anak tunagrahita (email)

Upload: chandra-prasetya-dewangga

Post on 18-Jul-2015

513 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANAK TUNAGRAHITAposted Aug 20, 2009 5:49 AM by NINIT YULI ANITA [ updated Aug 23, 2009 8:15 AM ]

A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITAAnak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu. Untuk memahami anak tuna grahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu konsep Mental Age (MA). Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh anak yang berumur 6 tahun akan memiliki MA 6 tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya (Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas rata rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA lebih rendah CA-nya secara jelas. Misalnya anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut. Penyesuaian perilaku maksudnya saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi bila anak ini dapat menyesuaikan diri maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa maka ia tidak tergolong tunagrahita. Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana

perkembangan yang optimal ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari, sebagai berikut :

a.

Keterbelakangan intelegensi Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai

kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah masalah dan situasi situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesal;ahn kesalahan, mengatasi kesulitan kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo. b. Keterbatasan social Di samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. c. Keterbatasan fungsi fungsi mental lainnya Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal hal rutin yang secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi sebagaimana

mestinya). Karena itu mereka membutuhkan kata kata konkrit dan sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang ulang. Latihan - ;latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit. Selain itu anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan yang salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari sesuatu perbuatan. Untuk lebih jelasnya mengenai peristilahan tunagrahita sebagai berikut : 1. Mental Retardation, banyak digunakan di Amerika Serikat dan

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai latar belakang mental. 2. Feebleminded (lemah pikiran, digunakan di Inggris untuk melukiskan

kelompok tunagrahita ringan. 3. Mental Subnormality, digunakan di Inggris dan diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia sebagai latar belakang mental. 4. Mental Deficiency, menunjukkan kapasitas kecerdasan yang menurun

akibat penyakit yang menyerang organ tubuh. 5. Mentally Handicapped, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah

cacat mental. 6. Intellectualy Handicapped, merupakan istilah yang banyak digunakan di

New Zealand. 7. Intellectual Disabled, istilah ini banyak digunakan PBB.

Kata mental dalam peristilahan di atas adalah fungsi kecerdasan intelektual dan bukan kondisi psikologis. Adapun peristilahan di Indonesia mengenai penyandang tunagrahita, mengalami perkembangan seperti berikut : a) Lemah pikiran, lemah ingatan digunakan sekitar tahun 1967. b) Terbelakang mental digunakan sejak tahun 1967 hingga 1983. c) Tunagrahita, digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat dengan terbitan peraturan pemerintah No. 72/1991 tentang pendidikan luar biasa.

B. KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITAKlasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang ditemukan oleh AAMD (Hallahan, 1982:43) sebagai berikut : a) Mild mental retardation (tunagrahita IQ-nya 70 55 ringan). b) Moderate mental retardation (tunagrahita IQ-nya 55 40 sedang). c) Severe mental retardation (tunnagrahita IQ-nya 40 25 berat). d) Profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25 ke bawah sangat berat). Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada intelegensinya, yang terdiri dari terbelakang ringan, sedang, dan berat. Kemampuan intelegensi anak tunagrahita diukur dengan tes Standford Bine dan skala Weschler (WISC) 1. TUNAGRAHITA RINGAN Disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-62 menurut binet, sedangkan menurut skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca,menulis dan berhitung sederhana

dengan bimbingan dan pendidikan yang baik,anak terbelakang ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak terbelakang mental ringan dapat dimiliki menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry,peternakan,pekerjaan rumahtangga,bahkan jika dibimbing dengan baik dapat bekerja di pabrik pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian,mereka tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen. Ia bahkan sering berbuat kesalahan. Pada umumnya anak tunanetra ringan tidak mengalami gangguan fisik .secara fisik mereka tampak seperti anak normal pada umumnya. Bila dikehendaki mereka ini masih dapat bersekolah,maka mereka akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa. 2. TUNA GRAHITA SEDANG Anak tunagrahita sedang disebut juga imbisil.kelompok ini memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala binned sedangkan menurut skala wischler (WISC) memiliki IQ 54-40. Anak Tunagrahita sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis,membaca dan berhitung.walaupun mereka dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis,membaca dan berhitung,mengrurus diri seperti mandi,berpakaian,makan dan minum dalam kehidupan sehari hari masih membutuhkan pengawasan yang terus menerus. 3. TUNAGRAHITA BERAT Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot.kelompok dapat dibedalkan lagi antara anak tunagrahita berat (severe) dan sangat berat (profound).Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan secara total dalam hal berpakaian,mandi,makan,dll.bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sampai sepanjang hidupnya

IQ Level Keterbelakangan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Stanforrd Binet 68-52 51-36 32-20 19 Skala Weschler 69-55 54-40 39-25 24

C. PERKEMBANGAN FISIK ANAK TUNAGRAHITAFungsi-fungsi perkembangan anak tunagraita ada yang tertinggal jauh oleh anak normal.adapula yang sama atau hamper menyamai anak normal.perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal pada umumnya.hasil penelitian menunjukan bahwa 3 th 12 th ada dalam kategori kurang sekali. Sedangkan anak normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang (M.Umardjani,1984). Dengan demikian tingkat jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama. Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa pada anak terbelakang korelasi tersebut lebih besar dari pada yang terdapat pada anak normal.dalam hal kesegaran jasmani M Umarjani (1984) menemukan bahwa korelasi anak terbelakang putra dan putri masing masing 0,96 dengan taraf signifikan 0,01 serta 0,617 dengan taraf signifikan

0,05.perkembangan motorik mencakup dua hal yaitu gross motor (seperti berjalan, melompat, melempar) dan fine motor (seperti menulis, menyulam, menggunting dsb) pada anak-anak yang pertama berkembang adalah gross, sedangkan fine motor.kita mempelajari gerak-gerak jari dengan mudah, tetapi lain halnya dengan anak tunagrahita mereka mengalami kesulitan untuk menguasainya. Banyak gerak-gerak yang kita pelajari hampir secara instingtif, harus dipelajari anak tunagrahita secara khusus. Adapun gerak-gerak yang termasuk gerak fundamental menurut Wessel (1974) terdiri dari tiga kelompok yaitu Locomotor, object control dan rhythmic skill. Perincian sebagai berikut : Locomotor Skill, meliputi :

Functional run Functional leap Functional horizontal jump Functional vertical jump Functional hop Functional gallop Functional slide Functional skip object control, meliputi : Functional underhand roll Functional underhand throw Functional overhand throw Functional kick Functional continous bounce Functional catch Functional underhand strike Functional overhand strike Functional forehand strike Functional backhand strike

Functional two janded sidearm rytmic skill, meliputi : Functional movements to an even beat Functional movements to an uneven beat Accent and phrasing Limitate movements Communication

D. PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK TUNAGRAHITASuppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua kemampuan akademik yang berhhubungan dengan wilayah persepsi. Mussen, Conger, dan Kagan (1974) paling sedikit terdiri dari 5 proses yaitu persepsi, memory, kemunculan ide ide evaluasi penalaran dan proses proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep dan kaidah kaidah. Kognisi adalah bidang yang luas dan beragam, peneliti tidak dapat memusatkan pada satu proses kognitif umur pada waktu tertentu. Anak terbelakang menunjukkan deficit pemerolehan pengetahuan seperti yang digambarakan proses kognisi meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual akan tercermin pada proses kognitif. Yang dikemukakan Mussen dkk (persepsi, memory, ide ide, evaluasi, dan penalaran). Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dapat diapahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menerapkan teori kejenuhan cortical (Cortical Satiation Theory) terhadap anak tunagrahita Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (Cortical cells) anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer pada sel ortical lebih lambat kembali pada keadaan semula. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sel cortical lebih sulit.

Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.

E. PERKEMBANGAN BAHASA ANAK TUNAGRAHITASecara umum perkembangan bahasa digambarkan oleh Myklebust (1960), meliputi 5 tahap perkembangan, seperti dapat dilihat dalam gambar berikut : a. Inerlanguage Inerlanguage adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep konsep sederhana, seperti anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara satu objek dengan objek yang lainnya. Tahap berikut dari perkembangan innerlanguage adalah anak dapat memahami hubungan hubungan yang lebih kompleks dan dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun perabot didalam rumah rumahan. Bentuk yang lebih komples dari perkembangan innerlanguage adalah mentransformasikan pengalaman ke dalam symbol bahasa. b. Receptive Language Setelah innerlanguage berkembang, maka tahap berikutnya dalah receptive language muncul. Pada kira kira umur 8 bulan anak mulai mengerti sedikit sedikit tentang apa yang dikatakan orang lain kepadanya, anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti perintah. Menjelang kira kira umur 4 tahunan anak lebih menguasai kemahiran mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive process) memberikan perluasan kepada sistim bahasa verbal. Terhadap hubungan timbal balik antara innerlanguage dengan receptive language. Perkembangan innerlanguage, melewati fase pembentukan konsep konsep sederhana menjadi tergantung kepada receptive language.

c.

Ekspressive Language Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif

(ekspresive language). Menurut Myklebust ekspresive language berkembang setelah pemantapan pemahan. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira kira 1 tahun. Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbale balik. Perkembangan kognisi anak tugrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat. Anak tuna grahita pada umumnya tidak bias menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari hari mereka lebih banyak menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA yang sama, anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara (ekspresive auditori language). Dalam perkembangan morfologi anak normal menguasai peningkatan sejumlah morfem sejalan dengan perkembangan umum. Demikian juga anak tunagrahita dan anak normal yang memiliki MA yang sama memperlihatkan level yang sama dalam perkembangan morfologi. Akan tetapi anak tunagrahita yang memiliki CA yang sama dengan anak normal, anak tunagrahita memiliki tahap lebih rendah dengan perkembangan morfologinya. Ada penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Endang Rochyadi (1983) mengenai kemampuan berbahasa anak tunagrahita khususnya berkaitan dengan sintaksis dan perbendaharaan kata. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa MA berkolerasi dengan kemampuan tata bahasa (sintaksis), sedangkan CA berkolerasi dengan perbendaharaan kata. Ini berarti bahwa sintaksis memerlukan kemampuan kecerdasan yang baik. Hal terakhir dari perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa yang disebut semantic. Anak anak memperlihatkan perkembangan

semantic sama seperti pada komponen lainnya. Anak terbelakang menunjukkan perkembangan semantic lebih lambat dari pada anak normal. Tetapi tidak ada bukti bahwa mereka memiliki perbedaan pola perkembangan sistaksis. Perkembangan vocabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas. Hasilnya menunjukkan bahwa anak tunagrahita lebih lambat dari pada anak normal dari pada kata permenit lebih banyak menggunakan kata kata positif, lebih sering menggunakan kata kata yang lebih umum, hamper tidak pernah menggunakan kata kata yang lebih umum, hamper tidak pernah menggukan kata ganti, lebih sering menggunakan kata kata bentuk tunggal, dan anak tunagrahita dapat menggunakan kata kata bervariasi.

F. EMOSI PENYESUAIAN SOCIAL DAN KEPRIBADIAN ANAK TUNAGRAHITAPerkembangan dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri. Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi emosi yang sederhana. Pada anak terbelakang ringan kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan, tetapi sulit untuk mengungkapkan kekaguman. Kepribaian dan penyesuaian social merupakan proses yang saling berkaitan. Kepribadian seseorang mencerminkan cara yang tersebut berinteraksi dengan lingkungan. Sebaliknya pengalaman pengalaman penyesuaian diri sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian. Dalam kepribadian tercakup susunan fisik, karakteristik emosi, serta karakteristik seseorang. Di dalamnya juga tercakup cara

cara memberikan respon terhadap rangsangan yang datingnya dari dalam maupun dari luar baik rangsangan fisik maupun social. Apakah anak tunagrahita memiliki karakteristik khusus dalam kepribadiannya. Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Childrens Personality Questionare ternyata bahwa anak anak tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancaag dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan dalam hal lain anak tunagrahita sama dengan anak normal. Kekurangan kekurangan dalam hal kepribadian akan berakibat pada proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya terhalangi. Emosi emosi yang positif adalah cinta, girang, simpatik. Emosi ini tampak pada anak tuna grahita yang masih muda terhadap peristiwa peristiwa yang bersifat konkret, lingkungan bersifat positif terhadapnya, maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi emosi yang positif itu. Emosi emosi yang negative adalah perasaan takut, giris, marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih muda takut kepada hal hal yang mengancam keselamatannya. Anak tunagrahita yang lebih tua takut terhadap hal hal yang berkenaan dengan hubungan social. Dalam tingkah laku social tercakup hal hal seperti keterikatan dan ketergantrungan, hubungan kesebayaan, self concept dan tingkah laku moral. Yang dimaksud dengan tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa yang lain.

Dengan bertambahnya umur keterkaitan ini dialihkan kepada teman sebaya. Ketergantungan yang tadinya bersifat satu pihak menjadai hubungan yang timbal balik. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita lebih banyak bersifat bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan social. Dalam hubungan kesebayaan seperti halnya dengan anak kecil menolak anak yang lain, tetapi setelah bertambah umur, mereka mengadakan kontak dan melakukan kegiatan kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tuna grahita jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok

G. DAMPAK KETUNAGRAHITAANOrang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan psikiatri keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara saudara anak tersebut pun menghadapi hal hal yang bersifat emosional. Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan gejala gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil penelitian. Cara menyampaikan hasil penelitian sangatlah penting. Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu. Dalam memberitahukan kepada orang tua hendaknya dilakukan terhadap kedua duanya (suami istri) secara bersamaan. Dianjurkan sejak awal sudah diperkenalkan dengan orang yang juga mempunyai anak cacat. Orang tua hendaknya menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Lahirnya anak cacat (tunagrahita) selalu merupakan tragedy.

Reaksi orang tua berbeda beda tergantung pada berbagai factor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terhambat diketahuinya. Factor lain yang juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain. Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda beda dan dapat dibagi menjadi : a. Proteksi biologis

b. Perubahan tiba tiba, hal ini mendorong untuk 1. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin. 2. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dengan

mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya. 3. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa

memberikan kehangatan. 4. Memelihara dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan

menolak. c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan 1. Perasaan ini mendorong timbulnya suatu perasaan depresi. 2. Merasa kurang mampu mengasuhnya perasaan ini mehilangkan

kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya. 3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal. a. Karena kehilangan kepercayaan tersebut orang tua cepat marah,

tingkah laku agresif.

b. Kedudukan tersebut dapat mengakibatkan depresi. c. Pada permulaan mereka segera mampu menyesuaikan diri sebagai

orang tua anak tunagrahita, akan tetapi mereka terganggu lagi saat saat menghadapi peristiwa peristiwa kritis. d. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, kemudian berkonsultasi

untuk mendapat berita berita yang lebih baik. e. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa.

Sebenarnya perasaan tersebut tidak selalu ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan dapat mengakibatkan depresi. f. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka

bergaul dan lebih suka menyendiri. Adapun saat saat kritis itu terjadi pada saat berikut : 1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat. 2. Memasuki pada umur sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal. 3. Meninggalkan sekolah. 4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya

yang cacat. Pada saat saat kritis seperti ini biasanya orang tua lebih mudah merasa saran dan peyunjuk. Setelah kejutan yang pertama orang tua ingin mengetahui mengapa anaknya tunagrahita. Mereka dan anak anaknya yang normal ingin mengetahui apakah sesudah melahirkan anak yang tuna grahita apakah mereka melahirkan anaknya yang normal. Pada umumnya masyarakat kurang mengacuhkan anak tunagrahita, bahkan

tidak dapat membedakannya dari orang gila. Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Saudara saudaranya ketika memasuki usia remaja mengetahui hal hal menyangkut emosionalnya, kehadiran saudaranya yang tunagrahita dirasakan sebagai beban baginya. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat tempat penampungan. Tetapi bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih lebih bagi ibu ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut.

H. PENYEBAB DAN CARA PENCEGAHAN KETUNAGRAHITAAN1. Penyebab Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai factor. Para ahli membagi factor tersebt dalam beberapa kelompok : a. Factor Keturunan

Meliputi hal hal berikut.

Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya, dilihat dari bentuknya dapat berupa infresi (kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melilitnya kromosom, delesi (kegagalan meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel), duplikasi (kromosom tidak berhasil memisahkan diri sehingga tidak terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel yang lain), translokasi (adanya kromosom yang patah dan patahannya menempel pada kromosom lain). Kelainan gene, terjadi pada waktu mutasi, tidak selamnya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotip).

b. Gangguan metabolism dan gizi Metabolism dan gizi merupakan factor yang sangat penting dalam individu terutama dalam perkembangan sel sel otak, kegagalan itu dapat

menyebabkan gangguan fisik dan mental pada individu. Kelainan itu antara lain phenylketonuria (akibat gangguan metabolism asam amino) dengan gejala yang Nampak berupa : tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang syaraf, kelianan tingkah laku gargoylism (kerusakan metabolism saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam mukopolysaccharide dalam hati limpa kecil dan otak gejala yang Nampak ketidak normalan tinggi badan, kerangka tuuh yang tidak proposional, telapak tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita, cretinism (keadaan hypohydrodism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak ketidak normalan fisik yang khas pada tunagrahita. c. Infeksi dan keracunan Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit penyakit selama janin dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika dilahikan, syphilis bawaan, syndrome grafidity beracun. d. Trauma dan zat radio aktif Terjadi trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radio aktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu. Ketidak tepatan penyinaran radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly. e. Masalah pada kelahiran Masalah yang terjadi pada saat kelahiran misalnya kelahiran yang disertai hypoxia yang dipasyikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan nafas pendek. Kerusakan juga disebabkan oleh trauma mekanis terutama

pada kelahiran yang sulit. f. Factor lingkungan Studi yang dilakukan Kirk (Triman Prasadio, 1982:25) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosialnya ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankan mental pada taraf yang sama bahkan prestasi belajarnya berkurang dengan meningkatnya usia. Kurangnya rangsangan intelektual yang memadai mengakibatkan timbulnya hambatan dalam perkembangan intelegensia sehingga anak dapat berkembang menjadi anak retardasirental.

I. USAHA PENCEGAHAN TUNAGRAHITABerbagai alternative dan upaya upaya pencegahan yang disarankan antara lain : Penyluh genetic, yaitu sesuatu usaha mengkomunikasikan berbagai informasi

mengenai masalah genetika. Diagnotis prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat

diketahui lebih dini apakah janin mengalami kelainan. Imunisasi, diakukan terhadap ibu hamil maupun anak balita. Tes darah, dilakuka terhadap pasangan yang akan menikah untuk

menghindari kemungkian menurunkan benih benih kelainan. Melalui program KB, pasangan suami istri dapat mengatur kehamilan dan

menciptakan keluarga yang sejahtera baik fisik dan psikis. Tindakan operasi, dibutuhkan bila ada kelahiran dengan resiko tinggi

misalnya kekurangan oksigen, adanya trauma pada masa perenatal atau proses kelahiran.

Sanitasi lingkungan, mengupayakan terciptanya lingkungan yang baik

sehingga tidak menghambat perkembangan bayi atau anak. Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut

pemeriksaan kesehatan selama hamil, penyediaan vitamin, menghindaari radiasi. Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar dapat membantu

perkebangan anak secara dini.

http://sites.google.com/site/myarticle1/my-article-2/orthopedagogik/anaktunagrahita

Pembelajaran Anak Tunagrahita

Login to post comments

Program Studi : PLB sks. : 2 Dosen:

Nirsantono Hasnul, Drs DESKRIPSI : Pengkajian tentang kaitan pedagogik dan orthopedagogik, permasalahan dan kebutuhan, pembelajaran anak tunagrahita, berbagai ilmu yang terkait dengan PLB anak tunagrahita, strategi

dan model-model pembelajaran, analisis kurikulum, intervensi dini, pendidikan dasar, pendidikan lanjutan (SLTPLB dan SMLB), pembelajaran, pengembangan PPI dan pengelolaan kelas , pendidikan inklusi bagi Tunagrahita , dan akomodasi penilaian bagi anak tunagrahita. KOMPETENSI1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Mampu memahami kaitan pedagogik dan orotopedagogik, didaktik dan ortodidaktik. Memahami kesulitan yang dihadapi anak tunagrahita Mampu memahani kebutuhan anak tunagrahita Memahami pengajaran (ling- kungan belajar) bagi anak tunagrahita Memahami strategi pembelajaran anak tunagrahita Memahami kurikulum pendidikan anak tunagrahita Memahami intervensi dini ATG Memahami pelaksanaan pendidikan dasar anak tunagrahita Memahami pelaksanaan pendi- dikan SLTPLB-C/C1 dan SMLB-C/C1 bagi anak tunagrahita Memahami, dan pengem - bangan PPI Memahami pengelolaan kelas Mampu memahami pembelajaran tunagrahita Mampu memahami pendidikan inklusibagi anak tunagrahita

INDIKATOR1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Mampu menjelaskan pengertian, hubungan/ kaitan antara pedagogik, ortopedagogik, didaktik, ortodidaktik Mampu menjelaskan kesulitan yang dihadapi Anak tunagrahita dan Mencari solusinya Dapat menjelaskan kebutuhan-kebutuhan anak tunagrahita Mampu menjelaskan pengajaran (lingkungan belajar bagi anak tunagrahita Mampu menjelaskan strategi pembelajaran anak tunagrahita Mampu menjelaskan model-model pembel- lajaran anak tunagrahita Mampu menganalisis kurikulum pendidikan anak tunagrahita Mampu menjelaskan intervensi dini bagi anak tunagrahita Mampu menjekaskan materi pendidikan dasar anak tunagrahita Dapat menjelaskan t tujuan pendidikan, maanfaat, dan materi pendidikan SLTPLB-C /C1 dan SMLB-C/C1 Dapat menjelaskan dan memberi contoh pengembangan PPI Mampu menjelaskan dengan contoh-contoh pengelolaan kelas Dapat menerapkan proses pembelajaran tunagrahita Mampu menjelaskan pendidikan inklusi yang cocok bagi tunagrahita

STRATEGI PEMBELAJARAN

Tanya jawab, ekspositoris media, dan studi pustaka, LCD

Diskusi, Tanya jawab, presentasi ekspositoris media, dan studi pustaka, LCD Diskusi, Tanya jawab, ekspositoris media, dan studi pustaka, LCD

RUJUKAN 1. A. Tabrani Rusyan, dkk (1994), Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2. Astati (1996), Pendidikan dan Pembinaan Karier Penyandang Tunagrahita Dewasa, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. 3. Brady L (1985), Models of Teaching, Sydney: Prentice-Hall 4. D. Sujana (1991) Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Nusantara Press. 5. Edi Purwanto (1994), Alternatif Pelaksanaan Bimbingan Karier di Sekolah, Jurnal Rehabilitas dan Remediasi, Surakarta: Lembaga Penelitian UNS. 6. Groundwater-Smith, Susan et. al (1998), Teaching Challenges and Dilemmas, Australia: Harcourt Brace & Company. 7. Hallahan, Daniel P. and Kauffman, James J., (1986), Exceptional Children, Introduction to Special Education, New Jersey: Prentice Hall International Edition. 8. Hardman, Michael L., et. al, (1990), Human Exceptionality, 3rd Edition, Toronto: Allyn & bacon. 9. Hullbrugge, Theodor (1984), Under Montessori Model, Frankfurt am main: Fischer Tashenbuch Verlag 10. Heard, William L & Orlansky, Michael D.L (1988), Exceptional Children, an Introductory Survey of Special Education, 3rd Edition, Melbourne: Merril Publishing C., A Bell & Howell Information Comp. 11. Hurlock, Elizabeth B (1991), Perkembangan Anak Jilid 1 & 2, Alih bahasa Meitasari Tjandrasa, Jakarta: Erlangga. 12. Ingalls, Robert P. (1978), Mental Retardation, The Changing Outlook, USA: John Willey and Sons Inc.,1 13. Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (1984), Cooperative in the Classroom, Mimeapolis: Interaction Book Company 14. Kirk, Samuel A. & Gallagher, James J. (1986), Education Exceptional Children, 4th Edition, Boston: Houghton Mifflin Company. 15. Love, Harold D. (ed) (1973), Teaching Educable Mentally Retarded Children, Method and Materials, Second Edition, Springfiled Illinois : Charles C. Thomas. 16. Michael, Berthold (1988), Grundlagen Mainer Pedagogik und Weitere Anfsatze, Heidelberg: Onelle & Mcyer Verlag. 17. Muh. Amin (1995), Ortopedagogik Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdikbud, Dirjen PT. 18. Muljono (1990), Pengarah Suasana Belajar dan Pengelompokan Sistem Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas SD. Disertasi, Jakarta: Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta. 19. Nasution S (1982), Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bandung: Jemars. 20. 4Payne, Followay and Payne, Smith (1981) Strategies for Teaching the Mentally Retarded, Second Edition, USA: Charles E. Menrill Publishing Copany. 21. Patton, Jemes R., Payne, James S., and Smith, Mary Beirne (1986), Mental Retardation Second Edition, USA: Charles E., Merrill Publishing Company, A. Bell & Howell Company. 22. Tomiszowski, A.J., (1981), Designing Instructional System, New York: Kogan Page. 23. Sellin, Donald F. (1979), Mental Retardation, Nature, Needs and Advocacy, Boston: Allyn

and Bacon Inc. 24. Smith, Robert M & Neisworth, John T. (1975), The Exceptional Child, a Functional Approach, New York: McGraw-Hill Inc. 25. Snell, Martha E., (ed) (1987), Systematic Instruction of Persons With Severe Handicaps, Third Edition, Columbus : Charles E. Merrill Publishing Company A Bell & Howell Information Company. 26. Soedjadi S. (1988), Suatu Orientasi tentang Ortopedagogik (diterjemahkan dari Een Orientation in de Orthopedagogik ditulis L. Van Gelder), Hak; Danau Singkarak. 27. Sunardi (1995), Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. 28. Theoretical, Models and Method 29. T. Sajono, (1971), Suatu Orientasi dalam Orthopedagogik, Jakarta: Bursa Buku FIP IKIP Jakarta. 30. Willey, Roy Deverl & Wite, Kathlee Barnette, (1964), The Mentally Retarded Child, Identification, Acceptance, and Curriculum, USA: Charles C. Thomas Pulisher. 31. Wesna, I Ketut, dan Dewi Utama Faizah (1989), Pendidikan Dini Bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: CV Remaja Karya 32. Edi Purwanto, Modifikasi Perilaku, Alternatif Penangan ALB, Jakarta: Depdiknas,dirjen PT, dir PPTK dan KPT, 2005 33. Jae Andrews and Judy Lupart, Inclusive Classroom education Exceptional Children, Canada: A division of Thomson Canada Limited, 1993 34. Joyce S. Choate (Ed), Successful Inclusive Teaching, Fourth Edition, New York: by Allyn and Bacon, 2004http://www.widyalaya.info/ocw/content/pembelajaran-anak-tunagrahita

PENDEKATAN KOGNITIVISME UNTUK MENGATASI PROBLEM PEMBELAJARAN BAHASA (MEMBACA DAN MENULIS) ANAK TUNAGRAHITAPENDAHULUAN Proses belajar berbahasa akan selalu berkaitan dengan proses berpikir. Segala bentuk pembelajaran yang diajarkan pendidik kepada peserta didik harus menjadi sebuah proses berpikir bersama, yaitu antara guru dan siswa. Hal ini akan menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Adanya interaksi berpikir yang terjadi antara guru dan siswa akan memudahkan proses pembelajaran yang meliputi transfer of knowledge (transfer ilmu dan pengetahuan) maupun transfer of value (transfer nilai). Oleh karena itu, pembelajaran akan terlaksana dengan baik bila interaksi tersebut dapat terjadi dengan baik pula. Dalam proses pembelajaran bahasa, peran fungsi berpikir juga sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan teori kognitivisme yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Kognitif berhubungan dengan daya berpikir seseorang, maka daya pikir atau intelegensi yang kurang akan mempengaruhi dalam proses pemerolehan bahasa. Apabila pemerolehan bahasa terhambat, tentu pembelajaran bahasa yang diberikan akan sulit ditangkap. Hal ini sangat mungkin terjadi bagi anak yang mengalami ketidakmampuan intelektual seperti tunagrahita. Tunagrahita yang memiliki kapasitas intelektual yang rendah tentu terbatas dalam pemerolehan bahasa mereka. Selain itu, tunagrahita juga kesulitan dalam berkomunikasi. Keterbatasan tersebut akhirnya berdampak pada terhambatnya pembelajaran yang diberikan kepada mereka, termasuk pembelajaran bahasa. Mereka akan sangat sulit untuk memahami materi yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, kemampuan pendidik dalam menciptakan metode dan strategi yang tepat sangatlah penting agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

PEMBAHASAN A. Pendekatan Teori Kognitivisme (Teori Belajar Kognitif) Menurut Sugihartono, dkk (2007:104) pendekatan psikologi kognitif menekankan arti penting proses internal mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Semua bentuk perilaku termasuk belajar selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (berkesinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Proses ini tidak berjalan sepotong-potong atau terpisah-pisah, melainkan melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh. Konsep sentral dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Para ahli pendukung teori ini beranggapan bahwa bahasa itu distruktur atau dikendalikan oleh nalar manusia. Pendekatan kognitif menjelaskan bahwa: a) dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir, b) belajar terjadi dari kegiatan mental internal dalam diri, c) belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks. Menurut Piaget, struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus-

menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dari lingkungan lingualnya. Menurut pendekatan ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran beradaptasi secara tepat dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Karena karakteristik anak tunagrahita yang memiliki kekurangan dari segi kognitif, maka proses pembelajaran yang mengacu pada pendekatan kognitif tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh anak tunagrahita. Namun dalam penerapan bentuk pembelajaran bahasa bagi anak tunagrahita, pendekatan kognitif sejalan dan didukung pula oleh pendekatan behavioristik yang menegaskan tentang konsep pengulangan atau pembiasaan. Pendekatan kognitif yang fokus kepada kemampuan berpikir siswa akan mengembangkan kemampuan kognitif anak tunagrahita, sedangkan dukungan dari pendekatan behavioristik akan mempermudah proses pengembangan kemampuan kognitif tersebut melalui bentuk-bentuk pembelajaran yang nyata. B. Penjelasan Tunagrahita Public Law 101 476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins Shepard, 1994). Secara lebih spesifik, the American Association on Mental Retardation (AAMR) (1992) menjelaskan bahwa: yang dimaksud dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata itu adalah skor IQ 70 hingga 75 atau lebih rendah berdasarkan tes standar inteligensi individual. Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua bidang keterampilan adaptif atau lebih, yang mencakup bidang-bidang: komunikasi, merawat diri, mengurus rumah, keterampilan sosial, kehidupan kemasyarakatan, mengarahkan diri (self direction), kesehatan dan keselamatan, keterampilan akademik, penggunaan waktu senggang dan kerja. Usia perkembangan adalah sebelum usia 18 tahun. Klasifikasi anak tunagrahita menurut pendidikan: a. Mampu didik, anak ini setingkat mild, Borderline, Marginally dependent, moron, dan debil. IQ mereka berkisar 50/55 - 70/75. b. Mampu latih, setingkat dengan Moderate, semi dependent, imbesil, dan memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar 20/25 - 50/55. c. Perlu rawat, mereka termasuk Totally dependent or profoundly mentally retarted, severe, idiot, dan tingkat kecerdasannya 0/5 - 20/25. C. Problem Pembelajaran Bahasa Anak Tunagrahita Berdasarkan pendekatan kognitivisme, maka dapat dianalisis bahwa anak tunagrahita memiliki problem dalam pembelajaran sebagai akibat dari keterbataan kemampuan kognitif mereka. Hal ini karena perbedaan intelektual mereka yang berada di bawah rata rata, sehingga mereka kurang mampu menerima dan memahami bahasa yang ditransfer kepada mereka, termasuk materi pembelajaran. Mereka menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan tata bahasa. Defisiensi yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama. b. Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa. c. Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan,

serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat. d. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana. Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama. Maksudnya adalah bila anak normal mampu menangkap dan memahami apa yang diujarkan kepada mereka namun hal ini tidak berlaku bagi anak tunagrahita. Selanjutnya, anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan konsep berpikir abstrak dan kompleks karena konsep seperti itu memerlukan daya dan olah pikir yang tinggi. Padahal dalam kenyataannya, tunagrahita jelas memiliki keterbatasan dalam intelegensi. Karena ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam proses pembelajaran bahasa bagi anak tunagrahita tersebut, maka penggunaan pendekatan dan strategi khusus perlu dilakukan pada tiap bentuk pembelajaran bahasa anak tunagrahita, salah satunya adalah dengan pendekatan kognitif yang juga tidak lepas dari pendekatan behavioristik. Proses belajar bahasa yang menuntut adanya kemampuan anak dalam menangkap dan memahami kata dan kalimat menjadi masalah tersendiri bagi anak tunagrahita. Problem pembelajaran bahasa bagi anak tunagrahita sangat dipengaruhi oleh keterbatasan mereka dalam aspek kognitif. Ketidakmampuan mereka tersebut kemudian membatasi mereka dalam mengikuti pembelajaran. Anak tidak mampu memahami materi yang diberikan guru dengan baik. D. Pendekatan Pembelajaran bagi Anak Tunagrahita Prinsip-prinsip khusus yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Prinsip pendidikan berbasis kebutuhan individu, pada prinsip ini menurut Sunardi (dalam Mumpuniarti, 2007:53). Merupakan langkah-langkah: deskripsi kondisi saat ini pada setiap aspek (merupakan hasil assesmen); tujuan jangka panjang dan pendek (saat penjabaran jangka pendek inilah penerapan analisis tugas diperlukan); deskripsi layanan yang direncanakan (termasuk jadwal, sarana khusus, dan pelaksana bimbingan); serta evaluasi (untuk cara ini perlu target pencapaian. 2. Analisis penerapan tingkah laku. Prinsip ini setiap tugas bimbingan sebagai tema kegiatan yang diurai menjadi step by step. 3. Prinsip relevan dengan kehidupan sehari-hari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. 4. Prinsip berinteraksi maknawi secara terus menerus dengan keluarga. E. Pembelajaran Membaca dan Menulis Anak Tunagrahita Pembelajaran bahasa bagi anak tunagrahita perlu memperhatikan pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan belajar bagi anak tunagrahita dengan menggunakan pendekatan kogtinif dan juga cenderung berpandangan pada aliran tingkah laku (pendekatan behavioristik). Prosedur membaca dilakukan dengan tahapan analisis tugas mulai dari yang sederhana, bertahap, menuju belajar kompleks. Di samping itu, pandangan ini sesuai dengan pendekatan membaca yang dimulai dari unsur yang terkecil, yaitu mulai perkenalan huruf. Berhubung pengenalan huruf bagi anak tunagrahita merupakan tugas belajar yang kompleks, maka perlu didahului dengan kegiatan pramembaca. Kegiatan ini sebagai dasar sebelum membaca yang sesungguhnya, jika kemampuan pra-membaca belum dicapai atau dikuasai sangat sulit untuk keberhasilan dalam pembelajaran membaca yang sesungguhnya. Kegiatan membaca yang diintegrasikaan secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari ialah usaha memberi rangsangan simbol yang tercetak secara menyeluruh. Rangsangan itu selalu

diperkuat untuk mengucapkan bunyinya, hal ini memperkuat asosiasi antara fungsi huruf, bunyi huruf, benda atau peristiwa yang dipesankan melalui simbol yang tercetak. Penguatan rangsangan ini disertai penggunaan alat peraga berupa kartu huruf dan kartu kata yang setiap menemui atau melakukan kegiatan dengan benda tertentu selalu disusun untuk dinyatakan sebagai simbolnya. Prosedur tersebut menekankan supaya siswa selalu berkesempatan membaca setiap hari dan semua situasi selalu ada kegiatan membaca. Dengan demikian, siswa belajar membaca dalam konteks kehidupan nyata, dan usaha untuk itu dapat diintegrasikan dalam kegiatan membaca pada semua program kurikulum pembelajaran. Pembelajaran menulis bagi anak tunagrahita dapat diintegrasikan ke pembelajaran membaca, setelah motorik halus mereka siap, mampu memegang pensil dengan benar, dan menguasai bacaan beberapa kata dengan ejaan yang benar. Seperti halnya pembelajaran membaca, pembelajaran menulis perlu juga dipadukan dengan pembelajaran bidang studi yang lainnya atau kegiatan sehari-hari di sekolah. Keterpaduan tersebut agar kegiatan menulis sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari atau selama belajar di sekolah. Hal itu diharapkan untuk memperoleh konteks menulis dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menulis bagi anak tunagrahita ringan menurut meliputi: 1. menulis surat yang sederhana, 2. menjawab surat, 3. menulis undangan serta menjawabnya, 4. menulis secara sempurna, mengisi formulir, 5. menulis surat-surat untuk aplikasi di bank, 6. mencatat nomor telepon, dan 7. mencatat bahan-bahan yang akan dibeli ketika berbelanja, maupun mencatat pengeluarannya. Pembelajaran menulis bagi anak tunagrahita sedang menurut Burton (dalam Mumpuniarti, 2007: 115) lebih ditekankan untuk mampu menulis identitas dirinya sendiri, berhubung keterbatasan mereka. Untuk itu, setiap masuk sekolah perlu diminta untuk mencatat namanya sendiri di dinding kelas sebagai daftar kehadiran. Cara ini hanya langkah pembiasaan menulis seperti halnya pendekatan tingkah laku yang dikondisikan dengan pembiasaan. Huruf yang lebih mudah diajarkan bagi mereka dengan huruf cetak/kapital besar, karena huruf ini yang sering juga digunakan di tempat-tempat umum dan dalam pengisian formulir. F. Bentuk Pembelajaran dengan Pendekatan Kognitif bagi Anak Tunagrahita Pendidikan atau layanan anak harus senantiasa mengikutsertakan orang tua. Pengembangan kemampuan anak harus terus menerus diupayakan secara maksimal, sampai mencapai batas kemampuan anak itu sendiri baik kemampuan fisik, sosial dan mental. Adapun bentuk pembelajaran bagi anak tunagrahita adalah sebagai berikut. 1) Bentuk pembelajaran secara umum dapat dilakukan dengan cara: a. Setiap hal yang baru harus terus diulang-ulang. b. Tugas-tugas harus jelas dan sederhana. c. Senantiasa menggunakan kalimat dengan kosakata yang sederhana. d. Gunakan selalu peragaan dan mengulang prosesnya jika mengajar mereka. e. Pengalaman yang bersifat kerja seluruh alat indra harus selalu diupayakan. f. Mengajarkan sesuatu harus selalu dipotong atau dipecah menjadi bagian yang kecil sehingga mudah ditangkap anak. g. Dorong dan bantu anak untuk bertanya dan mengulang. h. Sebelum melatih hal yang baru usahakan agar anak lebih dahulu meletakkan perhatian penuh.

i. Beri senantiasa penguat. 2) Bagi anak tunagrahita ringan, hal yang perlu dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut. a. Memisahkan latihan rangsangan pada indra pendengaran dan penglihatan. b. Mengembangkan kemampuan berbahasa. c. Melatih kemampuan motorik, seperti: memegang pencil, memotong dan menggunting dan lain sebagainya. d. Melatih untuk menolong diri sendiri, seperti: mengikat tali sepatu, mengancing dan melepas kancing baju dan lain sebagainya. e. Bergaul dengan teman sebaya. 3) Bagi anak mampu didik banyak diupayakan pada pengalaman bahasa dan konsep- konsep. 4) Bagi anak tunagrahita berat ditekankan pada latihan-latihan ketrampilan menolong diri sendiri. Berbagai bentuk pembelajaran bahasa bagi anak tunagrahita tersebut merupakan bagian dari pelayanan pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan belajar anak tunagrahita. Melalui penerapan bentuk pembelajaran dengan pendekatan kognitif ini, diharapkan mereka mampu memahami secara baik apa yang disampaikan oleh guru, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan semestinya. Hal ini juga memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait yang ikut berpengaruh dan berpartisipasi dalam pembelajaran anak tunagrahita. Terciptanya keselarasan hubungan antara guru, murid, dan pihak pendukung dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar akan sangat membantu keberhasilan dari penerapan bentuk pembelajaran ini, dan tentunya dengan tetap memperhatikan karakteristik anak tunagrahita.