analisis - · pdf fileuntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB IV
ANALISIS
A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita
Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan
Revo Arka Giri Soekatno
Analisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah hubungan
intertekstual dari kedua objek penelitian. Untuk menghubungkan kedua objek
sastra digunakan prinsip vraisemblable milik Jonathan Culler, yakni prinsip
integrasi antara satu teks dengan teks atau genre yang lain. Dengan
mengintegrasikan (menghubungkan) kedua teks dapat diketahui makna teks
semaksimal mungkin. Untuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua
objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama
hingga tingkat keempat. Adapun tingkat kelima tidak diterapkan dalam analisis ini
dikarenakan pada tingkat kelima berhubungan dengan proses kreatif pengarang,
yakni Cok Sawitri. Jadi, tingkat kelima dalam lima tingkat atau langkah kerja
vraisemblable tidak diterapkan, sehingga tingkat pertama hingga keempat yang
akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama dalam penelitian
ini.
1. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Diambil Langsung dari Cerita
Lisan di dalam Masyarakat Bali
Teks Tantri Perempuan yang Bercerita mengisahkan tentang seorang
perempuan bernama Ni Diah Tantri yang mendongeng untuk menyadarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
perilaku buruk seorang raja bernama Eswaryadala. Dikisahkan seorang raja
bernama Eswaryadala dari negeri Patali Nagantun, ia sedang mengalami
kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, sehingga membuatnya menderita
penyakit susah tidur. Untuk menghibur diri, sang raja diberi persembahan gadis
cantik dan perawan setiap malamnya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur
diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan.
Persembahan gadis perawan dan cantik setiap malamnya kepada sang raja
menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Melalui para prajurit yang
disebut sebagai Sang Setia, mereka menculik para gadis cantik dan perawan setiap
harinya untuk dipersembahkan kepada raja. Hal tersebut tergambar dalam dialog
Bandeswarya dan putrinya, Ni Diah Tantri.
...“Berbulan-bulan rupanya, beberapa prajurit pilihan diperintahkan
mengambil gadis-gadis dari berbagai pelosok. Setiap malam
dipersembahkan kepada Baginda, awalnya bertujuan menghibur, lalu
candu asmara ini lama-kelamaan menjadi kegelisahan baru,” (Sawitri,
2011: 13).
Sang Setia yang disumpah hanya untuk mengabdi kepada raja tersebut tidak
benar-benar tahu apa yang dilakukannya benar atau salah. Yang mereka tahu
hanyalah menempatkan raja sebagai segalanya. Sebagai prajurit, Sang Setia dalam
pikiran mereka selalu ditanamkan kalimat bahwa “apapun yang terjadi di dalam
istana, harus diterima dengan tulus bahwa tak semua keagungan dicapai dengan
jalan yang agung!” (Sawitri, 2011: 2).
Mahapatih Bandeswarya menyadari keanehan yang terjadi di dalam istana
dan menganggap, bahwa tindakan seperti itu adalah salah. Apalagi banyak gadis-
gadis yang dijadikan selir tanpa dipublikasikan ke hadapan rakyat, mereka adalah
korban penculikan dan penyekapan. Banyak pula di antara mereka adalah anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dari pejabat dan abdi kerajaan sendiri. Ni Diah Tantri yang mendengar
permasalahan yang terjadi di istana tersebut merelakan diri untuk dipersembahkan
kepada Eswaryadala. Sebagai ayah, Mahapatih Bandeswarya pun awalnya sulit
menerima permintaan anaknya tersebut, namun pada akhirnya Bandeswarya rela
mempersembahkan putrinya demi keselamatan negeri Patali Nagantun.
Eswaryadala yang menerima persembahan putri Bandeswarya pun
awalnya ragu, tapi pada akhirnya ia menerima dengan senang hati karena
sebenarnya ia sudah menyukai Ni Diah Tantri sejak dahulu. Namun, hasratnya
tersebut tidak pernah ia utarakan kepada Mahapatih Bandeswarya karena ia sudah
menganggap Mahapatih sebagai ayahnya dan Ni Diah Tantri sebagai adiknya
sendiri. Ni Diah Tantri memiliki misi untuk mengembalikan ketenangan hati dan
kewibawaan sang raja serta menyadarkan raja dari kelalimannya. Ni Diah Tantri
menceritakan cerita fabel berbingkai dari kitab sastra agama Hindu untuk
memberikan sebuah nasihat secara tidak langsung kepada sang raja. Dari setiap
cerita binatang yang diceritakan oleh Ni Diah Tantri memiliki pesan moral
tersendiri.
Cerita berbingkai tersebut berkisah tentang persahabatan sapi dari dewata
bernama Nandaka dengan seekor singa yang juga raja hutan bernama
Candapinggala. Mereka berdua pada akhirnya mati karena diadu domba oleh
Sambada, seekor anjing pemburu (patih Candapinggala). Ni Diah Tantri mencoba
menyadarkan raja agar lebih cermat dan tidak terpengaruh oleh pejabat-pejabat
dengan berbagai hasutannya yang bisa merusak diri sang raja beserta seluruh
negeri Patali Nagantun. Hingga sang raja pun sadar akan kesalahan yang telah ia
lakukan berkat kecerdasan Ni Diah Tantri dalam mendongeng dan mengajarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kitab sastra agama Hindu kepadanya. Pada akhirnya, raja Eswaryadala pun
mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada semua perempuan yang
menjadi korban penculikan dan penyekapan. Eswaryadala juga membebaskan
semua gadis yang ia tahan dan membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan
persembahan (Sawitri, 2011).
Novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut jika dibaca oleh
masyarakat Bali atau masyarakat penganut agama Hindu – Budha, sebagian besar
dari mereka tidak akan merasa asing dengan kisah dalam novel tersebut. Hal ini
dikarenakan teks sastra yang diciptakan Cok Sawitri tersebut berasal dari cerita
lisan masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Cerita Tantri sudah dikenal lama
oleh masyarakat Bali, menurut I Nyoman Dharma Putra (2012: 189)
kisah Tantri sudah beredar lama di Bali, paling tidak sejak 1728, ketika Ida
Pedanda Ketut Pidada menggubah Kidung Tantri Nandhaka-harana. Di
Jawa dan daerah lain di Indonesia, Tantri juga populer dalam dunia cerita
rakyat. Fragmen Tantri muncul dalam ukiran-ukiran candi. I Made Pasek,
seorang guru dari Singaraja, menerbitkan buku Ni Dyah Tantri, tahun
1915. Buku ini diterbitkan penerbit Belanda di Batavia dalam huruf Bali,
digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dasar di Bali waktu itu.
Cerita Tantri dalam masyarakat Bali sudah sangat dikenal dan populer.
Seperti pendapat Putra tersebut, bahwa kepopuleran cerita Tantri bahkan
dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah. Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat
Soekatno (2013: 1) yang mengatakan bahwa popularitas cerita Tantri di antara
masyarakat Bali membuat nama “Tantri” menjadi sinonim dengan dongeng
hewan atau fabel. Bahkan dongeng hewan yang tidak ada hubungannya dengan
“Tantri” misalnya cerita “Kancil” yang ternama, bisa juga disebut cerita “Tantri”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Cerita Tantri sudah dikenal sebagai cerita rakyat yang menjadi ciri khas
dari masyarakat Bali. Bahkan tidak hanya masyarakat Bali, namun juga
masyarakat Jawa penganut agama Hindu. Hal tersebut terbukti dengan adanya
ukiran candi yang menggambarkan beberapa adegan di dalam cerita Tantri seperti,
Candi Mendut (Magelang, Jawa Tengah) yang memperlihatkan salah satu adegan
di dalam cerita Kidung Tantri Kĕdiri, yakni seorang raja dan seorang abdi dalem
bertubuh cebol yang menunggui lampu. Kemudian di dalam ukiran Candi Sojiwan
(Prambanan, Jawa Tengah) menggambarkan adegan seorang wanita dan seorang
raja serta adegan lembu dan singa yang bertarung mirip dengan salah satu bagian
cerita di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri, yakni pertarungan antara Nandaka
dan Candapinggala (Soekatno, 2013: 26 – 27).
Inspirasi dari novel Tantri Permpuan yang Bercerita karya Cok Sawitri
berasal dari sastra klasik, yakni cerita Tantri. Cerita Tantri merupakan turunan
atau gubahan dari sebuah naskah dari India, yakni naskah Pañcatantra.
Pañcatantra ditulis menggunakan huruf Sanskerta pada awal abad Masehi. Pada
dasarnya, naskah tersebut merupakan kumpulan cerita yang disebut sebagai
nitisastra (ilmu akhlak) atau arthasastra (ilmu dunia) (Fang, 2011: 339). Artinya,
naskah tersebut pada awalnya mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebaikan
dengan cara yang menyenangkan, yakni dengan mendongeng. Fang menyebutkan
(2011: 339) bahwa, Pañcatantra mengisahkan tentang seorang raja bernama
Amarsaki dari kota Mahilaropya, India Selatan. Ia memiliki tiga orang putra yang
tidak mau menuntut ilmu sehingga mereka menjadi dungu dan bodoh. Kemudian
datanglah seorang Brahmana, Visnusarman namanya. Brahmana tersebut
kemudian berjanji akan mengajarkan dharma selama enam bulan kepada ketiga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
putra raja tersebut. Ia memberi sebuah pengajaran dengan menceritakan lima
cerita binatang yang di dalamnya disisipkan cerita pula. Oleh karenanya, naskah
ini berjudul Pañcatantra yang secara harafiah bisa diartikan sebagai “lima ajaran”
(Soekatno, 2013: 21).
Naskah Pañcatantra, dalam proses penurunanya mengalami banyak
penyalinan, penyaduran dan penerjemahan ke dalam banyak bahasa lainnya,
sehingga muncul banyak versi dan variasi dari cerita Pañcatantra. Menurut
seorang sarjana Jerman, versi asli Pañcatantra telah hilang (Fang, 2011: 338).
Meskipun versi aslinya telah hilang, namun naskah Pañcatantra sudah
diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, sehingga karya sastra ini banyak
mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ke
dalam banyak genre. Menurut Soekatno (2013: 21 – 22), Pañcatantra yang
bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah salah satu
karya sastra kuna yang paling luas penyebarannya dan paling banyak
diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia selain Alkitab. Ada kurang lebih 200
versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung Timur
sampai Islandia di ujung Barat Dunia Lama.
Dari banyak versi Pañcatantra, di Indonesia cerita tersebut dikenal dengan
sebutan cerita Tantri. Di Indonesia cerita Tantri ini mirip dengan Kisah 1001
Malam yang mengisahkan seorang raja yang menikahi gadis cantik setiap
malamnya (Soekatno, 2013: 23). Tapi yang jelas, dalam penelitian ini tidak akan
mencari asal usul naskah cerita Tantri bahkan lebih lanjut mencari keaslian dari
cerita Tantri. Karena konteks interteks dalam ilmu sastra hanya menghubungkan
teks dengan teks lain atau genre lain untuk menemukan kreativitas pengarang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dalam menulis karya sastra dari imajinasi hipogramnya. Termasuk dalam
penelitian ini, penulis tidak akan menjelaskan lebih lanjut dari mana asal cerita
Tantri ini hingga turunan versi yang mana yang digunakan dalam menulis cerita
Tantri yang berada di Indonesia.
Secara jelas, di Indonesia naskah Pañcatantra tersebar dan ditulis
menggunakan beberapa bahasa seperti, bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Bali
(Soekatno, 2013: 21). Dengan beberapa versi judul seperti, Tantri Kāmandaka,
Tantri Dĕmung, Tantri Kĕdiri, Kidung Tantri Nandhaka-harana, Ni Dyah Tantri,
dan lain sebagainya. Namun secara garis besar, ciri khas cerita Tantri sama
dengan yang lainnya, yakni ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita berbingkai.
Tokoh utamanya sama, yakni Tantri dan Eswaryadala (Eswaryapala pada versi
Tantri Kĕdiri) di negri Patali Nagantun (Pataliputra pada versi Tantri Kĕdiri)
dengan garis cerita utama Tantri mendongeng kepada Eswaryadala tentang cerita
berbingkai dunia fabel untuk menyadarkan perilaku buruk Eswaryadala yang
menginginkan gadis perawan dan cantik setiap harinya. Salah satu keistimewaan
lainnya adalah bahwa cerita-cerita ini berhubungan dengan binatang-binatang,
seperti sapi, singa, burung, kera, anjing dan lain sebagainya.
Ciri khas lainnya dalam cerita Tantri di Indonesia adalah cerita berbingkai
yang terdapat di dalam naskah pada dasarnya sama, hanya saja urutan ceritanya
berbeda-beda. Putra menambahkan (2012: 191) bahwa, tiap-tiap cerita memiliki
hubungan naratif, dengan moral cerita yang kurang lebih sama, yakni mutlaknya
karma bagi orang loba, karma buat orang yang tidak bisa balas budi, dan penipu-
daya. Walaupun dalam banyak cerita terbukti bahwa „pengetahuan penting dalam
memecahkan masalah, menyelamatkan jiwa‟, pada akhirnya kalau pengetahuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
digunakan secara licik, orang yang bersangkutan akan ditimpa kemalangan juga
setimpal dengan kelicikan yang diperbuat.
Dari banyaknya versi cerita Tantri yang ada di Indonesia terdapat satu
naskah klasik dari Bali yang menggunakan aksara Jawa Kuna dalam
penulisannya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri. Kidung Tantri Kĕdiri adalah gubahan
dari teks prosa Jawa Kuna Tantri Kāmandaka. Naskah Kidung Tantri Kĕdiri ini
lah yang menjadi teks hipogram novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya
Cok Sawitri. Kepopuleran cerita Tantri di dalam masyarakat penganut agama
Hindu, khususnya masyarakat Bali yang begitu inspiratif membuat Cok Sawitri
merekonstruksi cerita tersebut ke dalam bentuk yang lebih modern, yakni ke
dalam sebuah novel. Sebelumnya, cerita Tantri muncul dalam bentuk kidung,
kakawin, dan prosa (gancaran), seperti halnya Kidung Tantri Kĕdiri yang menjadi
hipogram karya Cok Sawitri.
Dengan kreativitas dan inovasi baru, Cok Sawitri menciptakan sebuah
karya yang diambil dari cerita lisan yang ada di dalam masyarakat. Cerita lisan
yang kemudian ditulis ke dalam bentuk sastra klasik tersebut memiliki banyak
variasi, salah satunya adalah Kidung Tantri Kĕdiri. Tantri Perempuan yang
Bercerita merupakan transformasi dari bentuk kidung dari cerita Tantri Kĕdiri.
Karya Cok Sawitri tampil dalam bentuk novel berbahasa Indonesia yang
diterbitkan tahun 2011. Menurut Putra, karya ini menjadi media baru bagi kisah
klasik Tantri untuk beredar di ruang baru, yang target pembacanya adalah
pembaca novel sastra Indonesia (Putra, 2012: 190).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
2. Teks Tantri Mengikuti Konvensi dan Tunduk Dengan Tradisi serta
Kultural Masyarakat Hindu Bali
Novel Tantri Perempuan yang Bercerita diciptakan oleh Cok Sawitri yang
merupakan bagian dari masyarakat Bali. Cok Sawitri sebagai wakil masyarakat
Bali menciptakan sebuah teks sastra yang diambil dari cerita rakyat yang terdapat
di masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Begitu juga Kidung Tantri Kĕdiri
yang merupakan naskah dari Bali, tapi ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna.
Kedua teks sastra tercipta di lingkungan masyarakat pemeluk agama Hindu,
sehingga apa yang terdapat di dalam teks mewakili masyarakat penganut agama
tersebut. Kedua teks secara sadar mengikuti konvensi dan tunduk oleh
kebudayaan dan tradisi masyarakat penganut agama Hindu, khususnya
masyarakat Bali.
Keseluruhan cerita dari kedua teks secara sekilas dapat dipahami bahwa
kedua teks mengikuti tradisi dan kultural masyarakat Bali. Kebudayaan dari
masyarakat Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada
ajaran agama yang mereka percayai, yakni agama Hindu. Meskipun secara
keseluruhan kedua teks sama-sama tunduk kepada kebudayaan agama Hindu,
namun secara lebih jelas letak dari „ketundukan‟ kedua teks terhadap kultural
masyarakat Bali terlihat pada cerita binatang yang ada di dalam cerita. Cerita
binatang atau di Indonesia juga dikenal dengan fabel tersebut disisipkan ke dalam
teks sastra Tantri bertujuan untuk mengajarkan kebaikan yang terdapat di dalam
ajaran dharma. Disitulah letak dari ketundukan kedua teks oleh tradisi dan kultural
masyarakat Bali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
a) Penyebaran kebudayaan Hindu di masyarakat Jawa dan Bali
Secara singkat kita perlu mengetahui dari mana asal dan perkembangan
agama Hindu di Indonesia. Hal ini dirasa penting, karena menyangkut kebudayaan
yang termuat di dalam teks Tantri sebagai objek kajian dalam penelitian ini.
Menurut Bosch dalam penelitiannya (1974: 21) menyatakan, bahwa pengaruh
agama Hindu dibawa oleh „sarjana agama‟ seperti, golongan alim ulama,
golongan sastra dan filsafat, serta ahli-ahli kitab suci dari India yang menyebarkan
ajaran tersebut di kepulauan Indonesia, yakni Jawa, Bali, Sumatera dan Malaka.
Masih menurut Bosch (1974: 27), bahwa awal abad Masehi memang Hindu sudah
dikenal di Indonesia, namun kekuasaan agama Hindu menjadi surut akibat
berjayanya ajaran Budhaisme. Pada abad ke – 4 hingga abad ke – 6 agama Hindu
kembali mengalami perkembangan berkat kekuasaan yang dipegang oleh tokoh-
tokoh besar selama dinasti Gupta berkuasa. Maka, rakyat dari atas sampai bawah
telah masuk ke dalam cengkeramannya dan telah direbutnya kembali daerah-
daerah yang dahulu diduduki oleh Budhisme.
Agama Hindu yang masuk ke Indonesia terpecah menjadi golongan-
golongan atau sekte-sekte tertentu. Di Jawa dan Bali khususnya, menganut sekte
yang disebut Ҫaiva-Siddānta (Bosch, 1974: 28). Ajaran Ҫaiva-Siddānta
merupakan bentuk Hinduisme yang bukan menjadi sebuah agama rakyat. Ҫaiva-
Siddānta sejak dari dulu merupakan suatu ajaran rahasia yang hanya diturunkan
lisan dengan tiada putus-putusnya dari guru ke murid. Mereka yang
mengatahuinya biasanya termasuk golongan Brahmana dan barulah setalah
bertahun-tahun mempelajari kitab-kitab suci dan mempunyai pengetahuan teoritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
yang mendalam, si calon dapat menerima sakramen pentasbihan pendeta dari
tangan ayah rohaniyahnya, yaitu pendeta Brahmana (Bosch, 1974: 28 – 29).
Meskipun dalam penelitian Bosch (1974) tersebut tidak menyebutkan
perbedaan ajaran Hindu antara masyarakat Jawa dan Bali. Bagaimana penyebaran
lebih detail ajaran Hindu di masyarakat Jawa dan Bali, lebih dahulu manakah
Jawa atau Bali atau keterkaitan ajaran agma Hindu di antara dua wilayah tersebut.
Hal ini dikarena dalam penelitian Bosch (1974) tersebut selalu menyebut kedua
wilayah, Jawa dan Bali dalam satu kalimat untuk menjelaskan masuknya agama
Hindu dalam kedua wilayah tersebut. Namun, melalui penelitian terdahulu oleh
Fitria Pratiwi3 (2012) yang telah meneliti Tantri Perempuan yang Bercerita
menulisan tentang awal mula masuknya agama Hindu di Bali yang dipengaruhi
oleh budaya Jawa. Fitria Pratiwi (2012: 52 – 53) mengatakan dalam tesisnya,
bahwa setelah kerajaan Bali Kuno dikalahkan di bawah pasukan Majapahit oleh
komando Gajah Mada (1265 Saka atau 1343 M) mulailah masuk agama Hindu
Jawa. Saat Majapahit mengalami keruntuhan, datanglah Dang hyang Nirartha,
seorang pendeta Hindu dari Majapahit yang meneguhkan kembali nilai-nilai
Hindu Jawa di Bali, yaitu dengan mengakulturasikan nilai-nilai animisme dan
dinamisme Bali dengan Hindu Jawa di Bali, salah satu cirinya yaitu dengan
bentuk sesajian (banten) saat upacara keagamaan digelar.
Seperti yang dikatakan oleh Soekatno, bahwa cerita Tantri bisa membantu
kita memahami agama Hindu – Budha, terutama manifestasi agama Hindu –
3 Fitria Pratiwi adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia. Tesisnya yang berjudul “Rekonstruksi Maskulinitas Dalam Tantri:
Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri”(2012), peneliti gunakan sebagai data sekunder
dalam penelitian ini, sehingga dapat membantu dan memperkuat hasil penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Budha di Jawa pada masa lampau dan agama Hindu pada masa sekarang
(Soekatno, 2013: 2). Naskah Kidung Tantri Kĕdiri memang ditulis menggunakan
huruf Jawa Pertengahan, namun naskah tersebut berasal dari Bali dan mengikuti
ajaran dan kebudayaan Hindu. Sama halnya dengan novel karya Cok Sawitri,
Tantri Perempuan yang Bercerita yang diambil dari kisah klasik cerita Tantri juga
mengikuti ajaran dan kebudayaan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali.
b) Sistem kasta dalam masyarakat Bali
Masyarakat di Bali sebagai penganut agama Hindu mengenal adanya
sistem kasta. Sebuah sistem dalam kehidupan sosial yang membedakan antar
golongan keluarga berdasarkan keturunan. Menurut Bosch (1974: 26), bahwa
seorang adalah orang Hindu karena kelahiran, sebagaimana seseorang adalah
orang Yahudi karena lahir dari orang tua Yahudi. Mengapa peneliti perlu
membahas atau menyangkutkan sistem kasta di masyarakat Bali dalam penelitian
ini? Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dalam penulisannya kedua teks
Tantri mengikuti tradisi kasta seperti masyarakat Bali saat ini. Karena
bagaimanapun secara realita kekayaan kebudayaan masyarakat Bali yang dikenal
luas oleh masyarakat Indonesia lainnya, salah satunya adalah sistem kasta
tersebut.
Berbicara tentang kasta dalam masyarakat Bali, dikenal istilah triwangsa
atau tiga tingkatan kasta yang berlaku di Bali diadaptasi dari sistem kasta Hindu.
Menurut Fitria Pratiwi (2012: 45).
Ketiga tingkatan itu adalah Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Brahmana
merupakan kasta tertinggi yang dimiliki oleh keturunan pedanda (orang
yang bertaggung jawab atas agama). Ksatria merupakan kasta bagi para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak4 yang
mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Wesia, yaitu keturunan
para pedagang dan orang yang terlibat dalam kegiatan kesejahteraan
rakyat. Adapun kasta terendah, atau dapat dikatakan tidak memiliki kasta,
adalah kasta untuk keturunan pendatang, yakni kasta sudra. Para sudra
adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan klan di daerah tempat
mereka tinggal, sehingga harus bekerja menjadi buruh tani.
Adapun dalam kedua teks Tantri dalam penelitian ini Kidung Tantri Kĕdiri tetap
mengikuti sistem sosial dari ajaran Hindu ini. Adapun novel Tantri Perempuan
yang Bercerita, „memberontaki‟ konvensi sistem sosial kasta dalam masyarakat
Hindu Bali.
Pada awal cerita teks Kidung Tantri Kĕdiri misalnya, ada penyebutan
tentang kasta ksatria dan sudra, seperti yang tergambar dalam dialog berikut.
...Seolah-olah heranlah Sri Eswaryapala melihat sifat ksatrianya pada saat
itu. Beliau memerintah dengan berkuasa. Sebab terlihat sebagai satu-
satunya penguasa dunia di istana. Segala perintahnya dilaksanakan.
Begitulah beliau dikenal sebagai Eswaryapala oleh seluruh dunia... .
(Pupuh I baris 4 b – 5 a, 2009: 79)
Dari dialog di atas dapat dilihat bahwa Eswaryapala disebut sebagai seorang
ksatria, kasta dari keturunan raja yang memimpin sebuah negara. Seperti halnya
sistem sosial kasta yang telah dijelaskan sebelumnya dalam agama Hindu yang
menyatakan bahwa kasta ksatria merupakan kasta bagi para keturunan raja,
pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak yang mempunyai peranan
menentukan pemerintahan. Lalu penyebutan kaum sudra, seperti tergambar dalam
dialog berikut.
... Maka sekarang beliau melihat perkawinan antar sudra. Sungguh ramai
dan indah segala perhiasannya. Mereka diiringkan oleh keluarga dan sanak
saudara, yang sangat bergembira. Sungguh sesak, sedangkan yang
menonton sama-sama gembira dan girang memuji-muji perhiasan mereka.
4 Subak merupakan institusi pertanian, ekonomi, dan keagamaan yang telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu di Bali (Pratiwi, 2012: 48).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Mereka saling bermain*, bernafsu dan tidak sabar melihat. Semua orang
laki dan perempuan yang melihat para mempelai yang sedang bercubitan,
jatuh cinta. (Pupuh I baris 5 b – 6 b, 2009: 79)
Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Eswaryapala melihat perkawinan antar
kasta sudra yang sepertinya sangat membahagiakan, sehingga membuatnya ingin
menikah setiap harinya. Kata pernikahan „antar kasta sudra‟ di sini
mengisyaratkan tentang hukum pernikahan di masyarakat Hindu Bali, bahwa
apabila ingin menikah harus dengan orang yang memiliki kasta yang sama atau
setara. Hal ini perlu disinggung sedikit mengingat masyarakat Bali menganut
sistem patriarkal, yakni sosok laki-laki dalam sebuah keluarga sangat penting dan
diagungkan. Sistem patriarkal tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan
dalam sosial-budaya masyarakat Hindu Bali, terutama kaitannya dengan
pandangan masyarakat Bali terhadap wanita. Yang kemudian akan memunculkan
isu ketidakadilan gender yang kini sering digaungkan oleh masyarakat Indonesia,
termasuk masyarakat Bali. Permasalahan tersebut kemudian mempengaruhi
ideologi Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita
dalam merekonstruksi cerita klasik Tantri.
Selain kasta ksatria dan sudra yang muncul dalam teks Kidung Tantri
Kĕdiri, kasta brahmana juga disertakan, seperti yang tergambar dalam dialog.
Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu
berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan
brata. Ia <bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan
<pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara
murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang
memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia. Semua doanya
dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang
berkualitas sempurna. (Pupuh I baris 103 b – 104 a, 2009: 128 – 129)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Cerita berbingkai dalam teks Tantri Kĕdiri memiliki banyak cerita tentang
seorang pendeta beserta kebaikan perilakunya. Dalam penyebutan pendeta
tersebut kebanyakan menggunakan kata brahmana, seperti dalam sistem kasta
Hindu, bahwa brahmana merupakan orang yang bertanggung jawab atas agama.
Contohnya seperti dialog di atas.
Adapun di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita tidak
menyebutkan kaum sudra dan brahmana seperti dalam teks Tantri Kĕdiri.
Adapun menyertakan kaum brahmana, yakni kisah tentang pendeta seperti
brahmana Dharmaswami sama halnya dengan teks Tantri Kĕdiri. Tetapi,
penyebutan pendeta di novel Cok Sawitri bukan menggunakan brahmana
melainkan bhagawan. Enggannya Cok Sawitri menggunakan istilah-istilah kasta
dalam karyanya tentu memiliki alasan tersendiri. Misalnya dari penjelasan
sebelumnya, bahwa masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, sehingga
kehadiran sosok laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Mengingat Cok
Sawitri merupakan sastrawan Bali yang gemar mengangkat isu feminis, sehingga
hal ini mempengaruhi penulisan setiap karyanya termasuk dalam novelnya Tantri
Perempuan yang Bercerita. Adanya sistem kasta di Bali mengakibatkan adanya
ketidakadilan gender bagi kaum perempuan di Bali, sehingga Cok Sawitri ingin
menghilangkan sistem kasta tersebut di dalam karyanya.
c) Nilai-nilai agama Hindu yang terdapat di dalam cerita Tantri
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang
bersumber pada ajaran agama Hindu. Menurut Putri, bahwa kebudayaan Bali
sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama
manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan),
yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).
Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan
ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Masyarakat Hindu Bali
juga percaya dengan ajaran hukum karma phala, dalam ajaran hukum karma phala
disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan
mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk
hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan (Putri, 2012).
Cerita binatang dalam Tantri memuat nilai-nilai agama Hindu tentang
adanya hukum karma pahala atau sebab-akibat dalam segala tindakan seperti,
mutlaknya karma bagi orang loba, karma bagi orang yang tidak bisa balas budi,
tipu daya (baik itu tipu daya dalam hal baik atau tidak baik), dan balasan bagi
orang yang berbuat baik, yakni surga. Salah satu contoh yang mengajarkan hukum
karma karena sikap loba terdapat pada bagian kisah tentang matinya seekor
burung Baka (bangau) karena sifat lobanya dalam cerita fabel kedua teks tantri,
berikut ringkasan ceritanya.
Dikisahkan di sebuah kolam terdapat berbagai macam ikan dan makhluk
hidup air lainnya. Seekor burung bangau, Baka namanya tergoda untuk
menyantap semua ikan yang ada di dalam kolam tersebut. Kemudian ia memiliki
siasat, ia berpura-pura menjadi seekor burung pertapa yang menjadi pendeta dan
mendekati penghuni kolam tersebut. Akhirnya, seluruh ikan yang ada di kolam
tersebut telah percaya dengan kemuliaan dan sikap baik burung Baka yang setiap
hari mengajarkan ilmu dharma kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
sebenarnya hal itu hanyalah sandiwara burung Baka. Untuk mengakhiri
kesandiwaraan, si burung Baka tiba-tiba mengatakan kepada seluruh penghuni
kolam bahwa ia mendengar ada kelompok manusia (nelayan) yang akan
menjaring ikan-ikan di dalam kolam tersebut. Kemudian timbul kepanikan dan
kesedihan di antara penghuni kolam tersebut. Dengan penuh kelicikan Baka
menawarkan diri sebagai transportasi untuk memindahkan seluruh ikan-ikan
tersebut ke sebuah telaga yang pernah ia lihat sebelumnya. Akhirnya, seluruh
ikan telah ia terbangkan menggunakan mulut dan kedua cakarnya. Terakhir, ada
tiga ekor ikan yang tersisa dan seekor kepiting. Kepiting itu meminta diangkut
juga karena merasa tidak bisa hidup tanpa saudara-saudaranya yang lain, yakni
ikan-ikan tersebut. Pada akhirnya, kepiting itu bergelantung di leher si burung
Baka meggunakan kedua capitnya. Dari kejauhan si kepiting melihat seperti
tumpukan tulang ikan di atas batu. Si kepiting curiga, bahwa burung Baka ini
memakan teman-temannya. Ternyata dugaannya benar tulang-tulang yang
dilihatnya adalah tulang dari teman-temannya. Tanpa ampun, si kepiting mencapit
leher burung Baka itu hingga putus dan akhirnya tewas (Sawitri, 2011: 112 –
121).
Kisah kelobaan burung Baka ini dijadikan sebagai ilustrasi sampul depan
dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Melalui cerita
tentang kelobaan burung Baka hingga menemui ajalnya dalam teks sastra Tantri
tersebut, mengajarkan pembaca agar tidak berlebihan dan menjaga keseimbangan.
Hakikatnya seperti penjelasan di atas, bahwa dalam ajaran Hindu menjaga
keseimbangan dan harmonisasi itu sangat penting untuk mencapai kehidupan
yang bahagia. Jika, seseorang memiliki sifat loba atau ingin memiliki lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
menggunakan cara licik maka, hukum karma pala atau sebab akibat akan berlaku.
Si burung Baka berbuat tidak baik, sehingga ia mendapat ganjaran yang tidak baik
pula.
3. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Mengikuti Konvensi Genre Teks
Kidung Tantri Kĕdiri
Teks Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai bentuk transformasi dari
Kidung Tantri Kĕdiri mengikuti konvensi genre dari Kidung Tantri Kĕdiri, yaitu
cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya disisipkan
cerita-cerita lain (Fang, 1993: 1). Menurut Liaw Yock Fang (1993: 1) cerita
berbingkai memiliki ciri-ciri: a) Biasanya seorang tokoh atau lebih bercerita dan
giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan
kebenaran kata-katanya. b) Dalam cerita sisipan mungkin ada cerita sisipan lagi,
sehingga pada akhirnya cerita berbingkai biasanya menjadi panjang dan luas
sekali. c) Dalam cerita berbingkai, binatang-binatang selalu diberi sifat manusia.
Meskipun, Cok Sawitri mengikuti genre Kidung Tantri Kĕdiri dalam
menyusun teks Tantri Perempuan yang Bercerita, yakni dengan genre cerita
berbingkai. Namun, urutan cerita berbingkai karya Cok Sawitri berbeda dengan
urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan
Soekatno, terlebih urutan cerita fabel yang ada di dalam cerita. Walaupun, urutan
cerita berbingkai kedua teks berbeda dan ada beberapa cerita fabel yang ditambahi
atau dikurangi, namun secara esensi cerita berbingkai yang terdapat di dalam
kedua teks hampir sama. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terdapat 30 potongan
cerita binatang. Adapun dalam Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Sawitri terdiri dari 29 bagian cerita dalam daftar isi yang di dalamnya terdapat 30
cerita binatang. Kedua teks memiliki 27 cerita yang sama dari total 30 cerita yang
ada dari masing-masing teks.
Tentu perbedaan dalam menyusun cerita berbingkai dari kedua teks
memiliki tujuan dan maksud sendiri dari sang penulis atau sang penyadur. Namun
yang terpenting adalah esensi utama dari cerita berbingkai terutama cerita fabel di
dalam kedua teks sastra tidak berbeda jauh. Perbedaan dan persamaan cerita
berbingkai dari kedua teks dapat dilihat sebagai berikut.
1) Bingkai utama
Dari bingkai utama kedua teks sama-sama menceritakan kehidupan tokoh
utama, yakni Tantri dan Eswaryapala. Eswaryapala adalah seorang raja yang
meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Kemudian Tantri bersedia
dipersembahkan kepada Eswaryapala melalui ayahnya sendiri, Mahapatih
Bandeswarya dengan tujuan untuk mengajarkan nitisastra agama Hindu kepada
Eswaryapala, agar Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik
setiap harinya. Untuk menghentikan kelaliman Eswaryapala Tantri mendongeng
cerita fabel berbingkai yang tidak habis diceritakan dalam satu malam kepada raja
Eswaryapala. Cerita fabel berbingkai tersebut berasal dari kitab sastra agama
Hindu. Melalui dongeng Tantri tersebut Eswaryapala berhenti meminta
persembahan gadis cantik setiap hari.
Yang membedakan dari kedua teks mengenai bingkai utama ini adalah jika
di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri bagian bingkai utama langsung mengisahkan
tentang raja Eswaryapala yang menginginkan untuk dinikahkan dengan gadis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
cantik setiap harinya agar ia memperoleh kebahagiaan. Setelah itu dikisahkan
karena wanita cantik di lingkungan istana telah habis, maka Bandeswarya
mempersembahkan anaknya Dyah Tantri untuk dijadikan isteri oleh raja. Adapun
di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bingkai utama awalnya
menceritakan tentang prajurit Sang Setia yang selalu tunduk dan patuh kepada
atasan. Prajurit Sang Setia inilah yang menculik dan membawa gadis cantik dan
perawan setiap malamnya ke hadapan sang raja. Sang raja memiliki penyakit
susah tidur karena dia selalu merasa khawatir dan cemas memikirkan negaranya.
Oleh karena itulah, Punggawa Istana mempersembahkan gadis cantik dan
perawan setiap harinya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun
lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan, sehingga hal itu
menjadi sebuah kebiasaan.
Ni Diah Tantri yang mengetahui berita itu dari ayahnya Bandeswarya,
dengan suka rela merelakan dirinya dipersembahkan kepada raja Eswaryadala
untuk dijadikan isteri. Tantri mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan negara
Patali Nagantun dari hukum karma Sang Hyang Widi karena memiliki raja yang
suka menikah. Selain itu, Tantri juga ingin menyadarkan kelaliman Eswaryadala
dan menyelamatkan para gadis korban persembahan para Punggawa Istana.
Awalnya Eswaryadala ragu menerima persembahan Bandeswarya, karena
Bandeswarya sudah dianggap ayah dan Tantri dianggapnya sebagai adik sendiri.
Namun, rasa sayang dan ketertarikannya kepada Tantri yang selama ini
dipendamnya tak mudah dibendung. Eswaryadala pun menerima persembahan
Tantri untuk dijadikan isterinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Berbeda dari kaya hiogramnya yang memiliki kesamaan cerita „Kisah
1001 malam‟ yang mengisahkan seorang gadis yang mendongeng kepada seorang
raja agar berhenti meminta dinikahkan setiap harinya. Karya Cok Sawitri lebih
menekankan cerita seorang perempuan yang menyadarkan raja dari sikap
lalimnya, hingga akhirnya sang raja mengakui kesalahannya. Hal tersebut tidak
terlepas dari daya kreativitas Cok Sawitri dalam merekonstruksi novelnya dari
karya hipogramnya. Perbedaan lainnya dalam bingkai utama kedua teks ini adalah
dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri Eswaryapala langsung menggelar pesta
pernikahannya dengan Tantri. Adapun di dalam novel karya Cok Sawitri tersebut
Eswaryadala belum menikahi Tantri karena janjinya untuk mendengarkan
dongeng dari Tantri hingga selesai.
2) Skema perbedaan naratologi dalam cerita berbingkai kedua teks
Bagan 2
Skema naratologi dalam Kidung Tantri Kĕdiri
Bingkai Utama
Cerita Binatang
Nandakaprakarana
1. Srigala dan genderangnya (Tertipu Tipuan Suara-suara)
2. Dua Burung Betet Meniru Pengasuhnya
3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura
4. Dua Ekor Kutu I
5. Kelobaan Burung Baka (Bangau)
6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan
Buah
7. Sewanggara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
8. Singa dan Kawan-Kkawannya
9. Burung Kedidi Mengalahkan Dewa Samudera
10. Kisah Kera dan Pemburu
11. Sang Brahmana, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan
12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari
dan Dewa
13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera
14. Macan yang Dihidupkan Pendita
15. Kepiting Baik dan Sang Pendita
16. Kera dan Burung-Burung Manyar
17. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran
18. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah
19. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya
20. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan
21. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa
Memerahnya
22. Burung Pelatuk dan Harimau
23. Singa dan Hutan
24. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran
25. Hewan Lima Sekawan yang Saling Menolong
26. Ular dan Tikus
27. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya
28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda
29. Kambing yang Menakuti Harimau
30. Sang Raja Aridarma yang Mengenal Bahasa Hewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Bagan 3
Skema naratologi dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
S
Bingkai Utama
Sang Setia
Pemburu Gadis
Kasmaran
Bingkai Cerita Fabel (Nandaka, Candapinggala dan Sambada)
1. Tertipu Tipuan Suara-suara
2. Burung Atat Meniru Pengasuhnya
3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura
4. Dua Ekor Kutu
5. Kelobaan Burung Bangau
6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah
7. I Cewagara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut
8. Kejelekan Tingkah Laku Singa
9. Burung Tinil Mengalahkan Dewa Samudera
10. Kisah Pemburu Kejam I Papaka dan Kera
11. Sang Pendita, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan
12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa
13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera
14. Macan yang Dihidupkan Pendita
15. Kepiting Baik dan Sang Pendita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Dari kedua skema di atas dapat dilihat perbedaan dan juga persamaan
urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks. Judul-judul cerita di
atas tidak sama dengan judul yang disusun oleh pengarang novel dan penerjemah
Kidung Tantri Kĕdiri. Namun, peneliti sesuaikan dengan kondisi yang ada untuk
mengetahui hubungan intertekstual di antara kedua teks. Selain itu agar pembaca
lebih mengerti dimana letak perbedaan dan persamaan urutan cerita di antara
kedua teks. Banyak persamaan urutan dan jumlah cerita yang terdapat dalam
16. Kera dan Burung Sangsiah
17. Kisah Keburukan Kera
18. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran
19. Kera Nakal yang Menipu Ayam Jantan
20. I Lutung, Kera Hitam yang Tak Tahu Balas Budi
21. Kambing yang Menakuti Harimau
22. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah
23. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya
24. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan
25. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa Memerahnya
26. Burung Gagak dan Pohon Kepuh
27. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran
28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda
29. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya
30. Sang Raja Arya Dharma yang Mengenal Bahasa Hewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
kedua teks. Ada pun perbedaannya tidak banyak, perbedaan urutan cerita
berbingkai antara kedua teks seperti berikut.
a. Dari urutan cerita 1 – 16 kedua teks memiliki urutan yang sama. Adapun
urutan cerita 17 – selesai mengalami sedikit perbedaan dengan
pengurangan dan penambahan cerita. Dari urutan 1 – 16 tersebut memang
sama, namun hanya mengalami sedikit perbedaan pada nama tokoh yang
terdapat di dalam cerita, seperti: 1) Jika di dalam teks Tantri Kĕdiri bagian
3 menceritakan kisah burung betet, maka di dalam teks Tantri Perempuan
yang Bercerita disebutkan burung atat. 2) Kemudian jika di dalam cerita
Tantri Kĕdiri bagian 5 menceritakan seekor kutu dan kepinding, si kutu
bernama Syasa Adapun si kepinding bernama Candila. Adapun di dalam
novel Tantri Perempuan yang Bercerita di bagian 5 mengisahkan dua ekor
kutu yang disebut I Titih dan I Tuma, si I Tuma bernama I Sadaka dan I
Titih bernama Candila. 3) Ada juga beberapa sosok manusia yang
memiliki kisah sama, namun nama tokohnya berbeda, seperti jika di dalam
Tantri Kĕdiri tentara yang melihat seekor kera menari di tengah laut
bernama Sewanggara, maka di dalam novel Tantri Perempuan yang
Bercerita dinamai I Cewagara. Lalu dua orang penyadap tuak dalam
Tantri Kĕdiri bernama Surada dan Walacit Adapun di dalam novel Tantri
Perempuan yang Bercerita bernama I Welacit dan I Surada.
b. Pada urutan cerita ke – 17 dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
diceritakan mengenai keburukan sifat kera yang di dalamnya memiliki tiga
kisah keburukan sifat kera, yakni 1. Kera dungu yang membunuh
pangeran, 2. Kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan, 3. I Lutung,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kera hitam yang tak tahu balas budi. Adapun di dalam teks Tantri Kĕdiri
keburukan sifat kera itu hanya diceritakan dalam satu bagian saja, yakni
kera dungu yang membunuh pangeran. Jadi, kisah kera nakal yang menipu
I Keker si ayam jantan dan I Lutung, kera hitam yang tak tahu balas budi
merupakan tambahan sendiri oleh Cok Sawitri sebagai pengarang novel
Tantri Perempuan yang Bercerita.
c. Penambahan dan penghilangan cerita fabel dalam kedua teks terjadi pada
beberapa bagian cerita, seperti: 1) Di atas sudah dijelaskan sedikit
penambahan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengenai
kisah keburukan sifat kera yang mengalami dua penambahan bagian cerita.
Kemudian penambahan cerita dalam novel Tantri Perempuan yang
Bercerita yang lainnya adalah kisah kasiapa kepuh, yakni cerita pohon
kepuh dan burung gagak. 2) Yang dihilangkan oleh Cok Sawitri terkait
teks Tantri Kĕdiri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita adalah
„singa dan hutan‟ serta „hewan lima sekawan yang saling menolong‟, kisah
ini berkaitan dengan cerita gajah yang sok berkuasa, sehingga dikalahkan
lima hewan lemah. Lalu cerita ular dan tikus yang menceritakan kisah si
ular yang tak tahu balas budi.
d. Selain penambahan dan pengurangan cerita binatang dalam cerita
berbingkai antara kedua teks juga terdapat perbedaan dalam urutan cerita.
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pada urutan cerita 17 – selesai
kedua teks memiliki urutan cerita yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat
dilihat di dalam skema yang telah digambarkan di atas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Meskipun skema persamaan dan perbedaan urutan cerita berbingkai di atas
memiliki kekurangan, yakni sisipan cerita-cerita fabel di dalam cerita berbingkai
terlihat kurang jelas. Namun, setidaknya kedua skema di atas memberikan
gambaran awal kepada pembaca bahwa Cok Sawitri memang mengikuti konvensi
genre teks Tantri Kĕdiri menggunakan cerita berbingkai dalam menulis novelnya
Tantri Perempuan yang Bercerita, tapi Cok Sawitri tidak melakukan imitasi
secara serta merta. Maksudnya, Cok Sawitri tidak melakukan peniruan struktur
teks secara keseluruhan, melainkan ia memasukkan ideologi dan otoritasnya
pribadi dalam membuat novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman di dalam masyarakat saat karya itu ditulis. Cok
Sawitri menempatkan beberapa cerita di tempat yang berbeda dengan cerita
binatang yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Selain itu, Cok Sawitri juga
melakukan penambahan dan pengurangan dalam menyusun cerita fabel yang
ditulisnya. Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan daya kreativitas Cok
Sawitri dalam mengubah sebuah karya sastra yang telah ada.
4. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Mengutip Secara Implisit
Maupun Eksplisit dari Teks Kidung Tantri Kĕdiri
Teori intertekstual menjelaskan tentang hubungan antar teks, bahwa tidak
ada teks sastra yang benar-benar mandiri. Setiap teks sastra itu merupakan mosaik
kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Begitu
pula novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya sastra yang ditulis oleh Cok
Sawitri tersebut merupakan bentuk transformasi dari kutipan dan penyerapan dari
teks-teks lain. Kutipan-kutipan itu dilakukan baik secara implisit maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
eksplisit, baik dikutip langsung dari teks yang telah ada maupun dari konteks
sosial budaya yang berada di luar teks yang melingkupinya.
Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita,
kalimat, alur, bunyi dialog dan lainnya yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri
secara implisit maupun eksplisit dengan menyesuaikan konteks sosial budaya
yang ada di dalam masyarakat Bali saat ini. Novel Tantri Perempuan yang
Bercerita menyerap kutipan-kutipan teks Tantri Kĕdiri secara implisit seperti
pada cerita berbingkai, baik pada bingkai utama pada tokoh utamanya, yakni
kehidupan Ni Diah Tantri dan Eswaryadala maupun cerita berbingkai pada cerita
fabel yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa novel
Tantri Perempuan yang Bercerita mengikuti konvensi genre dalam teks Tantri
Kĕdiri dengan konsep cerita berbingkai. Hal tersebut juga merupakan salah satu
kutipan, dan penyerapan teks-teks lain. Karena isi cerita berbingkai dari novel
Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut sama dengan isi cerita berbingkai yang
terdapat di dalam naskah Tantri Kĕdiri. Contohnya pada bagian awal cerita
berbingkai pada cerita fabel, pertemuan antara Nandaka, Candapinggala dan
Sambada, yang membuat Sambada mengadu domba Nandaka dan Candapinggala
hingga mengakibatkan keduanya mati.
Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dikisahkan awal dongeng
Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala menceritakan tentang seorang Bhagawan
Dharmaswami yang melakukan tapa brata kemudiaan dianugrai seekor sapi
jantan bernama Nandaka oleh Sang Hyang Widi. Seperti pada cuplikan adegan di
bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Dahulu kala, ada seorang pandita miskin bernama Bhagawan
Dharmaswami. Walaupun miskin, pandita itu sungguh teguh melakuakan
tapa brata (pengendalian perilaku). Setiap pagi tak pernah ia luput
melakukan Surya Sevana (memuja matahari di pagi hari). Oh, Dewa Surya
yang pemurah, selalu mencatat dengan seksama keteguhan hati sang
pandita. Hingga suatu hari dari langit terdengar suara... . (Sawitri, 2011:
29).
“Hai pandita yang teguh hati, kuberi engkau seekor lembu... .” Bhagawan
Dhawmaswami dengan semangat memberi lembu itu nama Nandaka
(Sawitri, 2011: 30 – 31).
...Hari ke hari hingga memasuki hitungan yang kelima belas, Bhagawan
Dharmaswami mulai berpikir-pikir, mulai meras kerepotan mengurus
Nandaka, “Dahulu, guruku, Dhang Guru Wasista dianugerahi seekor
lembu putih lembu betina, yang diberi nama Nandini. Lembu itu pemurah,
sebab dari susunya, Dhang Guru Wasista bisa meminta apa saja! Bukan air
susu saja yang dapat diperah dari susu Nandini, segala keperluan Dhang
Guru terpenuhi oleh perahan susu itu. Sebaliknya, aku sekarang
dianugerahi lembu jantan. Ah, pejantan macam ini, apa gunanya?... .”
(Sawitri, 2011: 32).
...Diceritakan kini di pagi hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak
Nandaka ke hutan, memondonginya kayu-kayu bakar, hingga gelap tiba
barulah kembali ke Pasraman. Keesokan harinya Nandaka memondong
kayu-kayu bakar itu ke pasar terdekat. Begitu seterusnya setiap hari,
Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka berjualan kayu bakar ke
pasar. ... Begitulah ceritanya dalam sekejap mata, tak terpikirkan oleh akal
sehat, Bhagawan Dharmaswami menjadi pandita yang sangat kaya raya
(Sawitri, 2011: 33 – 34).
Kutipan-kutipan pada novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut
merupakan penyerapan dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Seperti yang tergambar
dalam naskah berikut.
Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat
kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia
<bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan
<pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara
murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang
memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia (Pupuh I baris 103 b,
2009: 127).
Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor
sapi jantan yang berkualitas sempurna (Pupuh I baris 104 a, 2009: 129).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Ialah bernama Nandaka yang sempurna, warnanya hitam indah. Betul-
betul anugerah Sang Hyang Widi (Pupuh I baris 104 b, 2009: 129).
“Lho apakah alasannya saya dibebani seperti ini?” Begitu pikirnya dalam
hati akan anugerah Sang Hyang Widi. “Ini mustahil, sebab dulu orang-
orang bijaksana semua dianugerahiNya sapi betina. Seperti <contohnya>
bagawan Wasista yang dianugerahi* lembu sang Nandini.
Keistimewaannya adalah susunya (Pupuh I baris 105 a, 2009: 129).
Nah yang ini apa maksudnya?” Begitu katanya dalam hati. Lalu kemudian
si Nandaka dimuati dengan kayu-kayu dibawa ke hutan Andakawana.
Sekembalinya mendapatkan kayu, dijual dan menjadi beras. Beras yang
bertambah dijual lagi menjadi emas. Emas dipakainya membeli barang
dagangan (Pupuh I baris 105 b, 2009: 129).
Begitulah cara ia berdagang. Berputar-putar sehari-harinya membuat
bertambah hartanya (Pupuh I baris 106 a, 2009: 129).
Setelah beberapa waktu lamanya maka semakin bertambahlah para hamba
pelayan dan pedatinya. Apalagi sapi-sapinya beribu-ribu jumlahnya
(Pupuh I baris 106 b, 2009: 129).
Maka rezeki daripada sang brahmana ada di mana-mana. Ia menemukan
keberuntungan. Semakin bertambahlah harta benda serta sapi-sapinya,
menjadi banyak. Maka ia pun sungguh telah mencapai tujuannya (Pupuh II
baris 1 a, 2009: 131).
Begitulah awal cerita asal mula keberadaan Nandaka. Kemudian cerita
dilanjutkan dengan kisah sang bangsawan dan rombongannya yang ingin
berdagang di ibu kota, sehingga ia mempersiapkan semua dagangan dan
rombongan yang dibawanya. Ia harus melewati hutan Malawa yang dikenal
menyeramkan dengan banyak binatang buas dan perampok, sehingga ia harus
bergegas. Setelah melewati hutan Malawa rombongan Bhagawan Dharmaswami
itu pun beristirahat dan membangun tenda. Namun, Bhagawan Dharmaswami
menyadari bahwa sapi Nandaka dan dua orang pelayannya belum sampai di
tempat peristirahatan, sehingga ia kembali ke hutan Malawa untuk mencari
Nandaka. Setelah itu sang Bhagawan Dharmaswami pun kebingungan melihat
Nandaka yang sedang sekarat di tengah hutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita berisi seperti gambaran
berikut.
Dengan kesal Nandaka menggerutu di hati. “Duh, beginikah sikap seorang
brahmana yang bergelar Bhagawan Dharmaswami? Puah! Ah, sungguh tak
layak gelar itu. Sebab tak sedikit pun sikap Bhagawan Dharmaswami
menunjukkan sikap pejalan dharma! Namanya saja Dharmaswami! Tetapi
sifat dan perilakunya sungguh jauh dari kedharmaan! Bhagawan itu terlalu
loba, moha, murka, mada, tidak sedikit pun ingat nasibnya di masa lalu.
Sifat-sifat serakah, kebingungan, pemarah, dan mabuk kekayaan sudah
menguasai dirinya... .” (Sawitri, 2011: 40).
Adapun isi cerita dalam teks hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri
seperti berikut.
“Ia dianggap Dharmaswami* di dunia, <padahal> sungguh papa
perbuatannya. Tidak tahu berterima kasih. Dulu waktu ia masih miskin,
kasihan sekali dia. Lalu aku ditaruhi barang dagangan, ia pergi berniaga,
aku memuat kayu-kayu (Pupuh II baris 13 a, 2009: 139).
Ia dulu berjualan kayu, lalu terlihat menjadi beras dibawa ke daerah
tengah. Berasnya terlihat bertambah menjadi emas yang tak bisa dihitung
adanya. Dan lagi lembu-lembunya dua, tiga. <Sekarang> genapnya ada
seratus, duaratus (Pupuh II baris 13 b, 2009: 139).
Bahkan sekarang ini hampir seribu, penuh dengan harta bendanya. Tetapi
aku tidak diberinya sedikitpun <kesempatan>, berjalan-jalan, bersantai-
santai sedikitlah supaya agak terang hatiku. Malah aku sendiri dimuati
dagangan, dipegangnya erat-erat dan dikatakan bahwa aku sudah terlatih
dan kuat untuk membawa barang dagangan besar! (Pupuh II baris 14 a,
2009: 139).
Apa itu Dharmaswami? Kalau perbuatannya begitu Papaswami*
namanya!” Maka begitulah pikiran Nandaka (Pupuh II baris 14 b, 2009:
139).
Kemudian cerita dalam kedua teks sastra ini menceritakan bahwa Nandaka
tetap berpura-pura seakan sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Ia sudah tak
sudi mengikuti Bhagawan Dharmaswami yang memperlakukannya dengan tidak
baik dan tidak tahu budi tersebut. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
kemudian gambaran cerita selanjutnya seperti pada dialog berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Lalu Bhagawan Dharmaswami memangil dua pelayannya, “Hei, Palet dan
kau Wipe, si kusir akan menggendong sebagian isi pedati, sebagian lagi
akan kutarik dengan kudaku, kalian berdua jagalah Nandaka di sini. Andai
nanti dia sadar, kembali membaik segera pondongi punggungnya kayu
bakar sekuat-kuat yang mampu dia gendong, jika dia mati, siapa tahu ada
pemburu ataukah peladang yang melewati jalan ini, siapa saja mereka,
tawarkan daging Nandaka. Jangan ragu, jual saja! Kalau ternyata mereka
tidak mau beli, kalian berikan saja dagingnya kepada siapa saja yang
lewat. Kalau tidak ada yang lewat, nasib si Nandaka untuk dibakar! Bakar
dia, biarkan menjadi abu... .” (Sawitri, 2011: 43).
Kutipan tersebut dalam Kidung Tantri Kĕdiri tergambar dalam dialog
berikut.
Adalah hambanya dua orang cebol namanya Sinet dan Teka. Maka
berkatalah sang brahmana: “Wahai dua hambaku orang cebol, berbaik
hatilah dan tungguilah sang Nandaka. Apabila* ia hidup, bawalah ke
Udyani Malawa dan muatlah* semua barang dagangan yang kalian lihat
(Pupuh II baris 16 a, 2009: 141).
Jika ia mati, bakarlah oleh kalian. Memang sudah sengsara*. Sedangkan
barangbarangnya masing-masing berikanlah kepada orang yang lewat di
hutan. Akan berbahagia aku jika diberikan kepada seorang pandita atau
orang-orang yang mewakilinya* dengan tujuan supaya berhasillah
perjalananku (Pupuh II baris 16 b, 2009: 141).
<Tetapi sekarang jika hidup>, usahakan barang-barang dagangan yang
mulia, terutama emas, supaya dibawa ke tempatku. Tetapi apabila dimuat
di pedati dan barangnya tidak muat, tunggulah dan jagalah barangku oleh
kalian berdua (Pupuh II baris 17 a, 2009: 141).
Cerita kedua teks berlanjut, kedua pelayan itupun memutuskan untuk
meninggalkan Nandaka di hutan karena tidak mungkin ia bisa bertahan hidup.
Lagipula kedua pelayan tersebut takut akan ancaman yang mungkin terjadi di
tengah hutan Malawa tersebut. Oleh karenanya, mereka membuat sebuah siasat.
Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di ceritakan oleh Cok Sawitri
sebagai berikut.
“Ayolah, kita kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-
tumpuk kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-tumpuk kayu bakar ini
memanjang, lalu melingkari tubuh Nandaka, jejerkan seukuran tubuhnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
tumpukan yang paling ujung letakkan di dekat tubuh Nandaka. Nanti, kita
bakar dari ujung yang lain, yang terjauh dari Nandaka, sebab tidaklah
dibenarkan membakar makhluk yang masih hidup, itu dosa yang sungguh
tak terampunkan, disebut upadarwa. Nah, jika dari ujung kita bakar, api
akan menjalar perlahan menuju Nandaka. Pastilah saat api tiba ditumpukan
kayu terakhir, Nandaka sudah meregang nyawa. Ayo sekarang kita
kumpulkan kayu kering... .” (Sawitri, 2011: 44).
Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung
Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.
... “Coba kamu menimbun kayu dan menyulut api sampai berkobar
meletup-letup dan asapnya kelihatan dari jauh. Maka itulah akan menjadi
buktimu kalau kamu sudah membakar bangkai si lembu.” (Pupuh II baris
20 b, 2009: 143).
Begitulah ujar si Teka. Segeralah ki Sinet menimbun kayu dan berkata:
“Ditaruh di mana kayu ini? Si Nandaka kubakar.” Si Teka lalu menjawab:
“Jangan begitu. Itu dilarang oleh tradisi. Itu namanya gohatyā* bung
(Pupuh II baris 21 a, 2009: 143).
Sama dengan membunuh seorang brahmana artinya. Nah kalau mau
menumpuk kayu, tempatnya agak jauhan ya. Lalu sulutlah apinya. Jika
sudah membara, tinggalkan. Maka siasat kita sudah mulai.” (Pupuh II baris
21 b, 2009: 143).
Maka ki Teka berkata: “Sinet, coba datangi tempat Nandaka dan lepas tali-
talinya semua. Jangan ada yang tertinggal, termasuk penopangnya*.”
Maka segeralah semua dilepas (Pupuh II baris 22 a, 2009: 143).
Jadi, begitulah siasat yang dilakukan kedua pelayan Bhagawan
Dharmaswami meninggalkan Nandaka dan membuatnya seolah-olah Nandaka
telah meninggal. Kemudian mereka menemui sang Bhagawan Dharmaswami dan
melaporkan bahwa Nandaka telah dibakar. Setelah Nandaka ditinggalkan oleh
kedua pelayan tersebut larilah ia ke tengah hutan mencari makan dan tempat
tinggal. Hingga akhirnya Nandaka bertemu segerombolan anjing yang
menyerangnya. Mereka adalah pasukan raja hutan, seekor singa yang bernama
Candapinggala. Grombolan anjing itu dipimpin oleh seekor patih bernama
Sambada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Suatu hari mereka diperintahkan oleh Candapingala untuk berburu hewan
lainnya di dalam hutan. Hingga akhirnya mereka menemukan Nandaka binatang
yang belum pernah mereka temui sebelumnya di dalam hutan Malawa. Mereka
pun segera menyerang Nandaka sebagai hewan buruan mereka. Nandaka dengan
gusar melawan pasukan anjing itu dan mereka pun terluka karena srudukan dan
tendangan Nandaka. Pasukan anjing itu kemudian melaporkan kejadian itu kepada
Candapinggala dan Sambada, sehingga Sambada pun marah melihat keadaan
pasukannya. Setelah itu Candapinggala ditemani oleh Sambada melihat langsung
makhluk seperti apa yang telah melukai pasukannya, maka bertemulah
Candapinggala dan Sambada dengan Nandaka. Potongan adegan itu tergambarkan
dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai berikut.
... raja hutan Malawa itu menyapa Sang Nandaka, “Wahai, Tuan, Siapakah
Anda? Binatang jenis apakah Anda? Dari manakah asal Anda? Kalau
boleh tahu, siapakah nama Anda? Sungguh, saya kagum dengan
penampilan Anda, demikian berwibawa, gemuk hitam dan gagah perkasa!
Sulit bagi saya mencari perumpamaan untuk memuji penampilan Anda...
.” (Sawitri, 2011: 70).
... “oh ho! Baiklah, seperti yang Anda tanyakan, sekarang dengaranlah
dengan baik-baik apa yang akan hamba sampaikan sebagai jawaban. Nama
hamba Nandaka, putra dari Sang Arjuna dan Dewi Surabi. Hamba ini,
cucu jauh dari Ida Bhagawan Sahasra Walikia. Masa kanak hamba
digembalakan oleh Batara Guru. Lama hamba diberi kesempatan menjadi
abdi beliau... .” (Sawitri, 2011: 72).
Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung
Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.
... Kemudian ia disapa oleh sang Raja Margasatwa: “Aduh hewan apakah
anda ini? Dan siapa sebutan nama anda, serta dari manakah anda asalnya
dan mau ke mana? Apakah maksud anda datang ke sini? Apakah rencana
anda sahabatku?* (Pupuh III baris 11 b, 2009: 167).
“Sungguh terpencil ini <hutan> Udyani Malawa, tempat saya. Sungguh
heran saya melihat keadaan anda baru saja datang mengembara di hutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
ini untuk pertama kalinya sepertinya tidak ada yang sama. Apakah anda
tak tahu bahwa saya adalah sang Candapinggala yang dianggap sebagai
raja, Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 a, 2009: 167).
“Tidak lain sayalah yang menguasai kehidupan semua margasatwa yang
berada di hutan ini. Makanya sungguh-sungguh berilah saya tahu, mohon
maaf.” Maka jawab sang Nandaka: “Ah artinya Tuan sungguh-sungguh
Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 b, 2009: 167).
“Maka dengan izin anda, yang termashyur wahai Tuan Candapinggala
yang memiliki bala tentara serigala semuanya, ketahuilah saya adalah
putra sang Aruna dari Surabi sebagai istrinya. Maka mereka ini ayah dan
ibu saya.” (Pupuh III baris 13 a, 2009: 167).
“Saya dianggap cucu Bagawan Sasra Walikilya. Saya Nandaka, wahana
Batara Parameswara (Pupuh III baris 13 b, 2009: 167).
Begitulah kisah awal mula pertemuan Nandaka, Candapinggala dan
Sambada yang membawa Candapinggala ingin berteman dengan Nandaka,
sehingga membuat Sambada mengadu domba keduanya hingga menyebabkan
kematian bagi keduanya. Cerita antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini
merupakan tonggak terpenting dalam cerita Tantri karena cerita ini merupakan
bagian nitisastra dari kitab sastra agama Hindu yang mengajarkan dharma. Selain
itu dari cerita ketiga tokoh binatang inilah kemudian muncul beberapa cerita
sisipan lainnya, sehingga menyebabkan cerita Tantri ini sebagai cerita berbingkai.
Jadi, kehadiran dari cerita Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini sangatlah
penting dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, Cok Sawitri dalam menulis
novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip isi cerita berbingkai kisah
binatang yang terdapat di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri.
Dari penggambaran adegan dan dialog dari kedua teks tersebut, maka
dapat dilihat bahwa memang Cok Sawitri mengutip dan menyerap teks Kidung
Tantri Kĕdiri ke dalam karya transformasinya, yakni Tantri Permpuan yang
Bercerita secara implisit, meskipun kata-kata dan bahasanya tidak sama. Namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
secara signifikasi (pemaknaan), dapat dilihat bahwa memang novel Tantri
Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagaian cerita yang terdapat di
dalam teks Tantri Kĕdiri. Bahkan alur cerita yang digunakan dalam Tantri Kĕdiri
diikuti oleh Tantri Perempuan yang Bercerita.
Sedikit perbedaan bahasa maupun gaya penceritaan dalam novel Tantri
Perempuan yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan Cok Sawitri
tidak hanya mengutip teks secara implisit saja melainkan juga secara eksplisit.
Pengutipan teks secara eksplisit maksudnya mengutip teks tidak hanya apa yang
ada di dalam teks lain, baik itu dari segi bahasa, cerita, alur dan lain sebagainya.
Namun juga mengutip apa yang ada di luar teks, seperti konteks sosial budaya
yang ada di dalam masyarakat pemilik dari cerita tersebut. Mengingat bahwa
jangkauan dari kajian interteks yang sangat luas, sehingga hubungan intertekstual
tidak hanya bisa dihubungkan antara teks dengan teks saja, melainkan juga bisa
antara teks dengan hal yang lainnya seperti, karya seni, drama, sejarah, budaya
dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita, isi ceritanya
tidak hanya mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri secara imlisit. Namun, novel
Tantri Perempuan yang Bercerita ini juga melakukan pengutipan secara eksplisit
terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali. Salah satu contohnya
adalah mengangkat isu yang sedang berkembang di masyarakat Bali, seperti
masalah ketidakadilan gender. Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang isu
ketidakadilan gender terkait adanya sistem sosial dalam masyarakat Hindu Bali,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
yakni sistem kasta dan patriarkal. Adanya kedua prinsip tersebut membuat posisi
wanita di masyarakat Hindu Bali dianggap kurang penting.
Dengan adanya sistem kasta di masyarakat Hindu Bali membuat wanita
Bali tidak bisa bebas menentukan pilihan, salah satu contohnya dalam hal
pernikahan. Di Bali wanita diharuskan menikah dengan kasta yang sama. Jika dia
menikah dengan kasta yang lebih rendah dari kasta keluarganya, maka ia harus
rela meninggalkan keluarganya selamanya. Berbeda dengan laki-laki, apabila laki-
laki menikah dengan wanita berbeda kasta, ia tidak diharuskan meninggalkan
keluarga atau kastanya. Wanita Bali selalu harus hidup dalam kungkungan para
laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2012: 51), bahwa saat perempuan
masih kecil dan hidup bersama orang tuanya ia harus menuruti perintah ayahnya.
Saat perempuan Bali menikah, ia harus menuruti perintah dan mengabdi kepada
suaminya, dan saat suaminya meninggal perempuan Bali harus menuruti perintah
anak laki-lakinya.
Ketidakadilan gender tersebut membuat wanita Bali tidak memiliki
kebebasaan dan seakan dibungkam untuk tidak mengeluarkan pendapat. Hal itu
kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri dalam merekonstruki novel Tantri
Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tersebut salah satunya ia lakukan
kepada kedua tokoh utamnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Ni Diah
Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan berani dalam berpendapat
melalui dongengnya kepada raja Eswaryadala. Pada akhir cerita, Eswaryadala pun
dibuat sebagai sosok laki-laki yang jantan dengan mengakui kesalahannya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
meminta maaf serta membebaskan tokoh Tantri untuk menentukan pilihannya
sendiri.
Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita beserta tokoh utama wanitanya,
yakni Ni Diah Tantri direkonstruksi dengan mengikuti ideologi Cok Sawitri
sebagai salah satu sastrawan Bali yang giat mengangkat isu feminisme dalam
karyanya. Jadi, secara otomatis novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang ia
hasilkan memiliki prespektif berbeda dari cerita Tantri klasik yang pernah ada.
Novel Tantri Perempuan yang Bercerita secara implisit mengutip teks Kidung
Tantri Kĕdiri dan secara eksplisit menggunakan isu feminisme untuk diselipkan
ke dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal ini membuktikan bahwa
Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri sebagai pengarang yang
merekonstruksi sebuah cerita klasik ke dalam novel modern disesuaikan dengan
pemaknaan dan prespektif dari pengetahuan dirinya pribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
B. Rekonstruksi Tokoh Utama, Ni Diah Tantri dan Eswaryadala
oleh Cok Sawitri dalam Novel Tantri Perempuan yang Bercerita
Terhadap Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Soekatno
Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri
Perempuan yang Bercerita terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan
Soekatno terletak pada struktur cerita novel. Struktur tersebut meliputi alur cerita,
latar cerita dan terutama penokohan. Melalui ketiga unsur tersebut, maka dapat
dilihat bentuk rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya
hipogramnya. Namun untuk melihat rekonstruksi tersebut, perlu diperlihatkan
terlebih dahulu mimesis atau peniruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam
karyanya terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogramnya. Cok
Sawitri melakukan tiruan atau lebih tepatnya tetap mempertahankan struktur
utama cerita Tantri Kĕdiri karena dianggap masih relevan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Bali saat ini. Mimesis yang dilakukan Cok Sawitri terhadap
karya hipogramnya antara lain adalah cerita fabel, seloka atau puisi, dan struktur
cerita.
Pada akhirnya, struktur cerita Tantri Kĕdiri yang ditiru oleh Cok Sawitri
melahirkan creatio atau kreativitas. Alur cerita Tantri Kĕdiri memiliki kronologi
yang runtut dan kisah antara manusia dengan cerita bingkai binatang terpisah,
sedangkan Cok Sawitri mencampurkan cerita manusia dengan cerita binatang
untuk mendukung karakter tokoh utamnya. Kemudian Cok Sawitri lebih detail
dalam menggambarkan latar cerita. Karakter tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri
dan Eswaryadala di Tantri Perempuan yang Bercerita digambarkan berbeda oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Cok Sawitri bila dibandingkan dengan penggambaran tokoh utama dalam karya
hipogramnya Tantri Kĕdiri. Hal ini tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang
ingin menyuarakan kaum powerless (kaum lemah), yakni perempuan, sehingga
tokoh Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang cerdas dan
berani bersuara terutama di ranah publik tidak hanya mengurusi ranah domestik
saja.
Sebagai seorang penulis, Cok Sawitri bebas melakukan „pemberontakan‟
(dalam batas tertentu), baik itu pemberontakan antara konvensi sastra maupun
konvensi sosial budaya. Melalui mimesis yang dilakukan oleh Cok Sawitri dapat
dilihat creatio atau kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan
maupun rekonstruksi dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung
Tantri Kĕdiri. Rekonstruksi yang dilakukannya, terutama melalui tokoh
utamanya, yakni Ni Diah Tantri merupakan wujud nyata „pemberontakan‟ yang
dilakukan Cok Sawitri. Bukan pemberontakan dalam bentuk seksualitas yang
sering dilakukan oleh penulis sastra perempuan lainnya, Cok Sawitri melalui Ni
Diah Tantri menampilkan sosok perempuan yang cerdas, pemberani dan bahkan
mendapat pengakuan dari laki-laki.
Untuk melihat rekonstruksi ataupun pemberontakan apa saja yang
dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita
terhadap Kidung Tantri Kĕdiri perlu dijelaskan terlebih dahulu tiruan (mimesis)
yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Dengan demikian dapat dilihat pula creatio atau
kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan maupun rekonstruksi
dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri
terjemahan Soekatno.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
1. Mimesis
Cok Sawitri melakukan mimesis atau mungkin lebih tepatnya
mempertahankan beberapa bagian cerita dari bentuk asli cerita Kidung Tantri
Kĕdiri. Beberapa bagian itu adalah
1) Cerita fabel
Cerita fabel atau cerita binatang di Indonesia dikenal sebagai cerita dengan
tokoh para binatang dan biasanya tokoh binatang tersebut berperilaku atau
memiliki sifat yang sama dengan manusia. Cerita Tantri identik dengan cerita
binatang yang bekisar tentang kisah sapi keturunan dewata bernama Nandaka.
Nandaka berteman dengan seekor singa yang juga raja hutan Malawa, yakni
Candapinggala. Keduanya tewas setelah diadu domba oleh Sambada patih
Candapinggala yang diwujudkan sebagai seekor anjing hutan (Serigala pada versi
Tantri Kĕdiri). Dari ketiga tokoh utama cerita binatang yang ada di dalam cerita
Tantri ini kemudian muncul beberapa cerita binatang lain yang menyusun struktur
cerita hingga membentuk rangkain cerita berbingkai yang menjadi panjang dan
luas. Dari rangkaian cerita binatang inilah yang membuat cerita Tantri menjadi
istimewa. Ditambah lagi isi kandungan cerita binatang yang masing-masing
memiliki nilai moral dan ajaran kebaikan tersendiri.
Sebelumnya telah dijelaskan ciri khas dari cerita berbingkai, bahwa
seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula,
misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. Sama halnya dalam cerita
Tantri, tokoh binatang utama Nandaka dan Sambada sering bercerita satu sama
lain kemudian disambung dengan cerita lain untuk membuktikan kebenaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
ceritanya. Misalnya dalam kasus Sambada, ia digambarkan sebagai tokoh yang
licik pengadu domba antara Nandaka dan Candapinggala. Sambada sering
bercerita kepada Nandaka untuk tidak berteman dengan Candapinggala karena di
antara mereka memiliki perbedaan yang besar. Candapinggala adalah hewan
pemangsa sedangkan Nandaka merupakan hewan yang biasanya dimangsa. Jika
mereka berteman tidak akan berjalan dengan baik, oleh karenanya Sambada
menceritakan beberapa cerita yang membuktikan perkataannya benar, di
antaranya cerita „Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung
Pemakan Buah‟.
Dalam cerita itu dikisahkan bahwa ada sekelompok burung pemakan
daging yang tinggal jauh di atas pohon yang tinggi. Suatu hari ketua kelompok
tersebut mengizinkan sepasang burung pemakan buah untuk tinggal bersama
mereka. Namun tanpa diduga, kotoran yang berisi biji buah-buahan yang dimakan
oleh sepasang burung pemakan buah tersebut jatuh ke tanah dan sebagian
menempel di batang pohon, sehingga saat hujan turun menumbuhkan akar baru.
Hal tersebut menumbuhkan sulur yang menjalar di pohon utama. Akibatnya
manusia bisa meraih sarang-sarang burung yang awalnya tak terlihat oleh manusia
sebelumnya karena pohon itu sangat tinggi (Sawitri, 2011: 124 – 141). Pada
akhirnya, sepasang burung pemakan buah itupun membawa celaka bagi kelompok
burung pemangsa daging.
Secara tidak langsung, Sambada ingin memperingatkan Nandaka bahwa
jika berteman dengan seseorang yang memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda,
maka akan berakhir dengan kehancuran. Selain itu, dari cerita Sambada tersebut
tersirat makna bahwa jika menolong sesorang yang memiliki prinsip yang berbeda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dengan kita, maka hal itu hanya akan membawa malapetaka. Sama halnya jika
Nandaka ingin berteman dengan Candapinggala, maka itu hanya akan membawa
malapetaka bagi keduanya. Sebenarnya sekelompok burung pemangsa daging itu
memiliki niat menolong sepasang burung pemakan buah. Namun, pada akhirnya
biji yang dimakan oleh sepasang burung tersebut membawa kecelakaan bagi
seluruh kelompok burung yang tinggal di pohon itu. Tidak hanya cerita tentang
burung pemangsa dan burung pemakan buah itu saja yang diceritakan oleh
Sambada guna mengadu domba Nandaka dengan Candapinggala, namun masih
banyak yang lainnya.
Nandaka dengan bijak membalas cerita Sambada tersebut dengan kisah
tentang seorang prajurit yang dipenggal kepalanya oleh sang raja karena
berbohong. Nandaka menceritakan ada seorang prajurit yang tengah ikut berburu
dalam rombongan seorang raja. Di tengah perburuannya sang raja mengutus
prajurit itu untuk mencari air karena sang raja kehausan. Saat prajurit itu berusaha
mencari kebutuhan rajanya, ia melihat ada seekor kera yang menari di tengah
lautan. Peristiwa itupun dilaporkannya kepada sang raja. Sang raja tidak percaya
akan cerita prajurit itu, kemudian si prajurit bersedia dipenggal mati jika ia
berbohong. Sang raja dan lainnya pun mengikuti langkah si prajurit untuk melihat
kebenaran peristiwa tersebut. Setibanya di tempat, sang raja tidak melihat ada kera
yang menari di tengah laut. Sang raja pun murka, ia pun bertanya kepada prajurit
itu, “Pada saat kamu melihat kera itu, apakah ada saksi lain yang melihat selain
kamu?” Prajurit itu menjawab tidak, sehingga semakin marahlah sang raja dan
menjatuhi hukuman mati pada prajurit itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Kisah tersebut diceritakan oleh Nandaka untuk memperingatkan Sambada
agar jangan berkata sembarangan jika tidak memiliki saksi. Karena sebelumnya
Sambada selalu menceritakan bahwa Candapinggala selalu menjelekkan Nandaka.
Nandaka pun menanyakan apakah saat Candapinggala berkata seperti itu ada
orang lain selain Sambada yang mendengarkan. Setelah mendengar cerita
Nandaka tersebut merasa malulah si Sambada. Namun ia tetap mencoba mengadu
domba antara Nandaka dan Candapinggala dengan bercerita banyak hal. Hingga
pada akhirnya Nandaka dan Candapinggala pun mati karena termakan
kebohongan Sambada.
Dari banyaknya cerita binatang dalam Kidung Tantri Kĕdiri, yakni kurang
lebih 30 cerita binatang, Cok Sawitri mempertahankan bentuk cerita binatang
tersebut tanpa menghilangkannya. Adapun dari seluruh cerita binatang tersebut
Cok Sawitri menambah atau mengurangi sekitar 3 – 4 cerita binatang. Secara
keseluruhan esensi cerita binatang yang terdapat dalam Kidung Tantri Kĕdiri tetap
dipertahankan oleh Cok Sawitri, meskipun dalam penyusunan cerita binatang
tersebut berbeda. Dalam analisis rumusan pertama telah dijelaskan lebih detail
mengenai perbedaan urutan cerita binatang dari kedua objek penelitian, sehingga
dalam subbab ini peneliti tidak akan membahas kembali dalam pembahasan
kedua.
Cok Sawitri tetap mempertahankan kehadiran cerita fabel berbingkai ini
bukan tanpa alasan. Cok Sawitri menganggap bahwa cerita binatang ini penuh
dengan ajaran-ajaran dharma Hindu dan secara luas ajaran moral serta nilai-nilai
kebaikan dalam hidup manusia. Cok Sawitri mempertahankan nilai-nilai kebaikan
tersebut karena dianggap masih relevan dengan ajaran agama Hindu ataupun nilai-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
nilai moral di kehidupan saat ini. Oleh karenanya, Cok Sawitri mempertahankan
cerita berbingkai binatang untuk diajarkan atau dibagikan kepada para
pembacanya. Terutama untuk menunjukkan ajaran-ajaran dharma Hindu dan nilai-
nilai kebaikan lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai kebaikan
tersebut seperti ajaran tolong-menolong, jangan bersikap loba atau berlebihan agar
tetap terjaga keseimbangan alam, semua perbuatan memiliki hukum sebab akibat,
sehingga kita (pembaca) ditunjukkan beberapa cerita yang menggambarkan
hukum karma pala, yakni jika berbuat baik akan mendapatkan kebaikan
sebaliknya jika berbuat jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal pula.
Dari beberapa cerita binatang tersebut juga mengajarkan tentang sebuah strategi
untuk mengatasi sebuah masalah dengan bekerjasama saling membantu dan
gotong-royong. Contohnya seperti dalam cerita „Si Empas dan Burung Garuda‟
yang mengisahkan kecerdikan para kura-kura yang bekerjasama mengalahkan
burung garuda dalam perlombaan lari di dalam air.
2) Seloka dan puisi
Terdapat banyak unsur yang ada di dalam cerita Tantri, baik itu dari segi
ajaran agama Hindu dan nilai-nilai kebaikan ataupun cerita berbingkai yang turut
menyusun struktur cerita. Di antara banyak unsur yang memenuhi isi cerita Tantri
salah satunya adalah penggalan seloka dan puisi. Seloka terdapat di dalam Kidung
Tantri Kĕdiri sedangkan puisi terdapat di dalam novel Tantri Perempuan yang
Bercerita. Seloka yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri ini biasanya
diletakkan diakhir sebuah cerita binatang untuk memberi semacam wejangan atau
sindiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah maupun
perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Kata
„seloka‟ diambil dari bahasa Sanskerta, sloka (Tim Penyusun Pusat Bahasa,
2008). Teks Kidung Tantri Kĕdiri memuat beberapa seloka, bahkan hampir
disetiap akhir kisah binatang selalu diselipkan potongan seloka sebagai cerminan
ajaran moral. Contohnya dalam cerita sekelompok burung pemangsa daging dan
sepasang burung pemakan buah yang telah dijabarkan di atas. Di akhir cerita
dalam teks, diceritakan ada seorang pendeta yang melihat kemudian membuat
seloka dari cerita burung pemangsa daging dan burung pemakan buah tersebut.
Hal itu tergambar dalam penggalan cerita berikut.
Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan yang membuat seloka dari
maksud cerita: “Artinya dua orang yang sama tujuan dan makanannya
berkumpul, maka ini berakhir dengan baik pula. Sedangkan lagi kalau
tidak selaras tujuan dan makanannya, jelas akan berakhir dengan
percekcokan”. (Pupuh IV baris 91 a, 2009: 223).
Sayangnya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri seloka yang dimaksudkan,
baik itu dalam teks asli berbahasa Jawa Pertengahan maupun dalam aksara Latin
berbahasa Indonesia tidak ditulis bak puisi yang terdiri dari empat baris dan
berbahasa diksi yang indah. Melainkan dituliskan merujuk langsung pada arti dari
seloka tersebut, seperti yang tergambar dalam penggalan cerita di atas. Walaupun
demikian, hal tersebut tidak mengubah maksud dan tujuan penyadur teks dengan
meyertakan sebuah seloka hampir di setiap akhir cerita binatang dalam Kidung
Tantri Kĕdiri.
Maksud dan tujuan dari penyadur tersebut jelas untuk memberikan pesan
secara tidak langsung kepada pembaca, agar pembaca mengambil pembelajaran
disetiap kisah binatang yang diceritakan dalam teks. Karena setiap kisah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
digambarkan oleh para binatang tersebut juga mencerminkan sikap manusia yang
hidup di dunia. Si penyadur berharap dengan membaca setiap kisah binatang yang
berbingkai, panjang, dan luas tersebut, pembaca dapat memetik hikmah dan
memetik pembelajaran yang berguna untuk hidup bermasyarakat. Misalnya dalam
Kidung Tantri Kĕdiri terdapat cerita bingkai fabel yang menceritakan tentang lima
ekor hewan lemah yang saling bekerjasama untuk lepas dari jeratan pemburu.
Pendeta yang menyaksikannya membuat seloka yang tergambar dalam uraian
berikut.
... Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan lagi. Dibuat olehnya seloka
artinya: “Yang tidak serupa dan tidak sama asal-usulnya <tetapi>
berkumpul dan berteman, maka mereka akan menemukan kasih sayang.”
(Pupuh IV baris 246 a – 246 b, 2009: 301).
Pentingnya pemaknaan dalam seloka Tantri Kĕdiri membuat Cok Sawitri
mempertahankan penyelipan „pesan tidak langsung‟ tersebut dengan
mengkreasikannya menjadi bait-bait puisi yang indah dalam novelnya Tantri
Perempuan yang Bercerita. Cok Sawitri tetap mempertahankan beberapa bagian
cerita untuk ditulis kembali dalam karyanya karena bagian tersebut dianggap
masih penting dan relevan dengan kondisi sosial-budaya saat ini. Termasuk dalam
peniruan pesan tidak langsung dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, dengan tujuan
agar pembaca dapat memetik hikmah dari setiap cerita. Estetika penulisan bait
puisi yang dilakukan oleh Cok Sawitri menambah daya kreativitasnya dalam
merekonstruksi karya klasik ke level lebih tinggi. Meskipun, Cok Sawitri
menggunakan potongan seloka sebagai inspirasinnya dalam menuliskan potongan
puisi-puisi di Tantri Perempuan yang Bercerita. Namun, estetika penulisan Cok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Sawitri perlu diberikan perhatian lebih karena sedikit banyak mempengaruhi daya
kreativitas jalannya cerita novel Tantri Permpuan yang Bercerita.
I Nyoman Darma Putra turut mengapresiasi „keberanian estetis‟ Cok
Sawitri dengan menghadirkan potongan puisi di setiap akhir cerita, untuk
mengangkat esensi cerita tersebut. Menurutnya puisi-puisi itu mengukuhkan
kekuatan olah bahasa Cok Sawitri sebagai penyair yang hebat. Puisi itu berfungsi
sebagai inti cerita atau bagian cerita untuk menegaskan pesan moral, atau
merenungi kompleksitas kehidupan. Lewat potongan puisi-puisi itu perenungan
ditawarkan (Putra, 2012: 195). Dari penegasan I Nyoman Darma Putra tersebut
dapat diinterpretasikan bahwa melalui bait-bait puisi tersebut Cok Sawitri
menawarkan sebuah perenungan bagi pembaca yang menyadari akan kebenaran
makna cerita yang disajikan. Misalnya dalam “Bagian 26: Kisah Batur Taskara”,
yang mengisahkan tentang seorang penjahat yang bertaubat dan menjadi seorang
pendeta. Ia ingin menghindari ramalan atas kematiannya, namun pada akhirnya ia
tetap meninggal karena sebuah takdir tidak bisa diubah. Kemudian Cok Sawitri
memberikan pesan moral yang ia tulis melalui potongan puisi yang berbunyi.
Ke gua yang dalam
ke jurang yang curam
berganti busana
karma tidak tertipu
(Sawitri, 2011: 332).
Berbeda dari teks Kidung Tantri Kĕdiri yang selalu menyelipkan pesan
moral di setiap akhir cerita binatang, Cok Sawitri selalu menyelipkan bait puisi di
setiap kisah yang patut untuk dimaknai, terutama pada bingkai utamanya, yakni
kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Misalnya dalam bagian cerita Eswaryadala
tidak bisa tidur atau lebih tepatnya kantuk enggan datang kepada Eswaryadala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
padahal malam telah larut, sehingga ia meminta Ni Diah Tantri untuk bercerita.
Kemudian Cok Sawitri menyelipkan beberapa bait puisi.
Ah, raja yang agung kehilangan kantuknya
Malamkah yang mencuri
Atau tidur telah pergi
Sebab lelap disembunyikan kelam hati
(Sawitri, 2011: 30)
Beberapa bait puisi tersebut menggambarkan kondisi psikis Eswaryadala
di mata pengarang, yakni Cok Sawitri. Esawaryadala diilustrasikan sebagai raja
yang memiliki kegelisahan hingga membuatnya menderita penyakit susah tidur.
Padahal ia telah diberikan persembahan gadis cantik dan perawan setiap
malamnya. Tampaknya hal tersebut tidak membawa kedamaian kepada
Ewaryadala, justru hal itu menambah kekhawatiran baru bagi Eswaryadala hingga
ia tidak bisa tidur setiap malamnya karena merasa bersalah. Maksud Cok Sawitri
menuliskan beberapa penggalan puisi disetiap kisah Ni Diah Tantri dan
Eswaryadala merupakan bentuk campuran antara mimesis dan ideologi, sehingga
menghasilkan creatio/kreativitas.
3) Struktur cerita
Sebuah karya sastra memiliki beberapa unsur yang membangun struktur
teks, sehingga karya tersebut dapat dimaknai secara maksimal. Unsur tersebut
diantaranya adalah tema, alur, penokohan, setting, amanat, konteks sosial budaya
dan lain sebagainya. Sama halnya dalam cerita Tantri ini, cerita Tantri tersusun
dari beberapa unsur intrinsik maupun eksrinsik yang tidak bisa diabaikan begitu
saja untuk dianalisis. Bukan berarti jika peneliti membahas tentang struktur cerita
akan melenceng dari teori intertekstual karena sebenarnya intertekstual merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
teori pascastruktural, bahkan Jonathan Culler pun merupakan tokoh struktural.
Namun peneliti tidak akan membahas tentang sejarah teori struktural dan
pascastruktural hingga melahirkan kajian intertekstual. Pada dasarnya peneliti
turut menganalisis struktur cerita Kidung Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan
yang Bercerita guna melihat persamaan dan perbedaan kedua teks yang akhirnya
akan mengalir pada rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Struktur
intrinsik yang akan dianalisis pun tidak semua unsur, melainkan hanya beberapa
yang bersangkutan dengan tema penelitian ini, yakni alur cerita, latar cerita dan
terutama penokohan.
Jika dilihat secara sekilas, Cok Sawitri memang melakukan mimesis
terhadap teks Kidung Tantri Kĕdiri secara struktur cerita. Hal tersebut dapat
dilihat dari nama tokoh utama yang sama, yakni Tantri dan Eswaryadala.
Kemudian jalan cerita secara keseluruhan juga sama, yakni Tantri mendongeng
untuk menyadarkan sang raja dari tingkah laku buruknya. Lalu secara latar cerita
juga sama karena berlatar kehidupan istana dan bahkan cerita berbingkai fabel
juga sama. Hal tersebut dilakukan oleh Cok Sawitri untuk mempertahankan
struktur utama cerita Kidung Tantri Kĕdiri terkait dengan alur cerita, latar cerita
dan penokohan yang masih dianggap penting dan tidak bisa diubah.
Namun, jika dianalisis secara lebih mendetail terdapat beberapa perbedaan
dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal tersebut tidak terlepas dari
otoritas Cok Sawitri sebagai pengarang yang memasukkan ideologinya ke dalam
karyanya tersebut. Misalnya saja dalam penggambaran tokoh utama novelnya,
yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala selalu dimunculkan dalam cerita
berbingkai fabel. Berbeda dengan cerita Kidung Tantri Kĕdiri, bingkai utama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
cerita Dyah Tantri dan Eswaryapala terpisah dengan bingkai cerita fabel. Hal itu
merupakan inovasi Cok Sawitri guna mendukung ideologinya sebagai sastrawan
beraliran feminisme. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbedaan struktur
cerita dari kedua teks, lebih baik jika dibahas dalam creatio atau kreativitas Cok
Sawitri karena hal ini menyangkut rekonstruksinya terhadap naskah Kidung
Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno.
2. Creatio
Peniruan yang dilakukan Cok Sawitri terhadap cerita klasik Tantri bukan
merupakan sebuah plagiat dalam konteks teori kontemporer, melainkan
merupakan sebuah kreativitas. Meskipun melakukan sebuah tiruan, Cok Sawitri
tidak melukiskan cerita Tantri klasik dengan cara yang persis sama. Cok Sawitri
menggunakan ideologinya sebagai penggiat feminis untuk merekonstruksi cerita,
terutama melalui tokoh utamanya yang juga seorang perempuan, yakni Ni Diah
Tantri. Cok Sawitri bergerak ke level yang lebih tinggi dalam menghasilkan karya
dari cerita yang pernah ada, sehingga karya yang dihasilkannya benar-benar baru
seakan baru dilihat pertama kali.
Senjata bagi seorang pengarang dalam menulis sebuah karya sastra adalah
bahasa. Cok Sawitri menggunakan bahasa yang indah dan sedemikian rupa untuk
merekonstruksi novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap karya
hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Hal tersebut
menghasilkan sebuah inovasi baru dari Cok Sawitri. Pandangan baru dari
perspektif pengarang perempuan yang berasal dari Bali dalam menggambarkan
kembali karya sastra klasik yang telah dikenal oleh masyarakat Bali khususnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
sehingga menghasilkan karya sastra dengan nafas baru dengan mengangkat
semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan melalui
tokoh utamanya Ni Diah Tantri. Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri
dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri
terjemahan Soekatno terdapat di dalam beberapa bagian, sebagai berikut.
a) Alur cerita
Sebagai sastrawan yang memiliki daya imajinatif yang tinggi, kreativitas
Cok Sawitri dalam menyusun struktur cerita sudah tampak pada „Bagian 1: Sang
Setia‟ dan juga „Bagian 2: Pemburu Gadis‟ yang tidak dimiliki oleh cerita klasik
lainnya khususnya dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. I
Nyoman Darma Putra pun juga menyebut bahwa, kedua bagian ini merupakan
awal dari alur cerita, awal dari sebab akibat, yang kelak akan „bertemu‟ dengan
„Bagian 29‟. Bagian 29 merupakan bagian penutup novel Tantri Perempuan yang
Bercerita, sehingga membuat cerita novel menjadi utuh; „bertautnya awal dan
akhir‟ (2012: 8).
Alur cerita dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno merupakan
alur maju. Alur cerita dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri memiliki kronologi
yang runtut, dari perkenalan, konflik, klimaks, anti klimaks hingga akhir cerita.
Diceritakan awal cerita Eswaryapala menginginkan dipersembahkan gadis cantik
setiap harinya hingga menikah dengan Dyah Tantri. Kemudian Dyah Tantri
mendongeng dan mengajarkan ajaran dharma Hindu dalam kitab nitisastra
tentang cerita Nandakaprakarana kepada Eswaryapala. Hal tersebut dikisahkan
dalam Pupuh I – II, sedangkan Pupuh III – IV menceritakan tentang cerita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
berbingkai fabel Nandakaprakarana. Pada akhir cerita, Soekatno menambahkan
keterangan dari akhir cerita Pupuh Tantri Dĕmung, bahwa raja Eswaryapala
menjadi sadar tidak meminta persembahan gadis setiap malamnya lagi. Raja
Eswaryapala juga menjadi semakin cinta dengan Dyah Tantri dan akhirnya
mereka pun memiliki hidup yang bahagia (2013: 10 – 20).
Berbeda dengan Kidung Tantri Kĕdiri yang memiliki alur maju dan
memiliki kronologi cerita yang runtut, Cok Sawitri memiliki daya kreativitas
tersendiri. Memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki alur maju,
diawali dengan proses pelatihan pasukan khusus yang menyebut dirinya Sang
Setia, namun sebenarnya mereka penculik gadis perawan untuk dipersembahkan
kepada sang raja Eswaryadala. Kemudian diikuti kegelisahan sang raja
memikirkan negaranya hingga membuat raja Eswaryadala menderita penyakit
susah tidur. Akhirnya Ni Diah Tantri merelakan diri untuk dipersembahkan
kepada Eswaryadala dan menyadarkan raja dari tingkah laku buruknya. Perbedaan
dari kedua teks adalah urutan kronologi kedua cerita, Cok Sawitri membuat
sebuah inovasi dengan mencampurkan kronologi cerita bingkai utama Ni Diah
Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita binatang.
Novel Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan cerita berbingkai
yang tersusun atas beberapa cerita hingga membentuk bingkai-bingkai cerita lain,
hingga akhirnya cerita tersebut menjadi panjang dan luas. Jika Kidung Tantri
Kĕdiri memiliki urutan kronologi dari bingkai utama, kemudian meloncat ke
bingkai cerita fabel yang di dalamnya terdapat bingkai-bingkai lain, hingga pada
akhir cerita dikembalikan kepada bingkai utama. Berbeda dengan novel Tantri
Perempuan yang Bercerita yang memiliki kronologi campuran, bingkai utama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala bercampur dengan bingkai cerita fabel.
Pada akhirnya, membuat arus bolak-balik dan campuran dari cerita utama ke
cerita fabel begitu seterusnya hingga akhir cerita kembali ke bingkai utama.
Kidung Tantri Kĕdiri memiliki alur cerita menggunakan istilah „Pupuh‟
dengan jumlah empat pupuh dalam teks. Adapun novel Tantri Perempuan yang
Bercerita menggunakan istilah „Bagian‟ yang memiliki 29 jumlah cerita dan Cok
Sawitri memilih mencampurkan bingkai utama kisah Ni Diah Tantri dan
Eswaryadala dengan cerita bingkai fabel. Tujuan dari Cok Sawitri mencampur
kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita fabel untuk mendukung
bahkan memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai pendongeng sekaligus tokoh
utama yang menjadi sumber dari rekonstruksi yang dilakukan olehnya. Melalui
tokoh-tokoh binatang tersebut Ni Diah Tantri ingin „mempengaruhi‟ pemikiran
Eswaryadala dan menyadarkannya untuk selalu waspada dan bersikap bijak
terhadap saran ataupun hasutan-hasutan punggawa istana yang bisa
mencelakakannya dan negeri Patali Nagantun. Salah satu contoh cerita fabel
berbingkai yang mempengaruhi tokoh Eswaryadala terdapat dalam „Bagian 6:
Burung Atat Meniru Pengasuhnya‟.
Dalam cerita ini dikisahkan tentang sebuah negeri bernama Usinara yang
memiliki tingkat keamanan yang luar biasa rapat dari penjuru Timur, Barat,
Selatan dan Utara. Hal ini dikarenakan di setiap perbatasan negeri itu memiliki
Catur Tanda Menteri yang memimpin di setiap wilayah, sehingga tak ada musuh
dari negeri lain yang berhasil menembus tembok perbatasan istana. Hingga
akhirnya sang raja terdahulu telah tiada, ia pun digantikan oleh anak tunggalnya,
yang sejak muda putra mahkota tersebut sudah mengangkat Catur Punggawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Muda. Sang raja muda terkena hasutan Catur Punggawa Muda yang ingin
menggantikan Catur Tanda Menteri. Setelah keempat Catur Tanda Menteri
meninggal dengan cara memenggal kepala mereka sendiri sebagai bukti kesetian
kepada raja terdahulu yang berjanji tidak akan meninggalkan perbatasan, mereka
pun digantikan oleh Catur Punggawa Muda. Pada akhirnya, negeri Usinara pun
hancur karena perilaku Catur Punggawa Muda yang hanya berpesta pora,
sehingga musuh dapat menyerang negeri tersebut. Sang raja muda pun melarikan
diri ke hutan, ia bertemu dengan seekor burung Atat miliki seorang pemburu.
Ketika sang raja muda tiba si burung Atat berselorok akan menangkap dan
membunuhnya. Si raja muda pun lari ketakutan. Hingga ia melihat burung Atat
lagi yang diasuh oleh pendeta, burung tersebut memiliki perilaku berbeda dari
burung Atat pertama yang ia temui. Si burung Atat menasihati dan menyalahkan
si raja muda karena tidak berhati-hati, sehingga terhasut oleh Catur Punggawa
Muda. Si raja muda mendapat nasihat bahwa seseorang dapat memiliki perilaku
yang sama dengan siapa ia bergaul (Sawitri, 2011: 83 – 96) .
Ternyata dari cerita tersebut Eswaryadala merasa tersindir. Hal tersebut
tergambar dalam dialog sebagai berikut.
Eswaryadala tersenyum lebar, “Tantri, apakah para punggawa istana yang
sering menemaniku itu akan mudah mempengaruhiku?” (Sawitri, 2011:
96)
Dari penggalan teks tersebut membuktikan bahwa cerita binatang yang
didongengkan oleh tokoh Ni Diah Tantri mempengaruhi pemikiran Eswaryadala.
Hal tersebut tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang tetap mempertahankan
cerita fabel berbingkai dalam novelnya untuk menunjukkan kreativitasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Secara tersirat dapat dimaknai bahwa Cok Sawitri membawa ideologi
feminisnya melalui tokoh Ni Diah Tantri. Cerita fabel berbingkai yang diceritakan
Ni Diah Tantri mendukung karekternya sebagai tokoh utama wanita Bali yang
berani mengungkapkan pendapatnya, cerdas karena memilih cara mendongeng
untuk menyadarkan Eswaryadala, dan penuh kebijakan dalam menghadapi
permasalahan serta sikap Eswaryadala. Dengan mempertahankan cerita binatang
ini, Cok Sawitri ingin menunjukkan bahwa wanita Bali pun mampu berpendapat
dalam ranah politik. Wanita Bali tidak hanya bisa dijadikan objek pemuas hawa
nafsu seperti para gadis perawan yang diculik. Wanita Bali juga bisa bersikap
cerdas dalam menyikapi masalah serta mampu menunjukkan kepandaiannya
hingga diakui sendiri oleh kaum laki-laki, yakni Eswaryadala.
Cok Sawitri menggunakan otoritasnya dalam menulis novel Tantri
Perempuan yang Bercerita dengan memasukkan ideologinya sebagai penggiat
feminisme ke dalam karyanya. Oleh karenanya, Cok Sawitri menggunakan teknik
penceritaan dengan mencampurkan kronologi cerita binatang dan bingkai utama
kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala untuk mendukung ideologinya. Hal tersebut
merupakan bentuk kreativitas Cok Sawitri, bahwa menggunakan sosok atau tokoh
binatang bisa memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai tokoh utamanya.
Karakter Ni Diah Tantri bisa dimaknai lebih maksimal dan dapat diinterpretasikan
lebih jauh melalui percampuran alur cerita dengan kisah binatang. Cok Sawitri
memberikan pandangan lebih detail mengenai karakter Ni Diah Tantri dan
Eswaryadala yang didukung oleh cerita binatang untuk menunjukkan
kreativitasnya yang dipengaruhi nafas feminisme. Berbeda dengan Kidung Tantri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Kĕdiri terjemahan Soekatno yang terkesan lebih menonjolkan cerita binatangnya
sebagai muatan lokal untuk memberikan pendidikan moral kepada pembaca.
b) Latar cerita
Latar cerita dari kedua teks sama-sama berlatar belakang sebuah
kehidupan di kerajaan (istana centris). Kidung Tantri Kĕdiri memiliki latar cerita
di dalam istana Pataliputra, dalam cerita dipaparkan mengenai singgasana, tempat
tidur sang raja dan selebihnya latar cerita binatang. Berbeda dengan hal tersebut,
Cok Sawitri lebih detail dan kompleks dalam menceritakan latar tempat dalam
novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Contohnya dalam penggambaran Ni
Diah Tantri saat berkeliling untuk melihat isi istana permaisuri, istana yang saat
itu ia tempati sebagai calon permaisuri Eswaryadala. Cok Sawitri menggambarkan
lebih detail latar istana dalam permaisuri. Selain itu, Cok Sawitri menambahkan
sebuah latar tentang adanya sebuah jalan rahasia yang dilewati oleh seorang
kerabat istana, yakni Putri Matarum yang mencoba merayu Eswaryadala. Putri
Matarum merupakan kerabat istana yang diusung para punggawa untuk
dijodohkan dengan Eswaryadala. Hal tersebut terlihat dari penggalan cerita
sebagai berikut.
Ni Diah Tantri terkagum-kagum dengan penataan bangunan istana
permaisuri. Betapa cermat yang merancang bangunan ini, siapa saja yang
menghadap permaisuri, tidak akan melihat kegiatan di peraduan,
sebaliknya dari dalam pelayan akan melihat apa saja kegiatan di luar. Di
balik dinding ada jalan kecil yang menyelang dinding peraduan dengan
kamar-kamar yang memiliki pintu-pintu berukir. Pantaslah, pelayan
denga tenang hilir mudik di dalam ruangan sebab tidak akan mengganggu
penghadapan di amben (beranda) luar. Setelah puas memeriksa seluruh
sudut istana permaisuri, Ni Diah Tantri mengunjungi dapur istana... .
(Sawitri, 2011: 125)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Ni Diah Tantri berkeliling, melihat-lihat berbagai bahan masakan yang
telah diracik, lalu melangkah ke pintu belakang. Diambang pintu, ia
melepaskan pandangan. Ia tersenyum melihat barisan kandang berjejer;
dari kandang ayam, kandang bebek, mentok, kemudian di sebelah yang
lain ada kandang babi juga beberapa ekor kijang, kambing... . (Sawitri,
2011: 126)
... kali ini ia memilih jalan belakang, jalan yang tidak akan terlihat dari
halaman depan, jalan sembunyi, yang menghubungkan istana permaisuri
dan istana utama. Saat ia menaiki undakan untuk masuk ke dalam
istana permaisuri, sekelebat ia melihat seorang perempuan yang tengah
berjalan memutar, ke jalan kecil yang lain. (Sawitri, 2011: 126)
... Taman palipuran, taman yang luas, taman raja yang kadang
dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu negara (Sawitri, 2011:
280)
... sementara Ni Buangit mengikuti langkah Ni Diah Tantri, yang dengan
tenang menuju kolam ikan yang dinaungi dua pohon mangga. (Sawitri,
2011: 280)
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, Cok Sawitri menggambarkan
kondisi istana permaisuri secara detail seakan Cok Sawitri mengetahui dengan
baik kondisi istana Patali Nagantun. Uraian tersebut juga memperlihatkan kondisi
jalan rahasia yang seharusnya hanya orang tertentu yang dapat melewatinya
karena setiap sudut istana dijaga oleh Sang Setia. Namun, Putri Matarum yang
merupakan salah seorang kerabat istana dengan bebas melewatinya karena semua
prajurit mengenalnya. Dari penggambaran tersebut dapat kita interpretasikan
bahwa kerabat istana pun berniat memikat hati sang raja, agar tujuan pribadi
sebuah kelompok tercapai.
Selain penggambaran di atas, secara detail Cok Sawitri juga
menggambarkan lingkungan taman dan ingin mencari tahu apa yang tengah
terjadi di istana keputrian. Istana keputrian merupakan tempat yang menampung
para selir tidak resmi sang raja. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung
ideologinya dengan mempertanyakan keberadaan selir-selir tidak resmi sang raja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
atau wanita-wanita Bali yang menjadi korban penculikan untuk dipersembahkan
kepada raja Eswaryadala. Mempertanyakan nasib atau keberadaan wanita yang
tertindas merupakan salah satu ciri ideologi feminis. Hal tersebut tergambar dalam
adegan.
Ni Diah Tantri menelan ludahnya, dadanya bergetar. Ada apakah dengan
istana keputian?... . (Sawitri, 2011: 279).
Ah, kemanakah aku harus mencari tahu... . (Sawitri, 2011: 279).
Usai melakukan surya sevana Ni Diah Tantri meminta di antar berjalan-
jalan ke Taman Palipuran. Dua pelayan juga Ni Buangit mengantarkannya.
Eswaryadala masih berada di istana utama, seperti yang dikatakannya, ia
tengah mengurus istana keputrian”. (Sawitri, 2011: 280)
c) Penokohan
Menganalisis sebuah karya sastra tentu tidak bisa melepaskan peran serta
karakter tokoh di dalamnya. Karena sosok tokoh beserta watak dan karakternya
mencerminkan pemikiran pengarang dalam membangun sebuah cerita.
Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam mengubah karakter tokoh
utamanya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala dapat mencerminkan gagasan
dan pemikirannya dalam menceritakan kembali cerita klasik Tantri sesuai dengan
perspektifnya. Meskipun kedua teks memiliki tokoh utama yang sama, yakni
Tantri dan Eswaryadala, namun karakter yang diperankan tokoh utama ini terlihat
berbeda. Perbedaan tersebut merupakan bentuk rekonstruki Cok Sawitri dalam
merekonstruksi karakter seorang tokoh yang disesuaikan dengan ideologi dan
situasi sosial budaya di masyarakat saat ini, sehingga menimbulkan kreativitas
serta inovasi dari Cok Sawitri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
I Nyoman Darma Putra mengatakan bahwa,
Cok Sawitri adalah salah satu sastrawan Bali terkemuka yang prolific dan
multi-talenta. Selain menulis novel, dia juga menulis sejumlah puisi,
cerpen, dan menyutradarai beberapa drama tari modern atau tradisional
Bali. Paham feminis yang menolak penindasan terhadap wanita, baik
secara diskursif ideologis (wacana ideologi) maupun sosial-praktis,
merupakan salah satu ciri utama sebagian karya-karya Cok Sawitri.
Berbeda dengan sastrawan wangi atau sastrawan perempuan Indonesia
kebanyakan yang mengangkat tema-tema seksualitas dalam melawan
ketidakadilan gender seperti, Ayu Utami, Oka Rusmini yang juga
sastrawan dari Bali, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan lain sebagainya.
Cok Sawitri memilih tokoh-tokoh sastra atau legenda untuk menawarkan
pandangan alternatif dalam menegakkan dan menjaga keadilan dan
kesetaraan gender. Bukan masalah seks yang digunakan Cok Sawitri tetapi
penampilan sosok wanita yang cerdas, berani, dan memiliki modal sosial
dan budaya yang kuat (2012: 4).
Hal tersebut jelas tergambar ke dalam sosok atau karakter Ni Diah Tantri dalam
novel Tantri Perempuan yang Bercerita.
Rekonstruksi tokoh utama yang dilakukan olah Cok Sawitri adalah sebagai
berikut.
1. Ni Diah Tantri (Dyah Tantri)
a. Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno
Di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno, tokoh Dyah
Tantri digambarkan sebagai perempuan yang cantik, menguasai ilmu agama,
pintar, sopan, berbakti kepada kedua orang tua dan memiliki budi pekerti yang
luhur. Hal tersebut tergambar dari ilustrasi berikut.
Lalu dipanggillah anaknya yang sangat sopan, cantik, pertama-tama
memberikan tempat kecantikan utama, dewi kecantikan seluruh bumi.
Dewi Saci*, Dewi Saraswati, Dewi Uma tidak sama paras kecantikannya,
kalah dengan keelokan Dewa Lautan Madu. Ia tiada lain dipuji-puji
parasnya, sifatnya, dan juga kebijaksanaannya, memang sungguh tinggi
kepandaiannya. Tidak ada kekurangannya dalam ilmu agama, sastra,
dharma dan kitab suci. Inilah hasil usaha tingkah laku yang sopan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
mengusahakan kecantikan dan keelokan, senantiasa membuat nyaman hati
orang lain. Maka oleh karena ini seluruh dunia menyebutnya Tantri*.
(Pupuh I baris 22 a – 23 a, 2009: 87)
Penggambaran karakter Dyah Tantri yang masih memiliki ibu kemudian
dinikahi Eswaryapala mempengaruhi watak dan pemikirannya. Melalui fakta
cerita tersebut dapat dilihat bahwa karakter Dyah Tantri digambarkan sebagai
sosok perempuan Bali yang masih tradisional, yakni hanya menguasai ranah
domestik. Wanita Bali cenderung sebagai kaum domestik, mereka hanya
diperbolehkan mengurus urusan rumah tangga saja tanpa diperbolehkan dan
memiliki hak untuk bicara diranah politik. Memang karakter Dyah Tantri
digambarkan sebagai sosok yang cerdas menguasai ilmu agama, namun secara
keseluruhan Dyah Tantri digambarkan sebagai wanita Hindu yang tradisional.
Dyah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengurus urusan rumah
tangga, menuruti permintaan ayah dan ibunya yang juga wanita Hindu tradisional,
mengabdikan diri kepada suami, dan tidak ikut campur dengan perpolitikan negeri
Pataliputra. Meskipun ia berniat ingin menghentikan perilaku buruk Eswaryapala
untuk menyelamatkan negerinya, namun ia tidak memiliki kapasitas untuk
berbicara mengenai perpolitikan.
Digamabarkan sebagai seorang puteri yang masih memiliki sosok ibu,
Dyah Tantri memiliki karakter yang sama dengan sang ibu yang merupakan
wanita Hindu tradisional. Saat ibunya menasihatinya tentang kewajiban seorang
wanita untuk mengabdi secara keseluruhan kepada suami, Dyah Tantri pun hanya
menurut dan menyetujuinya. Begitu pula saat sang ayah menasihatinya untuk
selalu menuruti keinginan Eswaryapala, Dyah Tantri pun tak membantah dan
menurut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemikirannya masih dipengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
ajaran tradisional yang diajarkan kepadanya, yakni untuk selalu taat dan tunduk
kepada laki-laki. Hal itu seperti tergambar dalam dialog Dyah Tantri dengan
ibundanya sebagai berikut.
“... Itulah istri, wanita namanya. Bisa berumah tangga, mampu
berbicara menyenangkan hati sang suami serta melindungi hidup
suami. Itulah <namanya> kesetiaan unggul yang dianggap sebagai istri
utama. Bagaimana ia bisa dikasihi dan dicintai dengan khusus. <Dan pula
bagaimana ia bisa> membalas kasihnya serta menyayanginya, membalas
cintanya. Memang seyogyanyalah berbakti. Itu tiada lain dharma
seorang istri. Adalah seorang istri yang selalu cemburu, tidak berguna,
berwujud suram, menjemukan. Perbuatannya berkelahi bercekcok.
Seyogyanya ia ditinggalkan oleh seseorang yang berpengetahuan akan
wanita. Begitulah ia tidak mampu membalas cinta suaminya. Inilah
seorang wanita candala*, yang diajari kitab suci. Itulah yang membuatku
takut jika dilihat oleh bapakmu. Sebab sifat seorang suami itu, ia bisa pergi
dan memilih tempat di mana ia dicintai. Tujuan seorang istri ialah
mengambil risiko dan mengabdi <sang suami>, berbeda dengan
seorang anak yang baik. Sebab tak ada cinta yang sama dengan cinta
terhadap seorang anak dan tak ada musuh seperti penyakit* dalam tubuh.
Tak ada yang sesakti Dewa. Maksudnya kaulah anakku yang datang ke
ayahmu, menanyakan kesedihannya, mudah-mudahan* <bisa> menghibur
amarahnya. Laksanakanlah dengan perasaan, janganlah secara enggan.
sebab benar-benar sedihlah bapakmu. <Jika tidak>, maka ini akan berakhir
dengan sakit. Anggaplah ini sebagai pembalasan hutang budimu. Jika api,
sebagai musuh datang, masuk ke dalam atap meskipun sedikit. Sebaiknya
tidak bisa dibiarkan. Sakit yang baru saja terasa seperti ayahmu, jangan
dibiarkan. Bisa benar-benar menjadi penyakit*. Datang dan tanyalah
kepada ayahmu dan apalah obatnya. Carilah tahu penyakitnya.” Begitulah
kata sang ibu Dyah Ari Rupini. Jawab Tantri benar-benar sopan:
“Sungguh, tidak usah khawatir ibunda akan keadaan putri ibu, sebab saya
bisa melaksanakan segala perintah orang tua.” Kemudian ia pergi, setelah
ia bersujud kepada ibunya lagi.” (Pupuh I baris 25 a – 29 b, 2009: 90 – 91)
Nasihat ayahnya, Bandeswarya agar selalu menuruti perintah dan
keinginan Eswaryadala pun Dyah Tantri turuti. Hal itu memperlihatkan, bahwa
Dyah Tantri masih tunduk pada kekuasaan laki-laki. Meskipun Dyah Tantri
menguasai ilmu agama dan memiliki sifat yang cerdas, namun kecerdasannya
tersebut murni digunakan untuk berbakti kepada orang tua, negara dan suaminya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Sikap penurut Dyah Tantri terhadap suami juga terlihat dalam dialognya dengan
Eswaryadala (setelah mereka menikah) sebagai berikut.
“Begitu pula penampilanmu bagaikan langit terang yang tanpa diminta
membuat hati berbahagia secara teratur. Engkau senantiasa membuat hati
mereka yang membutuhkan pertolongan menjadi terang. Laksanakan
tugasmu dengan baik dan setialah terhadap suamimu dengan sangat,
sayang.” (Pupuh II baris 47 b, 2009: 158)
“Maka Dyah Tantri tahu akan keinginan sang raja dan berkata dengan
lembut: “Aduh, mengapa <Sri Paduka> berkata demikian mengenai
keadaan patik Tuanku.” (Pupuh II baris 48 b, 2009: 158)
“Alasan patik duli Tuanku menghadap Sri Baginda adalah untuk
menjadi kebahagiaan Sri Paduka.” (Pupuh II baris 49 a, 2009: 159)
Saat merelakan diri sebagai persembahan Eswaryapala pun, Dyah Tantri
memiliki tujuan untuk “menghibur” Eswaryapala tanpa berniat untuk membuat
Eswaryapala mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Hal tersebut tergambar
dari dialognya bersama sang ayah ketika ia mengutarakan niat agar
dipersembahkan kepada raja, sebagai berikut.
“Tampaknya saya bisa menekan hati Sri Baginda yang ingin dinikahkan.
Beliau akan saya hibur dengan cerita Tantra* yang diambil dari kitab
Nitisastra.” Begitulah kata Dyah Tantri. Menjawablah sang orang tua:
“Aduh benar-benar gembira aku anakku, budimu seperti itu. Berusaha
menghentikan hasrat Sri Baginda. Pahala hidup saya mempunyai seorang
putri pasti karena <taat akan> sastra dan agamalah.” (Pupuh I baris 37 b –
38 a, 2009: 95)
Dari penggalan dialog tersebut menegaskan, bahwa misi Dyah Tantri untuk
mempersembahkan dirinya kepada sang raja hanya untuk menghibur dan
menghentikan perilakunya yang gemar menikahi wanita-wanita cantik. Secara
tidak langsung hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa karakter Dyah Tantri
dari awal ingin menjadi istri Eswaryapala, mengabdi kepadanya, menghiburnya
dan menghentikan perilaku buruknya dengan bercerita atau mendongeng. Tidak
digambarkan mengenai kepeduliannya dengan wanita lain atau selir-selir raja lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
yang menjadi korban persembahan. Berbeda dengan karakter Ni Diah Tantri
dalam Tantri Perempuan yang Bercerita yang selalu menanyakan nasib dan
keberadaan gadis yang diculik oleh Sang Setia. Tantri memang memiliki satu
nama yang sama dalam dua karya, Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang
Bercerita. Namun tokoh yang sama ini memiliki karakter dan watak yang berbeda
bila dilihat dari perspektif feminitas.
b. Rekonstruksi tokoh Tantri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
Yang membedakan tokoh Dyah Tantri dalam Kidung Tantri Kĕdiri dengan
Ni Diah Tantri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter yang
dimiliki keduanya dari perspektif feminitas. Kaitannya dengan isu yang masih
terus dan tidak akan pernah habis dibicarakan. Salah satu isu yang selalu ada di
dalam masyarakat Bali dan diangkat ke dalam karya sastra oleh Cok Sawitri,
yakni ketidakadilan gender yang kerap dialami oleh perempuan Bali. I Nyoman
Darma Putra (2007: 84) menyebutkan bahwa, masyarakat Bali adalah masyarakat
feodal yang membatasi kebebasan perempuan. Paternalistik adalah salah satu ciri
masyarakat feodal, dimana laki-laki dianggap menduduki posisi lebih tinggi
dalam hirarki sosial, atau dianggap lebih superior dibandingkan wanita. Hal
tersebut membuat wanita tidak memiliki kesempatan berkarir maupun bersuara
dalam bidang politik dan pemerintahan. Dunia rumah tangga dianggap arena
perempuan Bali.
Oleh karenanya, Cok Sawitri merekonstruksi karakter Ni Diah Tantri
menjadi sosok perempuan Bali yang berani bersuara terutama di ranah politik
melalui cara yang cerdas dengan mendongeng. Dari judul novel Cok Sawitri dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
dari isi ceritanya dapat diinterpretasikan bahwa “Bercerita” merupakan kekuatan
utama Ni Diah Tantri untuk menyadarkan Eswaryadala. Ni Diah Tantri
digambarkan sebagai seorang putri bangsawan yang dibesarkan dengan tata krama
dan hidup para bangsawan. Selain itu ia digambarkan sebagai perempuan Bali
yang memiliki sifat cerdas, berani mengeluarkan pendapat, cerdik, bijaksana,
bahkan dapat mengalahkan kebijaksanaan dan kecerdasan Prabu Eswaryadala
sebagai sorang raja di negeri Patali Nagantun. Dalam novel Tantri Perempuan
yang Bercerita, Cok Sawitri memperkenalkan tokoh Ni Diah Tantri dan asal
usulnya melalui percakapan bersama sang ayah, Mahapatih Bandewarya sebagai
berikut.
Bandeswarya kini tersenyum, matanya berkerjap menahan keharuan. Ni
Diah Tantri adalah putri satu-satunya, yang lahir ketika ia sudah diangkat
menjadi Mahapatih. Ia kawin diusia paruh baya. Tugasnya sebagai prajurit
istana, telah membuatnya tak memiliki waktu membangun rumah tangga.
Raja Dewatalah, ayahanda Eswaryadala yang memintanya untuk
mengawini salah satu kerabat istana, keponakan raja, yang malangnya
meninggal ketika melahirkan putri pertamanya. Kesedian dan rasa
kehilangan itu membuat Bandeswarya sangat melindungi putrinya, yang
dididiknya dengan sangat hati-hati. Ni Diah Tantri, putri seorang prajurit
istana, penyandang Sang Setia, apalagi kini menjadi Mahapatih. Ia telah
terdidik untuk berhati-hati dalam bertutur kata. (Sawitri, 2011: 11)
Dari penggalan dialog di atas dapat diketahui pula asal usul Ni Diah
Tantri, bahwa dia merupakan anak dari keponakan raja Dewata (ayah
Eswaryadala), sehingga bisa dikatakan Ni Diah Tantri termasuk kerabat istana
pula. Pengenalan tokoh Ni Diah Tantri tersebut juga menjelaskan, bahwa ia sudah
tidak memiliki ibu dan memiliki kedekatan dengan sang ayah, Bandeswarya.
Berbeda dengan tokoh Dyah Tantri di teks Kidung Tantri Kĕdiri, sosok ibu
sebagai panutan masih digambarkan oleh penyadur. Penghilangan sosok atau figur
ibu dari tokoh utama perempuan dalam novel Cok Sawitri ini tentu mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
keseluruhan jalan cerita. Hal inilah yang membuat sosok Ni Diah Tantri terkesan
memiliki jiwa maskulin karena sudah terbiasa mandiri. Ia juga memiliki sifat
berani dan cerdas, terbukti dengan pengetahuannya tentang keadaan istana beserta
peraturannya. Hal tersebut tergambar dalam dialognya bersama sang ayah ketika
Bandeswarya terlihat bingung memikirkan nasib negeri Patali Nagantun dan
perilaku Eswaryadala.
“Bapa.... bukankah Sang Setia selalu terikat persaudaraan dengan
yang dipercaya jaga tidur di bawah peraduan sang raja?”
Bandeswarya kali ini menarik dagu putrinya, menatap dalam-dalam, “Kau,
dari mana tahu semua hal, anakku? Tahukah engkau, pengetahuanmu itu
bisa membahayakanmu?” (Sawitri, 2011: 16)
Pengetahuannya tersebut tidak terlepas dari peran sang ayah Bandeswarya.
Hal ini dikarenakan Bandeswarya selalu mengajak Ni Diah Tantri untuk
berdiskusi. Karakter Bandeswarya dalam Tantri Perempuan yang Bercerita
sedikit banyak memperkuat sosok Ni Diah Tantri sebagai karakter perempuan
yang berani, demokratis dan cerdas. Dengan tidak memiliki seorang istri dan
pendamping hidup, Bandeswarya di novel Tantri Perempuan yang Bercerita
digambarkan sebagai sosok ayah yang mencintai anaknya dan membiarkan
anaknya untuk menyampaikan pendapat dan pemikirannya sendiri. Sebuah
karakter yang diciptakan oleh Cok Sawitri untuk mendukung ideologinya.
Bandeswarya tidak digambarkan sebagai sosok ayah yang umumnya terdapat di
masyarakat Bali, yang lebih memaksakan kehendak kepada anak perempuannya
serta tidak memberi kesempatan sang anak untuk berpendapat. Bandeswarya
justru bersikap demokratis dengan membiarkan putrinya berpendapat terutama
dalam ranah politik serta mempercayai putrinya dengan mengajaknya bertukar
pikiran mengenai keadaan istana pada saat itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Perlakuan yang diberikan Bandeswarya kepada Ni Diah Tantri membuat
sosok Tantri menjadi berani berpendapat dan memiliki pengetahuan tentang dunia
politik di istana. Kecerdasan Tantri tersebut telah disadari oleh Prabu
Eswaryadala, sehingga dalam mengambil keputusan politik di negaranya, Prabu
Eswaryadala pun selalu menanyakan pendapat Ni Diah Tantri. Hal ini
membuktikan bahwa sosok Ni Diah Tantri digambarkan sebagai seorang
perempuan yang tidak hanya mengurusi urusan domestik saja. Melainkan ia juga
bisa mengurusi urusan publik, yakni mengenai kepentingan negara. Peristiwa ini
tergambar dalam dialog.
“Tantri apa pendapatmu jika ada kejadian seperti?”
Ni Diah Tantri tersenyum, “Baginda di negara sebesar Patali Nagantun
tidaklah mungkin tidak terjadi kejahatan. Kejahatan menculik gadis-
gadis memanglah kejahatan luar biasa. Lalu jika orang yang semula
ditahan ada yang meloloskannya, itu mengundang tanda tanya, namun
benarkah ada yang membantu meloloskan diri? Bukankah rumah tahanan
di benteng pasukan adalah rumah tahanan yang dijaga ketat. Ada dua
kemungkinan, pemuda itu memang pandai dan tangkas, cerdik dan
memiliki ketrampilan yang luar biasa. Kedua, tentulah menyedihkan
bila rumah tahanan di benteng yang dijaga pasukan ada yang berani
menyusup untuk membantu meloloskan pemuda itu, di situ
pertanyaannya, siapa pemuda itu hingga demikian pentingnya
diloloskan dari rumah tahanan?”
Eswaryadala tertawa kecil, matanya berbinar, “Kau dengar Kumbaputra.
Kedua pertanyaan itu harus dijawab. ... . (Sawitri, 2011: 218 – 219).
Korpus di atas menunjukkan bahwa Ni Diah Tantri memiliki kecerdasan
dan ia pun dipercaya Eswaryadala sebagai penasihat atas laporan yang diberikan
oleh Patih Kumbaputra. Dari data di atas juga dapat diinterpretasikan bahwa
pendapat Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi keputusan Eswaryadala. Hal
tersebut membuktikan bahwa karakter Ni Diah Tantri dibuat oleh Cok Sawitri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
sebagai perempuan Bali yang tidak hanya mengurusi ranah domestik. Namun, ia
juga bisa mengurusi ranah politik.
Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, tokoh Tantri digambarkan sebagai
perempuan yang sopan, santun, baik. Namun tidak digambarkan bahwa ia
mempertanyakan nasib para gadis yang menjadi korban dari ikatan persembahan
kepada raja Eswaryadala. Nasib gadis-gadis tersebut seakan dianggap tidak
penting di teks Tantri Kĕdiri. Berbeda dengan itu, Cok Sawitri merekonstruksi
tokoh Tantri menjadi sosok perempuan yang selalu mempertanyakan nasib dan
keberadaan gadis-gadis sebagai simbol korban penindasan tersebut. Keberanian
untuk menyuarakan nasib kaum perempuan yang tertindas merupakan sebuah
bentuk pemberontakan konvensi Cok Sawitri. Baik itu pemberontakan konvensi
sastra antar teks maupun pemberontakan dengan konvensi sosial-budaya
masyarakat Bali. Bentuk dari kepedulian tokoh Ni Diah Tantri terhadap gadis-
gadis yang tertindas tersebut tergambar dalam dialog berikut.
... Ni Diah Tantri menghela nafas panjang..... sungguh sulit untuk
mengetahui banyak hal walau sudah ada di dalam istana, pikirannya
sedikit gundah. Dimana gadis-gadis itu? Di mana para selir tak resmi
itu disembunyikan oleh Eswaryadala? Di istana keputrian? ... . (Sawitri,
2011: 127).
Rekonstruki Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri sebagai sosok
perempuan yang menyuarakan ketertindasan terhadap kaumnya sendiri sudah
terlihat pada awal penceritaan. Pada saat, pembicaraan mendalam antara
Bandeswarya dan Ni Diah Tantri yang membicarakan kebiasaan baru
Eswaryadala yang sering berpesta dan meminta persembahan gadis perawan
setiap harinya. Dari beberapa dialog terlihat bahwa Ni Diah Tantri menanyakan
bagaimana nasib gadis-gadis itu dan nasib negara jika memiliki seorang raja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
seperti itu. Tentulah Sang Pencipta akan memberikan hukuman kepada raja yang
memperlakukan perempuan dengan tidak baik. Dari inilah sudah dapat dilihat
awal rekonstruksi Cok Sawitri, secara tersirat melalui tokoh utamanya tersebut ia
ingin menyelamatkan para gadis yang menjadi korban penculikian. Hal tersebut
tergambar dalam dialog berikut.
“Petaka apa yang akan ditimpakan kepada negeri yang tidak
menghormati perempuan?” Desis Bandeswarya begitu getir... .(Sawitri,
2011: 14).
“Hamba bertekad, Bapa mesti menghaturkan hamba kepada Baginda,
hamba mesti menghentikan perilaku tidak patut seorang raja....”
Sawitri, 2011: 21).
Hanya yang berani berpihak kepada kebenaran, Bapa, yang tidak takut
melakukan pengorbanan, ini kesetiaan hamba yang sejati,
menyelamatkan negara dari kutuk Jagatpati. Bapa, izinkan hamba
melakukan tugas setia hamba, agar perburuan gadis-gadis itu dihentikan.”
(Sawitri, 2011: 21 – 22)
Jika dibandingkan dengan karakter Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri
Kĕdiri yang hanya bertujuan menghibur Eswaryapala agar berhenti menikahi
gadis cantik setiap harinya tanpa memperdulikan dan mempertanyakan nasib
perempuan lain yang dijadikan selir Eswaryapala. Ni Diah Tantri dalam novel
Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki keberanian dan cita-citanya sendiri
untuk membebaskan korban penculikan dan menyadarkan raja dari kesalahannya.
Dari point tersebut dapat dilihat secara jelas perbedaan karakter Tantri dari kedua
teks, selain itu bisa dilihat juga kreativitas dan bentuk reonstruksi yang dilakukan
Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri.
Dalam ideologi feminis perempuan adalah korban, perempuan jugalah
yang membebaskan penindasan tersebut. Perempuan bagi kaum feminis adalah
simbol penindasan dan simbol pembebasan. Gadis-gadis perawan yang diculik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
oleh prajurit muda Sang Setia adalah simbol penindasan terhadap kaum
perempuan Bali. Ni Diah Tantri adalah perempuan cerdas dan berani, simbol
pembebasan terhadap perempuan Bali. Tidak hanya sebagai simbol pembebas
para gadis, namun Ni Diah Tantri juga sebagai pembebas kecemasan dan
kegundahan hati sang raja Eswaryadala. Kemenangan ideologi feminis tampak
tergambar dalam akhir cerita. Pada akhirnya, Eswaryadala mengakui kemenangan
Ni Diah Tantri. Eswaryadala mengakui keunggulan Ni Diah Tantri dan berkat
kecerdasan serta kepintaran Ni Diah Tantri, Eswaryadala menjadi sadar atas
kesalahannya.
“Ni Diah Tantri menghela napas, Eswaryadala tampak memejamkan
matanya. Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan
Patih Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah
menjadi Sambada, Andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri,
pastilah aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah
Negeri Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala disaksikan
dua pelayan dan Ni Diah Tantri yang matanya berkaca-kaca pula.”
(Sawitri, 2011: 356)
Korpus tersebut membuktikan bahwa Eswaryadala mengakui kepandaian
Ni Diah Tantri dalam bercerita, sehingga membuatnya menyadari keadaan di
istana yang sebenarnya. Melalui cerita yang didongengkan oleh Ni Diah Tantri,
Eswaryadala menjadi sadar bahwa banyak pihak yang mencoba mengadu
dombanya dengan Bandeswarya. Pada akhirnya Eswaryadala menyadari
kesalahannya, ia tak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan
termasuk kepada korban penculikan. Eswaryadala juga membebaskan Ni Diah
Tantri dari ikatan persembahan, sehingga Ni Diah Tantri dibebaskan untuk tetap
mau menikahi Eswaryadala atau tidak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
2. Eswaryadala (Eswaryapala)
a. Sri Prabu Eswaryapala dalam Kidung Tantri Kĕdiri
Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok
raja di negeri Pataliputra yang agung dan selalu ingin dituruti perintahnya.
Eswaryapala mengartikan sebuah kebahagian jika ia bisa menikah setiap hari,
sehingga meminta dipersembahkan gadis cantik setiap harinya. Karakter
Eswaryapala sebagai sosok raja yang tidak ingin dibantah perintahnya serta
dimabuk asmara dan memperlihatkan sikap tidak bisa menahan hawa nafsunya
sangat terlihat di awal cerita Kidung Tantri Kĕdiri. Hal tersebut terlihat dari
penggalan cerita berikut.
... Begitulah kata sang Rakryan Patih Niti Bandeswarya dengan lemah
lembut dan bijaksana. Jawab beliau Sri Eswaryapala: “Sungguh, saya tahu
akan kecemasan anda dan juga intisari kitab-kitab Agama. Tetapi diajarkan
<pulalah> oleh kitab Itihāsa Purana* bahwa apa yang memberikan
sukacita di dunia ialah. Batara Paramesti beserta Batari Umadewi dan
Batara Wisnu serta Batari Sri yang dipuja di tempat tidur pernikahan.
Begitulah pahala daripada sebuah perkawinan, senantiasa membuat
kesejahteraan seru sekalian alam dari awal sampai akhir, yang membuat
kebahagiaan sedunia.” Itulah alasannya <mengapa> saya ingin menikah
terus-menerus. Maka dengarkanlah hai kalian para tanda dan para mantri!
Seluruh perintah saya, wajiblah dilaksanakan. Nikahkan saya dengan
seorang wanita jelita setiap hari <mulai> sekarang ini.” (Pupuh I baris
15 a – 16 b, 2009: 83 – 84)
Eswaryapala digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dalam teks
Kidung Tantri Kĕdiri. Segala perintah yang keluar dari ucapannya harus segera
terlaksana. Begitu pun jika perintahnya tidak dijalankan, maka Eswaryapala akan
murka. Hal tersebut terlihat dari penggalan dialog antara Bandeswarya dan
putrinya Dyah Tantri dalam (Pupuh I baris 35 a, 2009: 93).
“Itulah yang menjadi kekhawatiranku, kemurkaan Sri Baginda. Bagaikan
sungai deras tidak habis-habisnya mengalir, apa yang tersisa dari musuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
yang memegang pedang tajam, hewan yang tanduknya tajam, semua
orang* tunasusila. <Hal ini semua> memang sebaiknya ditakuti oleh
<seseorang> yang bijaksana. Seperti pula amarah Sri Baginda yang
besar!”
Eswaryapala tidak menolak atau ragu sekalipun saat diberi persembahan anak
Mahapatih Bandeswarya, yakni Dyah Tantri. Hal itu menegaskan karakternya
sebagai raja yang tidak pandang bulu terhadap orang lain, bahkan terhadap
keluarga prajurit setianya sekalipun. Eswaryapala yang tidak mempedulikan siapa
gadis yang akan dipersembahkan kepadanya, bahkan merasa senang karena ia
mendengar Dyah Tantri adalah gadis cantik dan pintar tanpa memandang
Bandeswarya serta perasaan Dyah Tantri membuat karakternya sebagai raja yang
otoriter semakin terlihat.
b. Rekonstruksi tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang
Bercerita
Sama halnya dalam Kidung Tantri Kĕdiri, Eswaryadala merupakan tokoh
yang digambarkan sebagai seorang raja di negeri Patali Nagantun (Pataliputra
dalam Kidung Tantri Kĕdiri), yang memiliki ketampanan fisik dan pengetahuan
agama. Namun, yang membedakan tokoh Eswaryadala dalam Kidung Tantri
Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter atau sifat yang
digambarkan oleh penulisnya masing-masing. Eswaryapala (Eswaryadala) di
Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dan tidak bisa
menahan hawa nafsunya kepada wanita. Ia juga digambarkan sebagai sosok suami
yang sangat terbuai oleh kecantikan Dyah Tantri, suami yang selalu ingin dilayani
oleh isterinya. Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai
sosok laki-laki yang patriarkal. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang raja yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
ingin dituruti semua perintahnya oleh seluruh Punggawa Istana dan sebagai suami
yang ingin dilayani dengan baik oleh isterinya. Memperlakukan istrinya sebagai
seorang kekasih yang bisa menghibur hatinya, sehingga ia berhenti meminta
persembahan gadis cantik setiap malamnya.
Penggambaran tokoh Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri
berbeda dengan Eswaryadala yang digambarkan oleh Cok Sawitri dalam
novelnya. Tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita
direkonstruksi oleh Cok Sawitri sesuai dengan ideologinya. Eswaryadala oleh Cok
Sawitri digambarkan sebagai sosok raja tampan yang memiliki kelebihan fisik dan
pengetahuan. Namun selalu merasa cemas terhadap negaranya, meski sudah
dinasihati bahwa negeri Patali Nagantun dalam keadaan baik-baik saja ia masih
saja merasa khawatir. Awal penggambaran raja Eswaryadala tersebut
digambarkan oleh Cok Sawitri sebagai berikut.
Sejak lahir, Eswaryadala telah memberi tanda-tanda akan menjadi lelaki
gagah dan tampan. Berani bertaruh di seluruh benua Jambu Dwipa,
andaikan semua raja-raja berkumpul, duduk berjejer, pastilah yang
tertampan raja Patala Nagantun. Tak ada yang tidak gandrung kepada
Eswaryadala, yang juga sadar dirinya tampan. Di samping tampan, ia
tahu pula seni sastra dan sangat menggemari kuda serta permainan
pedang. (Sawitri, 2011: 7)
... “Terus kupikirkan, terus kupikirkan nyanyian itu! Nyanyian yang
kudengar saat naik kuda ke batas ibu kota, terus menerus nyanyian itu
mengganggu hatiku, mengganggu pikiranku! Apa bedanya raja dengan
rakyatnya? Tak ada bedanya, ternyata.” (Sawitri, 2011: 7 – 8)
Korpus di atas menunjukkan penggambaran awal Cok Sawitri mengenai
sosok Eswaryadala sebagai raja tampan, namun memiliki sifat yang mudah cemas.
Hal tersebut mempengaruhi kepribadian dan karakter Eswaryadala yang dibuat
oleh Cok Sawitri. Dengan kata lain, Cok Sawitri memperlihatkan titik mula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
kelemahan seorang raja. Meskipun di lain sisi Eswaryadala digambarkan memiliki
banyak kelebihan, namun Cok Sawitri menggambarkan sosok laki-laki sekaligus
raja ini juga memiliki banyak kelemahan. Salah satunya adalah sifat kecemasan
yang berlebihan yang dimiliki oleh Eswaryadala. Ini merupakan bentuk keadilan
yang dilakukan oleh Cok Sawitri, bahwa dilain sisi tokoh laki-laki ini
digambarkan sempurna sebagai seseorang yang tampan, memiliki pengetahuan
luas, pintar dalam berpedang dan berkuda. Namun dilain sisi sebagai laki-laki,
Eswaryadala digambarkan sebagai seorang raja yang memiliki mental yang
lemah. Hanya dengan hal-hal kecil dan sepele saja bisa membuatnya memiliki
kekhawatiran berlebihan, hingga membuat Eswaryadala menderita penyakit susah
tidur. Hal tersebut tergambar dalam penggalan dialog.
... Sudah berbagai cara diupayakan agar sifat-sifat pengkhawatir dan
pencemas itu mereda. Negeri Patali Nagantun adalah negeri teramat tertib
dan serba teratur. Kehidupan rakyatnya serba berkecukupan. Tak ada yang
patut dicemaskan sesungguhnya. Namun, Eswaryadala selalu dilanda
kekhawatiran, selalu mengalami kegelisahan terutama di waktu
malam hari. Selalu sulit memejamkan mata. Setiap malam di dekat
peraduannya, para penyanyi istana menyanyikan lagu-lagu indah agar
Sang Raja lelap segera, setiap malam tubuh Sang Raja dipijati dan
diharumi berbagai wewanginan, namun tak juga membuat kantuk datang.
Ah, tak elok bila itu disebut penyakit. Sebab Eswaryadala tetap bugar,
tetap raja yang pandai memimpin negara. Raja pemurah dan belas kasih
kepada rakyatnya. Namun, bila sudah memasuki malam hari, saat
waktunya beristirahat, Eswaryadala berubah sikap, menjadi gelisah dan
tidak tenang. Bandeswarya tahu, semua cara telah ditempuh agar raja dapat
tidur nyenyak. (Sawitri, 2011: 10)
Mudahnya Eswaryadala sebagai seorang laki-laki untuk menerima hasutan
adalah kelemahan selanjutnya yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Berbeda dari
karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri yang digambarkan sebagai
sosok laki-laki gagah dan berkuasa tanpa ada yang berani mengusik. Sebaliknya,
Cok Sawitri menggambarkan Eswaryadala sebagai seorang raja, utamanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
seorang laki-laki yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Rendahnya mentalitas
Eswaryadala yang memiliki sifat kecemasan dan kekhawatiran berlebihan
dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mempengaruhi pemikiran Eswaryadala.
Para Punggawa Istana yang memiliki tujuan politik tertentu memanfaatkan
momentum tersebut untuk menghasut Eswaryadala. Memanfaatkan ajaran
pawiwahan mengenai hukum pernikahan yang mengatakan raja dibolehkan
menikah lebih dari sekali membuat para Punggawa Istana menghasut Eswaryadala
untuk menikahi gadis perawan setiap harinya.
“Anakku, para penjilat mengitari Baginda, semua menyemangati
Baginda untuk terus mendapatkan selir baru. Ketika Bapa menunjukkan
jalan keluar dari masalah-masalah itu, Baginda dengan suka cita
menjawab, bagaimana jika secara resmi seluruh gadis-gadis itu aku lamar
menjadi istriku?” Bandeswarya melenguh menirukan Eswaryadala, “Para
penjilat yang mengitari Baginda terus membisikkan dalih. Salah satunya,
Baginda seringkali menghindari pertemuan dengan Bapa. Urusan kerajaan
pun seringkali diwakilkan kepada Bapa... .” (Sawitri, 2011: 20 – 21)
Korpus di atas menjelaskan bahwa secara tidak langsung para Punggawa
Istanalah yang menghasut raja Eswaryadala untuk menikahi gadis perawan setiap
harinya. Berbeda dengan karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri
karena Eswaryapala sendiri yang meminta persembahan gadis cantik setiap
harinya karena hawa nafsunya dan keinginannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Dalam „Bagian 1: Sang Setia‟, Cok Sawitri menggambarkan seolah Eswaryadala
sendirilah yang menginginkan gadis perawan setiap harinya. Melalui dialog yang
dikatakan oleh Patih Andaru kepada prajutit muda Kumaraditya.
“Baginda menginginkan, setiap hari ada seorang gadis yang masih
perawan. Namun, baginda tidak ingin ada yang tahu, bila itu kehendak
Baginda! Tidak boleh ada keresahan akibat tindakanmu, sebab rakyat
Patali Nagantun tak boleh resah! Apalagi sampai membuat Mahapatih
Bandeswarya terusik oleh perintah ini, jangan sampai.... Ini tanggung
jawabmu!” (Sawitri, 2011: 6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Jika dilihat secara lebih dalam memang tidak ada sebuah pernyataan langsung dari
Eswaryadala untuk meminta dipersembahkan perawan setiap harinya. Karena dari
awal cerita novel Tantri Perempuan yang Bercerita sudah disuguhkan dengan
dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya seperti di atas, sehingga pembaca awam
akan menganggap tokoh Eswaryadala memiliki karakter yang tidak berbeda dari
Eswaryapala dalam teks Tantri Kĕdiri. Namun pada akhirnya, melalui tokoh
Bandeswarya didapati sebuah fakta, bahwa raja Eswaryadala mendapat banyak
hasutan dari para Punggawa Istana. Para Punggawa Istana memanfaatkan keadaan
raja yang memiliki rasa kecemasaan yang berlebihan, agar sang raja Eswaryadala
mengambil selir setiap hari sebagai penghibur hati. Hal itu membuat Eswaryadala
menjadi seorang raja yang memiliki kebiasaan bercinta dengan para gadis
perawan setiap malamnya untuk menghibur diri dari rasa cemasnya.
Melalui tokoh Bandeswarya yang menjelaskan keadaan istana dan kondisi
Eswaryadala kepada Ni Diah Tantri secara tidak langsung juga menjelaskan
keadaan sebenarnya dari situasi kerajaan Patali Nagantun kepada pembaca. Ini
merupakan inovasi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Jika, di dalam teks Kidung
Tantri Kĕdiri tokoh Bandeswarya digambarkan terlibat langsung dengan
konspirasi persembahan gadis cantik setiap harinya kepada raja. Berbeda dengan
karakter Bandeswarya dalam novel, tokoh Bandeswarya digambarkan tidak
terlibat bahkan tidak tahu-menahu perbuatan rahasia para punggawa kerajaan. Hal
itu dilihat dari dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya di atas yang menyebut
bahwa “Jangan sampai Mahapatih Bandeswarya terusik oleh perintah ini!”.
Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa memang Bandeswarya tidak terlibat
dalam konspirasi rahasia para Punggawa Istana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Tokoh Bandeswarya menjadi semacam pembanding jika membahas
mengenai sifat maskulin terhadap tokoh Eswaryadala dalam rekonstruksi yang
dilakukan oleh Cok Sawitri. Bandeswarya oleh Cok Sawitri digambarkan sebagai
laki-laki dewasa Bali yang peduli dengan nasib para perempuan yang tertindas,
yakni mereka yang dijadikan selir tidak resmi oleh Eswaryadala. Adapun,
Eswaryadala digambarkan sebagai sosok laki-laki yang kurang peduli kepada
nasib perempuan. Hal tersebut terlihat melalui dialognya bersama Ni Diah Tantri
di atas, ketika Bandeswarya menawarkan solusi atas nasib para selir tidak resmi
tersebut. Namun, Eswaryadala justru ingin membuat status selir tidak resmi
tersebut menjadi selir-selir resminya. Karakter Bandeswarya dengan jelas
digambarkan sebagai sosok laki-laki yang peduli dan ingin menyelamatkan para
gadis yang menjadi korban penculikan serta selir tidak resmi Eswaryadala.
Rekonstruksi laki-laki lain selain Eswaryadala, yakni Bandeswarya
tersebut patut dibahas. Karena pada dasarnya seorang laki-laki, terlebih seorang
ayah dalam keluarga di masyarakat Bali biasanya memperlakukan putrinya dan
mendidiknya agar selalu menurut kepadanya. Sama halnya pada penggambaran
Bandeswarya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, yang menggambarkan
Bandeswarya sebagai sosok ayah dari seorang putri yang selalu menasihati dan
meminta agar sang putri menuruti nasihatnya. Namun, Bandeswarya dalam novel
Cok Sawitri berbeda, ia digambarkan sebagai seorang ayah yang demokratis dan
sangat peduli dengan putrinya. Ia bahkan sempat tidak setuju saat putrinya berniat
ingin dipersembahkan kepada sang raja.
“Apa?” Bandeswarya terkejut mendengar ucapan putrinya. Memucat
wajahnya seketika, Bandeswarya menggelengkan kepala... .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
“Anakku, raja tetaplah lelaki. Lelaki yang ini seorang raja yang kamu tahu
seperti apa keadaannya. Hanya ayah yang gila saja akan menyerahkan
anaknya kepada lelaki seperti... .” (Sawitri, 2011: 20)
Data di atas menegaskan bahwa Bandeswarya adalah sosok ayah yang
sangat menjaga putrinya, berbeda dengan sosok Bandeswarya dalam Kidung
Tantri Kĕdiri yang justru merasa bersyukur memiliki anak Dyah Tantri karena
keinginanya untuk dipersembahkan kepada sang raja itu. Bandeswarya dalam
karya Cok Sawitri digambarkan sebagai sosok ayah yang lebih memilih
kesejahteraan dan kebahagiaan anak gadisnya. Dia adalah sosok ayah yang jarang
ditemui dalam lingkup masyarakat Bali. Hal ini juga merupakan bentuk inovasi
Cok Sawitri sebagai pengarang novel ia ingin masyarakat Bali lebih membuka
mata, terutama seorang ayah dalam mendidik putrinya.
Tokoh Bandeswarya diibaratkan sebagai Nandaka, sedangkan
Eswaryadala diibaratkan sebagai Candapinggala dan Punggawa Istana yang
menghasut raja dianggap sebagai Sambada. Penulisan alur dan tokoh oleh Cok
Sawitri tersebut membuat rekonstruki yang dilakukannya terbilang sukses. Karena
para tokoh di dalam cerita binatang memperkuat alur cerita dalam kehidupan
manusia yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Terutama Ni Diah Tantri sebagai
pendongeng, cerita binatang yang dicampurkan dalam kronologi kehidupannya
bersama Eswaryadala memperkuat karakternya sebagai seorang wanita yang dapat
mempengaruhi pemikiran seorang raja. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa
Esawaryadala adalah seorang raja yang mudah cemas hingga dapat dipengaruhi
oleh Punggawa Istana. Begitupun Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi
Eswaryadala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Berbeda dari pengaruh yang ditebarkan oleh para Punggawa Istana, Ni
Diah Tantri menebarkan pengaruh kebaikan kepada Eswaryadala. Melalui cerita
binatangnya, Ni Diah Tantri berhasil menyadarkan raja dari segala hal yang
awalnya tidak dapat ia lihat. Salah satunya adalah sadarnya Eswaryadala terhadap
sosok Sambada sebagai penghasut raja dan pengadu domba. Eswaryadala menjadi
sadar setelah mendengarkan cerita Ni Diah Tantri. Hal ini pun diakui sendiri oleh
Eswaryadala dalam dialognya.
“Tahukah kamu Tantri, kini di istana ini telah ada Sambada... .” (Sawitri,
2011: 296)
... Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan Patih
Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah menjadi
Sambada, andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri, pastilah
aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah Negeri
Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala... . (Sawitri, 2011:
356).
Kesadaraan akan keadaan sebenarnya yang terjadi di istana ini pun membawa
kesadaran pada diri pribadi Eswaryadala. Eswaryadala pada akhirnya mengakui
segala kesalahan dan menanggung kesalahan para prajuritnya pula. Selain itu,
Eswaryadala tidak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan dan juga
membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan. Hal itu tercermin dari
dialog.
... Aku janjikan itu dengan kesungguhan hati! Kubebaskan engkau dari
ikatan persembahan! Demikian pula tata krama wiwaha agar mentaati
sastra utama, yang dilarang harusnya dipatuhi, yang dibenarkan harusnya
dijalankan. Kunyatakan dengan sumpah suci, aku tak ragu untuk
menanggung semua kesalahan yang telah dilakukan prajurit istana, apa
pun itu alasannya. Aku tak ragu untuk meminta maaf kepada semua
perempuan. Hai, Tantri, engkaulah yang memberiku cahaya, hingga
terbebas dari kerisauan dan kegundahan. (Sawitri, 2011: 359).
Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri kepada watak dan karakter
Eswaryadala tersebut membawa sebuah pemikiran bahwa raja pun dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
mengakui kecerdasan seorang perempuan. Bahkan Cok Sawitri membuat sosok
Eswaryadala, seorang raja dan seorang laki-laki mengakui kesalahannya dan
meminta maaf. Hal ini merupakan bentuk kemenangan sendiri bagi kaum
perempuan, terutama kaum perempuan Bali. Eswaryadala mengakui keunggulan
Ni Diah Tantri, sehingga membuat pandangannya terhadap perempuan berubah.
Awalnya ia hanya menganggap wanita sebagai objek pemuas hawa nafsu saja,
namun kehadiran Ni Diah Tantri telah mengubah pemikirannya. Ni Diah Tantri
sebagai sosok perempuan Bali cerdas yang direkonstruksi oleh Cok Sawitri,
memberikan sebuah pemikiran bahwa perempuan pun dapat melakukan sesuatu
jika ia diberi sebuah kesempatan. Jika diberi kesempatan untuk membuktikan diri
dan berbicara, pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan
kedudukan yang sama.
Rekonstruksi Cok Sawitri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita
terhadap hipogramnya secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1
Persamaan dan perbedaan struktur cerita
dalam rekonstruksi yang dilakukan Cok Sawitri
NO UNSUR KIDUNG TANTRI
KEDIRI
TANTRI PEREMPUAN
YANG BERCERITA
1. Alur Cerita Alur cerita maju dan
memiliki kronologi yang
runtut dari awal cerita
hingga akhir cerita.
Alur cerita maju dan
memiliki kronologi
campuran antara kronologi
kehidupan manusia dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Kronologi yang
menceritakan kehidupan
manusia dipisah dengan
kronologi cerita binatang
berbingkai.
kronologi cerita binatang
berbingkai.
2. Latar Cerita Latar cerita tidak terlalu
detail.
Latar cerita digambarkan
lebih detail dan modern.
3. Penokohan:
a. Tantri
b. Eswaryadala
Sopan, santun, berbakti
kepada kedua orang tua,
namun masih sebagai
perempuan tradisional
yang mengurusi urusan
domestik. Tidak berani
menanyakan tentang
nasib perempuan yang
menjadi korban
persembahan kepada
raja.
Raja yang otoriter yang
selalu ingin dituruti
perintahnya.
Cerdas, berani, melakukan
semangat perlawanan
dengan kepandaian, berani
berbicara menganai ranah
publik dan politik. Simbol
pembebas kaum perempuan
yang menjadi korban
penculikan untuk
dipersembahkan kepada raja
dan pembebas raja dari sifat
cemasnya.
Raja yang baik, namun
memiliki banyak
kelemahan. Salah satu
kelemahannya adalah sifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
c. Bandeswarya
Pemimpin keluarga dan
sosok ayah yang ingin
dituruti permintaannya.
mudah cemas dan mudah
terhasut. Laki-laki yang
berani mengakui
kesalahannya.
Ayah yang baik dan
bersikap demokratis.