issn : jurnal gizi ilmiah
Post on 19-Oct-2021
21 Views
Preview:
TRANSCRIPT
JURNAL GIZI ILMIAHJurnal Ilmiah Ilmu Gizi Klinik,Kesehatan Masyarakat dan Pangan
ISSN :
Jurnal Gizi Ilmiah STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI
Volume 1 Nomor 1, September - November 2014
Diterbitkan Oleh :LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKATSTIKES KARYA KESEHATAN Jl. Jend. A. Nasution No. 89 G Kendari,Telp/Fax. (0401) 3190775 Email :Prodiilmugizi_stikesk3@yahoo.co.id
Terbit 3 kali setahun
Fikki Prasetya
Evie Fitrah Pratiwi Jaya
Paridah
2407-5515
Agusman Sorumba
Heriyanto
Putu Eka M.E
Jenny Qlifianti Demmalewa
Penyalahgunaan Inhalen Jenis Lem Aibon dan Dampaknya Terhadap status gizi di Kota Kendari
Pemanfaatan Ubi Hutan dengan Pengawet Alami Sebagai Alternatif Diversifikasi Pangan
Pada Masyarakat Kabupaten Buton
Analisis Hubungan Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Dengan Kesembuhan Luka
Pasien Bedah di RS. Abunawas Kota Kendari Tahun 2014
Analisis Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 3 - 6 Bulan
di Kabupaten Konawe selatan Tahun 2014
Pengaruh Pemberian Jus Alpukat Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Penderita Hipertensi
Hubungan Pola Menyusui dan Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Anak Baduta
(6 - 24) Bulan di Kota Kendari Tahun 2014
Hubungan Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi
7 - 12 Bulan di Puskesmas Benu - Benua Kota Kendari
DEWAN REDAKSI
VOLUME 1, NOMOR 1 SEPTEMBER – NOVEMBER 2014
Penanggung Jawab : Muslimin L.,A,Kep.,S.Pd.,M.Si
Pemimpin Redaksi : Fikki Prasetya, S.K.M.,M.Kes
Wakil Pemimpin Redaksi : Evie Fitrah Pratiwi Jaya S.Gz.,M.Kes
Sekretaris Redaksi : Sri Rejeki, S.Pi.,M.Sc
Redaktur Pelaksana : Jenny Qlifianty D.,S.Gz
Ellyani Abadi,A.Mg
Alamat RedaksiKampus STIKes Karya Kesehatan Kendari
Jalan Jend. A.H. Nasution No.89 G, Kendari, Sulawesi TenggaraTelp/Fax. (0401) 3190 775 Email : Prodiilmugizi_Stikesk3@yahoo.co.id
Volume 1 No.1, September - November 2014
ISSN:2407-5515
JURNAL GIZI ILMIAH
Jurnal Ilmiah Ilmu Gizi Klinik, Kesehatan Masyarakat, dan Pangan
Volume 1 No.1, September - November 2014
DAFTAR ISI
I. Editorial
II. Artikel ............................................................................................................... Halaman
1. Penyalahgunaan Inhalen Jenis Lem Aibon dan Dampaknya
Terhadap Status Gizi di Kota Kendari ........................................................ 1 - 14
Oleh : Fikki Prasetya
2. Pemanfaatan Ubi Hutan dengan Pengawet Alami Sebagai Alternatif
Diversifikasi Pangan pada Masyarakat Kabupaten Buton ............................ 15 - 25
Oleh : Evie Fitrah Pratiwi Jaya
3. Analisis Hubungan Asupan Energi,Protein dan Status Gizi dengan
Kesembuhan Luka Pasien Bedah di RS. Abunawas Kota Kendari Tahun
2014 ............................................................................................................. 26 - 38
Oleh : Paridah
4. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 3-6
Bulan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2014 ....................................... 39 - 47
Oleh : Agusman Sorumba
5. Pengaruh Pemberian Jus Alpukat Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Penderita Hipertensi..................................................................................... 48 - 58
Oleh : Heriyanto
6. Hubungan Pola Menyusui dan Usia Penyapihan dengan Status Gizi Anak
Baduta (6-24 Bulan) di Kota Kendari Tahun 2014 ...................................... 59 - 69
Oleh : Putu Eka M.E.
7. Hubungan Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu dengan Pemberian ASI
Ekslusif pada Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari ... 70 - 80
Oleh : Jenny Qlifianti Demmalewa
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
1
PERILAKU PENYALAHGUNAAN INHALEN JENIS LEM AIBON DAN
DAMPAKNYA TERHADAP STATUS GIZI PENYALAHGUNA
DI KOTA KENDARI INDONESIA
1Fikki Prasetya
FKM Universitas Haluoleo1
Abstrak
Fakta Sosial perilaku ngelem pada Komunitas Punk di Kota Kendari telah
diketahui, yang pada umumnya menyalahgunakan lem jenis Aibon. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan analisis tentang perilaku penyalahgunaan inhalen
(ngelem) jenis Aibon pada Komunitas Punk di Kota Kendari dan dampaknya
terhadap Status Gizi mereka. Penelitian ini menggunakan desain Kualitatif dengan
Pendekatan Studi Kasus. Informan yang diambil adalah anak Punk di Kota Kendari,
yang pernah/masih aktif ngelem dan merokok. Pemilihan informan dilakukan dengan
metode Snowball Research Strategies. Data berupa informasi dikumpulkan melalui
wawancara mendalam (indepht interview) dengan teknik semistruktur dan observasi.
Analisis data dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data (emik),
interpretasi (etik) dan penarikan kesimpulan dari intisari wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyalahgunaan inhalen lebih mudah terjadi pada seseorang
yang mencari nafkah sendiri. Remaja yang cenderung setia dengan perkumpulannya,
merasakan kenyamanan bergaul yang tidak diperoleh di tempat lain serta tingginya
rasa solidaritas bersama teman, sehingga terjerumus kepada perilaku ngelem.
Pada pria dengan umur remaja 10–18 tahun, rata-rata berstatus putus sekolah, dan
tergolong dalam kelas ekonomi menengah kebawah memiliki peluang lebih besar
menyalahgunakan inhalen. Dampak terhadap status gizi pengguna diketahui bahwa
Para penyalahguna aktif memiliki status Gizi Kurang baik dikaitkan dengan
berkurangnya berat badan secara signifikan.
Kata Kunci : Perilaku, , ngelem, Pun, Status Gizi
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
2
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan
perkembangan bayi Dalam beberapa
jurnal internasional yang
dipublikasikan, ditemukan bahwa
remaja pertama kali mencoba baik itu
rokok ataupun minuman beralkohol,
lalu diikuti oleh keduanya dan
kemudian ganja maupun inhalansia
( Patrick, et all, 2009 ; Praharaj, et
all, 2008 ; ) Prevalensi penggunaan
seumur hidup rokok itu sedikit lebih
besar pada wanita, ganja dan
penggunaan inhalen lebih besar
pada laki-laki. Para pengguna inhalen
remaja laki-laki berumur 10-17 tahun
pada umumnya disebabkan, putus
sekolah dan kabur dari desa, dua
sepertiganya karena kekerasan dalam
rumah tangga dan konflik dalam
keluarga, penganiayaan fisik oleh
anggota keluarga (Sakai, et all ,
2009).
Studi yang dilakukan
diseluruh dunia sesuai data United
Nation Office on Drugs And Crime
(2012), menunjukkan bahwa terdapat
kurang dari 10% dari penduduk pada
usia remaja umumnya menggunakan
inhalen (uap yang dihirup dari Zat
Adiktif). Inhalen adalah suatu zat
adiktif yang tergolong Napza yakni
bahan/zat/obat yang bila masuk
kedalam tubuh manusia akan
memengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan
fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan
(dependensi).
Inhalansia adalah zat yang
dihirup. Salah satu contohnya lem
Aica aibon yang banyak dipakai anak
dan remaja karena harganya murah
dan memabukkan. Sifat bahan ini
yang mudah menguap menjadikannya
mudah disalahgunakan untuk
mendatangkan khayal dan Salah satu
zat yang terdapat di dalam lem Aica
aibon adalah Lysergic Acid
Diethyilamide (LSD) yang berbahaya
jika dihirup. Menurut National
Institute on Drug Abuse (1998), bahan
yang tergolong dalam kategori inhalen
adalah pelarut organik, minyak gas,
nitrat dan gas anestetik. Gas nitrus
oksida (nitruous oxide) yang juga
dikenal sebagai gas yang dapat
membuat seseorang merasa senang
secara spontan (laughing gas) yang
digunakan dalam industri medis.
Penggunaan inhalen yang luas dalam
industri, menjadikannya mudah
ditemukan di berbagai produk
penggunaan harian seperti aerosol
pembunuh serangga, gam stiker,
cairan pembersih, alat tulis dan produk
kecantikan seperti varnis kuku. Produk
yang berbeda memiliki tipe inhalen
yang berbeda dan efek yang
ditimbulkan ke tubuh juga berbeda.
Lem Aica aibon merupakan
NAPZA yang sangat mudah didapat
karena keberadaannya legal (sebagai
lem). Hal ini yang menyebabkan
penyalahgunaan pemakaian lem ini
sangat cepat perkembangannya
terutama di dunia anak jalanan.
Perilaku penyalahgunaan
inhalen pada umumnya dilakukan oleh
anak-anak jalanan, menghirup
inhalen/ngelem merupakan kata yang
sangat akrab bagi anak yang hidup di
jalanan. Dengan ngelem mereka
merasa dapat menahan lapar,
meringankan penderitaan,
menghilangkan persoalan dan
membuat fikiran tenang. Tanda
psikologi pada remaja seperti sering
merasa gelisah, resah, konflik batin
dengan orang tua, minat meluas dan
tidak menetap, pergaulan mulai
berkelompok, mulai mengenal lawan
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
3
jenis, dan sekolah tidak stabil
menyebabkan remaja sangat beresiko
untuk menyalahgunakan Napza
termasuk di dalamnya penyalahgunaan
inhalen (Poltekkes Depkes Jakarta,
2010).
Komunitas Punk memang
sangat berbeda sendiri dibandingkan
dengan Komunitas pada umumnya.
Komunitas ini dianggap salah satu
Komunitas yang urakan, berandalan
dan bahkan sebagian besar anak Punk
diidentikkan dengan anak jalanan
yang rentan terhadap penyalahgunaan
minuman keras dan Napza (O’Hara,
2008). Hasil survei pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti sebelum
penelitian dimulai dan didukung oleh
pernyataan yang diberikan oleh
informan, mendukung dugaan peneliti
serta menemukan bahwa terjadi
penyalahgunaan inhalen yakni
menggunakan lem jenis fox dan aibon
untuk menimbulkan efek nyaman (fly)
terhadap diri mereka. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis tentang
perilaku penyalahgunaan inhalen
(ngelem) pada Komunitas Punk di
Kota Kendari serta menilai
dampaknya pada status gizi mereka”.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Kota Kendari Sulawesi Tenggara,
Indonesia, dengan fokus pada
Komunitas Punk.
Desain
Desain yang digunakan adalah
kualitatif, dengan pendekatan studi
kasus. Pendekatan studi kasus
menempatkan sesuatu atau obyek
yang diteliti sebagai kasus, dimana
kasus dalam penelitian ini masih
bersifat kontemporer dalam hal ini
penyalahgunaan inhalen yang masih
terkait dengan masa kini, baik yang
sedang terjadi, maupun telah selesai
tetapi masih memiliki dampak yang
masih terasa pada saat dilakukannya
penelitian.
Informan
Metode snowball research
strategies digunakan dalam
pengambilan informan penelitian.
Formulasi terdiri dari mengidentifikasi
informan yang kemudian digunakan
untuk merujuk peneliti pada informan
lain pada populasi yang tersembunyi
dan susah untuk diakses. Informan
penelitian dipilih dari anggota
Komunitas Punk yang berada di Kota
kendari, yang mengetahui
permasalahan dengan jelas, dapat
dipercaya menjadi sumber informasi
yang baik serta mampu
mengemukakan pendapat secara baik
dan benar, dengan kriteria sebagai
berikut: (a) Remaja yang tergabung
dalam Komunitas Punk Kota Kendari.,
(b) Masih/pernah menyalahgunakan
inhalen (ngelem). (c) Masih/pernah
aktif sebagai perokok.
Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini
adalah peneliti sendiri, dimana dalam
melaksanakan penelitian ini, peneliti
melengkapi diri dengan : (a) Tape
Recorder/Mp3 yang berfungsi untuk
merekam hasil wawancara antara
peneliti dan informan, (b) Kamera
digital untuk memotret keadaan di
lapangan, (c) Daftar pertanyaan
sebagai pedoman wawancara di
lapangan, (d) Catatan lapangan
sebagai pedoman observasi untuk
mencatat informasi tambahan yang
merupakan hasil observasi lapangan.
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
4
Metode pengumpulan data
Triangulasi sumber digunakan
untuk pengumpulan data atau informasi
dengan teknik sebagai berikut : (1).
Wawancara mendalam (indepht
interview) Teknik wawancara yang
digunakan adalah semistruktur
(semisctructured interview), dengan
pendekatan menggunakan petunjuk
umum wawancara dengan beberapa inti
pokok pertanyaan yang diajukan; (2).
Observasi partisipasi yakni
pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati perilaku serta
melihat kondisi fisik anggota
Komunitas Punk yang dijadikan
informan terhadap penyalahgunaan
inhalen (ngelem), dengan keterlibatan
peneliti secara langsung dengan obyek
yang diteliti, dengan cara berbaur
(immersion).
Analisis dan Penyajian Data
Urutan dalam analisis data
merujuk pada alur yang dapat dilihat
sebagai berikut : (1)Pengumpulan data,
data dikumpulkan dari hasil wawancara
mendalam dan observasi partisipasi.
Hasil ditulis dalam bentuk catatan
lapangan, kemudian disalin dalam
bentuk transkrip wawancara,
(2)Mereduksi data (data etik), dengan
membuat koding dan kategori. Data
yang terkumpul dalam bentuk catatan
lapangan dijadikan satu dalam bentuk
transkrip, kemudian data yang tidak
berguna dibuang, (3) Penyajian data
(data emik), Penyajian data dilakukan
dengan teks naratif. Kerahasiaan dari
responden dijamin dengan jalan
mengaburkan identitas responden.
Penarikan kesimpulan Dari data yang
disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan literatur dan hasil
penelitian terdahulu dan secara teoritis
sesuai topik penelitian. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode
induksi, yakni berusaha menarik
kesimpulan secara umum, dari kuotasi
khusus dari informasi yang diperoleh,
(4) Penyajian data lebih banyak berupa
kata-kata yang merupakan hasil
penelitian. Penyajian data yang
ditampilkan dalam bentuk kuotasi.
Dalam mengutip pernyataan informan,
peneliti melakukan pengeditan untuk
kepentingan penulisan agar mudah
dipahami, karena informan berbahasa
menggunakan dialek lokal kendari.
HASIL
Sikap Umum Komunitas Punk
terhadap ngelem.
Ngelem merupakan suatu
tindakan yang dianggap keren,
sehingga menimbulkan persepsi baik
pada penggunanya di kalangan Punk,
seperti pada kutipan wawancara berikut
:
“Ngelem, Jadi nda gaul anak Punk
kalau tidak ngelem..” (TK, pria, 19
tahun).
“..merokok itu keren, lem juga keren
kalau pada saat kumpul-kumpul toh
baru ada foto-foto bareng
begitu..ngelem di anak Punk itu
ibaratnya ritual, tidak sah kalau tidak
ngelem..”(LI, pria, 18 tahun).
Sifat kepribadian (personality traits)
terhadap ngelem.
Pada umumnya hubungan
sosial mereka baik dengan keluarga
maupun komunitas tidak ada masalah,
tetapi salah satu informan mengatakan
berbeda, seperti kutipan berikut ini :
“..kalau sekarang jujur saja.. [saya]
lagi baku kles..dengan keluarga..lagi
ada masalah internal keluarga juga,
kalau [hubungan] sama anak Punk
baik-baikji juga..[tidak ada masalah],
kalau begini dulu biasanya sa cari mi
lem” (LI, pria, 18 tahun).
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
5
Observasi :
• Informan sesekali bercanda khas
anak muda bersama teman-temannya,
namun ada kalanya, teman-temannya
melempar kata-kata sedikit kasar,
namun tak ditanggapi serius oleh
informan.
Nilai Hidup (Values) anak Punk dalam
kaitannya dengan ngelem
Anak Punk dalam kesehariannya
baik bergaul bersama komunitasnya,
maupun dengan keluarganya mendapati
dirinya sebagai bagian yang utuh.
Mereka menyikapi pribadi mereka dalam
bersosialisasi dengan baik dengan
lingkungan sosialnya serta merasa
berguna bagi keluarganya dalam
membantu mencari nafkah, seperti yang
dikutip dari hasil wawancara berikut ini :
“..iya bagus [hubungan] dengan
keluargaku..,masih respon [saling
menegur],,tidak terlalu mengucilkan
pekerjaanku yang lebih banyak dijalan,
tidak melarang juga..[pekerjaan sebagai
pengamen dan anak Punk]..” (AM, pria,
19 tahun).
Observasi :
• Informan dalam keluarganya terlihat
seperti remaja pada umumnya,
maupun dalam bergaul dengan
temannya sama seperti remaja
lainnya, pada saat dikonformasi oleh
peneliti, seorang temannya
mengatakan bahwa informan tidak
pernah terlibat tindakan kriminal,
kecuali kakaknya.
Nilai hidup (values) yang
mereka rasakan merefleksikan
pandangan personal mereka terhadap
diri, hal ini terlihat dari kutipan
wawancara sebagai berikut :
“..kalau [merasa berguna] untuk diri
sendiri, ada [sering] juga,,untuk diri
sendiri saya rasa ada saya bermanfaat
bagi temanku [yang] artinya bertambah
luas juga pergaulanku,,maksudnya
misalnya saja kalau dia [teman] tidak
punya [uang], sama-sama [kami] tidak
punya [uang] ..biasanya [kami makan]
sepiring berdua misalnya,,usahakan
[semua teman anak Punk yang ada di
tempat itu] rasakan semua [makanan
yang ada]..biarpun sedikit
[makanannya] kita kenyang, tapi
setidaknya sama-sama kita merasakan
toh..”(AMA, pria, 19 tahun).
“[saya] ada [sering]..bantu mamaku
kerja, kasi [beri] uang biasanya bisa
[sekitar] 20 [ribu] biasa 30 [ribu] kalau
dapat [hasil] habis mengamen, kalau
tidak ada uangku biasa saya pinjam saja
dengan mamaku, nanti saya ganti
lagi..[setelah dapat uang]” (CH, pria,
12 tahun).
“iya..[saya] seringji [merasa
berguna]..karena selalu juga bantu
mamaku kerja.. biasa juga kasi-
kasi..tapi kalau tidak ada uang biasa
[sering] minta juga [pada ibu atau
ayah]..(SY, pria, 13 tahun).
Pengaruh Usia terhadap Inisiasi
Ngelem
Usia memberikan pengaruh
besar terhadap perilaku seseorang dalam
melakukan penyalahgunaan inhalen
(ngelem), dengan usia yang rata-rata
masih remaja, dimana psikologi pada
remaja dengan emosi yang labil seperti
sering merasa gelisah, resah, konflik
batin dengan orang tua, minat meluas
dan tidak menetap, pergaulan mulai
berkelompok, mulai mengenal lawan
jenis, dan sekolah tidak stabil,
memberikan ruang besar terhadap
mereka untuk menginisiasi perilaku
ngelem
“..dari situlah [awalnya] sampai sa
berhenti sekolah, lulus SMP, mulailah
bergaul diluar [dengan anak Punk] (LI,
pria, 18 tahun)
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
6
“waktu baru pertama saikut Punk
[berumur 14 tahun], saya sudah
coba..kalau di Kendari tenar-tenarnya
itu ngelem tahun-tahun 2008..” (AA,
pria, 17 tahun).
Jenis kelamin (gender) terhadap
ngelem
Pengaruh gender terhadap
perilaku ngelem memiliki andil besar,
dimana pada umumnya penyalahgunaan
inhalen dilakukan oleh remaja laki-laki.
“..kalau dulu [awal-awalnya] ada Punk
ledis, sekarang tidak ada lagi, bubar,
pisah-pisah mereka”..(AMA, pria, 19
tahun).
Pengaruh Penghasilan terhadap
perilaku ngelem
Penghasilan anak Punk yang
rata-rata pengamen, dimana uang yang
mereka peroleh sendiri tersebut,
memiliki potensi disalahgunakan karena
tanpa pengawasan orang tua, karena
orang tua mereka yang pada umumnya
tidak lagi membiayai keseharian anak-
anak Punk juga memberikan kesempatan
tanpa pengawasan kepada mereka untuk
mengakses lem jenis fox dengan harga
murah dan terjangkau, dibanding dengan
jenis yang lain yang memabukkan
seperti minuman keras ataupun obat
terlarang yang harganya mahal, hal ini
dapat dilihat dalam kutipan wawancara
berikut :
“..gampang sekali cari uang kalau
malam,,kalau saya dapat uang langsung
saya beli,,gampang di dapat juga,,kalau
dibanding dengan yang lain yang bikin
mabok yang ini [ngelem] gak ada yang
pernah dilarang..” (AM, pria, 19
tahun).
“..yah susah-susah gampang [kalau mau
ngelem]..susahnya kalau tidak ada
uang..kalau ada uangku saya belikan
lem,,kalau [waktu] dulu sering,,biasanya
patungan..misalnya saya ada [uang]
seribu,,teman seribu,,yah baku bagimi
[biaya beli lem]..” (AMA, pria, 19
tahun).
Harga yang relatif murah
dibandingkan bahan jenis lain yang
memabukkan, mudah ditemukan, dan
cara menggunakannya mudah serta tidak
adanya payung hukum yang menjadi
pemberi efek jera kepada mereka dalam
melakukan penyalahgunaan.
“..karena kalau kantong kering kan..biar
hanya 10 ribu 8 ribu bisa mabok
[dengen ngelem], murah, kalau obat-
obatan, terlalu mahal efeknya juga lebih
parah ketergantungannya, lem
mudahnya didapat karena banyak di
kios-kios..polisi pernah kita ngumpul-
ngumpul di kos-kos, teman ditangkap,
tapi hanya diperingati dikantor polisi,
tidak sampai dipenjaraji..” (LI, pria, 18
tahun).
“..[saya merasa] mampu
[ngelem]..karena saya bisa beli..kalau
saya habis ngamen biasa saya belikan
lem..[harganya hanya] 10 ribu..”(CH,
pria, 12 tahun).
Pengaruh etnis (suku)dan agama
terhadap perilaku ngelem
Di dalam Komunitas Punk yang
sering diistilahkan dengan People United
Not Kingdom, yang berarti mereka
adalah orang yang berkomunitas tanpa
memiliki raja atau pemimpin. Sehingga
satu sama lain mereka dianggap sama
rata tak ada pengaruh perbedaan suku
dan agama yang melatarbelakangi
tebentuknya anak Punk di Kota Kendari.
Komunitas Punk di kendari pada
umumnya beranggotakan suku
pendatang seperti Makassar sebagai
mayoritas, kemudian suku Bugis, dan
suku asli Kendari yakni suku Tolaki
menjadi minoritas, sedangkan agama
mayoritas Islam dan Minoritas Kristen,
serta tak ada anak Punk di Kota Kendari
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
7
yang menganut agama lain selain suku
tersebut diatas.
..kalau suku [anak Punk] kendari rata-
rata Makassar, bugis, dan muna, yang
jelasnya Makassar paling banyak..ada
tolaki [asli kendari] tapi
sedikit..memang tolaki asli sini, tapi
yang dirikan Punk disini orang dari
luar, orang Makassar..Agamanya islam
rata-rata..ndada saya tau agama
lain..(LI, pria, 18 tahun).
agama islam semua..kebanyakan islam
tapi ada juga Kristen..(TK, pria, 19
tahun).
Pengaruh pendidikan terhadap
perilaku ngelem
Untuk melihat faktor latar
belakang personal, melalui pendidikan
untuk mendapatkan gambaran dari sisi
kecerdasan emosional maupun
intelektual mereka, terkait perilaku
penyalahgunaan inhalen, dapat dilihat
dari hasi kutipan sebagai berikut :
“ ..[saya] sekolah hanya sampe SD,
sampe kelas 6 SD.. itu [karena] tidak
mampu juga orang tua [biayai sekolah],
saya tidak lanjut sekolah karena sa
sendiri tidak mau, kalau orang tua masih
mau..”(AM, pria, 19 tahun).
Minimnya pendidikan yang
mereka peroleh, serta status sebagai anak
putus sekolah memberikan kesempatan
kepada mereka untuk bergaul dengan
Komunitas Punk, dan menggeluti
pekerjaan rata-rata sebagai pengamen
jalanan, hal ini dapat dilihat dari hasil
wawancara sebagai berikut :
“..awalnya [saya] ketemu [dengan
seorang] anak Punk,namanya Aba anak
[berasal dari kabupaten] kolaka, terus
mengajak [bergabung dengan
Komunitas Punk] jalan ke Kolaka
bergaul..bergaul..terus saya bertanya
komunitas apa ini? Dia bilang
komunitas Punk, bisa saya ikut
[bergabung]? Dia bilang bisa, terus
[saya] bergaul ikut-ikut jalan ke
Makassar, langsung disitu saya [mulai]
senang [dengan cara] pergaulannya.
Saya rasa nyaman itu [bergaul dengan
anak Punk, persatuannya bagus,
kebersamaannya, terus bebas,
maksudnya tidak ada yang melarang,
kalau makan satu Loyang bersama
semua, kalau merokok Cuma sebatang
rokoknya di steken..” (AM, pria, 19
tahun).
Kebiasaan anak Punk yang telah
menganggap ngelem merupakan suatu
ritual memberikan kesempatan kepada
calon pengguna yang menganggap
komunitas Punk ini sebagai reference
group atau kelompok referensi yang
kemudian segala jenis perilaku yang
nampak mulai diadopsi, baik itu perilaku
positif maupun negatif seperti ngelem.
“ waktu di Makassar, waktu baru
pertama saya ikut [bergabung dengan]
Punk, saya sudah coba..saya disuruh
juga [untuk] tes [ngelem]..anak Punk itu
tidak sah kalau tidak pernah coba lem,
sudah pasti pernah coba, terus kita bawa
ke Kendari, banyak [anak-anak Punk]
yang ikut-ikuti [ngelem].. “(AA, pria, 17
tahun).
“ [waktu pertama belajar] Lihat teman
dia ngelem,coba juga, saya menghirup-
menghirup juga..Positifnya itu kaya5
kasih gila orang, berkhayal, kalau habis
menghirup [lem] lain-lain dia
bicara..”(TK, pria, 19 tahun).
Peranan ekspos media terhadap
perilaku ngelem
Faktor informasi dalam latar
belakang seseorang sampai berperilaku
adalah pengalaman, pengetahuan dan
ekspose pada media. Sebagian besar
penyalahgunaan inhalen (ngelem) pada
Komunitas Punk dimulai pada umur
remaja yakni 12-18 tahun, hal ini terlihat
dalam kutipan berikut :
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
8
“..lulus SMP, mulai [saya] bergaul
diluar..belajar ngelem sama anak Punk
di kebi..” (LI, pria, 18 tahun).
“waktu baru pertama saikut Punk, sa
sudah cobami..kalau di Kendari tenar-
tenarnya itu ngelem tahun-tahun 2008..”
(AA, pria, 17 tahun).
Kurangnya informasi tentang
bahaya penyalahgunaan inhalen, dan
anggapan yang salah tentang perilaku
ngelem, memberikan pengaruh pada
penyalahgunaan inhalen (ngelem) lebih
lanjut, karena mesikpun mereka sadar
dampak dan bahayanya, mereka tetap
ngelem, karena telah menjadi kebiasaan
mereka walaupun dapat membahayakan,
hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
“kalau dulu [ngelem menurut saya]
pasti positif, karena saya lebih fikirkan
enaknya daripada yang lainnya, kalau
sekarang, yah [sudah] ada kita paham
toh, banyak kita lihat, kita kurang-
kurangi..”(AA, pria, 17 tahun).
Peran media tidak banyak
memberikan andil dalam inisiasi perilaku
ngelem. Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan berikut :
“..tidak ada [pernah melihat di
media],,biar di HP tidak pernah, saya
kenal ngelem awalnya dari temanji,,itu
awalnya orang ngelem [sejarahnya]
orang dari inggris menurut ceritaji,,itu
sadengar ceritanya arjun anak Punk
kolaka [tinggal] di pomalaa..” (AM,
pria, 19 tahun).
“..ooo tidak ada..tidak pernah [dengar
dari media] “(AA, pria, 17 tahun).
Adapun mereka yang pernah
menyaksikan ekpos media tentang
ngelem, justru menyebabkan rasa takut
bagi mereka, sehingga mereka mencoba
untuk berhenti.
“..dengarnya [berita tentang ngelem]
dari televisi, kan bukan Cuma sekitar
kendari yang banyak gunakan semacam
lem, tapi dijakarta sana juga..beritanya,
anak jalanan didapat diatas jembatan 2
orang didapat ngelem, terus dibawa
kerumah sakit, [dalam keadaan] tidak
sadar..efeknyami itu mungkin gara-gara
fisiknya tidak kuat itu, dokternya yang
jelaskan. Bahkan katanya meninggal
sekaligus 2 [orang] itu..bahkan
[berawal] dari situ saya mulai kurangi
ngelem, tadinya [pakai] 1 kaleng
toh,.sekitar sudah 3 bulan lebih itu
berita, di Antv kayaknya itu berita ..”
(LI, pria, 18 tahun).
Begitupun dengan pencantuman
larangan penyalahgunaan lem, yang
tertera di kaleng lem tersebut,
mempunyai fungsi yang baik sebagai
pendukung dalam usaha mencegah
perilaku ngelem :
“biasanya ada tulisan dikalengnya itu,
larangan..jadi kita tau juga bahayanya,
sampai coba berhenti..”(AMA, pria, 19
tahun).
Observasi :
• terdapat larangan penyalahgunaan inhalen pada kaleng kemasan lem fox,
dimana larangan tersebut mudah
untuk dibaca oleh seseorang.
Dampak terhadap Status Gizi
Penyalahguna Inhalen
Inhalen atau biasa yang disebut
ngelem oleh anak-anak jalanan
merupakan senyawa organik berupa gas
dan pelarut yang mudah menguap.
Inhalen mengandung bahan-bahan kimia
yang bertindak sebagai depresan.
Depresan memperlambat sistem saraf
pusat, mempengaruhi koordinasi gerakan
anggota tubuh, dan konsentrasi pikiran.
Selain itu, inhalen juga bisa
mengakibatkan kerusakan fisik dan
mental yang tidak bisa disembuhkan.
Inhalen mempengaruhi otak dengan
kecepatan dan kekuatan yang jauh lebih
besar dari zat lain, hal ini dapat
mengakibatkan kerusakan fisik dan
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
9
mental yang tidak dapat disembuhkan.
Mati lemas dan mati secara tiba-tiba
dapat terjadi, walau "ngelem" baru
dilakukan pertama kali.
Gejala psikologis lain pada dosis
tinggi dapat termasuk rasa ketakutan,
ilusi sensorik, hlusinasi auditoris dan
visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala
neurologis dapat termasuk bicara, dan
ataksia. Penggunaan dalam periode lama
dapat disertai dengan iritabilitas, labilitas
emosi, dan gangguan ingatan.
Toleransi terhadap inhalan dapat
berkembang; walaupun tidak dikenali
oleh DSM-IV , sindroma putus inhalan
dapat menyertai penghentian pemakaian
inhalan. Sindroma putus inhalan tidak
sering terjadi; jika terjadi keadaan ini
ditandai oleh gangguan tidur, iritabilitas,
kegugupan, berkeringat, mual, muntah,
takikardi, dan kadang-kadang waham
dan halusnasi.
Bahaya penggunaan jangka
panjang pemakaian inhalen dapat
menyebabkan iritabilitas, labilitas emosi,
dan gangguan ingatan, kejang pada
anggota badan, kerusakan sumsum
tulang dan kerusakan hati dan ginjal.
Sindroma putus inhalen tidak sering
terjadi, kalaupun ada muncul dalam
bentuk susah tidur, iritabilitas,
kegugupan, berkeringat, mual, muntah,
takikardia, dan kadang kadang disertai
halusinasi.
Inhalan dapat disertai dengan
banyak kemungkinan efek merugikan
yang serius. Efek merugikan yang paling
serius adalah kematian, yang dapat
disebabkan oleh depresi pernafasan,
aritmia jantung, asfiksia, aspirasi muntah
atau kecelakaan atau cedera (sebagai
contohnya, terintoksikasi inhalan saat
mengendarai kendaraan). Peristiwa
merugikan serius lainnya yang
berhubungan dengan penggunaan
inhalan jangka panjang adalah kerusakan
hati dan ginjal yang ireversibel dan
kerusakan otot permanen yang disertai
dengan rabdomiolisis. Kombinasi pelarut
organic dan konsentrasi tembaga, seng,
dan logam berat yang tinggi telah
disertai perkembangan atrofi otak,
epilepsy lobus temporal, penurunan nilai
intelegensia (intelligence quotience : IQ)
dan berbagai perubahan
elektroensefalografik (EEG).
Penyalahgunaan menahun atau
pemaparan bahan kimia ini bisa merusak
otak, jantung, ginjal, hati dan paru-paru.
Selain itu bisa terjadi kerusakan sumsum
tulang, yang akan mempengaruhi
pembuatan sel darah merah dan
menyebabkan anemia.
Penyalahgunaan inhalen
memberikan dampak pada pola makan,
dimana informan menyatakan bahwa
dengan menghirup lem, dapat
menggantikan rasa lapar (kenyang semu)
dan pada akhirnya melupakan rasa lapar.
“Rata-Rata temanku yang ngelem itu
Kurus orangnya, ada kemarin dia belum
pake lem, bagus badannya, nnti lama
kelamaan dia pake lem akhirnya
kerempeng, ndak ada napsu makan,
dengan “ngelem” saja sudah kenyang
rasanya”(AMA, pria, 19 tahun).
Observasi :
• Keseluruhan responden terlihat kurus,
tidak dalam keadaan berat badan ideal,
”“Kalau ngelem, badan lebih kurus dan
bahu naik seperti penyakitan, karena
memang ketika menghirup bau lem
tersebut, terasa denyut kepala yang
menghentak” (AA, pria, 17 tahun).
Salah satu penyebab pada
umumnya penyalahguna inhalen
(ngelem) kehilangan berat badan
idealnya disebabkan karena terjadinya
gangguan pada tenggorokan sehingga
menghambat pola makan mereka.
“Banyak anak kecanduan lem, saya lihat
untuk makan pun susah karena
tenggorokannya dirasakan sakit," (LI,
pria, 18 tahun)
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
10
Begitu masuk ke dalam tubuh, Inhalen
langsung membawa rasa santai dan
menyenangkan. Tiada lagi rasa cemas
dan takut, persoalan (seolah) hilang.
Sensasinya juga serasa memberi,
dorongan semangat, percaya diri yg
tinggi dan daya tahan sehingga
pemakainya bisa bekerja berjam-jam
bahkan berhari-hari tanpa lelah, sehingga
dapat bertahan berhari-hari, dengan
ketiadaan terhadap rasa lapar dan haus,
sehinga membuat para penggunanya
mengalami penurunan berat badan, yang
tentulah jauh dari ideal.
Dalam otak manusia terdapat
pusat kesenangan yang disebut nucleus
accumbent. Di titik ini terjadi pelepasan
dopamine, yaaitu bahan kimia alami yg
menimbulkan rasa senang. Makin
banyak dopamine dilepaskan, makin
senang kita rasakan. Kesenangan
sesungguhnya merupakan ’hadiah’ yang
diberikan otak kepada manusia. Salah
satu puncak kesenangan normal adalah
adalah seks dan makan. Dalam kedua
aktivitas itu, dopamine dilepaskan otak
dan menimbulkan rasa senang dan
nyaman. Pemakainya jarang makan dan
minum, pasokan air liur di mulut
menjadi berkurang. Akibatnya gigi dan
gusi menjadi keropos tak terkira.
Bencana lainnya adalah kerusakan
organ-organ vital seperti ginjal, paru-
paru, lambung, hati dan tentu saja otak,
serta tentu saja tampilan fisik yang
menyedihkan.
Oleh karena itu cara termudah
mencegah kematian akibat penggunaan
NAPZA (khususnya dalam hal ini lem
Aica aibon) adalah tidak mulai
menggunakannya sama sekali. Sekali
pemakai kecanduan, ia akan memiliki
ketergantungan fisik dan psikologis
(yang bisa berlangsung seumur hidup).
PEMBAHASAN Ngelem dianggap merupakan
ritual didalam komunitas Punk, dimana
seseorang baru dapat dikatakan anak
Punk jika sudah pernah mencoba
ngelem, hal inilah yang mendasari
inisiasi dari perilaku ngelem anak Punk,
dimana dengan dianggapnya ngelem
merupakan sesuatu yang keren dan
dianggap pengecut ataupun tidak sah
seorang anak Punk jika tidak mencoba
ngelem, sehingga mereka mencoba
mengejar predikat tersebut.
Masalah internal maupun
ekseternal yang dihadapi oleh anak Punk
baik dilingkungan keluarga maupun
sosialnya, memberikan pengaruh
terhadap mereka untuk menjadi
pengguna aktif ataupun kambuhan. Hasil
pengamatan peneliti, pada umumnya
informan akan mencari sesuatu yang
memabukkan seperti lem dan minuman
keras, agar dapat melupakan
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Namun dalam penelitian ini tidak
menemukan pengaruh besar dari
hubungan sosial yang buruk dengan
keluarga atau teman dalam menginisiasi
perilaku ngelem mereka.
Mereka merasa bahwa apa yang
telah mereka lakukan terhadap teman
maupun keluarga membuat mereka
merasa lebih memiliki nilai hidup dan
berarti bagi orang-orang disekitarnya,
dengan keluargapun walau dengan
penghasilan paspasan yang dihasilkan
umumnya dari mengamen membuat
mereka tak lupa untuk membantu
ekonomi keluarga, selain itu
pergaulannya di lingkungan Komunitas
Punk pun memberikan mereka
peningkatan nilai hidup dan pandangan
pribadi terhadap diri mereka. Disisi lain,
mereka yang mencari nafkah sendiri
ternyata memiliki pengaruh besar
terhadap inisiasi perilaku ngelem sampai
menjadi pengguna aktif dan kambuhan.
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
11
Dengan mampu mencari uang sendiri,
mereka lebih leluasa untuk mengakses
lem untuk disalahgunakan, yang
disebabkan kurangnya pengawasan
orang tua mereka terhadap apa saja yang
dibelanjakan oleh mereka.
Usia memberikan pengaruh
besar terhadap perilaku seseorang dalam
melakukan penyalahgunaan inhalen
(ngelem), dengan usia yang rata-rata
masih remaja, dimana psikologi pada
remaja dengan emosi yang labil seperti
sering merasa gelisah, resah, konflik
batin dengan orang tua, minat meluas
dan tidak menetap, pergaulan mulai
berkelompok, mulai mengenal lawan
jenis, dan sekolah tidak stabil,
memberikan ruang besar terhadap
mereka untuk menginisiasi perilaku
ngelem. Penyalahgunaan inhalen
merupakan hal yang umum di dalam
komunitas Punk di kota Kendari,
dulunya Komunitas Punk Kendari
memiliki gender perempuan yang
dinamakan Punk ladies, namun mereka
sekarang sudah tidak lagi aktif sebagai
anak Punk. Sekarang ini Komunitas
Punk Kendari keseluruhannya
beranggotakan Laki-laki.
Penghasilan anak Punk yang rata-
rata pengamen, dimana uang yang
mereka peroleh sendiri tersebut,
memiliki potensi disalahgunakan karena
tanpa pengawasan orang tua, karena
orang tua mereka yang pada umumnya
tidak lagi membiayai keseharian anak-
anak Punk juga memberikan kesempatan
tanpa pengawasan kepada mereka untuk
mengakses lem jenis fox dengan harga
murah dan terjangkau, dibanding dengan
jenis yang lain yang memabukkan
seperti minuman keras ataupun obat
terlarang yang harganya mahal.
Harga yang relatif murah
dibandingkan bahan jenis lain yang
memabukkan, mudah ditemukan, dan
cara menggunakannya mudah serta tidak
adanya payung hukum yang menjadi
pemberi efek jera kepada mereka dalam
melakukan penyalahgunaan. Jika digali
lebih mendalam sehubungan dengan
perilaku ngelem pada anak Punk di Kota
Kendari, pengaruh perbedaan suku dan
agama ini tidak memberikan andil pada
inisiasi perilaku ngelem. Minimnya
pendidikan yang mereka peroleh, serta
status sebagai anak putus sekolah
memberikan kesempatan kepada mereka
untuk bergaul dengan Komunitas Punk,
dan menggeluti pekerjaan rata-rata
sebagai pengamen jalanan
Dengan bergaul dan sebagai
anak Punk, mereka merasa menemukan
tempat yang nyaman di dalam kelompok
ini, yang tidak mereka temui di tempat
lain. Pergaulan tersebut juga yang
menginisiasi mereka untuk melakukan
perilaku ngelem, baik secara sadar dan
tidak sadar. Kebiasaan anak Punk yang
telah menganggap ngelem merupakan
suatu ritual memberikan kesempatan
kepada calon pengguna yang
menganggap komunitas Punk ini sebagai
reference group atau kelompok referensi
yang kemudian segala jenis perilaku
yang nampak mulai diadopsi, baik itu
perilaku positif maupun negatif seperti
ngelem.
Rasa nyaman yang diberikan
sangat nikmat menurut mereka. Tiada
lagi rasa cemas dan takut, persoalan
(seolah) hilang. Sensasinya juga serasa
memberi, dorongan semangat, percaya
diri yg tinggi dan daya tahan sehingga
pemakainya bisa bekerja berjam-jam
bahkan berhari-hari tanpa lelah, sehingga
dapat bertahan berhari-hari, dengan
ketiadaan terhadap rasa lapar dan haus,
sehinga membuat para penggunanya
mengalami penurunan berat badan, yang
tentulah jauh dari ideal.
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
12
KESIMPULAN
Inisiasi perilaku ngelem
disebabkan oleh beberapa alasan, yakni
harga yang relatif murah dibandingkan
bahan jenis lain yang memabukkan,
mudah ditemukan, dan cara
menggunakannya mudah serta tidak
adanya payung hukum yang menjadi
pemberi efek jera kepada mereka dalam
melakukan penyalahgunaan inhalen.
Penyalahgunaan inhalen lebih mudah
terjadi pada seseorang yang mencari
nafkah % sendiri, seseorang merasa
berguna bagi dirinya sendiri dan
keluarganya, sehingga mendasari mereka
lebih bebas membeli lem dan
menyalahgunakannya tanpa pengawasan
orang tua. Remaja yang cenderung setia
dengan perkumpulannya, merasakan
kenyamanan bergaul yang tidak
diperoleh di tempat lain serta tingginya
rasa solidaritas bersama teman, sehingga
terjerumus kepada perilaku ngelem.
Pada pria dengan umur remaja 10–18
tahun, rata-rata berstatus putus sekolah,
dan tergolong dalam kelas ekonomi
menengah kebawah memiliki peluang
lebih besar menyalahgunakan inhalen.
Pada Usaha untuk berhenti ngelem,
peran media dalam mengekspos berita
tentang dampak buruk ngelem, lebih
berperan sehingga seseorang mampu
melepaskan adiksi dari ngelem. Selain
itu, dengan mencoba menghindari teman
yang aktif sebagai pengguna terbukti
memiliki andil besar. ketiadaan terhadap
rasa lapar dan haus, sehinga membuat
para penggunanya mengalami penurunan
berat badan, yang tentulah jauh dari ideal
dan memberikan pengaruh signifikan
terhadap penurunan status gizi ditinjau
dari sudut antropometrik..
UCAPAN TERIMA KASIH
Bagi seluruh keterlibatan
sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan dan menjadi bahan bacaan
yang berguna, baik itu materil maupun
dukungan spiritual, penulis
menghaturkan ucapan terima kasih yang
tak terhingga. Terutama kepada Penulis
kedua dan ketiga, yang telah banyak
membantu dalam membimbing dan
emngarahakan penelitian agar sesuai
dengan tujuan dan koridor ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality
and Behavior, (2nd
edition). Berkshire, UK:
Open University Press-
McGraw Hill Education.
Atkinson, Rowland & Flint, John. 2001.
Accessing Hidden and
Hard-to-Reach
Populations: Snowball
Research Strategies.
Inggris : Social research
update, Department of
Sociology, University of
Surrey, Guildford GU7
5XH.
BNN & Puslitkes UI , 2007. Makalah
pada Seminar Hari
Survey Nasional
Penyalahgunaan dan
Peredaran gelap Narkoba
Pada kelompok Rumah
Tangga 2007. Jakarta :
BNN.
Dorland. 2003. Illustrated Medical
Dictionary, 30th Edition.
Philidelphia : Saunders.
Howard, M, et all. 2010. Inhalent use,
inhalent-use disorders,
and antisocial behavior :
findings from the national
epidemiologic survey on
alcohol and related
conditions
(NESARC)(Report).
Journal of Studies on
Alcohol and Drugs. Vol.
71 Nbr. 2, March 2010.
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
13
(online) http://goliathcom
/gi_012616466/Inhalent-
(use-inhalent-use-
disorders.html), diakses
april 2011.
Kerlinger, F.N. 1986. Asas-asas
Penelitian Behavioral.
Terjemahan oleh Landung
R. Simatupang. 2006.
Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Koch, K.,R., Roberts, A.,E.,Armstrong,
M.,L., Owen, C.,O. 2009.
Body art, deviance, and
American college
students. The Social
Science Journal. Vol 47
(2010) 151–161. (Online)
(http://courses.ttu.edu/jko
ch/research/Social%20Sci
ence%20Journal%20Pub.
pdf), diakses 14 februari
2012.
MacLean, Sarah. 2007. Volatile bodies:
Stories of corporeal
pleasure and damage in
marginalised young
people’s drug use.
International Journal of
Drug Policy 19 (2008)
375–383. (online),
(http://whyprohibition.ca/
sites/default/files/Maclean
-volatile bodies-pleasure-
2008.pdf), diakses pada
tanggal 11 Januari 2012.
Mu’tadin, Z. 2002. Rokok dan Remaja.
(online) (http:/www.e-
psikologi.com/remaja/050
602.htm) diakses 10
Januari 2012
Nasir, S,. Rosenthal, D.,Moore, T. 2011.
The social context of
controlled drug use
amongst young people in
a slum area Makassar
Indonesia. International
journal of drug policy.
Vol.22 : 463-470
Nasir, S,. Rosenthal, D. 2009. The social
context of initiation into
injecting drugs in the
slums of Makassar,
Indonesia. International
journal of drug policy.
Vol. 20 : 237-243.
National Institute on Drug Abuse (1998).
Assessing Drug Abuse
Within and Across
Communities: Community
Epidemiology
surveillance Networks on
Drug Abuse. Department
of health and Human
Services National
Institutes of Health,
Maryland
O’Hara, C. 2008. The Philosophy of
Punk: More Than Noise.
Second Edition. San
Fransisco, CA: AK Press.
Praharaj, S.,K., Verma, P., Arora, M.
2008. Inhalant Abuse
(Typewriter Correction
Fluid) in Street Children.
Journal of Addiction
Medicine. Volume 2 -
Issue 4 :175-177
Sakai, J.T., Hall,S.K., Gilbertson-
Mikulich, S.K.,
Crowley,J.T. 2009.
Inhalant use, abuse, and
dependence among
adolescent patients:
commonly comorbid
problems : Division of
Substance Dependence,
University of Colorado
School of Medicine,
Denver, CO 80262, USA.
Journal of the American
Academy of Child and
Adolescent Psychiatry.
10/43(9):1080-8.
Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14
14
Sakai,T.,J., Mikulich-Gilbertson, K.,S.,
Crowley J., T. 2006.
adolescent inhalant use
among male patients in
treatment for substance
and behavior problems:
two-year outcome. the
american journal of drug
and alcohol abuse. Vol.
32(1) : 29-40.
Satori, D.,& Komariah, A. 2010.
Metodologi Penelitian
Kualitatif. Alfabeta :
Bandung
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum.
Pustaka setia : Bandung.
Sharp, C. W. 1992. Introduction to
Inhalent Abuse. Inhalent
Abuse: A Volatile
Research Agenda,
National Institute on Drug
Abuse Research
Monograph Series No.
129; Rockville: NIDA.
Moore, Ryan. 2004. Postmodernism and
Punk Subculture: Cultures
of Authenticity and
Deconstruction. The
Journal of Communication
Review.Vol. 7:305–327.
(http://www.stevenlaurie.
content/uploads/2012/01/
moore-
punkauthenticity.pdf),
diakses 26 februari 2012.
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
15
PEMANFAATAN UBI HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN
PENGAWET ALAMI SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN
PANGAN LOKAL DI SULAWESI TENGGARA
1Evie Fitrah Pratiwi Jaya
Stikes Karya Kesehatan1
Abstrak
Pemanfaatan ubi hutan dengan menggunakan bahan pengawet alami sebagai alternative
pengembangan pangan lokal di Pulau Mawasangka Kabupaten buton Sulawesi
Tenggara (dibimbing oleh Suryani A. Armyn dan Nurhaedar Jafar).
Penelitian ini bertujuan mendapatkan produk dodol dari ubi hutan dengan
menggunakan pengawet alami sebagai alternative pengembangan pangan lokal.
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan desain analisis
labolatorium. Penelitian dilakukan 3 tahap, tahap pertama melakukan penelitian
pendahuluan dengan pengujian resep dan uji organoleptik, Penelitian awal produk
dilakukan analisis proksimat dan penelitian akhir produk dilakukan analisis mikroba
sesuai dari SNI.
Hasil penelitian Formula dodol DIII memberikan tingkat kesukaan yang
baik.Untuk penelitian awal produk yakni analisis proksimat, formula terpilih 7,50%
untuk protein kasardan 7,94% formula kontrol, lemak kasar 0,46% formula terpilih
0,42% formula kontrol, Karbohidrat 71,37% formul terpilih dan 71,27% formula
control, Kadar air 19,48% formula terpilihdan 19,25% dengan syarat SNI maks.20%,
kadar abu 1,42% formula terpilih, 0,83% untuk dodol kontrol, syarat SNI min.7%, kadar
serat dodol terpilih 1,40% dan 0,14% untuk dodol kontrol. Pada penelitian akhir
produk, mutu mikrobiologi terdapat perbedaan jenis mikroba yakni dodol terpilih
terdapat mikroba khamir sehingga secara kasat mata terlihat masih berbentuk normal
sedangkan dodol control terdapat jenis kapank,yang dapat menjadikan produk tersebut
sudah tidak layak untukdikonsumsi. Penelitian akhir produk,daya simpan produk dodol
terpilih 12 hari sedangkan dodol control bertahan 6 hari.
Kata Kunci : Formula Dodol, Ubi Hutan, Jahe Merah, Masa Simpan
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
16
PENDAHULUAN
Selama ini beras memang
menjadi bahan pangan utama di
Indonesia karena banyak mengandung
karbohidrat yang sangat diperlukan
untuk kehidupan manusia. Namun,
masih ada bahan pangan lainnya yang
juga mengandung karbohidrat, termasuk
di antaranya ubi kayu,jagung dan umbi-
umbian. Kita tidak mungkin selamanya
tergantung akan beras sebagai bahan
pangan utama, karena produksi beras
dalam negeri terus menurun dikarenakan
luas lahan persawahan produktif
berkurang sejalan makin gencarnya
perubahan fungsi (konversi) menjadi
areal perumahan, pertokoan, perkebunan
dan lain- lain (Agustaningwarnidkk.,
2012).
Pengamat pertanian, HS Dillon,
menyatakan diversifikasi pangan jika
tidak dibarengi dengan membangun
pangan alternatif pengganti beras.
Padahal, kita kaya dengan umbi-umbian.
Namun karena tidak ada dorongan ke
arah sana, akhirnya masyarakat beralih
ke terigu dan gandum yang
pengolahannya sudah cukup bagus.
Seperti mengonsumsi roti dan mi instan.
Padahal, tidak ada sebutir gandum pun
yang ditanam di negeri ini (Cristina,
2010).
Masyarakat seharusnya mampu
belajar dari pengalaman sejarah yang
panjang di mana kelangkaan pangan di
tahun 70-an menyebabkan banyak orang
menderita kelaparan. Mereka mencari
apa saja tanaman yang bisa dimakan
yang penting kenyang. Dalam
perkembangannya, walaupun tidak
separah tahun-tahun sebelumnya, karena
masyarakat sudah menjadikan beras
sebagai makanan utama, di era tahun 90-
an ketersediaan beras juga mulai langka,
sehingga kebijakan raskin (beras untuk
orang miskin) dari pemerintah. Seperti
kita ketahui setiap daerah memiliki
keunggulan pangan lokal yang berbeda
sesuai tingkat produksi dan konsumsi.
Jenis umbi ini dibudidayakan secara
tradisional dimana sentra produksinya
mencapai 12-28 ton/ha dan hasilnya
masih tergolong rendah Padahal apabila
dibudidayakan dengan menerapkan
teknologi usaha tani, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit yang
tepat, potensi hasil dapat mencapai 40-
50 ton (Budiharjo, 2009).
Keterbatasan informasi
mengenai jenis dan kegunaannya bisa
jadi merupakan salah satu penyebab
minimnya pemanfaatan umbi-umbian
terutama dari jenis minor selain kentang,
singkong, talas dan ubi jalar. Pada ubi
hutan terdapat kandungan kalsium
oksalat yang dapat menyebabkan rasa
gatal, cara untuk meminimalkan rasa
gatalnya yaitu dengan penambahan
garam (NaCl) atau ditambahkan asam
nitrat dan asam khlorida encer,
sedangkan untuk meningkatkan pati
yang dapat di ekstrak dari ubi dapat
ditambahkan natrium bisulfit (pemutih)
(Dahlia, 2010).
Pada penelitian ini ingin melihat
daya terima serta daya simpan dodol ubi
hutan dengan penambahan bubuk jahe
yang dimaksudkan sebagai pengawet
alami yang mengandung senyawa
kanifen yang terkandung didalam
minyak atsiri, kanifen merupakan
senyawa anti mikroba yang terdapat
pada jahe dan berfungsi sebagai
pengawet alami yang mampu menekan
laju pertumbuhan mikroorganisme yang
mampu mempertahankan daya simpan
dodol (Richana dkk., 2004).
Diakui, memang tidak mungkin
secara serta merta total mengganti beras
dengan hasil umbi-umbian lain sebagai
bahan pangan nasional, namun salah
satu dengan cara mengkonsumsi ubi
hutan ini serta bila semua pihak
mendukung secara perlahan
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
17
ketergantungan akan beras dapat di
kurangi dan pada gilirannya ketahanan
pangan akan semakin terjamin kuat.
Diversifikasi olahan berbahan Ubi
Hutan dan Jahe ini akan memberikan
kesempatan bagi kosumen untuk
memilih produk-produk olahan yang
sesuai dengan selera mereka. Selain
karena banyaknya pilihan dan
manfaatnya yang telah diketahui oleh
sebagian besar masyarakat pemerintah.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian ini bertempat di
Laboratorium Jurusan Gizi Politeknik
Kesehatan Kendari untuk uji
organoleptik pada panelis semi terlatih
sedang panelis tidak terlatih
dilaksanakan di SDN 08 Mandonga
Kendari, Untuk Uji Mikroba
diLaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Universitas Haluoleo
Kendari, dan Untuk Uji proksimat
dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Makanan Ternak Universitas
Hasanuddin. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen
dengan analisa laboratorium,satu
perlakuan empat taraf dan tiga kali
pengulangan, dimana pelaksanaannya
dibagi dalam tiga tahap yaitu penelitian
pendahuluan, penelitian awal produk
dan penelitian akhir produk. Penelitian
pendahuluan bertujuan untuk
memperoleh perbandingan resep terbaik
dari bahan-bahan yang akan digunakan
pada penelitian awal produk. Pada
penelitian awal produk dilakukan uji
organoleptik menggunakan uji hedonic
pada panelis, kemudian ditentukan satu
produk dan produk sebagai control yang
dinyatakan sebagai produk yang terbaik
kemudian dilakukan analisis proksimat
dan dilakukan uji mikrobiologi awal
dengan menghitung jenis jamur pada
produk dodol dan control dengan
perlakuan terpilih yang dihasilkan
dengan menggunakan metode Pengujian
Angka Kapang dan Khamir serta uji
pengamatan jenis jamur dengan
menggunakan metode PDA dalam hal
ini telah ditumbuhi jamur, maka perlu
dilakukan pengamatan sebelum dan
setelah dilakukannya penyimpanan
pengamatan ini akan dilakukan pada
penelitian ketiga yakni penelitian akhir
produk.
Jenis-jenis dan Cara Pengumpulan
Data
Data yang akan di kumpulkan
adalah data pimer yang terdiri dari :
Data kesukaan atau Uji Organoleptik
terhadap kriteria warna, rasa, aroma
serta tekstur.Data analisis proksimat, ,
analisis Mikroba meliputi jumlah bakteri
dodol dan Uji Angka Kapang / Khamir.
Pengumpulan data berupa data
uji kimia atau biasa disebut dengan
analisis proksimat yaitu menganalisis
kandungan protein,lemak,kadar
abu,kadar karbohidrat,kadar serat kasar
dan kadar air, sedangkan uji
mikrobiologi yaitu menghitung dan
mengamati jumlah dan jenis jamur
angka kapang pada dodol yang diperoleh
dengan menggunakan metode pengujian
angka kapang dan khamir. Untuk
mengetahui masa simpan dodol
menggunakan metode konvensional.
Data daya terima diperoleh
dengan menggunakan formulir penilaian
yang diberikan kepada panelis dengan
prosedur dan kriteria penilaian panelis
yakni kepada panelis diberi penjelasan
tentang tujuan dan cara pengisian
formulir, Sampel yang akan dinilai
diletakkan dikemas dengan kode
tertentu, Formulir penilaian terlampir
bersampel yang akan dinilai dan
diletakkan di meja panelis, Penilaian
organoleptik dilakukan dengan warna,
rasa, aroma dan tekstur, Untuk
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
18
menetralkan rasa dan aroma masing-
masing produk maka panelis diberi air
putih. Sedang Untuk kriteria panelis
yakni Panelis bukan perokok, Panelis
peka terhadap atribut yang dinilai, Sehat
(tidak sedang mengidap suatu penyakit
yang dapat mengganggu penilaian)
seperti Pilek, dll. Serat panelis tidak
dalam keadaan lapar.
Kontrol kualitas
Dalam menstandarisasi Petugas
Pengolahan diperlukan pelatihan petugas
pengolahan, Untuk maksud tersebut
perlu dilakukan standarisasi yang
bertujuan untuk menjelaskan latar
belakang dan tujuan penelitian, serta
melatih pengolahan dodol dengan baik
dan benar dengan harapan dapat
memahami tujuan dan merasa turut
memiliki penelitian yang dilakukan,
memahami system dan tata kerja
organisasi penelitian dan mampu
memahami dan menguasai teknik
pengolahan dodol.
Sanitasi alat yang akan dilakukan
dalam penelitian tersebut meliputi
pencucian untuk menghilangkan kotoran
dan sisa-sisa bahan, diikuti dengan
perlakuan sanitasi dengan sanitasi
dengan menggunakan air. Biasanya
digunakan detergen untuk membantu
proses pembersihan. Penggunaan
detergen mempunyai beberapa
keuntungan karena detergen dapat
melunakkan air, mengemulsi lemak,
melarutkan mineral dan komponen larut
lainnya sebanyak mungkin. Kontaminasi
oleh mikroorganisme dapat terjadi setiap
saat dan menyentuh setiap permukaan
seperti tangan, alat, wadah. Oleh karena
itu hygine personalia atau kebersihan
diri pekerja sangat perlu untuk
diperhatikan dalam pengolahan produk
makanan seperti pada pembuatan dodol
ubi hutan yang sebagai sumber pangan
alternatif.
HASIL
Penelitian Pendahuluan
Fokus pada penelitian
pendahuluan ini memiliki dasar
penentuan komposisi bahan yang
ditinjau dari bahan dasar utama
pembuatan dodol sesuai standar
operasional produksi (SOP). Dalam
penelitian pendahuluan ini dilakukan
penentuan berbagai macam resep, dan
resep yang paling baik digunakan untuk
penelitian awal. Dalam penelitian
pendahuluan dicari konsentrasi bahan
yang sesuai yaitu dilakukan
perbandingan resep dengan cara
mengumpulkan bahan, untuk
mengetahui perbandingan gula,
penentuan konsentrasi ubi dan
penambahan bubuk jahe yang sesuai
sehingga dapat menghasilkan produk
dodol ubi hutan yang dapat disukai baik
dari segi warna, rasa, aroma dan tekstur.
Hasil yang didapatkan setelah uji
resep yakni untuk Formula dodol control
komposisinya tepung ketan (1000gr),
gula pasir (550 gr), gula aren (950 gr),
dan santan ( 2000 ml). sedangkan untuk
formula dodol ubi hutan dengan 3 kali
pembuatan formula dimana, formula DII
berkomposisi tepung beras (150 gr),
gula pasir (300 gr), santan (650 ml), ubi
hutan (1500 gr), bubuk jahe (200 gr),
garam (5 gr). Untuk formula DIII
berkomposisi tepung beras (150 gr),
gula pasir (375 gr), santan (750 ml), ubi
hutan (1200 gr), bubuk jahe (330 gr),
garam (5 gr). Untuk formula DIV
berkomposisi tepung beras (150 gr),
gula pasir (400 gr), santan (850 ml), ubi
hutan (970 gr), bubuk jahe (430 gr),
garam (5 gr).
Pada tabel 11 memperlihatkan
rata-rata kesukaan panelis tidak terlatih
yang menjadi sampel yakni murid dan
guru SDN 08 Mandonga yang
menunjukkan bahwa formula DIII yang
paling disukai (4,17) untuk Murid dan
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
19
(3,850 untuk Guru, sementara untuk
formula control para murid juga suka
dengan nilai (3,27) dan para guru (3,45).
Sedangkan pada tabel 12
memperlihatkan rata-rata kesukaan
panelis semi terlatih yang menjadi
sampel yakni mahasiswa Politeknik
kesehatan kendari, dikarena mereka
lebih mengetahui seluk beluk produk
dodol, oleh sebab itu dilakukan uji
organoleptik dan mendapatkan hasil
mutu kesukaan dan terpilihlah formula
dodol DIII dari segi rasa (4,00) , untuk
aroma (4,05), untuk warna (3,75) dan
untuk tekstur produk ini (3,75).
Sedangkan formula dodol control untuk
semi terlatih dari segi rasa (3,50) , untuk
aroma (3,45), untuk warna (3,50) dan
untuk tekstur produk ini (3,40).
Penelitian Awal Produk
Penelitian pada awal produk,
dimana sudah didapatkan formula yang
disukai baik dari panelis tidak terlatih
maupun semi terlatih dimana mereka
lebih memilih Formula dodol ubi hutan
dengan kode DIII, oleh sebab itu
dilakukanlah analisis proksimat yang
merupakan suatu metode analisis kimia
untuk mengidentifikasikan kandungan
zat makanan dari suatu bahan pangan.
Tabel 13 memperlihatkan rata-
rata hasil yang didapatkan pada uji
proksimat dengan proses triplo, pada
dodol terpilih yang dimana kadar air
(19,48%), untuk protein kasar (7,50%),
untuk lemak kasar (0,46%), untuk serat
kasar (1,40%), untuk karbohidrat
(71,37%), dan kadar abu (1,42%)
dimana yang disesuaikan dengan SNI
yang merupaka syarat mutu suatu dodol
memenuhi syarat. Kemudian untuk
dodol kontrol didapatkan untuk kadar air
(19,48%), untuk protein kasar (7,94%),
untuk lemak kasar (0,42%), untuk serat
kasar (0,14%), untuk karbohidrat
(71,27%), dan kadar abu (0,83%).
Penelitian Akhir Produk
Tabel 14 dari hasil uji
laboratorium Angka Lempeng Total
(ALT) pada Formula dodol ubi hutan
yang terpilih dengan formula dodol
kontrol terhadap masa simpan dodol ubi
hutan dari total mikroba, menunjukkan
bahwa total mikroba tertinggi pada
formula dodol control dengan 6 kali
tahap pengenceran yakni dan
dipengenceran 103 terdapat 9,0 x 103
koloni/gr yang sudah tidak memenuhi
syarat dan hanya bertahan sekitar 6 hari
lamanya sedangkan terpilih lebih awet
dengan jumlah koloni 4,0 x 103 koloni/gr
bertahan sampai 12 hari.
Perbedaan jenis mikroba yakni di
dodol terpilih lebih cendrung adanya
mikroba jenis khamir yang berbentuk
kecil-kecil sehingga secara kasat mata
produk tersebut terlihat masih berbentuk
normal baik dari segi warna,aroma, rasa
dan juga tekstur, sedangkan dodol yang
sebagai control terdapat jenis kapank
yang secara kasat mata bisa dilihat, yang
dapat menjadikan produk tersebut sudah
tidak layak untuk dikonsumsi. PEMBAHASAN
Dalam standar mutu produk,
diperlukan suatu pengujian terhadap
produk tersebut. Pengujian mutu bahan
makanan dapat menggunakan
kemampuan indera manusia disebut
pengujian organoleptik. Uji penerimaan
menyangkut penilaian seseorang akan
suatu sifat atau kualitas suatu bahan
yang menyebabkan orang menyenangi.
Untuk melaksanakan penilaian
organoleptik diperlukan panel yang
bertindak sebagai instrumen atau alat.
Uji penerimaan menyangkut
penilaian seseorang akan suatu sifat atau
kualitas suatu bahan yang menyebabkan
orang menyenangi. Pada uji ini panelis
mengemukakan tanggapan pribadi yaitu
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
20
kesan yang berhubungan dengan
kesukaan atau tanggapan senang atau
tidaknya terhadap sifat sensoris atau
kualitas yang dinilai. Tujuan uji
penerimaan ini untuk mengetahui
apakah suatu komoditi atau sifat
sensorik tertentu dapat diterima oleh
masyarakat (Zandstra, dkk., 1998).
Didalam penelitian tersebut,
menggunakan dua macam jenis panelis
yakni panelis tidak terlatih yang
diantaranya murid dan guru Sekolah
Dasar 08 Mandonga dan panelis semi
terlatih yakni mahasiswa Politeknih
Kesehatan Kendari. Panel semi terlatih
dipilih dari kalangan terbatas dengan
menguji datanya terlebih dahulu atau
sudah mengetahui mengenai produk
yang akan diuji cobakan. Untuk panel
tidak terlatih, Panel hanya diperbolehkan
menilai alat organoleptik yang
sederhana yakni sifat kesukaan, dan
tidak diperbolehkan dimasukkan dalam
uji pembedaan. Dari hasil pengukuran
daya terima dengan melakukan
penggolongan kriteria dari segi
warna,rasa,tekstur dan aroma untuk
persentase terbesar yang menyatakan
menarik pada formula Kontrol dan
Formula dodol III.
Rendahnya persentase panelis
terhadap formula dodol IV. Hal ini
disebabkan oleh penambahan bubuk
jahe yang terlalu banyak dan tidak
sesuai dengan jumlah bahan dasar yang
digunakan, yaitu bahan dasar ubi yang
jumlahnya lebih sedikit dibanding
dengan sampel dodol yang lainnya, dan
pemberian tepung beras yang diberikan
sama dengan semua sampel dodol ubi
hutan mengakibatkan
ketidakseimbangan konsentrasi bahan
yang mengakibatkan warna dodol
menjadi kecoklatan hampir menyurupai
dodol yang sebagai kontrol, karena jika
konsentrasi tepung beras sedikit maka
warna dodol ubi mafu yang dihasilkan
menjadi kecoklatan, sedangkan tepung
beras yang terlalu banyak menghasilkan
warna yang buram akibat proses
gelatinasi. Apabila pati dilarutkan dalam
air panas maka akan membentuk sol
atau gel yang bersifat kental dan
menghasilkan warna buram. Hal ini
mengakibatkan perubahan warna ungu
menjadi ungu kecoklatan (Qinah, 2009).
Pengaruh dari penambahan
konsentrasi gula yang berbeda pada tiap
formula dodol ubi hutan dimaksudkan
untuk melihat tingkat kemanisan pada
formula dodol tersebut, dimana jika
konsentrasi gula terlalu sedikit ataupun
terlalu banyak maka warna ungu yang
dihasilkan pada dodol ubi mafu tidak
mencolok, sedangkan gula yang terlalu
banyak menghasilkan warna ungu yang
sangat pekat dan mengkilap. Bila larutan
gula diuapkan maka konsentrasi akan
meningkat. Keadaan ini akan terus
berlangsung sehingga seluruh air
menguap, bila keadaan tersebut telah
tercapai dan pemanasan diteruskan,
maka cairan yang ada bukan lagi terdiri
dari air tetapi cairan gula yang melebur
(suhu 1700C). Bila gula dipanaskan terus
sampai suhunya melebihi titik leburnya
maka akan terjadi karamelisasi yang
menghasilkan gula yang berwarna
coklat.
Analisis Proksimat merupakan
suatu metode analisis kimia untuk
mengidentifikasikan kandungan zat
makanan dari suatu bahan pakan atau
pangan. Ada beberapa kelebihan analisis
proksimat dalam mengidentifikasi bahan
makanan, diantaranya Banyak senyawa
yang dapat dihitung pada bagian-
bagiannya per miliar, Murah, Cepat,
Mudah disesuaikan (Martin, 1984).
Analisis kimia ini adalah yang
paling ekonomis (relative) dan datanya
cukup memadai untuk digunakan dalam
penelitian dan keperluan
praktis. Analisis proksimat menganalisis
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
21
beberapa komponen seperti zat makanan
air (Bahan Kering), bahan anorganik
(abu), protein, lemak, dan serat kasar
serta karbohidrat (Linder, 2006).
Pada formula dodol terpilih
memiliki kadar air 19,48 yang jika
dibandingkan dengan nilai SNI
memenuhi syarat pada tahap ini yakni
syaratnya maks.20. sama halnya pada
dodol yang sebagai kontrol yakni 19,25,
hal ini disebabkan lamanya pemasakan
dan bahan-bahan yang digunakan
berkwalitas baik sehingga hasil yang
didapatkan juga baik.
Protein kasar merupakan
kumpulan yang mengetengahkan lebih
dari 20 asam amino, dan tiap-tiap asam
amino mempunyai fungsi khusus dalam
metabolisme yang berikatan satu sama
lain.Dalam hasil yang telah didapatkan,
pada formula dodol terpilih memiliki
kadar protein 7,50 dan pada dodol yang
sebagai kontrol memiliki 7,50. Kadar
nitrogen dari bahan makanan ditentukan
dengan cara kjedhal, yang hasilnya
kemudian dikalikan dengan faktor
protein 6,25 untuk mendapatkan kadar
protein.
Pada penelitian ini didapatkan
hasil serat kasar pada formula dodol
terpilih dengan rata-rata 1,40 ini berbeda
yang didapatkan oleh dodol kontrol
yakni 0,14. Hal ini disebabkan Pati yang
berkadar amilosa tinggi mempunyai
kekuatan ikatan hidrogen yang lebih
besar karena jumlah rantai lurus yang
besar dalam granula, sehingga
membutuhkan energi yang lebih besar
untuk gelatinisasi. Hasil perhitungan
rasio amilosa dan amilopektin ternyata
antara tepung dan pati tidak jauh
berbeda, walaupun pengamatan amilosa
bahan berbeda Kadar amilosa dalam
tepung maupun pati uwi (23,6% dan
23,2%) dan dapat dikatakan amilopektin
pada ubi uwi 76,8%.
Pada hasil analisi proksimat,
didaptkan rata-rata kandungan
Karbohidrar dengan triplo sebesar 71,27
pada dodol kontrol sedang 71,37 pada
dodol terpilih, pemanfaatannya. Ubi
hutan (Dioscorea alata L) berpotensi
sebagai sumber karbohidrat dan diduga
banyak mengandung senyawa fenol, dan
antosianin yang tinggi antioksidannya.
Kadar karbohidrat berkisar antara 73,27
– 92,37% dan aktivitas antioksidan
terbesar pada ubi kukus sebesar 64,97%
sedangkan kandungan antosianin
tertinggi pada ubi kukus 131,67%.
Kadar abu pada penelitian ini
yakni 0,83 untuk dodol kontrol
sedangkan 1,42 untuk dodol terpilih, hal
ini disebabkan karena kadar abu yang
didapat merupakn titik tolak untuk
analisis mineral (kalsium, fosfor,
magnesium dan lain-lain).tetapi disini,
peneliti tidak secara inti lebih mendalam
memeriksa kandungan abu pada dodol
terpilih.
Teknik pemindahan biakan
bertujuan untuk menguasai teknik
pemindahan biakan bakteri dari satu
wasah ke wadah lain, secara asentik
sehingga hanya biakan murni yang
diharapkan tumbuh. Hal ini sangat
penting dalam tahap awal pekerjaan
isolasi mikroba terutama yang berasal
dari stok kultur (bukan dari substrat). Melalui pertumbuhannya
mikroorganisme dapat menyebabkan
berbagai perubahan fisik dan kimia dari
suatu bahan pangan. Apabila bahan
tersebut tidak didinginkan atau tidak
dapat diterima oleh para konsumen,
maka bahan pangan tersebut dikatakan
mengalami kerusakan. Pembiakan
diperlukan untuk mempelajari sifat
bakteri untuk dapat mengadakan
identifikasi, determinasi, atau
deferensial jenis-jenis yang ditemukan.
Pertumbuhan ketahanan bakteri
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
22
tergangung pada pengaruh luas, seperti
makanan (nutrisi) (Jekti, 2010).
Masa simpan dodol terpilih dapat
bertahan selama 12 hari sedang pada
dodol kontrol hanya mampu bertahan
selama 6 hari, banyak Faktor-faktor
ekstrinsik pada pembuatan dodol selama
proses produksi, penyimpanan, dan
distribusi makanan terdiri dari
pengendalian suhu, kelembaban relatif,
paparan cahaya (UV dan infra merah),
mikroba di lingkungan, komposisi udara
dalam kemasan, perlakuan suhu
(contohnya pemanasan kembali atau
pemasakan), dan penanganan konsumen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa
Diversifikasi olahan berbahan Ubi
Hutan dan Jahe ini akan memberikan
kesempatan bagi kosumen untuk
memilih produk-produk olahan yang
sesuai dengan selera mereka. Selain
karena banyaknya pilihan dan
manfaatnya yang telah diketahui oleh
sebagian besar masyarakat.Oleh karena
itu Pemerintah mulai melirik industri
kreatif sebagai alternatif roda penggerak
ekonomi yang akan terus berputar. Nilai
ekonomi dari suatu produk atau jasa di
era kreatif tidak lagi ditentukan oleh
bahan baku atau sistem produksi seperti
pada era industri, tetapi pada
pemanfaatan kreativitas dan inovasi.
Industri tidak dapat lagi bersaing di
pasar global dengan hanya
mengandalkan harga atau mutu produk
saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi,
kreativitas dan imajinasi.
Salah satu pengolahan ubi hutan
sangat tepat jika dikembangkan untuk
dapat menjadi industry kreatif
mengingat manfaat dan kegunaan ubi
hutan cukup luas, terutama untuk
industri makanan dan juga sebagai
produk antara. Banyaknya manfaat dan
kegunaan dari ubi hutan ini,
memungkinkan olahan ubi tersebut
lebih ditumbuhkembangkan di daerah
daerah sentra produksi ubi hutan
khususnya di daerah Sulawesi tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Ningrum. (2010). Penambahan
Bahan Pengawet Kalsium
Propionat Dalam
Menghambat Kontaminasi
Kapang Syncephalastrum
Racemosum Pada Dodol
Susu. Emrginfect Diz (serial
online) diunduh 25 Maret
2012. Available from: URL:
http://pustaka.litbang.deptan.g
o.id/publikasi/wr24502j.pdf.
Budiharjo. (2009). Perubahan fenolik,
antosianin dan aktivitas
antioksidan ”Uwi Ungu”
(Dioscorea alata L) akibat
Proses Pengolah. Emrginfect
Diz (serial online) diunduh 25
Maret 2012. Available from:
URL:
http://pustaka.litbang.deptan.g
o.id/publikasi/wr24502j.pdf.
Christina, W. (2010) . Jurnal Litbang
Pertanian “Peluang Tanaman
Rempah dan Obat sebagai
Sumber Pangan Fungsional”.
Bogor: Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pasca
Pertanian
Dahlia Simanjuntak. (2009) .
Pemanfaatan Komoditas Non
Beras Dalam Diversifikasi
Pangan Sumber Kalori.
Emrginfect Diz (serial online)
diunduh 25 Maret 2012.
Available from: URL:
http://repository.usu.ac.id/handl
e/123456789/15544.
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
23
Jekti, Rabea Pangerti. (2010).
Pencemaran Bahan Makanan
Oleh Mikroba. Emrginfect Diz
(serial online) diunduh 25 Maret
2012. Available from: URL:
http://library.usu.ac.id/downloa
d/fkm/fkm-nurmaini2.pdf.
Linder, Maria C. (2006). Biokimia
Nutrisi dan Metabolisme.
Jakarta: UI Press. Martin Jr, D.W dkk. (1984). Biokimia
(Harpers Review of
Biochemistry), Edisi XIX, EGC,
Jakarta.
Noer, Hendry. (2008) .
Memperpanjang Umur Simpan
Produk Bakery. Emrginfect Diz
(serial online) diunduh 25 Maret
2012. Available from: URL:
http://www.foodreview.biz/logi
n/preview.php?view&id=55992
Richana, Sunarti. (2004). Karakterisasi
Sifat Fisikokimiatepung Umbi
Dan Tepung Pati Dari Umbi
Ganyong, Suweg, Ubikelapa
Dan Gembili Emrginfect Diz
(serial online) diunduh 25 Maret
2012. Available from: URL:
http://repository.ipb.ac.id/bitstre
am/handle/123456789/5908/Pen
dahuluan_2009wya-
2.pdf?sequence=7.
Sudarmadji., dkk. (1989). Analisa
Bahan MAkanan dan
Pertania.Liberty.Yogjakarta.
Qinah. (2009). Pengaruh Kosentrasi
Gula Pasir dan Tepung Ketan
Terhadap Sifat Kimia,
Organoleptik Serta Daya
Simpan Dodol Ubi Jalar Ungu.
Emrginfect Diz (serial online)
diunduh 25 Maret 2012.
Available
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
24
Tabel 1. Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada formula dodol
Panelis Formula Dodol Uji Kruskall-
Wallis (p = 0,05) DI DII DIII DIV
Murid
3,27 3,03 4,17 2,83 0,000
Guru
3,45 3,05 3,85 2,60 0,000
Tabel 2. Rata-Rata Kesukaan Panelis Semi Terlatih Pada formula dodol
Formula dodol
Ubi Hutan Aroma Warna Rasa Tekstur
Uji Kruskall-
Wallis
(p = 0,05)
DI
3,45 3,50 3,50 3,40
0,000
DII
2,70 3,20 2,95 2,60
DIII
4,05 3,75 4,00 3,75
DIV 2,35 2,50 2,65 2,40
Tabel 3. Rata-Rata Hasil Analisis Proksimat pada Proses Triplo Dodol terpilih
dan Dodol Kontrol
Sampel Kadar
Air
(%wb)
Protein
Kasar
(%wb)
Lemak
Kasar
(%wb)
Serat
Kasar
(%wb)
KH
(%wb)
Kadar
Abu
(%wb)
Dodol
kontrol
19,25 7,94 0,42 0,14 71,27 0,83
Dodol
Terpilih
19,48 7,50 0,46 1,40 71,37 1,42
SNI Dodol Maks
20%
Min. 3% Min.7% Tidak
diketahui
Tidak
diketahui
Tidak
diketahui
Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 15 - 25
25
Tabel 4. Uji Angka Lempeng Total (Total Mikroorganisme)
Sampel Syarat
SNI Tahap I (Hari-I)
Tahap II (Hari-IV)
Tahap III (Hari-VII)
Tahap IV (Hari-XII)
Tahap V (Hari-XIV)
Formula
Dodol
Terpilih Maks.
5,0 x 102
0 koloni/g 1,0 x 101
koloni/gr
3,0 x 102
koloni/gr
5,0 x 102
koloni/gr
4,0 x 103
koloni/gr
Formula
Dodol
Kontrol
0 koloni/g 3,0 x 101
koloni/gr
6,0 x 102
koloni/gr
7,0 x 102
koloni/gr
9,0 x 103
koloni/gr
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
26
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN
STATUS GIZI DENGAN PENYEMBUHAN LUKA PASIEN BEDAH
DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ABUNAWAS
KOTA KENDARI TAHUN 2014
1Paridah
Universitas Haluoleo1
Abstrack
Keadaan gizi merupakan faktor penting pada masa bedah. Malnutrisi energi
dan protein disebabkan akibat penyakit yang diderita dan akibat diet yang kurang
baik sehingga timbul keadaan malnutrisi yang parah. Berdasarkan data yang
diperoleh di Rumah Sakit Umum Abunawas Kota Kendari tahun 2013 menunjukkan
jumlah pasien bedah adalah 216 orang. Pada bulan Agustus-September 2014 jumlah
penderita bedah sebanyak 187 pasien rawat jalan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan asupan energi, protein
dan status gizi dengan penyembuhan luka pada pasien pasca bedah di Ruang Rawat
Inap Bedah Rumah Sakit Abunawas Kota Kendari. Penelitian ini merupakan
penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien diruang rawat inap bedah RSUD. Abunawas
Kota Kendari pada periode Agustus-September Tahun 2014 sebanyak 80 orang dan
sampel sebanyak 52 orang yang diambil menggunakan Purposive Sampling. Data
diperoleh menggunakan kuisioner dan pengukuran antropometri dan di analisis
menggunakan uji Chi-Square.
Hasil yang diperoleh yakni asupan energi pada pasien pasca bedah sebagian
besar kurang yakni (59,6%) dan asupan proteinnya kurang (55,8%), kemudian dari
38 sampel yang asupan proteinnya kurang, sebagian besar yaitu 18 orang (62,15%)
kondisi luka pasien dalam keadaan kering, dari 38 sampel yang asupan proteinnya
cukup, sebagian besar yaitu 29 orang (76,3%) kondisi luka pasien dalam keadaan
kering dan 31 sampel yang status gizinya baik, sebagian besar yaitu 25 orang
(80,6%) kondisi luka pasien dalam keadaan kering. Hasil analisis statistik
menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan energi dengan penyembuhan luka
(p=0,648). Tidak ada hubungan antara asupan protein dengan penyembuhan luka
(p=0,786). Ada hubungan status gizi dengan penyembuhan luka (p=0,012) pada
pasien pasca bedah di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Abunawas Kota
Kendari.
Penelitian ini menyarankan agar dapat menjadi masukan bagi pemerintah
daerah dan instansi terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Kendari dan RSUD.
Abunawas Sultra dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam upaya
menangulangi masalah kurangnya asupan zat gizi khususnya energi dan protein pada
pasien pasca bedah.
Kata Kunci : Energi, Protein, Status Gizi dan Penyembuhan Luka
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
27
PENDAHULUAN
Keadaan gizi merupakan faktor
penting pada masa bedah. Malnutrisi
energi dan protein disebabkan akibat
penyakit yang diderita dan akibat diet
yang kurang baik sehingga timbul
keadaan malnutrisi yang parah.
Malnutrisi energi dan protein akan
berdampak pada fungsi fisiologis dan
meningkatkan risiko pembedahan atau
memperpanjang masa pemulihan
(Sabiston, 2009).
Pemenuhan kebutuhan nutrisi
bagi tubuh, umumnya diperoleh dari
diet sesuai dan memenuhi syarat
kesehatan. Kebutuhan nutrisi harian
terhadap zat-zat gizi esensial serta
kebutuhan sumber-sumber energi
bergantung pada sejumlah faktor, yakni
: umur, jenis kelamin, berat badan,
tinggi badan, aktivitas fisik dan proses
metabolisme dalam tubuh.
Penelitian yang dikemukakan
oleh Daldiyono dan Thaha (2008) yang
mengutip dari beberapa penelitian,
memprediksi sebanyak 40-50% pasien
yang masuk rumah sakit mengalami
malnutrisi atau memiliki risiko
malnutrisi, 12% diantaranya merupakan
malnutrisi berat. Rata-rata 75%
penderita yang dirawat di rumah sakit
status gizinya akan menurun
dibandingkan dengan status gizinya
pada waktu masuk rumah sakit.
Berdasarkan indikator SGA
(Subyek Global Assesment) status gizi
awal baik sebanyak 43,1%, sedang
43,9% dan status gizi buruk 13,0%.
Pada saat keluar rumah sakit status gizi
berubah menjadi status gizi baik
menjadi 58,0%, sedang 21,8% dan
buruk 20,2%. Terdapat 28,2% yang
mengalami penurunan status gizi
selama di rawat inap, 3,8% pada saat
masuk rumah sakit berstatus gizi baik
mengalami penurunan menjadi status
gizi buruk pada saat keluar rumah sakit.
Sedangkan pasien yang mengalami
penurunan status gizi baik menjadi
sedang dan sedang menjadi buruk
masing-masing sebanyak 12,2%
(Budiningsari dan Hadi, 2003).
Kasus malnutrisi banyak
ditemukan pada pasien rawat inap di
bangsal bedah, anak, geriatri, luka bakar
dan penyakit dalam (Kurdanti, 2004).
Streat et al, dalam Widjanarko
dan Toar (2003) melaporkan terjadinya
kehilangan berat badan -5,3 ± 0,9 kg
dalam 14 hari pasca bedah mayor
elektif. Perubahan komposisi tubuh
terdiri dari kehilangan air -3,8 ±1,3 kg
protein -0,6 ±0,35 kg dan lemak -0,7 ±
1,2 kg, Hill (1981) menulis terdapat
penurunan albumin 0,4-0,5 mg/dl
setelah minggu pertama pasca bedah.
Penderita bedah yang malnutrisi
mempunyai risiko lebih tinggi
mendapat komplikasi pada pasca bedah
berupa penyembuhan luka yang
terganggu, terbentuknya fistulasi dan
sepsis yang akan meningkatkan
morbilitas dan mortalitas (Wijanarko
dan Toar, 2003).
Menurut Cerra (1984) dalam
Rijanti (2002) pada pembedahan terjadi
peningkatan stres metabolisme yang
ditunjukkan dengan peningkatan
kebutuhan energi dan protein, fase
respons metabolik pada stress dibagi
menjadi fase ebb dan fase flow. Pada
fase ebb, cadangan hidrat arang
dipecah, sehingga tidak cukup untuk
memenuhi keadaan basal tubuh
akhirnya dapat menyebabkan
malnutrisi. Sedangkan pada fase flow
terjadi peningkatan laju metabolisme
disertai dengan katabolisme, fase ini
akan berlangsung lebih lama jika tidak
diimbangi dengan masukan energi dan
protein yang adekuat.
Terdapat beberapa faktor yang
dapat menyebabkan malnutrisi menurut
penelitian yang dilakukan oleh Sarmila
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
28
di tiga rumah sakit, menunjukkan
bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan malnutrisi pada pasien
dewasa diruang rawat inap adalah
asupan energi dan protein yang tidak
adekuat. Protein dengan asam-asam
amino akan dimetabolisme sebagai
sumber energi, sehingga tidak tersedia
asam amino yang cukup untuk
membantu sintesis protein dan
menyediakan protein struktural dan
fungsional untuk pasien bedah. Jika
kebutuhan minimal energi tidak dapat
dipenuhi dalam waktu yang lama maka
akan timbul gejala kurang gizi. Kurang
gizi dapat dilihat dari penurunan berat
badan (Rijanti, 2002).
Penilaian status gizi yang
digunakan untuk mengetahui prevalensi
malnutrisi di rumah sakit pada
umumnya adalah dengan cara
antropometri dan pemeriksaan biokimia
(Kurdanti, 2004).
Berat badan merupakan salah
satu parameter yang digunakan untuk
menilai status gizi secara antropometri.,
mudah terlihat perubahan dalam waktu
singkat karena perubahan-perubahan
konsumsi makanan. Asupan zat gizi
yang adekuat bagi pasien yang dirawat
inap di rumah sakit sangat diperlukan
dalam upaya mencegah penurunan
status gizi yang terjadi selama masa
perawatan. Gizi merupakan bagian
integral dengan pengobatan atau proses
penyembuhan serta memperpendek
lama rawat inap (Kusumayanti, dkk,
2004).
Berdasarkan data yang diperoleh
di RSUD. Abunawas Kota Kendari,
menunjukkan bahwa jumlah pasien
bedah di Rumah Sakit Abunawas Kota
Kendari tahun 2013 adalah 216 orang
dari 9742 pasien dan pada bulan
Januari-Juli 2014 jumlah penderita
bedah sebanyak 87 pasien rawat inap,
tetapi belum ada data tentang keadaan
gizi atau belum pernah ada penelitian
untuk melihat keadaan status gizi pada
pasien bedah (catatan rekam medis).
Berdasarkan data yang diperoleh dari
RSUD. Abunawas menunjukan bahwa
pasien pra bedah akan menjalani
perawatan Rawat Inap selama 1
minggu, yang terdiri dari minimal 3 hari
sebelum dilakukan operasi dan minimal
4 hari setelah operasi.
Berdasarkan uraian di atas
peneliti tertarik untuk menganalisis
hubungan antara asupan energi, protein
dan status gizi dengan penyembuhan
luka pada pasien pasca bedah di Ruang
Rawat Inap Bedah RSUD. Abunawas
Kota Kendari.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan
asupan energi, protein dan status
gizi dengan penyembuhan luka pada
pasien pasca bedah di Ruang Rawat
Inap Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui asupan energi
pada pasien pasca bedah di Ruang
Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari.
2.2 Untuk mengetahui asupan protein
pada pasien pasca bedah di Ruang
Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari.
2.3 Untuk mengetahui status gizi pasien
pasca bedah di Ruang Rawat Inap
Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari.
2.4 Untuk mengetahui penyembuhan
luka pada pasien pasca bedah di
Ruang Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari.
2.5 Untuk menganalisis hubungan
antara asupan energi dengan
penyembuhan luka pada pasien
pasca bedah di Ruang Rawat Inap
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
29
Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari.
2.6 Untuk menganalisis hubungan
antara asupan protein dengan
penyembuhan luka pada pasien
pasca bedah di Ruang Rawat Inap
Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari.
2.7 Untuk menganalisis hubungan
antara status gizi dengan
penyembuhan luka pada pasien
pasca bedah di Ruang Rawat Inap
Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari.
Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien
Dapat menambah
wawasan dan pengetahuan pasien
tentang hubungan antara makanan
yang dikonsumsi dengan
kesembuhan luka setelah
melakukan operasi.
2. Bagi Rumah Sakit Umum
Abunawas Kota Kendari
Sebagai informasi dan
bahan pertimbangan dalam
meningkatkan pelayanan dirumah
sakit dan memberikan informasi
yang tepat didalam pemberian
terapi sehingga dapat digunakan
oleh pasien dalam pengelolaan
penyakit untuk mempercepat
proses penyembuhan.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat
menambah pengetahuan dan
cakrawala berpikir serta merupakan
salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan
Diploma III jurusan Gizi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis Penelitian adalah
penelitian observasional dengan
pendekatan observasional dengan
rancangan cross sectional study yakni
digunakan untuk mengetahui hubungan
antara asupan energi, protein dan status
gizi dengan kesembuhan luka pasien.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan
pada tanggal 2 Agustus- 5 September
2014 di Ruang Rawat Inap Bedah
RSUD. Abunawas Kota Kendari.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien diruang rawat inap
bedah RSUD. Abunawas Kota Kendari
pada periode Agustus-September Tahun
2014 sebanyak 80 orang.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini
adalah sebanyak 52 orang. Teknik
pengambilan sampel penelitian adalah
menggunakan Purporsive Sampling,
yaitu pengambilan sampel dilakukan
dengan pertimbangan peneliti, dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Berusia ≥ 18 tahun
b. Kesadaran Compos mentis dan
kooperatif
c. Makan melalui oral atau enteral
d. Hari rawat inap pasien pasca bedah
minimal 3 hari
e. Bersedia ikut dalam penelitian.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
a. Data Identitas pasien meliputi
umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan diperoleh melalui
wawancara kuisioner.
b. Data asupan energi, protein
diperoleh melalui wawancara
menggunakan formulir recall
2x24 jam.
c. Data status gizi diperoleh
menggunakan timbangan berat
badan (bath room scale) dengan
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
30
kapasitas 120 Kg, ketelitian 0,5
Kg dan alat pengukur tinggi
badan dengan menggunakan
mikrotoice, kapasitas maksimal
200 cm, ketelitian 0,1 cm.
Pengukuran berat badan diukur
maksimal 3 hari setelah pasien di
operasi dan apabila berat badan
dan tinggi badan pasien tidak
dapat diukur maka, peneliti
melakukan pengukuran Tinggi
Lutut.
d. Data penyembuhan luka
diperoleh dari hasil pengamatan
terhadap luka pasien.
2. Data sekunder
Yaitu gambaran umum lokasi
penelitian meliputi data demografi,
monografi diperoleh melalui laporan
dan Profil RSUD. Abunawas
Sulawesi Tennggara beserta data
jumlah yang menjalani bedah.
Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
a. Data identitas sampel diolah
berdasarkan jawaban responden
kemudian disesuaikan dengan
kriteria objektif.
b. Data tingkat konsumsi energi,
protein diolah berdasarkan hasil
recall 2x24 jam menggunakan
nutri survey dan kemudian di
bandingkan dengan kriteria
objektif
c. Data status gizi diolah
berdasarkan hasil pengukuran
berat badan dan tinggi badan
menggunakan indeks massa
tubuh(IMT)
2. Analisis Data
Untuk melihat hubungan
asupan energi, protein dengan status
gizi pra dan pasca bedah dengan
kesembuhan luka digunakan uji
“Chi-Square”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel
Umur Distribusi sampel berdasarkan umur
sebagian besar pada kategori umur 30-
49 tahun, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi Sampel Menurut
Umur
Umur (Tahun) n %
18-29 8 15,4
30-49 31 59,6
50-64 13 25,0
Jumlah 52 100
Tabel 1 menunjukan bahwa dari
52 sampel, sebagian besar yaitu 31
orang (59,6 %) pada kategori umur 30-
49 tahun, 13 orang (25,0%) pada
kategori umur 50-64 tahun dan 8 orang
(15,4%) pada kategori umur 18-29
tahun.
Jenis Kelamin
Distribusi sampel berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 2. Distribusi Sampel Menurut
Jenis Kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-Laki 20 38,5
Perempuan 32 61,5
Jumlah 52 100
Tabel 2 menunjukan bahwa dari
52 sampel, sebagian besar yaitu 32
orang (61,5 %) berjenis kalamin
perempuan dan 20 orang (38,5%)
berjenis kelamin laki-laki.
Diagnosa Penyakit/Jenis Bedah
Distribusi sampel berdasarkan
diagnosa penyakit dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
31
Tabel 3. Distribusi Sampel Menurut
Diagnosa Penyakit
Diagnosa Penyakit/Jenis
Bedah n %
Amandel 5 9,6
Appenditis 12 23,1
Ca mamae 6 11,5
Gondok 8 15,4
Kista 4 7,7
Oesofagogastrektomi 3 5,8
Sectio Cesarae 9 17,3
Usus Turun 5 9,6
Jumlah 52 100
Tabel 3 menunjukan bahwa dari
52 sampel, sebagian besar yaitu 12
orang (23,1 %) mengalami Appenditis,
dan sebagian kecil yakni 4 orang (7,7%)
mengalami Kista.
Analisis Univariat
Asupan Energi
Tabel 4. Distribusi Sampel Menurut
Asupan Energi
Asupan Energi n %
Cukup 21 40,4
Kurang 31 59,6
Jumlah 52 100
Tabel 4 menunjukan bahwa dari
52 sampel sebagian besar yaitu 31
orang (59,6%) asupan energinya
Asupan Protein
Tabel 5. Distribusi Sampel Menurut
Asupan Protein
Asupan Protein n %
Cukup 23 44,2
Kurang 29 55,8
Jumlah 52 100
Tabel 5 menunjukan bahwa dari 52
sampel sebagian besar yaitu 29 orang
(55,8%) asupan proteinnya kurang dan
selebihnya yakni 23 orang (44,2%)
asupan proteinnya cukup.
Status Gizi
Tabel 6. Distribusi Sampel Menurut
Status Gizi
Status Gizi n %
Baik 31 59,6
Kurang 21 40,4
Jumlah 52 100
Tabel 6 menunjukan bahwa dari 52
sampel sebagian besar yaitu 31 orang
(59,6%) status gizinya baik dan
selebihnya yakni 21 orang (40,4%)
status gizinya kurang.
Penyembuhan Luka
Tabel 7. Distribusi Sampel Menurut
Penyembuhan Luka
Penyembuhan
Luka n %
Basah 18 34,6
Kering 34 65,4
Jumlah 52 100
Tabel 7 menunjukan bahwa dari 52
sampel sebagian besar yaitu 34 orang
(65,4%) luka pasien pasca bedah dalam
kategori kering dan selebihnya yakni 18
orang (34,6%) luka pasien pasca bedah
dalam kategori basah.
Analisis Bivariat
Hubungan Asupan Energi dengan
Kesembuhan Luka
Tabel 8. Hubungan Asupan Energi
dengan Penyembuhan
Luka
Asupan
Energi
Penyembuhan
Luka Total p
Basah Kering
n % n % n %
Cukup 6 28,6 15 71,4 21 100 0,64
8 Kurang 12 38,7 19 61,3 31 100
Total 18 34,6 34 65,4 52 100
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
32
Tabel 8 menunjukan bahwa dari
21 sampel dengan asupan energi cukup,
sebagian besar 71,4% lukanya kering
dan dari 31 sampel dengan asupan
energi kurang, sebagian besar 61,3%
lukanya kering..
Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,648, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan energi dengan
penyembuhan luka pasien.
Hubungan Asupan Protein dengan
Kesembuhan Luka
Tabel 9. Hubungan Asupan Protein
dengan Penyembuhan Luka
Tabel 9 menunjukan bahwa dari
23 sampel dengan asupan protein
cukup, sebagian besar 69,6% lukanya
kering dan dari 29 sampel dengan
asupan protein kurang, sebagian besar
62,1% lukanya kering..
Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,786, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan protein dengan
penyembuhan luka pasien.
Hubungan Status Gizi dengan
Kesembuhan Luka
Hubungan status gizi dengan
kesembuhan luka dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 10. Hubungan Status Gizi
dengan Penyembuhan
Luka
Tabel 10 menunjukan bahwa
menunjukan bahwa dari 31 sampel
dengan status gizi baik, sebagian besar
80,6% lukanya kering dan dari 21
sampel dengan status gizi kurang,
sebagian besar 57,1% lukanya basah.
Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,012, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
status gizi dengan penyembuhan luka
pasien.
PEMBAHASAN
1. Asupan Energi
Kebutuhan energi seseorang
adalah konsumsi energi dari
makanan yang diperlukan untuk
menutupi pengeluaran energi
seseorang bila mempunyai ukuran
dan komposisi tubuh dengan tingkat
aktivitas yang sesuai dengan
kesehatan jangka panjang, dan yang
memungkinkan pemeliharaan
aktifitas fisik yang dibutuhkan
secara sosial dan ekonomi
(Almatsier, 2001).
Hasil penelitian menunjukan
bahwa sebagian besar sampel
mempunyai asupan energi kurang
disebabkan karena kurangnya
mengkonsumsi makanan sumber
karbohidrat, lemak dan protein,
dimana frekuensi makan pasien
sangat tidak teratur dan jumlahnya
Asupan
Protein
Penyembuhan
Luka Total
p Basah
Kerin
g
n % n % n %
Cukup 7 30,4 16 69,6 23 100
0,786 Kurang 11 37,9 18 62,1 29 100
Total 18 34,6 34 65,4 52 100
Status
Gizi
Penyembuhan
Luka Total P
Basah Kering
n % n % n %
Cukup 6 19,4 25 80,6 31 100 0,0
12 Kurang 12 57,1 9 42,9 21 100
Total 18 34,6 34 65,4 52 100
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
33
sangat sedikit sehingga tidak sesuai
dengan kebutuhannya, keadaan ini
disebabkan karena kurangnya nafsu
makan pasien setelah menjalani
operasi. Pada saat peneltian sampel
pasca bedah tidak memiliki nafsu
makan dan merasa mual serta
muntah, keadaan ini disebabkan
karena terjadi reaksi metabolisme
dalam tubuh dan membutuhkan
waktu untuk dapat beradaptasi
terhadap makanan.
Makanan sumber energi
yang dikonsumsi setelah 3 hari
pasca bedah berupa makanan yang
tinggi protein seperti ikan dan telur,
dan juga terdapat makanan sumber
karbohidrat seperti nasi dan pisang
sedangkan sayur-sayuran tidak
dikonsumsi karena kurangnya nafsu
makan pasien.
Konsumsi energi yang
sangat kurang mengkhawatirkan,
karena dengan konsumsi energi
yang kurang dan terjadi dalam
waktu yang lama dapat
menyebabkan kekurangan gizi.
Kekurangan zat gizi khususnya
energi pada tahap awal akan
menimbulkan rasa lapar dan dalam
jangka waktu yang lama akan
menyebabkan berat badan menurun
disertai dengan penurunan aktivitas
yang dilakukan. Kandungan energi
yang paling tinggi diperoleh dari
bahan makanan yang mengandung
karbohidrat. Karbohidrat ini
merupakan sumber energi yang
utama bagi hampir seluruh
penduduk dunia, khususnya bagi
penduduk negara yang sedang
berkembang. Walaupun jumlah
kalori yang dihasilkan oleh satu
gram karbohidrat hanya empat
kalori, karbohidrat merupakan
sumber energi yang murah
(Ambarwati, 2012).
2. Asupan Protein
Protein adalah bagian dari
semua sel hidup dan merupakan
bagian terbesar tubuh sesudah air.
Seperlima bagian tubuh adalah
protein. Protein mempunyai fungsi
khas yang tidak dapat digantikan
oleh zat gizi lain, yaitu membangun
serta memelihara sel-sel dan
jaringan tubuh (Proverawati dan
Kusumawati, 2010).
Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa sebagian besar
sampel mempunyai asupan protein
kurang. Hal ini disebabkan karena
berdasarkan hasil penelitian masih
terdapat sampel yang kurang
mengkonsumsi bahan pangan
protein yang dikonsumsi baik lauk
hewani maupun nabati seperti ikan,
ayam, telur, tahu dan tempe. Hal ini
sangat mengkhawatirkan, karena
protein mempunyai fungsi yang
sangat baik dalam masa pembetukan
jaringan yang rusak. Hal ini juga
disebabkan oleh frekuensi makan
yang hanya 2 kali sehari sehingga
asupan protein yang konsumsi tidak
sesuai dengan kebutuhannya.
Setelah menjalani operasi,
pasien tidak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah yang
banyak, karena rasa mual dan
muntah akibat reaksi metabolisme
akibat pemedahan, namun perlahan-
lahan konsumsi makan pasien
semakin membaik, karena
berdasarkan hasil recall rata-rata
asupan makan pasien khususnya
makanan sumber protein semakin
meningkat pada hari pertama asupan
protein mencapai 34 gr kemudian
hari ke dua sebanyak 38 gram dan
semakin meningkat pada hari ke
tiga, rata-rata asupan pasien
mencapai 45 gr. Makanan sumber
protein yang dikonsumsi oleh pasien
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
34
pasca bedah umumnya adalah
makanan sumber protein hewani
berupa ikan dan telur, namun
dikonsumsi dalam jumlah yang
sedikit sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhannya.
Asupan protein yang kurang
bukan merupakan faktor risiko
terjadinya malnutrisi, bahwa asupan
protein tidak berhubungan dengan
status gizi. Status gizi pasien
dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain terjadinya gangguan
gastro intestinal (mual, tidak nafsu
makan, kembung), berat ringannya
penyakit, status gizi awal masuk
rumah sakit, komplikasi penyakit,
diet yang diberikan rumah sakit dan
persepsi pasien terhadap cita rasa.
3. Status Gizi
Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makan dan pangan zat-zat
gizi. Status gizi dibedakan antara
status gizi buruk, kurang, lebih, dan
normal (Almatsier, 2001).
Hasil penelitian menunjukan
bahwa sebagian besar sampel
mempunyai status gizi baik,
disebabkan karena berdasarkan hasil
pengukuran BB dan TB pasien
memiliki Indeks Massa Tubuh
dalam batas normal yakni 18,5 -25.
Pada saat penelitian sampel
menggunakan IMT, dimana seluruh
pasien bersedia untuk dilakukan
pengukuran terhadap berat badan
dan tinggi badannya, dimana
pengukuran antropometri pada
pasien yang menjalani operasi sesar
dilakukan saat pasien menjalani
masa perawatan pasca operasi 6-9
hari, pada hari tersebut pasien sudah
mampu berdiri dan bersedia untuk
dilakukan pengukuran berat dan
tinggi badan. Status gizi pasien
pasca bedah menggambarkan
keadaan tubuh seseorang dalam
jangka waktu yang lama sehingga
meskipun dilakukan pembedahan
status gizi pasien dalam keadaan
normal.
Berat badan pasca bedah
merupakan suatu respon normal
terhadap pembedahan. Menurut Hill
(2009) perubahan komposisi tubuh
setelah bedah berupa penurunan
berat badan yang terjadi sampai hari
ke-14. Kehilangan lemak sebagian
besar terjadi pada beberapa hari
pertama pasca bedah dan
katabolisme protein yang terjadi
sepanjang 2 minggu pertama pasca
bedah. Perubahan berat badan hari-
hari awal pasca bedah sangat
dipengaruhi oleh perubahan total
body water. Widjanarko dan Toar
(2008) dalam suatu studi kinetik
melaporkan kehilangan total body
protein pada periode awal pasca
bedah disebabkan peningkatan
kecepatan pemecahan protein
daripada pengurangan kecepatan
sintesis protein.
4. Penyembuhan Luka
Hasil penelitian menunjukan
bahwa sebagian besar sampel
memiliki luka kering, Hal ini
karena berdasarkan hasil penelitian
tidak terdapat PUS pada luka,
penyembuhan luka pasien ini
didukung oleh perawatan medis
yang diberikan seperti obat-obatan
baik melalui oral maupun intravena
yang dapat mempercepat
penyembuhan luka.
Moore (2007)
mengemukakan bahwa periode awal
dari penyembuhan luka sekitar 5-15
hari untuk operasi kecil dan lebih
dari sebulan untuk operasi besar
atau luka bakar. Selama masa ini
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
35
luka mempunyai prioritas utama
akan kebutuhan kalori, asam amino,
dan zat gizi lainnya yang diperlukan
untuk penyembuhan. Kekurangan
nilai gizi akan mengganggu
penyembuhan luka. Operasi adalah
stres fisiologik akibat
hipermetabolisme,
Pada pasien pembedahan,
katekolamin dan glukagon yang
meningkat mengakibatkan glikogen
hati dan otot pecah, sehingga lepas
dan masuk dalam sirkulasi. Pada
fase starvasi atau permulaan yang
berkepanjangan, tubuh melakukan
penghematan protein otot. Bilamana
komplikasi mayor berkembang pada
masa pasca bedah, pasti bahwa
malnutrisi protein energi akan
terjadi sebagai akibat langsung.
Defisit protein dan energi
berkembang tidak hanya karena
asupan oral tertunda, melainkan
juga karena pengeluaran energi dan
katabolisme protein tubuh
meningkat (Hill, 2009).
5. Hubungan Asupan Energi dengan
Penyembuhan Luka pasien Pasca
Bedah
Hasil penelitian menunjukan
bahwa tidak ada hubungan antara
asupan energi dengan penyembuhan
luka pasien. Hal ini karena
berdasarkan hasil penelitian
ditemukan sampel yang asupan
energi dalam kategori cukup
ataupun kurang memiliki luka
dalam keadaan kering, keadaan ini
menggambarkan asupan energi tidak
memberi pengaruh dalam
penyembuhan luka dan tidak sesuai
dengan harapan bahwa dengan
adanya asupan energi yang cukup
dapat mempercepat penyembuhan
luka serta semakin kurang asupan
energi, penyembuhan lukanya akan
semakin lambat. Penyembuhan luka
pasien di dukung oleh terapi obat-
obatan yang diberikan sehingga
dapat mempercepat rasa nyeri dan
menyembuhkan luka pasien.
Asupan energi sangat dibutuhkan
oleh pasien pasca bedah untuk
mengembalikan energi akibat dari
proses metabolisme akibat
pembedahan.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wirsasmita (2009) di RSUDD.
Probolinggo yang menemukan
bahwa tidak terdapat hubungan
antara asupan energi dengan
penyembuhan luka pasien bedah.
Hal ini juga disebabkan karena
penyembuhan luka pasien
membutuhkan waktu yang lama ± 2
minggu agar bisa kering.
Pada pembedahan terjadi
peningkatan stres metabolisme yang
ditunjukkan dengan peningkatan
kebutuhan energi dan protein.
Respon metabolik terhadap trauma
(injury) dibedakan menjadi ebb
phase dan flow fhase dimana pasien
mengalami kehilangan protein
dalam kecepatan berlebihan. Durasi
fase flow tergantung pada
keparahan utama dan secara
berangsur angsur fase flow ini
digantikan oleh suatu fase anabolik
konvalensi. Pada fase anabolik ini
cadangan energi dan protein yang
hilang pada periode ini pasca trauma
diisi kembali (Hill, 2009).
6. Hubungan Asupan Protein
dengan Penyembuhan Luka
pasien Pasca Bedah
Hasil penelitian menunjukan
bahwa tidak ada hubungan antara
asupan protein dengan
penyembuhan luka pasien hal ini
karena pasien dengan asupan
protein yang cukup, luka pasien
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
36
masih tetap basah, penyembuhan
luka pasien disebabkan oleh terapi
obat-obatan yang diberikan yang
dapat menghilangkan nyeri dan
mempercepat penyembuhan luka,
protein yang dikonsumsi sampel
digunakan untuk mengganti energi
yang hilang saat menjalani
pembedahan.
Disamping itu, tidak adanya
hubungan protein dengan
penyembuhan luka pasien
disebabkan karena banyak faktor
yang mempengaruhi penyembuhan
luka pada pasien bedah, faktor lain
yakni adanya terapi obat-obatan
yang diberikan oleh tim medis di
Rumah Sakit Umum Abunawas
Kota Kendari, selain itu juga
disebabkan karena setelah menjalani
operasi asupan makan pasien
mengalami penurunan karena
kurang nafsu makan, sehingga
asupan protein tidak menjadi faktor
penentu penyembuhan luka pasien.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wirsasmita (2009) yang
menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan protein
dengan penyembuhan luka pasien
dengan nilai p=0,021. Tingkat
kesembuhan luka pasien
dipengaruhi oleh faktor lain seperti
obat-obatan yang diberikan oleh
dokter yang dapat menyembuhkan
luka pasien dan menghilangkan rasa
nyeri.
Hal tersebut di atas sesuai
dengan pendapat French dan Crane
(1963) dalam Hill (2009) bahwa
pasien yang menjalani pasca operasi
saluran pencernaan hampir 50%
akan mengalami malnutrisi protein
karena asupan makanan yang
kurang yang berdampak pada
kehilangan berat badan. Dijelaskan
lagi sebab-sebab utama dari
malnutrisi energi dan protein serius
setelah pasca operasi adalah : (1)
tidak bisa makan, (2) tidak nafsu
makan, (3) reservoir lambung kecil,
(4) malabsorpsi.
7. Hubungan Status Gizi dengan
Penyembuhan Luka pasien Pasca
Bedah
Keadaan gizi merupakan
faktor penting pada masa bedah.
Malnutrisi energi dan protein
kemungkinan disebabkan akibat
penyakit yang diderita dan akibat
diet yang kurang baik sehingga
timbul keadaan malnutrisi yang
parah. Malnutrisi energi dan protein
akan berdampak pada fungsi
fisiologis dan meningkatkan risiko
pembedahan atau memperpanjang
masa pemulihan (Widjanarko &
Toar, 2008).
Hasil penelitian menunjukan
bahwa ada hubungan status gizi
dengan penyembuhan luka pasien,
hal ini karena sampel yang status
gizinya baik, lukanya dalam
keadaan kering, dimana pasien
dengan status gizi baik memiliki
cadangan zat gizi yang banyak,
sehingga meskipun terjadi proses
pembedahan, tubuh masih memiliki
cadangan energi yang dibutuhkan
untuk mengembalikan zat-zat gizi
yang hilang dan mampu
mempercepat penyembuhan luka
dan hasil penelitian juga
menunjukan sampel yang status
gizinya kurang, lukanya dalam
keadaan basah, keadaan ini
menunjukan bahwa status gizi dapat
menghambat proses penyembuhan
luka.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Budiningsari dan Hadi (2008) yang
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
37
menunjukan bahwa dari 66 orang
pasien bedah dewasa, pada pasien
yang menderita malnutrisi ringan
sembuh dengan cepat secara
signifikan lebih lambat daripada
mereka yang gizinya baik.
Demikian juga hasil penelitian kay,
et al, 1987 pada 41 orang pasien
pasien bedah ortopedi, 94% pasien
dengan parameter gizi normal
sembuh tanpa penyulit, sementara
44% pasien dengan status gizi
kurang mengalami kelambatan yang
signifikan dalam proses
penyembuhannya.
Keadaan gizi pasien
merupakan faktor pertimbangan
penting pra bedah. Adapun nutrien
yang cukup dan seimbang akan
menentukan status gizi pasien.
Status gizi pra bedah sangat
dipengaruhi oleh sistem tubuh
termasuk penyembuhan luka yang
terjadi setelah operasi. Kebutuhan
nitrogen dan bahan bakar sel tubuh
secara memadai agar tetap terjaga
dapat dilakukan dengan
pemeliharaan nutrisi yang baik
(Ambarwati, 2012).
Jenis bedah berhubungan
dengan status gizi seperti yang
dijelaskan Widjanarko (2003)
bahwa terjadinya kehilangan berat
badan -5,3 ± 0,9 kg dalam 14 hari
pasca bedah mayor elektif.
Perubahan komposisi tubuh terdiri
dari kehilangan air -3,8 ±1,3 kg
protein -0,6 ± 0,35 kg dan lemak -
0,7 ± 1,2 kg. Lalisang (2008),
meneliti secara prospectif cross
sectional pada 60 responden bedah
mayor elektif dan hasilnya
menunjukkan pada 76% pasien
kehilangan berat badan dengan rata-
rata 4% pada bulan Januari sampai
Desember 2000. Penelitian oleh
Widjanarko & Toar (2008)
mendapatkan hasil pada pra bedah
sedang dan besar 15,2% dan 10,8%
orang berstatus gizi buruk
sedangkan pada pasien bedah
sedang dan besar terdapat kenaikan
sebesar 4,3% sampai 5,6% setelah
pembedahan. Hal ini berarti pada
pasca bedah sedang dan besar perlu
mendapat perhatian yang khusus
untuk mengembalikan fungsi tubuh
seperti semula.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Asupan energi pada pasien pasca
bedah di Ruang Rawat Inap Bedah
RSUD. Abunawas Kota Kendari
sebagian besar kurang (59,6%).
2. Asupan protein pada pasien pasca
bedah di Ruang Rawat Inap Bedah
RSUD. Abunawas Kota Kendari
sebagian besar kurang (55,8%).
3. Status gizi pasien pasca bedah di
Ruang Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari sebagian
besar baik (59,6%).
4. Penyembuhan luka pasien pasca
bedah di Ruang Rawat Inap Bedah
RSUD. Abunawas Kota Kendari
sebagian besar lukanya kering
(65,4%).
5. Tidak ada hubungan antara asupan
energi dengan penyembuhan luka
pada pasien pasca bedah di Ruang
Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari.
6. Tidak ada hubungan antara asupan
protein dengan penyembuhan luka
pada pasien pasca bedah di Ruang
Rawat Inap Bedah RSUD.
Abunawas Kota Kendari.
7. Ada hubungan status gizi dengan
penyembuhan luka pada pasien
pasca bedah di Ruang Rawat Inap
Bedah RSUD. Abunawas Kota
Kendari.
Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38
38
Saran
1. Hasil penelitian ini kiranya dapat
menjadi masukan bagi pemerintah
daerah dan instansi terkait dalam hal
ini Dinas Kesehatan Kota Kendari
dan RSUD. Abunawas dalam
menentukan kebijakan-kebijakan
dalam upaya menangulangi masalah
kurangnya asupan zat gizi
khususnya energi dan protein pada
pasien pasca bedah.
2. Bagi petugas kesehatan agar
memberikan diet pada pasien pasca
bedah sesuai syarat/prinsip diet,
jenis diet, indikasi dan cara
pemberian supaya terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan gizinya.
3. Bagi peneliti lain, hendaknya
menganalisis faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan penyembuhan
luka pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi, Gramedia, Jakarta.
Ambarwati Fitri Respati, 2012. Gizi dan
Kesehatan Reproduksi.
Cakrawala Ilmu, Yogyakarta.
Daldiyono dan Thaha, 2008. Kapita
Selekta Nutrisi Klinik,
Perhimpunan Nutrisi Enteral
dan Parenteral Indonesia,
Jakarta.
Hartono, Andry, 2006. Terapi Gizi dan
Diet Edisi 2. EGC, Jakarta.
Hill, Graham, 2000. Buku Ajar Nutrisi
Bedah.. Farmedia, Jakarta.
Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi
Untuk Kesehatan. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Moore, M. 2007. Pedoman Terapi Diet
dan Nutrisi. Penerbit
Hipokrates, Jakarta.
Nirwana, 2011. Psikologi Ibu, Bayi dan
Anak. Nuha Medika,
Yogyakarta.
Proverawati dan Kusumawati, 2010.
Ilmu Gizi untuk Keperawatan
dan Gizi Kesehatan. Nuha
Medika, Yogyakarta.
Sjamsuhidajat, 2007. Status Gizi Pasien
Bedah, Majalah Kedokteran
Indonesia RSCM, Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman. Bakri,
Bachyar, Fajar, Ibnu, 2002.
Penilaian Status Gizi. EGC,
Jakarta.
Susetyowati, 2007. Penatalaksanaan
Gizi Pada Pasien Bedah
Digestif. Makalah Pertemuan
Ilmiah Ke III Tahun 2007.
Waryana, 2010. Gizi Reproduksi.
Pustaka Rihamma, Yogyakarta.
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
39
ANALISIS HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA
BAYI 3-6 BULAN DI KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2014
Muhammad Agusman Sorumba1
1Stikes Mandala Waluya Kendari
Menurut WHO (2008) kematian bayi disebabkan oleh Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) sebesar 19%. Data di Puskesmas Ranomeeto menunjukan
penderita ISPA tahun 2013 sebanyak 155 orang bayi umur 3-6 bulan. Tahun 2014
(Januari-Juli) bayi yang terinfeksi ISPA sebanyak 50 orang dan 29 orang diantaranya
berstatus gizi kurang
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan status gizi dengan
kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan Cross
Sectional Study. Populasi dalam penelitian adalah semua bayi 3-6 bulan yang
menderita ISPA sebanyak 50 orang dan sampel sebanyak 50 orang yang diambil
secara Total Sampling. Data diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji
menggunakan uji Chi-Square.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang lemah antara
status gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi
Umur 3-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan dengan nilai X2 hit=5,82 < X2 tabel = 3,84 dan P=0,016. Saran kepada bagi
ibu agar memberikan kolostrum pada bayinya, Bagi ibu bayi agar menjaga status gizi
bayinya dengan memberikan nutrisi yang tepat. Bagi Institusi Pendidikan agar hasil
penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya. Bagi Puskesmas
sebagai ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi
terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan
ISPA.
Kata Kunci : Status Gizi, ISPA dan Bayi
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
40
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan
bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat optimal.
Peningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, salah satu
upaya kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah adalah pemberantasan
penyakit dengan tujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan atau
angka kematian (Prasetyawati, 2012).
Pertumbuhan dan
perkembangan manusia yang paling
kritis terjadi pada masa bayi. Pada
masa ini, terjadi pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat baik
fisik maupun mental dibandingkan
dengan tahapan umur berikutnya
(Wati, 2010).
Pertumbuhan bayi yang
tercermin pada status gizi dapat
dipantau melalui grafik pertumbuhan
berdasarkan standar tertentu misalnya
WHO-NCHS. Apabila terjadi
perubahan grafik pertumbuhan, baik
dalam pertumbuhan massa tubuh
maupun pertumbuhan linier, yang
keduanya menjurus ke arah penurunan
grafik bila dibandingkan dengan
standar, maka dikatakan bayi
mengalami goncangan pertumbuhan
(growth faltering) (Wati, 2010).
Menurut WHO (2008)
kematian bayi disebabkan oleh Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
sebesar 19%,yang merupakan urutan
kedua penyebab kematian bayi,
sedangkan 26% infeksi berat yang
sudah termasuk ISPA merupakan
penyebab kematian bayi.ISPA
merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di sarana
kesehatan. Sebanyak 40% - 60%
kunjungan berobat di Puskesmas
dan15% - 30% kunjungan di bagian
rawat jalan dan rawat inap Rumah
Sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes
RI, 2012).
Menurut Sutrisna (2007) faktor
risiko yang menyebabkan ISPA pada
balita adalah sosio-ekonomi
(pendapatan, perumahan, pendidikan
orang tua), status gizi, tingkat
pengetahuan ibu dan faktor
lingkungan (kualitas udara). Penelitian
Sumargono (2006) di Jakarta
membuktikan bahwa status gizi balita
mempengaruhi terhadap terjadinya
kejadian ISPA ringan. Status gizi bayi
menggambarkan keadaan nutrisi
seseorang, Balita yang status gizinya
kurang cenderung mengalami ISPA,
karena saat status gizinya kurang,
daya immunitas tubuh balita semakin
rendah, sehingga dapat menimbulkan
penyakit lainnya.
Penyakit infeksi dan
kekurangan gizi sering terjadi secara
bersamaan dan saling mempengaruhi.
Keadaan gizi yang disebabkan asupan
makan yang tidak memenuhi
kebutuhan dapat mengakibatkan
menurunnya berat badan dan
gangguan pertumbuhan serta
menurunnya imunitas dan kerusakan
mukosa. Hal tersebut berkaitan erat
dengan kejadian, keparahan, durasi
dan Kejadian penyakit infeksi.
Penyakit infeksi dapat menyebabkan
kehilangan persediaan gizi dan
peningkatan kebutuhan akibat dari
sakit. Pada saat bersamaan terjadi
penurunan nafsu makan yang pada
gilirannya menyebabkan asupan gizi
menurun (Kemenkes RI, 2008).
Di Indonesia ISPA
merupakan penyebab kematian balita
nomor satu, sejak tahun 2000, angka
kematian balita akibat ISPA adalah 5
per 1000 balita. kejadian ISPA pada
balitadi Indonesia diperkirakan
sebesar 3 sampai 6 kali pertahun.
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
41
Ini berarti seorang balita rata-rata
mendapat serangan batuk sebanyak 3
sampai 6 kali setahun (Depkes RI,
2012).
Data yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawsi
Tenggara, penyakit ISPA juga
merupakan masalah kesehatan utama
masyarakat. Penyakit ISPA adalah
penyebab nomor satu (15,7%) dari
penyebab kematian Balita di Rumah
Sakit Pada tahun 2011, cakupan
penemuan ISPA Balita di Sultra
mencapai 19,03%. Angka tersebut
mengalami peningkatan pada tahun
2012 yaitu menjadi 21,16% (Profil
Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara,
2012).
Berdasarkan laporan tahunan
Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
Selatan, diperoleh data bahwa pada
tahun 2011 cakupan penderita ISPA
mencapai (9,78%) dan semakin
meningkat pada tahun 2012 mencapai
15,92% (Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe Selatan, 2012).
Gejala penyakit ISPA di
Provinsi Sulawesi Tenggara tahun
2012 menempati urutan pertama dari
sepuluh besar penyakit yang ada di
masyarakat yakni dengan jumlah
penderita mencapai 72.413 jiwa
(Septiono, 2009). Sementara itu Dinas
Kesehatan Kabupaten Bambana
melaporkan bahwa angka kejadian
ISPA di Kabupaten Konawe Selatan
pada tahun 2008 menempati urutan
pertama dari 10 besar penyakit yang
ada di Kabupaten Konawe Selatan
yakni mencapai 472 kasus bayi umur
3 sampai 6 bulan (Dinkes Bombana,
2012).
Berdasarkan Data Dari
Rekam Medik Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe Selatan
menunjukan bahwa jumlah penderita
ISPA pada tahun 2013 sebanyak 155
bayi umur 3 sampai 6 bulan penderta
ISPA, sedangkan data yang di peroleh
di poli Gizi menunjukan jumlah bayi
penderita Gizi kurang disertai ISPA
sebanyak 92 orang.
Berdasarkan pendahuluan
yang dilakukan pada tanggal 10 juli
2014 diperoleh data dari puskesmas
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan diketahui jumlah bayi yang
terinfeksi penyakit ISPA sebagian
besar diderita oleh bayi umur 3-6
bulan sebanyak 47 penderita yang
terdiri dari 3 desa yaitu desa taubonto
sebanyak 28 bayi, desa Tampeatani
sebanyak 10 bayi dan desa Rau-rau
sebanyak 9 penderita. Bayi yang
menderita ISPA, didominasi oleh bayi
yang berstatus gizi kurang, yakni dari
47 bayi yang menderita ISPA, 29
orang berstatus gizi kurang.
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka peneliti telah melakukan
penelitian mengenai ”Hubungan
Status Gizi dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Bayi Umur 3-6 Bulan di Kabupaten
Konawe Selatan.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis
hubungan status gizi dengan
Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada
Bayi Umur 3 - 6 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe Selatan.
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui status gizi Bayi
Umur 3 - 6 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe Selatan.3.
2.2 Untuk mengetahui kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
42
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan.
2.3 Untuk menganalisis hubungan
status gizi dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat
diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi
kepada pemerintah dan instansi
terkait dalam menentukan
kebijakan dan perencanaan
program penanggulangan
ISPA.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penelitian, kiranya hasil
penelitian ini dapat menambah
pengetahuan dan cakrawala
berpikir dan mampu
memberikan sumbangan
pemikiran mengenai hubungan
status gizi dengan Kejadian.
b. Agar dapat dijadikan sebagai
dasar penelitian analitik, serta
mampu menambah wawasan
dalam ilmu Gizi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan adalah Penelitian analitik
dengan pendekatan Cross Sectional
Study yaitu penelitian yang dilakukan
pada waktu dan tempat secara
bersamaan (Notoatmodjo, 2005).
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan
pada tanggal 16 September s/d 4
Oktober Tahun 2014 di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan Tahun 2014.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua bayi 3-6 bulan yang
menderita serangan ISPA di
Puskesmas Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan sebanyak 50
responden (Profil Puskesmas
Ranomeeto, 2012).
Sampel
Sampel dalam penelitian ini
bayi 3-6 bulan yang menderita
serangan ISPA di Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan sebanyak 50 responden.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan total sampling yakni
seluruh populasi dijadikan sampel.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data primer terdiri dari identitas,
status gizi bayi 3-6 bulan
diperoleh dengan cara wawancara
dan pengukuran Berat badan bayi
menggunakan timbangan.
2. Data sekunder yaitu data
demografi meliputi: profil,
ketenagaan, sarana prasarana, dan
lain-lain yang diperoleh dari hasil
dokumentasi.
Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan
melalui lembar kuisioner, Maka
data diolah secara manual dan
menggunakan komputer.
Pengolahan data meliputi :
a. Coding adalah Pembuatan
kode pada tiap-tiap data yang
termasuk kategori yang sama.
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
43
b. Editing adalah pengecekan
atau pengkoreksian data yang
telah dikumpulkan.
c. Skoring adalah memberi skor
pada data yang telah
dikumpulkan.
d. Tabulating adalah membuat
tabel yang berisikan data yang
telah diberi kode sesui dengan
analisis yang dibutuhkan.
2. Analisis Data
Analisis data dilakukan
dengan menggunakan program
komputerisasi Statistical Product
and Service Solution (SPSS) versi
16,0. Analisis data terbagi atas
analisis Univariat dan Bivariat.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel
Umur Ibu
Tabel 1. Distribusi Umur Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan
Umur Ibu (Tahun) n %
20 - 30 11 22,0
31- 41 39 78,0
Jumlah 50 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 1 menunjukan bahwa dari
50 sampel terdapat 39 orang (78,0%)
pada kategori umur 31-41 Tahun dan
11 orang (22,0%) pada kategori umur
20-30 tahun.
Umur Bayi
Tabel 2. Distribusi Umur Bayi di
Wilayah Kerja Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan
Umur Bayi (Bulan) n %
3-4 30 60,0
5-6 20 40,0
Jumlah 50 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 2 menunjukan bahwa dari
50 sampel terdapat 30 orang (60,0%)
pada kategori umur 3-4 bulan dan 20
orang (40,0%) pada kategori umur 5-6
bulan.
Pendidikan Ibu
Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu di
Wilayah Kerja Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan
Pendidikan Ibu n %
SD 4 8,0
SMP 10 20,0
SMA 28 56,0
DIII/S1 8 16,0
Jumlah 50 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 3 menunjukan bahwa
dari 85 sampel sebagian besar yaitu
43,4% pendidikan ibu adalah tamatan
SMP, Kemudian 20,0% pendidikan
ibu masing-masing tamatan SMA dan
tamatan SD dan Perguruan Tinggi (S1
dan DIII) dan 17,6% tamatan SD.
Gambaran Umum Variabel
Penelitian
Analisis Univariat
Status Gizi
Tabel 4. Distribusi Status Gizi Bayi 3-
6 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe Selatan
Status Gizi Bayi n %
Normal 18 36,0
Kurang 32 64,0
Total 50 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 4 menunjukan bahwa
dari 50 sampel terdapat 32 orang
(64,0%) status gizinya kurang dan 18
orang (36,0%) status gizinya normal.
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
44
Kejadian ISPA
Tabel 5. Distribusi Kejadian ISPA
pada Bayi 3-6 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan
Kejadian ISPA n %
1 kali dalam sebulan 17 34,0
> 1 kali dalam sebulan 33 66,0
Total 50 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 5 menunjukan bahwa
dari 50 sampel terdapat 33 orang
(66,0%) > 1 kali Kejadian dan 17
orang (34,0%) 1 kali Kejadian.
Analisis Bivariat
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan
Pemberian Kolostrum pada Bayi
Baru Lahir
Tabel 6. Hubungan Status Gizi
dengan Kejadian ISPA
pada Bayi 3-6 Bulan di
Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe
Selatan
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 6 menunjukan bahwa dari
58 ibu yang tidak menunjukan bahwa
dari 50 sampel,sebagian besar yaitu 25
orang (34,0%) mengalami > 1 kali
kejadian ISPA dan memiliki status
gizi kurang dan sebagian kecil yakni
7 orang (66,0%) mengalami 1 kali
kejadian ISPA dengan status gizi yang
kurang
Berdasarkan hasil analisis
statistik menggunakan uji chi-square
diperoleh nilai p= 0,016 < α (0,05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan yang lemah antara
status gizi dengan Kejadian ISPA pada
bayi 3-6 bulan di Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan.
PEMBAHASAN
Pembahasan Univariat
Status Gizi Bayi
Status gizi adalah ekpresi dari
keadaan kesinambungan atau
perwujudan dari nutriture dalam
bentuk variabel tertentu (Supariasa
dkk, 2001), sedangkan menurut
Ambarwati (2012), status gizi
dikatakan baik apabila nutrisi yang
diperlukan baik protein, lemak,
karbohidrat, mineral, vitamin maupun
air digunakan oleh tubuh sesuai
kebutuhan.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 50 sampel terdapat 32
orang (64,0%) status gizinya kurang
dan 18 orang (36,0%) status gizinya
normal.
Menurut asumsi peneliti,
penyebab terjadinya gizi kurang pada
bayi disebabkan oleh asupan nutrisi
yang kurang, hal ini karena status gizi
merupakan gambaran dari makanan
yang dikonsumsi oleh bayi.
Status gizi merupakan
pengukuran antropometri yang sering
digunakan sebagai indikator dalam
keadaan normal, dimana keadaan
kesehatan dan keseimbangan antara
intake dan kebutuhan gizi terjamin.
Berat badan memberikan gambaran
tentang massa tubuh. Massa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan
keadaan yang mendadak, misalnya
terserang infeksi, kurang nafsu makan
dan menurunnya jumlah makanan
Pengetahuan
Ibu
Kejadian
ISPA Jumla
h p 1
Kali
> 1
Kali
n % n % n %
Normal 10 16 8 20 18 36
0,016 Kurang 7 66 25 34 32 64
Jumlah 17 34 33 66 50 100
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
45
yang dikonsumsi. BB/U lebih
menggambarkan status gizi sekarang.
Berat badan yang bersifat labil,
menyebabkan indeks ini lebih
menggambarkan status gizi seseorang
saat ini (Current Nutritional Status)
(Supariasa, dkk, 2001).
Kejadian ISPA
ISPA adalah penyakit infeksi
saluran pernapasan akut akibat
masuknya mikroorganisme ke dalam
tubuh dan biasanya berlangsung
hingga 14 hari.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 50 sampel terdapat 33
orang (66,0%) > 1 kali dalam sebulan
dan 17 orang (34,0%) 1 kali dalam
sebulan. Kejadian ISPA dalam
penelitian ini dicatat setiap dua
minggu sekali (6 kali kunjungan).
Penyebab banyaknya bayi yang
mengalami ISPA > 1 dalam sebulan
dipengaruhi oleh status gizinya,
dimana bayi tersebut dalam kondisi
status gizi kurang.
Seorang bayi disebut
mengalami infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) bilamana anak tersebut
mengalami atau menunjukkan satu
atau lebih gejala-gejala tersebut.
Kejadian baru bila ISPA terjadi lagi
setelah tiga hari tanpa (bebas dari)
ISPA (Alam, dkk, 2011).
Banyak faktor yang
mempengaruhi Kejadian ISPA pada
bayi diantaranya adalah status gizi,
dimana status gizi yang kurang
menggambarkan tingkat kekebalan
bayi yang mudah terinfeksi oleh
penyakit lain seperti ISPA. disamping
itu keadaan lingkungan yang tidak
diteliti dalam penelitian ini turun
menentukan Kejadian ISPA yang
dialami bayi.
Penelitian ini sejalan dengan
teori yang dikemukakan oleh
Kemenkes RI (2008), bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit ISPA baik secara langsung
maupun tidak langsung. Menurut
Kemenkes (2008) menyebutkan
bahwa faktor penyebab ISPA pada
balita adalah status gizi buruk
Penyakit ISPA adalah penyakit
yang dapat menyerang semua
kelompok usia dari bayi, anak-anak
dan sampai orang tua. Terjadinya
infeksi saluran pernapasan pada anak
balita disamping adanya bibit
penyakit, juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tingkat
pendapatan, pengetahuan, status gizi
dan status imunisas (Sumargono,
2006).
Penyakit yang ditandai dengan
keluhan batuk dan atau pilek (ingus)
dan atau batuk pilek dan atau sesak
nafas karena hidung tersumbat dengan
atau tanpa demam. Seorang bayi
disebut mengalami infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) bilamana
anak tersebut mengalami atau
menunjukkan satu atau lebih gejala-
gejala tersebut. Kejadian baru bila
ISPA terjadi lagi setelah tiga hari
tanpa (bebas dari) ISPA (Alam, dkk,
2011).
Pembahasan Bivariat
Hubungan Status Gizi Bayi dengan
Kejadian ISPA
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 50 sampel,sebagian besar
yaitu 25 orang (34,0%) mengalami > 1
kali Kejadian ISPA dan memiliki
status gizi kurang dan sebagian kecil
yakni 7 orang (66,0%) mengalami 1
kali Kejadian ISPA dengan status gizi
yang kurang.Berdasarkan hasil
analisis statistik menggunakan uji chi-
square diperoleh nilai p= 0,016 < α
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
46
(0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang lemah
antara status gizi dengan kejadian
ISPA pada bayi 3-6 bulan di
Puskesmas Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan.
Dalam penelitian ini juga
menunjukan bahwa dari 18 orang yang
status gizinya normal, masih terdapat
8 orang (20,0%) mengalami ISPA > 1
kali Kejadian, hal ini diduga
disebabkan oleh faktor lingkungan
yang juga turun menentukan ISPA,
dimana meskipun status gizinya
normal, namun apabila lingkungan
berasap ataupun berdebu, maka bayi
cenderung mengalami Kejadian ISPA.
Kemudian hasil penelitian ini juga
menunjukan bahwa dari 32 bayi yang
status gizinya kurang, masih terdapat
7 orang (66,0%) mengalami 1 kali
Kejadian ISPA, hal ini karena
meskipun status gizinya kurang,
namun bayi masih tetap memiliki daya
imunitas yang tinggi serta didukung
oleh keadaan lingkungan yang sangat
memungkinkan terhindar dari ISPA.
Penyakit infeksi dan gangguan
gizi sering terjadi secara bersamaan
dan saling mempengaruhi antara yang
satu dengan yang lainnya.Kaitan
penyakit infeksi dengan keadaan gizi
kurang merupakan hubungan timbal
balik, yaitu hubungan sebab
akibat.Kekurangan gizi atau malnutrisi
yang disebabkan asupan gizi tidak
adekuat dapat mengakibatkan
menurunnya berat badan, gangguan
pertumbuhan, menurunnya imunitas
dan kerusakan mukosa. Menurunnya
imunitas dan kerusakan mukosa
memegang peranan utama dalam
mekanisme pertahanan tubuh.
Kejadian, keparahan dan durasi
penyakit mempunyai kaitan erat
dengan kedua faktor tersebut.Penyakit
infeksi yang terjadi menyebabkan
kehilangan persediaan gizi sebagai
akibat respon metabolik dan
kehilangan melalui saluran cerna.
Pada saat bersamaan terjadi penurunan
nafsu makan yang pada gilirannya
menyebabkan asupan gizi menurun
(Supariasa, 2011).
Penelitian Sumargono (2006) di
Jakarta membuktikan bahwa status
gizi balita mempengaruhi terhadap
terjadinya kejadian ISPA ringan.
Status gizi bayi menggambarkan
keadaan nutrisi seseorang, Balita yang
status gizinya kurang cenderung
mengalami ISPA, karena saat status
gizinya kurang, daya immunitas tubuh
balita semakin rendah, sehingga dapat
menimbulkan penyakit lainnya
Penyakit infeksi dan kekurangan
gizi sering terjadi secara bersamaan
dan saling mempengaruhi. Keadaan
gizi yang disebabkan asupan makan
yang tidak memenuhi kebutuhan dapat
mengakibatkan menurunnya berat
badan dan gangguan pertumbuhan
serta menurunnya imunitas dan
kerusakan mukosa. Hal tersebut
berkaitan erat dengan kejadian,
keparahan, durasi dan Kejadian
penyakit infeksi. Penyakit infeksi
dapat menyebabkan kehilangan
persediaan gizi dan peningkatan
kebutuhan akibat dari sakit. Pada saat
bersamaan terjadi penurunan nafsu
makan yang pada gilirannya
menyebabkan asupan gizi menurun
(Kemenkes RI, 2008).
Kemenkes RI, (2008)
mengemukakan bahwa beberapa
penelitian terdahulu juga
menunjukkan bahwa malnutrisi
merupakan faktor risiko penting untuk
ISPA Anak yang menderita malnutrisi
berat dan kronis lebih sering terkena
ISPA dibandingkan anak dengan berat
badan normal. Penelitian yang
dilakukan oleh Dewi dkk (2007),
Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014
Hal : 39 - 47
47
didapatkan hasil bahwa status gizi
kurang pada anak balita mempunyai
risiko untuk terkena ISPA 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak
yang bergizi baik. Dalam penelitian
ini proporsi anak yang bergizi kurang
lebih banyak pada kasus (41,03%) dari
pada pembanding (25,64%).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Status gizi Bayi Umur 3 - 6 Bulan
di Puskesmas Ranomeeto
Kabupaten Konawe Selatan
sebagian besar yakni 32 orang
(64,0%) dalam kategori kurang.
2. Kejadian ISPA pada Bayi Umur 3
- 6 Bulan di Puskesmas
Ranomeeto Kabupaten Konawe
Selatan sebagian besar yakni 27
orang (54,0%) mengalami ISPA >
1 kali.
3. Ada hubungan yang lemah antara
status gizi dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di
Puskesmas Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan.
Saran
1. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi
kepada pemerintah dan instansi
terkait dalam menentukan
kebijakan dan perencanaan
program penanggulangan ISPA
2. Bagi penelitian, kiranya hasil
penelitian ini dapat menambah
pengetahuan dan cakrawala
berpikir serta sumbangan
pemikiran mengenai hubungan
status gizi dengan kejadian ISPA.
3. Agar dapat dijadikan sebagai dasar
penelitian analitik, serta mampu
menambah wawasan dalam ilmu
Gizi.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. S, 2001. Prinsip Dasar
Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Ambarwati, F.S. 2012. Gizi dan
Kesehatan Reproduksi.
Cakrawala Ilmu. Yogyakarta.
Dewi, dkk. 2007. Faktor Risiko Ispa
Pada Balita. http//:com.
Diakses Tanggal 10 Februari
2014.
Kemenkes RI, 2008. Pedoman
Pemberantasan Penyakit
ISPA. http/:com. Diakses
tanggal 10 Februari 2014.
Mubarak, 2011. Promosi Kesehatan
untuk Kebidanan. Salemba
Medika. Jakarta.
Notoatmodjo, 2005. Metodologi
Penelitian Kesehatan, Rineka
Cipta, Jakarta.
Prasetyawati. 2012. Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA),dalam
Milenium Development Goals
(MDGs). Penerbit Nuha
Medika, Yogyakarta.
Sumargono,2006. Hubungan Antara
Sanitasi Fisik Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) Pada
Bayi Di Desa Cepogo
Kecamatan Cepogo
Kabupaten Boyolali.
http//:com. Di Akses Tanggal
1 Maret 2014.
Supariasa dkk, 2011, Penilaian Status
Gizi, EGC Jakarta.
Wati, 2010. Hubungan Kejadian
ISPA.
http://creasoft.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 14 April
2014.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
48
PENGARUH PEMBERIAN JUS ALPUKAT TERHADAP PENURUNAN
TEKANAN DARAH PADA PENDERITA HIPERTENSI
1Heriyanto
Stikes Karya Kesehatan1
Abstrak
Hipertensi merupakan tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya
diatas 140 mgHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Alpukat merupakan
buah yang dapat menormalkan tekanan darah, hal ini karena adanya senyawa kalium
dan flavonoid dalam buah alpukat menyebabkan buah alpukat berefek menurunkan
tekanan darah.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus alpukat
terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di wilayah kerja
Puskesmas Motaha Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan. Penelitian ini
merupakan penelitian pra eksperimen dengan rancangan one group pre–post test dan
telah dilaksanakan pada tanggal 15-22 Februari di wilayah kerja puskesmas
Motaha. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita hipertensi baik
primer dan sekunder. tahun 2014 periode Januari-Februari sebanyak 86 orang dan
sampel sebanyak 46 orang yang diperoleh secara Accidental Sampling dan, data
diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji menggunakan uji paired sample t test.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 46 sampel, setelah diberikan jus
alpukat, sampel yang tekanan darahnya sedang mengalami penurunan sebesar 17,3%
begitu pula dengan penderita yang tekanan darahnya berat, mengalami penurunan
sebesar 26,2%, kemudian pada sampel yang tekanan darahnya rendah, setelah
diberikan jus alpukat meningkat sebesar 43,5%.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Tekanan darah penderita Hipertensi
sebelum diberikan jus alpukat, sebagian besar yakni 54,3% dalam kategori sedang
dan setelah diberikan jus alpukat, sebagian besar yakni 50,0% dalam kategori ringan
dan ada pengaruh pemberian jus alpukat terhadap penurunan tekanan darah pada
penderita hipertensi dengan nilai p=0,001. Saran dalam penelitian ini adalah bagi
masyarakat agar dapat menjadi sumber informasi tentang khasiat jus alpukat dalam
menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dan dapat menerapkan
pemberian jus alpukat untuk menurunkan tekanan darah. Bagi peneliti lain agar dapat
agar menjadi bahan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang gizi klinik menjadi
bahan pustaka dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya yang tertarik
untuk mengkaji masalah yang relevan dengan penelitian ini. Bagi peneliti agar
menjadi pengalaman nyata penerapan metodologi penelitian dan menambah
wawasan serta pengetahuan tentang manfaat jus alpukat terhadap penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi.
Kata Kunci : Tekanan Darah, Hipertensi dan Alpukat
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
49
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu
peningkatan abnormal tekanan darah
dalam pembuluh darah arteri secara
terus–menerus lebih dari suatu periode
hipertensi merupakan tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya
diatas 140 mgHg dan tekanan
diastoliknya di atas 90 mmHg
(Brunner & Suddarth, 2007)
Hipertensi atau tekanan darah
tinggi merupakan salah satu masalah
kesehatan yang cukup dominan dan
perlu mendapatkan perhatian, sebab
angka prevalensi yang tinggi dan juga
karena akibat jangka panjang yang
ditimbulkan mempunyai konsekuensi
tertentu. Penyakit hipertensi seringkali
tidak mempunyai tanda atau gejala
atau sering juga disebut “silent killer”
atau penyakit yang membunuh secara
diam-diam atau terselubung.
Masyarakat tidak menyadari kalau
mereka menderita hipertensi sampai
terjadi gangguan pada jantung, otak
atau ginjal (Hull, 2009)
Hipertensi membuka peluang
12 kali lebih besar bagi penderitanya
untuk menderita stroke dan 6 kali
lebih besar untuk serangan jantung,
serta 5 kali lebih besar kemungkinan
meninggal karena gagal jantung
(congestive heart failure). Penderita
hipertensi berisiko besar mengalami
gagal ginjal, di Amerika diperkirakan
sekitar 64 juta lebih penduduknya
yang berusia antara 18 sampai 75
tahun menderita hipertensi, separuh
dari jumlah tersebut pada awalnya
tidak menyadari bahwa dirinya sedang
diincar oleh pembawa maut yang
bernama hipertensi (Vitahealth, 2006).
Data Joint National Committee
on Prevention detection, Evaluation,
and Treatment on High Blood
Pressure 7 (JNC 7) mengungkap,
penderita hipertensi di seluruh dunia
mendekati angka 1 miliar. Artinya, 1
dari 4 orang dewasa menderita
tekanan darah tinggi. Lebih dari
separuh atau sekitar 600 juta
penderita, tersebar di Negara
berkembang, termasuk Negara
Indonesia, diperkirakan sekitar 80 %
kenaikan kasus hipertensi terutama
dinegara berkembang dari sejumlah
639 juta kasus ditahun 2000
diperkirakan menjadi 1.15 milyar
kasus ditahun 2025. Angka ini
menunjukkan, hipertensi bukan hanya
masalah Negara-negara maju.
Banyaknya penderita hipertensi
diperkirakan sebesar 15 juta bangsa
Indonesia tetapi hanya 4% yang
controlled hypertension, yang
dimaksud dengan hipertensi
terekendali adalah mereka yang
menderita hipertensi dan tahu bahwa
mereka menderita hipertensi dan
sedang berobat untuk itu (Bustan,
2007).
Pengobatan hipertensi
membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Hal ini merupakan beban yang
besar baik untuk keluarga, masyarakat
maupun negara (Khasanah, 2012).
Untuk mengendalikan tekanan
darah, penderita hipertensi umumnya
minum obat setiap hari, akan tetapi
rutinitas ini sering tidak disukai
penderita. Selain membuat bosan dan
harganya relatif mahal, konsumsi obat
dalam jangka panjang membuat
penderita takut pada efek sampingnya.
pengobatan alternatif menjadi pilihan
beberapa orang untuk mengatasi
hipertensi. Salah satunya melakukan
terapi herbal yang telah diakui
kalangan medis untuk mengobati
hipertensi. Terapi ini menggunakan
tanaman yang telah terbukti secara
medis memiliki kandungan obat
herbal sebagai obat antihipertensi
(Nurrahmani, 2012).
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
50
Pemanfaatan tumbuhan sebagai
obat tradisional masih selalu
digunakan masyarakat di Indonesia
terutama di daerah pedesaan yang
masih kaya dengan keanekaragaman
tumbuhannya. Selain murah dan
mudah didapat, obat tradisional yang
berasal dari tumbuhan pun memiliki
efek samping yang jauh lebih rendah
tingkat bahayanya dibandingkan obat-
obatan kimia (Rahardjo, 2007).
Salah satu tanaman herbal adalah
alpukat (persea americana milli)
merupakan buah yang sering dijumpai
buah serba guna ini memiliki banyak
manfaat dan khasiat bagi manusia.
Ada banyak manfaat zat yang kaya
manfaat yang terdapat dalam buah ini
(George Mateljan Foundation, 2010).
Bagian alpukat yang digunakan
untuk herbal adalah daging buah
(perseae fructus), daun (perseae
folium ), biji (perseae semen) dan kulit
pohon (perseae cortex). Daging buah
yang berwarna hijau dan lembek dapat
menghasilkan bubur yang halus sekali.
Oleh karena itu diolah dalam bentuk
jus (Nurheti, 2009).
Alpukat juga banyak
mengandung potassium atau kalium ,
mineral yang membantu menormalkan
tekanan darah dan mereka yang
mendapat potassium yang cukup,
punya resiko lebih kecil untuk terkena
penyakit yang berhubungan dengan
sirkulasi darah. Misalnya darah tinggi,
jantung dan stroke (Nurheti, 2009).
Menurut penelitian Nirwana
(2011) tentang Pengaruh Jus Alpukat
terhadap perubahan tekanan darah
sistolik dan diastolik pada penderita
hipertensi terjadi perubahan tekanan
darah karena adanya kandungan
kalium
Puskesmas Motaha yang berada
di Wilayah Kecamatan Angata
Kabupaten Konawe Selatan, Kota
Kendari Sulawesi Tenggara. Luas
Wilayah Kecamatan Angata terbagi
atas 26 desa dan jumlah penduduknya
1900 jiwa pada tahun 2012. Tetapi
sampai sekarang ini angka kelahiran
ibu semakin meningkat dan tentunya
penduduk di Wilayah Kecamatan
Angata juga akan meningkat (Data
puskesmas Angata, 2012)
Berdasarkan survei awal pada
Bulan Januari 2014 di puskesmas
Motaha, Sejak tahun 2011 penderita
hipertensi berjumlah 481 penderita
dan pada tahun 2012 mengalami
peningkatan, penderita hipertensi yang
berkunjung berjumlah 502 penderita,
tetapi pada awal 2014 pada bulan
berjumlah 486 penderita hipertensi
yang berkunjung dan masih ada
kemungkinan besar akan mengalami
peningkatan dan merupakan penyakit
ke dua dari sepuluh besar penyakit di
puskesmas motaha, atas dasar tersebut
maka peneliti memilih puskesmas
motaha sebagai lokasi penelitian (Data
Puskesmas Motaha, 2014).
Berdasarkan uraian di atas penulis
tertarik untuk meneliti lebih jauh
tentang “Pengaruh Pemberian Jus
Alpukat terhadap Penurunan Tekanan
Darah pada Penderita Hipertensi ”
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian
jus alpukat terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita
hipertensi
2. Tujuan Khusus
2.1 Mengetahui gambaran tekanan
darah sebelum diberikan jus
alpukat pada penderita hipertensi.
2.2 Mengetahui gambaran tekanan
darah setelah diberikan jus
alpukat pada penderita hipertensi.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
51
2.3 Mengetahui pengaruh pemberian
jus alpukat terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita
hipertensi.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik
1.1 Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan ilmu
pengetahuan di bidang gizi klinik.
1.2 Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan pustaka dan
informasi tambahan bagi
penelitian selanjutnya yang tertarik
untuk mengkaji masalah yang
relevan dengan penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan
informasi terhadap masyarakat
tentang jus alpukat dalam
menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi dan
diharapkan masyarakat secara
umum juga menerapkan
pemberian jus alpukat untuk
menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi agar tidak
hanya menggunakan obat-obatan.
3. Manfaat bagi peneliti
Sebagai pengalaman nyata
penerapan metodologi penelitian
dan menambah wawasan serta
pengetahuan tentang manfaat jus
alpukat terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita
hipertensi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini
menggunakan pra eksperimen yang
berbentuk rancangan one group pre–
post test.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan
pada tanggal 15-22 Februari 2014 di
wilayah kerja Puskesmas Motaha
Kecamatan Angata Kabupaten
Konawe Selatan.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh penderita hipertensi
baik primer dan sekunder di wilayah
kerja Puskesmas Motaha Kecamatan
Angata Kabupaten Konawe Selatan
tahun 2014 periode Januari-Februari
sebanyak 86 orang secara keseluruhan
kelompok usia.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini
adalah sebagian penderita hipertensi
sebanyak 86 orang. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan teknik
nonprobability sampling berupa
Accidental sampling yaitu
pengambilan sampel yang kebetulan
ada saat penelitian.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data Primer
1. Data identitas meliputi nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan dan
pekerjaan responden melalui
wawancara dengan menggunakan
formulir mengumpulan data
2. Data tekanan darah diperoleh
melalui pengukuran tekanan darah
menggunakan tensimeter dan
stetoskop yang dilakukan oleh
tenaga medis yakni perawat di
Pukesmas Motaha.
3. Data pemberian jus alpukat dengan
melihat dan didampingi oleh
peneliti secara langsung penderita
hipertensi minum jus alpukat 200
cc sampai habis setelah 60 menit
kemudian ditensi kembali.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
52
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari
instansi terkait yang ada hubungannya
dengan penelitian ini. Data yang
diperoleh gambaran umum lokasi dan
data medical record pasien melalui
penulusuran dokumentasi di
Puskesmas Motaha Kecamatan Angata
Kabupaten Konawe Selatan
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
1. Data identitas sampel berupa nama,
umur, jenis kelamin, pendidikan
dan pekerjaan diperolah dengan
wawancara menggunakan
kuesioner.
2. Data tekanan darah penderita
hipertensi diolah dengan
membandingkan hasil pengukuran
tekanan darah sampel dengan
kriteria objektif.
3. Data yang diperoleh dari hasil
pengukuran dan lembar observasi
diolah dengan menggunakan
komputer melalui program SPSS.
Analisis data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan
untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian
(Notoatmodjo, 2005). Analisis ini
digunakan untuk mendeskripsikan
tekanan darah sebelum diberikan
jus alpukat dan sesudah diberikan
jus alpukat, meliputi rata-rata,
standar deviasi, nilai maksimum
dan minimum masing-masing
tekanan darah sistolik dan diastolic.
Analisa ini menghasilkan distribusi
dan persentasi dari tiap variabel
yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa
yang digunakan untuk mencari
pengaruh antara variabel
independent dan variabel
dependent, untuk mengetahui
besarnya pengaruh pemberian jus
alpukat terhadap penurunan tekanan
darah digunakan uji t sampel
berpasangan atau paired sample t
test
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel
Umur
Tabel 1. Distribusi Umur Penderita
Hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Motaha
Umur (Tahun) n %
46-49 19 41,3
50-59 27 58,7
Jumlah 46 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 1 menunjukan bahwa dari
46 sampel, sebagian besar yaitu 58,7
% pada kategori umur 50-49 tahun
dan selebihnya yaitu 41,3% pada
kategori umur 46 – 49 tahun.
Jenis Kelamin
Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin
Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas
Motaha
Jenis Kelamin n %
Laki-Laki 27 58,7
Perempuan 19 41,3
Jumlah 46 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 2 menunjukan bahwa dari
36 responden sebagian besar yaitu
58,7 % berjenis kelamin Laki-Laki,
selebihnya 41,3% berjenis kelamin
Perempuan.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
53
Tingkat Pendidikan
Distribusi sampel berdasarkan
tingkat pendidikan dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3. Distribusi Tingkat
Pendidikan Penderita
Hipertensi di Wilayah
Kerja Puskesmas Motaha
Pendidikan Ibu n %
SD 10 21,7
SMP 19 41,3
SMA 12 26,1
Akademik (DIII) 5 10,9
Jumlah 46 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 3 menunjukan bahwa dari
36 sampel terdapat 41,3 % tamatan
SMP, 26,1% tamatan SMA, 21,7%
tamatan SD dan 10,9% tamatan
Akademik (DIII).
Pekerjaan
Tabel 4. Distribusi Pekerjaan
Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas
Motaha
Pekerjaan n %
Pegawai Negeri Sipil 8 17,4
Wiraswasta 11 23,9
Petani 18 39,1
Ibu Rumah Tangga 9 19,6
Jumlah 46 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 4 menunjukan bahwa dari
36 sampel, terdapat 39,1% bekerja
sebagai petani, 23,9% adalah
wiraswasta, 19,6% adalah Ibu Rumah
Tangga, dan 17,4% adalah Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
Gambaran Umum Variabel Penelitian
Analisis Univariat
Analisis univariat menjabarkan
distribusi variabel-variabel yang
diteliti yakni:
Tekanan Darah Sebelum Pemberian
Jus Alpukat (Pre-Test)
Tabel 5. Distribusi Tekanan Darah
Sebelum Pemberian Jus
Alpukat (Pre Test) pada
Penderita Hipertensi
Tekanan Darah
Sebelum Pemberian
Jus Alpukat
(Pre Test)
n %
Berat 18 39,2
Sedang
Ringan
25
3
54,3
6,5
Jumlah 46 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 5 menunjukan bahwa
dari 46 penderita hipertensi sebelum
diberikan jus alpukat sebagian besar
yakni 54,3% tekanan darahnya dalam
kategori sedang, 39,2% dalam
kategori berat dan 6,5% dalam
kategori ringan.
Tekanan Darah Setelah Pemberian
Jus Alpukat (Pre-Test)
Tabel 6 Distribusi Tekanan Darah
Setelah Pemberian Jus
Alpukat (Pre Test) pada
Penderita Hipertensi
Tekanan Darah
Setelah Pemberian
Jus Alpukat
(Post Test)
n %
Berat 6 13,0
Sedang 17 37,0
Ringan 23 50,0
Jumlah 46 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 6 menunjukan bahwa
dari 46 penderita hipertensi setelah
diberikan jus alpukat, sebagian besar
yakni 50,0% tekanan darahnya dalam
kategori ringan, 37,0% dalam
kategori sedang dan 13,0% dalam
kategori berat.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
54
Analisis Bivariat
Pengaruh Pemberian Jus Alpukat
terhadap Tekanan Darah
Tabel 7. Pengaruh pemberian jus
alpukat terhadap tekanan
darah Ibu Penderita
Hipertensi
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 7 menunjukan bahwa dari
46 sampel, sebelum diberikan jus
alpukat, terdapat 54,3% tekanan
darahnya sedang dan setelah diberikan
jus alpukat penderita yang tekanan
darahnya sedang menjadi 37,0%,
begitu pula dengan penderita yang
tekanan darahnya berat, sebelum
diberikan jus alpukat terdapat 39,2%
yang tekanan darahnya berat dan
setelah diberikan jus alpukat,
penderita yang tekanan darahnya berat
menjadi 13,0%. Kemudian pada
sampel yang tekanan darahnya rendah,
sebelum diberikan jus alpukat terdapat
6,5% dan setelah diberikan jus alpukat
bertambah menjadi 50,0%.
Hasil uji statistik menggunakan
uji T-test dengan 1 sampel bebas
antara tekanan darah sebelum dan
setelah pemberian jus alpukat,
diperoleh nilai P=0,001 (P<0,05)
berarti hipotesis alternatif diterima dan
hipotesis nol ditolak, sehingga
disimpulkan bahwa ada pengaruh
pemberian jus alpukat terhadap
tekanan darah penderita hipertensi.
PEMBAHASAN
Tekanan Darah Sebelum Pemberian
Jus Alpukat
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 46 penderita
hipertensi sebelum diberikan jus
alpukat sebagian besar yakni 54,3%
tekanan darahnya dalam kategori
sedang, 39,2% dalam kategori berat
dan 6,5% dalam kategori ringan.
Pengelompokan sampel yang
bertekanan darah ringan (hipertensi
ringan) apabila hasil pengukuran
tekanan darah sistoliknya mencapai
140-159 mmHg, dan dikatakan
bertekanan darah sedang (hipertensi
sedang) apabila tekanan darah
sistoliknya 160-179 mmHg dan
dikategorikan memiliki tekanan darah
berat (hipertensi berat) apabila
tekanan darah sistoliknya > 180
mmHg. Tingginya tekanan darah
penderita Hipertensi umumnya
disebabkan oleh faktor usia dimana
berdasarkan hasil penelitian sebagian
besar yaitu 58,7 % pada kategori
umur 50-49 tahun dan selebihnya
yaitu 41,3% pada kategori umur 46 –
49 tahun. Semakin tinggi usia
seseorang, maka lebih mudah
mengalami hipertensi dibanding
seseorang yang berusia muda
(Khasanah, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan
dengan pendapat Armilawaty (2007)
yang mengemukakan bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi, baik yang dapat dikontrol
maupun tidak dapat dikontrol. Faktor
risiko yang tidak dapat dikendalikan
atau tidak dapat kontrol yaitu umur,
jenis kelamin dan genetik . Hipertensi
umumnya dijumpai pada umur lebih
dari 40 tahun dan ditinjau dari jenis
kelamin perempuan lebih berisiko
dibandingkan dengan laki-laki.
Individu dengan riwayat keluarga
Tekanan
Darah
Pemberian Jus
Alpukat Hasil
Uji Pre Test Post Test
n % n %
Berat 18 39,2 6 13,0
0,001 Sedang 25 54,3 17 37,0
Ringan 3 6,5 23 50,0
Total 46 100 46 100
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
55
hipertensi mempunyai risiko dua kali
lebih besar untuk menderita hipertensi
dari pada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat
hipertensi.
Hipertensi merupakan faktor
risiko utama untuk terjadinya penyakit
jantung, gagal jantung kongesif,
stroke, gangguan penglihatan dan
penyakit ginjal. Tekanan darah yang
tinggi pada umumnya meningkatkan
risiko terjadinya komplikasi tersebut.
Hipertensi yang tidak di obati akan
mempengaruhi semua sistem organ
dan akhirnya memperpendek harapan
hidup sebesar 10-20 tahun.
Komplikasi yang terjadi pada
hipertensi ringan dan sedang
mengenai mata, ginjal, jantung dan
otak.Komplikasi pada mata berupa
perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan.
Gagal jantung merupakan kelainan
yang sering di temukan pada
hipertensi berat selain kelainan
koroner dan miokard. Kelainan lain
yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia
otak sementara (transient ishemic
attack/TIA). Gagal ginjal sering
dijumpai sebagai komplikasi
hipertensi yang lama dan pada proses
akut seperti hipertensi maligna.
Tekanan Darah Setelah Pemberian
Jus Alpukat
Hipertensi merupakan suatu
peningkatan abnormal tekanan darah
dalam pembuluh darah arteri secara
terus–menerus lebih dari suatu periode
Seseorang dikatakan mengalami
hipertensi jika tekanan darahnya
melebihi 140/90 mmHg
(sistolik/diastolik). Ketika kadar
natrium dalam darah tinggi dan tidak
dapat dikeluarkan oleh ginjal, volume
darah meningkat karena natrium
bersifat menarik dan menahan air.
Peningkatan ini menyebabkan jantung
bekerja lebih keras untuk mengalirkan
darah ke seluruh pembuluh tubuh
(Brunner & Suddarth, 2007)
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 46 penderita hipertensi
setelah diberikan jus alpukat, sebagian
besar yakni 50,0% tekanan darahnya
dalam kategori ringan, 37,0% dalam
kategori sedang dan 13,0% dalam
kategori berat.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Amran.
Y, dkk, (2010) menunjukan bahwa
dari jus alpukat dapat menurunkan
tekanan darah penderita Hipertensi
Dalam proses penelitian ini,
peneliti menggunakan alpukat
mantega (Persea Americana Mill)
dalam proses pembutan jus, hal ini
untuk mengefisienkan proses
pembuatan jus, dimana dengan
menggunakan 1 alpukat mantega, jus
yang dihasilkan mencapai 400 cc,
sehingga untuk 1 buah alpukat bisa
diberikan kepada 2 orang penderita
hipertensi dan masing-masing
penderita hipertensi mendapat 200 cc
jus alpukat
Hasil penelitian ini menunjukan
setelah pemberian jus alpukat
sebagian besar tekanan darah menjadi
ringan. Hal ini dilakukan karena
peranan jus alpukat yang dapat
menurunkan tekanan darah,dimana
sebelum pengukuran penelitian beserta
tenaga perawat melakukan
pengukuran tekanan darah, dan
memberikan Jus alpukat, setelah
berselang 60 menit, tekanan darah
pasien rata-rata mengalami penurunan
rata-rata 10 mmHg, sehingga sampel
yang tadinya memiliki tekanan darah
sedang menurun menjadi ringan dan
yang berat menjadi sedang.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
56
Penelitian ini pula sejalan
dengan penelitian Nirwana (2011)
tentang Efektifitas waktu dalam
pemberian jus alpukat, dimana pada
menit ke 60, penentuan tekanan darah
penderita Hipertensi dapat dideteksi
dengan baik, hal ini berkaitan dengan
proses penyerapan jus alpukat, yang
beraksi setelah 1 jam mengkonsumsi
jus alpukat. Buah alpukat mengandung
nutrisi yang sangat tinggi yaitu asam
folat, asam pantotenat, niasin, vitamin
B1, B6, C, dan E. Buah alpukat juga
mengandung mineral yaitu fosfor, zat
besi, kalium, magnesium, dan
glutation, juga kaya akan serat dan
asam lemak tak jenuh tunggal
(Wijoyo, 2009). Selain itu, buah
alpukat juga mengandung saponin,
alkaloid, flavonoid, dan tanin
(Nurheti, 2009).
Pengaruh Pemberian Jus Alpukat
Terhadap Tekanan Darah
Penderita Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau
hipertensi adalah kondisi medis
dimana terjadi peningkatan tekanan
darah secara kronis atau dalam jangka
waktu yang lama. Tekanan darah
adalah kekuatan yang dihasilkan oleh
darah terhadap setiap satuan luas
dinding pembuluh. Tekanan darah
arteri dinyatakan dalam millimeter air
raksa (mmHg) karena manometer air
raksa telah dipakai sebagai rujukan
baku untuk pengukuran tekanan darah
(Dewi. S & Familia. D, 2010).
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 46 sampel, sebelum
diberikan jus alpukat, terdapat 54,3%
tekanan darahnya sedang dan setelah
diberikan jus alpukat penderita yang
tekanan darahnya sedang menjadi
37,0%, begitu pula dengan penderita
yang tekanan darahnya berat, sebelum
diberikan jus alpukat terdapat 39,2%
yang tekanan darahnya berat dan
setelah diberikan jus alpukat,
penderita yang tekanan darahnya berat
menjadi 13,0%. Kemudian pada
sampel yang tekanan darahnya rendah,
sebelum diberikan jus alpukat terdapat
6,5% dan setelah diberikan jus alpukat
bertambah menjadi 50,0% (Tabel 5.8).
Hasil uji statistik menggunakan uji T-
test, diperoleh nilai P=0,001 (P<0,05),
sehingga disimpulkan bahwa ada
pengaruh pemberian jus alpukat
terhadap tekanan darah penderita
hipertensi.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Nirwana (2011) yang mengemukakan
bahwa ada pengaruh jus alpukat
terhadap tekanan darah penderita
hipertensi dengan nilai p=0,002.
Alpukat dapat menurunkan
tekanan darah karena adanya senyawa
kalium dan flavonoid dalam buah
alpukat. Kalium dapat menurunkan
tekanan darah dengan cara
meningkatkan ekskresi natrium,
menekan sekresi renin, menyebabkan
dilatasi arteriol dan mengurangi
respon terhadap vasokonstriktor
endogen. Sedangkan flavonoid bekerja
sebagai Angiotensin Converting
Enzym (ACE) inhibitor dengan
menghambat pembentukan
angiotensin II dari angiotensin I.
Dengan berkurangnya jumlah
angiotensin II, efek vasokonstriksi dan
sekresi aldosteron semakin berkurang
untuk reabsorpsi natrium dan air.
Akhirnya tekanan darah akan menurun
(Nurrahmani, 2012).
Penelitian ini sejalan dengan
pendapat Khasanah (2012) yang
mengemukakan bahwa konsumsi
kalium dalam jumlah yang tinggi
dapat melindungi individu dari
hipertensi dan apabila pemenuhan
kalium kurang dari minimum maka
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
57
jantung akan berdebar-debar detaknya
dan menurunkan kemampuan untuk
memompa darah. Asupan kalium yang
meningkat akan menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolic. Cara kerja
kalium adalah kebalikan dari natrium.
Konsumsi kalium yang banyak akan
meningkatkan konsentrasinya didalam
cairan intraselular, sehingga
cenderung menarik cairan dari bagian
ekstraselular dan menurunkan tekanan
darah. Rasio kalium dan natrium
dalam diet berperan dalam mencegah
dan mengendalikan hipertensi.
Suplements potasium 2-4 gram
perhari dapat membantu penurunan
tekanan darah, Potasium umumnya
bayak didapati pada beberapa buah-
buahan dan sayuran. Buah dan
sayuran yang mengandung potasium
dan baik untuk di konsumsi penderita
tekanan darah tinggi antara lain
semangka, alpukat, melon, buah pare,
labu siam, bligo, labu parang/labu,
mentimun, lidah buaya, seledri,
bawang dan bawang putih.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tekanan darah penderita
Hipertensi sebelumdiberikan jus
alpukat, sebagian besar yakni
54,3% dalam kategori sedang.
2. Tekanan darah penderita
Hipertensi setelah diberikan jus
alpukat, sebagian besar yakni
50,0% dalam kategori ringan.
3. Ada pengaruh pemberian jus
alpukat terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita
hipertensi dengan nilai p=0,001,
artinya penderita hipertensi
berisiko 0,001 kali untuk
mengalami penurunan tekanan
darah.
Saran
1. Bagi masyarakat agar dapat
menjadi sumber informasi tentang
khasiat jus alpukat dalam
menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi dan dapat
menerapkan pemberian jus alpukat
untuk menurunkan tekanan darah
2. Bagi peneliti lain agar dapat agar
menjadi bahan pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang gizi
klinik menjadi bahan pustaka dan
informasi tambahan bagi
penelitian selanjutnya yang tertarik
untuk mengkaji masalah yang
relevan dengan penelitian ini
3. Bagi peneliti agar menjadi
pengalaman nyata penerapan
metodologi penelitian dan
menambah wawasan serta
pengetahuan tentang manfaat jus
alpukat terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita
hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani dan Wirjatmadi, 2012.
Peranan Gizi dalam Siklus
Kehidupan. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Amran. Y, dkk, 2010. Pengaruh
Tambahan Asupan Kalium
dari Diet terhadap Penurunan
Hipertensi Sistolik Tingkat
Sedang pada Lansia
Basha, A., 2005. Kelebihan Berat
Badan Hubungannya
Dengan Penyakit Jantung
Koroner. Jurnal Kardiologi
Indonesia.Volume: 20, No: 4,
Oktober – Desember.
Bruner & Suddarth, 2007.Buku ajar
patologi II.EGG : Jakarta
Bustam, 2007. HIpertensi dan
Penangannya. Karya Medika.
Jakarta.
Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58
58
Dewi. S & Familia. D, 2010. Alpokat
dan Hipertensi. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2013. Profil dinas
kesehatan provinsi Sulawesi
tenggara. Kendari.
George Mateljan Foundation, 2010.
Keajaiban
Hull, 2009. Penyakit jantung ,
hipertensi dan nutrisi. Bumi
aksara. Jakarta.
Rahardjo P, 2007. Pengaruh Jus
Tomat Terhadap Perubahan
Tekanan Darah Sistolik dan
Diastolik Pada Penderita
hipertensi
Sugiono, 2011.Statistik Untuk
Penelitian. Edisi Revisi,
Alfabeta ; Bandung
Khasanah, N., 2012. Waspadai
Beragam Penyakit Degeneratif
Akibat Pola Makan.
Transmedia. Yogyakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2005.
Metodologi Penelitian. Rineka
Cipta, Jakarta.
,2007.Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Rineka Cipta,
Jakarta.
Nurheti, 2009. Khasiat Buah Alpokat
bagi Penderita Hipertensi.
Mulya Sentosa. Jakarta.
Prasetyawati, 2012. Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA). Nuha Medika.
Yogyakarta.
Proverawati, 2010. Ilmu Gizi untuk
Keperawatan dan Gizi
Kesehatan. Nuha
Medika.Yogyakarta.
Puskesmas Motaha, Profil
Puskesmas Motaha Kecamatan
Angata Kabupaten Konawe
Selatan. 2013.
Shanty, M., 2012. Silent Killer
Disease. PT. Buku Kita.
Yogyakarta.
Taufik, 2010. Keunggulan Buah
Alpokat. Nuha Medika.
Yogyakarta
Vita health, 2006. Hipertensi. PT
Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
59
HUBUNGAN POLA MENYUSUI DAN USIA PENYAPIHAN
DENGAN STATUS GIZI ANAK BADUTA (6-24 BULAN)
DI KOTA KENDARI TAHUN 2014
1Putu Eka M.E.
FKM Universitas Haluoleo1
Abstrak
Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah
ASI yang diperoleh termasuk energy dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam
ASI tersebut. Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara
memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena
ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung
protein dan kalori,seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping
ASI.
Penelitianini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola menyusui dan usia
penyapihan dengan status gizi anak baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun
2014.
Penelitian ini merupakan Deskripstif Analitik dengan rancangan desain cross
sectional study dan telah dilaksanakan pada tanggal 21 s/d 28 Februari 2014 di Kota
Kendari. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai anak
Baduta usia 6-24 bulan di Kota Kendari yaitu 415 orang dan sampel sebanyak 52
orang yang diambil secara Purporsive Sampling, data diperoleh menggunakan
kuesioner dan di uji menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian diperoleh dari 33 Baduta yang status gizinya kurang, sebagian
besar yakni 77,8% pola menyusuinya dalam kategori dan dari 19 Baduta yang status
gizinya cukup, sebagian besar yakni 68,7% pola menyusuinya dalam kategori
kurang.Kemudian dari 33 Baduta yang status gizinya kurang, sebagian besar yakni
76,8% usia penyapihannya dalam kategori tidak tepat dan dari 33 Baduta yang status
gizinya kurang, sebagian besar yakni 76,8% usia penyapihannya dalam kategori
tidak tepat.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah hubungan pola menyusui dan usia
penyapihan dengan status gizi anak baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun
2014, dengan nilai p=0,001 untuk pola menyusui dan p=0,015 untuk usia
penyapihan. Saran dalam penelitian ini adalah bagi pihak Dinas Kesehatan Kota
Kendari agar dapat menentukan kebijakan-kebijakan dalam upaya menanggulangi
masalah status gizi kurang dan upaya penyapihan yang tepat. Bagi ibu balita agar
meningkatkan melakukan penyapihan pada bayi saat berumur 6 bulan. Bagi peneliti
selanjutnya agar dapat mengkaji faktor-faktor penyebab tidak tepatnya usia
penyapihan yang dilakukan ibu baduta dan penyebab rendahnya status gizi Baduta.
Kata Kunci : Pola Menyusui, Usia Penyapihan, dan Status Gizi
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
60
PENDAHULUAN
Tumbang (pertumbuhan dan
perkembangan) bayi sebagian besar
ditentukan oleh jumlah ASI yang
diperoleh termasuk energi dan zat gizi
lainnya yang terkandung didalam ASI
tersebut. Setelah itu ASI hanya berfungsi
sebagai sumber protein vitamin dan
mineral utama untuk bayi yang
mendapatkan makanan tambahan yang
tertumpu pada beras atau makanan
lainnya. Bila kesehatan ibu setelah
melahirkan baik, menyusui merupakan
cara memberi makan yang paling ideal
untuk 4-6 bulan pertama sejak
dilahirkan, karena ASI dapat memenuhi
kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak
lagi cukup mengandung protein dan
kalori, seorang bayi mulai memerlukan
minuman/makanan pendamping ASI
(Waryana, 2012).
Anak bawah dua tahun (Baduta)
merupakan anggota keluarga yang
memerlukan perhatian khusus orang tua.
Pada usia ini anak masih tergantung,
baik secara fisik maupun non fisik
kepada orang dewasa. Pada usia anak
Baduta, umumnya anak masih disusui
(diberi ASI) dan belum bisa makan serta
minum sendiri. Mereka memerlukan
pertolongan dalam berbagai kegiatan dan
mereka belum memahami hal-hal yang
membahayakan dirinya (Ambarwati,
2012).
Faktor lain yang tidak langsung
mempengaruhi status gizi anak adalah
riwayat pola menyusui, yang merupakan
uraian pola menyusui yang diterima anak
dari ibunya pada waktu bayi yang
meliputi pemberian Kolostum, ASI
ekslusif, dan ASI diberikan sesuai
permintaan. Pemberian ASI saja tanpa
bantuan makanan atau minuman lainnya
sering disebut dengan “Pemberian ASI
Ekslusif” ASI memberi semua
kebutuhan energi dan nutrient yang
diperlukan untuk tumbuh sehat. ASI
mengandung bahan anti infeksi yang
melindungi anak dari diare dan penyakit
lainny (Ramaiah, 2006).
Berdasarkan penelitian
Rasmaniar (2007) pada suku Moronene
Kabupaten Bombana menemukan bahwa
ibu yang memiliki riwayat pola
menyusui kurang, beresiko 3,47 kali
anak badutanya mengalami gizi kurang
dibanding yang memiliki riwayat pola
menyusui cukup. Penelitian lain yang
dilakukan Amir, (2008) pada anak
dibawah tiga tahun (Balita) di Kabupaten
Sukoharjo yang menyatakan bahwa anak
balita yang tidak diberi ASI eksklusif
beresiko 2,86 kali mengalami KEP
dibanding anak yang diberi ASI
eksklusif.
Penelitian Marriot (2007) dalam
Amir (2008) yang melibatkan 20 negara
termasuk Indonesia yang dilakukan
tahun 1999-2003, melaporkan bahwa
hampir seluruh bayi di Indonesia
(92,3%) umur 0-6 bulan pernah
mendapat ASI. Sebaliknya 43% bayi
tersebut telah mendapatkan makanan
setengah padat,disamping itu 23% telah
mendapat susu formula.
Banyak faktor yang berpengaruhi
terjadinya gizi kurang, salah satunya
yaitu pemberian ASI ekslusif. 18% ibu
di Indonesia memberi air susu ibu (ASI)
ekslusif selama 4 hingga 5 bulan.
Presentase itu jauh dari target nasional
80%. Rendahnya pemberian ASI ekslusif
karena para ibu belum mengetahui
manfaat ASI bagi kesehatan anak, ibu
dan mengurangi pengeluaran keluarga
untuk belanja susu formula. Walaupun
umumnya ibu memberikan ASI pada
bayi tetapi pemberian ASI eksklusif
masih rendah dan diduga terdapat
beberapa faktor yang kurang mendukung
pemberian ASI eksklusif, seperti
pemberian makanan dan minuman
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
61
terlalu dini, pengganti ASI termasuk
susu formula (Suhandayani, 2007).
Prevalensi Gizi buruk Sulawesi
Tenggara pada tahun 2009 adalah gizi
2,19% dan gizi kurang 12,4 %.
Sedangkan tahun 2010 gizi buruk
sebesar 5,03% dan gizi kurang sebesar
17,8%, data pada tahun 2011,
menunjukkan bahwa prevalensi status
gizi kurang sebesar 25,2% dan status gizi
buruk sebesar 2,5%. sedangkan di Kota
Kendari menunjukan bahwa status gizi
balita di Kota Kendari Tahun 2012 yaitu
gizi buruk 1,3% dan gizi kurang 3,8%
kemudian meningkat pada tahun 2013
menunjukan dari 3.370 Baduta terdapat
107 orang (3,2%) mengalami gizi buruk
dan gizi kurang terdapat 356 baduta
(10,56%) (Profil Dinkes, 2013).
Adapun alasan peneliti mengkaji
tentang pola menyusui dan usia
penyapihan disebabkan karena pada saat
ini, banyak ibu yang tidak melakukan
pola menyusui yang baik, dimana ibu
cenderung tidak memberikan ASI pada
bayinya, pada penelitian ini juga dikaji
tentang penyapihan karena, adanya
kecenderungan orang tua yang menyapih
anaknya sebelum berusia 6 bulan,
dengan menggunakan makanan yang
belum mampu dicerna oleh bayi. Pola
menyusui dan usia penyapihan sangat
mempengaruhi status gizi baduta, hal ini
karena berhubungan erat dengan
pemberian ASI ekslusif dan pemberian
nutrisi yang tepat pada bayinya, dimana
pada usia baduta merupakan usia dimana
bayi sangat tergantung pada ibunya
dalam hal pemenuhan nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhannya.
Berdasarkan uraian di atas,
maka penulis telah melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Pola
Menyusui dan Usia Penyapihan dengan
Status Gizi Anak Baduta (6-24 bulan) di
Kota Kendari Tahun 2014”.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui riwayat pola menyusui
anak baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari Tahun 2014.
2. Mengetahui usia penyapihan pada
anak baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari Tahun 2014.
3. Mengetahui status gizi pada anak
baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari
Tahun 2014.
4. Mengetahui hubungan riwayat pola
menyusui dengan status gizi anak
baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari
Tahun 2014.
5. Mengetahui hubungan usia
penyapihan dengan status gizi anak
baduta (6-24 bulan) di Kota Tahun
2014.
Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi, memberikan informasi
bagi pemerintah khususnya bagi
Dinas Kesehatan Kota Kendari
dalam penentuan arah kebijakan
program penanggulangan masalah
gizi yang berkaitan dengan pola
menyusui dan penyapihan.
2. Bagi masyarakat khususnya ibu
menyusui, diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran
dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan,
disamping itu hasil penelitian ini
dapat di jadikan bahan rujukan bagi
penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis, merupakan suatu
pengalaman yang sangat berharga
dalam mengaplikasikan ilmu yang
telah didapat dan menambah
wawasan pengetahuan
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
Deskripstif Analitik dengan rancangan
cross sectional study, dimana subjek
penelitian diamati pada waktu
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
62
bersamaan, artinya tiap subjek hanya
diobservasi satu kali saja dan
pengukuran variabel subjek dilakukan
pada saat pemeriksaan tersebut.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilakukan
pada tanggal 21-28 Februari 2014 di
Puskesmas se-Kota Kendari.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi pada penelitian ini
adalah semua ibu yang mempunyai anak
Baduta usia 6-24 bulan di Kota Kendari
yaitu 415 orang.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu
yang mempunyai anak Baduta usia 6-24
sebanyak 52 orang. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan
Purporsive Sampling yakni teknik
pengambilan sampel berdasarkan kriteria
yan ditetapkan oleh peneliti. Adapun
kriteria tersebut sebagai berikut:
1. Bayi lahir normal.
2. Bayi dalam keadaan sehat atau tidak
dalam keadaan sakit kronis.
3. Ibu yang pernah menyusui atau
sedang menyusui Bersedia untuk
menjadi sampel.
4. Mampu berkomunikasi dengan baik.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
1. Data karateristik sampel seperti,
umur, diolah dengan
mengklasifikasikan jawaban
responden.
2. Data pola menyusui dan usia
penyapihan diolah dengan cara
menghitung skor jawaban responden
kemudian dibandingkan dengan
kriteria objektif.
3. Data Status gizi diolah berdasarkan
hasil perhitungan Z-Skor kemudian
dibandingkan dengan kriteria objektif.
Analisis Data
Untuk menganalisis “Hubungan
Pola Menyusui dan Usia Penyapihan
dengan Status Gizi Anak Baduta (6-24
bulan)” digunakan analisis univariat dan
bivariat kemudian digunakan “Uji Chi-
Square”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel
Umur Ibu
Tabel 1 Distribusi Umur Ibu Baduta
(6-24 bulan) di Kota Kendari
Tahun 2014
Umur Ibu (Tahun) n %
< 20 1 1,9
20-35 50 96,2
> 35 1 1,9
Jumlah 52 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 1 menunjukan bahwa dari 52
sampel, sebagian besar yaitu 92,1% pada
kategori umur 20-35 tahun, 5,9% pada
kategori umur > 20 tahun dan 2,0% pada
kategori umur > 35 tahun.
Umur Anak Balita
Distribusi umur Baduta dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2. Distribusi Umur Baduta (6-24
bulan) di Kota Kendari
Umur Baduta (Bulan) n %
6-11 10 19,2
12-23 41 78,8
24-35 1 1,9
Jumlah 52 100
Data Primer Terolah, 2014 Tabel 2 menunjukan bahwa dari 52
sampel, sebagian besar yaitu 78,8% pada
kategori umur 12-23 bulan, 19,2% pada
kategori umur 6-11 bulan dan 1,9%
pada kategori umur 24-35 bulan.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
63
Pendidikan Ibu
Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu
Baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari
Pendidikan Ibu n %
Tidak Tamat SD 8 15,4
Tamat SD 14 26,9
Tamat SMP 17 32,7
Tamat SMA 10 19,3
Tamat Diploma 2 3,8
Perguruan Tinggi (S1) 1 1,9
Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 3 menunjukan bahwa dari 52
sampel sebagian besar yaitu 32,7%
pendidikan ibu adalah tamatan SMP dan
sebagian kecil yaitu 1,9% adalah tamatan
perguruan tinggi (S1).
Jenis Pekerjaan Ibu Tabel 4. Distribusi Jenis Pekerjaan Ibu
Baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari
Pekerjaan Ibu n %
IRT 19 36,5
Petani 11 21,2
Pedagang 16 30,8
PNS 6 11,5
Jumlah 52 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 4 menunjukan bahwa dari
52 sampel sebagian besar yaitu 36,5%
Ibu Rumah Tangga dan sebagian kecil
yakni 11,5% adalah PNS.
Gambaran Umum Variabel Penelitian
Variabel Univariat
Pola Menyusui
Tabel 5. Distribusi Pola Menyusui
Baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari
Pola Menyusui n %
Cukup 16 40,8
Kurang 36 69,2
Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 201
Tabel 5 menunjukan bahwa dari
52 sampel sebagian besar yaitu 69,2%
pola menyusuinya dalam kategori
kurang, selebihnya 40,8% pola
menyusuinya dalam kategori cukup.
Usia Penyapihan
Tabel 6. Distribusi Usia Penyapihan
Baduta (6-24 bulan) di Kota
Kendari
Usia Penyapihan n %
Tepat 19 36,5
Tidak Tepat 33 64,3
Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 6 menunjukan bahwa dari
52 sampel sebagian besar yaitu 64,3%
usia penyapihan dalam kategori tidak
tepat, selebihnya 36,5% usia penyapiham
dalam kategori tepat.
Status Gizi Baduta
Distribusi status gizi Baduta
dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7. Distribusi Status Gizi Baduta
(6-24 bulan) di Kota Kendari Status Gizi n %
Baik 19 36,5
Kurang 33 63,4
Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 7 menunjukan bahwa dari
52 sampel sebagian besar yaitu 63,4%
mengalami status gizi kurang, selebihnya
36,5% status gizinya baik.
Variabel Bivariat
Hubungan Pola Menyusui dengan
Status Gizi Baduta
Hubungan pola menyusui dengan
status gizi Baduta dapat dilihat pada
tabel 8 sebagai berikut:
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
64
Tabel 8. Hubungan Pola Menyusui
dengan Status Gizi Baduta (6-
24 bulan) di Kota Kendari
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 8 menunjukan bahwa dari 33
Baduta yang status gizinya kurang,
sebagian besar yakni 77,8% pola
menyusuinya dalam kategori kurang dan
31,2% dalam kategori cukup, kemudian
dari 19 Baduta yang status gizinya
cukup, sebagian besar yakni 68,7% pola
menyusuinya dalam kategori kurang dan
22,2% pola menyusuinya dalam kategori
baik.
Berdasarkan analisis statistik dengan
menggunakan uji Chi-Square diperoleh
nilai p = 0,001, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan pola
menyusui dengan status gizi Baduta.
Hubungan Usia Penyapihan dengan
Status Gizi
Tabel 9. Hubungan Usia Penyapihan
dengan Status Gizi Baduta (6-
24 bulan) di Kota Kendari
Data Primer Terolah, 2014 Tabel 9 menunjukan bahwa dari 33
Baduta yang status gizinya kurang,
sebagian besar yakni 76,8% usia
penyapihannya dalam kategori tidak
tepat dan 42,1% dalam kategori tepat,
kemudian dari 33 Baduta yang status
gizinya kurang, sebagian besar yakni
76,8% usia penyapihannya dalam
kategori tidak tepat dan 24,2% usia
penyapihannya dalam kategori tidak
tepat.
Berdasarkan analisis statistik dengan
menggunakan uji Chi-Square diperoleh
nilai p = 0,015, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan usia
penyapihan dengan status gizi Baduta.
PEMBAHASAN
1. Pola Menyusui
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 52 sampel sebagian besar
yaitu 69,2% pola menyusuinya
dalam kategori kurang, selebihnya
40,8% pola menyusuinya dalam
kategori cukup. Kurangnya pola
menyusui yang diterapkan ibu
Baduta disebabkan oleh faktor
pendidikan ibu, dimana berdasarkan
hasil penelitian menunjukan bahwa
32,7% pendidikan ibu adalah
tamatan SMP dan sebagian kecil
yaitu 1,9% adalah tamatan perguruan
tinggi (S1). Rendahnya pendidikan
ibu, menyebabkan ibu tidak dapat
menerapkan pola menyusui yang
baik, seperti memberikan kolostrum
pada saat bayi lahir, menyusui
menggunakan payudara kiri dan
kanan.
Sebaiknya menyusui bayi tanpa
dijadwal (on demand), karena akan
menentukan sendiri kebutuhannya.
Ibu harus menyusui bayinya bila bayi
menangis bukan karena sebab lain
contohnya karena bayi kencing atau
ibu sudah merasa perlu menyusui
bayinya. Bayi yang sehat dapat
mengosongkan satu payudara sekitar
5-7 menit dan ASI dalam lambung
bayi akan kosong dalam waktu 2
jam. Pawalnya bayi akan menyusu
dengan jadwal yang tidak teratur, dan
akan mempunyai pola tertentu
setelah 1-2 minggu kemudian.
Pola
Menyusui
Status Gizi Total
p Baik Kurang
n % n % n %
Cukup 11 68,7 5 31,2 16 100
0,001 Kurang 8 22,2 28 77,8 36 100
Total 19 36,5 33 63,5 52 100
Usia
Penyapihan
Status Gizi
Total p Baik
Kura
ng
n % n % n %
Tepat 11 57,9 8 42,1 19 36,5
0,015 TidakTepat 8 24,2 25 76,8 33 63,5
Jumlah 19 36,5 33 63,5 52 100
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
65
2. Usia Penyapihan
Penelitian ini menunjukan
bahwa dari 52 sampel sebagian besar
yaitu 64,3% usia penyapihan dalam
kategori tidak tepat, selebihnya
36,5% usia penyapiham dalam
kategori tepat. Usia penyapihan
dalam kategori tidak tepat apabila
ibu memberikan makanan selain ASI
saat bayi berusia < 6 bulan. Peyebab
tidak tepatnya penyapihan pada
Baduta adalah karena rendahnya
tingkat pendidikan sehingga memicu
kurangnya pengetahuan yang
dimiliki ibu khususnya dalam
pemberian ASI Ekslusif pada
Baduta. Pemberian MP-ASI
terlalu dini akan mengurangi
konsumsi ASI, dan bila terlambat
akan menyebabkan bayi kurang gizi.
Sebenarnya pencernaan bayi sudah
mulai kuat sejak usia 4 bulan. Pada
bayi yang mengkonsumsi ASI,
makanan tambahan dapat diberikan
pada usia 6 bulan. Tetapi bila bayi
mengkonsumsi susu formula sebagai
pengganti ASI, maka makanan
tambahan ini dapat diberikan pada
saat usia 4 bulan (Anonim, 2011).
Proses penyapihan dimulai
pada saat yang berlainan. Ada
beberapa kelompok masyarakat
(budaya) tertentu, bayi tidak akan
disapih sebelum usia 6 bulan.
Bahkan ada yang baru memulai
penyapihan setelah bayi berusia 2
tahun (kasus ekstrem 4 tahun).
Sebaiknya, pada masyarakat urban,
bayi disapih terlalu dini, yaitu baru
beberapa hari lahir sudah diberikan
makanan tambahan.
Petunjuk penyapihan dapat
dilakukan dengan cara pada saat jam
makan dapat memberikan anak
makanan padat terlebih dahulu
kemudian susu formula, sehingga
anak makan selagi lapar dan minum
sebagai pelepas rasa haus,
memperkenalkan makanan baru
dengan cara memberikan satu atau 2
sendok teh setiap makan. Tambahkan
sedikit demi sedikit menjadi 3-5
sendok teh. Memberikan makanan
padat dari mangkuk atau piring,
jangan mencampur sereal dengan
ASI atau susu formula dalam botol
susu. Anak harus selalu diajarkan
perbedaan apa yang dimakan dan apa
yang diminum. Perhatikan baik-baik
isyarat sang anak, bila masih lapar
akan membuka mulut jika sudah
kenyang akan mendorong atau
membelakangi makanan. Bersabarlah
dengan anak anda pada saat
memperkenalkan makanan padat,
kadang-kadang anak perlu waktu
untuk membiasakan diri dengan
makanan atau cara makan yang
baru.Panduan pemberian makanan
untuk penyapihan dalam tahun
pertama khususnya anak 6-12 bulan.
3. Status Gizi
Penelitian ini menunjukan
bahwa dari 52 sampel sebagian besar
yaitu 63,4% mengalami status gizi
kurang, selebihnya 36,5% status
gizinya baik. Kurangnya status gizi
Baduta disebabkan oleh faktor
kurangnya penerapan pola menyusui
yang baik dan didukung oleh usia
penyapihan yang tidak tepat
dilakukan oleh ibu Baduta.
Hasil penelitian diperoleh
bahwa dari 68 sampel sebagian besar
yaitu 55,9% memiliki status gizi
kurus dan 44,1% memiliki status
gizi dalam kategori normal.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Manalu (2008) menunjukan bahwa
sebagian besar (57,2%) dalam
kategori kurang.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
66
Baduta merupakan salah satu
golongan paling rawan gizi,m karena
adanya perubahan yang cepat dan
mencolok, dengan adanya masa vital ini,
maka pemeliharaan gizi sangat penting
untuk diperhatikan. Jika tidak akan
mengganggu proses pertumbuhan secara
maksimal (Adriani dan Wirjatmadi,
2012).
Salah satu penyebab gizi kurang
pada Batita adalah rendahnya konsumsi
makanan, yang disertai dengan
rendahnya perilaku gizi keluarga. Ada
beberapa faktor domain yang saling
berhubungan dalam mempengaruhi
konsumsi pangan dan gizi keluarga
adalah pengetahuan gizi keluarga
(khususnya ibu) dan tingkat pendapatan
keluarga. Disamping itu Kurangnya
status gizi anak batita disebabkan karena
pada masa anak batita merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan, tanpa
di imbangi dengan asupan makanan yang
adekuat akan mempengaruhi status gizi
(Prabantini, 2010).
Kurang gizi terjadi karena jumlah
energi dan zat gizi lainnya yang
dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan
yang sangat meningkat pada masa Batita.
Kebutuhan nutrisi pada masa Batita terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan
dan perkembangan. Status gizi kurang
terjadi bila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih zat-zat gizi esensial.
Konsumsi makanan berpengaruh
terhadap status gizi seseorang. Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi
bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang digunakan secara efisien,
sehingga menunjang pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja
dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin (Idrus, 2011).
4. Hubungan Pola Menyusui dengan
Status Gizi Baduta
Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa ada hubungan
pola menyusui dengan status gizi
dengan nilai p=0,001. Hal ini karena
pola menyusui yang kurang dapat
mempengaruhi status gizi anak
baduta sehingga, penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rasmaniar (2007)
pada anak bawah dua tahun (6-24
bulan) di Kabupaten Moronene
menyatakan bahwa ibu yang
memiliki riwayat pola menyusui
kurang beresiko 3,47 kali anak
bawah dua tahun (6-24 bulan)
mengalami gizi kurang dibanding ibu
yang memiliki riwayat pola
menyusui cukup.Seperti penelitian
sebelumnya, Suryono, dkk (2003).
Anak bawah dua tahun (baduta) di
Kabupaten Sukoharjo menyatakan
bahwa anak baduta yang tidak diberi
ASI Eksklusif beresiko 2,86 kali
mengalami KEP dibanding anak
yang diberi ASI Ekslusif .
Manalu(2008) menjelaskan
bahwa. Menyusui secara eksklusif
berarti bahwa bayi hanya
mendapatkan makanan berupa ASI
dari ibunya, tidak ada penambahan
cairan lain, tidak ada tetesan atau
sirup yang berisi vitamin, tidak ada
makanan tambahan atau jamu.
Sasarannya adalah bayi berusia
kurang sampai dengan 4 bulan atau
sampai 6 bulan.
5. Hubungan Usia Penyapihan
dengan Status Gizi Baduta
Penelitian ini menunjukan
bahwa ada hubungan antara usia
penyapihan dengan status gizi,
dengan nilai p=0,015.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
67
Hal ini karena usia penyapihan
yang kurang tepat pada anak baduta
dapat mempengaruhi status gizi,
sehingga hasil penelitian ini sejalan
dengan Penelitian lain yang dilakukan
oleh Rasmaniar (2007) menunjukan
bahwa anak bawah dua tahun yang
disapih saat berusia kurang dari 12 bulan
beresiko mengalami gizi kurang 1,6 kali
lebih tinggi dibandingkan anak bawah
dua tahun yang disapih saat berusia lebih
dari 12 bulan.
Penelitian Amir (2008) juga
mengemukakan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara umur anak bawah
dua tahun disapih dengan status gizi
anak bawah dua tahun, makin besar
umur anak pertama kali disapih maka
akan semakin buruk status gizinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Riwayat pola menyusui anak baduta
(6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun
2014 sebagian besar yakni 69,2%
dalam kategori kurang.
2. Usia penyapihan pada anak baduta
(6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun
2014 sebagian besar yakni 64,3%
usia dalam kategori tidak tepat.
3. Status gizi pada anak baduta (6-24
bulan) di Kota Kendari Tahun 2014
sebagian besar yakni 63,4% dalam
kategori kurang.
4. Ada hubungan riwayat pola
menyusui dengan status gizi anak
baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari
Tahun 2014, dengan nilai p=0,001.
5. Ada hubungan usia penyapihan
dengan status gizi anak baduta (6-24
bulan) di Kota Kendari Tahun 2014,
dengan nilai p=0,015.
Saran
1. Bagi Puskesmas se-Kota Kendari
agar dapat menentukan kebijakan-
kebijakan dalam menanggulangi
masalah status gizi kurang dan upaya
penyapihan yang tepat.
2. Bagi ibu balita agar meningkatkan
melakukan penyapihan pada bayi
saat berumur 6 bulan.
3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat
mengkaji faktor-faktor penyebab
tidak tepatnya usia penyapihan yang
dilakukan ibu baduta dan penyebab
rendahnya status gizi Baduta.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani dan Wirjatmadi, 2012. Peranan
Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Kencana Prenada Media Group.
Jakarta
Almatsier. Sunita, 2001. Prinsip Dasar
Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Amir,A.,2008. Pengaruh Penyuluhan
Model Pendampingan Terhadap
Perubahan Status Gizi Anak Usia
6 – 24 bulan. Tesis Program
Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang
Ambarwati F.R, 2012. Gizi dan
Kesehatan Reproduksi.
Cakrawala Ilmu. Yogyakarta.
Anonim, 2007 Hubungan Antara
Pekerjaan Ibu, Tingkat
Pengetahuan, Status Gizi Dengan
Waktu Penyapihan.
______, 2010. Profil Puskesmas
Perumnas Kota Kendari.
Propinsi Sultra. Kendari.
______, 2011. Hubungan Antara
Pengetahuan, Pekerjaan Ibu,
Status Gizi Anak Dengan Waktu
Penyapihan Di Wilayah Kerja
Puskesmas Gubug Kabupaten
Grobogan.http://www.Health.co
m. Diakses 21 November 2012.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
68
Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur
Kehidupan. EGC. Jakarta
Depkes, RI., 2010 Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT).Badan
Litbang – BPS. Jakarta.
________, RI., 2011. Pedoman
Manajemen Puskesmas
Peningkatan Kesehatan Keluarga
dan Gizi. Jakarta
Djoko, 2006.Gizi Seimbang untuk Ibu
Menyusui. Prima Media Pustaka.
Jakarta
Idrus, 2011. Menyusui. PT. Grafika
Multi Warna. Jakarta
Manalu, A., 2008. Pola Makan Dan
Penyapihan Serta Hubungan
Dengan Status Gizi Batita Didesa
Palip Kecamatan Silima Pungga-
Pungga Kab. Dairi Tahun 2008.
http://www. health.com.Diakses
tanggal 21 Oktober 2014.
Maryunani, 2011. Ilmu Kesehatan Anak
dalam Kebidanan. Trans Info
Media. Jakarta.
Nadesul, 2007. Faktor – Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita Di Puskesmas
Pati I Kabupaten Pati Tahun
2006. Skripsi Kesehatan
Masyarakat Pada Universitas
Negeri Semarang.
Nirwana, 2011. Kapita Selekta
Kehamilan. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Notoatmodjo S, 2005. Metodologi
Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.
,2007.Kesehatan Masyarakat
Ilmu dan Seni. Rineka Cipta,
Jakarta.
Prabantini, 2010. Makanan Pendamping
ASI. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Proverawati dan Kusumawati, 2010.
Ilmu Gizi untuk Keperawatan
dan Gizi Kesehatan. Nuha
Medika.Yogyakarta.
Rasmaniar, 2007. Analisis faktor resiko
emosional bonding
(Attachemen) dan akibatnya
terhadap Status Gizi Anak
Bawah Dua Tahun(Baduta)
pada suku Moronene Kab.
Bombana. Program Pasca
sarjana Unhas Makassar.
Ramaiah S, 2006. ASI dan menyusui. PT
Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Sunartyo N, 2005. Panduan Merawat
Bayi dan Balita agar Tumbuh
Sehat dan Cerdas. Diva Press.
Yogyakarta.
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status
Gizi. Penerbit Buku Kedokteran
ECG. Jakarta.
Waryana, 2010. Gizi Reproduksi.
Pustaka Rihamma. Yogyakarta.
Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69
69
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
70
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PEKERJAAN IBU
DENGAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF PADA BAYI 7-12 BULAN
DI PUSKESMAS BENU-BENUA KOTA KENDARI
1Jenny Qlifianti Demmalewa
Stikes Karya Kesehatan1
Abstrak
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang paling baik untuk bayi. ASI
mempunyai komposisi yang unik, sempurna susunan biokimiawi untuk kebutuhan
bayi, dan melindungi bayi dari bahaya kekurangan gizi maupun penyakit infeksi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan
pekerjaan ibu dengan pemberian ASI Esklusif pada Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas
Benu-Benua Kota Kendari.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan desain
cross sectional study dan telak dilaksanakan pada tanggal 6 - 23 Agustus 2014 di
wilayah kerja puskesmas Benu-Benua. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
ibu yang memiliki bayi 6-12 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari sebanyak 108 orang.dan sampel sebanyak 85 orang yang diambil secara
purporsive random sampling, data diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji
menggunakan uji Chi-Square.
Skripsi diperoleh yaitu dari 85 sampel sebagian besar yaitu 55,3%
pengetahuan ibu dalam kategori kurang, 51,8% ibu tidak bekerja (Ibu Rumah
tangga), 68,2% tidak memberikan ASI Esklusif kepada anakya. Kemudian dari 58
ibu yang tidak memberikan ASI Esklusif, sebagian besar yakni 70,7%
pengetahuannya dalam kategori kurang dan 58,6% ibu bekerja. Kemudian dari 27 ibu
memberikan ASI Esklusif, sebagian besar yakni 77,8% pengetahuan ibu dalam
kategori cukup dan 74,1% ibu ibu tidak bekerja .
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan tingkat pengetahuan
dan status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI Esklusif pada Bayi 0-6 Bulan di
Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari. Saran dalam penelitian ini adalah bagi tenaga
pelaksana gizi Puskesmas Benu-Benua, hendaknya memberikan penyuluhan kepada
ibu bayi tentang pentingnya nutrisi yang terkandung dalam Air Susu Ibu. bagi anak
balita, sehingga meningkatkan pengetahuan ibu- khususnya dalam pemilihan
makanan yang bernutrisi bagi bayinya. Bagi ibu agar senantiasa memberikan
makanan yang bernutrisi sesuai kebutuhan anaknya dan bagi masyarakat hendaknya
mengikuti perkembangan informasi kesehatan khususnya menyangkut anak balita
melalui kegiatan penyuluhan maupun dari media cetak dan elektronik.
Kata Kunci :Pengetahuan, Status Pekerjaan,Pendapatan Keluarga dan Status
Gizi
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
71
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan
kesehatan menuju Indonesia sehat
2010 adalah meningkatnya kesehatan,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal melalui
tercipta masyarakat bangsa dan
Negara Indonesia yang ditandai
dengan perilaku sehat memiliki
kemampuan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki
derajat kesehatan optimal di seluruh
tanah air (Almatsier, 2001).
Almatsier (2001)
menyatakan, bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas manusia
adalah tingkat kesehatan, sedangkan
tingkat kesehatan pada hakekatnya
dipengaruhi oleh keadaan gizi
khususnya pada awal kehidupan yang
dikenal dengan masa bayi.
Kebutuhan bayi akan zat gizi
sangat tinggi untuk mempertahankan
kehidupannya. Kebutuhan tersebut
dapat tercukupi dengan memberikan
Air susu Ibu (ASI) kepada bayi. ASI
yang pertama keluar biasanya dikenal
dengan kolostrum yang memiliki
kadar protein yang lebih tinggi dari
ASI matur. Tetapi kandungan lemak
dan laktosannya (gula darah) lebih
rendah dari ASI matur. Kolostrum
juga mengandung vitamin A, B6,
B12, C, D, K dan mineral, terutama
zat besi dan kalsium. Komposisi
seperti itu sangat tepat untuk
memenuhi kebutuhan gizi bayi baru
lahir. Sama halnya dengan ASI matur,
kolostrum juga mengandung enzim-
enzim pencernaan yang belum
mampu diproduksi oleh tubuh bayi,
seperti protease (untuk menguraikan
protein), lipase (untuk menguraikan
lemak) dan amilasi (untuk
menguraikan karbohidrat). Ini
membuat kolostrum mudah sekali
dicerna oleh sistem pencernaan bayi
yang memang belum sempurna
(Pudjiadji, 2000).
Air Susu Ibu (ASI) adalah
makanan yang paling baik untuk bayi.
ASI mempunyai komposisi yang unik,
sempurna susunan biokimiawi untuk
kebutuhan bayi, dan melindungi bayi
dari bahaya kekurangan gizi maupun
penyakit infeksi. Banyak faktor yang
mempengaruhi seorang ibu dalam
menyusui secara ekslusif kepada
bayinya, faktor sistem dukungan,
pengetahuan ibu terhadap pemberian
ASI secara ekslusif, promosi susu
formula dan makanan tambahan
mempunyai pengaruh terhadap
praktek pernberian ASI ekslusif itu
sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut
dapat memberikan dampak negatif
maupun positif dalam memperlancar
pemberian ASI eksklusif (Santoso dan
Ranti, 2009).
Adapun faktor lain
mempengaruhi pemberian ASI adalah
faktor sosial budaya ekonomi
(pendidikan formal ibu, pendapatan
keluarga dan status kerja ibu), faktor
psikologis (takut kehilangan daya tarik
sebagai wanita, tekanan batin), faktor
fisik ibu (ibu yang sakit), faktor
kurangnya petugas kesehatan sehingga
masyarakat kurang mendapat
penerangan atau dorongan tentang
manfaat pemberian ASI eksklusif
(Soetjiningsih, 2007).
Meskipun menyusui sudah
menjadi budaya Indonesia namun
upaya meningkatkan perilaku ibu
menyusui ASI esklusif masih
diperlukan karena pada kenyataannya,
praktek pemberian ASI esklusif belum
dilaksanakan sepenuhnya. Penyebab
utama adalah rendahnya pengetahuan
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
72
ibu tentang pentingnya ASI bagi bayi
dan dirinya, pelayanan kesehatan dan
petugas kesehatan yang belum
sepenuhnya mendukung program
penggunaan ASI, selain itu kurangnya
kepedulian dan dukungan suami untuk
memberi kesempatan kepada ibu
untuk menyusui secara esklusif. Suami
memiliki andil yang cukup besar
dengan kondisi psikis ibu menyusui.
Bentuk psikis yang dapat diberikan
antara lain menemani ibu saat ibu
menyusui (Notoatmodjo, 2007).
Pemberian ASI di Indonesia
mencapai 40,13%. Provinsi Sulawesi
Tenggara, pada tahun 2011 prevalensi
ibu menyusui yang memberikan ASI
Esklusif adalah 54,81%, kemudian
pada tahun 2012 hanya sekitar 33,48%
dan pada tahun 2013 semakin
menurun hingga 30,14% ibu yang
memberikan ASI Esklusif (Profil
Kesehatan Kota Kendari, 2013).
Hasil observasi awal yang
dilakukan pada tanggal pada
November 2013 di wilayah kerja
puskesmas Benu-Benua menunjukan
bahwa dari 10 ibu, hanya 40 % yang
pengetahuannya cukup sedangkan ibu
yang pengetahuannya kurang
sebanyak 60,0%. Disamping itu hasil
penelusuran juga menunjukan bahwa
sebagian besar ibu tersebut memiliki
pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga
namun tidak memberikan ASI kepada
anaknya.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari, di ketahui bahwa
Cakupan pemberian ASI di Puskesmas
Benu-Benua menduduki urutan ke 2
terendah dalam hal pemberian ASI
Esklusif setelah Puskesmas Mata
yakni sebanyak 29,61 % tahun 2012
dan pada tahun 2013 mengalami
penurunan hingga mencapai 20,89%
(Register Laporan Puskesmas Benu-
Benua, 2013).
Berdasarkan data di atas,
penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Hubungan
Tingkat Pengetahuan dan Pekerjaan
Ibu dengan Pemberian ASI Esklusif
pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari Sulawesi Tenggara.
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan dan pekerjaan
ibu dengan pemberian ASI
Esklusif pada Bayi 7-12 Bulan di
Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari.
2. Tujuan Khusus
2.1 Mengetahui tingkat pengetahuan
ibu Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas
Benu-Benua Kota Kendari.
2.2 Mengetahui Status Pekerjaan ibu
Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas
Benu-Benua Kota Kendari.
2.3 Mengetahui pemberian ASI
Esklusif pada Bayi 7-12 Bulan di
Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari.
2.4 Mengetahui hubungan tingkat
pengetahuan ibu dengan
pemberian ASI Esklusif pada Bayi
7-12 Bulan di Puskesmas Benu-
Benua Kota Kendari.
2.5 Mengetahui hubungan status
pekerjaan ibu dengan pemberian
ASI Esklusif pada Bayi 7-12
Bulan di Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari.
Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi
Sebagai bahan informasi bagi
instansi terkait khususnya
mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberian ASI
Esklusif pada bayi sehingga dapat
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
73
di jadikan landasan dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
2. Bagi masyarakat khususnya ibu
menyusui
Menambah informasi dan
pengetahuan kepada para ibu
menyusui tentang pentingnya ASI
Esklusif sehingga diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran
para ibu untuk memberikan ASI
Esklusif.
3. Bagi penulis
Merupakan suatu pengalaman
dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh
dibangku perkuliahan.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
observasional dengan rancangan
desain cross sectional study, dimana
subjek penelitian diamati pada waktu
bersamaan, artinya tiap subjek hanya
diobservasi satu kali saja dan
pengukuran variabel subjek dilakukan
pada saat pemeriksaan tersebut.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada
tanggal 6-23 Februari 2014 di
Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua ibu yang memiliki bayi
7-12 bulan di Puskesmas Benu-Benua
Tahun 2014 periode Januari sebanyak
108 orang.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini
adalah ibu yang mempunyai bayi 7-12
bulan sebanyak 85 orang. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan Purporsivel Random
Sampling dengan kriteria sampel
sebagai berikut:
1. Memiliki bayi 7-12 bulan
2. Terdaftar dibuku register
Puskesmas Benu-Benua
3. Sehat/Tidak Sakit
4. Bersedia menjadi responden.
5. Dapat berkomunikasi dengan baik
dan benar
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Data primer berupa data identitas,
tingkat pengetahuan dan pekerjaan
ibu serta data pemberian ASI
Esklusif diperoleh melalui
wawancara secara langsung
dengan menggunakan kuesinoner.
2. Data sekunder yaitu data
demografi/profil Puskesmas Benu-
Benua meliputi letak geografis,
ketenagaan, sarana dan prasarana,
sosial ekonomi, dan lain – lain,
dapat diperoleh dari hasil
penelusuran dokumen.
Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Data pengetahuan dan
pekerjaan ibu serta pemberian ASI
Esklusif diolah berdasarkan skor
jawaban responden di jumlahkan
kemudian dibandingkan dengan
kriteria objektif.
2. Analisis Data
Analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis
univariat yakni analisis yang
digunakan untuk menggambarkan
variabel-variabel penelitian dan
analisis bivariat yakni analisis
yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antara dua
variabel dengan menggunakan
rumus Chi-Square.
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
74
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sampel
Umur Ibu
Tabel 1. Distribusi Umur Ibu di
Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari
Umur Ibu (Tahun) n %
< 20 3 3,5
20-35 68 80,0
> 35 14 16,5
Jumlah 85 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 1 menunjukan bahwa dari
85 sampel, sebagian besar yaitu 80,0%
pada kategori umur 20-35 tahun,
16,5% pada kategori umur > 35 tahun
dan 3,5% pada kategori umur < 20.
Pendidikan Ibu
Tabel 2. Distribusi Pendidikan Ibu
di Wilayah Kerja
Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara
Pendidikan Ibu n %
Tamat SD 15 17,6
Tamat SMA 17 20,0
Tamat SMP 36 43,4
Perguruan Tinggi
(DIII/S1) 17 20,0
Jumlah 85 100
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 2 menunjukan bahwa
dari 85 sampel sebagian besar yaitu
43,4% pendidikan ibu adalah tamatan
SMP, Kemudian 20,0% pendidikan
ibu masing-masing tamatan SMA dan
tamatan SD dan Perguruan Tinggi (S1
dan DIII) dan 17,6% tamatan SD.
Gambaran Umum Variabel Penelitian
Analisis Univariat
Pengetahuan Ibu
Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Ibu
di Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari
Pengetahuan Ibu n %
Cukup 38 44,7
Kurang 47 55,3
Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 3 menunjukan bahwa
dari 85 sampel sebagian besar yaitu
55,3% pengetahuan ibu dalam
kategori kurang, selebihnya 44,7%
pengetahuan ibu dalam kategori
cukup.
Status Pekerjaan Ibu
Tabel 4. Distribusi Status Pekerjaan
Ibu di Puskesmas Benu-
Benua Kota Kendari
Pekerjaan n %
Bekerja 41 48,2
Tidak Bekerja 44 51,8
Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014
Tabel 4 menunjukan bahwa
dari 85 responden sebagian besar yaitu
51,8% ibu tidak bekerja (Ibu Rumah
tangga) dan sebagian kecil yakni
48,2% ibu memiliki pekerjaan.
Pemberian ASI Esklusif
Tabel 5 Distribusi Pemberian ASI
Esklusif pada Bayi 7-12
Bulan di Puskesmas Benu-
Benua Kota Kendari
Pemberian ASI
Esklusif n %
Esklusif 27 31,8
Tidak Esklusif 58 68,2
Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
75
Tabel 5 menunjukan bahwa dari
85 sampel sebagian besar yaitu 68,2%
tidak memberikan ASI Esklusif
kepada anakya dan selebihnya 31,8%
memberikan ASI Esklusif.
Analisis Bivariat
Hubungan Tingkat Pengetahuan
Gizi Ibu dengan Pemberian ASI
Esklusif
Tabel 6. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Ibu dengan
Pemberian ASI Esklusif
pada Bayi 7-12 Bulan di
Puskesmas Benu-Benua
Kota Kendari
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 6 menunjukan bahwa
dari 58 ibu yang tidak memberikan
ASI Esklusif, sebagian besar yakni
70,7% pengetahuannya dalam kategori
kurang dan 29,3% dalam kategori
cukup kemudian dari 27 ibu
memberikan ASI Esklusif, sebagian
besar yakni 77,8% pengetahuannya
dalam kategori cukup dan 22,2%
dalam kategori kurang.
Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,001, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan ibu
dengan pemberian ASI Esklusif.
Hubungan Tingkat Status
Pekerjaan Ibu dengan Pemberian
ASI Esklusif
Tabel 7. Hubungan Status Pekerjaan
Ibu dengan Pemberian ASI
Esklusif pada Bayi 7-12
Bulan di Puskesmas Benu-
Benua Kota Kendari
Data Primer Terolah, 2014
Tabel 7 menunjukan bahwa
dari 58 ibu yang tidak memberikan
ASI Esklusif, sebagian besar yakni
58,6% ibu bekerja dan 41,4% ibu
tidak bekerja kemudian dari 27 ibu
memberikan ASI Esklusif, sebagian
besar yakni 74,1% ibu tidak bekerja
dan 25,9% ibu ibu bekerja .
Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,005, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara status pekerjaan ibu
dengan pemberian ASI Esklusif.
PEMBAHASAN
Tingkat Pengetahuan Ibu
Pengetahuan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah
pengetahuan ibu tentang pemberian
ASI Esklusif pada bayinya.
Pengetahuan adalah informasi yang
diperoleh ibu tentang definisi ASI
ekslusif, manfaat ASI Esklusif dan
waktu pemberian ASI Esklusif.
Berdasarkan hasil penelitian
dapat diketahui bahwa dari 85 sampel
sebagian besar pengetahuan ibu dalam
Status
Pekerja
an Ibu
Pemberian
ASI Total
p Esklusif
Tidak
Esklusif
n % n % n %
Bekerja 7 25,9 34 58,
6 41 48,2
0,001 T.Bekerja 20 74,1 24 41,
4 44 51,8
Total 27 100 58 100 85 100
Pengetah
uan Ibu
Pemberian ASI
Total p Esklusif
Tidak
Esklusif
n % n % n %
Cukup 21 77,8 17 29,3 38 44,7
0,001 Kurang 6 22,2 41 70,7 47 55,3
Total 27 100 58 100 85 100
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
76
kategori kurang, selebihnya 44,7%
pengetahuan ibu dalam kategori
cukup.Kurangnya tingkat pengetahuan
gizi ibu khususnya dalam pemberian
ASI Esklusif disebabkan ibu tidak
memahami tentang manfaat ASI pada
anaknya. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang berkaitan erat dengan
pendidikannya. Dimana berdasarkan
hasil penelitian terdapat dari
menunjukan bahwa dari 85 sampel
sebagian besar yaitu 40,6%
pendidikan ibu adalah tamatan SMP,
Kemudian 21,8% pendidikan ibu
tamatan SMA, dan masing-masing
18,8% pendidikan ibu tamatan SD dan
Perguruan Tinggi (S1 dan DIII).
Pendidikan ibu masih dalam kategori
rendah sehingga mempengaruhi
pengetahuan yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan dasar
untuk menentukan daya tangkap dan
daya nalar serta menentukan
cakrawala berpikir bagi seseorang
untuk menganalisa setiap perubahan
yang ada serta mempengaruhi daya
nalar seseorang sehingga pada
akhirnya akan tahu sesuatu yang
belum diketahuinya dan akan
termotivasi untuk melakukannya
setelah mengerti maksud dan
tujuannya pemberian makanan bergizi,
diharapkan bahwa dengan pendidikan
yang tinggi, maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya.
Akan tetapi perlu ditekankan, bukan
berarti seseorang yang berpendidikan
rendah, mutlak berpengetahuan rendah
pula. Hal ini mengingat bahwa,
peningkatan pengetahuan tidak mutlak
di peroleh dari pendidikan non formal.
Pengetahuan seseorang tentang suatu
obyek mengandung dua aspek yaitu
positif dan negatif. Kedua aspek
ilmiah yang pada akhirnya akan
menentukan sikap seseorang tentang
suatu obyek tertentu. Semakin banyak
aspek positif dan obyek yang
diketahui, maka akan menimbulkan
sikap makin positif terhadap obyek
tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah mata
pencaharian, apa yang dijadikan
pokok kehidupan, sesuatu yang
dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari-
hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-
18) di pergunakan untuk kehidupan
dalam keluarga, masyarakat, istrahat,
tidur dan lain-lain.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 85 responden sebagian
besar yaitu 51,8% ibu tidak bekerja
(Ibu Rumah tangga) dan sebagian
kecil yakni 48,2% ibu memiliki
pekerjaan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Siregar (2009) yang menemukan
bahwa sebagian besar ibu yakni 56,8%
tidak memiliki pekerjaan (Ibu Rumah
Tangga).
Pekerjaan berhubungan dengan
tingkat sosial ekonomi seseorang
dalam hal ini faktor sosial ekonomi
yang rendah adalah salah satu faktor
yang meningkatkan kecenderungan
terhadap pemberian makanan pada
bayi, pada umumnya pada ibu bekerja
tidak dapat memberikan ASI eksklusif
sehingga selain memberikan susu
formula mereka memberikan makanan
sejak usia dini sebelum berusia 6
bulan, ini dikaitkan dengan
kemampuan yang kurang untuk
menjangkau dan menggunakan
fasilitas kesehatan. Reaksi terhadap
berbagai keadaan ini berkaitan dengan
pekerjaan keluarga (Husaini, 2010).
Jenis pekerjaan yang dapat
berperan di dalam aktivitas untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
77
dan timbulnya penyakit melalui
faktor-faktor lingkungan yang
langsung dapat menimbulkan kejadian
kesakitan seperti pekerjaan sebagai
pegawai negeri sipil, wiraswasta dan
sebagainya, sedangkan situasi
pekerjaan yang penuh dengan beban
psikologis dapat menimbulkan stress.
Berhubungan dengan pelayanan
kesehatan seorang ibu harus
meluangkan waktunya untuk merawat,
memelihara kesehatan anaknya dan
membawa anaknya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dan
penimbangan di Posnyandu (Azwar A,
2007).
Pemberian ASI Esklusif
Air Susu Ibu (ASI) adalah
makanan yang paling baik untuk bayi.
ASI mempunyai komposisi yang unik,
sempurna susunan biokimiawi untuk
kebutuhan bayi, dan melindungi bayi
dari bahaya kekurangan gizi maupun
penyakit infeksi. Banyak faktor yang
mempengaruhi seorang ibu dalam
menyusui secara ekslusif kepada
bayinya, faktor sistem dukungan,
pengetahuan ibu terhadap pemberian
ASI secara ekslusif, promosi susu
formula dan makanan tambahan
mempunyai pengaruh terhadap
praktek pernberian ASI ekslusif itu
sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut
dapat memberikan dampak negatif
maupun positif dalam memperlancar
pemberian ASI eksklusif (Santoso dan
Ranti, 2009).
Hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 85 sampel sebagian besar
yaitu 68,2% tidak memberikan ASI
Esklusif kepada anakya dan
selebihnya 31,8% memberikan ASI
Esklusif. Rendahnya pemberian ASI
Esklusif disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan ibu dalam pemberian
ASI esklusif sehingga mempengaruhi
perilaku ibu dalam memberikan ASI.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rohani (2009) yang menemukan
bahwa sebagian besar yakni 67,2%
tidak memberikan ASI Esklusif.
Rendahnya pemberian ASI
Esklusif disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan ibu tentang ASI sehingga
mempengaruhi tindakan ibu untuk
memberikan ASI Esklusif. Pemberian
ASI Esklusif juga sangat dipengaruhi
oleh dukungan suami, suami
hendaknyamemotivasi ibu menyusui
untuk memberikan ASI Esklusif pada
bayinya.
Adapun faktor lain
mempengaruhi pemberian ASI adalah
faktor sosial budaya ekonomi
(pendidikan formal ibu, pendapatan
keluarga dan status kerja ibu), faktor
psikologis (takut kehilangan daya tarik
sebagai wanita, tekanan batin), faktor
fisik ibu (ibu yang sakit, misainya
mastitis, dan sebagainya), faktor
kurangnya petugas kesehatan sehingga
masyarakat kurang mendapat
penerangan atau dorongan tentang
manfaat pemberian ASI eksklusif
(Soetjiningsih, 2007).
Hubungan Tingkat Pengetahuan
Gizi Ibu dengan Pemberian ASI
Esklusif Hasil penelitian menunjukan
bahwa ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan pemberian
ASI Esklusif. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Artanty (2008) menunjukan bahwa
pengetahuan memiliki hubungan yang
erat dengan pemberian ASI Esklusif.
Bayi yang memiliki ibu pada tingkat
pengetahuan gizi kurang, sebagian
besar tidak memberikan ASI Esklusif
pada anaknya.
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
78
Menurut Soehardjo (2003),
menyatakan bahwa seorang ibu sangat
berperan dalam hal pemberian ASI
Esklusif pada bayinya. Banyak yang
tidak memanfaatkan zat gizi hal ini
disebabkan salah satunya karena
kurangnya pengetahuan akan bahan
makanan yang bergizi.
Penelitian tentang
pengetahuan, sikap dan praktek ibu
dan anak balita terhadap kesehatannya
di 7 propinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa sebagian besar
ibu belum mengetahui arti dan
manfaat ASI dan Alasan kebiasaan
tersebut adalah karena sudah
merupakan tradisi. Sebagian besar ibu
juga belum memahami makanan
pendamping ASI (MP-ASI), sehingga
makanan tersebut diberikan sejak usia
2-3 bulan Kemalasari (2008).
Hubungan Status Pekerjaan Ibu
dengan Pemberian ASI Esklusif Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa ada hubungan
antara status pekerjaan ibu dengan
pemberian ASI Esklusif. Berdasarkan
hasil penelitian dapat diketahui bahwa
ibu yang bekerja tidak memberikan
ASI Esklusif pada bayinya. Hal ini
disebabkan karena kondisi fisik ibu
yang produksi Air Susunya sangat
sedikit sehingga tidak memungkinkan
untuk memberikan ASI dan lebih
cenderung memberikan susu formula.
Keadaan ini juga didukung oleh
kondisi bayi yang rewel namun setelah
diberikan makanan selain ASI bayi
tersebut lebih nyaman dan tidak rewel
lagi. Fenomena ini menunjukan bahwa
status pekerjaan ibu merupakan faktor
yang menentukan perilaku ibu dalam
pemberian MP-ASI pada bayi.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Siregar (2009) yang menemukan
bahwa pemberian ASI pada anak usia
0-6 yang dilakukan oleh ibu yang
bekerja sebagai karyawan adalah
12,63% sedangkan 21,27% dilakukan
oleh ibu rumah tangga. Hasil uji
statistik menunjukan ada hubungan
pekerjaan ibu terhadap pemberian
ASI.
Seorang yang mempunyai
pekerjaan dengan waktu yang cukup
padat juga akan mempengaruhi
prilaku ibu dalam memberikan ASI
pada anaknya. Pada umumnya orang
tua tidak mempunyai waktu luang,
sehingga semakin tinggi aktivitas
pekerjaan orang tua semakin sulit
memberikan ASI Esklusif pada
bayinya. Dilihat dari segi ekonomi,
ibu terpaksa bekerja seharian penuh
untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari terutama di daerah
perkotaan sehingga bagi ibu yang
mempunyai bayi atau anak
dihadapkan pada suatu masalah karena
cenderung memberikan makanan atau
minuman formula bayi yang prkatis
dan mudah disajikan. Dari segi sosial,
kurangnya pengetahuan ibu tentang
ASI sehingga dalam memilih jenis
MP-ASI mereka tidak mengetahui
dengan pasti mengenai kandungan gizi
MP-ASI tersebut.
Apabila pengetahuan akan
sumber daya alam yanga da di
sekeliling manusia dapat dikuasai,
maka keterbatasan daya beli bukan
merupakan rintangan bagi masyarakat
untuk menyediakan makanan bergizi
khususnya MP-ASI. Dari segi
perilaku, seperti misalnya penundaan
pemberian ASI setelah lahir, pmberian
makan prelaktal serta pembuangan
kolostrum yang justru sangat
dibutuhkan oleh bayi. Selain itu
kebiasaan mengkonsumsi makanan
cepat saji dalam keluarga maka ibunya
cenderung memberikan makanan
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
79
pendamping ASI olahan pabrik yang
dikemas sehingga praktis (Husaini,
2010).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tingkat pengetahuan ibu Bayi 7-12
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Benu-Benua Kota Kendari sebagian
besar yaitu 55,3% pengetahuan ibu
dalam kategori kurang.
2. Status Pekerjaan ibu Bayi 7-12
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Benu-Benua Kota Kendari sebagian
besar yaitu 51,8% ibu tidak bekerja
(Ibu Rumah tangga).
3. Pemberian ASI Esklusif pada Bayi
7-12 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari sebagian besar yaitu 68,2%
tidak memberikan ASI Esklusif
kepada anakya.
4. Ada hubungan tingkat pengetahuan
ibu dengan pemberian ASI Esklusif
pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari.
5. Ada hubungan status pekerjaan ibu
dengan pemberian ASI Esklusif
pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota
Kendari.
Saran
1. Bagi tenaga pelaksana gizi
puskesmas Benu-Benua, agar
memberikan penyuluhan kepada
ibu bayi tentang Manfaat Air Susu
Ibu. bagi anak balita, sehingga
meningkatkan pengetahuan ibu-
khususnya dalam pemilihan
makanan yang bernutrisi bagi
bayinya
2. Bagi ibu agar senantiasa
memberikan makanan yang
bernutrisi sesuai kebutuhan
anaknya.
3. Bagi masyarakat hendaknya
mengikuti tingkat perkembangan
informasi kesehatan khususnya
menyangkut anak balita melalui
kegiatan penyuluhan maupun dari
media cetak dan elektronik.
Daftar Pustaka
Almatsier, 2001. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Gramedia pustaka
Utama : Jakarta
Azwar, 2007, Program Menjaga Mutu
Pelayanan Kesehatan,
Yayasan Penerbit IDI,
Jakarta,
Husaini, 2010. Tumbuh Kembang dan
Gizi Remaja. Buletin Gizi.
Kemalasari, 2008. Pengaruh
Karateristik Istri dan
Partisipasi Suami
Terhadap Pemberian ASI
Esklusif di Kecamatan
Sitalari Kota pematang
siangtar.Tesis Universitas
Sumatera Utara. Http://Pdf.
tesis.co.id. Diakses tanggal
12 Januari 2014.
Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan.
Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Puskesmas Benu-Benua, 2013.
Register Laporan
Puskesmas Benu-Benua
Tahun 2013. Sulawesi
Tenggara.
Santoso dan Ranti, 2009. Kesehatan
dan Gizi. Penerbit Rineka
Cipta: Jakarta.
Siregar, 2009, Hubungan
Karakteristik ibu dengan
Pemberian ASI Esklusif
padaa Bayi o-6 bulan,
http://www.enonline.net/if.
Diakses 12 Januari 2014.
Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014
Hal : 70 - 80
80
Soetjiningsih, 2007, ASI Petunjuk
Untuk Tenaga Kesehatan,
Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
Supariasa ID, Bakri B, Fajar I, 2001.
Penilaian Status Gizi Edisi
ke-1. ECG : Jakarta.
top related