issn : jurnal gizi ilmiah

83
JURNAL GIZI ILMIAH Jurnal Ilmiah Ilmu Gizi Klinik,Kesehatan Masyarakat dan Pangan ISSN : Jurnal Gizi Ilmiah STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI Volume 1 Nomor 1, September - November 2014 Diterbitkan Oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STIKES KARYA KESEHATAN Jl. Jend. A. Nasution No. 89 G Kendari, Telp/Fax. (0401) 3190775 Email :[email protected] Terbit 3 kali setahun Fikki Prasetya Evie Fitrah Pratiwi Jaya Paridah 2407-5515 Agusman Sorumba Heriyanto Putu Eka M.E Jenny Qlifianti Demmalewa Penyalahgunaan Inhalen Jenis Lem Aibon dan Dampaknya Terhadap status gizi di Kota Kendari Pemanfaatan Ubi Hutan dengan Pengawet Alami Sebagai Alternatif Diversifikasi Pangan Pada Masyarakat Kabupaten Buton Analisis Hubungan Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Dengan Kesembuhan Luka Pasien Bedah di RS. Abunawas Kota Kendari Tahun 2014 Analisis Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 3 - 6 Bulan di Kabupaten Konawe selatan Tahun 2014 Pengaruh Pemberian Jus Alpukat Terhadap Penurunan Tekanan Darah Penderita Hipertensi Hubungan Pola Menyusui dan Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Anak Baduta (6 - 24) Bulan di Kota Kendari Tahun 2014 Hubungan Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi 7 - 12 Bulan di Puskesmas Benu - Benua Kota Kendari

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

JURNAL GIZI ILMIAHJurnal Ilmiah Ilmu Gizi Klinik,Kesehatan Masyarakat dan Pangan

ISSN :

Jurnal Gizi Ilmiah STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI

Volume 1 Nomor 1, September - November 2014

Diterbitkan Oleh :LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKATSTIKES KARYA KESEHATAN Jl. Jend. A. Nasution No. 89 G Kendari,Telp/Fax. (0401) 3190775 Email :[email protected]

Terbit 3 kali setahun

Fikki Prasetya

Evie Fitrah Pratiwi Jaya

Paridah

2407-5515

Agusman Sorumba

Heriyanto

Putu Eka M.E

Jenny Qlifianti Demmalewa

Penyalahgunaan Inhalen Jenis Lem Aibon dan Dampaknya Terhadap status gizi di Kota Kendari

Pemanfaatan Ubi Hutan dengan Pengawet Alami Sebagai Alternatif Diversifikasi Pangan

Pada Masyarakat Kabupaten Buton

Analisis Hubungan Asupan Energi, Protein dan Status Gizi Dengan Kesembuhan Luka

Pasien Bedah di RS. Abunawas Kota Kendari Tahun 2014

Analisis Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 3 - 6 Bulan

di Kabupaten Konawe selatan Tahun 2014

Pengaruh Pemberian Jus Alpukat Terhadap Penurunan Tekanan Darah

Penderita Hipertensi

Hubungan Pola Menyusui dan Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Anak Baduta

(6 - 24) Bulan di Kota Kendari Tahun 2014

Hubungan Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi

7 - 12 Bulan di Puskesmas Benu - Benua Kota Kendari

Page 2: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

DEWAN REDAKSI

VOLUME 1, NOMOR 1 SEPTEMBER – NOVEMBER 2014

Penanggung Jawab : Muslimin L.,A,Kep.,S.Pd.,M.Si

Pemimpin Redaksi : Fikki Prasetya, S.K.M.,M.Kes

Wakil Pemimpin Redaksi : Evie Fitrah Pratiwi Jaya S.Gz.,M.Kes

Sekretaris Redaksi : Sri Rejeki, S.Pi.,M.Sc

Redaktur Pelaksana : Jenny Qlifianty D.,S.Gz

Ellyani Abadi,A.Mg

Alamat RedaksiKampus STIKes Karya Kesehatan Kendari

Jalan Jend. A.H. Nasution No.89 G, Kendari, Sulawesi TenggaraTelp/Fax. (0401) 3190 775 Email : [email protected]

Page 3: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Volume 1 No.1, September - November 2014

ISSN:2407-5515

JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Ilmiah Ilmu Gizi Klinik, Kesehatan Masyarakat, dan Pangan

Volume 1 No.1, September - November 2014

DAFTAR ISI

I. Editorial

II. Artikel ............................................................................................................... Halaman

1. Penyalahgunaan Inhalen Jenis Lem Aibon dan Dampaknya

Terhadap Status Gizi di Kota Kendari ........................................................ 1 - 14

Oleh : Fikki Prasetya

2. Pemanfaatan Ubi Hutan dengan Pengawet Alami Sebagai Alternatif

Diversifikasi Pangan pada Masyarakat Kabupaten Buton ............................ 15 - 25

Oleh : Evie Fitrah Pratiwi Jaya

3. Analisis Hubungan Asupan Energi,Protein dan Status Gizi dengan

Kesembuhan Luka Pasien Bedah di RS. Abunawas Kota Kendari Tahun

2014 ............................................................................................................. 26 - 38

Oleh : Paridah

4. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 3-6

Bulan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2014 ....................................... 39 - 47

Oleh : Agusman Sorumba

5. Pengaruh Pemberian Jus Alpukat Terhadap Penurunan Tekanan Darah

Penderita Hipertensi..................................................................................... 48 - 58

Oleh : Heriyanto

6. Hubungan Pola Menyusui dan Usia Penyapihan dengan Status Gizi Anak

Baduta (6-24 Bulan) di Kota Kendari Tahun 2014 ...................................... 59 - 69

Oleh : Putu Eka M.E.

7. Hubungan Pengetahuan dan Pekerjaan Ibu dengan Pemberian ASI

Ekslusif pada Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari ... 70 - 80

Oleh : Jenny Qlifianti Demmalewa

Page 4: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

1

PERILAKU PENYALAHGUNAAN INHALEN JENIS LEM AIBON DAN

DAMPAKNYA TERHADAP STATUS GIZI PENYALAHGUNA

DI KOTA KENDARI INDONESIA

1Fikki Prasetya

FKM Universitas Haluoleo1

Abstrak

Fakta Sosial perilaku ngelem pada Komunitas Punk di Kota Kendari telah

diketahui, yang pada umumnya menyalahgunakan lem jenis Aibon. Penelitian ini

bertujuan untuk melakukan analisis tentang perilaku penyalahgunaan inhalen

(ngelem) jenis Aibon pada Komunitas Punk di Kota Kendari dan dampaknya

terhadap Status Gizi mereka. Penelitian ini menggunakan desain Kualitatif dengan

Pendekatan Studi Kasus. Informan yang diambil adalah anak Punk di Kota Kendari,

yang pernah/masih aktif ngelem dan merokok. Pemilihan informan dilakukan dengan

metode Snowball Research Strategies. Data berupa informasi dikumpulkan melalui

wawancara mendalam (indepht interview) dengan teknik semistruktur dan observasi.

Analisis data dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data (emik),

interpretasi (etik) dan penarikan kesimpulan dari intisari wawancara. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penyalahgunaan inhalen lebih mudah terjadi pada seseorang

yang mencari nafkah sendiri. Remaja yang cenderung setia dengan perkumpulannya,

merasakan kenyamanan bergaul yang tidak diperoleh di tempat lain serta tingginya

rasa solidaritas bersama teman, sehingga terjerumus kepada perilaku ngelem.

Pada pria dengan umur remaja 10–18 tahun, rata-rata berstatus putus sekolah, dan

tergolong dalam kelas ekonomi menengah kebawah memiliki peluang lebih besar

menyalahgunakan inhalen. Dampak terhadap status gizi pengguna diketahui bahwa

Para penyalahguna aktif memiliki status Gizi Kurang baik dikaitkan dengan

berkurangnya berat badan secara signifikan.

Kata Kunci : Perilaku, , ngelem, Pun, Status Gizi

Page 5: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

2

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan

perkembangan bayi Dalam beberapa

jurnal internasional yang

dipublikasikan, ditemukan bahwa

remaja pertama kali mencoba baik itu

rokok ataupun minuman beralkohol,

lalu diikuti oleh keduanya dan

kemudian ganja maupun inhalansia

( Patrick, et all, 2009 ; Praharaj, et

all, 2008 ; ) Prevalensi penggunaan

seumur hidup rokok itu sedikit lebih

besar pada wanita, ganja dan

penggunaan inhalen lebih besar

pada laki-laki. Para pengguna inhalen

remaja laki-laki berumur 10-17 tahun

pada umumnya disebabkan, putus

sekolah dan kabur dari desa, dua

sepertiganya karena kekerasan dalam

rumah tangga dan konflik dalam

keluarga, penganiayaan fisik oleh

anggota keluarga (Sakai, et all ,

2009).

Studi yang dilakukan

diseluruh dunia sesuai data United

Nation Office on Drugs And Crime

(2012), menunjukkan bahwa terdapat

kurang dari 10% dari penduduk pada

usia remaja umumnya menggunakan

inhalen (uap yang dihirup dari Zat

Adiktif). Inhalen adalah suatu zat

adiktif yang tergolong Napza yakni

bahan/zat/obat yang bila masuk

kedalam tubuh manusia akan

memengaruhi tubuh terutama

otak/susunan saraf pusat, sehingga

menyebabkan gangguan kesehatan

fisik, psikis, dan fungsi sosialnya

karena terjadi kebiasaan, ketagihan

(adiksi) serta ketergantungan

(dependensi).

Inhalansia adalah zat yang

dihirup. Salah satu contohnya lem

Aica aibon yang banyak dipakai anak

dan remaja karena harganya murah

dan memabukkan. Sifat bahan ini

yang mudah menguap menjadikannya

mudah disalahgunakan untuk

mendatangkan khayal dan Salah satu

zat yang terdapat di dalam lem Aica

aibon adalah Lysergic Acid

Diethyilamide (LSD) yang berbahaya

jika dihirup. Menurut National

Institute on Drug Abuse (1998), bahan

yang tergolong dalam kategori inhalen

adalah pelarut organik, minyak gas,

nitrat dan gas anestetik. Gas nitrus

oksida (nitruous oxide) yang juga

dikenal sebagai gas yang dapat

membuat seseorang merasa senang

secara spontan (laughing gas) yang

digunakan dalam industri medis.

Penggunaan inhalen yang luas dalam

industri, menjadikannya mudah

ditemukan di berbagai produk

penggunaan harian seperti aerosol

pembunuh serangga, gam stiker,

cairan pembersih, alat tulis dan produk

kecantikan seperti varnis kuku. Produk

yang berbeda memiliki tipe inhalen

yang berbeda dan efek yang

ditimbulkan ke tubuh juga berbeda.

Lem Aica aibon merupakan

NAPZA yang sangat mudah didapat

karena keberadaannya legal (sebagai

lem). Hal ini yang menyebabkan

penyalahgunaan pemakaian lem ini

sangat cepat perkembangannya

terutama di dunia anak jalanan.

Perilaku penyalahgunaan

inhalen pada umumnya dilakukan oleh

anak-anak jalanan, menghirup

inhalen/ngelem merupakan kata yang

sangat akrab bagi anak yang hidup di

jalanan. Dengan ngelem mereka

merasa dapat menahan lapar,

meringankan penderitaan,

menghilangkan persoalan dan

membuat fikiran tenang. Tanda

psikologi pada remaja seperti sering

merasa gelisah, resah, konflik batin

dengan orang tua, minat meluas dan

tidak menetap, pergaulan mulai

berkelompok, mulai mengenal lawan

Page 6: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

3

jenis, dan sekolah tidak stabil

menyebabkan remaja sangat beresiko

untuk menyalahgunakan Napza

termasuk di dalamnya penyalahgunaan

inhalen (Poltekkes Depkes Jakarta,

2010).

Komunitas Punk memang

sangat berbeda sendiri dibandingkan

dengan Komunitas pada umumnya.

Komunitas ini dianggap salah satu

Komunitas yang urakan, berandalan

dan bahkan sebagian besar anak Punk

diidentikkan dengan anak jalanan

yang rentan terhadap penyalahgunaan

minuman keras dan Napza (O’Hara,

2008). Hasil survei pendahuluan yang

dilakukan oleh peneliti sebelum

penelitian dimulai dan didukung oleh

pernyataan yang diberikan oleh

informan, mendukung dugaan peneliti

serta menemukan bahwa terjadi

penyalahgunaan inhalen yakni

menggunakan lem jenis fox dan aibon

untuk menimbulkan efek nyaman (fly)

terhadap diri mereka. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis tentang

perilaku penyalahgunaan inhalen

(ngelem) pada Komunitas Punk di

Kota Kendari serta menilai

dampaknya pada status gizi mereka”.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di

Kota Kendari Sulawesi Tenggara,

Indonesia, dengan fokus pada

Komunitas Punk.

Desain

Desain yang digunakan adalah

kualitatif, dengan pendekatan studi

kasus. Pendekatan studi kasus

menempatkan sesuatu atau obyek

yang diteliti sebagai kasus, dimana

kasus dalam penelitian ini masih

bersifat kontemporer dalam hal ini

penyalahgunaan inhalen yang masih

terkait dengan masa kini, baik yang

sedang terjadi, maupun telah selesai

tetapi masih memiliki dampak yang

masih terasa pada saat dilakukannya

penelitian.

Informan

Metode snowball research

strategies digunakan dalam

pengambilan informan penelitian.

Formulasi terdiri dari mengidentifikasi

informan yang kemudian digunakan

untuk merujuk peneliti pada informan

lain pada populasi yang tersembunyi

dan susah untuk diakses. Informan

penelitian dipilih dari anggota

Komunitas Punk yang berada di Kota

kendari, yang mengetahui

permasalahan dengan jelas, dapat

dipercaya menjadi sumber informasi

yang baik serta mampu

mengemukakan pendapat secara baik

dan benar, dengan kriteria sebagai

berikut: (a) Remaja yang tergabung

dalam Komunitas Punk Kota Kendari.,

(b) Masih/pernah menyalahgunakan

inhalen (ngelem). (c) Masih/pernah

aktif sebagai perokok.

Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini

adalah peneliti sendiri, dimana dalam

melaksanakan penelitian ini, peneliti

melengkapi diri dengan : (a) Tape

Recorder/Mp3 yang berfungsi untuk

merekam hasil wawancara antara

peneliti dan informan, (b) Kamera

digital untuk memotret keadaan di

lapangan, (c) Daftar pertanyaan

sebagai pedoman wawancara di

lapangan, (d) Catatan lapangan

sebagai pedoman observasi untuk

mencatat informasi tambahan yang

merupakan hasil observasi lapangan.

Page 7: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

4

Metode pengumpulan data

Triangulasi sumber digunakan

untuk pengumpulan data atau informasi

dengan teknik sebagai berikut : (1).

Wawancara mendalam (indepht

interview) Teknik wawancara yang

digunakan adalah semistruktur

(semisctructured interview), dengan

pendekatan menggunakan petunjuk

umum wawancara dengan beberapa inti

pokok pertanyaan yang diajukan; (2).

Observasi partisipasi yakni

pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara mengamati perilaku serta

melihat kondisi fisik anggota

Komunitas Punk yang dijadikan

informan terhadap penyalahgunaan

inhalen (ngelem), dengan keterlibatan

peneliti secara langsung dengan obyek

yang diteliti, dengan cara berbaur

(immersion).

Analisis dan Penyajian Data

Urutan dalam analisis data

merujuk pada alur yang dapat dilihat

sebagai berikut : (1)Pengumpulan data,

data dikumpulkan dari hasil wawancara

mendalam dan observasi partisipasi.

Hasil ditulis dalam bentuk catatan

lapangan, kemudian disalin dalam

bentuk transkrip wawancara,

(2)Mereduksi data (data etik), dengan

membuat koding dan kategori. Data

yang terkumpul dalam bentuk catatan

lapangan dijadikan satu dalam bentuk

transkrip, kemudian data yang tidak

berguna dibuang, (3) Penyajian data

(data emik), Penyajian data dilakukan

dengan teks naratif. Kerahasiaan dari

responden dijamin dengan jalan

mengaburkan identitas responden.

Penarikan kesimpulan Dari data yang

disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan literatur dan hasil

penelitian terdahulu dan secara teoritis

sesuai topik penelitian. Penarikan

kesimpulan dilakukan dengan metode

induksi, yakni berusaha menarik

kesimpulan secara umum, dari kuotasi

khusus dari informasi yang diperoleh,

(4) Penyajian data lebih banyak berupa

kata-kata yang merupakan hasil

penelitian. Penyajian data yang

ditampilkan dalam bentuk kuotasi.

Dalam mengutip pernyataan informan,

peneliti melakukan pengeditan untuk

kepentingan penulisan agar mudah

dipahami, karena informan berbahasa

menggunakan dialek lokal kendari.

HASIL

Sikap Umum Komunitas Punk

terhadap ngelem.

Ngelem merupakan suatu

tindakan yang dianggap keren,

sehingga menimbulkan persepsi baik

pada penggunanya di kalangan Punk,

seperti pada kutipan wawancara berikut

:

“Ngelem, Jadi nda gaul anak Punk

kalau tidak ngelem..” (TK, pria, 19

tahun).

“..merokok itu keren, lem juga keren

kalau pada saat kumpul-kumpul toh

baru ada foto-foto bareng

begitu..ngelem di anak Punk itu

ibaratnya ritual, tidak sah kalau tidak

ngelem..”(LI, pria, 18 tahun).

Sifat kepribadian (personality traits)

terhadap ngelem.

Pada umumnya hubungan

sosial mereka baik dengan keluarga

maupun komunitas tidak ada masalah,

tetapi salah satu informan mengatakan

berbeda, seperti kutipan berikut ini :

“..kalau sekarang jujur saja.. [saya]

lagi baku kles..dengan keluarga..lagi

ada masalah internal keluarga juga,

kalau [hubungan] sama anak Punk

baik-baikji juga..[tidak ada masalah],

kalau begini dulu biasanya sa cari mi

lem” (LI, pria, 18 tahun).

Page 8: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

5

Observasi :

• Informan sesekali bercanda khas

anak muda bersama teman-temannya,

namun ada kalanya, teman-temannya

melempar kata-kata sedikit kasar,

namun tak ditanggapi serius oleh

informan.

Nilai Hidup (Values) anak Punk dalam

kaitannya dengan ngelem

Anak Punk dalam kesehariannya

baik bergaul bersama komunitasnya,

maupun dengan keluarganya mendapati

dirinya sebagai bagian yang utuh.

Mereka menyikapi pribadi mereka dalam

bersosialisasi dengan baik dengan

lingkungan sosialnya serta merasa

berguna bagi keluarganya dalam

membantu mencari nafkah, seperti yang

dikutip dari hasil wawancara berikut ini :

“..iya bagus [hubungan] dengan

keluargaku..,masih respon [saling

menegur],,tidak terlalu mengucilkan

pekerjaanku yang lebih banyak dijalan,

tidak melarang juga..[pekerjaan sebagai

pengamen dan anak Punk]..” (AM, pria,

19 tahun).

Observasi :

• Informan dalam keluarganya terlihat

seperti remaja pada umumnya,

maupun dalam bergaul dengan

temannya sama seperti remaja

lainnya, pada saat dikonformasi oleh

peneliti, seorang temannya

mengatakan bahwa informan tidak

pernah terlibat tindakan kriminal,

kecuali kakaknya.

Nilai hidup (values) yang

mereka rasakan merefleksikan

pandangan personal mereka terhadap

diri, hal ini terlihat dari kutipan

wawancara sebagai berikut :

“..kalau [merasa berguna] untuk diri

sendiri, ada [sering] juga,,untuk diri

sendiri saya rasa ada saya bermanfaat

bagi temanku [yang] artinya bertambah

luas juga pergaulanku,,maksudnya

misalnya saja kalau dia [teman] tidak

punya [uang], sama-sama [kami] tidak

punya [uang] ..biasanya [kami makan]

sepiring berdua misalnya,,usahakan

[semua teman anak Punk yang ada di

tempat itu] rasakan semua [makanan

yang ada]..biarpun sedikit

[makanannya] kita kenyang, tapi

setidaknya sama-sama kita merasakan

toh..”(AMA, pria, 19 tahun).

“[saya] ada [sering]..bantu mamaku

kerja, kasi [beri] uang biasanya bisa

[sekitar] 20 [ribu] biasa 30 [ribu] kalau

dapat [hasil] habis mengamen, kalau

tidak ada uangku biasa saya pinjam saja

dengan mamaku, nanti saya ganti

lagi..[setelah dapat uang]” (CH, pria,

12 tahun).

“iya..[saya] seringji [merasa

berguna]..karena selalu juga bantu

mamaku kerja.. biasa juga kasi-

kasi..tapi kalau tidak ada uang biasa

[sering] minta juga [pada ibu atau

ayah]..(SY, pria, 13 tahun).

Pengaruh Usia terhadap Inisiasi

Ngelem

Usia memberikan pengaruh

besar terhadap perilaku seseorang dalam

melakukan penyalahgunaan inhalen

(ngelem), dengan usia yang rata-rata

masih remaja, dimana psikologi pada

remaja dengan emosi yang labil seperti

sering merasa gelisah, resah, konflik

batin dengan orang tua, minat meluas

dan tidak menetap, pergaulan mulai

berkelompok, mulai mengenal lawan

jenis, dan sekolah tidak stabil,

memberikan ruang besar terhadap

mereka untuk menginisiasi perilaku

ngelem

“..dari situlah [awalnya] sampai sa

berhenti sekolah, lulus SMP, mulailah

bergaul diluar [dengan anak Punk] (LI,

pria, 18 tahun)

Page 9: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

6

“waktu baru pertama saikut Punk

[berumur 14 tahun], saya sudah

coba..kalau di Kendari tenar-tenarnya

itu ngelem tahun-tahun 2008..” (AA,

pria, 17 tahun).

Jenis kelamin (gender) terhadap

ngelem

Pengaruh gender terhadap

perilaku ngelem memiliki andil besar,

dimana pada umumnya penyalahgunaan

inhalen dilakukan oleh remaja laki-laki.

“..kalau dulu [awal-awalnya] ada Punk

ledis, sekarang tidak ada lagi, bubar,

pisah-pisah mereka”..(AMA, pria, 19

tahun).

Pengaruh Penghasilan terhadap

perilaku ngelem

Penghasilan anak Punk yang

rata-rata pengamen, dimana uang yang

mereka peroleh sendiri tersebut,

memiliki potensi disalahgunakan karena

tanpa pengawasan orang tua, karena

orang tua mereka yang pada umumnya

tidak lagi membiayai keseharian anak-

anak Punk juga memberikan kesempatan

tanpa pengawasan kepada mereka untuk

mengakses lem jenis fox dengan harga

murah dan terjangkau, dibanding dengan

jenis yang lain yang memabukkan

seperti minuman keras ataupun obat

terlarang yang harganya mahal, hal ini

dapat dilihat dalam kutipan wawancara

berikut :

“..gampang sekali cari uang kalau

malam,,kalau saya dapat uang langsung

saya beli,,gampang di dapat juga,,kalau

dibanding dengan yang lain yang bikin

mabok yang ini [ngelem] gak ada yang

pernah dilarang..” (AM, pria, 19

tahun).

“..yah susah-susah gampang [kalau mau

ngelem]..susahnya kalau tidak ada

uang..kalau ada uangku saya belikan

lem,,kalau [waktu] dulu sering,,biasanya

patungan..misalnya saya ada [uang]

seribu,,teman seribu,,yah baku bagimi

[biaya beli lem]..” (AMA, pria, 19

tahun).

Harga yang relatif murah

dibandingkan bahan jenis lain yang

memabukkan, mudah ditemukan, dan

cara menggunakannya mudah serta tidak

adanya payung hukum yang menjadi

pemberi efek jera kepada mereka dalam

melakukan penyalahgunaan.

“..karena kalau kantong kering kan..biar

hanya 10 ribu 8 ribu bisa mabok

[dengen ngelem], murah, kalau obat-

obatan, terlalu mahal efeknya juga lebih

parah ketergantungannya, lem

mudahnya didapat karena banyak di

kios-kios..polisi pernah kita ngumpul-

ngumpul di kos-kos, teman ditangkap,

tapi hanya diperingati dikantor polisi,

tidak sampai dipenjaraji..” (LI, pria, 18

tahun).

“..[saya merasa] mampu

[ngelem]..karena saya bisa beli..kalau

saya habis ngamen biasa saya belikan

lem..[harganya hanya] 10 ribu..”(CH,

pria, 12 tahun).

Pengaruh etnis (suku)dan agama

terhadap perilaku ngelem

Di dalam Komunitas Punk yang

sering diistilahkan dengan People United

Not Kingdom, yang berarti mereka

adalah orang yang berkomunitas tanpa

memiliki raja atau pemimpin. Sehingga

satu sama lain mereka dianggap sama

rata tak ada pengaruh perbedaan suku

dan agama yang melatarbelakangi

tebentuknya anak Punk di Kota Kendari.

Komunitas Punk di kendari pada

umumnya beranggotakan suku

pendatang seperti Makassar sebagai

mayoritas, kemudian suku Bugis, dan

suku asli Kendari yakni suku Tolaki

menjadi minoritas, sedangkan agama

mayoritas Islam dan Minoritas Kristen,

serta tak ada anak Punk di Kota Kendari

Page 10: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

7

yang menganut agama lain selain suku

tersebut diatas.

..kalau suku [anak Punk] kendari rata-

rata Makassar, bugis, dan muna, yang

jelasnya Makassar paling banyak..ada

tolaki [asli kendari] tapi

sedikit..memang tolaki asli sini, tapi

yang dirikan Punk disini orang dari

luar, orang Makassar..Agamanya islam

rata-rata..ndada saya tau agama

lain..(LI, pria, 18 tahun).

agama islam semua..kebanyakan islam

tapi ada juga Kristen..(TK, pria, 19

tahun).

Pengaruh pendidikan terhadap

perilaku ngelem

Untuk melihat faktor latar

belakang personal, melalui pendidikan

untuk mendapatkan gambaran dari sisi

kecerdasan emosional maupun

intelektual mereka, terkait perilaku

penyalahgunaan inhalen, dapat dilihat

dari hasi kutipan sebagai berikut :

“ ..[saya] sekolah hanya sampe SD,

sampe kelas 6 SD.. itu [karena] tidak

mampu juga orang tua [biayai sekolah],

saya tidak lanjut sekolah karena sa

sendiri tidak mau, kalau orang tua masih

mau..”(AM, pria, 19 tahun).

Minimnya pendidikan yang

mereka peroleh, serta status sebagai anak

putus sekolah memberikan kesempatan

kepada mereka untuk bergaul dengan

Komunitas Punk, dan menggeluti

pekerjaan rata-rata sebagai pengamen

jalanan, hal ini dapat dilihat dari hasil

wawancara sebagai berikut :

“..awalnya [saya] ketemu [dengan

seorang] anak Punk,namanya Aba anak

[berasal dari kabupaten] kolaka, terus

mengajak [bergabung dengan

Komunitas Punk] jalan ke Kolaka

bergaul..bergaul..terus saya bertanya

komunitas apa ini? Dia bilang

komunitas Punk, bisa saya ikut

[bergabung]? Dia bilang bisa, terus

[saya] bergaul ikut-ikut jalan ke

Makassar, langsung disitu saya [mulai]

senang [dengan cara] pergaulannya.

Saya rasa nyaman itu [bergaul dengan

anak Punk, persatuannya bagus,

kebersamaannya, terus bebas,

maksudnya tidak ada yang melarang,

kalau makan satu Loyang bersama

semua, kalau merokok Cuma sebatang

rokoknya di steken..” (AM, pria, 19

tahun).

Kebiasaan anak Punk yang telah

menganggap ngelem merupakan suatu

ritual memberikan kesempatan kepada

calon pengguna yang menganggap

komunitas Punk ini sebagai reference

group atau kelompok referensi yang

kemudian segala jenis perilaku yang

nampak mulai diadopsi, baik itu perilaku

positif maupun negatif seperti ngelem.

“ waktu di Makassar, waktu baru

pertama saya ikut [bergabung dengan]

Punk, saya sudah coba..saya disuruh

juga [untuk] tes [ngelem]..anak Punk itu

tidak sah kalau tidak pernah coba lem,

sudah pasti pernah coba, terus kita bawa

ke Kendari, banyak [anak-anak Punk]

yang ikut-ikuti [ngelem].. “(AA, pria, 17

tahun).

“ [waktu pertama belajar] Lihat teman

dia ngelem,coba juga, saya menghirup-

menghirup juga..Positifnya itu kaya5

kasih gila orang, berkhayal, kalau habis

menghirup [lem] lain-lain dia

bicara..”(TK, pria, 19 tahun).

Peranan ekspos media terhadap

perilaku ngelem

Faktor informasi dalam latar

belakang seseorang sampai berperilaku

adalah pengalaman, pengetahuan dan

ekspose pada media. Sebagian besar

penyalahgunaan inhalen (ngelem) pada

Komunitas Punk dimulai pada umur

remaja yakni 12-18 tahun, hal ini terlihat

dalam kutipan berikut :

Page 11: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

8

“..lulus SMP, mulai [saya] bergaul

diluar..belajar ngelem sama anak Punk

di kebi..” (LI, pria, 18 tahun).

“waktu baru pertama saikut Punk, sa

sudah cobami..kalau di Kendari tenar-

tenarnya itu ngelem tahun-tahun 2008..”

(AA, pria, 17 tahun).

Kurangnya informasi tentang

bahaya penyalahgunaan inhalen, dan

anggapan yang salah tentang perilaku

ngelem, memberikan pengaruh pada

penyalahgunaan inhalen (ngelem) lebih

lanjut, karena mesikpun mereka sadar

dampak dan bahayanya, mereka tetap

ngelem, karena telah menjadi kebiasaan

mereka walaupun dapat membahayakan,

hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

“kalau dulu [ngelem menurut saya]

pasti positif, karena saya lebih fikirkan

enaknya daripada yang lainnya, kalau

sekarang, yah [sudah] ada kita paham

toh, banyak kita lihat, kita kurang-

kurangi..”(AA, pria, 17 tahun).

Peran media tidak banyak

memberikan andil dalam inisiasi perilaku

ngelem. Hal ini dapat dilihat dalam

kutipan berikut :

“..tidak ada [pernah melihat di

media],,biar di HP tidak pernah, saya

kenal ngelem awalnya dari temanji,,itu

awalnya orang ngelem [sejarahnya]

orang dari inggris menurut ceritaji,,itu

sadengar ceritanya arjun anak Punk

kolaka [tinggal] di pomalaa..” (AM,

pria, 19 tahun).

“..ooo tidak ada..tidak pernah [dengar

dari media] “(AA, pria, 17 tahun).

Adapun mereka yang pernah

menyaksikan ekpos media tentang

ngelem, justru menyebabkan rasa takut

bagi mereka, sehingga mereka mencoba

untuk berhenti.

“..dengarnya [berita tentang ngelem]

dari televisi, kan bukan Cuma sekitar

kendari yang banyak gunakan semacam

lem, tapi dijakarta sana juga..beritanya,

anak jalanan didapat diatas jembatan 2

orang didapat ngelem, terus dibawa

kerumah sakit, [dalam keadaan] tidak

sadar..efeknyami itu mungkin gara-gara

fisiknya tidak kuat itu, dokternya yang

jelaskan. Bahkan katanya meninggal

sekaligus 2 [orang] itu..bahkan

[berawal] dari situ saya mulai kurangi

ngelem, tadinya [pakai] 1 kaleng

toh,.sekitar sudah 3 bulan lebih itu

berita, di Antv kayaknya itu berita ..”

(LI, pria, 18 tahun).

Begitupun dengan pencantuman

larangan penyalahgunaan lem, yang

tertera di kaleng lem tersebut,

mempunyai fungsi yang baik sebagai

pendukung dalam usaha mencegah

perilaku ngelem :

“biasanya ada tulisan dikalengnya itu,

larangan..jadi kita tau juga bahayanya,

sampai coba berhenti..”(AMA, pria, 19

tahun).

Observasi :

• terdapat larangan penyalahgunaan inhalen pada kaleng kemasan lem fox,

dimana larangan tersebut mudah

untuk dibaca oleh seseorang.

Dampak terhadap Status Gizi

Penyalahguna Inhalen

Inhalen atau biasa yang disebut

ngelem oleh anak-anak jalanan

merupakan senyawa organik berupa gas

dan pelarut yang mudah menguap.

Inhalen mengandung bahan-bahan kimia

yang bertindak sebagai depresan.

Depresan memperlambat sistem saraf

pusat, mempengaruhi koordinasi gerakan

anggota tubuh, dan konsentrasi pikiran.

Selain itu, inhalen juga bisa

mengakibatkan kerusakan fisik dan

mental yang tidak bisa disembuhkan.

Inhalen mempengaruhi otak dengan

kecepatan dan kekuatan yang jauh lebih

besar dari zat lain, hal ini dapat

mengakibatkan kerusakan fisik dan

Page 12: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

9

mental yang tidak dapat disembuhkan.

Mati lemas dan mati secara tiba-tiba

dapat terjadi, walau "ngelem" baru

dilakukan pertama kali.

Gejala psikologis lain pada dosis

tinggi dapat termasuk rasa ketakutan,

ilusi sensorik, hlusinasi auditoris dan

visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala

neurologis dapat termasuk bicara, dan

ataksia. Penggunaan dalam periode lama

dapat disertai dengan iritabilitas, labilitas

emosi, dan gangguan ingatan.

Toleransi terhadap inhalan dapat

berkembang; walaupun tidak dikenali

oleh DSM-IV , sindroma putus inhalan

dapat menyertai penghentian pemakaian

inhalan. Sindroma putus inhalan tidak

sering terjadi; jika terjadi keadaan ini

ditandai oleh gangguan tidur, iritabilitas,

kegugupan, berkeringat, mual, muntah,

takikardi, dan kadang-kadang waham

dan halusnasi.

Bahaya penggunaan jangka

panjang pemakaian inhalen dapat

menyebabkan iritabilitas, labilitas emosi,

dan gangguan ingatan, kejang pada

anggota badan, kerusakan sumsum

tulang dan kerusakan hati dan ginjal.

Sindroma putus inhalen tidak sering

terjadi, kalaupun ada muncul dalam

bentuk susah tidur, iritabilitas,

kegugupan, berkeringat, mual, muntah,

takikardia, dan kadang kadang disertai

halusinasi.

Inhalan dapat disertai dengan

banyak kemungkinan efek merugikan

yang serius. Efek merugikan yang paling

serius adalah kematian, yang dapat

disebabkan oleh depresi pernafasan,

aritmia jantung, asfiksia, aspirasi muntah

atau kecelakaan atau cedera (sebagai

contohnya, terintoksikasi inhalan saat

mengendarai kendaraan). Peristiwa

merugikan serius lainnya yang

berhubungan dengan penggunaan

inhalan jangka panjang adalah kerusakan

hati dan ginjal yang ireversibel dan

kerusakan otot permanen yang disertai

dengan rabdomiolisis. Kombinasi pelarut

organic dan konsentrasi tembaga, seng,

dan logam berat yang tinggi telah

disertai perkembangan atrofi otak,

epilepsy lobus temporal, penurunan nilai

intelegensia (intelligence quotience : IQ)

dan berbagai perubahan

elektroensefalografik (EEG).

Penyalahgunaan menahun atau

pemaparan bahan kimia ini bisa merusak

otak, jantung, ginjal, hati dan paru-paru.

Selain itu bisa terjadi kerusakan sumsum

tulang, yang akan mempengaruhi

pembuatan sel darah merah dan

menyebabkan anemia.

Penyalahgunaan inhalen

memberikan dampak pada pola makan,

dimana informan menyatakan bahwa

dengan menghirup lem, dapat

menggantikan rasa lapar (kenyang semu)

dan pada akhirnya melupakan rasa lapar.

“Rata-Rata temanku yang ngelem itu

Kurus orangnya, ada kemarin dia belum

pake lem, bagus badannya, nnti lama

kelamaan dia pake lem akhirnya

kerempeng, ndak ada napsu makan,

dengan “ngelem” saja sudah kenyang

rasanya”(AMA, pria, 19 tahun).

Observasi :

• Keseluruhan responden terlihat kurus,

tidak dalam keadaan berat badan ideal,

”“Kalau ngelem, badan lebih kurus dan

bahu naik seperti penyakitan, karena

memang ketika menghirup bau lem

tersebut, terasa denyut kepala yang

menghentak” (AA, pria, 17 tahun).

Salah satu penyebab pada

umumnya penyalahguna inhalen

(ngelem) kehilangan berat badan

idealnya disebabkan karena terjadinya

gangguan pada tenggorokan sehingga

menghambat pola makan mereka.

“Banyak anak kecanduan lem, saya lihat

untuk makan pun susah karena

tenggorokannya dirasakan sakit," (LI,

pria, 18 tahun)

Page 13: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

10

Begitu masuk ke dalam tubuh, Inhalen

langsung membawa rasa santai dan

menyenangkan. Tiada lagi rasa cemas

dan takut, persoalan (seolah) hilang.

Sensasinya juga serasa memberi,

dorongan semangat, percaya diri yg

tinggi dan daya tahan sehingga

pemakainya bisa bekerja berjam-jam

bahkan berhari-hari tanpa lelah, sehingga

dapat bertahan berhari-hari, dengan

ketiadaan terhadap rasa lapar dan haus,

sehinga membuat para penggunanya

mengalami penurunan berat badan, yang

tentulah jauh dari ideal.

Dalam otak manusia terdapat

pusat kesenangan yang disebut nucleus

accumbent. Di titik ini terjadi pelepasan

dopamine, yaaitu bahan kimia alami yg

menimbulkan rasa senang. Makin

banyak dopamine dilepaskan, makin

senang kita rasakan. Kesenangan

sesungguhnya merupakan ’hadiah’ yang

diberikan otak kepada manusia. Salah

satu puncak kesenangan normal adalah

adalah seks dan makan. Dalam kedua

aktivitas itu, dopamine dilepaskan otak

dan menimbulkan rasa senang dan

nyaman. Pemakainya jarang makan dan

minum, pasokan air liur di mulut

menjadi berkurang. Akibatnya gigi dan

gusi menjadi keropos tak terkira.

Bencana lainnya adalah kerusakan

organ-organ vital seperti ginjal, paru-

paru, lambung, hati dan tentu saja otak,

serta tentu saja tampilan fisik yang

menyedihkan.

Oleh karena itu cara termudah

mencegah kematian akibat penggunaan

NAPZA (khususnya dalam hal ini lem

Aica aibon) adalah tidak mulai

menggunakannya sama sekali. Sekali

pemakai kecanduan, ia akan memiliki

ketergantungan fisik dan psikologis

(yang bisa berlangsung seumur hidup).

PEMBAHASAN Ngelem dianggap merupakan

ritual didalam komunitas Punk, dimana

seseorang baru dapat dikatakan anak

Punk jika sudah pernah mencoba

ngelem, hal inilah yang mendasari

inisiasi dari perilaku ngelem anak Punk,

dimana dengan dianggapnya ngelem

merupakan sesuatu yang keren dan

dianggap pengecut ataupun tidak sah

seorang anak Punk jika tidak mencoba

ngelem, sehingga mereka mencoba

mengejar predikat tersebut.

Masalah internal maupun

ekseternal yang dihadapi oleh anak Punk

baik dilingkungan keluarga maupun

sosialnya, memberikan pengaruh

terhadap mereka untuk menjadi

pengguna aktif ataupun kambuhan. Hasil

pengamatan peneliti, pada umumnya

informan akan mencari sesuatu yang

memabukkan seperti lem dan minuman

keras, agar dapat melupakan

permasalahan yang sedang dihadapinya.

Namun dalam penelitian ini tidak

menemukan pengaruh besar dari

hubungan sosial yang buruk dengan

keluarga atau teman dalam menginisiasi

perilaku ngelem mereka.

Mereka merasa bahwa apa yang

telah mereka lakukan terhadap teman

maupun keluarga membuat mereka

merasa lebih memiliki nilai hidup dan

berarti bagi orang-orang disekitarnya,

dengan keluargapun walau dengan

penghasilan paspasan yang dihasilkan

umumnya dari mengamen membuat

mereka tak lupa untuk membantu

ekonomi keluarga, selain itu

pergaulannya di lingkungan Komunitas

Punk pun memberikan mereka

peningkatan nilai hidup dan pandangan

pribadi terhadap diri mereka. Disisi lain,

mereka yang mencari nafkah sendiri

ternyata memiliki pengaruh besar

terhadap inisiasi perilaku ngelem sampai

menjadi pengguna aktif dan kambuhan.

Page 14: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

11

Dengan mampu mencari uang sendiri,

mereka lebih leluasa untuk mengakses

lem untuk disalahgunakan, yang

disebabkan kurangnya pengawasan

orang tua mereka terhadap apa saja yang

dibelanjakan oleh mereka.

Usia memberikan pengaruh

besar terhadap perilaku seseorang dalam

melakukan penyalahgunaan inhalen

(ngelem), dengan usia yang rata-rata

masih remaja, dimana psikologi pada

remaja dengan emosi yang labil seperti

sering merasa gelisah, resah, konflik

batin dengan orang tua, minat meluas

dan tidak menetap, pergaulan mulai

berkelompok, mulai mengenal lawan

jenis, dan sekolah tidak stabil,

memberikan ruang besar terhadap

mereka untuk menginisiasi perilaku

ngelem. Penyalahgunaan inhalen

merupakan hal yang umum di dalam

komunitas Punk di kota Kendari,

dulunya Komunitas Punk Kendari

memiliki gender perempuan yang

dinamakan Punk ladies, namun mereka

sekarang sudah tidak lagi aktif sebagai

anak Punk. Sekarang ini Komunitas

Punk Kendari keseluruhannya

beranggotakan Laki-laki.

Penghasilan anak Punk yang rata-

rata pengamen, dimana uang yang

mereka peroleh sendiri tersebut,

memiliki potensi disalahgunakan karena

tanpa pengawasan orang tua, karena

orang tua mereka yang pada umumnya

tidak lagi membiayai keseharian anak-

anak Punk juga memberikan kesempatan

tanpa pengawasan kepada mereka untuk

mengakses lem jenis fox dengan harga

murah dan terjangkau, dibanding dengan

jenis yang lain yang memabukkan

seperti minuman keras ataupun obat

terlarang yang harganya mahal.

Harga yang relatif murah

dibandingkan bahan jenis lain yang

memabukkan, mudah ditemukan, dan

cara menggunakannya mudah serta tidak

adanya payung hukum yang menjadi

pemberi efek jera kepada mereka dalam

melakukan penyalahgunaan. Jika digali

lebih mendalam sehubungan dengan

perilaku ngelem pada anak Punk di Kota

Kendari, pengaruh perbedaan suku dan

agama ini tidak memberikan andil pada

inisiasi perilaku ngelem. Minimnya

pendidikan yang mereka peroleh, serta

status sebagai anak putus sekolah

memberikan kesempatan kepada mereka

untuk bergaul dengan Komunitas Punk,

dan menggeluti pekerjaan rata-rata

sebagai pengamen jalanan

Dengan bergaul dan sebagai

anak Punk, mereka merasa menemukan

tempat yang nyaman di dalam kelompok

ini, yang tidak mereka temui di tempat

lain. Pergaulan tersebut juga yang

menginisiasi mereka untuk melakukan

perilaku ngelem, baik secara sadar dan

tidak sadar. Kebiasaan anak Punk yang

telah menganggap ngelem merupakan

suatu ritual memberikan kesempatan

kepada calon pengguna yang

menganggap komunitas Punk ini sebagai

reference group atau kelompok referensi

yang kemudian segala jenis perilaku

yang nampak mulai diadopsi, baik itu

perilaku positif maupun negatif seperti

ngelem.

Rasa nyaman yang diberikan

sangat nikmat menurut mereka. Tiada

lagi rasa cemas dan takut, persoalan

(seolah) hilang. Sensasinya juga serasa

memberi, dorongan semangat, percaya

diri yg tinggi dan daya tahan sehingga

pemakainya bisa bekerja berjam-jam

bahkan berhari-hari tanpa lelah, sehingga

dapat bertahan berhari-hari, dengan

ketiadaan terhadap rasa lapar dan haus,

sehinga membuat para penggunanya

mengalami penurunan berat badan, yang

tentulah jauh dari ideal.

Page 15: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

12

KESIMPULAN

Inisiasi perilaku ngelem

disebabkan oleh beberapa alasan, yakni

harga yang relatif murah dibandingkan

bahan jenis lain yang memabukkan,

mudah ditemukan, dan cara

menggunakannya mudah serta tidak

adanya payung hukum yang menjadi

pemberi efek jera kepada mereka dalam

melakukan penyalahgunaan inhalen.

Penyalahgunaan inhalen lebih mudah

terjadi pada seseorang yang mencari

nafkah % sendiri, seseorang merasa

berguna bagi dirinya sendiri dan

keluarganya, sehingga mendasari mereka

lebih bebas membeli lem dan

menyalahgunakannya tanpa pengawasan

orang tua. Remaja yang cenderung setia

dengan perkumpulannya, merasakan

kenyamanan bergaul yang tidak

diperoleh di tempat lain serta tingginya

rasa solidaritas bersama teman, sehingga

terjerumus kepada perilaku ngelem.

Pada pria dengan umur remaja 10–18

tahun, rata-rata berstatus putus sekolah,

dan tergolong dalam kelas ekonomi

menengah kebawah memiliki peluang

lebih besar menyalahgunakan inhalen.

Pada Usaha untuk berhenti ngelem,

peran media dalam mengekspos berita

tentang dampak buruk ngelem, lebih

berperan sehingga seseorang mampu

melepaskan adiksi dari ngelem. Selain

itu, dengan mencoba menghindari teman

yang aktif sebagai pengguna terbukti

memiliki andil besar. ketiadaan terhadap

rasa lapar dan haus, sehinga membuat

para penggunanya mengalami penurunan

berat badan, yang tentulah jauh dari ideal

dan memberikan pengaruh signifikan

terhadap penurunan status gizi ditinjau

dari sudut antropometrik..

UCAPAN TERIMA KASIH

Bagi seluruh keterlibatan

sehingga penelitian ini dapat

terselesaikan dan menjadi bahan bacaan

yang berguna, baik itu materil maupun

dukungan spiritual, penulis

menghaturkan ucapan terima kasih yang

tak terhingga. Terutama kepada Penulis

kedua dan ketiga, yang telah banyak

membantu dalam membimbing dan

emngarahakan penelitian agar sesuai

dengan tujuan dan koridor ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality

and Behavior, (2nd

edition). Berkshire, UK:

Open University Press-

McGraw Hill Education.

Atkinson, Rowland & Flint, John. 2001.

Accessing Hidden and

Hard-to-Reach

Populations: Snowball

Research Strategies.

Inggris : Social research

update, Department of

Sociology, University of

Surrey, Guildford GU7

5XH.

BNN & Puslitkes UI , 2007. Makalah

pada Seminar Hari

Survey Nasional

Penyalahgunaan dan

Peredaran gelap Narkoba

Pada kelompok Rumah

Tangga 2007. Jakarta :

BNN.

Dorland. 2003. Illustrated Medical

Dictionary, 30th Edition.

Philidelphia : Saunders.

Howard, M, et all. 2010. Inhalent use,

inhalent-use disorders,

and antisocial behavior :

findings from the national

epidemiologic survey on

alcohol and related

conditions

(NESARC)(Report).

Journal of Studies on

Alcohol and Drugs. Vol.

71 Nbr. 2, March 2010.

Page 16: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

13

(online) http://goliathcom

/gi_012616466/Inhalent-

(use-inhalent-use-

disorders.html), diakses

april 2011.

Kerlinger, F.N. 1986. Asas-asas

Penelitian Behavioral.

Terjemahan oleh Landung

R. Simatupang. 2006.

Yogyakarta : Gadjah

Mada University Press.

Koch, K.,R., Roberts, A.,E.,Armstrong,

M.,L., Owen, C.,O. 2009.

Body art, deviance, and

American college

students. The Social

Science Journal. Vol 47

(2010) 151–161. (Online)

(http://courses.ttu.edu/jko

ch/research/Social%20Sci

ence%20Journal%20Pub.

pdf), diakses 14 februari

2012.

MacLean, Sarah. 2007. Volatile bodies:

Stories of corporeal

pleasure and damage in

marginalised young

people’s drug use.

International Journal of

Drug Policy 19 (2008)

375–383. (online),

(http://whyprohibition.ca/

sites/default/files/Maclean

-volatile bodies-pleasure-

2008.pdf), diakses pada

tanggal 11 Januari 2012.

Mu’tadin, Z. 2002. Rokok dan Remaja.

(online) (http:/www.e-

psikologi.com/remaja/050

602.htm) diakses 10

Januari 2012

Nasir, S,. Rosenthal, D.,Moore, T. 2011.

The social context of

controlled drug use

amongst young people in

a slum area Makassar

Indonesia. International

journal of drug policy.

Vol.22 : 463-470

Nasir, S,. Rosenthal, D. 2009. The social

context of initiation into

injecting drugs in the

slums of Makassar,

Indonesia. International

journal of drug policy.

Vol. 20 : 237-243.

National Institute on Drug Abuse (1998).

Assessing Drug Abuse

Within and Across

Communities: Community

Epidemiology

surveillance Networks on

Drug Abuse. Department

of health and Human

Services National

Institutes of Health,

Maryland

O’Hara, C. 2008. The Philosophy of

Punk: More Than Noise.

Second Edition. San

Fransisco, CA: AK Press.

Praharaj, S.,K., Verma, P., Arora, M.

2008. Inhalant Abuse

(Typewriter Correction

Fluid) in Street Children.

Journal of Addiction

Medicine. Volume 2 -

Issue 4 :175-177

Sakai, J.T., Hall,S.K., Gilbertson-

Mikulich, S.K.,

Crowley,J.T. 2009.

Inhalant use, abuse, and

dependence among

adolescent patients:

commonly comorbid

problems : Division of

Substance Dependence,

University of Colorado

School of Medicine,

Denver, CO 80262, USA.

Journal of the American

Academy of Child and

Adolescent Psychiatry.

10/43(9):1080-8.

Page 17: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Fikki Prasetya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 1 - 14

14

Sakai,T.,J., Mikulich-Gilbertson, K.,S.,

Crowley J., T. 2006.

adolescent inhalant use

among male patients in

treatment for substance

and behavior problems:

two-year outcome. the

american journal of drug

and alcohol abuse. Vol.

32(1) : 29-40.

Satori, D.,& Komariah, A. 2010.

Metodologi Penelitian

Kualitatif. Alfabeta :

Bandung

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum.

Pustaka setia : Bandung.

Sharp, C. W. 1992. Introduction to

Inhalent Abuse. Inhalent

Abuse: A Volatile

Research Agenda,

National Institute on Drug

Abuse Research

Monograph Series No.

129; Rockville: NIDA.

Moore, Ryan. 2004. Postmodernism and

Punk Subculture: Cultures

of Authenticity and

Deconstruction. The

Journal of Communication

Review.Vol. 7:305–327.

(http://www.stevenlaurie.

content/uploads/2012/01/

moore-

punkauthenticity.pdf),

diakses 26 februari 2012.

Page 18: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

15

PEMANFAATAN UBI HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN

PENGAWET ALAMI SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN

PANGAN LOKAL DI SULAWESI TENGGARA

1Evie Fitrah Pratiwi Jaya

Stikes Karya Kesehatan1

Abstrak

Pemanfaatan ubi hutan dengan menggunakan bahan pengawet alami sebagai alternative

pengembangan pangan lokal di Pulau Mawasangka Kabupaten buton Sulawesi

Tenggara (dibimbing oleh Suryani A. Armyn dan Nurhaedar Jafar).

Penelitian ini bertujuan mendapatkan produk dodol dari ubi hutan dengan

menggunakan pengawet alami sebagai alternative pengembangan pangan lokal.

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan desain analisis

labolatorium. Penelitian dilakukan 3 tahap, tahap pertama melakukan penelitian

pendahuluan dengan pengujian resep dan uji organoleptik, Penelitian awal produk

dilakukan analisis proksimat dan penelitian akhir produk dilakukan analisis mikroba

sesuai dari SNI.

Hasil penelitian Formula dodol DIII memberikan tingkat kesukaan yang

baik.Untuk penelitian awal produk yakni analisis proksimat, formula terpilih 7,50%

untuk protein kasardan 7,94% formula kontrol, lemak kasar 0,46% formula terpilih

0,42% formula kontrol, Karbohidrat 71,37% formul terpilih dan 71,27% formula

control, Kadar air 19,48% formula terpilihdan 19,25% dengan syarat SNI maks.20%,

kadar abu 1,42% formula terpilih, 0,83% untuk dodol kontrol, syarat SNI min.7%, kadar

serat dodol terpilih 1,40% dan 0,14% untuk dodol kontrol. Pada penelitian akhir

produk, mutu mikrobiologi terdapat perbedaan jenis mikroba yakni dodol terpilih

terdapat mikroba khamir sehingga secara kasat mata terlihat masih berbentuk normal

sedangkan dodol control terdapat jenis kapank,yang dapat menjadikan produk tersebut

sudah tidak layak untukdikonsumsi. Penelitian akhir produk,daya simpan produk dodol

terpilih 12 hari sedangkan dodol control bertahan 6 hari.

Kata Kunci : Formula Dodol, Ubi Hutan, Jahe Merah, Masa Simpan

Page 19: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

16

PENDAHULUAN

Selama ini beras memang

menjadi bahan pangan utama di

Indonesia karena banyak mengandung

karbohidrat yang sangat diperlukan

untuk kehidupan manusia. Namun,

masih ada bahan pangan lainnya yang

juga mengandung karbohidrat, termasuk

di antaranya ubi kayu,jagung dan umbi-

umbian. Kita tidak mungkin selamanya

tergantung akan beras sebagai bahan

pangan utama, karena produksi beras

dalam negeri terus menurun dikarenakan

luas lahan persawahan produktif

berkurang sejalan makin gencarnya

perubahan fungsi (konversi) menjadi

areal perumahan, pertokoan, perkebunan

dan lain- lain (Agustaningwarnidkk.,

2012).

Pengamat pertanian, HS Dillon,

menyatakan diversifikasi pangan jika

tidak dibarengi dengan membangun

pangan alternatif pengganti beras.

Padahal, kita kaya dengan umbi-umbian.

Namun karena tidak ada dorongan ke

arah sana, akhirnya masyarakat beralih

ke terigu dan gandum yang

pengolahannya sudah cukup bagus.

Seperti mengonsumsi roti dan mi instan.

Padahal, tidak ada sebutir gandum pun

yang ditanam di negeri ini (Cristina,

2010).

Masyarakat seharusnya mampu

belajar dari pengalaman sejarah yang

panjang di mana kelangkaan pangan di

tahun 70-an menyebabkan banyak orang

menderita kelaparan. Mereka mencari

apa saja tanaman yang bisa dimakan

yang penting kenyang. Dalam

perkembangannya, walaupun tidak

separah tahun-tahun sebelumnya, karena

masyarakat sudah menjadikan beras

sebagai makanan utama, di era tahun 90-

an ketersediaan beras juga mulai langka,

sehingga kebijakan raskin (beras untuk

orang miskin) dari pemerintah. Seperti

kita ketahui setiap daerah memiliki

keunggulan pangan lokal yang berbeda

sesuai tingkat produksi dan konsumsi.

Jenis umbi ini dibudidayakan secara

tradisional dimana sentra produksinya

mencapai 12-28 ton/ha dan hasilnya

masih tergolong rendah Padahal apabila

dibudidayakan dengan menerapkan

teknologi usaha tani, pemupukan,

pengendalian hama dan penyakit yang

tepat, potensi hasil dapat mencapai 40-

50 ton (Budiharjo, 2009).

Keterbatasan informasi

mengenai jenis dan kegunaannya bisa

jadi merupakan salah satu penyebab

minimnya pemanfaatan umbi-umbian

terutama dari jenis minor selain kentang,

singkong, talas dan ubi jalar. Pada ubi

hutan terdapat kandungan kalsium

oksalat yang dapat menyebabkan rasa

gatal, cara untuk meminimalkan rasa

gatalnya yaitu dengan penambahan

garam (NaCl) atau ditambahkan asam

nitrat dan asam khlorida encer,

sedangkan untuk meningkatkan pati

yang dapat di ekstrak dari ubi dapat

ditambahkan natrium bisulfit (pemutih)

(Dahlia, 2010).

Pada penelitian ini ingin melihat

daya terima serta daya simpan dodol ubi

hutan dengan penambahan bubuk jahe

yang dimaksudkan sebagai pengawet

alami yang mengandung senyawa

kanifen yang terkandung didalam

minyak atsiri, kanifen merupakan

senyawa anti mikroba yang terdapat

pada jahe dan berfungsi sebagai

pengawet alami yang mampu menekan

laju pertumbuhan mikroorganisme yang

mampu mempertahankan daya simpan

dodol (Richana dkk., 2004).

Diakui, memang tidak mungkin

secara serta merta total mengganti beras

dengan hasil umbi-umbian lain sebagai

bahan pangan nasional, namun salah

satu dengan cara mengkonsumsi ubi

hutan ini serta bila semua pihak

mendukung secara perlahan

Page 20: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

17

ketergantungan akan beras dapat di

kurangi dan pada gilirannya ketahanan

pangan akan semakin terjamin kuat.

Diversifikasi olahan berbahan Ubi

Hutan dan Jahe ini akan memberikan

kesempatan bagi kosumen untuk

memilih produk-produk olahan yang

sesuai dengan selera mereka. Selain

karena banyaknya pilihan dan

manfaatnya yang telah diketahui oleh

sebagian besar masyarakat pemerintah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Rancangan penelitian

Penelitian ini bertempat di

Laboratorium Jurusan Gizi Politeknik

Kesehatan Kendari untuk uji

organoleptik pada panelis semi terlatih

sedang panelis tidak terlatih

dilaksanakan di SDN 08 Mandonga

Kendari, Untuk Uji Mikroba

diLaksanakan di Laboratorium

Mikrobiologi Universitas Haluoleo

Kendari, dan Untuk Uji proksimat

dilaksanakan di Laboratorium Kimia

Makanan Ternak Universitas

Hasanuddin. Penelitian ini

menggunakan metode eksperimen

dengan analisa laboratorium,satu

perlakuan empat taraf dan tiga kali

pengulangan, dimana pelaksanaannya

dibagi dalam tiga tahap yaitu penelitian

pendahuluan, penelitian awal produk

dan penelitian akhir produk. Penelitian

pendahuluan bertujuan untuk

memperoleh perbandingan resep terbaik

dari bahan-bahan yang akan digunakan

pada penelitian awal produk. Pada

penelitian awal produk dilakukan uji

organoleptik menggunakan uji hedonic

pada panelis, kemudian ditentukan satu

produk dan produk sebagai control yang

dinyatakan sebagai produk yang terbaik

kemudian dilakukan analisis proksimat

dan dilakukan uji mikrobiologi awal

dengan menghitung jenis jamur pada

produk dodol dan control dengan

perlakuan terpilih yang dihasilkan

dengan menggunakan metode Pengujian

Angka Kapang dan Khamir serta uji

pengamatan jenis jamur dengan

menggunakan metode PDA dalam hal

ini telah ditumbuhi jamur, maka perlu

dilakukan pengamatan sebelum dan

setelah dilakukannya penyimpanan

pengamatan ini akan dilakukan pada

penelitian ketiga yakni penelitian akhir

produk.

Jenis-jenis dan Cara Pengumpulan

Data

Data yang akan di kumpulkan

adalah data pimer yang terdiri dari :

Data kesukaan atau Uji Organoleptik

terhadap kriteria warna, rasa, aroma

serta tekstur.Data analisis proksimat, ,

analisis Mikroba meliputi jumlah bakteri

dodol dan Uji Angka Kapang / Khamir.

Pengumpulan data berupa data

uji kimia atau biasa disebut dengan

analisis proksimat yaitu menganalisis

kandungan protein,lemak,kadar

abu,kadar karbohidrat,kadar serat kasar

dan kadar air, sedangkan uji

mikrobiologi yaitu menghitung dan

mengamati jumlah dan jenis jamur

angka kapang pada dodol yang diperoleh

dengan menggunakan metode pengujian

angka kapang dan khamir. Untuk

mengetahui masa simpan dodol

menggunakan metode konvensional.

Data daya terima diperoleh

dengan menggunakan formulir penilaian

yang diberikan kepada panelis dengan

prosedur dan kriteria penilaian panelis

yakni kepada panelis diberi penjelasan

tentang tujuan dan cara pengisian

formulir, Sampel yang akan dinilai

diletakkan dikemas dengan kode

tertentu, Formulir penilaian terlampir

bersampel yang akan dinilai dan

diletakkan di meja panelis, Penilaian

organoleptik dilakukan dengan warna,

rasa, aroma dan tekstur, Untuk

Page 21: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

18

menetralkan rasa dan aroma masing-

masing produk maka panelis diberi air

putih. Sedang Untuk kriteria panelis

yakni Panelis bukan perokok, Panelis

peka terhadap atribut yang dinilai, Sehat

(tidak sedang mengidap suatu penyakit

yang dapat mengganggu penilaian)

seperti Pilek, dll. Serat panelis tidak

dalam keadaan lapar.

Kontrol kualitas

Dalam menstandarisasi Petugas

Pengolahan diperlukan pelatihan petugas

pengolahan, Untuk maksud tersebut

perlu dilakukan standarisasi yang

bertujuan untuk menjelaskan latar

belakang dan tujuan penelitian, serta

melatih pengolahan dodol dengan baik

dan benar dengan harapan dapat

memahami tujuan dan merasa turut

memiliki penelitian yang dilakukan,

memahami system dan tata kerja

organisasi penelitian dan mampu

memahami dan menguasai teknik

pengolahan dodol.

Sanitasi alat yang akan dilakukan

dalam penelitian tersebut meliputi

pencucian untuk menghilangkan kotoran

dan sisa-sisa bahan, diikuti dengan

perlakuan sanitasi dengan sanitasi

dengan menggunakan air. Biasanya

digunakan detergen untuk membantu

proses pembersihan. Penggunaan

detergen mempunyai beberapa

keuntungan karena detergen dapat

melunakkan air, mengemulsi lemak,

melarutkan mineral dan komponen larut

lainnya sebanyak mungkin. Kontaminasi

oleh mikroorganisme dapat terjadi setiap

saat dan menyentuh setiap permukaan

seperti tangan, alat, wadah. Oleh karena

itu hygine personalia atau kebersihan

diri pekerja sangat perlu untuk

diperhatikan dalam pengolahan produk

makanan seperti pada pembuatan dodol

ubi hutan yang sebagai sumber pangan

alternatif.

HASIL

Penelitian Pendahuluan

Fokus pada penelitian

pendahuluan ini memiliki dasar

penentuan komposisi bahan yang

ditinjau dari bahan dasar utama

pembuatan dodol sesuai standar

operasional produksi (SOP). Dalam

penelitian pendahuluan ini dilakukan

penentuan berbagai macam resep, dan

resep yang paling baik digunakan untuk

penelitian awal. Dalam penelitian

pendahuluan dicari konsentrasi bahan

yang sesuai yaitu dilakukan

perbandingan resep dengan cara

mengumpulkan bahan, untuk

mengetahui perbandingan gula,

penentuan konsentrasi ubi dan

penambahan bubuk jahe yang sesuai

sehingga dapat menghasilkan produk

dodol ubi hutan yang dapat disukai baik

dari segi warna, rasa, aroma dan tekstur.

Hasil yang didapatkan setelah uji

resep yakni untuk Formula dodol control

komposisinya tepung ketan (1000gr),

gula pasir (550 gr), gula aren (950 gr),

dan santan ( 2000 ml). sedangkan untuk

formula dodol ubi hutan dengan 3 kali

pembuatan formula dimana, formula DII

berkomposisi tepung beras (150 gr),

gula pasir (300 gr), santan (650 ml), ubi

hutan (1500 gr), bubuk jahe (200 gr),

garam (5 gr). Untuk formula DIII

berkomposisi tepung beras (150 gr),

gula pasir (375 gr), santan (750 ml), ubi

hutan (1200 gr), bubuk jahe (330 gr),

garam (5 gr). Untuk formula DIV

berkomposisi tepung beras (150 gr),

gula pasir (400 gr), santan (850 ml), ubi

hutan (970 gr), bubuk jahe (430 gr),

garam (5 gr).

Pada tabel 11 memperlihatkan

rata-rata kesukaan panelis tidak terlatih

yang menjadi sampel yakni murid dan

guru SDN 08 Mandonga yang

menunjukkan bahwa formula DIII yang

paling disukai (4,17) untuk Murid dan

Page 22: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

19

(3,850 untuk Guru, sementara untuk

formula control para murid juga suka

dengan nilai (3,27) dan para guru (3,45).

Sedangkan pada tabel 12

memperlihatkan rata-rata kesukaan

panelis semi terlatih yang menjadi

sampel yakni mahasiswa Politeknik

kesehatan kendari, dikarena mereka

lebih mengetahui seluk beluk produk

dodol, oleh sebab itu dilakukan uji

organoleptik dan mendapatkan hasil

mutu kesukaan dan terpilihlah formula

dodol DIII dari segi rasa (4,00) , untuk

aroma (4,05), untuk warna (3,75) dan

untuk tekstur produk ini (3,75).

Sedangkan formula dodol control untuk

semi terlatih dari segi rasa (3,50) , untuk

aroma (3,45), untuk warna (3,50) dan

untuk tekstur produk ini (3,40).

Penelitian Awal Produk

Penelitian pada awal produk,

dimana sudah didapatkan formula yang

disukai baik dari panelis tidak terlatih

maupun semi terlatih dimana mereka

lebih memilih Formula dodol ubi hutan

dengan kode DIII, oleh sebab itu

dilakukanlah analisis proksimat yang

merupakan suatu metode analisis kimia

untuk mengidentifikasikan kandungan

zat makanan dari suatu bahan pangan.

Tabel 13 memperlihatkan rata-

rata hasil yang didapatkan pada uji

proksimat dengan proses triplo, pada

dodol terpilih yang dimana kadar air

(19,48%), untuk protein kasar (7,50%),

untuk lemak kasar (0,46%), untuk serat

kasar (1,40%), untuk karbohidrat

(71,37%), dan kadar abu (1,42%)

dimana yang disesuaikan dengan SNI

yang merupaka syarat mutu suatu dodol

memenuhi syarat. Kemudian untuk

dodol kontrol didapatkan untuk kadar air

(19,48%), untuk protein kasar (7,94%),

untuk lemak kasar (0,42%), untuk serat

kasar (0,14%), untuk karbohidrat

(71,27%), dan kadar abu (0,83%).

Penelitian Akhir Produk

Tabel 14 dari hasil uji

laboratorium Angka Lempeng Total

(ALT) pada Formula dodol ubi hutan

yang terpilih dengan formula dodol

kontrol terhadap masa simpan dodol ubi

hutan dari total mikroba, menunjukkan

bahwa total mikroba tertinggi pada

formula dodol control dengan 6 kali

tahap pengenceran yakni dan

dipengenceran 103 terdapat 9,0 x 103

koloni/gr yang sudah tidak memenuhi

syarat dan hanya bertahan sekitar 6 hari

lamanya sedangkan terpilih lebih awet

dengan jumlah koloni 4,0 x 103 koloni/gr

bertahan sampai 12 hari.

Perbedaan jenis mikroba yakni di

dodol terpilih lebih cendrung adanya

mikroba jenis khamir yang berbentuk

kecil-kecil sehingga secara kasat mata

produk tersebut terlihat masih berbentuk

normal baik dari segi warna,aroma, rasa

dan juga tekstur, sedangkan dodol yang

sebagai control terdapat jenis kapank

yang secara kasat mata bisa dilihat, yang

dapat menjadikan produk tersebut sudah

tidak layak untuk dikonsumsi. PEMBAHASAN

Dalam standar mutu produk,

diperlukan suatu pengujian terhadap

produk tersebut. Pengujian mutu bahan

makanan dapat menggunakan

kemampuan indera manusia disebut

pengujian organoleptik. Uji penerimaan

menyangkut penilaian seseorang akan

suatu sifat atau kualitas suatu bahan

yang menyebabkan orang menyenangi.

Untuk melaksanakan penilaian

organoleptik diperlukan panel yang

bertindak sebagai instrumen atau alat.

Uji penerimaan menyangkut

penilaian seseorang akan suatu sifat atau

kualitas suatu bahan yang menyebabkan

orang menyenangi. Pada uji ini panelis

mengemukakan tanggapan pribadi yaitu

Page 23: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

20

kesan yang berhubungan dengan

kesukaan atau tanggapan senang atau

tidaknya terhadap sifat sensoris atau

kualitas yang dinilai. Tujuan uji

penerimaan ini untuk mengetahui

apakah suatu komoditi atau sifat

sensorik tertentu dapat diterima oleh

masyarakat (Zandstra, dkk., 1998).

Didalam penelitian tersebut,

menggunakan dua macam jenis panelis

yakni panelis tidak terlatih yang

diantaranya murid dan guru Sekolah

Dasar 08 Mandonga dan panelis semi

terlatih yakni mahasiswa Politeknih

Kesehatan Kendari. Panel semi terlatih

dipilih dari kalangan terbatas dengan

menguji datanya terlebih dahulu atau

sudah mengetahui mengenai produk

yang akan diuji cobakan. Untuk panel

tidak terlatih, Panel hanya diperbolehkan

menilai alat organoleptik yang

sederhana yakni sifat kesukaan, dan

tidak diperbolehkan dimasukkan dalam

uji pembedaan. Dari hasil pengukuran

daya terima dengan melakukan

penggolongan kriteria dari segi

warna,rasa,tekstur dan aroma untuk

persentase terbesar yang menyatakan

menarik pada formula Kontrol dan

Formula dodol III.

Rendahnya persentase panelis

terhadap formula dodol IV. Hal ini

disebabkan oleh penambahan bubuk

jahe yang terlalu banyak dan tidak

sesuai dengan jumlah bahan dasar yang

digunakan, yaitu bahan dasar ubi yang

jumlahnya lebih sedikit dibanding

dengan sampel dodol yang lainnya, dan

pemberian tepung beras yang diberikan

sama dengan semua sampel dodol ubi

hutan mengakibatkan

ketidakseimbangan konsentrasi bahan

yang mengakibatkan warna dodol

menjadi kecoklatan hampir menyurupai

dodol yang sebagai kontrol, karena jika

konsentrasi tepung beras sedikit maka

warna dodol ubi mafu yang dihasilkan

menjadi kecoklatan, sedangkan tepung

beras yang terlalu banyak menghasilkan

warna yang buram akibat proses

gelatinasi. Apabila pati dilarutkan dalam

air panas maka akan membentuk sol

atau gel yang bersifat kental dan

menghasilkan warna buram. Hal ini

mengakibatkan perubahan warna ungu

menjadi ungu kecoklatan (Qinah, 2009).

Pengaruh dari penambahan

konsentrasi gula yang berbeda pada tiap

formula dodol ubi hutan dimaksudkan

untuk melihat tingkat kemanisan pada

formula dodol tersebut, dimana jika

konsentrasi gula terlalu sedikit ataupun

terlalu banyak maka warna ungu yang

dihasilkan pada dodol ubi mafu tidak

mencolok, sedangkan gula yang terlalu

banyak menghasilkan warna ungu yang

sangat pekat dan mengkilap. Bila larutan

gula diuapkan maka konsentrasi akan

meningkat. Keadaan ini akan terus

berlangsung sehingga seluruh air

menguap, bila keadaan tersebut telah

tercapai dan pemanasan diteruskan,

maka cairan yang ada bukan lagi terdiri

dari air tetapi cairan gula yang melebur

(suhu 1700C). Bila gula dipanaskan terus

sampai suhunya melebihi titik leburnya

maka akan terjadi karamelisasi yang

menghasilkan gula yang berwarna

coklat.

Analisis Proksimat merupakan

suatu metode analisis kimia untuk

mengidentifikasikan kandungan zat

makanan dari suatu bahan pakan atau

pangan. Ada beberapa kelebihan analisis

proksimat dalam mengidentifikasi bahan

makanan, diantaranya Banyak senyawa

yang dapat dihitung pada bagian-

bagiannya per miliar, Murah, Cepat,

Mudah disesuaikan (Martin, 1984).

Analisis kimia ini adalah yang

paling ekonomis (relative) dan datanya

cukup memadai untuk digunakan dalam

penelitian dan keperluan

praktis. Analisis proksimat menganalisis

Page 24: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

21

beberapa komponen seperti zat makanan

air (Bahan Kering), bahan anorganik

(abu), protein, lemak, dan serat kasar

serta karbohidrat (Linder, 2006).

Pada formula dodol terpilih

memiliki kadar air 19,48 yang jika

dibandingkan dengan nilai SNI

memenuhi syarat pada tahap ini yakni

syaratnya maks.20. sama halnya pada

dodol yang sebagai kontrol yakni 19,25,

hal ini disebabkan lamanya pemasakan

dan bahan-bahan yang digunakan

berkwalitas baik sehingga hasil yang

didapatkan juga baik.

Protein kasar merupakan

kumpulan yang mengetengahkan lebih

dari 20 asam amino, dan tiap-tiap asam

amino mempunyai fungsi khusus dalam

metabolisme yang berikatan satu sama

lain.Dalam hasil yang telah didapatkan,

pada formula dodol terpilih memiliki

kadar protein 7,50 dan pada dodol yang

sebagai kontrol memiliki 7,50. Kadar

nitrogen dari bahan makanan ditentukan

dengan cara kjedhal, yang hasilnya

kemudian dikalikan dengan faktor

protein 6,25 untuk mendapatkan kadar

protein.

Pada penelitian ini didapatkan

hasil serat kasar pada formula dodol

terpilih dengan rata-rata 1,40 ini berbeda

yang didapatkan oleh dodol kontrol

yakni 0,14. Hal ini disebabkan Pati yang

berkadar amilosa tinggi mempunyai

kekuatan ikatan hidrogen yang lebih

besar karena jumlah rantai lurus yang

besar dalam granula, sehingga

membutuhkan energi yang lebih besar

untuk gelatinisasi. Hasil perhitungan

rasio amilosa dan amilopektin ternyata

antara tepung dan pati tidak jauh

berbeda, walaupun pengamatan amilosa

bahan berbeda Kadar amilosa dalam

tepung maupun pati uwi (23,6% dan

23,2%) dan dapat dikatakan amilopektin

pada ubi uwi 76,8%.

Pada hasil analisi proksimat,

didaptkan rata-rata kandungan

Karbohidrar dengan triplo sebesar 71,27

pada dodol kontrol sedang 71,37 pada

dodol terpilih, pemanfaatannya. Ubi

hutan (Dioscorea alata L) berpotensi

sebagai sumber karbohidrat dan diduga

banyak mengandung senyawa fenol, dan

antosianin yang tinggi antioksidannya.

Kadar karbohidrat berkisar antara 73,27

– 92,37% dan aktivitas antioksidan

terbesar pada ubi kukus sebesar 64,97%

sedangkan kandungan antosianin

tertinggi pada ubi kukus 131,67%.

Kadar abu pada penelitian ini

yakni 0,83 untuk dodol kontrol

sedangkan 1,42 untuk dodol terpilih, hal

ini disebabkan karena kadar abu yang

didapat merupakn titik tolak untuk

analisis mineral (kalsium, fosfor,

magnesium dan lain-lain).tetapi disini,

peneliti tidak secara inti lebih mendalam

memeriksa kandungan abu pada dodol

terpilih.

Teknik pemindahan biakan

bertujuan untuk menguasai teknik

pemindahan biakan bakteri dari satu

wasah ke wadah lain, secara asentik

sehingga hanya biakan murni yang

diharapkan tumbuh. Hal ini sangat

penting dalam tahap awal pekerjaan

isolasi mikroba terutama yang berasal

dari stok kultur (bukan dari substrat). Melalui pertumbuhannya

mikroorganisme dapat menyebabkan

berbagai perubahan fisik dan kimia dari

suatu bahan pangan. Apabila bahan

tersebut tidak didinginkan atau tidak

dapat diterima oleh para konsumen,

maka bahan pangan tersebut dikatakan

mengalami kerusakan. Pembiakan

diperlukan untuk mempelajari sifat

bakteri untuk dapat mengadakan

identifikasi, determinasi, atau

deferensial jenis-jenis yang ditemukan.

Pertumbuhan ketahanan bakteri

Page 25: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

22

tergangung pada pengaruh luas, seperti

makanan (nutrisi) (Jekti, 2010).

Masa simpan dodol terpilih dapat

bertahan selama 12 hari sedang pada

dodol kontrol hanya mampu bertahan

selama 6 hari, banyak Faktor-faktor

ekstrinsik pada pembuatan dodol selama

proses produksi, penyimpanan, dan

distribusi makanan terdiri dari

pengendalian suhu, kelembaban relatif,

paparan cahaya (UV dan infra merah),

mikroba di lingkungan, komposisi udara

dalam kemasan, perlakuan suhu

(contohnya pemanasan kembali atau

pemasakan), dan penanganan konsumen.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kami menyimpulkan bahwa

Diversifikasi olahan berbahan Ubi

Hutan dan Jahe ini akan memberikan

kesempatan bagi kosumen untuk

memilih produk-produk olahan yang

sesuai dengan selera mereka. Selain

karena banyaknya pilihan dan

manfaatnya yang telah diketahui oleh

sebagian besar masyarakat.Oleh karena

itu Pemerintah mulai melirik industri

kreatif sebagai alternatif roda penggerak

ekonomi yang akan terus berputar. Nilai

ekonomi dari suatu produk atau jasa di

era kreatif tidak lagi ditentukan oleh

bahan baku atau sistem produksi seperti

pada era industri, tetapi pada

pemanfaatan kreativitas dan inovasi.

Industri tidak dapat lagi bersaing di

pasar global dengan hanya

mengandalkan harga atau mutu produk

saja, tetapi bersaing berbasiskan inovasi,

kreativitas dan imajinasi.

Salah satu pengolahan ubi hutan

sangat tepat jika dikembangkan untuk

dapat menjadi industry kreatif

mengingat manfaat dan kegunaan ubi

hutan cukup luas, terutama untuk

industri makanan dan juga sebagai

produk antara. Banyaknya manfaat dan

kegunaan dari ubi hutan ini,

memungkinkan olahan ubi tersebut

lebih ditumbuhkembangkan di daerah

daerah sentra produksi ubi hutan

khususnya di daerah Sulawesi tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Ningrum. (2010). Penambahan

Bahan Pengawet Kalsium

Propionat Dalam

Menghambat Kontaminasi

Kapang Syncephalastrum

Racemosum Pada Dodol

Susu. Emrginfect Diz (serial

online) diunduh 25 Maret

2012. Available from: URL:

http://pustaka.litbang.deptan.g

o.id/publikasi/wr24502j.pdf.

Budiharjo. (2009). Perubahan fenolik,

antosianin dan aktivitas

antioksidan ”Uwi Ungu”

(Dioscorea alata L) akibat

Proses Pengolah. Emrginfect

Diz (serial online) diunduh 25

Maret 2012. Available from:

URL:

http://pustaka.litbang.deptan.g

o.id/publikasi/wr24502j.pdf.

Christina, W. (2010) . Jurnal Litbang

Pertanian “Peluang Tanaman

Rempah dan Obat sebagai

Sumber Pangan Fungsional”.

Bogor: Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Pasca

Pertanian

Dahlia Simanjuntak. (2009) .

Pemanfaatan Komoditas Non

Beras Dalam Diversifikasi

Pangan Sumber Kalori.

Emrginfect Diz (serial online)

diunduh 25 Maret 2012.

Available from: URL:

http://repository.usu.ac.id/handl

e/123456789/15544.

Page 26: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

23

Jekti, Rabea Pangerti. (2010).

Pencemaran Bahan Makanan

Oleh Mikroba. Emrginfect Diz

(serial online) diunduh 25 Maret

2012. Available from: URL:

http://library.usu.ac.id/downloa

d/fkm/fkm-nurmaini2.pdf.

Linder, Maria C. (2006). Biokimia

Nutrisi dan Metabolisme.

Jakarta: UI Press. Martin Jr, D.W dkk. (1984). Biokimia

(Harpers Review of

Biochemistry), Edisi XIX, EGC,

Jakarta.

Noer, Hendry. (2008) .

Memperpanjang Umur Simpan

Produk Bakery. Emrginfect Diz

(serial online) diunduh 25 Maret

2012. Available from: URL:

http://www.foodreview.biz/logi

n/preview.php?view&id=55992

Richana, Sunarti. (2004). Karakterisasi

Sifat Fisikokimiatepung Umbi

Dan Tepung Pati Dari Umbi

Ganyong, Suweg, Ubikelapa

Dan Gembili Emrginfect Diz

(serial online) diunduh 25 Maret

2012. Available from: URL:

http://repository.ipb.ac.id/bitstre

am/handle/123456789/5908/Pen

dahuluan_2009wya-

2.pdf?sequence=7.

Sudarmadji., dkk. (1989). Analisa

Bahan MAkanan dan

Pertania.Liberty.Yogjakarta.

Qinah. (2009). Pengaruh Kosentrasi

Gula Pasir dan Tepung Ketan

Terhadap Sifat Kimia,

Organoleptik Serta Daya

Simpan Dodol Ubi Jalar Ungu.

Emrginfect Diz (serial online)

diunduh 25 Maret 2012.

Available

Page 27: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

24

Tabel 1. Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada formula dodol

Panelis Formula Dodol Uji Kruskall-

Wallis (p = 0,05) DI DII DIII DIV

Murid

3,27 3,03 4,17 2,83 0,000

Guru

3,45 3,05 3,85 2,60 0,000

Tabel 2. Rata-Rata Kesukaan Panelis Semi Terlatih Pada formula dodol

Formula dodol

Ubi Hutan Aroma Warna Rasa Tekstur

Uji Kruskall-

Wallis

(p = 0,05)

DI

3,45 3,50 3,50 3,40

0,000

DII

2,70 3,20 2,95 2,60

DIII

4,05 3,75 4,00 3,75

DIV 2,35 2,50 2,65 2,40

Tabel 3. Rata-Rata Hasil Analisis Proksimat pada Proses Triplo Dodol terpilih

dan Dodol Kontrol

Sampel Kadar

Air

(%wb)

Protein

Kasar

(%wb)

Lemak

Kasar

(%wb)

Serat

Kasar

(%wb)

KH

(%wb)

Kadar

Abu

(%wb)

Dodol

kontrol

19,25 7,94 0,42 0,14 71,27 0,83

Dodol

Terpilih

19,48 7,50 0,46 1,40 71,37 1,42

SNI Dodol Maks

20%

Min. 3% Min.7% Tidak

diketahui

Tidak

diketahui

Tidak

diketahui

Page 28: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Evie Fitrah Pratiwi Jaya : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 15 - 25

25

Tabel 4. Uji Angka Lempeng Total (Total Mikroorganisme)

Sampel Syarat

SNI Tahap I (Hari-I)

Tahap II (Hari-IV)

Tahap III (Hari-VII)

Tahap IV (Hari-XII)

Tahap V (Hari-XIV)

Formula

Dodol

Terpilih Maks.

5,0 x 102

0 koloni/g 1,0 x 101

koloni/gr

3,0 x 102

koloni/gr

5,0 x 102

koloni/gr

4,0 x 103

koloni/gr

Formula

Dodol

Kontrol

0 koloni/g 3,0 x 101

koloni/gr

6,0 x 102

koloni/gr

7,0 x 102

koloni/gr

9,0 x 103

koloni/gr

Page 29: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

26

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN

STATUS GIZI DENGAN PENYEMBUHAN LUKA PASIEN BEDAH

DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ABUNAWAS

KOTA KENDARI TAHUN 2014

1Paridah

Universitas Haluoleo1

Abstrack

Keadaan gizi merupakan faktor penting pada masa bedah. Malnutrisi energi

dan protein disebabkan akibat penyakit yang diderita dan akibat diet yang kurang

baik sehingga timbul keadaan malnutrisi yang parah. Berdasarkan data yang

diperoleh di Rumah Sakit Umum Abunawas Kota Kendari tahun 2013 menunjukkan

jumlah pasien bedah adalah 216 orang. Pada bulan Agustus-September 2014 jumlah

penderita bedah sebanyak 187 pasien rawat jalan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan asupan energi, protein

dan status gizi dengan penyembuhan luka pada pasien pasca bedah di Ruang Rawat

Inap Bedah Rumah Sakit Abunawas Kota Kendari. Penelitian ini merupakan

penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Populasi pada

penelitian ini adalah seluruh pasien diruang rawat inap bedah RSUD. Abunawas

Kota Kendari pada periode Agustus-September Tahun 2014 sebanyak 80 orang dan

sampel sebanyak 52 orang yang diambil menggunakan Purposive Sampling. Data

diperoleh menggunakan kuisioner dan pengukuran antropometri dan di analisis

menggunakan uji Chi-Square.

Hasil yang diperoleh yakni asupan energi pada pasien pasca bedah sebagian

besar kurang yakni (59,6%) dan asupan proteinnya kurang (55,8%), kemudian dari

38 sampel yang asupan proteinnya kurang, sebagian besar yaitu 18 orang (62,15%)

kondisi luka pasien dalam keadaan kering, dari 38 sampel yang asupan proteinnya

cukup, sebagian besar yaitu 29 orang (76,3%) kondisi luka pasien dalam keadaan

kering dan 31 sampel yang status gizinya baik, sebagian besar yaitu 25 orang

(80,6%) kondisi luka pasien dalam keadaan kering. Hasil analisis statistik

menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan energi dengan penyembuhan luka

(p=0,648). Tidak ada hubungan antara asupan protein dengan penyembuhan luka

(p=0,786). Ada hubungan status gizi dengan penyembuhan luka (p=0,012) pada

pasien pasca bedah di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Abunawas Kota

Kendari.

Penelitian ini menyarankan agar dapat menjadi masukan bagi pemerintah

daerah dan instansi terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Kendari dan RSUD.

Abunawas Sultra dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam upaya

menangulangi masalah kurangnya asupan zat gizi khususnya energi dan protein pada

pasien pasca bedah.

Kata Kunci : Energi, Protein, Status Gizi dan Penyembuhan Luka

Page 30: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

27

PENDAHULUAN

Keadaan gizi merupakan faktor

penting pada masa bedah. Malnutrisi

energi dan protein disebabkan akibat

penyakit yang diderita dan akibat diet

yang kurang baik sehingga timbul

keadaan malnutrisi yang parah.

Malnutrisi energi dan protein akan

berdampak pada fungsi fisiologis dan

meningkatkan risiko pembedahan atau

memperpanjang masa pemulihan

(Sabiston, 2009).

Pemenuhan kebutuhan nutrisi

bagi tubuh, umumnya diperoleh dari

diet sesuai dan memenuhi syarat

kesehatan. Kebutuhan nutrisi harian

terhadap zat-zat gizi esensial serta

kebutuhan sumber-sumber energi

bergantung pada sejumlah faktor, yakni

: umur, jenis kelamin, berat badan,

tinggi badan, aktivitas fisik dan proses

metabolisme dalam tubuh.

Penelitian yang dikemukakan

oleh Daldiyono dan Thaha (2008) yang

mengutip dari beberapa penelitian,

memprediksi sebanyak 40-50% pasien

yang masuk rumah sakit mengalami

malnutrisi atau memiliki risiko

malnutrisi, 12% diantaranya merupakan

malnutrisi berat. Rata-rata 75%

penderita yang dirawat di rumah sakit

status gizinya akan menurun

dibandingkan dengan status gizinya

pada waktu masuk rumah sakit.

Berdasarkan indikator SGA

(Subyek Global Assesment) status gizi

awal baik sebanyak 43,1%, sedang

43,9% dan status gizi buruk 13,0%.

Pada saat keluar rumah sakit status gizi

berubah menjadi status gizi baik

menjadi 58,0%, sedang 21,8% dan

buruk 20,2%. Terdapat 28,2% yang

mengalami penurunan status gizi

selama di rawat inap, 3,8% pada saat

masuk rumah sakit berstatus gizi baik

mengalami penurunan menjadi status

gizi buruk pada saat keluar rumah sakit.

Sedangkan pasien yang mengalami

penurunan status gizi baik menjadi

sedang dan sedang menjadi buruk

masing-masing sebanyak 12,2%

(Budiningsari dan Hadi, 2003).

Kasus malnutrisi banyak

ditemukan pada pasien rawat inap di

bangsal bedah, anak, geriatri, luka bakar

dan penyakit dalam (Kurdanti, 2004).

Streat et al, dalam Widjanarko

dan Toar (2003) melaporkan terjadinya

kehilangan berat badan -5,3 ± 0,9 kg

dalam 14 hari pasca bedah mayor

elektif. Perubahan komposisi tubuh

terdiri dari kehilangan air -3,8 ±1,3 kg

protein -0,6 ±0,35 kg dan lemak -0,7 ±

1,2 kg, Hill (1981) menulis terdapat

penurunan albumin 0,4-0,5 mg/dl

setelah minggu pertama pasca bedah.

Penderita bedah yang malnutrisi

mempunyai risiko lebih tinggi

mendapat komplikasi pada pasca bedah

berupa penyembuhan luka yang

terganggu, terbentuknya fistulasi dan

sepsis yang akan meningkatkan

morbilitas dan mortalitas (Wijanarko

dan Toar, 2003).

Menurut Cerra (1984) dalam

Rijanti (2002) pada pembedahan terjadi

peningkatan stres metabolisme yang

ditunjukkan dengan peningkatan

kebutuhan energi dan protein, fase

respons metabolik pada stress dibagi

menjadi fase ebb dan fase flow. Pada

fase ebb, cadangan hidrat arang

dipecah, sehingga tidak cukup untuk

memenuhi keadaan basal tubuh

akhirnya dapat menyebabkan

malnutrisi. Sedangkan pada fase flow

terjadi peningkatan laju metabolisme

disertai dengan katabolisme, fase ini

akan berlangsung lebih lama jika tidak

diimbangi dengan masukan energi dan

protein yang adekuat.

Terdapat beberapa faktor yang

dapat menyebabkan malnutrisi menurut

penelitian yang dilakukan oleh Sarmila

Page 31: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

28

di tiga rumah sakit, menunjukkan

bahwa salah satu faktor yang

menyebabkan malnutrisi pada pasien

dewasa diruang rawat inap adalah

asupan energi dan protein yang tidak

adekuat. Protein dengan asam-asam

amino akan dimetabolisme sebagai

sumber energi, sehingga tidak tersedia

asam amino yang cukup untuk

membantu sintesis protein dan

menyediakan protein struktural dan

fungsional untuk pasien bedah. Jika

kebutuhan minimal energi tidak dapat

dipenuhi dalam waktu yang lama maka

akan timbul gejala kurang gizi. Kurang

gizi dapat dilihat dari penurunan berat

badan (Rijanti, 2002).

Penilaian status gizi yang

digunakan untuk mengetahui prevalensi

malnutrisi di rumah sakit pada

umumnya adalah dengan cara

antropometri dan pemeriksaan biokimia

(Kurdanti, 2004).

Berat badan merupakan salah

satu parameter yang digunakan untuk

menilai status gizi secara antropometri.,

mudah terlihat perubahan dalam waktu

singkat karena perubahan-perubahan

konsumsi makanan. Asupan zat gizi

yang adekuat bagi pasien yang dirawat

inap di rumah sakit sangat diperlukan

dalam upaya mencegah penurunan

status gizi yang terjadi selama masa

perawatan. Gizi merupakan bagian

integral dengan pengobatan atau proses

penyembuhan serta memperpendek

lama rawat inap (Kusumayanti, dkk,

2004).

Berdasarkan data yang diperoleh

di RSUD. Abunawas Kota Kendari,

menunjukkan bahwa jumlah pasien

bedah di Rumah Sakit Abunawas Kota

Kendari tahun 2013 adalah 216 orang

dari 9742 pasien dan pada bulan

Januari-Juli 2014 jumlah penderita

bedah sebanyak 87 pasien rawat inap,

tetapi belum ada data tentang keadaan

gizi atau belum pernah ada penelitian

untuk melihat keadaan status gizi pada

pasien bedah (catatan rekam medis).

Berdasarkan data yang diperoleh dari

RSUD. Abunawas menunjukan bahwa

pasien pra bedah akan menjalani

perawatan Rawat Inap selama 1

minggu, yang terdiri dari minimal 3 hari

sebelum dilakukan operasi dan minimal

4 hari setelah operasi.

Berdasarkan uraian di atas

peneliti tertarik untuk menganalisis

hubungan antara asupan energi, protein

dan status gizi dengan penyembuhan

luka pada pasien pasca bedah di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD. Abunawas

Kota Kendari.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan

asupan energi, protein dan status

gizi dengan penyembuhan luka pada

pasien pasca bedah di Ruang Rawat

Inap Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari

2. Tujuan Khusus

2.1 Untuk mengetahui asupan energi

pada pasien pasca bedah di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari.

2.2 Untuk mengetahui asupan protein

pada pasien pasca bedah di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari.

2.3 Untuk mengetahui status gizi pasien

pasca bedah di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari.

2.4 Untuk mengetahui penyembuhan

luka pada pasien pasca bedah di

Ruang Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari.

2.5 Untuk menganalisis hubungan

antara asupan energi dengan

penyembuhan luka pada pasien

pasca bedah di Ruang Rawat Inap

Page 32: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

29

Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari.

2.6 Untuk menganalisis hubungan

antara asupan protein dengan

penyembuhan luka pada pasien

pasca bedah di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari.

2.7 Untuk menganalisis hubungan

antara status gizi dengan

penyembuhan luka pada pasien

pasca bedah di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari.

Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien

Dapat menambah

wawasan dan pengetahuan pasien

tentang hubungan antara makanan

yang dikonsumsi dengan

kesembuhan luka setelah

melakukan operasi.

2. Bagi Rumah Sakit Umum

Abunawas Kota Kendari

Sebagai informasi dan

bahan pertimbangan dalam

meningkatkan pelayanan dirumah

sakit dan memberikan informasi

yang tepat didalam pemberian

terapi sehingga dapat digunakan

oleh pasien dalam pengelolaan

penyakit untuk mempercepat

proses penyembuhan.

3. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat

menambah pengetahuan dan

cakrawala berpikir serta merupakan

salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan

Diploma III jurusan Gizi.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis Penelitian adalah

penelitian observasional dengan

pendekatan observasional dengan

rancangan cross sectional study yakni

digunakan untuk mengetahui hubungan

antara asupan energi, protein dan status

gizi dengan kesembuhan luka pasien.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan

pada tanggal 2 Agustus- 5 September

2014 di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD. Abunawas Kota Kendari.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien diruang rawat inap

bedah RSUD. Abunawas Kota Kendari

pada periode Agustus-September Tahun

2014 sebanyak 80 orang.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini

adalah sebanyak 52 orang. Teknik

pengambilan sampel penelitian adalah

menggunakan Purporsive Sampling,

yaitu pengambilan sampel dilakukan

dengan pertimbangan peneliti, dengan

kriteria sebagai berikut :

a. Berusia ≥ 18 tahun

b. Kesadaran Compos mentis dan

kooperatif

c. Makan melalui oral atau enteral

d. Hari rawat inap pasien pasca bedah

minimal 3 hari

e. Bersedia ikut dalam penelitian.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

a. Data Identitas pasien meliputi

umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan diperoleh melalui

wawancara kuisioner.

b. Data asupan energi, protein

diperoleh melalui wawancara

menggunakan formulir recall

2x24 jam.

c. Data status gizi diperoleh

menggunakan timbangan berat

badan (bath room scale) dengan

Page 33: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

30

kapasitas 120 Kg, ketelitian 0,5

Kg dan alat pengukur tinggi

badan dengan menggunakan

mikrotoice, kapasitas maksimal

200 cm, ketelitian 0,1 cm.

Pengukuran berat badan diukur

maksimal 3 hari setelah pasien di

operasi dan apabila berat badan

dan tinggi badan pasien tidak

dapat diukur maka, peneliti

melakukan pengukuran Tinggi

Lutut.

d. Data penyembuhan luka

diperoleh dari hasil pengamatan

terhadap luka pasien.

2. Data sekunder

Yaitu gambaran umum lokasi

penelitian meliputi data demografi,

monografi diperoleh melalui laporan

dan Profil RSUD. Abunawas

Sulawesi Tennggara beserta data

jumlah yang menjalani bedah.

Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

a. Data identitas sampel diolah

berdasarkan jawaban responden

kemudian disesuaikan dengan

kriteria objektif.

b. Data tingkat konsumsi energi,

protein diolah berdasarkan hasil

recall 2x24 jam menggunakan

nutri survey dan kemudian di

bandingkan dengan kriteria

objektif

c. Data status gizi diolah

berdasarkan hasil pengukuran

berat badan dan tinggi badan

menggunakan indeks massa

tubuh(IMT)

2. Analisis Data

Untuk melihat hubungan

asupan energi, protein dengan status

gizi pra dan pasca bedah dengan

kesembuhan luka digunakan uji

“Chi-Square”.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Umur Distribusi sampel berdasarkan umur

sebagian besar pada kategori umur 30-

49 tahun, untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Distribusi Sampel Menurut

Umur

Umur (Tahun) n %

18-29 8 15,4

30-49 31 59,6

50-64 13 25,0

Jumlah 52 100

Tabel 1 menunjukan bahwa dari

52 sampel, sebagian besar yaitu 31

orang (59,6 %) pada kategori umur 30-

49 tahun, 13 orang (25,0%) pada

kategori umur 50-64 tahun dan 8 orang

(15,4%) pada kategori umur 18-29

tahun.

Jenis Kelamin

Distribusi sampel berdasarkan

jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 2. Distribusi Sampel Menurut

Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-Laki 20 38,5

Perempuan 32 61,5

Jumlah 52 100

Tabel 2 menunjukan bahwa dari

52 sampel, sebagian besar yaitu 32

orang (61,5 %) berjenis kalamin

perempuan dan 20 orang (38,5%)

berjenis kelamin laki-laki.

Diagnosa Penyakit/Jenis Bedah

Distribusi sampel berdasarkan

diagnosa penyakit dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Page 34: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

31

Tabel 3. Distribusi Sampel Menurut

Diagnosa Penyakit

Diagnosa Penyakit/Jenis

Bedah n %

Amandel 5 9,6

Appenditis 12 23,1

Ca mamae 6 11,5

Gondok 8 15,4

Kista 4 7,7

Oesofagogastrektomi 3 5,8

Sectio Cesarae 9 17,3

Usus Turun 5 9,6

Jumlah 52 100

Tabel 3 menunjukan bahwa dari

52 sampel, sebagian besar yaitu 12

orang (23,1 %) mengalami Appenditis,

dan sebagian kecil yakni 4 orang (7,7%)

mengalami Kista.

Analisis Univariat

Asupan Energi

Tabel 4. Distribusi Sampel Menurut

Asupan Energi

Asupan Energi n %

Cukup 21 40,4

Kurang 31 59,6

Jumlah 52 100

Tabel 4 menunjukan bahwa dari

52 sampel sebagian besar yaitu 31

orang (59,6%) asupan energinya

Asupan Protein

Tabel 5. Distribusi Sampel Menurut

Asupan Protein

Asupan Protein n %

Cukup 23 44,2

Kurang 29 55,8

Jumlah 52 100

Tabel 5 menunjukan bahwa dari 52

sampel sebagian besar yaitu 29 orang

(55,8%) asupan proteinnya kurang dan

selebihnya yakni 23 orang (44,2%)

asupan proteinnya cukup.

Status Gizi

Tabel 6. Distribusi Sampel Menurut

Status Gizi

Status Gizi n %

Baik 31 59,6

Kurang 21 40,4

Jumlah 52 100

Tabel 6 menunjukan bahwa dari 52

sampel sebagian besar yaitu 31 orang

(59,6%) status gizinya baik dan

selebihnya yakni 21 orang (40,4%)

status gizinya kurang.

Penyembuhan Luka

Tabel 7. Distribusi Sampel Menurut

Penyembuhan Luka

Penyembuhan

Luka n %

Basah 18 34,6

Kering 34 65,4

Jumlah 52 100

Tabel 7 menunjukan bahwa dari 52

sampel sebagian besar yaitu 34 orang

(65,4%) luka pasien pasca bedah dalam

kategori kering dan selebihnya yakni 18

orang (34,6%) luka pasien pasca bedah

dalam kategori basah.

Analisis Bivariat

Hubungan Asupan Energi dengan

Kesembuhan Luka

Tabel 8. Hubungan Asupan Energi

dengan Penyembuhan

Luka

Asupan

Energi

Penyembuhan

Luka Total p

Basah Kering

n % n % n %

Cukup 6 28,6 15 71,4 21 100 0,64

8 Kurang 12 38,7 19 61,3 31 100

Total 18 34,6 34 65,4 52 100

Page 35: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

32

Tabel 8 menunjukan bahwa dari

21 sampel dengan asupan energi cukup,

sebagian besar 71,4% lukanya kering

dan dari 31 sampel dengan asupan

energi kurang, sebagian besar 61,3%

lukanya kering..

Berdasarkan analisis statistik

dengan menggunakan uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0,648, sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara asupan energi dengan

penyembuhan luka pasien.

Hubungan Asupan Protein dengan

Kesembuhan Luka

Tabel 9. Hubungan Asupan Protein

dengan Penyembuhan Luka

Tabel 9 menunjukan bahwa dari

23 sampel dengan asupan protein

cukup, sebagian besar 69,6% lukanya

kering dan dari 29 sampel dengan

asupan protein kurang, sebagian besar

62,1% lukanya kering..

Berdasarkan analisis statistik

dengan menggunakan uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0,786, sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan antara asupan protein dengan

penyembuhan luka pasien.

Hubungan Status Gizi dengan

Kesembuhan Luka

Hubungan status gizi dengan

kesembuhan luka dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 10. Hubungan Status Gizi

dengan Penyembuhan

Luka

Tabel 10 menunjukan bahwa

menunjukan bahwa dari 31 sampel

dengan status gizi baik, sebagian besar

80,6% lukanya kering dan dari 21

sampel dengan status gizi kurang,

sebagian besar 57,1% lukanya basah.

Berdasarkan analisis statistik

dengan menggunakan uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0,012, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

status gizi dengan penyembuhan luka

pasien.

PEMBAHASAN

1. Asupan Energi

Kebutuhan energi seseorang

adalah konsumsi energi dari

makanan yang diperlukan untuk

menutupi pengeluaran energi

seseorang bila mempunyai ukuran

dan komposisi tubuh dengan tingkat

aktivitas yang sesuai dengan

kesehatan jangka panjang, dan yang

memungkinkan pemeliharaan

aktifitas fisik yang dibutuhkan

secara sosial dan ekonomi

(Almatsier, 2001).

Hasil penelitian menunjukan

bahwa sebagian besar sampel

mempunyai asupan energi kurang

disebabkan karena kurangnya

mengkonsumsi makanan sumber

karbohidrat, lemak dan protein,

dimana frekuensi makan pasien

sangat tidak teratur dan jumlahnya

Asupan

Protein

Penyembuhan

Luka Total

p Basah

Kerin

g

n % n % n %

Cukup 7 30,4 16 69,6 23 100

0,786 Kurang 11 37,9 18 62,1 29 100

Total 18 34,6 34 65,4 52 100

Status

Gizi

Penyembuhan

Luka Total P

Basah Kering

n % n % n %

Cukup 6 19,4 25 80,6 31 100 0,0

12 Kurang 12 57,1 9 42,9 21 100

Total 18 34,6 34 65,4 52 100

Page 36: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

33

sangat sedikit sehingga tidak sesuai

dengan kebutuhannya, keadaan ini

disebabkan karena kurangnya nafsu

makan pasien setelah menjalani

operasi. Pada saat peneltian sampel

pasca bedah tidak memiliki nafsu

makan dan merasa mual serta

muntah, keadaan ini disebabkan

karena terjadi reaksi metabolisme

dalam tubuh dan membutuhkan

waktu untuk dapat beradaptasi

terhadap makanan.

Makanan sumber energi

yang dikonsumsi setelah 3 hari

pasca bedah berupa makanan yang

tinggi protein seperti ikan dan telur,

dan juga terdapat makanan sumber

karbohidrat seperti nasi dan pisang

sedangkan sayur-sayuran tidak

dikonsumsi karena kurangnya nafsu

makan pasien.

Konsumsi energi yang

sangat kurang mengkhawatirkan,

karena dengan konsumsi energi

yang kurang dan terjadi dalam

waktu yang lama dapat

menyebabkan kekurangan gizi.

Kekurangan zat gizi khususnya

energi pada tahap awal akan

menimbulkan rasa lapar dan dalam

jangka waktu yang lama akan

menyebabkan berat badan menurun

disertai dengan penurunan aktivitas

yang dilakukan. Kandungan energi

yang paling tinggi diperoleh dari

bahan makanan yang mengandung

karbohidrat. Karbohidrat ini

merupakan sumber energi yang

utama bagi hampir seluruh

penduduk dunia, khususnya bagi

penduduk negara yang sedang

berkembang. Walaupun jumlah

kalori yang dihasilkan oleh satu

gram karbohidrat hanya empat

kalori, karbohidrat merupakan

sumber energi yang murah

(Ambarwati, 2012).

2. Asupan Protein

Protein adalah bagian dari

semua sel hidup dan merupakan

bagian terbesar tubuh sesudah air.

Seperlima bagian tubuh adalah

protein. Protein mempunyai fungsi

khas yang tidak dapat digantikan

oleh zat gizi lain, yaitu membangun

serta memelihara sel-sel dan

jaringan tubuh (Proverawati dan

Kusumawati, 2010).

Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa sebagian besar

sampel mempunyai asupan protein

kurang. Hal ini disebabkan karena

berdasarkan hasil penelitian masih

terdapat sampel yang kurang

mengkonsumsi bahan pangan

protein yang dikonsumsi baik lauk

hewani maupun nabati seperti ikan,

ayam, telur, tahu dan tempe. Hal ini

sangat mengkhawatirkan, karena

protein mempunyai fungsi yang

sangat baik dalam masa pembetukan

jaringan yang rusak. Hal ini juga

disebabkan oleh frekuensi makan

yang hanya 2 kali sehari sehingga

asupan protein yang konsumsi tidak

sesuai dengan kebutuhannya.

Setelah menjalani operasi,

pasien tidak mengkonsumsi

makanan dalam jumlah yang

banyak, karena rasa mual dan

muntah akibat reaksi metabolisme

akibat pemedahan, namun perlahan-

lahan konsumsi makan pasien

semakin membaik, karena

berdasarkan hasil recall rata-rata

asupan makan pasien khususnya

makanan sumber protein semakin

meningkat pada hari pertama asupan

protein mencapai 34 gr kemudian

hari ke dua sebanyak 38 gram dan

semakin meningkat pada hari ke

tiga, rata-rata asupan pasien

mencapai 45 gr. Makanan sumber

protein yang dikonsumsi oleh pasien

Page 37: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

34

pasca bedah umumnya adalah

makanan sumber protein hewani

berupa ikan dan telur, namun

dikonsumsi dalam jumlah yang

sedikit sehingga tidak sesuai dengan

kebutuhannya.

Asupan protein yang kurang

bukan merupakan faktor risiko

terjadinya malnutrisi, bahwa asupan

protein tidak berhubungan dengan

status gizi. Status gizi pasien

dipengaruhi oleh banyak faktor,

antara lain terjadinya gangguan

gastro intestinal (mual, tidak nafsu

makan, kembung), berat ringannya

penyakit, status gizi awal masuk

rumah sakit, komplikasi penyakit,

diet yang diberikan rumah sakit dan

persepsi pasien terhadap cita rasa.

3. Status Gizi

Status gizi adalah

keadaan tubuh sebagai akibat

konsumsi makan dan pangan zat-zat

gizi. Status gizi dibedakan antara

status gizi buruk, kurang, lebih, dan

normal (Almatsier, 2001).

Hasil penelitian menunjukan

bahwa sebagian besar sampel

mempunyai status gizi baik,

disebabkan karena berdasarkan hasil

pengukuran BB dan TB pasien

memiliki Indeks Massa Tubuh

dalam batas normal yakni 18,5 -25.

Pada saat penelitian sampel

menggunakan IMT, dimana seluruh

pasien bersedia untuk dilakukan

pengukuran terhadap berat badan

dan tinggi badannya, dimana

pengukuran antropometri pada

pasien yang menjalani operasi sesar

dilakukan saat pasien menjalani

masa perawatan pasca operasi 6-9

hari, pada hari tersebut pasien sudah

mampu berdiri dan bersedia untuk

dilakukan pengukuran berat dan

tinggi badan. Status gizi pasien

pasca bedah menggambarkan

keadaan tubuh seseorang dalam

jangka waktu yang lama sehingga

meskipun dilakukan pembedahan

status gizi pasien dalam keadaan

normal.

Berat badan pasca bedah

merupakan suatu respon normal

terhadap pembedahan. Menurut Hill

(2009) perubahan komposisi tubuh

setelah bedah berupa penurunan

berat badan yang terjadi sampai hari

ke-14. Kehilangan lemak sebagian

besar terjadi pada beberapa hari

pertama pasca bedah dan

katabolisme protein yang terjadi

sepanjang 2 minggu pertama pasca

bedah. Perubahan berat badan hari-

hari awal pasca bedah sangat

dipengaruhi oleh perubahan total

body water. Widjanarko dan Toar

(2008) dalam suatu studi kinetik

melaporkan kehilangan total body

protein pada periode awal pasca

bedah disebabkan peningkatan

kecepatan pemecahan protein

daripada pengurangan kecepatan

sintesis protein.

4. Penyembuhan Luka

Hasil penelitian menunjukan

bahwa sebagian besar sampel

memiliki luka kering, Hal ini

karena berdasarkan hasil penelitian

tidak terdapat PUS pada luka,

penyembuhan luka pasien ini

didukung oleh perawatan medis

yang diberikan seperti obat-obatan

baik melalui oral maupun intravena

yang dapat mempercepat

penyembuhan luka.

Moore (2007)

mengemukakan bahwa periode awal

dari penyembuhan luka sekitar 5-15

hari untuk operasi kecil dan lebih

dari sebulan untuk operasi besar

atau luka bakar. Selama masa ini

Page 38: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

35

luka mempunyai prioritas utama

akan kebutuhan kalori, asam amino,

dan zat gizi lainnya yang diperlukan

untuk penyembuhan. Kekurangan

nilai gizi akan mengganggu

penyembuhan luka. Operasi adalah

stres fisiologik akibat

hipermetabolisme,

Pada pasien pembedahan,

katekolamin dan glukagon yang

meningkat mengakibatkan glikogen

hati dan otot pecah, sehingga lepas

dan masuk dalam sirkulasi. Pada

fase starvasi atau permulaan yang

berkepanjangan, tubuh melakukan

penghematan protein otot. Bilamana

komplikasi mayor berkembang pada

masa pasca bedah, pasti bahwa

malnutrisi protein energi akan

terjadi sebagai akibat langsung.

Defisit protein dan energi

berkembang tidak hanya karena

asupan oral tertunda, melainkan

juga karena pengeluaran energi dan

katabolisme protein tubuh

meningkat (Hill, 2009).

5. Hubungan Asupan Energi dengan

Penyembuhan Luka pasien Pasca

Bedah

Hasil penelitian menunjukan

bahwa tidak ada hubungan antara

asupan energi dengan penyembuhan

luka pasien. Hal ini karena

berdasarkan hasil penelitian

ditemukan sampel yang asupan

energi dalam kategori cukup

ataupun kurang memiliki luka

dalam keadaan kering, keadaan ini

menggambarkan asupan energi tidak

memberi pengaruh dalam

penyembuhan luka dan tidak sesuai

dengan harapan bahwa dengan

adanya asupan energi yang cukup

dapat mempercepat penyembuhan

luka serta semakin kurang asupan

energi, penyembuhan lukanya akan

semakin lambat. Penyembuhan luka

pasien di dukung oleh terapi obat-

obatan yang diberikan sehingga

dapat mempercepat rasa nyeri dan

menyembuhkan luka pasien.

Asupan energi sangat dibutuhkan

oleh pasien pasca bedah untuk

mengembalikan energi akibat dari

proses metabolisme akibat

pembedahan.

Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wirsasmita (2009) di RSUDD.

Probolinggo yang menemukan

bahwa tidak terdapat hubungan

antara asupan energi dengan

penyembuhan luka pasien bedah.

Hal ini juga disebabkan karena

penyembuhan luka pasien

membutuhkan waktu yang lama ± 2

minggu agar bisa kering.

Pada pembedahan terjadi

peningkatan stres metabolisme yang

ditunjukkan dengan peningkatan

kebutuhan energi dan protein.

Respon metabolik terhadap trauma

(injury) dibedakan menjadi ebb

phase dan flow fhase dimana pasien

mengalami kehilangan protein

dalam kecepatan berlebihan. Durasi

fase flow tergantung pada

keparahan utama dan secara

berangsur angsur fase flow ini

digantikan oleh suatu fase anabolik

konvalensi. Pada fase anabolik ini

cadangan energi dan protein yang

hilang pada periode ini pasca trauma

diisi kembali (Hill, 2009).

6. Hubungan Asupan Protein

dengan Penyembuhan Luka

pasien Pasca Bedah

Hasil penelitian menunjukan

bahwa tidak ada hubungan antara

asupan protein dengan

penyembuhan luka pasien hal ini

karena pasien dengan asupan

protein yang cukup, luka pasien

Page 39: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

36

masih tetap basah, penyembuhan

luka pasien disebabkan oleh terapi

obat-obatan yang diberikan yang

dapat menghilangkan nyeri dan

mempercepat penyembuhan luka,

protein yang dikonsumsi sampel

digunakan untuk mengganti energi

yang hilang saat menjalani

pembedahan.

Disamping itu, tidak adanya

hubungan protein dengan

penyembuhan luka pasien

disebabkan karena banyak faktor

yang mempengaruhi penyembuhan

luka pada pasien bedah, faktor lain

yakni adanya terapi obat-obatan

yang diberikan oleh tim medis di

Rumah Sakit Umum Abunawas

Kota Kendari, selain itu juga

disebabkan karena setelah menjalani

operasi asupan makan pasien

mengalami penurunan karena

kurang nafsu makan, sehingga

asupan protein tidak menjadi faktor

penentu penyembuhan luka pasien.

Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wirsasmita (2009) yang

menemukan bahwa tidak ada

hubungan antara asupan protein

dengan penyembuhan luka pasien

dengan nilai p=0,021. Tingkat

kesembuhan luka pasien

dipengaruhi oleh faktor lain seperti

obat-obatan yang diberikan oleh

dokter yang dapat menyembuhkan

luka pasien dan menghilangkan rasa

nyeri.

Hal tersebut di atas sesuai

dengan pendapat French dan Crane

(1963) dalam Hill (2009) bahwa

pasien yang menjalani pasca operasi

saluran pencernaan hampir 50%

akan mengalami malnutrisi protein

karena asupan makanan yang

kurang yang berdampak pada

kehilangan berat badan. Dijelaskan

lagi sebab-sebab utama dari

malnutrisi energi dan protein serius

setelah pasca operasi adalah : (1)

tidak bisa makan, (2) tidak nafsu

makan, (3) reservoir lambung kecil,

(4) malabsorpsi.

7. Hubungan Status Gizi dengan

Penyembuhan Luka pasien Pasca

Bedah

Keadaan gizi merupakan

faktor penting pada masa bedah.

Malnutrisi energi dan protein

kemungkinan disebabkan akibat

penyakit yang diderita dan akibat

diet yang kurang baik sehingga

timbul keadaan malnutrisi yang

parah. Malnutrisi energi dan protein

akan berdampak pada fungsi

fisiologis dan meningkatkan risiko

pembedahan atau memperpanjang

masa pemulihan (Widjanarko &

Toar, 2008).

Hasil penelitian menunjukan

bahwa ada hubungan status gizi

dengan penyembuhan luka pasien,

hal ini karena sampel yang status

gizinya baik, lukanya dalam

keadaan kering, dimana pasien

dengan status gizi baik memiliki

cadangan zat gizi yang banyak,

sehingga meskipun terjadi proses

pembedahan, tubuh masih memiliki

cadangan energi yang dibutuhkan

untuk mengembalikan zat-zat gizi

yang hilang dan mampu

mempercepat penyembuhan luka

dan hasil penelitian juga

menunjukan sampel yang status

gizinya kurang, lukanya dalam

keadaan basah, keadaan ini

menunjukan bahwa status gizi dapat

menghambat proses penyembuhan

luka.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

Budiningsari dan Hadi (2008) yang

Page 40: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

37

menunjukan bahwa dari 66 orang

pasien bedah dewasa, pada pasien

yang menderita malnutrisi ringan

sembuh dengan cepat secara

signifikan lebih lambat daripada

mereka yang gizinya baik.

Demikian juga hasil penelitian kay,

et al, 1987 pada 41 orang pasien

pasien bedah ortopedi, 94% pasien

dengan parameter gizi normal

sembuh tanpa penyulit, sementara

44% pasien dengan status gizi

kurang mengalami kelambatan yang

signifikan dalam proses

penyembuhannya.

Keadaan gizi pasien

merupakan faktor pertimbangan

penting pra bedah. Adapun nutrien

yang cukup dan seimbang akan

menentukan status gizi pasien.

Status gizi pra bedah sangat

dipengaruhi oleh sistem tubuh

termasuk penyembuhan luka yang

terjadi setelah operasi. Kebutuhan

nitrogen dan bahan bakar sel tubuh

secara memadai agar tetap terjaga

dapat dilakukan dengan

pemeliharaan nutrisi yang baik

(Ambarwati, 2012).

Jenis bedah berhubungan

dengan status gizi seperti yang

dijelaskan Widjanarko (2003)

bahwa terjadinya kehilangan berat

badan -5,3 ± 0,9 kg dalam 14 hari

pasca bedah mayor elektif.

Perubahan komposisi tubuh terdiri

dari kehilangan air -3,8 ±1,3 kg

protein -0,6 ± 0,35 kg dan lemak -

0,7 ± 1,2 kg. Lalisang (2008),

meneliti secara prospectif cross

sectional pada 60 responden bedah

mayor elektif dan hasilnya

menunjukkan pada 76% pasien

kehilangan berat badan dengan rata-

rata 4% pada bulan Januari sampai

Desember 2000. Penelitian oleh

Widjanarko & Toar (2008)

mendapatkan hasil pada pra bedah

sedang dan besar 15,2% dan 10,8%

orang berstatus gizi buruk

sedangkan pada pasien bedah

sedang dan besar terdapat kenaikan

sebesar 4,3% sampai 5,6% setelah

pembedahan. Hal ini berarti pada

pasca bedah sedang dan besar perlu

mendapat perhatian yang khusus

untuk mengembalikan fungsi tubuh

seperti semula.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Asupan energi pada pasien pasca

bedah di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD. Abunawas Kota Kendari

sebagian besar kurang (59,6%).

2. Asupan protein pada pasien pasca

bedah di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD. Abunawas Kota Kendari

sebagian besar kurang (55,8%).

3. Status gizi pasien pasca bedah di

Ruang Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari sebagian

besar baik (59,6%).

4. Penyembuhan luka pasien pasca

bedah di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD. Abunawas Kota Kendari

sebagian besar lukanya kering

(65,4%).

5. Tidak ada hubungan antara asupan

energi dengan penyembuhan luka

pada pasien pasca bedah di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari.

6. Tidak ada hubungan antara asupan

protein dengan penyembuhan luka

pada pasien pasca bedah di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD.

Abunawas Kota Kendari.

7. Ada hubungan status gizi dengan

penyembuhan luka pada pasien

pasca bedah di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD. Abunawas Kota

Kendari.

Page 41: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Paridah : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014 Hal : 26 - 38

38

Saran

1. Hasil penelitian ini kiranya dapat

menjadi masukan bagi pemerintah

daerah dan instansi terkait dalam hal

ini Dinas Kesehatan Kota Kendari

dan RSUD. Abunawas dalam

menentukan kebijakan-kebijakan

dalam upaya menangulangi masalah

kurangnya asupan zat gizi

khususnya energi dan protein pada

pasien pasca bedah.

2. Bagi petugas kesehatan agar

memberikan diet pada pasien pasca

bedah sesuai syarat/prinsip diet,

jenis diet, indikasi dan cara

pemberian supaya terpenuhi sesuai

dengan kebutuhan gizinya.

3. Bagi peneliti lain, hendaknya

menganalisis faktor-faktor lain yang

berhubungan dengan penyembuhan

luka pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu

Gizi, Gramedia, Jakarta.

Ambarwati Fitri Respati, 2012. Gizi dan

Kesehatan Reproduksi.

Cakrawala Ilmu, Yogyakarta.

Daldiyono dan Thaha, 2008. Kapita

Selekta Nutrisi Klinik,

Perhimpunan Nutrisi Enteral

dan Parenteral Indonesia,

Jakarta.

Hartono, Andry, 2006. Terapi Gizi dan

Diet Edisi 2. EGC, Jakarta.

Hill, Graham, 2000. Buku Ajar Nutrisi

Bedah.. Farmedia, Jakarta.

Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi

Untuk Kesehatan. PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Moore, M. 2007. Pedoman Terapi Diet

dan Nutrisi. Penerbit

Hipokrates, Jakarta.

Nirwana, 2011. Psikologi Ibu, Bayi dan

Anak. Nuha Medika,

Yogyakarta.

Proverawati dan Kusumawati, 2010.

Ilmu Gizi untuk Keperawatan

dan Gizi Kesehatan. Nuha

Medika, Yogyakarta.

Sjamsuhidajat, 2007. Status Gizi Pasien

Bedah, Majalah Kedokteran

Indonesia RSCM, Jakarta.

Supariasa, I Dewa Nyoman. Bakri,

Bachyar, Fajar, Ibnu, 2002.

Penilaian Status Gizi. EGC,

Jakarta.

Susetyowati, 2007. Penatalaksanaan

Gizi Pada Pasien Bedah

Digestif. Makalah Pertemuan

Ilmiah Ke III Tahun 2007.

Waryana, 2010. Gizi Reproduksi.

Pustaka Rihamma, Yogyakarta.

Page 42: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

39

ANALISIS HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA

BAYI 3-6 BULAN DI KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2014

Muhammad Agusman Sorumba1

1Stikes Mandala Waluya Kendari

Menurut WHO (2008) kematian bayi disebabkan oleh Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) sebesar 19%. Data di Puskesmas Ranomeeto menunjukan

penderita ISPA tahun 2013 sebanyak 155 orang bayi umur 3-6 bulan. Tahun 2014

(Januari-Juli) bayi yang terinfeksi ISPA sebanyak 50 orang dan 29 orang diantaranya

berstatus gizi kurang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan status gizi dengan

kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan Cross

Sectional Study. Populasi dalam penelitian adalah semua bayi 3-6 bulan yang

menderita ISPA sebanyak 50 orang dan sampel sebanyak 50 orang yang diambil

secara Total Sampling. Data diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji

menggunakan uji Chi-Square.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang lemah antara

status gizi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi

Umur 3-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan dengan nilai X2 hit=5,82 < X2 tabel = 3,84 dan P=0,016. Saran kepada bagi

ibu agar memberikan kolostrum pada bayinya, Bagi ibu bayi agar menjaga status gizi

bayinya dengan memberikan nutrisi yang tepat. Bagi Institusi Pendidikan agar hasil

penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya. Bagi Puskesmas

sebagai ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah dan instansi

terkait dalam menentukan kebijakan dan perencanaan program penanggulangan

ISPA.

Kata Kunci : Status Gizi, ISPA dan Bayi

Page 43: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

40

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan

bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan

hidup bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat optimal.

Peningkatkan derajat kesehatan

masyarakat yang optimal, salah satu

upaya kesehatan yang dilakukan oleh

pemerintah adalah pemberantasan

penyakit dengan tujuan untuk

menurunkan angka kesakitan dan atau

angka kematian (Prasetyawati, 2012).

Pertumbuhan dan

perkembangan manusia yang paling

kritis terjadi pada masa bayi. Pada

masa ini, terjadi pertumbuhan dan

perkembangan yang sangat pesat baik

fisik maupun mental dibandingkan

dengan tahapan umur berikutnya

(Wati, 2010).

Pertumbuhan bayi yang

tercermin pada status gizi dapat

dipantau melalui grafik pertumbuhan

berdasarkan standar tertentu misalnya

WHO-NCHS. Apabila terjadi

perubahan grafik pertumbuhan, baik

dalam pertumbuhan massa tubuh

maupun pertumbuhan linier, yang

keduanya menjurus ke arah penurunan

grafik bila dibandingkan dengan

standar, maka dikatakan bayi

mengalami goncangan pertumbuhan

(growth faltering) (Wati, 2010).

Menurut WHO (2008)

kematian bayi disebabkan oleh Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

sebesar 19%,yang merupakan urutan

kedua penyebab kematian bayi,

sedangkan 26% infeksi berat yang

sudah termasuk ISPA merupakan

penyebab kematian bayi.ISPA

merupakan salah satu penyebab

utama kunjungan pasien di sarana

kesehatan. Sebanyak 40% - 60%

kunjungan berobat di Puskesmas

dan15% - 30% kunjungan di bagian

rawat jalan dan rawat inap Rumah

Sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes

RI, 2012).

Menurut Sutrisna (2007) faktor

risiko yang menyebabkan ISPA pada

balita adalah sosio-ekonomi

(pendapatan, perumahan, pendidikan

orang tua), status gizi, tingkat

pengetahuan ibu dan faktor

lingkungan (kualitas udara). Penelitian

Sumargono (2006) di Jakarta

membuktikan bahwa status gizi balita

mempengaruhi terhadap terjadinya

kejadian ISPA ringan. Status gizi bayi

menggambarkan keadaan nutrisi

seseorang, Balita yang status gizinya

kurang cenderung mengalami ISPA,

karena saat status gizinya kurang,

daya immunitas tubuh balita semakin

rendah, sehingga dapat menimbulkan

penyakit lainnya.

Penyakit infeksi dan

kekurangan gizi sering terjadi secara

bersamaan dan saling mempengaruhi.

Keadaan gizi yang disebabkan asupan

makan yang tidak memenuhi

kebutuhan dapat mengakibatkan

menurunnya berat badan dan

gangguan pertumbuhan serta

menurunnya imunitas dan kerusakan

mukosa. Hal tersebut berkaitan erat

dengan kejadian, keparahan, durasi

dan Kejadian penyakit infeksi.

Penyakit infeksi dapat menyebabkan

kehilangan persediaan gizi dan

peningkatan kebutuhan akibat dari

sakit. Pada saat bersamaan terjadi

penurunan nafsu makan yang pada

gilirannya menyebabkan asupan gizi

menurun (Kemenkes RI, 2008).

Di Indonesia ISPA

merupakan penyebab kematian balita

nomor satu, sejak tahun 2000, angka

kematian balita akibat ISPA adalah 5

per 1000 balita. kejadian ISPA pada

balitadi Indonesia diperkirakan

sebesar 3 sampai 6 kali pertahun.

Page 44: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

41

Ini berarti seorang balita rata-rata

mendapat serangan batuk sebanyak 3

sampai 6 kali setahun (Depkes RI,

2012).

Data yang diperoleh dari

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawsi

Tenggara, penyakit ISPA juga

merupakan masalah kesehatan utama

masyarakat. Penyakit ISPA adalah

penyebab nomor satu (15,7%) dari

penyebab kematian Balita di Rumah

Sakit Pada tahun 2011, cakupan

penemuan ISPA Balita di Sultra

mencapai 19,03%. Angka tersebut

mengalami peningkatan pada tahun

2012 yaitu menjadi 21,16% (Profil

Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara,

2012).

Berdasarkan laporan tahunan

Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe

Selatan, diperoleh data bahwa pada

tahun 2011 cakupan penderita ISPA

mencapai (9,78%) dan semakin

meningkat pada tahun 2012 mencapai

15,92% (Dinas Kesehatan Kabupaten

Konawe Selatan, 2012).

Gejala penyakit ISPA di

Provinsi Sulawesi Tenggara tahun

2012 menempati urutan pertama dari

sepuluh besar penyakit yang ada di

masyarakat yakni dengan jumlah

penderita mencapai 72.413 jiwa

(Septiono, 2009). Sementara itu Dinas

Kesehatan Kabupaten Bambana

melaporkan bahwa angka kejadian

ISPA di Kabupaten Konawe Selatan

pada tahun 2008 menempati urutan

pertama dari 10 besar penyakit yang

ada di Kabupaten Konawe Selatan

yakni mencapai 472 kasus bayi umur

3 sampai 6 bulan (Dinkes Bombana,

2012).

Berdasarkan Data Dari

Rekam Medik Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan

menunjukan bahwa jumlah penderita

ISPA pada tahun 2013 sebanyak 155

bayi umur 3 sampai 6 bulan penderta

ISPA, sedangkan data yang di peroleh

di poli Gizi menunjukan jumlah bayi

penderita Gizi kurang disertai ISPA

sebanyak 92 orang.

Berdasarkan pendahuluan

yang dilakukan pada tanggal 10 juli

2014 diperoleh data dari puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan diketahui jumlah bayi yang

terinfeksi penyakit ISPA sebagian

besar diderita oleh bayi umur 3-6

bulan sebanyak 47 penderita yang

terdiri dari 3 desa yaitu desa taubonto

sebanyak 28 bayi, desa Tampeatani

sebanyak 10 bayi dan desa Rau-rau

sebanyak 9 penderita. Bayi yang

menderita ISPA, didominasi oleh bayi

yang berstatus gizi kurang, yakni dari

47 bayi yang menderita ISPA, 29

orang berstatus gizi kurang.

Berdasarkan latar belakang

diatas, maka peneliti telah melakukan

penelitian mengenai ”Hubungan

Status Gizi dengan Kejadian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada

Bayi Umur 3-6 Bulan di Kabupaten

Konawe Selatan.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis

hubungan status gizi dengan

Kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada

Bayi Umur 3 - 6 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan.

2. Tujuan Khusus

2.1 Untuk mengetahui status gizi Bayi

Umur 3 - 6 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan.3.

2.2 Untuk mengetahui kejadian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas

Page 45: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

42

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan.

2.3 Untuk menganalisis hubungan

status gizi dengan Kejadian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan.

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat

diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi

kepada pemerintah dan instansi

terkait dalam menentukan

kebijakan dan perencanaan

program penanggulangan

ISPA.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penelitian, kiranya hasil

penelitian ini dapat menambah

pengetahuan dan cakrawala

berpikir dan mampu

memberikan sumbangan

pemikiran mengenai hubungan

status gizi dengan Kejadian.

b. Agar dapat dijadikan sebagai

dasar penelitian analitik, serta

mampu menambah wawasan

dalam ilmu Gizi.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang

digunakan adalah Penelitian analitik

dengan pendekatan Cross Sectional

Study yaitu penelitian yang dilakukan

pada waktu dan tempat secara

bersamaan (Notoatmodjo, 2005).

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan

pada tanggal 16 September s/d 4

Oktober Tahun 2014 di Wilayah Kerja

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan Tahun 2014.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini

adalah semua bayi 3-6 bulan yang

menderita serangan ISPA di

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan sebanyak 50

responden (Profil Puskesmas

Ranomeeto, 2012).

Sampel

Sampel dalam penelitian ini

bayi 3-6 bulan yang menderita

serangan ISPA di Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan sebanyak 50 responden.

Teknik pengambilan sampel

menggunakan total sampling yakni

seluruh populasi dijadikan sampel.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Data primer terdiri dari identitas,

status gizi bayi 3-6 bulan

diperoleh dengan cara wawancara

dan pengukuran Berat badan bayi

menggunakan timbangan.

2. Data sekunder yaitu data

demografi meliputi: profil,

ketenagaan, sarana prasarana, dan

lain-lain yang diperoleh dari hasil

dokumentasi.

Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan

melalui lembar kuisioner, Maka

data diolah secara manual dan

menggunakan komputer.

Pengolahan data meliputi :

a. Coding adalah Pembuatan

kode pada tiap-tiap data yang

termasuk kategori yang sama.

Page 46: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

43

b. Editing adalah pengecekan

atau pengkoreksian data yang

telah dikumpulkan.

c. Skoring adalah memberi skor

pada data yang telah

dikumpulkan.

d. Tabulating adalah membuat

tabel yang berisikan data yang

telah diberi kode sesui dengan

analisis yang dibutuhkan.

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan

dengan menggunakan program

komputerisasi Statistical Product

and Service Solution (SPSS) versi

16,0. Analisis data terbagi atas

analisis Univariat dan Bivariat.

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Umur Ibu

Tabel 1. Distribusi Umur Ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan

Umur Ibu (Tahun) n %

20 - 30 11 22,0

31- 41 39 78,0

Jumlah 50 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 1 menunjukan bahwa dari

50 sampel terdapat 39 orang (78,0%)

pada kategori umur 31-41 Tahun dan

11 orang (22,0%) pada kategori umur

20-30 tahun.

Umur Bayi

Tabel 2. Distribusi Umur Bayi di

Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan

Umur Bayi (Bulan) n %

3-4 30 60,0

5-6 20 40,0

Jumlah 50 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 2 menunjukan bahwa dari

50 sampel terdapat 30 orang (60,0%)

pada kategori umur 3-4 bulan dan 20

orang (40,0%) pada kategori umur 5-6

bulan.

Pendidikan Ibu

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu di

Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan

Pendidikan Ibu n %

SD 4 8,0

SMP 10 20,0

SMA 28 56,0

DIII/S1 8 16,0

Jumlah 50 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 3 menunjukan bahwa

dari 85 sampel sebagian besar yaitu

43,4% pendidikan ibu adalah tamatan

SMP, Kemudian 20,0% pendidikan

ibu masing-masing tamatan SMA dan

tamatan SD dan Perguruan Tinggi (S1

dan DIII) dan 17,6% tamatan SD.

Gambaran Umum Variabel

Penelitian

Analisis Univariat

Status Gizi

Tabel 4. Distribusi Status Gizi Bayi 3-

6 Bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan

Status Gizi Bayi n %

Normal 18 36,0

Kurang 32 64,0

Total 50 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 4 menunjukan bahwa

dari 50 sampel terdapat 32 orang

(64,0%) status gizinya kurang dan 18

orang (36,0%) status gizinya normal.

Page 47: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

44

Kejadian ISPA

Tabel 5. Distribusi Kejadian ISPA

pada Bayi 3-6 Bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan

Kejadian ISPA n %

1 kali dalam sebulan 17 34,0

> 1 kali dalam sebulan 33 66,0

Total 50 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 5 menunjukan bahwa

dari 50 sampel terdapat 33 orang

(66,0%) > 1 kali Kejadian dan 17

orang (34,0%) 1 kali Kejadian.

Analisis Bivariat

Hubungan Pengetahuan Ibu dengan

Pemberian Kolostrum pada Bayi

Baru Lahir

Tabel 6. Hubungan Status Gizi

dengan Kejadian ISPA

pada Bayi 3-6 Bulan di

Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe

Selatan

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 6 menunjukan bahwa dari

58 ibu yang tidak menunjukan bahwa

dari 50 sampel,sebagian besar yaitu 25

orang (34,0%) mengalami > 1 kali

kejadian ISPA dan memiliki status

gizi kurang dan sebagian kecil yakni

7 orang (66,0%) mengalami 1 kali

kejadian ISPA dengan status gizi yang

kurang

Berdasarkan hasil analisis

statistik menggunakan uji chi-square

diperoleh nilai p= 0,016 < α (0,05),

sehingga dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang lemah antara

status gizi dengan Kejadian ISPA pada

bayi 3-6 bulan di Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan.

PEMBAHASAN

Pembahasan Univariat

Status Gizi Bayi

Status gizi adalah ekpresi dari

keadaan kesinambungan atau

perwujudan dari nutriture dalam

bentuk variabel tertentu (Supariasa

dkk, 2001), sedangkan menurut

Ambarwati (2012), status gizi

dikatakan baik apabila nutrisi yang

diperlukan baik protein, lemak,

karbohidrat, mineral, vitamin maupun

air digunakan oleh tubuh sesuai

kebutuhan.

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 50 sampel terdapat 32

orang (64,0%) status gizinya kurang

dan 18 orang (36,0%) status gizinya

normal.

Menurut asumsi peneliti,

penyebab terjadinya gizi kurang pada

bayi disebabkan oleh asupan nutrisi

yang kurang, hal ini karena status gizi

merupakan gambaran dari makanan

yang dikonsumsi oleh bayi.

Status gizi merupakan

pengukuran antropometri yang sering

digunakan sebagai indikator dalam

keadaan normal, dimana keadaan

kesehatan dan keseimbangan antara

intake dan kebutuhan gizi terjamin.

Berat badan memberikan gambaran

tentang massa tubuh. Massa tubuh

sangat sensitif terhadap perubahan

keadaan yang mendadak, misalnya

terserang infeksi, kurang nafsu makan

dan menurunnya jumlah makanan

Pengetahuan

Ibu

Kejadian

ISPA Jumla

h p 1

Kali

> 1

Kali

n % n % n %

Normal 10 16 8 20 18 36

0,016 Kurang 7 66 25 34 32 64

Jumlah 17 34 33 66 50 100

Page 48: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

45

yang dikonsumsi. BB/U lebih

menggambarkan status gizi sekarang.

Berat badan yang bersifat labil,

menyebabkan indeks ini lebih

menggambarkan status gizi seseorang

saat ini (Current Nutritional Status)

(Supariasa, dkk, 2001).

Kejadian ISPA

ISPA adalah penyakit infeksi

saluran pernapasan akut akibat

masuknya mikroorganisme ke dalam

tubuh dan biasanya berlangsung

hingga 14 hari.

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 50 sampel terdapat 33

orang (66,0%) > 1 kali dalam sebulan

dan 17 orang (34,0%) 1 kali dalam

sebulan. Kejadian ISPA dalam

penelitian ini dicatat setiap dua

minggu sekali (6 kali kunjungan).

Penyebab banyaknya bayi yang

mengalami ISPA > 1 dalam sebulan

dipengaruhi oleh status gizinya,

dimana bayi tersebut dalam kondisi

status gizi kurang.

Seorang bayi disebut

mengalami infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) bilamana anak tersebut

mengalami atau menunjukkan satu

atau lebih gejala-gejala tersebut.

Kejadian baru bila ISPA terjadi lagi

setelah tiga hari tanpa (bebas dari)

ISPA (Alam, dkk, 2011).

Banyak faktor yang

mempengaruhi Kejadian ISPA pada

bayi diantaranya adalah status gizi,

dimana status gizi yang kurang

menggambarkan tingkat kekebalan

bayi yang mudah terinfeksi oleh

penyakit lain seperti ISPA. disamping

itu keadaan lingkungan yang tidak

diteliti dalam penelitian ini turun

menentukan Kejadian ISPA yang

dialami bayi.

Penelitian ini sejalan dengan

teori yang dikemukakan oleh

Kemenkes RI (2008), bahwa banyak

faktor yang mempengaruhi kejadian

penyakit ISPA baik secara langsung

maupun tidak langsung. Menurut

Kemenkes (2008) menyebutkan

bahwa faktor penyebab ISPA pada

balita adalah status gizi buruk

Penyakit ISPA adalah penyakit

yang dapat menyerang semua

kelompok usia dari bayi, anak-anak

dan sampai orang tua. Terjadinya

infeksi saluran pernapasan pada anak

balita disamping adanya bibit

penyakit, juga dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu tingkat

pendapatan, pengetahuan, status gizi

dan status imunisas (Sumargono,

2006).

Penyakit yang ditandai dengan

keluhan batuk dan atau pilek (ingus)

dan atau batuk pilek dan atau sesak

nafas karena hidung tersumbat dengan

atau tanpa demam. Seorang bayi

disebut mengalami infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) bilamana

anak tersebut mengalami atau

menunjukkan satu atau lebih gejala-

gejala tersebut. Kejadian baru bila

ISPA terjadi lagi setelah tiga hari

tanpa (bebas dari) ISPA (Alam, dkk,

2011).

Pembahasan Bivariat

Hubungan Status Gizi Bayi dengan

Kejadian ISPA

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 50 sampel,sebagian besar

yaitu 25 orang (34,0%) mengalami > 1

kali Kejadian ISPA dan memiliki

status gizi kurang dan sebagian kecil

yakni 7 orang (66,0%) mengalami 1

kali Kejadian ISPA dengan status gizi

yang kurang.Berdasarkan hasil

analisis statistik menggunakan uji chi-

square diperoleh nilai p= 0,016 < α

Page 49: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

46

(0,05), sehingga dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan yang lemah

antara status gizi dengan kejadian

ISPA pada bayi 3-6 bulan di

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan.

Dalam penelitian ini juga

menunjukan bahwa dari 18 orang yang

status gizinya normal, masih terdapat

8 orang (20,0%) mengalami ISPA > 1

kali Kejadian, hal ini diduga

disebabkan oleh faktor lingkungan

yang juga turun menentukan ISPA,

dimana meskipun status gizinya

normal, namun apabila lingkungan

berasap ataupun berdebu, maka bayi

cenderung mengalami Kejadian ISPA.

Kemudian hasil penelitian ini juga

menunjukan bahwa dari 32 bayi yang

status gizinya kurang, masih terdapat

7 orang (66,0%) mengalami 1 kali

Kejadian ISPA, hal ini karena

meskipun status gizinya kurang,

namun bayi masih tetap memiliki daya

imunitas yang tinggi serta didukung

oleh keadaan lingkungan yang sangat

memungkinkan terhindar dari ISPA.

Penyakit infeksi dan gangguan

gizi sering terjadi secara bersamaan

dan saling mempengaruhi antara yang

satu dengan yang lainnya.Kaitan

penyakit infeksi dengan keadaan gizi

kurang merupakan hubungan timbal

balik, yaitu hubungan sebab

akibat.Kekurangan gizi atau malnutrisi

yang disebabkan asupan gizi tidak

adekuat dapat mengakibatkan

menurunnya berat badan, gangguan

pertumbuhan, menurunnya imunitas

dan kerusakan mukosa. Menurunnya

imunitas dan kerusakan mukosa

memegang peranan utama dalam

mekanisme pertahanan tubuh.

Kejadian, keparahan dan durasi

penyakit mempunyai kaitan erat

dengan kedua faktor tersebut.Penyakit

infeksi yang terjadi menyebabkan

kehilangan persediaan gizi sebagai

akibat respon metabolik dan

kehilangan melalui saluran cerna.

Pada saat bersamaan terjadi penurunan

nafsu makan yang pada gilirannya

menyebabkan asupan gizi menurun

(Supariasa, 2011).

Penelitian Sumargono (2006) di

Jakarta membuktikan bahwa status

gizi balita mempengaruhi terhadap

terjadinya kejadian ISPA ringan.

Status gizi bayi menggambarkan

keadaan nutrisi seseorang, Balita yang

status gizinya kurang cenderung

mengalami ISPA, karena saat status

gizinya kurang, daya immunitas tubuh

balita semakin rendah, sehingga dapat

menimbulkan penyakit lainnya

Penyakit infeksi dan kekurangan

gizi sering terjadi secara bersamaan

dan saling mempengaruhi. Keadaan

gizi yang disebabkan asupan makan

yang tidak memenuhi kebutuhan dapat

mengakibatkan menurunnya berat

badan dan gangguan pertumbuhan

serta menurunnya imunitas dan

kerusakan mukosa. Hal tersebut

berkaitan erat dengan kejadian,

keparahan, durasi dan Kejadian

penyakit infeksi. Penyakit infeksi

dapat menyebabkan kehilangan

persediaan gizi dan peningkatan

kebutuhan akibat dari sakit. Pada saat

bersamaan terjadi penurunan nafsu

makan yang pada gilirannya

menyebabkan asupan gizi menurun

(Kemenkes RI, 2008).

Kemenkes RI, (2008)

mengemukakan bahwa beberapa

penelitian terdahulu juga

menunjukkan bahwa malnutrisi

merupakan faktor risiko penting untuk

ISPA Anak yang menderita malnutrisi

berat dan kronis lebih sering terkena

ISPA dibandingkan anak dengan berat

badan normal. Penelitian yang

dilakukan oleh Dewi dkk (2007),

Page 50: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Muhammad Agusman Sorumba : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September-November 2014

Hal : 39 - 47

47

didapatkan hasil bahwa status gizi

kurang pada anak balita mempunyai

risiko untuk terkena ISPA 2,5 kali

lebih besar dibandingkan dengan anak

yang bergizi baik. Dalam penelitian

ini proporsi anak yang bergizi kurang

lebih banyak pada kasus (41,03%) dari

pada pembanding (25,64%).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Status gizi Bayi Umur 3 - 6 Bulan

di Puskesmas Ranomeeto

Kabupaten Konawe Selatan

sebagian besar yakni 32 orang

(64,0%) dalam kategori kurang.

2. Kejadian ISPA pada Bayi Umur 3

- 6 Bulan di Puskesmas

Ranomeeto Kabupaten Konawe

Selatan sebagian besar yakni 27

orang (54,0%) mengalami ISPA >

1 kali.

3. Ada hubungan yang lemah antara

status gizi dengan Kejadian Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

pada Bayi Umur 3 - 6 Bulan di

Puskesmas Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan.

Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi

kepada pemerintah dan instansi

terkait dalam menentukan

kebijakan dan perencanaan

program penanggulangan ISPA

2. Bagi penelitian, kiranya hasil

penelitian ini dapat menambah

pengetahuan dan cakrawala

berpikir serta sumbangan

pemikiran mengenai hubungan

status gizi dengan kejadian ISPA.

3. Agar dapat dijadikan sebagai dasar

penelitian analitik, serta mampu

menambah wawasan dalam ilmu

Gizi.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. S, 2001. Prinsip Dasar

Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Ambarwati, F.S. 2012. Gizi dan

Kesehatan Reproduksi.

Cakrawala Ilmu. Yogyakarta.

Dewi, dkk. 2007. Faktor Risiko Ispa

Pada Balita. http//:com.

Diakses Tanggal 10 Februari

2014.

Kemenkes RI, 2008. Pedoman

Pemberantasan Penyakit

ISPA. http/:com. Diakses

tanggal 10 Februari 2014.

Mubarak, 2011. Promosi Kesehatan

untuk Kebidanan. Salemba

Medika. Jakarta.

Notoatmodjo, 2005. Metodologi

Penelitian Kesehatan, Rineka

Cipta, Jakarta.

Prasetyawati. 2012. Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA),dalam

Milenium Development Goals

(MDGs). Penerbit Nuha

Medika, Yogyakarta.

Sumargono,2006. Hubungan Antara

Sanitasi Fisik Rumah Dengan

Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) Pada

Bayi Di Desa Cepogo

Kecamatan Cepogo

Kabupaten Boyolali.

http//:com. Di Akses Tanggal

1 Maret 2014.

Supariasa dkk, 2011, Penilaian Status

Gizi, EGC Jakarta.

Wati, 2010. Hubungan Kejadian

ISPA.

http://creasoft.wordpress.com.

Diakses pada tanggal 14 April

2014.

Page 51: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

48

PENGARUH PEMBERIAN JUS ALPUKAT TERHADAP PENURUNAN

TEKANAN DARAH PADA PENDERITA HIPERTENSI

1Heriyanto

Stikes Karya Kesehatan1

Abstrak

Hipertensi merupakan tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya

diatas 140 mgHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Alpukat merupakan

buah yang dapat menormalkan tekanan darah, hal ini karena adanya senyawa kalium

dan flavonoid dalam buah alpukat menyebabkan buah alpukat berefek menurunkan

tekanan darah.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus alpukat

terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di wilayah kerja

Puskesmas Motaha Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan. Penelitian ini

merupakan penelitian pra eksperimen dengan rancangan one group pre–post test dan

telah dilaksanakan pada tanggal 15-22 Februari di wilayah kerja puskesmas

Motaha. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita hipertensi baik

primer dan sekunder. tahun 2014 periode Januari-Februari sebanyak 86 orang dan

sampel sebanyak 46 orang yang diperoleh secara Accidental Sampling dan, data

diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji menggunakan uji paired sample t test.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 46 sampel, setelah diberikan jus

alpukat, sampel yang tekanan darahnya sedang mengalami penurunan sebesar 17,3%

begitu pula dengan penderita yang tekanan darahnya berat, mengalami penurunan

sebesar 26,2%, kemudian pada sampel yang tekanan darahnya rendah, setelah

diberikan jus alpukat meningkat sebesar 43,5%.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Tekanan darah penderita Hipertensi

sebelum diberikan jus alpukat, sebagian besar yakni 54,3% dalam kategori sedang

dan setelah diberikan jus alpukat, sebagian besar yakni 50,0% dalam kategori ringan

dan ada pengaruh pemberian jus alpukat terhadap penurunan tekanan darah pada

penderita hipertensi dengan nilai p=0,001. Saran dalam penelitian ini adalah bagi

masyarakat agar dapat menjadi sumber informasi tentang khasiat jus alpukat dalam

menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dan dapat menerapkan

pemberian jus alpukat untuk menurunkan tekanan darah. Bagi peneliti lain agar dapat

agar menjadi bahan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang gizi klinik menjadi

bahan pustaka dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya yang tertarik

untuk mengkaji masalah yang relevan dengan penelitian ini. Bagi peneliti agar

menjadi pengalaman nyata penerapan metodologi penelitian dan menambah

wawasan serta pengetahuan tentang manfaat jus alpukat terhadap penurunan tekanan

darah pada penderita hipertensi.

Kata Kunci : Tekanan Darah, Hipertensi dan Alpukat

Page 52: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

49

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan suatu

peningkatan abnormal tekanan darah

dalam pembuluh darah arteri secara

terus–menerus lebih dari suatu periode

hipertensi merupakan tekanan darah

persisten dimana tekanan sistoliknya

diatas 140 mgHg dan tekanan

diastoliknya di atas 90 mmHg

(Brunner & Suddarth, 2007)

Hipertensi atau tekanan darah

tinggi merupakan salah satu masalah

kesehatan yang cukup dominan dan

perlu mendapatkan perhatian, sebab

angka prevalensi yang tinggi dan juga

karena akibat jangka panjang yang

ditimbulkan mempunyai konsekuensi

tertentu. Penyakit hipertensi seringkali

tidak mempunyai tanda atau gejala

atau sering juga disebut “silent killer”

atau penyakit yang membunuh secara

diam-diam atau terselubung.

Masyarakat tidak menyadari kalau

mereka menderita hipertensi sampai

terjadi gangguan pada jantung, otak

atau ginjal (Hull, 2009)

Hipertensi membuka peluang

12 kali lebih besar bagi penderitanya

untuk menderita stroke dan 6 kali

lebih besar untuk serangan jantung,

serta 5 kali lebih besar kemungkinan

meninggal karena gagal jantung

(congestive heart failure). Penderita

hipertensi berisiko besar mengalami

gagal ginjal, di Amerika diperkirakan

sekitar 64 juta lebih penduduknya

yang berusia antara 18 sampai 75

tahun menderita hipertensi, separuh

dari jumlah tersebut pada awalnya

tidak menyadari bahwa dirinya sedang

diincar oleh pembawa maut yang

bernama hipertensi (Vitahealth, 2006).

Data Joint National Committee

on Prevention detection, Evaluation,

and Treatment on High Blood

Pressure 7 (JNC 7) mengungkap,

penderita hipertensi di seluruh dunia

mendekati angka 1 miliar. Artinya, 1

dari 4 orang dewasa menderita

tekanan darah tinggi. Lebih dari

separuh atau sekitar 600 juta

penderita, tersebar di Negara

berkembang, termasuk Negara

Indonesia, diperkirakan sekitar 80 %

kenaikan kasus hipertensi terutama

dinegara berkembang dari sejumlah

639 juta kasus ditahun 2000

diperkirakan menjadi 1.15 milyar

kasus ditahun 2025. Angka ini

menunjukkan, hipertensi bukan hanya

masalah Negara-negara maju.

Banyaknya penderita hipertensi

diperkirakan sebesar 15 juta bangsa

Indonesia tetapi hanya 4% yang

controlled hypertension, yang

dimaksud dengan hipertensi

terekendali adalah mereka yang

menderita hipertensi dan tahu bahwa

mereka menderita hipertensi dan

sedang berobat untuk itu (Bustan,

2007).

Pengobatan hipertensi

membutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Hal ini merupakan beban yang

besar baik untuk keluarga, masyarakat

maupun negara (Khasanah, 2012).

Untuk mengendalikan tekanan

darah, penderita hipertensi umumnya

minum obat setiap hari, akan tetapi

rutinitas ini sering tidak disukai

penderita. Selain membuat bosan dan

harganya relatif mahal, konsumsi obat

dalam jangka panjang membuat

penderita takut pada efek sampingnya.

pengobatan alternatif menjadi pilihan

beberapa orang untuk mengatasi

hipertensi. Salah satunya melakukan

terapi herbal yang telah diakui

kalangan medis untuk mengobati

hipertensi. Terapi ini menggunakan

tanaman yang telah terbukti secara

medis memiliki kandungan obat

herbal sebagai obat antihipertensi

(Nurrahmani, 2012).

Page 53: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

50

Pemanfaatan tumbuhan sebagai

obat tradisional masih selalu

digunakan masyarakat di Indonesia

terutama di daerah pedesaan yang

masih kaya dengan keanekaragaman

tumbuhannya. Selain murah dan

mudah didapat, obat tradisional yang

berasal dari tumbuhan pun memiliki

efek samping yang jauh lebih rendah

tingkat bahayanya dibandingkan obat-

obatan kimia (Rahardjo, 2007).

Salah satu tanaman herbal adalah

alpukat (persea americana milli)

merupakan buah yang sering dijumpai

buah serba guna ini memiliki banyak

manfaat dan khasiat bagi manusia.

Ada banyak manfaat zat yang kaya

manfaat yang terdapat dalam buah ini

(George Mateljan Foundation, 2010).

Bagian alpukat yang digunakan

untuk herbal adalah daging buah

(perseae fructus), daun (perseae

folium ), biji (perseae semen) dan kulit

pohon (perseae cortex). Daging buah

yang berwarna hijau dan lembek dapat

menghasilkan bubur yang halus sekali.

Oleh karena itu diolah dalam bentuk

jus (Nurheti, 2009).

Alpukat juga banyak

mengandung potassium atau kalium ,

mineral yang membantu menormalkan

tekanan darah dan mereka yang

mendapat potassium yang cukup,

punya resiko lebih kecil untuk terkena

penyakit yang berhubungan dengan

sirkulasi darah. Misalnya darah tinggi,

jantung dan stroke (Nurheti, 2009).

Menurut penelitian Nirwana

(2011) tentang Pengaruh Jus Alpukat

terhadap perubahan tekanan darah

sistolik dan diastolik pada penderita

hipertensi terjadi perubahan tekanan

darah karena adanya kandungan

kalium

Puskesmas Motaha yang berada

di Wilayah Kecamatan Angata

Kabupaten Konawe Selatan, Kota

Kendari Sulawesi Tenggara. Luas

Wilayah Kecamatan Angata terbagi

atas 26 desa dan jumlah penduduknya

1900 jiwa pada tahun 2012. Tetapi

sampai sekarang ini angka kelahiran

ibu semakin meningkat dan tentunya

penduduk di Wilayah Kecamatan

Angata juga akan meningkat (Data

puskesmas Angata, 2012)

Berdasarkan survei awal pada

Bulan Januari 2014 di puskesmas

Motaha, Sejak tahun 2011 penderita

hipertensi berjumlah 481 penderita

dan pada tahun 2012 mengalami

peningkatan, penderita hipertensi yang

berkunjung berjumlah 502 penderita,

tetapi pada awal 2014 pada bulan

berjumlah 486 penderita hipertensi

yang berkunjung dan masih ada

kemungkinan besar akan mengalami

peningkatan dan merupakan penyakit

ke dua dari sepuluh besar penyakit di

puskesmas motaha, atas dasar tersebut

maka peneliti memilih puskesmas

motaha sebagai lokasi penelitian (Data

Puskesmas Motaha, 2014).

Berdasarkan uraian di atas penulis

tertarik untuk meneliti lebih jauh

tentang “Pengaruh Pemberian Jus

Alpukat terhadap Penurunan Tekanan

Darah pada Penderita Hipertensi ”

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian

jus alpukat terhadap penurunan

tekanan darah pada penderita

hipertensi

2. Tujuan Khusus

2.1 Mengetahui gambaran tekanan

darah sebelum diberikan jus

alpukat pada penderita hipertensi.

2.2 Mengetahui gambaran tekanan

darah setelah diberikan jus

alpukat pada penderita hipertensi.

Page 54: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

51

2.3 Mengetahui pengaruh pemberian

jus alpukat terhadap penurunan

tekanan darah pada penderita

hipertensi.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik

1.1 Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi bahan ilmu

pengetahuan di bidang gizi klinik.

1.2 Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi bahan pustaka dan

informasi tambahan bagi

penelitian selanjutnya yang tertarik

untuk mengkaji masalah yang

relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan

informasi terhadap masyarakat

tentang jus alpukat dalam

menurunkan tekanan darah pada

penderita hipertensi dan

diharapkan masyarakat secara

umum juga menerapkan

pemberian jus alpukat untuk

menurunkan tekanan darah pada

penderita hipertensi agar tidak

hanya menggunakan obat-obatan.

3. Manfaat bagi peneliti

Sebagai pengalaman nyata

penerapan metodologi penelitian

dan menambah wawasan serta

pengetahuan tentang manfaat jus

alpukat terhadap penurunan

tekanan darah pada penderita

hipertensi.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini

menggunakan pra eksperimen yang

berbentuk rancangan one group pre–

post test.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan

pada tanggal 15-22 Februari 2014 di

wilayah kerja Puskesmas Motaha

Kecamatan Angata Kabupaten

Konawe Selatan.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh penderita hipertensi

baik primer dan sekunder di wilayah

kerja Puskesmas Motaha Kecamatan

Angata Kabupaten Konawe Selatan

tahun 2014 periode Januari-Februari

sebanyak 86 orang secara keseluruhan

kelompok usia.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini

adalah sebagian penderita hipertensi

sebanyak 86 orang. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian

ini menggunakan teknik

nonprobability sampling berupa

Accidental sampling yaitu

pengambilan sampel yang kebetulan

ada saat penelitian.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data Primer

1. Data identitas meliputi nama, umur,

jenis kelamin, pendidikan dan

pekerjaan responden melalui

wawancara dengan menggunakan

formulir mengumpulan data

2. Data tekanan darah diperoleh

melalui pengukuran tekanan darah

menggunakan tensimeter dan

stetoskop yang dilakukan oleh

tenaga medis yakni perawat di

Pukesmas Motaha.

3. Data pemberian jus alpukat dengan

melihat dan didampingi oleh

peneliti secara langsung penderita

hipertensi minum jus alpukat 200

cc sampai habis setelah 60 menit

kemudian ditensi kembali.

Page 55: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

52

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari

instansi terkait yang ada hubungannya

dengan penelitian ini. Data yang

diperoleh gambaran umum lokasi dan

data medical record pasien melalui

penulusuran dokumentasi di

Puskesmas Motaha Kecamatan Angata

Kabupaten Konawe Selatan

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan Data

1. Data identitas sampel berupa nama,

umur, jenis kelamin, pendidikan

dan pekerjaan diperolah dengan

wawancara menggunakan

kuesioner.

2. Data tekanan darah penderita

hipertensi diolah dengan

membandingkan hasil pengukuran

tekanan darah sampel dengan

kriteria objektif.

3. Data yang diperoleh dari hasil

pengukuran dan lembar observasi

diolah dengan menggunakan

komputer melalui program SPSS.

Analisis data

1. Analisis Univariat

Analisa univariat dilakukan

untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik

setiap variabel penelitian

(Notoatmodjo, 2005). Analisis ini

digunakan untuk mendeskripsikan

tekanan darah sebelum diberikan

jus alpukat dan sesudah diberikan

jus alpukat, meliputi rata-rata,

standar deviasi, nilai maksimum

dan minimum masing-masing

tekanan darah sistolik dan diastolic.

Analisa ini menghasilkan distribusi

dan persentasi dari tiap variabel

yang diteliti.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisa

yang digunakan untuk mencari

pengaruh antara variabel

independent dan variabel

dependent, untuk mengetahui

besarnya pengaruh pemberian jus

alpukat terhadap penurunan tekanan

darah digunakan uji t sampel

berpasangan atau paired sample t

test

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Umur

Tabel 1. Distribusi Umur Penderita

Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Motaha

Umur (Tahun) n %

46-49 19 41,3

50-59 27 58,7

Jumlah 46 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 1 menunjukan bahwa dari

46 sampel, sebagian besar yaitu 58,7

% pada kategori umur 50-49 tahun

dan selebihnya yaitu 41,3% pada

kategori umur 46 – 49 tahun.

Jenis Kelamin

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin

Penderita Hipertensi di

Wilayah Kerja Puskesmas

Motaha

Jenis Kelamin n %

Laki-Laki 27 58,7

Perempuan 19 41,3

Jumlah 46 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 2 menunjukan bahwa dari

36 responden sebagian besar yaitu

58,7 % berjenis kelamin Laki-Laki,

selebihnya 41,3% berjenis kelamin

Perempuan.

Page 56: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

53

Tingkat Pendidikan

Distribusi sampel berdasarkan

tingkat pendidikan dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 3. Distribusi Tingkat

Pendidikan Penderita

Hipertensi di Wilayah

Kerja Puskesmas Motaha

Pendidikan Ibu n %

SD 10 21,7

SMP 19 41,3

SMA 12 26,1

Akademik (DIII) 5 10,9

Jumlah 46 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 3 menunjukan bahwa dari

36 sampel terdapat 41,3 % tamatan

SMP, 26,1% tamatan SMA, 21,7%

tamatan SD dan 10,9% tamatan

Akademik (DIII).

Pekerjaan

Tabel 4. Distribusi Pekerjaan

Penderita Hipertensi di

Wilayah Kerja Puskesmas

Motaha

Pekerjaan n %

Pegawai Negeri Sipil 8 17,4

Wiraswasta 11 23,9

Petani 18 39,1

Ibu Rumah Tangga 9 19,6

Jumlah 46 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 4 menunjukan bahwa dari

36 sampel, terdapat 39,1% bekerja

sebagai petani, 23,9% adalah

wiraswasta, 19,6% adalah Ibu Rumah

Tangga, dan 17,4% adalah Pegawai

Negeri Sipil (PNS).

Gambaran Umum Variabel Penelitian

Analisis Univariat

Analisis univariat menjabarkan

distribusi variabel-variabel yang

diteliti yakni:

Tekanan Darah Sebelum Pemberian

Jus Alpukat (Pre-Test)

Tabel 5. Distribusi Tekanan Darah

Sebelum Pemberian Jus

Alpukat (Pre Test) pada

Penderita Hipertensi

Tekanan Darah

Sebelum Pemberian

Jus Alpukat

(Pre Test)

n %

Berat 18 39,2

Sedang

Ringan

25

3

54,3

6,5

Jumlah 46 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 5 menunjukan bahwa

dari 46 penderita hipertensi sebelum

diberikan jus alpukat sebagian besar

yakni 54,3% tekanan darahnya dalam

kategori sedang, 39,2% dalam

kategori berat dan 6,5% dalam

kategori ringan.

Tekanan Darah Setelah Pemberian

Jus Alpukat (Pre-Test)

Tabel 6 Distribusi Tekanan Darah

Setelah Pemberian Jus

Alpukat (Pre Test) pada

Penderita Hipertensi

Tekanan Darah

Setelah Pemberian

Jus Alpukat

(Post Test)

n %

Berat 6 13,0

Sedang 17 37,0

Ringan 23 50,0

Jumlah 46 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 6 menunjukan bahwa

dari 46 penderita hipertensi setelah

diberikan jus alpukat, sebagian besar

yakni 50,0% tekanan darahnya dalam

kategori ringan, 37,0% dalam

kategori sedang dan 13,0% dalam

kategori berat.

Page 57: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

54

Analisis Bivariat

Pengaruh Pemberian Jus Alpukat

terhadap Tekanan Darah

Tabel 7. Pengaruh pemberian jus

alpukat terhadap tekanan

darah Ibu Penderita

Hipertensi

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 7 menunjukan bahwa dari

46 sampel, sebelum diberikan jus

alpukat, terdapat 54,3% tekanan

darahnya sedang dan setelah diberikan

jus alpukat penderita yang tekanan

darahnya sedang menjadi 37,0%,

begitu pula dengan penderita yang

tekanan darahnya berat, sebelum

diberikan jus alpukat terdapat 39,2%

yang tekanan darahnya berat dan

setelah diberikan jus alpukat,

penderita yang tekanan darahnya berat

menjadi 13,0%. Kemudian pada

sampel yang tekanan darahnya rendah,

sebelum diberikan jus alpukat terdapat

6,5% dan setelah diberikan jus alpukat

bertambah menjadi 50,0%.

Hasil uji statistik menggunakan

uji T-test dengan 1 sampel bebas

antara tekanan darah sebelum dan

setelah pemberian jus alpukat,

diperoleh nilai P=0,001 (P<0,05)

berarti hipotesis alternatif diterima dan

hipotesis nol ditolak, sehingga

disimpulkan bahwa ada pengaruh

pemberian jus alpukat terhadap

tekanan darah penderita hipertensi.

PEMBAHASAN

Tekanan Darah Sebelum Pemberian

Jus Alpukat

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukan bahwa dari 46 penderita

hipertensi sebelum diberikan jus

alpukat sebagian besar yakni 54,3%

tekanan darahnya dalam kategori

sedang, 39,2% dalam kategori berat

dan 6,5% dalam kategori ringan.

Pengelompokan sampel yang

bertekanan darah ringan (hipertensi

ringan) apabila hasil pengukuran

tekanan darah sistoliknya mencapai

140-159 mmHg, dan dikatakan

bertekanan darah sedang (hipertensi

sedang) apabila tekanan darah

sistoliknya 160-179 mmHg dan

dikategorikan memiliki tekanan darah

berat (hipertensi berat) apabila

tekanan darah sistoliknya > 180

mmHg. Tingginya tekanan darah

penderita Hipertensi umumnya

disebabkan oleh faktor usia dimana

berdasarkan hasil penelitian sebagian

besar yaitu 58,7 % pada kategori

umur 50-49 tahun dan selebihnya

yaitu 41,3% pada kategori umur 46 –

49 tahun. Semakin tinggi usia

seseorang, maka lebih mudah

mengalami hipertensi dibanding

seseorang yang berusia muda

(Khasanah, 2012).

Hasil penelitian ini sejalan

dengan pendapat Armilawaty (2007)

yang mengemukakan bahwa banyak

faktor yang mempengaruhi terjadinya

hipertensi, baik yang dapat dikontrol

maupun tidak dapat dikontrol. Faktor

risiko yang tidak dapat dikendalikan

atau tidak dapat kontrol yaitu umur,

jenis kelamin dan genetik . Hipertensi

umumnya dijumpai pada umur lebih

dari 40 tahun dan ditinjau dari jenis

kelamin perempuan lebih berisiko

dibandingkan dengan laki-laki.

Individu dengan riwayat keluarga

Tekanan

Darah

Pemberian Jus

Alpukat Hasil

Uji Pre Test Post Test

n % n %

Berat 18 39,2 6 13,0

0,001 Sedang 25 54,3 17 37,0

Ringan 3 6,5 23 50,0

Total 46 100 46 100

Page 58: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

55

hipertensi mempunyai risiko dua kali

lebih besar untuk menderita hipertensi

dari pada orang yang tidak

mempunyai keluarga dengan riwayat

hipertensi.

Hipertensi merupakan faktor

risiko utama untuk terjadinya penyakit

jantung, gagal jantung kongesif,

stroke, gangguan penglihatan dan

penyakit ginjal. Tekanan darah yang

tinggi pada umumnya meningkatkan

risiko terjadinya komplikasi tersebut.

Hipertensi yang tidak di obati akan

mempengaruhi semua sistem organ

dan akhirnya memperpendek harapan

hidup sebesar 10-20 tahun.

Komplikasi yang terjadi pada

hipertensi ringan dan sedang

mengenai mata, ginjal, jantung dan

otak.Komplikasi pada mata berupa

perdarahan retina, gangguan

penglihatan sampai dengan kebutaan.

Gagal jantung merupakan kelainan

yang sering di temukan pada

hipertensi berat selain kelainan

koroner dan miokard. Kelainan lain

yang dapat terjadi adalah proses

tromboemboli dan serangan iskemia

otak sementara (transient ishemic

attack/TIA). Gagal ginjal sering

dijumpai sebagai komplikasi

hipertensi yang lama dan pada proses

akut seperti hipertensi maligna.

Tekanan Darah Setelah Pemberian

Jus Alpukat

Hipertensi merupakan suatu

peningkatan abnormal tekanan darah

dalam pembuluh darah arteri secara

terus–menerus lebih dari suatu periode

Seseorang dikatakan mengalami

hipertensi jika tekanan darahnya

melebihi 140/90 mmHg

(sistolik/diastolik). Ketika kadar

natrium dalam darah tinggi dan tidak

dapat dikeluarkan oleh ginjal, volume

darah meningkat karena natrium

bersifat menarik dan menahan air.

Peningkatan ini menyebabkan jantung

bekerja lebih keras untuk mengalirkan

darah ke seluruh pembuluh tubuh

(Brunner & Suddarth, 2007)

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 46 penderita hipertensi

setelah diberikan jus alpukat, sebagian

besar yakni 50,0% tekanan darahnya

dalam kategori ringan, 37,0% dalam

kategori sedang dan 13,0% dalam

kategori berat.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Amran.

Y, dkk, (2010) menunjukan bahwa

dari jus alpukat dapat menurunkan

tekanan darah penderita Hipertensi

Dalam proses penelitian ini,

peneliti menggunakan alpukat

mantega (Persea Americana Mill)

dalam proses pembutan jus, hal ini

untuk mengefisienkan proses

pembuatan jus, dimana dengan

menggunakan 1 alpukat mantega, jus

yang dihasilkan mencapai 400 cc,

sehingga untuk 1 buah alpukat bisa

diberikan kepada 2 orang penderita

hipertensi dan masing-masing

penderita hipertensi mendapat 200 cc

jus alpukat

Hasil penelitian ini menunjukan

setelah pemberian jus alpukat

sebagian besar tekanan darah menjadi

ringan. Hal ini dilakukan karena

peranan jus alpukat yang dapat

menurunkan tekanan darah,dimana

sebelum pengukuran penelitian beserta

tenaga perawat melakukan

pengukuran tekanan darah, dan

memberikan Jus alpukat, setelah

berselang 60 menit, tekanan darah

pasien rata-rata mengalami penurunan

rata-rata 10 mmHg, sehingga sampel

yang tadinya memiliki tekanan darah

sedang menurun menjadi ringan dan

yang berat menjadi sedang.

Page 59: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

56

Penelitian ini pula sejalan

dengan penelitian Nirwana (2011)

tentang Efektifitas waktu dalam

pemberian jus alpukat, dimana pada

menit ke 60, penentuan tekanan darah

penderita Hipertensi dapat dideteksi

dengan baik, hal ini berkaitan dengan

proses penyerapan jus alpukat, yang

beraksi setelah 1 jam mengkonsumsi

jus alpukat. Buah alpukat mengandung

nutrisi yang sangat tinggi yaitu asam

folat, asam pantotenat, niasin, vitamin

B1, B6, C, dan E. Buah alpukat juga

mengandung mineral yaitu fosfor, zat

besi, kalium, magnesium, dan

glutation, juga kaya akan serat dan

asam lemak tak jenuh tunggal

(Wijoyo, 2009). Selain itu, buah

alpukat juga mengandung saponin,

alkaloid, flavonoid, dan tanin

(Nurheti, 2009).

Pengaruh Pemberian Jus Alpukat

Terhadap Tekanan Darah

Penderita Hipertensi

Tekanan darah tinggi atau

hipertensi adalah kondisi medis

dimana terjadi peningkatan tekanan

darah secara kronis atau dalam jangka

waktu yang lama. Tekanan darah

adalah kekuatan yang dihasilkan oleh

darah terhadap setiap satuan luas

dinding pembuluh. Tekanan darah

arteri dinyatakan dalam millimeter air

raksa (mmHg) karena manometer air

raksa telah dipakai sebagai rujukan

baku untuk pengukuran tekanan darah

(Dewi. S & Familia. D, 2010).

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 46 sampel, sebelum

diberikan jus alpukat, terdapat 54,3%

tekanan darahnya sedang dan setelah

diberikan jus alpukat penderita yang

tekanan darahnya sedang menjadi

37,0%, begitu pula dengan penderita

yang tekanan darahnya berat, sebelum

diberikan jus alpukat terdapat 39,2%

yang tekanan darahnya berat dan

setelah diberikan jus alpukat,

penderita yang tekanan darahnya berat

menjadi 13,0%. Kemudian pada

sampel yang tekanan darahnya rendah,

sebelum diberikan jus alpukat terdapat

6,5% dan setelah diberikan jus alpukat

bertambah menjadi 50,0% (Tabel 5.8).

Hasil uji statistik menggunakan uji T-

test, diperoleh nilai P=0,001 (P<0,05),

sehingga disimpulkan bahwa ada

pengaruh pemberian jus alpukat

terhadap tekanan darah penderita

hipertensi.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

Nirwana (2011) yang mengemukakan

bahwa ada pengaruh jus alpukat

terhadap tekanan darah penderita

hipertensi dengan nilai p=0,002.

Alpukat dapat menurunkan

tekanan darah karena adanya senyawa

kalium dan flavonoid dalam buah

alpukat. Kalium dapat menurunkan

tekanan darah dengan cara

meningkatkan ekskresi natrium,

menekan sekresi renin, menyebabkan

dilatasi arteriol dan mengurangi

respon terhadap vasokonstriktor

endogen. Sedangkan flavonoid bekerja

sebagai Angiotensin Converting

Enzym (ACE) inhibitor dengan

menghambat pembentukan

angiotensin II dari angiotensin I.

Dengan berkurangnya jumlah

angiotensin II, efek vasokonstriksi dan

sekresi aldosteron semakin berkurang

untuk reabsorpsi natrium dan air.

Akhirnya tekanan darah akan menurun

(Nurrahmani, 2012).

Penelitian ini sejalan dengan

pendapat Khasanah (2012) yang

mengemukakan bahwa konsumsi

kalium dalam jumlah yang tinggi

dapat melindungi individu dari

hipertensi dan apabila pemenuhan

kalium kurang dari minimum maka

Page 60: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

57

jantung akan berdebar-debar detaknya

dan menurunkan kemampuan untuk

memompa darah. Asupan kalium yang

meningkat akan menurunkan tekanan

darah sistolik dan diastolic. Cara kerja

kalium adalah kebalikan dari natrium.

Konsumsi kalium yang banyak akan

meningkatkan konsentrasinya didalam

cairan intraselular, sehingga

cenderung menarik cairan dari bagian

ekstraselular dan menurunkan tekanan

darah. Rasio kalium dan natrium

dalam diet berperan dalam mencegah

dan mengendalikan hipertensi.

Suplements potasium 2-4 gram

perhari dapat membantu penurunan

tekanan darah, Potasium umumnya

bayak didapati pada beberapa buah-

buahan dan sayuran. Buah dan

sayuran yang mengandung potasium

dan baik untuk di konsumsi penderita

tekanan darah tinggi antara lain

semangka, alpukat, melon, buah pare,

labu siam, bligo, labu parang/labu,

mentimun, lidah buaya, seledri,

bawang dan bawang putih.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tekanan darah penderita

Hipertensi sebelumdiberikan jus

alpukat, sebagian besar yakni

54,3% dalam kategori sedang.

2. Tekanan darah penderita

Hipertensi setelah diberikan jus

alpukat, sebagian besar yakni

50,0% dalam kategori ringan.

3. Ada pengaruh pemberian jus

alpukat terhadap penurunan

tekanan darah pada penderita

hipertensi dengan nilai p=0,001,

artinya penderita hipertensi

berisiko 0,001 kali untuk

mengalami penurunan tekanan

darah.

Saran

1. Bagi masyarakat agar dapat

menjadi sumber informasi tentang

khasiat jus alpukat dalam

menurunkan tekanan darah pada

penderita hipertensi dan dapat

menerapkan pemberian jus alpukat

untuk menurunkan tekanan darah

2. Bagi peneliti lain agar dapat agar

menjadi bahan pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang gizi

klinik menjadi bahan pustaka dan

informasi tambahan bagi

penelitian selanjutnya yang tertarik

untuk mengkaji masalah yang

relevan dengan penelitian ini

3. Bagi peneliti agar menjadi

pengalaman nyata penerapan

metodologi penelitian dan

menambah wawasan serta

pengetahuan tentang manfaat jus

alpukat terhadap penurunan

tekanan darah pada penderita

hipertensi.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani dan Wirjatmadi, 2012.

Peranan Gizi dalam Siklus

Kehidupan. Kencana Prenada

Media Group. Jakarta.

Amran. Y, dkk, 2010. Pengaruh

Tambahan Asupan Kalium

dari Diet terhadap Penurunan

Hipertensi Sistolik Tingkat

Sedang pada Lansia

Basha, A., 2005. Kelebihan Berat

Badan Hubungannya

Dengan Penyakit Jantung

Koroner. Jurnal Kardiologi

Indonesia.Volume: 20, No: 4,

Oktober – Desember.

Bruner & Suddarth, 2007.Buku ajar

patologi II.EGG : Jakarta

Bustam, 2007. HIpertensi dan

Penangannya. Karya Medika.

Jakarta.

Page 61: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Vol.1 No.1 September - Novermber 2014 Hal. 48 - 58

58

Dewi. S & Familia. D, 2010. Alpokat

dan Hipertensi. Nuha Medika.

Yogyakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tenggara, 2013. Profil dinas

kesehatan provinsi Sulawesi

tenggara. Kendari.

George Mateljan Foundation, 2010.

Keajaiban

Hull, 2009. Penyakit jantung ,

hipertensi dan nutrisi. Bumi

aksara. Jakarta.

Rahardjo P, 2007. Pengaruh Jus

Tomat Terhadap Perubahan

Tekanan Darah Sistolik dan

Diastolik Pada Penderita

hipertensi

Sugiono, 2011.Statistik Untuk

Penelitian. Edisi Revisi,

Alfabeta ; Bandung

Khasanah, N., 2012. Waspadai

Beragam Penyakit Degeneratif

Akibat Pola Makan.

Transmedia. Yogyakarta.

Notoatmodjo Soekidjo, 2005.

Metodologi Penelitian. Rineka

Cipta, Jakarta.

,2007.Kesehatan Masyarakat

Ilmu dan Seni. Rineka Cipta,

Jakarta.

Nurheti, 2009. Khasiat Buah Alpokat

bagi Penderita Hipertensi.

Mulya Sentosa. Jakarta.

Prasetyawati, 2012. Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA). Nuha Medika.

Yogyakarta.

Proverawati, 2010. Ilmu Gizi untuk

Keperawatan dan Gizi

Kesehatan. Nuha

Medika.Yogyakarta.

Puskesmas Motaha, Profil

Puskesmas Motaha Kecamatan

Angata Kabupaten Konawe

Selatan. 2013.

Shanty, M., 2012. Silent Killer

Disease. PT. Buku Kita.

Yogyakarta.

Taufik, 2010. Keunggulan Buah

Alpokat. Nuha Medika.

Yogyakarta

Vita health, 2006. Hipertensi. PT

Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

.

Page 62: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

59

HUBUNGAN POLA MENYUSUI DAN USIA PENYAPIHAN

DENGAN STATUS GIZI ANAK BADUTA (6-24 BULAN)

DI KOTA KENDARI TAHUN 2014

1Putu Eka M.E.

FKM Universitas Haluoleo1

Abstrak

Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah

ASI yang diperoleh termasuk energy dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam

ASI tersebut. Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara

memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena

ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung

protein dan kalori,seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping

ASI.

Penelitianini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola menyusui dan usia

penyapihan dengan status gizi anak baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun

2014.

Penelitian ini merupakan Deskripstif Analitik dengan rancangan desain cross

sectional study dan telah dilaksanakan pada tanggal 21 s/d 28 Februari 2014 di Kota

Kendari. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai anak

Baduta usia 6-24 bulan di Kota Kendari yaitu 415 orang dan sampel sebanyak 52

orang yang diambil secara Purporsive Sampling, data diperoleh menggunakan

kuesioner dan di uji menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian diperoleh dari 33 Baduta yang status gizinya kurang, sebagian

besar yakni 77,8% pola menyusuinya dalam kategori dan dari 19 Baduta yang status

gizinya cukup, sebagian besar yakni 68,7% pola menyusuinya dalam kategori

kurang.Kemudian dari 33 Baduta yang status gizinya kurang, sebagian besar yakni

76,8% usia penyapihannya dalam kategori tidak tepat dan dari 33 Baduta yang status

gizinya kurang, sebagian besar yakni 76,8% usia penyapihannya dalam kategori

tidak tepat.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah hubungan pola menyusui dan usia

penyapihan dengan status gizi anak baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun

2014, dengan nilai p=0,001 untuk pola menyusui dan p=0,015 untuk usia

penyapihan. Saran dalam penelitian ini adalah bagi pihak Dinas Kesehatan Kota

Kendari agar dapat menentukan kebijakan-kebijakan dalam upaya menanggulangi

masalah status gizi kurang dan upaya penyapihan yang tepat. Bagi ibu balita agar

meningkatkan melakukan penyapihan pada bayi saat berumur 6 bulan. Bagi peneliti

selanjutnya agar dapat mengkaji faktor-faktor penyebab tidak tepatnya usia

penyapihan yang dilakukan ibu baduta dan penyebab rendahnya status gizi Baduta.

Kata Kunci : Pola Menyusui, Usia Penyapihan, dan Status Gizi

Page 63: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

60

PENDAHULUAN

Tumbang (pertumbuhan dan

perkembangan) bayi sebagian besar

ditentukan oleh jumlah ASI yang

diperoleh termasuk energi dan zat gizi

lainnya yang terkandung didalam ASI

tersebut. Setelah itu ASI hanya berfungsi

sebagai sumber protein vitamin dan

mineral utama untuk bayi yang

mendapatkan makanan tambahan yang

tertumpu pada beras atau makanan

lainnya. Bila kesehatan ibu setelah

melahirkan baik, menyusui merupakan

cara memberi makan yang paling ideal

untuk 4-6 bulan pertama sejak

dilahirkan, karena ASI dapat memenuhi

kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak

lagi cukup mengandung protein dan

kalori, seorang bayi mulai memerlukan

minuman/makanan pendamping ASI

(Waryana, 2012).

Anak bawah dua tahun (Baduta)

merupakan anggota keluarga yang

memerlukan perhatian khusus orang tua.

Pada usia ini anak masih tergantung,

baik secara fisik maupun non fisik

kepada orang dewasa. Pada usia anak

Baduta, umumnya anak masih disusui

(diberi ASI) dan belum bisa makan serta

minum sendiri. Mereka memerlukan

pertolongan dalam berbagai kegiatan dan

mereka belum memahami hal-hal yang

membahayakan dirinya (Ambarwati,

2012).

Faktor lain yang tidak langsung

mempengaruhi status gizi anak adalah

riwayat pola menyusui, yang merupakan

uraian pola menyusui yang diterima anak

dari ibunya pada waktu bayi yang

meliputi pemberian Kolostum, ASI

ekslusif, dan ASI diberikan sesuai

permintaan. Pemberian ASI saja tanpa

bantuan makanan atau minuman lainnya

sering disebut dengan “Pemberian ASI

Ekslusif” ASI memberi semua

kebutuhan energi dan nutrient yang

diperlukan untuk tumbuh sehat. ASI

mengandung bahan anti infeksi yang

melindungi anak dari diare dan penyakit

lainny (Ramaiah, 2006).

Berdasarkan penelitian

Rasmaniar (2007) pada suku Moronene

Kabupaten Bombana menemukan bahwa

ibu yang memiliki riwayat pola

menyusui kurang, beresiko 3,47 kali

anak badutanya mengalami gizi kurang

dibanding yang memiliki riwayat pola

menyusui cukup. Penelitian lain yang

dilakukan Amir, (2008) pada anak

dibawah tiga tahun (Balita) di Kabupaten

Sukoharjo yang menyatakan bahwa anak

balita yang tidak diberi ASI eksklusif

beresiko 2,86 kali mengalami KEP

dibanding anak yang diberi ASI

eksklusif.

Penelitian Marriot (2007) dalam

Amir (2008) yang melibatkan 20 negara

termasuk Indonesia yang dilakukan

tahun 1999-2003, melaporkan bahwa

hampir seluruh bayi di Indonesia

(92,3%) umur 0-6 bulan pernah

mendapat ASI. Sebaliknya 43% bayi

tersebut telah mendapatkan makanan

setengah padat,disamping itu 23% telah

mendapat susu formula.

Banyak faktor yang berpengaruhi

terjadinya gizi kurang, salah satunya

yaitu pemberian ASI ekslusif. 18% ibu

di Indonesia memberi air susu ibu (ASI)

ekslusif selama 4 hingga 5 bulan.

Presentase itu jauh dari target nasional

80%. Rendahnya pemberian ASI ekslusif

karena para ibu belum mengetahui

manfaat ASI bagi kesehatan anak, ibu

dan mengurangi pengeluaran keluarga

untuk belanja susu formula. Walaupun

umumnya ibu memberikan ASI pada

bayi tetapi pemberian ASI eksklusif

masih rendah dan diduga terdapat

beberapa faktor yang kurang mendukung

pemberian ASI eksklusif, seperti

pemberian makanan dan minuman

Page 64: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

61

terlalu dini, pengganti ASI termasuk

susu formula (Suhandayani, 2007).

Prevalensi Gizi buruk Sulawesi

Tenggara pada tahun 2009 adalah gizi

2,19% dan gizi kurang 12,4 %.

Sedangkan tahun 2010 gizi buruk

sebesar 5,03% dan gizi kurang sebesar

17,8%, data pada tahun 2011,

menunjukkan bahwa prevalensi status

gizi kurang sebesar 25,2% dan status gizi

buruk sebesar 2,5%. sedangkan di Kota

Kendari menunjukan bahwa status gizi

balita di Kota Kendari Tahun 2012 yaitu

gizi buruk 1,3% dan gizi kurang 3,8%

kemudian meningkat pada tahun 2013

menunjukan dari 3.370 Baduta terdapat

107 orang (3,2%) mengalami gizi buruk

dan gizi kurang terdapat 356 baduta

(10,56%) (Profil Dinkes, 2013).

Adapun alasan peneliti mengkaji

tentang pola menyusui dan usia

penyapihan disebabkan karena pada saat

ini, banyak ibu yang tidak melakukan

pola menyusui yang baik, dimana ibu

cenderung tidak memberikan ASI pada

bayinya, pada penelitian ini juga dikaji

tentang penyapihan karena, adanya

kecenderungan orang tua yang menyapih

anaknya sebelum berusia 6 bulan,

dengan menggunakan makanan yang

belum mampu dicerna oleh bayi. Pola

menyusui dan usia penyapihan sangat

mempengaruhi status gizi baduta, hal ini

karena berhubungan erat dengan

pemberian ASI ekslusif dan pemberian

nutrisi yang tepat pada bayinya, dimana

pada usia baduta merupakan usia dimana

bayi sangat tergantung pada ibunya

dalam hal pemenuhan nutrisi yang sesuai

dengan kebutuhannya.

Berdasarkan uraian di atas,

maka penulis telah melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan Pola

Menyusui dan Usia Penyapihan dengan

Status Gizi Anak Baduta (6-24 bulan) di

Kota Kendari Tahun 2014”.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui riwayat pola menyusui

anak baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari Tahun 2014.

2. Mengetahui usia penyapihan pada

anak baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari Tahun 2014.

3. Mengetahui status gizi pada anak

baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari

Tahun 2014.

4. Mengetahui hubungan riwayat pola

menyusui dengan status gizi anak

baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari

Tahun 2014.

5. Mengetahui hubungan usia

penyapihan dengan status gizi anak

baduta (6-24 bulan) di Kota Tahun

2014.

Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi, memberikan informasi

bagi pemerintah khususnya bagi

Dinas Kesehatan Kota Kendari

dalam penentuan arah kebijakan

program penanggulangan masalah

gizi yang berkaitan dengan pola

menyusui dan penyapihan.

2. Bagi masyarakat khususnya ibu

menyusui, diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran

dalam pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang kesehatan,

disamping itu hasil penelitian ini

dapat di jadikan bahan rujukan bagi

penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis, merupakan suatu

pengalaman yang sangat berharga

dalam mengaplikasikan ilmu yang

telah didapat dan menambah

wawasan pengetahuan

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah

Deskripstif Analitik dengan rancangan

cross sectional study, dimana subjek

penelitian diamati pada waktu

Page 65: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

62

bersamaan, artinya tiap subjek hanya

diobservasi satu kali saja dan

pengukuran variabel subjek dilakukan

pada saat pemeriksaan tersebut.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilakukan

pada tanggal 21-28 Februari 2014 di

Puskesmas se-Kota Kendari.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi pada penelitian ini

adalah semua ibu yang mempunyai anak

Baduta usia 6-24 bulan di Kota Kendari

yaitu 415 orang.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah ibu

yang mempunyai anak Baduta usia 6-24

sebanyak 52 orang. Teknik pengambilan

sampel dilakukan dengan menggunakan

Purporsive Sampling yakni teknik

pengambilan sampel berdasarkan kriteria

yan ditetapkan oleh peneliti. Adapun

kriteria tersebut sebagai berikut:

1. Bayi lahir normal.

2. Bayi dalam keadaan sehat atau tidak

dalam keadaan sakit kronis.

3. Ibu yang pernah menyusui atau

sedang menyusui Bersedia untuk

menjadi sampel.

4. Mampu berkomunikasi dengan baik.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan Data

1. Data karateristik sampel seperti,

umur, diolah dengan

mengklasifikasikan jawaban

responden.

2. Data pola menyusui dan usia

penyapihan diolah dengan cara

menghitung skor jawaban responden

kemudian dibandingkan dengan

kriteria objektif.

3. Data Status gizi diolah berdasarkan

hasil perhitungan Z-Skor kemudian

dibandingkan dengan kriteria objektif.

Analisis Data

Untuk menganalisis “Hubungan

Pola Menyusui dan Usia Penyapihan

dengan Status Gizi Anak Baduta (6-24

bulan)” digunakan analisis univariat dan

bivariat kemudian digunakan “Uji Chi-

Square”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Umur Ibu

Tabel 1 Distribusi Umur Ibu Baduta

(6-24 bulan) di Kota Kendari

Tahun 2014

Umur Ibu (Tahun) n %

< 20 1 1,9

20-35 50 96,2

> 35 1 1,9

Jumlah 52 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 1 menunjukan bahwa dari 52

sampel, sebagian besar yaitu 92,1% pada

kategori umur 20-35 tahun, 5,9% pada

kategori umur > 20 tahun dan 2,0% pada

kategori umur > 35 tahun.

Umur Anak Balita

Distribusi umur Baduta dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 2. Distribusi Umur Baduta (6-24

bulan) di Kota Kendari

Umur Baduta (Bulan) n %

6-11 10 19,2

12-23 41 78,8

24-35 1 1,9

Jumlah 52 100

Data Primer Terolah, 2014 Tabel 2 menunjukan bahwa dari 52

sampel, sebagian besar yaitu 78,8% pada

kategori umur 12-23 bulan, 19,2% pada

kategori umur 6-11 bulan dan 1,9%

pada kategori umur 24-35 bulan.

Page 66: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

63

Pendidikan Ibu

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu

Baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari

Pendidikan Ibu n %

Tidak Tamat SD 8 15,4

Tamat SD 14 26,9

Tamat SMP 17 32,7

Tamat SMA 10 19,3

Tamat Diploma 2 3,8

Perguruan Tinggi (S1) 1 1,9

Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 3 menunjukan bahwa dari 52

sampel sebagian besar yaitu 32,7%

pendidikan ibu adalah tamatan SMP dan

sebagian kecil yaitu 1,9% adalah tamatan

perguruan tinggi (S1).

Jenis Pekerjaan Ibu Tabel 4. Distribusi Jenis Pekerjaan Ibu

Baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari

Pekerjaan Ibu n %

IRT 19 36,5

Petani 11 21,2

Pedagang 16 30,8

PNS 6 11,5

Jumlah 52 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 4 menunjukan bahwa dari

52 sampel sebagian besar yaitu 36,5%

Ibu Rumah Tangga dan sebagian kecil

yakni 11,5% adalah PNS.

Gambaran Umum Variabel Penelitian

Variabel Univariat

Pola Menyusui

Tabel 5. Distribusi Pola Menyusui

Baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari

Pola Menyusui n %

Cukup 16 40,8

Kurang 36 69,2

Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 201

Tabel 5 menunjukan bahwa dari

52 sampel sebagian besar yaitu 69,2%

pola menyusuinya dalam kategori

kurang, selebihnya 40,8% pola

menyusuinya dalam kategori cukup.

Usia Penyapihan

Tabel 6. Distribusi Usia Penyapihan

Baduta (6-24 bulan) di Kota

Kendari

Usia Penyapihan n %

Tepat 19 36,5

Tidak Tepat 33 64,3

Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 6 menunjukan bahwa dari

52 sampel sebagian besar yaitu 64,3%

usia penyapihan dalam kategori tidak

tepat, selebihnya 36,5% usia penyapiham

dalam kategori tepat.

Status Gizi Baduta

Distribusi status gizi Baduta

dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Distribusi Status Gizi Baduta

(6-24 bulan) di Kota Kendari Status Gizi n %

Baik 19 36,5

Kurang 33 63,4

Jumlah 52 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 7 menunjukan bahwa dari

52 sampel sebagian besar yaitu 63,4%

mengalami status gizi kurang, selebihnya

36,5% status gizinya baik.

Variabel Bivariat

Hubungan Pola Menyusui dengan

Status Gizi Baduta

Hubungan pola menyusui dengan

status gizi Baduta dapat dilihat pada

tabel 8 sebagai berikut:

Page 67: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

64

Tabel 8. Hubungan Pola Menyusui

dengan Status Gizi Baduta (6-

24 bulan) di Kota Kendari

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 8 menunjukan bahwa dari 33

Baduta yang status gizinya kurang,

sebagian besar yakni 77,8% pola

menyusuinya dalam kategori kurang dan

31,2% dalam kategori cukup, kemudian

dari 19 Baduta yang status gizinya

cukup, sebagian besar yakni 68,7% pola

menyusuinya dalam kategori kurang dan

22,2% pola menyusuinya dalam kategori

baik.

Berdasarkan analisis statistik dengan

menggunakan uji Chi-Square diperoleh

nilai p = 0,001, sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan pola

menyusui dengan status gizi Baduta.

Hubungan Usia Penyapihan dengan

Status Gizi

Tabel 9. Hubungan Usia Penyapihan

dengan Status Gizi Baduta (6-

24 bulan) di Kota Kendari

Data Primer Terolah, 2014 Tabel 9 menunjukan bahwa dari 33

Baduta yang status gizinya kurang,

sebagian besar yakni 76,8% usia

penyapihannya dalam kategori tidak

tepat dan 42,1% dalam kategori tepat,

kemudian dari 33 Baduta yang status

gizinya kurang, sebagian besar yakni

76,8% usia penyapihannya dalam

kategori tidak tepat dan 24,2% usia

penyapihannya dalam kategori tidak

tepat.

Berdasarkan analisis statistik dengan

menggunakan uji Chi-Square diperoleh

nilai p = 0,015, sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan usia

penyapihan dengan status gizi Baduta.

PEMBAHASAN

1. Pola Menyusui

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 52 sampel sebagian besar

yaitu 69,2% pola menyusuinya

dalam kategori kurang, selebihnya

40,8% pola menyusuinya dalam

kategori cukup. Kurangnya pola

menyusui yang diterapkan ibu

Baduta disebabkan oleh faktor

pendidikan ibu, dimana berdasarkan

hasil penelitian menunjukan bahwa

32,7% pendidikan ibu adalah

tamatan SMP dan sebagian kecil

yaitu 1,9% adalah tamatan perguruan

tinggi (S1). Rendahnya pendidikan

ibu, menyebabkan ibu tidak dapat

menerapkan pola menyusui yang

baik, seperti memberikan kolostrum

pada saat bayi lahir, menyusui

menggunakan payudara kiri dan

kanan.

Sebaiknya menyusui bayi tanpa

dijadwal (on demand), karena akan

menentukan sendiri kebutuhannya.

Ibu harus menyusui bayinya bila bayi

menangis bukan karena sebab lain

contohnya karena bayi kencing atau

ibu sudah merasa perlu menyusui

bayinya. Bayi yang sehat dapat

mengosongkan satu payudara sekitar

5-7 menit dan ASI dalam lambung

bayi akan kosong dalam waktu 2

jam. Pawalnya bayi akan menyusu

dengan jadwal yang tidak teratur, dan

akan mempunyai pola tertentu

setelah 1-2 minggu kemudian.

Pola

Menyusui

Status Gizi Total

p Baik Kurang

n % n % n %

Cukup 11 68,7 5 31,2 16 100

0,001 Kurang 8 22,2 28 77,8 36 100

Total 19 36,5 33 63,5 52 100

Usia

Penyapihan

Status Gizi

Total p Baik

Kura

ng

n % n % n %

Tepat 11 57,9 8 42,1 19 36,5

0,015 TidakTepat 8 24,2 25 76,8 33 63,5

Jumlah 19 36,5 33 63,5 52 100

Page 68: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

65

2. Usia Penyapihan

Penelitian ini menunjukan

bahwa dari 52 sampel sebagian besar

yaitu 64,3% usia penyapihan dalam

kategori tidak tepat, selebihnya

36,5% usia penyapiham dalam

kategori tepat. Usia penyapihan

dalam kategori tidak tepat apabila

ibu memberikan makanan selain ASI

saat bayi berusia < 6 bulan. Peyebab

tidak tepatnya penyapihan pada

Baduta adalah karena rendahnya

tingkat pendidikan sehingga memicu

kurangnya pengetahuan yang

dimiliki ibu khususnya dalam

pemberian ASI Ekslusif pada

Baduta. Pemberian MP-ASI

terlalu dini akan mengurangi

konsumsi ASI, dan bila terlambat

akan menyebabkan bayi kurang gizi.

Sebenarnya pencernaan bayi sudah

mulai kuat sejak usia 4 bulan. Pada

bayi yang mengkonsumsi ASI,

makanan tambahan dapat diberikan

pada usia 6 bulan. Tetapi bila bayi

mengkonsumsi susu formula sebagai

pengganti ASI, maka makanan

tambahan ini dapat diberikan pada

saat usia 4 bulan (Anonim, 2011).

Proses penyapihan dimulai

pada saat yang berlainan. Ada

beberapa kelompok masyarakat

(budaya) tertentu, bayi tidak akan

disapih sebelum usia 6 bulan.

Bahkan ada yang baru memulai

penyapihan setelah bayi berusia 2

tahun (kasus ekstrem 4 tahun).

Sebaiknya, pada masyarakat urban,

bayi disapih terlalu dini, yaitu baru

beberapa hari lahir sudah diberikan

makanan tambahan.

Petunjuk penyapihan dapat

dilakukan dengan cara pada saat jam

makan dapat memberikan anak

makanan padat terlebih dahulu

kemudian susu formula, sehingga

anak makan selagi lapar dan minum

sebagai pelepas rasa haus,

memperkenalkan makanan baru

dengan cara memberikan satu atau 2

sendok teh setiap makan. Tambahkan

sedikit demi sedikit menjadi 3-5

sendok teh. Memberikan makanan

padat dari mangkuk atau piring,

jangan mencampur sereal dengan

ASI atau susu formula dalam botol

susu. Anak harus selalu diajarkan

perbedaan apa yang dimakan dan apa

yang diminum. Perhatikan baik-baik

isyarat sang anak, bila masih lapar

akan membuka mulut jika sudah

kenyang akan mendorong atau

membelakangi makanan. Bersabarlah

dengan anak anda pada saat

memperkenalkan makanan padat,

kadang-kadang anak perlu waktu

untuk membiasakan diri dengan

makanan atau cara makan yang

baru.Panduan pemberian makanan

untuk penyapihan dalam tahun

pertama khususnya anak 6-12 bulan.

3. Status Gizi

Penelitian ini menunjukan

bahwa dari 52 sampel sebagian besar

yaitu 63,4% mengalami status gizi

kurang, selebihnya 36,5% status

gizinya baik. Kurangnya status gizi

Baduta disebabkan oleh faktor

kurangnya penerapan pola menyusui

yang baik dan didukung oleh usia

penyapihan yang tidak tepat

dilakukan oleh ibu Baduta.

Hasil penelitian diperoleh

bahwa dari 68 sampel sebagian besar

yaitu 55,9% memiliki status gizi

kurus dan 44,1% memiliki status

gizi dalam kategori normal.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh

Manalu (2008) menunjukan bahwa

sebagian besar (57,2%) dalam

kategori kurang.

Page 69: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

66

Baduta merupakan salah satu

golongan paling rawan gizi,m karena

adanya perubahan yang cepat dan

mencolok, dengan adanya masa vital ini,

maka pemeliharaan gizi sangat penting

untuk diperhatikan. Jika tidak akan

mengganggu proses pertumbuhan secara

maksimal (Adriani dan Wirjatmadi,

2012).

Salah satu penyebab gizi kurang

pada Batita adalah rendahnya konsumsi

makanan, yang disertai dengan

rendahnya perilaku gizi keluarga. Ada

beberapa faktor domain yang saling

berhubungan dalam mempengaruhi

konsumsi pangan dan gizi keluarga

adalah pengetahuan gizi keluarga

(khususnya ibu) dan tingkat pendapatan

keluarga. Disamping itu Kurangnya

status gizi anak batita disebabkan karena

pada masa anak batita merupakan masa

pertumbuhan dan perkembangan, tanpa

di imbangi dengan asupan makanan yang

adekuat akan mempengaruhi status gizi

(Prabantini, 2010).

Kurang gizi terjadi karena jumlah

energi dan zat gizi lainnya yang

dikonsumsi tidak memenuhi kebutuhan

yang sangat meningkat pada masa Batita.

Kebutuhan nutrisi pada masa Batita terus

meningkat seiring dengan pertumbuhan

dan perkembangan. Status gizi kurang

terjadi bila tubuh mengalami kekurangan

satu atau lebih zat-zat gizi esensial.

Konsumsi makanan berpengaruh

terhadap status gizi seseorang. Status

gizi baik atau status gizi optimal terjadi

bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang digunakan secara efisien,

sehingga menunjang pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja

dan kesehatan secara umum pada tingkat

setinggi mungkin (Idrus, 2011).

4. Hubungan Pola Menyusui dengan

Status Gizi Baduta

Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa ada hubungan

pola menyusui dengan status gizi

dengan nilai p=0,001. Hal ini karena

pola menyusui yang kurang dapat

mempengaruhi status gizi anak

baduta sehingga, penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Rasmaniar (2007)

pada anak bawah dua tahun (6-24

bulan) di Kabupaten Moronene

menyatakan bahwa ibu yang

memiliki riwayat pola menyusui

kurang beresiko 3,47 kali anak

bawah dua tahun (6-24 bulan)

mengalami gizi kurang dibanding ibu

yang memiliki riwayat pola

menyusui cukup.Seperti penelitian

sebelumnya, Suryono, dkk (2003).

Anak bawah dua tahun (baduta) di

Kabupaten Sukoharjo menyatakan

bahwa anak baduta yang tidak diberi

ASI Eksklusif beresiko 2,86 kali

mengalami KEP dibanding anak

yang diberi ASI Ekslusif .

Manalu(2008) menjelaskan

bahwa. Menyusui secara eksklusif

berarti bahwa bayi hanya

mendapatkan makanan berupa ASI

dari ibunya, tidak ada penambahan

cairan lain, tidak ada tetesan atau

sirup yang berisi vitamin, tidak ada

makanan tambahan atau jamu.

Sasarannya adalah bayi berusia

kurang sampai dengan 4 bulan atau

sampai 6 bulan.

5. Hubungan Usia Penyapihan

dengan Status Gizi Baduta

Penelitian ini menunjukan

bahwa ada hubungan antara usia

penyapihan dengan status gizi,

dengan nilai p=0,015.

Page 70: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

67

Hal ini karena usia penyapihan

yang kurang tepat pada anak baduta

dapat mempengaruhi status gizi,

sehingga hasil penelitian ini sejalan

dengan Penelitian lain yang dilakukan

oleh Rasmaniar (2007) menunjukan

bahwa anak bawah dua tahun yang

disapih saat berusia kurang dari 12 bulan

beresiko mengalami gizi kurang 1,6 kali

lebih tinggi dibandingkan anak bawah

dua tahun yang disapih saat berusia lebih

dari 12 bulan.

Penelitian Amir (2008) juga

mengemukakan bahwa ada pengaruh

yang signifikan antara umur anak bawah

dua tahun disapih dengan status gizi

anak bawah dua tahun, makin besar

umur anak pertama kali disapih maka

akan semakin buruk status gizinya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Riwayat pola menyusui anak baduta

(6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun

2014 sebagian besar yakni 69,2%

dalam kategori kurang.

2. Usia penyapihan pada anak baduta

(6-24 bulan) di Kota Kendari Tahun

2014 sebagian besar yakni 64,3%

usia dalam kategori tidak tepat.

3. Status gizi pada anak baduta (6-24

bulan) di Kota Kendari Tahun 2014

sebagian besar yakni 63,4% dalam

kategori kurang.

4. Ada hubungan riwayat pola

menyusui dengan status gizi anak

baduta (6-24 bulan) di Kota Kendari

Tahun 2014, dengan nilai p=0,001.

5. Ada hubungan usia penyapihan

dengan status gizi anak baduta (6-24

bulan) di Kota Kendari Tahun 2014,

dengan nilai p=0,015.

Saran

1. Bagi Puskesmas se-Kota Kendari

agar dapat menentukan kebijakan-

kebijakan dalam menanggulangi

masalah status gizi kurang dan upaya

penyapihan yang tepat.

2. Bagi ibu balita agar meningkatkan

melakukan penyapihan pada bayi

saat berumur 6 bulan.

3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat

mengkaji faktor-faktor penyebab

tidak tepatnya usia penyapihan yang

dilakukan ibu baduta dan penyebab

rendahnya status gizi Baduta.

DAFTAR PUSTAKA

Adriani dan Wirjatmadi, 2012. Peranan

Gizi dalam Siklus Kehidupan.

Kencana Prenada Media Group.

Jakarta

Almatsier. Sunita, 2001. Prinsip Dasar

Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Amir,A.,2008. Pengaruh Penyuluhan

Model Pendampingan Terhadap

Perubahan Status Gizi Anak Usia

6 – 24 bulan. Tesis Program

Pascasarjana Universitas

Diponegoro Semarang

Ambarwati F.R, 2012. Gizi dan

Kesehatan Reproduksi.

Cakrawala Ilmu. Yogyakarta.

Anonim, 2007 Hubungan Antara

Pekerjaan Ibu, Tingkat

Pengetahuan, Status Gizi Dengan

Waktu Penyapihan.

______, 2010. Profil Puskesmas

Perumnas Kota Kendari.

Propinsi Sultra. Kendari.

______, 2011. Hubungan Antara

Pengetahuan, Pekerjaan Ibu,

Status Gizi Anak Dengan Waktu

Penyapihan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Gubug Kabupaten

Grobogan.http://www.Health.co

m. Diakses 21 November 2012.

Page 71: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

68

Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur

Kehidupan. EGC. Jakarta

Depkes, RI., 2010 Survey Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT).Badan

Litbang – BPS. Jakarta.

________, RI., 2011. Pedoman

Manajemen Puskesmas

Peningkatan Kesehatan Keluarga

dan Gizi. Jakarta

Djoko, 2006.Gizi Seimbang untuk Ibu

Menyusui. Prima Media Pustaka.

Jakarta

Idrus, 2011. Menyusui. PT. Grafika

Multi Warna. Jakarta

Manalu, A., 2008. Pola Makan Dan

Penyapihan Serta Hubungan

Dengan Status Gizi Batita Didesa

Palip Kecamatan Silima Pungga-

Pungga Kab. Dairi Tahun 2008.

http://www. health.com.Diakses

tanggal 21 Oktober 2014.

Maryunani, 2011. Ilmu Kesehatan Anak

dalam Kebidanan. Trans Info

Media. Jakarta.

Nadesul, 2007. Faktor – Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian

ISPA Pada Balita Di Puskesmas

Pati I Kabupaten Pati Tahun

2006. Skripsi Kesehatan

Masyarakat Pada Universitas

Negeri Semarang.

Nirwana, 2011. Kapita Selekta

Kehamilan. Nuha Medika.

Yogyakarta.

Notoatmodjo S, 2005. Metodologi

Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.

,2007.Kesehatan Masyarakat

Ilmu dan Seni. Rineka Cipta,

Jakarta.

Prabantini, 2010. Makanan Pendamping

ASI. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Proverawati dan Kusumawati, 2010.

Ilmu Gizi untuk Keperawatan

dan Gizi Kesehatan. Nuha

Medika.Yogyakarta.

Rasmaniar, 2007. Analisis faktor resiko

emosional bonding

(Attachemen) dan akibatnya

terhadap Status Gizi Anak

Bawah Dua Tahun(Baduta)

pada suku Moronene Kab.

Bombana. Program Pasca

sarjana Unhas Makassar.

Ramaiah S, 2006. ASI dan menyusui. PT

Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.

Sunartyo N, 2005. Panduan Merawat

Bayi dan Balita agar Tumbuh

Sehat dan Cerdas. Diva Press.

Yogyakarta.

Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status

Gizi. Penerbit Buku Kedokteran

ECG. Jakarta.

Waryana, 2010. Gizi Reproduksi.

Pustaka Rihamma. Yogyakarta.

Page 72: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jurnal Gizi Ilmiah Volume 1 No.1, September - November 2014 Hal. 59 - 69

69

Page 73: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

70

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PEKERJAAN IBU

DENGAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF PADA BAYI 7-12 BULAN

DI PUSKESMAS BENU-BENUA KOTA KENDARI

1Jenny Qlifianti Demmalewa

Stikes Karya Kesehatan1

Abstrak

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang paling baik untuk bayi. ASI

mempunyai komposisi yang unik, sempurna susunan biokimiawi untuk kebutuhan

bayi, dan melindungi bayi dari bahaya kekurangan gizi maupun penyakit infeksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan

pekerjaan ibu dengan pemberian ASI Esklusif pada Bayi 0-6 Bulan di Puskesmas

Benu-Benua Kota Kendari.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan desain

cross sectional study dan telak dilaksanakan pada tanggal 6 - 23 Agustus 2014 di

wilayah kerja puskesmas Benu-Benua. Populasi dalam penelitian ini adalah semua

ibu yang memiliki bayi 6-12 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari sebanyak 108 orang.dan sampel sebanyak 85 orang yang diambil secara

purporsive random sampling, data diperoleh menggunakan kuisioner dan di uji

menggunakan uji Chi-Square.

Skripsi diperoleh yaitu dari 85 sampel sebagian besar yaitu 55,3%

pengetahuan ibu dalam kategori kurang, 51,8% ibu tidak bekerja (Ibu Rumah

tangga), 68,2% tidak memberikan ASI Esklusif kepada anakya. Kemudian dari 58

ibu yang tidak memberikan ASI Esklusif, sebagian besar yakni 70,7%

pengetahuannya dalam kategori kurang dan 58,6% ibu bekerja. Kemudian dari 27 ibu

memberikan ASI Esklusif, sebagian besar yakni 77,8% pengetahuan ibu dalam

kategori cukup dan 74,1% ibu ibu tidak bekerja .

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan tingkat pengetahuan

dan status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI Esklusif pada Bayi 0-6 Bulan di

Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari. Saran dalam penelitian ini adalah bagi tenaga

pelaksana gizi Puskesmas Benu-Benua, hendaknya memberikan penyuluhan kepada

ibu bayi tentang pentingnya nutrisi yang terkandung dalam Air Susu Ibu. bagi anak

balita, sehingga meningkatkan pengetahuan ibu- khususnya dalam pemilihan

makanan yang bernutrisi bagi bayinya. Bagi ibu agar senantiasa memberikan

makanan yang bernutrisi sesuai kebutuhan anaknya dan bagi masyarakat hendaknya

mengikuti perkembangan informasi kesehatan khususnya menyangkut anak balita

melalui kegiatan penyuluhan maupun dari media cetak dan elektronik.

Kata Kunci :Pengetahuan, Status Pekerjaan,Pendapatan Keluarga dan Status

Gizi

Page 74: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

71

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan

kesehatan menuju Indonesia sehat

2010 adalah meningkatnya kesehatan,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat

bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan yang optimal melalui

tercipta masyarakat bangsa dan

Negara Indonesia yang ditandai

dengan perilaku sehat memiliki

kemampuan untuk menjangkau

pelayanan kesehatan yang bermutu

secara adil dan merata, serta memiliki

derajat kesehatan optimal di seluruh

tanah air (Almatsier, 2001).

Almatsier (2001)

menyatakan, bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi kualitas manusia

adalah tingkat kesehatan, sedangkan

tingkat kesehatan pada hakekatnya

dipengaruhi oleh keadaan gizi

khususnya pada awal kehidupan yang

dikenal dengan masa bayi.

Kebutuhan bayi akan zat gizi

sangat tinggi untuk mempertahankan

kehidupannya. Kebutuhan tersebut

dapat tercukupi dengan memberikan

Air susu Ibu (ASI) kepada bayi. ASI

yang pertama keluar biasanya dikenal

dengan kolostrum yang memiliki

kadar protein yang lebih tinggi dari

ASI matur. Tetapi kandungan lemak

dan laktosannya (gula darah) lebih

rendah dari ASI matur. Kolostrum

juga mengandung vitamin A, B6,

B12, C, D, K dan mineral, terutama

zat besi dan kalsium. Komposisi

seperti itu sangat tepat untuk

memenuhi kebutuhan gizi bayi baru

lahir. Sama halnya dengan ASI matur,

kolostrum juga mengandung enzim-

enzim pencernaan yang belum

mampu diproduksi oleh tubuh bayi,

seperti protease (untuk menguraikan

protein), lipase (untuk menguraikan

lemak) dan amilasi (untuk

menguraikan karbohidrat). Ini

membuat kolostrum mudah sekali

dicerna oleh sistem pencernaan bayi

yang memang belum sempurna

(Pudjiadji, 2000).

Air Susu Ibu (ASI) adalah

makanan yang paling baik untuk bayi.

ASI mempunyai komposisi yang unik,

sempurna susunan biokimiawi untuk

kebutuhan bayi, dan melindungi bayi

dari bahaya kekurangan gizi maupun

penyakit infeksi. Banyak faktor yang

mempengaruhi seorang ibu dalam

menyusui secara ekslusif kepada

bayinya, faktor sistem dukungan,

pengetahuan ibu terhadap pemberian

ASI secara ekslusif, promosi susu

formula dan makanan tambahan

mempunyai pengaruh terhadap

praktek pernberian ASI ekslusif itu

sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut

dapat memberikan dampak negatif

maupun positif dalam memperlancar

pemberian ASI eksklusif (Santoso dan

Ranti, 2009).

Adapun faktor lain

mempengaruhi pemberian ASI adalah

faktor sosial budaya ekonomi

(pendidikan formal ibu, pendapatan

keluarga dan status kerja ibu), faktor

psikologis (takut kehilangan daya tarik

sebagai wanita, tekanan batin), faktor

fisik ibu (ibu yang sakit), faktor

kurangnya petugas kesehatan sehingga

masyarakat kurang mendapat

penerangan atau dorongan tentang

manfaat pemberian ASI eksklusif

(Soetjiningsih, 2007).

Meskipun menyusui sudah

menjadi budaya Indonesia namun

upaya meningkatkan perilaku ibu

menyusui ASI esklusif masih

diperlukan karena pada kenyataannya,

praktek pemberian ASI esklusif belum

dilaksanakan sepenuhnya. Penyebab

utama adalah rendahnya pengetahuan

Page 75: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

72

ibu tentang pentingnya ASI bagi bayi

dan dirinya, pelayanan kesehatan dan

petugas kesehatan yang belum

sepenuhnya mendukung program

penggunaan ASI, selain itu kurangnya

kepedulian dan dukungan suami untuk

memberi kesempatan kepada ibu

untuk menyusui secara esklusif. Suami

memiliki andil yang cukup besar

dengan kondisi psikis ibu menyusui.

Bentuk psikis yang dapat diberikan

antara lain menemani ibu saat ibu

menyusui (Notoatmodjo, 2007).

Pemberian ASI di Indonesia

mencapai 40,13%. Provinsi Sulawesi

Tenggara, pada tahun 2011 prevalensi

ibu menyusui yang memberikan ASI

Esklusif adalah 54,81%, kemudian

pada tahun 2012 hanya sekitar 33,48%

dan pada tahun 2013 semakin

menurun hingga 30,14% ibu yang

memberikan ASI Esklusif (Profil

Kesehatan Kota Kendari, 2013).

Hasil observasi awal yang

dilakukan pada tanggal pada

November 2013 di wilayah kerja

puskesmas Benu-Benua menunjukan

bahwa dari 10 ibu, hanya 40 % yang

pengetahuannya cukup sedangkan ibu

yang pengetahuannya kurang

sebanyak 60,0%. Disamping itu hasil

penelusuran juga menunjukan bahwa

sebagian besar ibu tersebut memiliki

pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga

namun tidak memberikan ASI kepada

anaknya.

Berdasarkan data yang

diperoleh dari Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari, di ketahui bahwa

Cakupan pemberian ASI di Puskesmas

Benu-Benua menduduki urutan ke 2

terendah dalam hal pemberian ASI

Esklusif setelah Puskesmas Mata

yakni sebanyak 29,61 % tahun 2012

dan pada tahun 2013 mengalami

penurunan hingga mencapai 20,89%

(Register Laporan Puskesmas Benu-

Benua, 2013).

Berdasarkan data di atas,

penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai Hubungan

Tingkat Pengetahuan dan Pekerjaan

Ibu dengan Pemberian ASI Esklusif

pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari Sulawesi Tenggara.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan

tingkat pengetahuan dan pekerjaan

ibu dengan pemberian ASI

Esklusif pada Bayi 7-12 Bulan di

Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari.

2. Tujuan Khusus

2.1 Mengetahui tingkat pengetahuan

ibu Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas

Benu-Benua Kota Kendari.

2.2 Mengetahui Status Pekerjaan ibu

Bayi 7-12 Bulan di Puskesmas

Benu-Benua Kota Kendari.

2.3 Mengetahui pemberian ASI

Esklusif pada Bayi 7-12 Bulan di

Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari.

2.4 Mengetahui hubungan tingkat

pengetahuan ibu dengan

pemberian ASI Esklusif pada Bayi

7-12 Bulan di Puskesmas Benu-

Benua Kota Kendari.

2.5 Mengetahui hubungan status

pekerjaan ibu dengan pemberian

ASI Esklusif pada Bayi 7-12

Bulan di Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari.

Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi

Sebagai bahan informasi bagi

instansi terkait khususnya

mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi pemberian ASI

Esklusif pada bayi sehingga dapat

Page 76: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

73

di jadikan landasan dalam

memberikan pelayanan kesehatan.

2. Bagi masyarakat khususnya ibu

menyusui

Menambah informasi dan

pengetahuan kepada para ibu

menyusui tentang pentingnya ASI

Esklusif sehingga diharapkan

dapat meningkatkan kesadaran

para ibu untuk memberikan ASI

Esklusif.

3. Bagi penulis

Merupakan suatu pengalaman

dalam mengaplikasikan ilmu

pengetahuan yang telah diperoleh

dibangku perkuliahan.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah

observasional dengan rancangan

desain cross sectional study, dimana

subjek penelitian diamati pada waktu

bersamaan, artinya tiap subjek hanya

diobservasi satu kali saja dan

pengukuran variabel subjek dilakukan

pada saat pemeriksaan tersebut.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada

tanggal 6-23 Februari 2014 di

Puskesmas Benu-Benua Kota Kendari.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini

adalah semua ibu yang memiliki bayi

7-12 bulan di Puskesmas Benu-Benua

Tahun 2014 periode Januari sebanyak

108 orang.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini

adalah ibu yang mempunyai bayi 7-12

bulan sebanyak 85 orang. Teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan Purporsivel Random

Sampling dengan kriteria sampel

sebagai berikut:

1. Memiliki bayi 7-12 bulan

2. Terdaftar dibuku register

Puskesmas Benu-Benua

3. Sehat/Tidak Sakit

4. Bersedia menjadi responden.

5. Dapat berkomunikasi dengan baik

dan benar

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Data primer berupa data identitas,

tingkat pengetahuan dan pekerjaan

ibu serta data pemberian ASI

Esklusif diperoleh melalui

wawancara secara langsung

dengan menggunakan kuesinoner.

2. Data sekunder yaitu data

demografi/profil Puskesmas Benu-

Benua meliputi letak geografis,

ketenagaan, sarana dan prasarana,

sosial ekonomi, dan lain – lain,

dapat diperoleh dari hasil

penelusuran dokumen.

Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data pengetahuan dan

pekerjaan ibu serta pemberian ASI

Esklusif diolah berdasarkan skor

jawaban responden di jumlahkan

kemudian dibandingkan dengan

kriteria objektif.

2. Analisis Data

Analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis

univariat yakni analisis yang

digunakan untuk menggambarkan

variabel-variabel penelitian dan

analisis bivariat yakni analisis

yang digunakan untuk

menganalisis hubungan antara dua

variabel dengan menggunakan

rumus Chi-Square.

Page 77: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

74

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sampel

Umur Ibu

Tabel 1. Distribusi Umur Ibu di

Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari

Umur Ibu (Tahun) n %

< 20 3 3,5

20-35 68 80,0

> 35 14 16,5

Jumlah 85 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 1 menunjukan bahwa dari

85 sampel, sebagian besar yaitu 80,0%

pada kategori umur 20-35 tahun,

16,5% pada kategori umur > 35 tahun

dan 3,5% pada kategori umur < 20.

Pendidikan Ibu

Tabel 2. Distribusi Pendidikan Ibu

di Wilayah Kerja

Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari Provinsi

Sulawesi Tenggara

Pendidikan Ibu n %

Tamat SD 15 17,6

Tamat SMA 17 20,0

Tamat SMP 36 43,4

Perguruan Tinggi

(DIII/S1) 17 20,0

Jumlah 85 100

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 2 menunjukan bahwa

dari 85 sampel sebagian besar yaitu

43,4% pendidikan ibu adalah tamatan

SMP, Kemudian 20,0% pendidikan

ibu masing-masing tamatan SMA dan

tamatan SD dan Perguruan Tinggi (S1

dan DIII) dan 17,6% tamatan SD.

Gambaran Umum Variabel Penelitian

Analisis Univariat

Pengetahuan Ibu

Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Ibu

di Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari

Pengetahuan Ibu n %

Cukup 38 44,7

Kurang 47 55,3

Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 3 menunjukan bahwa

dari 85 sampel sebagian besar yaitu

55,3% pengetahuan ibu dalam

kategori kurang, selebihnya 44,7%

pengetahuan ibu dalam kategori

cukup.

Status Pekerjaan Ibu

Tabel 4. Distribusi Status Pekerjaan

Ibu di Puskesmas Benu-

Benua Kota Kendari

Pekerjaan n %

Bekerja 41 48,2

Tidak Bekerja 44 51,8

Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014

Tabel 4 menunjukan bahwa

dari 85 responden sebagian besar yaitu

51,8% ibu tidak bekerja (Ibu Rumah

tangga) dan sebagian kecil yakni

48,2% ibu memiliki pekerjaan.

Pemberian ASI Esklusif

Tabel 5 Distribusi Pemberian ASI

Esklusif pada Bayi 7-12

Bulan di Puskesmas Benu-

Benua Kota Kendari

Pemberian ASI

Esklusif n %

Esklusif 27 31,8

Tidak Esklusif 58 68,2

Jumlah 85 100 Data Primer Terolah, 2014

Page 78: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

75

Tabel 5 menunjukan bahwa dari

85 sampel sebagian besar yaitu 68,2%

tidak memberikan ASI Esklusif

kepada anakya dan selebihnya 31,8%

memberikan ASI Esklusif.

Analisis Bivariat

Hubungan Tingkat Pengetahuan

Gizi Ibu dengan Pemberian ASI

Esklusif

Tabel 6. Hubungan Tingkat

Pengetahuan Ibu dengan

Pemberian ASI Esklusif

pada Bayi 7-12 Bulan di

Puskesmas Benu-Benua

Kota Kendari

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 6 menunjukan bahwa

dari 58 ibu yang tidak memberikan

ASI Esklusif, sebagian besar yakni

70,7% pengetahuannya dalam kategori

kurang dan 29,3% dalam kategori

cukup kemudian dari 27 ibu

memberikan ASI Esklusif, sebagian

besar yakni 77,8% pengetahuannya

dalam kategori cukup dan 22,2%

dalam kategori kurang.

Berdasarkan analisis statistik

dengan menggunakan uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0,001, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara pengetahuan ibu

dengan pemberian ASI Esklusif.

Hubungan Tingkat Status

Pekerjaan Ibu dengan Pemberian

ASI Esklusif

Tabel 7. Hubungan Status Pekerjaan

Ibu dengan Pemberian ASI

Esklusif pada Bayi 7-12

Bulan di Puskesmas Benu-

Benua Kota Kendari

Data Primer Terolah, 2014

Tabel 7 menunjukan bahwa

dari 58 ibu yang tidak memberikan

ASI Esklusif, sebagian besar yakni

58,6% ibu bekerja dan 41,4% ibu

tidak bekerja kemudian dari 27 ibu

memberikan ASI Esklusif, sebagian

besar yakni 74,1% ibu tidak bekerja

dan 25,9% ibu ibu bekerja .

Berdasarkan analisis statistik

dengan menggunakan uji Chi-Square

diperoleh nilai p = 0,005, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara status pekerjaan ibu

dengan pemberian ASI Esklusif.

PEMBAHASAN

Tingkat Pengetahuan Ibu

Pengetahuan yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah

pengetahuan ibu tentang pemberian

ASI Esklusif pada bayinya.

Pengetahuan adalah informasi yang

diperoleh ibu tentang definisi ASI

ekslusif, manfaat ASI Esklusif dan

waktu pemberian ASI Esklusif.

Berdasarkan hasil penelitian

dapat diketahui bahwa dari 85 sampel

sebagian besar pengetahuan ibu dalam

Status

Pekerja

an Ibu

Pemberian

ASI Total

p Esklusif

Tidak

Esklusif

n % n % n %

Bekerja 7 25,9 34 58,

6 41 48,2

0,001 T.Bekerja 20 74,1 24 41,

4 44 51,8

Total 27 100 58 100 85 100

Pengetah

uan Ibu

Pemberian ASI

Total p Esklusif

Tidak

Esklusif

n % n % n %

Cukup 21 77,8 17 29,3 38 44,7

0,001 Kurang 6 22,2 41 70,7 47 55,3

Total 27 100 58 100 85 100

Page 79: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

76

kategori kurang, selebihnya 44,7%

pengetahuan ibu dalam kategori

cukup.Kurangnya tingkat pengetahuan

gizi ibu khususnya dalam pemberian

ASI Esklusif disebabkan ibu tidak

memahami tentang manfaat ASI pada

anaknya. Pengetahuan yang dimiliki

seseorang berkaitan erat dengan

pendidikannya. Dimana berdasarkan

hasil penelitian terdapat dari

menunjukan bahwa dari 85 sampel

sebagian besar yaitu 40,6%

pendidikan ibu adalah tamatan SMP,

Kemudian 21,8% pendidikan ibu

tamatan SMA, dan masing-masing

18,8% pendidikan ibu tamatan SD dan

Perguruan Tinggi (S1 dan DIII).

Pendidikan ibu masih dalam kategori

rendah sehingga mempengaruhi

pengetahuan yang dimilikinya.

Pendidikan merupakan dasar

untuk menentukan daya tangkap dan

daya nalar serta menentukan

cakrawala berpikir bagi seseorang

untuk menganalisa setiap perubahan

yang ada serta mempengaruhi daya

nalar seseorang sehingga pada

akhirnya akan tahu sesuatu yang

belum diketahuinya dan akan

termotivasi untuk melakukannya

setelah mengerti maksud dan

tujuannya pemberian makanan bergizi,

diharapkan bahwa dengan pendidikan

yang tinggi, maka orang tersebut akan

semakin luas pula pengetahuannya.

Akan tetapi perlu ditekankan, bukan

berarti seseorang yang berpendidikan

rendah, mutlak berpengetahuan rendah

pula. Hal ini mengingat bahwa,

peningkatan pengetahuan tidak mutlak

di peroleh dari pendidikan non formal.

Pengetahuan seseorang tentang suatu

obyek mengandung dua aspek yaitu

positif dan negatif. Kedua aspek

ilmiah yang pada akhirnya akan

menentukan sikap seseorang tentang

suatu obyek tertentu. Semakin banyak

aspek positif dan obyek yang

diketahui, maka akan menimbulkan

sikap makin positif terhadap obyek

tertentu (Notoatmodjo, 2007).

Status Pekerjaan Ibu

Pekerjaan menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah mata

pencaharian, apa yang dijadikan

pokok kehidupan, sesuatu yang

dilakukan untuk mendapatkan nafkah.

Lamanya seseorang bekerja sehari-

hari pada umumnya 6-8 jam (sisa 16-

18) di pergunakan untuk kehidupan

dalam keluarga, masyarakat, istrahat,

tidur dan lain-lain.

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 85 responden sebagian

besar yaitu 51,8% ibu tidak bekerja

(Ibu Rumah tangga) dan sebagian

kecil yakni 48,2% ibu memiliki

pekerjaan. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Siregar (2009) yang menemukan

bahwa sebagian besar ibu yakni 56,8%

tidak memiliki pekerjaan (Ibu Rumah

Tangga).

Pekerjaan berhubungan dengan

tingkat sosial ekonomi seseorang

dalam hal ini faktor sosial ekonomi

yang rendah adalah salah satu faktor

yang meningkatkan kecenderungan

terhadap pemberian makanan pada

bayi, pada umumnya pada ibu bekerja

tidak dapat memberikan ASI eksklusif

sehingga selain memberikan susu

formula mereka memberikan makanan

sejak usia dini sebelum berusia 6

bulan, ini dikaitkan dengan

kemampuan yang kurang untuk

menjangkau dan menggunakan

fasilitas kesehatan. Reaksi terhadap

berbagai keadaan ini berkaitan dengan

pekerjaan keluarga (Husaini, 2010).

Jenis pekerjaan yang dapat

berperan di dalam aktivitas untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan

Page 80: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

77

dan timbulnya penyakit melalui

faktor-faktor lingkungan yang

langsung dapat menimbulkan kejadian

kesakitan seperti pekerjaan sebagai

pegawai negeri sipil, wiraswasta dan

sebagainya, sedangkan situasi

pekerjaan yang penuh dengan beban

psikologis dapat menimbulkan stress.

Berhubungan dengan pelayanan

kesehatan seorang ibu harus

meluangkan waktunya untuk merawat,

memelihara kesehatan anaknya dan

membawa anaknya untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan dan

penimbangan di Posnyandu (Azwar A,

2007).

Pemberian ASI Esklusif

Air Susu Ibu (ASI) adalah

makanan yang paling baik untuk bayi.

ASI mempunyai komposisi yang unik,

sempurna susunan biokimiawi untuk

kebutuhan bayi, dan melindungi bayi

dari bahaya kekurangan gizi maupun

penyakit infeksi. Banyak faktor yang

mempengaruhi seorang ibu dalam

menyusui secara ekslusif kepada

bayinya, faktor sistem dukungan,

pengetahuan ibu terhadap pemberian

ASI secara ekslusif, promosi susu

formula dan makanan tambahan

mempunyai pengaruh terhadap

praktek pernberian ASI ekslusif itu

sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut

dapat memberikan dampak negatif

maupun positif dalam memperlancar

pemberian ASI eksklusif (Santoso dan

Ranti, 2009).

Hasil penelitian menunjukan

bahwa dari 85 sampel sebagian besar

yaitu 68,2% tidak memberikan ASI

Esklusif kepada anakya dan

selebihnya 31,8% memberikan ASI

Esklusif. Rendahnya pemberian ASI

Esklusif disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan ibu dalam pemberian

ASI esklusif sehingga mempengaruhi

perilaku ibu dalam memberikan ASI.

Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rohani (2009) yang menemukan

bahwa sebagian besar yakni 67,2%

tidak memberikan ASI Esklusif.

Rendahnya pemberian ASI

Esklusif disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan ibu tentang ASI sehingga

mempengaruhi tindakan ibu untuk

memberikan ASI Esklusif. Pemberian

ASI Esklusif juga sangat dipengaruhi

oleh dukungan suami, suami

hendaknyamemotivasi ibu menyusui

untuk memberikan ASI Esklusif pada

bayinya.

Adapun faktor lain

mempengaruhi pemberian ASI adalah

faktor sosial budaya ekonomi

(pendidikan formal ibu, pendapatan

keluarga dan status kerja ibu), faktor

psikologis (takut kehilangan daya tarik

sebagai wanita, tekanan batin), faktor

fisik ibu (ibu yang sakit, misainya

mastitis, dan sebagainya), faktor

kurangnya petugas kesehatan sehingga

masyarakat kurang mendapat

penerangan atau dorongan tentang

manfaat pemberian ASI eksklusif

(Soetjiningsih, 2007).

Hubungan Tingkat Pengetahuan

Gizi Ibu dengan Pemberian ASI

Esklusif Hasil penelitian menunjukan

bahwa ada hubungan antara

pengetahuan ibu dengan pemberian

ASI Esklusif. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Artanty (2008) menunjukan bahwa

pengetahuan memiliki hubungan yang

erat dengan pemberian ASI Esklusif.

Bayi yang memiliki ibu pada tingkat

pengetahuan gizi kurang, sebagian

besar tidak memberikan ASI Esklusif

pada anaknya.

Page 81: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

78

Menurut Soehardjo (2003),

menyatakan bahwa seorang ibu sangat

berperan dalam hal pemberian ASI

Esklusif pada bayinya. Banyak yang

tidak memanfaatkan zat gizi hal ini

disebabkan salah satunya karena

kurangnya pengetahuan akan bahan

makanan yang bergizi.

Penelitian tentang

pengetahuan, sikap dan praktek ibu

dan anak balita terhadap kesehatannya

di 7 propinsi di Indonesia

menunjukkan bahwa sebagian besar

ibu belum mengetahui arti dan

manfaat ASI dan Alasan kebiasaan

tersebut adalah karena sudah

merupakan tradisi. Sebagian besar ibu

juga belum memahami makanan

pendamping ASI (MP-ASI), sehingga

makanan tersebut diberikan sejak usia

2-3 bulan Kemalasari (2008).

Hubungan Status Pekerjaan Ibu

dengan Pemberian ASI Esklusif Berdasarkan hasil penelitian

menunjukan bahwa ada hubungan

antara status pekerjaan ibu dengan

pemberian ASI Esklusif. Berdasarkan

hasil penelitian dapat diketahui bahwa

ibu yang bekerja tidak memberikan

ASI Esklusif pada bayinya. Hal ini

disebabkan karena kondisi fisik ibu

yang produksi Air Susunya sangat

sedikit sehingga tidak memungkinkan

untuk memberikan ASI dan lebih

cenderung memberikan susu formula.

Keadaan ini juga didukung oleh

kondisi bayi yang rewel namun setelah

diberikan makanan selain ASI bayi

tersebut lebih nyaman dan tidak rewel

lagi. Fenomena ini menunjukan bahwa

status pekerjaan ibu merupakan faktor

yang menentukan perilaku ibu dalam

pemberian MP-ASI pada bayi.

Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Siregar (2009) yang menemukan

bahwa pemberian ASI pada anak usia

0-6 yang dilakukan oleh ibu yang

bekerja sebagai karyawan adalah

12,63% sedangkan 21,27% dilakukan

oleh ibu rumah tangga. Hasil uji

statistik menunjukan ada hubungan

pekerjaan ibu terhadap pemberian

ASI.

Seorang yang mempunyai

pekerjaan dengan waktu yang cukup

padat juga akan mempengaruhi

prilaku ibu dalam memberikan ASI

pada anaknya. Pada umumnya orang

tua tidak mempunyai waktu luang,

sehingga semakin tinggi aktivitas

pekerjaan orang tua semakin sulit

memberikan ASI Esklusif pada

bayinya. Dilihat dari segi ekonomi,

ibu terpaksa bekerja seharian penuh

untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari terutama di daerah

perkotaan sehingga bagi ibu yang

mempunyai bayi atau anak

dihadapkan pada suatu masalah karena

cenderung memberikan makanan atau

minuman formula bayi yang prkatis

dan mudah disajikan. Dari segi sosial,

kurangnya pengetahuan ibu tentang

ASI sehingga dalam memilih jenis

MP-ASI mereka tidak mengetahui

dengan pasti mengenai kandungan gizi

MP-ASI tersebut.

Apabila pengetahuan akan

sumber daya alam yanga da di

sekeliling manusia dapat dikuasai,

maka keterbatasan daya beli bukan

merupakan rintangan bagi masyarakat

untuk menyediakan makanan bergizi

khususnya MP-ASI. Dari segi

perilaku, seperti misalnya penundaan

pemberian ASI setelah lahir, pmberian

makan prelaktal serta pembuangan

kolostrum yang justru sangat

dibutuhkan oleh bayi. Selain itu

kebiasaan mengkonsumsi makanan

cepat saji dalam keluarga maka ibunya

cenderung memberikan makanan

Page 82: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

79

pendamping ASI olahan pabrik yang

dikemas sehingga praktis (Husaini,

2010).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat pengetahuan ibu Bayi 7-12

Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Benu-Benua Kota Kendari sebagian

besar yaitu 55,3% pengetahuan ibu

dalam kategori kurang.

2. Status Pekerjaan ibu Bayi 7-12

Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Benu-Benua Kota Kendari sebagian

besar yaitu 51,8% ibu tidak bekerja

(Ibu Rumah tangga).

3. Pemberian ASI Esklusif pada Bayi

7-12 Bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari sebagian besar yaitu 68,2%

tidak memberikan ASI Esklusif

kepada anakya.

4. Ada hubungan tingkat pengetahuan

ibu dengan pemberian ASI Esklusif

pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari.

5. Ada hubungan status pekerjaan ibu

dengan pemberian ASI Esklusif

pada Bayi 7-12 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Benu-Benua Kota

Kendari.

Saran

1. Bagi tenaga pelaksana gizi

puskesmas Benu-Benua, agar

memberikan penyuluhan kepada

ibu bayi tentang Manfaat Air Susu

Ibu. bagi anak balita, sehingga

meningkatkan pengetahuan ibu-

khususnya dalam pemilihan

makanan yang bernutrisi bagi

bayinya

2. Bagi ibu agar senantiasa

memberikan makanan yang

bernutrisi sesuai kebutuhan

anaknya.

3. Bagi masyarakat hendaknya

mengikuti tingkat perkembangan

informasi kesehatan khususnya

menyangkut anak balita melalui

kegiatan penyuluhan maupun dari

media cetak dan elektronik.

Daftar Pustaka

Almatsier, 2001. Prinsip Dasar Ilmu

Gizi. Gramedia pustaka

Utama : Jakarta

Azwar, 2007, Program Menjaga Mutu

Pelayanan Kesehatan,

Yayasan Penerbit IDI,

Jakarta,

Husaini, 2010. Tumbuh Kembang dan

Gizi Remaja. Buletin Gizi.

Kemalasari, 2008. Pengaruh

Karateristik Istri dan

Partisipasi Suami

Terhadap Pemberian ASI

Esklusif di Kecamatan

Sitalari Kota pematang

siangtar.Tesis Universitas

Sumatera Utara. Http://Pdf.

tesis.co.id. Diakses tanggal

12 Januari 2014.

Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan

dan Perilaku Kesehatan.

Penerbit Buku Kedokteran

EGC: Jakarta.

Puskesmas Benu-Benua, 2013.

Register Laporan

Puskesmas Benu-Benua

Tahun 2013. Sulawesi

Tenggara.

Santoso dan Ranti, 2009. Kesehatan

dan Gizi. Penerbit Rineka

Cipta: Jakarta.

Siregar, 2009, Hubungan

Karakteristik ibu dengan

Pemberian ASI Esklusif

padaa Bayi o-6 bulan,

http://www.enonline.net/if.

Diakses 12 Januari 2014.

Page 83: ISSN : JURNAL GIZI ILMIAH

Jenny Qlifianty Demmalewa : Jurnal Gizi Ilmiah Vol.4 No.1 September - November 2014

Hal : 70 - 80

80

Soetjiningsih, 2007, ASI Petunjuk

Untuk Tenaga Kesehatan,

Buku Kedokteran EGC :

Jakarta.

Supariasa ID, Bakri B, Fajar I, 2001.

Penilaian Status Gizi Edisi

ke-1. ECG : Jakarta.