tonsilektomi pada tonsilofaringitis

74
REFERAT TONSILEKTOMI PADA TONSILOFARINGITIS DISUSUN OLEH: ANDRIANI KEMALA SARI – 1410221070 – FK UPN JAKARTA ASIS MIRCHANDANI – 20110710051 – FK UPH JESSICA GABRIELLE IDNANI – 112013049 – FK UKRIDA WURI PREWITA DEWI – 1102010294 – FK YARSI PEMBIMBING: DR. SUSILANINGRUM, Sp.THT

Upload: maulanaadjieibrahim

Post on 11-Jan-2016

120 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

te

TRANSCRIPT

Page 1: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

REFERAT

TONSILEKTOMI PADA TONSILOFARINGITIS

DISUSUN OLEH:

ANDRIANI KEMALA SARI – 1410221070 – FK UPN JAKARTA

ASIS MIRCHANDANI – 20110710051 – FK UPH

JESSICA GABRIELLE IDNANI – 112013049 – FK UKRIDA

WURI PREWITA DEWI – 1102010294 – FK YARSI

PEMBIMBING:

DR. SUSILANINGRUM, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT

RSPAD GATOT SOEBROTO

PERIODE 25 MEI 2015 – 26 JUNI 2015

Page 2: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilofaringitis merupakan radang pada tenggorokan yang mengenai faring dan tonsil

yang dapat disebabkan oleh infeksi berbagai mikroorganisme. Radang pada faring hampir selalu

melibatkan organ disekitarnya, sehingga infeksi pada faring juga dapat mengenai tonsil atau

diawali oleh adanya radang pada tonsil. Dengan kata lain, tonsilofaringitis adalah tonsilitis dan

faringitis yang ditemukan secara bersamaan.1

Tonsilitis dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit amandel yang sering diderita oleh

anak-anak, namun tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang dewasa. Faringitis seringkali

disebut oleh masayarakat awam sebagai radang tenggorokan. Dewasa ini masih banyak

masyarakat yang belum bahkan tidak tahu mengenai penyebab, gejala-gejala serta penanganan

penyakit ini.

Secara umum, penatalaksanaan tonsilofaringitis dibagi menjadi dua, yaitu konservatif dan

operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi penyebab, yaitu infeksi dan

mengatasi keluhan yang mengganggu. Terapi operatif dapat dilakukan pada kasus

tonsilofaringitis adalah tonsilektomi. Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan

tonsil palatina. Terapi operatif pada tonsilofaringistis dapat dilakukan apabila terdapat adanya

indikasi. Indikasi dari operasi tonsil atau tonsilektomi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi absolut

dan indikasi relatif yang akan diuraikan pada tinjauan pustaka referat ini.2

Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun

terakhir (1993-2003) menunjukan kecenderungan penurunan jumlah operasi

tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun

sampai tahun 2003 (152 kasus).

Page 3: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

1.1. Anatomi Tonsil

Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole terdiri dari otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa dan diluarnya dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi 2 (dua) bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak di bagian sentral yang kita kenal dengan uvula. Batas lateral palatum pada setiap sisinya terbagi menjadi pilar anterior dan pilar posterior fausium. Pada pilar anterior teradapat m. palatoglosus. Pilar posterior terdiri m. palatofaringeus. Diantara kedua pilar terdapat celah, tempat kedudukan tonsil fausium.3

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari limfoid, yang mengelilingi faring. Unsur yang lain yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar – kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa rosenmuller dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.3

Gambar 1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil Fausium

Tonsil fausium atau disebut juga tonsil palatine, terdapat masing – masing sebuah pada tiap sisi orofaring, adalah jaringan limfoid yang berbentuk seperti buah kenari dibungkus oleh kapsul

Page 4: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

fibrosa. Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.

Plika triangularis adalah lipatan mukosa yang tipis, terbentang kebelakang dari pilar anterior dan menutupi sebagian permukaan anterior tonsil yang timbul dalam kehidupan embrional. Plika semilunaris (supra tonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar pada pertautannya. Fosa supra tonsilar merupakan celah yang ukurannya bervariasi, bias juga terletak diatas tonsil dan diantara pilar anterior dan pilar posterior.

Tonsil dibatasi oleh:

Lateral – muskulus konstriktor faring superior

Anterior – muskulus palatoglosus

Posterior – muskulus palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual

Tonsil Lingual

Tonsil lingual merupakan bentuk yang tidak bertangkai, terletak pada dasar lidah diantara kedua tonsil fausium dan meluas kearah anteroposterior dari papila sirkumvaklata ke epiglottis dipisahkan dari otot – otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa. Tonsil terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar yang mengandung jaringan limfoid dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat.

Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

Page 5: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.3

Kapsul Tonsil

Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula ini mengandung pembuluh darah, saraf – saraf dan pembuluh limfe eferen.3

Kripta Tonsil

Terdiri dari 8 – 20 kripta, biasanya tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul pada permukaan luarnya. Kripta tersebut tidak bercabang – cabang tetapi merupakan saluran yang sederhana. Jaringan ikat sub epitel yang terdapat dengan jelas dibawah permukaan epitel segera hilang ketika epitel membentuk kripta. Hal ini menyebabkan sel – sel epitel dapat menempel pada struktur limfatik tonsil. Sering kali tidak mungkin untuk membuat garis pemisah antara epitel kripta dengan jaringan interfolikuler. Epitel kripta tidak sama dengan epitel asalnya yang menutupi permukaan tonsil, tidak membentuk sawar pelindung yang kompak dan utuh.3

Fossa Tonsilaris

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.3,4

Pilar anterior berisi m. palatoglosus dan membentuk batas anterior, pilar posterior berisi m. palatofaringeus dan membentuk batas posterior sinus. Palatoglosus mempunyai origo berbentuk seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun verikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba Eustachius dan pada dasar tenggorok. Otot ini meluas kebawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada otot palatoglosus. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan dinding lateral faring. Dinding luar fosa tonsilaris terdiri dari m. konstriktor faringeus superior. M. konstriktor superior mempunyai serabut melintang yang teratur, membentuk otot sirkularfaring. Fowler dan Todd menggambarkan otot keempat yang dinamakan m. tonsilofaringeus yang dibentuk oleh serabut – serabut lateral dari m. palatofaringeus. Otot ini melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan lobus atas dan bawah.

Page 6: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Sistem Pembuluh Limfe Faring dan Tonsil

Kelenjar limfe menerima pembuluh aferen dari bagian bawah oksipital. Kelenjar limfe ini dibagi oleh eferen yang berjalan menuju bagian atas kelenjar mstoid substernal. Kelenjar mastoid atau kelenjar retroaurikular (biasanya berpasangan) terdapat di dekat insersi m. sternokleidomastoid, menerima pembuluh aferen dari bagian temporal kepala, permukaan dalam telinga dan bagian posterior liang telinga. Aliran pembuluh limfe jaringan tonsil ini tidak mempunyai pembuluh aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung aferen yang terletak pada trabekula. Dari sini menembus kapsula ke otot konstriktor superior pada dinding belakang faring. Beberapa cabang didaerah ini berjalan ke belakang menembus fasia bukofaringeal kemudian kelenjar – kelenjar pada daerah leher dan bermuara ke nodus limfatikus leher bagian dalam dibawah otot sternokleidomasoideus. Salah satu dari nodus limfatikus ini terletak disebelah mandibula yang sering juga disebut nodus limfatikus tonsiler, karena sering mengalami pembesaran pada proses infeksi atau proses keganasan tonsil.

Sistem Aliran Darah

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu :

arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri

palatina asenden

Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden

Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal

Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian

posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri

tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina

desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.

Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 3,4

Persarafan dan Tonsil

Tonsil disarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus trigeminus

mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati ganglion sfenopalatina yaitu

Page 7: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus selain mempersarafi bagian tonsil, juga dapat

mempersarafi lidah bagian belakang dan dinding faring4

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B

membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40%

dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di

pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,

lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang

immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular,

mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. 4,5

1.2. Fisiologi Tonsil

Tonsila palaitna adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris dikedua

sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih

padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di

permukaan medial terdapat kripta (Amaruddin T, 2007). Tonsila palatina merupakan jaringan

limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein

asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan

dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel - sel

fagositik mononuklear pertama – tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen. 5,6

Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing

dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen

spesifik. Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua

sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi.

Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke

tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi

antibodi untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan

patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh,

maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis (tonsillolith). Aktivitas

imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 5,6

Page 8: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

1.3. Anatomi Faring

Gambar 2.1. Anatomi Faring

Atlas of Human Anatomy 4th Edition

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di

bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra

servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah

berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang

dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian

dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,

fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal Faring terbagi atas

nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut

lendir (mukosa blanket) dan otot.4,7,8

Faring terdiri atas :

Page 9: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum

mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.

Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur

penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring

yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur

embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan

kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus

dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan

foramen laserum dan muara tuba Eustachius. Adapun batas-batas dari nasofaring ini

antara lain8 : 

- batas atas : Basis Kranii

- batas bawah : Palatum mole

- batas depan : rongga hidung

- batas belakang : vertebra servikal 

Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang

adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior

faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil

lingual dan foramen sekum.8

Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu8 : 

- batas atas : palatum mole

- batas bawah : tepi atas epiglottis

- batas depan : rongga mulut

- batas belakang : vertebra servikalis

Page 10: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah

laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur

pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan

yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika

lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa

orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat

epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih

melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai

dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.

Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus. Dengan

batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu8 :

- batas atas : epiglotis- batas bawah : kartilago krikodea

- batas depan : laring- batas belakang : vertebra servikalis

Ruang Faringal :

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti

penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring( Retropharyngeal

space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring,

fasia faringobasilaris dan otot – otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia

prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah

dari fasia servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di

sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.8

Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan

dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu

mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas

luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian

posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os

stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih

Page 11: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk

mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior

(post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu

sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang

retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis. 8

Gambar 2.2 Anatomi Faring Bagian Posterior

Otot Pharynx :

Page 12: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang (longitudinal).

Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor faring superior, media daninferior. Otot-

otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian

bawahnya menutupi sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot

ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot

konstriktor ini adalah untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh

Nervus Vagus. 8,9

Gambar 2.3 Anatomi Muskulus Faring

Otot-otot faring yang tersusun longitudinal terdiri dari M.Stilofaring dan M.Palatofaring,

letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan

menarik laring, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan

Page 13: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini

penting padawaktu menelan. M.Stilofaring dipersarafi oleh Nervus Glossopharyngeus dan

M.Palatofaringdipersarafi oleh Nervus Vagus.8,9

Pada Palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia

dari mukosa yaitu8,9 :

M. Levator veli palatine : membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya

untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius dan otot

ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.

M. Tensor veli palatine : membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk

mengencangkan bagian anterior palatummole dan membuka tuba Eustachius dan otot

ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.

M. Palatoglosus : membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan

ismus faring.

M.Palatofaring : membentuk arkus posterior faring.

M.Azigos uvula :merupakan otot yang kecil dan kerjanyaadalah memperpendek dan

menaikkan uvula ke belakang atas.

Otot pada pharynx terdiri atas 3 otot konstriktor pharyngeus dan 3 otot yg berorigo pd

proc. Styloideus. Otot-otot ini berperan dalam proses deglutition atau menelan. Hubungan

Pharynx Cavum pharyngeum berhubungan dengan organ-organ disekitarnya, antara lain

melalui8 :

Choanae (nares posterior) menghubungkan dengan cavum nasi

Ostium pharyngeum tuba auditiva eustachii dengan cavum tympani

Isthmus faucium dengan cavum oris propia

Additus laryngis dengan larynx

Portae oesophagus dengan oesophagus

Perdarahan dan Sistem Limfatik Faring :

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan, yang

utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial)

serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang palatine superior. 7,8

Page 14: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media dan inferior.

Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening

servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan

kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening

servikal dalam bawah. 7,8

Persarafan Faring :

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.

Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus, cabang dari Nervus

Glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus Vagus berisi serabutmotorik.

Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali

M.Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang Nervus Glossopharyngeus.9

2.2 Fisiologi Faring

Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansisuara dan artikulasi. 6

a) Fungsi Menelan

Proses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu : fase oral, fase faringeal dan fase esophagus

yang terjadi secara berkesinambungan. Pada proses menelan akan terjadi hal-

hal sebagai berikut6 :

Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik 

Upaya sfingetr mencegah terhamburnya bolus selama fase menelan

Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi

Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laringe.Kerjasama

yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan kearah

lambung

Usaha untuk membersihkan kembali esofagus

Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur dengan

air liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari rongga mulut melalui

dorsumlidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsic lidah. Kontraksi M.Levator

veli palatine mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole

Page 15: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

terangkat dan bagian atas dinding posterior faring (Passavant’s ridge) akan terangkat pula. Bolus

terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan

nasofring sebagai akibat kontraksi M.Levator veli palatine. Selanjutnya terjadi kontraksi

M.Paltoglossus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi

M.Palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. 6

Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus makanan

dari faring ke esophagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi M.Stilofaring,

M.Tirohioid dan M.Palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglottis, sedangkan ketiga

sfingter laring, yaitu plika ariepligotika, plika ventrikularis dan  plika

vokalis tertutup karena kontraksi M.Ariepliglotika dan M.Aritenoid obligus. Bersamaan

dengan ini terjadi juga penghentian aliran darah ke laring karena reflex yang menghambat

pernapasan, sehingga bolus makanan akanmeluncur kea rah esophagus, karena valekula dan

sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus. 6

Fase esophageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke

lambung.Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan

bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi M.Krikofaring,

sehingga introitus esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esophagus. Setelah

bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus

esophagus pada saatistirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke

faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas

masih dipengaruhi oleh kontraksi M.Konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. 6

Selanjutnya bolus makanan akan di dorong ke distal oleh gerakan peristaltic

esophagus. Dalam keadaan istirahta sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan

tekanan rata-rata 8mmHg lebih dari tekanan didalam lambung sehingga tidak akan terjadi

regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagalsfingter ini akan terbuka secara reflex ketika

dimulainya peristaltic esophagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya

setelah bolus makanan lewat maka sfingter iniakan menutup kembali. 6

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum danfaring.

Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.

Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula M.Salpingofaring dan

Page 16: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

M.Palatofaring, kemudian M.Levator veli palatine bersama-sama dengan M.Konstriktor

faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.Levator veli palatine

menarik paltum mole ke atas belakang hampIr mengenai dinding posterior faring. Jarak yang

tersisa ini diisi oleh tonjolan ( fold of). 6

Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu

pengangkatan faring sebagai hasil gerakan M.Palatofaring

(bersama M.Salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif M.Konstriktor faring superior.

Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak  pada waktu yang bersamaan. Ada yang

berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi tetapi ada pula

pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan

dengan gerakan palatum. 6

Page 17: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

BAB III

FARINGITIS DAN TONSILITIS

3.1 Faringitis Akut

Gambar 1. Faringitis Akut

3.1.1 Faringitis viral

Virus merupakan penyebab tersering faringitis akut. Rinovirus menimbulkan gejala

rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis.10,11,12

Gejala

Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan dan konjungtivitis.

Pemeriksaan fisik

Tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak

menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi

kulit berupa muculopapular rash. Epstain Bar virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai

produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh tubuh

terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.11,.12

Terapi

Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat,tidak dianjurkan memberilan

obat kumur antiseptic tidak dianjurkan, analgetik jika perlu. Anti virus metisoprinol

Page 18: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

(isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi

dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50

mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.10,11,12

3.1.2 Faringitis Bakterial

Faringitis streptococcus grup A dominan terjadi pada masa remaja. 50% pasien dari umur

5-15 tahun. Puncak insiden yaitu selama beberapa tahun pertama sekolah. Streptococcus grup A

merupakan bakteri pathogen yang paling seringpada pasien diatas umur 3 tahun. . Faringitis

streptococcus grup A jarang pada anak < 3 tahun.2 Infeksi grup A Streptococcus β hemoliticus

merupakan penyebab Faringitis terbanyak pada dewasa dan anak-anak. Streptococcus B-

hemolitikus grup A atau yang dikenal dengan piogen streptococcus, satu-satunya pathogen yang

memerlukan pemberian antibiotic.10,11,13

Penularan

Streptococcus grup A menyebar ketika seseorang yang telah terinfeksi batuk atau bersin

yang berisikan droplet infektif ke udara yang kemudian berkontak dengan membrane mukosa

orang lain. Tempat-tampat umum meningkatkan kemungkinan terinfeksi.

Masa inkubasi 1-4 hari, dengan resiko paling tinggi penularan terjadi selama fase aktif. Tingkat

penularan streptococcus grup A pada pasien yang tidak diobati berkisar 35% pada kontak erat

seperti anggota keluarga/ sekolah.11,13,14

Gejala dan tanda

Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi,

jarang disertai batuk. Streptococcus mempunyai masa inkubasi 1-4 hari, setelah onset nyeri

tenggorok dan odinofagia dengan demam, malaise dan gejala gastrointestinal seperti nyeri perut

dan muntah

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tosil hiperemis dan terdapat eksudat

dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.

Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan. Terdapat 4 gejala

klasik infeksi streptococcus grup A, yaitu:

- Eksudat Faring/tonsil

Page 19: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

- Pembengkakan nodus servikal anterior

- Riwayat demam >38 C

- Tidak ada batuk2,5,6

Diagnosis

Penelitian yang telah dilakukan menyatakan tidak mungkin untuk memisahkan gejala

streptococcus grup A dengan viral hanya dengan berdasarkan anamnesis dan penemuan klinis.

Tanda klinis dan gejala tidak spesifik. Diagnosis harus ditegakkan dengan swab tenggorok.

- Swab tenggorok: standar diagnostik untuk faringitis bakteri. sensitivitasnya 90-95%.

Walaupun begitu, terkadang dibutuhkan swab ulangan pada hasil (-) untuk pasien yang

tidak diobati.

- Rapid Antigen Tes: sebagian besar tes memiliki spesifitas tinggi tapi sensitivitas rendah.

Hasil negative belum bisa menyingkirkan infeksi streptococcus grup A. karena itu

dibutuhkan pemeriksaan swab tenggorok karena spesifitas yang rendah dan karena

pengobatan antibiotic untuk faringits streptococcus grup A bisa saja ditunda, pemeriksaan

ini tidak direkomendasikan.9,14,15,16

Terapi

- Terapi antibiotic empiric tidak disarankan tapi clinical practice Gurdeline menyatakan

bila pada kondisi tertentu (akses labor terbatas, pasien tidak follow up, adanya efek

toksik) pasien sudak menunjukkan 4 gejala klasik bisa diberikan antibiotic secara

empiric.

- Disarankan pemberian antibiotic 10 hari untuk mencegah demam rematik akut.

a. Antibiotik

Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A streptococcus β

hemoliticus. Penisilin G Banzatin 50.000 u/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50

mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10

hari atau eritromisin 4x500mg/hari.

b. Kortikosteroid : dexametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB, 1 kali

c. Analgetika

d. Kumur dengan air hangat atau antiseptic

Page 20: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Manajemen pada pasien yang tidak respon terhadap antibiotic yang masih menunjukkan

gejala setelah 72 jam diterapi, pasien sebaiknya dievakuasi kembali faktor-faktor seperti:

- Komplikasi akut faringitis, streptococcus grup A (contohnya abses peritonsil)

- Infeksi virus yang terjadi secara bersamaan

- Kepatuhan minum obat

Manajemen pada kasus relaps:

- Terapi penisilin bisa gagal dikarenakan produksi β-laktamase oleh anaerob oral

- Bila timbul gejala akut pada hari ke2- ke 7 setelah diterapi tuntas dengan antibiotic, swab

tenggorok ulang perlu dilakukan

- Jika hasil kultur (+) untuk streptococcus grup A, pertimbambangan untuk memberikan

inhibitor seperti agen B-laktan/ Blaktamase. Amoxicillin, klawlanat, atau antibiotic non-β

laktan seperti klindamisin/ eritromisin (jika tidak diberikan terapi lini pertama).10,12,17,18

3.1.3 Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. C.albicans merupakan komensal

normal dalam rongga mulut, biasanya tidak menimbulakan gejala . Faringitis jamur bisa terjadi

pada semua umur biasnya pada pasien dengan sistem imun yang turun seperti pada pasien HIV

dan pasien yang menggunakan steroid dalam jangka waktu yang panjang. Infeksi jamur ini

merupakan infeksi opurtunistik.11,13

Gejala dan tanda

Nyeri tenggorokdan, nyeri menelan, rasa seperti terbakar . Pada pemeriksaan tampak plak putih

di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Jika dilakukan pemeriksaan dengan KOH

akan ditemukan pseudo hifa.10,14,15

Page 21: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 2. Faringitis Fungal

Terapi

Nystasin 100.000 – 400.000 2 kali/hari. Analgetik18

3.1.4 Faringitis Gonorea

Kasus ini faringitis Gonorea jarang terjad, ,mungkin hanya terdapat <1%, .terdapat pada pasien

yang melakukan kontak orogenital.10,11

Gejala

Pasien datang dengan keluhan tonsilitis , termasuk sakit tenggorokan ,disfagia .

odynophagia . dan gatal tenggorokan.11,14

Page 22: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 3. Faringitis Gonorea

Pada pemeriksaan dapat ditemukan trauma orofaringeal . eritematosa faringitis , dan

eksudat keputihan - kuning

Terapi

Sefalosporin generasi ke-3, ceftriakson 250 mg, IM.

3.2 Faringitis Kronik

Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor

predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh

rokok, minum alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain

penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena

hidungnya tersumbat.10,13,15

Page 23: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 4. Faringitis Kronik

3.2.1 Faringitis Kronik Hiperplastik

Pada Faringitis kronis Hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan

tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.

Gejala

Pasien mengelu mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak

Terapi

Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti

atau dengan zat listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur. Jika

diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus

paranasal harus diobati.11,14,16

3.2.2 Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis Atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara

pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbukan rangsangan serta

infeksi pada faring

Gejala dan tanda

Page 24: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pdaa pemeriksaan tampak

mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

Terapi

Pengobatn ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan

dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.12,14,16

3.3 Faringitis spesifik

3.3.1 Faringitis leutika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga penyakit lues di

organ lain. Gambaran kliniknya tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tertier,

biasanya gejala di faring pada stadium primer dan sekunder. Penyakit ini biasanya ditularkan

melalui oral seks.

Stadium primer

Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior

faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka timbul ulkus pada daerah

faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar

mandibular yang tidak nyeri tekan. Biasanya pada mucul ulcus setelah masa inkubasi 3-90 hari

( rata-rata 3 minggu).Karena ulkus yang muncul tidak nyeri maka pasien tidak mengetahui dan

tidak diobati.

Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah

laring.

Stadium tertier

Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang pada dinding

posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas kevertebre servikal dan bila

pecah dapat menyebakan kematian.guma yang terdapat di palatum mole apabila sembuh dapat

meninggalkan jaringan parut yang dapat mengganggu fungsi palatum.

Page 25: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 5. Faringitis Leutika

Diagnosis

Ditegakkan dengan cara pemeriksaan serologic. Terapi penisilin dalam dosis tinggi merupakan

pilihan utama.12,15,17

3.3.2 Faringitis tuberculosis

Merupkan proses sekunder dari tuberculosis paru. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan

sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu

penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris

Gejala

Keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan odinofagia. Nyeri yang hebat pada tenggorok,

nyeri ditelnga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limva servikal

Diagnosis

Diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan asam, foto thorax untuk melihat TB paru dan biopsy

jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman basil tahan

asam di jaringan.

Terapi

Page 26: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

sesuai dengan terapi TB paru.13,14,17,18

3.4. Tonsilitis

3.4.1. Definisi

Tonsilitis adalahperadangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu

tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah),

tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil).10,12

3.4.2. Epidemiologi

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, terutama berusia 5-10 tahun , dan pada

dewasa muda berusia 15-25 tahun. Penyebaraninfeksi melalui udara (air borne droplets) dan

tangan melalui alat makan dan makanan.

3.4.3. Etiologi

Tonsilitis disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri.Penyebab Infeksi virus yang

paling sering adalah Epstein Barr Virus (EBV). Sedangkan bakteri penyebab tonsillitis antara

lain kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus, Streptokokus viridian dan

Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan bakteri

golongan gram negatif.11,12

3.4.4. Patofisiologi

Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada fosa tonsil yang

terfiksasi oleh jaringn ikat longgar.Tonsil terdiri dari banyak jaringan limfoid yang disebut

folikel.Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang ujungnya bermuara pada permukaan

tonsil.Muara tersebut tampak oleh kita berupa lubang yang disebut kripta.

Saat folikel mengalami peradangan, tonsil akan membengkak dan membentuk eksudat

yang akan mengalir dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi kripta yang terlihat sebagai

kotoran putih atau bercak kuning. Kotoran ini disebut detritus.Detritus terdiri atas kumpulan

leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan epitel tonsil yang terlepas.Tonsillitis akut

Page 27: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

dengan detritus yang jelas disebut Tonsilitis Folikularis. Tonsillitis akut dengan detritus yang

menyatu lalu membentuk kanal-kanal disebut Tonsilitis Lakunaris.

Gambar 6.Patofisiologi tonsillitis akut

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil .Karena proses radang

berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan

jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan

melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang

mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna

kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan

dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar submandibula.1,4,6

Page 28: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Skema 1. Patogenesis tonsillitis kronik

3.4.5. Klasifikasi

Skema 2. Klasifikasi tonsillitis

Page 29: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Macam-macam tonsillitis

1. Tonsillitis akut

Gambar 7. Tonsilitis akut

Dibagi lagi menjadi 2, yaitu :

a. Tonsilitis viral

Ini lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab paling

tersering adalah virus Epstein Barr.

b. Tonsilitis Bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A stereptococcus beta hemoliticus yang

dikenal sebagai strept throat, pneumococcus, streptococcus viridian dan streptococcus

piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi

radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus .Detritus

merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mulai mati.

Tonsilitis Folikularis : Adalah tonsillitis akut dengan detritus yang jelas

Tonsilitis Lakunaris : Bila bercak detritus ini memjadi satu membentuk alur-

alur .12,13,15

Page 30: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 8.Perbedaan tonsillitis bakteri dan viral

Gambar 9.Dari kiri ke kanan, tonsillitis folikularis dan tonsillitis lakunaris

2. Tonsilitis membranosa

a. Tonsilitis Difteri

Penyebabnya yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman yang

termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan

laring. Sering dituemukan pada anak berusia < 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia

2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini .

Page 31: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 10.Tonsilitis Difteri

b. Tonsilitis Septik

Penyebab streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga

menimbulkan epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara

pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

c. Angina Plout Vincent

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan

pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala

berupa demam sampai 39° C, nyeri kepala , badan lemah dan kadang gangguan

pecernaan.12,13,17

2. Tonsilitis kronik

StafilococcusAureus dan Hemophilus influenzamerupakan agen bakteri patogen yang

menjadi factor penyebab tonsillitis kronik. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah

rangsanganyang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca kelemahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat kuman

penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman

golongan gram negatif.11,15,16

Page 32: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Gambar 11.Tonsilitis kronik

3.4.6. Manifestasi Klinis

Tonsillitis akut :

- Tenggorokan terasa kering, atau rasa mengganjal di tenggorokan (leher)

- Nyeri saat menelan (menelan ludah ataupun makanan dan minuman) sehingga

menjadi malas makan

- Nyeri dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga

- Demam, sakit kepala, kadang menggigil, lemas, dan nyeri otot

- Dapat disertai batuk, pilek, suara serak, mulut berbau, mual, kadang nyeri perut,

pembesaran kelenjar getah bening di sekitar leher.11,13,16

Tonsilitis membranosa :

Angina Plaut Vincent :

Page 33: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Demam sampai 39°C, nyeri kepala, badan lemah dan terkadang terdapat gangguan

pencernaan, rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah .

Tonsilitis kronik :

- Kadang tanpa ada radang akut, suhu normal atau subfebris, lesu, nafsu makan

kurang/anoreksia, bisa anemia ringan

- Sakit menelan ringan atau tidak ada kecuali saat eksaserbasi akut kadang hanya rasa

gatal atau ganjal

- Foetor ex ore (mulut berbau oleh karena detritus)

3.4.7. Diagnosis

a. Anamnesis

Keluhan kelainan umumnya adalah nyeri tenggorok, nyeri menelan, rasa banyak dahak di

tenggorokan, sulit menelan, terasa ada yang mengganjal atau menyumbat. Anamnesis ditanyakan

secara sistematis dan runut mulai dari onset keluhan, intensitas keluhan, progresifitas, dan

keluhan lain yang menyertainya.

b. Pemeriksaan fisik

Tonsilitis akut :

Tonsilitis tampak hiperemis, membengkak, detritus (+) berbentuk folikel atau lacuna atau

tertutup membrane semu, kelenjar submandibular membengkak dan nyeri tekan .

Tonsilitis membranosa :

Tonsil membengkak ditutupi bercak putih, KGB membengkak (bull neck), kelumpuhan otot

palatum dan pernafasan, demam, nyeri kepala, badan lemah, hipersaliva, gigi dan gusi

mudah berdarah, nyeri tenggorok .

Tonsilitis kronik :

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang

mungkin tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,

kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.

Page 34: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Garis paramedian

Garis median

T1 T4T3

T2

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam

di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan ditutupi

eksudat yang purulen.12,13,17,18

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua

pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi

pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

Gambar 12. Grading Pembesaran Tonsil

Ukuran tonsil dibagi menjadi :

T0 : Post tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris

T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian (pilar

posterior)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

T4 : Sudah melewati garis median

Page 35: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

3.4.8. Penatalaksanaan

Tonsilitis akut

- Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut ) selama 10 hari, jika

mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.

- Jika penyebab viral, diistirahatkan, minum cukup, berikan analgetik dan antivirus bila

gejala berat.

Tonsilitis membranosa

- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis

20.000 – 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.

- Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25 – 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 14

hari.

- Kortikosteroid 1,2 mg/kgbb/hari

Tonsilitis Kronik

- Medikamentosa : pemberian antibiotic penisilin

- Tindakan irigasi tenggorokan

- Usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi

- Terapi Radikal : Tonsilektomi.12,13,17,18

3.4.9. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar

atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai

komplikasi yang biasanya ditemui adalah sebagai berikut :

Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.

Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.Sumber infeksi berasal dari

penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan

penjalaran dari infeksi gigi.

Abses Parafaringeal

Page 36: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh

darah.Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe

faringeal, os mastoid dan os petrosus.

Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3

bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

Kista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini

menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,

biasanya kecil dan multipel.

Obstructive Sleep apnea syndrome (OSAS)

Obstructive Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya episode

apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan kelainan sentral, obstruktif

jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea adalah berhentinya aliran udara pada hidung

dan mulut walaupun dengan usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian

pernafasan yang tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.

Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang menyebabkan

Page 37: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipoventilasi digunakan untuk menunjukkan

adanya hipopnea, yang berarti adanya pengurangan aliran udara.

Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas yang

menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi.

Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak dengan

kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan obstruktif apnea, hipoksia atau

hipoventilasi. Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai episode apnea sebanyak

30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10 detik dan terjadi baik selama fase

tidur rapid eye movement (REM) dan non rapid eye movement (NREM). 11,13,15,16,17

Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSAS pada anak-anak dan

dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu diketahui, yaitu:

Tabel 1. Perbedaan Klinis OSA Anak-Anak dan Dewasa

Page 38: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

BAB IV

TONSILEKTOMI

4.1. Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.20,21,22

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring

yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.23

4.2. Epidemiologi

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan

berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan

ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.24 Di AS karena kekhawatiran

komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.25,26

Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek

dan teknik tidak sulit.27 Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta

tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.28

Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan

287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi.

Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya

(13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada

orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000

pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).7 Di

Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum

ada.

4.3. Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas

relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan

untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi

saluran napas dan hipertrofi tonsil.28

Page 39: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi

sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada

keadaan non-emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan.

Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan

tonsilektomi.29

4.3.1. Indikasi Absolut26

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan

tidur dan komplikasi kardiopulmoner

b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase

c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

4.3.2. Indikasi Relatif25

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat

b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis

c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan

pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar, tonsilektomi dapat dilaksanakan

bersamaan dengan insisi abses.27

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah

mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat.Dugaan keganasan dan

obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.Tetapi hanya sedikit

tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi

kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana

seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih

berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang

menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih

dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk

tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak

mengancam nyawa.30

Page 40: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

4.4. Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila

sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang

“manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah27:

a. Gangguan perdarahan

b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

c. Anemia

d. Infeksi akut yang berat

4.5. Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi

oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.28,31 Selama bertahun-tahun,

berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik

tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-

masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi dimana

luka sembuh per primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.31

Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti

nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi.31 Selain itu juga ditentukan

oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang mendukung.32

Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping teknik

tonsilektomi standar.28 Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini

adalah teknik Guillotine dan diseksi.

4.5.1. Guillotine

Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal

sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang

menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotomi modern atau guillotine

dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan

uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa

atau elongasi.24

Page 41: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1, kemudian

Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi dan pengobatan

secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau seperti guillotine.

Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli

yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan

alat Sluder yang merupakan modifikasi alat Guillotin.24

Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga

dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk

digunakan hingga sekarang.Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di

beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di daerah masih lazim

dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.5 Kepustakaan lama menyebutkan beberapa

keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.14

4.5.2.Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli

THT yang secararutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.15 Di negara-negara Barat,

terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose

yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan

tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak.11 Walaupun

telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk

tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah.Pasien menjalani anestesi umum

(general endotracheal anesthesia).

Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran

mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan

manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya

dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.9

Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan mouth

gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek

fungsinya sebelum tindakan dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa

endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan

cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk

Page 42: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah.Mouth gag diselipkan dan didorong

ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil

karena dapat menyebabkan perdarahan.

Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail

untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan dengan

visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah.

Setelah mouth gagdibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa

endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah

dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan.

Sebelum memulai operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan

molle.20

Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk

tempat pipa endotrakeal (ring blade).Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran.Anak dan

dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no.3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no

4.Bilah no.2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.Intubasi nasal trakea lebih tepat

dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.20

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi

standar, yaitu:

1. Electrosurgery (Bedah listrik)32

Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah

memicu terjadinya ledakan.Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang

nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin

meluas. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi

radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan

dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.

Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi

saraf atau jantung.Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan

terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.Teknik ini menggunakan

listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).Teknik bedah

listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan

prosedur dengan bantuan mikroskop.Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W

Page 43: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi.Bedah listrik merupakan satu-satunya

teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat

pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

2. Radiofrekuensi35

Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.Densitas baru di

sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui

pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan

total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi

radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.Partikel yang

terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di

jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit

jaringan sekitar yang rusak.

Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron

system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460

kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini,

jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang

volumenya.Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.

Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk mengevaluasi

keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini

3. Skalpel harmonik36

Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan

mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.Teknik ini menggunakan

suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.Dengan elektrokauter atau laser,

pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat

memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik

temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C).

Sistem skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel

penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu

oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 μm (paling

Page 44: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak

dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan internal,

sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul

ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein

denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi

frekuensi tinggi. Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah

lain, yaitu:

Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal karena

proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring,

desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter,

skalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien,

sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan shock

atau luka bakar.

Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit

perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.

Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini mengurangi

nyeri pascaoperasi.

Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi

kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor

VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.

4. Coblation37

Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised

field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold

tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik

radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini

akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe

memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C

(45-850C) dibanding lebih dari 1000C). National Institute for clinical excellence menyatakan

bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini

bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.

Page 45: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

5. Intracapsular partial tonsillectomy38

Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan

menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan

merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat

menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai

kapsulnya.

Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya

otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi

otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah

terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca

operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan

insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dantonsilitis kronis merupakan hal yang perlu

mendapat perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi intrakapsuler.Tonsilitis kronis

dikontraindikasikan untuk teknik ini.Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan

perdarahan pasca operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih

diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.

6. Laser (CO2-KTP)39

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote)

untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini mengurangi volume tonsil dan

menghilangkan „recesses‟ pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.LTA

dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal.Dengan

teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia

pascaoperasi berkurang.Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren,

sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran

tonsil.

4.6. Penyulit

Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan

tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:23

Page 46: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

1. Kelainan anatomi:

Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)

Kelainan maksilofasial dan dentofasial

2. Kelainan pada komponen darah:

Hemoglobin < 10 g/100 dl

Hematokrit < 30 g%

Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)

3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain

4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)

5. Multiple Allergi

6. Penyakit lain, seperti:

Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain

Hipertensi dan penyakit kardiovaskular

Obesitas, kejang demam, epilepsi

4.7. Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun

lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan

bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat

perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.40

1. Komplikasi anestesi41

Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi

dan adenoidektomi.Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun

komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

Laringospasme

Gelisah pasca operasi

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi42

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung42

Hipersensitif terhadap obat anestesi

Page 47: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

2. Komplikasi bedah34

a. Perdarahan.

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).37 Perdarahan dapat

terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat

perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena

masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding,

perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya

adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam

pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih

dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna.Darah dapat menyumbat

jalan napassehingga terjadi asfiksia.Perdarahan dapat menyebabkan keadaan

hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan

late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10

pascabedah.Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.Penyebabnya

belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang

menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang

keras.

b. Nyeri

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan

iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya

14-21 hari setelah operasi.Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien

pascatonsilektomi.Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat

dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat.Nyeri pascabedah bisa dikontrol

dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan

terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi.

Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian

cairan intravena dibutuhkan.

3. Komplikasi lain

Page 48: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,

otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah,

gigi dan pneumonia.

BAB V

Page 49: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

KESIMPULAN

Faringitis dapat terjadi pada segala umur, terjadi secara akut ataupun kronis serta pada

kasus yang spesifik seperti faringitis leutika dan faringitis TB.penyebab tersering dari faringitis

adalah infeksi virus serta infeksi bakteri yang sering disebabkan oleh Streptococcus Grup A yang

umumnya menyerang usia 5-15 tahun. Manifestasi faringitis tergantung pada lamanya infeksi

dan etiologinya.

Tonsilitis adalah inflamasi pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, penyebaran terbanyak melalui udara

(air borne droplets). Tonsilitis disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri. Penyebab

infeksi virus tersering adalah Epstein Barr Virus (EBV). Sedangkan bakteri penyebab tersering

adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A.

Tonsilektomi merupakan tindakan operasi yang sering dilakukan pada bidang THT.

Tonsilektomi dikerjakan dengan indikasi yang tepat sehingga didapatkan keuntungan yang

nyata, mengingat peranan tonsil sebagai bagian sistem pertahanan tubuh. Indikasi tonsilektomi

dibagi menjadi 2, yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif. Kontraindikasi tonsilektomi antara

lain adalah gangguan perdarahan, risisko anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia dan

infeksi akut yang berat.

Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti

nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi. Selain itu juga ditentukan

oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang mendukung.

Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping teknik

tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah

teknik Guillotine dan diseksi.

Page 50: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, dkk. Tenggorok dalam KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Jilid I. Edisi

ketiga. Media Aescalapius FKUI. Jakarta. 2001.

2. Boies, Lawrence R., et al. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC ; 1997.

3. Viswanatha, B., Tonsil and Adenoid Anatomy. Sri Venkateshwara ENT Institute, Victoria

Hospital, Bangalore Medical College and Research Institute, India. Feb 2 2013. Diakses

melalui: http://emedicine.medscape.com/article/1899367-overview pada tanggal 5 Juni

2015.

4. Rosse C Rosse P, Hollinshead WH. Hollinshead's textbook of anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven; 1997.

5. Kenna MA, Amin A. Anatomy and physiology of the oral cavity. In: Snow JB, Wackym PA. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009:769-774. . Diakses melalui : http://emedicine.medscape.com pada tanggal 5 Juni 2015.

6. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:EGC.

7. Rosse C Rosse P, Hollinshead WH. Hollinshead's textbook of anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven; 1997.

8. Susan S, Harold E, Jermiah CH, David J, Andrew W. Pharynx (chapter 35). In: Gray's Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 39th ed. Philadelphia: Elsevier; 2005:619-631. Diakses melalui: http://emedicine.medscape.com pada tanggal 5 Juni 2015.

9. Joshi, A., Pharynx Anatomy. George Washington University School of Medicine and Health Sciences, USA. Nov 13 2013. Diakses melalui: http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview pada tanggal 5 Juni 2015.

10. de Carlos F, Cobo J, Macías E, Feito J, Cobo T, Calavia MG, et al. The Sensory Innervation of the Human Pharynx: Searching for Mechanoreceptors. Anat Rec (Hoboken). Oct 4 2013; Diakses melalui: http://reference.medscape.com/medline/abstract/24123994 pada tanggal 5 Juni 2015.

10. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam

Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

11. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik

Page 51: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

Medan. Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).

12. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam Ballenger :

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina Rupa Aksara,

1997: p. 1020-1039

13. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter 23.The

McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816

14. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology.

New York. Thieme, 2006: p. 119

15. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8.

Jakarta: EGC, 2009.h.349-60.

16. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.95-106.

17. Novialdi N, Pulungan MR. Mikrobiologi tonsilitis kronik. Bagian THT Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas. 2 November 2012.

18. Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,

dan Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at :

http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik

(Accessed : March 28th 2012).

19. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and

Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

20. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and

Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

21. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for

chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3,

2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

22. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties.

Barcelona: CAHTA 1999

23. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD,

Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology.

Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6

Page 52: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

24. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine

tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The

Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91

25. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy. Laryngoscope

2002;112:6-10

26. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M.

Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected

children. Pediatrics 2002;110:7-15

27. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia.

28. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope

2002;112:3-5

29. Berkowitz RG, Zalzal GH.Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch

Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]

30. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of

Medicine 2003:70;698-701

31. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with bipolar

radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch otolaryngol Head Neck

Surg 2001;127:1106-12

32. Maddern BR. Bedah listrik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13

33. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990

34. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ.

Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the

armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]

35. Plant RL. Radiofrequency treatment of tonsillar hypertrophy. Laryngoscope

2002:112;202

36. Wiatrak BJ, Willging JP.Skalpel harmonik for tonsillectomy. Laryngoscope

2002:112;14-16

37. National Institute for Clinical Excellence. Coblation tonsillectomy. Available from:

http://www.nice.org.uk/ip175overview

38. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ, Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for

tonsillar hypertrophy in children.Laryngoscope 2002,112:17-19.

Page 53: Tonsilektomi Pada Tonsilofaringitis

39. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.Tonsillectomy

procedures. Available from: http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedures.cfm

40. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres

ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children.

Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.

41. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH,

Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology.London: Mosby 1998.2nd

ed.p.2208-10.

42. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group -