makalah stroke iskemik
Post on 14-Jul-2016
37 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Diagnosis dan Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik et Causa Thrombus
Yesica
NIM : 102013185
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
e-mail: yesica.ichaa@gmail.com
Pendahuluan
Globalisasi dan modernisasi meningkatkan kejadian risiko stroke, hal ini dikarenakan
gaya hidup sedentari. Meningkatnya usia harapan hidup juga meningkatkan risiko terjadinya
stroke karena bertambahnya penduduk usia lanjut. Penanganan stroke memerlukan pelbagai
pengorbanan baik dari aspek moril maupun materi dari setiap keluarga yang menghadapi
masalah ini. Upaya pencegahan berupa penanganan pra hospital perlu ditekankan. Stroke
menyerang usia produktif dan usia tua dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
nasional dikemudian hari. Untuk itu diagnosis dan penatalaksanaan pasien stroke yang tepat dan
komprehensif diperlukan untuk meningkatkan aspek kesehatan masyarakat.
Anamnesis
Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara dokter dengan pasien untuk mencari
keterangan tentang penyakitnya. Beberapa pertanyaan yang akan diajukan saat anamnesis adalah
nama, umur, alamat, agama, suku, dan riwayat kesehatan keluarga. Pada pasien ini dilakukan
autoanamnesis dan alloanamnesis oleh karena pasien tidak memiliki kapabilitas untuk berbicara,
sehingga mungkin memerlukan bantuan keluarga atau care giver untuk memberikan keterangan.
Keluhan pasien adalah kelemahan pada anggota gerak kiri dan bicara pelo sejak bangun tidur.
Dari anamnesis lebih lanjut ditemukan pasien masih dapat mengangkat tangan kanan nya dan
memegang gelas, tetapi tidak dapat berdiri. Adanya muntah dan nyeri kepala disangkal.
Secara umum ditanyakan riwayat penyakit terdahulu disertai dengan onset, yang dapat
meningkatkan faktor risiko kejadian stroke seperti; hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung
koroner, atrial fibrilasi, penyakit arteri perifer, sickle cell anemia dan alergi terhadap obat-obatan
tertentu. Melalui anamnesis ditemukan pasien memiliki hipertensi sejak tujuh tahun yang lalu.
Ditanyakan juga riwayat sosial pasien seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, diet,
aktivitas fisik dan rutinitas olahraga. Perlu ditanyakan juga apakah pasien telah meminum obat
untuk mengatasi penyakit atau gejala.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan kesadaranya
kompos mentis. Pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 190/110 mmHg, heart
rate 84x/ menit, dan suhu 36,5oC. Pemeriksaan fisik thoraks, abdomen, dan ekstremitas dalam
batas normal. Pemeriksaan yang terkait dengan gejala pasien adalah pemeriksaan neurologis.1
Pemeriksaan neurologis dimulai dari pemeriksaan kesadaran dilakukan dengan melihat
ransang pupil kanan dan kiri dengan disinari cahaya, normalnya kedua pupil berukuran 3mm dan
akan mengecil saat disinari cahaya. Pada pasien ditemukan kedua pupil isokor dengan refleks
cahaya langsung dan tidak langsung normal. Untuk melihat apakah terdapat lesi pada batang otak
dapat dilakukan pemeriksaan doll’s eye maneuver (membaringkan pasien kemudian
memiringkan kepala ke kanan atau kiri, normalnya pupil akan bergerak melawan arah) atau
okulovestibuler test (memasukkan air dingin atau hangat kedalam telinga pasien, maka pasien
akan melirik kearah telinga yang di masukkan air).
Pemeriksaan yang selanjutnya dilakukan adalah ransangan meningeal, pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan kaku kuduk, brudzinski, lasegue’s sign, dan kernig’s sign.
Pada pemeriksaan kaku kuduk pasien dibaringkan kemudian diminta untuk menundukan
kepalanya. Apabila terdapat nyeri maka ransang meningeal positif. Pemeriksaan brudzinski
pasien dibaringkan kemudian diminta untuk menundukan kepalanya apabila pasien
memfleksikan femur maka ransang meningeal positif. Pemeriksaan lasegue’s sign pasien
dibaringkan kemudian diminta untuk memfleksikan panggulnya, apabila pasien tidak bisa
meluruskan femur nya maka (<135o) maka ransang meningeal positif.
Kemudian dilakukan pemeriksaan dua belas saraf kranialis. Saraf pertama (olfaktorius)
diperiksan dengan memberikan ransangan bau seperti bau-bauan (jeruk, kopi, amoniak hati-hati
dapat menimbulkan bersin). Normal nya pasien dapat membaui bau-bauan tersebut, pemeriksaan
ini jarang dilakukan dan dilakukan apabila ada curiga trauma kapitis atau tumor pada lobus
frontalis. Saraf kedua (optikus) diperiksa dengan cara konfrontasi, melihat ketajaman penglihatan
pasien. Penilaian dilakukan dengan kemampuan pasien melihat jari atau tangan pada jarak
tertentu. Apabila pasien bisa melihat jari pemeriksa pada jarak 6 meter maka hasilnya adalah
6/60. Apabila pasien bisa melihat tangan pemeriksa pada jaran 6 meter maka hasilnya adalah
6/300. Jika pasien hanya bisa melihat cahaya maka hasilnya adalah 1/~. Jika pasien tidak bisa
melihat cahaya maka hasilnya adalah 0.
Saraf ketiga (okulomotor), keempat (troklearis), dan keenam (abducens) diperiksa
dengan meminta pasien untuk mengikuti jari pemeriksa yang membentuk huruf “H” didepan
pasien. Pemeriksaan lain yang berhubungan dengan ketiga saraf ini adalah dengan menyinari
mata kanan dan melihat miosis pada mata kanan (langsung) dan mata kiri (konsensual), normal
nya pada saat disinari satu mata keduanya akan miosis. Saraf kelima (trigeminal) diperiksa
secara sensorik maupun motorik, pasien diberikan ransangan pada wajah dengan kapas halus dan
jarum, apabila terasa maka sensibilitas wajah normal. Pemeriksaan sensorik lainya adalah refleks
kornea dengan menyentuhkan kapas pada kelopak mata, normal akan timbul refleks menutup
mata. Pemeriksaan motorik dengan jaw jerk refleks melihat refleks mandibular saat diberikan
ransangan.1
Saraf ketujuh (facialis) diperiksa dengan meminta pasien untuk mengangkat alis,
mengerutkan dahi, memejamkan mata, menyeringai, mencucukan bibir, dan menggembungkan
pipi. Normalnya pasien dapat mengikuti permintaan pemeriksaan. Apabila terdapat lesi sentral
saraf facialis maka terdapat kelumpuhan pada wajah bagian bawah di mana disekitar mata dan
dahi tidak ada kelumpuhan, lesi sentral biasanya ditemukan pada stroke. Apabila terdapat lesi
perifer maka semua gerakan otot wajah lumpuh, lesi perifer biasanya ditemukan pada Bell’s
palsy. Pada pasien ini ditemukan adanya parese saraf facialis dekstra sentral. Saraf kedelapan
(vestibulochoclear) diperiksan dengan tes pendengaran rinne, weber, dan schwabach dengan
garpu tala 560Hz. Normal nya ketiga tes dalam batas normal.1
Saraf kesembilan (glossofaringeal) dan sepuluh (vagus) diperiksa dengan meminta pasien
untuk menyebutkan huruf vocal, untuk memeriksa adakah disfonia atau afonia, dan ada tidak nya
gangguan artikulasi (disartria). Pemeriksaan lainya adalah gag reflex dengan menyentuh dinding
uvula pasien. Normalnya uvula akan naik sebagai jawaban atas ransangan. Saraf kesebelas
(accessorius) diperiksa dengan meminta pasien untuk menoleh ke kanan dan kiri dan
mengangkat bahu, normal apabila pasien dapat mengikuti gerakan yang diminta oleh pemeriksa.
Saraf keduabelas (hipoglossus) diperiksa dengan melihat pada lidah pasien, apabila terdapat
fasikulasi dan atrofi dextra maka terdapat lesi perifer dekstra. Apabila terdapat deviasi pada saat
menjulurkan lidah maka terdapat lesi sentral dekstra. Pada pasien ditemukan terdapat parese
saraf hipoglossus dekstra sentral.1
Pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan motorik, pada pemeriksaan ini dilakukan
dengan inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif, dan gerakan aktif. Pada inspeksi yang
dilihat adalah sikap, bentuk, ukuran, dan gerakan abnormal. Palpasi digunakan untuk melihat ada
tidaknya atrofi, hipotrofi, ataupun hipertrofi pada otot serta keadaan tonus otot. Pemeriksaan
gerak pasif berfungsi untuk melihat apakah terdapat rigidity, dan cogwheel phenomena. Pada
pasien pemeriksaan motorik, ekstremitas kanan dalam batas normal, sementara itu pada
ekstremitas kiri pergerakan pasien tertinggal dan melemah, motorik ekstremitas kiri bawah lebih
lemah daripada ekstremitas kiri atas. Refleks fisiologis kaki dan tangan kiri meningkat, disertai
dengan peningkatan tonus. Refleks patologis ekstremitas kiri positif.
Pada pemeriksaan motorik apabila pasien bisa mengimbangi tahanan pemeriksa maka
nilainya adalah 5. Apabila pasien bisa melawan tahanan ringan maka nilainya adalah 4. Apabila
pasien bisa melawan gravitasi, tetapi tidak mampu menahan tahanan ringan maka nilainya adalah
3. Apabila pasien tidak kuat melawan gravitasi namun dapat menggeser maka nilainya adalah 2.
Apabila pasien ada sedikit kontraksi otot maka nilainya adalah 1. Apabila tidak ada kontraksi
sama sekali maka nilainya adalah 1.
Pemeriksaan fisik yang selanjutnya adalah pemeriksaan sensorik, pemeriksaan sensorik
terbagi atas pemeriksaan protopatik dan pemeriksaan propioseptik. Pemeriksaan protopatik
meliputi nyeri, tekan superfisial, suhu, dan raba. Pemeriksaan propioseptik meliputi tekan, getar,
posisi, dan nyeri dalam. Pemeriksaan sensorik dilakukan pada berkas-berkas saraf (dermatom)
berdasarkan masalah, sebagai contoh; kanan banding kiri, radikuler, distribusi saraf, dan distal
banding proksimal. Untuk nyeri superfisial digunakan jarum sebagai alat pemeriksaan. Kapas
digunakan sebagai ransang raba, botol air panas atau dingin atau logam dapat digunakan sebagai
ransang suhu. Garpu tala 128Hz digunakan sebagai alat pemeriksaan getar. Untuk pemeriksaan
diskriminatif dapat digunakan jangka sebagai alat pemeriksaan. Pada pasien pemeriksaan
sensorik dalam batas normal apabila tidak ada anestesia (tidak ada ransang sama sekali),
hipestesia (ransangan berkurang), hiperstesia (ransangan bertambah), parastesia (ransangan
berubah seperti kesemutan), dan analgesia (ransangan berkurang).
Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan gejala gangguan neurologis dan diagnosis kerja nya mengarah pada stroke
dilakukan pemeriksaan penunujang untuk menegakan diagnosis pasti yaitu; darah perifer lengkap
(complete blood count), radiologi, EKG, dan echocardiogram. Untuk pemeriksaan faktor risiko
stroke dapat dilakukan pemeriksaan glukosa puasa dan glukosa dua jam post prandial, A1C,
profil lemak, protein C dan protein S, homosistein, anti-phospholipid antibodies syndrome,
activated partial thromboplastin time (APTT), prothrombin time (PT), dan antithrombin III.2,3
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap ditemukan; Hb 14gr/dL, leukosit 7800/μL,
hematokrit 38%, trombosit 250.000/μL. Pada foto polos thoraks terdapat kesan kardiomegali,
sementara itu pada gambaran CT-scan terlihat lesi hipodens di korteks cerebri kanan. Pada
pemeriksaan EKG pasien dalam batas normal. Echocardiogram digunakan untuk melihat apabila
terdapat curiga adanya kardioemboli. Pemeriksaaan definitive dari stroke adalah dengan CT-scan
atau MRI otak, pemeriksaan ini sangat berguna untuk membedakan penyebab dari stroke
(hemoragik atau non-hemoragik) juga menentukan lokasi lesi pada otak.
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada penderita stroke, hal ini dikarenakan kebanyakan
pasien dengan stroke juga memiliki penyakit jantung koroner. Pemeriksaan EKG membantu
pemeriksa dalam diagnosis dan penatalaksanaan gangguan jantung. Selain itu EKG juga dapat
digunakan untuk melihat apakah terdapat aritmia jantung. Pemeriksaan echocardiogram
berfungsi untuk mendeteksi adanya emboli yang berasal dari aorta. Atrium fibrilasi adalah
kondisi yang menimbulkan risiko tinggi untuk terjadinya pembekuan darah dan stroke iskemia.
Pada beberapa pasien gambaran atrium fibrilasi tidak terlihat pada pemeriksaan EKG, tetapi
dapat terlihat pada pemeriksaan echocardiogram.2
Pemeriksaan faktor risiko stroke digunakan sebagai deteksi awal penyakit stroke.
Sindroma metabolik dapat menyebabkan kejadian stroke melalui peningkatan sitokin pro-
inflamatori. Inflamasi pada pembuluh darah dapat meningkatkan artherosklerosis dan kejadian
kardiovaskuler, salah satunya adalah stroke. Tekanan darah tinggi adalah komponen sindroma
metabolik yang dapat dipantau melalui pemeriksaan fisik, sementara resistensi insulin dan
dyslipidemia adalah komponen sindroma metabolic yang dapat dipantau melalui pemeriksaan
penunjang. Pasien disebut hipertensi apabila tekanan sistolik >140mmHg atau tekanan diastolic
>90mmHg. Pasien dengan diabetes mellitus atau resistensi insulin dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan glukosa puasa dengan nilai rujukan <100mg/dL, glukosa dua jam post prandial
dengan nilai rujukan <140mg/dL, dan HbA1C dengan nilai rujukan <5.7%. Dislipidemia dapat
didiagnosis melalui penilaian profil lemak yang terdiri atas trigliserid (TG) dengan nilai rujukan
<150mg/dL, low density lipoprotein (LDL) dengan nilai rujukan <100mg/dL, high density
lipoprotein (HDL) dengan nilai rujukan 35-65/80mg/dL, dan total cholesterol (TC) dengan nilai
rujukan <200mg/dL.
Protein C merupakan antikoagulan fisiologis, yang berfungsi untuk mengahambat faktor
pembekuan darah Va dan VIIa, nilai rujukan protein C adalah 5μg/mL. Protein S adalah kofaktor
protein C yang berfugnsi untuk menghambat faktor Va dan VIIa, nilai rujukan protein S adalah
25μg/mL. Defisiensi protein C dan S dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang
menimbulkan stroke. Homosistein adalah suatu asam amino sulfhidril yang dengan bantuan B6
akan diubah menjadi sistein dan B12 diubah menjadi methionine, nilai rujukan homosistein
adalah 4-15μmol/L. Defisiensi dari vitamin tersebut dapat meningkatkan kadar homosistein
dalam darah. Peningkatan homosistein memperkuat aktivitas faktor V dan VII, dan menekan
aktivasi protein C, hal ini dapat menyebabkan terjadinya thrombus dan kerusakan pada endotel.2
Phospolipid dalam darah diperlukan dalam proses pembekuan darah. Pada pasien dengan
antiphospholipid antibodies syndrome, terjadi suatu keadaan hiperkoagulabilitas yang dapat
menyebabkan terjadinya thrombosis. Pemeriksaan antiphospolipid antibodies syndrome adalah
dengan pemeriksaan anti cardiolipin antibodies (ACA) dengan teknik ELISA. APTT adalah
pemeriksaan yang menilai waktu yang dibutuhkan untuk faktor intrinsik untuk membentuk
bekuan, nilai rujukan normalnya adalah 20-120 detik bergantung dari laboratorium. Faktor
ekstrinsik dinilai dengan prothrombin time (PT), dan baik APTT maupun PT digunakan untuk
menghitung international normalized ratio (INR), dengan nilai rujukan 1.0-2.0.2
Diagnosis Kerja
Berdasarkan gejala yang nampak, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien mengalami suatu stroke non-hemoragik et causa thrombus.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari stroke non-hemoragik et causa thrombus adalah stroke hemoragik
dan stroke non-hemoragik et causa emboli.
Stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik memiliki onset yang mendadak, tetapi
menimbulkan gejala yang berbeda. Stroke hemoragik biasanya terjadi pada saat pasien sedang
beraktivitas dan dapat menimbulkan nyeri kepala, muntah, dan kejang. Sementara itu stroke non-
hemoragik biasanya terjadi pada saat pasien beristirahat dan tidak menimbulkan gejala nyeri
kepala, muntah, dan kejang. Kebanyakan dari pasien dengan stroke hemoragik mengalami
penurunan kesadaran, tetapi hanya sedikit dari pasien dengan stroke non-hemoragik yang
mengalami penurunan kesadaran. Pemeriksa harus dapat membedakan antara stroke hemoragik
dan non-hemoragik hal ini dikarenakan algoritma penatalaksanaan yang berbeda antara
keduanya. Kesalahan dalam mendiagnosis jenis stroke pada pasien dapat menimbulkan
kesalahan yang fatal pada saat penatalaksanaan.
Perbedaan gejala antara stroke non-hemoragik yang disebabkan oleh thrombosis dan
emboli adalah pada stroke yang disebabkan oleh karena thrombosis biasanya sebelum paralisis
pasien mengalami gejala prodromal seperti pusing dan malaise. Perjalanan penyakit thrombosis
relatif lebih lambat (dalam hitungan menit-jam) dibandingkan dengan emboli, pasien juga
kebanyakan disertai dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskuler lainya seperti coronary
artery disease (CAD) atau peripheral artery disease (PAD). Pasien dengan emboli biasanya
disertai oleh gangguan irama jantung seperti atrium fibrilasi. Stroke non-hemoragik yang
disebabkan oleh emboli biasanya terjadi dalam waktu yang cepat (hitungan detik) tanpa disertai
gejala prodromal. Stroke biasanya disertai dengan deep vein thrombosis (DVT) yang disebabkan
oleh emboli.
Etiologi
Terdapat dua penyebab utama terjadinya stroke non-hemoragik yang disebabkan oleh
karena thrombosis. Pertama adalah plak artherosklerosis pada arteri besar. Pada gambaran
patologis menunjukan bahwa lesi pada otak tidak tersebar pada selutuh pembuluh arteri cerebral.
Kejadian artheriosklerosis paling sering terjadi pada arteri karotis, khususnya pada bifucartio
karotis, siphon, dan middle cerebral artery. Stenosis pada arteri-arteri tersebut >70%
berhubungan dengan peningkatan risiko infark pada bagian distal cerebral.
Vaskulitis adalah kondisi inflamasi pada pembuluh darah yang dapat menyerang
vaskularisasi cerebral. Granulomatous angiitis merupakan suatu vaskulitis yang menyerang
arteri dan arteriol intracranial. Beberapa penyakit autoimun lain seperti giant cell arteritis,
systemic lupus erythematosus (LSE), dan poltarteritis nodosa menyebabkan inflamasi secara
sistemik dan tidak menutup kemungkinan menyerang arteri-arteri cerebral. Mekanisme
terjadinya stroke bervariasi; necrotizing vasculitis, hypercoagulable state, artery-to-artery atau
emboli jantung. Peradangan yang berupa inlfitrat dapat ditemukan pada meningitis tuberkulosis,
cysticerosis cerebral, dan arteritis herpes zoster.
Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal
kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15.9%
(umur 45-55 tahun) dan 26.8% (umur 55-64 tahun), dan 23.5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke
(insiden) sebesar 51.6/100,000 penduduk dan kecacatan; 1.6% tidak berubah, 4.3% semakin
memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45
tahun sebesar 11.8%, usia 45-64 tahun 54.2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33.5%. Setiap
tahun nya di Amerika Serikat >690,000 orang dewasa mengalami stroke ischemia, dan
diperkirakan 240,000 orang dewasa mengalami transient ischemic attack (TIA).2,3,4
Patofisiologi
Adanya thrombus atau emboli yang menyumbat pada arteri cerebral dapat menyebabkan
terjadinya iskemia pada bagian otak yang dipendarahi oleh arteri tersebut. Terkadang sulit untuk
membedakan antara stroke non-hemoragik yang disebabkan oleh thrombosis atau emboli.
Thrombosis pada pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya artery-to-artery emboli.
Mekanisme kerusakan neuron pada tingkat seluler disebabkan oleh karena hipoksia atau anoksia
jaringan. 3,5
Kerusakan dari jaringan bergantung dari beberapa faktor; onset dan durasi iskemia (otak
akan lebih mentoleransi keadaan iskemik yang onset nya pendek dan durasi nya pendek),
sirkulasi kolateral (sirkulasi kolateral yang baik akan menghasilkan hasil yang lebih baik),
keadaan sirkulasi sistemik (hipotensi sistemik dapat menyebabkan iskemia otak global), faktor
hematologi (keadaan hiperkoagulasi dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke), suhu tubuh
(peningkatan suhu tubuh meningkatkan kerusakan otak), metabolisme glukosa (keadaan
hipoglikemia atau hiperglikemia dapat mempengaruhi luasnya kerusakan otak).5
Tekanan darah cerebral (CBF) normalnya adalah 50-60ml/100g/ menit dan bervariasi
pada bagian otak. Sebagai respon terhadap iskemia (menurunya CBF) otak melakukan
autoregulasi dengan memvasodilatasikan pembuluh lokal, membuka pembuluh darah kolateral,
dan meningkatkan ambilan oksigen dan glukosa dalam darah. Apabila CBF menurun sampai
dibawah 20ml/100mg/ menit, kemampuan elektris dan sinaps memberikan sinyal autoregulasi
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak sangat berkurang. Keadaan CBF yang
kurang dari 10ml/100mg/ menit menyebabkan kematian neuron yang bersifat irreversibel.3
Terdapat dua proses yang menyebabkan terjadinya kematian sel-sel neuron yaitu;
nekrosis koagulasi dan apoptosis. Nekrosis koagulasi dihubungkan sebagai proses di mana setiap
sel sebagai individu mati tanpa mengaktifkan respon inflamasi pada sel yang berada di dekatnya.
Kematian sel jenis ini terjadi oleh karena kerusakan membrane plasma yang disebabkan oleh
trauma, kimia, ataupun gangguan osmotik. Pada nekrosis koagulasi sel mengalami
pembengkakan kemudian mengkerut dan mengalami piknosis (kondensasi kromatin nuclear).
Proses ini terjadi selama 6-12 jam, 24 jam post-nekrosis koagulasi akan terjadi kromatolisis
menyeluruh yang menyebabkan pan-necrosis. Kerusakan sel yang irreversibel yang ditunjukan
dengan sitoplasma eosinofilik dan pengkerutan nuklei terjadi pada 8-12 jam setelah oklusi arteri.5
Apoptosis adalah suatu kematian sel yang terpogram, kematian sel neuron adalah salah
satu bentuk adaptasi dari keadaan iskemia. Pada saat apoptosis kerusakan utama terjadi pada inti
sel. Integritas plasma dan membrane mitokondria masih dipertahankan sampai proses lanjutan.
Mekanisme apoptosis terjadi 1 jam setelah terjadinya iskemia.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke terdiri atas beberapa unsur yang meliputi; pencegahan primer
pada stroke, penatalaksanaan umum stroke akut, penatalaksanaan khusus stroke akut,
pencegahan sekunder stroke iskemik, dan restorasi dan rehabilitasi stroke.3,4
Pencegahan primer pada stroke meliputi suatu modifikasi gaya hidup dan mengurangi
faktor risiko yang dapat diintervensi. Pencegahan ini dilakukan pada orang sehat dan kelompok
risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke. Mengatur pola makan yang sehat dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke. Pola makan yang yang dianjutkan untuk pencegahan primer
stroke adalah; makan makanan kolesterol yang membantu menurunkan kadar kolesterol (beras
merah, jagung, gandum, oat, kacang kedelai, biji kenari, dan kacang mede), makan makanan
lain yang berpengaruh terhadap prevesi stroke (asam folat, B6, B12, riboflavin, susu {protein,
kalsium, seng, dan B12}, ikan tuna dan salmon {omega-3, eicosapperitenoic acid [EPA],
docosahexonic acid [DHA]}, makan makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C,
vitamin E, betakaroten), makan buah-buahan dan sayur-sayuran (sayuran hijau, buah pisang,
buah jeruk, buah, dan apel minimal 5 porsi setiap hari), minum teh hitam dan teh hijau yang
mengandung atnioksidant.4
Penganan stress dan beristirahat yang cukup, istirahat yang cukup dan tidur teratur antara
6-8 jam sehari, mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa sehat
menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap ramah dan mendekatkan diri
pada Tuhan yang maha esa dan mensyukuri hidup yang ada. Stress kronis dapat meningkatkan
tekanan darah. Penangan stress menghasilkan respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung
dan tekanan darah.4
Pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter dalam hal diet dan obat.
Faktor-faktor risiko seperti penyakit jantung, hipertensi, dyslipidemia, diabetes mellitus harus
dipantau secara teratur. Faktor-faktor risiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet,
dan gaya hidup sehat, pengendalian hipertensi dengan target tekanan darah 140/90mmHg. Jika
menderita diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronik target tekanan darah 130/80mmHg.
Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus dengan target HbA1C <7%.
Pengendalian kadar kolesterol pada penderita dyslipidemia dengan target LDL<100mg/dL dan
pada pasien dengan risiko tinggi stroke sebaikyna LDL<70mg/dL. Mencegah terjadinya infeksi
dan inflammasi.
Penatalaksanaan umum stroke akut di ruang gawat darurat diawali dengan stabilisasi
jalan napas dan pernapasan. Pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata dilakukan melalui
pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh,
dan saturasi oksigen selama 72 jam. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen < 95%. Perbaiki jalan nafas tersmasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas. Terapi oksigen wajib diberikan pada pasien
dengan hipoksia. Pasien stroke iskemik akut yang non-hipoksia tidak memerlukan terapi
oksigen. Intubasi dengan endo tracheal tube atau laryngeal mask airway diperlukan pada pasien
dengan hipoksia (pO2<60mmHg atau PCO2>50mmHg), atau shok, atau pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi.4
Selanjutnya dilakukan stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan kristaloid atau
koloid intraven (hindari pemberian cairan hipotonik seperti dekstrosa). Pemasangan central
venous cathteter (CVC) dianjurkan untuk dipasang dengan tujuan memantau kucukupan cairan
sebagai sarana untuk memasukkan cairan dan nutrisi, usahakan CVC 5-12mmHg. Optimalisasi
tekanan darah, bila tekanan sistolik <120mmHg, dan cairan sudah mencukupi maka obat-obatan
seperti vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamine dosis sedang atau tinggi.
Norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140mmHg. Pemantauan
jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah serangan stroke iskemik. Hipotensi
arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan
salin normal dan aritmia jantung yang menyebabkan penurunan curah jantung harus dikoreksi.
Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi.
Penatalaksanaan khusus stroke akut dimulai dari pengobatan terhadap hipertensi,
sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
>140mmHg. Pada penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke akut
sekitar 73.9%. Sebesar 22.5-27.6%, diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik>180mmHg. Berikut adalah anti hipertensi yang dapat digunakan dan tersedia di
Indonesia; CCB (Nikardipin dan Diltiazem) IV 5mg/jam, dapat dinaikan 2.5ng tiap 15 menit
sampai tekanan darah stabil. Vasodilator langsung (Hidralasin) IV bolus 2.5-10mg sampai 40mg
atau (Nitrogliserin) IV 5-100μg/kg/ menit.
Pemberian obat yang menyebabkan terjadinya hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik. Pengobatan hipoglikemia atau hiperglikemia,
insulin dapat diberikan secara subkutan maupun intravena. Jika insulin diberikan secara
subkutan, maka diberikan seperti dosis dibawah ini;
Tabel Kadar Gula Darah dan Dosis Insulin Subkutan3
Gula darah (mg/dL) Dosis insulin subkutan (IU)
150-200 2
201-250 4
251-300 6
301-350 8
>350 10
Jika akan diberikan IV harus diberikan sesuai dengan algoritma, terdapat 4 algoritma
yang menjadi dasar pemberian insulin IV. Algoritma 1 digunakan untuk kebanyakan penderita,
algoritma 2 digunakan untuk penderita yang tidak dapat dikontrol dengan algoritma 1 atau untuk
penderita diabetes yang menerima insulin >80IU/ hari. Algoritma 3 digunakan utnuk penderita
yang tidak dapat dikontrol dengan algoritma 2, dan algoritma 4 digunakan untuk pasien yang
tidak dapat dikontrol dengan algoritma 3. Dosis insulin IV diberikan dengan dosis dibawah ini;
Tabel Kadar Gula Darah dan Dosis Insulin IV4
Gula darah
(mg/dL)
Kecepatan infus insulin (IU/jam)
Algoritma 1 Algoritma 2 Algoritma 3 Algoritma 4
<60 0 0 0 0
<70 0 0 0 0
70-109 0,2 0,5 1 1,5
110-119 0,5 1 1 3
120-149 1 1,5 2 5
150-179 1,5 2 3 7
180-209 2 3 4 9
210-239 2 4 5 12
240-269 3 5 6 16
270-299 3 6 8 20
300-329 4 7 12 24
330-359 4 8 14 28
>360 6 12 16 28
Pada stroke iskemia selanjutnya diberikan terapi trombolisis rTPA IV 0,9mg/kgBB,
dengan dosis maksimum 90mg, 10% dari dosis total diberikan sebagi bolus inisial, dan sisanya
diberikan sebagi infus selama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 3-
4,5 jam dari onset. Apabila tidak terdapat terapi dengan rTPA maka dapat digunakan substitusi
terapi dengan antikoagulan bertujuan untuk mencegah timbulnya stroke ulang awal,
menghentikan perburukan defisit neurologis, atau memperbaiki keluaran setelah iskemik akut.
Terapi kombinasi rTPA dan antikoagulan tidak dianjurkan.3,4,5
Pemberian anti platelet dengan dosis awal 325mg dalam 24-48 jam setelah terjadinya
stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Aspirin tidak boleh digunakan sebagi
pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rTPA IV. Jika pasien
direncanakan diberikan trombolitik aspirin jangan diberikan, begitu pula dengan aspirin sebagai
adjuvant terapi dalam 24 jam setelah pemberian trombolitik tidak direkomendasikan. Pemberian
klopidogrel saja atau kombinasi pada stroke iskemik akut, tidak dianjurkan, kecuali pada pasien
dengan unstable angina pectoris, non-Q-wave myocard infarct, atau recent stenting. Pengobatan
harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian.
Pencegahan sekunder stroke iskemik hampir sama dengan pencegahan primer stroke
sekunder di mana terutama berpusat pada pengendalian faktor risiko seperti hipertensi, diabetes
mellitus, dyslipidemia, dan sindroma metabolik. Pengendalian hipertensi, diabetes mellitus, dan
dislipidemia dilakukan dengan modifikasi gaya hidup seperti; diet rendah natrium, diet rendah
glukosa simpleks, diet rendah lemak, penurunan berat badan, makan buah-buahan, makan sayur-
sayuran, dan olahraga regular teratur, tidak minum alkohol, dan tidak merokok. Terapi
farmakologis untuk hipertensi diberikan jika tekanan darah tidak dapat dikontrol dengan
modifikasi gaya hidup, terapi yang dapat diberikan yaitu; ACE-I (Kaptopril 12,5mg, 2-3x1),
ARB (Candesartan Cilexetil 16mg, 1x1), CCB (Amlodipine Besylate 5-10mg, 1x1), dan diuretic
sebagai terapi adjuvant dengan obat lain (Hydroclorothiazide 12,5mg, 1x1). Pemberian obat
dapat dikombinasi hingga timbul hasil yang maksimal.4
Terapi farmakologis diabetes mellitus diberikan jika gula darah tidak dapat dikontrol
dengan modifikasi gaya hidup, terapi yang diberikan yaitu; Biguanid (Metformin 500mg, 3x1),
DPP-4 inhibitor (Linagliptin 5mg, 1x1), Sulfoniurea (Glibenclamide 5mg, 1x1), α-Glucosidase
Inhibitor (Acarbose 25mg, 1x1), SGLT-2 inhibitor (Dapaglifozin 5mg, 1x1), dan GLP-1 agonis
(Liraglutide SC 0,6mg/week). Pemberian obat dapat dikombinasi untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Terapi farmakologis pada dyslipidemia diberikan jika profil lipid tidak dapat dikontrol
dan digunakan sebagai profilaksis dari penyakit kardiovasculer yang diakibatkan oleh thrombus,
terapi yang dapat diberikan yaitu; niasin, untuk fokus menurunkan LDL pasien diterapi dengan
HMG-CoA Reduktase Inhibitor (Rosuvastatin 20mg, 1x1), untuk fokus menurunkan trigliserid
pasien di terapi dengan fibrate (Fenofibrate 145mg, 1x1).4
Tujuan dari perwatan rehabilitasi stroke adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
stroke dan memaksimalkan fungsional. Untuk mencapai tujuan tersebut, penilaian dan intervensi
berbasis bukti segera diperlukan untuk mengoptimalkan proses rehabilitasi secara komprehensif
dengan menggunakan perlengkapan standar. Preoses rehabilitasi dilakukan dengan melibatkan
pasien dan anggota keluarga dan atau pengasuh dalam pengambilan keputusan. Penanganan ini
sebaiknya dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat, tenaga terapi fisik,
tenaga terapi okupasi, tenaga terapi kinesi ahli patologi bicara, bahasa, psikolog, tenaga terapi
rekreasi, pasien, dan keluarga pasien.4
Fisioterapi dan terapi okupasi direkomendasikan, walaupun cara pelaksanaan yang
optimal belum diketahui. Pasien stroke fase akut direkomendasikan menjalani perawatan di unit
stroke dengan tujuan mendapatkan penaganan multidisiplin dan terkoordinasi. Setelah keluar
dari unit stroke, pasien direkomendasikan untuk melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan
selama tahun pertama setelah stroke.4
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi yaitu; edema serebral adalah suatu
pembengkakan otak yang terjadi pasca stroke. Komplikasi lainnya adalah pneumonia,
pneumonia dapat menyebabkan pasien kesulitan dalam bernafas. Pneumonia biasanya terjadi
oleh karena ketidakmampuan dalam bergerak yang pada saat atau post stroke. Kesulitan dalam
menelan terkadang dapat menyebabkan beberapa masalah, salah satunya adalah tersedak yang
kemudian disusul dengan pneumonia aspirasi. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah infeksi
saluran kencing yang dapat terjadi sebagai dampak pemasangan catheter foley saat pengumpulan
urin.
Komplikasi lain adalah kejang yang disebabkan oleh aktivitas elektrik yang abnormal
dalam otak. Biasanya kejang terjadi pada stroke dengan area luas. Stroke yang tidak terkangani
dengan baik serta gangguan emosi juga dapat menimbulkan depressi. Komplikasi dari bed rest
dalam jangka panjang adalah ulkus decubitus yang disebabkan oleh penekanan dari anggota
tubuh, selain itu bed rest juga dapat menimbulkan kontraktur ekstremitas sehingga terjadi atrofi
ataupun hipotrofi pada otot. Komplikasi lain yang ditimbulkan adalah deep vein thrombosis
(DVT) yang disebabkan karena kurangnya mobilitas dari pasien.3,4,6
Prognosis
Prognosis stroke non hemoragik yang disebabkan oleh karena thrombus bergantung
luasnya infark, durasi dan onset terjadinya serangan stroke sampai dilakukanya reperfusi. Faktor
risiko sangat berpengaruh terhadap prognosis dari stroke. Penatalaksanaan yang tidak koheren
dan tidak tepat dapat memperburuk prognosis dan menyebabkan komplikasi bahkan kematian.3
Penutup
Stroke adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan dari CBF yang
menimbulkan terjadinya kematian sel-sel neuron di otak. Penegakan diagnosis secara definitive
dilakukan melalui pemeriksaan radiologi CT-scan dan MRI. Pemeriksaan faktor risiko stroke
dilakukan untuk melakukan uji tampis dan follow up pasien. Penatalaksanaan stroke terdiri atas
beberapa unsur yang meliputi; pencegahan primer pada stroke, penatalaksanaan umum stroke
akut, penatalaksanaan khusus stroke akut, pencegahan sekunder stroke iskemik, dan restorasi dan
rehabilitasi stroke.
Daftar Pustaka
1. C Garcia, R Strup, L Weisberg. Essentials of Clinical Neurology. Neurology History
and Examination, 8-12.
(https://tulane.edu/som/departments/neurology/programs/clerkship/upload/wch1.pdf)
2. Anderson D, Larson D, Bluhm J, Charipar R, Fiscus L, Hanson M, Larson J,
Rabinstein A, Wallace G, Zinkel A. Institute for Clinical Systems Improvement.
Diagnosis and Initial Treatment of Ischemic Stroke. Updated July 2012.
3. Kernan W, Ovbiagele B, Black H, Bravata D, Chimowitz M, Ezekowitz M, et al.
American Heart Association/ American Stroke Association. Guidelines for the
prevention of stroke in patient with stroke ant transient ischemic attack. 2014; 45
4. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4 jilid 2.
Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.378-380.
5. Misbach J, Lamsudin R, Allah A, Basyiruddin A, Suroto, Alfa A, et al. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011
6. Woodruff T, Thundyil J, Tang S, Sobey C, Taylor S, Arumugam T. Pathophysiology,
treatment, and animal and cellular models of human ischemic stroke. Molecular
Neurodegeneration 2011, 6:11
7. Kneebone I and Lincoln N. Psychological problems after stroke and their management:
State of knowledge. Neuroscience & Medicine, 2012; 3, 83-9.
top related