laporan pemetaan h2
Post on 11-Dec-2015
38 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pemetaan geologi (geological mapping) secara sederhana dapat diartikan
sebagai keseluruhan kegiatan atau proses yang dijalankan dalam rangka membuat
peta geologi dari suatu daerah yang menjadi objek pemetaan.
Perlu diketahui bahwa istilah pemetaan geologi dalam pengertian sempit
sering hanya diartikan sebagai kegiatan atau proses penelitian lapangan yang
dilakukan untuk membuat peta geologi. Walau demikian, menurut hemat penulis,
sebaiknya kita memandang pemetaan geologi dalam pengertian yang luas mengingat
dalam kenyataannya kita tidak mungkin akan dapat membuat peta geologi yang utuh
tanpa melibatkan proses analisis yang biasanya hanya dapat dilakukan secara terbatas
di lapangan.
Peta geologi (geological map) secara sederhana dapat diartikan sebagai
sebuah peta yang menampilkan informasi geologi seperti khuluk, penyebaran, dan
hubungan antar satuan peta; struktur deformasi (sesar, lipatan, kekar); serta lokasi
endapan mineral atau fosil tertentu.
Perlu ditekankan disini bahwa satuan peta yang biasa ditampilkan dalam peta geologi
adalah satuan litostratigrafi satuan tersebut sering disebut sebagai satuan dasar dalam
pemetaan geologi. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa satuan peta
geologi adalah satuan litostratigrafi. Sebagai contoh, dalam Peta Geologi Jawa Barat
yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) dan
Geologic Map of the United States kita akan menemukan bahwa satuan-satuan peta
itu didasarkan pada jenis batuan dan umur, misalnya "Batuan Beku Miosen" atau
"Sedimentary Rocks of Cambrian Age". Di Amerika Serikat, satuan-satuan seperti itu
dinamakan map units. Dengan alasan seperti itulah dalam pengertian di atas penulis
menggunakan kata "satuan peta" (map units) dalam pengertian luas yang
pengertiannya lebih luas daripada istilah map units yang dikenal di Amerika Serikat.
1
Untuk yang disebut terakhir ini, penulis menamakannya map units dalam pengertian
terbatas. Masalah satuan peta ini akan dibahas lebih jauh.
Berbeda dengan apa yang mungkin diperkirakan oleh banyak orang, pemetaan
geologi tidak dimaksudkan untuk menghasilkan peta geologi. Tujuan pemetaan yang
sebenarnya adalah untuk memahami tatanan geologi daerah yang dipetakan.
Pembuatan peta geologi hanyalah tahap pertama dari usaha untuk memperoleh
pemahaman tersebut. Peta geologi merupakan sarana untuk memahami tatanan
geologi daerah yang dipetakan.
I.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi
permukaan secara umum sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi
geologi yang ada dengan menggunakan peta dasar skala 1: 12.500, serta melakukan
suatu analisis berdasarkan atas data pada daerah telitian, kemudian dibuat suatu
laporan penelitian untuk melengkapi persyaratan akademik yang sudah ditentukan
oleh Program Studi Teknik Geologi , Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains &
Teknologi Akprind Yogyakarta untuk mendapatkan gelar sarjana program pendidikan
strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku perkuliahan
serta aplikasinya.
Tujuan utama dari pemetaan ini yaitu membuat peta Geologi yang
menjelaskan kondisi geologi yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi, dan sejarah geologi.
2
I.3. Lokasi, Luas, dan Kesampaian Daerah
Lokasi Pemetaan Geologi terletak di Desa Banjararum dan sekitarnya,
kabupaten Kulonprogo, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasi Pemetaan Geologi
Gambar 1. Lokasi daerah Pemetaan Geologi(sumber : peta Rupa Bumi Indonesi lembar Sendangagung)
Lokasi Pemetaan Geologi terletak pada 7 42’ 30”- 07 44’ 00’’ dan 110 11’
30” – 110 14’ 00”. Merupakan bagian dari lembar peta RBI SENDANGAGUNG,
dengan nomor lembar peta ¼ SENDANGAGUNG 123-4A37.
Luas daerah pemtaan adalah 57750 m2. Lokasi pemetaan mempunyai jarajk
45 km dari kampus II IST Akprind Yogyakarta. dapat ditempuh dengan sepeda motor
dengan waktu 1 jam.
I.4. Metode dan Peralatan Yang Digunakan
Metode yang dilakukan dalam pemetaan ini dilakukan dengan beberapa tahap
yaitu diawali dengan studi pustaka dari beberapa peneliti terdahulu, dilanjutkan
dengan survey lokasi pemetaan untuk menentukan lokasi-lokasi yang bias dibuat
lokasi pengamatan, setelah itu dilakukan pemetaan untuk mencari data-data geologi
3
yang diperlukan untuk membuat peta geologi, setelah itu dilakukan analisis data yang
didapatkan, dan yang terakhir pembuatan laporan.
Dalam pemetaan ini kami menggunakan beverapa alat geologi untuk
membantu dalam pemetaan ini. Alat-alat yang dugunakan adalah :
a. Kompas Geologi
b. GPS
c. HCL
d. Loop
e. Catatan lapangan
f. Peta dasar (peta topografi daerah penelitian)
I.5. Peneliti Terdahulu
Daerah perbukitan Kulonprogo sudah banyak diteliti oleh ahli geologi antara
lain, yaitu Van Bemmelen (1949), Marka (1975), Raharjo, dkk. (1977), Pangluar dan
Najoan (1989), dan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat UGM (1994).
4
BAB IIGEOMOROFOLOGI
II.1. Geomorfologi Regional
Menurut penelitian Van Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa Tengah
dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
a. Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan
b. Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi
c. Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato
Berdasarkan letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah
bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang sangat luas
yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van Bemellen, 1948). Daerah ini
merupakan daerah uplift yang memebentuk dome yang luas. Dome tersebut relatif
berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah
utara - selatan, sedangkan lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van
Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi
menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu :
a. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 –
1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160.
Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan
dan menempati bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi
kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini
sebagian besar digunakan sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan
tegalan.
b. Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan
terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan
5
Kabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas permukaan
air laut dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan perbukitan
Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.
c. Satuan Teras Progo
Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan
disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan
dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo
d. Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur,
daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah.
Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman
dan lahan persawahan.
e. Satuan Dataran Pantai
Terbagi menjadi 2 yaitu Subsatuan, yaitu Subsatuan Gumuk Pasir dan subsatuan
Dataran Alluvial. Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang
pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di
pantai selatan ini adalah kali Serang dan kali Progo yang membawa material
berukuran besar dari hulu. Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan
tersebut menjadi batuan berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas
angin, material tersebut diendapkan di dataran pantai dan membentuk gumuk –
gumuk pasir.
Subsatuan Dataran Alluvial Pantai. Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di
sebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir
halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin. Pada subsatuan
ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan dan
pemukiman penduduk.
6
II.2. Geomorfologi Daerah Penelitian
Satuan Geomorfik daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan yaitu, perbukitan
terdenudasi dan dataran fluvial dengan subsatuan masing-masing.
II.2.1 Satuan Geomorfik Fluvial
Satuan Geomorfik ini dibagi menjadi 2 subsatuan yaitu subsatuan tubuh sungai
dan dataran fluvial. Subsatuan ini memiliki slope 2-8°, memiliki ketinggian 75-118
meter diatas permukaan laut. Subsatuan ini mempunyai morfologi datar, digunakan
warga sebagai lahan pertanian, dan sebagi jalan. Untuk morfogenesa, subsatuan ini
dipengaruhi oleh morfo struktur pasif dan struktur aktif.
Gambar 2. Foto subsatuan dataran fluvial pada LP 1(Sumber : kamera praktikan)
II.2.2 Satuan Geomorfik Denudasional
Satuan Geomorfik ini dibagi menjadi 2 subsatuan yaitu subsatuan perbukitan
terdenudasi dan dataran nyaris.. Subsatuan Perbukitan terdenudasi ini memiliki slope
20-50°. Subsatuan ini mempunyai morfologi datar, digunakan warga sebagai lahan
pertanian, dan perkebunan. Untuk morfogenesa, subsatuan ini dipengaruhi oleh
morfologi struktur pasif dan struktur aktif.
7
Gambar 3. Perbukitan terdenudasi. Foto diambil dari lokasi pengamatan 2(sumber : kamera praktikan)
II.3. Pola Aliran
Pola aliran sungai merupakan pola dari organisasi atau hubungan keruangan dari
lembah-lembah, baik yang dialiri sungai maupun lembah yang kering atau tidak
dialiri sungai. Pola aliran dipengaruhi oleh lereng, kekerasan batuan, struktur, sejarah
diastrofisme, sejarah geologi dan geomerfologi dari daerah alairan sungai. Dengan
demikian pola aliran sangat berguna dalam interpretasi kenampakan geomorfologis,
batuan dan struktur geologi. Macam-macam Pola Aliran :
1. Dendritik: seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah
dan sudut yang beragam. Berkembang di batuan yang homogen dan tidak
terkontrol oleh struktur, umunya pada batuan sedimen dengan perlapisan
horisontal, atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang homogen.
2. Rectangular : Aliran rectangular merupakan pola aliran dari pertemuan antara
alirannya membentuk sudut siku-siku atau hampir siku-siku. Pola aliran ini
berkembang pada daerah rekahan dan patahan.
3. Paralel: anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara pada
sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara ke laut.
Berkembang di lereng yang terkontrol oleh struktur (lipatan monoklinal,
8
isoklinal, sesar yang saling sejajar dengan spasi yang pendek) atau dekat
pantai.
4. Trellis: percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus,
sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan
sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling antara
yang lunak dan resisten.
5. Deranged : pola aliran yang tidak teratur dengan sungai dengan sungai
pendek yang arahnya tidak menentu, payau dan pada daerah basah
mencirikan daerah glacial bagian bawah.
6. Radial Sentrifugal: sungai yang mengalir ke segala arah dari satu titik.
Berkembang pada vulkan atau dome.
7. Radial Centripetal: sungai yang mengalir memusat dari berbagai arah.
Berkembang di kaldera, karater, atau cekungan tertutup lainnya.
8. Annular: sungai utama melingkar dengan anak sungai yang membentuk
sudut hampir tegak lurus. Berkembang di dome dengan batuan yang
berseling antara lunak dan keras.
9. Pinnate : Pola Pinnate adalah aliran sungai yang mana muara anak sungai
membentuk sudut lancip dengan sungai induk. Sungai ini biasanya terdapat
pada bukit yang lerengnya terjal.
10. Memusat/Multibasinal: percabangan sungai tidak bermuara pada sungai
utama, melainkan hilang ke bawah permukaan. Berkembang pada topografi
karst.
9
Gambar 4. Pola Aliran()
Pola aliran pada daerah penelitian adalah pola aliran subdendritik yang diketahui
dari analisis peta topografi.
Gambar 5. Pola aliran daerah penelitian(sumber : hasil analisis melalui peta topografi)
10
II.4. Stadia Daerah dan Stadia Erosi
Stadia daerah penelitian adalah stadia muda menuju ke dewasa. Diketahui dari
pengamatan dilapangan. Untuk stadia erosinya adalah stadia muda karena dilihat dari
penampang sungai yang ada di daerah penelitian yang berbentuk V.
Gambar 6. Stadia sungai berbentuk V pada LP 34(sumber : kamera praktikan)
11
BAB IIISTRATIGRAFI
III.1. Stratigrafi Regional
Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan
tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan
Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi wilayah
Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya
gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh
batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi regional dibahas umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya,
untuk itu perlu diketahui sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut
antara lain:
1. Sistem eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal
pasiran, batu gamping, serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska.
Sistem eosen ini disebut “Nanggulan group”. Tipe dari sistem ini misalnya di desa
Kalisongo, Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai
300 m. Tipe ini dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta beds”, “Discoclyina”,
“Axiena Beds” dan Napal Globirena, yang masing - masing sistem ini tersusun oleh
batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan
group” ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping
eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska
2. Sistem oligosen – miosen
Sistem oligosen – miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang memuncak
dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang berupa letusan dan
dikeluarkannya material – material piroklastik dari kecil sampai balok yang
berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian material ini disebut formasi andesit tua,
karena material vulkanik tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava
12
andesit dan tuff andesit. Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan laut
dekat pantai yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang
dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen
– miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen yang ada
dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini
membentuk daerah perbukitan dengan puncak – puncak miring.
3. Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan air
laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak selaras.
Fase pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri dari batu
gamping reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan lignit yang
kemudian disebut formasi jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo
yang formasinya terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping konglomeratan.
Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi Jonggrangan. Formasi
Jonggrangan dan formasi Sentolo sama – sama banyak mengandung fosil
foraminifera yang beumur burdigalian – miosen. Formasi – formasi tersebut memilik
ipersebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah perbukitan dengan
puncak yang relative bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami
pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana
pembentukan tersebut berlangsung terus – menerus hingga sekarang yang letaknya
tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi
regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac
Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :
a. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,
sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300
m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi
13
nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di
daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan
dibagi menjadi 3, yaitu
- Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri
dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya
berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
- Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara
selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds
mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
- Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas
Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi
lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah
discocyclina.
b. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.
c. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu
gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak
14
selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur
miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan
gastropoda.
d. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.
Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen.
Sedangkan menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo
dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya.
Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :
a. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,
sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300
m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi
nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di
daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan
dibagi menjadi 3, yaitu
- Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri
dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya berfasies
litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
- Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara
selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta beds
mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
15
- Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas
Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi
dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah
discocyclina.
b. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili
tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.
c. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan
batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini
tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan
berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,
pelecypoda dan gastropoda.
d. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.
Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan formasi
jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah sampai
pleistosen
e. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang
umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang
16
juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir
baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari
batuan sediment yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara
berselang – seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk
dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya
berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari
penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton
seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan applin
dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan berumur Oligosen
atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada bagian terbawah gunung
berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua diperkirakan berumur
oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.
III.2. Stratigrafi Daerah Penelitian
III.2.1 Satuan Breksi Andesit
Satuan ini memiliki struktur massif di lapangan, warna coklat kehitaman,
sortasi buruk, kemas terbuka, bentuk butir menyudut tanggung-menyudut, ukuran
butir 64-128 mm (small couble), memiliki fragmen andesit, semen silika, matrix
pasir, dan menempati 42,56 % dari seluruh daerah penelitian.
17
Gambar 7. Litologi Breksi Andesit di LP 9Sumber : kamera praktikan
Pada satuan Breksi Andesit ini terdapat sisipan litologi lainnya seperti Beksi
Polimik, Lapili tuff, dan batupasir tufan.
III.2.2 Satuan Batugamping
Satuan Batugamping ini dilapangan memiliki struktur massif, dengan warna
putuih kecoklatan, warna lapuk coklat kehitaman, memiliki tekstur kristalin dengan
ukuran butir sedang-kasar. Satuan ini menempati 22,4 % darisluruh daerah penelitian.
18
Gambar 8. litologi Batuagamping pada LP 30, foto menghadap barat(sumber : kamera praktikan)
III.2.3 Satuan Endapan Aluvial
Endapan aluvial ini berupa material lepas yang berukuran lempung- bungkah.
Merupakan hasil pelapukan dari batuan lainnya seperti breksi andesit, batugamping
dan tuff. Satuan ini menempati 35,05 % dari seluruh daerah penelitian.
19
Gambar 9. litologi material lepas LP 8, foto menghadap barat(sumber : kamera praktikan)
Dari hasil pemetaan dilapangan didapatkan 3 satuan yaitu Breksi andesit,
batugamping dan endapan alluvial
Gambar 10. Stratigrafi daerah penelitian(sumbetr : hasil analisis kelompok H)
20
BAB IVSTRUKTUR GEOLOGI
IV.1. Struktur Geologi Regional
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang
dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah
sebagai berikut :
1. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan
merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW dan
20 km mengarah SE – NW. Puncak kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas
disebut jonggrangan plateu. Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong
dibagian utaranya oleh sesar yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh
dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini menandai
karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa. Bentuk kubah
tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang relative
datar dan sayap – sayap yang miring dan terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon
Progo khususnya pada lower burdigalian terjadai penurunan cekungan sampai di
bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan
pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung
Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon Progo
merupakan dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang pegunungan sisa
dengan ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan kompleks pegunungan Kulon
Progo terkubahkan selama pleistosen yang menyebabkan terbentuknya sesar radial
yang memotong breksi gunung ijo dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong
batu gamping Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.
21
Gambar 11. Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van Bemmelen (1945, hlm. 596).
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity)
antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam stratigrafi
regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras di atas formasi
Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi
Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras diatas formasi
Jonggrangan.
IV.4. Struktur Daerah Penelitian
Pada daerah penelitian ditemukan struktur geologi berupa kekar tarik, sesar
normal, dan ada ketidakselarasan.
a. Kekar Tarik
Gambar 12. Kekar tarik di LP 12(Sumber : kamera praktikan)
Struktur geologi kekar tarik ini mempunyai kedudukan N 51° E/ 25°. Didapatkan dengan pengukuran langsung di lapangan dengan kompas geologi.
22
b. Sesar Normal/Sesar turun
Gambar 12. Sesar normal LP 27(Sumber : kamera praktikan)
Dari pengamatan di lapangan terdapat gores-garis dan struktur penyerta lainnya seperti breksiasi, gash fracture dan shear fracture. Dari hasil pengukuran didapatkan :
a. Bidang sesar : N9 90° E/ 60°b. Plunge : 55°,c. Bearing : N 140° Ed. Rake : 55°
Didapatkan adalah jenis sesar : Left Normal Slip Fault (Rickard, 1972))
IV.3. Mekanisme Pembentukan Struktur
Pembentukan struktur Geologi di daerah penelitian dipengaruhi oleh
tumbukan antar lempeng hindia-australia dengan Eurasia pada permulaan Oligosen.
Terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase pertama terjadi pada Eosen-Oligosen yaitu
23
tumbukan antara lempeng hindia-australia dan lempeng Eurasia. Fase kedua terjadi
pada Pleistose yang ditandai dengan proses pengangkatan gunung sehingga
mengakibatkan terbentuknya struktur geologi di daerah penelitian berupa kekar tarik
dan kekar gerus, dan terbentuknya sesar turun di daerah penelitian.
24
BAB VSEJARAH GEOLOGI
Sejarah Geologi di daerah penelitian di daerah penelitian tidak terlepas dari
aktifitas dan perkembangan tektonik pulau jawa yang berlangsung pada Oligosen
akhir sampai Miosen atas. Pada permulaan Oligosen akhir lempeng Hindia-Australia
menumbuk lempeng Eurasia dan menghasilkan aktifitas vulkanisme yang membentuk
satuan batuan gunung api. Pada daerah penelitian terbentuk satuan Breksi dengan
fragmen batuan gunung api yaitu fragmen andesit. Breksi Andesit ini terbentuk pada
lingkungan pengendapan cekungan muka busur.
Setelah itu pada Miosen tengah aktifitas vulkanisme mulai berkurang dan
adanya pengangkatan pada kala miosen tengah yang mengakibatkan batugamping
terangkat keatas dengan adanya sisipan.
25
BAB VIPOTENSI GEOLOGI
VI.1 SESUMBER
Pada daerah penelitian banyak aspek geologi yang sangat bermanfaat bagi
warga yang tinggal di sekitar daerah penelitian.
VI.1.1 Sumberdaya Air
Pada daerah penelitian sumberdaya air sangat digunakan untuk keperluan
sehari-hari warga. Sumberdaya air ini digunakan untuk keperluan rumah tangga,
digunakan untuk keperluan pertanian juga.
VI.1.2. Tanah
Pada daerah penelitian tanah sangat berguna untuk kehidupan warga sehari-
hari. Tanah dominan digunakan warga sebagai lahan perkebunan dan lahan
pertanian.
Gambar 15. Lahan pertanian berupa sawah. Foto LP 2(SUMBER : kamera praktikan)
27
VI.2 Bahaya Geologi
Bahaya geolgi yang sering terjadi di daerah penilitian adalah dominan gerakan
masa. Gerakan masa sering terjadi di beberapa tempat pada daerah penelitian.
Gambar 16.Gerakan masa di LP 34(sumber : kamera praktikan)
28
BAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Lokasi Pemetaan Geologi terletak di Desa Banjararum dan sekitarnya,
kabupaten Kulonprogo, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasi Pemetaan Geologi terletak pada 7 42’ 30”- 07 44’ 00’’ dan 110 11’ 30” – 110
14’ 00”. Merupakan bagian dari lembar peta RBI SENDANGAGUNG, dengan
nomor lembar peta ¼ SENDANGAGUNG 123-4A37.
Tujuan utama dari pemetaan ini yaitu membuat peta Geologi yang menjelaskan
kondisi geologi yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan
sejarah geologi. Satuan Geomorfik daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan
yaitu, perbukitan terdenudasi dan dataran fluvial dengan subsatuan masing-masing.
Stratigafi daerah peneitian dibagi menjadi 3 satuan yaitu satuan Breksi Andesit,
satuan Batugamping, dan satuan Endapan alluvial. Pada daerah penelitian ditemukan
struktur geologi berupa kekar tarik, sesar normal, dan ada ketidakselarasan.
VII.2. Saran
Saran untuk praktikum Pemetaan Geologi kedepannya agar dari asissten dosen
lebih banyak lagi memberikan referensi kepada praktikan tentang bagaimana
Pemetaan Geologi agar praktikan lebih dengan mudah memahami dalam praktikum
Pemetaan Geologi.
29
top related