sawah dari masing-masing

kecamatan tersebut.

45

Tabel 10. Rata-rata Hasil per Hektar Tanaman Padi Sawah di Masing-masing

Kecamatan Tahun 2009-2011 (Ton/ha)

No. Kecamatan 2009 2010 2011

1. Pamijahan 2,87 6,40 6,40

2. Cibungbulang 3,98 6,46 6,44

3. Ciampea 20,34 6,20 6,24

4. Caringin 2,66 6,28 6,29

5. Sukamakmur 5,70 6,25 6,30

6. Cariu 5,49 6,05 6,26

7. Jonggol 2,46 6,22 6,26

8. Rumpin 3,95 6,10 6,05

9. Cigudeg 5,86 6,22 6,22

10. Sukajaya 7,99 6,15 6,11

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012

Salah satu sumber peningkatan perbaikan gizi masyarakat yaitu dengan

tersedianya makanan yang bergizi baik, salah satunya dengan tersedianya

produksi ikan di Kabupaten Bogor. Produksi ikan kolam air sawah tahun 2011

sebanyak 201,65 ton, kolam air tenang 50.277,34 ton, kolam air deras 5.561,75

ton, ikan dari karamba 37,14 ton, benih 1.378.014,51 ekor dan ikan hias

156.618,82 ekor. Peternakan di Kabupaten Bogor memiliki andil yang sangat

penting mengingat banyaknya jumlah peternakan yang masih dikelola secara

tradisionalnamun memiliki hasil yang baik, sehingga jika mutunya ditingkatkan

dapat dijadikan produk unggulan. Jenis ternak terdiri dari ternak besar, ternak

kecil dan unggas yang menghasilkan produksi dalam bentuk daging, susu dan

telur. Produksi daging (daging sapi, kerbau, kambing, domba, ayam dan itik)

tahun 2011 sebesar 100.146.282 kg, susu 11.198.708 liter dan produksi telur

(ayam dan itik) 42.830.167 butir.

5.5 Gambaran Umum Kecamatan Ciampea

Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah

pengembangan pembangunan wilayah barat Kabupaten Bogor, yang mempunyai

luas wilayah ± 55,63 Km2

yang terdiri dari 13 desa meliputi 108 Rukun Warga

(RW) dan 457 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk berdasarkan

statistik tahun 2012 adalah 149.568 jiwa dengan laki-laki sebanyak 77.177 jiwa

dan perempuan sebanyak 72.391 jiwa.

46

Tabel 11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea :

No. Nama Desa Jumlah

Jumlah Penduduk RT RW

1. Benteng 39 7 12.517

2. Bojong Jengkol 34 11 9.211

3. Bojong Rangkas 41 9 11.925

4. Ciampea 31 7 11.401

5. Ciampea Udik 27 9 7.724

6. Cibanteng 45 8 16.763

7. Cibadak 39 7 11.649

8. Cibuntu 26 7 8.164

9. Cicadas 30 9 10.702

10. Cihideung Ilir 25 5 10.185

11. Cihideung Udik 48 15 14.077

12. Cinangka 42 9 12.740

13. Tegal Waru 40 6 12.510

Jumlah 457 108 149.568

Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012

Kecamatan Ciampea secara administratif mempunyai batas-batas wilayah

sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kemang

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya

- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang

- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga

Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah Kecamatan Ciampea terdiri

atas dataran sampai berombak sekitar 45 persen dan berombak sampai berbukit

sekitar 55 persen. Ketinggian wilayah berada di antara 300 m di atas permukaan

laut. Suhu udara yang terjadi di Kecamatan Ciampea sekitar antara 20o – 30

oC.

Banyaknya hari hujan antara 15 – 31 dan banyaknya curah hujan antara 79 – 491

mm, hari hujan rata-rata pertahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan

sekitar 278 mm/t. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dapat

memberikan gambaran penting tentang penentuan lahan atau kesesuaian lahan

terutama peruntukan wilayah pertanian, jenis tanaman, dan pola cocok tanam.

Jarak dari Ibu Kota Kabupaten Bogor di Cibinong ± 29 Km. Berdasarkan mata

pencaharian mayoritas masyarakat di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

47

bekerja sebagai pedagang, pengrajin dan petani. Jumlah jiwa masing-masing

profesi dapat dilihat pada Tabel 12, berikut ini.

Tabel 12. Mata Pencarihan Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012

No. Mata Pencaharian (Profesi) Jumlah Jiwa

1. Petani 8.978

2. Pengusaha 4.672

3. Pengrajin 9.737

4. Buruh Industri 2.442

5. Pertukangan 1.194

6 Buruh Pertambangan 5.857

7. Pengemudi/Jasa 563

8. Pedagang 10.871

9. TNI/Polri 180

10. Pegawai Negeri Sipil 944

11. Pensiunan/Purnawirawan 406

12. Lain-lain 1.963 Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012

Kegiatan pertanian di Kecamatan Ciampea terdiri dari pertanian tanaman

pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian tanaman

pangan dan peternakan merupakan sektor komoditi andalan bagi penduduk

Kecamatan Ciampea yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan petani dalam meningkatkan produksi pangan baik kualitas maupun

kuantitas.

5.6.1 Sebaran Usia Responden

Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 45 orang

yang berasal dari dua wilayah yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cicadas masing-

masing sebanyak 30 dan 15 responden. Responden memiliki tingkat usia yang

bervariasi. Kisaran usia tersebut dimulai dari 28 hingga 74 tahun. Dominics

(2009) menyatakan bahwa kategori usia dibagi tiga, yaitu usia muda (0 – 35

tahun), usia paruh baya (35 – 58 tahun), dan usia tua (>58 tahun). Tingkat paruh

baya pada Desa Tegal Waru mendominasi yaitu sebesar 67% dan usia tua sebesar

33%. Sedangkan pada Desa Cicadas, tingkat usia paruh baya sangat mendominasi

yaitu sebesar 73%, tingkat usia tua sebesar 13% dan usia muda sebesar 14%.

Rata-rata petani adalah laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga.

48

35-5867%

>5833%

Sebaran Usia di Desa Tegal Waru

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 2. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Umur

pada Tahun 2013

5.6.2 Pendidikan Formal Responden

Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda. Di Tegal Waru,

responden yang tidak bersekolah sebanyak 7%, berpendidikan SD sebanyak 72%,

berpendidikan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 14% dan 7%. Sementara

itu di Desa Pondok Cicadas, responden yang tidak bersekolah sebanyak 5%,

berpendidikan SD sebanyak 60%, berpendidikan SMP dan SMA masing-masing

sebanyak 20% dan 15%. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat

bahwa Desa Cicadas memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Persentase

tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 3. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat

Pendidikan pada Tahun 2013

5.6.3 Lama Menetap di Lokasi

Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak lahir

tinggal di kedua wilayah tersebut. Responden di Desa Tegal Waru lama menetap

TS

7%

SD

72%

SMP

14%

SMA

7%

Tingkat Pendidikan di Desa

Tegal WaruTS7%

SD53%

SMP20%

SMA20%

Tingkat Pendidikan Desa

Cicadas

0-3514%

35-5873%

>5813%

Sebaran Usia Desa Cicadas

49

sekitar 30 sampai 65 tahun lamanya sedangkan di Desa Cicadas responden

menetap selama 20 sampai 65 tahun lamanya. Persentase responden yang paling

dominan di Desa Tegal Waru yaitu yang lama menetapnya sekitar 51-60 tahun

yaitu sebanyak 47%. Sedangkan persentase responden yang paling terkecil di

Cicadas yaitu yang lama menetapnya lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 6%.

Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

Sumber : Data Primer (diolah)

Gambar 4. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama

Menetap Tahun 2013

5.6.4 Luas Lahan yang Dimiliki

Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat

bervariasi. Kisaran lahan yang dimilki responden Desa Tegal Waru mulai dari 0,2

hektar sampai dengan 4 hektar dengan rata-rata sebesar 1,015 hektar. Sedangkan

luas lahan yang dimiliki responden di Desa Cicadas berkisar dari 0,1 hektar

hingga 1,2 hektar dengan luas rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 0,455

hektar. Sebanyak 70% responden di Desa Tegal Waru memiliki lahan di bawah

luas lahan rata-ratanya 1,015 hektar. Sedangkan sebanyak 66,67% responden di

Desa Cicadas memiliki lahan dibawah luas lahan rata-ratanya yaitu 0,416 hektar.

Tabel 13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-Rata Luas Lahan

Desa Tegal Waru Desa Cicadas

Jumlah (orang) % Jumlah (orang) %

Diatas Rata-Rata 9 30 5 43,33

Dibawah Rata-Rata 21 70 10 66,67

Total 30 100 15 100 Sumber : Data Primer (diolah)

0-3013%

31-4027%

41-5027%

51-6027%

>606%

Lama Menetap di Desa Cicadas

0-30

3% 31-40

7%

41-50

30%

51-60

47%

>60

13%

Lama Menetap di Desa Tegal

Waru

50

51

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten

Bogor Periode 2002 - 2011

Perkembangan suatu wilayah selalu beririsan dengan pertumbuhan

ekonomi serta peningkatan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Secara teori,

semakin pesatnya jumlah penduduk suatu wilayah maka permintaan sumber daya

lahan pun akan semakin meningkat. Namun pada kenyataannya ketersediaan

lahan saat ini sangat terbatas. Bahkan akhir-akhir ini di beberapa wilayah di

Indonesia terjadi bentrokan warga akibat penggusuran lahan dan kepemilikkan

lahan yang tidak jelas. Hal demikian merupakan salah satu dasar terjadinya alih

fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang terjadi akhir-akhir ini.

Wilayah Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang hingga saat ini terus menerus

meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Penurunan luas lahan sawah

yang terjadi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

Gambar 5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011

Gambar tersebut menunjukkan luas lahan sawah yang relatif menurun dari

tahun 2005-2007 dan tahun 2008-2011, sedangkan sebelumnya mengalami

peningkatan ditahun 2004 dan 2008. Terlihat adanya fluktuasi pergerakan luas

lahan sawah dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut mengindikasikan terjadinya

46.500

47.000

47.500

48.000

48.500

49.000

Lu

as

Lah

an

Saw

ah

(H

a)

Tahun

Luas

Lahan

Sawah

52

alih fungsi lahan pertanian atau adanya pembukaan lahan pertanian baru.

Pembukaan lahan baru tersebut terlihat pada laju luas lahan sawah yang

mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor

pembukaan lahan sawah baru tersebut merupakan hasil pembukaan dari lahan

kering seperti kebun, tanah kosong dan hutan

Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), ada dua pola alih fungsi lahan

pertanian. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik

lahan yang bersangkutan atau petani, seperti membuat rumah untuk keluarganya

atau gudang untuk penyimpanan. Kedua, alih fungsi lahan pertanian yang diawali

dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan pertanian menjual lahan mereka

kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian.

Pemilik lahan secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian

tersebut. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten

Bogor, umumnya petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Sebagian

besar masyarakat membatasi wilayah sawah yang berbatasan dengan pemukiman

dengan menggunakan parit atau pagar pepohonan. Sehingga lahan pertanian tidak

banyak yang dialihkan menjadi lahan non pertanian.

Penelitian ini menggunakan data sekunder time series selama 10 tahun dari

tahun 2002-2011 untuk melihat perkembangan laju alih fungsi lahan ditingkat

wilayah Kabupaten Bogor. Alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Bogor selama

periode 2002-2011 mengalami pergerakan dari tahun ke tahun. Secara umum

lahan sawah di Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun terakhir berkurang sebesar

71 hektar atau sekitar 7,1 hektar per tahun. Alih fungsi lahan tersebut

menyebabkan luas sawah di Kabupaten Bogor berubah dari luas 48.256 hektar

pada tahun 2002 menjadi 48.185 hektar pada akhir tahun 2011. Laju penyusutan

luas sawah tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 14.

53

Tabel 14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun

2002-2011

Tahun Luas Lahan

Sawah (Ha)

Pembukaan

Lahan Sawah

Baru (Ha)

Luas Lahan

Sawah

Teralihfungsikan

(Ha)

Laju Penyusutan

Luas Lahan Sawah

(%)

2002 48.256 0 0 -

2003 48.177 0 79 -0,16

2004 47.503 0 674 -1,40

2005 48.598 1095 0 2,31

2006 48.425 0 173 -0,36

2007 48.321 0 104 -0,21

2008 48.849 528 0 1,09

2009 48.766 0 83 -0,17

2010 48.484 0 282 -0,58

2011 48.185 0 299 -0,62

Total 1623 1694 -0,10

Rata-rata 162,3 169,4 -0,01 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berrbagai terbitan (diolah)

Berdasarkan Tabel 14 di atas nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda

negatif menggambarkan adanya penyusutan luas lahan sawah akibat alih fungsi

lahan. Nilai yang bertanda positif menggambarkan adanya pencetakan sawah baru.

Luas penyusutan lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Bogor

yaitu sekitar -0,10 persen atau sebesar 1.694 hektar. Artinya selama sepuluh tahun

terakhir lahan sawah telah menyusut sebesar 0,10 persen. Penurunan luas lahan

dimulai pada tahun 2003 dimana lahan berkurang sebanyak 79 hektar dari 48.256

hektar menjadi 48.177 hektar. Pada tahun tersebut luas sawah menyusut sebesar

0,16 persen, hal ini menandakan adanya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten

Bogor. Alih fungsi lahan yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 dengan luas

sebesar 674 hektar atau menyusut sebesar 1,40 persen. Namun, pada tahun 2005

dan 2008 luas lahan sawah sempat bertambah masing-masing sebesar 1095 hektar

dan 528 hektar atau meningkat sebesar 2,31 persen dan 1,09 persen, karena

adanya pembukaan lahan sawah baru. Pembukaan lahan sawah baru ini karena

adanya lahan kering kosong yang tidak digunakan pemiliknya sehingga lahan

kosong tersebut dimanfaatkan oleh warga setempat untuk dijadikan sawah. Selain

laju alih fungsi lahan secara keseluruhan terdapat pula laju alih fungsi lahan

54

berdasarkan jenis sawah yang dimiliki Kabupaten Bogor. Tabel 15 Berikut ini

merupakan nilai rata-rata laju alih fungsi lahan menurut jenis sawah.

Tabel 15. Rata–rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut Jenis Lahan Sawah di

Kabupaten Bogor Selama Periode 2002–2011 (dalam Hektar)

Jenis Sawah

Sawah

Irigasi

Teknis

Sawah

Irigasi ½

Teknis

Sawah

Irigasi

Sederhana

Sawah

Tadah

Hujan

Total

Jumlah lahan

sawah -1.992 1.850 1.791 768 2.417

Rata–rata per

tahun -199,2 185 179 76,8 241,7

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

Pada Tabel 15 diatas nilai luas lahan sawah yang bertanda negatif

menunjukkan luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi lahan. Sedangkan

nilai luas lahan yang bertanda positif sebaliknya mengalami peningkatan atau

adanya pembukaan lahan sawah baru. Berdasarkan pola alih fungsi lahan sawah

diatas, maka lahan sawah yang teralihfungsikan yaitu sawah jenis irigasi teknis

sebesar 1.992 hektar atau 199,2 hektar per tahun, sedangkan jenis sawah lainnya

mengalami peningkatan luas lahan masing-masing yaitu sawah irigasi ½ teknis

sebesar 1.850 hektar atau 185 hektar per tahun, sawah tadah hujan sebesar 1791

hektar atau 179,1 hektar per tahun, dan sawah irigasi sederhana sebesar 768 hektar

atau 76,8 hektar per tahun.

6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat

Wilayah Kabupaten Bogor

Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah Kabupaten Bogor pada tahun

2002-2011 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variabel tak bebas (dependent) yang

digunakan yaitu luas lahan sawah. Sedangkan variabel bebas (independent) atau

faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan luas lahan sawah tersebut

yaitu kepadatan penduduk, produktivitas padi, dan luas bangunan di Kabupaten

Bogor.

Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi

lahan pertanian di tingkat wilayah yaitu menggunakan analisis linier berganda.

Data yang digunakan dalam membuat model tersebut merupakan data time series

dari tahun 2002-2011. Data tersebut diolah menggunakan software Eviews 7.

55

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahan pertanian di tingkat

wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Pertanian di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor

Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas VIF

Intersep 11,38109 23,46203 0,0000

Kepadatan

Penduduk (X1) -0,107466 -2,150102 0,0751*) 1,774828

Produktivitas (X2) 0,237015 3,680963 0,0103*) 2,044927

Luas Bangunan (X3) -0,20011 -0,457798 0,6632 1,436319

R-squared 0,710233 F-statistic 4,902098

Adjusted R-squared 0,565350 Prob(F-statistic) 0,047056

Log Likelihood 34,40385 Durbin – Watson

stat

2.334277

Sumber : Data sekunder (diolah)

Keterangan : *) Nyata pada taraf 10%

Hasil estimasi menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam

penelitian ini adalah baik. Berdasarkan Tabel 16 di atas diperoleh koefisien

determinasi (R-squared) sebesar 0,710233. Artinya keragaman yang mampu

dijelaskan oleh faktor-faktor penjelas dalam model sebesar 71,02 persen

sedangkan sisanya 29,08 persen dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model.

Adjusted R-squared yang diperoleh sebesar 55,53 persen. Nilai peluang uji F-

statistic (Prob f-statistic) yang diperoleh sebesar 0,047056 atau sebesar 4,7 persen

yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen, hal ini berarti

bahwa minimal ada satu variabel bebas (independent) yang mempengaruhi

variabel tak bebasnya (dependent).

Hasil estiamasi model yang dihasilkan dari regresi linear berganda tersebut

cukup baik, karena memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik, yaitu model tidak memiliki

sifat multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Hasil uji

asumsi klasik ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Signifikan atau tidaknya

pengaruh setiap variabel tak bebas terhadap variabel bebas dapat dilihat dari

probabilitas setiap variabel bebas dari model tersebut. Apabila nilai probabilitas

lebih kecil dari nilai taraf nyata maka variabel bebas tersebut dapat dinyatakan

signifikan. Berdasarkan model di atas, variabel bebas yang berpengaruh secara

signifikan terhadap perubahan luas lahan sawah, yaitu kepadatan penduduk dan

produktivitas padi yang berpengaruh nyata pada taraf α = 10 persen. Sedangkan

56

luas bangunan tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan sawah. Pembuktian

multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan memperhatikan nilai Variance

Inflaction Factors (VIF) dengan kriteria, apabila nilai VIF yang dihasilkan kurang

dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak terdapat

multikolinearitas. Dengan menggunakan metode pengubahan variabel bebas ke

dalam Ln maka model ini tidak terdapat multikolinearitas. Berdasarkan hasil

permodelan di atas, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, dan luas lahan

bangunan memiliki VIF kurang dari 10 atau berkisar antara 0-5 sehingga variabel

bebas dalam model tersebut dapat disimpulkan bebas dari masalah

multikolinearitas. Pembuktian autokorelasi dapat dilihat dari nilai breusch-

Godfrey Serial Correlation LM Test. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut

diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0,3315 atau sebesar 33,15 persen. Nilai

tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen atau 0,1

(0,3315 > 0,1) sehingga menunjukkan bahwa model tersebut bebas dari masalah

autokorelasi. Asumsi normalitas ditunjukkan dengan melihat nilai probabilitas

pada histogram of normality test. Berdasarkan model tersebut nilai probabilitas

yang diperoleh sebesar 0,811070 atau sebesar 81,10 persen. Nilai tersebut lebih

besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,8110 > 0,1), sehingga

dapat disimpulkan bahwa pada model ini residual menyebar secara normal atau

tidak terjadi permasalahan normalitas. Pada model ini juga tidak ditemukan

masalah heteroskedastisitas, karena dari hasil uji Glejser diperoleh nilai Prob. chi-

square sebesar 0,7063 atau 70,63 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata

yang digunakan yaitu 10 persen (0,7063 > 0,1), sehingga pada model ini tidak

ditemukan masalah heteroskedastisitas. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor

yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah di Kabupaten

Bogor, adalah sebagai berikut :

LnY = 11,38109 - 0,107466 LnX1 + 0,237015 LnX2 - 0,20011 LnX3

Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel kepadatan

penduduk lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,07 < 0,1). Hal ini berarti bahwa

kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap perubahan luas lahan sawah.

Koefisien variabel yang bernilai -0,107466 pada tabel menjelaskan bahwa, setiap

kenaikan 10 persen kepadatan penduduk maka luas lahan sawah akan berkurang

57

atau beralih fungsi sebesar 1,07 persen (ceteris paribus). Model estimasi ini sesuai

dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, kepadatan

penduduk berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah.

Kepadatan penduduk yang tinggi mengindikasikan adanya pertumbuhan

penduduk yang terus meningkat. Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk

berakibat pada naiknya permintaan lahan untuk pemukiman. Selain pemukiman,

penduduk juga membutuhkan penunjang berupa sarana dan prasarana seperti,

infrastruktur, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Hal tersebut akan

mempengaruhi permintaan akan lahan. Lahan yang jumlahnya sangat terbatas

menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga mulai

banyaknya lahan sawah yang dilirik untuk dialihfungsikan menjadi lahan

pemukiman. Hal ini mengindikasikan adanya pengalihfungsian lahan dari

pertanian ke non pertanian

Hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel produktivitas padi sawah

memiliki hubungan yang positif. Produktivitas padi sawah juga berpengaruh nyata

terhadap luas lahan sawa dengan nilai probabilitas sebesar 0,0103 lebih kecil dari

taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,0103 < 0,1). Sedangkan nilai

koefisien produktivitas padi sawah adalah sebesar 0,237015. Hal ini berarti bahwa

peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 10 persen akan mengakibatkan luas

lahan sawah bertambah sebesar 2,3 persen (ceteris paribus).

Keterkaitan searah atau hubungan positif yang terjadi antara produktivitas

padi sawah terhadap luas lahan sawah sesuai dengan hipotesis awal. Produktivitas

lahan yang semakin meningkat akan mempertahankan luasan lahan sawah yang

ada. Hal ini mengindikasikan bahwa, alih fungsi lahan sawah terjadi pada lahan

sawah yang memiliki produktivitas rendah. Produktivitas yang rendah disebabkan

adanya beberapa faktor seperti tekstur tanah yang sulit ditanami, irigasi yang

kurang baik, ataupun penggunaan zat kimia yang berlebihan. Sehingga pemilik

lahan lebih tertarik untuk menjual lahan sawahnya ke investor yang akan lebih

menguntungkan dari pada usaha tani sendiri. Hal terserbut mengindikasikan pula

adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Hasil estimasi koefisien luas lahan bangunan berpengaruh negatif terhadap

luas lahan sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas luas

58

lahan bangunan lebih besar dari taraf nyata 10 persen (0,6632 > 0,1). Hal ini tidak

sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa luas lahan bangunan akan

berpengaruh terhadap luas lahan sawah.

6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani

di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

Alih fungsi lahan Kabupaten Bogor ini tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang berasal dari tingkat wilayah saja, namun juga terdapat faktor-

faktor yang berasal dari internal petani itu sendiri. Sebagaimana yang telah

dibahas sebelumnya bahwa pengalihfungsian lahan diawali dengan penjualan

lahan dari petani ke investor. Faktor ini dianalisis untuk melihat apa penyebab

petani menjual lahan tersebut kepada investor sehingga lahan tersebut

dialihfungsikan. Studi kasus mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih

fungsi lahan di tingkat petani di Kabupaten Bogor ini dilakukan di Kecamatan

Ciampea. Sebanyak 45 responden dalam penelitian ini merupakan petani pemilik

penggarap. Sebanyak 30 orang merupakan petani yang telah menjual sebagian

lahannya kepada investor, sedangkan 15 orang merupakan petani yang tidak mau

atau belum menjual lahannya kepada investor. Adapun variabel bebas yang

diduga mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahannya adalah lama

menetap di lokasi, banyaknya tanggungan, jumlah anggota keluarga, luas lahan,

dan proporsi pendapatan. Variabel terikat yang digunakan terdapat dua

kemungkinan. Bagi responden yang telah menjual lahan sawahnya diberi nilai 1

(Y=1) dan bagi responden yang tidak atau belum menjual lahan sawahnya diberi

nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi logistik

disajikan pada Tabel 17.

59

Tabel 17. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk

Menjual Lahan Pertanian

Variabel Koef Sig. Exp (β) Keterangan

Konstanta -5,592 0,325 0,004 -

Lama Tinggal (X1) 0,338 0,201 1,402 Berpengaruh tidak nyata

Lama Bertani (X2) -0,291 0,321 0,784 Berpengaruh tidak nyata

Jumlah AK (X3) -1,291 0,024 *) 0,275 Berpengaruh nyata *

Proporsi Pendapatan (X4) 0,049 0,125 1,050 Berpengaruh tidak nyata

Luas Lahan (X5) 2,686 0,042 *) 14,680 Berpengaruh nyata *

Jumlah AK yang Bekerja (X6) 0,713 0,213 2,041 Berpengaruh tidak nyata

Sumber : Data Primer (diolah)

Keterangan : *) nyata pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diperoleh nilai Sig pada

Omnimbus test sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang

digunakan yaitu 5 persen (0,000 < 0,05), artinya variabel bebas yang digunakan

secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan.

Dari hasil analisis juga didapat nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,495 dan

Nagelkerke R Square sebesar 0,688. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar

dari Cox & Snell R Square menunjukan kemampuan keenam variabel bebas dalam

menjelaskan varian alih fungsi lahan yaitu sebesar 68,8 persen dan terdapat 32,2

persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel terikat. Nilai Sig pada

Hosmer and Lemeshow Test yang diperoleh adalah sebesar 0,902. Nilai tersebut

lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (0,902 > 0,05), artinya

model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.

Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh

sebesar 91,1 persen. Hal ini menunjukan bahwa model yang dihasilkan adalah

baik.

Berdasarkan Tabel 17 dapat terlihat bahwa dari enam variabel bebas yang

diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan ternyata

hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh

signifikan terhadap keputusan petani tersebut adalah jumlah anggota keluarga dan

luas lahan. Signifikan atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig

yang ada pada Tabel 17 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5

60

persen. Model yang diperoleh dari hasil regresi logistik pada Tabel 17 adalah

sebagai berikut:

Z = -5,592 – 1,291X3 + 2,686X5

Variabel jumlah banyaknya anggota keluarga memiliki nilai Sig. sebesar

0,024. Nilai tersebut berarti bahwa jumlah tanggungan berpengaruh nyata

terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen

(0,024 < 0,05). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-1,291) dan nilai

Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,275. Hal ini berarti bahwa jika

banyaknya anggota keluarga petani bertambah satu orang, maka peluang petani

untuk menjual lahan lebih kecil 0,275 kali dibandingkan untuk tidak menjual

lahan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga petani maka semakin rendah

peluang petani tersebut untuk menjual lahan.

Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak membuat petani berpikir

untuk lebih mempertahankan lahan sawah tersebut untuk memenuhi kebutuhan

keluarga dibandingkan untuk dijual. Hal ini disebabkan karena mereka sudah

terbiasa hidup bertani untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Terlebih jika ada

anggota keluarga yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih

besar maka petani akan terus mempertahankan lahan sawah tersebut.

Variabel luas lahan memiliki nilai Sig. sebesar 0,042. Nilai tersebut berarti

bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan

oleh petani pada taraf nyata 5 persen (0,042 < 0,05). Koefisien hasil yang

diperoleh bertanda positif (2,686) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang

diperoleh sebesar 14,680. Hal ini berarti bahwa jika luas lahan yang dimiliki

petani bertambah satu hektar, maka peluang petani untuk menjual lahan lebih

besar 14,680 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin besar luas

lahan yang dimiliki petani maka semakin tinggi peluang petani tersebut untuk

menjual lahan. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara luas lahan

yang dimiliki dengan alih fungsi lahan yang terjadi.

61

6.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan

Ciampea, Kabupaten Bogor

Alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

akan menyebabkan berkurangnya total pendapatan petani. Hal ini disebabkan

adanya penurunan hasil panen dari lahan yang dimiliki. Dalam studi kasus kali ini,

petani di lokasi penelitian ini masih banyak yang mempertahankan komoditas

padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena wialyah ini cocok untuk

produksi padi. Saat ini petani yang telah menjual lahan juga masih menggarap

lahannya sehingga belum begitu terlihat terhadap pendapatan dari alih fungsi

lahan tersebut. Hal ini menunjukkan dampak alih fungsi lahan terhadap

pendapatan petani belum mempunyai pengaruh yang signifikan. Alih fungsi lahan

dapat mengubah struktur mata pencaharian dalam satu keluarga. Perubahan mata

pencaharian akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan

petani pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan

pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan

pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha

tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang

diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahannya dapat

dilihat pada Tabel 18. berikut ini.

Tabel 18. Perbandingan Rata-Rata Per Bulan Pendapatan Petani Sebelum dan

Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan

Rata-rata

Pendapatan

Responden

Usaha Tani Non Usaha Tani

Rata-rata

Pendapatan

Total

Responden

Rupiah % Rupiah % Rupiah %

Sebelum

Alih Fungsi 735.038 42,64 1.196.119 57,36 1.931.157 100

Sesudah

Alih Fungsi 691.026 28,28 1.292.307 71,72 1.983.333 100

Perubahan -44.012

96.187

52.176 Sumber : Data Primer (diolah)

Berdasarkan Tabel 18 di atas, terdapat perubahan pendapatan total

responden (dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi

lahan dari Rp 1.931.157 menjadi Rp 1.983.333. Hal ini menunjukkan terjadinya

62

perubahan pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih

fungsi lahan yaitu sebesar Rp 52.176. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari

usaha tani mengalami penurunan setelah adanya alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp

44.012. Sedangkan pendapatan rata-rata dari non usaha tani mengalami

peningkatan yaitu sebesar Rp 96.187.

Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan petani baik yang diperoleh dari

usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah

melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 42,64

persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 57,36 persen pendapatan

diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 28,28

persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 71,72 persen pendapatan

diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur

pendapatan petani dari pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar usaha

tani mengalami peningkatan setelah adanya alih fungsi lahan.

6.5 Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan

Pangan di Kabupaten Bogor

Alih fungsi lahan akan berakibat pada ketahanan pangan pada suatu

wilayah. Semakin banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi akan semakin sulit

ketahanan pangan diwujudkan. Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak

pada stabilitas pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Sehingga pemenuhan

kebutuhan pangan masyarakat akan terganggu. Penilitian ini menghitung

perkiraan dampak alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten

Bogor sebagai berikut. Menurut tipe irigasi lahan sawah di Kabupaten Bogor

dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis,

pengairan sederhana PU, pengairan non PU dan pengairan tadah hujan. Pada

Tabel 19, dapat dilihat luas masing-masing sawah berdasarkan tipe irigasinya

yang ada di Kabupaten Bogor.

63

Tabel 19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di

Kabupaten Bogor (dalam Hektar)

Tahun

Luas

Total

Sawah

Sawah

Irigasi

Teknis

Sawah

Irigasi

Setengah

Teknis

Sawah

Irigasi

Sederhana

PU

Sawah

Irigasi

Sederhana

Non PU

Sawah

Tadah

Hujan

2002 48.256 4.211 7.794 12.660 14.410 9.181

2003 48.177 4.106 6.402 14.441 14.919 8.309

2004 47.503 3.819 8.033 11.979 14.205 9.467

2005 48.598 4.542 4.746 12.281 15.427 11.602

2006 48.425 4.436 7.095 13.494 12.763 10.637

2007 48.321 4.182 7.942 13.948 12.483 9.766

2008 48.849 3.967 8.481 13.203 13.548 9.650

2009 48.766 3.819 8.033 7.996 19.451 9.467

2010 48.484 2.173 9.904 14.833 12.421 9.153

2011 48.185 2.506 9.644 14.451 11.635 9.949 Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan

Sawah irigasi teknis merupakan sawah yang bersumber pengairannya

berasal dari sungai, artinya selalu tersedia sepanjang tahun. Oleh karena itu, pola

tanam pada sawah teknis ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya.

Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya sebagian besar selalu padi -padi. Sawah

irigasi setengah teknis merupakan sawah yang sumber pengairannya dari sungai,

namun ketersediaan airnya tidak seperti sawah irigasi teknis, biasanya air tidak

cukup tersedia sepanjang tahun. Pola tanam pada sawah ini biasanya padi -

palawija atau palawija - padi.

Sawah irigasi sederhana pedesaan merupakan sawah yang sumber

pengairannya berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di lembah-lembah

bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana irigasi seperti

saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta

bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan

pedesaan ini biasanya padi - padi, dan padi - palawija, atau padi - bera. Petani

yang melakukan padi - padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan

degan sumber air saja, sedangkan yang jauh biasanya hanya ditanami padi sekali

saja pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bera. Sawah tadah

hujan merupakan sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau

tidaknya curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang

topografinya tinggi dan berada di lereng-lereng gunung yang tidak memungkinkan

64

dibuat saluran irigasi. Oleh karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya

adalah padi - bera, padi - palawija, dan palawija - padi.

Musim tanam padi untuk sawah jenis irigasi teknis, setengah teknis,

sederhana PU dan sederhana non PU ini sebanyak 3 kali dalam setahun.

Sedangkan untuk musim tanam padi sawah tadah hujan ini hanya 1 kali saja

selama setahun. Berikut ini dapa dilihat produksi padi untuk masing-masing tipe

sawah berdasarkan irigasinya.

Tabel 20. Produksi Padi Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan

Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)

Tahun Sawah

Irigasi

Teknis

Sawah

Irigasi

Setengah

Teknis

Sawah

Irigasi

Sederhana

PU

Sawah

Irigasi

Sederhana

Non PU

Sawah

Tadah

Hujan

Produksi

Padi

Total

2002 40.450,07 74.867,69 121.609,56 138.419,73 88.190,95 463.538 2003 31.825,70 49.622,04 111.932,51 115.637,50 64.403,24 373.421 2004 35.852,76 75.413,78 112.458,81 133.356,49 88.876,16 445.958 2005 38.513,63 40.243,44 104.136,05 130.812,38 98.378,51 412.084 2006 36.739,88 58.762,28 111.760,14 105.705,84 88.097,86 401.066 2007 41.520,98 78.852,14 138.482,70 123.937,45 96.961,72 479.755 2008 38.997,67 83.372,63 129.792,34 133.183,87 94.864,50 480.211 2009 39.624,61 83.347,61 829.63,71 201.816,79 98.226,29 505.979 2010 24.331,96 110.899,10 166.091,11 139.083,97 102.489,85 542.895 2011 27.027,25 104.010,7 155.854,27 125.483,66 107.300,13 519.676

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

Terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor yang terus

menerus berlanjut akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut..

Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak pada stabilitas dan struktur

pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Perkiraan dampak ketahanan pangan ini

dilakukan dengan membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dengan

jumlah beras yang dibutuhkan masyarakat dari tahun 2002-2011. Jumlah produksi

beras didapat dengan mengkonversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen

(BPS,2012). Berikut ini dapat dilihat besarnya produksi beras untuk masing-

masing tipe sawah berdasarkan irigasinya.

65

Tabel 21. Produksi Beras Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan

Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)

Tahun

Sawah

Irigasi

Teknis

Sawah

Irigasi

Setengah

Teknis

Sawah

Irigasi

Sederhana

PU

Sawah

Irigasi

Sederhana

Non PU

Sawah

Tadah

Hujan

Produksi

Beras Total

2002 25.378,37 46.971,99 76.297,84 86.844,54 55.331,00 290.823,74

2003 19.967,44 31.132,87 70.226,46 72.550,97 40.406,60 234.284,34

2004 22.494,02 47.314,60 70.556,66 83.667,86 55.760,90 279.794,05

2005 24.163,45 25.248,73 65.334,96 82.071,68 61.722,67 258.541,50

2006 23.050,60 36.867,45 70.118,31 66.319,84 55.272,60 251.628,81

2007 26.050,26 49.471,83 86.884,05 77.758,36 60.833,78 300.998,29

2008 24.467,14 52.307,99 81.431,71 83.559,56 59.517,99 301.284,38

2009 24.860,48 52.292,29 52.051,43 126.619,85 61.627,17 317.451,22

2010 15.265,87 69.578,10 104.205,56 87.260,66 64.302,13 340.612,32

2011 16.956,90 65.256,31 97.782,97 78.728,45 67.320,10 326.044,72

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor , berbagai terbitan (diolah)

Selain itu, untuk melihat ketahanan pangan yang ada di Kabupaten Bogor,

perhitungan selanjutnya dilakukan dengan mencari kebutuhan beras yang

diperlukan. Kebutuhan beras ini didapat dari jumlah penduduk dikalikan jumlah

konsumsi beras per kapita. dengan konsumsi beras (BPS, 2002) diasumsikan tetap

yaitu 139,15 kg per jiwa. Ketahanan pangan dapat dilihat dari selisih produksi

beras yang diperoleh dengan kebutuhan beras yang diperlukan selama satu tahun.

Kemudian dapat dilihat juga persentase pemenuhannya dengan membagi produksi

beras dengan kebutuhan berasnya. Berdasarkan asumsi tersebut maka beriku ini

merupakan hasil perhitungan perkiraan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor

selama periode 2002-2011.

Tabel 22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras

Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor

Tahun

Luas

Sawah

(Ha)

Jumlah

Penduduk

(Jiwa)

Produksi

Beras (Ton)

Kebutuhan

Beras (Ton)

Selisih Beras

(Ton)

Persentase

Pemenuhan

Beras (%)

2002 48.256 3.249.781 290.823,74 452.207,03 -161.383,28 64,31%

2003 48.177 3.399.036 234.284,34 472.975,86 -238.691,52 49,53%

2004 47.503 3.438.055 279.794,05 478.405,35 -198.611,30 58,48%

2005 48.598 3.700.207 258.541,50 514.883,80 -256.342,30 50,21%

2006 48.425 4.215.436 251.628,81 586.577,92 -334.949,11 42,90%

2007 48.321 4.251.838 300.998,29 591.643,26 -290.644,97 50,87%

2008 48.849 4.340.520 301.284,38 603.983,36 -302.698,98 49,88%

2009 48.766 4.477.344 317.451,22 623.022,42 -305.571,19 50,95%

2010 48.484 4.345.915 340.612,32 604.734,07 -264.121,75 56,32%

2011 48.185 4.353.591 326.044,72 605.802,19 -279.757,47 53,82%

Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

66

Berdasarkan asumsi yang dipergunakan, Tabel 22 menjelaskan bahwa

semenjak tahun 2002 produksi beras di Kabupaten Bogor terlihat tidak dapat

memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya secara keseluruhan. Hal tersebut

ditunjukkan oleh bagian persentase pemenuhan beras (persen) yang belum

mencapai 100 persen dan terlihat kebutuhan beras yang ada lebih besar dari

produksi berasnya. Kejadian ini masih berlangsung hingga tahun 2011. Selama ini,

Kabupaten Bogor termasuk Bulog sub dirve Cianjur dimana pasokan beras yang

ada di Bulog Kabupaten Bogor berasal dari daerah Cianjur. Hal ini sangat

membantu dalam pemenuhan kebutuhan beras di Kabupaten Bogor.

6.6 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi dan Nilai Produksi Padi

di Kabupaten Bogor

Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan berakibat langsung

terhadap jumlah produksi padi dan nilai dari produksi padi yang dihasilkan dari

wilayah tersebut. Menurut Pakpahan et al (1993), jumlah produksi padi yang

hilang merupakan dampak adanya alih fungsi lahan sawah yang dipengaruhi

antara lain oleh luas panen yang hilang, produktifitas lahan sawah, dan pola tanam

yang diterapkan. Luas panen merupakan jumlah luasan sawah yang digarap atau

berhasil panen dalam satu tahun. Asumsi pada penelitian ini petani menggarap

seluruh lahan sawah yang hilang tersebut dan tidak ada gagal panen. Selanjutnya,

diasumsikan pula pola tanam dalam satu tahun untuk seluruh lahan dipanen tiga

kali. Artinya luas panen yang hilang tersebut tiga kali lipat dari luas lahan sawah

yang teralihfungsikan. Produktivitas lahan sawah merupakan hasil panen per

hektar lahan sawah. Produktivitas untuk seluruh tipe atau jenis sawah pada

penelitian ini disumsikan sama, sehingga tidak ada pembedaan tipe irigasi dan

jenis padi yang ditanam. Perhitungan mengenai produksi dan nilai produksi yang

hilang dapat dilihat pada Tabel 23 berikut ini.

67

Tabel 23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang

Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-

2011

Tahun

Produkti-

vitas

Padi

Sawah

(ton/ha)

Luas

Lahan

Teralih

-fungsi-

kan (ha)

Produksi

Padi yang

Hilang (ton)

Nilai Produksi Padi

yang Hilang (Rp)

Nilai Produksi Beras

yang Hilang (Rp)

2002 5,29 0 0 0 0

2003 5,18 -79 -1.227,90 -2.026.030.050,00 -2.466.765.014,12

2004 5,25 -674 -10.611,46 -18.039.475.200,00 -19.799.784.168,35

2005 5,37 0 0 0 0

2006 5,40 -173 -2.803,12 -6.587.329.650,00 -8.126.845.772,83

2007 5,74 -104 -1.789,32 -5.033.357.160,00 -6.364.129.197,19

2008 5,91 0 0 0 0

2009 6,15 -83 -1.531,85 -4.947.869.040,00 -5.190.800.831,52

2010 6,19 -282 -5.236,74 -19.072.207.080,00 -19.700.041.933,30

2011 6,23 -299 -5.589,21 -22.010.297.166,00 -23.536.758.782,72

Total -1694 -28.789,60 -77.716.565.346,00 -85.185.125.700,02

Rata-rata -169,4 -2878,96 -7.771.656.534,60 -8.518.512.570,00 Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

Berdasarkan Tabel 23 diatas dan asumsi-asumsi yang telah disebutkan

sebelumnya, total produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir di

Kabupaten Bogor adalah sebesar 28.789,6 ton. Nilai produksi padi diestimasi

menggunakan harga gabah kering giling (GKG) yang berlaku di Provinsi Jawa

Barat pada masing-masing tahun tersebut (Lampiran 6). Jumlah produksi padi

yang hilang dikalikan dengan harga pembelian pemerintahnya. Seperti data pada

tahun 2004, jika harga GKG Rp 1.700 per Kg atau Rp 1.700.000 per ton, maka

nilai produksi padi yang hilang adalah 10.611,46 ton x Rp 1.700.000 per ton = Rp

18.039.475.200. Selanjutnya, nilai produksi beras yang hilang dapat diestimasi

menggunakan harga beras dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang

dikali dengan besaran konversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen. Seperti pada

tahun 2004 jika harga beras Rp 2.974 per Kg atau Rp 2.974.000 per ton, maka

nilai produksi beras yang hilang adalah 10.611,46 ton x 62,74% x Rp 2.974.000

per ton = Rp 19.799.784.168,35. Rata-rata nilai produksi padi yang hilang per

tahunnya adalah sebesar Rp 7.771.656.534,60 sedangkan rata-rata nilai produksi

beras yang hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 8.518.512.570,00.

68

Pada tahun 2005 dan 2008 luas lahan sawah di Kabupaten Bogor sempat

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya indikasi pembukaan lahan

sawah baru dari lahan kering yang ada. Pembukaan lahan ini dilakukan untuk

menanggulangi pengalihfungsian lahan yang terjadi. Hal ini menyebabkan adanya

surplus produksi padi pada tahun-tahun tersebut. Dengan asumsi yang sama,

perhitungan mengenai surplus tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi

Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun

2002-2011

Tahun

Produkti-

vitas

Padi

Sawah

(ton/ha)

Pembuka-

an sawah

Baru (ha)

Surplus

Produksi

Padi (ton)

Surplus Nilai

Produksi Padi (Rp)

Surplus Nilai

Produksi Beras (Rp)

2002 5,29 0 0 0 0

2003 5,18 0 0 0 0

2004 5,25 0 0 0 0

2005 5,37 1.095 17.627,31 33.491.889.000,00 37.402.803.862,31

2006 5,40 0 0 0 0

2007 5,74 0 0 0 0

2008 5,91 528 9.356,69 28.509.828.336,00 29.909.616.930,86

2009 6,15 0 0 0 0

2010 6,19 0 0 0 0

2011 6,23 0 0 0 0

Total 1.623 26.984 62.001.717.336,00 67.312.420.793,17

Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)

Berdasarkan Tabel 24, total surplus produksi padi akibat pembukaan lahan

sawah baru sebesar 26.984 ton atau dengan nilai sekitar 62 milyar. Surplus ini

tidak menutupi produksi padi yang hilang pada tahun-tahun sebelumnya, karena

total pembukaan lahan hanya sebesar 1.623 hektar sedangkan total alih fungsi

lahan sebesar 1.694 hektar. Produksi padi pada sepuluh tahun terakhir masih

hilang sekitar 1.805,6 ton atau bernilai sekitar Rp 15.714.848.010,00. Nilai

tersebut diperoleh dari selisih produksi yang hilang dan surplus produksi.

6.7 Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di

Kabupaten Bogor

Implikasi atau keterlibatan kebijakan dalam pengendalian alih fungsi lahan

pertanian sangat penting dilakukan. Baik kebijakan yang berasal dari

pemerintahan pusat maupun daerah. Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga

69

kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan

pertanian ke non pertanian adalah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan

Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada

pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri

dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.

2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan

pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena

memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.

3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket

Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan

penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut

menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan

industri, pemukiman, maupun wisata.

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini merupakan masalah serius

yang harus ditangani cepat oleh pemerintah. Sehingga perlunya sinergisitas dari

segala pihak dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Selain kebijakan yang

disebutkan di atas, terdapat pula kebijakan lahan abadi dari pencanangan reforma

agraria Indonesia. Kebijakan lahan abadi merupakan salah satu bagian dari

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam RPPK, program

pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan ke dalam tiga

bentuk, yaitu :

1. Pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) dengan

mengembangkan tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah

transmigrasi.

2. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Mempertahankan lahan irigasi yang

telah menghabiskan investasi besar dalam pencetakkan dan pembangunan

jaringan irigasinya.

3. Perluasan areal sawah dan lahan kering terutama di luar Jawa.

Kabupaten Bogor merupakan daerah yang perekonomiannya berdaya saing

dengan titik berat pada revitalisasi pertanian, sehingga dibutuhkan langkah

kebijakan dalam menyukseskan revitalisasi pertanian tersebut. Penekanan dengan

70

penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu kebijakan yang wajib

diterapkan oleh suatu daerah. Berbagai strategi yang terkait dengan upaya

penganekaragaman konsumsi pangan antara lain adalah (1) Diversifikasi usaha

rumah tangga diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama

petani, peternak, dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu; (2)

Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan

melalui pengembangan diversifikasi usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan,

peternakan, perikanan; (3) Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan

dan kekhasan daerah untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal; (4)

Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan melalui

pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara komprehensif.

Studi kasus dalam penelitian di Kecamatan Ciampea ini memperlihatkan

bahwa sebenarnya pendapatan petani di daerah tersebut cukup menghasilkan

pendapatan. Hasil perhitungan menyatakan rata-rata kepemilikan lahan yang ada

di Kecamatan Ciampea adalah sebesar 1 hektar dengan pendapatan sebesar Rp

4.056.738 per musim tanam. Nilai tersebut memang belum memenuhi kriteria

hasil yang tinggi (bekisar Rp 6.000.000-Rp 7.000.000). Hal ini dikarenakan

karena produktivitas dari lahan sawah yang masih rendah. Masalah tersebut dapat

ditanggulangi dengan kebijakan pemberian teknologi memadai secara merata

untuk petani-petani di daerah tersebut. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk

hal ini. Selain itu, fenomena petani miskin yang ada di Indonesia ini tidak hanya

disebabkan dari hal-hal internal penanaman saja namun juga pola pikir para petani.

Selama ini, pada masa menunggu hasil panen masih tidak banyak petani yang

memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang lain, padahal bisa saja digunakan

untuk berdagang ataupun pekerjaan lainnya. Sehingga pendapatan para petani pun

akan meningkat pula. Petani belum banyak juga yang menyadari pentingnya arti

pendidikan sehingga masih banyak anak-anak petani yang memiliki kualitas

pendidikan yang rendah. Padahal pendidikan anak merupakan investasi untuk

perubahan nasib mereka yang lebih baik di masa yang akan datang.

Dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan ini kebijakan yang tepat selain

menekan konsumsi beras masyarakat adalah dengan menekan laju pertumbuhan

penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), pembukaan lahan sawah

71

baru, dan penerapan System of Rice Intensification (S.R.I.). Dinas Pertanian dan

Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Bogor semenjak tahun 2012 telah

melaksanakan program atau kegiatan dalam memenuhi kebutuhan pangan

masyarakatnya. Upaya intensifikasi menjadi pilihan utama untuk usaha

peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Beberapa kegiatan yang

dilakukan mulai dari on farm sampai off farm. Kegiatan on farm berupa

penyediaan sarana dan prasarana produksi, sedangkan off farm berupa penyediaan

peralatan pasca panen sehingga produk pertanian memiliki nilai tambah.

Beberapa fasilitas sarana dan prasarana yang diberikan Distanhut kepada

petani yaitu melalui kegiatan pengembangan pembenihan/pembibitan padi dan

pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikenal dengan nama

Gerakan Peningkatan Produksi Padi Berbasis Masyarakat (GP3M). Pola yang

diterapkan pada kegiatan pengembangan PTT padi ini menggunakan pola yarnen

(bayar saat panen). Kegiatan ini ditunjang dengan peralatan usaha tani seperti

traktor, bagan warna daun, caplak, gasrok, alat pengendalian hama, penyuluhan

tentang pengendalian hama hingga alat pasca panen, pengolahan dan pemasaran

hasil pertanian.

Selain itu, adanya program peningkatan produksi beras nasional (P2BN)

dari Kementrian Pertanian, membuat berbagai daerah di Indonesia berkompetisi

untuk mencapai peningkatan produksi beras sebesar 5 persen. Seperti halnya

Kabupaten Bogor pada tahun 2013 berhasil meningkatkan produksi beras hingga

7,3 persen melebihi target tersebut. Keberhasilan tersebut didapat dari adanya

peningkatan produksi dan produktiviitas, peningkatan adopsi teknologi,

pencapaian target kecukupan pangan dan peningkatan pendapatan dengan

melakukan perluasan area tanam serta perbaikan irigasi. Hal tersebut menandakan

betapa penting dan berpengaruhnya kebijakan pemerintah dalam memajukan

pertanian Indonesia.

72

73

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat

ditarik kesimpulan, sebagai berikut:

1. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari tahun 2002-2011

sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01 persen

per tahun.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan

sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan

produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah anggota

keluarga, dan jumlah tanggungan.

3. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan perubahan rata-rata pendapatan total

petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan mengalami penurunan sebesar Rp

52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga

menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata kehilangan produksi padi

per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun,

sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu sebesar Rp

7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp

8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan

perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras

di Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak

tahun 2002 hingga tahun 2011 dengan pemenuhan kebutuhan beras hanya

berkisar 43-64 persen saja. Lahan sawah dengan tipe irigasi sederhana non PU

adalah tipe sawah yang memberikan persentase pemenuhan kebutuhan beras

paling besar dibandingkan tipe sawah lainnya.

4. Kebijakan terkait pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah dilakukan baik

oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Program-

program yang dilakukan seperti upaya intensifikasi yang terus digalakkan,

program pengembangan tanaman terpadu (PTT) serta program kompetitif yang

dilakukan Kementerian Pertanian yaitu program peningkatan produksi beras

nasional (P2BN)

74

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, beberapa saran

direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:

1. Perlu adanya ketegasan dan sanksi yang berlaku dalam pelaksanaan kebijakan

pemerintah daerah terkait perizinan pembangunan pemukiman ataupun industri

di lahan pertanian.

2. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor harus ditekan, karena salah satu

hal yang berpengaruh dalam alih fungsi lahan pertanian adalah permintaan

pemukiman akibat tingginya laju kepadatan penduduk. Pertumbuhan penduduk

dapat ditekan melalui pelaksanaan serta penegasan program Keluarga

Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah.

3. Perlu dilakukan penyuluhan berkala kepada petani tiap desa mengenai program

Pertanian Tanaman Terpadu (PTT), penerapan System of Rice Intensification

(S.R.I), dan penerapan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN)

dari Kementerian Pertanian.

4. Perlu adanya teknologi terbarukan yang diimplementasikan di pertanian

pedesaan agar produktivitas yang dihasilkan meningkat. Selain itu, perlu

adanya pendampingan penggunaan teknologi tersebut agar petani paham dalam

menggunakan teknologi yang ada.

5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai luas wilayah pertanian yang

dialihfungsikan dan penetapan wilayah pertanian minimum (lahan pertanian

abadi), agar produksi beras masih dapat mencukupi kebutuhan di wilayah

tersebut.

75

DAFTAR PUSTAKA

Anitasary R F. 2008. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk

Pembangunan Perumahan Di Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro,

Semarang.

Anugrah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Sawah ke Pengguna non Pertanian di Kabupaten Tangerang. Skripsi. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan

Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Jakarta.

_________________. 2012. Indonesia Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Jakarta.

_________________. 2002. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2002. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2003. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2004. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2005. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2005. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2006. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2006. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2007. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2008. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2009. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2009. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2010. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2010. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

76

_________________. 2011. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2011. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2012. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012. BPS.

Provinsi Jawa Barat.

_________________. 2002. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2002. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2003. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2004. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2004. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2005. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2005. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2006. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2006. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2007. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2008. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2008. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2009. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2010. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2010. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2011. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2011. BPS.

Kabupaten Bogor.

_________________. 2012. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2012. BPS.

Kabupaten Bogor.

Gujarati D. 2002 Basic Economics. Mc Graw Hill, Singapore.

Hayat. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

(Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

77

Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan

Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420

Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor.

Kustiawan A. 1997. Konversi Lahan di Pantai Utara Jawa. Prisma No 1 Tahun

XXVII Januari 1197. LP3ES, Jakarta.

Lutviansari A. 2007. Analisis Terhadap Konsep Kebijakan “Lahan Abadi” Di

Indonesia Dalam Rangka Reforma Agraria (Agrarian Reform).

Nachrowi ND, Hardius U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali

Pers, Jakarta.

Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. 1993. Analisis Kebijakan Konversi Lahan

Sawah ke Penggunaan non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, Bogor.

Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan

Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sadikin. 2009.Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi

Padi dan Land Rent (Kasus Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota

Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sibolak.1995. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan

Penawaran Komoditi Padi Serta Kecenderungan Konversi Lahan Sawah (Studi

Kasus di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Situmeang M. 1998. Pola Hubungan antara Perubahan Penggunaan Lahan Dengan

Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sogo Kenkyu. 1998. An Economic Evolution Of External Economies From

Agriculture by the Replecement Cost Method. National Research Institute of

Agricultural Economics, MAFF. Japan.

78

Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan non Sawah

Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Subali A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga

Petani. (Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor).

Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sumaryanto, Tahlim S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan

Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding

seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian pertanian abadi. Satyawan

Et al. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Utama. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Utomo et al. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis dalam Makalah Seminar

Pembangunan dan Pengendaian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung,

Lampung.

Whitney, Frederick. 1960. The Elements of Research. New York: Prentice-Hall,

Inc.

Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan

Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah.

Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta.

Yoshida, K. 1994. An Economic Evaluation Of Multifunctional Roles Of

Agricultural and Rural areas in Japan. Ministry Of Agricultural Forestry and

Fisheries. Japan.

79

LAMPIRAN

80

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN

LINGKUNGAN

Jl. Kamper level 5 wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor

(16680)

KUESIONER PENELITIAN

Hari/Tanggal : ...................

Nama Responden : ...................................................................................

Alamat Responden : ...................................................................................

...............................................................................................

Nomor Telepon/HP : ...................................................................................

Kuesioner ini digunakan sebagai acuan dalam mengumpulkan data yang

dibutuhkan dalam skripsi “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Konversi Lahan Pertanian Serta Dampak Ekonomi Di Kabupaten Bogor”

oleh Sarah Nur Amalia, Mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi

Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan objektif, lengkap, dan

teliti. Kerahasiaan informasai yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan terjamin dan

tidak untuk dipublikasikan, serta tidak terkait dengan kepentingan politik pihak

manapun. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.

A. Karakteristik Responden

1. Jenis Kelamin : L/P

2. Usia : ................... tahun

3. Status : Belum Menikah/Menikah

4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak Sekolah d. SMA/Sederajat

b. SD/Sederajat e. Perguruan Tinggi/Sederajat

c. SMP/Sederajat

Sampai dengan kelas/tingkat ...................................

5. Pekerjaan : a. Wirausaha d. Pedagang

b. PNS/Swata e. Buruh

c. Petani f. ................................

81

6. Lamanya tinggal di lokasi : ...................................................tahun.

B. Faktor-Faktor Pengaruh Konversi Lahan

Tingkat Pendapatan

7. Jumlah anggota keluarga : ............................................................ orang

8. Jumlah tanggungan : .............................................................orang

9. Berapa jumlah anggota keluarga yang sudah bekerja?

10. Apakah anggota keluarga yang sudah bekerja ikut membantu dalam

memenuhi kebutuhan rumah tangga? A. Ya b. Tidak

11. Berapa total pendapatan rumah tangga dalam sebulan? Rp ................/bulan

12. Apakah ada hubungan dalam pendapatan dan alasan anda menjual lahan?

a. Ya, alasan ................................................................................................

b. Tidak, alasan ...........................................................................................

Lahan

13. Apakah status lahan yang dimiliki?

a. Sewa b. Milik c. Gadai

14. Berapa luas lahan yang dimiliki? ............(ha)

15. Apakah ada bagian dari lahan yang dikonversi? A. Ya b. Tidak

16. Berapa persentase lahan yang dikonversi dari lahan yang dimiliki?..........%

17. Berapa harga lahan per m2 saat anda menjual lahan anda? Rp ............../ m

2

18. Apakah harga jual rendah/ lebih tinggi dari harga yang diharapkan?

19. Berapa total pendapatan rumah tangga sebelum mengkonversi lahan? Rp ..

20. Apa alasan menjual lahan?

Hasil Panen

21. Sebelum terjadi konversi

N

o. Jenis Tanaman Hasil (kg/ha)

Harga

(Rp/kg)

1

.

2

.

82

22. Setelah terjadi konversi

N

o. Jenis Tanaman Hasil (kg/ha)

Harga

(Rp/kg)

1

.

23. Harga Benih : Rp....................../kg

24. Harga Pupuk : Rp....................../kg

25. Harga Tanah : Rp....................../m

26. Pengairan yang digunakan :

a. Tadah hujan b. Irigasi

27. Berapa jarak pengairan dengan lahan sawah ........................... km

28. Berapa harga setiap pengairan sawah? Rp ............../m3

Faktor Lainnya

29. Apakah ada dari tetangga yang memiliki lahan pertanian di sekitar lahan

yang mengkonversi lahan pertaniannya? A. Ya b. Tidak

30. Berapa orang?

31. Apakah ada pengusaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi agar

mengkonversi lahan?

32. Apakah kebijakan pemerintah daerah mempengaruhi terjadinya konversi

lahan pertanian?

33. Apakah bentuk kebijakan pemerintah tersebut?

C. Kesejahteraan Keluarga Responden

N

No. Indikator Kesejahteraan Keterangan

3

1.

Pengeluaran konsumsi per

hari

a. <Rp 10.000 b. Rp 10.000 – 20.000 c. > Rp

20.000

3

2.

Dinding rumah a. Tembok b. Bambu/triplek

3

3.

Lantai rumah a. Tanah b. Semen/keramik

3

4. Perabotan (elektronik)

a. Televisi

b. Radio tape

c. Kulkas

d. Kipas angin

e. AC

f. Computer

g. Telepon

83

h. Telepon seluler

i. Parabola

j. Rice Cooker

k. Setrika

3

5.

Kendaraan a. Tidak punya b. Motor c. Mobil

3

6. Pendidikan anak

1. Anak pertama :

2. Anak kedua :

3. Anak ketiga :

4.

5.

Lampiran 2. Peta Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

Sumber: Situs Resmi Kabupaten Bogor // www.bogorkab.go.id

84

Lampiran 3. Peta Kecamatan Ciampea

Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea Tahun 2013

85

Lampiran 4. Hasil Estimasi Regresi Linear Berganda : Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tingkat Wilayah

Dependent Variable: LN_LS

Method: Least Squares

Sample: 2002 2011

Included observations: 10

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LN_KEPADATAN -0.107466 0.049982 -2.150102 0.0751

LN_PVS 0.237015 0.064389 3.680963 0.0103

LN_BANG -0.020011 0.043711 -0.457798 0.6632

C 11.38109 0.485085 23.46203 0.0000

R-squared 0.710233 Mean dependent var 10.79085

Adjusted R-squared 0.565350 S.D. dependent var 0.015187

S.E. of regression 0.010013 Akaike info criterion -6.080769

Sum squared resid 0.000602 Schwarz criterion -5.959735

Log likelihood 34.40385 Hannan-Quinn criter. -6.213543

F-statistic 4.902098 Durbin-Watson stat 2.334277

Prob(F-statistic) 0.047056

Variance Inflation Factors

Sample: 2002 2011

Included observations: 10

Coefficient Uncentered Centered

Variable Variance VIF VIF

LN_KEPADATAN 0.002498 13441.90 1.774828

LN_PVS 0.004146 1243.558 2.044927

LN_BANG 0.001911 21325.10 1.436319

C 0.235308 23471.56 NA

0

1

2

3

4

-0.015 -0.010 -0.005 0.000 0.005 0.010 0.015

Series: ResidualsSample 2002 2011Observations 10

Mean -4.09e-15Median -0.000926Maximum 0.012019Minimum -0.013511Std. Dev. 0.008175Skewness 0.037126Kurtosis 2.000196

Jarque-Bera 0.418801Probability 0.811070

86

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.566801 Prob. F(2,4) 0.6071

Obs*R-squared 2.208201 Prob. Chi-Square(2) 0.3315

Test Equation:

Dependent Variable: RESID

Method: Least Squares

Sample: 2002 2011

Included observations: 10

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LN_KEPADATAN 0.007674 0.054857 0.139896 0.8955

LN_PVS 0.005260 0.069877 0.075279 0.9436

LN_BANG -0.022568 0.052095 -0.433207 0.6872

C 0.172552 0.548958 0.314327 0.7690

RESID(-1) -0.430998 0.509685 -0.845617 0.4454

RESID(-2) -0.477614 0.536956 -0.889485 0.4240

R-squared 0.220820 Mean dependent var -4.09E-15

Adjusted R-squared -0.753155 S.D. dependent var 0.008175

S.E. of regression 0.010825 Akaike info criterion -5.930282

Sum squared resid 0.000469 Schwarz criterion -5.748731

Log likelihood 35.65141 Hannan-Quinn criter. -6.129443

F-statistic 0.226720 Durbin-Watson stat 2.024755

Prob(F-statistic) 0.932451

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 0.418048 Prob. F(3,6) 0.7467

Obs*R-squared 1.728866 Prob. Chi-Square(3) 0.6305

Scaled explained SS 0.311257 Prob. Chi-Square(3) 0.9579

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2

Method: Least Squares

Sample: 2002 2011

Included observations: 10

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.001884 0.003422 0.550678 0.6017

LN_KEPADATAN 2.72E-05 0.000353 0.077152 0.9410

LN_PVS -0.000239 0.000454 -0.525692 0.6180

87

LN_BANG -0.000152 0.000308 -0.493711 0.6391

R-squared 0.172887 Mean dependent var 6.02E-05

Adjusted R-squared -0.240670 S.D. dependent var 6.34E-05

S.E. of regression 7.06E-05 Akaike info criterion -15.98903

Sum squared resid 2.99E-08 Schwarz criterion -15.86800

Log likelihood 83.94517 Hannan-Quinn criter. -16.12181

F-statistic 0.418048 Durbin-Watson stat 1.595886

Prob(F-statistic) 0.746719

Heteroskedasticity Test: Glejser

F-statistic 0.324722 Prob. F(3,6) 0.8080

Obs*R-squared 1.396819 Prob. Chi-Square(3) 0.7063

Scaled explained SS 0.700310 Prob. Chi-Square(3) 0.8731

Test Equation:

Dependent Variable: ARESID

Method: Least Squares

Sample: 2002 2011

Included observations: 10

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.167747 0.247929 0.676594 0.5239

LN_KEPADATAN -0.003536 0.025546 -0.138420 0.8944

LN_PVS -0.008476 0.032910 -0.257558 0.8054

LN_BANG -0.011403 0.022341 -0.510425 0.6280

R-squared 0.139682 Mean dependent var 0.006472

Adjusted R-squared -0.290477 S.D. dependent var 0.004505

S.E. of regression 0.005117 Akaike info criterion -7.423132

Sum squared resid 0.000157 Schwarz criterion -7.302098

Log likelihood 41.11566 Hannan-Quinn criter. -7.555906

F-statistic 0.324722 Durbin-Watson stat 1.750500

Prob(F-statistic) 0.807978

Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Logistik : Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

Tidak Teralihfungsikan 0

Teralihfungsikan 1

88

Variables in the Equation

B S.E Wald df Sig Exp(B)

Step 1 Lama

Tinggal

,338 ,264 1,632 1 ,201 1,402

Lama Bertani -,291 ,293 ,987 1 ,321 ,748

Jumlah AK -1,291 ,573 5,071 1 ,024 ,275

Pendapatan ,049 ,032 2,357 1 ,125 1,050

Luas Lahan 2,686 1,322 4,132 1 ,042 14,680

Jumlah AK

Bekerja

,713 ,573 1,550 1 ,213 2,041

Constant -5,592 5,682 ,968 1 ,325 ,004

Model Summary

Step -2 Log

likelihood

Cox & Snell

R Square Nagelkerke R Square

1 26,523a ,495 ,688

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 2,810 7 ,902

Classification Tablea

Observed Predicted

Alih Fungsi

Percentage

Correct

Tidak Alih

Fungsi

Alih

Fungsi

Step 1 Alih

Fungsi

Tidak Alih Fungsi 11 4 73,3

Alih Fungsi 0 30 100,0

Overall Percentage 91,1

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 30,763 6 ,000

Block 30,763 6 ,000

Model 30,763 6 ,000

89

Lampiran 6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di

Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2011

Tahun Harga Gabah (Rp/Kg) Harga Beras (Rp/ Kg)

2002 1.519 3.240

2003 1.650 3.202

2004 1.700 2.974

2005 1.900 3.382

2006 2.350 4.621

2007 2.813 5.669

2008 3.047 5.095

2009 3.230 5.401

2010 3.642 5.996

2011 3.938 6.712 Sumber: Badan Pusat Statistika Provinsi Jawa Barat, berbagai Terbitan

Correlation Matrix

Constant

Lama

Tinggal

Lama

Bertani

Jumlah

AK

Penda

patan

Luas

Lahan

Jumlah AK

Bekerja

Step 1 Constant 1,000 -,832 ,658 -,126 ,025 -,505 ,285

Lama Tinggal -,832 1,000 -,954 -,211 ,130 ,583 -,033

Lama Bertani ,658 -,954 1,000 ,228 -,140 -,555 -,078

Jumlah AK -,126 -,211 ,228 1,000 -,626 -,277 -,480

Pendapatan ,025 ,130 -,140 -,626 1,000 ,101 ,039

LuasLahan -,505 ,583 -,555 -,277 ,101 1,000 -,070

Jumlah AK

Bekerja

,285 -,033 -,078 -,480 ,039 -,070 1,000

90

Lampiran 7. Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan

No Pendapatan sebelum Alih Fungsi lahan Pendapatan Sesudah Alih Fungsi Lahan

Usaha Tani Non Usaha Tani Total Pendapatan Usaha Tani Non Usaha Tani Total Pendapatan

1 Rp 736.433 Rp 579.458 Rp 1.500.000 Rp 736.433 Rp 2.263.567 Rp 3.000.000

2 Rp 686.333 Rp 4.142.083 Rp 5.000.000 Rp 686.333 Rp 5.313.667 Rp 6.000.000

3 Rp 326.467 Rp 1.591.917 Rp 2.000.000 Rp 326.467 Rp 2.673.533 Rp 3.000.000

4 Rp 686.333 Rp 1.142.083 Rp 2.000.000 Rp 686.333 Rp 2.313.667 Rp 3.000.000

5 Rp 686.333 Rp 142.083 Rp 1.000.000 Rp 686.333 Rp 813.667 Rp 1.500.000

6 Rp 600.542 Rp 2.142.083 Rp 3.000.000 Rp 600.542 Rp 3.399.458 Rp 4.000.000

7 Rp 139.000 Rp 3.826.250 Rp 4.000.000 Rp 139.000 Rp 4.861.000 Rp 5.000.000

8 Rp 473.000 Rp 3.408.750 Rp 4.000.000 Rp 473.000 Rp 4.527.000 Rp 5.000.000

9 Rp 732.667 Rp 2.084.167 Rp 3.000.000 Rp 732.667 Rp 3.267.333 Rp 4.000.000

10 Rp 359.867 Rp 550.167 Rp 1.000.000 Rp 359.867 Rp 890.133 Rp 1.250.000

11 Rp 1.014.417 Rp 550.833 Rp 2.000.000 Rp 1.014.417 Rp 1.485.583 Rp 2.500.000

12 Rp 139.000 Rp 826.250 Rp 1.000.000 Rp 139.000 Rp 1.361.000 Rp 1.500.000

13 Rp 1.038.667 Rp (298.333) Rp 1.000.000 Rp 1.038.667 Rp 961.333 Rp 2.000.000

14 Rp 92.667 Rp 1.384.167 Rp 1.500.000 Rp 92.667 Rp 1.907.333 Rp 2.000.000

15 Rp 348.833 Rp 1.501.667 Rp 2.000.000 Rp 348.833 Rp 2.151.167 Rp 2.500.000

16 Rp 539.800 Rp 1.325.250 Rp 2.000.000 Rp 539.800 Rp 2.460.200 Rp 3.000.000

17 Rp 139.000 Rp 3.826.250 Rp 4.000.000 Rp 139.000 Rp 5.861.000 Rp 6.000.000

18 Rp 2.426.400 Rp (2.033.000) Rp 1.000.000 Rp 2.426.400 Rp (426.400) Rp 2.000.000

19 Rp 652.933 Rp 1.183.833 Rp 2.000.000 Rp 652.933 Rp 3.347.067 Rp 4.000.000

20 Rp 473.000 Rp 1.408.750 Rp 2.000.000 Rp 473.000 Rp 2.527.000 Rp 3.000.000

21 Rp 989.917 Rp 85.833 Rp 1.500.000 Rp 989.917 Rp 1.010.083 Rp 2.000.000

91

22 Rp 598.000 Rp 2.003.333 Rp 3.000.000 Rp 598.000 Rp 3.402.000 Rp 4.000.000

23 Rp 1.753.000 Rp (691.250) Rp 1.500.000 Rp 1.753.000 Rp 747.000 Rp 2.500.000

24 Rp 832.867 Rp 958.917 Rp 2.000.000 Rp 832.867 Rp 4.167.133 Rp 5.000.000

25 Rp 1.372.667 Rp 784.167 Rp 2.500.000 Rp 1.372.667 Rp 2.127.333 Rp 3.500.000

26 Rp 308.292 Rp 1.559.583 Rp 2.000.000 Rp 308.292 Rp 2.191.708 Rp 2.500.000

27 Rp 1.054.958 Rp 2.492.917 Rp 4.000.000 Rp 1.054.958 Rp 4.945.042 Rp 6.000.000

28 Rp 359.867 Rp 550.167 Rp 1.000.000 Rp 359.867 Rp 1.140.133 Rp 1.500.000

29 Rp 92.667 Rp 884.167 Rp 1.000.000 Rp 92.667 Rp 1.407.333 Rp 1.500.000

30 Rp 629.767 Rp 100.333 Rp 1.000.000 Rp 629.767 Rp 870.233 Rp 1.500.000

31 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)

32 Rp 2.076.000 Rp 3.036.000 Rp 4.580.000 Rp 2.076.000 Rp (3.036.000) Rp (960.000)

33 Rp 865.000 Rp 1.265.000 Rp 1.804.167 Rp 865.000 Rp (1.265.000) Rp (400.000)

34 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)

35 Rp 519.000 Rp 759.000 Rp 1.132.500 Rp 519.000 Rp (759.000) Rp (240.000)

36 Rp 1.297.500 Rp 1.897.500 Rp 2.631.250 Rp 1.297.500 Rp (1.897.500) Rp (600.000)

37 Rp 346.000 Rp 506.000 Rp 546.667 Rp 346.000 Rp (506.000) Rp (160.000)

38 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 360.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)

39 Rp 346.000 Rp 506.000 Rp 521.667 Rp 346.000 Rp (506.000) Rp (160.000)

40 Rp 865.000 Rp 1.265.000 Rp 1.804.167 Rp 865.000 Rp (1.265.000) Rp (400.000)

41 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)

42 Rp 692.000 Rp 1.012.000 Rp 1.343.333 Rp 692.000 Rp (1.012.000) Rp (320.000)

43 Rp 692.000 Rp 1.012.000 Rp 1.093.333 Rp 692.000 Rp (1.012.000) Rp (320.000)

44 Rp 1.903.000 Rp 2.783.000 Rp 4.069.167 Rp 1.903.000 Rp (2.783.000) Rp (880.000)

45 Rp 519.000 Rp 759.000 Rp 1.132.500 Rp 519.000 Rp (759.000) Rp (240.000)

Total Rp 31.096.192 Rp 53.825.375 Rp 86.902.083 Rp 31.096.192 Rp 58.153.808 Rp 89.250.000

Rataan Rp 691.026 Rp 1.196.119 Rp 1.931.157 Rp 691.026 Rp 1.292.307 Rp 1.983.333

92

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1992 sebagai anak

sulung dari pasangan Maliyanto dan Salbiah. Penulis merupakan putri pertama

dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri

03 Jakarta, lulus pada tahun 2003. Melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 95 Jakarta, lulus pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan

pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 13 Bogor, dan lulus tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi

yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi mayor Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).

Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif berorganisasi sebagai Sekretaris

Kementerian Badan Pengendali Internal BEM KM IPB 2012, Direktur Biro

Human Resources Development (HRD) BEM FEM Progresif 2011, Sekretaris

Departemen Politik dan Advokasi BEM FEM Sinergi 2010, dan Staf Departemen

Budaya Olahraga dan Seni BEM TPB 2009. Selain berorganisasi penulis juga

aktif mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, seminar, konferensi serta kepanitiaan

baik di luar kampus maupun di dalam kampus. Saat ini penulis bergabung dalam

beberapa komunitas seperti Edukasi Gizi yaitu komunitas pemuda yang peduli

terhadap pangan dan gizi negeri serta Relawan Turun Tangan yaitu komunitas

anak muda peduli politik dan perkembangan negeri.

63

17