kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis … · puting yang kasar atau mengalami erosi secara...
Post on 07-Mar-2019
288 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS
BERDASARKAN UMUR LAKTASI DAN POSISI PUTING
PADA SAPI PERAH
ADVIS DWI SAPUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kondisi Permukaan
Puting dan Hiperkeratosis Berdasarkan Umur Laktasi dan Posisi Puting pada Sapi
Perah” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Advis Dwi Saputra
B04120030
ABSTRAK
ADVIS DWI SAPUTRA. Kondisi Permukaan Puting dan Hiperkeratosis
Berdasarkan Umur Laktasi dan Posisi Puting Sapi Perah. Dibimbing oleh RP
AGUS LELANA dan HERWIN PISESTYANI.
Susu merupakan produk peternakan yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan protein hewani dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebagai penghasil susu, sapi perah harus dalam kondisi kesehatan yang baik.
Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh pemerahan tangan berdasarkan umur
laktasi dan posisi puting terhadap kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis
pada sapi perah di Kunak Bogor dan Pasir Jambu Bandung. Obyek penelitian
adalah sapi perah dealam masa laktasi normal dan sehat secara klinis yang
diperoleh secara purposive sampling, sebanyak 31 ekor dari Kunak Bogor dan 56
ekor dari Pasir Jambu Bandung. Metode penelitian dilakukan dengan wawancara
peternak untuk menentukan umur laktasi dan pengamatan puting untuk menilai
(scoring) kondisi permukaan puting menggunakan metode Mein dan Ohnstad dan
kemungkinan terjadinya perubahan patologis, hiperkeratosis pada puting. Selain
secara deskriptif, hasil pengamatan juga diuji menggunakan Chi-Square. Hasilnya
menunjukkan bahwa umur laktasi mempengaruhi secara nyata perubahan kondisi
permukaan puting dan hiperkeratosis, sedangkan posisi puting tidak ada
hubungannya dengan tingkat keparahan kondisi permukaan puting dan
hiperkeratosis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan peternak untuk
memperbaiki manajemen pemerahan maupun untuk mencegah penyakit akibat
kondisi puting yang buruk.
Kata kunci: Hiperkeratosis, kondisi permukaan puting, penilaian puting, sapi
perah
ABSTRACT
ADVIS DWI SAPUTRA The Condition of Teat Surface and Hyperkeratosis
Based on Lactation Stage and Teat Position in Dairy Cattle. Supervised by RP
AGUS LELANA and HERWIN PISESTYANI.
Milk as a dairy farm production had been promising to fulfill animal protein
requirement for the intelligence of the life of the nation. As a producer of fresh
milk, dairy must be in good health condition. The purpose of this study was to
analize the effect of hand milking on surface condition and hyperkeratosis base on
lactation stage and teat position of dairy cattle. The object of this study was
sampled animals in normal lactation periode and clinically healhty, 31 animals
from KUNAK Bogor and 56 animals from Pasir Jambu Bandung. The study was
done by interviewing farmer to identify the age of lactation and by observing the
teat to score the teat surface condition to use Mein and Ohnstad Method and the
posibility of pathological change, hyperkeratosis. The analysis was done by
descriptive approch and using Chi-Square test. The result showed that the change
of teat surface condition and hyperkeratosis was influenced by the age of
lactation, but not by the position of teat. Hopefully, the result of this study could
be used by farmer in order to improve milking management and prevent diseases
caused by the poor condition of teat.
Keywords: Hyperkeratosis, teat surface condition, teat scoring, dairy cows
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
KONDISI PERMUKAAN PUTING DAN HIPERKERATOSIS
BERDASARKAN UMUR LAKTASI DAN POSISI PUTING
PADA SAPI PERAH
ADVIS DWI SAPUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 18 April sampai 11 Juli
2015 adalah “Kondisi Permukaan Puting dan Hiperkeratosis Berdasarkan Umur
Laktasi dan Posisi Puting Sapi Perah”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah
satu syarat kelulusan dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
skripsi ini:
1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk kepada saya
supaya saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
2. Bapak Dr Drh H. RP Agus Lelana, SpMP MSi dan Ibu Drh Herwin
Pisestyani, MSi selaku pembimbing skripsi, atas kesabaran dan kebaikannya
dalam membimbing dan memberikan pengarahan atau saran kepada penulis
selama penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini selesai.
3. Kedua orang tua (Murison dan Septi Malinda), kakak dan adik (Meiky Eka
Saputra dan Ellan Tri Saputra) yang selalu memberikan doa, nasehat,
semangat, dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drh H. Agus Wijaya, MSc PhD selaku pembimbing akademik saya
selama perkuliahan, memberikan pengarahan dan saran dalam penyusunan
skripsi dan kuliah.
5. Teman, Sahabat dan Saudara saya Try Utama, Iwan Pranata, Edo Pratama, M
Zulfikar Iqbal, Feby Viventra, dan Salvado Zulkarnaen yang selalu
memberikan dukungan, doa, nasehat, dan semangat dalam mengerjakan
skripsi ini.
6. Teman seperjuangan saya M Alrafki, Noor Ihsan AB, Wan Gemasih, Alif
Hanugrah, Rizwansyah, Novri Hendri, M Rizqi, M Pauzi Lubis, M Supika,
yang selalu memberikan arahan, saran, masukan dan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga Astrocyte (FKH 49) dan Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor (IMKB)
atas dukungan dan semangatnya. Masih banyak orang-orang yang berperan
dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebut satu persatu, terima
kasih untuk kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca. Penulis juga berharap tulisan ini memberikan manfaat kepada banyak
pihak, khususnya bidang kedokteran hewan.
Bogor, Januari 2017
Advis Dwi Saputra
B04120030
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Karakteristik Sapi Perah Fries Holland ( FH ) 2
Anatomi Ambing 2
Anatomi Puting 3
Pemerahan Susu 3
Penilaian Puting (Teat Scoring) 4
METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Bahan 5
Desain Penelitian 5
Tata Cara Penelitian 6
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Profil Umur Laktasi 6
Perubahan Permukaan Puting 6
Pengaruh Umur Laktasi Terhadap Permukaan Puting 7
Pengaruh Umur Laktasi Terhadap Kejadian Hiperkeratosis 8
Manajemen Pemerahan 9
Perilaku Sapi Perah 10
SIMPULAN 11
SARAN 12
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR TABEL
1. Persentase kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis berdasarkan umur laktasi 7
2. Pengaruh umur laktasi terhadap kondisi permukaan puting 8
3. Pengaruh umur laktasi terhadap hiperkeratosis pada puting sapi perah 8
4. Pengaruh posisi puting terhadap kondisi permukaan puting 11
5. Pengaruh posisi puting terhadap hiperkeratosis pada puting sapi perah 11
DAFTAR GAMBAR
1. Anatomi ambing dan puting sapi perah 3
2. Metode penilaian kondisi permukaan puting 5
3. Hiperkeratosis pada puting sapi perah 6
4. Pemerahan yang dilakukan secara tradisional oleh peternak Indonesia 9
5. Kebiasaan sapi perah berbaring (lay down) 10
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan produk peternakan yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan protein hewani yang penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sebagai penghasil susu segar, sapi perah harus selalu dalam kondisi
kesehatan yang prima, sehingga mencapai produktivitas yang optimal. Termasuk
diantaranya adalah kondisi yang berkaitan dengan aspek manajemen budidaya,
genetik, fertilitas, kualitas pakan, serta upaya untuk mengantisipasi perubahan
cuaca dan penyakit (Dairyco 2009). Selain itu, upaya untuk menjaga kesehatan
ambing dikaitkan dengan ancaman mastitis sebagai penyebab penurunan produksi
susu juga harus menjadi perhatian.
Mein et al. (2001) dan Paduch et al. (2012) menyatakan bahwa kegiatan
pemerahan yang tidak legeartis menyebabkan perubahan kondisi permukaan
puting menjadi kasar atau buruk, sehingga membentuk cincin keratin. Neijenhuis
et al. (2001) juga menyebutkan bahwa puting yang kasar atau mengalami erosi
secara histologis berubah menjadi hiperplasia pada stratum korneum, sehingga
terbentuk hiperkeratosis. Menurut Neijenhuis (2004) hiperkeratosis yang disertai
dengan beberapa faktor fisiologi dan anatomi, seperti umur laktasi, paritas dan
anatomi ambing dapat mempengaruhi penurunan produksi susu.
Di Indonesia, pengamatan terhadap kondisi permukaan puting dan
hiperkeratosis pada sapi perah belum banyak dilakukan dan dilaporkan, untuk itu
perlu dilakukan penelitian. Mengingat Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
sentral peternakan sapi perah di Indonesia, yaitu dengan populasi 135.345 ekor
dan dengan produksi susu sebanyak 260.823 ton/liter (KEMENTAN 2015), maka
lokasi penelitian difakuskan di Jawa Barat. Adapun sasarannya adalah peternakan
sapi perah di Kunak Bogor maupun di Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten
Bandung. Sebagai catatan, Kunak Bogor memiliki populasi 3.427 ekor dengan
produksi susu 8.922 liter/hari (Sodiqin 2012) dan Pasir Jambu, Ciwidey, Bandung
Barat memiliki populasi 963 ekor dengan produksi susu 5 200 liter/hari (KUD
2014).
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wahana mengasah keterampilan
penerapan metode penilaian putting. Selain itu, juga diharapkan dapat
memberikan informasi/gambaran kejadian perubahan kondisi permukaan puting
dan hiperkeratosis pada sapi perah. Pada akhirnya, informasi ini diharapkan dapat
menjadi masukan peningkatan manajemen pemerahan di Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak pemerahan secara manual
terhadap kondisi permukaan puting dan kejadian hiperkeratosis ditinjau
berdasarkan umur laktasi dan posisi puting sapi perah yang berlokasi di Kunak
Bogor dan Pasir Jambu, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
2
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menjadi wahana mengasah keterampilan
penerapan metode penilaian puting dan memberikan informasi kepada peternak
mengenai pengaruh umur laktasi dan posisi puting terhadap kondisi permukaan
puting dan kejadian hiperkeratosis pada sapi perah. Informasi ini juga diharapkan
dapat menjadi dasar penyempurnaan manajemen pemerahan sapi perah di
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sapi Perah Fries Holland (FH)
Sapi Fries Holland (FH) merupakan sapi yang berasal dari negara Belanda
dikenal sebagai Hollstein, sedangkan di Amerika dan Eropa terkenal sebagai
Friesian. Jenis sapi ini paling banyak dipelihara di Indonesia, baik skala
peternakan besar maupun peternakan rakyat. Sapi FH memiliki daya adaptasi
yang baik dan produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah
lainnya (Imelda & Edward 2007).
Sapi FH umumnya memiliki karakteristik warna bulu hitam dengan bercak
putih. Sementara itu di Belanda juga dikenal Fries Holland yang mempunyai
warna coklat/merah dengan bercak putih, dari pangkal sampai ujung ekor
berwarna putih atau hitam ekor (Makin 2011). Berat jantan mencapai 700-900 kg,
sedangkan betina mencapai 650 kg dengan ambing yang besar. Kepala panjang,
sempit dan lurus, tanduk yang mengarah ke depan dan membengkok ke dalam.
Sifat sapi FH betina jinak dan tenang, sedangkan jantan agresif dan ganas.
Sapi FH tidak tahan panas, tetapi mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
(Makin 2011). Sapi FH memiliki sifat reproduksi yang baik. Berat pedet baru
dilahirkan antara 24-45 kg atau 10% dari berat induk.
Produksi susu sapi FH rata-rata per tahun di daerah asalnya (Belanda)
mencapai 4.500-5.500 liter dalam satu laktasi. Adapun di Indonesia, rata-rata
produksi FH berkisar 2.500-3.500 liter dalam satu laktasi (Sudono et al. 2003;
Talib 2006).
Anatomi Ambing
Anatomi ambing dibagi menjadi 4 kuartir dan setiap kuartir memiliki satu
puting. Ambing pada kuartir bagian kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum
suspensori medialis, sedangkan kuartir bagian depan (cranial) dan belakang
(caudal) dipisahkan oleh sejenis membran. Ambing bagian depan menghasilkan
40% produksi susu sedangkan ambing bagian belakang menghasilkan 60%
produksi susu setiap harinya (Nelson 2010). Menurut Astuti et al. (2001) bentuk
dan ukuran ambing tidak sama antara satu sapi dengan sapi yang lain walaupun
dalam satu bangsa. Hal ini dikarenakan bentuk dan ukuran ambing dipengaruhi
oleh kemampuan produksi susu, umur dan faktor genetik.
3
Menurut Frandson et al. (2009) pengeluaran susu dari ambing berasal dari
alveoli yang bergerak menuju sinus papilaris, kemudian menuju saluran induk
yang disebut major duct. Susu kemudian ditampung sementara di dalam gland
cistern sampai waktu pemerahan. Saat susu keluar dari gland cistern, annular fold
yang terletak di bawah gland cistern dan berfungsi sebagai penahan susu dalam
ambing akan terbuka. Akibatnya, susu yang berada di dalam gland cristern akan
mengalir menuju teat cistern. Sesampainya di teat cistern, susu dikeluarkan
melalui teat meatus.
Anatomi Puting
Puting sapi berbentuk silindris/kerucut dengan ujung yang tumpul. Posisi
puting belakang biasanya lebih pendek dibandingkan dengan puting bagian depan.
Penggunaan mesin perah pada pemerahan sapi menguntungkan puting yang
ukurannya pendek, karena laju aliran susunya lebih cepat (Astuti et al. 2001).
Sekitar 25-50% sapi perah mempunyai puting yang berlebihan (tambahan),
keadaan ini disebut supranumery teat. Puting yang berlebih ini biasanya terletak
di bagian belakang. Untuk mencegah terjadinya penyakit seperti mastitis, puting
yang berlebih ini dihilangkan sebelum pedet berumur satu tahun. Pada ujung
puting terdapat lubang puting atau streak canal, atau dinamakan juga teat meatus.
Menurut BIF (2011) puting depan memiliki panjang 6 cm dan diameter 2.9 cm,
sedangkan puting belakang memiliki panjang 5 cm dan diameter 2.6 cm.
Gambar 1 Anatomi ambing dan puting sapi perah (Magas 2012)
Pemerahan Susu
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan cairan susu dari ambing. Menurut
Putra (2009) terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan, pemerahan dan
pasca pemerahan. Tujuan dari pemerahan yaitu untuk mendapatkan jumlah susu
yang maksimal dari ambing.
4
Fase pra-pemerahan, pemerah harus mencuci tangan terlebih dahulu hingga
bersih dan kering, kuku tangan harus pendek agar tidak melukai puting. Sebelum
pemerahan, sapi harus dalam keadaan bersih atau dimandikan terlebih dahulu,
sedangkan peralatan dan tempat penampungan susu juga harus dalam keadaan
bersih (Syarif & Harianto 2011). Pemerah harus dalam keadaan sehat, dan
membiasakan diri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ambing dan puting
sapi.
Fase pemerahan dapat dilakukan dengan dua teknik pemerahan, yaitu
menggunakan mesin perah atau secara manual menggunakan tangan. Dalam
proses pemerahan ini harus dilakukan dengan baik, interval yang teratur, cepat,
secara lembut, tuntas, menerapkan prosedur sanitasi, serta efisien dalam
menggunakan tenaga kerja (Syarif & Harianto 2011).
Fase pasca pemerahan, ambing dilap menggunakan kain yang telah dibasahi
disinfektan dan setelah itu puting dicelupkan ke dalam cairan disinfektan untuk
mencegah kontaminasi bakteri (Putri et al. 2015). Semua peralatan yang
digunakan dalam pemerahan harus dibersihkan, kemudian dikeringkan. Susu hasil
pemerahan disaring untuk menghindari kotoran saat pemerahan. Syarif &
Harianto 2011).
Penilaian Puting (Teat Scoring)
Penilaian puting (teat scoring) dimaksudkan untuk memastikan tingkat
kerusakan akibat pemerah atau mesin perah maupun untuk menentukan indikasi
sapi perah terkena penyakit, seperti mastitis. Penilaian puting dilakukan dengan
cara melihat kondisi permukaan puting sapi. Adapun scoring terhadap kondisi
permukaan puting menurut Mein et al. (2001) dan Ohnstad et al. (2003) meliputi:
No ring (tidak ada cincin keratin/normal), yaitu bentuk puting dengan lubang
berukuran kecil dan permukaan yang halus ditemukan cicin keratin, Smoothy or
slightly rough ring (cincin keratin halus atau agak kasar), yaitu bentuk puting
dengan permukaan cincin keratin yang tidak jelas, halus atau agak kasar, Rough
ring (cincin keratin kasar), yaitu bentuk puting dengan cincin yang agak kasar dan
terdapat gundukan keratin dengan luasnya 1-3 mm dari lubang susu, dan Very
rough ring (cincin keratin sangat kasar), yaitu bentuk puting dengan gundukan
keratin yang luasnya 4 mm dari lubang susu dan dengan tepi cincin yang kasar
dan retak, sehingga bentuk penampakannya seperti bunga.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari 18 April sampai dengan 11 Juli 2015. Lokasi
penelitian berada di Kawasan Peternakan (Kunak) Sapi Perah Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kawasan Peternakan Sapi Perah Kecamatan
Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
5
Alat dan Bahan
Objek penelitian ini adalah sapi perah (FH) betina dalam masa laktasi
normal dan sehat secara klinis. Alat yang digunakan kertas, alat tulis, kamera dan
kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mendata umur laktasi dan posisi puting
yang mengalami perubahan kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut Sugiyono
(2008) purposive sampling adalah teknik penentuan obyek penelitian dengan
pertimbangan tertentu. Caranya adalah dengan memilih peternakan yang
mempunyai sapi perah dengan masa laktasi normal dan sehat secara klinis. Masa
laktasi normal pada sapi perah adalah bulan kesatu sampai memasuki kering
kandang bulan ke-7 memproduksi susu. Berdasarkan hasil sampling tersebut,
didapat 31 ekor sapi perah dari Kawasan Peternakan Sapi Perah Cibungbulang
Bogor dan 56 ekor sapi ekor dari Kawasan Peternakan Sapi Perah Kecamatan
Pasir Jambu Bandung.
Pengamatan pada obyek penelitian mengacu pada metode penilaian puting
menurut Mein et al. (2001) dan Ohnstad et al. (2003) sebagaimana disajikan pada
Gambar 2. Adapun contoh adanya perubahan patologis (hiperkeratosis) pada
puting disajikan pada Gambar 3.
Gambar 2 Metode penilaian kondisi permukaan puting (Mein et al. 2001; et al.
Ohstad 2003)
6
Gambar 3 Hiperkeratosis pada puting sapi perah (Dairynz 2011)
Tata Cara Penelitian
Tata cara penelitian dilakukan dengan dua pendekatan yaitu wawancara
peternak dan observasi sapi perah yang terkena sampling. Wawancara terhadap
peternak dilakukan untuk mengetahui umur laktasi. Observasi terhadap sapi perah
dilakukan penilaian kondisi permukaan puting dan penentuan posisi puting yang
mengalami hiperkeratosis.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft
Excel dan lebih lanjut dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square
digunakan untuk menguji hubungan dua buah variabel nominal dan mengukur
kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel nominal lainnya
(Usman & Akbar 2000). Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Umur Laktasi
Berdasarkan Tabel 1 dapat dipelajari sebaran keragaman umur laktasi dan
kondisi permukaan 348 puting maupun kemungkinan terjadinya hiperkeratosis
pada 87 ekor sapi perah FH betina yang berasal dari Kunak Cibungbulang Bogor
dan Pasir Jambu Ciwidey Bandung Jawa Barat. Secara garis besar profil sapi
perah dengan umur laktasi terbanyak adalah laktasi ke-3 sebanyak 23 ekor dan
jumlah sapi pada umur laktasi paling sedikit adalah laktasi ke-6 dan ke-7 masing-
masing sebanyak 4 ekor.
Perubahan Permukaan Puting
Dari Tabel 1 dapat disimpulkan semakin tua umur laktasi semakin banyak
perubahan pada permukaan puting. Contohnya kondisi permukaan puting pada
sapi umur laktasi ke-1, ke-2 dan ke-3 umumnya terlihat normal (No Ring). Pada
7
laktasi ke-4 dan ke-5 memiliki permukaan yang mengalami perubahan minor
berupa cincin keratin halus/agak kasar (Smooth or Slighty Rough Ring). Pada
laktasi ke-6 memiliki permukaan yang mengalami perubahan mayor berupa cincin
keratin yang kasar (Rough Ring). Pada laktasi ke-7 mengalami perubahan mayor
berupa cincin keratin yang sangat kasar (Very Rough Ring) dan sebagian
mengalami perubahan patologis berupa hiperkeratosis. Hal ini diduga karena
terjadi peningkatan frekuensi pemerahan. Hasil penelitian tersebut sama dengan
hasil penelitian Neijenhuis et al. (2001) dan Gleeson et al. (2007) yang
menyatakan bahwa perubahan kondisi permukaan puting pada sapi perah umur
laktasi tua lebih buruk dibandingkan dengan sapi perah umur laktasi muda.
Tabel 1 Persentase perubahan permukaan puting dan kejadian hiperkeratosis
berdasarkan umur laktasi
Laktasi
(n)
sapi
(n)
puting
Kondisi permukaan puting
Hiperkeratosis
(%)
Normal
(%)
Halus/
agak
kasar
(%)
Kasar
(%)
Sangat
kasar
(%)
1 9 36 66.7 25.0 8.3 0 5.6
2 17 68 60.3 30.9 8.8 0 7.4
3 23 92 57.6 31.5 10.9 0 14.1
4 20 80 40 45 15 0 21.3
5 10 40 30 47.5 17.5 5 32.5
6 4 16 25 37.5 25 12.5 50
7 4 16 25 31.3 18.7 25 62.5
Dikaitkan dengan teori Kirk (2002) yang menyatakan bahwa sapi dikatakan
bermasalah jika lebih 20% sapi mengalami permukaan puting bercincin keratin
yang kasar (Rough Ring) atau lebih dari 10% bercincin keratin sangat kasar (Very
Rough Ring) maka dengan meihat Tabel 1 dapat dikatakan sapi perah umur laktasi
6 dan 7 menghadapi bermasalah.
Pengaruh Umur Laktasi terhadap Permukaan Puting
Sebagaimana diketahui bahwa setiap umur laktasi terjadi perubahan
produksi susu. Dengan pertimbangan tersebut Soeharsono (2008) membagi
periode laktasi sebagai berikut: umur laktasi ke-1 sampai ke-2 disebut sebagai
periode awal produksi, umur laktasi ke-3 sampai ke-5 disebut sebagai periode
puncak produksi dan umur laktasi ke-6 sampai ke-7 disebut sebagai akhir
produksi. Pengelompokan tersebut dicoba diimplementasikan pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dipelajari bahwa kondisi permukaan puting
normal pada awal produksi (62.5%) lebih besar dibandingkan dengan umur laktasi
puncak produksi (45.8%) dan umur laktasi akhir produksi (21.9%). Kondisi
permukaan puting halus/agak kasar pada puncak produksi (39.6%) lebih besar
dibandingkan dengan umur laktasi awal produksi (28.8%) dan umur laktasi akhir
produksi (34.4%). Kondisi permukaan puting kasar akhir produksi (28.1%) lebih
8
besar dibandingkan dengan awal produksi (8.7%) dan puncak produksi (13.7%).
Pada kondisi permukaan puting sangat kasar pada akhir produksi (15.6%) lebih
besar dibandingkan dengan awal produksi (0%) dan puncak produksi (9%). Hasil
uji statistik terhadap data yang diperoleh menunjukkan nilai probabilitas sebesar
0.000 (< 0.05) yang berarti ada pengaruh antara umur laktasi terhadap kondisi
permukaan puting.
Tabel 2 Pengaruh periode laktasi terhadap kondisi permukaan putting
Laktasi
Kondisi permukaan putting Total pV
Normal Halus/agak kasar Kasar Sangat kasar
(n)
putting %
(n)
putting %
(n)
putting %
(n)
puting %
(n)
puting %
Awal
produksi 65 62.5 % 30 28.8 % 9 8.7 % 0 0% 104 100%
0.000*
Puncak
produksi 97 45.8 % 84 39.6 % 29 13.7 % 2 9% 212 100%
Akhir
produksi 7 21.9 % 11 34.4 % 9 28.1 % 5 15.6 % 32 100%
Total 169 48.6 % 125 35.9 % 47 13.5 % 7 2% 3
48 100%
*menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada pV(<0.05)
Pengaruh Periode Laktasi terhadap Kejadian Hiperkeratosis
Tabel 3 menunjukkan bahwa kondisi permukaan puting yang mengalami
hiperkeratosis pada akhir produksi (56.3%) lebih besar dibandingkan dengan awal
produksi (7.7%) dan puncak produksi (20.3%). Kondisi yang tidak mengalami
hiperkeratosis pada umur laktasi awal produksi (92.3%) lebih besar daripada umur
laktasi puncak produksi (79.7%) dan umur laktasi akhir produksi (43.8%). Hasil
uji statistik terhadap data yang diperoleh menunjukkan nilai probabilitas sebesar
0.000 (< 0.05) yang berarti ada pengaruh antara umur laktasi terhadap kondisi
hiperkeratosis.
Tabel 3 Pengaruh periode laktasi terhadap kejadian hiperkeratosis pada puting
sapi perah.
Laktasi
Hiperkeratosis Total
pV Ya Tidak
(n)
putting %
(n)
puting %
(n)
puting %
Awal produksi 8 7.7 % 96 92.3 % 104 100%
0.000* Puncak produksi 43 20.3 % 169 79.7 % 212 100%
Akhir produksi 18 56.3 % 14 43.8 % 32 100%
Total 69 19.8 % 279 80.2 % 348 100%
*menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada pV (<0.05)
9
Manajemen Pemerahan
Dari Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 sekali lagi dapat disimpulkan bahwa umur
laktasi maupun periode laktasi mempengaruhi perubahan kondisi permukaan
puting dan kejadian hiperkeratosis. Kondisi permukaan puting yang mengalami
perubahan ini diduga merupakan proses perjalanan pemerahan. Semakin tinggi
frekuensi pemerahan sejalan dengan umur laktasi, semakin banyak kerusakan
permukaan puting yang terjadi. Semakin banyak kerusakan permukaan puting
semakin banyak terbentuk cincin keratin sebagai respon proses persembuhan
jaringan. Namun demikian proses ini juga berdampak terhadap kelenturan puting
sehingga mengundang masalah baru seperti permukaan puting yang pecah dan
menjadi pintu masuknya bakteri patogen (Grindal & Hillerton 1991; Bobić et al.
2014).
Proses terjadinya hiperkeratosis menurut Ohnstad et al. (2003) selain faktor
manajemen pemerahan dipengaruhi juga oleh cuaca, kondisi musim, lingkungan,
produksi susu, umur laktasi, paritas dan genetik. Neijenhuis et al. (2001)
menambahkan bahwa selain faktor tersebut di atas, hiperkeratosis juga
dipengaruhi oleh penggunaan disinfektan yang berlebihan sehingga
mengakibatkan iritasi kulit puting, puting berubah menjadi kasar, pecah-pecah,
kering, luka, dan mudah terinfeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus. Dampak
dari itu semua menyebabkan puting sapi perah sulit untuk disembuhkan.
Faktor-faktor yang menyebabkan hiperkeratosis sebagaimana disebutkan
oleh Ohstad et al. (2003) juga terbukti dalam penelitian ini. Hal ini antara lain di
tunjukkan dengan adanya musim kemarau sebagai pengaruh faktor cuaca dalam
menyebabkan kurangnya pasokan air dan buruknya sanitasi lingkungan kandang
sehingga puting sapi perah mudah mengalami infeksi bakteri patogen.
Gambar 4 Pemerahan yang dilakukan secara tradisional oleh peternak Indonesia
Pernyataan Ohstad et al. (2003) juga didukung oleh Lukman et al. (2009)
yang menyatakan bahwa pemerahan dengan cara tradisional menggunakan dua
jari (Strip Methode) akan mempengaruhi bentuk anatomi ambing dan puting.
Pemerahan dua jari (Strip Methode) adalah pemerahan dengan ibu jari dan
telunjuk digeser dari pangkal puting ke bawah sambil memijat, dikendorkan dan
kembali ke atas. Pemerahan metode dua jari ini dapat menimbulkan berbagai
masalah diantaranya terjadinya mastitis subklinis jika terus dilakukan sampai sapi
umur tua. Kelemahan pemerahan dengan cara ini adalah ambing dan puting selalu
basah, mudah luka, dan anatomi puting secara lambat menjadi semakin panjang.
10
Puting yang panjang lebih mudah terserang mastitis subklinis dibandingkan
puting dengan ukuran pendek sehingga panjang puting dapat dijadikan sebagai
faktor predisposisi dari mastitis subklinis (Septiani 2013). Pemerahan dengan
metode ini masih diterapkan pada peternakan Kunak Cibungbulang Bogor dan
Pasir Jambu Ciwidey Bandung Jawa Barat.
Selain pemerahan, faktor umur juga berpengaruh terhadap kejadian mastitis
subklinis. Kajian Sutarti et al. (2003) tentang faktor-faktor penyebab mastitis
menunjukkan bahwa umur berasosiasi positif terhadap kejadian mastitis subklinis,
artinya mastitis subklinis sering menyerang sapi-sapi yang berumur tua. Semakin
tua umur sapi, terutama sapi dengan produksi susu yang tinggi, maka semakin
kendur sphincter putingnya, sehingga lebih mudah terinfeksi karena kemampuan
sphincter menahan masuknya kuman berkurang. Semakin tinggi produksi susu,
maka waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup dengan sempurna
akan semakin lama (Subronto 2003).
Perilaku Sapi Perah
Dalam penelitian ini faktor perilaku sapi perah juga mendapat perhatian.
Salah satunya adalah aspek kebiasaan sapi berbaring (lay down). Muttaqin (2009)
menjelaskan bahwa karena posisi rumen dan jantung yang berada di sebelah kiri
membuat sapi lebih nyaman berbaring ke sebelah kanan pada saat istirahat.
Tujuan berbaring ke sisi kanan tersebut adalah menurunkan tekanan darah
sehingga dapat meningkatkan kualitas isitrahat. (Gambar 5).
Gambar 5 Kebiasaan sapi perah berbaring (lay down)
Berdasarkan perilaku ini memungkinkan puting sebelah kanan lebih banyak
berkontak dengan lantai kandang dan lebih mudah terinfeksi bakteri dari lantai
kandang. Dengan alasan ini, dilakukan analisis pengaruh posisi puting terhadap
tingkat keparahan kondisi permukaan puting (Tabel 4) dan hiperkeratosis (Tabel
5) menggunakan uji Chi-Square sebagai berikut:
11
Tabel 4 Pengaruh posisi puting terhadap kondisi permukaan puting
Posisi
puting
Kondisi Permukaan Putting Total
pV Normal Halus/ agak halus Kasar Sangat kasar
(n)
putting %
(n)
putting %
(n)
puting %
(n)
puting %
(n)
puting %
Kiri depan 55 63.2 % 22 25.3 % 7 8% 3 3.4 % 87 100%
0.107*
Kanan
depan 46 52.9 % 29 33.3 % 8 9.2 % 4 4.6 % 87 100%
Kiri
belakang 45 51.7 % 27 31% 9 10.3 % 6 6.9 % 87 100%
Kanan
belakang 40 46% 21 24.1 % 18 20.7 % 8 9.2 % 87 100%
Total 186 53.4% 99 28.4 % 42 12.1 % 21 6% 348 100%
*menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata pada pV(>0.05)
Tabel 5 Pengaruh posisi puting terhadap kondisi hyperkeratosis pada puting sapi
perah
Posisi puting
Hiperkeratosis Total
pV Ya Tidak
(n)
puting % (n) puting %
(n)
putting %
Kiri depan 12 13.8 % 75 86.2 % 87 100%
0.382*
Kanan depan 13 14.9 % 74 85.1 % 87 100%
Kiri belakang 15 17.2 % 72 82.8 % 87 100%
Kanan belakang 20 23% 67 77% 87 100%
Total 60 17.2 % 288 82.8 % 348 100%
*menunjukkan adanya pengaruh yang tidak nyata pada pV (>0.05)
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk melihat pengaruh
posisi puting terhadap kondisi permukaan puting menunjukkan nilai probabilitas
sebesar 0.107 (> 0.05) yang berarti tidak signifikan. Demikian juga Tabel 5
menunjukkan bahwa hasil uji statistik untuk melihat pengaruh posisi puting
terhadap kondisi hiperkeratosis menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.382
(>0.05) yang berarti tidak signifikan.
Berdasarkan kedua tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi puting
tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan kondisi permukaan puting maupun
kejadian hiperkeratosis. Hal ini didukung dengan hasil penelurusan pustaka.
Menurut Mein et al. (2001) dan Timms & Morelli (2008) maupun Ohnstad et al.
(2003). Mereka menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan
kondisi permukaan puting yaitu bentuk puting, cuaca/musim dan lingkungan,
manajemen pemerahan, produksi susu, umur laktasi, paritas dan genetik.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur laktasi sangat berpengaruh
terhadap perubahan kondisi permukaan puting dan hiperkeratosis, sedangkan
12
posisi puting tidak berpengaruh terhadap perubahan kondisi permukaan puting
dan hiperkeratosis.
SARAN
Disarankan kepada peternak untuk melakukan manajemen peternakan
dengan baik, termasuk menerapkan manajemen pemerahan maupun pemeriksaan
ambing dengan rutin. Hal ini khususnya untuk mencegah terjadinya penyakit
yang timbul akibat perubahan kondisi permukaan puting yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
[BIF] Beef Improvement Federation. 2011. BIF Guidelines for Uniform Beef
Improvement Program. Ed ke-8. Beef Improvement Federation. Athens
(GR): Georgia Univ.
[KEMENTAN RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Basis data
statistik pertanian [internet]. Jakarta (ID): KEMENTAN RI [diunduh 2016
Nov 7]. Tersedia pada: www.pertanian.go.id
[KUD] Koperasi Usaha Daerah. Profil koperasi usaha desa (KUD) Pasir Jambu
[internet]. Pasir Jambu (ID): KUD [diunduh 2016 Nov 7]. Tersedia pada:
annthea-koperasi.blogspot.co.id/2014/12/profil-kud-pasirjambu.html?m=1
Astuti TY, Marjono S, Haryati S. 2001. Buku Ajar Dasar Ternak Perah.
Purwokerto (ID): Universitas Jenderal Soedirman. hlm 64-68.
Bobić T, Mijić P, Vučković G, Gregić M, Baban M, Gantner V. 2014.
Morphological and Milkability Breed Differences of Dairy Cows. Osijek,
Crotia (HR): Faculty of Agriculture, University of Osijek.
Dairyco. 2009. Factors affecting milk supply. [internet] [diunduh 2016 Sep 21].
Tersedia pada: www.dairyco.org.uk.
Dairynz. 2011. Healthy udder. [internet] [diunduh 2016 Nov 1]. Tersedia pada:
http://www.dairynz.co.nz/animal/mastitis/tools-and-resources/healty-udder/
Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm
Animals. Iowa (US): Wiley-Blackwell. p 456-460.
Gleeson DE, O’Brien B, Boyle L, Earley B. 2007. Effect of milking frequency
and nutritional level on aspects of the health and welfare of dairy cows.
Animal 1:125-132.
Grindal RJ, Hillerton JE. 1991. Influence of milk flow rate on new intramammary
infection in dairy cows. J Dairy Res. 58:263-268.
Imelda, Edward. 2007. Beternak Sapi Perah. Ed ke-1. Bandung (ID): Sinergi
Pustaka Indonesia. hlm 20-24.
Kirk JH. 2002. Teat End Conditions and Scoring Systems. Extension Veterinarian.
Tulare (US): School of Veterinary Medicine, University of California Davis.
Lukman DW, Sudarwanto S, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR, Pisestyani H. 2009. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat
Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor (ID):
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
13
Magaš VB. 2012. Preparation, immunogenicity testing and evaluation of
efficiency of vaccines in the prophylaxis of mastitis in cows [disertasi].
Belgrade (RS): University of Belgrade.
Makin M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Graha
Ilmu. hlm 5-10.
Mein GA, Neijenhuis F, Morgan WF, Reinemann DJ, Hillerton JE, Baines JR,
Ohnstad I, Rasmussen MD, Timms L, Britt JS, Farnsworth R, Cook NB.
2001. Evalution of bovine teat condition in commercial dairy herds: 1. non-
infectious factors. Proc. NMC and AABP meeting, Vancouver (CA). p347
Neijenhuis F, Barkema HW, Hogeveen H, Noorhizen JPTM. 2001. Relationship
between teat-end callosity and occurrence of clinical mastitis. J of Dairy
Scie. 84:2664-2672.
Neijenhuis F. 2004. Teat condition in dairy cows [tesis]. Utrecht (NL): Utrecht
University.
Nelson MG. 2010. The Complete Guide to Small-Scale Farming: Everything You
Need to Know About Raising Beef and Dairy Cattle, Rabbits, Ducks, and
Other Small Animals. Florida (US): Atlantic Publish Company. p 235-240.
Ohnstad I, Mein GA, Neijenhius F, Hillerton JE, Baines JR, Farnsworth R. 2003.
Assessing the scale of teat end problems and their likely causes. Texas (US):
42nd
Annuaul NMC Proceedings. Ford Worth.
Paduch JH, Mohr E, Krömer V. 2012. The association between teat end
hyperkeratosis and teat canal microbial load in lactating dairy cattle. Vet
Microb. 158:353-359.
Putra A. 2009. Potensi penerapan produksi bersih pada usaha peternakan sapi
perah (studi kasus pemerahan susu sapi Moeria, Kudus, Jawa Tengah)
[tesis]. Semarang (ID): Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.
Putri P, Sudjatmogo, Suprayogi TH. 2015. Pengaruh lama waktu dipping dengan
menggunakan larutan kaporit terhadap tampilan total bakteri dan derajat
keasaman susu sapi perah [The effect of durations time of dipping with
kaporit on total bacteria and pH of dairy cows milk]. Anim Agric J.
4(1):132-136.
Septiani YN. 2013. Panjang puting dan periode laktasi sebagai faktor predisposisi
mastitis subklinis pada sapi perah di KPSBU Lembang, kabupaten Bandung
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sodiqin M. 2012. Produksi susu dan pemberian pakan sapi perah di kawasan
usaha peternakan sapi perah kecamatan Cibungbulang, kabupaten Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soeharsono. 2008. Laktasi. Produksi dan Peranan Susu Bagi Kehidupan
Manusia. Bandung (ID): Widya Padjajaran. hlm 192-194.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Ed ke-2. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press. 224 hlm.
Sudono A, RF Rosdiana, BS Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. hlm 1-2.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung
(ID): Penerbit Alfabeta. 380 hlm.
Sutarti E, Budiharta S, Sumiarta B. 2003. Prevalensi dan faktor-faktor penyebab
mastitis pada sapi perah rakyat di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa
Tengah. J Sain Vet. 21:43-49.
14
Syarif E, Harianto B. 2011. Buku Pengantar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.
Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. 150 hlm.
Talib C. 2006. Grand Design Perbibitan Sapi di Indonesia. Bogor (ID): Balai
Peternakan Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Timms LL, Morelli J. 2008. Teat end and skin conditioning evaluation of two
experimental heptanoic acid teat dips during winter. Animal Industry
Report: AS 645, ASL R2315.
Usman H, Akbar RPS. 2000. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
323 hlm.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sungai Penuh pada tanggal 13 April 1995 dari
pasangan Bapak Murison dan Ibu Septi Malinda. Penulis adalah putra kedua dari
tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri
270 Kota Sungai Penuh pada tahun 2006. Penulis menamatkan pendidikan
sekolah menengah pertama di SMP Negeri 8 Kota Sungai Penuh pada tahun 2009.
Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Kota
Sungai Penuh dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Ilmu
Bedah Umum Veteriner (IBUV) pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis pernah
menjadi anggota Himpunan Profesi (HIMPRO) Ornithologi.
Penulis aktif mengikuti magang liburan antara lain di Rumah Potong Hewan
(RPH) Malang pada tahun 2014 dan Klinik Kayu Manis Yogyakarta pada tahun
2015. Penulis juga pernah mengikuti Mahasiswa Abdi Nusantara di Provinsi
Banten pada tahun 2015.
top related