narendra, dani wangsit_b2007
Post on 04-Dec-2015
45 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN
BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT
TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
DANI WANGSIT NARENDRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK
DANI WANGSIT NARENDRA. Pengaruh Dehidrasi Dengan Pemberian Bisacodyl Terhadap Gambaran Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ANDRIYANTO.
Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh terganggu yaitu berupa hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan ekstraselular tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang cukup. Kehilangan cairan tubuh bisa diakibatkan oleh aktivitas yang berlebih tanpa diimbangi dengan kecukupan konsumsi cairan, serta dapat juga diakibatkan oleh diare kronis tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran hematokrit darah pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dalam keadaan dehidrasi dan untuk mendapatkan hewan contoh dehidrasi. Perlakuan yang diberikan kepada tikus putih adalah pemberian laksansia agar tikus mengalami dehidrasi kemudian diberikan air minum agar terjadi rehidrasi. Pada saat dehidrasi dan rehidrasi dilakukan penghitungan nilai hematokrit. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa pada jam ke-7 merupakan awal terjadinya kondisi dehidrasi setelah diberi bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor. Kondisi dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit, sedangkan usaha rehidrasi dapat menurunkan nilai hematokrit. Nilai hematokrit kembali pada nilai rata-rata normal pada jam ke-32 setelah dilakukan usaha rehidrasi pada jam ke-11. Rata-rata nilai hematokrit mengalami peningkatan yang nyata dari jam ke-6 sampai jam ke-11 (P < 0.05), serta mengalami penurunan pada jam ke-12 sampai jam ke-32 setelah dilakukan perlakuan rehidrasi. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai hematokrit tikus putih jantan adalah selama 21 jam.
Kata kunci: dehidrasi, bisacodyl, hematokrit, tikus putih (Rattus norvegicus)
PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN
BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT
TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
DANI WANGSIT NARENDRA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Halaman Pengesahan
Judul
: Pengaruh Dehidrasi dengan Pemberian Bisacodyl terhadap Gambaran
Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus.)
Nama : Dani Wangsit Narendra
NRP : B04103135
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I,
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini
Dosen Pembimbing II
drh. Andriyanto
Mengetahui,
Wakil Dekan FKH IPB
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
Disahkan Tanggal: …………
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
Rahmat dan Hidayahnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Dehidrasi dengan Pemberian
Bisacodyl terhadap Gambaran Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus
norvegicus)”, Merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Papah (Dadang Syarifudin) dan Mamah (hj. Nanik Susiani, SPD. SKep), Mba
Melan, Mba Devi dan keluarga besar saya di Bandung, Garut, Bogor dan
Kalimantan
2. Dr. Dra. Nastiti Kusumorini dan Drh. Andriyanto selaku pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama
penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku dosen penguji.
4. Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku dosen pembimbing akademik,
atas segala bimbingan, dorongan, dan saran yang telah diberikan selama saya
kuliah di Institut Pertanian Bogor.
5. Drh. Iskandar, MSc. Saya doakan semoga beliau lekas sembuh.
6. Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB
atas segala bantuan selama saya melakukan penelitian.
7. Nurul Farida Adnan atas segala perhatian dan dukungan yang telah diberikan
selama ini kepada saya.
8. Muhamad Aziz Hakim, Brian Koesoema Adhie, Putu Eka Sudrayatma, Reza
Helmi, Laksana Heri yang telah memberikan tempat kepada saya untuk
bersinggah. Rian dan Ido yang selalu membuat saya terhibur dikala berduka.
9. Teman-teman penghuni Wisma Jamparing, De Jejaka, serta rekan-rekan
FKH’40 (Gymnolemata) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhirnya saya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi dunia
kedokteran hewan Indonesia.
Bogor, Oktober 2007
Dani Wangsit Narendra
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Dani Wangsit Narendra. Penulis dilahirkan di
Cimahi pada tanggal 23 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua
bersaudara dari ayahanda Dadang Syarifudin dan ibunda Nanik Susiani
Penulis mulai menjalani pendidikan di SDN Barukai Cisarua Cimahi Kab.
Bandung hingga lulus pada tahun 1997. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 1 Cisarua Cimahi Kab.
Bandung dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2000. Jenjang Sekolah
Menengah Umum (SMU), penulis selesaikan di SMUN 1 Cimahi Kab. Bandung
hingga tahun 2003. Penulis kemudian melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi
dalam bidang ilmu kedokteran hewan yang ditempuhnya di Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Penulis masuk perguruan tinggi
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003 dan
menyelesaikan studinya pada tahun 2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan ....................................................................................................... 2
Manfaat ..................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
Hewan coba ............................................................................................... 3
Tikus Putih (Rattus norvegicus) sebagai Hewan Model ........................... 3
Dehidrasi ................................................................................................... 5
Darah ......................................................................................................... 10
Sel Darah Merah (Eritrosit) ................................................................. 11
Sel Darah Putih (Leukosit) .................................................................. 12
Granulosit ...................................................................................... 13
Neutrofil .................................................................................. 13
Eosinofil .................................................................................. 14
Basofil ..................................................................................... 15
Agranulosit .................................................................................... 16
Limfosit ................................................................................... 16
Monosit ................................................................................... 18
Trombosit ............................................................................................ 18
Plasma Darah ....................................................................................... 19
Hemoglobin ......................................................................................... 20
Hematokrit ........................................................................................... 20
Obat Laksansia .......................................................................................... 22
Bisacodyl ............................................................................................. 24
METODOLOGI .............................................................................................. 26
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 26
Materi ........................................................................................................ 26
Hewan Coba ........................................................................................ 26
Kandang ........................................................................................ 26
Pakan ............................................................................................. 26
Alat dan Bahan .......................................................................................... 26
Tahap Adaptasi .......................................................................................... 27
Penghitungan Nilai Hematokrit ................................................................. 27
Pelaksanaan Penelitian .............................................................................. 27
Tahap 1: Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih
jantan ................................................................................................... 27
Tahap 2 : Penentuan dosis efektif bisacody ........................................ 27
Tahap 3 : Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi ................... 28
Parameter yang Diamati ............................................................................ 29
Analisis Data ............................................................................................. 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 30
Penentuan Kisaran Normal Nilai Hematokrit Tikus Putih Jantan ............. 30
Penentuan Dosis Efektif Bisacodyl ........................................................... 30
Uji Coba Hewan Model Dehidrasi dan Rehidrasi ..................................... 36
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 40
Kesimpulan ............................................................................................... 40
Saran .......................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41
LAMPIRAN .................................................................................................... 45
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai fisiologis tikus putih (Rattus norvegicus).......................................... 7
2. Rata-rata nilai hematokrit tikus jam ke-0 sampai jam ke-5 ..................... 30
3. Kriteria penetapan diare secara kualitatif .................................................. 31
4. Kecepatan terjadinya diare dan kondisi diare yang terjadi ....................... 32
5. Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah
pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor ............. 32
6. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian
bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32 .................... 36
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tikus Putih ............................................................................................... 4
2. Gejala klinis yang ditimbulkan pada balita bila mengalami dehidarasi
berat ........................................................................................................... 9
3. Skema Pembentukan sel darah ................................................................... 11
4. Eritrosit....................................................................................................... 12
5. Neutrofil ..................................................................................................... 13
6. Eosinofil ..................................................................................................... 15
7. Basofil ........................................................................................................ 16
8. Limfosit ...................................................................................................... 16
9. Monosit ...................................................................................................... 18
10. Trombosit ................................................................................................... 19
11. Hemoglobin ................................................................................................ 20
12. Mikrohematokrit ...................................................................................... 22
13. Makrohematokrit ....................................................................................... 22
14. Diagram protokol penelitian pada Tahap 2 ................................................ 28
15. Diagram protokol penelitian pada Tahap 3 ................................................ 29
16. Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah
pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor ............. 33
17. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian
bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32 .................... 37
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus Jam ke-0 sampai Jam
ke-5 ............................................................................................................ 45
2. Analisa Perbandingan Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus setelah
Pemberian Bisacodyl Dosis 2,5 mg/ekor dengan Dosis 5 mg/ekor ........... 45
3. Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus dengan Pemberian
Bisacodyl Dosis 5 mg/ekor pada Jam ke-6 sampai Jam ke-32 .................. 45
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan akan hewan coba akibat pesatnya penelitian pada zaman
sekarang, menuntut kita untuk dapat menemukan hewan coba yang baik dan tepat.
Terdapat berbagai macam hewan coba yang dapat digunakan, seperti tikus,
mencit, hamster, kelinci, kambing, kucing, anjing, sapi dan yang lainnya. Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan, dibutuhkan hewan coba yang baik
dan sesuai. Kriteria Hewan coba yang baik adalah harus memiliki sifat-sifat
seperti mudah dipelihara, cepat bereproduksi dengan jumlah anak yang banyak
dalam sekali melahirkan, mudah di handling dan dapat digunakan untuk berbagai
jenis perlakuan dan percobaan. Salah satu hewan coba yang sesuai dengan
kriteria tersebut adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih (Rattus
norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna seperti mudah
dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam
penelitian, mudah di handling, cepat bereproduksi dan jumlah anak banyak dalam
satu kali melahirkan (Malole dan Pramono, 1989).
Dehidrasi merupakan suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh
terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan
ekstraselular tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup. Secara
normal, tubuh akan kehilangan cairan setiap harinya, hilangnya cairan dapat
terjadi melalui keringat, air seni, air mata dan buang air besar. Banyak penyebab
yang dapat membuat tubuh mengalami kondisi dehidrasi seperti aktivitas yang
berlebih, kurang mengkonsumsi cairan, muntah dan diare. Kasus dehidrasi yang
sering terjadi adalah dehidrasi yang diakibatkan oleh diare akut dan aktivitas yang
berlebih tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan atau air yang cukup.
Kehilangan cairan tubuh melalui feses (diare), urine, atau keringat karena
lingkungan terlalu panas akan sangat menurunkan volume cairan ekstraselular dan
intraselular yang akan menyebabkan syok hingga kematian. Dehidrasi juga dapat
menyebabkan hipernatremia pada penderita psikosis dan kelainan serebral
sehingga tidak dapat meningkatkan pengambilan cairan ketika mekanisme haus
terangsang (Ganong 2002).
2
Ketika tubuh mengalami dehidrasi, sumber utama cairan tubuh adalah
plasma darah. Tubuh akan mengambil plasma darah untuk memulihkan kondisi
dehidrasi, sehingga salah satu parameter utama untuk mengetahui tingkat
dehidrasi pada tubuh adalah dengan menghitung persentase plasma darah yang
ada di dalam tubuh. Salah satu cara untuk mengetahui persentase plasma darah
dalam tubuh adalah dengan menghitung nilai PCV (Packed Cell Volume) atau
hematokrit darah. Karena prinsip dasar penghitungan nilai hematokrit darah
adalah membandingan antara volume sel darah merah (eritrosit) dengan plasma
darah (plasma darah) dalam 100 ml darah, sehingga penghitungan nilai hematokrit
dapat digunakan dalam penentuan tingkatan dehidrasi pada tubuh. Dalam
keadaan normal, nilai PCV akan sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar
hemoglobin di dalam tubuh (Widjajakusuma dan Sikar 1986).
Dehidrasi adalah suatu gangguan tubuh yang sangat tidak diharapkan,
karena dengan terjadinya dehidrasi, akan menimbulkan berbagai macam gangguan
tubuh. Sehingga dilakukan berbagai macam penelitian untuk mengatasi kondisi
dehidrasi yang terjadi, mulai dari bahan atau zat yang sesuai untuk memulihkan
kondisi dehidrasi dengan cepat dan tepat hingga mendapatkan cara untuk
memulihkan kondisi dehidrasi dengan cepat dan tepat.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari metode pembuatan hewan model
yang dapat digunakan dalam uji dehidrasi serta untuk melihat pengaruh pemberian
air secara peroral terhadap waktu pemulihan kondisi dehidrasi, dengan cara
melihat nilai hematokrit pada tubuh tikus putih jantan (Rattus norvegicus), yang
nantinya dapat menjadi hewan model dehidrasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai gambaran
hematokrit tikus putih jantan dalam keadaan dehidrasi dan waktu yang dibutuhkan
untuk memulihkan kondisi dehidrasi dengan pemberian air secara peroral.
Informasi penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penetapan hewan model dehidrasi.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Hewan Coba
Hewan laboratorium atau hewan coba adalah hewan yang dipelihara dan
diternakan untuk digunakan sebagai hewan model yang berguna untuk
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam sekala
penelitian atau pengamatan laboratorik (Malole dan Pramono 1989). Hewan coba
adalah setiap jenis hewan yang dipelihara secara intensif di dalam laboratorium
yang nantinya dapat digunakan dalam penelitian-penelitian biologis maupun
biomedis (Mangkoewidjojo dan Smith 1988).
Terdapat berbagai jenis hewan coba yang dapat digunakan dalam penelitian
dan dapat dikelompokkan berdasarkan asal hewannya. Mencit, tikus, marmot,
kelinci, hamster termasuk kedalam kelompok hewan yang sengaja diternakan
untuk tujuan penelitian. Kelompok hewan ini relatif berukuran kecil dan
berkembang biak dengan cepat. Ayam, itik, kerbau, babi, domba, kambing, sapi,
dan kuda termasuk dalam kelompok hewan yang berasal dari hewan ternak yang
sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai hewan coba. Sebagian hewan coba
berasal dari hewan liar yang ditangkap dari hutan (jenis primata, carnivora, dan
ruminansia) dan hewan lain yang ditangkap dari pinggiran kota (anjing, kucing,
amfibi dan serangga) (Malole dan Pramono 1989). Hewan coba dapat berguna
dengan baik, bila dikelola dan dipelihara dalam lingkungan laboratorium
(Mangkoewidjojo dan Smith 1988).
Hewan coba yang digunakan pada penelitian harus mempunyai kriteria
seperti mudah dipelihara, cepat bereproduksi atau cepat mendapatkan keturunan,
jumlah anak yang banyak dalam sekali kelahiran, mudah di handling dan dapat
digunakan untuk berbagai jenis perlakuan dan percobaan (Malole dan Pramono
1989). Selain itu, hewan coba yang baik harus mempunyai daya adaptasi yang
sangat tinggi sehingga dapat melakukan perkawinan pada berbagai macam kondisi
iklim dan lingkungan (Poole 1989).
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Sebagai Hewan Model
Tikus merupkan hewan mamalia yang biasa digunakan sebagai hewan coba
dalam berbagai penelitian di laboratorium karena tikus memiliki daya adaptasi
yang sangat tinggi sehingga dapat melakukan perkawinan pada berbagai macam
4
kondisi iklim dan lingkungan (Poole 1989). Secara umum gambaran tikus putih
yang sering digunakan dalam penelitian ditunjukan pada Gambar 1 (Xuan 2007).
Menurut Myers dan Armitage (2004), klasifikasi dari tikus putih (Rattus
norvegicus) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Klass : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Family : Muridae
Subfamily : Murinae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
Gambar 1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Xuan 2007).
Susunan gigi tikus terdiri dari 1/1 gigi seri dan 3/3 graham, hanya gigi seri
yang terus tumbuh. Tikus tidak memiliki kantung empedu dan pankreasnya
diffuse. Seperti pada rodensia lainnya, tikus yang masih muda memiliki jaringan
lemak berwarna coklat dibagian leher hingga scapula yang jumlahnya berkurang
setelah dewasa (Malole dan Pramono 1989). Ada dua sifat yang membedakan
tikus dari hewan percobaan jenis lain, yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah
karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara kedalam
lambung, dan tikus tidak mempunyai kantung empedu. Keuntungan yang didapat
dari struktur anatomi seperti itu adalah pada saat pemberian obat tikus tidak akan
memuntahkan kembali obat yang telah diberikan, tetapi kerugian dari struktur
anatomi seperti ini adalah bila dilakukan pemberian obat secara berlebih dapat
mengakibatkan kerusakan pada lambung. Tikus hanya mempunyai kelenjar
5
keringat pada telapak kakinya. Ekor tikus merupakan bagian terpenting dari
tubuh tikus untuk mengurangi panas tubuh (Mangkoewidjojo dan Smith 1988).
Perilaku tikus dalam menyeimbangkan panas tubuh adalah dengan cara
mengeluarkan keringat dari telapak kakinya, tikus juga akan mengeluarkan panas
dari ekornya. Bila ekor tikus yang berguna sebagai mediator pelepasan panas
tubuh tidak memberikan efek, tikus akan mengeluarkan air liur dengan jumlah
yang banyak untuk dilumurkan pada rambut-rambutnya, bila mekanisme ini tetap
gagal, tikus akan mati dalam beberapa menit karena hipertermia. Bila suhu
lingkungan lebih dari 30 oC masalah lain akan muncul yaitu tikus tidak dapat
berbiak, dan akan mengalami kematian yang diakibatkan oleh hipertermia. Suhu
lingkungan yang ideal bagi perkembangan tikus adalah berkisar antara 20-25 oC
(Mangkoewidjojo dan Smith 1988).
Tikus laboratorium biasanya dipelihara dalam kandang kotak terbuat dari
metal atau plastik dan ada juga yang terbuat dari kayu yang bagian atasnya ditutup
oleh ram kawat dengan lubang ± sebesar 1,6 cm2. Alas kandang biasanya terbuat
dari guntingan kertas, serutan kayu, serbuk kayu atau skam padi. Temperatur
ideal bagi tikus adalah 18-27 oC dengan rata-rata 22 oC dan kelembaban relatif
40-70 %. Penerangan diberikan kurang lebih selama 12 jam/hari, karena bila
dilakukan penerangan berlebih akan mempengaruhi siklus berahi. Tikus dapat
dikandangkan dalam satu kelompok besar yang terdiri dari jantan dan betina dari
berbagai tingkatan tanpa terjadi perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari
kandang umumnya akan kembali ke kandangnya. Tikus dapat hidup lebih dari
tiga tahun dan produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau
sampai usia satu tahun (Malole dan Pramono, 1989).
Tingkah laku tikus laboratorium sangat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe
kandang serta kondisi lingkungan sekitar, tikus memiliki kebiasaan berlari, berdiri
dengan kedua kaki belakangnya, melompat dan memanjat. Tikus jantan lebih
agresif dibandingkan dengan tikus betina dan dapat menggigit untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh, tikus dapat memakan segala jenis
makanan (omnivora) dan beraktivitas pada malam hari (nocturnal) serta dapat
melakukan perkawinan sepanjang tahun (Wagner dan Harkness 1989).
6
Hingga saat ini, banyak galur tikus laboratorium yang telah dikembangkan.
Galur-galur tikus laboratorium yang sering digunakan sebagai hewan coba, adalah
galur Wistar albino, Sprague-Dawley dan Long-Evans. Serta terdapat galur
inbreed yang banyak digunakan dalam penelitian biomedis antara lain: Osborne-
Mendel galur tikus ini sangat peka terhadap murine mycoplasmosis, galur Buffalo
Rat yang sangat peka terhadap tiroiditis dan resisten terhadap neprosis, galur
Brattaleboro yang peka terhadap diabetes insipidus dan galur Gunn yang peka
terhadap penyakit kuning oleh hepatitis (Malole dan Pramono, 1989).
Galur Wistar albino adalah galur yang pertama kali dikembangkan oleh
institut Wistar pada tahun 1906, tikus jantan memiliki kepala besar dan dapat
tumbuh dengan subur sehingga pada umur 3 bulan berat badannya dapat mencapai
320 gram dan 220 pada tikus betina (William dan Wilking 1986). Tikus putih
galur Wistar adalah tikus laboratorim yang jinak dan mudah ditangani (Weihe
1989).
Galur Sprague-Dawley merupakan galur tikus yang dikembangkan di
Wisconsin pada tahun 1925 oleh R.W.Dawley yang digunakan untuk pembibitan
komersial. Betina didapatkan dari Institut Wistar tetapi asal jantan tidak
diketahui. Galur ini mempunyai ciri kepala yang panjang dan ramping, panjang
leher sedang serta memiliki ukuran panjang tubuh sama atau lebih pendek dari
panjang ekor. Pada umur 12 minggu bobot jantan mencapai 240 gram sedangkan
betina dapat mencapai 200 gram (Weihe 1989). Galur Sprague-Dawley adalah
galur tikus yang sangat peka terhadap tumor mammae (Malole dan Pramono,
1989).
Long-Evans adalah galur tikus yang dikembangkan oleh J.B.Long dan
H.M.Evans di Berkley, California pada tahun 1910 dengan menyilangkan
beberapa tikus betina galur Wistar dengan tikus liar jantan. Ciri dari tikus galur
Long-Evans adalah warna tubuh hitam putih, warna kepala gelap, terdapat garis di
punggung dan dipergelangan kaki, bagian bawah tubuh berwarna putih, mata
berpigmen dan kepala kecil sedangkan tubuh dan ekornya sama panjang. Tikus
dengan warna lebih cerah, temperamennya lebih jinak dan tenang jika
dibandingkan dengan yang lebih gelap. Ketika umur 12 minggu tikus jantan
bobotnya bisa mencapai 340 gram sedangkan betina bisa mencapai 240 gram
7
(Weihe 1989). Karena galur Long-Evans merupakan hasil persilangan antara
tikus galur Wistar albino dengan tikus liar, sehingga pada tikus galur ini terdapat
tiga perbedaan warna yaitu warna putih albino, belang hitam putih dan hitam
(William dan Wilking 1986).
Menurut Robinson (1972), pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus
tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan sangat dipengaruhi oleh
metabolisme basal tubuh tikus itu sendiri. Beberapa faktor penting yang dapat
meningkatkan metabolisme basal tubuh tikus antara lain suhu lingkungan, jenis
kelamin, umur, keadaan psikologis tikus, suhu badan, kadar hormon tiroid, dan
kadar epinefrin serta norepinefrin dalam sirkulasi (Ganong 2002). Namun pola
petumbuhan bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya, tikus dapat
terus tumbuh walaupun dengan kecepatan yang terus menurun (Baker et al. 1980).
Adapun nilai fisioligis tikus putih di daerah tropis dapat ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai fisiologis tikus putih (Rattus norvegicus) Karaktristik Nilai Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Umur dewasa 40-60 hari Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Suhu (rektal) 36-37 oC (rata-rata 37,5 oC) Denyut jantung 330-480 /menit Tekanan darah 90-180 sistol, 60-145 diastol. Konsumsi oksigen 1,29-2,69 ml/g/jam Volume darah 57-70 ml/kg Sel darah merah 7,2-9,6 x 103/mm3 Sel darah putih 5,0-13,0 x 103/mm3 Neutofil 9-34 % Limfosit 63-84 % Monosit 0-5 % Eosinofil 0-6 % Hematokrit 45-48 % Trombosit 150-460 x 103/mm3 Hemoglobin 15-16 g/ 100ml Protein plasma 4,7-8,2 g/100ml Kolesterol serum 10-54 mg/100ml Air kencing 40-60 ml/Kg/hari Aktivitas Nokturnal (malam)
(Sumber: Mangkoewidjojo dan Smith 1988)
8
Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh
terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraselular maupun cairan
ekstraselular tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup. Secara
normal, tubuh akan kehilangan cairan setiap harinya, hilangnya cairan dapat
terjadi melalui keringat, air seni, air mata dan buang air besar (Ganong 2002).
Cairan tubuh adalah media terlarutnya elektrolit maka dehidrasi juga merupakan
suatu kondisi ketidak seimbangan cairan elektrolit di dalam tubuh (Wallach 1983).
Dehidrasi adalah suatu kondisi saat konsentrasi cairan di dalam tubuh lebih rendah
dari konsentarsi normalnya (Pace et al, 2001).
Dehidrasi yang diakibatkan oleh kurangnya konsumsi air dapat
mengakibatkan ion natrium dan ion klorida ikut menghilang bersamaan dengan
hilangnya cairan tubuh, tetapi kemudian terjadi reabsorbsi ion-ion melalui tubulus
ginjal secara berlebih, sehingga cairan ekstraselular mengandung natrium dan
klorida yang berlebih dan terjadi hipertoni. Hal ini menyebabkan air akan keluar
dari dalam sel sehingga terjadi dehidrasi intraselular dan inilah yang
menyebabkan rasa haus (Himawan 1983).
Derajat dehidrasi berdasarkan hilangnya jumlah cairan tubuh dapat
digolongkan sebagai dehidrasi ringan, dehidrasi sedang dan dehidrasi berat.
Dehidrasi ringan adalah suatu keadaan ketika tubuh kehilangan cairan < 5 % total
cairan tubuh (Anonimus 2007b). Tanda-tanda yang ditimbulkan pada dehidrasi
ringan adalah rasa haus meningkat, frekuensi buang air kecil (urinasi) menurun,
lemas dan lesu (Pace et al, 2001).
Dehidrasi sedang adalah suatu keadaan ketika tubuh kehilangan cairan
6-9 % dari total cairan tubuh (Anonimus 2007b). Gejala yang timbul akibat
dehidrasi sedang adalah lemah, lesu, anoreksia, penurunan tekanan darah,
takikardia, pusing, suhu tubuh yang rendah dan penurunan berat badan sekitar 5 %
(Wilson dan Price 1995).
Sedangkan dehidrasi berat adalah suatu kondisi ketika tubuh kehilangan
lebih >10 % total cairan tubuh (Anonimus 2007b). Tanda-tanda dehidrasi berat
pada anak kecil adalah mulut kering, saat menangis tidak ada atau sedikit air mata
yang keluar, tidak urinasi selama 3 jam atau lebih, cekung pada mata, pipi, sekitar
9
dada dan perut, atau ubun-ubun, lemas, menurunnya turgor kulit (jika kulit dicubit
dan dilepas, kulit tidak dapat kembali seperti semula) seperti yang terlihat pada
Gambar 2 (Pace et al, 2001).
Gambar 2 Gejala klinis yang ditimbulkan pada balita bila mengalami
dehidarasi berat (Pace et al, 2001).
Pada keadaan sakit, kehilangan cairan tubuh (dehidrasi) dapat menimbulkan
penurunan volume cairan ekstra selular dan intra selular. Kehilangan cairan tubuh
melalui feses (diare), urine, atau keringat karena lingkungan terlalu panas akan
sangat menurunkan volume cairan ekstra selular dan akan menyebabkan syok
yang akan berlanjut pada kematian. Dehidrasi juga dapat menyebabkan
hipernatremia pada penderita psikosis (gangguan psikis yang disertai hilangnya
kesadaran) dan kelainan serebral (seperti kerusakan hipotalamus) sehingga tidak
dapat meningkatkan pengambilan cairan ketika mekanisme haus terangsang
(Ganong 2002). Pada keadaan hipernatremia konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraselular menjadi tinggi dan kental sehingga terjadi hipertonisitas. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya penarikan air keluar dari sel sehingga sel
mengalami dehidrasi (Waspadji 1999).
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi
adalah dengan cara memperbanyak konsumsi air minum untuk menggantikan
cairan dalam tubuh yang hilang terutama cairan rehidrasi peroral (minuman
pengganti cairan dan elektrolit) cairan ini sangat direkomendasikan bagi bayi dan
anak-anak. Obat-obatan anti-diare biasanya tidak diperlukan dan jika dikonsumsi
10
harus dalam pengawasan dokter karena obat-obatan tersebut dapat berbahaya,
terutama jika oleh anak-anak dan orang yang lanjut usia (Pace et al, 2001).
Bila tubuh mengalami dehidrasi, salah satu usaha dalam pemulihannya
adalah dengan cara melakukan infus berupa cairan alkalis melalui intravena bisa
juga dengan cara pemberian air atau cairan yang mengandung glukosa dan sodium
secara peroral (Cunningham 2002). Okuno et al (1988) melaporkan bahwa
pemberian cairan NaCl 0,9 % atau 0,45 % pada tikus dapat mengembalikan cairan
tubuh yang hilang dalam waktu 3-3,5 jam, sedangkan pada pemberian cairan 0,2
% NaCl pada tikus dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang dalam waktu
10 jam, sedangkan pada pemberian air dibutuhkan waktu kurang lebih 16 jam
untuk dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Menurut Lecomte et al.
(1981) usaha rehidrasi bisa dilakukan dengan pemberian air atau cairan NaCl dan
dextrose.
Darah
Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid yang mengandung
elektrolit (Wilson dan Price 1995). Darah adalah jaringan yang beredar dalam
sistem pembuluh darah yang tertutup (Martini et al. 1992). Secara umum
pembentukan sel-sel darah terjadi di dalam sumsum tulang, karena di dalam
sumsum tulang mengandung sel induk khusus yaitu sel multipotensial
(hemositoblas) yang akan berdiferensiasi menjdi salah satu jenis sel induk khusus
yaitu sel progenitor (proeritroblas, mieloblas, limpoblas, monoblas dan
megakarioblas). Sel ini selanjutnya berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel
darah (Gambar 3) (Ganong 2002).
Fungsi darah sebagai sistem trasportasi bekerja dengan cara: bersirkulasi
membawa bahan-bahan nutrisi dari saluran pencernaan menuju jaringan-jaringan
sel, mengirim oksigen dari jantung ke jaringan-jaringan sel, membawa sisa-sisa
metabolisme dari jaringan sel ke organ-organ ekskresi, mengangkut hasil sekresi
kelenjar endokrin, mengangkut hormon pengatur metabolisme, mengatur
temperatur tubuh dengan mengabsorbsi dan mendistribusikan kembali panas dari
aktifitas otot-otot rangka dan jaringan lain (Philips 1976).
11
Gambar 3 Skema Pembentukan sel darah (Wikipedia 2007)
Peran darah dalam sistem sirkulasi adalah mengantarkan O2 dan berbagai
zat yang diabsorsi dari taktus gastrointestinal menuju jaringan, serta
mengembalikan CO2 ke paru dan hasil metabolisme lain menuju ginjal (Ganong,
2002). Rapaport (1987), membagi sel darah berdasarkan morfologinya menjadi
tiga bagian yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (Leukosit), dan
platelet (trombosit). Kelly (1984) membagi sel darah putih (leukosit) menjadi
dua tipe, yaitu leukosit polimorphonuklear (granulosit) dan leukosit mononuklear
(agranulosit). Volume darah total normal yang beredar kira-kira 8 % dari berat
badan, 55 % dari volume tersebut adalah plasma darah (Ganong 2002).
A. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Eritrosit adalah salah satu benda darah yang sangat penting bagi tubuh. Sel
ini berbentuk lempengan bikonkaf berdiameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2 µm
(Gambar 4), setiap sel darah merah mengandung 29 pg hemoglobin. Pada
manusia eritrosit dihasilkan dari sumsum tulang pada individu dewasa, bila pada
individu muda sel darah merah dibentuk pada hati dan limpa (Ganong 2002).
Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut hemoglobin yang
akan menangkap oksigen yang berasal dari paru-paru dan akan disebarkan ke
seluruh tubuh (Guyton 1996).
12
Gambar 4 Eritrosit (Doohan 1999).
Eritrosit berasal dari sel induk multipotensial (hemasitoblas) dalam sumsum
tulang, sel induk multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sel induk
unipotensial (proeritroblas) (Smeltzer dan Bare 2002). Pembentukan eritrosit
dirangsang oleh eritropoetin. Eritropoetin akan merangsang sel induk
multipotensial untuk berproliferasi menjadi sel-sel darah merah. Sel-sel darah
merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit yang berasal dari sumsum tulang.
Retikulosit adalah stadium akhir dari perkembangan sel darah merah yang belum
matang dan mengandung jala-jala yang terdiri dari serat-serat retikular.
Kemudian retikulosit akan menjadi sel darah merah yang matang setelah
kehilangan retikulumnya (Gambar 3) (Wilson dan Price 1995).
Jumlah normal eritrosit tikus adalah berkisar 7-10 x 106/mm3 (Malole dan
Pramono 1989). Sedangkan menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) jumlah
normal sel darah merah tikus adalah sekitar 7,2-9,6 x 106/mm3.
B. Sel Darah Putih (Leukosit)
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh yang cepat
bereaksi terhadap infeksi dan benda asing yang masuk dalah tubuh (Anonimus
2003). Leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu granuler (neutrofil,
eosinofil, dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit), dimana
pembagiannya didasarkan pada ada atau tidaknya butiran dalam sitoplasma
(Frandson 1992). Sebagian besar sel darah putih (granulosit, monosit) dibentuk di
sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limpa (limfosit) (Guyton 1996).
Leukosit mempunyai dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang
dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (Guyton 1996). Ganong
(2002) menyatakan bahwa dalam sistem fagosistosis dilakukan oleh sel fagosit
mononuklear yang terdiri dari monosit dan makrofag dan sel-sel fagosit
polimorfonuklear yang terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil.
13
Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) sel darah putih pada tikus
normal adalah sebanyak 5,0-13,0 x 103 / mm3 dengan komposisi neutrofil 9-34%,
limfosit 63-84%, eosinofil 0-6%, dan monosit 0-5%. Sementara menurut Malole
dan Pramono (1989) sel darah putih pada tikus normal adalah 6-17 x 103 / mm3
dengan komposisi neutrofil 9-34%, eosinofil 0-6%, basofil 0-1,5%, limfosit 65-
85%, dan monosit 0-5%.
1. Granulosit
Seperti namanya, granulosit merupakan sel darah putih yang mengandung
granula di dalam sitoplasmanya dan memberikan warna dengan pewarnaan eosin
(Frandson 1992). Terdapat tiga tipe granulosit yang diberi nama berdasarkan sifat
reaksinya terhadap zat warna tertentu yaitu eosinofil (bersifat asidofil dan akan
berwarna merah bila dilakukan pewarnaan eosin), basofil (bersifat basofil dan
akan berwarna ungu atau biru bila dilakukan pewarnaan eosin) dan neutrofil (tidak
bersifat asidofil maupun basofil, sehingga memberikan warna indiferen bila
dilakukan pewarnaan eosin) (Dellmann dan Brown 1992).
a. Neutrofil
Neutrofil mempunyai diameter antara 10-15 µm dan mempunyai gelambir
inti berjumlah 3-5 buah yang dihubungkan dengan kromatin. Jumlah gelambir
akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur neutrofil tersebut (Gambar 5)
(Hartono 1989). Neutrofil merupakan sel bulat yang berdiameter sekitar 12 µm
dan memiliki sitoplasma yang bergranula halus serta pada bagian tengahnya
terdapat nukleus bersegmen (Tizard 1988).
Gambar 5 Neutrofil (Doohan 1999).
Neutrofil merupakan sistem pertahanan seluler yang utama dalam tubuh
untuk melawan bakteri, protozoa, dan jamur (Dellmann dan Brown 1992).
14
Neutrofil juga membantu penyembuhan luka dan memakan sisa-sisa benda asing.
Pematangan neutrofil dalam sumsum tulang memerlukan waktu selama 2 minggu
(Tizard, 1988). Setelah memasuki aliran darah, neutrofil mengikuti sirkulasi
selama kurang lebih 6 jam, mencari organisme penyebab infeksi dan benda asing
lainnya. Neutrofil akan pindah ke dalam jaringan, menempelkan dirinya kepada
benda asing tersebut dan menghasilkan bahan racun yang membunuh dan
mencerna benda asing tersebut (Frandson 1992).
Neutrofil memiliki gerakan amuboid dan aktif dalam memfagosit
mikroorganisme serta aktif mempertahankan tubuh melawan infeksi seperti virus,
bakteri dan parasit. Sel neutrofil memiliki sejumlah besar enzim lisosom yang
berisi enzim proteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan-bahan protein asing
(Guyton 1996). Neutrofil memiliki fungsi fagositosis dan merupakan garis
pertahanan pertama, bekerja secara cepat menyerang target (Tizard 1988).
Neutrofil tertarik ke daerah invansi karena adanya berbagai faktor kemotaktik dari
sel yang rusak (Swenson 1993). Jumlah neutrofil di dalam darah dipengaruhi
oleh tingkat granulopoiesis (proses pembentukan granulosit), laju aliran sel darah
dari sumsum tulang, masa hidupnya dalam sirkulasi darah, dan laju aliran
sirkulasi darah menuju jaringan (Jain, 1993).
b. Eosinofil
Eosinofil dikenal dengan nama asidofil karena granula yang berwarna
merah di dalam sitoplasma. Sel ini memiliki jumlah yang tidak banyak
(Frandson 1992). Eosinofil memiliki jumlah sekitar 1-3 % dari total leukosit dan
akan meningkat bila terjadi reaksi alergi, shock anafilaksis, infeksi parasit dan
benda-benda asing (Ganong 2002) dan (Swenson 1993). Diameter eosinofil
berkisar antara 10-15 µm dan memiliki gelambir inti dua sampai tiga. Gelambir
inti bersifat asidofil dan berdiameter 0,5-1 µm (Gambar6) (Hartono 1989).
Eosinofil berperan dalam pengaturan infeksi parasit, mengatur respon alergi dan
inflamasi akut yang dapat memicu kerusakan jaringan, berperan dalam proses
koagulasi dan fibrinolisis, dan dapat memfagosit benda asing (bakteri, antigen-
antibodi komplek dan mikoplasma) (Hartono 1989) dan (Jain 1993).
15
Gambar 6 Eosinofil (Doohan 1999).
Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa bila tubuh terinvasi parasit.
Pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula larva cacing. Kedua, dapat
menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi
hipersensititas tipe 1 (Tizard 1988). Eosinofil dibentuk dalam sumsum tulang,
bersifat sangat motil tetapi kurang fagositik. Eosinofil mempunyai sifat amoboid
dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk mentoksifikasi protein asing yang
masuk ke dalam tubuh dan menetralisir racun yang dihasilkan oleh bakteri dan
parasit (Frandson 1992).
Jumlah eosinofil sangat sedikit bahkan tidak ada pada beberapa hewan.
Jumlahnya cenderung rendah pada saat stress, saat pelepasan kortikosteroid dan
saat terjadi infeksi akut (Jain 1993).
c. Basofil
Basofil merupakan granulosit yang berdiameter 10-12 µm, intinya
bergelambir dua dan tidak teratur (Gambar7), jumlahnya basofil sekitar 0,5-1,5 %
dari seluruh leukosit dalam aliran darah (Dellmann dan Brown 1992). Basofil
dibentuk dalam sumsum tulang. Basofil dapat membangkitkan reaksi
hipersensitifitas dengan sekresi mediator vasoaktif, sehingga dapat menyebabkan
peradangan akut pada tempat antigen berada (Tizard 1988). Pada saat terjadi
peradangan, basofil akan melepaskan histamin, bradikinin dan serotonin sehingga
menyebabkan reaksi alergi pada jaringan (Rapaport 1987).
Sel basofil memiliki daya fagositik sangat rendah atau tidak ada sama sekali
dan secara normal jumlah sel ini sangat sedikit dalam sirkulasi darah (Swenson
1993). Basofil melepaskan mediator untuk aktivitas perdarahan dan alergi
(Dellmann dan Brown 1992). Butir-butiran mengandung heparin, histamin, asam
hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik. Heparin
16
berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan histamin berfungsi untuk
menarik eosinofil (Tizard 1988).
Gambar 7 Basofil (Doohan 1999).
2. Agranulosit
Agranulosit adalah sel darah putih yang tidak memiliki granul sitoplasmik
spesifik di dalam sitoplasmanya. Terdapat dua tipe agranulosit, yaitu limfosit dan
monosit (Dellmann dan Brown 1992).
a. Limfosit
Limfosit adalah suatu jenis sel darah putih yang terlibat dalam sistem
kekebalan pada vertebrata. Ada dua kategori limfosit, limfosit besar (limfosit
yang belum matang) dan limfosit kecil. Diameter limfosit besar pada hewan
berkisar antara 12-15 µm, mempunyai inti yang besar dan pucat sedangkan
limfosit kecil berdiameter antara 6-9 µm, mempunyai inti yang besar dan
berwarna kuat (Gambar 8) (Hartono 1989). Limfosit memiliki peran penting dan
terpadu dalam sistem pertahanan tubuh. Limfosit dibentukdi sumsum tulang dan
pada saat fetus dibentuk di hati dan limpa (Jain 1993). Sebagian limfosit dibentuk
di dalam sumsum tulang dan sebagaian lagi dibentuk di dalam limphonodus,
timus, dan limfa (Ganong 2002).
Gambar 8 Limfosit (Doohan 1999).
17
Limfosit dapat menghasilkan antibodi pada saat anak-anak dan jumlah
antibodi tersebut akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Limfosit
memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi dan mempunyai nukleus yang
relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Frandson
1992).
Populasi limfosit di dalam darah meliputi tiga tipe limfosit yaitu limfosit B
(bergantung pada bursa), limfosit T (bergantung pada timus), dan non T, non-B
atau disebut limfosit null (Ganong 2002). Limfosit T dan limfosit B mempunyai
kemiripan antara satu sama lain dibawah mikroskop cahaya dan tidak mungkin
untuk membedakannya berdasarkan morfologinya. Cara untuk membedakan
antara limfosit B dan limfosit T yaitu dengan cara mengidentifikasi antigen
permukaan selnya (Tizard 1988).
Cara mengidentifikasi antigen permukaan sel adalah dengan
menginokulasikan sel timus pada suatu individu yang nantinya tubuh individu
tersebut akan membuat antibodi anti-sel T. Kemudian antibodi tersebut diberi zat
warna fluoresen. Setelah itu limfosit direndam dalam antibodi fluoresen tersebut
lalu dibilas dan dilihat di mikroskop ultraviolet. Pada saat perendaman limfosit T
akan mengikat antibodi fluoresen dan akan berbendar bila dilihat pada mikroskop
ultraviolet (Tizard 1988).
Limfosit B lebih sedikit jumlahnya, hanya sekitar 10 sampai 12 % dan
berperan pada kekebalan humoral. Limfosit T dan turunannya berperan pada
kekebalan selular dan diperkirakan berjumlah 70-75 % dari seluruh limfosit di
dalam darah (Ganong 2002). Pembentukan limfosit spesifik menjadi sel T terjadi
di dalam timus, sel B diproduksi di sumsum tulang, limpa, dan limfonoduli dan
dipengaruhi oleh interfon-Y (Jain 1993).
Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor
khusus dalam menanggapi antigen yang dibawa makrofag (Tizard 1988).
Limfosit merupakan kunci utama sistem kekebalan yang mampu melawan agen
asing. Limfosit mengahasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration
inhibitor (faktor yang mencegah perpindahan makrofag). Zat lain yang dihasilkan
oleh limfosit terstimulasi adalah faktor kemotaktik untuk makrofag, lymphocyte
transforming substance, dan faktor penyebab peradangan (Delmmann dan Brown
18
1992). Limfosit dalam darah dipengaruhi oleh jumlah produksi, resirkulasi dan
proses penghancuran limfosit (Jain 1993).
b. Monosit
Monosit merupakan leukosit agranulosit yang diproduksi oleh sumsum
tulang, memiliki jumlah antara 3-8 % dari jumlah leukosit di dalam darah
(Ganong 2002). Guyton (1996) menyatakan bahwa sel ini mempunyai jumlah
sekitar 5 % dari total leukosit di dalam darah. Monosit memiliki sitoplasma lebih
banyak dari limfosit, memiliki warna abu-abu pucat dan memiliki inti berbentuk
lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Gambar 9) (Jain 1993).
Gambar 9 Monosit (Doohan 1999).
Monosit akan masuk ke dalam jaringan dan akan berubah menjadi makrofag
(Tizard 1988). Monosit mempunyai sifat fagositik terhadap infeksi yang tidak
terlalu akut seperti tuberkulosis (Frandson 1992). Monosit bersifat motil dan
berpindah dengan pergerakan amoboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis
untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 2002)
Monosit berperan penting dalam reaksi immunologi dengan cara
membentuk protein dari suatu sistem komplemen dan mengeluarkan substansi
yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson 1993).
Kontak yang dekat antara limfosit dan monosit diaktifkan oleh limfokin dari
limfosit T (Ganong 2002). Monosit memiliki masa beredar yang singkat dalam
sirkulasi darah, dengan sedikit kemampuan melawan bahan infeksius kemudian
masuk ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag jaringan (Guyton 1996).
C. Trombosit
Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum tulang dan
berperan penting dalam hemostasis dan pembekuan darah. Trombosit berasal dari
sel multipotensial yang akan berubah menjadi megakarioblas bila terdapat
19
rangsangan trombosit (Mk-CSF [Megakaryocyte Colony Stimulating Faktor] ).
Megakarioblas ini akan berubah menjadi megakariosit. Kemudian inti
megakariosit mengalami pembelahan tetapi sel itu sendiri tidak mengalami
pembelahan (endomitosis), kemudian sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri
menjadi sejumlah trombosit (Wilson dan Price 1995) proses tersebut dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 10 Trombosit (Doohan 1999).
Trombosit mempunyai diameter 1-4 µm dan berumur kira-kira sampai 10
hari. Sekitar sepertiga trombosit tubuh berada di dalam limpa dan sisanya berada
di dalam sistem sirkulasi, berjumlah antara 150.000-400.000/mm3. Jika dilakukan
pewarnaan eosin pada ulas darah, membran sel trombosit akan berwarna biru dan
bagian granula akan berwarna ungu (Gambar 10) (Wilson dan Price 1995).
Trombosit berperan penting dalam mengontrol pendarahan. Apabila terjadi
cedera vaskuler, trombosit akan mengumpul pada tempat cedera (Smeltzer dan
Bare 2002).
Jumlah normal trombosit tikus adalah berkisar 500-1300 x 103/mm3 (Malole
dan Pramono 1989). Menurut Mangkoewidjojo dan Smith (1988) jumlah normal
trombosit tikus adalah sekitar150-450 x 103/mm3.
D. Plasma Darah
Plasma adalah bagian cairan dari darah yang banyak mengandung sekali
ion, molekul anorganik dan organik. Volume plasma normal dalam tubuh adalah
sekitar 5 % dari berat badan. Seorang pria dengan berat badan 70 kg mempunyai
kurang lebih 3500 ml plasma darah di dalam tubuhnya. Plasma akan
menggumpal bila didiamkan dan akan bertahan untuk tidak menggumpal bila
ditambahkan antikoagulan. Protein di dalam plasma terdiri dari fraksi-fraksi
albumin, globulin dan fibrinogen. Plasma darah diproduksi oleh sel-sel plasma
dan di hati. Plasma darah berfungsi sebagai pengatur osmotikdalam tubuh, faktor
20
pembekuan darah, sebagai media pembawa bahan-bahan dalam tubuh (Ganong
2002).
E. Hemoglobin
Hemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah
merah. Hemaglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin.
Heme merupakan protoporphyrin yang mengandung zat besi yang disintesis oleh
mitokondria. Globin adalah suatu polipeptida yang didapat dari pembentukan
hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (William dan
Wilking 1986) dan (Schalm 1975). Heme adalah porfirin yang mengandung besi
dan berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Polipeptida yang terkojugasi tersebut
secara kolektif disebut sebagai globulin dari molekul hemoglobulin. Ada 2
pasang polipeptida di dalam setiap molekul hemoglobin. Dua dari subunit
tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 jenis lainnya mengandung
polipeptida lain (Gambar 11) (Ganong 2002).
Gambar 11 Hemoglobin (Catherine 1997)
Beberapa penelitian dengan menggunakan isotop diketahui bahwa hema
terutama yang disintesis dari asam asetat dan glisin banyak terjadi di mitokondria
(Guyton 1996). Kandunga zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami
kerusakan akan menuju ke hati kemudian digunakan kembali untuk kebutuhan
hemoglobin baru (Ganong 2002).
F. Hematokrit
Hematokrit adalah penghitungan konstanta darah dan jumlah sel darah
merah. Meskipun hematokrit bukan pengukur volume darah yang tepat, derajat
hemokonsentrasi pada syok yang berhubungan dengan kesehatan, trauma dan
21
luka-luka bakar dapat dinilai dengan hematokrit (Mitruka dan Rawnsley 1977).
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) dipengaruhi oleh ukuran dan jumlah
eritrosit (Schalm 1975). Hematokrit atau PCV (Packed Cell Volume) adalah suatu
persentasi sel darah merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV
sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan
Sikar 1986). Hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasarkan
volume) dari darah yang terdiri dari sel-sel darah merah, total persentasi volume
darah terhadap butiran darah yang tampak pada tabung dinamakan hematokrit.
Nilai hematokrit dihitung dalam mililiter sel darah merah per 100 mililiter darah
(Frandson 1992). Hematokrit adalah perbandingan antara eritrosit dengan plasma
di dalam darah perifer. Sehingga berhubungan erat sekali bila terjadi penurunan
jumlah eritrosit maka akan diikuti oleh penurunan nilai hematokrit (Kelly !984).
Salah satu parameter utama untuk mengetahui tingkat dehidrasi pada tubuh
adalah dengan menghitung persentase plasma darah yang ada di dalam tubuh
(Naylor et al, 1993). Sehingga penghitungan nilai hematokrit dapat digunakan
dalam penentuan tingkatan dehidrasi, karena prinsip dasar penghitungan nilai
hematokrit darah adalah membandingan antara volume sel darah merah (eritrosit)
dengan plasma darah dalam 100 ml darah, (Sastradipradja et al, 1989). Pada
hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin
(Widjajakusuma dan Sikar 1986).
Hubungan eritrosit terhadap kekentalan darah adalah berbanding lurus yaitu
dengan bertambah besarnya nilai hematokrit, maka bertambah banyak pula
gesekan yang ditimbulkan antara lapisan darah. Peningkatan kekentalan darah di
dalam tubuh ditunjukan oleh terjadinya peningkatan derajat kesukaran aliran
darah melalui pembuluh darah kecil (Guyton 1996). Nilai hematokrit itu sendiri
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya anemia (Archer et al, 1977). Darah
dalam pembuluh darah kecil pada tubuh secara nyata memiliki nilai hematokrit
yang rendah jika dibandingkan dengan darah yang berasal dari jantung atau
pembuluh besar (Banks 1986).
Untuk menentukan nilai hematokrit dapat dilakukan dengan teknik
mikrohematokrit (Gambar 12) atau dengan teknik makrohematokrit (metode
Wintrobe) (Gambar 13). Perbedaan antara mikrohematokrit dan makrohematokrit
22
adalah dalam mesin pemusingannya, alat-alat yang digunakan dan jumlah darah
yang diperlukan. Prinsip penghitungan nilai hematokrit dengan metode
makrohematokrit atau mikrohematokrit adalah darah yang dicampur dengan
antikoagulan dipusing dengan alat centrifuge sehingga terbentuk lapisan-lapisan.
Lapisan yang terdiri dari butir-butir darah merah atau eritrosit diukur dan
dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah. Setelah dilakukan
pemusingan akan terlihat 3 lapisan yang dihasilkan yaitu lapisan plasma darah
yang berada pada bagian atas dan bagian bawahnya terdiri dari sel darah merah,
terdapat batasan antara lapisan plasma darah dan sel darah merah yaitu buffy coat
yaitu kumpulan sel darah putih dan trombosit (Sastradipradja et al, 1989).
Gambar 12 Mikrohematokrit (Foster dan Smith 2001)
Gambar 13 Makrohematokrit (Doohan 1999)
Pada saat pendarahan, jumlah eritrosit yang hilang berbanding lurus dengan
plasmanya sehingga nilai hematokrit pada saat pendarahan tidak berubah tetapi
setelah anemia nilai hematokrit akan menurun (Duncan dan Prase 1977).
Persentase hematokrit normal tikus adalah berkisar antara 45-48 %
(Mangkoewidjojo dan Smith 1988). Menurut Zutphen et al. (1993) serta Malole
dan Pramono (1989), kisaran normal hematokrit tikus adalah 36-48 %.
Obat Laksansia
Laksansia adalah obat yang digunakan untuk memudahkan pelintasan dan
pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Laksansia umumnya harus dihindari,
karena akan memperparah suatu kondisi (seperti pada angina) atau meningkatkan
resiko pendarahan rektal (seperti pada hemoroid). Laksansia juga bermanfaat
pada konstipasi karena obat, untuk pengeluaran parasit setelah pemberian
23
antelmentik, serta untuk membersihkan saluran cerna sebelum pembedahan dan
prosedur radiologi. Penyalahgunaan laksansia dapat menyebabkan hipokalemia
dan atonia kolon sehingga tidak berfungsi (Sanjoyo 2007). Laksansia adalah obat
yang dapat mempercepat gerakan peristaltik usus, sehingga terjadi defekasi dan
digunakan pada konstipasi yaitu keadaan susah buang air besar (Anonimus
2007c).
Berdasarkan kerjanya, laksansia dapat di kelompokkan menjadi beberapa
jenis antara lain:
1. Kelompok pembentuk massa dalam usus. Kelompok ini bekerja dengan
menyerap cairan yang ada di usus halus sehingga terbentuk massa yang
besar dalam usus. Selanjutnya dengan tekanan massa tersebut dapat terjadi
defekasi. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini adalah
metilselulosa, parafin cair dan agar-agar. Metilselulosa bila diberikan
peroral tidak akan diserap oleh usus, metilselulosa akan mengembang
menjadi gel emolien bila terkena air, sehingga dapat melunakan feses dan
membuat massa (Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).
2. Kelompok hiperosmotik. Kelompok ini bekerja dengan cara mempercepat
gerakan peristaltik usus dengan menarik air dari jaringan tubuh ke dalam
usus sehingga diperoleh tinja yang lunak. Contoh obat laksansia yang
masuk dalam kelompok ini adalah laktulosa dan garam lnggris/garam
magnesium = MgSO4, dioktil natrium sulfosuksinat (Gan et al, 1980;
Anonimus 2007c).
3. Kelompok lubrikan atau pelumas. Kelompok ini bekerja dengan cara
melindungi dinding usus, sehingga cairan dalam massa tinja tidak diserap
dan tetap lunak. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini
adalah minyak mineral dan minyak jarak (minyak kastor/Oleum ricini).
Mekanisme minyak jarak sebagai laksatif adalah dengan melumasi usus agar
pergerakan feses lebih lancar (Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).
4. Kelompok stimulan. Kelompok ini bekerja dengan cara merangsang otot-
otot usus agar kontraksi usus meningkat dan mempercepat gerak usus.
Sehingga bahan-bahan yang ada di dalam makanan tidak diserap secara
sempurna karena bahan-bahan makanan tersebut hanya sebentar melewati
24
mucosa usus. Contoh obat laksansia yang masuk dalam kelompok ini adalah
fenoftalein dan bisacodyl. Fenolftalein yang diberikan oral akan diabsorbsi
kurang lebih 15 % di usus halus. Ekskresi bersama empedu menyebabkan
fenolftalein memiliki sirkulasi enterohepatik sehingga efek dapat bertahan
lama. Kelompok ini merupakan laksansia yang cukup sering digunakan
(Gan et al, 1980; Anonimus 2007c).
5. Kelompok lain adalah Kelompok kombinasi laksansia (Gan et al, 1980;
Anonimus 2007c).
Secara umum kerja laksansia adalah mengambil air dari dalam usus dan
mencegah air untuk diserap usus agar didapatkan kondisi feses yang lunak (Gan et
al, 1980). Dengan berkurangnya penyerapan air dalam usus akan meningkatkan
konsentrasi Na+ di dalam cairan ekstraselular (hipernatremia) sehingga terjadi
pengeluaran air dari dalam sel, bila tidak dilakukan usaha rehidrasi tubuh akan
mengalami dehidrasi (Wilson dan Price 1995).
Bisacodyl
Bisacodyl adalah laksansia yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil
metan. Bisacodyl merupakan laksatif perangsang/stimulan (hidragogue
antiresorptive laxative), bisacodyl bekerja langsung pada dinding usus besar
dengan merangsang gerakan peristaltic usus besar setelah bisacodyl terhidrolisis,
sehingga meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar.
Pemberian bisacodyl peroral akan menimbulkan efek pencahar setelah 6-12 jam,
bila dilakukan pemberian secara perektal (supositoria rectal) akan memberikan
efek setelah ¼ - 1 jam. Pada pemberian oral, absorbsi bisacodyl berjumlah 5 %,
dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukoronid. Ekskresi bisacodyl juga
terjadi lewat feses (Gan et al, 1980). Bisakodyl dalam pemberian peroral pada
tikus akan mengalami hidrolisis menjadi difenol di usus bagian atas. Difenol
setelah diabsorbsi mengalami konjugasi di hati dan dinding usus. Metabolit ini
diekskresi melalui empedu, selanjutnya mengalami rehidrolisis menjadi difenol
kembali yang akan merangsang motilitas usus besar (Gan et al, 1980).
Bisacodyl digunakan untuk pasien yang menderita konstipasi, untuk
persiapan prosedur diagnostic, terapi sebelum dan sesudah operasi serta dalam
kondisi untuk mempercepat defekasi. Bisacodyl dikontraindikasikan pada pasien
25
ileus, obstruksi usus, yang baru mengalami pembedahan di daerah perut seperti
usus buntu, penyakit radang usus akut dan dehidrasi parah. Bisacodyl juga
dikontraindikasikan pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap bisacodyl
atau komponen lain dalam produk (Anonimus 2007a).
Dosis efektif yang dapat diberikan pada manusia adalah pada orang dewasa
menggunakan dosis 10-15 mg, sedangkan untuk anak-anak yang berkisar antara
umur 6-12 tahun menggunakan dosis 5-10 mg. Terdapat tablet bersalut enteral
antara 5 dan 10 mg/tablet. Efek yang diharapkan dengan dilakukannya pemberian
bisacodyl adalah terjadi kontraksi pada usus sehingga akan terjadi pengeluaran
feses (Anonimus 2007a).
Bila dosis bisacodyl terlalu tinggi, maka dapat terjadi diare, kram perut dan
berkurangnya kadar kalium serta elektrolit lainnya secara nyata. Overdosis kronis
bisacodyl dapat menyebabkan diare kronis, sakit perut, hipokalemia,
hiperaldosteronisme, dan batu ginjal, kerusakan tubulus ginjal, alkalosis
metabolik dan kelelahan otot akibat hipokalemia juga terjadi pada
penyalahgunaan laksatif kronis (Anonimus 2007a). Efek sistemik bisacodyl
belum pernah dilaporkan. Bisacodyl dapat menimbulkan perasaan terbakar pada
rektum dan menimbulkan proktitis pada penggunaan beberapa minggu (Gan et al,
1980). Tidak ada efek samping yang berbahaya selama kehamilan. Namun
demikian, seperti halnya obat lain, penggunaan bisacodyl selama kehamilan harus
sesuai dengan petunjuk medis. Belum diketahui apakah bisacodyl menembus air
susu atau tidak. Oleh karena itu penggunaan bisacodyl selama menyusui tidak
dianjurkan (Anonimus 2007a).
26
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di bagian Fisiologi, departemen Anatomi, Fisiologi
dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan yang dimulai pada bulan Januari sampai
Maret 2007.
Materi
Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan
(Rattus norvegicus) galur Wistar umur 8 minggu pada awal penelitian.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah kandang individu di dalam ruangan
(indoor). Kandang individu yang digunakan terbuat dari plastik, ditutup dengan
ram kawat dan bagian dasarnya dialasi dengan sekam padi. Alas sekam tersebut
diganti 3 hari sekali.
Pakan
Pada saat persiapan hewan coba, pakan dan air minum tikus diberikan ad
libitum. Pakan yang digunakan pada penelitian ini berupa pelet standar yang biasa
diberikan untuk pemeliharaan tikus yang sudah diatur komposisinya sehingga
didapatkan nilai nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh tikus.
Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 tablet obat
bisacodyl (5 mg/tablet) sebagai laksansia, pakan tikus dan air minum. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah mikrokapiler berheparin,
gunting, tissue, lap, sonde lambung, spuid, mikro sentrifuse, sumbat crestoseal,
mikrokapiler hematokrit reader, botol minum tikus, kandang tikus, gelas ukur 100
ml, dan gelas piala.
27
Tahap Adaptasi
Tikus diadaptasikan pada suhu ruangan percobaan yaitu pada suhu 230 C
selama satu minggu, dan diberi makan dan minum ad libitum sampai saat waktu
pengujian.
Penghitungan nilai hematokrit
Metode penghitungan hematokrit pada penelitian ini menggunakan metode
mikrokapiler hematokrit (mikrohematokrit). Pemeriksaan nilai hematokrit
dilakukan dengan cara mengambil darah dari ujung ekor tikus yang telah dipotong
secukupnya dengan menggunakan gunting, kemudian darah yang keluar diambil
dengan pipa kapiler yang berheparin, darah diambil hingga 2/3 bagian dari pipa
kapiler dan disumbat dengan crestoseal, lalu dilakukan pemusingan dengan
menggunakan mikro sentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 12000 rpm.
Kemudian dilakukan pembacaan nilai hematokrit dengan menggunakan
mikrokapiler hematokrit reader.
Pelaksanaan Penelitian
Tahap 1 : Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih jantan
Tujuan tahap ini adalah untuk melihat kisaran normal nilai hematokrit tikus
putih jantan yang digunakan sebagai kontrol. Pada penelitian tahap ini digunakan
6 ekor tikus putih jantan yang diberi makan dan minum ad libitum pada saat
penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan nilai hematokrit tikus
putih jantan setiap 1 jam selama 5 jam.
Tahap 2 : Penentuan dosis efektif bisacodyl
Tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui dosis efektif bisacodyl. Dosis
efektif yang diharapkan adalah dosis yang dapat menyebabkan tikus putih jantan
mengalami diare akut yang parah, yang ditunjukkan oleh kondisi feses yang cair
dan berlendir dengan frekuensi defekasi yang tinggi. Sebelum dilakukan
pemberian obat, tikus putih jantan diistirahatkan selama 1 minggu untuk
beradaptasi. Pada tahap ini tikus yang digunakan berjumlah 12 ekor yang dibagi
dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (6 ekor) merupakan kelompok tikus yang
diberi bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor. Kelompok ke-2 (6 ekor) merupakan
kelompok tikus yang diberi bisacodyl dosis 5 mg/ekor.
28
Penentuan dosis efektif bisacodyl dilakukan dengan membandingkan
kecepatan terjadinya diare dan efek yang ditimbulkannya serta nilai PCV tikus
putih jantan antara pemberian peroral bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5
mg/ekor pada setiap jam selama 19 jam dimulai dari awal pemberian bisacodyl.
Penentuan dosis efektif bisacodyl dilakukan dengan cara memberikan
bisacodyl sebanyak 2,5 mg/ekor pada kelompok tikus pertama dan 5 mg/ekor
pada kelompok tikus ke-2 di awal perlakuan, kemudian dilakukan pengamatan
nilai PCV dan kondisi feses tikus setiap jam selama 19 jam (Gambar 14).
Pemberian obat pada tikus putih jantan menggunakan sonde lambung. Dosis 2,5
mg/ekor dan 5 mg/ekor merupakan ¼ dosis dan ½ dosis dari dosis manusia yaitu
sebesar 10 mg untuk orang dewasa.
Cekok bisacodyl ((2,5 mg/ekor ) kelompok pertama / (5 mg/ekor) kelompok ke-2)
Jam ke
0 1 2 3 4 5 6 7 11 19
Pengukuran Nilai PCV dan Pengamatan kondisi Feses tikus
Gambar 14 Protokol Penelitian pada Tahap 2
Tahap 3 : Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi
Tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui kecepatan pemulihan kondisi
dehidrasi pada tubuh tikus setelah dilakukan usaha rehidrasi. Sebelum dilakukan
pelaksanaan penelitian, tikus putih jantan diistirahatkan selama 1 minggu. Pada
tahap perlakuan ini, digunakan 6 ekor tikus sebagai hewan coba. Pada tikus-tikus
tersebut dilakukan pemberian bisacodyl dosis efektif secara peroral. Dosis efektif
yang digunakan adalah dosis yang telah didapat pada saat penelitian penentuan
dosis efektif bisacodyl sebelumnya yaitu sebesar 5 mg/ekor. Kemudian dilakukan
pengamatan nilai PCV tikus setiap jam sampai terjadi peningkatan nilai PCV
sebesar 10 % (dehidrasi berat). Setelah tikus mengalami peningkatan PCV
sebesar 10%, diberikan air minum sebanyak 100 ml pada botol air minum (usaha
rehidrasi). Kemudian diamati jumlah air yang di konsumsi dan perubahan nilai
hematokrit setiap jam dari mulai tikus terdehidrasi sampai nilai hematokrit tikus
putih jantan kembali pada kisaran normal (32 jam atau lebih) (Gambar 15).
Pengukuran Nilai PCV dan Pengamatan kondisi Feses tikus
Jam ke
29
Cekok bisacodyl (5 mg/ekor)
Jam ke
0 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 24 32
Gambar 15 Protokol Penelitian pada Tahap 3
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati adalah nilai hematokrit tikus putih jantan tiap jam
dalam keadaan dehidrasi dan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan nilai
hematokrit tikus putih jantan hingga kembali pada kisaran normal setelah diberi
air minum secara peroral.
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan metode statistik ANOVA, Rancangan
Acak Lengkap. Nilai probabilitas (P < 0,05) diterima sebagai hasil yang berbeda
nyata. Data yang diperoleh dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Mattjik dan
Sumertajaya 1999).
Jam ke
Pengamatan Nilai PCV (nilai PCV ? 10 % diberi 100 ml air) dan Konsumsi Air Setelah
Terehidrasi (nilai PCV meningkat sebesar 10 %)
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan kisaran normal nilai hematokrit tikus putih jantan
Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah nilai hematokrit
tikus putih jantan dari jam ke-0 hingga jam ke-5 pada pemberian makan dan
minum ad libitum. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Rata-rata nilai hematokrit tikus jam ke-0 sampai jam ke-5 Jam ke- Rata-rata Nilai Hematokrit ± SD (%)
0 48.17 ± 1.60 a
1 48.00 ± 1.41 a
2 47.83 ± 0.75 a
3 47.00 ± 0.89 a
4 47.83 ± 0.98 a
5 47.17 ± 0.98 a
Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05).
Hasil penelitian menunjukan bahwa selama enam kali (5 jam percobaan)
pengambilan data PCV, tidak terlihat perbedaan yang nyata baik secara ANOVA
maupun uji lanjut Duncan (Tabel 2). Dari hasil penelitin ini juga terlihat bahwa
nilai PCV tikus putih jantan berkisar antar 47,00-48,17 %. Hal ini sesuai dengan
laporan Zutphen et al. (1993) serta (Malole dan Pramono 1989) yang menyatakan
bahwa nilai normal hematokrit tikus putih jantan berkisar antara 36-48 %.
Penentuan dosis efektif bisacodyl
Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah kecepatan
terjadinya diare dan efek yang ditimbulkannya serta nilai PCV tikus putih jantan
dengan pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dan dosis 5 mg/ekor peroral pada
setiap jam selama 19 jam dimulai dari awal pemberian bisacodyl. Kecepatan
terjadinya diare, ditetapkan dengan pengamatan secara kualitatif dengan kriteria
yang ditetapkan sebagai berikut:
1) Bila tidak terjadi diare, dalam hal ini feses yang dihasilkan masih dalam
kondisi normal, belum ditemukan kotoran di sekitar anus, diberi tanda ( - ).
31
2) Bila diare ringan, dalam hal ini kondisi feses yang dihasilkan lunak namun
masih berbentuk, telah ditemukan sedikit kotoran di sekitar anus, diberi tanda
( + ).
3) Bila diare sedang, dalam hal ini feses yang dihasilkan lunak dan sudah tidak
berbentuk, telah ditemukan kotoran yang cukup banyak di sekitar anus, diberi
tanda ( ++ ).
4) Bila diare berat, kondisi feses yang dihasilkan cair dan terdapat sedikit lendir,
telah ditemukan bercak cairan berwarna kuning dan sedikit berlendir di sekitar
anus, diberi tanda ( +++ ).
5) Bila diare parah, dalam hal ini kondisi feses yang dihasilkan cair dan terdapat
lendir yang cukup banyak, telah ditemukan lebih banyak bercak cairan
berwarna kuning dan berlendir disekitar anus, diberi tanda ( ++++ ).
6) Bila diare sangat parah, dalam hal ini feses yang dikeluarkan hanya berupa
lendir, terdapat banyak bercak lendir disekitar anus, diberi tanda ( +++++ ).
Hasil percobaan untuk melihat pengaruh bisacodyl terhadap kecepatan
terjadinya diare disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kecepatan terjadinya diare dan kondisi diare yang terjadi
Jam ke 2,5 mg/ekor 5 mg/ekor
0 - -
1 - -
2 - -
3 - -
4 + +
5 + ++
6 + +++
7 + +++
11 ++ ++++
19 ++ +++++
Keterangan : - : tidak terjadi diare + : diare ringan ++ : diare sedang +++ : diare berat ++++ : diare parah +++++: diare sangat parah
32
Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa baik pada pemberian bisacodyl
dosis 2,5 mg/ekor maupun 5 mg/ekor diare dimulai pada jam ke-4. Hal ini
menjelaskan bahwa onset bisacodyl terjadi pada jam ke-4. Pemberian bisacodyl
dosis 2,5 mg/ekor pada jam ke-5 sampai jam ke-7 masih menunjukkan tanda diare
ringan namun berbeda dengan pemberian bisacodyl 5 mg/ekor, tikus telah
menunjukkan tanda diare sedang pada jam ke-5 dan pada jam ke-6 telah terjadi
diare berat. Pada pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor tanda diare sedang baru
terlihat pada jam ke-11 dan berlanjut hingga jam ke-19. Sedangkan pada
pemberian bisacodyl dosis 5 mg/ekor, tikus telah mengalami diare berat pada jam
ke-7 dan telah terjadi diare parah pada jam ke-11 serta tikus telah mengalami diare
yang sangat parah pada jam ke-19.
Sejalan dengan terjadinya diare, maka gambaran nilai PCV juga diukur.
Gambaran pengaruh pemberian bisacodyl terhadap nilai PCV disajikan pada
Tabel 4 dan Gambar 16 di bawah ini.
Tabel 4 Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor.
Jam ke Dosis Bisacodyl
2,5 mg/ekor 5 mg/ekor
Nilai PCV (%) Perbandingan Nilai PCV Terhadap Nilai
PCV Jam Ke-0
Nilai PCV (%) Perbandingan Nilai PCV Terhadap Nilai
PCV Jam Ke-0 0 48.16 ± 1.60hgef - 48.00 ± 1.79 hgef -
1 46.83 ± 2.14hgf ? 2,74 % 49.16 ± 2.23 dgef ? 2,42 %
2 45.33 ± 1.97h ? 5,86 % 50.33 ± 1.97 de ? 4,85 %
3 46.33 ± 1.75hg ? 3,79 % 48.50 ± 2.17 dgef ? 1,04 %
4 46.86 ± 2.32hgf ? 2,69 % 50.50 ± 2.51 de ? 5,20 %
5 46.33 ± 2.34hg ? 3,79 % 51.33 ± 3.01 dc ? 6,93 %
6 47.50 ± 2.43hgef ? 1,37 % 53.50 ± 2.43 bc ? 11,45 %
7 46.83 ± 2.48hgf ? 2,74 % 54.66 ± 2.25 ba ? 13,89 %
11 48.00 ± 2.37hgef ? 0,3 % 55.33 ± 3.27 ba ? 15,25 %
19 49.66 ± 2.25def ? 3,11 % 57.00 ± 2.28 a ? 18,75 %
Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur dan baris yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05).
: ( ? ) mengalami peningkatan nilai PCV : ( ? ) mengalami penurunan nilai PCV
33
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
0 1 2 3 4 5 6 7 11 19
jam ke
%
2,5 mg/ekor
5 mg/ekor
Gambar 16 Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan setelah
pemberian bisacodyl dosis 2,5 mg/ekor dengan dosis 5 mg/ekor.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa kondisi diare dapat menyebabkan
peningkatan nilai hematokrit darah. Peningkatan nilai hematokrit setelah tikus
mengalami diare umumnya terjadi pada saat tikus mengalami kondisi diare
sedang, hal ini dikarenakan pada saat diare sedang feses menjadi lunak dan tidak
berbentuk akibat konsentrasi air di dalam feses cukup tinggi. Nilai hematokrit
semakin tinggi saat tikus mengalami diare berat hingga diare sangat parah. Hal
ini dikarenakan jumlah air yang terkandung di dalam feses semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya tingkat keparahan diare. Tingginya konsentrasi air
di dalam feses menyebabkan kandungan air di dalam tubuh berkurang yang
berakibat pada peningkatan nilai hematokrit. Suharyono (1985) mengungkapkan
bahwa bila suatu individu mengalami diare akut maka akan mengakibatkan
dehidrasi. Ganong (2002) mengatakan bahwa dehidrasi adalah suatu kondisi saat
tubuh kehilangan sejumlah cairan yang mengakibatkan konsentrasinya berkurang.
Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit dan konsentrasi sodium
plasma di dalam tubuh (Alper et al. 1982).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 %
perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-0 dengan
pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor dan 5 mg/ekor secara statistik memberikan hasil
yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) begitu pula terjadi pada jam ke-1 dan jam
ke-3. Sedangkan pada jam ke-2, jam ke-4, jam ke-5, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-
11 dan jam ke-19, hasil pengamatan menunjukkan perbandingan rata-rata nilai
34
hematokrit tikus putih jantan secara statistik memberikan hasil yang berbeda nyata
(P < 0,05) (Tabel 4).
Awal terjadinya perbedaaan yang nyata terjadi pada jam ke-2. hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada pemberian
bisacodyl 5 mg/ekor lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nilai
hematokrit tikus pada pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor di jam ke-2, tetapi pada
jam ke-3 tidak mengalami perbedaan yang nyata (Tabel 4), hal ini disebabkan
karena perbedaan yang terjadi pada jam ke-2 bukan disebabkan oleh efek
bisacodyl karena pada jam tersebut tikus putih jantan belum mengalami diare
(Tabel 3).
Perbandingan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan mengalami
perbedaan yang nyata kembali pada jam ke-4 (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada
jam ke-4 efek bisacodyl sudah terlihat, yang ditandai dengan diare (Tabel 3).
Pada jam ke-4 ini, merupakan waktu awal dari onset bisacodyl. Hal ini sesuai
dengan Wikipedia (2007), yang menyatakan bahwa diare dapat menyebabkan
dehidrasi yang parah pada individu. Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai
hematokrit dan konsentrasi sodium plasma di dalam tubuh (Alper et al. 1982).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih
jantan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor lebih menunjukan efek
yang nyata jika dibandingkan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 2,5 mg/ekor,
hal ini dibuktikan dengan cepatnya peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus
yang terjadi pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor jika dibandingkan
dengan pemberian 2,5 mg/ekor (Tabel 4 dan Gambar 16) serta efek diare yang
ditimbulkan pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor lebih parah jika
dibandingkan dengan pemberian 2,5 mg/ekor (Tabel 3). Sehingga dosis efektif
bisacodyl yang didapat pada penelitian ini adalah sebesar 5 mg/ekor.
Jika dilihat secara khusus pada pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor,
hasil pengamatan menunjukan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan seiring
dengan bertambahnya waktu mengalami peningkatan, rata-rata nilai hematokrit
tersebut secara statistik memberikan hasil yang berbeda nyata (P < 0,05).
Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dan didapatkan hasil bahwa rata-rata nilai
hematokrit pada jam ke-0 berbeda nyata dengan rata-rata nilai hematokrit pada
35
jam ke-5, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-11 dan jam ke-19, tetapi tidak berbeda nyata
dengan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3 dan jam ke-4.
Pada jam ke-19 rata-rata nilai hematokrit mengalami perbedaan yang nyata
dengan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3, jam ke-4, jam
ke-5 dan jam ke-6, tetapi tidak mengalami perbedaan yang nyata dengan rata-rata
nilai hematokrit pada jam ke-7, jam ke-8 dan jam ke-11 (Tabel 4).
Pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor menunjukan peningkatan rata-rata
nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-1 dan jam ke-2, tetapi terjadi
penurunan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-3 (Gambar
16), hal ini disebabkan karena kelompok tikus mengalami keadaan stres. Sesuai
dengan pernyataan Elizabeth et al. (2002), mengatakan bahwa stress akan
meningkatkan total glukosa dalam serum darah dan subfraksinya. Peningkatan
tersebut diakibatkan oleh terjadinya peningkatan glukokortikoid dalam tubuh pada
saat stres. Peningkatan kadar glukosa dalam darah mengakibatkan plasma darah
akan meningkat. Ganong (2002) mengatakan bahwa keadaan stres dapat
meningkatkan sekresi ACTH yang akan mengakibatkan peningkatan kadar
glukokortikoid di dalam darah. Peningkatan tersebut menyebabkan kadar glukosa
darah meningkat, karena glukokortikoid dapat merangsang peningkatan
glikoneogenesis di dalam hati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih
jantan dengan pemberian bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor pada jam ke-6 adalah
sebesar 53,50 %. Hal ini menyatakan bahwa pada jam ke-6 rata-rata nilai
hamatokrit tikus putih jantan telah meningkat kurang lebih sebesar 11,45 % jika
dibandingkan dengan jam ke-0 (Tabel 4). Peningkatan rata-rata nilai hematokrit
tikus putih jantan tersebut telah melebihi kisaran normalnya, dapat disimpulkan
bahwa kelompok tikus tersebut telah mengalami dehidrasi berat. Dehidrasi berat
adalah suatu kondisi ketika tubuh kehilangan lebih dari 10 % total cairan tubuh
(Anonimus 2007b). Hal ini sejalan dengan pernyataan Alper et al. (1982), yang
menyebutkan bahwa keadaan dehidrasi dapat meningkatkan nilai hematokrit dan
konsentrasi sodium plasma di dalam tubuh.
36
Uji coba hewan model dehidrasi dan rehidrasi
Parameter yang diamati pada penelitian tahap ini adalah nilai PCV setiap
jam dan jumlah konsumsi air setelah dilakukan usaha rehidrasi. Hasil pengamatan
terhadap gambaran nilai hematokrit tikus pada percobaaan ini dapat disajikan
pada Tabel 5 dan Gambar 17.
Tabel 5 Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian bisacodyl dosis 5 mg/ekor dan konsumsi air pada jam ke-6 sampai jam ke-32.
Jam ke Rata-rata Nilai PCV (%) ± SD
Perbandingan Nilai PCV dengan Nilai PCV Jam
ke-0
Rata-rata jumlah konsumsi air (ml)
6 51.83 ± 1.16 dc ? 7,97 % 0.00
7 52.83 ± 1.47 bac ? 10,06 % 0.00
8 53.66 ± 2.50 bac ? 11,79 % 0.00
9 54.83 ± 3.12 bac ? 14,22 % 0.00
10 55.66 ± 3.26 ba ? 15,59 % 0.00
11 56.00 ± 3.40 a ? 16,66 % 1.00
12 54.50 ± 3.14 bac ? 13,54 % 0.00
13 53.66 ± 2.42 bac ? 11, 79 % 1.00
14 52.66 ± 2.16 bc ? 9,70 % 0.00
15 49.33 ± 1.36 ed ? 2, 77 % 7.00
24 48.66 ± 1.63 e ? 1,37 % 2.66
32 47.50 ± 1.87 e ? 1,04 % 0.00
Keterangan : superscript yang berbeda pada lajur yang sama menunjukan beda nyata/signifikan (P < 0,05 ) : ( ? ) mengalami peningkatan nilai PCV : ( ? ) mengalami penurunan nilai PCV
Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah rata-rata
nilai hematokrit terhadap waktu secara statistik memberikan hasil yang berbeda
nyata (P < 0,05). Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dan didapatkan hasil
bahwa rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-6 berbeda nyata
dengan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-10, jam ke-11,
jam ke-24 dan jam ke-32 tetapi tidak berbeda nyata dengan nilai hematokrit pada
jam ke-7, jam ke-8, jam ke-9, jam ke-12, jam ke-13, jam ke-14 dan jam ke-15.
Pada jam ke-11 rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan berbeda nyata dengan
37
rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-6, jam ke-14, jam ke-15,
jam ke-24 dan jam ke-32. Sedangkan pada jam ke-32 rata-rata nilai hematokrit
tikus putih jantan mengalami perbedaan yang sangat nyata dengan jam ke-6, jam
ke-7, jam ke-8 jam ke-9, jam ke-10, jam ke-11, jam ke-12, jam ke-13 dan jam ke-
14, tetapi tidak berbeda nyata dengan jam ke-15 dan jam ke-24 (Tabel 5).
Setelah dilakukan pengamatan pada tahap penentuan dosis efektif bisacodyl,
pemberian dosis 5 mg/ekor bisacodyl membuat rata-rata nilai hematokrit tikus
putih jantan mencapai 53,50 % pada jam ke-6. Rata-rata nilai hematokrit tikus
putih jantan pada jam tersebut meningkat kurang lebih sebesar 11,45 % (Tabel 5).
Pada penelitian tahap ini ternyata pengujian uji dehidrasi pada jam ke-6 belum
menunjukkan peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan sebesar
10 % seperti yang diharapkan, pada jam tersebut nilai hematokrit baru meningkat
sebesar 7,97 % (Tabel 5).
Gambar 17 Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dengan pemberian
bisacodyl dosis 5 mg/ekor pada jam ke-6 sampai jam ke-32.
Hasil penelitian pada tahap ini menunjukan bahwa peningkatan rata-rata
nilai hematokrit tikus putih jantan sebesar 10 % ternyata terjadi pada jam ke-7.
Perbedaan hasil penelitian pada tahap ini diakibatkan oleh terjadinya stres pada
saat pengujian. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan pada jam ke-7 adalah
sebesar 52,83 %. Hal ini berarti telah terjadi peningkatan rata-rata nilai
hematokrit tikus putih jantan sebesar 10,06 % (Tabel 5) dari kisaran normalnya
yaitu sebesar 36-48 % (Zutphen et al. 1993; Malole dan Pramono 1989).
Peningkatan nilai hematokrit sebesar 10,06 % mengindikasikan adanya dehidrasi
42.00
44.00
46.00
48.00
50.00
52.00
54.00
56.00
58.00
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 24 32
Jam ke-
%
38
berat sehingga perlu dilakukan usaha rehidrasi. Usaha rehidrasi pada penelitian
ini dilakukan dengan cara pemberian air sebanyak 100 ml pada botol minuman
yang diletakan pada kandang tikus
Setelah diberi minum 100 ml air pada botol minuman yang diletakan pada
kandang tikus, terjadi peningkatan rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan dari
jam ke-8 hingga jam ke-11 (Tabel 5 dan Gambar 17). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Cunningham (2002), yang mengatakan bahwa bila terjadi dehidrasi
yang berkelanjutan dapat meningkatkan nilai hematokrit darah dan dicegah
dengan mengkonsumsi air atau cairan yang mengandung glukosa dan sodium.
Peneingkatan tersebut disebabkan oleh kondisi tubuh tikus putih jantan yang
buruk, sehingga tikus tidak mampu untuk meminum air pada botol minuman yang
telah disediakan pada jam ke-8, jam ke-9, jam ke-10 dan jam ke-11 sehingga
harus dilakukan pemberian air peroral dengan menggunakan sonde lambung.
Titik tertinggi nilai hematokrit tikus terjadi pada jam ke-11 yaitu ketika
tikus putih jantan mengalami dehidrasi yang parah, lalu mengalami penurunan
yang sangat nyata pada jam ke-12 hingga jam ke-32. Hal ini terjadi karena pada
jam ke-11 dan jam ke-13 dilakukan pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml
dengan menggunakan sonde lambung, tindakan ini dilakukan untuk mencegah
kematian pada tikus putih jantan yang telah mengalami kondisi dehidrasi yang
sudah teramat parah. Pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml pada jam ke-11
ternyata memberikan sedikit penurunan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-12,
begitu pula ketika dilakukan pemberian air secara peroral sebanyak 1 ml pada jam
ke-13, terjadi penurunan rata-rata nilai hematokrit pada jam ke-14 jam ke-15.
Cunningham (2002) mengatakan bahwa, seekor hewan yang mengalami dehidrasi
yang sangat parah dapat menyebabkan kematian. Kematian akibat dehidrasi dapat
dicegah dengan memberikan infus cairan alkali melalui vena, pemberian air
peroral dan pemberian cairan yang mengandung glukosa dan sodium melalui oral.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jam ke-32 rata-rata nilai
hematokrit tikus sebesar 47,5 % (Tabel 5). Ini berarti bahwa pada jam ke-32 rata-
rata nilai hematokrit tikus putih jantan telah kembali pada rata-rata normal yaitu
48 % dan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan nilai hematokrit tikus putih
jantan yaitu selama 21 jam. Menurut Zutphen et al. (1993) serta (Malole dan
39
pramono 1989), kisaran normal hematokrit tikus berkisar antara 36-48 %.
Menurut Okuno (1988), pemberian cairan NaCl 0,9 % atau 0,45 % pada tikus
dapat mengembalikan cairan tubuh yang hilang dalam waktu 3-3,5 jam,
sedangkan pada pemberian cairan 0,2 % NaCl pada tikus dapat mengembalikan
cairan tubuh yang hilang dalam waktu 10 jam, sedangkan pada pemberian air
dibutuhkan waktu kurang lebih 16 jam untuk dapat mengembalikan cairan tubuh
yang hilang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tikus putih jantan merupakan
hewan coba yang cocok dalam uji dehidrasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada jam ke-15 sampai jam ke-24
tikus putih jantan mengkonsumsi air serbanyak 7 ml (Tabel 6), sehingga terjadi
penurunan nilai hematokrit pada jam ke-24 (Tabel 5). Hal ini sejalan dengan
pernyataan Lecomte et al. (1981) bahwa usaha rehidrasi dapat menurunkan nilai
hematokrit darah yang dilakukan dengan pemberian air atau cairan NaCl dan
dextrose.
Pemberian NaCl dan glukosa dapat mempercepat pemulihan tubuh yang
mengalami dehidrasi, karena usus halus dan kolon sangat permeabel terhadap ion
Na+ sehingga NaCl mudah sekali diserap oleh usus halus dan kolon. Di dalam
usus halus, Na+ sangat penting untuk penyerapan glukosa, beberapa asam amino
dan zat-zat lainnya. Sebaliknya, dengan terdapatnya glukosa di dalam lumen usus
akan mempermudah penyerapan kembali Na+. Hal ini merupakan dasar fisiologis
untuk memulihkan konsentrasi Na+ dan air pada saat diare (Ganong 2002).
40
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulakan bahwa pada tikus putih jantan usia 8
minggu:
1. Rata-rata nilai hematokrit tikus putih jantan normal sebesar 47-48,17%,
pada jam ke-7 merupakan awal peningkatan nilai hematokrit sebesar 10 %
setelah diberikan bisacodyl sebanyak 5 mg/ekor dan onset bisacodyl pada
dosis 5 mg/ekor adalah 4 jam
2. Bisacodyl 5 mg/ekor adalah dosis efektif yang menimbulkan dehidrasi
dengan onset 4 jam
3. Pemberian bisacodyl 2,5 mg/ekor dapat menurunkan nilai PCV pada tikus.
4. Pemberian bisacodyl 5 mg/ekor dapat meningkatkan nilai PCV pada tikus.
5. Rata-rata nilai hematokrit mengalami peningkatan yang nyata dari jam ke-
6 sampai jam ke-11 (P<0.05), serta mengalami penurunan pada jam ke-12
sampai jam ke-32 setelah dilakukan perlakuan rehidrasi
6. Nilai hematokrit kembali pada rata-rata normal pada jam ke-32 setelah
dilakukan usaha rehidrasi pada jam ke-11.
7. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai hematokrit tikus putih
jantan adalah selama 21 jam.
Saran
Saran pada penelitian ini adalah perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut
untuk melengkapi data yang sudah di dapat pada penelitian ini. Serta perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk
memulihkan nilai hematokrit tikus putih jantan dengan menggunakan bahan lain
selain air.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alper RH, Demoresy KT, Moore KE. 1982. Changes in the rate of dopamine
synthesis in the posterior pituitary during dehydration and rehydration: relationship to plasma sodium concentrations. www.pubmed.gov. [26 September 2007]
Anonimus. 2003. Veterinary clinical Laboratory techniques. http://www.medaile.edu/vmacer/204/gdjk.htm. [12 agustus 2007]
Anonimus. 2007a. Dulcolax®. http://www.intestinopreguicoso.com.br [29 Agustus 2007]
Anonimus. 2007c. Obat Pencahar. http:// www.idionline.org/_ 05_ infodk_ obatgen10.\htm [18 Agustus 2007]
Anonimus. 2007b. Kompromi dengan Dehidrasi. http ://www.medistra.com/Artikel_Kesehatan/Dehidrasi [18 Agustus 2007]
Archer RK, Jeffcott LB, Lehman H, 1977. Comparative Clinical Haematology. London: Black Scientific Publication
Baker HJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1980. The Laboratory Rat. Volume 1. New York: Academic Press, inc
Banks WJ. 1986. Applied Veterinary Histology. USA: Williams and Wilkins
Catherine S. 1997. Tazswana’s Story. http://www.sciencecases.org/tazswana/
tazswana4.asp. [15 Oktober 2007]
Cunningham J. 2002. Veterinary Physiologi 3rd Edition. USA: W.B. Saunders Company
Dellmann HD, Brown EM, 1992. Textbook of Veterinary Histology 3rd Edition. Philadelphia: Lea and Fibiger
Doohan J. 1999. Circulatory system. http://www. biosbcc. net/ doohan/ sample/ site.htm. [15 Oktober 2007]
Duncan JR, Prase KW. 1977. Veterinary Laboratory Madicine. Ame. Lowa: Clinical Pathology. The Lowa State University Press
Elizabeth A, Bachen, Matthew F, Muldoon, Karen A M, Stephen B M. 2002. Effects of Hemoconcentration and Sympathetic Activation on Serum Lipid Responses to Brief Mental Stress. University of Pittsburgh. Pittsburgh [13 Agustus 2007]
Foster dan Smith. 2001. Complete Blood Count (CBC). www.petscorner.com.my/ articles/article-blood. [15 Oktober 2007]
42
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi ternak. Edisi Ke-4. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Gan S, Suharto B, Sjamsudin U, Setiabudy R, Setiawati A, Gan VHS. 1980. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran, 20th Edition. Diterjemahkan oleh Djauhari Widjajakusumah. Jakarta: CV EGC
Guyton AC. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (TextBook of Medical. Physiology). Edisi 7. Diterjemahkan oleh Ariata Tengadi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, ECG
Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. IPB.
Himawan S. 1983. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia
Jain NC. 1993. Essential. of Veteriner Hematology. USA: Lea and Febiger
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnostis 3rd Edition. London: Baillier Tindall
Lecomte J, Dumont L, Hill J, Souich P, Lelorier J. 1981. Effect of water deprivation and rehydration on gentamicin disposition in the rat. Journal of Applied Physiology American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics. http://jpet.aspetjournals.org/search.dtl. [27 September 2007]
Malole MBM, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor
Mangkoewidjojo S, Smith JB. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press
Martini F, Ober WC, Garrison CW, Weleh K. 1992. Fundamentals of Anatomy Pysiolog 2nd Edition. New Jersey: Prienticehall Englewood Cliffs
Mattjik AA, Sumertajaya M. 1999. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS, SPSS dan Minitab. Bogor: IPB Press
Mitruka BM, Rawnsley HM. 1977. Clinical Biochemical and Hematological Refference Values in Norma Experimental Animal. USA: Mason Publishing
Myers P, Armitage D. 2007. “Rattus Norvegicus” Animal Diversity Web. Http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rattus_norvegicus.html. [15 Oktober 2007]
43
Naylor J R, Bayly W M, Schott HC, Gollnick PD and Hodgson DR. 1993. Equine Plasma and Blood Volumes Decrease with Dehydration But Subsequently Increase with Exercise. Journal of Applied Physiology. American Physiological Society [27 September 2007]
Okuno T, Yawata T, Nose H, Morimoto T. 1988. Difference in rehydration process due to salt concentration of drinking water in rats. Journal of Applied Physiology. American Physiological Society. http://jap.physiology.org/search.dtl. [27 September 2007]
Pace B, Lynm C, Glass RM. 2001. Diarrhea and Dehydration Guidelines for Parent. www.jama.com/pdf/Preventing-Dehydration-From-Diarrhea-indonesia.pdf. Madem Inc. USA [27 September 2007]
Philips JW. 1976. Veterinary Physiology. London: Bristol Wright Scienechnia
Poole BT. 1989. the UFAW Handbook on the Care and Management of Laboratory Animals. New York: Longman scientific and technical
Rapaport SI. 1987. Introduction to Hematology. 2nd Edition. Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Robinson R. 1972. Gene Mapping in Laboratory Mammals. New York: Part B. Plenum
Sanjoyo R. 2007. Obat (Biomedik Farmakologi). http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id [18 Agustus 2007]
Sastradipradja D, Sikar SHS, Widjajakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H, Suryawinata R, Hamzah R. 1989. Fisiologi Veteriner. Bogor: Second UniVersity Development Project
Schalm OW. 1975. Veterinary Hematology 2nd Edition. Philadelphia: Lea and Febiger
Smeltzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Suharyono. 1985. Diare Akut. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Swenson MJ. 1993. Duke’s Physiology of Domestic Animal 8th Edition. London: Comstock Publishing Associates Adivision of Cornell University Press Itacha
Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press
Wagner JE, Harkness JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. Philadelphia: Lea and Febiger
44
Wallach MDJ. 1983. Interpretation of Diagnostic Test 3rd Edition. Boston: Little, Brown and Company Inc
Waspadji S, Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Gaya Baru
Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. The Handbook on The Care and Management of Laboratory Animals 6 th Edition. England: Poole TB & Robinson R. Longman Scientific & Technical. Bath Press
Widjajakusuma R, Sikar SHS. 1986. Kumpulan Kuliah Fisiologi Hewan. Ed 1. Bogor: Jurusan Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan
Wikipedia. 2007. Diare. Wikipedia Foundation Inc. http://id.wikipedia.org/wiki/ Diare. [26 Agustus 2007]
Wikipedia. 2007. Sel Ketahanan. Wikipedia Foundation Inc. http://wiki-pedia.org/wiki/Sel Ketahanan. [27 September 2007]
William JB, Wilking. 1986. Aplied Veterinary Histology 2nd Edition. Lousiana: Waferly Press, Inc
Wilson LM, Price SA. 1995. Patofisiologis, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, buku 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Xuan Z. 2007. Rattus norvegicus Promoter Database (RnPD). http://www. rulai.cshl.edu/cgi-bin/CSHLmpd/rnpd.pl. [15 Oktober 2007]
Zutphen LFMV, Baumans V, Beynen AC. 1993. Principles of Laboratory Animal Science. London: Elsevier
45
Lampiran 1 Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus Jam ke-0 sampai Jam ke-5
Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F
Model 5 6.66666667 1.33333333 1.02 0.4252 Error 30 39.33333333 1.31111111
Corrected Total
35 46.00000000
Lampiran 2 Analisa Perbandingan Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus setelah Pemberian Bisacodyl Dosis 2,5 mg/ekor dengan Dosis 5 mg/ekor
Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F
Model 19 1249.15833333 65.74517544 12.34 0.0001 Error 100 532.83333333 5.32833333
Corrected Total
119 1781.99166667
Lampiran 3 Analisa Data Rata-rata Nilai Hematokrit Tikus dengan Pemberian Bisacodyl Dosis 5 mg/ekor pada Jam ke-6 sampai Jam ke-32
Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr>F
Model 11 507.81944444 46.16540404 7.88 0.0001 Error 60 351.50000000 5.85833333
Corrected Total
71 859.31944444
top related