tonsilektomi dengan general anastesi
Post on 28-Dec-2015
256 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes
yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan
yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap
pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1,2,3
Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal dari
bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan
elektrokauter.4,5
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang
dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan
berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada
pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti
jantung.6
1
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 60 kg
Alamat : Pondok Cilegon Indah Cilegon
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Tonsilitis
Jenis pembedahan : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 16 Juni 2014
Tanggal Operasi : 17 Juni 2014
No.Rekam Medis : 769XXX
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: Pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan.
Pasien tidak merasa ada keluhan demam, batuk, pilek, maupun sesak.
b. Riwayat sebelumnya: Pasien merupakan pasien THT dengan diagnosis
tonsillitis akut. Pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan.
Pasien menyangkal adanya riwayat demam dan sesak ataupun ngorok saat
tidur. Pasien juga menyangkal adanya gigi goyang, gigi berlubang, dan
pemakaian gigi palsu. Pasien sudah dipuasakan sebelum dilakukan operasi.
c. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)
2
d. Riwayat penyakit Keluarga-
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status generalis
Keadaan Umum : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 60 kg
Tanda – tanda vital :
1. Tek. Darah : 110/70 mmHg
2. Nadi : 80 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 36.8 oC
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil isokor,
refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+).
Hidung : Bentuk hidung normal, septum anterior normal, deviasi septum (-),
nyeri tekan sinus (-), liang hidung lapang, sekret (-), konka nasalis
media dan inferior sinistra dan dextra tidak edema.
Telinga : Bentuk telinga normal, nyeri tekan preaurikula dan postaurikula (-),
serumen (+), sekret (-), gangguan pendengaran (-), membrana
timpani intak (+/+).
Mulut : Mukosa baik, oral higienis baik, lidah dan uvula tidak deviasi, Tonsil
T3-T3, hiperemis (-) tidak mengeluarkan sekret, faring normal,
eritema (-). Gigi geligi lengkap, tidak ada yang goyang dan saat ini
tidak mengunakan gigi palsu.
Leher : Leher pendek (-), tidak teraba pembesaran KGB, trakea ditengah.
Thorax :
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasan statis dan dinamis
3
simetris, tetraksi sela iga (-).
Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri, tidak
teraba massa, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi -/-,
wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima linea
midklavikuka sinistra
Perkusi : Batas jantung kiri sela iga IV linea midklavikula sinistra,
Batas jantung kanan sela iga IV linea parasternal dextra,
Batas pinggang jantung sela iga III linea parastelnal
sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler, tidak ditemukan gallop
maupun murmur.
Abdomen
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, datar, tidak ada
ditemukan sikatrik dan massa.
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Turgor kulit baik,
hepar tidak teraba mebesar. Lien tidak teraba
membesar. Tidak ada asites.
Perusi : Terdengar timpani pada 4 kuadran
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas : Edema pada kedua tungkai atas dan bawah (-). Akral hangat.
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ( 16 Juni 2014 )
GDS : 97 mg/dl
Hemoglobin : 13,4 g/dl
Leukosit : 11.490/ul
Hematokrit : 39,5%
Trombosit : 304.000/ul
Masa Pendarahan : 2 menit
Masa Pembekuan : 10 menit
4
Gol. Darah : B/ Rh +
HbsAg : Non Reaktif
Anti HIV : Non Reaktif
Natrium : 141,3 mmol/l
Kalium : 3,66 mmol/l
Klorida : 102,6 mmol/l
V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis akut
Status operatif : ASA II, Mallampati II
Jenis operasi : Tonsilektomi
Jenis anestesi : General Anastesi
BAB III
5
LAPORAN ANESTESI
A. Pre Operatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) selama 10 jam
Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,8 0C
B. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Ondansetron 4mg
secara bolus IV.
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernapasan
dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit
Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
D. Monitoring Tindakan Operasi :
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
6
Darah
(mmHg)
(x/menit) O2 (%)
10.00 Pasien masuk ke kamar operasi, dan
dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL terpasang pada tangan
kanan
Premedikasi : Ondansetron 4mg iv
110/60 84 100
10.10 Obat induksi dimasukkan secara iv:
o Propofol 100 mg
o Fentanyl 100 µg
o Rocuronium bromide 35
mg
Kemudian mengecek apakah
refleks bulu mata masih ada atau
sudah hilang.
Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan face mask dengan
sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 2 L
o N2O : 2 L
o Isoflurane : 1,5 vol%
120/70 60 100
10.15 Dilakukan tindakan pemasangan
nasotracheal tube No. 30 dengan
bantuan laringoskop kemudian
fiksasi.
Kedua mata pasien diberikan
ophtalmic ointment (salep mata)
dan ditutup dengan kassa
Pernafasan spontan
120/70 58 100
10.20 Operasi dimulai
Kondisi terkontrol
120/80 70 100
7
10.25 Kondisi terkontrol
Tonsil dextra berhasil dievakuasi
dan diligasi
120/70 60 100
10.30 Kondisi terkontrol
Dilakukan skin test antibiotik
cefotaxime pada lengan bawah
kanan
Diberikan Asam Tranexamat
500mg
110/70 68 100
10.35 Kondisi terkontrol
Tonsil sinistra berhasil dievakuasi
dan diligasi dan kontrol perdarahan
Hasil skin test (-), diberikan
cefotaxime 1 gr iv bolus
110/70 60 99
10.40 Kondisi terkontrol
Tramadol diberikan 100 mg secara
iv drip dalam 500ml Ringer Laktat
Dilakukan penggantian infus RL
500 cc
Pemberian ketoprofen 100 mg
supposituria
120/80 68 100
10.45 Operasi selesai
Melakukan ekstubasi
Memasang goedel (oral airway) ,
dilakukan suction , dan pelepasan
nasal endotracheal tube
Gas N2O dan isoflurane dimatikan,
dan gas O2 dinaikkan menjadi 5
vol % (Oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask.
Gas 02 dihentikan
Pelepasan alat monitoring (saturasi
dan tensimeter).
120/80 70 100
8
Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room. Selanjutnya
dilakukan pemasangan alat
monitoring di recovery room
Pasien dapat dibangunkan dan
memonitoring keadaan pasien.
E. INTRAOPERATIF (17 Juni 2014)
Tindakan Operasi : Tonsilektomi
Tindakan Anestesi: General anestesi
Lama Operasi : 25 menit (10.20 – 10.45)
Lama Anestesi : 45 menit (10.10 – 10.45)
Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit System
dengan NTT No.30” menggunakan O2 2L, N2O 2L, dan
Isoflurane 1,5 Vol %
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Infus : Ringer Laktat pada tangan kanan 500cc
Premedikasi : Ondansetron 4 mg i.v
Induksi : Propofol 100 mg i.v
Rumatan : O2 2 L
N2O 2 L
Isoflurane 1,5 Vol %
Medikasi : Fentanyl 100µg iv
Rocuronium bromide 35 mg iv
Cefotaxime 1gr i.v
Ketoprofen 100 mg supp
Tramadol 100 mg drip dalam RL 500cc
Intubasi : Laringoskop blade no 3
Nasal Endotracheal Tube No 30 cuff (+)
Cairan : Cairan Masuk: RL 500 cc, cairan keluar tidak dapat
dimonitoring karena tidak dilakukan pemasangan kateter.
F. POST OPERATIF
9
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
Bougenvile
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 72x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran
Variabel Tem SkorSkor
Pasien
Aktivitas
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah
Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah
Tidak respon
2
1
0
2
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea, hipoventilasi
Apnea
2
1
0
2
Sirkulasi
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi
Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi
2
1
0
2
Kesadaran
Sadar penuh
Dapat dibangunkan
Tidak respon
2
1
0
1
Warna kulit
Merah
Pucat
Sianotik
2
1
0
2
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
10
11
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis tonsillitis akut dengan ASA II, yakni pasien sakit fisik karena terdapatnya nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan, serta peningkatan biokimia berupa leukositosis, tetapi pasien
tetap sehat secara psikiatri. Pasien dianjurkan untuk melakukan operasi tonsilektomi.
Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesadaran kompos mentis. Pasien
sudah dipuasakan selama lebih dari 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi
general dengan teknik Semi Close Circuit System dengan pipa nasal (nasal tube) no.30.
Pada pasien diberikan premedikasi yaitu ondansetron 4 mg. Ondansetron merupakan
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang dapat menekan mual dan muntah.
Mekanisme kerja obat ini diduga dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada
chemoreceptor trigger zone di area postrema otak yang merupakan pusat muntah dan pada
aferen vagal saluran cerna. Ondansetron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah
yang bisa menyebabkan aspirasi dan rasa tidak nyaman pasca pembedahan.
Pada pasien ini, dilakukan induksi dengan menggunakan propofol 100 mg (dosis
induksi 2-2,5mg/kgBB). Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil
fenol yang bersifat hipnotik murni dan tidak memiliki efek analgetik. Obat ini digunakan
sebagai induksi anestesi. Obat ini mempunyai onset 40 - 60 detik dan mempunyai efek
menurunkan tekanan darah kira-kira 30% yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer pembuluh
darah. Efek propofol pada sistem pernapasan yakni mengakibatkan depresi pernapasan
sampai apneu selama 30 detik. Selain itu, pada pasien juga diberikan fentanyl 100 µg (dosis
1-2µg/kgbb). Fentanyl merupakan zat narkotik sintetik dan memiliki potensi 1000x lebih kuat
dibandingkan petidin dan 50-100x lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan masa
kerjanya pendek. Obat ini dimetabolisme dalam hati menjadi norfentanil dan
hidroksipropionil fentanyl dan hidroksipropionil norfentanil, yang selanjutnya dibuang
melalui empedu dan urin. Efek depresi napasnya lebih lama dibanding dengan efek
analgesiknya. Efek analgesik kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan tidak untuk pasca bedah. Lalu diberikan Rocuronium
bromide 35 mg (dosis 0,6-1 mg/kg). Noveron (Rocuronium bromide) merupakan obat
golongan pelemas otot non depolarisasi intermediate acting. Golongan non depolarisasi
merupakan inhibitor kompetitif dari asetilkolin. Rocuronium berikatan dengan reseptor
12
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi. Rocuronium memiliki onset 30-
60 detik dengan durasi kerja 30-60 menit.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan juga beberapa gas inhalasi
berupa N20 2L, O2 2L, dan isoflurane 1,5 vol% melalui mesin anestesi. Isofluran merupakan
isomer dari enfluran. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isoflurane cepat. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga banyak digemari untuk anestesi teknik
hipotensi. N20 bersifat anestetik lemah tetapi analgesik kuat sehingga dapat digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri. N2O dieksresi dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil
melalui mulut.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tanda vital berupa tekanan darah,
nadi , dan saturasi oksigen setiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian
cairan intravena berupa RL. Cairan yang diberikan adalah RL (Ringer Laktat) karena
merupakan kristaloid dengan komposisinya yang lengkap (Na+, K+, Cl-, Ca++, dan laktat) yang
mengandung elektrolit untuk menggantikan kehilangan cairan selama operasi, juga untuk
mencegah efek hipotensi akibat pemberian obat-obatan intravena dan gas inhalasi yang
mempunyai efek vasodilatasi.
Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :
Kebutuhan Cairan Basal (M) :
o Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
4ml/kgBB/jam tambahkan untuk berat badan 10 kg pertama
2ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua
1ml/kgBB/jam tambahkan untuk sisa berat badan
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya adalah sebagai berikut :
(4x 10 kg) + (2x10 kg) + (1x 40 kg) = 100 cc
Kebutuhan cairan operasi (O) :
o Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum, ruang
ketiga, atau ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung pada besar
kecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi
sedang, dan 2-4 ml/kg untuk operasi kecil.
o Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagai berikut :
Operasi sedang x Berat badan : 6 x 60 kg = 360 cc
Kebutuhan cairan puasa (P) ;
Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal
13
8 x 100 = 800 cc
Pemberian cairan jam pertama :
Kebutuhan cairan basal + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa
100 cc + 360 cc + 400 cc = 860 cc
Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi yaitu cefotaxime 1gr.
Cefotaxime merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat digunakan terhadap berbagai
kuman gram-positif maupun negatif. Obat ini merupakan golongan sefalosporin generasi
ketiga.
Tramadol 100 mg diberikan pada sebagai analgetik kuat dan bekerja secara sentral,
pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri dan respon terhadap
nyeri. Tramadol adalah analog kodein sintetik yang merupakan reseptor yang lemah.
Tramadol diberikan secara iv drip pada pasien. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan
di ekskresi oleh ginjal. Lama anaslgesi dari obat ini adalah sekitar 6 jam dengan dosis harian
maksimal yang dianjurkan adalah 400 mg per hari. Ketorolac 30 mg diberikan sebagai
analgetik non opioid digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk
menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernapasan. Sifat analgentik ketorolac
setara dengan opioid (30mg ketorolac = 100 mg petidin = 12 mg morfin), sedangkan sifat
antipiretik dan anti infamasinya rendah. Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis
prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.
Selama operasi keadaan pasien stabil. Setelah operasis selesai, observasi dilanjutkan
pada pasien di recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan
darah, nadi, respirasi dan saturasi oksigen dan menghitung aldrete score.
14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
I. TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. Tonsilektomi merupakan
prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi
merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan
pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.8
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih
utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency
seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan
lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency
dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan
tonsilektomi
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatifx6 (AAO)
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
15
medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten. 7,8
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses
II. ANESTESI UMUM
2.2 Definisi
Anestesi berasal dari Bahasa Yunani an yang berarti "tidak, tanpa" dan aesthētos yang
berarti "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secarea umum, anestesi merupakan suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1,7
Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada
dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya
sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di
Susunan Saraf Pusat, sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di
Perifer. 4
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU). Anastesi
Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran,
analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu: 5
Hipnotik (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Untuk mecapai trias tersebut, dapat digunakan satu jenis obat, misalnya eter atau
dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek khusus seperti
tersebut di atas yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, analgetik, dan obat pelumpuh
otot. Agar anastesi umum dapat berjalan dengan baik, pertimbangan utamanya adalah
memiliki anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anastetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat
16
yang tersedia. Sifat anastetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang baik, kesadaran cepat
kembali.1,7
2.2 Metode anestesi umum
I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia.
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat.
III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile
agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung
dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial
yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.6
3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum
A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:6
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:6
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
17
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.6
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.6
4.2 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu: 6
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan
refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan
18
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai
menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter
ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus
otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat
diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
5.2 Keuntungan anestesi umum :
Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
Dapat diberikan dengan cepa
Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang
6.2 Kekurangan anestesi umum :
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental
yang normal
19
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
7.2 Indikasi anestesi umum :
Infant dan anak usia muda
Dewasa yang memilih anestesi umum
Pembedahan luas
Penderita sakit mental
Pembedahan lama
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
Penderita dengan pengobatan antikoagulan
1.8 Komplikasi Anestesi Umum
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25% dari sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang
terjadi dapat diobati dengan atropin
Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
20
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh.7
III.PROSEDUR ANESTESI UMUM
2.1 Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat
harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat
dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang
tersedia lebih singkat.6
Tujuan kunjungan pra anestesi:
Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan
fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi
dapat ditekan seminimal mungkin.
Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.
2.2 Persiapan pasien
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan
psikologis serta berkenalan dengan pasien.
21
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit
jantung dan hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis),
penyakit hati, dan penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid,
obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan
aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti
alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.1,7
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien.1,7
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
22
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan.
Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik
dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari. 1,7
d. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.7
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-
pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan
tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air
putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.7
f. Klasifikasi status fisik
Skor ASA
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim
digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi. Klasifikasi ini berasal
dari The American Society of Anesthesiologist yang terdiri dari:6
Kelas Status fisik Contoh
I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik
ringan
Hipertensi esensial,
diabetes ringan
23
III Pasien dengan penyakit sistemik
berat yang tidak melemahkan
(incapacitating)
Angina, insufisiensi
pulmoner sedang
sampai berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik
yang melemahkan dan merupakan
ancaman konstan terhadap
kehidupan
Penyakit paru
stadium lanjut, gagal
jantung
V Pasien sekarat yang diperkirakan
tidak bertahan selama 24 jam
dengan atau tanpa operasi
Ruptur aneurisma
aorta, emboli paru
massif
E Kasus-ksus emergensi diberi
tambahan hurup “E” ke angka.
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah
terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan
intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut,
khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan
posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula
tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi.1
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
Kelas 2 palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan
tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas
Kelas 3 Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat,
sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup
seluruhnya oleh lidah
Kelas 4 Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding
posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup
seluruhnya oleh lidah
Tabel 2. Klasifikasi skor mallampati
24
Gambar 1. Penilaian Skor Mallampati
g. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : 8
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan
dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral
10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
25
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg
(zofran, narfoz).
2.3 Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai
dengan tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan aman. 4, 6
Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik
yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan
membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak
ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin
yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:6
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari
sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan
udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah
rawat jalan, ruang obstetrik, dll.
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang,
maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
26
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter), untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers), dapat tersedia satu, dua, tiga,
sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37
liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah
disepakati ialah:
Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Putih Biru Putih-
hitam
kuning
Abu-
abu
Merah Jingga Ungu Biru kuning
Tabel 3. Kode warna inhalasi
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan
saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas
pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran
gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off
valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
4. Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti tertekuk
5. Kantong cadang (reservoir bag)
6. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
27
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),
sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk
obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah.
Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak
biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang
baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada
reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan
gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang
mandibula untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di
bawah sudut rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling
penting untuk ventilasi pasien.
Gambar 2. Face mask atau sungkup wajah (kiri) dan Jackson-Rees Sirkuit
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah
28
dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi
juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Gambar 3. ETT berbagai ukuran dan Laringoskop
Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian
anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas
sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan
nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses,
obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyakit
jalan nafas restriktif.
29
Gambar 4. LMA dan cara pemasangannya
Nasotracheal tube (NTT)
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien yang menjalani bedah maksilofasial atau
prosedur gigi atau ketika intubasi orotracheal tidak layak (misalnya, pasien dengan
pembukaan mulut yang terbatas). Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral tetapi
memiliki perbedaan di jalur masuk alat yaitu melalui hidung atau nasofaring kemudian
menuju orofaring. Memasukkan NTT dibantu dengan pemberian lubrikan/lidokain gel,
pipa secara berangsur-angsur dimasukkan hingga ujungnya terlihat di orofaring melalui
laringoskop. Jika terdapat kesulitan dalam memasukkan ujung pipa menuju pita suara
dapat dibantu dengan menggunakan forcep Magil yang dilakukan dengan hati-hati agar
30
tidak merusak balon. Memasukkan pipa nasal berbahaya pada pasien dengan trauma
wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intracranial.
Gambar 5. Teknik Nasotracheal tube
Pada pemasangan pipa nasotrakeal juga terdapat beberapa kemungkinan komplikasi
diantaranya epistaksis. Epistaksis adalah komplikasi yang paling umum, akibat abrasi
dari mukosa hidung ketika tabung dilewatkan posterior. Jika terdapat perdarahan tetapi
intubasi masih belum tercapai, maka harus diselesaikan. Selain itu, komplikasi lain dari
pemasanga NTT adalah kerusakan rongga hidung (avulsi dari polip hidung, fraktur
turbinates, abses septum), aspirasi, stimulasi vagal, laringospasme, kerusakan pita suara,
bakteremia dari flora hidung dengan trakea. 13
2.4 Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:6
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).
31
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Tabel 4. Persiapan induksi anastesi
2.5 Obat Anestesi umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.6,8
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu
anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran
merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi
terbaru tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti
eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan
siklopropan mudah terbakar sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam
bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium
anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat
pernafasan untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
32
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskular,
atau rectal.
1.1 Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi,
dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit
sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan
sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan
tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak
sadar, tetapi dengan mata terbuka.
2.1 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3.1 Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang
baunya enak
cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik.
33
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit,
dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien
batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi
sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan,
karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
4.1 Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. Tanda-
tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak
ada gerakan pada kelopak mata.
2.6 Tanda dan stadium anestesi umum
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 (emapat) stadium peningkatan
dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :6
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan k
esadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual.
Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk
membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan
secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai
berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan
dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu
dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medula oblongata
34
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada
stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat
vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.
Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering
tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat
dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol
ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan
sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin,
digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti
tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik
narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat
diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan
adanya pernapasan yang dalam dan teratur.
2.7 Teknik anestesi
1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik
kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan
dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan
kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.
Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai
operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk
mencegah hipoksi difusi.
2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
35
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam
yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang
guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan
plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea
dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan
pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah
menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha
“nafas sendiri” secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume
tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai
batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.4,6
2.8 Rumatan anestesi (maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
36
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled). 4,6
2.9 Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah,
harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi
cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).
Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di
ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya
pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang
dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran,
sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan. 4,6
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh
Terangsang oleh stimulus verbal
Tidak terangsang oleh stimulus verbal
2
1
0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea)
2
1
0
Tekanan Darah
37
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi
2
1
0
Oksigenasi
SpO2 > 92% pada udara ruangan
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90%
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan
2
1
0
Tabel 5. Aldrete’s Score
38
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU) adalah
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu hipnotik,
analgesia, dan relaksasi otot.
Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak hanya dilakukan pada saat
operasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia (kunjungan dan premedikasi)
dan pasca anastesia.
Pemilihan teknik intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis operasi yang
akan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan pelaksana
anastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.
6.2 Saran
Untuk mencapai hasil yang maksimal dari anastesi, permasalahan pasien dapat
diantisipasi dengan melakukan penilaian atau kunjungan preanastesia agar dapat
dilakukan penentuan terhadap tindakan anastesi yang akan dilakukan, serta jenis
obat yang akan diberikan, selain itu juga dapat menekan timbulnya komplikasi
anastesi baik intra operatif ataupun pasca operatif.
Optimalisasi penilaian dan persiapan pra anastesia dapat mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan khususnya terhadap pasien yang akan dioperasi.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
2. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
3. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. CV Infomedia: Jakarta.
4. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for
chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue
3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
5. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties.
Barcelona: CAHTA 1999.
6. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al.
Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
7. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan
Reanimasi. Indeks : Jakarta.
8. Drake A. Tonsillectomy. http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed-
tonsilektomi diakses tanggal 21 Juni 2014.
9. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
10. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
11. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
12. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
13. .Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta.
40
top related