farmakologi obat simtomatik sistem respirasi

Post on 19-Jan-2016

210 Views

Category:

Documents

6 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Kajian pustaka mengenai farmakologi obat simtomatik pada sistem respirasi. Dikerjakan sebagai tugas pada modul Respirasi 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

TRANSCRIPT

1

Farmakologi Obat Penyakit Obstruktif Saluran Napas Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2 Modul Respirasi

Komang Shary Karismaputri, Kelompok P-2, NPM 1206238633

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Pendahuluan

LTM ini akan membahas farmakologi dari beberapa penyakit yang termasuk penyakit obstruktif saluran

napas: rinitis, asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Pembahasan

1 ASMA

Terdapat dua tujuan pengobatan asma, yaitu

mencegah dan menghilangkan proses inflamasi

serta relaksasi otot polos.1 Secara umum, obat-obat

asma beserta cara kerjanya terangkum dalam

gambar 1.1.

Pembahasan obat asma mencakup β2-adrenergic

agonist, kortikosteroid, cromolyn, ipratopium,

antagonis leukotriene, omalizumab, dan teofilin.

1.1 Β2-ADRENERGIC AGONISTS Untuk memahami cara kerja agonis β2, ada baiknya

mengulang kembali cara kerja neuron adrenerjik

yang menghubungkan ganglia dengan organ efektor

sistem saraf pusat dan sisterm saraf simpatis. Obat-

obatan adrenerjik mempengaruhi reseptor yang

distimulasi epinefrin dan norepinefrin. Pengiriman

neurotransmitter ini melibatkan enam langkah yang

skemanya bisa diamati di gambar 1.2:

1. sintesis norepinefrin.

2. penyimpanan norepinefrin dalam vesikel

3. pelepasan norepinefrin

Gambar 1.1. Berbagai obat asma dan mekanismenya.2

2

4. pengikatan ke reseptor

5. pembuangan norepinefrin

6. metabolisme3

Terdapat tiga mekanisme kerja obat agonis adrenerjik:

a. direct-acting. Agonis ini langsung mempengaruhi reseptor alfa atau beta. Contoh: epinefrin,

norepinefrin, isoproterenol.

b. indirect-acting. Agonis ini menghalangi uptake dari norepinefrin atau menstimulasi keluarnya

norepinefrin dari vesikel. Contoh: amfetamin, kokain

c. mixed-action. Agonis ini memiliki kemampuan menstimulasi reseptor secara langsung dan

melepaskan norepinefrin dari neuron adrenerjik. Contoh: ephedrine, pseudoephedrine.3

Bentuk inhalasi agonis β2 adalah obat pilihan untuk asma ringan yang gejalanya muncul pada keadaan

tertentu atau intermiten. Agonis reseptor β2 merupakan bronkodilator dan tidak memiliki efek

antiinflamasi. Obat ini termasuk golongan katekolamin sehingga dapat menimbulkan efek samping berupa

hiperglikemia, takikardia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. Oleh karena itu, agonis β2 dibuat dalam

sediaan inhalasi untuk meminimalisasi efek samping sistemik yang mungkin terjadi.3

Agonis β2 dapat digunakan baik untuk fungsi jangka pendek maupun jangka panjang. Kebanyakan agonis

β2 yang berfungsi secara klinis menjalankan fungsinya untuk jangka pendek. Agonis seperti ini memiliki

onset yang cepat, mulai 5 sampai 30 menit. Gejala asma dapat diringankan selama empat sampai enam

Gambar 1.2.

Proses

neurotransmisi

saraf

adrenerjik4

3

jam. Hal ini membuat agonis β2 dimanfaatkan untuk meringankan bronkospasme dan tidak digunakan

sendirian untuk asma yang persisten. Contoh obat yang digunakan untuk fungsi jangka pendek adalah

albuterol yang termasuk dalam agonis dengan mekanisme direct-acting. Contoh lainnya adalah epinefrin

yang merupakan obat pilihan utama untuk status asthmaticus dan anafilaksis akut.3

Obat yang dapat digunakan untuk fungsi jangka panjang adalah salmeterol xinafoate dan formoterol yang

memiliki afinitas lebih besar terhadap reseptor β2. Durasi kerjanya berlangsung selama setidaknya 12 jam

tetapi onset terjadi lambat. Obat-obat ini tidak dapat digunakan untuk meringankan serangan asma

dengan cepat dan tidak digunakan sendirian dalam terapi jangka panjang, tetapi digunakan bersama

kortikosteroid dalam bentuk inhalasi.3

1.2 KORTIKOSTEROID Pada asma persisten, obat pilihan utama yang digunakan adalah kortikosteroid inhalasi (ICS, inhaled

corticosteroids). Glukokortikoid oral dapat digunakan pula sebagai tambahan dalam asma persisten yang

parah. Obat ini adalah obat yang paling efektif dalam kontrol asma jangka panjang. Mekanisme kerja ICS

adalah dengan menargetkan proses inflamasi saluran napas, yakni dengan menurunkan kaskade inflamasi,

mengurangi permeabilitas kapiler, menginhibisi pelepasan leukotriene, dan menghilangkan edema

mukosa.3

Kortikosteroid sendiri tersedia dalam berbagai rute administrasi:

a. Inhalasi. Munculnya ICS menggantikan peran pengontrolan asma oleh kortikosteroid sistemik. ICS

harus digunakan dengan teknik yang tepat, yaitu dengan menghirup secara dalam dan lambat

(untuk inhaler MDI) atau cepat dan dalam (untuk inhaler DPI) agar bisa bekerja pada bronkus.

Apabila teknik tidak dilakukan dengan benar (misalnya pada MDI), sebagian besar glukokortikoid

yang dihirup dapat terdeposit dalam di mulut dan faring, atau bahkan tertelan. Sisanya terdeposit

di saluran pernapasan. ICS yang tidak dihirup dengan baik juga meningkatkan kemungkinan

absorbsi sistemik dan efek samping. Efek samping yang dapat muncul bahkan apabila ICS

digunakan dengan baik adalah oropharyngeal candidiasis dan suara yang serak.

b. Oral/sistemik. Rute ini digunakan pada asma persisten yang parah (status asthmaticus). Contoh

obatnya adalah methylprednisolone (rute intravena) dan prednisone (rute oral).

c. Spacer. Alat ini memberikan ruangan besar yang dipasangkan dengan MDI dengan tujuan

mengurangi deposisi obat pada mulut apabila teknik penggunaan inhaler tidak baik. Partikel-

partikel obat yang besar akan terdeposit di dalam spacer. Alat ini sangat direkomendasikan untuk

pasien lansia dan pasien anak-anak berusia kurang dari lima tahun, tetapi dianjurkan juga untuk

semua pasien.3

Efek samping: Kortikosteroid dapat menimbulkan berbagai efek samping sistemik yang jauh berkurang

pada penggunaan ICS. Efek-efek samping yang umum ditemukan pada terapi kortikosteroid jangka

panjang adalah glaukoma, osteoporosis, hiperglikemia, ulkus peptik, edema perifer, hipokalemia,

hipertensi, dan Cushing-like syndrome.3

4

1.3 OBAT ASMA LAINNYA Apabila pasien asma sedang sampai berat melaksanakan terapi konvensional yang kontrolnya tidak baik,

atau mengalami efek samping kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, pasien dapat menggunakan

obat asma lainnya sebagai tambahan dari ICS.3

1.3.1 Antagonis Leukotrien

Metabolisme asam arakidonat (AA) menghasilkan leukotriene (LT) B4 yang berperan dalam “menarik”

neutrofil dan eosinofil dan berbagai cysteinyl leukotriene (LTC4, LTD4, dan LTE4) yang berperan dalam

bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas endotel, dan sekresi mukus. Metabolisme ini terlaksana

dengan bantuan enzim 5-lipoksigenase. Obat-obat antagonis leukotrien berperan mengintervensi

metabolisme ini. Salah satu antagonis leukotrien, zileuton, menginhibisi enzim 5-lipoksigenase sehingga

leukotrien tidak terbentuk. Zafirlukast dan montelukast menghalangi kerja leukotriene dengan menjadi

inhibitor reversibel dari reseptor leukotriene-1 sehingga leukotriene tidak dapat bekerja. Obat-obat

antagonis leukotrien tidak efektif dalam serangan akut berfungsi sebagai profilaksis asma.3

Farmakokinetik: Zafirlukast, zileuton, dan montelukast aktif secara oral. Makanan dapat menghambat

absorpsi zafirlukast. Protein plasma mengikat lebih dari 90% masing-masing obat dan obat-obat tersebut

dimetabolisme secara ekstensif. Ekskresi zafirlukast dan montelukast dilakukan lewat sekresi bilier

sedangkan zileuton melalui urin.3

Efek samping: Ketiga obat dapat menimbulkan peningkatan enzim hepar di serum. Vaskulitis eosinofilik

dapat terjadi apabila dosis glukokortikoid dikurangi, walaupun jarang. Efek lainnya adalah sakit kepala dan

dispepsia. Zafirlukast dan Zileuton juga merupakan inhibitor sitokrom P450 sehingga dapat meningkatkan

kadar serum warfarin.3

1.3.2 Cromolyn

Cromolyn merupakan obat antiinflamasi profilaksis yang tidak berguna untuk serangan asma akut.

Penggunaannya dapat dimanfaatkan untuk mencegah bronkokonstriksi akibat olahraga atau alergen.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat degranulasi sel mast dan pelepasan histamin. Kerja

cromolyn berlangsung cepat.3

Farmakokinetik: Cromolyn tidak dapat diabsorpsi dengan baik sehingga tidak memberikan efek samping

yang signifikan. Cromolyn diberikan dalam dosis yang sering.3

1.3.3 Antagonis Kolinergik

Antagonis kolinergik bekerja dengan memblok kontraksi otot polos saluran pernapasan melalui nervus

vagus serta memblok sekresi mukus. Efek yang dihasilkan kurang efektif dibandingkan dengan efek agonis

β2. Contoh obatnya adalah ipratropium sediaan inhalasi yang berguna untuk pasien yang tidak dapat

mentoleransi agonis β2. Obat ini memiliki hampir bebas dari efek samping, tetapi memiliki onset yang

lambat. Golongan obat antagonis kolinergik efektif untuk pasien yang menderita asma dan PPOK.3

1.3.4 Teofilin

Teofilin merupakan bronkodilator yang diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal. Pada

umumnya, saat ini teofilin sudah digantikan oleh agonis β2 dan kortikosteroid karena teofilin memiliki

jendela terapeutik yang sempit, banyak interaksi obat (karena dimetabolisme enzim CYP1A2 dan CYP3A4),

dan memiliki banyak efek samping. Apabila dosisnya berlebihan, teofilin dapat menyebabkan aritmia yang

berpotensi fatal atau kejang-kejang.3

5

1.3.5 Omalizumab

Omalizumab merupakan antibodi monoklonal yang berikatan dengan IgE sehingga mengurangi jumlah IgE

yang berikatan dengan sel mast dan basofil. Obat ini dapat dimanfaatkan untuk asma akibat alergi yang

sedang sampai berat maupun pasien terapi konvensional yang tidak terkontrol dengan baik, tetapi

harganya mahal dan data klinisnya masih terbatas. Saat ini omalizumab tidak digunakan sebagai terapi

garis pertama.3

2 PPOK

Penanganan pasien PPOK bergantung pada tahapan PPOK itu sendiri, tetapi pada dasarnya menggunakan

bronkodilator inhalasi seperti agen antikolinergik (ipratropium, tiotropium) dan agonis β2. Apabila salah

satu saja tidak cukup dapat digunakan kombinasi antara obat antikolinergik dengan agonis β2 (misalnya

albuterol dan ipratropium). Efek bronkodilator adalah meningkatnya aliran udara, menurunnya

eksaserbasi, dan meringannya gejala. Bronkodilator jangka panjang seperti salmeterol dan diotropium

juga dapat digunakan sedangkan ICS hanya bisa digunakan untuk pasien dengan FEV 1 detik yang kurang

dari 50% prediksi.3

3 RINITIS

3.1 ANTIHISTAMIN Dalam penanganan rinitis alergi, obat antihistamin yang memblok reseptor H1 umum digunakan6 karena

dapat menangani bersin-bersin dan rhinorrea cair pada rinitis alergi.3 Terdapat dua jenis antihistamin,

yaitu antihistamin generasi pertama dan kedua. Antihistamin generasi pertama sangat lipofilik

dibandingkan generasi kedua. Contoh obat generasi pertama adalah diphenhydramine sedangkan

generasi kedua contohnya loratadine dan cetirizine.6 Apabila terdapat kongesti, kombinasi antihistamin

dan dekongestan dapat digunakan sebagai terapi yang efektif.3

Efek samping: sedasi (efek berbeda-beda untuk tiap antihistamin,3 lebih rendah pada generasi kedua6),

efek antikolinergik pada antihistamin generasi pertama (mata dan mulut kering, susah kencing/defekasi,

biasanya menghilang dalam 7-10 hari), dan konstipasi pada pengguna antihistamin generasi pertama yang

kronis.3

Gambar 2.1. Penanganan jangka panjang PPOK berdasarkan tahap PPOK5

6

3.2 A-ADRENERGIC AGONIST/DEKONGESTAN Dekongestan berfungsi mengurangi kongesti pada hidung. Mekanisme kerjanya adalah dengan konstriksi

arteriol mukosa hidung yang berdilatasi sehingga resistensi saluran napas berkurang. Contoh obat

dekongestan adalah phenylephrine yang bekerja singkat dan oxymetazoline yang bekerja lebih lama.

Penggunaan lewat jalur nasal dapat mengakibatkan rhinitis medicamentosa sehingga sebaiknya tidak

digunakan lebih dari tiga hari.3

3.3 KORTIKOSTEROID Kortikosteroid dalam tata laksana rhinitis dikemas dalam bentuk nasal spray dan tidak dihirup dalam-

dalam karena jaringan targetnya adalah hidung, bukan bronkus. Dalam menangani rhinitis alergi maupun

nonalergi, steroid topikal dapat menghasilkan efke yang lebih baik daripada antihistamin sistemik. Contoh

obat kortikosteroid adalah beclomethasone, flunisolide, mometasone, dan lain-lain.3

3.4 OBAT LAINNYA Obat-obat lain yang dapat digunakan untuk rhinitis di antaranya adalah cromolyn (untuk pencegahan

rinitis alergi) dan antagonis leukotriene yang diindikasikan untuk penanganan rinitis alergi musiman

maupun perennial.3 Rasa tidak nyaman dan sakit pada rinitis akibat virus dapat ditangani pula dengan

pemberian analgesik seperti ibuprofein dan asetaminofen.7

Kesimpulan

Pada asma, agonis β2 paling umum digunakan sebagai bronkodilator untuk serangan asma sedangkan ICS

digunakan untuk terapi jangka panjang. Terdapat pula obat-obat lain seperti cromolyn dan antagonis

leukotrien apabila pasien tidak mendapatkan kontrol yang baik pada terapi konvensionalnya, atau

mengalami efek samping kortikosteroid. Penanganan PPOK menggunakan bronkodilator dan dilihat

berdasarkan FEV1. Rinitis dapat ditangani dengan antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, dan

beberapa obat lainnya.

Daftar Pustaka

1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology, Seventh Edition. USA: Elsevier Inc.; 2012.

2. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology, Seventh Edition. USA: Elsevier Inc.; 2012.

Figure 19-10, Mediators and treatment of asthma; p.441.

3. Clark MA, Finkel R, Rey JA, Whalen K. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 5th Edition. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2012.

4. Clark MA, Finkel R, Rey JA, Whalen K. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 5th Edition. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2012. Figure 6-3. Synthesis and release of norepinephrine from the adrenergic

neuron; p.71.

5. Clark MA, Finkel R, Rey JA, Whalen K. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 5th Edition. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2012. Figure 27-8. Treatment of stable chronic obstructive pulmonary disease

(COPD); p.347.

6. Corren J, Baroody FM, Pawankar R. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In: Adkinson NF, Bochner BS, Burk AW, Busse

WW, Holgate ST, Lemanske RF, et al, editors. Middleton’s Allergy: Principles and Practice, Eight Edition.

Philadelphia: Saunders; 2014.

7. Brenner GM, Stevens CW. Pharmacology, Fourth Edition. Philadelphia: Saunders; 2013.

top related