anak dengan kelainan majemuk

40
ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK Oleh: Irham Hosn PLB FIP UPI A. PENDAHULUAN Pada bagian lain telah dibahas tentang bermacam kelainan yang dapat disandang oleh anak sengga ia memiliki kebutuhan pembelajaran yang khusus. Tetapi itu semua sifatnya satu kelainan pada seorang anak, dan yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagaimana anak yang dalam dirinya menyandang dua tatau lebih kelainan. Anak dengan menyandang kelainan lebih dari satu kelainan dikenal “anak dengan kelainan majemuk”. Anak dengan kelainan majemuk tentu akan mengakibatkan masalah pendidikan yang berat. Anak ini tidak bias diakomudasi kedalam Kelas, program dan layanan yang khusus dirancang untuk mereka “anak” dengan kelainan tunggal. Kondisi Kelainan yang umum disandang oleh Anak dengan kelainan majemuk adalah Buta -Tuli (deaf-blind), tunagrahita (mental retardation)- Cerebral palsy, mental retardation – hearing impaired (tunagrahita- tunarungu), dan mental retardation-Visually impaired (tunagrahita- tunanetra). Anak dengan tunagrahita dan kelainan lain banyak mendominasi anak kelainan majemuk tetapi ANAK DENGAN TUNAGRAHITA BERAT yang disertai kelainan lain tidak dimasukkan ke anak dengan kelainan majemuk, tetapi dalam leteratur sering disebut anak dengan severe and profound handicaps. Disamping berakibat pada masalah pendidikan, luasnya variasi yang ditampilkan oleh anak dengan kelainan majemuk, maka berakibat pula terhadap rumitnya menyiapkan strategi pembelajaran khusus untuk satu bidang studi yang dapat di terapkan pada setiap anak dengan kelainan majemuk. Untu lebi jelasnya, akan dibahas lebih rinci dalam selanjutnya B. PENGERTIAN ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa anak tunagrahita berat dan sedang yang juga menyandang kelainan lain tidak disebut dengan anak berkelainan majemuk, meskipun kenyataannya mereka menyandang kelainan lebih dari satu. Anak yang demikian disebut anak dengan “ severe and profound handicaps. Di Indonesia istilah anak dengan sebutan severe and profoundly handicapped” tidak popular. Orang pada umumnya tetap menyebut anak dengan kelainan majemuk atau juga lebih popular anak dengan kecacatan gandea atau juga Jadi Anak dengan “severe and profound handicaps” secara fungsional besiknya adalah anak Mentally retarded atau di Indonesia dikenal dengan Anak tunagrahita akan tetapi mereka memiliki kelainan tambahan pada apakah motoriknya, sensorisnya, tingkah lakunya, komunikasinya dan sebagainya Semua ini di kita tetap menyebut anak dengan kelainan atau kecacatan ganda (doble handicap atau multiple handicap). Mengacu pada difinisi tersebut diatas maka Anak dengan “severe and profound handicaps” maka para professional dalam bidang ini secara umum sepakat bahwa istilah diatas belum disepakati secara universal. Tetapi para professional secara umum sepakat bahwa secara pendidikan anak denga ”severe and profound handicaps” memiliki unsure-unsur sebagai berikut

Upload: isnugnug

Post on 27-Jun-2015

1.541 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK Oleh: Irham Hosn PLB FIP UPI A. PENDAHULUAN

Pada bagian lain telah dibahas tentang bermacam kelainan yang dapat disandang oleh anak sengga ia memiliki kebutuhan pembelajaran yang khusus. Tetapi itu semua sifatnya satu kelainan pada seorang anak, dan yang akan dibahas pada bagian ini adalah bagaimana anak yang dalam dirinya menyandang dua tatau lebih kelainan. Anak dengan menyandang kelainan lebih dari satu kelainan dikenal “anak dengan kelainan majemuk”. Anak dengan kelainan majemuk tentu akan mengakibatkan masalah pendidikan yang berat. Anak ini tidak bias diakomudasi kedalam Kelas, program dan layanan yang khusus dirancang untuk mereka “anak” dengan kelainan tunggal. Kondisi Kelainan yang umum disandang oleh Anak dengan kelainan majemuk adalah Buta -Tuli (deaf-blind), tunagrahita (mental retardation)- Cerebral palsy, mental retardation – hearing impaired (tunagrahita-tunarungu), dan mental retardation-Visually impaired (tunagrahita-tunanetra). Anak dengan tunagrahita dan kelainan lain banyak mendominasi anak kelainan majemuk tetapi ANAK DENGAN TUNAGRAHITA BERAT yang disertai kelainan lain tidak dimasukkan ke anak dengan kelainan majemuk, tetapi dalam leteratur sering disebut anak dengan severe and profound handicaps. Disamping berakibat pada masalah pendidikan, luasnya variasi yang ditampilkan oleh anak dengan kelainan majemuk, maka berakibat pula terhadap rumitnya menyiapkan strategi pembelajaran khusus untuk satu bidang studi yang dapat di terapkan pada setiap anak dengan kelainan majemuk. Untu lebi jelasnya, akan dibahas lebih rinci dalam selanjutnya

B. PENGERTIAN ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa anak tunagrahita berat dan sedang yang juga menyandang kelainan lain tidak disebut dengan anak berkelainan majemuk, meskipun kenyataannya mereka menyandang kelainan lebih dari satu. Anak yang demikian disebut anak dengan “ severe and profound handicaps. Di Indonesia istilah anak dengan sebutan“severe and profoundly handicapped” tidak popular. Orang pada umumnya tetap menyebut anak dengan kelainan majemuk atau juga lebih popular anak dengan kecacatan gandea atau juga Jadi Anak dengan “severe and profound handicaps” secara fungsional besiknya adalah anak Mentally retarded atau di Indonesia dikenal dengan Anak tunagrahita akan tetapi mereka memiliki kelainan tambahan pada apakah motoriknya, sensorisnya, tingkah lakunya, komunikasinya dan sebagainyaSemua ini di kita tetap menyebut anak dengan kelainan atau kecacatan ganda (doble handicap atau multiple handicap). Mengacu pada difinisi tersebut diatas maka Anak dengan “severe and profound handicaps” maka para professional dalam bidang ini secara umum sepakat bahwa istilah diatas belum disepakati secara universal. Tetapi para professional secara umum sepakat bahwa secara pendidikan anak denga ”severe and profound handicaps” memiliki unsure-unsur sebagai berikut1. Memiliki kelainan serius didalam cognitifnya dan setelah di tes dengan alat tes inteligensi yang standart mereka memiliki IQ dibawah normal. 2. Memiliki kelainan atau kecacatan tambahan apakah kelainan fisik dan atau kelainan sensoris seperti penglihatan pendengaran dan lainnya. 3. Mereka memerlukan sumber dan penanganan lebih bila dibandingkan dengan kelainan lain yang ringan. Apabila kita baca leteratur terutama buku-buku dari terbitan luar (Amerika) anak dengan kelainan majemuk (multiple disabilities) tersebut adalah mereka yang memiliki kecerdasan atau inteligensi sedikit dibawah rata ( mild retardation), kecerdasan rata atau kecerdasannya diatas rata-rata dan mereka menyandang dua atau lebih kelainan (multiple disabilities). Jadi bila kita simak uraian pengertian dari anak dengan kelainan majemuk diatas, maka di Indonesia anak dengan kelainan majemuk atau lebih dikenal dengan Cacat Ganda atau tunaganda didalamnya berisi: 1. Anak ”severe and profound handicaps” 2. Anak “multiply handicapKita akan sepakat bahwa bagi kita sebagai tenaga professional khususnya sebagai pendidik tidak akan menekankan pada apa jenis kelainan yang disandang anak didik kita. Dalamm kontek pendidikan kita harus menekankan pada apa masalah atau problem yang dihadapi anak dengan kelainan majemuk tersebut.: . Jadi difinisi yang kita bahas ini harus dikaitkan dengan orientasi kedepan. Artinya kita berusaha menemukan masalah dan problem yang ada pada anak tersebut dan seberapa

berat derajat masalah yang ada padak anak tersebut. Implikasinya adalah bagaimana definisi tersebut dapat memberikan guid line atau garis penunjuk untuk menemukan tingkat masalahnya, problemnya, kemampuannya dan kebutuhan penangannya. Dengan demikian akan menghasilkan klasifikasi anak tersebut dan bukan tipe atau jenis kelainannya.

C. PENYEBAB KELAINAN MAJEMUK tuna ganda. 2

Ciri Anak Disleksia Ketahuan Sebelum Anak Belajar Baca ( www.detik health.comm )

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Jakarta, Gejala paling umum pada penyandang disleksia adalah kesulitan membaca dan mengeja. Namun gejala ini bisa dikenali sebelum anak belajar membaca, agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat.

Berbeda dengan gangguan belajar biasa, kesulitan mengeja pada penyandang disleksia bukan disebabkan oleh kurangnya kecerdasan. Gangguan ini merupakan kelainan genetik yang dialami individu denganIntelegency Quotient (IQ) normal atau bahkan di atas rata-rata.

Karena sering terlambat diketahui, disleksia banyak memberi dampak pada masalah belajar di sekolah. Selain nilainya merosot, tak jarang penyandang disleksia mengalami tekanan psikologis karena tidak percaya diri atau bahkan menjadi korbanbullying (kekerasan) dari teman-teman sekolahnya.

"Disleksia biasanya diketahui pada usia 7 tahun, ditandai dengan merosotnya prestasi belajar. Padahal dampaknya bisa dikurangi jika terdeteksi pada usia prasekolah, saat anak belum mulai belajar membaca," ungkap dr Purboyo Solek, SpA (K) dalam pembukaan Simposium Nasional Dyslexia Awareness, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Sabtu (31/7/2010).

Menurur dr Purboyo, beberapa tanda bisa dikenali sebagai gejala awal disleksia pada anak diantaranya adalah:1. Kesulitan membedakan sisi kanan dan kiri yang dialami saat anak berusia 3 tahun2. Bisa juga dari cara si anak bertutur atau menceritakan pengalaman.

"Coba ditanya, 'bagaimana tadi di sekolah?' Kalau jawabnya 'ya, pokoknya gitu deh' maka orang tua perlu waspada," tambah dr Purboyo.

Dalam kesempatan yang sama, dr Kristiantini Dewi, SpA menambahkan beberapa gejala disleksia yang bisa dikenali pada anak sesuai tahapan usia perkembangannya.

Beberapa gejala yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Prasekolah:

1. Kidal atau tidak terampil jika hanya menggunakan 1 tangan saja2. Bingung membedakan sisi kanan dan kiri3. Grusa-grusu atau tidak melakukan sesuatu tanpa terorganisir4. Miskin kosa kata, banyak menggunakan kata ganti 'ini-itu'5. Kesulitan memilih kosa kata yang tepat, misalnya 'kolam yang tebal' padahal

maksudnya 'kolam yang dalam'.

Antara 5-8 tahun

1. Kesulitan mempelajari huruf (bentuk dan bunyinya)2. Kesulitan menggabungkan huruf menjadi sebuah kata3. Kesulitan membaca4. Kesulitan memegang alat tulis

Meski tidak bisa diobati, gangguan ini bisa datasi dengan penanganan yang tepat. dr Purboyo mengatakan ada 2 jenis penanganan untuk disleksia yakni remedial dan akomodasi.

1. Remedial berarti mengulang-ulang materi belajar sampai benar-benar paham.Kadang-kadang pengulangan dilakukan untuk mempelajari kebutuhan penyandang disleksia, terkait cara yang bersangkutan dalam memahami suatu hal.

"Kalau anak normal mudah memahami huruf A dari bentuknya yang demikian, penyandang disleksia belum tentu seperti itu. Cara otak memahami sesuatu bisa berbeda, misalnya A dipahami sebagai sebuah bangun dengan sudut-sudut tertentu," ungkap dr Purboyo.

2. Penanganan akomodasi, yakni memenuhi kebutuhan khusus penyandang disleksia.dr Purboyo mencontohkan, ujian untuk penyandang disleksia bisa diberikan dengan waktu yang lebih longgar dan soalnya dicetak dengan huruf yang tidak terlalu rapat (up/ir) 

DESLEKSIA

Ciri kanak Bermasalah Pembelajaran

• Kecerdasan normal, tetapi prestasi pembelajaran di bawah tahap yang dijangkakan

• kurang memberi perhatian terhadap pembelajaran

• perkembangan kognitif lambat

• keupayaan koodinasi motor yang lemah

• masalah membuat persepsi dan tanggapan

• kesulitan dalam pertuturan

• kesukaran dalam bacaan

• kesukaran dalam tulisan

• kesukaran dalam matematik

• t.laku sosial tidak sesuai.

MEMAHAMI MURID DISLEKSIA

• “ Kanak-kanak disleksia membingungkan.Dia tampak cerdik dan berkemampuan, segar dan

berminat, mempunyai kemahiran lisan yang baik….. Tetapi kemahiran membaca dan menulis

lemah daripada apa yang dijangkakan, semacam di bawah potensinya. Dia senang dianggap tidak

menumpukan perhatian, malas atau cuai “

DISLEKSIA

• Mengenali disleksia sebagai suatu kesukaran pembelajaran sepesifik

• Memahami bahawa kanak disleksia mempunyai kekuatan yang bolehmembantu mereka

mengatasi kesukaran spesifik

APA ITU DISLEKSIA

• Perkataan disleksia ( dyslexia ) gabungan dua perkataan Greek iaitu ‘dys’ bermaksud kesukaran

dan ‘lexia’ bermaksud perkataan.Diterjemah membawa maksud ‘ kesukaran dengan perkataan

bertulis’.

• British Psycological Society ( 1999 ) - “Dyslexia is evident when accurate and fluent word reading

or spelling develops or with great difficulty”(Disleksia terbukti wujud apabila ketepatan dan

kelancaran membaca atau mengeja berkembang dengan kesukaran yang amat sangat )

MASALAH BAHASA

• Masalah membaca : -

• a. disleksia audiotori

• b. disleksia visual

• c. disleksia fonologikal

• d. disleksia pusat

• e. disleksia emosional

• f. disleksia pegagogik

Istilah dan makna

• Susah menguasai kemahiran membaca dan menulis TETAPI memiliki bakat, kepintaran atau

kecerdasan yang lain.

• Disebabkan oleh perbezaan dalam cara otak memproses maklumat- terutama sekali berkenaan

dengan bunyi, simbol dan makna

• .

OTAK TERBAHAGI KEPADA DUA SFERA

• Sebelah Kiri - Penggunaan bahasa, Pemikiran Logik , Susunan dan struktur

• Sebelah kanan visual, daya kreatif dan kemahiran seni.

Otak Sebelah Mana ? Disleksia

• Orang disleksia cenderung menggunakan otak kanan.

• - Cara berfikir dan belajar mereka berlainan.

• - Berbakat kreatif/ seni

• - Lemah dalam kemahiran bahasa, logik, turutan dan struktur.

Lelaki atau perempuan ?

• Lebih ramai budak lelaki berbanding budak perempuan pada nisbah 3:1.

• Membawa kesan yang berbeza, pada darjah yang berbeza, kepada individu yang berbeza.

• 10-15% mengalami tahap ringan manakala 4% mengalami masalah teruk.

TEORI PENGENALPASTIAN DISLEKSIA

• 1. Teori kepincangan ( Discrepancy

• - Kepincangan antara kecerdasan murid dengan kegagalan menguasai kemahiran membaca.

• 2. Teori Pengasingan ( Exclusion )

• - Disleksia tidak boleh dikategorikan sebagai masalah pembelajaran, pendengaran dan

penglihatan. Kerana mereka tidak mengalami masalah gangguan emosi yang teruk.

FAKTOR KEJADIAN DISLEKSIA

• Genetik ( kromonsom 15, 1 dan 16 )

• Biologi ( lahir tidak cukup bulan )

• Kemantangan ( Saraf lambat berkembang ) kajian - kanak lelaki lambat berkembang

dibandingkan dengan kanan perempuan

• Faktor lain- ( bahasa, visual, ruang dan motor )

CIRI DAN MASALAH KANAK DISLEKSIA

• 1. Bahasa dan Pertuturan - Kesukaran fonologikal dalam proses pertuturan termasuklah

( perkataan, salah sebut, mencampur adukkan perkataan, lemah sintaksis

• 2. Urutan ( sequencing ) - kesukaran visual dan audiotori. Sukar dalam memadan, mengasing,

sukar memakai pakaian, masalah membuka/tutup paip, butang baju, buka pintu.

• 3. Kemahiran motor -motor kasar dan halus ( penggunaan garpu, sukar gunting, menekap,

memegang pensil, ikat tali leher, melompat, menangkap bola, sukar naik tangga,naik basikal,

menyiapkan kerja, berenang, arahan kiri, kanan, undur, maju kehadapan.

CIRI DAN MASALAH DISLEKSIA

• 4. LATERALITI - Lateraliti bersilang menggunakan kedua belah bahagian kiri dan kanan dalam

melakukan pekerjaan.

• ( contoh : sepak kaki kiri, lensa kamera mata kanan )

JENIS-JENIS DISLEKSIA

• A. Dyscalculia ( diskalkulia ) - Matematik

• B. Dysgraphia ( disgrafia ) - bahasa

• Dysparaxia ( dispraksia ) - masalah kordianasi motor-mata- tangan

FAKTOR KEWUJUDAN MASALAH DISLEKSIA

• Faktor pengajaran dan pembelajaran

• - kesesuaian kaedah P&P

• Faktor deria dan Fizikal –

Masalah Murid Disleksia

• 1. Keliru dengan bentuk huruf seakan-akan sama.

• Contoh : ( h --n, c -- e, f -- t, g --q )

• 2. Keliru huruf yang terbalik.

• Contoh : ( w -- m, h -- y, u -- n )

• 3. Keliru huruf songsang.

• Contoh : ( p -- q , b -- d )

• 4. Keliru dengan bunyi seakan-akan sama

• Contoh : ( b -- p, d -- t, m -- n )

• 5. Keliru dengan konsonan berganding

• Contoh : ( sy, ny )

• 6. Keliru semasa menyebut bunyi suku kata

• Contoh : ( lari disebut ‘ lali ‘

MASALAH MATEMATIK

• Keliru dengan nilai nombor

• Keliru angka 6 : 9

• Bilang mengikut urutan.

• Keliru dengan angka belas

• Tidak boleh mengenal angka

• Tidak boleh menulis angka dengan betul

• Tidak boleh melengkap nombor turutan menaik.

• Tidak boleh menyusun dua kumpulan nombor untuk menjadi ayat matematik

• Tidak boleh menulis ayat matematik bagi operasi tolak

MASALAH FIZIKAL/PENGURUSAN DIRI/ SOSIAL

• Pakaian sentiasa tidak kemas/ kotor

• Butang baju salah butang

• Tali kasut tidak diikat rapi

• Kidal• Tidak berminat dalam pelajaran

• Perhatian singkat dan keliru

• Pengamatan lemah.

MASALAH PERTUTURAN

• Lisan

• Artikulator tidak sempurna

• Sebutan kurang jelas

• Intonasi bacaan

MASALAH DALAM PEMBELAJARAN

• Lemah dalam bacaan

• Lemah menyelesaikan masalah matematik

• Perlakuan mengigit jari dan pen ketika melakukan kerja bertulis

• Bahasa lisan baik dibandingkan daripada penulisan

• Tulisan sukar dibaca, menekan semasa menulis,

• Kerap menggunakan pemadam dan tidak memulakan huruf besar memulakan ayat

PENGENALPASTIAN DISLEKSIA

• PEMERHATIAN

• PELBAGAI UJIAN PIAWAI

• PENAFSIRAN REKOD PRESTASI

• REKOD PROFIL

PROGRAM MEMBANTU DISLEKSIA

• Program kemahiran keibubapaan

• Program peningkatan akademik

• Program Peningkatan Konsep dan Keyakinan diri.

• Program Kaunseling Kelompok

• Program kerjsama antara disiplin

• Program Perkongsian Mengajar Berhasil

Bagaimana Guru Membantu ?

• Kenalpasti kekuatan dan kelemahan

• Kenalpasti bakat, kebolehan atau kemahiran khusus.

• Mengenalpasti pola kesilapan atau masalah spesifik dalam bacaan, tulisan atau cara menjawab

matematik.

• Kenalpasti sebab jejas kemajuan

• Pelbagai cara tarik minat

• Memahami gaya pembelajaran

Pendekatan Pengajaran

• Gunakan pelbagai deria : sebut, dengar, lihat, rasa, sentuh

• Kerap ulang : Cara berbeza mengukuh kefahaman dan ingatan

• Berstruktur dan turutan : Dari unit kecil dalam turutan jelas, usahakan kemajuan melalui

langkah kecil dan berperingkat.

• Kumalatif : Kaitkan maklumat baru dengan yang dipelajari

• Strategi ingatan/ hafalan : peta minda, lukisan, carta

Dekati kanak-kanak melalui kekuatan

• Ingatkan ciri otak kanan :

• - Kecerdasan visual, kepekaan warna, bentuk dan pola.

• - Kreatif, berbakat seni atau muzik

• - Daya imaginasi kuat

• - Fikiran spontan, intuitif, holistic

Izinkan kanak-kanak bentang hasil kerja melalui cara yang sesuai dengan bakat/ keupayaan

• Jaringan

• gambarajah

• carta aliran

• pita rakaman

• menaip ganti menulis

Posted by Yanz at 6:52 PM 

 

Berbicara masalah penyebab dari terjadinya kelainan majemuk pada seseorang tentunya bermacam Untuk anak dengan ”severe and profound handicaps” yang dasar fungsionalnya adalah tunagrahita dengan kelainan tambahan (fisik, motorik dan atau sensoris) berbeda dan atau sama dengan anak kelainan majemuk yang dasar fungsionalnya bukan tunagrahita. Misalnya anak dengan kelainan pendengaran dan penglihatan yang dikenal dengan “deaf-blind children” Anak dengan ”severe and profound handicaps” factor penyebabnya sangat berfariasi diantaranya adalah: a. Genitik problem yaitu factor genitik dari orang tua dan anak. b. Exposure to radiation c. Maternal desease d. Birth injury e. Chromusomal mutation f. Drugs g. Infections h. Lack of oxygen to the brain i. Malnutrition j. Dll -macam. 3

Anak dengan kelainan majemuk yang base funtionalnya tidak pada kelainan mental atau tunagrahita seperti anak buta tuli (deaf-blind children) penyebab kelainannya bias sebagai berikut: a. Rubella (campak) b. Prenatal causes seperti bermacam infeksi atau toxin yang ditularka dari ibu ke janin yang dikandungnya. c. Kelainan genetic yang bisa menyebabkan kelainan penglihatan dan pendengarannya. d. Trauma pada anak yang dialaminya pada saat Ibu menjalani persalinan sehingga menybabkan rusaknya system sensorisnya. e. Penyakit Setelah kelahiran seperti meningitis dan encephalitis juga bias menyebabkan kurangnya pendengaran dan penglihatan.

Banyak juga penyebab terjadinya kelainan majemuk pada anak yang belum diketahui. Ini tidak berarti tidak ada penyebabnya tapi penyebabnya belum ditemukan. Itulah rahasia Tuhan.

D. IDENTIFIKASI ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK Untuk dapat mengenal dan mengiidentifikasii seorang anak dengan kelainan majemuk sangat kompolek. Hal ini desebabkan oleh terlibatnya lebih dari satu problem atau masalah dalam diri Kekomplekan anak dengan kelainan majemuk untuk di identifikasi karena berfariasinya kombinasi kelainan yang ada pada setiap anak. Disamping itu tidak ada dua individu yang memiliki disability atau ketidakmampuan yang betul-betul sama meskipun dia memiliki jenis kelaina yang sama. Luasnya variasi kombinasi kelainan, ketidak mampuanan pada anak dengan kelainan majemuk dapat dicontohkan misalnya anak dengan kelainan visual dia bisa berkombinasi dengan: seorang anak sehingga ia membutuhkan pendidikan khusus 4

1. visual and auditory impairments 2. Visual, auditory, and motor impairments 3. Visual and auditory impairments and mental retardation. 4. Visual and motor impairments 5. visual and motor impairments and mental retardation 6. visual impairments and mental retardation. 7. Visual impairment and emotional disturbance 8. Visual impairment and learning disability. (Geraldine T.Scholl, 1986)

Setiap kelompok kelainan tersebut diatas tentunya memiliki kesulitan tersendiri dalam identifikasinya, menemukan potensi yang bisa dikembangkan, menemukan apa yang ada pada dirinya, apa yang belum ada pada dirinya dan apa yang dibutuhkan olehnya.termasuk kebutuhan pendidikan khususnya. Setiap impairment atau kelainan yang disandang oleh anak dengan kelainan majemuk tentunya memiliki karakteristik masing masing. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa anak dengan kelainan majemuk ada yang berbasis tunagrahita plus kelainan lain ada yang tidak. Bagi anak kelainan majemuk yang tergolong profound and Severe handicaps secara umum memiliki satu atau lebih dari karakteristik tingkah laku berikut ini: Aggression toward others refers to behaviors that can inflict bodily harm on othe persons, such as biting, kicking, hitting, hair pulling, and throwing things. No attention to even the most pronounced social stimuli means that the child does not make eye contact with adults and other chidren, does not look at instructionall materials, and does not respond to simple verbal instructions. Self-mutilation refers to behaviors such as head banging, biting oneself, eye gouging, and hitting oneself on the head. Rumination refers to self-induced vomiting after which a portion of the vomitus is chewed again and swallowed. Self-stimulation refers to purposeless, repetitive behaviors, such as body rocking, hand flapping, and finger twirling. Durable and intense temper tantrums refers to a combinationsof physical aggression, self-mutilation, or self –stimulation occurring over an extended period. Imitation is the ability to mimic or repead a behavior immediately after someone (refered to as the”model”) demonstrates it. 5 Extremely brittle medical existence refers to the presence of life-threatening conditions, such as heart failure, respiratory difficulties, central nevous system disorders, and digestive system malfunctions.(David L. Gast and Margo Berkler, 1981Untuk memperjelas identifikasi anak dengan kelainan majemuk, tidak mungkin kita bahas secara spesifik. Hal ini banyaknya fariasi dari kombinasi kelainan yang dapat terjadi pada anak dengan kelainan majemuk. Untuk membantu kita dalam menidentifikasi anak dengan kelainan majemuk, akan diuraikan masing masing kelainan. Kelainan yang sering kita temukan pada anak dengan kelainan majemuk yaitu antara lain: A. Anak Tunanetra dan kebutuhan pembelajarannya Anak Tunanetra Tunanetra (Visually Impaired) adalah mereka yang penglihatannya menghambat untuk memfungsikan dirinya dalam pendidikan, tanpa menggunakan material khusus, latihan khusus atau bantuan lainnya secara khusus. Mereka termasuk anak yang : Melihat dengan acuity 20/70 (anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet sedangkan orang normal dari jarak 70 feet). Mampu membaca huruf E paling besar di Snellen Chart dari jarak 20 feet (acuity 20/200 -legallyy blind)

Kelompok lebih terbatas lagi adalah mereka yang: Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak. Menghitung jari dari berbagai jarak. Tidak mengenal tangan yang digerakkan. Kelompok yang lebih berat lagi adalah mereka yang: Mempunyai persepsi cahaya (light perception) Tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception)

Pengelompokan secaca pendidikan Secara pendidikan tunanetra dikelompokkan menjadi: 1. Mereka mampu membaca cetakan standart. 2. Mampu membaca cetakan standart dengan menggunakan kaca pembesar. 3. Mampu membaca cetakan besar (ukuran Huruf No. 18). 4. Mampu membaca cetakan kombinasi cetakan regular dan cetakan besar. 5. Membaca cetakan besar dengan menggunakan kaca pembesar. 6. Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas). 7. Menggunakan Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya.

6 Kebutuhan Pembelajaran anak tunanetra Keterbatasan anak tunanetra: 1. Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru. 2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan 3. Keterbatasan dalam mobilitas.

Karena itu pengajaran bagi tunanetra harus mengacu kepada: 1. Kebutuhan akan pengalaman kongkrit. 2. Kebutuhan akan pengalaman memadukan 3. Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar.

Media belajar Anak Tunanetra dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1. Kelompok buta dengan media pendidikannya adalah tulisan braille.

2. Kelompok low Vision dengan medianya adalah tulisan awas

B. Anak Tunarungu dan kebutuhan pembelajarannya

Tunarungu Untuk mengidentifikasi anak tunarungu, seorang guru harus mengetahui gejala dan tanda tandanya, seperti: 1. Sering mengeluh tentang sakit telinganya. 2. Artikulasi bicaranya jelek. 3. Pertanyaan yang mudah kurang tepat jawabannya. 4. Pada situasi bicara biasa anak sering salah dalam merespon dan perhatiannya kurang. 5. Mendengar lebih jelas bila berhadapan muka dengan yang diajak bicara. 6. Sering meminta diulangi apa yang diucapkan pembicara. 7. Bila mendengarkan radio ia sering memutar volume sangat tinggi sehingga untuk ukuran orang normal sudah melebihi batas.

Kebutuhan pembelajaran Anak tunarungu Saran untuk para guru dalam pembelajaran: 1. Dalam berbicara jangan membelakangi anak. 2. Anak hendaknya duduk dan berada ditengah paling depan kelas sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru. 3. Bila telinganya hanya satu yang tuli tempatkan anak sehingga telinga yang baik berada dekat dengan guru. 4. Perhatikan posture anak, sering anak meggelengkan kepala untuk mendengarkan. 7 5. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru dan bicaralah dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejara dengan kepala anak. 6. Guru bicara dengan volume biasa tetapi gerakan bibirnya harus jelas.

Pengajaran anak tunarungu mempertimbangkan : 1. Merehabilitasi pendengarannya. 2. Mengembangkan Komunikasinya. 3. Mengembangkan dan menata pendidikan

C. Anak Tunagrahita dan kebutuhan pembelajarannya Tunagrahita Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata normal. Bersamaan dengan itu pula, tunagrahita mengalami kekurangan dalam tingkah laku dan penyesuaian. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga faktor, yaitu: (1) keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2) ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun. Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasanya dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tingkat kecerdasan secara umum biasanya diukur melalui tes Inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient). 1. Tuna grahita ringan biasanya memiliki IQ 70 –55 2. Tunagrahita sedang biasanya memiliki IQ 55 – 40 3. Tunagrahita berat biasanya memiliki IQ 40 – 25 4. Tunagrahita berat sekali biasanya memiliki IQ <25

Para ahli indonesia menggunakan klasifikasi: Tunagrahita ringan IQnya 50 – 70 Tunagrahita Sedang IQnya 30 – 50 Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Karateristik

1. Anak Tunarungu

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan

mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa

suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama

sekali, mereka hanya berisyarat.

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat

pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan

Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli

Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang,

bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat

berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap

ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat

dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat,

melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat

sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB

Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik

dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB

Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui

pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :

Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan

semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk

suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak

dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian

pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang

memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan

sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).

Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka dapat

disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang

meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam

dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun

telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.

2. Klasifikasi Tunarungu

a. Berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan kemampuan mendengar percakapan/bicara orang

digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu

1. Sangat ringan 27 – 40 dB

2. Ringan 41 – 55 dB

3. Sedang 56 – 70 dB

4. Berat 71 – 90 dB

5. Ekstrim 91 dB ke atas Tuli

b. Ketunarunguan berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas

1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan

masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.

2. Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris

3. Karakteristik Ketunarunguan

Kognisi anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak

mendengar.

2. Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.

3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada

informasi yang bersifat suksesif/berurutan.

4. Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan.

5. Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih

rendah.

4. Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu

1. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah : ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-

motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.

2. SDLB/SDKh Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan

berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan

sosial.

3. SLTPLB/SMPKh Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan

keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan

kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan

keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.

4. SMLB/SMAKh Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan

menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan

kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup

kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih

tinggi.

B. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa warga negara

yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh

layanan pendidikan khusus.

2. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang

Pemerintahan Daerah dan Pembagian Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa

Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan Propinsi.

3. Kepmendiknas No. 031/O/2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Depdiknas

pasal 125 bahwa Direktorat Pendidikan Luar Biasa mempunyai tugas melaksanakan perumusan

kebijakan, pemberian bimbingan dan evaluasi di bidang pendidikan luar biasa.

C. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus,

khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik

dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat

menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar

dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki

pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di

masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan

seumur hidup.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus Sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah:

1. Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak

usia sekolah.

2. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia.

3. Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu.

4. Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi

yang tercantum dalam kurikulum yang resmi.

5. Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan

sekitarnya.

6. Membantu dan membina anak Tunarungu agar memiliki keterampilan, keahlian, kejujuran, ataupun

sumber pemnghasilan yangh sesuai denan jenis dan tingkat ketunaan yang disandangnya.

D. Penyelenggaraan Sekolah

Sejalan dengan usaha Peningkatan Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan beklajar bagi anak

berkebutuhan khusus maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan

perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik kualitatif maupun

kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak Tunanrungu perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

1. Lokasi

2. Bangunan/gedung

3. Perabot

4. Alat pendidikan khusus

5. Alat peraga pendidikan

6. Personil sekolah

a. Tenaga kependidikan

b. Tenaga Administrasi

c. Tenaga ahli

d. Tenaga kepustakaan

7. Kurikulum

8. Manajemen dan Administrasi

BAB II

SARANA PRASARANA, KURIKULUM, DAN MANAJEMEN

A. Sarana Prasarana

Sarana Prasarana adalah lingkungan fisik sekolah yang secara tidak langsung menunjang proses

keterlaksanaan belajar mengajar di suatu sekolah, meliputi: jalan, saluran air, sanitasi, listrik, telpon.

1. Sarana Fisik Sekolah

Dalam membangun kampus pendidikan khusus untuk anak Tunarungu ada beberapa faktor yang

harus diperhatikan antara lain:

a. Karakteristik

Faktor edukasi harus menjadi titik tolak perencanaan bentuk sekolah harus diciptakan dalam

hubungan yang harmonis dengan tujuan yaitu untuk mengembangkan potensi anak tuna rungu

semaksimal mungkin termasuk didalamnya beberapa persyaratan paedagogis yang bersifat umum

dan khusus antara lain:

1. Suasana yang tentram, tidak berdekatan dengan pasar atau bengkel, pabrik-pabrik. Suasana yang

ramai dari hiruk pikuk dengan segala macam bunyian yang merusak telinga tidak menguntungkan

anak-anak tuli apa lagi kalau anak tuli itu sedang mengadakan latihan mendengar dengan Hearing Aid.

2. Tanah yang disediakan selain untuk membangun juga cocok bagi latihan berkebun, beternak dan

sebagainya.

3. Adanya fasilitas air, listrik yang dapat menjadi penunjang sarana pendidikan.

b. Keamanan dan transportasi

Keamanan harus cukup terjamin, yaitu letak sekolah tidak ada dalam areal berbahaya (dekat gedung

mesiu, sungai besar dan sebagainya). Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Letak sekolah harus strategis dalam arti sekolah dihubungkan dengan bagian-bagian lain oleh jalan

yang baik dan yang cukup dilalui kendaraan umum. Sehingga memudahkan orangtua murid, dokter

dan lainnya ke lokasi sekolah.

2. Agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat pengembangan potensi bagi anak penyandang

tunarungu hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tanah untuk sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain :

(1). tidak dekat pembuangan sampah.

(2). tanahnya mudah dikeringkan.

(3) Pembuangan kotoran mudah dilaksanakan karena (saluran) riolringnya baik.

2. Untuk sekolah pendidikan khusus Tunarungu dengan kapasitas 100 orang yang ideal diperlukan

tanah seluas kurang lebih 20.000 m2 dan dipergunakan untuk :

(1). komplek bangunan kurang lebih 10.000 m2

(2). lapangan bermain olahraga, tempat parkir, kebun bunga/taman kurang lebih 5.000 m2

(3). tanah untuk pertanian kurang lebih 5.000 m2

Dengan fasilitas tanah seluas itu anak-anak dapat belajar dalam suasana aman dan tentram serta

memberikan keluasaan bergerak yang optimal.

B. Bangunan-bangunan yang diperlukan di sekolah pendidikan khusus Tunarungu adalah sebagai

berikut:

1. Ruang belajar

(a) ruang teori

(b) ruang bina wicara

(c) ruang laboratorium

(d) ruang keterampilan putri

(e) ruang keterampilan putra

(f) ruang serba guna/kesenian

(g) ruang latihan mendengar (ruang training 1 ruang)

(h) ruang audiologi

(i) ruang observasi

2. Ruang penunjang

(a) ruang perpustakaan

(b) ruang bimbingan dan penyuluhan

(c) ruang klinik ruang dokter anak, dokter THT dan psikolog

(d) ruang UKS

(e) ruang audiometer

(f) ruang pameran

(g) ruang kepala sekolah

(h) ruang tata usaha

(i) ruang guru

(j) ruang ibadah

(k) gudang

(l) kamar mandi/WC murid

(m) kamar mandi/WC guru

(n) ruang koperasi/kantin

(o) ruang tunggu/bangsal pertemuan

(p) bangsal kendaraan

(r) rumah penjaga

(s) ruang latihan keterampilan

- Menjahit, seni lukis, pekerjaan tangan, perbengkelan, dan koleksi hasil pekerjaan tangan

(t) rumah kepala sekolah

(u) rumah guru

3. Asrama

Sebaiknya asrama dibangun dengan sistem pavilyun penghuni dari pavilyun maksimal 10 orang

termasuk satu orang penjaga. Untuk 100 orang anak diperlukan maksimal 12 pavilyun dengan fasilitas

tersendiri tiap-tiap pavilyun terdiri dari :

a) kamar untuk penjaga

b) kamar tidur untuk anak-anak

C. Tata Letak Ruang

1. Ruang-ruang di sekolah

1. Ruang kelas biasa. Bangunan dan ruang kelas untuk anak tunarungu dan anak normal pada

umumnya tidak berbeda dengan sekolah umum yaitu bangunan harus kokoh, udara harus cukup untuk

anak dan selalu segar karena ventilasi yang sempurna, dinding dan lantai harus kering tidak boleh

lembab, penerangan harus cukup dan cahaya dari luar hendaknya datang dari sebelah kiri anak.

Persyaratan mengenai papan tulis dan bentuk bangku yang tidak membahayakan kesehatan anak.

2. Ruang latihan bicara dan ruang audiometri sebaiknya agar tidak terganggu oleh anak-anak lain,

pelajaran latihan bicara diberikan dalam suatu ruang khusus, cukup untuk 1 guru 2 anak dan alat-alat

yang diperlukan. Jika ruangan latihan bicara sekaligus dipakai untuk latihan mendengar dengan

menggunakan alat pembantu dengar, sebaiknya dinding ruang diberi atau berlapis dengan semacam

gabus peredap suara.

3. Ruang Audiometri. Ruang untuk keperluan meneliti dan mengukur (sisa) pendengaran dengan

audimeter, merupakan ruang khusus yang letaknya sejauh mungkin dari sumber kegaduhan. Ruang

itu dibuat kedap suara; sedemikian sehingga seberapa boleh tidak ada suara dapat masuk. Dinding

dibagian dalam sebaiknya terdiri atau dilapisi bahan peredap suara.

2. Perabot Sekolah

Secara garis besar perabot yang diperlukan untuk Sekolah pendidikan khusus Tunarungu hampir sama

dengan keperluan anak-anak normal, mereka memerlukan : meja, kursi, almari, papan tulis, peta-peta,

buku tulis, buku pelajaran, alat olahraga dan lapangan olahraga normal, baik ukuran maupun syarat

permainannya.

Sarana pendidikan adalah alat atau salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang

diganakan untuk memvisualkan, memperagakan dan mempraktekkan serta memperjelas konsep ide

atau gagasan untuk membantu mempercepat daya serap terhadap mata pelajaran.

3. Sarana Pendidikan

a. Alat Pendidikan Khusus

Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus

meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah

komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara

lain:

1) Audiometer

Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan

audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran

anak.

2) Alat bantu mendengar (hearing aid)

Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group

hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut

dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

3) Cermin

Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin.

Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat.

Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata

atau kalimat dengan baik.

3) Alat bantu wicara (speech trainer)

Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone.

Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran

cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya

sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.

b. Alat Peraga

Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga

tradisional seperti:

1) Miniatur binatang-binatang

2) Miniatur manusia

3) Gambar-gambar yang relevan

4) Buku perpustakaan yang bergambar

5) Alat-alat permainan anak

Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran

keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan

atau wanita antara lain sebagai berikut :

1) Alat pertukangan

2) Alat pertanian

3) Alat perbengkelan

4) Alat tenun

5) Alat masak memasak

6) Alat jahit menjahit

7) Alat salon kecantikan   Alat potong rambut (barber shop)

9) Komputer

D. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,

dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan

terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat

segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari

satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal

Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada

layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya

untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem

pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga

tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat

diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi

pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya

merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena

ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak

dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada

kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran

bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan

konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa

tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan

bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah

metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan,

yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.

Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang

berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.

Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum

1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi

sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan

kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program

keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di

lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun

masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing.

Sebagai contoh:

1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan

hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan

sebagainya;

2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat

menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.

3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon,

mengukir atau membatik.

Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan;

Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum

yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang

mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin dan

untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat

bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai

dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan

khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.

C. Manajemen

Manajemen pada lembaga pendidikan khusus di era sekarang ini lebih menitikberatkan pada aspek

pengelolaan yang mengarah pada kemandirian sekolah dan sebuah bentuk atau wujud keterlaksanaan

otonomi sekolah

Sebagai individu yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang sama

dalam memperoleh layanan pendidikan. Itu merupakan satu hal yang bersifat kodrati, alami dan

manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu hak

dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.

Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar

adalah bukanlah hal yang mudah. Pertanyaannya adalah, strategi apakah yang dapat memberikan

kemampuan komunikasi dan berbahasa yang cukup sehingga anak tunarungu memiliki kecukupan

bahasa untuk belajar bidang-bidang studi lainnya, serta bersosialisasi dengan guru dan teman

sebayanya di sekolah maupun di luar sekolah ? Untuk menentukan strategi yang sesuai terhadap

layanan pendidikan anak tunarungu tidak lepas dari beberapa faktor manajemen pengelolaan

pendidikan bagi anak tunarungu sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah

Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”,

antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar

biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada daerah dan

masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar

biasa, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah,

sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai

daerah otonom.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui

pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan

pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan

untuk:

1. Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

melalui pengambilan keputusan bersama;

2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, pemerintah dan mutu

sekolahnya;

3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;

4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta

didik, dan masyarakat;

5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan

kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan

dengan daerah dan sekolah masing-masing.

6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan

perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.

Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis Direktorat Pendidikan Luar Biasa lebih awal. Wujud

nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal,

penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan

Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua

murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat

dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orangtua dan masyarakat selalu dijaga

kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.

2. Ketenagaan

a. Tenaga Kependidikan

1. Kepala Sekolah bertugas dan bertanggung jawab memimpin/manajemen dari terselenggaranya

program pendidikan pada sekolah luar biasa yang dibinanya.

2. Guru Bidang Keterampilan bertugas mengembangkan bakat dan minat anak, yang berhubungan

dengan kemampuan kerja mereka juga menyusun program latihan kerja yang diperlukan, sehingga

anak menjadi kreatif dan produktif.

3. Guru Kelas bertugas melaksanakan program pengajaran di kelas mungkin dengan mengindahkan

pentingnya pelayanan individual pada anak.

4. Guru Latihan Bicara, Semua guru untuk anak tunarungu harus mempunyai keahlian untuk memberi

latihan bicara, latihan bicara secara klasikal dapat diberikan setiap hari di kelas. Sedangkan untuk

latihan individual di ruang latihan bicara diberikan oleh guru khusus latihan.

5. Ahli Bina Wicara bertugas mencari sebab-sebab kesukaran bicara atau kelainan bicara yang

bersumber pada kesukaran-kesukaran psikologis.

Misalnya kelainan emosi (takut, malu, tertekan, rasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan diri,

merasa diperlakukan kurang adil, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang) serta memberikan

terapinya dengan program yang matang. Jika kesukaran bicara anak disebabkan oleh kelainan organis,

ia dapat memberikan saran untuk mengatasi kelainan tersebut pada orangtua yang bertanggung

jawab sebagai wali.

6. Guru mata pelajaran yang lain sama dengan guru mata pelajaran pada sekolah normal lainnya

seperti : guru agama, guru olahraga, kesenian dan lainnya sama dengan sekolah normal.

b. Tenaga Ahli

Ahli-ahli yang diperlukan antara lain:

1. Dokter THT (Dokter spesial telinga hidung dan tenggorokan) ia bertugas mengevaluasi hidung,

tenggorokan dan telinga, untuk menetapkan apakah organ-organ tersebut berfungsi normal, apakah

terjadi pembesaran tonsil, terjadi infeksi dan apakah ada kelainan pada organ pendengaran tersebut.

2. Audiometris bertugas memeriksa derajat sisa pendengaran anak, memeriksa anak mendengar

dengan kondisi hawa atau dengan kondisi tulang, ia juga menentukan sisa pendengaran pada telinga

kiri dan kanan serta menentukan

jenis alat

3. Psikolog menentukan tingkat kecerdasan anak, menentukan kalainan-kelainan psikologis lainnya

yang berpengaruh negatif pada diri anak misalnya perkembangan kepribadian anak, kemampuan

ingatan anak, kemajuannya di sekolah, tingkah laku anak, keadaan emosinya dan sebagainya.

4. Pekerja Sosial bertugas mengumpulkan data terutama yang berhubungan dengan latar belakang

sosial anak problem-problem yang terjadi hubungan antar keluarga, latar belakang ekonomi

keluarganya, sikap sosial anak, orangtua dan masyarakat sekitar.

5. Orto Pedagogik atau seorang ahli pendidikan anak luar biasa bertugas dan berwenang menentukan

jenis program pendidikan untuk setiap kelompok anak tunarungu. Bimbingan dan Penyuluhan selama

anak mengikuti pendidikan di sekolah perlu diselenggarakan bimbingan dan penyuluhan yang positif

dalam berbagai keaktifan hidup mereka. Bimbingan dan penyuluhan tersebut bertujuan memberikan

kemampuan kepada anak supaya dapat menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang

dihadapi mereka dalam bermacam-macam situasi bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan antara

lain:

• Bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan

• Bimbingan dan penyuluhan dalam kejuruan/kerja

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi sosial/kemasyarakatan

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi pribadi

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi kesehatan

c. Tenaga Administrasi dan Tenaga lainnya

Selain guru pada sekolah luar biasa diperlukan juga pegawai yang tidak kalah pentingnya dalam upaya

terselenggaranya program penyelenggaraan suatu sekolah diantaranya :

1) Tata Usaha Sekolah dan staf

2) Pesuruh sekolah

3) Penjaga sekolah

4) Tukang kebun

5) Sopir

d. Tenaga Asrama

Bagi Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan asrama diperlukan tenaga asrama sebagai berikut :

1) Kepala Asrama

2) Pembimbing anak

3) Juru masak

4) Pelayan

5) Sopir Asrama

Sedikit banyak meraka turut mempunyai andil dalam mensukseskan kemampuan menghayati suka

duka anak-anak luar biasa bagian tunarungu dan mempunyai dedikasi untuk membantu anak-anak

tunarungu secara wajar dengan penuh pengertian dan rasa cinta kasih yang mendalam.

Pegawai-pegawai SLB bagian tunarungu harus bekerjasama dan dapat membantu staf, guru, dan

dapat menciptakan suasana dan situasi yang menguntungkan untuk berlangsungnya Pendidikan Luar

Biasa tersebut.

3. Administrasi dan Keuangan Sekolah

Administrasi sekolah berpedoman pada administrasi yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan

Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa

meliputi, Administrasi Program Pengajaran, Kemuridan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan

Barang. Administrasi sekolah di era otonomi ini menggunakan prinsip School Based Management yang

menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala

sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang

berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang

dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang

diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Prinsip perencanaan pengadministrasian, penganggaran sampai dengan penggunaan dan

pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat

dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.

Fungsi dasar suatu administrasi sekolah adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, pencatatan,

penginventarisasian, pengendalian, dan analisis kebutuhan barang dana/keuangan. Sebagai contoh

dalam penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan

kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan

dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang

demikian fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.

Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat

meliputi:

1. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.

2. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.

3. Menentukan program kerja dan rincian program.

1) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.

2) Menghitung dana yang dibutuhkan.

3) Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.

Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya

untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam

Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam

penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan,

apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan

kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan

sumber dana sebelumnya.

BAB III

PENUTUP

Sebagai salah satu usaha mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan

belajar bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu serta usaha mewujudkan kesejahteraan bagi anak,

khususnya anak tunarungu, maka pemerintah senantiasa berusaha merealisasikan cita-cita tersebut

antara lain dengan menyusun buku tentang informasi pelayanan pendidikan sesuai dengan jenis

kelainan yang disandang oleh peserta didik.

Penyusunan buku untuk anak tunarungu ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menjadi

pedoman bagi pemerintah khususnya bagi para pembina dan penyelenggara pendidikan khusus pada

umumnya.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Karateristik

1. Anak Tunarungu

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan

mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa

suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama

sekali, mereka hanya berisyarat.

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat

pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan

Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli

Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang,

bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat

berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap

ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat

dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat,

melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat

sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB

Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik

dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB

Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui

pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :

Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan

semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk

suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak

dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian

pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang

memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan

sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).

Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka dapat

disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang

meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam

dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun

telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.

2. Klasifikasi Tunarungu

a. Berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan kemampuan mendengar percakapan/bicara orang

digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu

1. Sangat ringan 27 – 40 dB

2. Ringan 41 – 55 dB

3. Sedang 56 – 70 dB

4. Berat 71 – 90 dB

5. Ekstrim 91 dB ke atas Tuli

b. Ketunarunguan berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas

1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan

masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.

2. Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris

3. Karakteristik Ketunarunguan

Kognisi anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak

mendengar.

2. Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.

3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada

informasi yang bersifat suksesif/berurutan.

4. Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan.

5. Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih

rendah.

4. Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu

1. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah : ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-

motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.

2. SDLB/SDKh Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan

berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan

sosial.

3. SLTPLB/SMPKh Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan

keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan

kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan

keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.

4. SMLB/SMAKh Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan

menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan

kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup

kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih

tinggi.

B. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa warga negara

yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh

layanan pendidikan khusus.

2. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang

Pemerintahan Daerah dan Pembagian Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa

Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan Propinsi.

3. Kepmendiknas No. 031/O/2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Depdiknas

pasal 125 bahwa Direktorat Pendidikan Luar Biasa mempunyai tugas melaksanakan perumusan

kebijakan, pemberian bimbingan dan evaluasi di bidang pendidikan luar biasa.

C. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus,

khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik

dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat

menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar

dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki

pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di

masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan

seumur hidup.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus Sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah:

1. Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak

usia sekolah.

2. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia.

3. Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu.

4. Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi

yang tercantum dalam kurikulum yang resmi.

5. Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan

sekitarnya.

6. Membantu dan membina anak Tunarungu agar memiliki keterampilan, keahlian, kejujuran, ataupun

sumber pemnghasilan yangh sesuai denan jenis dan tingkat ketunaan yang disandangnya.

D. Penyelenggaraan Sekolah

Sejalan dengan usaha Peningkatan Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan beklajar bagi anak

berkebutuhan khusus maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan

perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik kualitatif maupun

kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak Tunanrungu perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut:

1. Lokasi

2. Bangunan/gedung

3. Perabot

4. Alat pendidikan khusus

5. Alat peraga pendidikan

6. Personil sekolah

a. Tenaga kependidikan

b. Tenaga Administrasi

c. Tenaga ahli

d. Tenaga kepustakaan

7. Kurikulum

8. Manajemen dan Administrasi

BAB II

SARANA PRASARANA, KURIKULUM, DAN MANAJEMEN

A. Sarana Prasarana

Sarana Prasarana adalah lingkungan fisik sekolah yang secara tidak langsung menunjang proses

keterlaksanaan belajar mengajar di suatu sekolah, meliputi: jalan, saluran air, sanitasi, listrik, telpon.

1. Sarana Fisik Sekolah

Dalam membangun kampus pendidikan khusus untuk anak Tunarungu ada beberapa faktor yang

harus diperhatikan antara lain:

a. Karakteristik

Faktor edukasi harus menjadi titik tolak perencanaan bentuk sekolah harus diciptakan dalam

hubungan yang harmonis dengan tujuan yaitu untuk mengembangkan potensi anak tuna rungu

semaksimal mungkin termasuk didalamnya beberapa persyaratan paedagogis yang bersifat umum

dan khusus antara lain:

1. Suasana yang tentram, tidak berdekatan dengan pasar atau bengkel, pabrik-pabrik. Suasana yang

ramai dari hiruk pikuk dengan segala macam bunyian yang merusak telinga tidak menguntungkan

anak-anak tuli apa lagi kalau anak tuli itu sedang mengadakan latihan mendengar dengan Hearing Aid.

2. Tanah yang disediakan selain untuk membangun juga cocok bagi latihan berkebun, beternak dan

sebagainya.

3. Adanya fasilitas air, listrik yang dapat menjadi penunjang sarana pendidikan.

b. Keamanan dan transportasi

Keamanan harus cukup terjamin, yaitu letak sekolah tidak ada dalam areal berbahaya (dekat gedung

mesiu, sungai besar dan sebagainya). Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Letak sekolah harus strategis dalam arti sekolah dihubungkan dengan bagian-bagian lain oleh jalan

yang baik dan yang cukup dilalui kendaraan umum. Sehingga memudahkan orangtua murid, dokter

dan lainnya ke lokasi sekolah.

2. Agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat pengembangan potensi bagi anak penyandang

tunarungu hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tanah untuk sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain :

(1). tidak dekat pembuangan sampah.

(2). tanahnya mudah dikeringkan.

(3) Pembuangan kotoran mudah dilaksanakan karena (saluran) riolringnya baik.

2. Untuk sekolah pendidikan khusus Tunarungu dengan kapasitas 100 orang yang ideal diperlukan

tanah seluas kurang lebih 20.000 m2 dan dipergunakan untuk :

(1). komplek bangunan kurang lebih 10.000 m2

(2). lapangan bermain olahraga, tempat parkir, kebun bunga/taman kurang lebih 5.000 m2

(3). tanah untuk pertanian kurang lebih 5.000 m2

Dengan fasilitas tanah seluas itu anak-anak dapat belajar dalam suasana aman dan tentram serta

memberikan keluasaan bergerak yang optimal.

B. Bangunan-bangunan yang diperlukan di sekolah pendidikan khusus Tunarungu adalah sebagai

berikut:

1. Ruang belajar

(a) ruang teori

(b) ruang bina wicara

(c) ruang laboratorium

(d) ruang keterampilan putri

(e) ruang keterampilan putra

(f) ruang serba guna/kesenian

(g) ruang latihan mendengar (ruang training 1 ruang)

(h) ruang audiologi

(i) ruang observasi

2. Ruang penunjang

(a) ruang perpustakaan

(b) ruang bimbingan dan penyuluhan

(c) ruang klinik ruang dokter anak, dokter THT dan psikolog

(d) ruang UKS

(e) ruang audiometer

(f) ruang pameran

(g) ruang kepala sekolah

(h) ruang tata usaha

(i) ruang guru

(j) ruang ibadah

(k) gudang

(l) kamar mandi/WC murid

(m) kamar mandi/WC guru

(n) ruang koperasi/kantin

(o) ruang tunggu/bangsal pertemuan

(p) bangsal kendaraan

(r) rumah penjaga

(s) ruang latihan keterampilan

- Menjahit, seni lukis, pekerjaan tangan, perbengkelan, dan koleksi hasil pekerjaan tangan

(t) rumah kepala sekolah

(u) rumah guru

3. Asrama

Sebaiknya asrama dibangun dengan sistem pavilyun penghuni dari pavilyun maksimal 10 orang

termasuk satu orang penjaga. Untuk 100 orang anak diperlukan maksimal 12 pavilyun dengan fasilitas

tersendiri tiap-tiap pavilyun terdiri dari :

a) kamar untuk penjaga

b) kamar tidur untuk anak-anak

C. Tata Letak Ruang

1. Ruang-ruang di sekolah

1. Ruang kelas biasa. Bangunan dan ruang kelas untuk anak tunarungu dan anak normal pada

umumnya tidak berbeda dengan sekolah umum yaitu bangunan harus kokoh, udara harus cukup untuk

anak dan selalu segar karena ventilasi yang sempurna, dinding dan lantai harus kering tidak boleh

lembab, penerangan harus cukup dan cahaya dari luar hendaknya datang dari sebelah kiri anak.

Persyaratan mengenai papan tulis dan bentuk bangku yang tidak membahayakan kesehatan anak.

2. Ruang latihan bicara dan ruang audiometri sebaiknya agar tidak terganggu oleh anak-anak lain,

pelajaran latihan bicara diberikan dalam suatu ruang khusus, cukup untuk 1 guru 2 anak dan alat-alat

yang diperlukan. Jika ruangan latihan bicara sekaligus dipakai untuk latihan mendengar dengan

menggunakan alat pembantu dengar, sebaiknya dinding ruang diberi atau berlapis dengan semacam

gabus peredap suara.

3. Ruang Audiometri. Ruang untuk keperluan meneliti dan mengukur (sisa) pendengaran dengan

audimeter, merupakan ruang khusus yang letaknya sejauh mungkin dari sumber kegaduhan. Ruang

itu dibuat kedap suara; sedemikian sehingga seberapa boleh tidak ada suara dapat masuk. Dinding

dibagian dalam sebaiknya terdiri atau dilapisi bahan peredap suara.

2. Perabot Sekolah

Secara garis besar perabot yang diperlukan untuk Sekolah pendidikan khusus Tunarungu hampir sama

dengan keperluan anak-anak normal, mereka memerlukan : meja, kursi, almari, papan tulis, peta-peta,

buku tulis, buku pelajaran, alat olahraga dan lapangan olahraga normal, baik ukuran maupun syarat

permainannya.

Sarana pendidikan adalah alat atau salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang

diganakan untuk memvisualkan, memperagakan dan mempraktekkan serta memperjelas konsep ide

atau gagasan untuk membantu mempercepat daya serap terhadap mata pelajaran.

3. Sarana Pendidikan

a. Alat Pendidikan Khusus

Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus

meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah

komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara

lain:

1) Audiometer

Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan

audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran

anak.

2) Alat bantu mendengar (hearing aid)

Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group

hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut

dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

3) Cermin

Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin.

Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat.

Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata

atau kalimat dengan baik.

3) Alat bantu wicara (speech trainer)

Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone.

Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran

cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya

sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.

b. Alat Peraga

Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga

tradisional seperti:

1) Miniatur binatang-binatang

2) Miniatur manusia

3) Gambar-gambar yang relevan

4) Buku perpustakaan yang bergambar

5) Alat-alat permainan anak

Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran

keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan

atau wanita antara lain sebagai berikut :

1) Alat pertukangan

2) Alat pertanian

3) Alat perbengkelan

4) Alat tenun

5) Alat masak memasak

6) Alat jahit menjahit

7) Alat salon kecantikan   Alat potong rambut (barber shop)

9) Komputer

D. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,

dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan

terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat

segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari

satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal

Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada

layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya

untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem

pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga

tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat

diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi

pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya

merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena

ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak

dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada

kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran

bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan

konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa

tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan

bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah

metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan,

yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.

Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang

berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.

Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum

1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi

sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan

kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program

keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di

lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun

masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing.

Sebagai contoh:

1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan

hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan

sebagainya;

2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat

menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.

3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon,

mengukir atau membatik.

Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan;

Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum

yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang

mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin dan

untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat

bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai

dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan

khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.

C. Manajemen

Manajemen pada lembaga pendidikan khusus di era sekarang ini lebih menitikberatkan pada aspek

pengelolaan yang mengarah pada kemandirian sekolah dan sebuah bentuk atau wujud keterlaksanaan

otonomi sekolah

Sebagai individu yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang sama

dalam memperoleh layanan pendidikan. Itu merupakan satu hal yang bersifat kodrati, alami dan

manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu hak

dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.

Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar

adalah bukanlah hal yang mudah. Pertanyaannya adalah, strategi apakah yang dapat memberikan

kemampuan komunikasi dan berbahasa yang cukup sehingga anak tunarungu memiliki kecukupan

bahasa untuk belajar bidang-bidang studi lainnya, serta bersosialisasi dengan guru dan teman

sebayanya di sekolah maupun di luar sekolah ? Untuk menentukan strategi yang sesuai terhadap

layanan pendidikan anak tunarungu tidak lepas dari beberapa faktor manajemen pengelolaan

pendidikan bagi anak tunarungu sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah

Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”,

antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar

biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada daerah dan

masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar

biasa, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah,

sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai

daerah otonom.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui

pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan

pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan

untuk:

1. Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

melalui pengambilan keputusan bersama;

2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, pemerintah dan mutu

sekolahnya;

3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;

4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta

didik, dan masyarakat;

5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan

kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan

dengan daerah dan sekolah masing-masing.

6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan

perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.

Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis Direktorat Pendidikan Luar Biasa lebih awal. Wujud

nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal,

penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan

Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua

murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat

dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orangtua dan masyarakat selalu dijaga

kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.

2. Ketenagaan

a. Tenaga Kependidikan

1. Kepala Sekolah bertugas dan bertanggung jawab memimpin/manajemen dari terselenggaranya

program pendidikan pada sekolah luar biasa yang dibinanya.

2. Guru Bidang Keterampilan bertugas mengembangkan bakat dan minat anak, yang berhubungan

dengan kemampuan kerja mereka juga menyusun program latihan kerja yang diperlukan, sehingga

anak menjadi kreatif dan produktif.

3. Guru Kelas bertugas melaksanakan program pengajaran di kelas mungkin dengan mengindahkan

pentingnya pelayanan individual pada anak.

4. Guru Latihan Bicara, Semua guru untuk anak tunarungu harus mempunyai keahlian untuk memberi

latihan bicara, latihan bicara secara klasikal dapat diberikan setiap hari di kelas. Sedangkan untuk

latihan individual di ruang latihan bicara diberikan oleh guru khusus latihan.

5. Ahli Bina Wicara bertugas mencari sebab-sebab kesukaran bicara atau kelainan bicara yang

bersumber pada kesukaran-kesukaran psikologis.

Misalnya kelainan emosi (takut, malu, tertekan, rasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan diri,

merasa diperlakukan kurang adil, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang) serta memberikan

terapinya dengan program yang matang. Jika kesukaran bicara anak disebabkan oleh kelainan organis,

ia dapat memberikan saran untuk mengatasi kelainan tersebut pada orangtua yang bertanggung

jawab sebagai wali.

6. Guru mata pelajaran yang lain sama dengan guru mata pelajaran pada sekolah normal lainnya

seperti : guru agama, guru olahraga, kesenian dan lainnya sama dengan sekolah normal.

b. Tenaga Ahli

Ahli-ahli yang diperlukan antara lain:

1. Dokter THT (Dokter spesial telinga hidung dan tenggorokan) ia bertugas mengevaluasi hidung,

tenggorokan dan telinga, untuk menetapkan apakah organ-organ tersebut berfungsi normal, apakah

terjadi pembesaran tonsil, terjadi infeksi dan apakah ada kelainan pada organ pendengaran tersebut.

2. Audiometris bertugas memeriksa derajat sisa pendengaran anak, memeriksa anak mendengar

dengan kondisi hawa atau dengan kondisi tulang, ia juga menentukan sisa pendengaran pada telinga

kiri dan kanan serta menentukan

jenis alat

3. Psikolog menentukan tingkat kecerdasan anak, menentukan kalainan-kelainan psikologis lainnya

yang berpengaruh negatif pada diri anak misalnya perkembangan kepribadian anak, kemampuan

ingatan anak, kemajuannya di sekolah, tingkah laku anak, keadaan emosinya dan sebagainya.

4. Pekerja Sosial bertugas mengumpulkan data terutama yang berhubungan dengan latar belakang

sosial anak problem-problem yang terjadi hubungan antar keluarga, latar belakang ekonomi

keluarganya, sikap sosial anak, orangtua dan masyarakat sekitar.

5. Orto Pedagogik atau seorang ahli pendidikan anak luar biasa bertugas dan berwenang menentukan

jenis program pendidikan untuk setiap kelompok anak tunarungu. Bimbingan dan Penyuluhan selama

anak mengikuti pendidikan di sekolah perlu diselenggarakan bimbingan dan penyuluhan yang positif

dalam berbagai keaktifan hidup mereka. Bimbingan dan penyuluhan tersebut bertujuan memberikan

kemampuan kepada anak supaya dapat menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang

dihadapi mereka dalam bermacam-macam situasi bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan antara

lain:

• Bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan

• Bimbingan dan penyuluhan dalam kejuruan/kerja

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi sosial/kemasyarakatan

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi pribadi

• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi kesehatan

c. Tenaga Administrasi dan Tenaga lainnya

Selain guru pada sekolah luar biasa diperlukan juga pegawai yang tidak kalah pentingnya dalam upaya

terselenggaranya program penyelenggaraan suatu sekolah diantaranya :

1) Tata Usaha Sekolah dan staf

2) Pesuruh sekolah

3) Penjaga sekolah

4) Tukang kebun

5) Sopir

d. Tenaga Asrama

Bagi Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan asrama diperlukan tenaga asrama sebagai berikut :

1) Kepala Asrama

2) Pembimbing anak

3) Juru masak

4) Pelayan

5) Sopir Asrama

Sedikit banyak meraka turut mempunyai andil dalam mensukseskan kemampuan menghayati suka

duka anak-anak luar biasa bagian tunarungu dan mempunyai dedikasi untuk membantu anak-anak

tunarungu secara wajar dengan penuh pengertian dan rasa cinta kasih yang mendalam.

Pegawai-pegawai SLB bagian tunarungu harus bekerjasama dan dapat membantu staf, guru, dan

dapat menciptakan suasana dan situasi yang menguntungkan untuk berlangsungnya Pendidikan Luar

Biasa tersebut.

3. Administrasi dan Keuangan Sekolah

Administrasi sekolah berpedoman pada administrasi yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan

Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa

meliputi, Administrasi Program Pengajaran, Kemuridan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan

Barang. Administrasi sekolah di era otonomi ini menggunakan prinsip School Based Management yang

menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala

sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang

berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang

dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang

diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Prinsip perencanaan pengadministrasian, penganggaran sampai dengan penggunaan dan

pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat

dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.

Fungsi dasar suatu administrasi sekolah adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, pencatatan,

penginventarisasian, pengendalian, dan analisis kebutuhan barang dana/keuangan. Sebagai contoh

dalam penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan

kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan

dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang

demikian fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.

Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat

meliputi:

1. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.

2. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.

3. Menentukan program kerja dan rincian program.

1) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.

2) Menghitung dana yang dibutuhkan.

3) Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.

Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya

untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam

Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam

penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan,

apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan

kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan

sumber dana sebelumnya.

BAB III

PENUTUP

Sebagai salah satu usaha mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan

belajar bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu serta usaha mewujudkan kesejahteraan bagi anak,

khususnya anak tunarungu, maka pemerintah senantiasa berusaha merealisasikan cita-cita tersebut

antara lain dengan menyusun buku tentang informasi pelayanan pendidikan sesuai dengan jenis

kelainan yang disandang oleh peserta didik.

Penyusunan buku untuk anak tunarungu ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menjadi

pedoman bagi pemerintah khususnya bagi para pembina dan penyelenggara pendidikan khusus pada

umumnya.