morbus hansen case kulkel
Post on 01-Dec-2015
68 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Case Report
Oleh :Amriansyah Pranowo ( 1102006027 )Andari Rahmani Putri ( 1102006029 )
Pembimbing : dr. M. Syafei Hamzah, Sp. KK
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD Dr. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
SEPTEMBER 2011
1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. J
Umur : 75 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Purwosari, Lampung
Pekerjaan :
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah
II. AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama : Bercak merah kehitaman pada muka, badan dan kaki
Keluhan Tambahan : kaki sering kesemutan
Riwayat penyakit sekarang :
Sejak ± 4 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam
100 – 500 rupiah, tidak terasa gatal, maupun panas dan nyeri. ± 2 bulan kemudian
pasien merasakan keluhan bertambah luas ke bagian dada dan punggung. Dirasakan
bercak kemerahan bertambah besar dan lebih besar dari uang logam.
± 2 bulan kemudian keluhan bertambah luas kewajah dan kaki disertai dengan
seringnya pasien merasakan kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, oleh karna
keluhan ini pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter di puskesmas tersebut
pasien diberi 3 macam obat minum dan 1 macam obat oles yang pasien lupa nama
obatnya.
2
± 1 bulan kemudian keluhan dirasakan pasien tidak ada perubahan malahan keluhan
baal dan kesemutan dirasakan semakin bertambah disertai benjolan benjolan pada
bercak . Setelah obat habis pasien berinisiatif untuk berobat ke RSAM.
Pasien mengatakan dilingkungannya tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Pengobatan yang pernah didapat :
Puskesmas : 2 macam obat makan dan 1 macam obat salep
Penyakit yang pernah diderita : ( - )
III. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Cukup
TD : - Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu : -
Thoraks : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
KGB : Dalam Batas Normal
Extermitas : Tidak ditemukan deformitas
Saraf perifer : Tidak ditemukan penebalan
3
IV. STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : Regio generalisata
Inspeksi : Makula eritema berukuran numular – plakat, lesinya multiple Diskret sirkumskrip
Papul berukuran milier – lentikular lesinya multiple sirkumskrip
Tes manipulasi :
Pemeriksaan saraf tepi dengan jarum dan kapas.
A. Pemeriksaan Saraf Tepi
1. N. Ulnaris
- Pembesaran saraf (-)
- Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis (+)
- Clawing kelingking dan jari manis (+)
- Atrofi hipotenar dan otot interosseous dorsalis pertama (-)
2. N. Medianus
- Pembesaran saraf (-)
- Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah (-)
- Aduksi ibu jari (-)
- Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-)
- Kontraktur ibu jari (-)
3. N. Radialis
- Anestesi dorsum manus (-)
- Tangan gantung (-)
- Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-)
4. N. Poplitea lateralis
- kaki gantung atau foot drop (-)
4
5. N. Tibialis posterior
- Anestesi pada telapak kaki (-)
- Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (+)
- Clow toes (-)
6. N. Facialis
- Lagoftalmus (-)
B. Pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit
- tes raba halus dengan ujung jari kapas halus yang sudah dilancipkan
Hipoanestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
Hipoanestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior
- Tes nyeri
Nyeri (-) pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
Nyeri (-) pada pada region cruris 1/3 distal bagian anterior
C. Pemeriksaan motorik
Dalam Batas Normal
D. Pemeriksaan komplikasi dan deformitas
Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh
V. LABORATORIUM Tidak dilakukan
VI. RESUME Pasien wanita , Ny. J, 75 tahun, sudah menikah, seorang petani Sejak ± 4 bulan
yang lalu timbul bercak kemerahan pada kaki sebesar uang logam 100 – 500 rupiah, tidak
terasa gatal, maupun panas dan nyeri. ± 2 bulan kemudian pasien merasakan keluhan
5
bertambah luas ke bagian dada dan punggung. Dirasakan bercak kemerahan bertambah
besar dan lebih besar dari uang logam.
± 2 bulan kemudian keluhan bertambah luas kewajah dan kaki disertai dengan
seringnya pasien merasakan kesemutan dan rasa baal di tangan dan kaki, oleh karna
keluhan ini pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter di puskesmas tersebut
pasien diberi 3 macam obat minum dan 1 macam obat oles yang pasien lupa nama
obatnya.
± 1 bulan kemudian keluhan dirasakan pasien tidak ada perubahan malahan
keluhan baal dan kesemutan dirasakan semakin bertambah disertai benjolan benjolan
pada bercak . Setelah obat habis pasien berinisiatif untuk berobat ke RSAM.
Status generalis dalam batas normal, status dermatologis, pada regio generalisata
makula eritema berukuran nummular sampai plakat multiple diskret generalisata
sirkumskrip, papaula berukuran milier sampai lentikular multiple sirkumskrip.
VII. DIAGNOSIS BANDING - Morbus Hansen
- Tinea versikolor
- Pitiriasis rosea
- Psoriasis
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe MB
6
IX. PENATALAKSANAAN
- Umum :
Meningkatkan kebersihan
Diet TKTP
Merawat kesehatan kulitny- Khusus
Multipel Drug Treatment (MDT)
Rifampisin 600 mg/bulan
Klofazimin (lamprene) 50 mg/hari
DDS 100 mg/hari
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan Bakteriologis
- Pemeriksaan Histopatologis
XI. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
7
DISKUSI
Pada kasus ini di diagnosis Susp. Morbus Hansen berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis. Dari anamnesis ditemukan bercak merah kehitaman tidak gatal yang pada awalnya
dikedua lengan kemudian menyebar keseluruh tubuh disertai dengan rasa baal atau
kesemutan pada kaki dan tangan. Gejala klinis morbus Hansen ditemukan pada kasus ini.
Pada gambaran klinis ditemukan macula eritema berukuran nummular sampai plakat
Multiple diskret generalisata sirkumskrip, papula berukuran milier sampai lentikular
Multiple generalisata sirkumskrip.
Pada test manipulasi ditemukan :
Rangsang nyeri (+), sensasi raba (+) dan belum ditemukannya deformitas, kekakuan otot
Dan penebalan saraf.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini menurut penulis sudah tepat dengan
Diberikannya Multi Drug Treatment (MDT) yaitu :
1. Rifampisin
2. Klofazimin (lamprene)
3. DDS (diaminodifenil sulfon)
8
TINJAUAN PUSTAKA
KUSTA
Pendahuluan
Kusta merupakan penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kushta, dikenal
sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra ada disebut – disebut dalam Kitab Injil,
terjemahan dari bahasa Herbrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit
kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,
apalagi jika dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang ini.
Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebanya ialah Mycobacterium leprae yang
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Sinonim
Lepra, morbus Hansen.
Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum
diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara
40 hari – 40 tahun.
9
Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat, ke benua, negeri dan
tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan
orang – orang Cina. Tetapi, mengapa distribusinya antar negara dan dalam suatu negara
itu sendiri berbeda – beda dan mengapa kusta itu menurun atau menghilang, belum jelas
benar.
Faktor – faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara
penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan – perubahan imunitas, dan kemungkinan – kemungkinan
adanya reservoir di luar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo
dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal – hal yang belum jelas diketahui,
sehingga masih merupakan tantang yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.
Belum ditemukannya medium artifisial, mempersukar untuk mempelajari sifat – sifat M.
leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan danya
kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak
(sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107,
daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratoris atas. Tempat implantasi
tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak – anak
lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak – anak di bawah umur
14 tahun 13 %, tetapiu anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Sekarang ada usaha
mencatat penderita yang di bawah umur 1 tahun untuk dicari kemungkinan ada tidaknya
kusta kongenital.
Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25 – 35 tahun. Faktor sosial ekonomi
kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur penyakit
kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan
dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyak terdapat di daerah tropis dan subtropis yang
panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan
10
variasi gambaran klinis (spektrum dan lain – lain) di pelbagai suku bangsa, rupanya
disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena adanya ulserasi
mutilasi, dan deformita yang disebabkannya, sehingga menimbulkan masalah sosial,
psikologis dan ekonomis. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja,
tetapi juga karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan syaraf besar
yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya
kerusakan yang berulang – ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.
Kusta terdapat dimana – mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis
dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonomua rendah. Pada tahun 1990 World
Helath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan
masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1
kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta Tahun
2000 (EKT 2000).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85 % di
sebagian negara atau wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem
kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91 % dari jumlah kasus berda di 16
negara, dan 82 % di 5 negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang,
distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.
Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alkohol, serta positif – Gram.
11
Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae ke dalam kaki mencir,
yang berkembang biak di sekita tempat suntikan. Ternyata tidak ada perbedaan spesies,
dari manapun bahan yang didapat, dari negeri manapun, dan dari macam lesi apapun.
Untuk tumbuhnya diperlukan jumlah minuman M. leprae yang disuntikkan dan kalau
melampaui jumlah maksimum tidak akan meningkatkan perkembang biakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iridiasi (900 r),
sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma –
granuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung,
kuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi,
berarti memenusi salah satu postulat Koch, meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi.
M. leprae berpredileksi di daerah – daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Sebenarnya
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang menggugah
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas
infeksinya.
Gejala Klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, baketrioskopis, dan histopatologis.
Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.
Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 – 30 menit, sedang
histapotologis memerlukan 3 – 7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan
tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 – 4 minggu. tidak cukup hanya sampai diagnosis kusta saja, tetapi
perlu ditentukan tipenya, sebab penting untuk terapinya.
12
Setelah basil M. leprae masuk ke dalam tubuh, bergantung pada kerentanan orang
tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan setelah masa
tunasnya dilampaui akan timbul gejala penyakitnya. Untuk selanjutnya tipa apa saja
yang akan terjadi bergantung pada derajat C.M.I (Cell Mediated Immunity) penderita
terhadap M. leprae yang intraseluler obligat itu. Kalau C.M.I tinggi, ke arah tuberkuloid
dan sebaliknya kalau rendah, ke arah lepromatosa.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar,
yakni tuberkuloid 100 %, merupakan tipe yang stabil jadi berarti tidak mungkin berubah
tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100 %, juga
merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedang tipe antara Ti dan
Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkulid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe – tipe campuran ini adalah tipe yang stabil, berarti dapat bebas
beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Zone spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Zone Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya
KLASIFIKASI ZONE SPEKTRUM KUSTARidley & Jopling TT BT BB BL LLMadrid Tuberkuloid Borderline LepromatosaW.H.O Pausibasiler
(PB)Multibasiler
(MB)Puskesma PB MB
Multibasiler berarti mengandung banyak basil ialah tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. Diagnosis
banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 2 dan 3.
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler.
Yang termasuk dalam multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley –
13
Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibaler adalah tipe I, TT
dan BT dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan progran pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
kulit, yaitu tipe – tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley dan Jopling. Bila pada
tipe – tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB.
Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT – MB. Hal
ini tercantum pada tabel 4.
Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan terdapat
persamaan, mungkin pula berbeda mengenai tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis
seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinisi seluruh tubuh orang
tersebut. Seringkali jangan sampai hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja,
sebab ada kemungkinan diagnosis di muka lain dengan daerah badan, lengan, tungkai,
dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya,
umpamanya di sebelah kiri lain dengan sebelah kanan. Begitu pula sama dasarnya dalam
membuat diagnosis histopatologik, bergantung pada beberapa tempat dan dari tempat
mana biopsinya diambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai
dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana,
yaitu : jarum, kapas, tabung reaksi masing – masing dengan air panas dan es, pensil tinta,
dan sebagainya.
14
Tabel 2 Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)
SifatLepromatosa
(LL)Borderline
Lepromatous (BL)Mid borderline
(BB)Lesi Bentuk Makula
infiltrat difus Papul Nosud
MakulaPlakatPapul
PlakatDome-shaped (kubah)Punched-out
Jumlah Tak TerhitungPraktis tidak ada Kulit sehat
Sukar dihitungMasih ada kulit sehat
Dapat dihitung kulit sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris AsimetrisPermukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasarBatas Tak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesia Tak ada sampai tak
jelasTak jelas Lebih jelas
BTALesi kulit Banyak (ada
globus)Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak (ada globus)
Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif negatif Biasanya negatif
15
Tabel 3 Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SifatTuberkulid
(TT)Borderline
Tuberculoid (BT)Indeterminate
(I)Lesi Bentuk Makula saja
Makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltratInfiltrat saja
Hanya makula
Jumlah SatuDapat beberapa
Beberapa atau satu dengan satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Asimetris Masih asimetris Masih asimetrisPermukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak berkilatBatas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelasAnestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTALesi kulit Negatif Negatif atau hanya
positif 1Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah, atau negatif
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.
Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting
bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bakan barangkali para ahli
kecantikan dapat mendiagnosis, setidak – tidaknya dapat menduga ke arah penyakit
kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula yang hipopigmentasi,
hiperpigmentasi dan eritematosa.
Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakt kusta dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja, atau keduanya. Haruslah berhati – hati dan buatlah diagnosis banding
denghan banyak penyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya, sebab penyakit
kusta ini mendapat julukan the greatest immitator dalam Ilmu Penyakit Kusta. Penyakit
kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatofitosis,
tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroikal, psoriasis,
16
neurofibromatosis, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukimia kutis,
tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat
dilakukan dengan menggunakan jarum suntik terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa
raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian
terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula
tidak yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan
mengenai alopesia di daerah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang pembawaan kulitnya berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesarannya, konsistensinya,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu antara lain N. Fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi
memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe – tipe ke arah LL,
biasanya kelainan sarafnya bilateral menyeluruh, sedang bagi tipe – tipe ke arah TT,
kelainan sarafnya itu lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Tabel 4. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
PB MB1. Lesi Kulit
(makula datar, papul yang meninggi, nodus)
- 1 – 5 lesi- hipopigment
asi / eritema- distribusi
tidak simetris- hilangnya
sensasi yang jelas
- > 5 lesi- distribusi lebih
simetris- hilangnya sensasi
2. Kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
- hanya satu cabang saraf
- banyak cabang saraf
17
Ada pula yang disebut kusta tipe neural murni dengan tanda sebagai berikut :
- Lesi tidak dan tidak pernah ada lesi kulit
- Ada satu atau lebih pembesaran saraf
- Ada anestesia dan atau paralisis, atrofi otot pada daerah yang disarafinya
- Bakterioskopik negatif
- Tes Mistsuda umumnya positif
- Untuk menentukan diagnosisnya sampai ke tipenya, yang biasanya tiope
tuberkulopid, borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan secara
histopatologik
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Yang primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratoris atas, tulang – tulang jari dan muka.
Yang sekunder sebagai akibat kerusakan saraf. Umumnya deformitas oleh karena
keduanya, tetapi terutama oleh yang sekunder.
Gejala – gejala kerusakan saraf :
N. fasialis :
- Lagoftalmus
N. ulnaris :
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama
N. radialis :
- Anestesia dorsum manus
- Tangan gantung (wrist drip)
- Tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis :
- Kaki gantung (foot drop)
18
N. tibialis posterior :
- Anestesia telapak kaki
- Claw toes
Apabila lebih dari satu saraf terkena, kita tinggal menggabungkan gejala – gejala
tersebut.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N.
orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendiri –
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Untuk dapat membuat diagnosis klinis sampai pada tipe – tipenya perlu diketahui terlebih
dahulu cara membuat diagnosis kedua bentuk pola TT dan LL yang akan diuraikan secara
skematis pada tabel 1.
Bentuk – bentuk campuran mempunyai sifat – sifat antara kedua bentuk polar tersebut.
Kusta Histoid
Kusta macam ini merupakan variasi lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus
relapse sensitif atau relapse resisten. Dapat juga timbul pada yang belum dan yang
sedang dalam pengobatan.
19
Pembantu Diagnosis
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEEL – SEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.
Pertama – tama kita harus memilih tempat – tempat di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempay yang akan
diambil. Soal jumlah ini juga ditentukan oleh tujuannya, untuk riset atau rutin.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat, yaitu kedua kuping telinga bagian bawah dan 2 – 4 tempat lain yang paling
aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas
dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.
Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
kemudian di tempat yang sama pada pengamatan pengobartan untuk dibandingkan
hasilnya.
Cara pengambilan bahwa dengan menggunakan skalpel steril. Setelah tempat
tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat tersebut, dengan jalan dipijit,
menjadi iskemik agar kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang
akan menggangu gambaran sediaa. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak
mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M. leprae.
Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai
dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewaraan ini dapat
digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara – cara lain dengan segala kelebihan dan
kekurangannya disesuaikan dengan keadaan setempat.
20
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan paling
pagi yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh (discharge)
tersebut, apakah cair seours bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau
tidal. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke
laboratorium. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi
harus pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel
kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari serah
septumnasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Umumnya sediaan kulit lebih rutin
daripada sediaan mukosa hidung oleh karena pada sediaan mukosa hidung :
- Kemungkinan adanya mikrobakteria atipikal
- M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang tubuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk
mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non solid,
berarti membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup
itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke
orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan non solid oleh karena
dipengaruhi oleh banyak macam faktor.
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi sediaan,
perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakannya, yang melihat dan yang
menginterprestasikan sediaan, akan menentukan mutu hasil bakterioskopik.
Meskipun sudah ada ketetuan, patokan – patokan solid dan nonsolid, interpretasi
yang melihat itulah yang dapat menimbulkan perbedaan. Andaikata ada satu sediaan
dilihat oleh dua atau beberapa orang, besar kemungkinan akan memberikan hasil
yang berbeda antara satu dengan yang lain, sampai – sampai ada suatu institut yang
terkenal dan termasuk yang tertua di dunia tidak berani membedakan antara solid dan
non solid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra yang paling menonjol pada saat
21
ini yaitu SHEPARD dan RESS. Mereka selalu ada perbedaan interprestasi,
perbedaan hasil pengamatan sediaan yang sama antara solid dan nonsolid.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6 + menurut
RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandangan (LP)
1 + bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2 + bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3 + bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4 + bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5 + bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
6 + bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Semuanya dilihat dengan mikroskop cahaya dengan minyak emersi. IB seseorang
adalah IB rata – rata semua emusi yang dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.
Rumus
Syarat – perhitungan IM :
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
- Mulai dari IB 3 + ke atas harus dicari IM nya, sebab dengan IB 3 + hanya
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
22
Contoh perhitungan IB dan IM
Tempat Pengambilan
IB Solid Nonsolid IM
Telinga kiri 4 + 9 91 9 %Telinga kanan
3 + 8 92 8 %
Ujung jari tangan kiri
1 + - 5 -
Ujung jari tangan kanan
2 + 1 22 1/23
Lesi I 3 + 7 93 7 %Lesi II 5 + 8 92 8 %
18 33 395
Ada pendapat, bahwa jika semua BTA kurang dari 100, dapat pula dibuat IM nya,
tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil
atau diperbesar. Sebagai contoh umpanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4 :
48.
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan pengamatan sediaan antara
orang – orang selaboratorium, antar laboratorium, nasional maupun internasional.
Pada tindak lanjut penderita secara bakterioskopik sebaiknya dilakukan oleh
laboratorium dan orang – orang yang sama pula, agar keobyektifannya dapat
dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat
sulit, bahkan ada yang berpendapat tidak mungkin.
2. Pemeriksaan Histopatolok
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel
23
glia dari otak, dan yang dari kulit yang disebut histiosit. Salah satu tugas makrofas
adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan
bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS nya tinggi
makrofag akan mampu memfagositosis M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman itu oleh karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag itu akan
berubah bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak lagi dan akan dapat
berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya masa epitoloid yang berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat. Bagi yang SIS nya rendah atau lumpuh, histiosit
bukannya menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebar luasan.
Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat – derivatnya. Gambaran
histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan sarag yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Bagi lempromatosa terdapat
kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah langsung
dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel virchow dengan banyak
basil. Bagi tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Agar lebih jelas
lihat tabel 5 di bawah ini.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi, dan
klasifikasi masih bermacam – macam. Mengenai pstofidiologinya yang belum jelas itu
akan diterangkan secara imunologik.
Reaksi imun itu dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reasksi
imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klarifikasi yang
beramacam-macam itu, kita mengambil yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir
akhir ini, yaitu :
24
- E.N.L. (eriterma nodususm leprosum)
- Reaksi reserval atau reaksi upgrading
E.N.L. terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L.
Tabel 5. Karakteristik Berbagai Tipe Kusta Menurut Klasifikasi Ridley-Jopoling
TipeTT
BT BB BLLL
TT Ti Li LLReaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -Stabilitas imunologik ++ + - + ++Reaksi Borderline - + ++ + -E.N.L - - - - - + +Basil dalam hidung - - - - + ++ ++Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1+-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+Sel epiteloid + + + + - - -Sel datia Langhans +++ ++ + - - - -Globi - - - - - + +Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++Limfosit +++ +++ ++ + + +/ Infiltrasi zone sub epidermal + + +/- - - - -Kerusakan saraf ++ +++ ++ + + -
Imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomen kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen kompleks
imun, tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi Arthus, tetapi sebenarnya E.N.L tetap
merupakan fenomen unik, tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan penyakit lain.
Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka E.N.L termasuk di dalam golongan
penyakit kompleks imun. Oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik,
maka dapat dibentuk antibodinya. Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta
lebih tinggi daripada orang sehat dan kadar pada tipe lepromatosa jumlah basilnya jauh
lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan
tahun kedua.
Pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengaktifkan sistem komplemen
25
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut harus beredar dalam sirkulasi darah
yang akhirnya dapat menyangkut dalam berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai mata akan menimbulkan gejala
iridoksiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kalenjar getah bening gejala
limfadenitis, pada sendi gejala artritis, pada testis gejala orkitis dan pada ginjal
menimbulkan gejala nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L dapat disertai
gejala kosntitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada E.N.L tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan
reaksi revversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)
sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam halini
adalah SIS, yaitu oleh karena peningkatan mendadak SiS. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Adanya reaksi peradangan pada tempat – tempat yang
ada M. leprae, yaitu pada saraf (neuritis) dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6
bulan pertama. Neuritis akut tersebut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah
diterangkan terdahulu, bahwa yang menentukan tipe penyakitnya adalah SIS. Tipe – tipe
yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT dan LL dengan mengikuti
naik turunnya SIS sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu
pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS,
hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi lepra, akhir – akhir ini sudah hampir tidak
terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran ke arah LL
masih tetap berlaku, berarti bergerak tidak secara reaksi, tidak secara cepat, tetapi lambat
saja.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagaian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi bari dalam waktu yang relatif singkat, artinya lesi
26
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut
penting diperhatikan, oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan dengan
kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah
fakultatif.
Kalau kita perhatikan kembali kedua macam reaksi E.N.L dan reversal itu dari segi lesi,
E.N.L dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, barangkali tidak ada
salahnya kalau E.N.L disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah
reaksi non-nodular. Hal ini barangkali penting membantu menegakkan diagnosa reaksi
atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus, kalau ada berarti nodular atau E.N.L, jika
tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.
Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
sulfon) lalu Klofazimin dan Rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada tahun
1952 di Indonesia. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL dan
Rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika
lain untuk pengobatan alternatif, yaitu Okfloksasin, Minosiklin dan Klaritromisin.
Berbeda dengan pengobatan tuberkulosis, yang sudah lebih dahulu dan telah
melaksanakan tindakan untuk mencegah kemungkinan timbulnya resistensi dengan jalan
pengobatan kombinasi atau Multi Drug Treatment (MDT), yaitu sejak 1951. MDT
pada kusta baru dimulai pada tahun 1971 yang berarti MDT kusta telah tertinggal 20
tahun dari MDT tuberkulosis.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang kita laksanakan di Indonesia
sesuai dengan rekomendasi WHO dengan alternatifnya sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, oleh karena DDS ini
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan para penderita yang ada di negara berkembang yang sosial ekonominya rendah.
27
DDS
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan secara monoterapi.
Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam telapak
kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya
resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian
adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian –
pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta
ialah dari monoterapi ke MDT.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan,yaitu relaps sensitif
(persistent) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara klinis, bakterioskopik,
histopatologik dapat dinyatakan, penyakit sekonyong – konyong aktif kembali dengan
timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi, ternyata bahwa M. leprae
masih sensitif terhadap DDS dengan pembuktian secara pengobatan dan inokulasi
mencit. M. leprae yang tadinya dorman, sleeping atau persistent bangun dan aktif
kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil yang dorman itu sukar dihancurkan dengan
obat atau MDT apapun.
Pada relaps resisten dengan gejala klinis, bakterioskopik dan histopatologik yang khas,
dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi mencit, bahwa M. leprae
resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan
DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis,
bakterioskopik dan histapatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, pembuktian yang
paling menentukan adalah inokulasi mencit, sekaligus menentukan gradasi resistensinya
dari yang rendah, sedang sampai yang tinggi. Inokulasi mencit di Indonesia, baru dapat
dilaksanakan pada tahun 1980 di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.
Resistensi terhadap DDS ada yang sekunder dan ada yang primer. Resistensi sekunder
terjadi oleh karena :
Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Memakan obat tidak teratur
28
Pengobatan terlalu lama,setelah 4 – 24 tahun
Hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS
penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.
Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten yang
manifestasinya dapat dalam segala tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada SIS
penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang
lebih tinggi, sedang pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk :
Mencegah dan mengobati resistensi
Memperpendek masa pengobatan
Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :
Efek terapeutik obat
Efek samping obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya
Kalau kombinasinya terlalu kompleks, terlalu mahal, tidak dapat dilaksanakan dan
sebaliknya jika kombinasinya terlalu sederhana dan terlalu murah, akan mengundang
resistensi baru. Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah
dengan obat - obat lain. Dosis DDS ialah 1 – 2 mg/kg berat badan setiap hari.
Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hermolitik, leukopenia, insomnia, neoripatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal
toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salag satu komponen kombinasi dengan DDS
dengan dosis 10 mg/kg berat badan ; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
29
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat
kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., LEIKER dan KAM. Resistensi pertama terhadap
M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh JACOBSON dan HASTINGS.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit.
Klofazimin (Lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan
HOOGERZEIL. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada
satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera,
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin ialah at warna dan
tertimbun di tempat tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi
dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, nausea, diare,
anoreksi dan vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga
tertimbun di hati. Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan.
Protionamid / Etionamid
Dosisnya 5 – 10 mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang
dipakai.
Mengenai beberapa sifat lebih lanjut obat – obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 10-6.
Oleh karena distribusi klofazimin dalam jaringan tidak merata MIC nya sukar dicari.
Tabel 10-6. MIC Berbagai Obat Antilepra
30
ObatMIC
Ug/mlDosisMg
Rasio Serum Puncak MIC
Lamanya Konsentrasi Serum
Lampaui MIC (Hari)
Aktivitas Bakterisidal
Rifampisin 0.3 600 30 1 +++DDS 0.003 100 500 10 +Acedapson 0.003 225 15 200 -Etionamid 0.05 375 60 1 ++Protionamid 0.05 375 460 1 ++Klofazimin - 50/100 - - +
Obat Alternatif
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
leprae in viro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam
22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek
sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizzines, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak
membutuhkan penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus secara hati-hati, karena
pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tertrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit
dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama
kehamilan.
31
Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotika makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa dosis harian 500 mg membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari, lebih dari
99,99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti
sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
MDT dengan beberapa alternatifnya telah ditetapkan pada Rapat Konsultasi Kusta
Nasional (RKKN) yang kiranya sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia.
1. MBT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah
:
- Rifampisin 600 mg setiap bulan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin : 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari atau 3 x 100
setiap Minggu
Kombianasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis
harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan
sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara
klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta multibasilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal
ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas,
jika dibandingkan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10
tahun sampai seumur hidup.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Trearment (RFT). Setelah
RFT dilakukan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
32
2. MDT untuk pausibasiliar (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT
setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan
minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak
ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan
RFC.
Pada tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFT dan RFC, tetapi
penderita dinyatakan sembuh, apabila kasus MB telah mendapat 24 dosis dalam 24 –
36 bulan dan kasus PB telah mendapat 6 dosis dalam 6 – 9 bulan.
Karena fasilitas pemeriksaan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan hasilnya
seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan gambaran
klinisnya. Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada umumnya
berdasarkan jumlah lesi, terutama lesi kulit, dan jumlah daerah tubuh yang terkena.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan
lesi 2-5 buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah (lihat tabel 10-
4).
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12 – 18
bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2 – 5 buah tetap 6
dosis dalam 6 – 9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah
Rifampisin 600 mg ditambah dengan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena pelbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg / 500 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari
33
selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau
minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama
24 bulan.
Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison.
Dosinya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi
pemakaian kortikosteroid. Kalau perlu dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan
sedativa atau penderita dirawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap
kortikosteroid, yang artinya bahwa E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan
atau diturunkan pada dosis tertentu, jadi penderita ini harus makan kortikosteroid terus-
menerus.
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus
berhati-hati oleh karena obat ini teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang
hamil atau masa subur. Sayang di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak
diproduksi lagi.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-E.N.L., tetapi
dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat
makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat
daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan
perbaikan E.N.L. keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk
melepaskan dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak
dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah
kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi, untung masih bersifat reversibel, meskipun
34
menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak
begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan E.N.L. ini, obat-obat antikusta yang sedang
diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.
Pengobatan Reaksi Reversal
Perlu diperhatikan, apabila reaksi ini disertai neuritis akut atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neurits, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 15-
30 mg sehari, kemudian diturunkan dosisnya perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-
cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara mendadak. Ketergantungan kortikosteroid tidak terdapat. Anggota gerak yang
terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat
diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau
tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomid tidak efektif teradap reaksi reversal.
Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT berada dalam
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta,
terutama reaksi reversal, penderita dengan lesi kulit multipel dan penderita dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas atau kekuatan otot.
Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan
otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak nyeri, lepuh kulit atau hanya
berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan sukarnya
melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen
atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus
diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan,
sebab pengobatan ini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi
berkanjut.
35
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dengan pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda yang tajam atau hangat, dan memakai kacamata untuk melindungi
matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah.
Who Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical
Report Series No. 607 – 1977 telah membuat kalsifikasi cacat bagi penderita kusta. Hal
ini terlihat pada tabel 7.
36
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk cacat tubuhnya ialah antara lain medis,
yaitu dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Jalan lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa harga dirinya. Jalan
lain lagi ialah melalui kejiwaan.
Tabel 7. Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat
Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas
37
Cacat pada mata
Tingkat 0 : Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta : tidak ada gangguan
penglihatan
Tingkat 1 : Ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung
jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2 : Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60 ; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
38
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta
Depkes RI. 1999a. Indonesia Sehat 2010. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI, 2002b. Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit Pelayanan Kesehata. Dit. Jen PPM & PL. Jakarta.
Depkes RI , 2002c. Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. Jen PPM & PLP. Jakarta.
Depkes RI , 2005d. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta..
Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara , 2008. Laporan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara. Buranga.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2008. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Hasibuan. T,W.A. Kadri. Epidemiologi Kusta dan Program Pemberantasan Penyakit Kusta ; Berita Epidemiologi “Buletin Epidemiological” Edisi Mei 1990, Ditjen. Jakarta.
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul, H. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.
Nasri, N. 1997a. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.
Nasri, N. 2000b. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.
Ngatimin, Rusli. 2002. Diktat Kuliah Ilmu Perilaku Kesehatan. Yayasan PK3. Makasar.Notoatmodjo,S.a, 1989. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan. CV.
Rajawali. Jakarta.
Notoatmodjo,S.b, 1993. Pengantar Pendidikan dan Imu Perilaku Kesehatan. Andi Offset. Yogyakarta.
39
40
top related