analisis - · pdf fileuntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam...

82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 39 BAB IV ANALISIS A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Revo Arka Giri Soekatno Analisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah hubungan intertekstual dari kedua objek penelitian. Untuk menghubungkan kedua objek sastra digunakan prinsip vraisemblable milik Jonathan Culler, yakni prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau genre yang lain. Dengan mengintegrasikan (menghubungkan) kedua teks dapat diketahui makna teks semaksimal mungkin. Untuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat. Adapun tingkat kelima tidak diterapkan dalam analisis ini dikarenakan pada tingkat kelima berhubungan dengan proses kreatif pengarang, yakni Cok Sawitri. Jadi, tingkat kelima dalam lima tingkat atau langkah kerja vraisemblable tidak diterapkan, sehingga tingkat pertama hingga keempat yang akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini. 1. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Diambil Langsung dari Cerita Lisan di dalam Masyarakat Bali Teks Tantri Perempuan yang Bercerita mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Ni Diah Tantri yang mendongeng untuk menyadarkan

Upload: lydieu

Post on 02-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

BAB IV

ANALISIS

A. Hubungan Intertekstual Novel Tantri Perempuan yang Bercerita

Karya Cok Sawitri Dengan Naskah Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan

Revo Arka Giri Soekatno

Analisis rumusan masalah pertama dalam penelitian ini adalah hubungan

intertekstual dari kedua objek penelitian. Untuk menghubungkan kedua objek

sastra digunakan prinsip vraisemblable milik Jonathan Culler, yakni prinsip

integrasi antara satu teks dengan teks atau genre yang lain. Dengan

mengintegrasikan (menghubungkan) kedua teks dapat diketahui makna teks

semaksimal mungkin. Untuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua

objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama

hingga tingkat keempat. Adapun tingkat kelima tidak diterapkan dalam analisis ini

dikarenakan pada tingkat kelima berhubungan dengan proses kreatif pengarang,

yakni Cok Sawitri. Jadi, tingkat kelima dalam lima tingkat atau langkah kerja

vraisemblable tidak diterapkan, sehingga tingkat pertama hingga keempat yang

akan digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama dalam penelitian

ini.

1. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Diambil Langsung dari Cerita

Lisan di dalam Masyarakat Bali

Teks Tantri Perempuan yang Bercerita mengisahkan tentang seorang

perempuan bernama Ni Diah Tantri yang mendongeng untuk menyadarkan

Page 2: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

perilaku buruk seorang raja bernama Eswaryadala. Dikisahkan seorang raja

bernama Eswaryadala dari negeri Patali Nagantun, ia sedang mengalami

kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, sehingga membuatnya menderita

penyakit susah tidur. Untuk menghibur diri, sang raja diberi persembahan gadis

cantik dan perawan setiap malamnya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur

diri, namun lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan.

Persembahan gadis perawan dan cantik setiap malamnya kepada sang raja

menjadi sebuah kebiasaan yang sulit untuk dihentikan. Melalui para prajurit yang

disebut sebagai Sang Setia, mereka menculik para gadis cantik dan perawan setiap

harinya untuk dipersembahkan kepada raja. Hal tersebut tergambar dalam dialog

Bandeswarya dan putrinya, Ni Diah Tantri.

...“Berbulan-bulan rupanya, beberapa prajurit pilihan diperintahkan

mengambil gadis-gadis dari berbagai pelosok. Setiap malam

dipersembahkan kepada Baginda, awalnya bertujuan menghibur, lalu

candu asmara ini lama-kelamaan menjadi kegelisahan baru,” (Sawitri,

2011: 13).

Sang Setia yang disumpah hanya untuk mengabdi kepada raja tersebut tidak

benar-benar tahu apa yang dilakukannya benar atau salah. Yang mereka tahu

hanyalah menempatkan raja sebagai segalanya. Sebagai prajurit, Sang Setia dalam

pikiran mereka selalu ditanamkan kalimat bahwa “apapun yang terjadi di dalam

istana, harus diterima dengan tulus bahwa tak semua keagungan dicapai dengan

jalan yang agung!” (Sawitri, 2011: 2).

Mahapatih Bandeswarya menyadari keanehan yang terjadi di dalam istana

dan menganggap, bahwa tindakan seperti itu adalah salah. Apalagi banyak gadis-

gadis yang dijadikan selir tanpa dipublikasikan ke hadapan rakyat, mereka adalah

korban penculikan dan penyekapan. Banyak pula di antara mereka adalah anak

Page 3: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

dari pejabat dan abdi kerajaan sendiri. Ni Diah Tantri yang mendengar

permasalahan yang terjadi di istana tersebut merelakan diri untuk dipersembahkan

kepada Eswaryadala. Sebagai ayah, Mahapatih Bandeswarya pun awalnya sulit

menerima permintaan anaknya tersebut, namun pada akhirnya Bandeswarya rela

mempersembahkan putrinya demi keselamatan negeri Patali Nagantun.

Eswaryadala yang menerima persembahan putri Bandeswarya pun

awalnya ragu, tapi pada akhirnya ia menerima dengan senang hati karena

sebenarnya ia sudah menyukai Ni Diah Tantri sejak dahulu. Namun, hasratnya

tersebut tidak pernah ia utarakan kepada Mahapatih Bandeswarya karena ia sudah

menganggap Mahapatih sebagai ayahnya dan Ni Diah Tantri sebagai adiknya

sendiri. Ni Diah Tantri memiliki misi untuk mengembalikan ketenangan hati dan

kewibawaan sang raja serta menyadarkan raja dari kelalimannya. Ni Diah Tantri

menceritakan cerita fabel berbingkai dari kitab sastra agama Hindu untuk

memberikan sebuah nasihat secara tidak langsung kepada sang raja. Dari setiap

cerita binatang yang diceritakan oleh Ni Diah Tantri memiliki pesan moral

tersendiri.

Cerita berbingkai tersebut berkisah tentang persahabatan sapi dari dewata

bernama Nandaka dengan seekor singa yang juga raja hutan bernama

Candapinggala. Mereka berdua pada akhirnya mati karena diadu domba oleh

Sambada, seekor anjing pemburu (patih Candapinggala). Ni Diah Tantri mencoba

menyadarkan raja agar lebih cermat dan tidak terpengaruh oleh pejabat-pejabat

dengan berbagai hasutannya yang bisa merusak diri sang raja beserta seluruh

negeri Patali Nagantun. Hingga sang raja pun sadar akan kesalahan yang telah ia

lakukan berkat kecerdasan Ni Diah Tantri dalam mendongeng dan mengajarkan

Page 4: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

kitab sastra agama Hindu kepadanya. Pada akhirnya, raja Eswaryadala pun

mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada semua perempuan yang

menjadi korban penculikan dan penyekapan. Eswaryadala juga membebaskan

semua gadis yang ia tahan dan membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan

persembahan (Sawitri, 2011).

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut jika dibaca oleh

masyarakat Bali atau masyarakat penganut agama Hindu – Budha, sebagian besar

dari mereka tidak akan merasa asing dengan kisah dalam novel tersebut. Hal ini

dikarenakan teks sastra yang diciptakan Cok Sawitri tersebut berasal dari cerita

lisan masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Cerita Tantri sudah dikenal lama

oleh masyarakat Bali, menurut I Nyoman Dharma Putra (2012: 189)

kisah Tantri sudah beredar lama di Bali, paling tidak sejak 1728, ketika Ida

Pedanda Ketut Pidada menggubah Kidung Tantri Nandhaka-harana. Di

Jawa dan daerah lain di Indonesia, Tantri juga populer dalam dunia cerita

rakyat. Fragmen Tantri muncul dalam ukiran-ukiran candi. I Made Pasek,

seorang guru dari Singaraja, menerbitkan buku Ni Dyah Tantri, tahun

1915. Buku ini diterbitkan penerbit Belanda di Batavia dalam huruf Bali,

digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dasar di Bali waktu itu.

Cerita Tantri dalam masyarakat Bali sudah sangat dikenal dan populer.

Seperti pendapat Putra tersebut, bahwa kepopuleran cerita Tantri bahkan

dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah. Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat

Soekatno (2013: 1) yang mengatakan bahwa popularitas cerita Tantri di antara

masyarakat Bali membuat nama “Tantri” menjadi sinonim dengan dongeng

hewan atau fabel. Bahkan dongeng hewan yang tidak ada hubungannya dengan

“Tantri” misalnya cerita “Kancil” yang ternama, bisa juga disebut cerita “Tantri”.

Page 5: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

Cerita Tantri sudah dikenal sebagai cerita rakyat yang menjadi ciri khas

dari masyarakat Bali. Bahkan tidak hanya masyarakat Bali, namun juga

masyarakat Jawa penganut agama Hindu. Hal tersebut terbukti dengan adanya

ukiran candi yang menggambarkan beberapa adegan di dalam cerita Tantri seperti,

Candi Mendut (Magelang, Jawa Tengah) yang memperlihatkan salah satu adegan

di dalam cerita Kidung Tantri Kĕdiri, yakni seorang raja dan seorang abdi dalem

bertubuh cebol yang menunggui lampu. Kemudian di dalam ukiran Candi Sojiwan

(Prambanan, Jawa Tengah) menggambarkan adegan seorang wanita dan seorang

raja serta adegan lembu dan singa yang bertarung mirip dengan salah satu bagian

cerita di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri, yakni pertarungan antara Nandaka

dan Candapinggala (Soekatno, 2013: 26 – 27).

Inspirasi dari novel Tantri Permpuan yang Bercerita karya Cok Sawitri

berasal dari sastra klasik, yakni cerita Tantri. Cerita Tantri merupakan turunan

atau gubahan dari sebuah naskah dari India, yakni naskah Pañcatantra.

Pañcatantra ditulis menggunakan huruf Sanskerta pada awal abad Masehi. Pada

dasarnya, naskah tersebut merupakan kumpulan cerita yang disebut sebagai

nitisastra (ilmu akhlak) atau arthasastra (ilmu dunia) (Fang, 2011: 339). Artinya,

naskah tersebut pada awalnya mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebaikan

dengan cara yang menyenangkan, yakni dengan mendongeng. Fang menyebutkan

(2011: 339) bahwa, Pañcatantra mengisahkan tentang seorang raja bernama

Amarsaki dari kota Mahilaropya, India Selatan. Ia memiliki tiga orang putra yang

tidak mau menuntut ilmu sehingga mereka menjadi dungu dan bodoh. Kemudian

datanglah seorang Brahmana, Visnusarman namanya. Brahmana tersebut

kemudian berjanji akan mengajarkan dharma selama enam bulan kepada ketiga

Page 6: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

putra raja tersebut. Ia memberi sebuah pengajaran dengan menceritakan lima

cerita binatang yang di dalamnya disisipkan cerita pula. Oleh karenanya, naskah

ini berjudul Pañcatantra yang secara harafiah bisa diartikan sebagai “lima ajaran”

(Soekatno, 2013: 21).

Naskah Pañcatantra, dalam proses penurunanya mengalami banyak

penyalinan, penyaduran dan penerjemahan ke dalam banyak bahasa lainnya,

sehingga muncul banyak versi dan variasi dari cerita Pañcatantra. Menurut

seorang sarjana Jerman, versi asli Pañcatantra telah hilang (Fang, 2011: 338).

Meskipun versi aslinya telah hilang, namun naskah Pañcatantra sudah

diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, sehingga karya sastra ini banyak

mengalami perubahan-perubahan dalam proses alihbahasa dan penggubahan ke

dalam banyak genre. Menurut Soekatno (2013: 21 – 22), Pañcatantra yang

bentuk aslinya ditulis dalam bahasa Sanskerta ini, mungkin adalah salah satu

karya sastra kuna yang paling luas penyebarannya dan paling banyak

diterjemahkan serta digubah di seluruh dunia selain Alkitab. Ada kurang lebih 200

versi dalam 50 bahasa. Versi-versi ini tersebar dari Indonesia di ujung Timur

sampai Islandia di ujung Barat Dunia Lama.

Dari banyak versi Pañcatantra, di Indonesia cerita tersebut dikenal dengan

sebutan cerita Tantri. Di Indonesia cerita Tantri ini mirip dengan Kisah 1001

Malam yang mengisahkan seorang raja yang menikahi gadis cantik setiap

malamnya (Soekatno, 2013: 23). Tapi yang jelas, dalam penelitian ini tidak akan

mencari asal usul naskah cerita Tantri bahkan lebih lanjut mencari keaslian dari

cerita Tantri. Karena konteks interteks dalam ilmu sastra hanya menghubungkan

teks dengan teks lain atau genre lain untuk menemukan kreativitas pengarang

Page 7: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

dalam menulis karya sastra dari imajinasi hipogramnya. Termasuk dalam

penelitian ini, penulis tidak akan menjelaskan lebih lanjut dari mana asal cerita

Tantri ini hingga turunan versi yang mana yang digunakan dalam menulis cerita

Tantri yang berada di Indonesia.

Secara jelas, di Indonesia naskah Pañcatantra tersebar dan ditulis

menggunakan beberapa bahasa seperti, bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Bali

(Soekatno, 2013: 21). Dengan beberapa versi judul seperti, Tantri Kāmandaka,

Tantri Dĕmung, Tantri Kĕdiri, Kidung Tantri Nandhaka-harana, Ni Dyah Tantri,

dan lain sebagainya. Namun secara garis besar, ciri khas cerita Tantri sama

dengan yang lainnya, yakni ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita berbingkai.

Tokoh utamanya sama, yakni Tantri dan Eswaryadala (Eswaryapala pada versi

Tantri Kĕdiri) di negri Patali Nagantun (Pataliputra pada versi Tantri Kĕdiri)

dengan garis cerita utama Tantri mendongeng kepada Eswaryadala tentang cerita

berbingkai dunia fabel untuk menyadarkan perilaku buruk Eswaryadala yang

menginginkan gadis perawan dan cantik setiap harinya. Salah satu keistimewaan

lainnya adalah bahwa cerita-cerita ini berhubungan dengan binatang-binatang,

seperti sapi, singa, burung, kera, anjing dan lain sebagainya.

Ciri khas lainnya dalam cerita Tantri di Indonesia adalah cerita berbingkai

yang terdapat di dalam naskah pada dasarnya sama, hanya saja urutan ceritanya

berbeda-beda. Putra menambahkan (2012: 191) bahwa, tiap-tiap cerita memiliki

hubungan naratif, dengan moral cerita yang kurang lebih sama, yakni mutlaknya

karma bagi orang loba, karma buat orang yang tidak bisa balas budi, dan penipu-

daya. Walaupun dalam banyak cerita terbukti bahwa „pengetahuan penting dalam

memecahkan masalah, menyelamatkan jiwa‟, pada akhirnya kalau pengetahuan

Page 8: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

digunakan secara licik, orang yang bersangkutan akan ditimpa kemalangan juga

setimpal dengan kelicikan yang diperbuat.

Dari banyaknya versi cerita Tantri yang ada di Indonesia terdapat satu

naskah klasik dari Bali yang menggunakan aksara Jawa Kuna dalam

penulisannya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri. Kidung Tantri Kĕdiri adalah gubahan

dari teks prosa Jawa Kuna Tantri Kāmandaka. Naskah Kidung Tantri Kĕdiri ini

lah yang menjadi teks hipogram novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya

Cok Sawitri. Kepopuleran cerita Tantri di dalam masyarakat penganut agama

Hindu, khususnya masyarakat Bali yang begitu inspiratif membuat Cok Sawitri

merekonstruksi cerita tersebut ke dalam bentuk yang lebih modern, yakni ke

dalam sebuah novel. Sebelumnya, cerita Tantri muncul dalam bentuk kidung,

kakawin, dan prosa (gancaran), seperti halnya Kidung Tantri Kĕdiri yang menjadi

hipogram karya Cok Sawitri.

Dengan kreativitas dan inovasi baru, Cok Sawitri menciptakan sebuah

karya yang diambil dari cerita lisan yang ada di dalam masyarakat. Cerita lisan

yang kemudian ditulis ke dalam bentuk sastra klasik tersebut memiliki banyak

variasi, salah satunya adalah Kidung Tantri Kĕdiri. Tantri Perempuan yang

Bercerita merupakan transformasi dari bentuk kidung dari cerita Tantri Kĕdiri.

Karya Cok Sawitri tampil dalam bentuk novel berbahasa Indonesia yang

diterbitkan tahun 2011. Menurut Putra, karya ini menjadi media baru bagi kisah

klasik Tantri untuk beredar di ruang baru, yang target pembacanya adalah

pembaca novel sastra Indonesia (Putra, 2012: 190).

Page 9: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

2. Teks Tantri Mengikuti Konvensi dan Tunduk Dengan Tradisi serta

Kultural Masyarakat Hindu Bali

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita diciptakan oleh Cok Sawitri yang

merupakan bagian dari masyarakat Bali. Cok Sawitri sebagai wakil masyarakat

Bali menciptakan sebuah teks sastra yang diambil dari cerita rakyat yang terdapat

di masyarakat Bali, yakni cerita klasik Tantri. Begitu juga Kidung Tantri Kĕdiri

yang merupakan naskah dari Bali, tapi ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna.

Kedua teks sastra tercipta di lingkungan masyarakat pemeluk agama Hindu,

sehingga apa yang terdapat di dalam teks mewakili masyarakat penganut agama

tersebut. Kedua teks secara sadar mengikuti konvensi dan tunduk oleh

kebudayaan dan tradisi masyarakat penganut agama Hindu, khususnya

masyarakat Bali.

Keseluruhan cerita dari kedua teks secara sekilas dapat dipahami bahwa

kedua teks mengikuti tradisi dan kultural masyarakat Bali. Kebudayaan dari

masyarakat Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada

ajaran agama yang mereka percayai, yakni agama Hindu. Meskipun secara

keseluruhan kedua teks sama-sama tunduk kepada kebudayaan agama Hindu,

namun secara lebih jelas letak dari „ketundukan‟ kedua teks terhadap kultural

masyarakat Bali terlihat pada cerita binatang yang ada di dalam cerita. Cerita

binatang atau di Indonesia juga dikenal dengan fabel tersebut disisipkan ke dalam

teks sastra Tantri bertujuan untuk mengajarkan kebaikan yang terdapat di dalam

ajaran dharma. Disitulah letak dari ketundukan kedua teks oleh tradisi dan kultural

masyarakat Bali.

Page 10: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

a) Penyebaran kebudayaan Hindu di masyarakat Jawa dan Bali

Secara singkat kita perlu mengetahui dari mana asal dan perkembangan

agama Hindu di Indonesia. Hal ini dirasa penting, karena menyangkut kebudayaan

yang termuat di dalam teks Tantri sebagai objek kajian dalam penelitian ini.

Menurut Bosch dalam penelitiannya (1974: 21) menyatakan, bahwa pengaruh

agama Hindu dibawa oleh „sarjana agama‟ seperti, golongan alim ulama,

golongan sastra dan filsafat, serta ahli-ahli kitab suci dari India yang menyebarkan

ajaran tersebut di kepulauan Indonesia, yakni Jawa, Bali, Sumatera dan Malaka.

Masih menurut Bosch (1974: 27), bahwa awal abad Masehi memang Hindu sudah

dikenal di Indonesia, namun kekuasaan agama Hindu menjadi surut akibat

berjayanya ajaran Budhaisme. Pada abad ke – 4 hingga abad ke – 6 agama Hindu

kembali mengalami perkembangan berkat kekuasaan yang dipegang oleh tokoh-

tokoh besar selama dinasti Gupta berkuasa. Maka, rakyat dari atas sampai bawah

telah masuk ke dalam cengkeramannya dan telah direbutnya kembali daerah-

daerah yang dahulu diduduki oleh Budhisme.

Agama Hindu yang masuk ke Indonesia terpecah menjadi golongan-

golongan atau sekte-sekte tertentu. Di Jawa dan Bali khususnya, menganut sekte

yang disebut Ҫaiva-Siddānta (Bosch, 1974: 28). Ajaran Ҫaiva-Siddānta

merupakan bentuk Hinduisme yang bukan menjadi sebuah agama rakyat. Ҫaiva-

Siddānta sejak dari dulu merupakan suatu ajaran rahasia yang hanya diturunkan

lisan dengan tiada putus-putusnya dari guru ke murid. Mereka yang

mengatahuinya biasanya termasuk golongan Brahmana dan barulah setalah

bertahun-tahun mempelajari kitab-kitab suci dan mempunyai pengetahuan teoritis

Page 11: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

yang mendalam, si calon dapat menerima sakramen pentasbihan pendeta dari

tangan ayah rohaniyahnya, yaitu pendeta Brahmana (Bosch, 1974: 28 – 29).

Meskipun dalam penelitian Bosch (1974) tersebut tidak menyebutkan

perbedaan ajaran Hindu antara masyarakat Jawa dan Bali. Bagaimana penyebaran

lebih detail ajaran Hindu di masyarakat Jawa dan Bali, lebih dahulu manakah

Jawa atau Bali atau keterkaitan ajaran agma Hindu di antara dua wilayah tersebut.

Hal ini dikarena dalam penelitian Bosch (1974) tersebut selalu menyebut kedua

wilayah, Jawa dan Bali dalam satu kalimat untuk menjelaskan masuknya agama

Hindu dalam kedua wilayah tersebut. Namun, melalui penelitian terdahulu oleh

Fitria Pratiwi3 (2012) yang telah meneliti Tantri Perempuan yang Bercerita

menulisan tentang awal mula masuknya agama Hindu di Bali yang dipengaruhi

oleh budaya Jawa. Fitria Pratiwi (2012: 52 – 53) mengatakan dalam tesisnya,

bahwa setelah kerajaan Bali Kuno dikalahkan di bawah pasukan Majapahit oleh

komando Gajah Mada (1265 Saka atau 1343 M) mulailah masuk agama Hindu

Jawa. Saat Majapahit mengalami keruntuhan, datanglah Dang hyang Nirartha,

seorang pendeta Hindu dari Majapahit yang meneguhkan kembali nilai-nilai

Hindu Jawa di Bali, yaitu dengan mengakulturasikan nilai-nilai animisme dan

dinamisme Bali dengan Hindu Jawa di Bali, salah satu cirinya yaitu dengan

bentuk sesajian (banten) saat upacara keagamaan digelar.

Seperti yang dikatakan oleh Soekatno, bahwa cerita Tantri bisa membantu

kita memahami agama Hindu – Budha, terutama manifestasi agama Hindu –

3 Fitria Pratiwi adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya, Universitas Indonesia. Tesisnya yang berjudul “Rekonstruksi Maskulinitas Dalam Tantri:

Perempuan yang Bercerita Karya Cok Sawitri”(2012), peneliti gunakan sebagai data sekunder

dalam penelitian ini, sehingga dapat membantu dan memperkuat hasil penelitian ini.

Page 12: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Budha di Jawa pada masa lampau dan agama Hindu pada masa sekarang

(Soekatno, 2013: 2). Naskah Kidung Tantri Kĕdiri memang ditulis menggunakan

huruf Jawa Pertengahan, namun naskah tersebut berasal dari Bali dan mengikuti

ajaran dan kebudayaan Hindu. Sama halnya dengan novel karya Cok Sawitri,

Tantri Perempuan yang Bercerita yang diambil dari kisah klasik cerita Tantri juga

mengikuti ajaran dan kebudayaan agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali.

b) Sistem kasta dalam masyarakat Bali

Masyarakat di Bali sebagai penganut agama Hindu mengenal adanya

sistem kasta. Sebuah sistem dalam kehidupan sosial yang membedakan antar

golongan keluarga berdasarkan keturunan. Menurut Bosch (1974: 26), bahwa

seorang adalah orang Hindu karena kelahiran, sebagaimana seseorang adalah

orang Yahudi karena lahir dari orang tua Yahudi. Mengapa peneliti perlu

membahas atau menyangkutkan sistem kasta di masyarakat Bali dalam penelitian

ini? Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dalam penulisannya kedua teks

Tantri mengikuti tradisi kasta seperti masyarakat Bali saat ini. Karena

bagaimanapun secara realita kekayaan kebudayaan masyarakat Bali yang dikenal

luas oleh masyarakat Indonesia lainnya, salah satunya adalah sistem kasta

tersebut.

Berbicara tentang kasta dalam masyarakat Bali, dikenal istilah triwangsa

atau tiga tingkatan kasta yang berlaku di Bali diadaptasi dari sistem kasta Hindu.

Menurut Fitria Pratiwi (2012: 45).

Ketiga tingkatan itu adalah Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Brahmana

merupakan kasta tertinggi yang dimiliki oleh keturunan pedanda (orang

yang bertaggung jawab atas agama). Ksatria merupakan kasta bagi para

Page 13: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

keturunan raja, pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak4 yang

mempunyai peranan menentukan pemerintahan. Wesia, yaitu keturunan

para pedagang dan orang yang terlibat dalam kegiatan kesejahteraan

rakyat. Adapun kasta terendah, atau dapat dikatakan tidak memiliki kasta,

adalah kasta untuk keturunan pendatang, yakni kasta sudra. Para sudra

adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan klan di daerah tempat

mereka tinggal, sehingga harus bekerja menjadi buruh tani.

Adapun dalam kedua teks Tantri dalam penelitian ini Kidung Tantri Kĕdiri tetap

mengikuti sistem sosial dari ajaran Hindu ini. Adapun novel Tantri Perempuan

yang Bercerita, „memberontaki‟ konvensi sistem sosial kasta dalam masyarakat

Hindu Bali.

Pada awal cerita teks Kidung Tantri Kĕdiri misalnya, ada penyebutan

tentang kasta ksatria dan sudra, seperti yang tergambar dalam dialog berikut.

...Seolah-olah heranlah Sri Eswaryapala melihat sifat ksatrianya pada saat

itu. Beliau memerintah dengan berkuasa. Sebab terlihat sebagai satu-

satunya penguasa dunia di istana. Segala perintahnya dilaksanakan.

Begitulah beliau dikenal sebagai Eswaryapala oleh seluruh dunia... .

(Pupuh I baris 4 b – 5 a, 2009: 79)

Dari dialog di atas dapat dilihat bahwa Eswaryapala disebut sebagai seorang

ksatria, kasta dari keturunan raja yang memimpin sebuah negara. Seperti halnya

sistem sosial kasta yang telah dijelaskan sebelumnya dalam agama Hindu yang

menyatakan bahwa kasta ksatria merupakan kasta bagi para keturunan raja,

pejabat, dan keluarganya, termasuk pengurus subak yang mempunyai peranan

menentukan pemerintahan. Lalu penyebutan kaum sudra, seperti tergambar dalam

dialog berikut.

... Maka sekarang beliau melihat perkawinan antar sudra. Sungguh ramai

dan indah segala perhiasannya. Mereka diiringkan oleh keluarga dan sanak

saudara, yang sangat bergembira. Sungguh sesak, sedangkan yang

menonton sama-sama gembira dan girang memuji-muji perhiasan mereka.

4 Subak merupakan institusi pertanian, ekonomi, dan keagamaan yang telah ada sejak ribuan tahun

yang lalu di Bali (Pratiwi, 2012: 48).

Page 14: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Mereka saling bermain*, bernafsu dan tidak sabar melihat. Semua orang

laki dan perempuan yang melihat para mempelai yang sedang bercubitan,

jatuh cinta. (Pupuh I baris 5 b – 6 b, 2009: 79)

Ilustrasi di atas menjelaskan bahwa Eswaryapala melihat perkawinan antar

kasta sudra yang sepertinya sangat membahagiakan, sehingga membuatnya ingin

menikah setiap harinya. Kata pernikahan „antar kasta sudra‟ di sini

mengisyaratkan tentang hukum pernikahan di masyarakat Hindu Bali, bahwa

apabila ingin menikah harus dengan orang yang memiliki kasta yang sama atau

setara. Hal ini perlu disinggung sedikit mengingat masyarakat Bali menganut

sistem patriarkal, yakni sosok laki-laki dalam sebuah keluarga sangat penting dan

diagungkan. Sistem patriarkal tersebut tentunya akan mempengaruhi kehidupan

dalam sosial-budaya masyarakat Hindu Bali, terutama kaitannya dengan

pandangan masyarakat Bali terhadap wanita. Yang kemudian akan memunculkan

isu ketidakadilan gender yang kini sering digaungkan oleh masyarakat Indonesia,

termasuk masyarakat Bali. Permasalahan tersebut kemudian mempengaruhi

ideologi Cok Sawitri sebagai pengarang novel Tantri Perempuan yang Bercerita

dalam merekonstruksi cerita klasik Tantri.

Selain kasta ksatria dan sudra yang muncul dalam teks Kidung Tantri

Kĕdiri, kasta brahmana juga disertakan, seperti yang tergambar dalam dialog.

Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu

berbuat kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan

brata. Ia <bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan

<pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara

murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang

memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia. Semua doanya

dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor sapi jantan yang

berkualitas sempurna. (Pupuh I baris 103 b – 104 a, 2009: 128 – 129)

Page 15: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

Cerita berbingkai dalam teks Tantri Kĕdiri memiliki banyak cerita tentang

seorang pendeta beserta kebaikan perilakunya. Dalam penyebutan pendeta

tersebut kebanyakan menggunakan kata brahmana, seperti dalam sistem kasta

Hindu, bahwa brahmana merupakan orang yang bertanggung jawab atas agama.

Contohnya seperti dialog di atas.

Adapun di dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita tidak

menyebutkan kaum sudra dan brahmana seperti dalam teks Tantri Kĕdiri.

Adapun menyertakan kaum brahmana, yakni kisah tentang pendeta seperti

brahmana Dharmaswami sama halnya dengan teks Tantri Kĕdiri. Tetapi,

penyebutan pendeta di novel Cok Sawitri bukan menggunakan brahmana

melainkan bhagawan. Enggannya Cok Sawitri menggunakan istilah-istilah kasta

dalam karyanya tentu memiliki alasan tersendiri. Misalnya dari penjelasan

sebelumnya, bahwa masyarakat Bali menganut sistem patriarkal, sehingga

kehadiran sosok laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan. Mengingat Cok

Sawitri merupakan sastrawan Bali yang gemar mengangkat isu feminis, sehingga

hal ini mempengaruhi penulisan setiap karyanya termasuk dalam novelnya Tantri

Perempuan yang Bercerita. Adanya sistem kasta di Bali mengakibatkan adanya

ketidakadilan gender bagi kaum perempuan di Bali, sehingga Cok Sawitri ingin

menghilangkan sistem kasta tersebut di dalam karyanya.

c) Nilai-nilai agama Hindu yang terdapat di dalam cerita Tantri

Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang

bersumber pada ajaran agama Hindu. Menurut Putri, bahwa kebudayaan Bali

sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi

Page 16: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama

manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan),

yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan).

Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan

ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Masyarakat Hindu Bali

juga percaya dengan ajaran hukum karma phala, dalam ajaran hukum karma phala

disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan

mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk

hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan (Putri, 2012).

Cerita binatang dalam Tantri memuat nilai-nilai agama Hindu tentang

adanya hukum karma pahala atau sebab-akibat dalam segala tindakan seperti,

mutlaknya karma bagi orang loba, karma bagi orang yang tidak bisa balas budi,

tipu daya (baik itu tipu daya dalam hal baik atau tidak baik), dan balasan bagi

orang yang berbuat baik, yakni surga. Salah satu contoh yang mengajarkan hukum

karma karena sikap loba terdapat pada bagian kisah tentang matinya seekor

burung Baka (bangau) karena sifat lobanya dalam cerita fabel kedua teks tantri,

berikut ringkasan ceritanya.

Dikisahkan di sebuah kolam terdapat berbagai macam ikan dan makhluk

hidup air lainnya. Seekor burung bangau, Baka namanya tergoda untuk

menyantap semua ikan yang ada di dalam kolam tersebut. Kemudian ia memiliki

siasat, ia berpura-pura menjadi seekor burung pertapa yang menjadi pendeta dan

mendekati penghuni kolam tersebut. Akhirnya, seluruh ikan yang ada di kolam

tersebut telah percaya dengan kemuliaan dan sikap baik burung Baka yang setiap

hari mengajarkan ilmu dharma kepada mereka. Mereka tidak tahu bahwa

Page 17: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

sebenarnya hal itu hanyalah sandiwara burung Baka. Untuk mengakhiri

kesandiwaraan, si burung Baka tiba-tiba mengatakan kepada seluruh penghuni

kolam bahwa ia mendengar ada kelompok manusia (nelayan) yang akan

menjaring ikan-ikan di dalam kolam tersebut. Kemudian timbul kepanikan dan

kesedihan di antara penghuni kolam tersebut. Dengan penuh kelicikan Baka

menawarkan diri sebagai transportasi untuk memindahkan seluruh ikan-ikan

tersebut ke sebuah telaga yang pernah ia lihat sebelumnya. Akhirnya, seluruh

ikan telah ia terbangkan menggunakan mulut dan kedua cakarnya. Terakhir, ada

tiga ekor ikan yang tersisa dan seekor kepiting. Kepiting itu meminta diangkut

juga karena merasa tidak bisa hidup tanpa saudara-saudaranya yang lain, yakni

ikan-ikan tersebut. Pada akhirnya, kepiting itu bergelantung di leher si burung

Baka meggunakan kedua capitnya. Dari kejauhan si kepiting melihat seperti

tumpukan tulang ikan di atas batu. Si kepiting curiga, bahwa burung Baka ini

memakan teman-temannya. Ternyata dugaannya benar tulang-tulang yang

dilihatnya adalah tulang dari teman-temannya. Tanpa ampun, si kepiting mencapit

leher burung Baka itu hingga putus dan akhirnya tewas (Sawitri, 2011: 112 –

121).

Kisah kelobaan burung Baka ini dijadikan sebagai ilustrasi sampul depan

dari novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri. Melalui cerita

tentang kelobaan burung Baka hingga menemui ajalnya dalam teks sastra Tantri

tersebut, mengajarkan pembaca agar tidak berlebihan dan menjaga keseimbangan.

Hakikatnya seperti penjelasan di atas, bahwa dalam ajaran Hindu menjaga

keseimbangan dan harmonisasi itu sangat penting untuk mencapai kehidupan

yang bahagia. Jika, seseorang memiliki sifat loba atau ingin memiliki lebih

Page 18: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

menggunakan cara licik maka, hukum karma pala atau sebab akibat akan berlaku.

Si burung Baka berbuat tidak baik, sehingga ia mendapat ganjaran yang tidak baik

pula.

3. Teks Tantri Perempuan yang Bercerita Mengikuti Konvensi Genre Teks

Kidung Tantri Kĕdiri

Teks Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai bentuk transformasi dari

Kidung Tantri Kĕdiri mengikuti konvensi genre dari Kidung Tantri Kĕdiri, yaitu

cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya disisipkan

cerita-cerita lain (Fang, 1993: 1). Menurut Liaw Yock Fang (1993: 1) cerita

berbingkai memiliki ciri-ciri: a) Biasanya seorang tokoh atau lebih bercerita dan

giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan

kebenaran kata-katanya. b) Dalam cerita sisipan mungkin ada cerita sisipan lagi,

sehingga pada akhirnya cerita berbingkai biasanya menjadi panjang dan luas

sekali. c) Dalam cerita berbingkai, binatang-binatang selalu diberi sifat manusia.

Meskipun, Cok Sawitri mengikuti genre Kidung Tantri Kĕdiri dalam

menyusun teks Tantri Perempuan yang Bercerita, yakni dengan genre cerita

berbingkai. Namun, urutan cerita berbingkai karya Cok Sawitri berbeda dengan

urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan

Soekatno, terlebih urutan cerita fabel yang ada di dalam cerita. Walaupun, urutan

cerita berbingkai kedua teks berbeda dan ada beberapa cerita fabel yang ditambahi

atau dikurangi, namun secara esensi cerita berbingkai yang terdapat di dalam

kedua teks hampir sama. Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terdapat 30 potongan

cerita binatang. Adapun dalam Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

Page 19: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Sawitri terdiri dari 29 bagian cerita dalam daftar isi yang di dalamnya terdapat 30

cerita binatang. Kedua teks memiliki 27 cerita yang sama dari total 30 cerita yang

ada dari masing-masing teks.

Tentu perbedaan dalam menyusun cerita berbingkai dari kedua teks

memiliki tujuan dan maksud sendiri dari sang penulis atau sang penyadur. Namun

yang terpenting adalah esensi utama dari cerita berbingkai terutama cerita fabel di

dalam kedua teks sastra tidak berbeda jauh. Perbedaan dan persamaan cerita

berbingkai dari kedua teks dapat dilihat sebagai berikut.

1) Bingkai utama

Dari bingkai utama kedua teks sama-sama menceritakan kehidupan tokoh

utama, yakni Tantri dan Eswaryapala. Eswaryapala adalah seorang raja yang

meminta persembahan gadis cantik setiap harinya. Kemudian Tantri bersedia

dipersembahkan kepada Eswaryapala melalui ayahnya sendiri, Mahapatih

Bandeswarya dengan tujuan untuk mengajarkan nitisastra agama Hindu kepada

Eswaryapala, agar Eswaryapala berhenti meminta persembahan gadis cantik

setiap harinya. Untuk menghentikan kelaliman Eswaryapala Tantri mendongeng

cerita fabel berbingkai yang tidak habis diceritakan dalam satu malam kepada raja

Eswaryapala. Cerita fabel berbingkai tersebut berasal dari kitab sastra agama

Hindu. Melalui dongeng Tantri tersebut Eswaryapala berhenti meminta

persembahan gadis cantik setiap hari.

Yang membedakan dari kedua teks mengenai bingkai utama ini adalah jika

di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri bagian bingkai utama langsung mengisahkan

tentang raja Eswaryapala yang menginginkan untuk dinikahkan dengan gadis

Page 20: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

cantik setiap harinya agar ia memperoleh kebahagiaan. Setelah itu dikisahkan

karena wanita cantik di lingkungan istana telah habis, maka Bandeswarya

mempersembahkan anaknya Dyah Tantri untuk dijadikan isteri oleh raja. Adapun

di dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita bingkai utama awalnya

menceritakan tentang prajurit Sang Setia yang selalu tunduk dan patuh kepada

atasan. Prajurit Sang Setia inilah yang menculik dan membawa gadis cantik dan

perawan setiap malamnya ke hadapan sang raja. Sang raja memiliki penyakit

susah tidur karena dia selalu merasa khawatir dan cemas memikirkan negaranya.

Oleh karena itulah, Punggawa Istana mempersembahkan gadis cantik dan

perawan setiap harinya. Awalnya hal itu hanya untuk menghibur diri, namun

lama-kelamaan sang raja terhasut oleh para abdi kerajaan, sehingga hal itu

menjadi sebuah kebiasaan.

Ni Diah Tantri yang mengetahui berita itu dari ayahnya Bandeswarya,

dengan suka rela merelakan dirinya dipersembahkan kepada raja Eswaryadala

untuk dijadikan isteri. Tantri mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan negara

Patali Nagantun dari hukum karma Sang Hyang Widi karena memiliki raja yang

suka menikah. Selain itu, Tantri juga ingin menyadarkan kelaliman Eswaryadala

dan menyelamatkan para gadis korban persembahan para Punggawa Istana.

Awalnya Eswaryadala ragu menerima persembahan Bandeswarya, karena

Bandeswarya sudah dianggap ayah dan Tantri dianggapnya sebagai adik sendiri.

Namun, rasa sayang dan ketertarikannya kepada Tantri yang selama ini

dipendamnya tak mudah dibendung. Eswaryadala pun menerima persembahan

Tantri untuk dijadikan isterinya.

Page 21: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Berbeda dari kaya hiogramnya yang memiliki kesamaan cerita „Kisah

1001 malam‟ yang mengisahkan seorang gadis yang mendongeng kepada seorang

raja agar berhenti meminta dinikahkan setiap harinya. Karya Cok Sawitri lebih

menekankan cerita seorang perempuan yang menyadarkan raja dari sikap

lalimnya, hingga akhirnya sang raja mengakui kesalahannya. Hal tersebut tidak

terlepas dari daya kreativitas Cok Sawitri dalam merekonstruksi novelnya dari

karya hipogramnya. Perbedaan lainnya dalam bingkai utama kedua teks ini adalah

dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri Eswaryapala langsung menggelar pesta

pernikahannya dengan Tantri. Adapun di dalam novel karya Cok Sawitri tersebut

Eswaryadala belum menikahi Tantri karena janjinya untuk mendengarkan

dongeng dari Tantri hingga selesai.

2) Skema perbedaan naratologi dalam cerita berbingkai kedua teks

Bagan 2

Skema naratologi dalam Kidung Tantri Kĕdiri

Bingkai Utama

Cerita Binatang

Nandakaprakarana

1. Srigala dan genderangnya (Tertipu Tipuan Suara-suara)

2. Dua Burung Betet Meniru Pengasuhnya

3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura

4. Dua Ekor Kutu I

5. Kelobaan Burung Baka (Bangau)

6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan

Buah

7. Sewanggara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut

Page 22: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

8. Singa dan Kawan-Kkawannya

9. Burung Kedidi Mengalahkan Dewa Samudera

10. Kisah Kera dan Pemburu

11. Sang Brahmana, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan

12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari

dan Dewa

13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera

14. Macan yang Dihidupkan Pendita

15. Kepiting Baik dan Sang Pendita

16. Kera dan Burung-Burung Manyar

17. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran

18. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah

19. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya

20. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan

21. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa

Memerahnya

22. Burung Pelatuk dan Harimau

23. Singa dan Hutan

24. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran

25. Hewan Lima Sekawan yang Saling Menolong

26. Ular dan Tikus

27. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya

28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda

29. Kambing yang Menakuti Harimau

30. Sang Raja Aridarma yang Mengenal Bahasa Hewan

Page 23: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Bagan 3

Skema naratologi dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

S

Bingkai Utama

Sang Setia

Pemburu Gadis

Kasmaran

Bingkai Cerita Fabel (Nandaka, Candapinggala dan Sambada)

1. Tertipu Tipuan Suara-suara

2. Burung Atat Meniru Pengasuhnya

3. Sepasang Angsa dan Kura-Kura

4. Dua Ekor Kutu

5. Kelobaan Burung Bangau

6. Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung Pemakan Buah

7. I Cewagara, Tentara yang Melihat Kera Menari di Tengah Laut

8. Kejelekan Tingkah Laku Singa

9. Burung Tinil Mengalahkan Dewa Samudera

10. Kisah Pemburu Kejam I Papaka dan Kera

11. Sang Pendita, Si Pandai Emas dan Tiga Hewan

12. Wanari Anti, Seekor Kera yang Ingin Menjadi Bidadari dan Dewa

13. Dua Penyadap Tuak yang Menghakimi Kera-Kera

14. Macan yang Dihidupkan Pendita

15. Kepiting Baik dan Sang Pendita

Page 24: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Dari kedua skema di atas dapat dilihat perbedaan dan juga persamaan

urutan cerita berbingkai yang terdapat di dalam kedua teks. Judul-judul cerita di

atas tidak sama dengan judul yang disusun oleh pengarang novel dan penerjemah

Kidung Tantri Kĕdiri. Namun, peneliti sesuaikan dengan kondisi yang ada untuk

mengetahui hubungan intertekstual di antara kedua teks. Selain itu agar pembaca

lebih mengerti dimana letak perbedaan dan persamaan urutan cerita di antara

kedua teks. Banyak persamaan urutan dan jumlah cerita yang terdapat dalam

16. Kera dan Burung Sangsiah

17. Kisah Keburukan Kera

18. Kera Dungu yang Membunuh Pangeran

19. Kera Nakal yang Menipu Ayam Jantan

20. I Lutung, Kera Hitam yang Tak Tahu Balas Budi

21. Kambing yang Menakuti Harimau

22. Si Gajah yang Sok Berkuasa, Dikalahkan Lima Hewan Lemah

23. Sang Hyang Indra dan Kematian Burung Betetnya

24. Kura-Kura Mengalahkan Garuda dalam Perlombaan

25. Kisah Seorang Pemburu yang Menginginkan Susu tanpa Memerahnya

26. Burung Gagak dan Pohon Kepuh

27. Gagak, Ular, dan Busana Pangeran

28. Kisah Tiga Ikan yang Berbeda

29. Kisah Batur Taksa, Penjahat yang Tidak Bisa Mengelakkan Takdirnya

30. Sang Raja Arya Dharma yang Mengenal Bahasa Hewan

Page 25: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

kedua teks. Ada pun perbedaannya tidak banyak, perbedaan urutan cerita

berbingkai antara kedua teks seperti berikut.

a. Dari urutan cerita 1 – 16 kedua teks memiliki urutan yang sama. Adapun

urutan cerita 17 – selesai mengalami sedikit perbedaan dengan

pengurangan dan penambahan cerita. Dari urutan 1 – 16 tersebut memang

sama, namun hanya mengalami sedikit perbedaan pada nama tokoh yang

terdapat di dalam cerita, seperti: 1) Jika di dalam teks Tantri Kĕdiri bagian

3 menceritakan kisah burung betet, maka di dalam teks Tantri Perempuan

yang Bercerita disebutkan burung atat. 2) Kemudian jika di dalam cerita

Tantri Kĕdiri bagian 5 menceritakan seekor kutu dan kepinding, si kutu

bernama Syasa Adapun si kepinding bernama Candila. Adapun di dalam

novel Tantri Perempuan yang Bercerita di bagian 5 mengisahkan dua ekor

kutu yang disebut I Titih dan I Tuma, si I Tuma bernama I Sadaka dan I

Titih bernama Candila. 3) Ada juga beberapa sosok manusia yang

memiliki kisah sama, namun nama tokohnya berbeda, seperti jika di dalam

Tantri Kĕdiri tentara yang melihat seekor kera menari di tengah laut

bernama Sewanggara, maka di dalam novel Tantri Perempuan yang

Bercerita dinamai I Cewagara. Lalu dua orang penyadap tuak dalam

Tantri Kĕdiri bernama Surada dan Walacit Adapun di dalam novel Tantri

Perempuan yang Bercerita bernama I Welacit dan I Surada.

b. Pada urutan cerita ke – 17 dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

diceritakan mengenai keburukan sifat kera yang di dalamnya memiliki tiga

kisah keburukan sifat kera, yakni 1. Kera dungu yang membunuh

pangeran, 2. Kera nakal yang menipu I Keker si ayam jantan, 3. I Lutung,

Page 26: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

kera hitam yang tak tahu balas budi. Adapun di dalam teks Tantri Kĕdiri

keburukan sifat kera itu hanya diceritakan dalam satu bagian saja, yakni

kera dungu yang membunuh pangeran. Jadi, kisah kera nakal yang menipu

I Keker si ayam jantan dan I Lutung, kera hitam yang tak tahu balas budi

merupakan tambahan sendiri oleh Cok Sawitri sebagai pengarang novel

Tantri Perempuan yang Bercerita.

c. Penambahan dan penghilangan cerita fabel dalam kedua teks terjadi pada

beberapa bagian cerita, seperti: 1) Di atas sudah dijelaskan sedikit

penambahan dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengenai

kisah keburukan sifat kera yang mengalami dua penambahan bagian cerita.

Kemudian penambahan cerita dalam novel Tantri Perempuan yang

Bercerita yang lainnya adalah kisah kasiapa kepuh, yakni cerita pohon

kepuh dan burung gagak. 2) Yang dihilangkan oleh Cok Sawitri terkait

teks Tantri Kĕdiri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita adalah

„singa dan hutan‟ serta „hewan lima sekawan yang saling menolong‟, kisah

ini berkaitan dengan cerita gajah yang sok berkuasa, sehingga dikalahkan

lima hewan lemah. Lalu cerita ular dan tikus yang menceritakan kisah si

ular yang tak tahu balas budi.

d. Selain penambahan dan pengurangan cerita binatang dalam cerita

berbingkai antara kedua teks juga terdapat perbedaan dalam urutan cerita.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pada urutan cerita 17 – selesai

kedua teks memiliki urutan cerita yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat

dilihat di dalam skema yang telah digambarkan di atas.

Page 27: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Meskipun skema persamaan dan perbedaan urutan cerita berbingkai di atas

memiliki kekurangan, yakni sisipan cerita-cerita fabel di dalam cerita berbingkai

terlihat kurang jelas. Namun, setidaknya kedua skema di atas memberikan

gambaran awal kepada pembaca bahwa Cok Sawitri memang mengikuti konvensi

genre teks Tantri Kĕdiri menggunakan cerita berbingkai dalam menulis novelnya

Tantri Perempuan yang Bercerita, tapi Cok Sawitri tidak melakukan imitasi

secara serta merta. Maksudnya, Cok Sawitri tidak melakukan peniruan struktur

teks secara keseluruhan, melainkan ia memasukkan ideologi dan otoritasnya

pribadi dalam membuat novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang disesuaikan

dengan perkembangan zaman di dalam masyarakat saat karya itu ditulis. Cok

Sawitri menempatkan beberapa cerita di tempat yang berbeda dengan cerita

binatang yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri. Selain itu, Cok Sawitri juga

melakukan penambahan dan pengurangan dalam menyusun cerita fabel yang

ditulisnya. Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan daya kreativitas Cok

Sawitri dalam mengubah sebuah karya sastra yang telah ada.

4. Novel Tantri Perempuan yang Bercerita Mengutip Secara Implisit

Maupun Eksplisit dari Teks Kidung Tantri Kĕdiri

Teori intertekstual menjelaskan tentang hubungan antar teks, bahwa tidak

ada teks sastra yang benar-benar mandiri. Setiap teks sastra itu merupakan mosaik

kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Begitu

pula novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Karya sastra yang ditulis oleh Cok

Sawitri tersebut merupakan bentuk transformasi dari kutipan dan penyerapan dari

teks-teks lain. Kutipan-kutipan itu dilakukan baik secara implisit maupun

Page 28: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

eksplisit, baik dikutip langsung dari teks yang telah ada maupun dari konteks

sosial budaya yang berada di luar teks yang melingkupinya.

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagian cerita,

kalimat, alur, bunyi dialog dan lainnya yang terdapat di dalam teks Tantri Kĕdiri

secara implisit maupun eksplisit dengan menyesuaikan konteks sosial budaya

yang ada di dalam masyarakat Bali saat ini. Novel Tantri Perempuan yang

Bercerita menyerap kutipan-kutipan teks Tantri Kĕdiri secara implisit seperti

pada cerita berbingkai, baik pada bingkai utama pada tokoh utamanya, yakni

kehidupan Ni Diah Tantri dan Eswaryadala maupun cerita berbingkai pada cerita

fabel yang terdapat di dalamnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa novel

Tantri Perempuan yang Bercerita mengikuti konvensi genre dalam teks Tantri

Kĕdiri dengan konsep cerita berbingkai. Hal tersebut juga merupakan salah satu

kutipan, dan penyerapan teks-teks lain. Karena isi cerita berbingkai dari novel

Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut sama dengan isi cerita berbingkai yang

terdapat di dalam naskah Tantri Kĕdiri. Contohnya pada bagian awal cerita

berbingkai pada cerita fabel, pertemuan antara Nandaka, Candapinggala dan

Sambada, yang membuat Sambada mengadu domba Nandaka dan Candapinggala

hingga mengakibatkan keduanya mati.

Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita dikisahkan awal dongeng

Ni Diah Tantri kepada raja Eswaryadala menceritakan tentang seorang Bhagawan

Dharmaswami yang melakukan tapa brata kemudiaan dianugrai seekor sapi

jantan bernama Nandaka oleh Sang Hyang Widi. Seperti pada cuplikan adegan di

bawah ini.

Page 29: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

Dahulu kala, ada seorang pandita miskin bernama Bhagawan

Dharmaswami. Walaupun miskin, pandita itu sungguh teguh melakuakan

tapa brata (pengendalian perilaku). Setiap pagi tak pernah ia luput

melakukan Surya Sevana (memuja matahari di pagi hari). Oh, Dewa Surya

yang pemurah, selalu mencatat dengan seksama keteguhan hati sang

pandita. Hingga suatu hari dari langit terdengar suara... . (Sawitri, 2011:

29).

“Hai pandita yang teguh hati, kuberi engkau seekor lembu... .” Bhagawan

Dhawmaswami dengan semangat memberi lembu itu nama Nandaka

(Sawitri, 2011: 30 – 31).

...Hari ke hari hingga memasuki hitungan yang kelima belas, Bhagawan

Dharmaswami mulai berpikir-pikir, mulai meras kerepotan mengurus

Nandaka, “Dahulu, guruku, Dhang Guru Wasista dianugerahi seekor

lembu putih lembu betina, yang diberi nama Nandini. Lembu itu pemurah,

sebab dari susunya, Dhang Guru Wasista bisa meminta apa saja! Bukan air

susu saja yang dapat diperah dari susu Nandini, segala keperluan Dhang

Guru terpenuhi oleh perahan susu itu. Sebaliknya, aku sekarang

dianugerahi lembu jantan. Ah, pejantan macam ini, apa gunanya?... .”

(Sawitri, 2011: 32).

...Diceritakan kini di pagi hari, Bhagawan Dharmaswami mengajak

Nandaka ke hutan, memondonginya kayu-kayu bakar, hingga gelap tiba

barulah kembali ke Pasraman. Keesokan harinya Nandaka memondong

kayu-kayu bakar itu ke pasar terdekat. Begitu seterusnya setiap hari,

Bhagawan Dharmaswami mengajak Nandaka berjualan kayu bakar ke

pasar. ... Begitulah ceritanya dalam sekejap mata, tak terpikirkan oleh akal

sehat, Bhagawan Dharmaswami menjadi pandita yang sangat kaya raya

(Sawitri, 2011: 33 – 34).

Kutipan-kutipan pada novel Tantri Perempuan yang Bercerita tersebut

merupakan penyerapan dari teks Kidung Tantri Kĕdiri. Seperti yang tergambar

dalam naskah berikut.

Maka adalah seorang brahmana dahulu kala yang miskin. Ia selalu berbuat

kebajikan, beryoga dengan mulia serta melaksanakan puja dan brata. Ia

<bersamadi> mendatangkan turunnya Dewa dengan memusatkan

<pikirannya> mencoba mengadakan hubungan dengan Dewa secara

murni. Ia berusaha mendapatkan anugerah, kasih Tuhan Yang

memberikannya rezeki, sarana menjadi bahagia (Pupuh I baris 103 b,

2009: 127).

Semua doanya dikabulkan. Tidak lama kemudian ia memperoleh seekor

sapi jantan yang berkualitas sempurna (Pupuh I baris 104 a, 2009: 129).

Page 30: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Ialah bernama Nandaka yang sempurna, warnanya hitam indah. Betul-

betul anugerah Sang Hyang Widi (Pupuh I baris 104 b, 2009: 129).

“Lho apakah alasannya saya dibebani seperti ini?” Begitu pikirnya dalam

hati akan anugerah Sang Hyang Widi. “Ini mustahil, sebab dulu orang-

orang bijaksana semua dianugerahiNya sapi betina. Seperti <contohnya>

bagawan Wasista yang dianugerahi* lembu sang Nandini.

Keistimewaannya adalah susunya (Pupuh I baris 105 a, 2009: 129).

Nah yang ini apa maksudnya?” Begitu katanya dalam hati. Lalu kemudian

si Nandaka dimuati dengan kayu-kayu dibawa ke hutan Andakawana.

Sekembalinya mendapatkan kayu, dijual dan menjadi beras. Beras yang

bertambah dijual lagi menjadi emas. Emas dipakainya membeli barang

dagangan (Pupuh I baris 105 b, 2009: 129).

Begitulah cara ia berdagang. Berputar-putar sehari-harinya membuat

bertambah hartanya (Pupuh I baris 106 a, 2009: 129).

Setelah beberapa waktu lamanya maka semakin bertambahlah para hamba

pelayan dan pedatinya. Apalagi sapi-sapinya beribu-ribu jumlahnya

(Pupuh I baris 106 b, 2009: 129).

Maka rezeki daripada sang brahmana ada di mana-mana. Ia menemukan

keberuntungan. Semakin bertambahlah harta benda serta sapi-sapinya,

menjadi banyak. Maka ia pun sungguh telah mencapai tujuannya (Pupuh II

baris 1 a, 2009: 131).

Begitulah awal cerita asal mula keberadaan Nandaka. Kemudian cerita

dilanjutkan dengan kisah sang bangsawan dan rombongannya yang ingin

berdagang di ibu kota, sehingga ia mempersiapkan semua dagangan dan

rombongan yang dibawanya. Ia harus melewati hutan Malawa yang dikenal

menyeramkan dengan banyak binatang buas dan perampok, sehingga ia harus

bergegas. Setelah melewati hutan Malawa rombongan Bhagawan Dharmaswami

itu pun beristirahat dan membangun tenda. Namun, Bhagawan Dharmaswami

menyadari bahwa sapi Nandaka dan dua orang pelayannya belum sampai di

tempat peristirahatan, sehingga ia kembali ke hutan Malawa untuk mencari

Nandaka. Setelah itu sang Bhagawan Dharmaswami pun kebingungan melihat

Nandaka yang sedang sekarat di tengah hutan.

Page 31: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Dalam teks Tantri Perempuan yang Bercerita berisi seperti gambaran

berikut.

Dengan kesal Nandaka menggerutu di hati. “Duh, beginikah sikap seorang

brahmana yang bergelar Bhagawan Dharmaswami? Puah! Ah, sungguh tak

layak gelar itu. Sebab tak sedikit pun sikap Bhagawan Dharmaswami

menunjukkan sikap pejalan dharma! Namanya saja Dharmaswami! Tetapi

sifat dan perilakunya sungguh jauh dari kedharmaan! Bhagawan itu terlalu

loba, moha, murka, mada, tidak sedikit pun ingat nasibnya di masa lalu.

Sifat-sifat serakah, kebingungan, pemarah, dan mabuk kekayaan sudah

menguasai dirinya... .” (Sawitri, 2011: 40).

Adapun isi cerita dalam teks hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri

seperti berikut.

“Ia dianggap Dharmaswami* di dunia, <padahal> sungguh papa

perbuatannya. Tidak tahu berterima kasih. Dulu waktu ia masih miskin,

kasihan sekali dia. Lalu aku ditaruhi barang dagangan, ia pergi berniaga,

aku memuat kayu-kayu (Pupuh II baris 13 a, 2009: 139).

Ia dulu berjualan kayu, lalu terlihat menjadi beras dibawa ke daerah

tengah. Berasnya terlihat bertambah menjadi emas yang tak bisa dihitung

adanya. Dan lagi lembu-lembunya dua, tiga. <Sekarang> genapnya ada

seratus, duaratus (Pupuh II baris 13 b, 2009: 139).

Bahkan sekarang ini hampir seribu, penuh dengan harta bendanya. Tetapi

aku tidak diberinya sedikitpun <kesempatan>, berjalan-jalan, bersantai-

santai sedikitlah supaya agak terang hatiku. Malah aku sendiri dimuati

dagangan, dipegangnya erat-erat dan dikatakan bahwa aku sudah terlatih

dan kuat untuk membawa barang dagangan besar! (Pupuh II baris 14 a,

2009: 139).

Apa itu Dharmaswami? Kalau perbuatannya begitu Papaswami*

namanya!” Maka begitulah pikiran Nandaka (Pupuh II baris 14 b, 2009:

139).

Kemudian cerita dalam kedua teks sastra ini menceritakan bahwa Nandaka

tetap berpura-pura seakan sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Ia sudah tak

sudi mengikuti Bhagawan Dharmaswami yang memperlakukannya dengan tidak

baik dan tidak tahu budi tersebut. Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

kemudian gambaran cerita selanjutnya seperti pada dialog berikut.

Page 32: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Lalu Bhagawan Dharmaswami memangil dua pelayannya, “Hei, Palet dan

kau Wipe, si kusir akan menggendong sebagian isi pedati, sebagian lagi

akan kutarik dengan kudaku, kalian berdua jagalah Nandaka di sini. Andai

nanti dia sadar, kembali membaik segera pondongi punggungnya kayu

bakar sekuat-kuat yang mampu dia gendong, jika dia mati, siapa tahu ada

pemburu ataukah peladang yang melewati jalan ini, siapa saja mereka,

tawarkan daging Nandaka. Jangan ragu, jual saja! Kalau ternyata mereka

tidak mau beli, kalian berikan saja dagingnya kepada siapa saja yang

lewat. Kalau tidak ada yang lewat, nasib si Nandaka untuk dibakar! Bakar

dia, biarkan menjadi abu... .” (Sawitri, 2011: 43).

Kutipan tersebut dalam Kidung Tantri Kĕdiri tergambar dalam dialog

berikut.

Adalah hambanya dua orang cebol namanya Sinet dan Teka. Maka

berkatalah sang brahmana: “Wahai dua hambaku orang cebol, berbaik

hatilah dan tungguilah sang Nandaka. Apabila* ia hidup, bawalah ke

Udyani Malawa dan muatlah* semua barang dagangan yang kalian lihat

(Pupuh II baris 16 a, 2009: 141).

Jika ia mati, bakarlah oleh kalian. Memang sudah sengsara*. Sedangkan

barangbarangnya masing-masing berikanlah kepada orang yang lewat di

hutan. Akan berbahagia aku jika diberikan kepada seorang pandita atau

orang-orang yang mewakilinya* dengan tujuan supaya berhasillah

perjalananku (Pupuh II baris 16 b, 2009: 141).

<Tetapi sekarang jika hidup>, usahakan barang-barang dagangan yang

mulia, terutama emas, supaya dibawa ke tempatku. Tetapi apabila dimuat

di pedati dan barangnya tidak muat, tunggulah dan jagalah barangku oleh

kalian berdua (Pupuh II baris 17 a, 2009: 141).

Cerita kedua teks berlanjut, kedua pelayan itupun memutuskan untuk

meninggalkan Nandaka di hutan karena tidak mungkin ia bisa bertahan hidup.

Lagipula kedua pelayan tersebut takut akan ancaman yang mungkin terjadi di

tengah hutan Malawa tersebut. Oleh karenanya, mereka membuat sebuah siasat.

Dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita di ceritakan oleh Cok Sawitri

sebagai berikut.

“Ayolah, kita kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-

tumpuk kayu bakar sebanyak-banyaknya. Tumpuk-tumpuk kayu bakar ini

memanjang, lalu melingkari tubuh Nandaka, jejerkan seukuran tubuhnya,

Page 33: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

tumpukan yang paling ujung letakkan di dekat tubuh Nandaka. Nanti, kita

bakar dari ujung yang lain, yang terjauh dari Nandaka, sebab tidaklah

dibenarkan membakar makhluk yang masih hidup, itu dosa yang sungguh

tak terampunkan, disebut upadarwa. Nah, jika dari ujung kita bakar, api

akan menjalar perlahan menuju Nandaka. Pastilah saat api tiba ditumpukan

kayu terakhir, Nandaka sudah meregang nyawa. Ayo sekarang kita

kumpulkan kayu kering... .” (Sawitri, 2011: 44).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung

Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... “Coba kamu menimbun kayu dan menyulut api sampai berkobar

meletup-letup dan asapnya kelihatan dari jauh. Maka itulah akan menjadi

buktimu kalau kamu sudah membakar bangkai si lembu.” (Pupuh II baris

20 b, 2009: 143).

Begitulah ujar si Teka. Segeralah ki Sinet menimbun kayu dan berkata:

“Ditaruh di mana kayu ini? Si Nandaka kubakar.” Si Teka lalu menjawab:

“Jangan begitu. Itu dilarang oleh tradisi. Itu namanya gohatyā* bung

(Pupuh II baris 21 a, 2009: 143).

Sama dengan membunuh seorang brahmana artinya. Nah kalau mau

menumpuk kayu, tempatnya agak jauhan ya. Lalu sulutlah apinya. Jika

sudah membara, tinggalkan. Maka siasat kita sudah mulai.” (Pupuh II baris

21 b, 2009: 143).

Maka ki Teka berkata: “Sinet, coba datangi tempat Nandaka dan lepas tali-

talinya semua. Jangan ada yang tertinggal, termasuk penopangnya*.”

Maka segeralah semua dilepas (Pupuh II baris 22 a, 2009: 143).

Jadi, begitulah siasat yang dilakukan kedua pelayan Bhagawan

Dharmaswami meninggalkan Nandaka dan membuatnya seolah-olah Nandaka

telah meninggal. Kemudian mereka menemui sang Bhagawan Dharmaswami dan

melaporkan bahwa Nandaka telah dibakar. Setelah Nandaka ditinggalkan oleh

kedua pelayan tersebut larilah ia ke tengah hutan mencari makan dan tempat

tinggal. Hingga akhirnya Nandaka bertemu segerombolan anjing yang

menyerangnya. Mereka adalah pasukan raja hutan, seekor singa yang bernama

Candapinggala. Grombolan anjing itu dipimpin oleh seekor patih bernama

Sambada.

Page 34: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Suatu hari mereka diperintahkan oleh Candapingala untuk berburu hewan

lainnya di dalam hutan. Hingga akhirnya mereka menemukan Nandaka binatang

yang belum pernah mereka temui sebelumnya di dalam hutan Malawa. Mereka

pun segera menyerang Nandaka sebagai hewan buruan mereka. Nandaka dengan

gusar melawan pasukan anjing itu dan mereka pun terluka karena srudukan dan

tendangan Nandaka. Pasukan anjing itu kemudian melaporkan kejadian itu kepada

Candapinggala dan Sambada, sehingga Sambada pun marah melihat keadaan

pasukannya. Setelah itu Candapinggala ditemani oleh Sambada melihat langsung

makhluk seperti apa yang telah melukai pasukannya, maka bertemulah

Candapinggala dan Sambada dengan Nandaka. Potongan adegan itu tergambarkan

dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita sebagai berikut.

... raja hutan Malawa itu menyapa Sang Nandaka, “Wahai, Tuan, Siapakah

Anda? Binatang jenis apakah Anda? Dari manakah asal Anda? Kalau

boleh tahu, siapakah nama Anda? Sungguh, saya kagum dengan

penampilan Anda, demikian berwibawa, gemuk hitam dan gagah perkasa!

Sulit bagi saya mencari perumpamaan untuk memuji penampilan Anda...

.” (Sawitri, 2011: 70).

... “oh ho! Baiklah, seperti yang Anda tanyakan, sekarang dengaranlah

dengan baik-baik apa yang akan hamba sampaikan sebagai jawaban. Nama

hamba Nandaka, putra dari Sang Arjuna dan Dewi Surabi. Hamba ini,

cucu jauh dari Ida Bhagawan Sahasra Walikia. Masa kanak hamba

digembalakan oleh Batara Guru. Lama hamba diberi kesempatan menjadi

abdi beliau... .” (Sawitri, 2011: 72).

Adapun dalam teks hipogram novel Cok Sawitri tersebut, yakni Kidung

Tantri Kĕdiri tergambar adegan seperti berikut.

... Kemudian ia disapa oleh sang Raja Margasatwa: “Aduh hewan apakah

anda ini? Dan siapa sebutan nama anda, serta dari manakah anda asalnya

dan mau ke mana? Apakah maksud anda datang ke sini? Apakah rencana

anda sahabatku?* (Pupuh III baris 11 b, 2009: 167).

“Sungguh terpencil ini <hutan> Udyani Malawa, tempat saya. Sungguh

heran saya melihat keadaan anda baru saja datang mengembara di hutan

Page 35: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

ini untuk pertama kalinya sepertinya tidak ada yang sama. Apakah anda

tak tahu bahwa saya adalah sang Candapinggala yang dianggap sebagai

raja, Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 a, 2009: 167).

“Tidak lain sayalah yang menguasai kehidupan semua margasatwa yang

berada di hutan ini. Makanya sungguh-sungguh berilah saya tahu, mohon

maaf.” Maka jawab sang Nandaka: “Ah artinya Tuan sungguh-sungguh

Raja Margasatwa.” (Pupuh III baris 12 b, 2009: 167).

“Maka dengan izin anda, yang termashyur wahai Tuan Candapinggala

yang memiliki bala tentara serigala semuanya, ketahuilah saya adalah

putra sang Aruna dari Surabi sebagai istrinya. Maka mereka ini ayah dan

ibu saya.” (Pupuh III baris 13 a, 2009: 167).

“Saya dianggap cucu Bagawan Sasra Walikilya. Saya Nandaka, wahana

Batara Parameswara (Pupuh III baris 13 b, 2009: 167).

Begitulah kisah awal mula pertemuan Nandaka, Candapinggala dan

Sambada yang membawa Candapinggala ingin berteman dengan Nandaka,

sehingga membuat Sambada mengadu domba keduanya hingga menyebabkan

kematian bagi keduanya. Cerita antara Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini

merupakan tonggak terpenting dalam cerita Tantri karena cerita ini merupakan

bagian nitisastra dari kitab sastra agama Hindu yang mengajarkan dharma. Selain

itu dari cerita ketiga tokoh binatang inilah kemudian muncul beberapa cerita

sisipan lainnya, sehingga menyebabkan cerita Tantri ini sebagai cerita berbingkai.

Jadi, kehadiran dari cerita Nandaka, Candapinggala dan Sambada ini sangatlah

penting dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, Cok Sawitri dalam menulis

novel Tantri Perempuan yang Bercerita mengutip isi cerita berbingkai kisah

binatang yang terdapat di dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri.

Dari penggambaran adegan dan dialog dari kedua teks tersebut, maka

dapat dilihat bahwa memang Cok Sawitri mengutip dan menyerap teks Kidung

Tantri Kĕdiri ke dalam karya transformasinya, yakni Tantri Permpuan yang

Bercerita secara implisit, meskipun kata-kata dan bahasanya tidak sama. Namun

Page 36: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

secara signifikasi (pemaknaan), dapat dilihat bahwa memang novel Tantri

Perempuan yang Bercerita mengutip beberapa bagaian cerita yang terdapat di

dalam teks Tantri Kĕdiri. Bahkan alur cerita yang digunakan dalam Tantri Kĕdiri

diikuti oleh Tantri Perempuan yang Bercerita.

Sedikit perbedaan bahasa maupun gaya penceritaan dalam novel Tantri

Perempuan yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri dikarenakan Cok Sawitri

tidak hanya mengutip teks secara implisit saja melainkan juga secara eksplisit.

Pengutipan teks secara eksplisit maksudnya mengutip teks tidak hanya apa yang

ada di dalam teks lain, baik itu dari segi bahasa, cerita, alur dan lain sebagainya.

Namun juga mengutip apa yang ada di luar teks, seperti konteks sosial budaya

yang ada di dalam masyarakat pemilik dari cerita tersebut. Mengingat bahwa

jangkauan dari kajian interteks yang sangat luas, sehingga hubungan intertekstual

tidak hanya bisa dihubungkan antara teks dengan teks saja, melainkan juga bisa

antara teks dengan hal yang lainnya seperti, karya seni, drama, sejarah, budaya

dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan novel Tantri Perempuan yang Bercerita, isi ceritanya

tidak hanya mengutip teks Kidung Tantri Kĕdiri secara imlisit. Namun, novel

Tantri Perempuan yang Bercerita ini juga melakukan pengutipan secara eksplisit

terhadap konteks sosial budaya yang ada di masyarakat Bali. Salah satu contohnya

adalah mengangkat isu yang sedang berkembang di masyarakat Bali, seperti

masalah ketidakadilan gender. Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang isu

ketidakadilan gender terkait adanya sistem sosial dalam masyarakat Hindu Bali,

Page 37: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

yakni sistem kasta dan patriarkal. Adanya kedua prinsip tersebut membuat posisi

wanita di masyarakat Hindu Bali dianggap kurang penting.

Dengan adanya sistem kasta di masyarakat Hindu Bali membuat wanita

Bali tidak bisa bebas menentukan pilihan, salah satu contohnya dalam hal

pernikahan. Di Bali wanita diharuskan menikah dengan kasta yang sama. Jika dia

menikah dengan kasta yang lebih rendah dari kasta keluarganya, maka ia harus

rela meninggalkan keluarganya selamanya. Berbeda dengan laki-laki, apabila laki-

laki menikah dengan wanita berbeda kasta, ia tidak diharuskan meninggalkan

keluarga atau kastanya. Wanita Bali selalu harus hidup dalam kungkungan para

laki-laki, seperti yang dijelaskan oleh Pratiwi (2012: 51), bahwa saat perempuan

masih kecil dan hidup bersama orang tuanya ia harus menuruti perintah ayahnya.

Saat perempuan Bali menikah, ia harus menuruti perintah dan mengabdi kepada

suaminya, dan saat suaminya meninggal perempuan Bali harus menuruti perintah

anak laki-lakinya.

Ketidakadilan gender tersebut membuat wanita Bali tidak memiliki

kebebasaan dan seakan dibungkam untuk tidak mengeluarkan pendapat. Hal itu

kemudian mempengaruhi ideologi Cok Sawitri dalam merekonstruki novel Tantri

Perempuan yang Bercerita. Rekonstruksi tersebut salah satunya ia lakukan

kepada kedua tokoh utamnya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Ni Diah

Tantri digambarkan sebagai sosok yang cerdas dan berani dalam berpendapat

melalui dongengnya kepada raja Eswaryadala. Pada akhir cerita, Eswaryadala pun

dibuat sebagai sosok laki-laki yang jantan dengan mengakui kesalahannya dan

Page 38: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

meminta maaf serta membebaskan tokoh Tantri untuk menentukan pilihannya

sendiri.

Cerita Tantri Perempuan yang Bercerita beserta tokoh utama wanitanya,

yakni Ni Diah Tantri direkonstruksi dengan mengikuti ideologi Cok Sawitri

sebagai salah satu sastrawan Bali yang giat mengangkat isu feminisme dalam

karyanya. Jadi, secara otomatis novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang ia

hasilkan memiliki prespektif berbeda dari cerita Tantri klasik yang pernah ada.

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita secara implisit mengutip teks Kidung

Tantri Kĕdiri dan secara eksplisit menggunakan isu feminisme untuk diselipkan

ke dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal ini membuktikan bahwa

Cok Sawitri menggunakan otoritasnya sendiri sebagai pengarang yang

merekonstruksi sebuah cerita klasik ke dalam novel modern disesuaikan dengan

pemaknaan dan prespektif dari pengetahuan dirinya pribadi.

Page 39: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

B. Rekonstruksi Tokoh Utama, Ni Diah Tantri dan Eswaryadala

oleh Cok Sawitri dalam Novel Tantri Perempuan yang Bercerita

Terhadap Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Soekatno

Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri

Perempuan yang Bercerita terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan

Soekatno terletak pada struktur cerita novel. Struktur tersebut meliputi alur cerita,

latar cerita dan terutama penokohan. Melalui ketiga unsur tersebut, maka dapat

dilihat bentuk rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya

hipogramnya. Namun untuk melihat rekonstruksi tersebut, perlu diperlihatkan

terlebih dahulu mimesis atau peniruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam

karyanya terhadap naskah Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogramnya. Cok

Sawitri melakukan tiruan atau lebih tepatnya tetap mempertahankan struktur

utama cerita Tantri Kĕdiri karena dianggap masih relevan dengan kondisi sosial

budaya masyarakat Bali saat ini. Mimesis yang dilakukan Cok Sawitri terhadap

karya hipogramnya antara lain adalah cerita fabel, seloka atau puisi, dan struktur

cerita.

Pada akhirnya, struktur cerita Tantri Kĕdiri yang ditiru oleh Cok Sawitri

melahirkan creatio atau kreativitas. Alur cerita Tantri Kĕdiri memiliki kronologi

yang runtut dan kisah antara manusia dengan cerita bingkai binatang terpisah,

sedangkan Cok Sawitri mencampurkan cerita manusia dengan cerita binatang

untuk mendukung karakter tokoh utamnya. Kemudian Cok Sawitri lebih detail

dalam menggambarkan latar cerita. Karakter tokoh utama, yakni Ni Diah Tantri

dan Eswaryadala di Tantri Perempuan yang Bercerita digambarkan berbeda oleh

Page 40: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Cok Sawitri bila dibandingkan dengan penggambaran tokoh utama dalam karya

hipogramnya Tantri Kĕdiri. Hal ini tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang

ingin menyuarakan kaum powerless (kaum lemah), yakni perempuan, sehingga

tokoh Ni Diah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang cerdas dan

berani bersuara terutama di ranah publik tidak hanya mengurusi ranah domestik

saja.

Sebagai seorang penulis, Cok Sawitri bebas melakukan „pemberontakan‟

(dalam batas tertentu), baik itu pemberontakan antara konvensi sastra maupun

konvensi sosial budaya. Melalui mimesis yang dilakukan oleh Cok Sawitri dapat

dilihat creatio atau kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan

maupun rekonstruksi dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung

Tantri Kĕdiri. Rekonstruksi yang dilakukannya, terutama melalui tokoh

utamanya, yakni Ni Diah Tantri merupakan wujud nyata „pemberontakan‟ yang

dilakukan Cok Sawitri. Bukan pemberontakan dalam bentuk seksualitas yang

sering dilakukan oleh penulis sastra perempuan lainnya, Cok Sawitri melalui Ni

Diah Tantri menampilkan sosok perempuan yang cerdas, pemberani dan bahkan

mendapat pengakuan dari laki-laki.

Untuk melihat rekonstruksi ataupun pemberontakan apa saja yang

dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita

terhadap Kidung Tantri Kĕdiri perlu dijelaskan terlebih dahulu tiruan (mimesis)

yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Dengan demikian dapat dilihat pula creatio atau

kreativitas Cok Sawitri sebagai bentuk pemberontakan maupun rekonstruksi

dalam Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri

terjemahan Soekatno.

Page 41: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

1. Mimesis

Cok Sawitri melakukan mimesis atau mungkin lebih tepatnya

mempertahankan beberapa bagian cerita dari bentuk asli cerita Kidung Tantri

Kĕdiri. Beberapa bagian itu adalah

1) Cerita fabel

Cerita fabel atau cerita binatang di Indonesia dikenal sebagai cerita dengan

tokoh para binatang dan biasanya tokoh binatang tersebut berperilaku atau

memiliki sifat yang sama dengan manusia. Cerita Tantri identik dengan cerita

binatang yang bekisar tentang kisah sapi keturunan dewata bernama Nandaka.

Nandaka berteman dengan seekor singa yang juga raja hutan Malawa, yakni

Candapinggala. Keduanya tewas setelah diadu domba oleh Sambada patih

Candapinggala yang diwujudkan sebagai seekor anjing hutan (Serigala pada versi

Tantri Kĕdiri). Dari ketiga tokoh utama cerita binatang yang ada di dalam cerita

Tantri ini kemudian muncul beberapa cerita binatang lain yang menyusun struktur

cerita hingga membentuk rangkain cerita berbingkai yang menjadi panjang dan

luas. Dari rangkaian cerita binatang inilah yang membuat cerita Tantri menjadi

istimewa. Ditambah lagi isi kandungan cerita binatang yang masing-masing

memiliki nilai moral dan ajaran kebaikan tersendiri.

Sebelumnya telah dijelaskan ciri khas dari cerita berbingkai, bahwa

seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula,

misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. Sama halnya dalam cerita

Tantri, tokoh binatang utama Nandaka dan Sambada sering bercerita satu sama

lain kemudian disambung dengan cerita lain untuk membuktikan kebenaran

Page 42: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

ceritanya. Misalnya dalam kasus Sambada, ia digambarkan sebagai tokoh yang

licik pengadu domba antara Nandaka dan Candapinggala. Sambada sering

bercerita kepada Nandaka untuk tidak berteman dengan Candapinggala karena di

antara mereka memiliki perbedaan yang besar. Candapinggala adalah hewan

pemangsa sedangkan Nandaka merupakan hewan yang biasanya dimangsa. Jika

mereka berteman tidak akan berjalan dengan baik, oleh karenanya Sambada

menceritakan beberapa cerita yang membuktikan perkataannya benar, di

antaranya cerita „Sekelompok Burung Pemakan Daging dan Sepasang Burung

Pemakan Buah‟.

Dalam cerita itu dikisahkan bahwa ada sekelompok burung pemakan

daging yang tinggal jauh di atas pohon yang tinggi. Suatu hari ketua kelompok

tersebut mengizinkan sepasang burung pemakan buah untuk tinggal bersama

mereka. Namun tanpa diduga, kotoran yang berisi biji buah-buahan yang dimakan

oleh sepasang burung pemakan buah tersebut jatuh ke tanah dan sebagian

menempel di batang pohon, sehingga saat hujan turun menumbuhkan akar baru.

Hal tersebut menumbuhkan sulur yang menjalar di pohon utama. Akibatnya

manusia bisa meraih sarang-sarang burung yang awalnya tak terlihat oleh manusia

sebelumnya karena pohon itu sangat tinggi (Sawitri, 2011: 124 – 141). Pada

akhirnya, sepasang burung pemakan buah itupun membawa celaka bagi kelompok

burung pemangsa daging.

Secara tidak langsung, Sambada ingin memperingatkan Nandaka bahwa

jika berteman dengan seseorang yang memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda,

maka akan berakhir dengan kehancuran. Selain itu, dari cerita Sambada tersebut

tersirat makna bahwa jika menolong sesorang yang memiliki prinsip yang berbeda

Page 43: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

dengan kita, maka hal itu hanya akan membawa malapetaka. Sama halnya jika

Nandaka ingin berteman dengan Candapinggala, maka itu hanya akan membawa

malapetaka bagi keduanya. Sebenarnya sekelompok burung pemangsa daging itu

memiliki niat menolong sepasang burung pemakan buah. Namun, pada akhirnya

biji yang dimakan oleh sepasang burung tersebut membawa kecelakaan bagi

seluruh kelompok burung yang tinggal di pohon itu. Tidak hanya cerita tentang

burung pemangsa dan burung pemakan buah itu saja yang diceritakan oleh

Sambada guna mengadu domba Nandaka dengan Candapinggala, namun masih

banyak yang lainnya.

Nandaka dengan bijak membalas cerita Sambada tersebut dengan kisah

tentang seorang prajurit yang dipenggal kepalanya oleh sang raja karena

berbohong. Nandaka menceritakan ada seorang prajurit yang tengah ikut berburu

dalam rombongan seorang raja. Di tengah perburuannya sang raja mengutus

prajurit itu untuk mencari air karena sang raja kehausan. Saat prajurit itu berusaha

mencari kebutuhan rajanya, ia melihat ada seekor kera yang menari di tengah

lautan. Peristiwa itupun dilaporkannya kepada sang raja. Sang raja tidak percaya

akan cerita prajurit itu, kemudian si prajurit bersedia dipenggal mati jika ia

berbohong. Sang raja dan lainnya pun mengikuti langkah si prajurit untuk melihat

kebenaran peristiwa tersebut. Setibanya di tempat, sang raja tidak melihat ada kera

yang menari di tengah laut. Sang raja pun murka, ia pun bertanya kepada prajurit

itu, “Pada saat kamu melihat kera itu, apakah ada saksi lain yang melihat selain

kamu?” Prajurit itu menjawab tidak, sehingga semakin marahlah sang raja dan

menjatuhi hukuman mati pada prajurit itu.

Page 44: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Kisah tersebut diceritakan oleh Nandaka untuk memperingatkan Sambada

agar jangan berkata sembarangan jika tidak memiliki saksi. Karena sebelumnya

Sambada selalu menceritakan bahwa Candapinggala selalu menjelekkan Nandaka.

Nandaka pun menanyakan apakah saat Candapinggala berkata seperti itu ada

orang lain selain Sambada yang mendengarkan. Setelah mendengar cerita

Nandaka tersebut merasa malulah si Sambada. Namun ia tetap mencoba mengadu

domba antara Nandaka dan Candapinggala dengan bercerita banyak hal. Hingga

pada akhirnya Nandaka dan Candapinggala pun mati karena termakan

kebohongan Sambada.

Dari banyaknya cerita binatang dalam Kidung Tantri Kĕdiri, yakni kurang

lebih 30 cerita binatang, Cok Sawitri mempertahankan bentuk cerita binatang

tersebut tanpa menghilangkannya. Adapun dari seluruh cerita binatang tersebut

Cok Sawitri menambah atau mengurangi sekitar 3 – 4 cerita binatang. Secara

keseluruhan esensi cerita binatang yang terdapat dalam Kidung Tantri Kĕdiri tetap

dipertahankan oleh Cok Sawitri, meskipun dalam penyusunan cerita binatang

tersebut berbeda. Dalam analisis rumusan pertama telah dijelaskan lebih detail

mengenai perbedaan urutan cerita binatang dari kedua objek penelitian, sehingga

dalam subbab ini peneliti tidak akan membahas kembali dalam pembahasan

kedua.

Cok Sawitri tetap mempertahankan kehadiran cerita fabel berbingkai ini

bukan tanpa alasan. Cok Sawitri menganggap bahwa cerita binatang ini penuh

dengan ajaran-ajaran dharma Hindu dan secara luas ajaran moral serta nilai-nilai

kebaikan dalam hidup manusia. Cok Sawitri mempertahankan nilai-nilai kebaikan

tersebut karena dianggap masih relevan dengan ajaran agama Hindu ataupun nilai-

Page 45: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

nilai moral di kehidupan saat ini. Oleh karenanya, Cok Sawitri mempertahankan

cerita berbingkai binatang untuk diajarkan atau dibagikan kepada para

pembacanya. Terutama untuk menunjukkan ajaran-ajaran dharma Hindu dan nilai-

nilai kebaikan lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Nilai-nilai kebaikan

tersebut seperti ajaran tolong-menolong, jangan bersikap loba atau berlebihan agar

tetap terjaga keseimbangan alam, semua perbuatan memiliki hukum sebab akibat,

sehingga kita (pembaca) ditunjukkan beberapa cerita yang menggambarkan

hukum karma pala, yakni jika berbuat baik akan mendapatkan kebaikan

sebaliknya jika berbuat jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal pula.

Dari beberapa cerita binatang tersebut juga mengajarkan tentang sebuah strategi

untuk mengatasi sebuah masalah dengan bekerjasama saling membantu dan

gotong-royong. Contohnya seperti dalam cerita „Si Empas dan Burung Garuda‟

yang mengisahkan kecerdikan para kura-kura yang bekerjasama mengalahkan

burung garuda dalam perlombaan lari di dalam air.

2) Seloka dan puisi

Terdapat banyak unsur yang ada di dalam cerita Tantri, baik itu dari segi

ajaran agama Hindu dan nilai-nilai kebaikan ataupun cerita berbingkai yang turut

menyusun struktur cerita. Di antara banyak unsur yang memenuhi isi cerita Tantri

salah satunya adalah penggalan seloka dan puisi. Seloka terdapat di dalam Kidung

Tantri Kĕdiri sedangkan puisi terdapat di dalam novel Tantri Perempuan yang

Bercerita. Seloka yang terdapat di dalam Kidung Tantri Kĕdiri ini biasanya

diletakkan diakhir sebuah cerita binatang untuk memberi semacam wejangan atau

sindiran.

Page 46: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah maupun

perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Kata

„seloka‟ diambil dari bahasa Sanskerta, sloka (Tim Penyusun Pusat Bahasa,

2008). Teks Kidung Tantri Kĕdiri memuat beberapa seloka, bahkan hampir

disetiap akhir kisah binatang selalu diselipkan potongan seloka sebagai cerminan

ajaran moral. Contohnya dalam cerita sekelompok burung pemangsa daging dan

sepasang burung pemakan buah yang telah dijabarkan di atas. Di akhir cerita

dalam teks, diceritakan ada seorang pendeta yang melihat kemudian membuat

seloka dari cerita burung pemangsa daging dan burung pemakan buah tersebut.

Hal itu tergambar dalam penggalan cerita berikut.

Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan yang membuat seloka dari

maksud cerita: “Artinya dua orang yang sama tujuan dan makanannya

berkumpul, maka ini berakhir dengan baik pula. Sedangkan lagi kalau

tidak selaras tujuan dan makanannya, jelas akan berakhir dengan

percekcokan”. (Pupuh IV baris 91 a, 2009: 223).

Sayangnya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri seloka yang dimaksudkan,

baik itu dalam teks asli berbahasa Jawa Pertengahan maupun dalam aksara Latin

berbahasa Indonesia tidak ditulis bak puisi yang terdiri dari empat baris dan

berbahasa diksi yang indah. Melainkan dituliskan merujuk langsung pada arti dari

seloka tersebut, seperti yang tergambar dalam penggalan cerita di atas. Walaupun

demikian, hal tersebut tidak mengubah maksud dan tujuan penyadur teks dengan

meyertakan sebuah seloka hampir di setiap akhir cerita binatang dalam Kidung

Tantri Kĕdiri.

Maksud dan tujuan dari penyadur tersebut jelas untuk memberikan pesan

secara tidak langsung kepada pembaca, agar pembaca mengambil pembelajaran

disetiap kisah binatang yang diceritakan dalam teks. Karena setiap kisah yang

Page 47: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

digambarkan oleh para binatang tersebut juga mencerminkan sikap manusia yang

hidup di dunia. Si penyadur berharap dengan membaca setiap kisah binatang yang

berbingkai, panjang, dan luas tersebut, pembaca dapat memetik hikmah dan

memetik pembelajaran yang berguna untuk hidup bermasyarakat. Misalnya dalam

Kidung Tantri Kĕdiri terdapat cerita bingkai fabel yang menceritakan tentang lima

ekor hewan lemah yang saling bekerjasama untuk lepas dari jeratan pemburu.

Pendeta yang menyaksikannya membuat seloka yang tergambar dalam uraian

berikut.

... Ini disaksikan oleh bagawan Basubagan lagi. Dibuat olehnya seloka

artinya: “Yang tidak serupa dan tidak sama asal-usulnya <tetapi>

berkumpul dan berteman, maka mereka akan menemukan kasih sayang.”

(Pupuh IV baris 246 a – 246 b, 2009: 301).

Pentingnya pemaknaan dalam seloka Tantri Kĕdiri membuat Cok Sawitri

mempertahankan penyelipan „pesan tidak langsung‟ tersebut dengan

mengkreasikannya menjadi bait-bait puisi yang indah dalam novelnya Tantri

Perempuan yang Bercerita. Cok Sawitri tetap mempertahankan beberapa bagian

cerita untuk ditulis kembali dalam karyanya karena bagian tersebut dianggap

masih penting dan relevan dengan kondisi sosial-budaya saat ini. Termasuk dalam

peniruan pesan tidak langsung dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, dengan tujuan

agar pembaca dapat memetik hikmah dari setiap cerita. Estetika penulisan bait

puisi yang dilakukan oleh Cok Sawitri menambah daya kreativitasnya dalam

merekonstruksi karya klasik ke level lebih tinggi. Meskipun, Cok Sawitri

menggunakan potongan seloka sebagai inspirasinnya dalam menuliskan potongan

puisi-puisi di Tantri Perempuan yang Bercerita. Namun, estetika penulisan Cok

Page 48: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Sawitri perlu diberikan perhatian lebih karena sedikit banyak mempengaruhi daya

kreativitas jalannya cerita novel Tantri Permpuan yang Bercerita.

I Nyoman Darma Putra turut mengapresiasi „keberanian estetis‟ Cok

Sawitri dengan menghadirkan potongan puisi di setiap akhir cerita, untuk

mengangkat esensi cerita tersebut. Menurutnya puisi-puisi itu mengukuhkan

kekuatan olah bahasa Cok Sawitri sebagai penyair yang hebat. Puisi itu berfungsi

sebagai inti cerita atau bagian cerita untuk menegaskan pesan moral, atau

merenungi kompleksitas kehidupan. Lewat potongan puisi-puisi itu perenungan

ditawarkan (Putra, 2012: 195). Dari penegasan I Nyoman Darma Putra tersebut

dapat diinterpretasikan bahwa melalui bait-bait puisi tersebut Cok Sawitri

menawarkan sebuah perenungan bagi pembaca yang menyadari akan kebenaran

makna cerita yang disajikan. Misalnya dalam “Bagian 26: Kisah Batur Taskara”,

yang mengisahkan tentang seorang penjahat yang bertaubat dan menjadi seorang

pendeta. Ia ingin menghindari ramalan atas kematiannya, namun pada akhirnya ia

tetap meninggal karena sebuah takdir tidak bisa diubah. Kemudian Cok Sawitri

memberikan pesan moral yang ia tulis melalui potongan puisi yang berbunyi.

Ke gua yang dalam

ke jurang yang curam

berganti busana

karma tidak tertipu

(Sawitri, 2011: 332).

Berbeda dari teks Kidung Tantri Kĕdiri yang selalu menyelipkan pesan

moral di setiap akhir cerita binatang, Cok Sawitri selalu menyelipkan bait puisi di

setiap kisah yang patut untuk dimaknai, terutama pada bingkai utamanya, yakni

kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala. Misalnya dalam bagian cerita Eswaryadala

tidak bisa tidur atau lebih tepatnya kantuk enggan datang kepada Eswaryadala

Page 49: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

padahal malam telah larut, sehingga ia meminta Ni Diah Tantri untuk bercerita.

Kemudian Cok Sawitri menyelipkan beberapa bait puisi.

Ah, raja yang agung kehilangan kantuknya

Malamkah yang mencuri

Atau tidur telah pergi

Sebab lelap disembunyikan kelam hati

(Sawitri, 2011: 30)

Beberapa bait puisi tersebut menggambarkan kondisi psikis Eswaryadala

di mata pengarang, yakni Cok Sawitri. Esawaryadala diilustrasikan sebagai raja

yang memiliki kegelisahan hingga membuatnya menderita penyakit susah tidur.

Padahal ia telah diberikan persembahan gadis cantik dan perawan setiap

malamnya. Tampaknya hal tersebut tidak membawa kedamaian kepada

Ewaryadala, justru hal itu menambah kekhawatiran baru bagi Eswaryadala hingga

ia tidak bisa tidur setiap malamnya karena merasa bersalah. Maksud Cok Sawitri

menuliskan beberapa penggalan puisi disetiap kisah Ni Diah Tantri dan

Eswaryadala merupakan bentuk campuran antara mimesis dan ideologi, sehingga

menghasilkan creatio/kreativitas.

3) Struktur cerita

Sebuah karya sastra memiliki beberapa unsur yang membangun struktur

teks, sehingga karya tersebut dapat dimaknai secara maksimal. Unsur tersebut

diantaranya adalah tema, alur, penokohan, setting, amanat, konteks sosial budaya

dan lain sebagainya. Sama halnya dalam cerita Tantri ini, cerita Tantri tersusun

dari beberapa unsur intrinsik maupun eksrinsik yang tidak bisa diabaikan begitu

saja untuk dianalisis. Bukan berarti jika peneliti membahas tentang struktur cerita

akan melenceng dari teori intertekstual karena sebenarnya intertekstual merupakan

Page 50: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

teori pascastruktural, bahkan Jonathan Culler pun merupakan tokoh struktural.

Namun peneliti tidak akan membahas tentang sejarah teori struktural dan

pascastruktural hingga melahirkan kajian intertekstual. Pada dasarnya peneliti

turut menganalisis struktur cerita Kidung Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan

yang Bercerita guna melihat persamaan dan perbedaan kedua teks yang akhirnya

akan mengalir pada rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Struktur

intrinsik yang akan dianalisis pun tidak semua unsur, melainkan hanya beberapa

yang bersangkutan dengan tema penelitian ini, yakni alur cerita, latar cerita dan

terutama penokohan.

Jika dilihat secara sekilas, Cok Sawitri memang melakukan mimesis

terhadap teks Kidung Tantri Kĕdiri secara struktur cerita. Hal tersebut dapat

dilihat dari nama tokoh utama yang sama, yakni Tantri dan Eswaryadala.

Kemudian jalan cerita secara keseluruhan juga sama, yakni Tantri mendongeng

untuk menyadarkan sang raja dari tingkah laku buruknya. Lalu secara latar cerita

juga sama karena berlatar kehidupan istana dan bahkan cerita berbingkai fabel

juga sama. Hal tersebut dilakukan oleh Cok Sawitri untuk mempertahankan

struktur utama cerita Kidung Tantri Kĕdiri terkait dengan alur cerita, latar cerita

dan penokohan yang masih dianggap penting dan tidak bisa diubah.

Namun, jika dianalisis secara lebih mendetail terdapat beberapa perbedaan

dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita. Hal tersebut tidak terlepas dari

otoritas Cok Sawitri sebagai pengarang yang memasukkan ideologinya ke dalam

karyanya tersebut. Misalnya saja dalam penggambaran tokoh utama novelnya,

yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala selalu dimunculkan dalam cerita

berbingkai fabel. Berbeda dengan cerita Kidung Tantri Kĕdiri, bingkai utama

Page 51: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

cerita Dyah Tantri dan Eswaryapala terpisah dengan bingkai cerita fabel. Hal itu

merupakan inovasi Cok Sawitri guna mendukung ideologinya sebagai sastrawan

beraliran feminisme. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbedaan struktur

cerita dari kedua teks, lebih baik jika dibahas dalam creatio atau kreativitas Cok

Sawitri karena hal ini menyangkut rekonstruksinya terhadap naskah Kidung

Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno.

2. Creatio

Peniruan yang dilakukan Cok Sawitri terhadap cerita klasik Tantri bukan

merupakan sebuah plagiat dalam konteks teori kontemporer, melainkan

merupakan sebuah kreativitas. Meskipun melakukan sebuah tiruan, Cok Sawitri

tidak melukiskan cerita Tantri klasik dengan cara yang persis sama. Cok Sawitri

menggunakan ideologinya sebagai penggiat feminis untuk merekonstruksi cerita,

terutama melalui tokoh utamanya yang juga seorang perempuan, yakni Ni Diah

Tantri. Cok Sawitri bergerak ke level yang lebih tinggi dalam menghasilkan karya

dari cerita yang pernah ada, sehingga karya yang dihasilkannya benar-benar baru

seakan baru dilihat pertama kali.

Senjata bagi seorang pengarang dalam menulis sebuah karya sastra adalah

bahasa. Cok Sawitri menggunakan bahasa yang indah dan sedemikian rupa untuk

merekonstruksi novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap karya

hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Hal tersebut

menghasilkan sebuah inovasi baru dari Cok Sawitri. Pandangan baru dari

perspektif pengarang perempuan yang berasal dari Bali dalam menggambarkan

kembali karya sastra klasik yang telah dikenal oleh masyarakat Bali khususnya,

Page 52: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

sehingga menghasilkan karya sastra dengan nafas baru dengan mengangkat

semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan melalui

tokoh utamanya Ni Diah Tantri. Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri

dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap Kidung Tantri Kĕdiri

terjemahan Soekatno terdapat di dalam beberapa bagian, sebagai berikut.

a) Alur cerita

Sebagai sastrawan yang memiliki daya imajinatif yang tinggi, kreativitas

Cok Sawitri dalam menyusun struktur cerita sudah tampak pada „Bagian 1: Sang

Setia‟ dan juga „Bagian 2: Pemburu Gadis‟ yang tidak dimiliki oleh cerita klasik

lainnya khususnya dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. I

Nyoman Darma Putra pun juga menyebut bahwa, kedua bagian ini merupakan

awal dari alur cerita, awal dari sebab akibat, yang kelak akan „bertemu‟ dengan

„Bagian 29‟. Bagian 29 merupakan bagian penutup novel Tantri Perempuan yang

Bercerita, sehingga membuat cerita novel menjadi utuh; „bertautnya awal dan

akhir‟ (2012: 8).

Alur cerita dalam Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno merupakan

alur maju. Alur cerita dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri memiliki kronologi

yang runtut, dari perkenalan, konflik, klimaks, anti klimaks hingga akhir cerita.

Diceritakan awal cerita Eswaryapala menginginkan dipersembahkan gadis cantik

setiap harinya hingga menikah dengan Dyah Tantri. Kemudian Dyah Tantri

mendongeng dan mengajarkan ajaran dharma Hindu dalam kitab nitisastra

tentang cerita Nandakaprakarana kepada Eswaryapala. Hal tersebut dikisahkan

dalam Pupuh I – II, sedangkan Pupuh III – IV menceritakan tentang cerita

Page 53: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

berbingkai fabel Nandakaprakarana. Pada akhir cerita, Soekatno menambahkan

keterangan dari akhir cerita Pupuh Tantri Dĕmung, bahwa raja Eswaryapala

menjadi sadar tidak meminta persembahan gadis setiap malamnya lagi. Raja

Eswaryapala juga menjadi semakin cinta dengan Dyah Tantri dan akhirnya

mereka pun memiliki hidup yang bahagia (2013: 10 – 20).

Berbeda dengan Kidung Tantri Kĕdiri yang memiliki alur maju dan

memiliki kronologi cerita yang runtut, Cok Sawitri memiliki daya kreativitas

tersendiri. Memang novel Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki alur maju,

diawali dengan proses pelatihan pasukan khusus yang menyebut dirinya Sang

Setia, namun sebenarnya mereka penculik gadis perawan untuk dipersembahkan

kepada sang raja Eswaryadala. Kemudian diikuti kegelisahan sang raja

memikirkan negaranya hingga membuat raja Eswaryadala menderita penyakit

susah tidur. Akhirnya Ni Diah Tantri merelakan diri untuk dipersembahkan

kepada Eswaryadala dan menyadarkan raja dari tingkah laku buruknya. Perbedaan

dari kedua teks adalah urutan kronologi kedua cerita, Cok Sawitri membuat

sebuah inovasi dengan mencampurkan kronologi cerita bingkai utama Ni Diah

Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita binatang.

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita merupakan cerita berbingkai

yang tersusun atas beberapa cerita hingga membentuk bingkai-bingkai cerita lain,

hingga akhirnya cerita tersebut menjadi panjang dan luas. Jika Kidung Tantri

Kĕdiri memiliki urutan kronologi dari bingkai utama, kemudian meloncat ke

bingkai cerita fabel yang di dalamnya terdapat bingkai-bingkai lain, hingga pada

akhir cerita dikembalikan kepada bingkai utama. Berbeda dengan novel Tantri

Perempuan yang Bercerita yang memiliki kronologi campuran, bingkai utama

Page 54: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

kisah Ni Diah Tantri dan Eswaryadala bercampur dengan bingkai cerita fabel.

Pada akhirnya, membuat arus bolak-balik dan campuran dari cerita utama ke

cerita fabel begitu seterusnya hingga akhir cerita kembali ke bingkai utama.

Kidung Tantri Kĕdiri memiliki alur cerita menggunakan istilah „Pupuh‟

dengan jumlah empat pupuh dalam teks. Adapun novel Tantri Perempuan yang

Bercerita menggunakan istilah „Bagian‟ yang memiliki 29 jumlah cerita dan Cok

Sawitri memilih mencampurkan bingkai utama kisah Ni Diah Tantri dan

Eswaryadala dengan cerita bingkai fabel. Tujuan dari Cok Sawitri mencampur

kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala dengan bingkai cerita fabel untuk mendukung

bahkan memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai pendongeng sekaligus tokoh

utama yang menjadi sumber dari rekonstruksi yang dilakukan olehnya. Melalui

tokoh-tokoh binatang tersebut Ni Diah Tantri ingin „mempengaruhi‟ pemikiran

Eswaryadala dan menyadarkannya untuk selalu waspada dan bersikap bijak

terhadap saran ataupun hasutan-hasutan punggawa istana yang bisa

mencelakakannya dan negeri Patali Nagantun. Salah satu contoh cerita fabel

berbingkai yang mempengaruhi tokoh Eswaryadala terdapat dalam „Bagian 6:

Burung Atat Meniru Pengasuhnya‟.

Dalam cerita ini dikisahkan tentang sebuah negeri bernama Usinara yang

memiliki tingkat keamanan yang luar biasa rapat dari penjuru Timur, Barat,

Selatan dan Utara. Hal ini dikarenakan di setiap perbatasan negeri itu memiliki

Catur Tanda Menteri yang memimpin di setiap wilayah, sehingga tak ada musuh

dari negeri lain yang berhasil menembus tembok perbatasan istana. Hingga

akhirnya sang raja terdahulu telah tiada, ia pun digantikan oleh anak tunggalnya,

yang sejak muda putra mahkota tersebut sudah mengangkat Catur Punggawa

Page 55: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

Muda. Sang raja muda terkena hasutan Catur Punggawa Muda yang ingin

menggantikan Catur Tanda Menteri. Setelah keempat Catur Tanda Menteri

meninggal dengan cara memenggal kepala mereka sendiri sebagai bukti kesetian

kepada raja terdahulu yang berjanji tidak akan meninggalkan perbatasan, mereka

pun digantikan oleh Catur Punggawa Muda. Pada akhirnya, negeri Usinara pun

hancur karena perilaku Catur Punggawa Muda yang hanya berpesta pora,

sehingga musuh dapat menyerang negeri tersebut. Sang raja muda pun melarikan

diri ke hutan, ia bertemu dengan seekor burung Atat miliki seorang pemburu.

Ketika sang raja muda tiba si burung Atat berselorok akan menangkap dan

membunuhnya. Si raja muda pun lari ketakutan. Hingga ia melihat burung Atat

lagi yang diasuh oleh pendeta, burung tersebut memiliki perilaku berbeda dari

burung Atat pertama yang ia temui. Si burung Atat menasihati dan menyalahkan

si raja muda karena tidak berhati-hati, sehingga terhasut oleh Catur Punggawa

Muda. Si raja muda mendapat nasihat bahwa seseorang dapat memiliki perilaku

yang sama dengan siapa ia bergaul (Sawitri, 2011: 83 – 96) .

Ternyata dari cerita tersebut Eswaryadala merasa tersindir. Hal tersebut

tergambar dalam dialog sebagai berikut.

Eswaryadala tersenyum lebar, “Tantri, apakah para punggawa istana yang

sering menemaniku itu akan mudah mempengaruhiku?” (Sawitri, 2011:

96)

Dari penggalan teks tersebut membuktikan bahwa cerita binatang yang

didongengkan oleh tokoh Ni Diah Tantri mempengaruhi pemikiran Eswaryadala.

Hal tersebut tidak terlepas dari ideologi Cok Sawitri yang tetap mempertahankan

cerita fabel berbingkai dalam novelnya untuk menunjukkan kreativitasnya.

Page 56: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

Secara tersirat dapat dimaknai bahwa Cok Sawitri membawa ideologi

feminisnya melalui tokoh Ni Diah Tantri. Cerita fabel berbingkai yang diceritakan

Ni Diah Tantri mendukung karekternya sebagai tokoh utama wanita Bali yang

berani mengungkapkan pendapatnya, cerdas karena memilih cara mendongeng

untuk menyadarkan Eswaryadala, dan penuh kebijakan dalam menghadapi

permasalahan serta sikap Eswaryadala. Dengan mempertahankan cerita binatang

ini, Cok Sawitri ingin menunjukkan bahwa wanita Bali pun mampu berpendapat

dalam ranah politik. Wanita Bali tidak hanya bisa dijadikan objek pemuas hawa

nafsu seperti para gadis perawan yang diculik. Wanita Bali juga bisa bersikap

cerdas dalam menyikapi masalah serta mampu menunjukkan kepandaiannya

hingga diakui sendiri oleh kaum laki-laki, yakni Eswaryadala.

Cok Sawitri menggunakan otoritasnya dalam menulis novel Tantri

Perempuan yang Bercerita dengan memasukkan ideologinya sebagai penggiat

feminisme ke dalam karyanya. Oleh karenanya, Cok Sawitri menggunakan teknik

penceritaan dengan mencampurkan kronologi cerita binatang dan bingkai utama

kisah Ni Diah Tantri Eswaryadala untuk mendukung ideologinya. Hal tersebut

merupakan bentuk kreativitas Cok Sawitri, bahwa menggunakan sosok atau tokoh

binatang bisa memperkuat karakter Ni Diah Tantri sebagai tokoh utamanya.

Karakter Ni Diah Tantri bisa dimaknai lebih maksimal dan dapat diinterpretasikan

lebih jauh melalui percampuran alur cerita dengan kisah binatang. Cok Sawitri

memberikan pandangan lebih detail mengenai karakter Ni Diah Tantri dan

Eswaryadala yang didukung oleh cerita binatang untuk menunjukkan

kreativitasnya yang dipengaruhi nafas feminisme. Berbeda dengan Kidung Tantri

Page 57: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

Kĕdiri terjemahan Soekatno yang terkesan lebih menonjolkan cerita binatangnya

sebagai muatan lokal untuk memberikan pendidikan moral kepada pembaca.

b) Latar cerita

Latar cerita dari kedua teks sama-sama berlatar belakang sebuah

kehidupan di kerajaan (istana centris). Kidung Tantri Kĕdiri memiliki latar cerita

di dalam istana Pataliputra, dalam cerita dipaparkan mengenai singgasana, tempat

tidur sang raja dan selebihnya latar cerita binatang. Berbeda dengan hal tersebut,

Cok Sawitri lebih detail dan kompleks dalam menceritakan latar tempat dalam

novelnya Tantri Perempuan yang Bercerita. Contohnya dalam penggambaran Ni

Diah Tantri saat berkeliling untuk melihat isi istana permaisuri, istana yang saat

itu ia tempati sebagai calon permaisuri Eswaryadala. Cok Sawitri menggambarkan

lebih detail latar istana dalam permaisuri. Selain itu, Cok Sawitri menambahkan

sebuah latar tentang adanya sebuah jalan rahasia yang dilewati oleh seorang

kerabat istana, yakni Putri Matarum yang mencoba merayu Eswaryadala. Putri

Matarum merupakan kerabat istana yang diusung para punggawa untuk

dijodohkan dengan Eswaryadala. Hal tersebut terlihat dari penggalan cerita

sebagai berikut.

Ni Diah Tantri terkagum-kagum dengan penataan bangunan istana

permaisuri. Betapa cermat yang merancang bangunan ini, siapa saja yang

menghadap permaisuri, tidak akan melihat kegiatan di peraduan,

sebaliknya dari dalam pelayan akan melihat apa saja kegiatan di luar. Di

balik dinding ada jalan kecil yang menyelang dinding peraduan dengan

kamar-kamar yang memiliki pintu-pintu berukir. Pantaslah, pelayan

denga tenang hilir mudik di dalam ruangan sebab tidak akan mengganggu

penghadapan di amben (beranda) luar. Setelah puas memeriksa seluruh

sudut istana permaisuri, Ni Diah Tantri mengunjungi dapur istana... .

(Sawitri, 2011: 125)

Page 58: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Ni Diah Tantri berkeliling, melihat-lihat berbagai bahan masakan yang

telah diracik, lalu melangkah ke pintu belakang. Diambang pintu, ia

melepaskan pandangan. Ia tersenyum melihat barisan kandang berjejer;

dari kandang ayam, kandang bebek, mentok, kemudian di sebelah yang

lain ada kandang babi juga beberapa ekor kijang, kambing... . (Sawitri,

2011: 126)

... kali ini ia memilih jalan belakang, jalan yang tidak akan terlihat dari

halaman depan, jalan sembunyi, yang menghubungkan istana permaisuri

dan istana utama. Saat ia menaiki undakan untuk masuk ke dalam

istana permaisuri, sekelebat ia melihat seorang perempuan yang tengah

berjalan memutar, ke jalan kecil yang lain. (Sawitri, 2011: 126)

... Taman palipuran, taman yang luas, taman raja yang kadang

dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu negara (Sawitri, 2011:

280)

... sementara Ni Buangit mengikuti langkah Ni Diah Tantri, yang dengan

tenang menuju kolam ikan yang dinaungi dua pohon mangga. (Sawitri,

2011: 280)

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, Cok Sawitri menggambarkan

kondisi istana permaisuri secara detail seakan Cok Sawitri mengetahui dengan

baik kondisi istana Patali Nagantun. Uraian tersebut juga memperlihatkan kondisi

jalan rahasia yang seharusnya hanya orang tertentu yang dapat melewatinya

karena setiap sudut istana dijaga oleh Sang Setia. Namun, Putri Matarum yang

merupakan salah seorang kerabat istana dengan bebas melewatinya karena semua

prajurit mengenalnya. Dari penggambaran tersebut dapat kita interpretasikan

bahwa kerabat istana pun berniat memikat hati sang raja, agar tujuan pribadi

sebuah kelompok tercapai.

Selain penggambaran di atas, secara detail Cok Sawitri juga

menggambarkan lingkungan taman dan ingin mencari tahu apa yang tengah

terjadi di istana keputrian. Istana keputrian merupakan tempat yang menampung

para selir tidak resmi sang raja. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung

ideologinya dengan mempertanyakan keberadaan selir-selir tidak resmi sang raja

Page 59: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

atau wanita-wanita Bali yang menjadi korban penculikan untuk dipersembahkan

kepada raja Eswaryadala. Mempertanyakan nasib atau keberadaan wanita yang

tertindas merupakan salah satu ciri ideologi feminis. Hal tersebut tergambar dalam

adegan.

Ni Diah Tantri menelan ludahnya, dadanya bergetar. Ada apakah dengan

istana keputian?... . (Sawitri, 2011: 279).

Ah, kemanakah aku harus mencari tahu... . (Sawitri, 2011: 279).

Usai melakukan surya sevana Ni Diah Tantri meminta di antar berjalan-

jalan ke Taman Palipuran. Dua pelayan juga Ni Buangit mengantarkannya.

Eswaryadala masih berada di istana utama, seperti yang dikatakannya, ia

tengah mengurus istana keputrian”. (Sawitri, 2011: 280)

c) Penokohan

Menganalisis sebuah karya sastra tentu tidak bisa melepaskan peran serta

karakter tokoh di dalamnya. Karena sosok tokoh beserta watak dan karakternya

mencerminkan pemikiran pengarang dalam membangun sebuah cerita.

Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam mengubah karakter tokoh

utamanya, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryadala dapat mencerminkan gagasan

dan pemikirannya dalam menceritakan kembali cerita klasik Tantri sesuai dengan

perspektifnya. Meskipun kedua teks memiliki tokoh utama yang sama, yakni

Tantri dan Eswaryadala, namun karakter yang diperankan tokoh utama ini terlihat

berbeda. Perbedaan tersebut merupakan bentuk rekonstruki Cok Sawitri dalam

merekonstruksi karakter seorang tokoh yang disesuaikan dengan ideologi dan

situasi sosial budaya di masyarakat saat ini, sehingga menimbulkan kreativitas

serta inovasi dari Cok Sawitri.

Page 60: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

I Nyoman Darma Putra mengatakan bahwa,

Cok Sawitri adalah salah satu sastrawan Bali terkemuka yang prolific dan

multi-talenta. Selain menulis novel, dia juga menulis sejumlah puisi,

cerpen, dan menyutradarai beberapa drama tari modern atau tradisional

Bali. Paham feminis yang menolak penindasan terhadap wanita, baik

secara diskursif ideologis (wacana ideologi) maupun sosial-praktis,

merupakan salah satu ciri utama sebagian karya-karya Cok Sawitri.

Berbeda dengan sastrawan wangi atau sastrawan perempuan Indonesia

kebanyakan yang mengangkat tema-tema seksualitas dalam melawan

ketidakadilan gender seperti, Ayu Utami, Oka Rusmini yang juga

sastrawan dari Bali, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan lain sebagainya.

Cok Sawitri memilih tokoh-tokoh sastra atau legenda untuk menawarkan

pandangan alternatif dalam menegakkan dan menjaga keadilan dan

kesetaraan gender. Bukan masalah seks yang digunakan Cok Sawitri tetapi

penampilan sosok wanita yang cerdas, berani, dan memiliki modal sosial

dan budaya yang kuat (2012: 4).

Hal tersebut jelas tergambar ke dalam sosok atau karakter Ni Diah Tantri dalam

novel Tantri Perempuan yang Bercerita.

Rekonstruksi tokoh utama yang dilakukan olah Cok Sawitri adalah sebagai

berikut.

1. Ni Diah Tantri (Dyah Tantri)

a. Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno

Di dalam naskah Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno, tokoh Dyah

Tantri digambarkan sebagai perempuan yang cantik, menguasai ilmu agama,

pintar, sopan, berbakti kepada kedua orang tua dan memiliki budi pekerti yang

luhur. Hal tersebut tergambar dari ilustrasi berikut.

Lalu dipanggillah anaknya yang sangat sopan, cantik, pertama-tama

memberikan tempat kecantikan utama, dewi kecantikan seluruh bumi.

Dewi Saci*, Dewi Saraswati, Dewi Uma tidak sama paras kecantikannya,

kalah dengan keelokan Dewa Lautan Madu. Ia tiada lain dipuji-puji

parasnya, sifatnya, dan juga kebijaksanaannya, memang sungguh tinggi

kepandaiannya. Tidak ada kekurangannya dalam ilmu agama, sastra,

dharma dan kitab suci. Inilah hasil usaha tingkah laku yang sopan,

Page 61: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

mengusahakan kecantikan dan keelokan, senantiasa membuat nyaman hati

orang lain. Maka oleh karena ini seluruh dunia menyebutnya Tantri*.

(Pupuh I baris 22 a – 23 a, 2009: 87)

Penggambaran karakter Dyah Tantri yang masih memiliki ibu kemudian

dinikahi Eswaryapala mempengaruhi watak dan pemikirannya. Melalui fakta

cerita tersebut dapat dilihat bahwa karakter Dyah Tantri digambarkan sebagai

sosok perempuan Bali yang masih tradisional, yakni hanya menguasai ranah

domestik. Wanita Bali cenderung sebagai kaum domestik, mereka hanya

diperbolehkan mengurus urusan rumah tangga saja tanpa diperbolehkan dan

memiliki hak untuk bicara diranah politik. Memang karakter Dyah Tantri

digambarkan sebagai sosok yang cerdas menguasai ilmu agama, namun secara

keseluruhan Dyah Tantri digambarkan sebagai wanita Hindu yang tradisional.

Dyah Tantri digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengurus urusan rumah

tangga, menuruti permintaan ayah dan ibunya yang juga wanita Hindu tradisional,

mengabdikan diri kepada suami, dan tidak ikut campur dengan perpolitikan negeri

Pataliputra. Meskipun ia berniat ingin menghentikan perilaku buruk Eswaryapala

untuk menyelamatkan negerinya, namun ia tidak memiliki kapasitas untuk

berbicara mengenai perpolitikan.

Digamabarkan sebagai seorang puteri yang masih memiliki sosok ibu,

Dyah Tantri memiliki karakter yang sama dengan sang ibu yang merupakan

wanita Hindu tradisional. Saat ibunya menasihatinya tentang kewajiban seorang

wanita untuk mengabdi secara keseluruhan kepada suami, Dyah Tantri pun hanya

menurut dan menyetujuinya. Begitu pula saat sang ayah menasihatinya untuk

selalu menuruti keinginan Eswaryapala, Dyah Tantri pun tak membantah dan

menurut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemikirannya masih dipengaruhi

Page 62: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

ajaran tradisional yang diajarkan kepadanya, yakni untuk selalu taat dan tunduk

kepada laki-laki. Hal itu seperti tergambar dalam dialog Dyah Tantri dengan

ibundanya sebagai berikut.

“... Itulah istri, wanita namanya. Bisa berumah tangga, mampu

berbicara menyenangkan hati sang suami serta melindungi hidup

suami. Itulah <namanya> kesetiaan unggul yang dianggap sebagai istri

utama. Bagaimana ia bisa dikasihi dan dicintai dengan khusus. <Dan pula

bagaimana ia bisa> membalas kasihnya serta menyayanginya, membalas

cintanya. Memang seyogyanyalah berbakti. Itu tiada lain dharma

seorang istri. Adalah seorang istri yang selalu cemburu, tidak berguna,

berwujud suram, menjemukan. Perbuatannya berkelahi bercekcok.

Seyogyanya ia ditinggalkan oleh seseorang yang berpengetahuan akan

wanita. Begitulah ia tidak mampu membalas cinta suaminya. Inilah

seorang wanita candala*, yang diajari kitab suci. Itulah yang membuatku

takut jika dilihat oleh bapakmu. Sebab sifat seorang suami itu, ia bisa pergi

dan memilih tempat di mana ia dicintai. Tujuan seorang istri ialah

mengambil risiko dan mengabdi <sang suami>, berbeda dengan

seorang anak yang baik. Sebab tak ada cinta yang sama dengan cinta

terhadap seorang anak dan tak ada musuh seperti penyakit* dalam tubuh.

Tak ada yang sesakti Dewa. Maksudnya kaulah anakku yang datang ke

ayahmu, menanyakan kesedihannya, mudah-mudahan* <bisa> menghibur

amarahnya. Laksanakanlah dengan perasaan, janganlah secara enggan.

sebab benar-benar sedihlah bapakmu. <Jika tidak>, maka ini akan berakhir

dengan sakit. Anggaplah ini sebagai pembalasan hutang budimu. Jika api,

sebagai musuh datang, masuk ke dalam atap meskipun sedikit. Sebaiknya

tidak bisa dibiarkan. Sakit yang baru saja terasa seperti ayahmu, jangan

dibiarkan. Bisa benar-benar menjadi penyakit*. Datang dan tanyalah

kepada ayahmu dan apalah obatnya. Carilah tahu penyakitnya.” Begitulah

kata sang ibu Dyah Ari Rupini. Jawab Tantri benar-benar sopan:

“Sungguh, tidak usah khawatir ibunda akan keadaan putri ibu, sebab saya

bisa melaksanakan segala perintah orang tua.” Kemudian ia pergi, setelah

ia bersujud kepada ibunya lagi.” (Pupuh I baris 25 a – 29 b, 2009: 90 – 91)

Nasihat ayahnya, Bandeswarya agar selalu menuruti perintah dan

keinginan Eswaryadala pun Dyah Tantri turuti. Hal itu memperlihatkan, bahwa

Dyah Tantri masih tunduk pada kekuasaan laki-laki. Meskipun Dyah Tantri

menguasai ilmu agama dan memiliki sifat yang cerdas, namun kecerdasannya

tersebut murni digunakan untuk berbakti kepada orang tua, negara dan suaminya.

Page 63: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

Sikap penurut Dyah Tantri terhadap suami juga terlihat dalam dialognya dengan

Eswaryadala (setelah mereka menikah) sebagai berikut.

“Begitu pula penampilanmu bagaikan langit terang yang tanpa diminta

membuat hati berbahagia secara teratur. Engkau senantiasa membuat hati

mereka yang membutuhkan pertolongan menjadi terang. Laksanakan

tugasmu dengan baik dan setialah terhadap suamimu dengan sangat,

sayang.” (Pupuh II baris 47 b, 2009: 158)

“Maka Dyah Tantri tahu akan keinginan sang raja dan berkata dengan

lembut: “Aduh, mengapa <Sri Paduka> berkata demikian mengenai

keadaan patik Tuanku.” (Pupuh II baris 48 b, 2009: 158)

“Alasan patik duli Tuanku menghadap Sri Baginda adalah untuk

menjadi kebahagiaan Sri Paduka.” (Pupuh II baris 49 a, 2009: 159)

Saat merelakan diri sebagai persembahan Eswaryapala pun, Dyah Tantri

memiliki tujuan untuk “menghibur” Eswaryapala tanpa berniat untuk membuat

Eswaryapala mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Hal tersebut tergambar

dari dialognya bersama sang ayah ketika ia mengutarakan niat agar

dipersembahkan kepada raja, sebagai berikut.

“Tampaknya saya bisa menekan hati Sri Baginda yang ingin dinikahkan.

Beliau akan saya hibur dengan cerita Tantra* yang diambil dari kitab

Nitisastra.” Begitulah kata Dyah Tantri. Menjawablah sang orang tua:

“Aduh benar-benar gembira aku anakku, budimu seperti itu. Berusaha

menghentikan hasrat Sri Baginda. Pahala hidup saya mempunyai seorang

putri pasti karena <taat akan> sastra dan agamalah.” (Pupuh I baris 37 b –

38 a, 2009: 95)

Dari penggalan dialog tersebut menegaskan, bahwa misi Dyah Tantri untuk

mempersembahkan dirinya kepada sang raja hanya untuk menghibur dan

menghentikan perilakunya yang gemar menikahi wanita-wanita cantik. Secara

tidak langsung hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa karakter Dyah Tantri

dari awal ingin menjadi istri Eswaryapala, mengabdi kepadanya, menghiburnya

dan menghentikan perilaku buruknya dengan bercerita atau mendongeng. Tidak

digambarkan mengenai kepeduliannya dengan wanita lain atau selir-selir raja lain

Page 64: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

yang menjadi korban persembahan. Berbeda dengan karakter Ni Diah Tantri

dalam Tantri Perempuan yang Bercerita yang selalu menanyakan nasib dan

keberadaan gadis yang diculik oleh Sang Setia. Tantri memang memiliki satu

nama yang sama dalam dua karya, Tantri Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang

Bercerita. Namun tokoh yang sama ini memiliki karakter dan watak yang berbeda

bila dilihat dari perspektif feminitas.

b. Rekonstruksi tokoh Tantri dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

Yang membedakan tokoh Dyah Tantri dalam Kidung Tantri Kĕdiri dengan

Ni Diah Tantri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter yang

dimiliki keduanya dari perspektif feminitas. Kaitannya dengan isu yang masih

terus dan tidak akan pernah habis dibicarakan. Salah satu isu yang selalu ada di

dalam masyarakat Bali dan diangkat ke dalam karya sastra oleh Cok Sawitri,

yakni ketidakadilan gender yang kerap dialami oleh perempuan Bali. I Nyoman

Darma Putra (2007: 84) menyebutkan bahwa, masyarakat Bali adalah masyarakat

feodal yang membatasi kebebasan perempuan. Paternalistik adalah salah satu ciri

masyarakat feodal, dimana laki-laki dianggap menduduki posisi lebih tinggi

dalam hirarki sosial, atau dianggap lebih superior dibandingkan wanita. Hal

tersebut membuat wanita tidak memiliki kesempatan berkarir maupun bersuara

dalam bidang politik dan pemerintahan. Dunia rumah tangga dianggap arena

perempuan Bali.

Oleh karenanya, Cok Sawitri merekonstruksi karakter Ni Diah Tantri

menjadi sosok perempuan Bali yang berani bersuara terutama di ranah politik

melalui cara yang cerdas dengan mendongeng. Dari judul novel Cok Sawitri dan

Page 65: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

dari isi ceritanya dapat diinterpretasikan bahwa “Bercerita” merupakan kekuatan

utama Ni Diah Tantri untuk menyadarkan Eswaryadala. Ni Diah Tantri

digambarkan sebagai seorang putri bangsawan yang dibesarkan dengan tata krama

dan hidup para bangsawan. Selain itu ia digambarkan sebagai perempuan Bali

yang memiliki sifat cerdas, berani mengeluarkan pendapat, cerdik, bijaksana,

bahkan dapat mengalahkan kebijaksanaan dan kecerdasan Prabu Eswaryadala

sebagai sorang raja di negeri Patali Nagantun. Dalam novel Tantri Perempuan

yang Bercerita, Cok Sawitri memperkenalkan tokoh Ni Diah Tantri dan asal

usulnya melalui percakapan bersama sang ayah, Mahapatih Bandewarya sebagai

berikut.

Bandeswarya kini tersenyum, matanya berkerjap menahan keharuan. Ni

Diah Tantri adalah putri satu-satunya, yang lahir ketika ia sudah diangkat

menjadi Mahapatih. Ia kawin diusia paruh baya. Tugasnya sebagai prajurit

istana, telah membuatnya tak memiliki waktu membangun rumah tangga.

Raja Dewatalah, ayahanda Eswaryadala yang memintanya untuk

mengawini salah satu kerabat istana, keponakan raja, yang malangnya

meninggal ketika melahirkan putri pertamanya. Kesedian dan rasa

kehilangan itu membuat Bandeswarya sangat melindungi putrinya, yang

dididiknya dengan sangat hati-hati. Ni Diah Tantri, putri seorang prajurit

istana, penyandang Sang Setia, apalagi kini menjadi Mahapatih. Ia telah

terdidik untuk berhati-hati dalam bertutur kata. (Sawitri, 2011: 11)

Dari penggalan dialog di atas dapat diketahui pula asal usul Ni Diah

Tantri, bahwa dia merupakan anak dari keponakan raja Dewata (ayah

Eswaryadala), sehingga bisa dikatakan Ni Diah Tantri termasuk kerabat istana

pula. Pengenalan tokoh Ni Diah Tantri tersebut juga menjelaskan, bahwa ia sudah

tidak memiliki ibu dan memiliki kedekatan dengan sang ayah, Bandeswarya.

Berbeda dengan tokoh Dyah Tantri di teks Kidung Tantri Kĕdiri, sosok ibu

sebagai panutan masih digambarkan oleh penyadur. Penghilangan sosok atau figur

ibu dari tokoh utama perempuan dalam novel Cok Sawitri ini tentu mempengaruhi

Page 66: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

keseluruhan jalan cerita. Hal inilah yang membuat sosok Ni Diah Tantri terkesan

memiliki jiwa maskulin karena sudah terbiasa mandiri. Ia juga memiliki sifat

berani dan cerdas, terbukti dengan pengetahuannya tentang keadaan istana beserta

peraturannya. Hal tersebut tergambar dalam dialognya bersama sang ayah ketika

Bandeswarya terlihat bingung memikirkan nasib negeri Patali Nagantun dan

perilaku Eswaryadala.

“Bapa.... bukankah Sang Setia selalu terikat persaudaraan dengan

yang dipercaya jaga tidur di bawah peraduan sang raja?”

Bandeswarya kali ini menarik dagu putrinya, menatap dalam-dalam, “Kau,

dari mana tahu semua hal, anakku? Tahukah engkau, pengetahuanmu itu

bisa membahayakanmu?” (Sawitri, 2011: 16)

Pengetahuannya tersebut tidak terlepas dari peran sang ayah Bandeswarya.

Hal ini dikarenakan Bandeswarya selalu mengajak Ni Diah Tantri untuk

berdiskusi. Karakter Bandeswarya dalam Tantri Perempuan yang Bercerita

sedikit banyak memperkuat sosok Ni Diah Tantri sebagai karakter perempuan

yang berani, demokratis dan cerdas. Dengan tidak memiliki seorang istri dan

pendamping hidup, Bandeswarya di novel Tantri Perempuan yang Bercerita

digambarkan sebagai sosok ayah yang mencintai anaknya dan membiarkan

anaknya untuk menyampaikan pendapat dan pemikirannya sendiri. Sebuah

karakter yang diciptakan oleh Cok Sawitri untuk mendukung ideologinya.

Bandeswarya tidak digambarkan sebagai sosok ayah yang umumnya terdapat di

masyarakat Bali, yang lebih memaksakan kehendak kepada anak perempuannya

serta tidak memberi kesempatan sang anak untuk berpendapat. Bandeswarya

justru bersikap demokratis dengan membiarkan putrinya berpendapat terutama

dalam ranah politik serta mempercayai putrinya dengan mengajaknya bertukar

pikiran mengenai keadaan istana pada saat itu.

Page 67: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

Perlakuan yang diberikan Bandeswarya kepada Ni Diah Tantri membuat

sosok Tantri menjadi berani berpendapat dan memiliki pengetahuan tentang dunia

politik di istana. Kecerdasan Tantri tersebut telah disadari oleh Prabu

Eswaryadala, sehingga dalam mengambil keputusan politik di negaranya, Prabu

Eswaryadala pun selalu menanyakan pendapat Ni Diah Tantri. Hal ini

membuktikan bahwa sosok Ni Diah Tantri digambarkan sebagai seorang

perempuan yang tidak hanya mengurusi urusan domestik saja. Melainkan ia juga

bisa mengurusi urusan publik, yakni mengenai kepentingan negara. Peristiwa ini

tergambar dalam dialog.

“Tantri apa pendapatmu jika ada kejadian seperti?”

Ni Diah Tantri tersenyum, “Baginda di negara sebesar Patali Nagantun

tidaklah mungkin tidak terjadi kejahatan. Kejahatan menculik gadis-

gadis memanglah kejahatan luar biasa. Lalu jika orang yang semula

ditahan ada yang meloloskannya, itu mengundang tanda tanya, namun

benarkah ada yang membantu meloloskan diri? Bukankah rumah tahanan

di benteng pasukan adalah rumah tahanan yang dijaga ketat. Ada dua

kemungkinan, pemuda itu memang pandai dan tangkas, cerdik dan

memiliki ketrampilan yang luar biasa. Kedua, tentulah menyedihkan

bila rumah tahanan di benteng yang dijaga pasukan ada yang berani

menyusup untuk membantu meloloskan pemuda itu, di situ

pertanyaannya, siapa pemuda itu hingga demikian pentingnya

diloloskan dari rumah tahanan?”

Eswaryadala tertawa kecil, matanya berbinar, “Kau dengar Kumbaputra.

Kedua pertanyaan itu harus dijawab. ... . (Sawitri, 2011: 218 – 219).

Korpus di atas menunjukkan bahwa Ni Diah Tantri memiliki kecerdasan

dan ia pun dipercaya Eswaryadala sebagai penasihat atas laporan yang diberikan

oleh Patih Kumbaputra. Dari data di atas juga dapat diinterpretasikan bahwa

pendapat Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi keputusan Eswaryadala. Hal

tersebut membuktikan bahwa karakter Ni Diah Tantri dibuat oleh Cok Sawitri

Page 68: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

sebagai perempuan Bali yang tidak hanya mengurusi ranah domestik. Namun, ia

juga bisa mengurusi ranah politik.

Dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, tokoh Tantri digambarkan sebagai

perempuan yang sopan, santun, baik. Namun tidak digambarkan bahwa ia

mempertanyakan nasib para gadis yang menjadi korban dari ikatan persembahan

kepada raja Eswaryadala. Nasib gadis-gadis tersebut seakan dianggap tidak

penting di teks Tantri Kĕdiri. Berbeda dengan itu, Cok Sawitri merekonstruksi

tokoh Tantri menjadi sosok perempuan yang selalu mempertanyakan nasib dan

keberadaan gadis-gadis sebagai simbol korban penindasan tersebut. Keberanian

untuk menyuarakan nasib kaum perempuan yang tertindas merupakan sebuah

bentuk pemberontakan konvensi Cok Sawitri. Baik itu pemberontakan konvensi

sastra antar teks maupun pemberontakan dengan konvensi sosial-budaya

masyarakat Bali. Bentuk dari kepedulian tokoh Ni Diah Tantri terhadap gadis-

gadis yang tertindas tersebut tergambar dalam dialog berikut.

... Ni Diah Tantri menghela nafas panjang..... sungguh sulit untuk

mengetahui banyak hal walau sudah ada di dalam istana, pikirannya

sedikit gundah. Dimana gadis-gadis itu? Di mana para selir tak resmi

itu disembunyikan oleh Eswaryadala? Di istana keputrian? ... . (Sawitri,

2011: 127).

Rekonstruki Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri sebagai sosok

perempuan yang menyuarakan ketertindasan terhadap kaumnya sendiri sudah

terlihat pada awal penceritaan. Pada saat, pembicaraan mendalam antara

Bandeswarya dan Ni Diah Tantri yang membicarakan kebiasaan baru

Eswaryadala yang sering berpesta dan meminta persembahan gadis perawan

setiap harinya. Dari beberapa dialog terlihat bahwa Ni Diah Tantri menanyakan

bagaimana nasib gadis-gadis itu dan nasib negara jika memiliki seorang raja

Page 69: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

seperti itu. Tentulah Sang Pencipta akan memberikan hukuman kepada raja yang

memperlakukan perempuan dengan tidak baik. Dari inilah sudah dapat dilihat

awal rekonstruksi Cok Sawitri, secara tersirat melalui tokoh utamanya tersebut ia

ingin menyelamatkan para gadis yang menjadi korban penculikian. Hal tersebut

tergambar dalam dialog berikut.

“Petaka apa yang akan ditimpakan kepada negeri yang tidak

menghormati perempuan?” Desis Bandeswarya begitu getir... .(Sawitri,

2011: 14).

“Hamba bertekad, Bapa mesti menghaturkan hamba kepada Baginda,

hamba mesti menghentikan perilaku tidak patut seorang raja....”

Sawitri, 2011: 21).

Hanya yang berani berpihak kepada kebenaran, Bapa, yang tidak takut

melakukan pengorbanan, ini kesetiaan hamba yang sejati,

menyelamatkan negara dari kutuk Jagatpati. Bapa, izinkan hamba

melakukan tugas setia hamba, agar perburuan gadis-gadis itu dihentikan.”

(Sawitri, 2011: 21 – 22)

Jika dibandingkan dengan karakter Dyah Tantri dalam teks Kidung Tantri

Kĕdiri yang hanya bertujuan menghibur Eswaryapala agar berhenti menikahi

gadis cantik setiap harinya tanpa memperdulikan dan mempertanyakan nasib

perempuan lain yang dijadikan selir Eswaryapala. Ni Diah Tantri dalam novel

Tantri Perempuan yang Bercerita memiliki keberanian dan cita-citanya sendiri

untuk membebaskan korban penculikan dan menyadarkan raja dari kesalahannya.

Dari point tersebut dapat dilihat secara jelas perbedaan karakter Tantri dari kedua

teks, selain itu bisa dilihat juga kreativitas dan bentuk reonstruksi yang dilakukan

Cok Sawitri melalui tokoh Ni Diah Tantri.

Dalam ideologi feminis perempuan adalah korban, perempuan jugalah

yang membebaskan penindasan tersebut. Perempuan bagi kaum feminis adalah

simbol penindasan dan simbol pembebasan. Gadis-gadis perawan yang diculik

Page 70: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

oleh prajurit muda Sang Setia adalah simbol penindasan terhadap kaum

perempuan Bali. Ni Diah Tantri adalah perempuan cerdas dan berani, simbol

pembebasan terhadap perempuan Bali. Tidak hanya sebagai simbol pembebas

para gadis, namun Ni Diah Tantri juga sebagai pembebas kecemasan dan

kegundahan hati sang raja Eswaryadala. Kemenangan ideologi feminis tampak

tergambar dalam akhir cerita. Pada akhirnya, Eswaryadala mengakui kemenangan

Ni Diah Tantri. Eswaryadala mengakui keunggulan Ni Diah Tantri dan berkat

kecerdasan serta kepintaran Ni Diah Tantri, Eswaryadala menjadi sadar atas

kesalahannya.

“Ni Diah Tantri menghela napas, Eswaryadala tampak memejamkan

matanya. Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan

Patih Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah

menjadi Sambada, Andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri,

pastilah aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah

Negeri Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala disaksikan

dua pelayan dan Ni Diah Tantri yang matanya berkaca-kaca pula.”

(Sawitri, 2011: 356)

Korpus tersebut membuktikan bahwa Eswaryadala mengakui kepandaian

Ni Diah Tantri dalam bercerita, sehingga membuatnya menyadari keadaan di

istana yang sebenarnya. Melalui cerita yang didongengkan oleh Ni Diah Tantri,

Eswaryadala menjadi sadar bahwa banyak pihak yang mencoba mengadu

dombanya dengan Bandeswarya. Pada akhirnya Eswaryadala menyadari

kesalahannya, ia tak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan

termasuk kepada korban penculikan. Eswaryadala juga membebaskan Ni Diah

Tantri dari ikatan persembahan, sehingga Ni Diah Tantri dibebaskan untuk tetap

mau menikahi Eswaryadala atau tidak.

Page 71: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

2. Eswaryadala (Eswaryapala)

a. Sri Prabu Eswaryapala dalam Kidung Tantri Kĕdiri

Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok

raja di negeri Pataliputra yang agung dan selalu ingin dituruti perintahnya.

Eswaryapala mengartikan sebuah kebahagian jika ia bisa menikah setiap hari,

sehingga meminta dipersembahkan gadis cantik setiap harinya. Karakter

Eswaryapala sebagai sosok raja yang tidak ingin dibantah perintahnya serta

dimabuk asmara dan memperlihatkan sikap tidak bisa menahan hawa nafsunya

sangat terlihat di awal cerita Kidung Tantri Kĕdiri. Hal tersebut terlihat dari

penggalan cerita berikut.

... Begitulah kata sang Rakryan Patih Niti Bandeswarya dengan lemah

lembut dan bijaksana. Jawab beliau Sri Eswaryapala: “Sungguh, saya tahu

akan kecemasan anda dan juga intisari kitab-kitab Agama. Tetapi diajarkan

<pulalah> oleh kitab Itihāsa Purana* bahwa apa yang memberikan

sukacita di dunia ialah. Batara Paramesti beserta Batari Umadewi dan

Batara Wisnu serta Batari Sri yang dipuja di tempat tidur pernikahan.

Begitulah pahala daripada sebuah perkawinan, senantiasa membuat

kesejahteraan seru sekalian alam dari awal sampai akhir, yang membuat

kebahagiaan sedunia.” Itulah alasannya <mengapa> saya ingin menikah

terus-menerus. Maka dengarkanlah hai kalian para tanda dan para mantri!

Seluruh perintah saya, wajiblah dilaksanakan. Nikahkan saya dengan

seorang wanita jelita setiap hari <mulai> sekarang ini.” (Pupuh I baris

15 a – 16 b, 2009: 83 – 84)

Eswaryapala digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dalam teks

Kidung Tantri Kĕdiri. Segala perintah yang keluar dari ucapannya harus segera

terlaksana. Begitu pun jika perintahnya tidak dijalankan, maka Eswaryapala akan

murka. Hal tersebut terlihat dari penggalan dialog antara Bandeswarya dan

putrinya Dyah Tantri dalam (Pupuh I baris 35 a, 2009: 93).

“Itulah yang menjadi kekhawatiranku, kemurkaan Sri Baginda. Bagaikan

sungai deras tidak habis-habisnya mengalir, apa yang tersisa dari musuh

Page 72: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

yang memegang pedang tajam, hewan yang tanduknya tajam, semua

orang* tunasusila. <Hal ini semua> memang sebaiknya ditakuti oleh

<seseorang> yang bijaksana. Seperti pula amarah Sri Baginda yang

besar!”

Eswaryapala tidak menolak atau ragu sekalipun saat diberi persembahan anak

Mahapatih Bandeswarya, yakni Dyah Tantri. Hal itu menegaskan karakternya

sebagai raja yang tidak pandang bulu terhadap orang lain, bahkan terhadap

keluarga prajurit setianya sekalipun. Eswaryapala yang tidak mempedulikan siapa

gadis yang akan dipersembahkan kepadanya, bahkan merasa senang karena ia

mendengar Dyah Tantri adalah gadis cantik dan pintar tanpa memandang

Bandeswarya serta perasaan Dyah Tantri membuat karakternya sebagai raja yang

otoriter semakin terlihat.

b. Rekonstruksi tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang

Bercerita

Sama halnya dalam Kidung Tantri Kĕdiri, Eswaryadala merupakan tokoh

yang digambarkan sebagai seorang raja di negeri Patali Nagantun (Pataliputra

dalam Kidung Tantri Kĕdiri), yang memiliki ketampanan fisik dan pengetahuan

agama. Namun, yang membedakan tokoh Eswaryadala dalam Kidung Tantri

Kĕdiri dan Tantri Perempuan yang Bercerita adalah karakter atau sifat yang

digambarkan oleh penulisnya masing-masing. Eswaryapala (Eswaryadala) di

Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai sosok raja yang otoriter dan tidak bisa

menahan hawa nafsunya kepada wanita. Ia juga digambarkan sebagai sosok suami

yang sangat terbuai oleh kecantikan Dyah Tantri, suami yang selalu ingin dilayani

oleh isterinya. Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri digambarkan sebagai

sosok laki-laki yang patriarkal. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang raja yang

Page 73: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

ingin dituruti semua perintahnya oleh seluruh Punggawa Istana dan sebagai suami

yang ingin dilayani dengan baik oleh isterinya. Memperlakukan istrinya sebagai

seorang kekasih yang bisa menghibur hatinya, sehingga ia berhenti meminta

persembahan gadis cantik setiap malamnya.

Penggambaran tokoh Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri

berbeda dengan Eswaryadala yang digambarkan oleh Cok Sawitri dalam

novelnya. Tokoh Eswaryadala dalam novel Tantri Perempuan yang Bercerita

direkonstruksi oleh Cok Sawitri sesuai dengan ideologinya. Eswaryadala oleh Cok

Sawitri digambarkan sebagai sosok raja tampan yang memiliki kelebihan fisik dan

pengetahuan. Namun selalu merasa cemas terhadap negaranya, meski sudah

dinasihati bahwa negeri Patali Nagantun dalam keadaan baik-baik saja ia masih

saja merasa khawatir. Awal penggambaran raja Eswaryadala tersebut

digambarkan oleh Cok Sawitri sebagai berikut.

Sejak lahir, Eswaryadala telah memberi tanda-tanda akan menjadi lelaki

gagah dan tampan. Berani bertaruh di seluruh benua Jambu Dwipa,

andaikan semua raja-raja berkumpul, duduk berjejer, pastilah yang

tertampan raja Patala Nagantun. Tak ada yang tidak gandrung kepada

Eswaryadala, yang juga sadar dirinya tampan. Di samping tampan, ia

tahu pula seni sastra dan sangat menggemari kuda serta permainan

pedang. (Sawitri, 2011: 7)

... “Terus kupikirkan, terus kupikirkan nyanyian itu! Nyanyian yang

kudengar saat naik kuda ke batas ibu kota, terus menerus nyanyian itu

mengganggu hatiku, mengganggu pikiranku! Apa bedanya raja dengan

rakyatnya? Tak ada bedanya, ternyata.” (Sawitri, 2011: 7 – 8)

Korpus di atas menunjukkan penggambaran awal Cok Sawitri mengenai

sosok Eswaryadala sebagai raja tampan, namun memiliki sifat yang mudah cemas.

Hal tersebut mempengaruhi kepribadian dan karakter Eswaryadala yang dibuat

oleh Cok Sawitri. Dengan kata lain, Cok Sawitri memperlihatkan titik mula

Page 74: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

kelemahan seorang raja. Meskipun di lain sisi Eswaryadala digambarkan memiliki

banyak kelebihan, namun Cok Sawitri menggambarkan sosok laki-laki sekaligus

raja ini juga memiliki banyak kelemahan. Salah satunya adalah sifat kecemasan

yang berlebihan yang dimiliki oleh Eswaryadala. Ini merupakan bentuk keadilan

yang dilakukan oleh Cok Sawitri, bahwa dilain sisi tokoh laki-laki ini

digambarkan sempurna sebagai seseorang yang tampan, memiliki pengetahuan

luas, pintar dalam berpedang dan berkuda. Namun dilain sisi sebagai laki-laki,

Eswaryadala digambarkan sebagai seorang raja yang memiliki mental yang

lemah. Hanya dengan hal-hal kecil dan sepele saja bisa membuatnya memiliki

kekhawatiran berlebihan, hingga membuat Eswaryadala menderita penyakit susah

tidur. Hal tersebut tergambar dalam penggalan dialog.

... Sudah berbagai cara diupayakan agar sifat-sifat pengkhawatir dan

pencemas itu mereda. Negeri Patali Nagantun adalah negeri teramat tertib

dan serba teratur. Kehidupan rakyatnya serba berkecukupan. Tak ada yang

patut dicemaskan sesungguhnya. Namun, Eswaryadala selalu dilanda

kekhawatiran, selalu mengalami kegelisahan terutama di waktu

malam hari. Selalu sulit memejamkan mata. Setiap malam di dekat

peraduannya, para penyanyi istana menyanyikan lagu-lagu indah agar

Sang Raja lelap segera, setiap malam tubuh Sang Raja dipijati dan

diharumi berbagai wewanginan, namun tak juga membuat kantuk datang.

Ah, tak elok bila itu disebut penyakit. Sebab Eswaryadala tetap bugar,

tetap raja yang pandai memimpin negara. Raja pemurah dan belas kasih

kepada rakyatnya. Namun, bila sudah memasuki malam hari, saat

waktunya beristirahat, Eswaryadala berubah sikap, menjadi gelisah dan

tidak tenang. Bandeswarya tahu, semua cara telah ditempuh agar raja dapat

tidur nyenyak. (Sawitri, 2011: 10)

Mudahnya Eswaryadala sebagai seorang laki-laki untuk menerima hasutan

adalah kelemahan selanjutnya yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Berbeda dari

karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri yang digambarkan sebagai

sosok laki-laki gagah dan berkuasa tanpa ada yang berani mengusik. Sebaliknya,

Cok Sawitri menggambarkan Eswaryadala sebagai seorang raja, utamanya

Page 75: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

seorang laki-laki yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Rendahnya mentalitas

Eswaryadala yang memiliki sifat kecemasan dan kekhawatiran berlebihan

dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mempengaruhi pemikiran Eswaryadala.

Para Punggawa Istana yang memiliki tujuan politik tertentu memanfaatkan

momentum tersebut untuk menghasut Eswaryadala. Memanfaatkan ajaran

pawiwahan mengenai hukum pernikahan yang mengatakan raja dibolehkan

menikah lebih dari sekali membuat para Punggawa Istana menghasut Eswaryadala

untuk menikahi gadis perawan setiap harinya.

“Anakku, para penjilat mengitari Baginda, semua menyemangati

Baginda untuk terus mendapatkan selir baru. Ketika Bapa menunjukkan

jalan keluar dari masalah-masalah itu, Baginda dengan suka cita

menjawab, bagaimana jika secara resmi seluruh gadis-gadis itu aku lamar

menjadi istriku?” Bandeswarya melenguh menirukan Eswaryadala, “Para

penjilat yang mengitari Baginda terus membisikkan dalih. Salah satunya,

Baginda seringkali menghindari pertemuan dengan Bapa. Urusan kerajaan

pun seringkali diwakilkan kepada Bapa... .” (Sawitri, 2011: 20 – 21)

Korpus di atas menjelaskan bahwa secara tidak langsung para Punggawa

Istanalah yang menghasut raja Eswaryadala untuk menikahi gadis perawan setiap

harinya. Berbeda dengan karakter Eswaryapala dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri

karena Eswaryapala sendiri yang meminta persembahan gadis cantik setiap

harinya karena hawa nafsunya dan keinginannya untuk memperoleh kebahagiaan.

Dalam „Bagian 1: Sang Setia‟, Cok Sawitri menggambarkan seolah Eswaryadala

sendirilah yang menginginkan gadis perawan setiap harinya. Melalui dialog yang

dikatakan oleh Patih Andaru kepada prajutit muda Kumaraditya.

“Baginda menginginkan, setiap hari ada seorang gadis yang masih

perawan. Namun, baginda tidak ingin ada yang tahu, bila itu kehendak

Baginda! Tidak boleh ada keresahan akibat tindakanmu, sebab rakyat

Patali Nagantun tak boleh resah! Apalagi sampai membuat Mahapatih

Bandeswarya terusik oleh perintah ini, jangan sampai.... Ini tanggung

jawabmu!” (Sawitri, 2011: 6).

Page 76: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

Jika dilihat secara lebih dalam memang tidak ada sebuah pernyataan langsung dari

Eswaryadala untuk meminta dipersembahkan perawan setiap harinya. Karena dari

awal cerita novel Tantri Perempuan yang Bercerita sudah disuguhkan dengan

dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya seperti di atas, sehingga pembaca awam

akan menganggap tokoh Eswaryadala memiliki karakter yang tidak berbeda dari

Eswaryapala dalam teks Tantri Kĕdiri. Namun pada akhirnya, melalui tokoh

Bandeswarya didapati sebuah fakta, bahwa raja Eswaryadala mendapat banyak

hasutan dari para Punggawa Istana. Para Punggawa Istana memanfaatkan keadaan

raja yang memiliki rasa kecemasaan yang berlebihan, agar sang raja Eswaryadala

mengambil selir setiap hari sebagai penghibur hati. Hal itu membuat Eswaryadala

menjadi seorang raja yang memiliki kebiasaan bercinta dengan para gadis

perawan setiap malamnya untuk menghibur diri dari rasa cemasnya.

Melalui tokoh Bandeswarya yang menjelaskan keadaan istana dan kondisi

Eswaryadala kepada Ni Diah Tantri secara tidak langsung juga menjelaskan

keadaan sebenarnya dari situasi kerajaan Patali Nagantun kepada pembaca. Ini

merupakan inovasi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Jika, di dalam teks Kidung

Tantri Kĕdiri tokoh Bandeswarya digambarkan terlibat langsung dengan

konspirasi persembahan gadis cantik setiap harinya kepada raja. Berbeda dengan

karakter Bandeswarya dalam novel, tokoh Bandeswarya digambarkan tidak

terlibat bahkan tidak tahu-menahu perbuatan rahasia para punggawa kerajaan. Hal

itu dilihat dari dialog Patih Andaru dengan Kumaraditya di atas yang menyebut

bahwa “Jangan sampai Mahapatih Bandeswarya terusik oleh perintah ini!”.

Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa memang Bandeswarya tidak terlibat

dalam konspirasi rahasia para Punggawa Istana.

Page 77: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

Tokoh Bandeswarya menjadi semacam pembanding jika membahas

mengenai sifat maskulin terhadap tokoh Eswaryadala dalam rekonstruksi yang

dilakukan oleh Cok Sawitri. Bandeswarya oleh Cok Sawitri digambarkan sebagai

laki-laki dewasa Bali yang peduli dengan nasib para perempuan yang tertindas,

yakni mereka yang dijadikan selir tidak resmi oleh Eswaryadala. Adapun,

Eswaryadala digambarkan sebagai sosok laki-laki yang kurang peduli kepada

nasib perempuan. Hal tersebut terlihat melalui dialognya bersama Ni Diah Tantri

di atas, ketika Bandeswarya menawarkan solusi atas nasib para selir tidak resmi

tersebut. Namun, Eswaryadala justru ingin membuat status selir tidak resmi

tersebut menjadi selir-selir resminya. Karakter Bandeswarya dengan jelas

digambarkan sebagai sosok laki-laki yang peduli dan ingin menyelamatkan para

gadis yang menjadi korban penculikan serta selir tidak resmi Eswaryadala.

Rekonstruksi laki-laki lain selain Eswaryadala, yakni Bandeswarya

tersebut patut dibahas. Karena pada dasarnya seorang laki-laki, terlebih seorang

ayah dalam keluarga di masyarakat Bali biasanya memperlakukan putrinya dan

mendidiknya agar selalu menurut kepadanya. Sama halnya pada penggambaran

Bandeswarya dalam teks Kidung Tantri Kĕdiri, yang menggambarkan

Bandeswarya sebagai sosok ayah dari seorang putri yang selalu menasihati dan

meminta agar sang putri menuruti nasihatnya. Namun, Bandeswarya dalam novel

Cok Sawitri berbeda, ia digambarkan sebagai seorang ayah yang demokratis dan

sangat peduli dengan putrinya. Ia bahkan sempat tidak setuju saat putrinya berniat

ingin dipersembahkan kepada sang raja.

“Apa?” Bandeswarya terkejut mendengar ucapan putrinya. Memucat

wajahnya seketika, Bandeswarya menggelengkan kepala... .

Page 78: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

“Anakku, raja tetaplah lelaki. Lelaki yang ini seorang raja yang kamu tahu

seperti apa keadaannya. Hanya ayah yang gila saja akan menyerahkan

anaknya kepada lelaki seperti... .” (Sawitri, 2011: 20)

Data di atas menegaskan bahwa Bandeswarya adalah sosok ayah yang

sangat menjaga putrinya, berbeda dengan sosok Bandeswarya dalam Kidung

Tantri Kĕdiri yang justru merasa bersyukur memiliki anak Dyah Tantri karena

keinginanya untuk dipersembahkan kepada sang raja itu. Bandeswarya dalam

karya Cok Sawitri digambarkan sebagai sosok ayah yang lebih memilih

kesejahteraan dan kebahagiaan anak gadisnya. Dia adalah sosok ayah yang jarang

ditemui dalam lingkup masyarakat Bali. Hal ini juga merupakan bentuk inovasi

Cok Sawitri sebagai pengarang novel ia ingin masyarakat Bali lebih membuka

mata, terutama seorang ayah dalam mendidik putrinya.

Tokoh Bandeswarya diibaratkan sebagai Nandaka, sedangkan

Eswaryadala diibaratkan sebagai Candapinggala dan Punggawa Istana yang

menghasut raja dianggap sebagai Sambada. Penulisan alur dan tokoh oleh Cok

Sawitri tersebut membuat rekonstruki yang dilakukannya terbilang sukses. Karena

para tokoh di dalam cerita binatang memperkuat alur cerita dalam kehidupan

manusia yang digambarkan oleh Cok Sawitri. Terutama Ni Diah Tantri sebagai

pendongeng, cerita binatang yang dicampurkan dalam kronologi kehidupannya

bersama Eswaryadala memperkuat karakternya sebagai seorang wanita yang dapat

mempengaruhi pemikiran seorang raja. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa

Esawaryadala adalah seorang raja yang mudah cemas hingga dapat dipengaruhi

oleh Punggawa Istana. Begitupun Ni Diah Tantri dapat mempengaruhi

Eswaryadala.

Page 79: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

Berbeda dari pengaruh yang ditebarkan oleh para Punggawa Istana, Ni

Diah Tantri menebarkan pengaruh kebaikan kepada Eswaryadala. Melalui cerita

binatangnya, Ni Diah Tantri berhasil menyadarkan raja dari segala hal yang

awalnya tidak dapat ia lihat. Salah satunya adalah sadarnya Eswaryadala terhadap

sosok Sambada sebagai penghasut raja dan pengadu domba. Eswaryadala menjadi

sadar setelah mendengarkan cerita Ni Diah Tantri. Hal ini pun diakui sendiri oleh

Eswaryadala dalam dialognya.

“Tahukah kamu Tantri, kini di istana ini telah ada Sambada... .” (Sawitri,

2011: 296)

... Air mata perlahan menetes di pipinya. Sekelebat bayangan Patih

Kumbaputra lalu Patih Andaru, Punggawa Istana, oh, semua telah menjadi

Sambada, andai aku tak mendengar cerita Ni Diah Tantri, pastilah

aku dan Bandeswarya bertarung menemui kematian, matilah Negeri

Patali Nagantun ini. Terisak cukup lama Eswaryadala... . (Sawitri, 2011:

356).

Kesadaraan akan keadaan sebenarnya yang terjadi di istana ini pun membawa

kesadaran pada diri pribadi Eswaryadala. Eswaryadala pada akhirnya mengakui

segala kesalahan dan menanggung kesalahan para prajuritnya pula. Selain itu,

Eswaryadala tidak segan untuk meminta maaf kepada semua perempuan dan juga

membebaskan Ni Diah Tantri dari ikatan persembahan. Hal itu tercermin dari

dialog.

... Aku janjikan itu dengan kesungguhan hati! Kubebaskan engkau dari

ikatan persembahan! Demikian pula tata krama wiwaha agar mentaati

sastra utama, yang dilarang harusnya dipatuhi, yang dibenarkan harusnya

dijalankan. Kunyatakan dengan sumpah suci, aku tak ragu untuk

menanggung semua kesalahan yang telah dilakukan prajurit istana, apa

pun itu alasannya. Aku tak ragu untuk meminta maaf kepada semua

perempuan. Hai, Tantri, engkaulah yang memberiku cahaya, hingga

terbebas dari kerisauan dan kegundahan. (Sawitri, 2011: 359).

Rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri kepada watak dan karakter

Eswaryadala tersebut membawa sebuah pemikiran bahwa raja pun dapat

Page 80: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

mengakui kecerdasan seorang perempuan. Bahkan Cok Sawitri membuat sosok

Eswaryadala, seorang raja dan seorang laki-laki mengakui kesalahannya dan

meminta maaf. Hal ini merupakan bentuk kemenangan sendiri bagi kaum

perempuan, terutama kaum perempuan Bali. Eswaryadala mengakui keunggulan

Ni Diah Tantri, sehingga membuat pandangannya terhadap perempuan berubah.

Awalnya ia hanya menganggap wanita sebagai objek pemuas hawa nafsu saja,

namun kehadiran Ni Diah Tantri telah mengubah pemikirannya. Ni Diah Tantri

sebagai sosok perempuan Bali cerdas yang direkonstruksi oleh Cok Sawitri,

memberikan sebuah pemikiran bahwa perempuan pun dapat melakukan sesuatu

jika ia diberi sebuah kesempatan. Jika diberi kesempatan untuk membuktikan diri

dan berbicara, pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan

kedudukan yang sama.

Rekonstruksi Cok Sawitri dalam Tantri Perempuan yang Bercerita

terhadap hipogramnya secara lebih detail dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1

Persamaan dan perbedaan struktur cerita

dalam rekonstruksi yang dilakukan Cok Sawitri

NO UNSUR KIDUNG TANTRI

KEDIRI

TANTRI PEREMPUAN

YANG BERCERITA

1. Alur Cerita Alur cerita maju dan

memiliki kronologi yang

runtut dari awal cerita

hingga akhir cerita.

Alur cerita maju dan

memiliki kronologi

campuran antara kronologi

kehidupan manusia dengan

Page 81: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

Kronologi yang

menceritakan kehidupan

manusia dipisah dengan

kronologi cerita binatang

berbingkai.

kronologi cerita binatang

berbingkai.

2. Latar Cerita Latar cerita tidak terlalu

detail.

Latar cerita digambarkan

lebih detail dan modern.

3. Penokohan:

a. Tantri

b. Eswaryadala

Sopan, santun, berbakti

kepada kedua orang tua,

namun masih sebagai

perempuan tradisional

yang mengurusi urusan

domestik. Tidak berani

menanyakan tentang

nasib perempuan yang

menjadi korban

persembahan kepada

raja.

Raja yang otoriter yang

selalu ingin dituruti

perintahnya.

Cerdas, berani, melakukan

semangat perlawanan

dengan kepandaian, berani

berbicara menganai ranah

publik dan politik. Simbol

pembebas kaum perempuan

yang menjadi korban

penculikan untuk

dipersembahkan kepada raja

dan pembebas raja dari sifat

cemasnya.

Raja yang baik, namun

memiliki banyak

kelemahan. Salah satu

kelemahannya adalah sifat

Page 82: ANALISIS -   · PDF fileUntuk menemukukan hubungan interteks di antara kedua objek dalam penelitian ini akan digunakan prinsip vraisemblable tingkat pertama hingga tingkat keempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

c. Bandeswarya

Pemimpin keluarga dan

sosok ayah yang ingin

dituruti permintaannya.

mudah cemas dan mudah

terhasut. Laki-laki yang

berani mengakui

kesalahannya.

Ayah yang baik dan

bersikap demokratis.