analisa putusan mahkamah agung no 715 k/ag/2014...
TRANSCRIPT
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014
TENTANG KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO
DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA BANK
SUMUT SYARIAH
TESIS
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)
Oleh:
Lalu Fahrizal Cahyadi
NIM : 21150433000002
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
v
Abstrak
Akad pembiayaan musyarakah merupakan salah satu produk akad
pembiayaan di Bank Sumut syariah selain akad-akad lainnya. Pembiayaan
tersebut dalam asasnya adalah akad amanah dimana dua orang atau lebih
bekerjasama dalam modal (dana) atau usaha (tenaga) atau salah satunya dengan
ketentuan bahwa kuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan diantara para pihak. Sengketa terjadi antara pihak Bank dan nasabah
yang diwakilkan oleh ahli warisnya karena merasa dirugikan dalam perjanjian
musyarakah tersebut. Ahli waris dalam hal ini mewakilkan nasabah yang
meninggal dunia merasa dirugikan karena pihak nasabah telah membayarkan
premi asuransi jiwa kepada perbankan yang sebagai perpanjangan tangan dari
perusahaan asuransi. Dalam sisi lain, nasabah telah mentandatangani surat
pernyataan yang berisikan pengalihan tanggung jawab resiko apabila terjadi
sesuatu (dalam hal ini terjadi kematian). Seharusnya dalam pencairan dana
pembiayaan musyarakah tersebut, perbankan harus meminta terlebih dahulu
kepada nasabah untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, akan tetapi dalam
hal ini perbankan melakukan sebuah kelalaian dengan mencairkan dana
pembiayaan musyarakah dengan syarat menyusul kemudian. Surat pernyataan
yang ditandatangani oleh nasabah tersebut merupakan suatu klausul tentang
pengalihan tanggung jawab resiko yang bertentangan dengan prinsip perbankan
yaitu keadilan dan maslahat. Selain itu, bertentangan dengan asas itikad baik
dalam sebuah perjanjian.
Dalam perkara ini, terdapat perbedaan pertimbangan dan putusan hakim
khususnya dalam syarat formil gugatan penggugat (ahli waris nasabah) antara
Peradilan tingkat I (pertama) dengan Peradilan tingkat banding dan kasasi. Dalam
putusan kasasi atau Mahkamah Agung No 715K/Ag/2014 Majlis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa gugatan penggugat mengandung cacat
formil dalam hal ini gugatan penggugat mengandung obscuur libel, dimana
penggugat tidak menjelaskan secara rinci tuntutan (petitum) kepada siapa
dibebankan pembiayaan yang sudah dipinjam oleh nasabah sewaktu hidupnya
sehingga gugatan penggugatan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijke
verklaard). Berdasarkan analisis asas dan teori sebuah gugatan, putusan hakim
dalam tingkat kasasi dalam perkara perjanjian musyarakah ini sudah tepat, dimana
gugatan penggugat belum memenuhi dan menjelaskan secara cermat dan rinci di
dalam gugatannya.
Kata kunci : Pengalihan Risiko akad Musyarakah, Analisi Pertimbangan
Hukum Hakim, Ekonomi Syariah
Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, SH, MA, MAC.
Daftar Pustaka : 1956 s.d 2017
vi
KATA PENGANTAR
ن ح حي بسم هللا الر الر
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas
segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis ini. Untaian shalawat beriringkan salam
penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang atas kuasa
Allah SWT telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman
terang-benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat
beliau senantiasa tercurahkan kepada seluruh kaum muslimin sampai hari
akhir nanti.
Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini, namun kesulitan dan cobaan tersebut berakhir pada
suatu jalan kemudahan yang hadir berkat bimbingan, bantuan serta dukungan
yang sangat berguna dari berbagai pihak.
Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa
terima kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada,MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Nurhasanah,M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah dan Chairul Hadi, M.A Sekretaris Program Studi Magister Hukum
Ekonomi Syariah
4. Dr. Muhammad Maksum, SH, MA, MAC. selaku pembimbing tesis
penulis yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik, semoga beliau selalu dalam
lindungan dan kasih sayang Allah SWT.
vii
5. Narasumber dan seluruh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama Bapak Drs.
H. Abdul Halim Ibrahim,. M.H. dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Bapak Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. dan Hakim Mahkamah Agung,
yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan
wawancara terkait data yang penulis perlukan dalam penelitian tesis, juga
telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada
penulis.
6. Seluruh dosen Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama
penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Teristimewa untuk Ayahanda Drs. H. Lalu Saswadi., MM. dan Bunda Hj.
Dra Baiq. Nursasih., BA, serta istri Tercinta Riyan Pinasti Rahajeng, SE.
abdi diriku atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi dan doa yang tiada
henti sehingga penulis bisa menjadi seperti yang sekarang. Juga untuk
kakak juga adikku tersayang, dr. Lalu Muhammad Editia Subihardi dan
Lalu Muhammad Badzlan Rahmadi dan Lalu Muhammad Fadlulu Hadi
Wibawa yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis serta
menjadi motivasi bagi penulis agar memberikan teladan yang baik, seluruh
keluarga besar dari Sambas yang selalu memberikan doa dan dukungan
kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat saya: Hatoli, Muhammad Zarkasyi, Chairul Lutfi, M.
Anwaruddin Nasution, Yodi Tistanto, M. Zakariya dan Anik Mulyana,
suka duka kita akan selalu menjadi sebuah kenangan yang takkan
terlupakan. Semoga persahabatan akan tetap terus terjalin dengan baik
walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita.
9. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas
segala bantuannya dalam penyusunan tesis ini.
Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari bahwa tesis
ini masih banyak kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari sempurna,
karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Sehingga saran dan kritik
viii
yang bersifat membangun penulis harapkan untuk kebaikan tesis ini. Akhirnya
penulis berdoa semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca tentunya.
Jakarta, 06 Desember 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.......................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN..........................................................................................iv
ABSTRAK......................................................................................................................v
KATA PENGANTAR...................................................................................................vi
DAFTAR ISI..................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................................. 6
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................................... 7
E. Metode Penelitian dan Metode Penulisan ................................................. 9
F. Kerangka Teorik........................................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 19
BAB II PROFIL PERUSAHAAN PT. BANK SUMUT SYARIAH
A. Sejarah dan Visi Misi PT. Bank Sumut Syariah.......................................20
B. Struktur Organisasi Bank Sumut Syariah ................................................23
C. Akad Pembiayaan Musyarakah Di Bank Sumut Syariah.........................25
ii
BAB III. KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO DALAM
PERKARA PERJANJIAN MUSYARAKAH DI PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NO 715 K/Ag/2014
A. Posisi Kasus Gugatan Perkara........................................................................45
B. Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam Surat Pernyataan Pada
Perkara Perjanjian Musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No
715/K/Ag/2014..............................................................................................48
C. Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam
Surat Pernyataan Pada Perkara Perjanjian Musyarakah Berdasarkan Hukum
Perjanjian Islam, KUHPerdata......................................................................52
1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam.......................................................53
2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)......64
BAB IV. ANALISA PUTUSAN HAKIM ATAS TIDAK DAPAT
DITERIMANYA GUGATAN PENGGUGAT DALAM PERKARA
PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014
A. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Majlis Hakim..............................74
B. Analisa Putusan Hakim Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan atau
permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan
musyarakh di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014....................77
C. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Terhadap Putusan Yang Dinyatakan
Tidak Dapat Diterima/ NO (Niet Ontvankelijk verklaard)...........................91
iii
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................93
B. Saran-saran...................................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................99
LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................114
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Melihat kian luasnya dan beragamnya peran perbankan syari‟ah dewasa ini,
maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam suatu akad
atau kontrak antara Nasabah dan Perbankan Syari‟ah menjadi sangat penting
untuk dibahas.1 Rumitnya penerapan kontrak (akad) pada transaksi modern
memerlukan terobosan dari otoritas fatwa itu sendiri (DSN-MUI) untuk
menyesuaikan akad-akad tersebut (Takyi>f)2 dengan transaksi modern, salah
satunya dengan mengkombinasi akad-akad yang ada. Model akad yang digunakan
dalam produk keuangan syari‟ah menurut Muhammad Maksum dapat dipetakan
dalam tiga bentuk, yaitu akad tunggal (basi>th), multiple contract („uqu>d
mujtami‟ah), dan plural contract („uqu>d muta‟addidah). Akad berganda dan
akad berbilang yang ada merupakan bentuk pengembangan dari akad tunggal
karena akad tunggal belum mampu untuk dapat mewadahi transaksi modern yang
kompleks saat ini.3 Syarat atau ketentuan mengadakan kontrak atau perjanjian
1 Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak
Syariah, La Riba Journal Ekonomi Islam Vol. II, No 1, Juli 2008 hlm. 92-93. 2 At-Takyi>f al-Fiqhy menurut al-Qahtaniy: التصور الكامل للواقعة ، وتحزيز األصل الذي تنتمي إليه
“Yaitu menggambarkan peristiwa/kejadian sesuatu secara lengkap dan menjelaskan sesuatu yang
asli dari yang telah dikembangkan”.lihat Musfiri>n bin Ali bin Muhammad Al-Qahthaniy, Manhaj
Istinba>th al-Ahka>m an-Nawa>zhil al-Fiqhiyyah al-Mua>shirah, (Jeddah : Da>r al-Andalusia
al-Khadrhaa, Cet kedua, 2010), hlm. 354.
3 Modifikasi akad telah dipraktikkan oleh lembaga keuangan syari‟ah dan disahkan oleh
otoritas keuangan. Model akad tunggal hanya mencakup satu akad dalam transaksi contohnya
adalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerja sama (syirkah), dan salam. Dalam fatwa DSN-MUI
sebanyak enam belas (16) akad. Model akad berganda (mujtami‟ah) sebagian ahli fikih
menyebutnya dengan akad murakkabah adalah berhimpunnya beberapa akad dalam satu transaksi
dengan cara di himpun atau bertukar yang mana seluruh hak dan kewajiban dari akad tersebut
dianggap sebagai akibat hukum satu transaksi contohnya mura>bahah, letter of credit syari‟ah,
kartu syari‟ah, mudha>rabah mushtarakah dan musya>rakah mutana>qishah. Model akad
berbilang (Muta‟addidah) adalah akad yang berbilang dari sisi syarat, akad, pelaku, harga, objek,
dan lainnya. Dua atau lebih akad yang dihimpun dalam satu transaksi namun terpisah antara satu
akad dengan lainnya termasuk dalam kategori akad berbilang contohnya istishna>‟a al-Mawa>zy,
salam mawa>zy, al-ija>rah al-muntahiyah bi-Attamli>k (IMBT), dan sale and lease back.
Perbedaan akad mujtami‟ah dengan muta‟addidah terletak pada keberadaan akad-akad dan akibat
hukumnya. Pada mujtami‟ah akad-akad yang yang terhimpun tidak terpisah sedangkan
muta‟addidah akad-akad terpisah antara satu dan lainnya. akibat hukum dari mujtami‟ah adalah
satu sedangkan muta‟addidah sebanyak akad yang membangunnya. lihat Muhammad Maksum,
Model-Model Kontrak Dalam Produk Keuangan Syariah, Journal Al-A‟DALAH Vol.XXI, No. 1
Juni 2014, hlm. 49.
2
juga tertuang dalam ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari‟ah yangmana salah satu prinsip dasar dalam perbankan syari‟ah
yaitu perbankan syariah harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah.4
Tidak dipungkiri, Semakin luas peran perbankan syari‟ah memungkinkan
semakin besarnya sengketa atau konflik yang akan dapat timbul antara pihak satu
(perbankan) terhadap pihak lainnya (nasabah, stakeholder dan lainnya). Sengketa
yang terjadi tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana
penyelesaian hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah,
sarana penyelesaian hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai
persoalan yang terjadi. Indonesia sebagai salah satu negara hukum, sudah
selayaknya menghormati dan menjungjung tinggi prinsip-prinsip dari suatu negara
hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses hukum yang ada.5
Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaats), kekuasaan
kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan ketentuan kaidah-
kaidah hukum dari sebuah negara. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam
struktur ketatanegaraan di Indoensia memiliki fungsi dan peran strategis dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para
pihak.6 Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional telah
diataur dalam Bab IX Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.7 Perkara ekonomi syariah dewasa ini berdasarkan Undang-Undnag
Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
4 Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah asas, tujuan dan prinsip perbankan syariah. 5 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti
dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, April 2012), hlm. 2. 6 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim Pendekatan Multidisipliner dalam
Memahami Putusan Peradilan Perdata, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hlm. 3. 7 Secara yuridis, ketentuan mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman telah diatur
antara lain dalam penjelasan Pasal 24 butir a, b, c, dan Pasal 25 UUD 1945, serta dalam Pasal 1
butir (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3
1989 berada dibawah kewenangan dalam Lingkungan Peradilan Agama.8 Selain
penyelesaian melalui arbitrase syari‟ah perkara ekonomi syari‟ah dapat juga
diselesaikan melalui lingkungan peradilan agama. Dalam hal penyelesaian
sengketa melalui arbitrase syariah (BASYARNAS) lebih condong menghasilkan
hasil win win solution atau mufakat bersama, sedangkan apabila penyelesaian
sengketa melalui pengadilan agama diakhiri dan berpegang dengan putusan hakim
yang menyatakan para pihak menang ataupun kalah (win/lose).9 Subekti
mengemukakan bahwa pemeriksaan suatu sengketa di muka pengadilan diakhiri
dengan suatu putusan atau vonis. Putusan atau vonis pengadilan ini akan
menentukan atau menetapkan hubungan hukum riil di antara para pihak-pihak
yang berperkara.10
Hakim11
merupakan salah satu dari catur wangsa penegak hukum di Indonesia.
Sebagai salah satu penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang
yudisial (judicial)12
yaitu, menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya.13
Terdapat dua aliran dalam pemikiran
tentang hubungan tugas hakim dengan undang-undang. Kaum dogmatik,
mengatakan bahwa tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkrit yang
diperiksanya dengan ketentuan undang-undang yang ada. Sedangkan kaum
nondogmatik, mengatakan bahwa tugas hakim adalah menghubungkan antara
sumber hukum atau bukan hukum dengan fakta konkrit yang diperiksanya.14
Dalam perkara perdata agama ekonomi syari‟ah ini, terdapat adanya sengketa
dengan menggunakan akad pembiayan musya>rakah diperbankan syari‟ah.15
8 Pasal 49 berbunyi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a) Perkawinan, b) Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f) Zakat, g) Infaq, h) Shadaqah, dan i)
Ekonomi Syariah. 9 Nurul Ichsan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Journal Ahkam
Vol. XV, No. 2, Juli 2015), hlm. 231. 10
R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 18, 2010), hlm. 67. 11
Hakim /hakim/orang yang mengadili perkara dalam pengadilan dan mahkamah,
https://kbbi.web.id/hakim 12
Judicial/appropriate to a lawa court or judge; relating to the administration of justice.
hubungan dengan hukum pengadilan atau hakim juga berkaitan dengan administrasi peradilan
(lembaga hukum atau lembaga yudikatif). https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial 13
Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta :Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 7. 14
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 103. 15
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/direktori/perdata-
agama/ekonomi-syariah
4
Akad pembiayaan musya>rakah dalam teorinya merupakan suatu akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana, amal, expertise/keahlian dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.16
Dalam ketentuan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 08/DSN-
MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musya>rakah tertulis “bahwa Pembiayaan
Musya>rakah yaitu pembiayaan yang berdasarkan akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan”.17
Dalam perjanjian pembiayaan musya>rakah tersebut, nasabah telah
membayarkan sejumlah pembayaran untuk premi asuransi jiwa18
dan lainnya yang
disyaratkan oleh perbankan syariah sebagai syarat tambahan sebelum pencairan
dana pembiayaan musya>rakah tersebut. Muhammad Maksum menyatakan dalam
disertasinya bahwa secara prinsip, syari‟ah membenarkan dan membolehkan
adanya penetapan syarat tambahan selama tidak bertentangan dengan aturan baku
yang ada. Akan tetapi syarat tambahan yang diterapkan oleh perbankan syari‟ah
masih dapat diperselisihkan keabsahannya seperti pelimpahan tanggung jawab
dari satu pihak kepihak lainnya.19
Dalam perkara ekonomi syari‟ah tersebut,
pencairan dana pembiayaan musya>rakah tersebut ternyata dicairkan oleh
perbankan dengan syarat-syarat menyusul kemudian. Selang 3 kali angsuran oleh
nasabah atau 4 bulan setelah pencairan pembiayaan musya>rakah nasabah
meninggal dunia dan usaha nasabah mengalami kemunduran sehingga tidak dapat
melanjutkan kembali angsuran pembiayaan musya>rakah tersebut. Pembiayaan
musya>rakah tersebut seharusnya dicover dengan asuransi yang telah dibayarkan
preminya oleh nasabah pada awal pencairan dana akan tetapi, terkendala syarat
16
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : Raja
Grafindo Cet 3, 2006), hlm. 90. 17
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor : 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Musyarakah. 18
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah. 19
Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah Di Indonesia, Malaysia, Dan Timur
Tengah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Cetakan Pertama Desember 2013,
hlm. 209.
5
administrasi yaitu nasabah belum melakukan syarat medical check up yang
disyaratkan oleh pihak asuransi. Sebenarnya pihak asuransi sudah memberikan
surat pemberitahuan kepada perbankan agar diteruskan kepada pihak nasabah agar
melakukan medical check up tetapi perbankan belum memberikan surat tersebut
kepada nasabah sampai nasabah meninggal dunia. Maka dalam hal ini, pihak
asuransi tidak dapat mengeluarkan polis yang seharusnya dapat dimiliki oleh
nasabah untuk menutupi sisa hutang nasabah. Dalam pembiayaan musyarakah
tersebut juga terdapat surat pernyataan yang dibuat oleh nasabah dengan
disaksikan oleh ahli waris sekaligus istri nasabah. Dalam surat pernyataan tersebut
yang sebagai bagian dari suatu perjanjian Pembiayaan musya>rakah tersebut
Nomor 120/KCSY-02-APP/MSY/2011 yang berbunyi “….Apabila dikemudian
hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri
saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank
dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya
hingga selesai”. Syarat tambahan yang berupa surat pernyataan tersebut, terdapat
di dalamnya yang berisikan membatasi, melimpahkan atau menghapus sama
sekali tanggung jawab atau pengalihan resiko sesuatu yang merugikan dari
perjanjian tersebut kepada pihak lainnya atau nasabah juga bertentangan dengan
tujuan maupun teori prinsip dari akad musya>rakah sendiri.20
Selain itu, dalam perkara ini para hakim disetiap tingkat peradilan berbeda
pendapat atau putusan dalam hal gugatan penggugat. Di Pengadilan tingkat
pertama hakim menerima gugatan penggugat dan mengabulkan gugatan
penggugat sebagian atau memenangkan pihak nasabah dalam amar putusan
Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Selanjutnya pada putusan hakim di tingkat
banding atau kasasi, Hakim memutuskan tidak dapat menerima gugatan
penggugat atau menolak permohonan kasasi penggugat atau memutuskan NO
(Niet Ontvankelijke Verklaard) yang tercantum dalam amar putusan hakim Nomor
124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn dan Putusan Nomor 715 K/Ag/2014. Dalam hal ini,
putusannya membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama sebelumnya.21
20
Lihat dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Tingkat I Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. 21
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 715
K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama dalam tingkat kasasi.
6
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat judul dalam penelitian
ini penulis tentang “Analisa Putusan Mahkamah Agung NO 715K/Ag/2014
Tentang Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam Perjanjian
Pembiayaan Musyarakah Pada Perbankan Sumut Syariah Cabang
Padangsidempuan”.
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mencoba
membataskan permasalahan tersebut dengan memfokuskan ruang lingkup
diantaranya adalah bagaimana akibat hukum Penerapan klausul pengalihan
tanggung jawab resiko dalam perkara perjanjian pembiayaan musya>rakah di
Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014 berdasarkan hukum Islam juga
berdasarkan KUHPerdata serta bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim
atas tidak dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian
pembiayaan musyarakah di Putusan Mahkamah Agung Nomor 715
K/Ag/2014?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi pembahasan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Akibat Hukum Klausul pengalihan tanggung jawab resiko
dalam Surat pernyataan pada perkara perjanjian pembiayaan
musya>rakah di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014
berdasarkan hukum Islam juga berdasarkan KUHPerdata?
2. Bagaimana Pertimbangan hukum Hakim dalam putusannya atas tidak
dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian
pembiayaan musya>rakah di putusan Mahkamah Agung No 715
K/Ag/2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa tujuan-tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan ini, diantaranya adalah:
1. Untuk mengetahui Akibat Hukum Penerapan Klausul pengalihan tanggung
jawab resiko dalam perkara perjanjian pembiayaan musyarakah di Putusan
7
Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014 berdasarkan hukum Islam juga
berdasarkan KUHPerdata.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam putusannya atas
tidak dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian
pembiayaan musyarakah di putusan Mahkamah Agung No 715K/Ag/2014.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah sebagai berikut :
a. Secara Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dalam perumusan
kembali peraturan maupun ketentuan-ketentuan dalam perlindungan
nasabah perbankan khususnya perbankan syari‟ah dengan berlandaskan
prinsip-prinsip syari‟ah. juga diharapkan menjadi bahan informasi hukum
bagi para akademisi dalam bidang hukum dan masyarakat umum yang
berkaitan dengan pengalihan resiko dalam sebuah perjanjian pembiayaan
di perbankan syari‟ah.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi
dalam perbankan syari‟ah, seperti nasabah serta pihak perbankan syari‟ah
agar tidak kembali terjadinya suatu sengketa dan mengambil langkah-
langkah dalam melakukan sebuah gugatan ke pengadilan. Juga diharapkan
menjadi bahan rujukan dalam memutuskan perkara ekonomi syari‟ah,
serta dapat memberikan referensi bagi mahasiswa Fakultas Hukum dan
masyarakat luas.
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu yang kiranya
berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadkan bahan
penilitan. terdapat beberapa penelitian yang mengupas klasul pengalihan resiko di
antaranya:
Karya pertama, Journal Lex Privatium, Vol.II/No.3/Ags-Okt/2014 oleh Bure
Teguh Satria dalam “Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi”.
Sebagai kesimpulan dari teguh satria bahwa pertama, berdasarkan pada prinsip
Konsensualisme (1320 KUH Perdata) dan prinsip Kebebasan berkontrak (1338
KUH Perdata) dimungkinkan bagi Kreditur/pelaku usaha untuk mencantumkan
8
klausula eksonerasi karena bagaimanapun debitur/konsumen masih diberikan
kesempatan untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it). Kedua, Akibat
hukum dari perjanjian yang menggunakan klausula eksonerasi batal demi hukum
yang berarti perjanjian batal secara deklaratif atau batal seluruhnya karena
merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha terhadap
perlindungan konsumen yang berakibat timbulnya suatu kerugian bagi
konsumen.22
Karya kedua, Journal Privat Law Edisi 07 Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta oleh Danty Listiawati yang berjudul
“Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen”. Dalam pernyataannya, keberadaan klausula eksonerasi kerap
disalahgunakan tidak hanya sekedar membebaskan diri dari beban tanggung
jawab akan tetapi juga sampai upaya menghapus tanggung jawab pihak yang kuat.
Selain itu penggunaan klausula eksonerasi bertentangan dengan prinsip atau teori
perikatan seperti prinsip kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik dan lainnya23
Karya ketiga, Journal Dwi Fidhayanti Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang (2015) yang berjudul “Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko
Pada Nasabah dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah”. Dwi dalam jurnalnya
menyatakan bahwa klausula pengalihan resiko dalam perjanjian yang dilakukan
perbankan kepada pihak nasabah dalam perjanjian pembiayaan murabahah
berdasarkan hukum positif dan kompilasi hukum Islam serta Undang-undang
Nomor 08 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen menunjukkan bahwa
klausul pengalihan resiko dalam hukum perjanjian batal demi hukum dan pemikul
tanggung jawab atas resiko tersebut adalah Bank sebagai pembuat perjanjian.24
Karya Keempat, Journal USU (Universitas Sumatera Utara) Law Vol.4.No.1
(Januari 2016) Oleh Nurjannah, Tan Kamello, Hasim Purba, Utary Maharany
Barus, “Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian
22
Bure Teguh Satria, Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi, (Journal Lex
Privatium, Vol. II/No.3/ Agustus-Oktober/2014), hlm. 39-48. 23
Danty Listiawati, Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen, (Journal Privat law Edisi 07 Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta), hlm. 23-35. 24
Dwi Fidhayanti, Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko Pada Nasabah dalam
Perjanjian Pembiayaan Murabahah, (De jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6 02 Desember
2014), hlm. 128-137.
9
Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama
Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”, USU Law Journal, Vol.4.No.1 (Januari 2016)
139-15. Penerapan klausul eksonerasi dalam pandangan Hukum Perjanjian Islam
tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Al Qur‟an surah As Syuro ayat (15)
yang melarang mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Berdasarkan
KUHPerdata, klausul eksonerasi bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 bahwa perjanjian
diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Berdasarkan analisis pertimbangan Hakim PA Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn,
bank telah melakukan kelalaian dalam melengkapi syarat kelengkapan
administrasi asuransi yaitu surat Pemeriksaan Kesehatan sehingga perusahaan
asuransi belum memberikan persetujuan asuransi.25
Karya Kelima, Melina Hartanto, 031314253006 (2015) “Klasula Eksonerasi
Dalam Akad Pembiayaan Murabahah di Bank Syari‟ah”, Thesis Universitas
Airlangga. Hasil Penelitian, mengenai adanya klausula eksonerasi dalam akad
telah melanggar prinsip-prinsip syariah. Pencantuman klausula eksonerasi dalam
akad pembiayaan murabahah jelas melanggar prinsip syari‟ah, yaitu merupakan
perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya dan
melanggar prinsip perjanjian al-Musa>wah (kesetaraan atau keseimbangan) serta
al- Ada>lah (keadilan). Klausula baku yang mengalihkan sebagian atau seluruh
tanggung jawab merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor :
1/POJK.07/2013.26
C. METODE PENELITIAN DAN METODE PENULISAN
1. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode hukum normatif yuridis yaitu
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
25
Nurjannah, Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian
Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn), (USU Law Journal, Vol.4.No.1 Januari 2016), hlm.139-15. 26
Melina Hartanto, Klausula Ekosnerasi dalam Akad Pembiayaan Murabahah di Bank
Syariah, (Thesis Universitas Airlangga 2015).
10
Penelitian ini Juga menggunakan metode pendekatan kasus (Case
Approach) yaitu dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan
isu hukum yang dihadapi dan mengkaji pertimbangan hukum hakim yang
digunakan untuk sampai pada suatu putusan yang digunakan sebagai
argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi seperti penemuan
hukum dan penafsiran hukum oleh hakim dalam menafsirkan bahan-bahan
hukum yang berkenaan dengan perkara sengketa ekonomi syariah seperti
peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim yang terdahulu
yang relevan dalam pengambilan putusan.27
Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan dua jenis data yaitu data
primer dan data sekunder. Untuk bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang
dan putusan-putusan hakim dan landasan-landasan hukum hakim dalam
mengambil keputusan. Sedangkan Sumber data sekunder yang di dapatkan
secara tidak langsung berupa semua publikasi atau keterangan yang
mendukung data primer seperti wawancara para majlis hakim, komentar-
komentar atas putusan pengadilan, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan
dalam buku ilmiah dan litelatur-litelatur, peraturan perundang-undangan yang
terkait. Data Sekunder Utama adalah Putusan Hakim yang ada di Pengadilan
Agama tingkat pertama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Pengadilan Tinggi
Agama 124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 715
K/Ag/2014.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi
kepustakaan (library based) yaitu dengan menelusuri bahan-bahan tertulis
seperti buku-buku dan artikel-artikel yang terkait, kitab undang-undang atau
pustaka lainnya yang terkait dengan judul dan masalah yang diteliti. Juga
menelaah beberapa putusan-putusan para hakim yang berkaitan khususnya
para hakim agama, serta wawancara para hakim.
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
Cetakan keempat, Maret 2008), hlm. 119.
11
3. Metode Pengolahan Data
Setelah menentukan dan mengumpulkan data, peneliti kemudian mengolah
data dengan teknik deskriptis analitis. Deskriptif digunakan agar mampu
memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan
yang terkait dengan penelitian ini. menganalisa dengan mendeskripsikan
penemuan dan penafsiran hukum hakim atas putusan perkara dengan melihat
dan merujuk kepada sumber hukum yang ada.
D. KERANGKA TEORITIK
Teori yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini sebagai berikut :
1) Teori Penemuan Hukum
Dalam hakikatnya peraturan perundang-undangan yang telah ada belum
jelas, belum lengkap, bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan
masyarakat dan berdampak menimbulkan ruang kosong yang harus diisi oleh
hakim dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara
menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.
Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan
peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa konkret, tetapi juga
penciptaan hukumnya sekaligus.28
Penemuan hukum oleh hakim sangat
berkaitan dengan putusan yang akan diambil oleh hakim dalam menentukan
dan memutuskan suatu perkara. Dalam putusan, hakim harus
mempertimbangkan aspek yang bersifat yuridis, sosiologis, dan filosofis
sehingga keadilan yang dicapai dan dipertanggungjawabkan dalam putusan
adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan
masyarakat (sosial justice), dan keadilan moral (moral justice).29
Istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah
ada, jadi hakim tinggal mencari dan kemudian menerapkan dalam peristiwa
konkret. Sumber utama dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim
28
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty
Cetakan Kelima, April 2007), hlm. 37. 29
Lilik Mulyadi, Pergeseran Persepktif dan Praktik dari Mahkamah Agung Mengenai
Putusan Pemidanaan, (Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 246 Bulan Mei 2006, Ikahi,
Jakarta), hlm. 21.
12
adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi30
,
perjanjian internasional dan doktrin. Selain itu, dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara dan menjatuhkan putusan seorang hakim harus
melakukan 3 (tiga) tindakan dipersidangan yaitu tahap mengkonstatir, tahap
mengkualifikasi dan tahap mengkonstitutir.31
Sedangkan dalam metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa
yang bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan hukum
biasnaya bersifat praktikal, karena lebih dipergunakan dalam praktik hukum.
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan
oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi
(penafsiran) dan melalui metode konstruksi.32
Interpretasi hukum terjadi,
apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat
ditetapkan pada kasus konkret yang dihadapi atau metode ini dilakukan dalam
hal peraturannya sudah ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu
makna ganda, norma yang kabur, konflik antar norma hukum, dan
ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan.33
Sedangkan
Konstruksi hukum terjadi, apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang
yang secara langsung tidak dapat diterapkan pada masalah hukum yang
dihadapi ataupun dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat
kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Dalam hal ini, untuk
30
Pengertian yurisprudensi dapat diartikan sebagai tiap-tiap putusan hakim dan dapat
pula yang berarti sebagai kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat
peradilan pertama sampai peradilan kasasi juga dapat sebagai pandangan atau pendapat para ahli
yang dianut oleh hakim yang dituangkan dalam putusannya. Lihat Ahmad Rifai, Penemuan
Hukum oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 2, 2011),
hlm. 50. 31
Pertama Tahap mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu
peristiwa yang diajukan kepadanya untuk memastikan hal tersebut, maka diperlukan pembuktian
dan bersandarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum. kedua tahap mengkualifikasi atau
mengkualifisir dengan menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar-benar terjadi termasuk
hubungan hukum apa atau bagaimana atau mengelompokkan dan menggolongkan peristiwa
hukum (apakah pencurian, penganiayaan, peralihan hak atau perbuatan melawan hukum). ketiga
tahap mengkonstitulir atau menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan memberi
keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Ibid,
hlm. 56. 32
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:
Chandra Pratama, 1993), hlm. 119. 33
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Interpretasi Teks, (Yogyakarta:UII Press, 2005), hlm. 52.
13
mengisi kekosongan undang-undang inilah biasanya hakim menggunakan
penalaran logisnya dan ilmunya atau dimana hakim tidak lagi berpegang pada
bunyi teks itu (Undang-Undang) dengan syarat hakim tidak mengabaikan
hukum sebagai suatu sistem.34
Ahmad Rifai menambahkan metode satu lagi
yaitu Metode Hermeneutika Hukum. Esensi pengertian hermeneutika adalah
ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) teks, sedangkan
dalam persepektif yang filosofis hermeneutika merupakan aliran filsafat yang
mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu kata-kata teks dalam
hal ini teks hukum atau peraturan perundang-undangan, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno atau ayat-ayat ahkam
dalam kitab suci ataupun berupa pendapat dan hasil ijtihad para hali hukum
(doktrin) yang menjadi objek untuk ditafsirkan.
Hasil dari metode penemuan hukum ini diharapkan terciptanya putusan
pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan
hukum. Putusan hakim juga berperan terhadap perkembangan hukum dan ilmu
hukum, oleh karena itu putusan hakim dapat juga digunakan sebagai bahan
kajian dalam ilmu hukum.35
2) Teori Akad/Kontrak (Perjanjian)
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak
(m‟anawy).36
Menurut Ahmad Azhar “Akad adalah suatu perikatan antara ijab
dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya
akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama
mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan
pihak kedua untuk menerimanya.”37
Sahnya suatu akad harus dipenuhi rukun
dan syarat akad. Rukun adalah unsur mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal,
peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk
34
Ibid., hlm. 52. 35
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
(Jakarta :Sinar Grafika 2011), hlm. 59. 36
Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit, jilid 1.
(Beirut: D Jayl), hlm. 327. 37
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 65.
14
sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.38
Sebagian besar ulama
berpendapat rukun dan syarat akad yaitu, Al-„a>qidain (Subjek Perikatan),
Mahallul al-„Aqd (Objek Perikatan), Maudhu>‟ul al-„Aqd (Tujuan Perikatan),
Sigha>t al „Aqd (Ijab dan qabul). Syarat sahnya suatu akad yaitu apabila tidak
menyalahi syariat Islam, adanya keridhaan atau sepakat antara kedua belah
pihak dalam akad dan akad harus jelas. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka akad tersebut batal demi hukum.39
Apabila melihat kembali pada asas-asas dari perjanjian menurut Hukum
Islam, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya kebebasan dalam akad
termasuk melanggar asas kebebasan berakad atau dalam istilah bahasa arab
disebut dengan mabda‟ hurriyyah at-Ta‟a>qud. Pada asas kebebasan berakad,
para pihak yang melakukan akad harus memiliki dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan,
penipuan dan misstatement.40
Pernyataan ini didasarkan pada firman Allah
pada QS. An-Nisa‟: 29 yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu”.
Ayat tersebut secara jelas menjelaskan bahwa dalam hal perdagangan
termasuk didalamnya adalah perjanjian harus didasarkan pada suka sama suka
atau kerelaan diantara para pihak. Sementara, dalam perjanjian baku cenderung
ada unsur keterpaksaan dari pihak debitur untuk menerima setiap klausula
perjanjian baku pembiayaan yang mereka ajukan karena posisi debitur pada
pihak yang lemah sehingga mau tidak mau debitur akan menerima dan
menyetujui setiap syarat yang disebutkan dalam klausul perjanjian. Merujuk
pada pada pasal 31 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2
38
Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 28. 39
Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Tangerang : Agro Media Pustaka, 2006), hlm. 2-3. 40
Dwi Fidhayanti, Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan Yuridis praktik
Pembiayaan di Perbankan Syariah), (De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2,
Desember 2014), hlm. 128-137.
15
Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah41
, paksaan adalah
mendorong seseorang melakukan sesuatu yang tidak diridhainya dan tidak
merupakan pilihan bebasnya.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Apabila
keempat syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian akan batal demi
hukum. Tidak terpenuhinya syarat subjektif (sepakat dan cakap) maka
perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Tidak terpenuhinya syarat objektif
(suatu hal tertentu dan sebab yang halal) perjanjian batal demi hukum (null and
void).42
3) Teori Menyusun Gugatan
Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun
sebuah gugatan pengadilan yaitu :
1. Teori substantiering
Teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa
hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-
kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab
timbulnya peristiwa huum tersebut. bagi penggugat yang menuntut suatu
benda miliknya, didalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa
ia pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah
kepemilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi, hadiah dan
sebagainya.
2. Teori Individualiserings
Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-
peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-
kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-
41
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah suatu pedoman yang diperuntukkan bagi hakim dalam
memutus perkara dalam ekonomi syariah. 42
Pasal 1320 KUHPerdata Bagian 2, Syarat-Syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang
Sah.
16
kejadian tersebut. sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak
milik atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu
dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti
seperlunya.
4) Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum Bagi Konsumen dalam perjanjian yang terdapat
Klausul pengalihan resiko di dalam hukum perdata atau keputusan hakim.
Hukum Islam mengatur tata cara dalam menjalankan kepastian hukum, hal-hal
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sebagaimana firman
Allah Swt dalam Al Qur‟an surah Al Maidah ayat (8) “hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah.” Al Qur‟an Surah Al-Baqarah ayat (42), “dan
janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil…”
Kepastian hukum menurut Muhammad Solly Lubis ada dua yaitu:
“Kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum.
Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum
undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan
yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan
“rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut
tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlainan”.43
Kepastian hukum menurut Tan Kamello meliputi dua hal yakni :”Pertama,
kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu
dengan yang lainnya baik dari Pasal-Pasal undang-undang itu secara
keseluruhan maupun dengan Pasal-Pasal yang berada diluar undang-undang.
Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum
undang-undang.”44
Ronald Dworkin menyatakan “law as it is written in the
books and law as it is decided by judge through judicial process”(Hukum
43
Muhammad Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994),
hlm. 43. 44
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,
(Bandung: Alumni, 2004), hlm. 117.
17
adalah apa yang tertulis didalam undang-undang maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui pengadilan.45
5) Teori Piercing The Corporate Veil
Reformasi hukum atas badan hukum dapat dilihat dari dua tonggak sejarah
badan hukum sendiri yaitu pertama saat lahirnya teori badan hukum yang
menitikberatkan pada personifikasi badan hukum seakan-akan sebagai manusia
dan kedua pada saat lahirnya doktrin hukum korporasi yang dikenal dengan
nama Piercing The Corporate Veil yang dilatarbelakangi untuk mengungkap
tabir hukum para pribadi yang berada dibalik perseroan yakni para Pemegang
Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi. Teori Piercing The Corporate Veil ini,
menyikap hubungan hukum dan tindakan hukum para pihak yang terdapat pada
pribadi-pribadi yang berada dibalik badan hukum, terutama atas tindakan-
tindakan pribadi-pribadi tersebut dalam hukum perseroan, khususnya untuk
mempertanggungjawabkan tindakan yang bersangkutan pada shareholder dan
stakeholder, apabila yang bersangkutan melanggar rasa keadilan masyarakat.
Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil dalam perseroan terbatas
menjadi berlaku apabila memenuhi ketentuan berdasarkan Pasal 3 (2) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Yaitu sebagai
berikut :
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan
pribadi
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.
45
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
(Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan
Hukum Pada Majalah Akreditasi), Fakultas Hukum USU, Medan, 18 Februari 2003, hlm. 1-8.
18
Asas Piercing The Corporate Veil dimana tanggung jawab pengurus
perseroan yang tadinya bersifat terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak
terbatas dimana dalam hal tertentu tidak tertutup kemungkinan dihapusnya
tanggung jawab terbatas direksi, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada
pihak yang beritikad baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan
hukum dengan perseroan terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan
mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas tersebut dna
membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut
dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas.46
Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang
dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta
pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang
berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang
dilakukan direksi adalah direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional
sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.
Asas Piercing The Corporate Veil diterapkan dalam perseroan mengingat
banyaknya itikad buruk para pemegang saham dalam menjalankan perseroan
dimana terjadi penyimpangan dalam menjalankan perseroan yang
menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan sehingga perseroan tidak
sanggup lagi untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Dengan demikian direksi
atau dewan komisaris sebagai pengurus perseroan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh
perseroan.47
46
Penerapan teori Piercing The Corporate Veil merubah tanggungjawab pemegang
saham dalam perseroan yang sifat terbatas menjadi tanggung jawabtidak terbatas, sehingga
beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan kepada pihak lainnya. Lihat Roni Ansari N.S,
Piercing The Corporate Veil dan penerapannya, http://en.wikipedia.com, diakses pada hari
minggu, tanggal 13 juni 2011, pukul 12.00 WIB. 47
Ibid, hlm. 27.
19
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan dalam penelitian ini akan diurut secara sistematik dalam beberapa
bab, yakni bab satu sampai bab lima. Keseluruhan bab yang akan dirancang
sedimikian rupa sehingga menggambarkan secara utuh alur pemikiran dan seluruh
proses penelitian.
BAB I, merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
terdahulu, metode penelitian dan metode penulisan dan sitematika penulisan
BAB II, pembahasan mengenai Profil Perusahaan PT. Bank Sumut Syariah,
Struktur Organisasi Perusahaan dan Akad Pembiayaan Musyarakah di Bank
Sumut Syariah.
BAB III, Posisi gugatan perkara, Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung
Jawab Resiko Dalam perkara perjanjian musyarakah pada Putusan MA No
715K/Ag/2014, Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung Jawab
Resiko Dalam perkara perjanjian musyarakah Surat Pernyataan Berdasarkan
Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata.
BAB IV, Analisis Putusan Hakim Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan
atau permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan
musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014.
BAB V, adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
20
BAB II
PROFIL PERUSAHAAN BANK SUMUT SYARIAH
A. Sejarah dan Visi Misi PT. Bank Sumut Syariah
Bank Sumut Syariah merupakan Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank umum
konvensional yaitu Bank Sumut. Pada Sejarahnya Bank Sumut merupakan Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara yang didirikan pada tanggal 4 Nopember
1961 dengan sebutan BPSU. Sesuai Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah
Tingkat 1 Sumatera Utara maka, pada tahun 1962 bentuk usaha Bank Sumut
dirubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan modal dasar pada
saat itu sebesar Rp. 100 Juta Rupiah dengan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah
Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat II se Sumatera
Utara.1
Pada tahun 1999, bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara
(BPDSU) dirubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT. Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara atau disingkat PT. Bank Sumut yang
berkedudukan dan berkantor pusat di Medan, JL. Imam Bonjol No, 18 Meda.
Modal Dasar pada saat itu menjadi Rp. 400 Milyar Rupiah yang selanjutnya
dengan pertimbangan kebutuhan proyeksi pertumbuhan Bank ditahun yang sama
modal dasar kembali ditingkatkan menjadi Rp. 500 Milyar Rupiah.2
Terdapat beberapa Fungsi dari pendirian PT. Bank Sumut sendiri yaitu adalah
sebagai alat kelengkapan otonomi daerah dibidang perbankan, PT. Bank Sumut
juga berfungsi sebagai penggerak dan pendorong laju pembangunan di daerah,
dan bertindak sebagai pemegang kas daerah. Selain itu, PT. Bank Sumut
merupakan bank non devisa yang memiliki jaringan pelayanan yang terus
1 Pasal 7 Bab III tentang Modal, Saham-Saham dan Sumber Keuangan Lain dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah
dikatakan pada ayat (1) Bahwa “ Besarnya Modal Bank ditetapkan dalam peraturan pendirian
Bank dengan ketentuan bahwa modal yang disetor harus berjumlah paling sedikit Rp 20. 000.000,-
(dua puluh juta rupiah)”. 2 Pada Waktu itu dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas yang telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dalam Bab III
Modal dan Saham Pasal 25 ayat (1) dikatakan bahwa “Modal dasar perseroan paling sedikit Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).”
21
bertambah dalam melayani masyarakat di seluruh daerah Sumatera Utara
khususnya.3
Visi4
Visi dari PT. Bank Sumut sendiri adalah menjadi bank andalan untuk
membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah
dari segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam
rangka peningkatan taraf hidup rakyat.
Misi
Sedangkan, Misi dari PT. Bank Sumut adalah mengelola dana pemerintah dan
masyarakat secara profesional yang didasarkan pada prinsip-prinsip
compliance/Kepatuhan.
Selain kedua visi misi diatas terdapat juga Statement Budaya dari PT. Bank
Sumut atau lebih sering dikenal dengan nama motto dari bank itu yaitu adalah
memberikan pelayanann „terbaik‟ dengan penjabaran dari kata „terbaik‟ adalah
sebagai berikut :
“Berusaha untuk selalu terpercaya, Energik di dalam melakukan setiap kegiatan,
senantiasa bersikap ramah, membina hubungan secara bersahabat, menciptakan
suasan yang aman dan nyaman, memiliki Integritas tinggi, dan komitmen penuh
untuk memberikan yang terbaik.”
Selain itu, Gagasan dan wacana dalam mendirikan Unit/divisi usaha
syariah oleh PT. Bank Sumut sebenarnya telah berkembang cukup lama
dikalangan stakeholder khususnya Direksi dan Komisaris yaitu sejak
dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang
memberikan kepastian kesempatan bagi bank konvensional untuk mendirikan unit
usaha syariah. Pendirian unit usaha syariah (UUS)5 juga didasarkan pada kultur
3 Sejarah dan Fungsi PT. Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-5-sejarah.html
4 Visi dan Misi PT. Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-2-visidanmisi.html
5 Unit Usaha Syariah (UUS) adalah Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum
Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
22
masyarakat Sumatera Utara yang religious, khususnya umat Isalm yang semakin
sadar akan pentingnya menjalankan ajarannya dalam semua aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang ekonomi.
Komitmen dalam mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS) semakin menguat
seiring dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) yang menyatakan bunga Bank Haram.6 Tentunya fatwa ini
mendorong keinginan masyarakat muslim untuk mendapatkan layanan jasa-jasa
perbankan berdasarkan prnsip-prinsip syariah. Dari hasil observasi yang
dilakukan 8 (delapan) kota di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa minat
masyarakat terhadap pelayanan bank syariah cukup tinggi yaitu mencapai 70%
untuk tingkat ketertarikan dan diatas 50% untuk keinginan mendapatkan
pelayanan perbankan syariah. Maka atas dasar ini, komitmen PT. Bank Sumut
terhadap pengembangan layanan perbankan syariah. Pada tanggal 04 November
2004 PT. Bank Sumut membuka Unit Usaha Syariah dengan dua kantor Cabang
Syariah salah satunya Unit Usaha Syariah (UUS) Cabang Padangsidempuan
Sumatera Utara.7
Maka dari itu, Visi dan Misi Unit Usaha Syariah (UUS) haruslah
mendukung visi dan misi dari Bank Pusat atau PT. Bank Sumut secara umum,
atas dasar itu ditetapkan visi Unit Usaha Syariah Bank Sumut yaitu :
”Meningkatkan keunggulan PT. Bank Sumut dengan memberikan layanan lebih
luas berdasarkan prinsip-prinsip syariah sehingga mendukung partisipasi
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Lihat
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah. 6 Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Intersat/Fa‟idah) Pada Tanggal
22 Syawwal 1424 H/ 16 Desember 2003 Memutuskan “ Bahwa a) Praktek Pembungaan uang saat
ini telah memnuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yaitu Riba Nasi‟ah.
Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram
hukumnya. b) Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Auransi, Pasar Modal, Pegadaian, koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan
oleh individu. Ketiga : bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional ; a) Untuk wilayah
yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari‟ah dan mudah di jangkau tidak
dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga, b) Untuk wilayah
yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari‟ah diperbolehkan melakukan kegiataan
transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip Dharurat/hajat.” 7 Profil Pendirian Unit Usaha Syariah PT. Bank Sumut Syariah
http://www.banksumut.com/statis-34-profil.html
23
masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah guna mewujudkan masyarakat
yang sejahtera.”
Sedangkan Misinya adalah “Meningkatkan posisi PT. Bank Sumut melalui
prinsip layanan perbankan syariah yang aman, adil, dan saling menguntungkan
serta dikelola secara profesional.” Dlaam hal ini, melalui pengembangan layanan
perbankan syariah diharapkan PT. Bank Sumut dapat berperan lebih besar sesuai
visi dan misinya. Lebih lanjut juga bahwa pengembangan usaha ini juga
menargetkan juga meningkatkan profitibilitas PT. Bank Sumut sekaligus tingkat
kesehatannya.
PT. Bank Sumut Unit Usaha Syariah diresmikan pada tanggal 04 November
2004, dengan dibukanya 2 Unit Kantor Operasional yaitu :
1. Kantor Cabang Syariah Medan
2. Kantor Cabang Syariah Padangsidimpuan
Sejalan dengan beriringnya waktu, sampai dengan tahun 2014, Bank Sumut
Unit Usaha Syariah telah memiliki 22 kantor operasional yang terdiri dari 5
kantor Cabang dan 17 Kantor Cabang Pembantu yang tersebar di Medan dan
Kota-kota besar lainnya di Sumatera Utara.8
B. Struktur Organisasi Perusahaan PT. Bank Sumut Syariah
Bank pada dasarnya adalah entitas yang yang melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan
fungsi intermediasi keuangan. Sesuai Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah atau prinsip hukum Islam yang diatur dalam fatwa
dewan syariah Nasional (DSN-MUI). Secara kelembagaan bank umum syariah
ada yang berbentuk bank syariah penuh (full-pledged) dan terdapat pula dalam
bentuk Unit Usaha Syariah (UUS). PT. Bank Sumut Syariah merupakan UUS dari
Bank Sumut Konvensional. Dalam struktur perbankan syariah, UUS merupakan
unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
8 Lihat Profil Bank Sumut Syariah http://www.banksumut.com/statis-34-profil.html
24
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.9
Struktur organisasi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh
pimpinan perusahaan. Struktur organisasi juga dapat memberikan gambaran
secara skematis tentang hubungan kerjasama antara orang-orang yang terdapat
dalam organisasi dengan jelas. Adapun struktur organisasi pada PT. Bank Sumut
sebagai berikut :
Pertama : Direktur Utama, kedua : terdapat 4 (empat) direktur setiap bagian
(Direktur Kepatuhan, Direktur Operasional, Direktur Pemasaran, Direktur bisnis
dan syariah). Selanjutnya, dibawah Direktur Bisnis dan Syariah terdapat 4 (empat)
Divisi, yang dimana Unit Usaha Syariah (UUS) termasuk didalamnya yaitu Divisi
Kredit, Divisi Penyelamatan Kredit, Divisi risiko kredit dan Unit Usaha Syariah.
Bank Sumut Syariah Sendiri berada ditingkatan yang sama dengan beberapa divisi
dibawah direktur bisnis dan syariah.
9 Lihat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-
syariah/Pages/PBS-dan-Kelembagaan.aspx
25
Gambar 1.1 : Struktur Organisasi Bank Sumut10
Berdasarkan struktur diatas, Bank Sumut Syariah berada dibawah naungan
Direktur Bisnis dan Syariah yang dimana Bank Sumut Syariah dipimpin oleh
Direktur/Direksi Unit Usaha Syariah yang dalam tatanan satu rating atau satu
level dengan Divisi-Divisi yang lainnya seperti Divisi Kredit, Divisi
Penyelamatan Kredit, dan Divisi Resiko Kredit. Selain itu, Bank Sumut Syariah
dibantu juga dengan kantor-kantor cabang yang ada, serta Kantor Cabang
Pembantu yang dimana tugasnya adalah memberikan pelayanan dengan prinsip-
prinsip syariah dan keadilan. Selain itu, terdapat juga struktur yang terdapat dalam
Cabang Bank Sumut Syariah yang fungsinya memberikan pelayanan pembiayaan
dan lainnya berdasarkan prinsip Syariah.
Gambar 1.2. Struktur Organisasi Bank Sumut Syariah Cabang Medan
C. Akad Pembiayaan Musyarakah Di Bank Sumut Syariah
Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai
lembaga intermediasai (intermediary institution) yaitu berfungsi menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Dalam satu hal,
10
Lihat Struktur Oraginasi Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-3-strukturorganisasi.html
Pimpinan Cabang
Wakil Pimpinan Cabang
Tugas
Operasion
al
Tugas
Pemasara
n
Tugas
Teller
Tugas
Customer
Service
Tugas
Pembiaya
an
26
Pembiayaan sama fungsinya dengan utang piutang atau kredit dalam bank
konvensional, hanya perbedaannya bahwa utang piutang biasanya digunakan oleh
masyarakat dalam konteks pemberian pinjaman kepada pihak lain sedangkan
pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas modal bisnis. Pembiayaan atau
financing merupakan pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak
lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri
maupun dilakukan oleh lembaga.11
Istilah pembiaayan pada intinya berarti i
believe, i trust (saya percaya dan saya menaruh kepercayaan). Perkataan
pembiayaan yang berarti (trust) berarti lembaga pembiayaan selaku sahib al-mal
menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang
diberikan dimana dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil dan harus
disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas dan saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
terhadap UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan disebutkan bahwa
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil. Yang dimaksud dengan prinsip syariah sendiri adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah yaitu antara lain pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudha>rabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musya>rakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(mura>bahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ija>rah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ija>rah wa iqtina).12
Selain
itu, dalam pelaksanaan pembiayaannya , bank syariah harus memenuhi dua aspek
yang sangat penting, yaitu (1) Aspek Syar‟i, dimana dalam setiap realisasi
11
Rahmat Ilyas, Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah, (STAIN Syaikh
Abdurrahman Siddik Bank Belitung, Journal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015), hlm. 184. 12
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (12 & 13) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
27
pembiayaan kepada para nasabah bank syariah harus tetap berpedoman pada
syariat Islam dan (2) Aspek Ekonomi, yakni perbankan syariah harus tetap
mempertimbangkan perolehan keuntungan, baik bagi bank syariah maupun bagi
nasabah bank syariah.
Terdapat beberapa produk pembiayaan syariah yang ditawarkan oleh PT. Bank
Sumut Syariah sendiri antara lain :
1. Gadai Emas Berkah
Gadai adalah fasilitas pinjaman dana tunai tanpa imbal jasa yang diberikan
Bank Sumut Syariah kepada nasabah dengan jaminan berupa emas yang
berprinsip gadai syariah. keuntungannya yang pertama yaitu biaya sewa
tempat penyimpanan emas paling murah, kedua proses mudah dan tidak
perlu lama untuk memperoleh uang tunai, lebih tentram karena bebas riba
dan unsur bunga.
2. Pembiayaan IB Serbaguna
Pembiayaan ini untuk berbagai keperluan yang bersifat
konsumtif/investasi/modal kerja dengan prinsip jual beli (mura>bahah).
Keuntungannya antara lain : Margin rendah, jangka waktu sampai 60 bulan,
angsuran tetap sampai lunas, emmenuhi segala kebutuhan modal kerja,
investasi dan konsumtif dan proses cepat.
3. Pembiayaan IB Modal Kerja
Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan dana
modal dalam rangka mengembangkan usaha yang produktif, halal dan
menguntungkan. Pelunasan pembiayaan tersebut diangsur berdasarkan
proyeksi arus kas (cash flow) usaha nasabah. Pembiayaan IB Modal Kerja
dapat dilakukan dengan 2 dua jenis akad pembiayaan, yaitu akad
Mudharabah dan Akad Musyarakah. Keuntungannya antara lain : Tingkat
Bagi Hasil rendah, jangka waktu sampai 60 bulan, memenuhi kebutuhan
modal kerja dan proses cepat.
4. Kredit Pemilikan Rumah (KPR iB) Bank Sumut Unit Usaha Syariah
Meurpakan pembiayaan yang diberikan kepada perorangan untuk
kebutuhan pembelian Rumah baik berupa Rumah Tinggal yang dijual
28
melalui pengembang atau bukan pengembang di lokasi-lokasi yang telah
ditentukan bank dengan sistem Murabahah (Jual beli). Keuntungannya
antara lain : Tingkat Margin Rendah, Jangka waktu sampai 180 bulan (15
tahun, angusran tetap sampai lunas, bebas biayaa appraisal sampai plafond
Rp 500 jt, dan proses cepat.
5. Pembiayaan Pemilikan Rumah Toko (Ruko) Ib dan/atau iB Bank Sumut
Unit Usaha Syariah
Adalah membantu masyarakat untuk membeli Rumah Toko (Ruko) atau
Rumah Kantor (Rukan) melalui fasilitas pembiayaan untuk tujuan
investasi. Keuntungannya antara lain : tingkat Margin rendah, jangka waktu
sampai 120 bulan (10 tahun), angsuran tetap sampai lunas, bebas biaya
appraisal sampai plafond Rp 500 jt, dan proses cepat.
6. Pembiayaan iB Dana Talangan Haji
Digunakan untuk membantu umat Islam yang berkeinginan menunaikan
ibadah haji untuk mendapatkan nomor porsi keberangkatan haji lebih awal.
Bank Sumut Syariah akan mengurus pendaftaran haji melalui sistem
komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) atau pelunasan biaya Perjalanan
Ibadah Haji (BPIH). Keuntungannya antara lain: Besar pembiayaan yang
diberikan maksimum Rp 20 jt, jangka waktu maksimum 12 bulan dan
fee/Ujrah sangat terjangkau.
Kalau kita melihat dari semua produk pembiayaan yang ditawarkan oleh PT.
Bank Sumut Syariah diatas, produk yang memakai akad musyarakah dalam
pembiayaannya adalah produk iB Modal Kerja. Sebagaimana dijelaskan, Produk
iB Modal Kerja Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
kekurangan dana modal dalam rangka mengembangkan usaha yang produktif,
halal dan menguntungkan dengan ketentuan keuntungan dan risiko ditanggung
bersama. DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa tentang akad pembiayaan
musya>rakah diperbankan syariah yang didalamnya mengatur ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh perbankan syariah dalam
melakukan praktek produk pembiayaan ini kepada nasabah. Ketentuan DSN-MUI
tentang akad pembiayaan musya>rakah yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI
Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan musya>rakah termaktub
29
didalamnya bahwa pembiayaan musya>rakah yaitu pembiayaan berdasarkan
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.”
Akad Musya>rakah sendiri merupakan berasal dari kata dalam bahasa arab
yaitu, syirkatan (mashdar/katadasar) dan sya>raka (fi'il ma>dhi/kata kerja) yang
berarti mitra/sekutu/kongsi/serikat. Secara bahasa, syirkah berarti al-Ikhtila>th
(penggabungan atau pencampuran) dan secara terminology syirkah adalah
ungkapan atas adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu/bermitra
pada pokok harta dan keuntungan.13
Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa as-
Syirkah merupakan percampuran atau tercampurnya harta seseorang dengan
lainnya yangmana pencampuran harta terebut tidak dapat dibedakan antara
keduanya.14
Isa Abduh juga dalam bukunya mengatakan bahwa kata
musya>rakah berasal dari bentuk kata as-Syirkat yang berarti
penggabungan/Percampuran salah satu dari macam harta satu pihak dengan
lainnya, tanpa membedakan antar keduanya.15
Muhammad Syafi‟e Antonio dalam
bukunya memberikan penjelasan tentang akad musya>rakah dalam dunia
perbankan saat ini sebagai suatu produk pembiayaan perbankan secara Islami
dengan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu
dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana/amal (expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan secara proposional.16
Dari definisi tentang musya>rakah diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembiayaan musyarakah merupakan produk pembiayaan kerjasama suatu usaha
yang dibolehan oleh syariat antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
13
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut : Dar Ibn Katsir 2001), hlm. 294. Sebagaimana
dikutip oleh Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 126. 14
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, (Dimasqi : Da>r Al-Fikr,
1985), hlm. 792. 15
Isa Abduh, Al-‟Uqu>d As-Syari>‟ah Al-Muha>kamah lil Mua>‟mala>t Al-Ma>liyah
Al-Mua>‟syarah, (Cairo : Daru>l Al-„Ithisa>m, 1977), hlm. 48. 16
Muhammad Syafie Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta : Tazkia
Institute dan BI Cet. Pertama, 1999), hlm. 129.
30
yang mana setiap pihak memberikan kontribusi dana dan amal dengan ketentuan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.
Kalau dalam pembagiannya, Musyarakah/syirkah dalam kitab fiqh dapat
digolongkan dalam dua bentuk yaitu : Pertama, Syirkah milki (non kontrak) dan
Kedua, Syirkah „uqu>d (kontrak). Syirkah milki (Perseroan hak milik) adalah
kepemilikan terhadap suatu zat barang oleh dua orang tanpa adanya akad syirkah
atau transaksi. Syirkah milki terdiri dari milku Ikhtiya>ri (optional) dan milku
Ijba>ri (otomatis/mutlak). Sedangkan Syirkah „Uqu>d (perseroan transaksi)
mengibaratkan kepemilikan atas sesuatu dengan akad atau transaksi yang terjadi
antara dua orang dalam mencampurkan hartanya juga keuntungannya.17
Selain itu,
dalam KUHPerdata akad musya>rakah atau syirkah dikenal dengan juga dengan
istilah persekutuan. Persekutuan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1618
sampai dengan Pasal 1665. Persekutuan dalam KUHPerdata adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri untuk menyertakan
sesuatu/imbreng kedalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang
diperoleh.18
Pembiayaan musyarakah yang diterapkan pada perbankan syariah kebanyakan
dan juga diterapkan oleh PT. Bank Sumut Syariah merupakan aplikasi daripada
Syirkah „Uqu>d yang ada.19
Imam Al-Ghazali dalam bukunya membagi syirkah
17
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Ibid, hlm.794. 18
KUHPerdata Pasal 1618 Perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang
atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud
supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka. Persekutuan dalam
KUHPerdata setidaknya memiliki tiga unsur yaitu : 1) persetujuan timbal balik sebagai dasar
pendirian, 2) adanya imbreng yaitu masing-masing sekutu diwajibkan menyertakan uang, barang-
barang atau keahliannya (tenaga fisik/ide/gagasan/pikiran), 3) tujuannya adalah membagi
keuntungan diantara orang/pihak yang terlibat. Dengan merujuk pada KUHPerdata Pasal 1320,
1321, dan 1337 menjelaskan bahwa unsur-unsur persekutuan perdata adalah: 1) Persetujuan
kehendak untuk mendirikan suatu perkumpulan; 2) Kecakapan berbuat para pihak/cakap hukum;
3) Suatu hal/objek tertentu, yaitu objek perjanjian. Dan 4) Tujuan yang sah, yaitu tujuan yang tidak
dilarang undang-undang atau hukum. Lihat Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia 2: Bentuk-Bentuk Perusahaan, (Jakarta : Djambatan 1986), hlm. 11. 19
Dalam pembagiannya, Para ulama Mazhab membagi Syirkah „Uqu>d (perseroan
transaksi) menjadi beberapa jenis sebagai berikut : Mazhab Hanbali membaginya menjadi 5 jenis
(syirkah „Inan, mufa>wad{ah, abdan, wuju>h, mud}a>rabah), Mazhab Hanafi 6 jenis (syirkah
„Inan, amwa>l, „amal, abdan, wuju>h, mud{a>rabah), dan Mazhab Maliki dan Sya>fi>‟iyyah
membaginya menjadi 4 jenis. Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Ibid,.
hlm.795.
31
„Uqu>d 20
(perseroan transaksi) menjadi empat bagian sebagai yaitu (syirkah
mufa>wad{ah, abdan, wuju>h, „Inan). Syirkah yang pertama adalah Syirkah
mufa>wad{ah (hak tanggung jawab sepenuhnya). Dalam hal mufa>wad{ah
masing-masing pihak harus memberikan kontribusi sama besar terhadap modal,
sambungan resiko rugi laba, mempunyai hak penuh untuk berbuat atas nama
orang lain dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas leabilitas kerja mitra
kerja mereka meskipun semacam itu telah dicatat atau ditetapkan dalam kegiatan
bisnis sehari-hari. Kedua, Syirkah al-Abdan. Dalam syirkah al-Abdan, para mitra
atau kongsi menyumbangkan keahlian (skill) dan tenaga untuk mengelola bisnis
tanpa memberikan modal. Menurut Al-Ghazali bahwa dalam menetapkan
kemitraan ini hanya sekedar jadi pengelola, tanpa memberikan investasi. Dengan
kata lain, pihak yang melakukan bisnis ini hanya mengandalkan upah atas
pekerjaannya. Ketiga, syirkah wuju>h. Dalam syirkah wuju>h para mitra
menyumbangkan profesi (goodwill) mereka, atau terjadi percampuran antara
modal dengan reputasi/ nama baik seseorang, serta hubungan-hubungan (kontrak-
kontrak) mereka untuk mempromosikan bisnis mereka tanpa menyetorkan suatu
modal.21
Keempat, Syirkah „Inan. Syirkah „Inan yaitu mencampurkan modal
anggota-anggota mitra untuk dapat dijalankan bersama dengan bagi hasil atau
para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama,
berbeda dengan syirkah mufa>wad{ah sebelumnya dimana para pihak yang
berserikat/bermitra mencampurkan modal dalam jumlah yang sama. Mazhab
Hanafiyah menambahkan satu jenis syirkah „Uqu>d yaitu syirkah mud{a>rabah.
Dalam syirkah mud{a>rabah ini, terjadinya percampuran antara modal dengan
jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.22
Kalau kita
melihat definisi jenis syirkah, pembiayaan musya>rakah yang diterapkan dalam
produk perbankan syariah saat ini dan di PT. Bank Sumut Syariah lebih
mendekati syirkah mud{a>rabah dan syirkah „Inan yaitu mencampurkan modal
para pihak yang berserikat/bermitra dengan jasa (keahlian/ketrampilan) dan dalam
jumlah investasi modal yang tidak sama. Kalau melihat dari jenis Musyarakah di
perbankan Sumut syariah, pembiayaan Musyarakah tersebut sama dengan syirkah
20
Al-Ghazali, Ihya> „Ulu>muddi>n, (Beirut : Da>r Ibn Hazm, 2005), hlm. 515. 21
Ibid, hlm. 515. 22
Bank Islam, Ibid,. hlm. 76.
32
mud{a>rabah dimana nasabah selain memberikan modal juga memberikan jasa
(keahlian/keterampilan) dengan nama produk syariah tersebut yaitu IB Modal
Kerja.
Dalam pembagian keuntungan dan kerugian dalam akad musya>rakah secara
teori, keuntungan dibagi berdasarkan keuntungan hasil usaha dengan kesepakatan
antara dua belah pihak atau dengan nisbah yang telah dicantumkan dalam kontrak
pembiayaan musya>rakah, sedangkan kerugian dibagi bedasarkan modal awal
dari setiap pihak yang bermitra. Ketentuan keuntungan dan kerugian dalam akad
musyarakah tercantum dalam fatwa DSN MUI23
Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan musya>rakah dalam ketentuan nomor 3 huruf c dan d
dijelaskan bahwa keuntungan 1) harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian musyarakah, 2) setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proposional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan
di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra, 3) seorang mitra boleh mengusulkan
bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentase itu
diberikan kepadanya, 4) sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan
jelas dalam akad. Sedangkan kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proposional menurut saham masing-maisng dalam modal.24
Menurut Ibnu Qudhamah dalam bukunya Al-Mughni bahwa syirkah akan
menjadi fasid atau rusak ketika pembagian keuntungan berdasarkan kadar dari
modal para mitra. Sedangkan kerugian dalam syirkah ditanggung oleh masing-
masing mitra dengan berdasarkan kadar modal bersama/syirkah para mitra.25
23
Sejarah berdirinya, Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah tanggal 29-30 Juli
1997, selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan
Syariah Nasional tanggal 14 Oktober 1997. Salah latar belakang Pembentukan Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai
masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang
perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syariat Islam.
https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/ 24
Lihat fatwa DSN MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Musyarakah dalam ketentuan nomor 3 huruf c dan d. لة قال ابن قدامة رمحه هللا يف "املغين" 25 لة فاسدة, يف ربح وخسارة امش : ومت وقعت امشر
ما/يقتسمان امربح عل قدر رؤوس أموامهما. نر)يعين:امشيكني( بقدر ماهل, اخلرسان يف امشلة عيل لك واحد مهنام فا
ن اكن أ ثالث, فاموضيعة/اخلسارة أ ثالاث. ال هعمل يف هذا فا ن اكن ماهلام متساواي يف امقدر, فاخلرسان بيهنام هصفني, وا
33
Berdasarkan pendapat Ibnu Qudhamah bahwasannya keuntungan (ribh) dalam
syirkah merupakan keuntungan yang didapat berdasarkan hasil dari bermitra,
bukan keuntungan yang berasal dari modal bersama/syirkah para mitra.
Sedangkan kerugian dalam modal bersama/syirkah berdasarkan kadar dari
masing-masing modal para mitra. Dar ifta Yordania juga menyatakan bahwa
kerugian dalam akad musyarakah dibagi berdasarkan modal dari setiap sya>rik
atau mitra dalam perjanjian tersebut.26
Sedangkan dalam ketentuan dalam
KUHPerdata dalam pembagian keuntungan dan kerugian terdapat perbedaan cara
pembagian keuntungan dan kerugian dengan hukum Islam, salah satunya terdapat
dalam Pasal 1635 ayat (2) dalam persekutuan KUHPerdata boleh diperjanjikan
bahwa seluruh kerugian hanya ditanggung oleh satu pihak sekutu saja. Dalam hal
ini terdapat perbedaan ketentuan dengan apa yang ada dalam akad syirkah sendiri
yangmana kerugian harus dibagi bersama berdasarkan kesepakatan atau secara
proposional. Dalam bukunya Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok menyatakan
perbedaan ketentuan antara persekutuan perdata dengan syirkah terletak pada
peraturan KUHPerdata mengenai kebolehan diperjanjikan seluruh kerugian hanya
ditanggung oleh satu pihak sekutu. Ketentuan ini, tidak sejalan dengan kaidah
syirkah yang menyatakan bahwa keuntungan (al-ribhu) dibagi atas dasar
kesepakatan dan kerugian (al-khasa>rah) dibagi hanya secara proposional atau
kesepakatan. Dalam kata lain keuntungan dan kerugian dibagi bersama diantara
Ibn Qudhamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni dalam hal“) خالفا بني أ هل امعمل.
keuntungan dan kerugian dalam syirkah : kapan dikatakan syirkah itu Fasid, yaitu
ketika para mitra membagi keuntungan atas kadar modal bersama/mitra dan kerugian
dalam syirkah ditanggung oleh setiap pihak yang bermitra berdasarkan modalnya.”). Lihat Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudhamah al-Maqdhisiy, Al-
Mughni, (Riyadh: Daar Alam Kutub, Juz ketujuh, Cet Ketiga, 1997), hlm. 167.
26ر يك أه ط امشر وز أن يشت ط وال ي ل شيئا من اخلسارة بينما يشارك يف األربح؛ وهو ش ه ال يتحمر
مان، اكهت اخلسارة عل ق ربح ينقسم عل قدر امضر أيضا در بطل، ألنر امغن بمغرم، فكا أنر ام
“Dan tidak diperbolehkan adanya syarat atas mitra untuk dibebani sesuatu dari
resiko kerugian sedangkan keuntungan dia ikut dalamnya maka syarat tersebut
batal/bathil. Karena manfaat sejalan dengan resiko. Seperti halnya keuntungan
dibagi berdasarkan kadar tanggung jawab begitu pun dengan kerugian.”
Lihat Dar Ifta Yordania,http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=3163#.WdIQ-
3QxXIU
34
para sya>rik.27
Kalau melihat dalam praktek diperbankan syariah di Bank Sumut
Syariah saat ini tentang pembagian keuntungan dan kerugian pembiayaan
musya>rakah, rujukan akad pembiayaan syari‟ah masih belum terlepas dari unsur
pihak perbankan konvensional yaitu dilihat dari nisbah bagi hasilnya yang
ditetapkan diawal dan sudah menjadi patokan yang tidak ditawarkan serta nominal
uang yang harus disetorkan nasabah kepada bank yang ditetapkan diawal
pembuatan perjanjian pembiayaan musya>rakah. Yangmana seharusnya nisbah
bagi hasil (keuntungan dan kerugian) dibagi berdasarkan keuntungan hasil usaha
musya>rakah bukan dari bagi hasil berdasarkan modal syirkah para pihak yang
bermitra.28
Selanjutnya Akad Pembiayaan musyarakah di perbankan Sumut Syariah juga
dapat dilihat dari sisi perjanjian atau kontrak perbankan dengan nasabah. Dalam
hal menjamin kepastian dan perlindungan hukum pada pembiayaan di perbankan
syariah, maka diperlukan adanya suatu perjanjian atau disebut juga kontrak.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perjanjian Dewasa ini yang berkembang dalam masyarakat khususnya perjanjian
dalam perbankan syariah yangmana telah banyak menggunakan sebuah kontrak
baku atau standar kontrak. Begitupun dengan PT. Bank Sumut Syariah dalam
melakukan transaksi pembiayaan Musyarakah dan pembiayaan-pembiayaan
lainnya menggunakan kontrak baku. Kontrak baku digunakan dengan tujuan agar
perjanjian tersebut dapat dilakukan secara cepat dan praktis sehingga lebih efisien
dan hemat dari segi waktu dan dana. Menurut Abdul Kadir Muhammad perjanjian
baku adalah perjanjian yang tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha yang dibakukan dalam perjanjian meliputi model, rumusan, dan
ukuran.29
Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeni perjanjian baku adalah
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya
27
Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,
(Jakarta:Kencana Edisi Pertama, 2012), hlm. 133. 28
Mahmudatus Sa‟diyah, Musyarakah Dalam Fiqh dan Perbankan Syariah, Journal
Equilibrium Volume 2, No. 2, Desember 2014, hlm. 325. 29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.
87.
35
dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan, dimana yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal
saja misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan
beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dalam UU No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 10
disebutkan bahwa klausul baku adalah “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.30
Tidak dapat dipungkiri penggunaan kontrak baku oleh pelaku usaha terkadang
tidak seimbang antara hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen,
sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi para konsumen. Konsumen atau
nasabah disini memiliki kedudukan yang sangat lemah dibandingkan dengan
perbankan. Konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu take it or leave it
diambil atau tidak sama sekali. Terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam penggunaan klausul atau
kontrak baku dalam sebuah perjanjian yang harus dipenuhi oleh semua pelaku
usaha yaitu sebagai berikut :
1. Pelaku usaha dalam dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen
c. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya dan lainnya.
30
Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
angka 10.
36
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
Umumnya dalam praktek perbankan di Indonesia khususnya di Bank Sumut
Syariah, perjanjian atau kontrak yang digunakan telah banyak berbentuk
perjanjian yang bersifat baku yang mana klausul-klausulnya atau isi perjanjian
telah disusun sebelumnya oleh pihak bank. Perjanjian baku atau dikenal dengan
istilah standar contract merupakan bagian dari pada perjanjian dibawah tangan
dan merupakan perjanjian tertulis. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang
bentuknya telah ditetapkan oleh satu pihak sedangkan pihak yang lain hanya
menandatangani sebagai tanda persetujuan.
Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih
kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak untuk membuat
perjanjian yang disisi lain pelaku usaha dilarang untuk melanggar hak konsumen.
Walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan dan itikad baik antara pihak dalam
membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat banyak ditawar.
Berdasarkan penjelasan diatas, kontrak atau perjanjian Pembiayaan di Bank
Sumut Syariah berlaku dengan menggunakan kotrak baku dna mengikat kedua
belah pihak apabila terdapat perjanjian didalamnya kecuali perjanjian baku
tersebut bertentangan dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Dalam implementasinya perbankan syariah yaitu Bank Sumut Syariah
menambahkan beberapa syarat-syarat tambahan dalam pengajuan pembiayaan
musyarakah di perbankan syariah. Syarat-syarat tambahan dalam pembiayaan
musyarakah secara khusus dapat menimalisir resiko yang akan terjadi dalam
pelaksanaan pembiayaan serta menjamin hak dan kewajiban para pihak. Bahwa
secara prinsip, syariah dapat membenarkan adanya penetapan syarat tambahan
37
selama tidak bertentangan dengan aturan baku yang telah ditetapkan oleh
perbankan dan disetujui oleh pihak yang berkepentingan.31
Syarat-syarat
tambahan baik berupa Agunan atau jaminan benda bergerak dan tidak bergerak,
serta asuransi jiwa bagi nasabah dan lainnya. Berikut beberapa syarat tambahan
yang dibebankan oleh pihak perbankan kepada pihak nasabah sebelum melakukan
pembiayaan musya>rakah :32
1. Agunan atau Jaminan
Agunan merupakan "secondary source repayment" atau sumber terakhir
bagi pelunasan pembiayaan musya>rakah apabila Nasabah sungguh-sungguh
tidak bisa lagi memenuhi kewajiban pembayaran atas pembiayaan yang
diterimanya. Dalam hal pasal di atas tidak terpenuhi, agunan harus atas nama
orang tua kandung dari Calon Nasabah disertai Surat Pernyataan Notariil dari
orang tua dan seluruh ahli warisnya bahwa agunan bersedia diikat oleh
BUS/UUS/BPRS dan bersedia menanggung segala konsekuensi jika ada
wanprestasi dari Nasabah. Dalam ketentuan Nomor 3 ayat (3) Fatwa DSN-
MUI tentang musya>rakah, dikatakan bahwa para prinsipnya, dalam
pembiayaan musya>rakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari
terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. Dalam pasal 1
Undang-Undang Perbankan Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
dinyatakan bahwa Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda
bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan
kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban
Nasabah Penerima Fasilitas.33
Hukum jaminan dalam KUHPerdata tercantum pada Buku Kedua yang
mengatur tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan
(Gadai dan Hipotek) dan pada Buku Ketiga yang mengatur tentang
penanggungan utang. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131
KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
31
Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah, Ibid, hlm. 209. 32
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah, (Jakarta : Februari 2016), hlm. 42-46. 33
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 ayat (26).
38
yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya.34
Dengan demikian, segala harta kekayaan debitur secara
otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang
meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan. Selain itu, dasar
hukum jaminan dalam pemberian kredit juga terdapat dalam Pasal 8 ayat (1)
UU Perbankan yang menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan
serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.35
Agunan atau jaminan diperlukan untuk melindungi bank-bank Islam dari
risiko non-performing financing dan hilang keuangan lainnya yang mungkin
disebabkan oleh perilaku curang (moral hazard) dari debitur. Meskipun
penggunaan agunan atau kafalah tidak dikenal dalam pelaksanaan kontrak
musyarakah, akan tetapi menggunakan teori kebebasan berkontrak dimana
semua pihak dapat mensyaratkan sesuatu asalkan tidak bertentangan dengan
syariah. Kontrak dalam persepektif fikih muamalat masih dilakukan atas
dasar kepercayaan dan kebutuhan antara pihak berkontrak. Adanya jaminan
atau agunan dalam kontrak musyarakah adalah upaya yang baik untuk
mempromosikan langkah-langkah pencegahan menggunakan pola sadd al-
dzari>‟ah sehingga dana dari kreditor yang harus dilindungi sesuai dengan
konsep maqashid syariah.36
Sedangkan berdasarkan standar AAOIFI37
menyatakan dalam ketentuannya :
34
KUHPerdata Pasal 1131 sampai Pasal 1138 tentang Hukum Jaminan dalam
pembiayaan dan agunan. 35
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 36
Muhammad Maulana, Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di
Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah Dan Murabahah), (Journal Ilmiah Islam
Futura, Vol. 14. No. 1, Agustus 2014), hlm. 72. 37 AAOIFI, established in 1991 and based in Bahrain, is the leading international not-for-
profit organization primarily responsible for development and issuance of standards for the global
Islamic finance industry. It has issued a total of 100 standards in the areas of Shari‟ah, accounting,
auditing, ethics and governance for international Islamic finance. It is supported by a number of
institutional members, including central banks and regulatory authorities, financial institutions,
accounting and auditing firms, and legal firms, from over 45 countries. Its standards are currently
followed by all the leading Islamic financial institutions across the world and have introduced a
progressive degree of harmonization of international Islamic finance practices. http://aaoifi.com/about-aaoifi/?lang=en
39
“3/1/4 Guarantees in a Sharika contract (3/1/4/1) “All partners in a
syarika contract maintain the assets of the Sharika on a trust basis.
Therefore, no one is liable except in cases of misconduct, negligence or
breach of contract. It is not permitted to stipulate that a partner in a
Sharika contract guarantees the capital of another partner. (3/1/4/2) It is
permisible for a partner in a Sharika contract to stipilate that another
partner provides a personal guarantee or a pledge to cover cases of
misconduct, negligence or breach of contract.”38
“Semua mitra dalam kontrak syirkah menjaga aset syirkah secara atau
berdasarkan kepercayaan/amanah. Oleh karena itu, tidak ada yang
bertanggung jawab kecuali dalam kasus kesalahan, kelalaian atau
pelanggaran kontrak. Tidak diperkenankan untuk menetapkan bahwa
pasangan dalam kontrak Sharika menjamin modal pasangan lain. (3/1/4/2)
Hal ini diperbolehkan bagi pasangan dalam kontrak Syirkah untuk
menetapkan bahwa pasangan lain memberikan jaminan pribadi atau janji
untuk menutupi kasus-kasus pelanggaran, kelalaian atau pelanggaran
kontrak.”
Berdasarkan pernyataan AAOIFI diatas dalam permasalahan
agunan, perbankan syariah dapat meminta jaminan atau agunan bergerak
maupun agunan tidak bergerak sebagai pola sadd al-dzari>‟ah dalam
kontrak pembiayaan musyarakah di perbankan syariah atau untuk
menutupi kasus-kasus pelanggaran, kelalaian atau pelanggaran kontrak.
2. Asuransi Pembiayaan
Selain syarat tambahan berupa agunan pihak perbankan juga
memberikan persyaratan lain yang diajukan salah satunya berupa asuransi
jiwa nasabah atau dalam perbankan konvensional disebut juga asuransi
kredit. Sebelum pencairan dana pembiayaan di perbankan, nasabah
dianjurkan juga ada yang mewajibkan untuk melakukan Asuransi jiwa
yang terkait dengan pembiayaan khususnya pembiayaan akad
38
Abdurrahman An-Najdiy, Shari‟a Standards For Islamic Financial Institutions 1431
H-2010 M, (Bahrain : Accounting and Auditing Organisation For Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), hlm. 199.
40
musya>rakah yangmana asuransi tersebut terkait kemungkinan timbulnya
risiko pembiayaan di kemudian hari yang akan dapat ditanggung oleh
perusahaan asuransi.
Urgensi diperlukannya Asuransi Jiwa dalam pembiayaan di perbankan
syariah merupkan salah satu sarana untuk meminimalisasi risiko dalam
proses risk management yang dilakukan oleh perbankan syariah terkait
dengan risiko terjadinya gagal bayar dari nasabah yang mendapat
pembiayaan dari perbankan syariah. Usaha mitigasi risiko tersebut
dilakukan dengan cara mensyratkan nasabah dalam surat perjanjian dan
persetujuan pembiayaan untuk mengikuti asuransi jiwa kredit. Alasan
asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib dalam perjanjian pembiayaan
adalah karena pihak perbankan mempunyai kepentingan terhadap
kelangsungan hidup debitur guna menjamin pengembalian utang kepada
perbankan.39
Ketentuan tentang asuransi juga diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dikatakan bahwa
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.”40
Penutupan proteksi asuransi wajib dilakukan
oleh Perusahaan Asuransi Syari‟ah yang telah menjadi rekanan pihak
BUS/UUS/BPRS. Jangka waktu penutupan proteksi asuransi ditetapkan
sesuai dengan jangka waktu pembiayaan dan harus dibayarkan di muka.
Selain itu, Terdapat beberapa Pembiayaan yang harus dilunasi oleh
39
Elisatin Ernawati, Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah, (Thesis
Universitas Airlangga 031224253007, tahun 2015). 40
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
41
nasabah sebelum pencairan pembiayaan musya>rakah dalam perbankan
syari‟ah. Dalam ketentuannya, Sebelum setting Fasilitas Pembiayaan,
Nasabah dan Pihak BUS/UUS/BPRS akan menyepakati seluruh biaya-
biaya yang timbul, Biaya-Biaya yang akan timbul tersebut antara lain :
Biaya Adminsitrasi, Biaya Notaris, Biaya Asuransi Jiwa, Kebakaran, dan
Pembiayaan (Agunan), Biaya Notaris, Biaya Penilaian Jaminan dan Biaya
Materai. Terdapat juga beberapa ketentuan-ketentuan standar yang telah
diatur dalam standar operasi pelaksanaan pembiayaan akad musyarakah
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai berikut :41
Standar Wanprestasi
Wanprestasi adalah kegagalan Nasabah dalam memenuhi kewajiban
atau segala hal yang ditentukan dan disepakati bersama dalam kontrak
sehingga menimbulkan kerugian bagi BUS/UUS/BPRS baik dalam berupa
penyusutan nilai modal maupun pengurangan nilai bagi hasil untuk
BUS/UUS/BPRS.
Jika wanprestasi terjadi akibat kelalaian nasabah yang
mengakibatkan kerugian pihak Bank, maka BUS/UUS/BPRS berhak
mendapatkan ganti rugi (t‟awi>dh).42
Pembebanan ganti rugi (t‟awi>dh)
hanya dapat dikenakan apabila: Pihak yang melakukan ingkar janji setelah
dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; atau Sesuatu yang
harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilewatinya; atau Pihak yang ingkar janji tidak
dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji itu terjadi karena
keadaan memaksa yang berada di luar kuasanya (force majeur).
Wanprestasi sendiri artinya tidak memenuhi prestasi atau kewajiban yang
telah disepakati dalam perjanjian atau bermakna prestasi buruk. Bentuk
wanprestasi terdapat beberapa macam yaitu a) tidak melakukan apa yang
41
Buku Standar Produk Musyarakah OJK, Ibid, hlm. 46-51. 42
Ta‟widh (Ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kekeliruan, lihat Wahbah Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 87.
Ketentuan Ta‟widh juga terdapat dalam fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ganti Rugi (Ta‟widh) (1) Ganti Rugi (Ta‟widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang disengaja
atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
42
disanggupi akan dilakukan, b) melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi
tidak sebagaimana dijanjkannya, c) melakukan apa yang dijanjikannya
tetapi terlambat, d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.43
Terdapat beberapa ketentuan dalam KUHPerdata
tentang sanksi wanprestasi bagi debitur apabila terbukti melakukannya
seperti dalam Pasal 1234, 1266, 1237 ayat 2 dan Pasal 1237.44
Standar Denda dan ganti rugi
Denda atas tunggakan (t‟azi>r) hanya dikenakan kepada Nasabah
jika Nasabah terbukti lalai atas kewajiban pembayaran angsurannya.
Kelalaian Nasabah didefinisikan sebagai kesalahan yang dilakukan oleh
Nasabah dalam hal pengelolaan aset/usaha/proyek yang diwakilkan
kepadanya untuk dikelola dengan baik sehingga terjadi kerusakan,
kegagalan, dan/atau kehilangan aset/usaha/proyek yang dikerjasamakan
dalam kontrak ini. BUS/UUS/BPRS hanya dapat mengenakan ganti rugi
pada keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah.
Penetapan ganti rugi atau kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara nasabah bank dan nasabah. Jika sampai tahap eksekusi agunan
obyek pembiayaan Musyarakah dan/atau jaminan lainnya dilakukan, maka
hasil eksekusi (penjualan/ pelelangan) tersebut diutamakan untuk
mengembalikan modal BUS/UUS/BPRS. Ketentuan t‟azi>r terdapat
dalam fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi t‟azi>r
atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dikatakan (4)
sanksi didasarkan pada prinsip t‟azi>r yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
Standar Force Majeur
Peristiwa atau keadaan yang tergolong dalam kategori force majeur
adalah peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau
43
Masrum, Ketentuan-Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi dan Perbuatan Melawan
Hukum (PMH). (Makalah Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten), hlm. 2. 44
Kepada Debitur yang wanprestasi dapat dijatuhkan sanksi yaitu berupa : a) Debitor
diwajibkan membayar ganti rugi yang diderita kreditur, b) kreditor dapat menuntut
penutusan/pembatalan perikatan, c) Perikatan untuk memberikan sesuatu, peralihan resiko kepada
debitur sejak terjadi wanprestasi, d) debitur diwajibkan memenuhi perjanjian, jika masih dpat
dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian. lihat Masrum, Ketentuan-
Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi, Ibid, hlm. 3.
43
kemampuan salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu
atau para pihak tidak dapat melaksanakan hak-hak dan/atau kewajiban-
kewajiban sesuai dengan standar dalam kontrak ini, termasuk namun tidak
terbatas pada gempa bumi, badai, angin topan, banjir, kebakaran, tanah
longsor, peperangan, embargo, pemogokan umum, huru-hara, peledakan
dan pemberontakan. Keadaan force majeur bisa menjadi alasan
pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak terlaksananya kontrak atau
perjanjian. Force majeure merupakan konsep hukum yang diadopsi dalam
berbagai sistem hukum. salah satu doktrin dari common law memaknai ini
sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap
suatu kontrak. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa force majeure
dapat diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi pelaksaan
kewajiban karena hilangnya objek atau tujuan yang menjadi pokok
perjanjian. 45
Force majeure atau keadaan memaksa dalam hukum perdata diatur
dalam Buku III B.W dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
Pasal 1244 KUHPerdata:“..bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perkatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga,
pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika
itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Pasal 1245 KUHPerdata:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus diagntinya apabila lantaran keadaan
memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaj si berutang berhalangan
memberikan atau sesuatu yang diwajibkan.”
Pengakhiran akad musya>rakah
Pengakhiran akad musya>rakah dapat disebabkan oleh sebab
berakhirnya jangka waktu akad, peristiwa cidera janji, dan Nasabah
mengajukan pengakhiran akad musya>rakah. Ketika berakhirnya akad,
maka Nasabah wajib mengembalikan seluruh kewajiban modal
45
Lihat Anonim, Force Majeure in Trouble Times: The Example of Libya, Jones Day
Publication, (Huston : 2011), hlm. 1. Dalam Journal Agri Chairunnisa Isradjuningtias, Force
Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia, hlm. 146.
44
pembiayaan yang telah diberikan oleh pihak BUS/UUS/BPRS serta bagi
hasil porsi BUS/UUS/BPRS pada periode terakhir saat pelunasan.
45
BAB III
KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO DALAM
PERKARA PERJANJIAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO 715K/Ag/2014
A. Posisi Kasus Gugatan Perkara
1. Posisi Perkara
a. Identitas Penggugat dan Tergugat
Dalam gugatan ini terjadi antara SD (Ibu kandung dari OSH yaitu
Nasabah), usia 60 Tahun, Pekerjaan ibu rumah tangga, alamat di Padang
Lawas Utara (Penggugat), Melawan:
1) Aminuddin Sinaga selaku pribadi sekaligus Pimpinan PT. Bank
Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (Tergugat I)
2) Direktur Utama PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan
(Tergugat II)
3) PT. Asuransi Astra Syariah, Jakarta (Tergugat III)
4) YD (Istri dari Nasabah debitur), selaku pribadi sekaligus mewakili
anak kandung yang masih dibawah umur yaitu EAH 17 tahun, tidak
bekerja, AUH 15 tahun tidak bekerja, RMH 12 tahun kesemua anak 1
sampai 3 (Turut Tergugat I)
5) FDAH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat II)
6) EMH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat III)
b. Krolonogi Perkara
Kasus ini berawal dari nasabah debitur dan Tergugat I mengikatkan diri
dalam akad pembiayaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011
pada tanggal 26 April 2011. Akad musyarakah bertujuan untuk penambahan
modal kerja dengan jumlah pembiayaan Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta
rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan atau satu tahun. Perjanjian
pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan jaminan berupa Sertifikat
Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 dan
Sertifikat Hak Milik Nomor 395/Pasar Gunung Tua tanggal 7 Juni 2007.
Selain itu, Nasabah telah memenuhi persyaratan pembayaran asuransi jiwa
46
dan administrasi lainnya kepada bank sebesar Rp 13.609.000,- (tiga belas
juta enam ratus sembilan ribu rupiah). Tiga bulan berjalannya pembiayaan
tepatnya tanggal 13 Juli 2011 Nasabah meninggal dunia. Dengan
meninggalnya nasabah debitur menyebabkan usahanya mengalami kerugian
sehingga terhentinya/tertunggaknya pembayaran bagi hasil dan cicilan
pembiayaan kepada perbankan. Dengan Peristiwa tersebut pihak bank
mengirimkan surat peringatan pada tanggal 3 Februari 2012, 27 Maret 2012,
dan tanggal 22 Mei 2012 kepada ahli waris nasabah debitur yaitu istri dan
anak-anaknya agar segera membayar pelunasan hutang pembiayaan
musyarakah almarhum sebesar Rp. 752.000.000,. (tujuh ratus lima puluh
dua juta rupiah). Apabila tidak dapat dilunasi oleh ahli waris, maka bank
akan mengajukan lelang terhadap barang jaminan kepada Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Ahli waris tidak bersedia melakukan pelunasan pembiayaan karena
pembiayaan musyarakah tersebut telah dilindungi dengan asuransi
pembiayaan dan premi asuransi tersebut telah dibayar oleh almarhum
nasabah debitur sebelum beliau meninggal dunia. Biaya-biaya yang
dibebankan oleh pihak bank kepada nasabah debitur dalam perjanjian
pembiayaan musyarakah antara lain administrasi senilai Rp. 8.750.000,-,
Notaris Rp. 1.500.000,-, Asuransi Jiwa Rp. 2.170.000,-, Asuransi
Kebakaran Rp. 1.189.408,- total yang telah dibayar nasabah debitur sebesar
Rp. 13.609.408,-. Akan tetapi hingga sampai nasabah debitur meninggal
dunia, bank belum pernah memberitahukan mengenai surat Pemeriksaan
Kesehatan tersebut kepada nasabah. Sehingga Nasabah debitur dan ahli
warisnya tidak mengetahui mengenai adanya syarat Pemeriksaan Kesehatan
(Medical Check up). Selain itu, ternyata Bank baru menyampaikan
pemberitahuan mengenai Surat Pemeriksaan Kesehatan setelah nasabah
debitur meninggal dunia.
Nasabah debitur pada saat mengajukan pembiayaan semasa hidupnya,
tidak pernah diberitahukan mengenai syarat kelengkapan administrasi
berupa surat Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check up). Kelengkapan
syarat administrasi yang belum lengkap menyebabkan pihak asuransi tidak
47
bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena perusahaan asuransi belum
melakukan penilaian dan mempelajari persyaratan administrasi berupa
Laporan Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur. Selain itu, Pihak
bank dan nasabah debitur beserta istri (ahli waris) pada saat melakukan
persetujuan akad pembiayaan musyarakah, nasabah diharuskan untuk
membuat surat pernyataan yang ditandatangani sendiri oleh nasabah dan
disaksikan oleh ahli waris sekaligus istri nasabah, dimana surat pernyataan
tersebut merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah pada
tanggal 26 April 2011 yang menyatakan: “Apabila dikemudian hari pada
saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya
dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank
dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris
saya hingga selesai.”
Tidak terima dengan perbuatan perbankan yang akan melelang harta
peninggalan nasabah yang digadaikan sebagai jaminan dalam pembiayaan
musyarakah tersebut, Ibu kandung dari Nasabah (Penggugat) mengajukan
gugatannya atas dasar pembebasan hutang/penundaan lelang ke Pengadilan
Agama Medan pada tanggal 14 Juni 2012. Dalam Gugatannya itu, Majlis
Hakim tingkat pertama dalam pertimbangannya menerima dan mengabulkan
gugatan Penggugat karena telah memenuhi syarat formil dari sebuah
gugatan. Hakim di Pengadilan tingkat pertama dalam putusannya Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn Memutuskan Dalam Provisi:1 menolak provisi
Penggugat, Dalam Eksepsi menolak Eksepsi dari tergugat I dan II serta
Tergugat III untuk seluruhnya2 dan Dalam Pokok Perkara: 1) mengabulkan
1 Putusan Provisi atau Provisioneel yakni keputusan yang bersifat sementara dan
merupakan salah satu daripada Putusan Sela, yang diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg
dimana merupakan permohonan kepada hakim agar tindakan sementara mengenai hal yang tidak
termasuk pokok perkara misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang
diperkarakan dengan ancaman membayar uang paksa. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 185 HIR
disebutkan putusan provisioneel yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok
perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan
untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan hakim menolak Provisi
maksudnya bahwa hal ini dapat terjadi apabila apa yang diminta dalam gugatan tidak ada
kaitannya dengan pokok perkara atau tidak ada urgensinya sama sekali dengan pokok perkara.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5110864b5855f/arti-istilah-konvensi--rekonvensi--
eksepsi--dan-provisi 2 Eksepsi Tergugat I dan II Gugatan Samar dan Kabur (obscuur libel) yakni antara posita
dengan petitum gugatan terdapat kekaburan yaitu tidak jelas makna dari gugatan penggugat
48
gugatan Penggugat untuk sebagian, 2) menyatakan Penggugat serta Turut
Tergugat I, II, III selaku Ahli Waris dari Nasabah dibebaskan dari beban
hutang Pembiayaan Musyarakah dari Tergugat I dan II sebesar Rp
752.000.000,- 3) Menyatakan Surat Pernyataan yang dibuat oleh nasabah
yang diketahui oleh istrinya batal demi hukum atau tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Selanjutnya Tidak puas dengan putusan Pengadilan Tingkat Pertama,
tergugat yakni PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan
mengajukan perkara Banding ke Pengadilan Tinggi Agama Medan. Dalam
tingkat Banding Majlis Hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat
terdapat cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (Niet
Onvanklijke Verklaard) dan membatalkan putusan sebelumnya. Dalam amar
putusannya Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn Majlis Hakim memutuskan
Dalam Provisi menolak permohonan Provisi Penggugat, Dalam Eksepsi
mengabulkan eksepsi Para Tergugat I, II, III dan IV, Dalam Pokok Perkara
1) menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke
Verklaard) dan menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya
perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 3.841.000,00.,(tiga juta delapan
ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding sebesar Rp.
150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya, salah satu
Terbanding (SD/Penggugat) mengajukan Kasasi.
B. Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Perjanjian Musyarakah
Dalam Pokok Perkara Putusan Mahkamah Agung No 715/K/Ag/2014.
Dalam materi pokok perkara gugatan penggugat tersebut, nasabah/penggugat
melakukan sebuah perjanjian pembiayaan musyarakah dengan perbankan
tentang ahli waris, pembiayaan, asuransi atau lelang. Juga antara posita dengan petitum tidak
saling mendukung. Eksepsi Tergugat III Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang untuk
mengajukan gugatan (disqualificatoire exceptie) yaitu penggugat tidak jelas menyebutkan alasan
dan dasar hukum hak serta kewenangan penggugat untuk mengajukan gugatan a quo karena
Penggugat sama sekali bukan pihak yang turut membuat dan menandatangani akad pembiayaan
musyarakah dan surat pernyataan yang dibuat oleh almarhum dan istrinya, dengan kata lain
penggugat tidak memiliki hubungan hukum. Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona)
yaitu bahwa dalam perkara a quo gugatan penggugat ditujukan kepada perseorangan/pribadi bukan
kepada subyek hukum yang berbentuk perseroan yaitu PT. Bank Sumut Syariah dan PT. Asuransi
Bangun Askrida. Lihat Putusan Pengadilan Tingkat Pertama No 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Putusan
Tingkat Banding No 124/ Pdt.G/2013/PTA.Mdn dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 715
K/Ag/2014,
49
syariah/tergugat yang dimana dalam perjanjian tersebut, nasabah debitur
memperoleh dana tambahan dari pemilik dana/modal (perbankan syariah) untuk
menjalani usaha nasabah. Kesepakatan perjanjian pembiayaan musyarakah
tersebut dituangkan dalam sebuah kontrak yang telah berisikan hak dan kewajiban
masing-masing pihak untuk dilakukan. Perjanjian tersebut diikuti dengan Surat
Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah
tersebut yang tertuang dalam Pasal 20 ayat 1 dan ayat 2 Perjanjian Pembiayaan
Musyarakah 120/KCSY02-APP/MSY/2011 yang menyatakan:3
1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam
akad ini, maka kedua belah pihak akan mengaturnya bersama secara
musyawarah mufakat dalam suatu addendum.4
2. Tiap addendum dari akad merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari akad ini.
Dalam surat pernyataan yang berbunyi “Apabila dikemudian hari pada saat
asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan
mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan
seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya
hingga selesai.” Klausul dalam Surat Pernyataan yang menjadi satu kesatuan
dengan perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut berisikan tentang suatu
klausul tentang asuransi. Dalam Surat Pernyataan tersebut menyatakan bahwa
apabila polis asuransi belum selesai maka ahli waris tidak akan menuntut bank
dan pembiayaan musyarakah seluruhnya akan menjadi tanggung jawab ahli waris
nasabah apabila terjadi sesuatu. Klausul atau Surat Pernyataan tersebut hakikatnya
merupakan klausul akan pengalihan tanggung jawab resiko, dimana pihak bank
melepaskan tanggung jawab resiko pembiayaan ataupun lainnya apabila terjadi
sesuatu dalam pembiayaan tersebut. Pembiaayan tersebut seyogyanya merupakan
3 Andra Mulia Fatwa, Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah (Studi Pada Cabang
Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008, lihat
Lampiran Perjanjian Akad Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah Pasal 17 Penutup. hlm. 105. 4 Addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. Lihat John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 11. Addendum
yaitu jilid tambahan (pada buku) lampiran, ketentuan atau Pasal tambahan, misalnya dalam akta
atau perjanjian. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hlm. 7. Istilah addendum
dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu
kesatuan dengan perjanjian pokoknya.
50
pembiayaan yang telah dibayarkan asuransinya oleh pihak nasabah kepada
perbankan di awal kesepakatan perjanjian pembiayaan musyarakah. Pembiayaan
musyarakah yang dilindungi dengan asuransi jiwa tersebut, pada hakikatnya
terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu pihak perbankan, nasabah dan asuransi.
Yang pertama hubungan antara bank dan nasabah debitur yaitu hubungan
perjanjian pembiayaan musyarakah. Kedua nasabah dengan asuransi yaitu
hubungan asuransi jiwa nasabah atau perlindungan pembiayaan musyarakah
nasabah apabila ada sesuatu. Dalam hal ini, bank berperan sebagai pihak yang
menghubungkan (agen asuransi) antara nasabah dengan pihak Asuransi.
Hubungan antara bank dan asuransi yaitu pada proses administrasi sampai pada
terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi. Bank sebagai agen
asuransi berkewajiban untuk menyelesaikan prosedur, syarat-syarat dan ketentuan
administrasi yang dibutuhkan dalam penutupan asuransi hingga pembiayaan yang
dikeluarkan telah dilindungi asuransi.
Berdasarkan isi klausul atau surat pernyataan tersebut, bank menyatakan tidak
dapat digugat apabila terjadi sesuatu resiko atau peristiwa yang menyebabkan
tidak terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi serta
mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila
nasabah debitur meninggal dunia.
Terjadinya hubungan antara bank dan asuransi, bank sebagai penghubung
antara nasabah debitur dengan asuransi. Pelaksanaan pengurusan administrasi
asuransi merupakan tanggung jawab bank. Apabila terjadi kelalaian dalam proses
penutupan asuransi antara bank dna asuransi, maka bank bertanggung jawab atas
hal tersebut. akan tetapi jika telah adanya pembayaran premi maka telah terjadi
penutupan asuransi, sehingga asuransi yang bertanggung jawab dalam pelunasan
pembiayaan tersebut ketika nasabah debitur meninggal dunia, walaupun polis
asuransi belum keluar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 257 KUHD (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang) yang menyatakan bahwa perjanjian asuransi
telah mengikat sejak adanya pembayaran premi oleh tertanggung kepada asuransi
walaupun polisnya belum selesai.
51
Surat pernyataan yang dibuat oleh nasabah dan disetujui oleh saksi yaitu istri
sekaligus ahli waris nasabah sangat bertentangan dengan klausula yang telah
diuraikan pada akad pembiayaan musyarakah karena klausula pada akhir
pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian pokok yang sudah jelas, terang
dan tegas maksudnya dan artinya juga perjanjanjian asuransi jiwa nasabah karena
telah melakukan pembayaran premi asuransi jiwa kepada pihak perbankan syariah
sebagai agen dari asuransi berdasarkan surat kerjasama antara keduanya yang
telah ditetapkan. Dalam hal ini, sudah seharusnya ketika telah terjadi pembayaran
premi awal dari nasabah kepada agen asuransi (perbankan syariah) sudah terjadi
akad asuransi jiwa yang didapat nasabah apabila nasabah suatu saat meninggal
dunia.5 Berdasarkan pemaparan diatas, bagaimanakah akibat hukum dari surat
pernyataan yang dibuat oleh nasabah yang secara tidak langsung merupakan
klausul pengalihan tanggung jawab resiko pihak perbankan atas nasabah dalam
perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut?
C. Akibat Hukum Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam
Perkara Perjanjian Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam,
KUHPerdata
Suatu perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tentunya dapat
menimbulkan sebuah akibat hukum. Peristiwa hukum sendiri adalah semua
peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum di antara pihak-
pihak yang mempunyai sebuah hubungan hukum, dimana peristiwa-peristiwa
tersebut oleh hukum diberikan akibat-akibat.6 Bellefroid menjelaskan bahwa
peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat
menimbulkan hukum.7 Berdasarkan definisi tersebut, maka peristiwa hukum
merupakan peristiwa di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat hukum atau
5 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian dalam Pasal 1 ayat 29 ketentuan tentang Premi adalah sejumlah uang yang
ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang
Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah
uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari
program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat, hlm. 6. 6 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 51.
7 Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 130. Selanjutnya lihat dalam Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:
Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 120.
52
yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum
di dalamnya berlaku konkrit misalnya, peraturan hukum yang mengatur tentang
perkawinan akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dalam harta, anak.
Demikian juga kematian, akan membawa berbagai akibat hukum seperti
penetapan ahli waris dan harta waris. Peristiwa hukum dibagi menjadi dua bagian
yaitu :
1) Perbuatan Subjek hukum (manusia dan badan hukum),
2) Peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum.
Perbuatan hukum disini dapat dikenal dalam dua macam yaitu perbuatan
hukum yang bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua
(tweezijdg). Perbuatan hukum bersegi satu adalah tiap perbuatan yang akibat
hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja misalnya
perbuatan mengadakan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 853
KUHPerdata. Sednagkan, Perbuatan hukum bersegi dua adalah tiap perbuatan
yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum, atau
lebih misalnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata tentang perjanjian bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”.
Peristiwa hukum atau perbuatan hukum tidak lepas dari sebuah akibat hukum
(rechtsgevolg). Akibat adalah sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu
peristiwa (perbuatan, keputusan), pernyataan/keadaan yang mendahuluinya. Jadi
akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum
yaitu memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-Undang,
sehingga apabila dilanggar akan berakibat bahwa orang-orang yang melanggar itu
dapat dituntut di muka pengadilan. R. Soeroso mengatakan bahwa akibat hukum
adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang
53
dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum.8 Sehubungan dengan ini,
akibat hukum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:9
Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu
kaidah hukum tertentu, contohnya mencapai usia 21 tahun melahirkan
keadaan hukum baru, yaitu dari tidak cakap untuk bertindak menjadi
cakap untuk bertindak.
Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu
hubungan hukum tertentu, contohnya sejak pembeli barang telah
membayar lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan
barangnya, maka lenyaplah hubungan hukum jual beli diantara
keduanya.
Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi di
bidang hukum keperdataan, contohnya sanksi perbuatan melawan
hukum adalah pemberian ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 BW dan
sanksi wanprestasi dapat dikenakan empat kemungkinan: 1) debitur
diharuskan melaksanakan perjanjian, 2) debitur diwajibkan memberi
ganti rugi, 3) debitur harus melaksanakan perjanjian dan memberi
ganti rugi, dan 4) dalam hal perjanjian timbal balik, perjanjian
dibatalkan oleh hakim.
1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam
Melakukan sebuah Akad atau perjanjian merupakan sebagai salah satu cara
untuk dapat memperoleh harta dalam hukum Islam. Pengertian akad dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah kesepakatan antara dua
pihak atau lebih dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.10
Berdasarkan
definisi ini, dapat disimpulkan bahwa yang Pertama, akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat pada timbulnya
8 Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang
dilakukan gna memperoleh sesuatu akibat yang dkehendaki hukum. Lihat R. Soeroso, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 295. 9 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana edisi kedua Cet I, 2015), hlm.
275-276. 10
Pasal 20 Ayat (1) Buku II Tentang Akad dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Lihat juga
dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang tentang Perbankan Syariah akad adalah kesepakatan
antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsp syariah.
54
akibat hukum (hak dan kewajiban). Kedua, akad merupakan tindakaan hukum
dua pihak atau lebih. ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat
hukum atau tujuan bersama yang hendak diwujudkan oleh para pihak.11
Dalam melakukan sebuah Akad/perjanjian harus memenuhi ketentuan
sahnya suatu akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Sahnya suatu akad
dalam Perjanjian Islam harus memenuhi rukun dan syarat suatu akad.12
Fathurrahman Djamil, memberi definisi rukun sebagai suatu unsur yang mutlak
harus dipenuhi dalam sesuatu hal (inheren), peristiwa dan tindakan.13
Sedangkan syarat merupakan unsur yang harus ada dalam sesuatu hal,
peristiwa dan tindakan tersebut. Beda syarat dari rukun terletak pada apakah
hal tersebut merupakan bagian inti pembentuk dari sesuatu tersebut atau tidak.
Sebagai contoh, para pihak adalah rukun yang merupakan bagian inti dari suatu
akad. Sedangkan kesadaran atau akal sehat merupakan syarat bagi masing-
masing pihak tersebut.14
Jumhur Ulama bersepakat bahwa Rukun dalam suatu
akad terdiri dari tiga pokok yaitu:
a. „A>qid (para pihak yang melakukan akad)
b. M‟aqud „alayh (harga dan barang yang diakadkan), dan
c. S>igah al-„aqd (bentuk atau cara melakukan akad yang biasa disebut
ijab dan qabul).15
Dipihak lain, ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad cukup
dengan satu, yaitu adanya Sigah al-„aqd (ijab dan kabul) saja. Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menambahkan satu rukun
Akad lagi menjadi 4 (empat) unsur yaitu :
a) Pihak-pihak yang berakad,
11
Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi, (Bandung:
Mandar Maju Cet 1, 2013), hlm. 76. 12
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta : Kencana Cet ke 4, Agustus 2007), hlm. 11. 13
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I 2012), hlm. 252. 14
Gemala Dewi, Ibid, hlm. 14. 15
Dalam masalah menentukan apa saja yang menjadi rukun akad ini, terjadi silang
pendapat antara jumhur ulama dengan hanafiyah. Dimana Jumhur ulama berpendapat, bahwa
rukun akad itu ada tiga; yaitu „aqid, ma‟qud alayh, dan sighah al-„aqd. Sementara menurut
hanafiyah, rukun akad hanya satu, yaitu ijab dan qabul saja, dan yang lainnya masuk dalam
kategori konsekuensi (lawazim) akad, karena adanya ijab dan qabul menuntut adanya „aqid. Lihat,
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqhu al-Isla>mi wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet III Vol 4,
1996), hlm. 92.
55
b) Obyek akad,
c) Tujuan pokok akad, dan
d) Kesepakatan.16
Selain rukun akad sendiri, terdapat syarat-syarat yang harus ada dalam suatu
akad. Beberapa pembagian syarat menurut para fuqaha yaitu syarat terjadinya
akad (syuru>th al-in‟iqa>d), syarat sah akad (syuru>t al-Sihhah), syarat
pelaksanaan akad (syuru>th an-nafidz), dan syarat keharusan/kepastian hukum
(syuru>th al-iltizam).17
1. Syarat terjadinya akad (syuru>th al-in‟iqad) terbagi menjadi syarat
umum dan khusus. yang termasuk umum yaitu rukun-rukun yang harus
ada pada setiap akad , seperti orang yang berakad, obyek akad (objek
tersebut bermanfaat dan tidak dilarang oleh syara‟). Sedangkan syarat
khusus ialah syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak
diisyaratkan pada bagian lainnya, seperti syarat harus adanya saksi pada
akad nikah („aqdu aj-Jawa>z) dan keharusan penyerahan barang/obyek
akad/ al-„uqu>d al-„ainiyyah.
2. Syarat sahnya akad
Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr.
Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad, apabila terhindar dari 6 enam
hal yaitu :
a. al-Jaha>lah (ketidakjelasan tentang harga, jenis dan spesifikasinya,
waktu pembayaran, atau lamanya opsi dan penanggung atau
penanggung jawab)
b. al-Ikra>h (keterpaksaan)
c. at-Tauqi>t (Pembatasan Waktu)
d. al-Gharar (ada unsur ketidakjelasan atau fiktif)
e. al- Dharar (ada unsur kemudharatan)
f. Al-Syartu al-fasi>d (syarat-syaratnya rusak)
3. Syarat pelaksanaan akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin
16
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku 2 (kedua) Rukun dan Syarat Akad
Pasal 22, hlm. 16. 17
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Ibid, hlm. 40.
56
orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1) adanya kepemilikan
terhadap barang atau adanya otoritas (al-wila>yah) untuk mengadakan
akad, baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) pada barang atau jasa
tersebut tidak terdapat hak orang lain.
4. Syarat kepastian hukum atau kekuatan hukum
Suatu akad baru mepunyai kekuatan mengikat apabila ia terbebas dari
segala macam hak khiyar.
Syarat sahnya akad juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) Buku II Pasal 26 bahwa akad tidak sah apabila
bertentangan dengan:
a. Syariat Islam
b. Peraturan Perundang-Undangn
c. Ketertiban Umum dan/atau
d. Kesusilaan
Selain itu dalam Pasal 29 dinyatakan juga bahwa akad yang sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah akakd yang
disepakati dalam perjanjian, dan tidak mengandung unsur :
a. Ghalath atau Khilaf
b. Tidak dilakukan dibawah Ikrah atau paksaan
c. Taghri>r atau tipuan dan
d. Ghubn atau penyamaran.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau disingkat KHES merupakan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. KHES merupakan sebagai pedoman prinsip syariah bagi
Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang diterbitkan dalam bentuk
Peraturan Mahkamah Agung. KHES berfungsi untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan Undang-Undang dalam menjalankan praktik peradilan dalam
memberikan keadilan sehingga kepastian hukum dapat terwujud.18
Sedangkan kalau ditinjau dari kekuatan hukum KHES dalam hierarki
18
M. Isna Wahyudi, Achmad Fauzi, Edi Hudiata, Hermansyah, Peradilan Agama Babak
Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Kedudukan KHES, KHAES dan Efektifitas
Penerapannya, Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014, hlm. 23-24.
57
peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditinjau berdasarkan Pasal 7
dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa:
Pasal 7
Ayat (1) Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-Undnag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Ayat (2) Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana di maksud pada ayat (1)
Pasal 8
Ayat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Ayat (2) “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Jadi Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Maka
KHES sudah memiliki Kekuatan Hukum yang mengikat.
Berdasarkan rukun dan syarat diatas, perjanjian pembiayaan musyarakah
58
antara nasabah dengan perbankan syariah dalam Putusan Mahkamah Agung
No 715 K/Ag/2014 telah memenuhi rukun dan syarat yang ada. Rukun yang
pertama yaitu para pihak dalam hal ini, nasabah dengan perbankan syariah.
Juga rukun kedua yaitu obyek akad dalam perjanjian yaitu pembiayaan
musyarakah, dan rukun ketiga juga telah terpenuhi yaitu sighat akad atau ijab
qabul yang telah dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam sebuah
kontrak. Ijab disini yaitu kontrak yang diberikan kepada nasabah yang
berisikan klausul hak dan kewajiban kedua belah pihak dan sedangkan qabul
yaitu tanda tangan nasabah apabila telah sepakat dengan isi kontrak dalam
perjanjian tersebut. dalil sahnya ijab dan qabul dalam bentuk tulisan merujuk
kepada firman Allah Swt dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat (282) “
Wahai orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan juga hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Rukun keempat
tujuan akad dalam perjanjian tersebut juga telah terpenuhi yaitu bertujuan
memberkan kontribusi dana dalam bentuk amal, keahlian dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan Surat Pernyataan yang berisikan dan bertujuan untuk
melepaskan tanggung jawab terhadap resiko yang mungkin terjadi dalam
pelaksanaan penutupan asuransi dan mengalihkan pelunasan pembiayaan
musyarakah kepada ahli waris ini bertentangan dengan tujuan akad yaitu
keadilan dan pembagian kerugian resiko bersama secara proposional.
Berdasarkan KHES tujuan suatu akad tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan syariah, Undang-Undang, Ketertiban Umum dan/atau Kesusilaan.
Maka Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi unsur tujuan akad yang
merupakan rukun yang keempat dalam hukum perjanjian Islam. Klausul Surat
Pernyataan tersebut juga belum memenuhi Syarat sahnya suatu akad yaitu
masih terdapat unsur al-Dharar (kemudharatan). Dimana kemudharatan bagi
pihak nasabah debitur yang sudah membayar premi asuransi jiwa. Dalam
KHES hukum akad dapat terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
a. Akad yang Sah
Akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya
59
b. Akad yang Fasad/dapat dibatalkan19
Akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi
atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan
maslahat
c. Akad yang batal/batal demi hukum
Akad yang kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya.
Berdasarkan hukum akad diatas maka, dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan akad musyarakah
tersebut dapat dikategorikan sebagai akad yang batal/batal demi hukum karena
terdapat kekurangan dalam rukun dan syaratnya.20
Klausul Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan beberapa asas
dalam perjanjian yaitu pertama bertentangan dengan Pasal 21 huruf j KHES,
bahwa akad harus dilakukan dengan itikad baik dalam rangka menegakkan
kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
Asas itikad baik merupakan pelaksanaan perjanjian harus dijalankan dengan
memperhatikan kepatutan dan kesusilaan, sehingga menimbulkan
kemaslahatan bagi para pihak.
Kedua, Klausul Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan asas
transparansi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 huruf g KHES yang
menyatakan bahwa setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihak secara terbuka. Bahwa akad yang dibuat harus bersifat transparan, jelas
dan terbuka mengenai pertanggung jawaban para pihak dalam akad tersebut.
Ketiga, Klausul Surat Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 21 huruf k KHES asas suatu sebab yang halal, bahwa akad yang
dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan
tidak haram.
Keempat, bertentangan dengan asas kesetaraan (taswiyah) sebagaimana
19
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.
Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatlkan oelh hakim atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Sedangkan batal demi hukum artinya dari
semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Lihat Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1993), hlm. 45. 20
Dalam Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Akad yang fasad adalah
akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak
akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Akad fasad dapat dibatalkan.
60
diatur dalam Pasal 21 huruf f KHES. Tidak adanya kesetaraaan antara para
pihak dalam perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban.
Ahli waris harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang bukan menjadi
tanggung jawabnya, yaitu melunasi pembiayaan yang seharusnya telah
dilindungi oleh asuransi.
ketidakseimbangan yang dapat menimbulkan ketidakadilan dalam
transaksi di perbankan syariah tersebut, khususnya Isi Surat Pernyataan dalam
perjanjian pembiayaan musyarakah yang mengalihkan tanggung jawab resiko
yangmana dapat merugikan juga menimbulkan kezaliman kepada salah satu
pihak dalam perjanjian. Klausul Surat Pernyataan tersebut bertentangan dengan
asas perbankan syariah yang bersandar pada prinsip syariah juga keadilan itu
sendiri.21
Dimana dalam ketentuannya perbankan syariah dalam melakukan
seluruh kegiatannya harus berdasarkan pada prinsip syariah juga berkeadilan.22
Penjelasan dalam Pasal 2 tentang prinsip syariah adalah suatu kegiataan
usaha yang tidak mengandung unsur-unsur:
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam
meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalkan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasiah).
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak memiliki,
tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserhakan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah
21
Pasal 1 angka 12 : Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah. Asas, Tujuan, dan Fungsi Pasal 2 : Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, Demokrasi Ekonomi, dan Prinsip
Kehati-hatian. Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
61
e. Dhzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
Akad Syariah dalam transaksi diperbankan syariah berpedoman atau
bersumber pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam Al-Qur‟an, Hadist, juga
Kaidah Fiqh. Melihat adanya Surat Pernyataan yang membebaskan tanggung
jawab resiko pelaku usaha (perbankan) kepada Konsumen (nasabah) yang
menimbulkan kerugian atas hak-hak konsumen (nasabah) ini bertentangan
dengan beberapa ketentuan dalam ayat Al-Quran diantaranya yaitu :
نوا أوفوا بلعقود )املائدة : ينا أما اا الذ أيه (1يا
Artinya :”Hai Orang-Orang yang beriman, Penuhilah akad-akad itu”.(al-
Maidah:1)
Dalam tafsirnya ibnu katsir mengatakan bahwa orang-orang yang beriman
diwajibkan untuk menunaikan segala macam akad, ini berdasarkan kalimat
perintah (amar) dalam ayat tersebut yaitu tunaikanlah atau penuhilah kalian
dengan akad-akad tersebut. Zaid bin Aslam menambahkan bahwa Akad atau
perjanjian disini yaitu berupa akad janji dengan Allah swt, akad halaf, akad
Syirkah, akad Jual beli, Akad nikah, dan Akad yamin atau sumpah.23
سوا النذاسا أ لا تابخا لا تاعثاوا ف األرض مفسدينا )الشعراء :وا ه وا يااءا (181ش
Artinya :“dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS.As Syu‟ara‟: 183).
كوا لا تا ايناك بلبااطل.....)البقرة :وا الاك ب (188أموا
Artinya :” Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain
di antara kalian dengan jalan yang batil (Al-Baqarah :188).
Dalam ayat yang kedua ibnu katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa
23
Ibnu Katsir al-Qarshi ad-Dimasqyi, Tafsir al-Qur‟an al-Azhim Ibnu Katsir, Juz 3,
(Riyadh: Dar Thayybah, 1999), hlm. 8.
62
janganlah merugikan manusia pada hak-haknya maksudnya disini yaitu
janganlah kalian mengurangi harta-harta mereka. Dimana ayat ini mempunyai
hubungan dengan ayat sebelumnya yang menyuruh kepada menyempurnakan
timbangan atau takaran.24
Sedangkan dalam ayat yang ketiga, Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa Ali
ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan
dengan lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang
tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya
dan mengadukan kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan
dengan perkara yang hak dan berada di pihak yang salah (berdosa) dan
memakan harta haram. Hal sama juga diriwayatkan oleh Mujahid Sa‟id ibnu
Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah dan seterusnya, bahwa mereka pernah
mengatakan bahwa janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu
mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim.25
Dari ketiga ayat diatas, Islam mengajarkan untuk memenuhi hak-hak
ataupun perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan prinsip syariah atau
dengan prinsip untuk tidak berlaku zalim dan merugikan pihak lainnya.
sedangkan dalam surat pernyataan tersebut yang berisikan pengalihan tanggung
jawab resiko bertentangan dengan ketiga ayat diatas.
Dalam perjanjian atau akad syariah, kita terikat dengan syarat-syarat yang
terdapat dalam perjanjian tersebut, kecuali syarat-syarat tersebut bertentangan
dengan prinsip syariah itu sendiri, yangmana dengan sendirinya syarat tersebut
tidak dapat dilaksanakan atau tidak terikat karena merupakan syarat yang
rusak/fasid. Begitu juga dengan surat pernyataan yang isinya bertentangan
dengan prinsip syariah dalam sebuah transaksi syariah. hal ini sesuai dengan
hadist nabi dalam riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf :
ااما را لذ حا ل أو أحا لا ما حا رذ لذ صلحا حاايا المسلميا ا ئز ب لح جاا الصه
ل أ لا ما حا رذ طا حا لذ شاوطيم ا المسلمونا عالا ش اما )رواه وا را لذ حا و أحا
الرتمذي و حصحو ابن حبان(
24 Abi Al-Fidaa Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qursy Ad-Dimasqy, Tafsir Al-Qur‟an Al-
Azim, (Beirut : Dar Ibn Hazm, Cet I 2000), hlm. 1359. 25
Ibid, hlm. 521.
63
Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.)HR. Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Ibn Hibban
Selain itu, klausul surat pernyataan tersebut juga bertentangan dengan
prinsip syariah yang seharusnya tidak mengandung unsur zalim atau
kemudharatan yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya,
sebagaimana Hadist Nabi yang di riwayatkan oleh muslim dari Jaabir Ra
berkata bahwa rasulallah saw bersabda :
ة اوما القياما ات ي لا ظلما نذ الظهلا فاا ذقوا الظه ات
Artinya: “Jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan di hari
kiamat”
Juga berdasarkan Hadist Nabi dari abi Saiid Saad bin sinaan al-Khudriy r.a:
ارا )رواه ابن ماجو وادلرقطين و غريىام عن أ يب سعيد لا ضا را وا ا ضا لا
اخلدري(Artinya:“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR.
Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa‟id al-Khudri).
Maka berdasarkan Uraian diatas, Surat Pernyataan dalam perjanjian
pembiayaan musyarakah yang berisikan Pengalihan tanggung jawab resiko
bertentangan dengan tujuan akad dan bertentangan dengan beberapa asas-asas
dalam hukum perjanjian Islam seperti asas itikad baik, asas transparansi, asas
kesetaraan (taswiyah), asas suatu sebab yang halal. Surat pernyataan tersebut
juga tidak sesuai dengan prinsip syariah yang mengandung unsur zalim dan
ketidakadilan di dalamnya, serta tidak sesuai dengan anjuran Al-Qur‟an dan
Hadist dalam melaksanakan Perjanjian. Maka dengan itu, secara tidak langsung
akad yang yang berisikan surat pernyataan belum memenuhi rukun dan syarat
akan berdampak hukum tidak sah dan merupakan akad batil. Dalam Pasal 26
KHES juga dijelaskan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan
syariat Islam, Peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau
kesusilaan. Maka surat pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyrakah
64
dapat dikatakan akad batal atau batal demi hukum.26
2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
KUHPerdata atau disebut juga dengan BW (Burgelijk Wetboek) merupakan
hukum perdata eropa yang masih berlaku dan digunakan oleh hakim dalam
pertimbangan hukumnya terhadap perkara keperdataan di Indonesia.
KUHPerdata yang mengatur norma hukum perdata secara sistematis terdiri dari
empat buku : Buku kesatu tentang Orang, Buku kedua tentang Kebendaan,
Buku ketiga tentang Perikatan dan Buku keempat tentang Pembuktian dan
Daluwarsa. Dalam arti lain keempat bagian ini berdasrkan ilmu pengetahuan
hukum sekarang ini, membahas tentang hukum diri seseorang/perorangan,
kekeluargaan, kekayaan yang terbagi atas hukum kekayaan absolut dan relatif,
dan waris.
Perjanjian atau kontrak berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis
dari berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak perjanjian
atau kontrak saat ini dibuat dalam bentuk tertulis. Kontrak atau perjanjian
tertulis adalah dasar bagi para pihak untuk melakukan suatu penuntutan apabila
salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dalam suatu
kontrak atau perjanjian. Pada dasarnya suatu perjanjian atau kontrak berawal
dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak, dan
perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumunya diawali dengan
proses negoisasi diantara para pihak, sehingga dengan adanya kontrak
perbedaan tersebut diakomodir demi menciptakan kesepakatan juga saling
mempertemukan sesuatu yang diinginkan dan selanjutnya dibingkai dengan
perangkat hukum sehingga mengikat kedua belah pihak.27
Dalam KUHPerdata kata perikatan maknanya lebih luas dari kata perjanjian
sendiri. Makna perjanjian dalam KUHPerdata adalah suatu perikatan yang
timbul berdasarkan kontrak atau persetujuan.28
Syarat sahnya perjanjian
terdapat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
26
Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Lihat dalam
Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ayat (3) 27
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam kontrak
Komersial, (Jakarta : Kencana Cet 2, 2011), hlm. 1. 28
Pasal 1313 KUHPerdata : Persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
65
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Syarat yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
maksudnya bahwa Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak kedua belah pihak mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,
dan siapa yang harus melaksanakan.29
Tidak sampai disitu, kesepakatan dalam
perjanjian harus diadakan secara sukarela dari para pihak dalam perjanjian
sesuai ketentuan Pasal 1321 yang menyatakan bahwa “tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan.”
Syarat yang pertama ini menjadi asas dalam sahnya suatu perjanjian. Syarat
ini juga disebut dengan asas Konsensualisme. Asas konsensualisme merupakan
asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan kedua belah pihak merupakan persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas Konsensualisme
mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas
kekuatan mengikat nantinya, yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) BW. Asas ini
menekankan adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari
hukum kontrak.30
Namun demikian, pada situasi tertentu terdapat perjanjian
yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan
adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang memengaruhi timbulnya perjanjian.
Cacat kehendak tersebut meliputi tiga hal :
a. Kesesatan atau dwaling
b. Penipuan atau bedrog
c. Paksaaan atau dwang
29
Kartini Mujadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir dari
Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 95. 30
Dhasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law,
Lokakarya ELIPS Project materi Perbandingan Hukum Perjanjian, Hotel Sahid Surabaya, 1993,
hlm.5. Lihat Agus Yudha Hernoko, Ibid, hlm. 122.
66
Dengan demikian, pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada
“sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan
dalam kontrak adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung
jawab dalam lalu lintas hukum, dan orang yang beritikad baik. Apabila kata
sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka sebenarnya
maka hal ini, akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. pada akhirnya
pemahaman asas konsualisme hanya mendasarkan pada kata sepakat saja.
Syarat kedua kecakapan untuk membuat perikatan. Setiap orang cakap
untuk membuat perikatan atau perjanjian, jika oleh Undang-Undang
dinyatakan cakap. Syarat ini dijelaskan dalam Pasal 1330 KUUHPerdata yang
mengatur bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang yang belum dewasa
Dalam Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa dewasa merupakan
mereka yang belum mencapai genap dua puluh satu tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin. Akan tetapi ketentuan ini digantikan dengan
ketentuan dewasa dalam Undnag-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 50 yang menyatakan “anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
Ketentuan ini berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit
gelap atau mata gelap harus di teruh dibawah pengampunan, pun jika ia
kadang-kadang cakap mempergunakanpikirannya. Seorang dewasa bleh
juga di taruh di bawah pengampunan karena keborosannya.”
3. Orang-orang perempuan dan pada umumnya semua orang dalam hal
ditetapkan oleh Undang-Undang.
Syarat ketiga yaitu suatu hal tertentu. Maksudnya yaitu suatu perjanjian
harus jelas objek yang ditentukan oleh para pihak baik berupa barang, jasa,
maupunlainnya. Suatu hal tertentu juga dapat dijelaskan dalam Pasal 1333
yang berbunyi “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian
67
berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Pasal diatas menegaskan apapun
jenis perikatannya baik perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu harus menunjukkan keberadaannya atau
eksistensinya ada.
Syarat yang keempat yaitu suatu sebab yang halal. Yang dimaksud sebab
yang halal tersebut yaitu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata dijelaskan yang disbeut sebab yang
halal adalah :
1. Bukan tanpa sebab
2. Bukan sebab yang palsu
3. Bukan sebab terlarang yaitu dilarang oleh undang-undang, bertentangan
dengan kesusilaan dan bertentangan dengan ketertiban umum. Ini juga
disebutkan dalam Pasal 1337.
Keempat syarat pokok ini dikelompokkan dalam dua bagian yaitu syarat-
syarat subjektif yaitu yang berhubungan dengan subjek hukum itu sendiri.
Yang termasuk dalam syarat ini adalah sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kedua syarat-syarat
objektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek hukum yang
termasuk didalamnya syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Para
ahli hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa dalam hal syarat-syarat
subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya (voidable). Sedangkan dalam hal syarat-syarat objektif tidak
dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab initio).31
Kalau melihat syarat sah yang pertama yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, maka dalam hal ini pihak perbankan syariah juga pihak
nasabah telah bersepakat dalam pembiayaan musyarakah juga dalam surat
31
Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.
Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatlkan oelh hakim atas
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Sedangkan batal demi hukum artinya dari
semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Lihat Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1993), hlm. 45.
68
pernyataan yang dibuktikan dengan tanda tangan nasabah dalam kontrak tersebut
tanpa adanya paksaan dari pihak perbankan. Syarat kedua juga telah dipenuhi
yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dalam hal ini, nasabah benar-
benar orang yang dewasa dan sehat. Begitu pun dengan syarat ketiga yaitu suatu
hal tertentu yaitu perjanjian pembiayaan akad musyarakah dimana perbankan
memberikan sejumlah dana kepada nasabah untuk penambahan modal usahanya.
Sedangkan syarat sah keempat yaitu perjanjian karena suatu sebab yang halal.
Pasal 1335 menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
Selanjutnya dalam Pasal 1337 dinyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum.” Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan
musyarakah berisi pengalihan tangggung jawab kepada konsumen dilarang oleh
undang-undang.32
Syarat suatu sebab yang halal dilanggar, sehingga tidak
memenuhi syarat sah perjanjian elemen yang keempat yaitu “suatu sebab yang
halal”.
Selain empat syarat diatas, terdapat juga asas-asas dalam melakukan
sebuah perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik dan
kepatutan.
a) Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini,
membuka peluang tumbuhnya berbagai perjanjian jenis baru yangmana perjanjian
yang timbul, tumbuh, berkembang dalam masyarakat merupakan jawaban dari
kebutuhan masyarakat atas perjanjian tersebut.33
Berdasarkan asas ini suatu pihak
dapat memperjanjikan apa-apa yang dikehendakinya dengan pihak lain. Dengan
perkataan lain para pihak berhak untuk menentukan apa-apa saja yang diinginkan
32
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan dilarangnya membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usahan. 33
Taufiq El Rahman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Kepribadian Dalam
Kontrak-Kontrak Outsourcing, (Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011),
hlm. 584.
69
dan sekaligus diperkenankan untuk menentukan sesuatu yang dicantumkan dalam
perjanjian. Suatu pandangan yaitu bebas untuk melakukan atau tidak melakukan
perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan kebebasan untuk
menetapkan syarat-syarat perjanjian.
Namun demikian bahwa penerapan asas kebebasan berkontrak terikat, tidak
bebas dan tidak berdiri sendiri melainkan terdapat beberapa batasan-batasan yang
diterapkan oleh undang-undang, diantaranya asas kebebasan berkontrak tersebut
tidak boleh bertentangan dengan asas itikad baik, ketertiban umum, kepatutan,
dan kesusilaan. Maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana
tersimpul dari substansi Pasal 1338 (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka
pemahaman pasal-pasal atau ketentuan yang lain yaitu :34
a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)
b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa atau
dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu dan terlarang.
c. Pasal 1337, yang menyatakan suatu sebab dilarang yang berlawanan
denga kesusilaan dan ketertiban umum.
d. Pasal 1338 (3) BW, kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
e. Pasal 1339 BW, menunjukkan terikatnya perjanjian dengan keadilan,
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338
(1) hendaknya dibaca/diinterpretasikan dalam rangka pikir yang menempatkan
posisi para pihak dalam keadaan seimbang-proporsional. Asas ini secara filosofis
menabukan apabila dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan,
ketidakadilan, ketimpangan dan posisi berat sebelah maka justru merupakan
pengingkaran terhadap asas kebebasan kontrak itu sendiri. Oleh karena itu,
terwujudnya proposionalitas dalam hubungan para pihak akan membuat kontrak
menjadi bernilai.35
b. Asas itikad baik atau kepatutan
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad
baik (in good faith) ini ada dua yaitu subyektif dan obyektif. Asas itikad baik
34
Agus Yudha, Hukum Perjanjian ,Ibid, hlm. 117. 35
Agus Yudha, Hukum Perjanjian, Ibid, hlm. 120.
70
subyektif adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik yang bersih dari para
pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif merupakan pelaksanaan perjanjian itu
harus berjalan diatas rel yang benar, harus mengindahkan norma-norma kepatutan
dan kesusilaan. Maksud dari itikad baik (contractus bonafidei) sendiri dalam
Pasal 1338 (3) BW dituliskan bahwa perjanjian itu dilaksanakan menurut
kepatutan dan keadilan, tidak menyalahgunakan keadaan (tidak boleh
menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi), tidak ada
paksaan, kesesatan, penipuan, dan kejujuran dan kepatuhan.36
Dalam hukum
kontrak, itikad baik memliki tiga fungsi :
1) Fungsi standar: Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad
baik.
2) Fungsi menambah (aanvullende werking van de te goeder trouw).
Hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah kata-kata
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu.
3) Fungsi membatasi dan meniadakan : Hakim dapat mengesampingkan isi
perjanjian atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perjanjian jika terjadi perubahan keadaan yang dpaat mengakibatkan
ketidakadilan.
Dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik merupakan sebuah asas dimana
para pihak yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan subtansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik yang
penilaiannya ada pada akal sehat dan keadilan. Berdasarkan asas itikad baik ini,
pengalihan resiko dalam perjanjian akad musyarakah tersebut belum memenuhi
asas itikad baik.
Berdasarkan asas-asas diatas, Surat Pernyataan pada perjanjian
pembiayaan musyarakah merupakan suatu tindakan yang tidak patut (on
billijkheid). Suarat Pernyataa tersebut juga bertentangan dengan asas
itikad baik dalam Pasal 1338 yaitu suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal
1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi
36
Luh Nila Winarni, Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam
Perjanjian Pembiayaan, (DIH, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 11, No. 21, Februari 2015), hlm. 1-12.
71
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang.” Berdasarkan itu
kesepakatan dalam surat pernyataan dalam perjanjian pembiayaan
musyarakah belum memenuhi syarat objektif suatu sebab yang halal
sehingga surat pernyataan tersebut batal demi hukum.
Tabel 1.7 : Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung
Jawab Resiko Dalam Surat Pernyataan Pada Perkara Perjanjian
Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam
dan KUHPerdata.
No Keterangan Hukum Perjanjian Islam KUHPerdata
1 Syarat Sah
Perjanjian
Memenuhi Rukun dan
Syarat Akad
Rukun Akad:
1. Al‟aqidain (Subjek
Perikatan)
2. Mahallul „Aqd (Objek
Perkatan)
3. Maudhu‟ul „Aqd
(Tujuan Perikatan)
4. Sighat al „Aqd (Ijab
dan qabul)
Syarat Akad:
1. Tidak menyalahi halal
hukum syariah
2. Harus sama ridho atau
sepakat
3. Akad harus jelas
Pasal 26 KHES, akad
tidak sah apabila
bertentangan dengan :
e.syariat Islam
f.Peraturan Perundang-
Pasal 1320 KUHPerdata
mengatur sahnya
perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang
mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk
membuat suatu
perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
72
Undangan
g.Ketertiban Umum
h.Kesusilaan
Pasal 26 huruf a, akad
yang sah adalah akad
yang disepakati dalam
perjanjian, tidak
mengandung unsur :
a. Ghalath atau khilaf
b.Tidak dilakukan
dibawah ikrah atau
paksaan
c.Taghrir atau tipuan
dan
d. Ghubn atau
Penyamaran
2 Ketentuan
yang
dilanggar
Bertentangan dengan
tujuan akad yang
merupakan salah satu
dari rukun akad.
Bertentangan dengan
prinsip syariah yaitu
perbuatan zalim yang
menimbulkan
ketidakadilan bagi ahli
waris.
Bertentangan dengan
Pasal 21 KHES
mengenai asas-asas
dalam akad yaitu asas
transparansi (Pasal 21
huruf g, asas
Bertentangan dengan
Pasal 1338 ayat (3)
“suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan
itikad baik.
Bertentangan dengan
Pasal 1339 bahwa
perjanjian tidak hanya
mengikat hal-hal yang
secara tegas dinyatakan
dalam perjanjian tetapi
juga diharuskan sesuai
dengan asas kepatutan,
kebiasaan dan undang-
undang.
Bertentangan dengan
73
keseimbangan/taswiyah
(huruf f), asas itikad baik
(huruf j), asas suatu
sebab yang halal (huruf
k).
Bertentangan dengan
prinsip syariah yaitu
zalim dan ketidakadilan.
syarat sah perjanjian
yaitu suatu sebab yang
halal.
3 Akibat
Hukum
Akad Batil atau akad
yang batal
Batal demi hukum
74
BAB IV
ANALISA PUTUSAN HAKIM ATAS TIDAK DAPAT DITERIMANYA
GUGATAN PENGGUGAT DALAM PERKARA PERJANJIAN
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NO 715 K/Ag/2014
A. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Hakim
Dalam sebuah putusan di Pengadilan terdapat asas-asas yang mesti ditegakkan,
agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Salah satu Asas yang
mesti di uraikan dalam sebuah putusan adalah asas memuat dasar alasan yang
jelas dan rinci dalam putusan. Berdasarkan asas ini, putusan yang dijatuhkan
dalam persidangan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dapat dikategorikan putusan yang
tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang
menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan:
Pasal-Pasal tertentu peraturan perundangan-undangan
Hukum Kebiasaan
Yurisprudensi
Doktrin hukum
Hal diatas ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa segala putusan Pengadilan harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan
perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus
atau berdasarkan hukum tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.1
Alasan-alasan diatas dapat dikenal dengan istilah pertimbangan hukum hakim.2
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari sebuah
putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan
1 Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika 2014), hlm. 797-798. 2 Formulasi putusan adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam
putusanagar memenuhi syarat perundang-undangan. Unsur formula harus memuat secara ringkas
dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan. Lihat M. Yahya Harahap, Ibid,
hlm. 807.
75
analisis yang jelas berdasarkan undang-undang pembuktian:
1) Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat
formil dan materiil
2) Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian
3) Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti
4) Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak
Selanjutnya, diikuti analisis hukum apa yang diterapkan oleh hakim untuk
menyelesaikan perkara tersebut. bertitik tolak dari analisis tersebut, pertimbangan
melakukan argumentasi yang objektif dan rasional. Selanjutnya dari hasil
argumentasi tersebut hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan
yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan
penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.3
Dalam Perkara perjanjian musyarakah ini, terdapat perbedaan pertimbangan
hukum hakim sehingga menghasilkan putusan hakim yang berbeda juga
khususnya dalam hal Hukum Acara formil atau hukum acara perdata antara
pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding dan kasasi.
Dimana permasalahan hukum acara formil dapat menyebabkan diperiksa maupun
tidak diperiksanya perkara materil dari gugatan penggugat tersebut. Di pengadilan
tingkat I (pertama) majelis hakim dalam pertimbangan dan putusannya menolak
eksepsi dari para tergugat dan menyatakan bahwa gugatan penggugat telah
memenuhhi syarat formil suatu gugatan.4 Berbeda dengan pengadilan banding dan
kasasi dalam pertimbangan hukumnya, mempertimbangkan kembali beberapa
eksepsi dari para tergugat dan memutuskan bahwa gugatan penggugat belum
memenuhi syarat formil suatu gugatan sehingga gugatan tidak dapat diterima atau
3 Ibid, Hlm. 809.
4 Dalam wawancara dengan Hakim Ketua PA Medan dahulu dalam perkara ini Dalam
pernyataannya, Hakim Ketua menyatakan bahwa syarat formil gugatan penggugat telah memenuhi
syarat dan menolak eksepsi dari para tergugat I, II dan II sehingga lanjut kedalam pemeriksaan
materi gugatan. Lihat hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama tingkat I Medan dahulu,
sekarang menjabat Hakim Pengadilan Agama tingkat pertama Pekanbaru Bapak Hakim Drs. H.
Abdul Halim Ibrahim., M.H. Selaku Hakim Ketua dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor
967/pdt.G/2012/PA.Mdn, Pada hari Senin tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor
Pengadilan Agama Pekanbaru, Jln. Datuk Setia Maharaja/Parit Indah, Tengkerang Labuai,
Pekanbaru, Kota Pekanbaru Riau 28289.
76
NO (niet ontvankelijke verklaard)5 sehingga hakim dalam hal ini tidak mengadili
materiil gugatan perkara penggugat.6
Dalam Pertimbangan hukumnya, Majlis Hakim dalam tingkat Kasasi
menimbang bahwa secara formal gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat obscuur
libel, karena antara posita7 gugatan dengan petitum
8 gugatan tidak saling
mendukung, hal ini dilihat dari petitum gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat yang
tidak menuntut kepada pihak siapa yang harus mengembalikan modal pembiayaan
musyarakah dalam perkara a quo. Yang kedua disisi lain seharusnya yang digugat
dalam perkara a quo adalah PT. Bank Sumut Syariah bukan Aminuddin Sinaga
selaku pribadi dan Pimpinan cabang dari PT. Bank Sumut Syariah Cabang
Padangsidempuan. Pertimbangan ketiga yaitu alasan kasasi Pemohon
Kasasi/Penggugat hanya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dipertimbangkan dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi karena pemeriksaan dalam tingkat hanya
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau
5 Putusan NO (niet ontvankelijke verklaard) merupakan putusan yang menyatakan
bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil yang artinya
gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili sehingga tidak ada
objek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi. Lihat
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54f3260e923fb/arti-putusan-niet-ontvankelijke-
verklaard-no 6 Dalam pernyataannya, bapak Hakim Ketua menyatakan bahwa syarat formil gugatan
penggugat tidak dapat diterima karena terdapat cacat formil dalam gugatan penggugat. Lihat hasil
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan dahulu, sekarang menjabat Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Bapak Hakim Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. Selaku
Hakim Anggota dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor 124/pdt.G/2012/PTA.Mdn, Pada hari
Jum’at tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta,
Jln. Lingkar Selatan No. 321, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55188. 7 Posita merupakan dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan
dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Terdiri dari dua bagian yaitu 1) bagian yang
menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi. 2) bagian yang
menguraikan tentang hukumnya dan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi
dasar yuridis daripada tuntutan. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di
Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta : Kencana Cet 5, 2008), hlm. 29. 8 Petitum atau Tuntutan dalam Pasal 8 Nomor 3 B.Rv. disebutkan bahwa petitum adalah
apa yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan.
Dalam praktek peradilan, petitum dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu : 1) Tuntutan Pokok
(tuntutan primer), 2) Tuntutan tambahan dan 3) Tuntutan Subsider atau pengganti. Petitum juga
harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab apabila tuntutan tidak jelas maksudnya
atau tidak sempurna dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan oleh hakim.
Selain itu, petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung oleh posita. Apabila posita tidak
didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang
tidak didukung posita akibatnya tuntutan penggugat ditolak oleh hakim. Lihat Abdul Mannan,
Ibid, hlm. 32.
77
pelanggaran hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Berdasarkan itu, hakim
berhak tidak menerima gugatan penggugat karena mengandung cacat formil
sehingga hakim tidak dapat melanjuti dalam perkara materiil gugatan.9
Selanjutnya Majelis Hakim dalam amar putusannya Nomor 715 K/Ag/2014
dalam perkara perjanjian musyarakah ini, memutuskan atau mengadili menolak
permohonan serta alasan-alasan Kasasi dari Pemohon Kasasi, dalam hal ini juga
menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Agama sebelumnya dan menghukum
Pemohon Kasasi/Penggugat (ibu nasabah/ahli waris nasabah) untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi sejumlah Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
B. Analisa Dasar Pertimbangan Hukum Hakim atas Tidak dapat diterima
NO (niet ontvankelijke verklaard) Gugatan atau Permohonan Kasasi
Penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan musyarakah di Putusan
Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014
Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan
merupakan akhir dari setiap proses berperkara di dalam suatu persidangan atau
dalam arti lain putusan hakim merupakan pernyataan dari seseorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum
tetap. Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum yaitu
menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa
yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum atau hasil musyawarah
yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.10
Moh. Taufik Makarao juga dalam bukunya
mengartikan putusan hakim sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk megakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara
9 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 715 K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama. Juga
dalam wawancara dengan Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung (dahulu panitera
perkara) bapak Drs. H. Abdul Ghoni, S.H., M.H. Pada hari Senin tanggal 30 November 2017
Pukul 13.30 di Kantor Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jl.
Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat-DKI Jakarta Indonesia 10110. 10
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta,
cet I 2004), hlm. 124.
78
para pihak.11
Suatu perkara atau sengketa dalam peradilan dituangkan dalam sebuah gugatan
yang diajukan kepada pengadilan untuk dimintakan putusannya. Gugatan
merupakan suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak
lain untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, guna memulihkan kerugian
yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan. Gugatan dalam arti lain
juga dapat merupakan suatu permohonan yang disampaikan kepada pengadilan
yang berwenang tentang sesuatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai
dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. cara menyelesaikan
perselisahan ini diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht).
hukum Acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata materil. Singkatnya hukum acara perdata
merupakan hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana
caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata yang berfungsi
menegakkan hukum perdata materil.12
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H. Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Dengan perkataan lain, bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan
daripada putusannya.13
Ketentuan mengenai Hukum Acara perdata di Pengadilan
Agama telah diterbitkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
perubahan pertama Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 54.
Selain diatur didalamnya tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, juga
di dalamnya diatur tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan
Peradilan Agama yang dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
11
Ibid, hlm. 125. 12
Abdul Mannan, Penerapan Hukum, Ibid, hlm. 2. 13
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika cet 2, 2011), hlm. 5.
79
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.14
Hukum acara yang
dimaksud yaitu terletak pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 Pasal, akan
tetapi tidak semua ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara
lengkap dalam undang-undang tersebut. Oleh karena Hukum acara yang berlaku
di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
untuk Jawa Madura, Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) untuk luar
Jawa Madura, maka kedua aturan hukum Acara ini diberlakukan juga di
lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang.15
Kalau kita melihat, berdasarkan pertimbangan hukum hakim dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014, Hakim menilai bahwa dalam gugatan
yang diajukan oleh penggugat terdapat cacat formil atau belum memenuhi syarat
formil yang ada sehingga tidak diterimanya gugatan penggugat16
atau
permohonan kasasi penggugat. Dalam hal ini, majlis hakim mempertimbangkan
kembali eksepsi prosesual tergugat juga putusan hakim banding sebelumnya.
Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat atau
pemohon kasasi belum memenuhi syarat formil suatu gugatan atau gugatan cacat
formil. Terdapat berbagai ragam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim
untuk dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), antara lain sebagai
berikut:
14
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006
Pasal 54. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta; Yayasan Al Hikmah, Cet 2 2001), hlm. 6. 15
HIR (Herziene Inlandsch Reglement)diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia yang
diperbaharui adalah hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku
di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini berlaku di zaman Hindia Belanda yang tercantum di
Berita Negara (Staatblad) No. 16 tahun 1948. Sedangkan RBG (Rechtsreglement Voor De
Buitengewesten) diterjemahkan menjadi “Reglemen Hukum Daerah Seberang” merupakan hukum
acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan
Madura (tercantum dalam Staatblad 1927 No. 227), Lihat Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem
Hukum Acara Perdata, (Journal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 15 Juni 2017),
hlm. 2. 16
Merupakan salah satu putusan hakim atau pengadilan yang diakibatkan atau yang
terdapat cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain gugatan yang ditandatangani
kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR
jo. Sema No. 4 Tahun 1996 1) Gugatan tidak memiliki dasar hukum, 2) Gugatan error in persona
dalam bentuk diskualifikasi atau plurum litis consortium, 3) Gugatan mengandung cacat atau
obscuur libel, 4) Gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute. M. Yahya Harahap, Ibid,
hlm. 812.
80
Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh
surat kuasa khusus yang memenuhi syarat atau ketentuan yang berlaku
Gugatan mengandung error in persona
Gugatan diluar yuridiksi absolut atau relatif pengadilan
Gugatan obscuur libel
Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem
Gugatan masih prematur
Gugatan daluwarsa
Dalam pertimbangan hukum pertamanya, majlis hakim mempertimbangkan
eksepsi17
tergugat bahwa gugatan pemohon kasasi/penggugat obscuur libel.
Eksepsi Obscuur libel merupakan salah satu dari eksepsi prosesuil18
yang
diajukan oleh tergugat/para tergugat atau kuasanya karena pihak yang ditarik
sebagai tergugat keliru dan tidak tepat.19
Obscuur libel dalam gugatan itu karena
antara posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung yang dapat
dilihat dari petitum gugatan penggugat atau pemohon kasasi yang tidak menuntut
kepada pihak siapa dia menuntut dalam pengembalian modal pembiayaan
musyarakah dalam perkara a quo.
Pengertian obscuur libel sendiri yaitu surat gugatan penggugat tidak terang
atau isinya gelap (onduidelijk) dapat juga disebut formulasi gugatan tidak jelas.
Padahal agar gugatan dianggap memnuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang,
jelas dan tegas. Sebenarnya, jika bertolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal
120 dan Pasal 121 HIR, tidak terdapat penegasan merumuskan gugatan secara
17
Exceptie atau eksepsi secara umum berarti pengecualian atau tangkisan, bantahan
dandapat juga bermakan pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugatan
penggugat. Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi : 1) ditujukan
kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang
diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang
karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), 2) dengan demikian, keberatan yang
diajukan dalam bentuk eksepsi, tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok
perkara. Bantahan atau tangkisan terhadap materi pokok perkara diajukan sebagai bagian tersendiri
mengikuti eksepsi. Jenis eksepsi dibagi menjadi tiga yaitu : 1) Eksepsi Prosesual, 2) Eksepsi
Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi, 3) Eksepsi Hukum Materil. Lihat M. Yahya Harahap,
Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hlm. 432. 18
Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya
gugatan. Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis atau berdasarkan alasan-
alasan di luar pokok perkara. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta : Liberty Cet I, 2006), hlm. 122. 19
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm. 439.
81
jelas dan terang. Akan tetapi, praktik peradilan memedomani Pasal 8 Rv sebagai
rujukan berdasarkan asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara).
Menurut Pasal 8 Rv, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas
dan tertentu (een duidelijk en bepaalde concluise). Berdasarkan ketentuan ini,
praktik peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (obscuur
libel) atau eksepsi gugatan tidak jelas. Memang bagi hakim tidak mudah untuk
menilai apakah gugatan kabur atau tidak.
Dalam praktiknya, eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) mempunyai beberapa
bentuk yang dimana masing-masing bentuk didasarkan pada faktor-faktor tertentu
antara lain:
a. Tidak Jelasnya dasar hukum dalil gugatan
Artinya Posita atau fundamentum petendi, tidak menjelaskan dasar hukum
(rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa
juga dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar faktanya (etelijke
grond). Sebagai contoh dalam Putusan MA No. 250 K/Pdt/1984.20
Dalam
kasus tersebut, gugatan dinyatakan kabur dan tidak jelas karena tidak
dijelaskan sejak kapan dan atas dasar apa penggugat memperoleh hak atas
tanah sengketa dari kakeknya (Apakah berdasarkan hibah, warisan, atau
sebagainya). Selain itu, penggugat tidak menjelaskan, siapa orang tuanya
serta tidak menjelaskan apakah tanah sengketa tersebut diperoleh langsung
dari kakeknya atau melalui orang tuanya sebagai warisan. Gugatan yang
tidak menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang berhak atas
objek warisan, dapat dikategorikan sebagai gugatan kabur (obscuur libel),
karena dianggap tidak memenuhi dasar suatu gugatan.
b. Tidak jelasnya objek sengketa
Kekaburan atau tidak jelasnya objek sengketa sering terjadi mengenai
perkara tanah. Terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek
gugatan mengenai tanah yaitu seperti batas-batasnya tidak jelas, letaknya
tidak pasti dan ukuran yang disebut dalam gugatan berbeda dengan hasil
pemeriksaan setempat.
20
Tanggal 16-1-1986, jo.PT Medan No. 107/1981, 5-5-1982, jo. PN Tarutung
No.57/1979, 11-9-1979. Lihat M.yahya Harahap, Ibid, hlm. 448.
82
c. Petitum gugat tidak jelas21
Terdapat beberapa bentuk petitum yang tidak jelas, antara lain:
1) Petitum tidak rinci
Petitum gugatan hanya berbentuk kompositur atau ex aequo et bono.
Padahal berdaarkan teori dan praktik, pada prinsipnya petitum primair
harus rinci dan apabila petitum primair ada secara terinci, baru boleh
dibarengi dengan petitum subsidair secara rinci atau berbentuk
kompositur (ex aequo et bono).22
Pelanggaran terhadap hal tersebut
dapat mengakibatkan gugatan tidak jelas dan memberi kesempatan bagi
tergugat mengajukan eksepsi obscuur libel. Sebagai contohnya Putusan
MA No. 582 K/Sip/1973,23
Petitum gugatan meminta :
Menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa dan
Menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apa
pun atas tanah tersebut.
Namun, hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat
ingi ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa.
Begitu juga petitum berikutnya, tindakan apa yang harus dihentikan
tergugat. Berdasarkan petitum gugatan tidak jelas, gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima.
2) Kontradiksi antara posita dengan petitum
Telah dijelaskan bahwa posita dan petitum gugatan harus saling
mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak
dipenuhi, gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan itu, hal-hal yang
dapat dituntut dalam petitum harus mengenai penyelesaian perkara
21
Terdapat berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat yang menyebabkan cacat formil
gugatan yaitu : 1) Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum, 2)
Petitum Ganti Rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan, 3) petitum yang bersifat negatif, 4) petitum
tidak sejalan dengan dalil gugatan. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm. 64-
66 22
Bentuk Petitum dapat terbagi menjadi tiga yaitu 1) Tuntutan Pokok atau Primer, 2)
Tuntutan Tambahan, 3) Tuntutan Subsider atau pengganti. Petitum yang hanya mencantumkan ex-
aequo et bono atau mohon keadilan akan menimbulkan tidak terpenuhinya syarat formil dan
materil petitum juga gugatan dianggap mengandung cacat formil sehingga dinyatakan gugatan
tidak dapat diterima. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, Ibid, hlm. 24-26. 23
Tanggal 18-12-1975, Ibid., hlm. 451.
83
sengketa yang didalilkan. Jadi harus adanya sinkronisasi dan
konsistensi antara posita dan petitum yaitu yang dijelaskan dalam posita
yang itu juga yang diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak
dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.
Apalagi kalau secara prinsipil dan subtansial keseluruhan petitum tidak
sejalan dengan posita gugatan tidak dapat diterima. Contoh terjadi
dalam putusan MA No. 28 K/Sip/1973, penggugat mendalilkan bahwa
tanah sengketa berasal dari pembelian bersama penggugat dan tergugat.
Ternyata tergugat telah menjualnya tanpa persetujuan penggugat. Atas
dasar itu, penggugat menyatakan penjualan tersebut tidak sah. Akan
tetapi dalam petitum, penggugat meminta kepada pengadilan agar
tergugat dihukum membagi hasil penjualan. Petitum ini dianggap MA
bertentangan dengan posita yang menyatakan penjualan tidak sah tetapi
petitum menuntut pembagian hasil penjualan.
d. Masalah posita wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang tidak
dapat disatukan.
Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun sebuah
gugatan pengadilan yaitu :
1. Teori substantiering
Teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa
hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-
kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab
timbulnya peristiwa huum tersebut. bagi penggugat yang menuntut suatu
benda miliknya, didalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa
ia pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah
kepemilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi, hadiah dan
sebagainya.
2. Teori Individualiserings
Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-
peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-
84
kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-
kejadian tersebut. sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak
milik atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu
dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti
seperlunya.
Kalau kita cermati dalam dalil gugatan penggugat (Posita), bahwa penggugat
sebagai ahli waris nasabah melakukan gugatan terkait dengan perjanjian
pembiayaan musyarakah yangmana pembiayaan tersebut seharusnya dicover oleh
asuransi/pihak asuransi yang telah dibayarkan nasabah diawal perjanjian.
Sedangkan petitum atau tuntutannya dalam gugatan penggugat memohon kepada
hakim :
untuk meletakkan sita revidicator (sita milik) terhadap jaminan yang
diserahkan oleh nasabah
agar membatalkan atau menunda pelaksanaan permohonan lelang
eksekusi terhadap jaminan pembiayaan
Pembebasan beban hutang pembiayaan perjanjian musyarakah
Salah satu bentuk agar gugatan tidak dikategorikan obscuur libel yaitu petitum
atau tuntutan dalam gugatan harus jelas, terang dan cermat. Harus jelas disini
maknanya petitum atau gugatan dicantumkan secara rinci. Berdasarkan petitum
atau tuntutan penggugat diatas, penggugat tidak mencantumkan secara jelas siapa
yang dituntut untuk membebaskan atau membayar hutang nasabah dalam
perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut, Apakah pihak perbankan (tergugat I
dan II) ataukah Pihak Asuransi (Tergugat III). Dari sini petitum atau tuntutan
penggugat dalam gugatannya masih belum dirumuskan secara jelas, cermat dan
terperinci menjadikan gugatan penggugat menjadi kabur atau obscuur libel. Maka
gugatan penggugat yang mengandung obscuur libel atau tidak jelas dikategorikan
gugatan tersebut cacat formil sehingga gugatan penggugat tidak dapat diterima
oleh majlis hakim. Dalam hal gugatan belum memenuhi syarat formil atau
terdapat cacat formil, majlis hakim berhak untuk memutuskan dalam putusannya
untuk tidak dapat menerima gugatan penggugat atau NO (Niet Ontvankelijeke
verklaard).
Selanjutnya, eksepsi yang kedua yang menjadi pertimbangan hukum hakim
85
dalam gugatan penggugat tersebut adalah eksepsi error in persona atau salah
pihak. Terdapat beberapa Bentuk atau jenis dari eksepsi error in persona yang
meliputi antara lain:24
a) Eksepsi diskualifikasi
Yaitu yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak dan
tidak memiliki kapasitas mengajukan gugatan misalnya anak di bawah
umur atau orang yang dibawah perwalia juga perseroan yang belum
disahkan sebagai badan hukum bertindak atas nama perseroan.
b) Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat
Misalnya terjadi perjanjian jual beli antara A dan B. Lantasa A menarik C
sebagai tergugat agar C memenuhi perjanjian. Dalam kasus ini tindakan
menarik C sebagai pihak tergugat adalah keliru karena C tidak mempunyai
hubungan hukum dengan A tentang kasus yang diperkarakan. Tindakan A
bertentangan dengan prinsip partai kontrak yang digariskan dalam Pasal
1340 KHUPerdata “persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya, persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga, juga tidak
dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga.” Salah satu contohnya
Putusan MA No. 601 K/Sip/1975,25
tentang seorang pengurus yayasan
yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa
yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasusu ini, orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak tepat karena yang semestinya ditarik sebagai
tergugat adalah yayasan.
c) Exceptio plurium litis conscortium
Eksepsi ini maksudnya yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat
tidak lengkap atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap.
Masih ada orang yang harus ikut dijadikan sebagai penggugat atau
tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselesaikan secara tuntas
dan menyeluruh.
Asas error in persona dilandaskan dari hubungan hukum para pihak Penggugat
dan tergugat dalam sebuha perkara. Dalam hal ini, dalam perkara perjanjian
musyarakah dilandaskan berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata yang dinyatakan
24
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm.438. 25
Putusan MA Tanggal 13-1-1975. M.Yahya Harahap, Ibid, hlm. 439.
86
bahwa “Persetujuan hanya mengikat atau berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya”. Kalau kita melihat dalam gugatan penggugat yang ditarik sebagai
tergugat I adalah Aminudin Sinaga selaku Pribadi sekaligus Pimpinan Cabang PT.
Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan, Tergugat II: Direktur Utama PT.
Bank Sumut, Tergugat III : Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah.
Dalam teori sebuah gugatan, para pihak yang ditarik dalam gugatan ke pengadilan
seharusnya merupakan pihak-pihak yang ada sangkut pautnya atau mempunyai
hubungan hukum dengan perkara tersebut. Bila Penggugat, Tergugat, turut
tergugat sebagai badan hukum publik/privat maka harus secara tegas disebutkan
dalam surat gugat tersebut dan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran
dasar atau peraturan yang berlaku. Contohnya apabila gugatan terhadap badan
hukum publik dapat dialamatkan kepada pimpinannya sebagai wakil dari badan
hukum publik/privat tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas dalam Pasal 98 ayat (1) dikatakan bahwa “Direksi mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kalau dilihat dalam
perjanjian musyarakah ini yang seharusnya menjadi tergugat merupakan PT. Bank
Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (badan hukum) karena nasabah
melakukan perjanjian (mempunyai hubungan hukum) bukan dilakukan kepada
antara sesama persona akan tetapi persona (nasabah) dan badan hukum (badan
hukum).
Sudah dijelaskan diatas, bahwa dalam hal dunia perseroan atau badan hukum
yang bertindak di dalam maupun diluar pengadilan adalah direksi atau pimpinan
yang mewakili perseroan tersebut. Akan tetapi kalau kita melihat dari teori atau
doktrin Piercing The Corporate Veil, dimana apabila pemegang saham, Dewan
Komisaris, atau Direksi yang secara sengaja melakukan kesalahan atau kelalaian
yang ditimbulkan oleh pribadinya sehingga menyebabkan timbulnya kerugian
dalam perseroan maka dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atau
pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Asas Piercing The Corporate
Veil menunjukkan bahwa suatu perseroan memiliki wewenang
pertanggungjawaban tak terbatas yang seringkali tidak dapat dipisahkan atau
dilepaskan dari kehendak pihak-pihak yang menjadi pemegang saham atau
87
Direksi dari perseroan tersebut. Konteks demikian menunjukkan jika konsep
Piercing The Corporate Veil menyatakan bahwa jika dalam “keadaan terpisah”
perseroan dengan pemegang saham tidak ada, maka sudah selayaknyalah jika sifat
pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga dihapuskan26
, dengan
diterapkannya asas Piercing The Corporate Veil dalam suatu perseroan terbatas
maka pertanggungjawaban terbatas dari para pemegang saham hapus demi hukum
dan pemegang saham turut bertanggung jawab secara pribadi terhadap kesalahan
dan kerugian yang ditimbulkan dalam perseroan yang disebabkan oleh kelalaian
para pemegang saham.
Asas Piercing The Corporate Veil diterapkan dalam perseroan mengingat
banyaknya itikad buruk para pemegang saham ataupun Direksi dalam
menjalankan perseroan dimana terjadi penyimpangan dalam menjalankan
perseroan yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan sehingga
perseroan tidak sanggup lagi untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Dengan
demikian direksi atau dewan komisaris sebagai pengurus perseroan dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh
perseroan.27
Dalam arti lain, dimana tanggung jawab pengurus perseroan yang
tadinya bersifat terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas dimana
dalam hal tertentu tidak tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab
terbatas Direksi, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad
baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan
terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan
hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada
organ perseroan terbatas tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab
terbatas.28
Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang
dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta
pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.
26
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT,
(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm. 25. 27
Ibid, hlm. 27. 28
Penerapan teori Piercing The Corporate Veil merubah tanggungjawab pemegang
saham dalam perseroan yang sifat terbatas menjadi tanggung jawabtidak terbatas, sehingga
beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan kepada pihak lainnya. Lihat Roni Ansari N.S,
Piercing The Corporate Veil dan penerapannya, http://en.wikipedia.com, diakses pada hari
minggu, tanggal 13 juni 2011, pukul 12.00 WIB.
88
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan Direksi
adalah Direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut
diantaranya :
1. Baik sengaja atau tidak melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan
2. Baik sengaja atau tidak melakukan tugas yang seharusnya dijalankan
3. Baik sengaja atau tidak memberikan pernyataan yang salah
4. Baik sengaja atau tidak memberikan pernyataan yang menyesatkan
5. Baik sengaja atau tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan atau
kekuasaan sebagai direksi
6. Baik sengaja atau tidak tidak memenuhi janji yang telah diberikan
7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Sebagaimana dijelaskan, apabila direksi terbukti melakukan pelanggran
dalam perseroan maka kerugian yang di timbulkan perusahaan akan menjadi
tanggung jawab direksi seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut
dibuktikan.29
Berdasarkan penjelasan diatas, kalau kita cermati dalam perkara perjanjian
pembiayaan musyarakah ini pimpinan Bank Sumut Syariah Cabang
Padangsidimpuan telah melakukan kelalaian operasional dengan memberikan
pembiayaan dengan syarat dilengkapi kemudian atau taqabbul bil hukmi.
Dengan begitu, pimpinan sekaligus pribadi atas nama Aminuddin Sinaga
berhak diikutkan sebagai tergugat dalam perkara perjanjian pembiayaan
musyarakah ini berdasarkan Asas Piercing The Corporate Veil.
Dalam pertimbangan hukum hakim atau alasan hakim yang ketiga terkait
putusan gugatan tidak dapat diterima yaitu mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan
atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku.
29
Piercing The Corporate Veil, http://en.wikipedia.com, diakses 11 januari 2018 Pukul
12.00 WIB.
89
Kalau kita melihat bahwa Mahkamah Agung merupakan sebagai lembaga
tinggi negara menjadi salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
mempunyai berbagai fungsi yaitu fungsi yudisial dan non yudisial. Fungsi non
yudisial yang terdiri dari fungsi pengawasan, fungsi pembinaan, fungsi
administrasi, fungsi penasihat dan fungsi pengaturan.30
Dalam bidang yudisial
Mahkamah Agung merupakan puncak peradilan yang memiliki kewenangan
pertama, memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang
kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Ketiga, memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan
Grasi dan Rehabilitasi. Dalam menjalankan fungsinya di bidang yudisial
khususnya dalam mengadili pada peradilan tingkat kasasi, Mahkamah Agung
memiliki wewenang dalam membatalkan putusan atau penetapan pengadilan
dari semua lingkungan peradilan dengan dasar tidak berwenang atau
melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan.31
Jadi dalam hal pertimbangan hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dilakukan oleh Peradilan
tingkat Kasasi (Judex Juris)32
dalam hal ini Mahkamah Agung, melainkan
wewenang atau tugas ini menjadi wewenang dan tugas dari peradilan
dibawahnya yaitu peradilan tingkat Pertama dan peradilan tingkat Banding
(Judex Facti).33
30
Abdullah, MA Judex juris ataukah Judex Factie, Pengkajian Asas, Teori, Norma dan
Praktik, (Jakarta : Publishing Hukum dan Peradilan MA RI, 2010), hlm. 64. 31
Lihat Pasal 31A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958). Lihat Juga Pasal 20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. 32
Pemeriksaan Majlis Hakim di tingat selanjutnya dalam hal memeriksa hukum dari
suatu perkara dan menerapkan hukum tersebut terhadap fakta-fakta perkara. Dalam arti lain bahwa
judex juris merupakan putusan yang hanya berfokus dalam memeriksa penerapan hukumnya saja. 33
Pemeriksaan atau Putusan Majlis Hakim di tingkat pertama yang wajib memeriksa
bukti-bukti dari suatu kejadian perkara dan menerapkan aturan serta ketentuan hukum lainnya
terhadap fakta-fakta dari perkara tersebut.
90
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus perkara kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja,
tidak mengenai peristiwa atau fakta dalam perkara yang dimohonkan, sebab hal
ini sudah diperiksa oleh hakim di peradilan dibawahnya.
Pada mulanya Undang-Undang tidak mengatur secara resmi tentang upaya
hukum kasasi di lingkungan Peradilan Agama, tetapi karena pertimbangan dari
para pencari keadilan agar diperiksa juga demi keadilan dan kebenaran hukum
bagi semua pihak. Kasasi dilingkunagn Peradilan Agama diatur dalam Pasal 55
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang perubahan pertama Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 2009.
Melihat berdasarkan dari putusan hakim di tingkat kasasi ini, hakim telah
tepat menetapkan putusannya dengan tidak menerima permohonan kasasi
penggugat dikarenakan dalam gugatan penggugat masih belum memenuhi
syarat formil atau hukum acara perdata yang ada. Dalam putusannya juga
secara tidak langsung menguatkan pernyataan putusan sebelumnya dalam
tingkat Banding yaitu Pengadilan Tinggi Agama yang menyatakan bahwa
gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima atau NO (niet
ontvankelijike verklaard). Dalam hal cacat formil di suatu gugatan tidak
dituntut untuk terdapat didalamnya beberapa ketentuan seperti error in persona
,disqulifaciton in persona atau petitum dan posita bermasalah dalam satu
gugatan. Tetapi gugatan tetap tidak dapat diterima apabila terdapat satu
kesalahan yang membuat gugatan penggugat tidak dapat diterima NO (niet
ontvankelijike verklaard).
Selain itu, Putusan NO (niet ontvankelijike verklaard) merupakan putusan
yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan
belum memenuhi syarat formil atau terdapat cacat formil dalam gugatan
penggugat, yang artinya gugatan penggugat tersebut tidak dapat ditindaklanjuti
oleh hakim untuk dapat diperiksa dan diadili sehingga tidak ada objek gugatan
dalam putusan untuk di eksekusi. Berbeda halnya apabila putusan tersebut
menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan atau dikabulkan sebagian maka
91
putusan ini sudah inkracht yang artinya putusan harus dijalankan oleh panitera
atas perintah hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan
untuk mematuhi putusan hakim tersebut sesuai penjelasan Pasal 195 HIR.34
C. Upaya Hukum yang dapat dilakukan terhadap Putusan Kasasi yang
dinyatakan tidak dapat diterima atau NO (Niet Onvankelijk Verklaart)
Niet Onvankelijk Verklaart(N.O.)berarti tidak dapat diterimanya gugatannya
yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima,
karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum. ada pun alasan tidak diterimanya
gugatan Penggugat ada beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Gugatan tidak berdasarkan hukum
Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri penggugat
Gugatan kabur (Obscuur libel)
Gugatan masih prematur
Gugatan Nebis in idem
Gugatan error in persona
Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa)
Pengadilan tidak berwenang mengadili
Terhadap Putusan Kasasi majlis hakim yang amar putusannya menyatakan
gugatan penggugat tidak dapat diterima, maka penggugat dapat melakukan dua
upaya hukum dengan cara mengajukan PK (peninjauan kembali) atau mengajukan
gugatan gugatan yang baru.
1) Mengajukuan gugatan baru
Bahwa putusan yang diputus dengan amar menyatakan gugatan tidak dapat
diterima, tidak melekat asas ne bis in idem seperti dalam ketentuan Pasal 1917
KUHPerdata, meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Pada
34
Pasal 195 HIR :”Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa
oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri
yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut”. (Rv.350, 360;
IR. 194.
92
dasarnya putusan (NO) adalah putusan yang bersifat negatif dan belum
memiliki konsekuensi terhadap perubahan status dari obyek sengketa maupun
para pihak yang bersengketa, maka dari itu dapat diajukan gugatan kembali
gugatan yang baru dengan cara memperbaiki cacat formil pada gugatan yang
sebelumnya tanpa batasan waktu atau dapat diajukan kapan saja setelah
gugatan diperbaiki.
2) Peninjauan Kembali (PK)
Mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
24 ayat (1) bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau
keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.”
Peninjauan Kembali (PK) atau membuat gugatan yang baru masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Apabila diajukan gugatan baru, maka
penggugat lebih berkesempatan menyempurnakan materi gugatan dengan
memperhatikan pada pertimbangan majelis hakim pada gugatan yang terdahulu
serta dapat menimalisir adanya kecacatan formil pada surat gugatan yang baru,
serta mengajukan gugatan yang baru penggugat juga dapat langsung
berkomunikasi dengan pihak yang berkepentingan dan lebih memungkinkan
untuk terwujudnya mediasi dalam penyelesaian perkara tersebut atau bahkan
dapat memenangkan perkara tersebut. akan tetapi dalam mengajukan gugatan
yang baru akan lebih banyak biaya dan tentunya lebih menyita banyak waktu
dari Penggugat maupun tergugat.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap permasalahan di
dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa Akibat Hukum adanya klausul Pengalihan tanggung
jawab resiko dalam bentuk Surat Pernyataan di perjanjian pembiayaan
musyarakah di Putusan Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014
berdasarkan Hukum Perjanjian Islam dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah Batal demi hukum yaitu surat
pernyataan tersebut tidak pernah dianggap ada dan tidak pernah terjadi
karena Surat Pernyataan tersebut bertentangan dengan asas-asas yang
ada dalam sebuah perjanjian. Dalam pandangan Hukum Perjanjian
Islam surat pernyataan untuk pengalihan tanggung jawab resiko
tersebut bertentangan dengan asas-asas dalam perjanjian Islam yaitu
asas keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, ridha (kerelaan). Selain itu,
klausul Surat Pernyataan pengalihan tanggung jawab resiko
bertentangan dengan prinsip syariah yang mensyaratkan bahwa suatu
perjanjian tidak boleh mengandung unsur zalim karena dapat
menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak. Klausul Surat Pernyataan
pengalihan tanggung jawab resiko tidak sesuai dengan ketentuan Al
Qur‟an Surah Al-Maidah ayat (1), As-Syuara ayat (183) dan Al-
Baqarah ayat (188) yang melarang mengalihkan tanggung jawab kepada
orang lain atau berbuat zalim kepada pihak lainnya. Serta Hadits Nabi
Saw dalam Riwayat Tirmidzi dari „Amar bin „Auf “kaum Muslimin
terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram” dan Hadist Nabi tentang menjauhi
sifat zalim kepada pihak lain yang di riwayatkan oleh muslim dari
Jaabir Ra “Jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan
di hari kiamat” juga hadist Nabi dari abi Saiid Saad bin sinaan al-
Khudriy r.a yang menyatakan “Tidak memudharatkan dan tidak
94
dimudharatkan”. Suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan
kemudharatan dan tidak saling memudharatkan.
Selain itu, klausul penglihan tanggung jawab resiko dalam bentuk
Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut
berdasarkan Hukum Perjanjian Islam bertentangan dengan Pasal 21
KHES yang mengatur mengenai asas-asas dalam akad, yaitu asas
transparansi (Pasal 21 huruf g), asas keseimbangan (taswiyah) (Pasal 21
huruf f ), asas itikad baik (Pasal 21 huruf j ) dan asas suatu sebab yang
halal (Pasal 21 huruf k ). Klausul tersebut juga bertentangan dengan
prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan
ketidakadilan bagi konsumen. Bertentangan dengan tujuan akad yang
merupakan salah satu dari rukun akad, sehingga Surat Pernyataan
tersebut tidak memenuhi syarat sahnya Hukum Perjanjian Islam maka
Surat Pernyataan tersebut merupakan akad batil atau akad yang batal
demi hukum. Juga berdasarkan ketentuan KUHPerdata tentang klausul
penglihan tanggung jawab resiko dalam Surat Pernyataan pada
perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 1338
ayat (3) suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal
1339 bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas
dinyatakan dalam perjanjian tetapi juga diharuskan sesuai dengan asas
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Klausul tersebut juga
bertentangan dengan syarat sah perjanjian “suatu sebab yang halal.
2. Berdasarkan analisis pertimbangan hukum dan putusan
hakim dalam putusannya Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan
atau permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian
pembiayaan musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No 715
K/Ag/2014 bahwa hakim dalam tingkat kasasi sudah tepat dalam
memutuskan gugatan penggugat karena gugatan masih mengandung
cacat formil sehingga hakim tidak berhak untuk masuk ke dalam
perkara materil gugatan. Cacat formil gugatan penggugat yaitu obscuur
libel karena penggugat dalam petitum gugatannya tidak mencantumkan
secara jelas dan rinci siapa yang dituntut untuk membebaskan atau
95
membayar hutang nasabah dalam perjanjian pembiayaan musyarakah
tersebut, Apakah pihak perbankan (tergugat I dan II) ataukah Pihak
Asuransi (Tergugat III). Dari sini petitum atau tuntutan penggugat
dalam gugatannya masih belum dirumuskan secara jelas, cermat dan
terperinci menjadikan gugatan penggugat menjadi kabur atau obscuur
libel.
Akan tetapi berdasarkan eksepsi yang kedua yang menyatakan
gugatan penggugat mengandung error in persona atau salah pihak
karena yang ditarik sebagai tergugat adalah Aminudin Sinaga selaku
pribadi dimana Aminudin Sinaga merupakan perorangan bukan sebagai
suatu badan hukum atau perwakilan badan hukum secara anggaran
dasar yang berlaku belum tepat karena bila dilihat dari Asas Piercing
The Corporate Veil pimpinan selaku pribadi dapat diajukan atau
dimintakan pertanggungjawaban sebagai perorangan karena terbukti
pimpinan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan
tugasnya dan merugikan perseroan dan berhak untu dimasukkan
kedalam pihak tergugat.
Selain itu, bahwa alasan-alasan pemohoon kasasi atau penggugat
hanya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran
hukum yang berlaku.
Maka dalam hal ini, hakim sudah tepat dan berusaha dalam
memutuskan dengan seadil-adilnya. Dalam sebuah riwayat, dikatakan
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia
memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia
memperoleh satu pahala.”
96
B. Saran-Saran
1. Untuk Nasabah atau Penggugat
a. Dalam mengajukan sebuah gugatan pengadilan sebaiknya
penggugat harus lebih mencermati dari segi aspek hukum
acara formiil (hukum acara perdatanya) dan hukum materiil
sehingga gugatan penggugat dapat diterima dan diputuskan
oleh hakim dalam sebuah pengadilan.
b. Nasabah harus lebih cermat dan berhati-hati juga harus
mempertimbangkan segala aspek dalam melakukan sebuah
transaksi atau menggunakan produk perbankan syariah agar
kedepannya nasabah tidak mengalami kesulitan serta tidak
merasa dirugikan oleh pihak perbankan syariah.
2. Untuk Perbankan Syariah
a. Perbankan syariah sudah seharusnya menerapkan kegiatan
usahanya dengan prinsip-prinsip syariah yang ada yaitu
dengan memberikan kemaslahatan didalam setiap perjanjian
yang dilakukannya. Juga perbankan syariah harus tetap
menjaga prinsip kehati-hatian dalam setiap kegiatan usahanya
atau dalam melakukan sebuah transaksi produk di perbankan
syariah, agar tidak mengalami kerugian maupun
kemudharatan bagi perbankan maupun bagi salah satu pihak
yang melakukan perjanjian tersebut.
b. Agar Dewan Pengawas Syariah (DPS) berkomitmen untuk
melakukan pengawasan terhadap akad-akad pembiayaan pada
Bank Syariah, sehingga akad yang digunakan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Juga untuk Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) harus tetap melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha perbankan syariah atau dalam hal ini
pengawasan dalam sebuah kontrak perjanjian yang dibuat
oleh perbankan sehingga perjanjian tersebut dapat
memberikan keadilan, kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
97
3. Untuk Majelis Hakim .
a. Para hakim dapat lebih menekankan untuk dapat melakukan
mediasi atau melakukan musyawarah terlebih dahulu dalam
menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah karena
lebih maslahat bagi kedua belah pihak.
b. Para Hakim dapat lebih profesional atau dapat lebih cermat
dalam permasalahan yang ada khususnya dalam hal syarat
formil suatu gugatan sehingga tidak terjadi lagi perbedaan
dalam hal permasalahan syarat formil.
4. Saran untuk Pengembangan Penelitian Lanjutan
Penelitian ini perlu dikembangkan, mengingat banyaknya
permasalahan baru yang akan muncul dan mungkin belum
terungkap yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan Syariah
di Indonesia, mungkin dijabarkan dalam beberapa hal :
a. Dalam hal akad musyarakah perlu dibahas mengenai
bagaimana hukum menentukan pengambilan keuntungan
dalam sebuah akad musyarakah berdasarkan modal syarik
bukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh dalam suatu
usaha musyarakah. Juga hilah dalam membolehkan cara
tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada.
b. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dapat
dilakukan melalui arbitrase syariah ataupun Pengadilan
dalam hal ini Pengadilan Agama. Dalam hal ini, dapat
dibandingkan perbankan syariah dewasa ini, menyelesaikan
sengketa kebanyakan diselesaikan melalui arbitrase syariah
(secara musyawarah) atau melalui Pengadilan Agama.
c. Juga dapat ditelusuri tentang sumber atau penggunaan
sumber hukum baik formil maupun materil yang dipakai oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara di
bidang ekonomi maupun keuangan syariah di Indonesia.
Dapat juga melakukan perbandingan bagaimana cara
penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dengan
98
negara-negara yang telah menerapkan dan melakukan
kegiatan usahanya dibidang ekonomi dan keuangan syariah.
99
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum
Kontrak Syariah, La Riba Journal Ekonomi Islam Vol. II, No 1, Juli
2008.
Musfiriin bin Ali bin Muhammad Al-Qahthaniy, Manhaj Istinbath Ahkaam
an-Nawazhil al-Fiqhiyyah al-Muashirah, (Jeddah : Dar al-Andalusia
al-Khodrhaa, Cet kedua 2010).
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, April 2012).
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim Pendekatan
Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata,
(Yogyakarta: UII Press, 2014).
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 18, 2010).
Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta :Citra
Aditya Bakti, 1993).
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008).
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta :
Raja Grafindo, Cet 3, 2006).
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1994).
Muhammad Syaifuddin, Pengayaan Hukum Perikatan, (Bandung : Mandar
Maju, 2012).
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam
Kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014).
100
A.G. Guest, Konrad Zwieght & Hein Kotz, dalam Ridwan Khairandy, Itikad
Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI: Pascasarjana, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Group Cetakan keempat, Maret 2008).
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty Cetakan Kelima, April 2007).
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 2, 2011).
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), (Jakarta: Chandra Pratama 1993).
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Interpretasi Teks, (Yogyakarta:UII Press 2005).
Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit,
jilid 1. (Beirut: D Jayl).
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
(Yogyakarta: UII Press, 2000).
Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum
Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).
Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Tangerang: Agro Media Pustaka, 2006).
Septarina Budiwati, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Persepektif
Pendekatan Filosofis, Prosding Seminar Nasional Pengembangan
Epistemologi Ilmu Hukum.
101
Remy Sjahdaeni, Sutan, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank,
Jakarta, Institut Bankir Indonesia.
Subekti, 1974, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 2002).
John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2006).
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama 2008).
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1990).
E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003).
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, (Yogyakarta:
UII Press, 2000).
Muhammad Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar
Maju, 1994).
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, (Bandung: Alumni, 2004).
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, (Jeddah:
Dar Ibn Hazm, 2010).
Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut : Dar Ibn Katsir 2001).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004).
102
Isa Abduh, Al-’Uqud Al-Syari’ah Al-Muhakamah lil Muaa’malat Al-
Maliyah Al-Muaa’syarah, (Cairo : Darul Al-I’thisam, 1977).
Muhammad Syafie Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum,
(Jakarta : Tazkia Institute dan BI Cet. Pertama, 1999).
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2005).
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar Al-
Fikr Cet 2, 1985).
Abdurrahman An-Najdiy, Shari’a Standards For Islamic Financial
Institutions 1431 H-2010 M, (Bahrain : Accounting and Auditing
Organisation For Islamic Financial Institutions (AAOIFI).
Rachman Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di Indonesia,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002).
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudhamah al-
Maqdhisiy, Al-Mughni, (Riyadh: Daar Alam Kutub, Juz ketujuh, Cet
Ketiga, 1997).
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-
Bentuk Perusahaan, (Jakarta : Djambatan 1986).
Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,
(Jakarta:Kencana Edisi Pertama, 2012).
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Standar Produk Musyarakah dan
Musyarakah Mutanaqisah, (Jakarta : Februari 2016).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buku Standar Produk Musyarakah dan
Musyarakah Mutanaqishah, (Jakarta : Februari 2016).
103
Wahbah Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998).
Anonim, Force Majeure in Trouble Times: The Example of Libya, (Huston :
Jones Day Publication, 2011)
Ranuhandoko, Terminologi Hukum (Inggris-Indonesia), (Jakarta : Sinar
Grafika Cet II, I.P.M 2000).
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung :Alumni 1989).
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakti,2006).
Sultan Remi Sjadeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993).
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta :
Sinar Grafika, 1998).
Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992).
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992).
J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alumni
1999, Cet ketiga).
Ibnu Katsir al-Qarshi ad-Dimasqyi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir,
Juz 3, (Riyadh: Dar Thayybah, 1999).
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih dalam menyelesaikan Masalah-masalah
yang praktis, (Jakarta: Kencana, Cet 2 2007).
Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi,
(Bandung: Mandar Maju Cet 1 2013).
104
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, (Jakarta : Kencana Cet ke 4, Agustus 2007),
hlm. 11.
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I 2012).
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-
Fikr, Cet III Vol 4, 1996).
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 14,
2014).
Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No. 7 Tahun 1989, (Jakarta : Sinar Grafika, edisi kedua, 2009).
Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta: Pena Grafika edisi 2,
2011).
NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya Cara Halal dan
Legal Membagi Warisan, (Jakarta : Raih Asa Sukses, Cet 1 2015).
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar
Grafika Cet 14, April 2014).
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Cet 2, 2011).
Lawrence M. Friedman, 2001:196 Lihat Salim, Hukum Kontrak Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika Cet 4, 2006).
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta :
Sinar Grafika Cet 4, 2006).
105
Djuhaendah Hasan, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan
Perlidungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank Di Indonesia, Badan Pembianaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-
Undang, (Jakarta : Raja Grafindo Persada cet I, 2003).
Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak
komersial, (Jakarta: Kencana Prenamedia Cet 4, 2014), hlm. 281.
Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai sumber Hukum
Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta:
Kencana, 2004)
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar, (Jakarta:
Diadit Media Cet 2, 2002).
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada
media 2008).
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjajaran,
(Bandung : 1960).
Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi,
(Bandung: Mandar Maju Cet I, 2013).
James Penner, Intruduction to Jurisprudence and Legal Theory
(Commentary and Materials), (London : Butterworths, , 2002).
Burhanuddn Salam, Etika Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).
E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius 2000).
106
C. Asser, Pengajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991).
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III :Hukum perikatan
dengan penjelasan, (Bandung: Alumni Cet 1, 1996).
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta:
Raja Grafindo Cet 2, 2004).
Joni Emizon, Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Palembang:
Penerbit Universitas Sriwijaya, 1998).
Rosa Agustina, Hukum Perikatan (Law of Obligations) Hal Perbuatan
Melawan Hukum, (Denpasar : Pustaka Larasan Edisi Pertama, 2012).
Endang Prasetyawati, Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam
Pembiayaan Konsumen, (DIH, JurnaI lmu Hukum, Vol. 8, No. 16,
Agustus 2012).
Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan : Cahaya
Ilmu, 2006), hlm. 120.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm.
51.
Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hlm. 134.
Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1999), hlm. 125.
Pipin Syarifin, PIH: Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pustaka Setia, 1999),
hlm. 71.
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia,
(Jakarta : Kencana Cet 3, 2008), hlm. 82.
KAMUS
Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit,
jilid 1. (Beirut: D Jayl).
107
https://kbbi.web.id/hakim
https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996).
DISERTASI DAN TESIS
Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah Di Indonesia, Malaysia, Dan
Timur Tengah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Cetakan Pertama Desember 2013.
Melina Hartanto, Klausula Ekosnerasi dalam Akad Pembiayaan Murabahah
di Bank Syariah, Thesis Universitas Airlangga 2015.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam
Sistem Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta : Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, cetakan pertama Desember 2010).
Elisatin Ernawati, Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Pembiayaan Bank
Syariah, (Thesis Universitas Airlangga 031224253007, Tahun 2015).
Andra Mulia Fatwa, Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah (Studi
Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat), UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2008
JURNAL, ARTIKEL, MAJALAH, DAN ENSIKLOPEDIA
Muhammad Maksum, Model-Model Kontrak Dalam Produk Keuangan
Syariah, Journal Al-A‟DALAH Vol.XXI, No. 1 Juni 2014.
Nurul Ichsan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,
(Journal Ahkam Vol. XV, No. 2, Juli 2015).
Bure Teguh Satria, Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi,
Journal Lex Privatium, Vol. II/No.3/ Agustus-Oktober/2014.
108
Danty Listiawati, Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Journal Privat law Edisi 07
Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Dwi Fidhayanti, Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko Pada Nasabah
dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah, De jure, Jurnal Syariah
dan Hukum, Vol 6 02 Desember 2014.
Nurjannah, Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya dalam
Perjanjian Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi
Putusan Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn), USU
Law Journal, Vol.4.No.1 Januari 2016.
Lilik Mulyadi, Pergeseran Persepktif dan Praktik dari Mahkamah Agung
Mengenai Putusan Pemidanaan, (Majalah Hukum Varia Peradilan
Edisi No. 246 Bulan Mei 2006, Ikahi, Jakarta).
Dwi Fidhayanti, Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan
Yuridis praktik Pembiayaan di Perbankan Syariah), (De Jure, Jurnal
Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2, Desember 2014)
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Persepektif Filsafat Ilmu Hukum,
(Journal Dunamika Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011).
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum, (Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang
Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah
Akreditasi), Fakultas Hukum USU, Medan, 18 Februari 2003).
Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Journal Salam Filsafat dan
Budaya Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
109
Nurhalis, Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,( Journal IUS Vol III Nomor 9
Desember 2015).
Mahmudatus Sa‟diyah, Musyarakah Dalam Fiqh dan Perbankan Syariah,
(Journal Equilibrium Volume 2, No. 2, Desember 2014).
Muhammad Maulana, Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan
Syariah Di Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah
Dan Murabahah), (Journal Ilmiah Islam Futura, Vol. 14. No. 1,
Agustus 2014).
Masrum, Ketentuan-Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi dan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH). (Makalah Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Banten).
Journal Agri Chairunnisa Isradjuningtias, Force Majeure (Overmacht)
Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia.
Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Dalam
Tinjauan Hukum Islam, (Journal Al-Mawarid Edisi XVIII tahun
2008).
Ifa Lathifa Fitriani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam Pemaknaan
Hukum Islam dan Sistem Hukum Positif Di Indonesia, (Journal
Supremasi Hukum Vol. 5, No. 1, Juni 2016).
Majalah Peradilan Agama, Babak Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah, (Edisi 3 Desember 2013), hlm. 27.
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Prores
Persidangan, (Jakarta; Sinar Grafika, Edisi Kedua 2009).
110
Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta; Yayasan Al Hikmah, Cet 2 2001).
Journal Cahya Mahendrani, Tinjauan Yuridis terhadap Suatu Produk
Hukum yang mengalami Kebatalan Mutlak.
Muhammad Noor, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam
Pembuatan Kontrak, (MAZAHIB Jurnal Pemikiran Hukum Islam,
Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015).
Taufiq El Rahman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Kepribadian
Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, (Jurnal Mimbar Hukum,
Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011).
Luh Nila Winarni, Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan
Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan, (DIH, Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 11, No. 21, Februari 2015).
Djohari Santoso & Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta:
Perpustakaan FH UII, 1989).
Erie Hariyanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia,
(Journal Iqtishadia, Vol.1 No. 1 Juni 2014).
H. Taufiq, Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Islam, (Journal Mimbar
Hukum No. 35/VIII, Tahun 1997).
Rezki Erawati. S, Peranan Hakim Terhadap Lahirnya Putusan Pengadilan
Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Studi Kasus
Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.Mks), (JournalFakultas Hukum
Universitas Hasaniddin).
Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem Hukum Acara Perdata, (Journal
Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 15 Juni 2017),
hlm. 2.
111
REGULASI
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor : 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Musyarakah.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Putusan Pengadilan Agama Medan Tingkat I Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor
124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
KUHPerdata Pasal 1618 Perseroan perdata, Pasal 1320 KUHPerdata.
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
112
UU No 7 tahun 1989 Pasal 54 tentang Peradilan Agama yang diubah ke
dalam UU No 3 tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian dalam Pasal 1 ayat 29 ketentuan tentang Premi
PAPER SEMINAR DAN WAWANCARA
Dhasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan
Common Law, Lokakarya ELIPS Project materi Perbandingan Hukum
Perjanjian, Hotel Sahid Surabaya, 1993.
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak Hakim Drs. H.
Abdul Halim Ibrahim,. M.H. Selaku Hakim Ketua dalam perkara
Ekonomi Syariah Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Pada hari senin
tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Agama
Kelas I-A Pekanbaru, Jl. Datuk Setia Maharaja/Parit Indah,
Tengkerang Labuai, Pekanbaru, Kota Pekanbaru Riau 28289.
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan dahulu,
sekarang menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta
Bapak Hakim Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. Selaku Hakim
Anggota dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor
124/pdt.G/2012/PTA.Mdn, Pada hari Jum‟at tanggal 25 September
2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta,
Jln. Lingkar Selatan No. 321, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta 55188.
wawancara dengan Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung
(dahulu panitera perkara) bapak Drs. H. Abdul Ghoni, S.H., M.H.
Pada hari Senin tanggal 30 November 2017 Pukul 13.30 di Kantor
Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat-DKI Jakarta
Indonesia 10110.
113
WEB INTERNET
https://kbbi.web.id/hakim
https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/direktor
i/perdata-agama/ekonomi-syariah
http://www.pa-purworejo.go.id/web/transaksi-bank-menggunakan-
perjanjian-kredit-dalam-bentuk-baku/
Tarsi, Menyoal Transaksi Bank Menggunakan Perjanjian Kredit dalam
Bentuk Baku, Artikel diakses pada Minggu 30 November 2014 dari
http://www.pa-purworejo.go.id/web/transaksi-bank-menggunakan-
perjanjian-kredit-dalam-bentuk-baku/
http://jurnalnajmu.wordpress.com/2007/11/15/prinsip-prinsip-hukum-islam-
dalam-tanggung-jawab-pelaku-usaha/ Diakses tanggal 29 Juni 2017.
https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/
http://aaoifi.com/about-aaoifi/?lang=en
Dar Ifta Yordania, http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=3163#.WdIQ-
3QxXIU
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54f3260e923fb/arti-
putusan-niet-ontvankelijke-verklaard-no
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor 715 K/Ag/2014
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara:
Hj. SARIPAH DALIMUNTHE, bertempat tinggal di Jalan
Merdeka Nomor 7, Kelurahan Pasar Gunungtua, Kecamatan
Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, dalam hal ini
memberi kuasa H. ABD. HADI, S.H., Advokat, berkantor di Jalan
Sisingamangaraja Km. 8,9 Nomor 198 B, Kota Medan, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Maret 2014, sebagai Pemohon
Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding;
m e l a w a n:
1 AMINUDDIN SINAGA, selaku pribadi sekaligus sebagai Pimpinan Cabang
PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan, berkedudukan di Jalan Merdeka
Nomor 12, Padangsidimpuan;
2 Direktur Utama PT. Bank Sumut, berkedudukan di Jalan Imam Bonjol Nomor
18, Medan, dalam hal ini memberi kuasa kepada SYAFRI CHAN, S.H., M.Hum.,
Advokat, berkantor di Jalan Denai Nomor 95-A, Medan, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 25 April 2014, sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Tergugat I dan
II;
d a n:
1 Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah, berke-dudukan di Pusat
Niaga Cempaka Mas M.I/ 36, Jalan Letjend Soeprato, Jakarta, dalam hal ini
memberi kuasa kepada: 1. TAUFIK NUGRAHA, S.H., 2. INDRIA G
LEMAN, S.H., LLM., 3. DWINANDA IBRAHIM, S.H., Para Advokat,
berkantor di Wisma BSG Lantai 5, Jalan Abdul Muis Nomor 40, Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2014;
2 Pemerintah RI Cq. Departemen Keuangan RI Cq. Direktur Jendral Piutang
dan Lelang Kantor Wilayah I Medan Cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
Hal. 1 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dan Lelang (KPKNL) Medan, berkedudukan di Jalan P. Diponegoro Nomor
30 A, Medan, Sumatera Utara;
3 YUSLIANA DALIMUNTHE, selaku pribadi sekaligus mewakili anak
kandung yang masih di bawah umur yaitu:
a ELVA AZERINA HARAHAP;
b ALI UMAR HARAHAP;
c RUDY MACHMUD HARAHAP, semua bertempat tinggal di Jalan Juhar
Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten
Padang Lawas Utara;
4 FATMA DINI ANGGITA HARAHAP, bertempat tinggal di Jalan Juhar,
Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten
Padang Lawas Utara;
5 ELZA MARYNA HARAHAP, bertempat tinggal di Jalan Makmur,
Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten
Padang Lawas Utara, Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat III dan IV
juga Turut Tergugat I, II dan III/Para Turut Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan Ekonomi
Syariah (Pembiayaan Musyarakah) terhadap Termohon Kasasi dahulu sebagai
Tergugat I dan II serta Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat III dan IV juga
Turut Tergugat I, II dan III di muka persidangan Pengadilan Agama Medan pada
pokoknya atas dalil-dalil:
1 Bahwa Penggugat adalah ibu kandung dan sekaligus ahli waris yang sah dan
mustahaq dari Alm. Ongku Sutan Harahap, hal ini sesuai dengan surat keterangan
ahli waris Nomor 474.3/846.KLH/2011 yang di keluarkan oleh Lurah Pasar
Gunungtua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Paluta tanggal 30-12-2011;
2 Bahwa pada masa hidupnya Alm. Ongku Sutan Harahap sejak tahun 2007
adalah nasabah tetap dari Tergugat II yang dalam pelaksanaannya yang di lakukan
melalui PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan (Tergugat I) dan selama
menjadi nasabah dari Tergugat Alm. Ongku Sutan Harahap telah dilaksanakan
kewajiban dan melaksanakan angsuran tepat waktu dan merupakan nasabah yang
jujur yang senantiasa beriktikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melunasi
seluruh akta kredit pada Tergugat I;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3 Bahwa pada tanggal 26 April 2011 Alm. Ongku Sutan Harahap menggunakan
pembiayaan musarakah dari Tergugat I dan II untuk penambahan modal kerja,
dengan jumlah pembiayaan musyarakah senilai Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta
rupiah) dengan jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan dengan agunan Sertifikat
Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan
Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/Pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007
an. Ongku Sutan Harahap;
4 Bahwa akan tetapi pada saat berjalannya pelaksanaan pembayaran
pembiayaan musyarakah dari Tergugat I dan II dimana Alm. Ongku Sutan Harahap
telah menginggal dunia karena sakit di Gunungtua pada hari Rabu tanggal 13 Juli
2011 dan menyebabkan tehentinya/tertunggaknya pembiayaan musyarakah Alm.
Ongku Sutan Harahap kepada Tergugat I dan II;
5 Bahwa Penggugat sangat keberatan dengan surat peringatan III (terakhir)
yang di kirimkan oleh Tergugat I dan II kepada Penggugat pada tanggal 22 Mei 2012,
dimana pada surat Tergugat I dan II, pada pokoknya menegaskan tunggakkan
pembiayaan alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat I dan II sebesar RP752.000,00
(tujuh ratus lima puluh dua ribu rupiah); dan karena ahli waris Alm. Ongku Sutan
Harahap belum menunjukan iktikat baik serta keseriusan untuk menyelesaikan
tunggakan tersebut walaupun berulang-ulang telah disurati oleh Tergugat I dan II
maka berkenan dengan hal tersebut maka Tergugat I dan II memberikan kelonggaran
waktu penyelesaian tunggakan tersebut paling lambat tanggal 25 Juni 2012 dan jika
sampai dengan batas waktu tersebut belum juga menyelesaikannya maka agunan
yang telah di serahkan kepada Tergugat I dan II akan segera diajukan lelang ke
Tergugat IV;
6 Bahwa dalam menggunakan pembiayaan musyarakah dari Tergugat I dan II
untuk menambahkan modal kerja, Alm. Ongku Sutan Harahap meperoleh
pembiayaan musyarakah senilai Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) dengan
jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan dengan agunan Sertifikat Hak Milik
Nomor 457/pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap dan
Sertifikat Hak Milik Nomor 395/pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007 an. Ongku
Sutan Harahap;
7 Bahwa adapun biaya-biaya yang di bebankan oleh Tergugat I dan II kepada
Alm. Ongku Sutan Harahap dalam pemohonan pembiayaan musyarakah adalah
antara lain:
Administrasi senilai Rp 8.750.000,00Notaris Rp 1.500.000,00Asuransi Jiwa Rp 2.170.000,00
Hal. 3 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Ass.kebakaran Rp 1.189.408,00 TOTAL BIAYA Rp13.609.408,00
Keseluruhan biaya di atas telah di bayar lunas oleh Alm. Ongku Sutan Harahap
kepada Tergugat I dan II;
8 Bahwa pada salah satu klausula akad pembiayaan musyarakah antara Alm.
Ongku Sutan Harahap dan Tergugat I dan II ada di sebutkan di Pasal 2 tentang
kedudukan para pihak, di ayat 1 yang pada pokoknya “.....dari pendapatan,
keuntungan usaha itu kelak akan di bagi di antara kedua belah pihak berdasarkan
prinsip bagi hasil (syirkah)”, dari klausula ini dapat diartikan bahwa segala resiko
usaha yang di jalankan oleh Alm. Ongku Sutan Harahap pada saat menggunakan
pembiayaan musyarakah tersebut nantinya akan dibagi kepada kedua belah pihak
juga, sehingga sesuai Syariat ahli waris Ongku Sutan Harahap tidak menanggung
secara utuh beban pembiayaan musyarakah dimaksud;
9 Bahwa selain itu, karena Alm. Ongku Sutan Harahap dalam pemohon
pembiyaan musyarakah telah juga memenuhi pembayaran asuransi jiwa kepada
Tergugat I dan II yang merupakan salah satu syarat atas pemohonan pembiayaan
musyarakah yang diajukan pada Tergugat I dan II maka sesuai Syariat Penggugat dan
Turut Tergugat I, II, III dibebaskan dari seluruh beban pembayaran pembiayaan
musyarakah oleh Tergugat I dan II atas meninggalnya Alm. Ongku Sutan Harahap
karena segala resiko telah disebabkan pada Tergugat III;
10 Bahwa, akan tetapi pada kenyataan setelah meninggalnya Alm. Ongku Sutan
Harahap Tergugat I dan II mengabaikan kepatutan keharusan disebabkannya beban
utang bagi Penggugat dan Turut Tergugat I, II, III dari beban pembayaran utang
pembiayaan musyarakah Alm. Ongku Sutan Harahap dan kemudian secara berturut-
turut mengirimkan surat peringatan pembayaran tunggakan angsuran pokok dan bagi
hasil pembiayaan musyarakah kepada Turut Tergugat I, masing-masing surat
peringatan pertama pada tanggal 03 Februari 2012, surat peringatan kedua pada
tanggal 27 Maret 2012, dan surat peringatan III (terakhir) pada tanggal 22 Mei 2012,
pada surat peringatan Tergugat I dan II yang terakhir pada pokoknya menegaskan
tunggakan pembiayaan Alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat I dan II sebesar
RP752.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah);
11 Bahwa dengan adanya surat peringatan yang disampaikan oleh Tergugat I
kepada Turut Tergugat I s/d Turut Tergugat III tentunya hal ini juga merugikan
Penggugat sebagai salah seorang ahli waris alm. Ongku Sutan Harahap (ibu
kandungnya) karena Penggugat berkepentingan mengajukan gugatan dalam perkara
ini yang menjadi kompetensi di Pengadilan Agama Medan sesuai Pasal 18 dari akad
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
pembiyaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011, disebutkan “Bila
terjadi sengketa perselisilihan maka para pihak bersepakat untuk menyelesaikan
melalui Pengadilan Agama di Medan”;
12 Bahwa kedudukan Turut Tergugat I, II, III yang pernah membuat surat
pernyataan akan bertanggung jawab atas pembiayaan musyarakah alm.Ongku Sutan
Harahap pada tergugat I dan II dan surat pernyataa alm. Ongko Sutan Harahap pada
tanggal 26 April 2011 yang pada pokoknya juga menyatakan “.....apabila dikemudian
hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya
dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak Bank dan
seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga
selesai...”. Fakta ini demi hukum sanggatlah bertentangan dengan klausula yang telah
diuraikan pada akad pembiayaan musyarakah yang diperbuat oleh Tergugat I dan II
dengan Alm. Ongku Sutan Harahap karena klausula pada akhir pembiayaan
musyarakah merupakan perjanjian pokok yang sudah jelas, terang dan tegas
maksudnya dan artinya;
13 Bahwa pada selanjutnya, Turut Tergugat I, juga telah berkali-kali
menyampaikan surat keberatan kepada Tergugat I masing-masing pada tanggal 20
Oktober 2011, tanggal 05 November 2011 serta tanggal 24 November 2011 yang
pada pokoknya minta supaya beban sisa kredit atau utang atas pembiayaan
musyarakah atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap yang masih berjalan menjadi
tanggungan bagi Tergugat I sehingga tidak membebani ahli waris termasuk
Penggugat;
14 Bahwa, untuk menjaga hak dan kepentingan Penggugat selaku salah 1 ahli
waris Alm. Ongku Sutan Harahap atas tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik
Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap Hak
Milik Nomor 395/Pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007 an. Ongku Sutan Harahap
maka dimohonkan agar kiranya Pengadilan Agama Medan belum memeriksa perkara
ini meletakkan sita revindicatoir (sita milik) terhadap tanah bangunan Sertifikat Hak
Milik Nomor 457/pasar Gunungtua 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap dan
Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ pasar Gunungtua 07-06-2007 an. Ongku Sutan
Harahap;
15 Bahwa oleh karena penyebab adanya sejumlah tanggungan atau outstanding
yang belum di bayar oleh Penggugat bukan disebabkan oleh karena lalainya
Penggugat/ahli waris dalam melakukan angsuran melainkan karena terjadinya
musibah meninggalnya Alm. Ongku Sutan Harahap selaku pembuat akad
pembiayaan musyarakah dengan Tergugat I dan II;
Hal. 5 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
16 Bahwa demikian dalam ketentuan syarat-syarat umum perjanjian pinjaman
dan kredit yang berlaku pada Bank pada umumnya tercantum pada Pasal 11 di
sebutkan “Bank berhak menghentikan dan atau menagih seluruh utang dengan segera
seketika dan sekaligus lunas tanpa permintaan untuk diakhiri dan diberikan
peringatan dalam hal: Apabila yang berutang/debitur meninggal dunia;
17 Bahwa, selanjutnya kepastian hukum bagi Penggugat dimohonkan kiranya
Pengadilan Agama Medan berkenan dalam provinsi membatalkan atau menunda
pelaksanaan permohonan lelang eksekusi menunggu sampai adanya keputusan yang
berkekuatan hukum tetap atas gugatan perkara a quo;
18 Berdasarkan hal-hal yang kemukakan di atas, dimohonkan kepada Pengadilan
Agama Medan berkenan menetapkan suatu hari persidangan dalam perkara ini dan
memanggil para pihak untuk didengar keterangannya terhadap gugatan a quo,
selanjutnya memeriksa dan memberikan keputusan sebagai berikut:
Dalam Provinsi:
Membatalkan atau menunda pelaksanaan permohonan lelang eksekusi oleh
Tergugat I dan II serta Terggat IV menunggu sampai ada keputusan yang
berkekuatan hukum tetap atas gugatan ini;
Dalam Pokok Perkara:
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan Penggugat serta Turut Tergugat I, II, III selaku ahli waris
Alm. Ongku Sutan Harahap dibebaskan dari beban utang pembiayaan
musyarakah dari Tergugat I dan II senilai sebesar Rp752.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah);
3 Menyatakan surat pernyataan yang di buat oleh Alm. Ongku Sutan
Harahap dengan diketahui oleh istrinya/Turut Tergugat I Yusliana
Dalimunthe tertanggal 28 April batal demi hukum atau tidak mempunyai
kekuatan hukum;
4 Menetapkan dan memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II serta
Tergugat IV untuk membatalkan pelaksanaan lelang atas aset-aset Alm.
Ongku Sutan Harahap;
5 Menyatakan Lelang Eksekusi atas tanah dan bangunan Sertifikat Hak
Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan
Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Pasar Gunungtua tanggal
07-06-2007 an. Ongku Sutan Harahap ditunda pelaksanaannya menunggu
sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6 Menghukum Tergugat I s/d Tergugat IV untuk tunduk dan patuh
melaksanakan isi putusan ini, dan kelalaian atas pelaksanaan ini dihukum
untuk membayar uang paksa (dwangsoom) sebesar Rp500.000,00 setiap
hari sampai putusan ini dijalankan dengan baik oleh Tergugat I s/d
Tergugat IV;
7 Menyatakan sah dan berharga sita milik (revindicatoir beslag) yang
dijalankan dalam perkara ini;
8 Menyatakan putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta walaupun
ada upaya hukum banding, kasasi dari Tergugat-Tergugat;
Jika Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex
Aequo Et Bono);
Bahwa terhadap gugatan tersebut, Tergugat I, II, III dan IV mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Eksepsi Tergugat I dan II;
Tentang gugatan Penggugat samar dan kabur (obscuur libel);
• Bahwa apabila diperhatikan gugatan Penggugat adalah gugatan kabur (obscuur
libel) karena antara posita dengan petitum gugatan terdapat kekaburan sebab tidak
bersesuaian bahkan ada yang kontradiktif, sehingga tidak jelas makna dari
gugatan Penggugat tentang ahli waris, pembiayaan, asuransi dan lelang;
• Bahwa antara posita dengan petitum gugatan dari Penggugat tidak saling
mendukung dan adanya kerancuan antara posita yang satu dengan posita yang
lain;
• Bahwa sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata, gugatan Penggugat belum
memenuhi persyaratan formil suatu gugatan perdata;
Berdasarkan dalil-dalil eksepsi tersebut di atas, cukup alasan bagi Majelis
Hakim yth. untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet
Ontvanklijke Verklaard);
Eksepsi Tergugat III;
Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang untuk mengajukan gugatan
(disqualificatoire exceptie);
1 Bahwa PT. Asuransi Bangun Askrida (Tergugat III) tidak pernah menerbitkan
Polis Asuransi Pertanggungan Jiwa atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap oleh
karena itu tidak ada hubungan hukum sama sekali antara PT. Asuransi Bangun
Askrida (Tergugat III) dengan Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau ahli warisnya;
2 Bahwa objek gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut:
Hal. 7 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
a Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 120/KCSY02APP/MSY/2011
tanggal 26 April 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara
Badan Hukum Perseroan Terbatas PT. Bank Sumut cq. PT. Bank
Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan dengan Alm. Ongku Sutan
Harahap, serta:
b Surat Pernyataan tertanggal 26 April 2011 yang dibuat dan
ditandatangani oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dengan istrinya yang
bernama Yusliana Dalimunthe selaku Turut Tergugat I;
Sedangkan Penggugat sama sekali bukan pihak yang turut membuat dan
menandatangani akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut
di atas;
3 Bahwa Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III juga telah menyetujui akad
Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut di atas, sebagaimana telah
diakui secara tegas dan jelas oleh Penggugat tercantum dalam surat gugatannya
halaman 5 butir 12 yang menyatakan: "12. Bahwa kedudukan Turut Tergugat /, //, ///,
yang pernah membuat surat pernyataan akan bertanggungjawab atas pembiayaan
musyarakah Alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat dan Surat Pernyataan Alm.
Ongku Sutan Harahap tertanggal 26 April 2011 yang pada pokoknya juga
menyatakan "...apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit
polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya
tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi
tangggungjawab ahli waris saya hingga selesai”;
4 Bahwa Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut diatas
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga mengikat secara
sah menurut hukum untuk dipatuhi oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau
ahli warisnya yaitu Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III
yang telah menyetujui Akad Pembiayaan Musyarakah dan menandatangani
Surat Pernyataan;
Alm. Ongku Sutan Harahap dan Turut Tergugat I, Turut Tergugat II serta Turut
Tergugat III juga tidak pernah membantah keabsahannya dan tidak pernah
mengajukan tuntutan dan/atau gugatan pembatalan atas Akad Pembiayaan
Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut;
5 Bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan Bab I
Ketentuan Umum Pasal 171 huruf e menyatakan bahwa: "Harta warisan adalah
harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (Tajhiz), pembayaran utanq dan pemberian kerabat";
Berdasarkan ketentuan tentang harta warisan tersebut maka harta warisan Alm.
Ongku Sutan Harahap yaitu berupa:
• SHM Nomor 457/Pasar Gunung Tua, a/n Ongku Sutan Harahap;
• SHM Nomor 395/Pasar Gunung Tua, a/n Ongku Sutan Harahap yang telah
diagunkan oleh Alm. Ongku Sutan Harahap kepada Tergugat I dan Tergugat II
dengan persetujuan dari Turut Tergugat I, II dan III, harus dipergunakan
terlebih dahulu untuk melunasi utang Alm. Ongku Sutan Harahap kepada
Tergugat I dan Tergugat II;
Oleh karena itu, maka Penggugat selaku ahli waris tidak berhak dan tidak
berwenang membatalkan pelelangan atas harta warisan berupa:
• SHM Nomor 457/Pasar Gunung Tua;
• SHM Nomor 395/Pasar Gunung Tua;
Karena apabila lelang dibatalkan oleh Penggugat maka utang Alm. Ongku Sutan
Harahap kepada Tergugat I dan Tergugat II menjadi tidak terbayar dunia dan
akhirat. Tindakan Penggugat tersebut justru jelas melanggar syariah;
6 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Penggugat tidak berhak dan
tidak mempunyai kewenangan (Disqualificatoire Exceptie) untuk mengajukan
gugatan pembebasan hutang pembiayaan musyarakah, pembatalan Surat
Pernyataan tertanggal 26 April 2011 serta pembatalan lelang, karena:
• Tidak ada hubungan hukum apapun antara Penggugat dengan PT.
Asuransi Bangun Askrida ( Tergugat III);
• Penggugat bukan pihak yang membuat dan menandatangani Akad
Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan;
• Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III selaku
pihak yang telah menyetujui diadakannya Akad Pembiayaan Musyarakah
dan menandatangani Surat Pernyataan, tidak pernah mengajukan tuntutan
dan/atau gugatan pembatalan atas Akad Pembiayaan Musyarakah dan
Surat Pernyataan tersebut;
• Pelelangan barang agunan adalah untuk melunasi utang Alm. Ongku
Sutan Harahap;
Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona);
Hal. 9 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1 Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008
Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku I Bab I Ketentuan Umum Pasal
1 ayat 2 menyatakan:
"Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum
untuk mendukung hak dan kewajiban";
2 Bahwa dalam perkara a quo PT. Asuransi Bangun Askrida (Tergugat III)
adalah subyek hukum berupa badan usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas
yang didirikan dan tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas;
Oleh karena itu apabila ada gugatan/tuntutan terhadap badan hukum PT. Asuransi
Bangun Askrida, maka gugatan/tuntutan tersebut harus ditujukan kepada badan
hukum PT. Asuransi Bangun Askrida dan tidak bisa ditujukan kepada
perseorangan yang menjabat selaku pimpinannya;
Oleh karena itu gugatan Penggugat yang ditujukan kepada pimpinan PT. Asuransi
Bangun Askrida adalah gugatan yang salah pihak, karena pimpinan PT. Asuransi
Bangun Askrida bukanlah badan hukum;
3 Bahwa berdasarkan Perma Nomor 02/2008 tersebut maka pihak-pihak yang
menjadi subyek hukum pengemban hak dan kewajiban dalam pembuatan perjanjian
dan penandatanganan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan, adalah
terdiri dari:
• Perseorangan yaitu Alm. Ongku Sutan Harahap yang telah disetujui
oleh Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III;
• Badan usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas yaitu PT. Bank
Sumut cq. PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan;
Oleh karena itu apabila timbul gugatan di antara pihak-pihak subyek hukum
pengemban hak dan kewajiban Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat
Pernyataan, maka harus ditujukan kepada subyek hukum berupa badan hukum
tersebut yaitu PT. Bank Sumut cq. PT. Bank Sumut Cabang Syariah
Padangsidimpuan, dan tidak bisa ditujukan kepada perseorangan/pribadi yang
menjabat selaku pimpinan cabang atau direksinya;
4 Bahwa dalam perkara a quo gugatan Penggugat ditujukan kepada
perseorangan/pribadi yaitu: Aminudin Sinaga selaku pribadi sekaligus sebagai
Pemimpin Cabang PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (Tergugat 1)
Direktur Utama PT. Bank Sumut;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Oleh karena itu jelas terbukti gugatan Penggugat salah pihak (Error In Persona),
karena yang digugat adalah pejabat perseorangan/pribadi yang bukan subyek
hukum pengemban hak dan kewajiban dalam Akad Pembiayaan Musyarakah dan
Surat Pernyataan. Gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (exceptio obscurum
libellum);
5 Bahwa salah satu syarat formil gugatan adalah harus menyebutkan subyek
hukum Tergugat secara jelas mengenai identitas, alamat dan status subyek hukum
apakah selaku perseorangan atau selaku badan hukum;
6 Bahwa dalam gugatan a quo Penggugat tidak jelas menyebutkan subyek
hukumnya yaitu:
• Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Direktur Utama PT. Bank
Sumut (Tergugat III) ?;
• Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Pimpinan PT. Asuransi
Bangun Askrida Syariah ?;
7 Bahwa PT. Asuransi Bangun Askrida adalah sebuah badan usaha berbadan
hukum perseroan terbatas yang didirikan dan tunduk kepada Undang-Undang
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT). Di dalam UUPT tersebut, sama
sekali tidak ada ketentuan yang mengatur dan/atau menyebutkan istilah pimpinan.
Selain itu di dalam PT. Asuransi Bangun Askrida tidak ada yang dinamakan
Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah;
Dengan demikian maka terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas
(obscurliben);
8 Bahwa Penggugat tidak jelas menyebutkan alasan dan dasar hukum hak serta
kewenangan Penggugat untuk mengajukan gugatan a quo padahal Penggugat bukan
merupakan pihak yang membuat dan menandatangani Akad Pembiayaan
Musyarakah dan Surat Pernyataan. Dengan demikian maka terbukti gugatan
Penggugat kabur dan tidak jelas (obscur liben);
9 Bahwa Penggugat tidak jelas status kedudukannya, karena mencampurkan
status sebagai Ahli Waris dan Mustahaq sebagaimana terbukti dalam gugatan
halaman 3 butir 1 menyatakan:
"1. Bahwa Penggugat adalah ibu kandung dan sekaligus Ahli Waris
yang sah dan Mustahaq dari Alm. Ongku Sutan Harahap...";
Pengertian Ahli waris dengan Mustahaq adalah golongan yang berbeda, karena
yang dimaksud dengan Mustahaq atau Mustahiq adalah orang yang berhak
mendapatkan zakat atau infaq/sedekah;
Hal. 11 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Apabila Penggugat sebagai Mustahaq maka jelas tidak ada hubungan hukumnya
dengan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan sehingga jelas tidak
berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan aquo. Dengan demikian maka
terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscurliben);
10 Bahwa Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut diatas
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga mengikat secara sah
menurut hukum untuk dipatuhi oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau Ahli
Warisnya yaitu Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III yang telah
menyetujui Akad Pembiayaan Musyarakah dan menandatangani Surat Pernyataan;
Oleh karena itu, apabila Penggugat bermaksud membatalkan Akad Pembiayaan
Musyarakah dan Surat Pernyataan, maka Penggugat harus membuktikan bahwa
Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tidak memenuhi syarat
sahnya perjanjian dengan bukti dasar hukum yang jelas;
Namun dalam perkara a quo gugatan Penggugat sama sekali tidak menyebutkan
dasar hukum yang menjadi alasan untuk mengajukan gugatan pembebasan utang,
pembatalan Surat Pernyataan dan pembatalan lelang;
Dengan demikian maka terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscur
libel);
Bahwa berdasarkan eksepsi-eksepsi:
• Penggugat tidak berhak dan tidak mempunyai kedudukan yang sah
untuk mengajukan gugatan (disqualificatoire exceptie);
• Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona);
• Gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (exceptio obscurum
libellum);
Maka kami mohon agar Pengadilan Agama Kelas 1A Medan menolak
gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan
Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Eksepsi Tergugat IV;
1 Bahwa Tergugat IV menolak seluruh dalil Penggugat, kecuali terhadap apa
yang diakui secara tegas kebenarannya;
2 Eksepsi Gugatan Prematur;
Bahwa Tergugat IV menyatakan apa yang disampaikan Penggugat dalam
gugatannya terutama pada Pasal 5 halaman 4, yakni, Bahwa Penggugat sangat
keberatan dengan Surat Peringatan II (terakhir) yang dikirimkan oleh Tergugat I
dan II Kepada Penggugat,..... jika sampai dengan batas waktu tersebut belum juga
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
menyelesaikannya (utang-red) maka agunan yang telah diserahkan kepada
Tergugat I dan II akan segera diajukan lelang ke Tergugat IV,” menunjukkan
hanya poin inilah yang menjadi dasar diikutkannya Tergugat IV sebagai pihak
Tergugat. Padahal dengan sangat jelas pernyataan tersebut menegaskan bahwa
belum ada tindakan hukum apapun yang dilakukan oleh Tergugat IV. Apalagi
permohonan lelang oleh Tergugat I dan II untuk melelang agunan yang
dimaksudkan oleh Penggugat belum pernah sekali pun sampai di kantor kami.
Sehingga Tergugat menganggap gugatan Penggugat adalah prematur karena
belum selayaknya diajukan kepada Terugat IV;
3 Gugatan Compete;
Bahwa perlu Tergugat IV sampaikan bahwa jika pun telah terjadi tindakan hukum
yang dilakukan oleh Tergugat IV terhadap objek perkara a quo, maka Penggugat
telah salah alamat melayangkan gugatan kepada Tergugat IV mengingat objek
perkara a quo terletak di Kelurahan Pasar Gunung Tua, Kecamatan Padang Bolak,
Kabupaten Padang Lawas di mana wilayah tersebut bukan merupakan wilayah
kerja KPKNL Medan, melainkan wilayah kerja KPKNL lain yang membawahi
wilayah kerja tersebut;
4 Eksepsi Tergugat IV untuk dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo;
a Bahwa perlu Penggugat pahami, tugas dan fungsi Tergugat IV dalam
urusan pelelangan/pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggugan ini
adalah sebagai instansi yang mempunyai tugas dalam melaksanakan
lelang;
b Mengingat belum adanya tindakan hukum apapun yang dilakaukan
oleh Tergugat IV, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim yang
memeriksa perkara a quo dapat mengeluarkan Tergugat IV sebagai
pihak dalam perkara a quo;
Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat IV dengan tegas menolak
dalil/alasan Penggugat, dan Tergugat IV mohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa perkara a quo agar berkenan memutuskan dengan menyatakan
menerima eksepsi Tergugat IV;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Medan telah
menjatuhkan putusan Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. tanggal 18 Juni 2013 M.
bertepatan dengan tanggal 9 Sya’ban 1434 H. yang amar selengkapnya sebagai
berikut:
Dalam Konvensi:
Dalam Provisi:
Hal. 13 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Menolak Provisi Penggugat tersebut;
Dalam Eksepsi:
• Menolak Eksepsi dari Tergugat I dan II serta Tergugat III untuk
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2 Menyatakan Penggugat serta Turut Tergugat I, II, III selaku Ahli Waris dari
Alm. Ongku Sutan Harahap dibebaskan dari beban utang Pembiayaan
Musyarakah dari Tergugat I dan II sebesar Rp752,000,000,00 (tujuh ratus
lima puluh dua juta rupiah);
3 Menyatakan Surat Pernyataan yang dibuat oleh Almarhum Ongku Sutan
Harahap dengan diketahui oleh istrinya (Turut Tergugat I/Yusliana
Dalimunthe) bertanggal 28 April 2011 batal demi hukum dan/atau tidak
mempunyai kekuatan hukum;
4 Menyatakan Sertifikat Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19
Desember 2008 an. Ongku Sutan Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor
395/Pasar Gunungtua tanggal 07 Juni 2007 an. Ongku Sutan Harahap, harus
dikembalikan kepada yang mustatahak/Penggugat;
5 Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk menyerahkan kepada
Penggugat, 2 (dua) buah Sertifikat Hak Milik tersebut kepada Penggugat/Ahli
Waris Alm. Ongku Sutan Harahap sebagaimana yang tercantum dalam amar
angka 4 a quo;
6 Menolak gugatan Penggugat untuk selainnya;
7 Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara yang
hingga saat ini sebesar Rp3.841.000,00 (tiga juta delapan ratus empat puluh
satu ribu rupiah);
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I dan II
putusan Pengadilan Agama Medan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Medan dengan putusan Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn. tanggal 5 Februari
2014 M. bertepatan dengan tanggal 5 Rabiulakhir 1435 H. sehingga amar
selengkapnya sebagai berikut:
• Menerima permohonan banding Pembanding;
• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 967/Pdt.G/ 2012/
PA.Mdn. tanggal 18 Juni 2013 M. bertepatan tanggal 9 Syakban 1434 H. yang
dimohonkan banding, selanjutnya:
MENGADILI SENDIRI
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Dalam Provisi:
• Menolak permohonan provisi Penggugat;
Dalam Eksepsi:
• Mengabulkan eksepsi Para Tergugat I, II, III, dan IV;
Dalam Pokok Perkara:
• Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke
verklaard);
• Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada
tingkat pertama sebesar Rp3.841.000,00 (tiga juta delapan ratus empat puluh
satu ribu rupiah) dan pada tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus
lima puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Terbanding pada tanggal 11 Maret 2014 kemudian terhadapnya oleh
Penggugat/Terbanding dengan perantaran kuasanya berdasrkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 20 Maret 2014, diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 20
Maret 2014 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 967/
Pdt.G/2012/PA.Mdn, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan,
permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut pada tanggal 2 April 2014;
Bahwa setelah itu oleh Tergugat I dan II/Para Pembanding, Tergugat III/Turut
Terbanding serta Turut Tergugat I, II dan III/Turut Terbanding II, III dan IV, masing-
masing pada tanggal 21, 24 dan 30 April 2014 serta tanggal 2 Mei 2014 telah
diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat/Terbanding diajukan jawaban
memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan masing-
masing pada tanggal 2, 7 dan 13 Mei 2014 serta tanggal 19 Juni 2014;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu
dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
ALASAN-ALASAN KASASI
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
Dalam Eksepsi:
Bahwa Putusan judex facti (Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan)
yang telah menerima eksepsi-eksepsi Para Termohon Kasasi/Para Tergugat untuk
seluruhnya telah salah dan keliru serta tidak berdasar hukum;
Hal. 15 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa untuk dapat menentukan judex facti (Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Medan) telah salah dan keliru serta tidak berdasar hukum menerima
eksepsi-eksepsi Para Termohon Kasasi/Para Tergugat dapat dibuktikan sebagai
berikut:
1 Eksepsi Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II;
Tentang gugatan samar dan kabur (obscuur libel);
• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah
dan keliru serta tidak berdasar hukum dengan menerima eksepsi
Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II, sebab dipersidangan
eksepsi-eksepsi tersebut tidak terbukti dan tidak didukung oleh
bukti yang sempurna. Format gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat
telah memenuhi syarat formil dan materil hukum acara, terurai
secara terinci, terang dan jelas menyangkut Ekonomi Syariah
perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang yang diajukan
Penggugat selaku ahli waris Alm. Ongku Sutan Harahap yang
dalam hal ini merupakan kewenangan Pengadilan Agama Medan
(Vide Pasal 18 Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 180/
KCSY02-APP/MSY/2011);
• Bahwa oleh karena dalil eksepsi Para Termohon Kasasi/Tergugat I
dan II yang menyatakan gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat
samar dan kabur (obscuur libel) tidak beralasan dan tidak berdasar
hukum patut untuk ditolak dan di kesampingkan;
• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah sangat
salah dan keliru dengan tidak mempertimbangkan pertimbangan
hukum dalam putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 967/
Pdt.G/PA-Mdn, tanggal 18 Juni 2013 yang telah tepat dan benar
serta memenuhi rasa kebenaran dan keadilan karena Majelis
Hakim pada tingkat pertama telah mempertimbangkan gugatan a
quo telah memenuhi syarat formil dan materil karena yang digugat
oleh Pemohon Kasasi/Penggugat adalah substansinya jelas dan
tegas yaitu Pembiayaan Musyarakah pada Bank Sumut Cabang
Syariah Padangsidempuan;
• Bahwa demikian causa prima dari gugatan Pemohon Kasasi/
Penggugat adalah tentang Pembiayaan Musyarakah dengan
substansi gugatan tersebut sejalan pula dengan Maqashid
Asysyariah dari suatu gugatan yang diajukan Penggugat a quo
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
telah memenuhi syarat formil dan materil dari suatu gugatan
karenanya patut dan beralasan eksepsi-eksepsi Para Termohon
Kasasi/Tergugat I dan II untuk ditolak dan di kesampingkan;
• Bahwa oleh karena antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan
Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II mempunyai hubungan
yang satu dengan yang lainnya dan masing-masing tunduk pada
hukum acara yang sama karenanya boleh digabungkan dan
sekaligus digugat dalam satu gugatan (Putusan MARI Nomor 677
K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972);
2 Eksepsi Termohon Kasasi III/Tergugat III;
Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan;
• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah
dan keliru dalam penerapan hukum dengan menerima eksepsi
Termohon Kasasi III/Tergugat III yang menyatakan Penggugat
tidak berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan dalam
perkara a quo adalah eksepsi yang tidak berdasar hukum;
• Bahwa Eksepsi Termohon Kasasi III/Tergugat III dipersidangan
pada tingkat pertama tidak terbukti kebenarannya, akan tetapi pada
tingkat banding Majelis Hakim telah salah dan keliru dalam
melakukan pertimbangan hukum dengan menerima eksepsi
Termohon Kasasi III/Tergugat III;
• Bahwa Pemohon Kasasi/Penggugat selaku ahli waris Alm. Ongku
Sutan Harahap adalah pihak yang berkepentingan (Pesona Standi
In Yudicio) dan berwenang mengajukan gugatan Ekonomi Syariah
perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang yang
menyangkut Akad Pembiayaan Musyarakah yang dibuat Alm.
Ongkus Sutan Harahap dengan Tergugat I dan II dan dijamin
Tergugat III;
• Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Peradilan Agama disebutkan: “Perkara Syariah yang menyangkut
Pewaris Ahli Waris mempunyai kompetensi untuk mengajukan
gugatan tidak semata-mata pembagian Harta Warisan akan tetapi
persoalan hukum yang menyangkut Ekonomi Syariah ahli waris
berkompetensi” untuk mengajukannya ic. Pemohon Kasasi/
Hal. 17 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penggugat. Oleh karenanya Eksepsi Tergugat III tidak berdasar
hukum, patut ditolak dan di kesampingkan;
Eksepsi Salah Pihak (Error In Persona);
• Bahwa judex faxti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah dan keliru
dalam pertimbangan hukumnya dengan menyebutkan seharusnya PT. Bank
Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan yang digugat bukan Termohon
Kasasi I selaku Inperson sekaligus selaku Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang
Syariah Padang Sidempuan, sebab berdasarkan bukti P-III dan keterangan
saksi-saksi terbukti dipersidangan in casu perkara a quo menyangkut
Ekonomi Syariah perihal kelalaian dan kealpaan atau iktikad tidak baik yang
dilakukan oleh Termohon Kasasi I/Tergugat I selaku Inperson sekaligus
selaku Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang Sidempuan;
• Bahwa oleh karena selaku pribadi sekaligus pengembang hak dan kewajiban
dari badan hukum PT. Bank Sumut berdasarkan prinsip Syariah gugatan dapat
diajukan kepada perseorangan/pribadi sekaligus jabatannya sebagai pimpinan
cabang atau direksinya karenanya gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak
salah pihak karena Eksepsi Tergugat III tidak berdasar hukum patut untuk
ditolak dan di kesampingkan;
Eksepsi Gugatan Kabur dan Tidak Jelas (Obscuur Libel);
• Bahwa dipersidangan Tergugat III tidak dapat membuktikan
kebenaran dalil eksepsinya tentang gugatan Penggugat kabur dan
tidak jelas (obscuur libel);
• Bahwa terbukti posita dan petitum gugatan Pemohon Kasasi/
Penggugat telah terurai secara jelas dan rinci dan memenuhi syarat
formil dan materil perihal Ekonomi Syariah yaitu Pembebasan
Utang dan Penundaan Lelang sesuai ketentuan hukum acara
perdata yang menyangkut Ekonomi Syariah tidak ada ketentuan
yang mengatur pencantuman nama pimpinan badan hukum
tersangkut dalam perkara a quo dan kedudukan serta status hukum
Penggugat terbukti (Vide Bukti-P-1) adalah ahli waris Alm.
Ongku Sutan Harahap karenanya berwenang mengajukan perkara
a quo dengan demikian terbukti gugatan Penggugat telah sesuai
ketentuan hukum yang berlaku karenanya eksepsi Tergugat III
patut ditolak dan di kesampingkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa berdasarkan dalil dan bukti hukum bantahan tentang
eksepsi Tergugat I, II dan III di atas dapat disimpulkan:
Gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat adalah terbukti menyangkut Ekonomi
Syariah Perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang sesuai Akad Al-
Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011, tanggal 26 April 2011 dan
Eksepsi-Eksepsi yang diajukan Tergugat I, II dan III dalam perkara a quo tidak
didasarkan pada bukti yang sempurna eksepsi tidak berdasar hukum, tidak
cermat/teliti serta kebenarannya tidak didukung oleh saksi-saksi, karenanya
eksepsi Tergugat I, II dan III di atas patut untuk tidak dipertimbangkan dan
ditolak seluruhnya dan sekaligus mengabulkan gugatan Pemohon Kasasi/
Penggugat untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
Putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan Tidak Cukup Memberikan
Pertimbangan Hukum (Onvol Doende Gemotiveerd);
• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) dalam memeriksa dan
mengadili perkara ini pada Tingkat Banding, tidak memeriksa perkara ini
secara sungguh-sungguh, sebab dalam putusannya tidak ada melakukan
pertimbangan hukum yang dibuat oleh Pengadilan Agama Medan yang
menjadi dasar dijadikan banding oleh Pembanding karenanya Pemohon
Kasasi keberatan terhadap putusan tersebut;
• Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 23 menyebutkan
secara tegas: “Segala Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau bersumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”;
• Bahwa dicermati Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 124/
Pdt.G/2013/PTA-Mdn, tanggal 5 Februari 2014 telah sangat bertentangan
dengan Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 karena kurang
cukup memberikan pertimbangan hukum, oleh sebab itu sangat beralasan
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan di atas untuk dapat ditolak atau
setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvaklijk Verklaard);
• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) tidak melaksanakan
pemeriksaan perkara pada Tingkat Banding dengan sempurna dan lengkap
sebagaimana ketentuan hukum acara, kenyataan judex facti (Pengadilan
Tinggi Agama Medan) tidak ada melakukan pertimbangan hukum atas
Hal. 19 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
putusan Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan memutus perkara a
quo mengenai fakta maupun penerapan hukumnya;
Judex facti Salah Menerapkan Hukum Pembuktian yang Berkenaan Dengan
Pembebanan dan Penilaian Pembuktian;
• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) dalam
perkara a quo tidak teliti menilai dan mempertimbangkan bukti-
bukti P-1 s/d P-6 serta keterangan saksi-saksi yang bernama: 1.
Erwin Siregar, S.H., bin Sutan Guru Siregar, 2. H. Pangiutan
Harahap bin H. Nirwan Harahap, 3. Ridwan, 4. Raja Sahnan yang
telah terang dan jelas terbukti mengetahui dan menerangkan yang
pada intinya bahwa:
• Saksi menerangkan terakhir Alm. Ongku Sutan Harahap pada tahun
2011 ada meminjam uang untuk Pembiayaan Musyarakah senilai
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) untuk jangka waktu 12
bulan;
• Saksi mengetahui pada waktu peminjaman Alm. Ongku Sutan
Harahap telah melunasi biaya Administrasi, Notaris, Asuransi Jiwa
dan Asuransi Kebakaran senilai Rp13.609.408,00 (tiga belas juta
enam ratus sembilan ribu empat ratus delapan rupiah);
• Saksi mengetahui Alm. Ongku Sutan Harahap telah menyerahkan
dua agunan berupa tanah dan bangunan di Pasar Gunungtua 1.
Sertifikat Hak Milik Nomor 457 dan 2. Sertifikat Hak Milik Nomor
395 atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap;
• Saksi mengetahui selama hidupnya Alm. Ongku Sutan Harahap
selalu tepat waktu membayar angsuran dan tercatat sebagai nasabah
yang baik;
• Saksi menerangkan setelah Alm. Ongku Sutan Harahap meninggal
dunia, pihak PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang Sidempuan
ada beberapa kali membuat Surat Peringatan kepada anak istri Alm.
Ongku Sutan Harahap untuk melunasi pembayaran pinjaman Alm.
Ongku Sutan Harahap;
• Saksi menerangkan dan mengetahui (karena saksi juga sering
meminjam uang ke Bank) menurut ketentuan umumnya apabila
peminjam meninggal dunia, maka utang peminjam menjadi hapus
dan ditanggung oleh Bank dan asuransi;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Saksi mengetahui saat ini usaha Alm. Ongku Sutan Harahap
mengalami kemunduran, usaha angkutan tinggal 1 mobil merk
Paluta Ekspress dan usaha spare part mobil juga tidak laku;
• Saksi mengetahui istri dan anak Alm. Ongku Sutan Harahap tidak
mampu untuk melunasi utang Alm. Ongku Sutan Harahap dan
menurut saksi utang Alm. Ongku Sutan Harahap harus dihapuskan
dan dibebankan pada PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang
Sidempuan dan pihak Asuransi;
• Bahwa Majelis Hakim hanya berpedoman pada bukti yang diajukan oleh Para
Termohon Kasasi karena Bukti T.I-II Nomor 1 s/d T.I-II Nomor 21 dan bukti
T.III-1 s/d T.III-5 adalah bukti yang bersifat rekayasa sepatutnya Majelis
Hakim judex facti dapat meneliti dengan cermat bukti yang ada;
• Bahwa judex facti tidak cermat dalam mempertimbangkan alat bukti yang
diajukan Pemohon Kasasi, dan judex facti bersifat berpihak penilaian kepada
alat bukti Para Termohon Kasasi, dengan demikian alat bukti yang diajukan
Pemohon Kasasi yaitu sebagaimana dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI Nomor 638 K/SIP/1969, tanggal 22 Juli 1970 yang mempertimbangkan
hukumnya sebagai berikut: “Kekurangan mempertim-bangkan alat-alat bukti
para pihak berarti judex facti tidak tertib beracara atau kurang cukup
mempertimbangkan bukti-bukti karena itu putusan tersebut harus
dibatalkan”;
• Bahwa perkenakan Pemohon Kasasi mengemukakan pendapat Prof. R.
Subekti, S.H., dalam buku “Hukum Pembuktian” halaman 19 Bab VI tentang
hal beban pembuktian (terbitan PT. Pradnya Paramita Jakarta) yang antara
lain menyatakan:
“Soal pembagian beban pembuktian itu dianggap sebagai suatu soal hukum atau
soal yuridis yang dapat memperjuangkan sampai tingkat kasasi dimuka
pengadilan kasasi yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban
pembuktian yang tidak adil, dianggap suatu pelanggaran hukum atau undang-
undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan
putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan”;
• Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 22 Juni 1970
Nomor 638 K/Sip/1969 yang antara lain menyatakan Putusan Pengadilan
Negeri (Pengadilan Tingkat I) dan Pengadilan Tinggi yang kurang cukup
dipertimbangkan (Onvoeldoende Gemotoverreed) haruslah dibatalkan”;
Hal. 21 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa untuk itu Pemohon Kasasi mohon ke hadapan Bapak Ketua
Mahkamah Agung RI untuk dapat memeriksa kembali materi perkara, hal ini
Pemohon Kasasi utarakan selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
RI Nomor 4 Tahun 1977, antara lain menyatakan: “Dengan tidak kurang/
memberikan pertimbangan/alasan bahwa alasan itu kurang jelas, dapat
dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain maka hal demikian dapat
dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (Vormverzuim) yang dapat
mengakibatkan batalnya Putusan Pengadilan yang bersangkutan”;
• Bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
terbukti secara jelas dan nyata bahwa Putusan judex facti Pengadilan Tinggi
Agama Medan di Medan dalam putusannya Nomor 124/ Pdt.G/ 2013/PTA-
Mdn, tanggal 5 Februari 2014, telah lalai memenuhi syarat- syarat yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (vide Pasal 30 Sub C
Undang-Undang Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 1985);
• Bahwa oleh karenanya maka patut dan berdasarkan kiranya menurut hukum
Putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan dalam putusannya
Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn, tanggal 5 Februari 2014 tersebut haruslah
dibatalkan adanya;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
mempertimbangkan sebagai berikut:
mengenai alasan-alasan kasasi tersebut:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan
Tinggi Agama Medan tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai
berikut:
• Bahwa secara formal gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat obscuur libel,
karena antara posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung,
hal tersebut dapat dilihat dari petitum gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat
yang tidak menuntut kepada pihak siapa yang harus mengembalikan modal
pembiayaan musyarakah dalam perkara a quo;
• Bahwa disisi lain seharusnya yang digugat dalam perkara a quo adalah PT.
Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan, bukan Aminudin Sinaga
selaku pribadi dan pimpinan cabang PT. Bank Sumut Syariah Cabang
Padangsidempuan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa selain itu alasan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat hanya mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau
pelanggaran hukum yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata
bahwa putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi Hj. SARIPAH DALIMUNTHE tersebut harus
ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak, maka Pemohon
Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan
lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Hj. SARIPAH
DALIMUNTHE, tersebut;
Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2014 dengan Prof. Dr. H. ABDUL MANAN,
S.H., S.IP., M.Hum., Hakim Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Majelis, Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum., dan Dr. H.
PURWOSUSILO, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut
Hal. 23 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh Drs. H. NURUL
HUDA, S.H., M.H., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Hakim-Hakim Anggota: K e t u a,
ttd ttd
Dr. H. Habiburrahman, M.Hum. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum.
ttd
Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. ttd ttd
Biaya Kasasi: Panitera Pengganti,
1 Meterai ……… Rp 6.000,00 ttd ttd
2 Redaksi …….. Rp 5.000,00 Drs. H. Nurul Huda, S.H., M.H.
3
Administrasi ... Rp489.000,00 Drs. H. NURUL HUDA, S.H., M.H., Jumlah ……… Rp500.000,00N
Untuk SalinanMAHKAMAH AGUNG RI
an. PaniteraPanitera Muda Perdata Agama
Drs. H. ABDUL GHONI, S.H., M.H. NIP. 19590414 198803 1 005
IP.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24